kumpulan tulisan buya syafii

39
Kemerdekaan Itu, Apa Artinya? Oleh : Ahmad Syafii Maarif Bahwa bangsa ini punya watak anti penjajahan asing, bukti historisnya berjibun. Perkataan ‘jibun’ tidak semata menunjukkan utang banyak, tetapi teman dari Kepulauan Natuna, juga menggunakannya dalam arti bertumpuk. Jadi, perasaan dan sikap anti penjajahan asing dimiliki seluruh suku bangsa yang kemudian tahun 1920-an mulai menggagas untuk mengikatkan dirinya menjadi bangsa Indonesia. Alangkah dahsyatnya gagasan itu yang dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dirinci dalam format: satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, Indonesia! Sumbangan Riau yang terbesar untuk kebudayaan kita adalah bahasa Indonesia, yang semula disebut bahasa Melayu. Dalam bentuk suku-suku bangsa, usianya memang sudah puluhan kurun, tetapi sebagai bangsa Indonesia, belum sampai satu abad. Itulah alasannya mengapa Bung Karno dan para pemimpin yang lain perlu mengulang-ulang doktrin: “Nation and character building,” pembangunan bangsa dan karakter, karena memang belum kuat benar. Bangsa ini masih perlu dirawat oleh semua lapisan rakyat, bukan diruwat, sebagai kebiasaan paranormal menghadapi malapetaka. Rawatan inilah yang sering terabaikan setelah kita merdeka dalam rentang waktu 62 tahun.

Upload: susilo-darman

Post on 02-Feb-2016

92 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Cercah-cercah pemikiran Buya Syafi'i Ma'arif

TRANSCRIPT

Page 1: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Kemerdekaan Itu, Apa Artinya?

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Bahwa bangsa ini punya watak anti penjajahan asing, bukti historisnya berjibun.

Perkataan ‘jibun’ tidak semata menunjukkan utang banyak, tetapi teman dari Kepulauan Natuna,

juga menggunakannya dalam arti bertumpuk. Jadi, perasaan dan sikap anti penjajahan asing

dimiliki seluruh suku bangsa yang kemudian tahun 1920-an mulai menggagas untuk

mengikatkan dirinya menjadi bangsa Indonesia. Alangkah dahsyatnya gagasan itu yang dalam

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dirinci dalam format: satu bangsa, satu tanah air, dan satu

bahasa, Indonesia! Sumbangan Riau yang terbesar untuk kebudayaan kita adalah bahasa

Indonesia, yang semula disebut bahasa Melayu.

Dalam bentuk suku-suku bangsa, usianya memang sudah puluhan kurun, tetapi sebagai

bangsa Indonesia, belum sampai satu abad. Itulah alasannya mengapa Bung Karno dan para

pemimpin yang lain perlu mengulang-ulang doktrin: “Nation and character building,”

pembangunan bangsa dan karakter, karena memang belum kuat benar. Bangsa ini masih perlu

dirawat oleh semua lapisan rakyat, bukan diruwat, sebagai kebiasaan paranormal menghadapi

malapetaka. Rawatan inilah yang sering terabaikan setelah kita merdeka dalam rentang waktu 62

tahun.

Akibatnya bisa macam-macam, dari protes yang paling sederhana sampai pada keinginan

memisahkan diri dari jiwa dan batang tubuh Republik Indonesia. Semuanya ini telah memakan

korban, juga dari bentuk yang paling sederhana berupa bentrokan rakyat dengan aparat sampai

perang saudara yang berkuah darah. Akar-umbinya adalah kebelumberhasilan kita

menerjemahkan doktrin “pembangunan bangsa dan karakter” dalam cakupannya yang luas.

Apa itu? Tidak lain dari pengejawantahan Pancasila dalam format yang konkret, bukan

sebatas wacana dan retorika. Termasuk perlu diintensifkan ‘budaya saling menyapa’ antaranak

suku bangsa yang sangat beragam itu. Termasuk pemerataan keadilan dan kemakmuran,

membongkar struktur kesenjangan, karena kemakmuran melimpah baru dinikmati oleh segelintir

orang yang bertengger di pucuk piramida, sementara lautan kemiskinan dibiarkan terbentang

Page 2: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

luas, menghimpit mereka yang tak berdaya. Golongan ini terhenyak di dasar piramida yang

jumlahnya masih sekitar 40 juta. Bagi si papa ini, merdeka atau terjajah tidak banyak bedanya.

Pembangunan bangsa dan karakter tidak saja menjadi agenda politik, tetapi dimensi

sosial-ekonomi menjadi sangat mustahak. Konflik mendatar dan konflik menaik dapat ditelusuri

musababnya pada kesenjangan sosial yang masih menganga. Makin jauh dari Jakarta makin

terasa betapa rupiah kita menjadi barang langka karena sekitar 70 persen beredar di ibu kota

yang penduduknya kurang dari lima persen dari 225 juta rakyat Indonesia.

Disparitas ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama, sebab bisul keretakan bangsa bisa

meledak sewaktu-waktu. Kita tidak rela melihat bangsa ini berkeping-keping karena kegagalan

kita merawatnya.

Dalam dialog saya dan Wapres HM Jusuf Kalla selama 50 menit di istana Wapres pada 1

Agustus 2007, kita banyak membicarakan masalah-masalah bangsa dan negara secara mendasar.

JK tampaknya tetap optimistis akan kebangkitan Indonesia dengan syarat semua orang mau

bangkit dan berpikir jernih, tidak hanya pandai saling menyalahkan. Tetapi, juga harus

ditunjukkan sikap apresiatif terhadap segala usaha dan prestasi yang baik, siapa pun yang

melakukan: pemerintah atau masyarakat.

Sikap “mutual distrust” (saling tidak percaya) mesti dihilangkan jika bukti menunjukkan

bahwa cukup alasan untuk “mutual trust” (saling percaya). Tetapi jika menyangkut tragedi

Lapindo, bagi saya tentu sangat sulit untuk menunjukkan “mutual trust” karena tidak tampak

upaya yang benar-benar serius dari pihak yang terlibat untuk mengatasinya. Fakta lapangan

menunjukkan di antara korban lumpur sudah banyak yang putus asa, karena tidak melihat tanda-

tanda kapan drama kemanusiaan ini berakhir. Bukankah semuanya ini terjadi akibat kecerobohan

pengusaha? Orang boleh saja disogok agar membisu, tetapi harus segera ada solusi.

Di saat kita sibuk merayakan hari kemerdekaan, bencana Lapindo jangan sampai

terlupakan. Kemerdekaan juga mengandung makna tanggung jawab kemanusiaan untuk mereka

yang teraniaya. Tidak ada gunanya seorang presiden dikabarkan berkantor di sana, jika

tunasolusi.

Page 3: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Akhirnya, perlu diingatkan kembali bahwa para pendiri bangsa dulu melawan penjajahan

adalah untuk menyudahi penderitaan. Tetapi setelah kekuasaan berpindah ke tangan sendiri,

mengapa penderitaan dan kemiskinan belum juga usai? Jika demikian faktanya, jangan-jangan

penguasa baru itu masih meneruskan politik penjajahan atas teman sebangsa. Jika dulu ‘londo

tenanan’, kini ‘londo ireng’ yang susunan kimia kekuasaannya setali tiga uang dengan penjajah.

Semoga semua sadar tentang kesalahan dan dosa kita terhadap bangsa dan negara ini yang

sekarang sedang berulang tahun ke-62 untuk mensyukuri kemerdekaannya. Dirgahayu Indonesia

tercinta, semoga tetap utuh!

Sumber : https://nuranikita.wordpress.com/2007/10/25/kemerdekaan-itu-apa-artinya/

Page 4: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Bangsa Tunailmu

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Dalam Pembukaan UUD ’45 ditegaskan bahwa di antara tugas pemerintah adalah

”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Rumusan semacam ini bukan tanpa latar belakang historis

yang sarat dengan kegetiran; ia tidak muncul secara tiba-tiba. Akarnya menjalar jauh dan dalam.

Sebagai bangsa bekas jajahan, para perumus UUD kita menyadari betul betapa gelapnya otak

bangsa ini jika tingkat buta huruf masih sangat tinggi, yaitu pada tahun 1945 sekitar 90 persen.

Tahun 2007, persentasenya, berkat kemerdekaan, memang sudah terbalik, yaitu sekitar 90

persen sudah melek huruf, sekalipun sebagian (besar?) belum tentu tamat SD. Dari sisi ini,

betapapun masih rendahnya tingkat kecerdasan rakyat, kita wajib mensyukuri kemerdekaan

bangsa ini. Tanpa kemerdekaan, kita tetap saja dalam posisi bangsa budak.

Tetapi, fokus perhatian kita kali ini bukan di situ. Yang hendak disoroti adalah kenyataan

bahwa tingkat keilmuan bangsa ini secara keseluruhan masih di bawah standar. Dengan kata lain,

dibandingkan dengan negara tetangga yang lebih belakangan mendapatkan kemerdekaan, kita

jauh kedororan. Ambillah contoh Malaysia yang pada 1950-an dan 1960-an jauh tertinggal oleh

Indonesia dan kita mengirim pasukan guru ke sana, sekarang memandang kita dengan sebelah

mata. Apalagi dengan berjibunnya TKI/TKW kita mengadu nasib ke sana, negeri jiran ini telah

menganggap kita sebagai bangsa dan negara yang tidak serius mengurus dan mengisi

kemerdekaan. Kita kehilangan wibawa di depan rakyat negara itu yang sekarang sedang

menikmati kemakmurannya, seperti yang sudah disinggung dalam Resonansi sebelum ini.

Apa sebenarnya yang terjadi pada tubuh dan jiwa bangsa ini? Mengapa kita masih dalam

keadaan stagnasi dalam upaya memajukan bangsa ini agar lebih bermartabat di depan forum

dunia? Dalam perspektif perkembangan keilmuan dan teknologi dasar, kita adalah bangsa yang

masih tunailmu dan tunateknologi. Penyebab pokoknya tidak lain karena perhatian negara yang

diwakili pemerintah selama lebih 60 tahun terhadap dunia pendidikan minim sekali.

Page 5: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Kabinet telah jatuh-bangun berulang kali sejak proklamasi, tetapi dunia pendidikan kita

tetap saja sebagai kelinci percobaan. Seorang menteri pendidikan biasanya diangkat bukan

karena visi dan kemampuannya dalam memajukan pendidikan, tetapi pertimbangan politik

kekuasaan jauh lebih dominan.

Cara semacam ini merupakan salah satu penyebab utama mengapa politik pendidikan

nasional kita seperti kehilangan benang merah, tidak ada kesinambungan antara seorang menteri

dengan menteri yang lain dalam berbagai periode. Dengan kenyataan ini dunia pendidikan kita

menjadi terombang-ambing oleh kebijakan yang zigzag tanpa visi yang jelas dan itu semua

melelahkan kita. Korbannya adalah peserta didik yang tidak mengerti apa-apa mengapa mereka

dijadikan ”barang mainan” puluhan tahun.

Akibat jangka panjangnya sangat jelas dan tunggal: Pendidikan kehilangan perpektif

masa depan. Ini persoalan yang sangat serius. Sebuah bangsa yang tidak cerdas pasti akan

menjadi sasaran obokan pihak lain, tidak peduli apakah jumlah penduduknya besar atau kecil.

Beberapa hari yang lalu, dalam penerbangan ke Jakarta, saya kebetulan duduk

bersebelahan dengan dekan Fakultas Kedokteran UGM yang sangat prihatin pada kondisi

pendidikan di Indonesia. Ujarnya, bagaimana mungkin bangsa ini akan menjadi cerdas manakala

tingkat kesejahteraan guru sangat minim, termasuk guru besarnya.

Pak dekan ini suami istri adalah profesor, tetapi penghasilan gabungan keduanya berada

di bawah pendapatan seorang anggota DPRD tingkat II yang PAD-nya tidak tinggi. Untung saja

dekan ini seorang dokter yang masih berpraktik, sehingga ada tambahan penghasilan. Sebuah

ironi terlihat di sini: Seorang profesor dengan kualifiasi PhD atau doktor lulusan perguruan

tinggi dalam negeri dilecehkan oleh penghasilan seorang politikus kelas kabupaten atau kota

yang menjadi anggota DPRD.

Anda mau contoh yang lebih konkret tentang ironi ini? Adalah Profesor T Jacob yang

punya reputasi dunia dan seorang penulis prolifik, mantan rektor UGM, sekalipun sudah pensiun,

masih tinggal di rumah dinas karena tidak mampu membuat rumah untuk keluarga kecilnya.

Yang bernasib begini banyak sekali. Manusia tipe Profesor Jacob yang tidak mau bergeser

sedikit saja dari posisi seorang ilmuwan harus rela hidup tanpa rumah pribadi sampai usia

tuanya.

Page 6: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Begitu juga nasib sejarawan almarhum Profesor T Ibrahim Alfian yang telah mewariskan

beberapa karya tulis penting untuk bangsa ini, di saat wafatnya kita melayat ke rumah dinasnya

di lingkungan kampus UGM. Pendapatannya selama berkarier sebagai ilmuwan yang PNS tidak

mampu menolong hari tuanya untuk sekadar punya tempat berteduh.

Inilah di antara panorama yang tak sedap dipandang di sebuah bangsa kaya, tetapi tidak

menghargai ilmu, bangsa tunailmu. Pertanyaan pungkasannya adalah: Sampai berapa lagi

mendung tebal yang melingkupi alam pendidikan kita berangsur sirna?

Sumber : https://nuranikita.wordpress.com/2007/10/25/bangsa-tunailmu/

Page 7: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Slavish Mentality

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Soekarno-Hatta dengan keberanian luar biasa ingin menghalau imperialisme itu, generasi

yang ahistoris berikutnya malah bangga menyerahkan batang leher kepada pihak asing padahal

bangsa ini sudah merdeka. Kata seorang penulis Aljazair, pandangan ahistoris berisiko tunggal:

Orang gagal membaca realitas.

Realitas kita sekarang adalah bahwa para elite kita yang lagi manggung kini tetap saja

merasa nyaman sekalipun rumah tangga bangsa ini sedang digarong pihak asing, tentu dengan

perjanjian-perjanjian formal sebagai layaknya bangsa merdeka. Soekarno dan Hatta yang

menyampaikan pidatonya untuk melawan sistem kapitalisme/imperialisme pada saat bangsa ini

masih terjajah, mengapa sekarang pemerintah tidak merasa tersinggung dengan penguasaan

asing terhadap aset-aset vital milik bangsa? Jawabnya karena kita sedang sama mengidap slavish

mentality (mental budak). Saya mohon pimpinan negara dari yang paling pucuk sampai tingkat II

diwajibkan membaca dua pidato itu untuk melihat secara kritikal mau ke mana negeri ini akan

dibawa, mau digadaikan, mau dijual, atau mau diapakan? Pidato Hatta berjudul ”Indonesie Vrij”

(sudah diterjemahkan menjadi ”Indonesia Merdeka”) dan pidato Bung Karno ”Indonesia

Menggugat”.

Kedua pidato itu sama bobotnya, sama pentingnya. Bedanya Hatta lebih dulu

menyampaikan di Den Haag dalam bahasa Belanda dan Bung Karno di dalam negeri dua tahun

kemudian, disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan kutipan pendapat para sarjana Belanda

dan Barat lainnya untuk mendukung posisinya sebagai pejuang nasionalis yang sedang dituduh

menghasut.

Bagi saya kedua pidato ini semestinya dijadikan pedoman kita berbangsa dan bernegara

justru pada saat kekayaan Indonesia sedang jadi rebutan pihak asing. Dengan membaca kedua

pidato itu kita akan tahu bahwa apa yang berlaku sekarang ini agak mirip dengan zaman VOC

dengan politik monopoli perdagangannya yang sangat destruktif bagi nusantara ketika itu.

Page 8: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Aneh bin ajaib bangsa dan negara yang mengaku merdeka telah mengundang VOC-VOC

baru untuk memberikan hak monopoli kepada pihak asing. Nanti bila kekayaan bumi dan laut

kita sudah terkuras, pengusaha asing itu akan lenggang kangkung meninggalkan arena yang

sudah kering-kerontang, dan tinggallah anak negeri menangisi nasib sebagai manusia tak

berdaya.

Bisa saja sebagian anak bangsa menjadi kaya raya karena telah membantu asing, tetapi

bagi mayoritas rakyat yang tersisa tinggal ampasnya saja. Rakyat banyak ini di era penjajahan

ditindas oleh asing secara langsung, di zaman kemerdekaan ditindas melalui ”kebaikan hati”

pemerintahnya sendiri. Oleh sebab itu, sebelum bangsa ini betul-betul menjadi bangsa kuli 100

persen, siapa tahu dengan membaca pidato Bung Karno dan Bung Hatta, kita masih bisa sadar

dan siuman dengan menyatakan: Kita sudah terlalu jauh melenceng dari jalan yang benar, kita

sudah semakin terjerat dalam tali lasso kapitalisme global yang mencekik leher bangsa ini tanpa

belas kasihan. Saya harap Menteri Nuh memperbanyak kedua pidato di atas dan membagikannya

kepada elite bangsa ini.

Sumber : https://nuranikita.wordpress.com/2007/10/25/slavish-mentality/

Page 9: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Tengkorak dan Peradaban

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Benedetto Croce (1866-1952), sejarawan pemikir Italia, ketika mengomentari keluhan

dan kepedihan umat manusia mengapa dalam perjalanan sejarah kita sering dihadapkan kepada

peperangan, penderitaan, dan kekecewaan, ia menjawab ringan “history in the making” (sejarah

dalam proses pembentukan). Di ujung perjalanan, liberti (kebebasan) pasti akan menuai

kemenangan. Bagi Croce, liberti tidak pernah kalah, tetapi bisa tertindas pada waktu-waktu

tertentu. Keyakinan tentang kekuatan liberti ini diumumkan Croce pada 1937, dua tahun

menjelang meledaknya PD (Perang Dunia) II, sebuah optimisme yang tinggi tentang hari depan

umat manusia.

Kita boleh menyertai optimisme Croce, tetapi dengan catatan kaki. Bukankah peradaban,

negara, atau imperium yang pernah dikenal tidak jarang dibangun di atas ratusan, ribuan, dan

bahkan jutaan tengkorak manusia? Tentu Anda minta contoh, bukan? Baiklah, saya mulai dari

peradaban Islam. Imperium ‘Abbasiyah (750-1258) yang sering dibanggakan sebagai pencipta

peradaban Islam yang gemerlapan itu, bukankah dibangun di atas tengkorak lawan politiknya,

Imperium Umayyah (661-749)?

Anda tentu tahu juga proses Indianisasi Nusantara selama berabad-abad sampai

hancurnya Imperium Majapahit awal abad ke-15 dengan agama Hindu-Budha sebagai acuan

spiritualnya. Bangunan raksasa Candi Borobudur yang Budha dan Candi Prambanan yang Hindu

tentu sekarang kita saksikan dengan penuh kekaguman. Di saat dunia belum mengenal teknologi,

demi taat kepada konsep deva-raja, maka tenaga manusia dan hewan dikerahkan untuk membuat

bangunan dahsyat itu.

Berapa hitungan tengkorak manusia dan hewan yang harus dikorbankan selama puluhan

tahun untuk menyudahkannya, kita tidak tahu pasti. Kita boleh saja menilai semuanya ini sebagai

pengabdian manusia kepada penguasa, tetapi bila parameter modern yang dijadikan acuan adalah

‘kemanusiaan yang adil dan beradab’, maka korban Borobudur dan Prambanan tidak lain dari

penindasan penguasa atas rakyat.

Page 10: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Kita pindah ke VOC dengan sistem hongi-tochten-nya di Maluku dan kerja paksa H.W.

Daendels (gubernur Hindia Belanda, 1808-1811) yang membangun jalan raya pos dari Anyer ke

Panarukan, berapa tengkorak yang harus binasa untuk itu. Kekuasaan VOC yang kemudian

diambil alih pemerintah Hindia Belanda adalah modal utama bagi bangsa dan negara Indonesia

merdeka di kemudian hari. Untuk sampai kepada tujuan itu, orang tidak boleh lupa bahwa modal

itu telah dibangun di atas tengkorak manusia yang tidak sedikit.

Kita pindah ke kawasan lain. Penghijrah dari Inggris telah membangun Australia modern

dengan mengorbankan banyak sekali anggota suku Aborigin dengan cara yang sangat kejam.

Begitu juga Amerika Serikat yang sekarang telah jadi imperium, dibangun di atas tengkorak

rakyat Indian dan budak dari Afrika dalam jumlah yang sangat besar. Contoh lain banyak sekali,

termasuk pembunuhan dalam jumlah puluhan juta yang dilakukan Joseph Stalin dengan kamp

kerja paksa Siberia yang mengerikan itu, demi membangun Imperium Uni Soviet yang sempat

bertahan selama 77 tahun.

Sebab itu marilah kita bersikap tawadhu’ untuk mengakui bahwa manusia, jenis kita ini,

pada masa-masa tertentu dalam periode sejarah sangat tidak beradab, sekalipun kita mengatakan

sedang membangun peradaban. Alquran dalam surat al-Baqarah: 11-12 menggambarkan manusia

penghancur itu dalam ungkapan: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, janganlah kamu

berbuat onar/kerusakan di muka bumi, mereka menjawab:

sesungguhnya kami justru orang-orang yang membangun kebajikan. Ingatlah, sesungguhnya

merekalah yang membuat kerusakan itu, tetapi mereka tidak [mau] sadar.”

Apakah memang dengan tengkorak manusia sejarah itu harus dibangun? Antahlah

buyuang! Akhirnya pemimpin negara Pancasila harus bekerja ekstra hati-hati membawa bangsa

ini menuju masa depan agar daftar panjang penderitaan yang masih menghimpit sebagian rakyat

kita tidak menjadi semakin panjang. Kita benar-benar memerlukan negarawan, bukan politisi

yang rabun ayam.

Sumber : https://nuranikita.wordpress.com/2007/10/25/tengkorak-dan-peradaban/

Page 11: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Kepingan Neraka di Surga

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Karena perhatian disedot oleh masalah dalam negeri, nasib rakyat di beberapa negeri

Arab yang dilanda krisis berat, agak terlupakan. Artikel Bassel Oudat dari Damaskus di bawah

judul “Syria’s Impasse” dalam harian Al-Ahram, 25 Agustus 2015, telah memukul batin saya

tentang betapa parahnya krisis yang melanda Suria ini. Seakan-akan sebuah kepingan neraka

sedang diciptakan di sana oleh para aktornya: lokal, regional, dan global. Pada tingkat lokal

melibatkan rezim al-Assad, kelompok Negara Islam (ISIS), dan kelompok Islamis lainnya yang

baku hantam berebut pengaruh di negara gagal itu. Islam sebagai agama perdamaian telah

berhenti jadi rujukan dalam penyelesaian konflik, dibuang jauh entah ke mana. Para elite yang

terlibat dalam konflik berdarah-darah ini semuanya memahami dan bercakap dalam Bahasa

Arab, Bahasa Alquran, tetapi nurani mereka telah tersumbat untuk menerima petunjuk.

Pada tataran regional, Iran terus saja memasok senjata dan bantuan lainnya kepada rezim

al-Assad dengan tujuan memperkuat pengaruhnya dengan mengorbankan bangsa yang oleng itu.

Tentu saja Iran dalam berebut hegemoni politik dengan Saudi Arabia di kawasan kacau itu ingin

memperagakan taringnya dengan menguasai Suria sejauh mungkin. Perkara rakyat Suria bermain

dengan maut setiap saat tidak perlu dipertimbangkan. Inilah corak kekuasaan biadab atas nama

agama. Oudat menulis: “Ia [Iran] menyebut Suria sebagai perluasan dari tanahnya sendiri dan

sekaligus memanfaatkan konflik itu untuk mendorong posisi tawar yang keras dalam

pembicaraan nuklirnya dengan pihak Barat.” Di sini definisi kepentingan nasional tidak ada lagi

kaitannya dengan prinsip-prinsip moral Islam. Pada kutup lain Saudi Arabia merasa ringan saja

bekerja sama dengan Israel dalam menghadapi Iran. Teologi sunni-syi’ah sama-sama

dieksploitasi semata-mata bagi tujuan kekuasaan duniawi.

Apa yang disebut bangunan solidaritas Arab sudah lama runtuh. Rezim al-Assad yang

Arab, tetapi brutal itu, merasa lebih nyaman berdampingan dengan Iran, demi kelangsungan

kekuasaannya. Pergolakan rakyat yang semula damai untuk menuntut kebebasan telah berubah

Page 12: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

menjadi konflik bersenjata yang tidak jelas ujung-pangkalnya. Kota-kota di seluruh negeri yang

nahas itu telah hampir rata dengan tanah.

Di awal kolomnya, Oudat  menulis: “Meskipun merupakan salah satu tragedi

kemanusiaan terburuk di abad ini, krisis Suria tampaknya telah terjerembab melalui keretakan

diplomasi internasional. Dielakkan oleh Amerika, disabotase oleh Rusia, dan dizalimi oleh Iran,

negeri itu telah jadi korban rezim brutal, milisia sektarian, pasukan upahan dan kelompok jihadis

dalam berbagai aliran, dan menjadi mangsa diplomasi pura-pura tetapi tidak ada pengaruhnya…

Ia [krisis Suria] telah jadi sumber keuntungan bagi kelompok jihad global, peluang politik bagi

Teheran dan Moskow, dan kutukan bagi rakyat jelata.” Perang saudara selama empat setengah

tahun ini telah merenggut ratusan ribu nyawa, ratusan ribu jadi pengungsi dengan segala

penderitaan dalam perjalanan ke berbagai negara. Presiden Bashar al-Assad dengan dukungan

Tehran dan Moskwa tampaknya rela melihat Suria jadi puing perang daripada berdamai dengan

lawan-lawan politik domestiknya.

Omar Kosh, peneliti oposisi Suria berkata: “Tampaknya Amerika, Rusia, dan Iran punya

satu persamaan: syahwat untuk menghancurkan Suria.” Tambahan lagi bagi Amerika, dengan

hancurnya Suria, Israel pasti akan mendapatkan keuntungan yang besar. Saya hampir kehabisan

kosa-kata untuk menggambarkan tentang betapa moral internasional, termasuk dunia Islam, telah

tiarap dalam mengatasi krisis kemanusiaan yang sedang diderita rakyat Suria. Memang Amerika

masih mengirim bom untuk menghancurkan kekuatan ISIS, tetapi tidak berbuat apa-apa untuk

menurunkan rezim brutal al-Assad yang telah membawa negeri itu bertekuk lutut k epadanya

yang dulu telah dimulai oleh bapaknya Hafez al-Assad yang sama kejamnya dengan

menggunakan Partai Baath Suria sebagai kekuatan penindas. Sekarang seluruh kota Suria telah

binasa, masa depan rakyatnya gelap-gulita, sementara dunia membisu membiarkan drama maut

ini berlangsung terus. Ya, Allah, mohon tampakkan keberpihakan Engkau untuk menolong

hamba-hambaMu yang menjadi korban para elite yang mabuk dunia dan gila kekuasaan. Rakyat

Suria dibiarkan sendiri menanggulangi nasibnya dalam kepungan penderitaan yang nyaris tanpa

batas. Oleh sebab itu, ya Allah, dengarlah jeritan tangis mereka, karena Engkau Maha

Mendengar dan Maha Mengetahui!

Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/217/kepingan-neraka-di-surga

Page 13: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan Radikalisme (I)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Institut Leimena pimpinan Jakob Tobing sangat bergiat mengadakan berbagai pertemuan,

diskusi, dialog, simposium, dan yang sejenis itu tentang masalah-masalah yang berakaitan

dengan agama, kebudayaan, pilantropi, dan sebagainya. Institut ini punya jaringan luas dengan

lembaga-lembaga luar negeri, khususnya Amerika Serikat. Saya sering diundang untuk berbicara

dalam forum institut ini.

Demikianlah pada 4 Oktober 2015, bertempat di Hotel Phoenix Yogyakarta, diadakan

dialog dengan topik: “Indonesia’s Civilizational Heritage: Assett to Promote Religious Freedom

and Tolerance, and to Counter Religious Radicalism” (Warisan Peradaban Indonesia: Aset untuk

Mengembangkan Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan untuk Menjawab Radikalisme Agama).

Pengantar dialog diberikan oleh Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dengan pembicara

Romo Prof. Dr. Barnadus Soebroto Mardiatmadja, S.J. (Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara),

Prof. DR. M. Amin Abdullah (UIN Sunankalijaga), dan saya sendiri. Enam penanggap dari

Amerika Serikat dengan berbagai profesi adalah: David Melilli, Darrellyn Melilli, Howard F.

Ahmanson, Roberta G. Ahmanson, Paul Marshall, dan Ralph D. Veerman.

Diskusi terbatas di atas cukup intensif yang juga dihadiri oleh beberapa peserta lain dari

Indonesia. Berikut ini adalah terjemahan bebas dari makalah yang saya sampaikan  dengan

sedikit perubahan di sana-sini:

Untuk berbicara tentang kemerdekaan agama dan toleransi dalam peta agama-kultural di

Indonesia, kita perlu melacak sedikit latar belakang sejarah keagamaan yang meliputi era Hindu-

Buda, Islam, Kristen, sampai masa sekarang. Dengan pengatahuan yang sedikit memadai kita

akan tahu bahwa masalah kemerdekaan agama dan toleransi ternyata punya suatu raison de’tre

(alasan keberadaan) yang kuat sekali dalam kehidupan bangsa ini.

Adalah penyair-filosuf Majapahit Mpu Tantular yang membuat formulasi penting tentang

kemerdekaan agama dan toleransi sebagai fondasi filosofis Kerajaan Besar Hindu Majapahit

Page 14: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

(1293-1520) yang terletak di Jawa Timur itu. Frasa Bhinnêka tunggal ika (secara harfiah

bermakna “sekalipun beraneka, tetapi Satu”) berasal dari pengarang Jawa kuno itu. Terjemahan

modern  dalam bahasa Indonesia adalah “Persatuan dalam Keberagaman” (Unity in Diversity),

yang telah ditetapkan sebagai sasanti dan motto nasional resmi negara ini.

Sekalipun Mpu Tantular seorang penganut agama Budha, elite Majapahit sangat

menghormatinya. Berikut ini adalah kutipan terjemahan dari Kakawin Sutasoma karya Tantular

di dalamnya ungkapan Bhinnêka itu ditemukan, yaitu dalam canto 139 bait 5:

Disebutkan bahwa Budha yang kesohor dan Syiwa adalah dua hakekat yang berbeda.

Memang berbeda, tetapi mana mungkin untuk mengenal perbedaannya sambil lalu, karena

kebenaran Jina (Budha) dan kebenaran Syiwa adalah tunggal. Benar keduanya berbeda, tetapi

sama jenisnya, sebagaimana tidak ada dualitas dalam Kebenaran (Dharma).

Bait terakhir ini adalah terjemahan dari ungkapan bahasa Jawa kuno yang berbunyi:

“Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” (Lih. Soewito Santoso, Sutasoma, a Study in

Old Javanese Wajrayana. New Delhi: International Academy of Culture, 1975, hlm. 578). 

Doktrin Kebenaran Tunggal membuka pintu lebar-lebar bagi orang untuk memahami dan

melihat masing-masing agama dari sisi dan perspektif yang berbeda. Hal ini hanya mungkin jika

orang punya minda dan hati yang terbuka untuk berbagi dengan orang lain. Sikap mau

memonopoli kebenaran adalah hambatan nyata untuk berbagi dengan berbagai aliran keagamaan

yang ada. Peperangan yang meledak antara pemeluk agama harus dilihat dari sisi sikap yang mau

menang sendiri ini.

Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/220/kemerdekaan-agama-toleransi-dan-radikalisme-i

Page 15: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan Radikalisme di Indonesia (II)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dan, situasi akan semakin memburuk serta berbahaya pada saat politisi

menyalahgunakan agama untuk tujuan-tujuan pragmatisnya sendiri. Selama sikap semacam ini

berlanjut di kalangan mereka yang juga menyebut dirinya sebagai pemeluk agama, tidak ada

harapan bahwa perdamaian akan terwujud. Dengan frasa Bhinneka Tunggal Ika, Mpu Tantular

sebenarnya ingin menyaksikan bahwa antara penganut Hindu (khususnya Syiwa) dan penganut

Buddha dapat membina hidup bersama dengan damai dan serasi dalam kerajaan itu.

Bilamana pada akhirnya Kerajaan Majapahit runtuh, bukanlah disebabkan oleh konflik

agama antara penganut Hindu dan penganut Buddha, melainkan menurut catatan sarjana Prancis

Coedes karena sebab-sebab berikut. Pertama, munculnya Malaka sebagai pusat perdagangan dan

sebuah awal penyebaran Islam.

Kedua, pecahnya perang suksesi di kalangan elite puncak Majapahit. Dan, ketiga, adanya

upaya Cina di bawah pimpinan Kaisar Yung Lo untuk mengambil alih posisi Jawa sebagai yang

dipertuan di nusantara dan di semenanjung. (Lih. G Coedes, The Indianized States of Southeast

Asia, ed Oleh Walter F Vella, terj. Oleh Susan Brown Cowing. Honolulu: East-West Center

Press, 1968, hlm 241). Sekalipun Kerajaan Majapahit telah masuk ke museum sejarah, Bhinneka

Tunggal Ika rumusan Mpu Tantular bertahan sampai hari ini di Indonesia, sebagaimana telah

disebut di atas. Tidak ada masalah dalam menerima ciptaan sastrawan Buddha ini.

Kenyataannya, seluruh rakyat Indonesia telah menerima sasanti Bhinneka Tunggal Ika

sebagai warisan sejarahnya sendiri, sesuatu yang amat penting bagi pengembangan iklim

kemerdekaan agama, harmoni sosial, dan toleransi di negeri ini. Kemudian, kita tengok pula

kehadiran Islam dan agama Kristen di kepulauan ini beberapa abad silam. Saat kedatangan kedua

agama ini, akar-akar sosiokultural Hindu-Buddha masih sangat kuat, dan bahkan perilaku rakyat

umum masih dipengaruhi oleh nilai-nilai agama kosmopolitan asal India ini.

Page 16: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Diperlukan waktu beberapa abad bagi Islam dan Kristen untuk menggantikan posisi

dominan Hinduisme dan Buddhisme di nusantara. Islam, khususnya, sejak abad ke-17, telah

tampil sebagai agama yang sangat berpengaruh di kawasan ini. Keberhasilan besarnya bukan

diraih melalui peperangan, melainkan “melalui perembesan damai, toleran, dan bersifat

membangun” (penetration pacifique, tolerant, et constructive), sebagai disimpulkan oleh

Yosselin de Yong.

Berdasarkan gejala sosial ini, watak utama Islam Indonesia dengan sendirinya bersifat

damai dan toleran, sampai suatu ketika belum lama ini muncul kelompok sempalan kecil dengan

topangan ideologi radikal dari luar negeri sebagai filsafat politik yang dianutnya untuk

melakukan tindakan-tindakan brutal dan kejam. Dalam kasus semacam ini, agama pastilah

merupakan bahaya dan kutukan bagi kehidupan manusia. Kemudian, kita lihat pula agama

Kristen dan persandingannya dengan Islam dalam masalah toleransi dan perdamaian. Dengan

mengesampingkan sisi imperialistik dari penganut Kristen Eropa, agama Kristen sendiri adalah

agama perdamaian, toleransi, dan harmoni.

Pernyataan Yesus dalam Bibel berikut ini, “Anda telah dengar dan dikatakan bahwa

Kamu harus mencintai tetanggamu dan membenci musuhmu. Tetapi aku katakan kepadamu,

Cintailah musuhmu, sayangilah orang yang mengutukmu, berbuat baiklah kepada orang yang

membencimu, dan doakanlah mereka yang memanfaatkanmu dengan dengki dan yang

menganiayamu.” (Matteus 5:43-44) adalah salah satu bukti teologis bahwa agama Kristen pada

dasarnya adalah sebuah agama kasih dan damai.

Sama halnya dengan Islam. Islam menurut definisi berarti damai dan sikap penyerahan

diri secara total kepada Tuhan. Alquran sebagai sumber utama Islam dalam sebuah ayat

menegaskan, “Tidak ada paksaan dalam beragama.” (QS al-Baqarah [2]: 256). Sepanjang

pengetahuan saya, tidak ada satu pun Kitab Suci sepanjang sejarah peradaban manusia yang

demikian gamblang membela prinsip kebebasan beragama.

Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/222/kemerdekaan-agama-toleransi-dan-radikalisme-

di-indonesia-ii

Page 17: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Kapan Bangsa Ini Dewasa?

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sekalipun embrio pembentukan keindonesian dapat dilacak sejak abad ke-5 M dengan

munculnya kerajaan-kerajaan Hindu di Kutai Kertanegara atau Tarumanegara di Jawa Barat,

proses riil yang didukung oleh fakta sejarah baru terjadi pada 1920-an. Dipelopori oleh PI

(Perhimpunan Indonesia) di Negeri Belanda dan gerakan pemuda di tanahair yang berpuncak

dengan Deklarasi Sumpah Pemuda pada 1928, Indonesia sebagai bangsa menemukan

momentumnya yang strategis dan dinamis. Ungkapan seperti bangsa Jawa, bangsa Ambon,

bangsa Banjar, bangsa Minang, bangsa Bugis, bangsa Dayak, bangsa Batak, bangsa Aceh, dan

lain-lain, dengan terwujudnya Indonesia sebagai bangsa, maka bangsa-bangsa yang banyak itu

menjadi suku bangsa yang jumlahnya bisa ratusan dengan subkulturnya masing-masing yang

bertebaran di pulau-pulau yang jumlahnya sekarang sekitar 13466.

Jika patokan tahun 1920-an sebagai pembentukan keindonesiaan dapat disetujui, maka

usia bangsa ini masih belum satu abad, sedangkan Indonesia sebagai negara baru terjadi pada 17

Agustus 1945, saat proklamasi kemerdekaan disampaikan ke seluruh pojok dunia. Alangkah

dahsyatnya gema proklamasi itu, bangsa yang sebelumnya terjajah, tiba-tiba berubah menjadi

bangsa merdeka. Peta dunia berubah dengan drastis. Indonesia yang sebelumnya bernama Hindia

Timur Belanda, kini tampil sebagai Indonesia yang berdaulat penuh sejajar dengan mantan

penjajahnya. Rakyat Indonesia berpesta pora sebagai tanda syukur atas karunia Allah ini,

sedangkan Belanda dengan ambisi kolonialnya yang masih menggebu harus meratap akibat

kehilangan tanah jajahannya yang cantik molek ini yang selama tiga setengah tahun berada di

bawah pendudukan Jepang.

Sebuah bangsa yang belum berumur satu abad, sekalipun secara kultural memang belum

stabil betul, tidak ada alasan bagi kita terus cengengesan (seperti prilaku bocah). Jika tonggak

kedewasaan bangsa ini tercermin dalam Pemilu 1955 yang aman, damai, adil, dan jujur,

sekalipun baru merdeka 10 tahun, maka sekarang terasa kita mengalami kemunduran dalam cara

kita mengurus bangsa dan negara ini. Di ranah politik kemunduran itu terbaca dalam prilaku

Page 18: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

politisi yang belum juga naik kelas ke posisi negarawan, sebagai berulang saya tulis dalam

Resonansi ini.

Sepinya para negarawan ini adalah bencana bagi Indonesia, karena tujuan kemerdekaan

berupa tegaknya keadilan dan terwujudnya kemakmuran bersama masih jauh berada di ujung

lorong sana. Amat sedikit politisi yang berfikir jauh ke depan. Lorong itu cukup panjang untuk

dilalui, sementara para pemimpin formal seperti telah kehilangan kepekaan tentang tujuan

kemerdekaan bangsa itu. Tengoklah sudah berapa mantan menteri, gubernur, bupati/wali kota,

anggota DPR/DPRD yang telah manjadi pasien KPK karena prilaku korup mereka. Korupsi yang

semakin memiskinkan rakyat banyak itu adalah musuh utama dari cita-cita luhur kemerdekaan.

Aneh bin ajaib, proses pelemahan KPK sebagai salah satu anak kandung gerakan

reformasi oleh negara, polri,  dan DPR sugguh sangat melukai perasaan publik yang terkesan

bahwa korupsi yang masif itu bukan lagi musuh bersama. Terkait rapat dengan budaya korup ini,

mafia migas, mafia pertambangan, mafia hukum, mafia rekrutmen apparat negara dan PNS

(Pegawai Negeri Sipil), mafia STNK, dan mafia pada banyak sektor yang lain sampai hari ini

belum juga surut. Entah berapa ribu triliun pundi-pundi negara digarong oleh perbuatan hitam

mafia ini. Pusat-pusat korupsi ada di kementerian, DPR, parpol, BUMN/BUMD, dan pada

banyak lembaga. Semua fenomena ini adalah bukti kongkret bahwa bangsa ini secara moral tidak

dewasa, jika parameter kedewasaan itu ditandai oleh rasa tanggung jawab yang besar terhadap

kepentingan publik yang masih saja terbiar.

Pada 17 Agustus 2015 bulan depan, usia kemerdekaan bangsa ini akan genap 70 tahun,

sebuah usia yang semestinya semakin matang dalam cara kita mengurus dan membela bangsa

dan negara ini. Keteledoran kita dalam menangani persoalan bangsa ini hanyalah akan

memperpanjang derita mereka yang belum juga merasakan makna kemerdekaan bagi nasib

mereka yang belum kunjung membaik. Momentum hari kemerdekaan adalah saat yang tepat

untuk mempertajam kepekaan nurani kita terhadap nasib sesama anak bangsa yang masih saja

berada di pinggir perhatian. Fenomena cengengesan adalah pertanda ketidakdewasaan itu.

Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/212/kapan-bangsa-ini-dewasa

Page 19: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Moral Bangsa dalam Situasi SOS

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

SOS singkatan dari save our souls, save our ship, send out succour (selamatkan jiwa

kami, selamatkan kapal kami, kirimlah bala bantuan) pertama kali dipakai oleh pemerintah

Jerman dalam regulasi radio yang mulai efektif 1 April 1905. Pada 3 Nop. 1906 ditandatangani

sebagai standar yang diikuti oleh banyak negara di bawah Konvensi Radiotelegrafik

Internasional yang efektif pada 1 Juli 1908. SOS masih tetap menjadi tanda bahaya radio maritim

sampai tahun 1999, saat digantikan oleh Tanda Bahaya Maritim Global dan Sistem

Penyelamatan (the Global Maritime Distress and Safely System). Tetapi SOS masih tetap saja

diakui sebagai sinyal tanda bahaya kasat mata sampai hari ini. Nah, bagaimana dengan moral

bangsa yang berada dalam situasi SOS yang terlihat di berbagai ranah kehidupan?

Definisi mana pun yang anda gunakan, SOS adalah tanda bahaya yang dapat dilihat oleh

kasat mata dalam kehidupan bangsa ini. Yang paling gaduh sekarang ini adalah ancaman beras

plastik yang merebak di berbagai daerah. Tega-teganya pedagang menjual beras yang

mengandung bahaya itu kepada pembeli. Karena redupnya pertimbangan moral demi meraut

keuntungan sesaat, maka nyawa manusia sudah dianggap ringan. Itu baru beras sintetik yang

ketahuan dalam beberapa hari ini. Jika bahaya narkoba dan HIV/AIDS yang sudah merenggut

nyawa ribuan anak bangsa saban hari plus korupsi yang belum tampak titik ujung

pemberantasannya, maka tingkat SOS bagi bangsa ini sudah hampir berada pada stadium

keempat jika ditengok dari sisi moral dan kesehatan.

Di tengah suasana moral yang sedang oleng itu, kebanyakan politisi kita tidak mau hirau

dengan bahaya itu semua. Saya ragu apakah mereka itu sempat memikirkan nasib bangsa ini

secara sungguh-sungguh dengan pandangan yang jauh ke depan. Perhatian mereka tampaknya

tetap saja terpaku dan terpukau oleh rencana Pemilukada akhir tahun ini. Ancang-ancang

langkah politik terpusat kepada pemilu yang dibiayai oleh APBN/APBD dengan pengeluaran

negara ratusan bahkan bisa mencapai ribuan miliar. Alangkah mahalnya ongkos pelaksanaan

demokrasi di negeri ini dengan hasil yang nyaris tidak ada kaitannya dengan tingkat

Page 20: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

kesejahteraan rakyat. Orang boleh berdalih, demokrasi jilid II kita baru dimulai sejak era

reformasi, masih memerlukan waktu agar lebih matang dan berdaya guna untuk mendekati

tujuan kemerdekaan. Tidak salah cara berfikir yang semacam itu, tetapi proses kematangannya

bisa dipercepat sekiranya para politisi mau naik kelas menjadi negarawan. Kesediaan untuk naik

kelas itulah yang belum tampak tanda-tandanya sampai hari ini.

Benar bahwa gerakan reformasilah yang membuka kembali kran demokrasi setelah

menghilang sejak 1959, tetapi jika kita buka dokumen sejarah pergerakan kebangsaan kita,

nasionalisme tidak dapat dipisahkan dari cita-cita demokrasi. Sebentar lagi usia negara ini akan

mencapai 70 tahun, mengapa demokrasi Indonesia masih berjalan tertatih-tatih? Saya tidak

setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa untuk menciptakan sebuah demokrasi yang

sehat dan kuat memerlukan waktu berabad-abad. Jika kita ikuti pendapat Bung Hatta, syarat bagi

demokrasi yang sehat itu sebenarnya tidak rumit amat, yaitu adanya rasa tanggung jawab dan

berlapang dada menghadapi perbedaan.

Yang saya cemaskan adalah di tengah-tengah suasana moral yang sudah berada pada

tingkat SOS itu, demokrasi kita semakin tidak jelas arahnya. Begitu gampangnya elite parpol

berpecah-belah tanpa alasan yang mendasar. Jika dulu pertentangan antara Tan Malaka dengan

lawan-lawan politiknya dalam PKI dapat difahami. Tan Malaka menentang pemberontakan

komunis 1926/27 itu, karena syarat-syaratnya untuk berhasil adalah nol. Bagi Tan Malaka

pemberontakan itu sama saja dengan bunuh diri. Dan perkiraan Tan Malaka sepenuhnya

didukung kenyataan sejarah: PKI berantakan. Cobalah bandingkan dengan perpecahan partai

yang berlaku sekarang ini, pasti tidak lepas dari hitung-hitungan politik jangka pendek. Tidak

ada ideologi yang mendasarinya. Yang ada pastilah pragmatisme politik tunamoral.

Akhirnya, ada pertanyaan kunci yang tidak dapat saya jawab: mengapa agama dan

Pancasila gagal memperbaiki moral bangsa ini? Antahlah yuang!

Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/195/moral-bangsa-dalam-situasi-sos

Page 21: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Quo Vadis Peradaban Islam? (I)Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Titik-titik genting dalam perjalanan peradaban Islam telah terjadi ratusan kali selama masa yang

panjang. “Resonansi” kali ini tidak akan mengulas tentang hal itu, tetapi akan membicarakan masalah

yang tidak kurang gentingnya dalam bentuk pertanyaan: Quo vadis (hendak ke mana) peradaban Islam?

Jika ukuran yang dipakai adalah kemegahan duniawi yang ditopang oleh kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang semakin dahsyat dari masa ke masa, maka tanpa wahyu pun manusia

bisa mewujudkan sebuah peradaban yang tinggi dan berwibawa. Lihatlah apa yang sedang berlaku di

Barat, Jepang, dan Korea yang membangun peradaban duniawi tanpa hirau dengan wahyu.

Ini adalah bukti empiris yang tak terbantahkan dari pernyataan kalimat kedua “Resonansi” ini.

Dunia Islam yang “mengaku” percaya kepada wahyu sebagai fondasi dan jangkar spiritual bagi bangunan

peradaban malah tersingkir dalam ketidakberdayaan dan putus asa. Munculnya fenomena ISIS dan Boko

Haram yang berkoar-koar atas nama wahyu dan menggoda sebagian anak muda yang frustrasi adalah

bentuk ekstrem dari ketidakberdayaan dan kehilangan orientasi masa depan itu.

Jangan salahkan kaum Zionis yang bersorak-sorai menonton pertunjukan manusia Muslim yang

kehilangan arah ini. Semakin rapuh dunia Islam, semakin kuat posisi zionisme, sekalipun ideologi ini

adalah rasialis yang antikemanusiaan. Didukung dengan dolar dan senjata oleh Amerika Serikat, Israel

Zionis sebenarnya adalah kanker politik di kawasan Asia Barat Daya dan Afrika Utara.

Ajaibnya, bangsa-bangsa Muslim yang sering bersengketa di kawasan itu tidak malu-malu

berkawan dengan negara kanker ini. Iran dan Arab Saudi yang sedang berebut hegemoni di sana secara

bergantian telah dan sedang melakukan perkawanan akrobatik itu demi pragmatisme politik jangka

pendek untuk keuntungan sesaat. Fenomena serupa ini berkali-kali berlaku dalam berbagai periode

sejarah Islam, tetapi diulangi lagi dan lagi.

Adapun bayangan kelumpuhan masa depan akibat pragmatisme itu tidak lagi singgah di benak

para elite Muslim di kawasan itu dan bahkan juga terlihat di berbagai belahan dunia yang lain. Sungguh

sulit menyadarkan elite umat ini tentang bahaya prilaku sesat ini.

Page 22: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Para ulama pun sibuk dengan ajaran-ajaran normatif yang tergantung tinggi di langit, sedangkan

massa Muslim yang berserakan terkapar di muka bumi. Mereka kehilangan kompas dan sebagian besar

hidup dalam lautan kemiskinan dan kesengsaraan. Pesan keras Alquran berupa, “Agar harta itu tidak

hanya berputar di kalangan hartawan di antara kamu,” (surat al-Hasyr ayat 7) sudah dianggap angin lalu

saja oleh bangsa-bangsa kaya di kalangan umat Islam yang suka sekali bersengketa.

Jika kita bertanya kepada Alquran tentang perilaku Muslim yang merasa benar di jalan yang sesat

ini, jawaban yang akan diberikan mungkin sebagai berikut. “Dan janganlah kamu bertingkai-pangkai

(bermusuhan satu sama lain) karena kamu akan menjadi lemah dan kekuatanmu akan sirna,” (terjemahan

sebagian ayat 46 surat al-Anfal). Kerapuhan internal inilah sebagai penyebab utama mengapa bangsa-

bangsa Muslim menjadi mainan pihak lain. Peringatan Alquran ini sangat jelas tanpa perlu penafsiran

yang berliku: tinggalkan sengketa karena ujungnya adalah kelumpuhan lahir batin atau menjadi keok

dalam perlombaan peradaban.

Peringatan lain kepada orang beriman yang tidak kurang kerasnya terbaca dalam ayat 105 surat

Ali Imran yang artinya, “Dan janganlah kamu (orang beriman) seperti mereka yang telah berpecah-belah

dan bersilang-sengketa sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan. Dan bagi mereka siksa

yang dahsyat.” Persis apa yang sedang berlaku sekarang di dunia Islam berupa perpecahan dan sengketa

yang tak habis-habisnya atas nama nasionalisme atau atas nama apa saja yang tidak ada harganya di mata

Alquran.

Akibatnya dijelaskan oleh ayat: perpecahan dan sengketa di kalangan umat beriman pasti

mengundang siksa yang dahsyat. Semoga kita belum sampai di situ! Peradaban Islam memang sedang

berada dalam suasana letih, sementara aktor-aktornya punya hobi menari di atas mayat temannya sendiri.

Alangkah kumuh dan nistanya pertunjukan semacam ini.

Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/188/quo-vadis-peradaban-islam-i

Page 23: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Quo Vadis Peradaban Islam? (II)Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Jika kita perhatikan menusia beriman yang tawaf mengelilingi Kabah sepanjang jam, siang malam tanpa

henti, sepanjang tahun, batin kita merasa bahagia betapa damainya umat Islam yang datang dari berbagai

bangsa dan kawasan itu. Tetapi, tuan dan puan kemudian harus mengelus dada bahwa perdamaian itu

hanya berlaku saat berada di dekat Kabah.

Setelah pulang ke tanah air masing-masing, umat yang tawaf itu kembali lagi dimainkan oleh para elite

bangsanya masing-masing. Sentuhan Kabah sebagai pusat spiritual dunia Islam sirna begitu saja, sikap

khusyuk ketika tawaf mengitari Kabah hilang tak berbekas setelah kembali ke lingkungan kultur masing-

masing yang telah tercemar. Maka, quo vadis peradaban Islam?

Lalu, apa jalan keluarnya? Resepnya sederhana saja. Pertama, tinggalkan dan tanggalkan atribut-atribut

ciptaan sejarah sebagai buah dari perebutan kekuasaan di kalangan Muslim Arab klasik yang melahirkan

sunnisme, syiisme, kharijisme, dan cicit-cititnya yang telah berkubang dalam sengketa dan perpecahan

pada bilangan kurun yang panjang.

Kedua, ajarkan pesan dua ayat di atas dan ayat-ayat lain yang senada kepada anak didik tingkat dasar dan

menengah bahwa persengketaan dan perpecahan di kalangan orang beriman adalah pengkhianatan

terhadap Alquran. Bagi saya, sunnisme, syiisme, dan kharijisme sebagai produk politik kekuasaan harus

ditumbangkan, diganti dengan sebuah Islam yang setia kepada Alquran dan kepada kenabian: Islam yang

sejati. Jika otak kita bersih dan hati kita bening, saya tidak melihat kesulitan apa pun untuk melangkah ke

jurusan yang benar itu.

Tanpa terciptanya sikap radikal dan revolusioner semacam ini, peradaban Islam yang adil dan asri yang

sering diimpikan dan diwacanakan itu sebagai antitesis terhadap peradaban sekuler dan ateistik yang

menyesakkan napas sekarang ini tidak akan pernah turun ke bumi kenyataan. Atau kita mohon saja

kepada Allah agar generasi kita yang gagal ini diganti dengan generasi lain yang tidak bahlul seperti kita.

Bukan mengada-ada kemungkinan ganti generasi ini. Alquran memberi isyarat untuk itu, seperti terbaca

pada potongan ayat 38 dalam surat Muhammad (47) yang artinya, “Dan jika kamu berpaling, Allah akan

menggantikan kamu dengan kaum yang lain selain kamu, kemudian mereka tidak seperti kamu (yang

gagal).”

Page 24: Kumpulan Tulisan Buya Syafii

Isyarat semacam ini semestinya menjadi cambuk bagi kita yang hidup sekarang ini untuk mengoreksi diri

secara jujur, terbuka, dan tulus. Dengan cara ini kita akan menjadi sadar bahwa kelakuan menyimpang

atas nama golongan, mazhab, dan aliran yang merusak persaudaraan kita selama ini harus diluruskan dan

dibetulkan secara berani dengan menjadikan Alquran sebagai hakim tertinggi. Buang jauh-jauh

subjektivisme latar belakang yang memicu sengketa, permusuhan, dan gesekan sesama kita sekian ratus

tahun yang tidak lain selain berawal dari kultur rebut kuasa duniawi.

Kemungkinan membangun peradaban bersendikan wahyu sangat terbuka. Manusia modern yang tengah

putus tali jangkar transendentalnya tidak semakin bahagia. Bahkan sedang bergerak ke arah hari-kiri yang

mencemaskan. Kearifan global telah lama sirna. Manusia sebagai homo sapiens belum kunjung muncul di

kalangan orang yang mengaku beragama ataupun yang tidak beragama.

AJ Toynbee dengan sangat menarik menulis tentang sosok homo sapiens ini. “Kita telah memilih label

untuk jenis kita, bukan homo faber, manusia si teknisi, tetapi homo sapiens, manusia si bijak. Kita belum

layak menyandang gelar kehormatan homo sapiens itu. Sebegitu jauh, kearifan yang kita tunjukkan dalam

mengawasi diri kita dan dalam mengatur hubungan antara satu sama lain, sedikit sekali. Sekiranya kita

berhasil bertahan hidup bersama revolusi teknologi sekarang ini, pada akhirnya bolehlah kita menjadi

homo sapiens dalam hakikat dan dalam nama.” (Lihat AJ Toynbee, Surviving the Future. New York-

London: Oxford University Press, 1973, halaman 44).

Sejarawan Inggris ini bersikap skeptik dengan arus modernitas yang dangkal dan sepi dari dimensi

spiritualitas. Modernitas, tulis yang lain, telah menindas gagasan besar tentang Tuhan selama ratusan

tahun. (Redaksinya tidak persis, tetapi kandungannya sama). Pertanyaannya adalah, kapan lagi umat yang

mengaku beriman dan berimam kepada nabi dan rasul yang bertugas menebarkan “rahmat bagi alam

semesta” (QS surat al-Anbiya: 107) mau bangkit dari tidur nyenyaknya selama sekian abad?

Tipe manusia homo sapiens semestinya lahir dari rahim mereka yang punya klaim serbabesar dan dahsyat

dalam sejarah. Pertanyaan quo vadis peradaban Islam harus diganti dengan pernyataan: ini kami datang

dengan peradaban baru yang segar dan adil buat semua, di dalamnya bumi dan langit telah berdamai

dalam sebuah keseimbangan yang rapi dan elok. Allahu alam.

Sumber : http://maarifinstitute.org/id/opini/189/quo-vadis-peradaban-islam-ii