kusta

7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kusta merupakam penyakit infeksi kronik dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagia atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali sistem saraf  pusat. 2.2 Epidemiologi Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075. Dari  jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (160.132) diikuti regional Amerika (36.832), regional Afrika (12.673), dan sisanya regional lain di dunia. Sementara itu di regional Asia Tenggara distribusi kasus kusta bervariasi berdasarkan  penemuan kasus baru dan prevalensi seperti terlihat dalam tabel dibawah ini :

Upload: dhimas-akbar

Post on 16-Oct-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

draft

TRANSCRIPT

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiKusta merupakam penyakit infeksi kronik dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagia atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali sistem saraf pusat.2.2 EpidemiologiJumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (160.132) diikuti regional Amerika (36.832), regional Afrika (12.673), dan sisanya regional lain di dunia.

Sementara itu di regional Asia Tenggara distribusi kasus kusta bervariasi berdasarkan penemuan kasus baru dan prevalensi seperti terlihat dalam tabel dibawah ini :

Faktor-faktor yang menentukan terjadinya kusta1. Penyebab Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae, untuk pertama kalinya ditemukan oleh G. H. Armauer Hansen pada tahun 1873. M. Leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan sel dari sistem retikilo endotelial. Waktu pembelahannya sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 27-30oC.2. Sumber penularanSampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup di armadilo, simpanse dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar tyhmus.3. Cara keluar dari pejamuKuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung mausia. Telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari pasien tipe lepromatosa merupakan sumber kuman.4. Cara penularanKuman kusta mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun, akan tetapi daat juga bertahun-tahun. penularan terjadi apabila kuman kusta yang utuh (hidup) keluar dari tubuh psien dan masuk ke dalam tubuh orang laon5. Cara masuk ke dalam pejamuMenurut teori cara masuknya kuman ke dalam tubuh adalah melalui saluran napas bagian atas dan melalui kontak kulit6. PejamuHanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit.2.3 EtiologiKuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram positif.2.4 PatogenesisSetelah M. Leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat imunitas selular (celluler mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa. M. Leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih tinggi, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien KustaM.Leprae memiliki bagianG domain of extracellular matriks protein laminin 2yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional.3Patogenesis reaksi KustaReaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV (Delayed Type Hipersensitivity Reaction). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction, dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid (peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dandowngrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous (penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi. Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Leprae akan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples , imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel.

2.5 Klasifikasi

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi. Klasifikasi bertujuan untuk: A. Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi. B. Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang menularkan dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target utama pengobatan. C. Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacatTerdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi menurut WHO.A. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953) Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association di Madrid tahun 1953.B. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966) Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan apakah dia akan menderita kusta apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik. Bentuk klinis bergantung pada sistem imun seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepramatosa. Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid-Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid (TT).TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe stabil, jadi berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepramatosa polar, yakni lepramatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil. Sedangkan sisanya adalah tipe yang labil, berarti bebas beralih tipe ke arah TT ataupun ke LL.

C. Klasfikasi menurut WHO Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.