kti febrian eka septa
DESCRIPTION
hhahahahaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Karsinoma tiroid jarang terjadi, dilaporkan hanya 1,5% dari keganasan seluruhtubuh. Biasanya menunjukkan keganasan sistem endokrin. Kebanyakan karsinoma tiroid merupakan lesi well differentiated. Subtipe mayor karsinoma tiroid yang sering ditemukan yaitu :• Karsinoma papiler (75%-85% kasus)• Karsinoma folikular (10%-29%
1
2
kasus)• Karsinoma meduler (5% kasus)• Karsinoma anaplastik (<5% kasus)2,3
Kusta adalah penyakit infeksi kronik dan menular. Penyakit kusta disebut
juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.
Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut
Morbus Hansen. Penyakit ini di sebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae,
biasanya kronis, terutama menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan atas,
system retikuloendotelial, mata, otot, tulang, testis dan saraf. Tidak ada penyakit
infeksi lain selain penyakit kusta yang dapat menandingi keanekaragaman
gambaran klinik baik dari lesi kulit maupun lesi saraf sehingga penyakit kusta
disebut “The greatest imitator”.(13)
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di Negara yang berkembang, dan
sebagian penderitanya adalah golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat
keterbatasan kemampuan Negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang
memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan social ekonomi pada
masyarakat.(10)
Salah satu penyebab kecacatan pada kusta adalah reaksi kusta. Reaksi kusta
dianggap sebagai kelaziman pada perjalanan penyakit kusta namun jika tidak
ditangani dengan baik dapat menimbulkan komplikasi dan berakhir pada
kecacatan kusta.(11)
Pada reaksi kusta ini dapat terjadi pada pasien sebelum mendapat
pengobatan, selama pengobatan, dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi
pada 6 bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan dan terjadi karena
peningkatan hebat respon imun seluler secara tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya
respon radang pada daerah kulit dan saraf yang terkena penyakit ini. (1,3,4,11)
Pada reaksi tipe 1 sering terjadi pada tipe PB maupun MB. Reaksi tipe 1
terjadi akibat meningkatnya respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman
kusta dikulit dan saraf penderita.(11)
3
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ditelah dikemukakan di atas, maka
rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana gambaran Penderita Kusta
reaksi tipe 1 di Rumah Sakit kusta Pulo Sicanang Belawan Sumatera Utara dari
tahun 2008 sampai dengan tahun 2013.
1.3. Tujuan Penelitian
A. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana gambaran Penderita Kusta reaksi tipe 1 di
Rumah Sakit kusta Pulo Sicanang Belawan Sumatera Utara.
B. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta reaksi tipe 1 berdasarkan usia.
2. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta reaksi tipe 1 berdasarkan jenis
kelamin.
3. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta reaksi tipe 1 berdasarkan suku.
4. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta reaksi tipe 1 berdasarkan lama
menderita.
5. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta reaksi tipe 1 berdasarkan lama
pengobatan.
1.4. Manfaat Penelitian
A. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti mengenai
gambaran penderita Kusta reaksi tipe 1 di Rumah Sakit kusta Pulo Sicanang
Belawan Sumatera Utara.
B. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk rumah
sakit mengenai gambaran penderita Kusta reaksi tipe 1.
C. Bagi Pembaca
4
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai
gambaran penderita Kusta reaksi tipe 1 di Rumah Sakit Kusta Pulo Sicanang
Belawan Sumatera Utara dan dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kusta
2.1.1. Defenisi
Penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae(M.
leprae) bersifat interselular obligat, yang pertama kali menyerang susunan saraf
tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan
bagian atas, sistem retikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis.(1,3,7,10,14)
5
2.1.2. Epidemiologi
Penyebaran kusta dari suatu benua, negeri dan tempat lain tersebar sampai
ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang yang telah
terkena penyakit tersebut. Masuknya kusta ke Indonesia diperkirakan dibawa oleh
orang-orang cina.(13)
Menurut WHO weekly epidemiological report mengenai kusta tahun 2010,
prevalensi tertinggi penyakit kusta terdapat di India, dengan jumlah penderita
sebanyak 87.190 jiwa pada tahun 2009. Peringkat kedua terdapat di Brazil,
dengan jumlah penderita 38.179 jiwa pada tahun 2009. Indonesia sendiri berada di
peringkat ketiga dengan jumlah penderita sebanyak 21.026 jiwa pada tahun 2009. (13)
Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2009 terdapat 17.260 kasus
baru di Indonesia, dengan 14.277 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe
Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. (13)
Penderita kusta pada tahun 2009 di Rumah Sakit Kusta Sicanang yang
merupakan unit pelayanan terpadu untuk penyakit kusta di Sumatera Utara
terdapat kasus sebesar 63 orang. (11,13)
Distribusi penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Pria lebih sering
terkena dibandingkan wanita dengan perbandingan 2:1. Pada usia sering terdapat
pada kelompok berusia antara 25-35 tahun. Sering mengenai ras Asia dan Afrika
dan Lingkungan dan tingkat social ekonomi yang rendah.(10,11,13)
2.1.3. Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga
dapat dibiakkan dalam media artificial.(1,6,7,14)
2.1.3.1. Morfologi
Berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi parallel dengan kedua ujung
bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil berbentuk batang gram positif, tidak
bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai bentuk kelompok,
termasuk massa irregular besar yang disebut sebagai globi. Dengan mikroskop
6
electron, tampak Mycobacterium leprae mempunyai 2 lapisan yakni lapisan
peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisakarida
dan kompleks protein lipopolisakarida pada bagian luar. (1,2,6,7)
2.1.4. Patogenesis
M.leprae sebagai mikroorganisme penyebab lepra masuk kedalam tubuh
melalui kontak langsung. Pengaruh infeksi M.leprae tergantung imunitas
seseorang. M.leprae ini bersifat obligat intraseluler yang terutama pada sel
makrofag diseluruh pembuluh darah pada dermis dan sel schwann dijaringan
saraf. Bila M.leprae masuk maka tubuh akan mengeluarkan makrofag untuk
melakukan fagositosis.(2,13)
Pada tipe LL yang mengakibatkan kelumpuhan system imunitas seluler,
makrofag tidak mampu mengeluarkan basil sehingga basil dapat bermultiplikasi
dengan bebas sehingga dapat merusak jaringan.(13)
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi system imunitas seluler tinggi,
makrofag dapat menghancurkan basil, tapi setelah basil difagositosis, makrofag
akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang
bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan
terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf
dan jaringan lainnya.(13)
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae, disamping
itu sel scwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya
sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel scwann,
basil dapat bermigrasi dan beraktifasi. Akibatnya aktifasi regenerasi saraf
berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.(13)
2.1.5. Manifestasi klinik
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam tergantung dari tingkat
penyakit tersebut. Diagnosis penyakit kusta bias ditegakkan dengan tanda
klinisnya. Gejala dan keluahan penyakit bergantung pada:
1. Multiplikasi dan diseminasi kuman M.leprae.
7
2. Respon imun penderita terhadap kuman M.leprae.
3. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.(2)
Ada 3 tanda cardinal. Dimana salah satunya ada, tanda itu sudah cukup
untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta yakni:
1. Lesi kulit yang anestesi.
2. Penebalan saraf perifer.
3. Ditemukan M.leprae (bakteriologis positif).(2)
2.1.6. Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling
2.1.6.1 Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling(2,3,4,7,11,12,13)
2.1. Tabel klasifikasi gambaran klinis kusta menurut Ridley dan Jopling
Tipe Gejala klinis
Tipe
tuberkuloid -
tuberkuloid
Mengenai kulit maupun saraf. Lesi bias satu atau lebih, dapat
berupa makula, batas jelas pada bagian tengah yang didapatkan
lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan ditengah. Dan
disertai lesi satelit ditepinya. Gejala ini dapat disertai penebalan
saraf perifer, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal.
Tipe
borderline
tuberkuloid
Lesi menyerupai TT, gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit
atau skuama tidak jelas seperti tipe tuberkuloid. Gangguan saraf
perifer tidak berat.
Tipe
boderline–
borderline
Tipe ini yang paling tidak stabil dari semua spectrum penyakit
kusta. Tipe ini jarang dijumpai. Lesi berbentuk makula infiltrate.
Permukaan lesi mengkilat, batas kurang jelas dengan melebih
tipe BT dan cenderung simetrik. Bias didapatkan punched out
yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas
yang merupakan cirri khas tipe ini.
Tipe
borderline
Awalnya dimulai dengan makula dan dalam jumlah sedikt,
kemudian menyebar keseluruh tubuh. Makula lebih jelas dan
8
lepromatous lebih bervariasi bentuknya. Nodus berbatas lebih tegas dengan
distribusi lesi yang hampir simetrik dan beberapa nodus tampak
melekuk ditengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan
pinggir didalam infiltrate lebih jelas disbanding pinggir luarnya.
Tanda lain dapat berupa kerusakan saraf, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat, penebalan saraf yang dapat teraba pada
tempat predileksi dikulit.
Tipe
lepromatous-
lepromatous
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih
eritem, mengkilat, berbatas tidak tegas. Distribusi lesi lebih khas
yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga,
sedangkan dibadan mengenai bagian belakang yaitu punggung
tangan, lengan dan permukaan ekstensor tungkai bawah.
2.1.6.2. Menurut WHO, klasifikasi kusta dibagi menjadi:
1. Pausibasilar (PB)
Termasuk kusta tipe TT dan BT menurut criteria Ridley dan Jopling atau Tipe I
atau T menurut klasifikasi madrid dengan BTA negatif
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe BB, BL, dan LL menurut criteria Ridley dan Jopling atau
B dan L menurut madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif. (2,3,4,7,11,12,13)
2.1.6.3. Klasifikiasi kusta menurut Madrid :
1. Indeterminate (I)
2. Tuberkuloid (T)
3. Borderline (B)
4. Lepromatosa (L). (2,3,4,7,11,12,13)
9
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan
dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil
tahan asam, antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN.(1,2,3,4)
2. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan ini didasarkan atas terbentuknya antibody pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Macam- macam pemeriksaan serologic
kusta adalah :
1. Uji MLPA (mycobacterium leprae particle aglutination)
2. Uji ELISA (Enzyme linked immune sorbent assay)
3. ML dipstick (Mycobacterium leprae dipstick). (1,2,3,4)
2.1.8. Pengobatan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DSS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. Pada tahun 1998
WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative, yaitu
ofloksasin, minosiklin dan kalritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis
dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obat,
sedangkan multi drug treatment(MDT) untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971.(1,2,7,10,12)
2.2. Tabel obat antikusta(1,2,8,9)
Nama obat Dosis Efek samping
DDS (diaminodifenil
sulfon)
Dosis dasar DDS 1-2
mg/kg berat badan setiap
Nyeri kepala, anemia
hemolitik, leukopenia,
10
hari. insomnia, sindrom DDS,
hepatitis,
hipoalbuminemia.
Rifampisin Dosis dengan kombinasi
DSS 10 mg/kg berat setiap
hari atau setiap bulan.
Hepatotoksik, nefrotoksik,
gejala gastrointestinal,
erupsi kulit
Klofazimin Dosis antikusta adalah 50
mg/kg berat badan setiap
hari, atau 100 mg/kg berat
badan selang sehari, atau
3x100 mg setiap minggu.
Warna kecoklatan pada
kulit, warna kekuningan
pada sklera, pada dosis
yang lebih tinggi dapat
menyebabkan gangguan
gastrointestinal yakni
nyeri abdomen, diare,
anoreksia, dan nausea.
Selain itu dapat terjadi
penurunan berat badan.
2.1.9. Pencegahan
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil
penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar
kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi
faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga
penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan
kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara
teratur. (10)
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara
pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup
24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan
cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman
11
kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah
dan hindarkan tempat-tempat yang lembab.(10)
2.1.10. Prognosis
Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta apa yang diderita oleh
pasien, akses ke pelayanan kesehatan, dan penanganan awal yang diterima oleh
pasien.(13)
Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01-0,14 % per tahun dalam 10
tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap rifampisin.(13)
Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan pada pasien
kusta wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbulnya relaps
atau reaksi, terutama reaksi tipe 2.(13)
2.2. Reaksi Kusta
2.2.1. Definisi
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan
kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan(respons selular) atau
reaksi antigen-antibodi(respons humoral) dengan akibat merugikan pasien.(1,2,3,7)
2.2.2. Penyebab
Meskipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor
pencetus reaksi sudah diketahui jelas, namun penyebab pasti belum diketahui.
Kemungkinan reaksi ini menggambarkan episode hipersensitivitas akut terhadap
12
antigen basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah
ada.(3)
2.2.3. Faktor Pencetus
Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta,
antara lain :
1. Setelah pengobatan antikusta yang intensif
2. Infeksi rekuren
3. Pembedahan
4. Stres aktif
5. Imunisasi
6. Kehamilan.(3)
2.2.4. Pembagian Reaksi
2.2.4.1. Reaksi Tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi borderline)
Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebalan
selular secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah Pausy
basiler biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat
pengobatan dan terjadi karena peningkatan hebat respon imun seluler secara tiba –
tiba, mengakibatkan terjadinya respon radang pada daerah kulit dan saraf yang
terkena penyakit ini.(1,47,11)
Pada kenyataannya reaksi tipe 1 ini diartikan dengan reaksi reversal oleh
karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapat
pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena
13
berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak
mendapat pengobatan.(3)
Meskipun secara teoritis reaksi tipe 1 ini dapat terjadi pada semua bentuk
kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada
bentuk yang lain. Bentuk BB, apabila terjadi reaksi reversal akan berubah bentuk
BT dan akhirnya ke bentuk TTs, sedangkan bila terjadi down grading akan
berubah menjadi bentuk BL dan akhirnya ke bentuk LLs.(3)
2.2.4.2. Faktor pencetus
Tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat.(7)
2.2.4.3. Patofisiologi
Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat
terhadap kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan
dengan terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan yang diberikan. Antigen
yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai
perubahan imunitas seluler yang cepat, dasar reaksi kusta tipe 1 adalah adanya
perubahan keseimbangan antara imunitas seluler dan basil. Diduga kerusakan
jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap antigen
basil. Pada saat terjadi reaksi adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi
seperti TNF-a, IL-Ib. IL-6, IFN-y dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti
TGF-B dan IL-10 selama terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+
limfosit(Th-1) menyebabkan produksi IL-2 dan IFN-y meningkat sehingga dapat
terjadi lymphocytic infiltration pada kulit dan saraf/ IFN-y dan TNF-a
bertanggung jawab terhadap terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa
sakit dan kerusakan jaringan yang cepat.(12)
2.2.4.4. Gejala klinis
Gejala klinis reaksi tipe 1 berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan
pada saraf), dan / atau gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi). Pada
umumnya gejala pada kusta sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah
14
aktif dan atau timbul lesi dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat, dan lesi lama menjadi bertambah
luas. Adanya gejala neuritis akut sangat diperhatikan, karena sangat menentukan
pemberian pengobatan kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian
kortikosterodi adalah fakultatif. Kalau diperhatikan kembali reaksi reversal adalah
reaksi non nodular. Hal ini sangat penting untuk membantu menegakkan
diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus.(1,3,4,7,11,12,13)
2.1. Gambar penderita reaksi kusta tipe 1(15)
2.3. Tabel klasifikasi reaksi tipe 1(3,7,12)
Gejala Reaksi ringan Reaksi berat
Lesi kulit Tambah aktif, menebal
merah, teraba panas, dan
nyeri tekan. Makula yang
menebal dapat sampai
membentuk plaque.
Lesi membengkak sampai
ada yang pecah, merah,
teraba panas dan nyeri tekan.
Ada lesi kulit baru, tangan
dan kaki membengkak, serta
sendi-sendi sakit.
Saraf tepi Tidak ada neuritis (tidak ada
penebalan saraf dan gangguan
fungsi. Berlangsung kurang
Ada neuritis (nyeri tekan
dan/atau gangguan fungsi
misalnya kelemahan otot).
15
dari 6 minggu. Berlangsung lebih dari 6
minggu.
Kulit dan
saraf
Lesi yang telah ada akan
menjadi lebih eritematosa,
nyeri pada saraf berlangsung
kurang dari 6 minggu.
Lesi kulit yang eritematosa
diserta ulserasi atau edema
pada tangan atau kaki. Saraf
membesar, nyeri dan
fungsinya terganggu
berlangsung lebih dari 6
minggu.
Keadaan
umum
Tidak ada demam. Kadang-kadang ada demam.
2.2.4.5. Diagnosis Banding reaksi tipe 1
1. Relaps
Untuk kusta Pausibasilar, reaksi reversal seringkali dikelirukan sebagai
relaps. Kebanyakan penderita yang dicatat sebagai relaps sebenarnya adalah
reaksi reversal terlambat (late reversal reaction). Ini disebabkan karena tidak
adanya standard baku (gold standard) sebagai pembanding oleh karena mikro
organism-nya tidak dapat diisolasi.(4)
2.4. Tabel perbandingan antara kusta reaksi tipe 1 dengan relaps(4)
Gejala Reaksi tipe 1 Relaps
Interval Umumnya muncul selama
masa pengobatan atau pada
Umumnya sesudah interval 1
tahun. Biasanya muncul lama
16
kurun waktu 6 bulan sesudah
penghentian pengobatan.
sesudah pengobatan
dihentikan.
Timbulnya
gejala
Mendadak Pelan - pelan
Gangguan
system
Dapat disertai demam Tidak pernah disertai dengan
demam
Lesi lama Beberapa lesi atau seluruhnya
menjadi kemerahan mengkilat
dan bengkak.
Hanya pinggiran dari sebagian
lesi menunjukkan eritem dan
infiltrat.
Lesi baru Sangat sedikit lesi baru yang
muncul.
Beberapa lesi baru muncul.
Ulserasi Lesi sering pecah dan terjadi
ulserasi.
Jarang terjadi ulserasi
Penyembuhan Disertai dengan deskuamasi Tidak ada deskuamasi
Keterlibatan
saraf
Banyak sarafa dapat terlibat
dengan nyeri tekan dan
gangguan motoris.
Dapat terjadi hanya pada saraf
dan gangguan motoris muncul
perlahan – lahan.
2. Efek samping obat
Jarang terjadi dan umumnya disertai gatal dan hiperpigmentasi.(4)
3. Sepsis lokal
Tidak melibatkan bercak kusta. Umumnya terlokalisir pada sisi tubuh
tertentu dan penyebabnya jelas seperti luka atau gigitan serangga.(4)
2.2.4.6. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan laboratorium rutin.
2. Bila memungkinkan dapat dilakukan :
A. Pemeriksaan indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM)
B. Tes lepromin
C. Pemeriksaan histopatologik.(3)
17
2.2.4.7. Penanganan Reaksi Kusta
Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama ditujukan untuk :
1. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis
atau kontraktur.
2. Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan bila mengenai mata.
3. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas.
4. Mengatasi rasa nyeri.(3)
2.2.4.8. Pengobatan
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis
akut, obat pilihan pertamanya adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan
dengan beratnya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan
prednisone 40-60 mg sehari.kemudian diturunkan perlahan- lahan. Pengobatan
harus secepatnya supaya mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak.
Jarang terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang
terkena neuritis akut harus di istirahatkan. Analgetik dan sadiva kalau diperlukan
dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu
jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif terhadap
reaksi reversal. (1,3,7)
2.2.4.8.1 Pengobatan pada reaksi ringan
A. Istirahat, imobilisasi.
B. Aspirin : sebagai obat mengatasi nyeri dan sebagai antiradang. Dosis yang
dianjurkan antara 600 – 1200 mg diberikan tiap 4 jam, 4 sampai 6 kali sehari.
C. Klorokuin : kombinasi aspirin dan klorokuin dikatakan lebih baik khasiatnya
dibandingkan dengan pemberian tunggal. Dosis yang dianjurkan 3 kali 150 mg /
hari.
D. Pemberian analgetik dan sedative.
E. Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah.(3,7)
18
2.2.4.8.2. Pengobatan pada reaksi berat
A. Segera dirujuk ke rumah sakit untuk perawatan.
B. Untuk reaksi tipe 1 harus segera diberikan prednisone dalam dosis tunggal atau
terbagi.
C. Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah.(3,7)
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
19
Karakteristik Penderita :
Jenis Kelamin
Usia
Suku
Lama Menderita
Lama Pengobatan
Penderita Reaksi Kusta Tipe 1
Variabel independen Variabel dependen
3.2. Defenisi Operasional
1. Penderita kusta Reaksi Tipe 1
Penderita kusta reaksi tipe 1 adalah penderita kusta reaksi tipe 1 yang
didiagnosis memderita kusta berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan yang telah
dilakukan atau telah didiagnosa oleh dokter Rumah Sakit kusta Pulo Sicanang
Belawan Sumatera Utara serta telah di catat dalam rekam medis.
2. Usia
Usia adalah waktu hidup atau (sejak dilahirkan atau diadakan). Umur
responden yang terhitung adalah sejak lahir hingga ulang tahun terakhir.
3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah sifat jasmani yang membedakan dua makhluk sebagai
betina dan jantan atau wanita dan pria. Jenis kelamin dapat berpengaruh pada
penderita Kusta.
4. Suku
Ras atau etnik yang melekat pada diri penderita yang disesuai dengan yang
terdapat dalam rekam medik.
5. Lama Menderita
Lamanya penderita menderita penyakit kusta.
6. Lama pengobatan
Lamanya penderita mendapat pengobatan baik secara teratur atau tidak teratur.
20
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Rumah Sakit kusta Pulo Sicanang Belawan
Sumatera Utara.
4.2.2. Waktu penelitian
21
Waktu penelitian dimulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan
November tahun 2013.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita kusta reaksi tipe 1 di Rumah
Sakit kusta Pulo Sicanang Belawan Sumatera Utara tahun 2008 sampai dengan
tahun 2013.
4.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah semua data rekam medik Penderita Kusta
reaksi tipe 1 di Rumah Sakit kusta Pulo Sicanang Belawan Sumatera Utara dari
bulan Januari tahun 2008 sampai dengan bulan Juli tahun 2013.
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil data rekam medik penderita
kusta reaksi tipe 1 di Rumah Sakit kusta Pulo Sicanang Belawan Sumatera Utara
dari bulan Januari tahun 2008 sampai dengan bulan Juli tahun 2013.
4.5. Pengolahan Data
Pengolahan data hasil penelitian ini diinformasikan dengan menggunakan
langkah-langkah berikut:
Editing: untuk melengkapi kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian antara
kriteria yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.
Coding: untuk mengkuantifikasi data kualitatif atau membedakan aneka
karakter. Pemberian kode ini sangat diperlukan terutama dalam rangka
pengolahan data, baik secara manual maupun dengan menggunakan
komputer.
Tabulating: data yang terkumpul ditabulasikan dalam bentuk tabel.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Dr Adhi, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Dalam: A.kosasih,
I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007:73-88.
2. Harahap, Prof Dr Marwali. Ilmu Penyakit Kulit. Dalam: Prof Dr Muh. Dali
Amiruddin. Jakarta:Hipokrates, 2000.
3. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Kusta diagnosis dan Penatalaksanaan. Fakultas Kedokteran
Universitas indonesia.
23
4. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan. Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit
Kusta. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2007.
5. Rassner, Prof Dr. Buku Ajar dan Atlas. Jakarta:EGC, 2000.
6. Brooks, Geo F dkk. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg’s
Edisi Pertama. Jakarta:Salemba Medika, 2001.
7. Mansjoer, Arief. Kapita Selektra Kedokteran Edisi III. Jakarta:Media
Aesculapius, 2010.
8. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2003.
9. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar & Klinik Edisi 10. Jakarta:EGC,
2010.
10. Zulkifli. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. 2003. Diakses
29 Mei 2013. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf.
11. Anonim. Kusta Chapter II. Diakses. 29 Mei 2013.
Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22370/4/Chapter%20II.pdf.
12. Anonim. Chapter II. Diakses 30 Mei 2013.
Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33611/4/Chapter%20II.pdf.
13. Anonim. Chapter II. Diakses 30 Mei 2013.
Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31135/4/Chapter%20II.pdf.
14. Nurhatati. BAB II. Diakses 30 Mei 2013.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/124/jtptunimus-gdl-nurhatati-6187-2-
babii.pdf.
15. www.google.co.id/search?
q=gambar+penderita+kusta+reaksi+tipe+1&ie=UTF-87oe=UTF-
8&hl=id&client=safari#biv=i%7C1%3Bc%7Czfk173wLd7vypM%3A.
24
25