ksfarmakoterapi kelompok 1 ppok lagi
DESCRIPTION
FarmakoterapiTRANSCRIPT
TUGAS KAPITA SELEKTA FARMAKOTERAPI
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
Disusun oleh:
KELAS B (KELOMPOK 1)
1. Christina Desi Kurnia Wati, S. Farm (158115055)2. Ludwinia Cesa Varian, S. Farm (158115064)3. Maria Theresia Ghea, S. Farm (158115069)4. Maria Magdalena Risa Puspitasari, S. Farm (158115076)5. Regina Sheilla Andinia, S. Farm (158115079)6. Rigel Norawedi P, S. Farm (158115080)7. Wirna Niki Suprobo, S.Farm (158115083)
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan gangguan pada paru
yang menyebabkan adanya kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan
yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible.
B. Manifestasi dan Klasifikasi
Gejala klinis yang sering ditemukan pada penderita PPOK meliputi: batuk kronik,
produksi sputum, dan dyspnea. Faktor risiko yang mempengaruhi PPOK adalah:
1. Kebiasaan merokok
2. Riwayat terpajan polusi udara
3. Hiperaktivitas bronkus
4. Riwayat infeksi saluran nafas berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa-1
(PDPI, 2003).
Diagnosis PPOK didasarkan pada gejala yang muncul (batuk kronik,
produksi sputum dan dyspnea) serta riwayat pasien dan keluarga untuk mengetahui
apakah ada faktor resiko yang terlibat seperti merokok atau paparan asap rokok dan
polutan lingkungan. Pasien yang dicurigai menderita PPOK harus ditegakkan
diagnosisnya menggunakan spirometri. Hasil pemeriksaan spirometri, dapat
mengklasifikasi stage PPOK. Klasifikasi tingkat keparahan PPOK (tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi tingkat keparahan PPOK
Stage Gejala Spirometri
0 : At riskHanya terdapat satu atau lebih gejala yang muncul. Adanya pejanan terhadap faktor resiko
normal
1 : MildDengan atau tanpa gejala (batuk kronik, produksi sputum dan dyspnea)
FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
2 : ModerateDengan atau tanpa gejala (batuk kronik, produksi sputum dan dyspnea)
FEV1/FVC < 70%, 50% < FEV1 < 80%
3 : SevereDengan atau tanpa gejala (batuk kronik, produksi sputum dan dyspnea)
FEV1/FVC < 70%, 30% < FEV1 < 50%
4 :Very SevereDengan gagal napas kronik atau gagal jantung kanan
FEV1/FVC < 70%, FEV1 < 30% or <50%
Diagnosis PPOK exacerbation berdasarkan dari keluhan gejala PPOK yang
semakin memberat dari hari ke hari. Gejala yang muncul pada penderita PPOK
exacerbation meliputi peningkatan volume sputum, dyspnea akut, sesak dada,
kebutuhan akan bronkodilator meningkat, malaise, fatigue. PPOK exacerbation
dibedakan berdasarkan tiga stage (tabel 2).
Tabel II. Klasifikasi tingkat keparah PPOK exacerbation
StageCardinal symptoms (peningkatan volume sputum dan sputum
purulen serta dyspnea akut)
Tipe 1 : MildTerdapat satu gejala cardinal yang diikuti dengan URTI (infeksi saluran pernapasan atas) dalam 5 hari, demam, peningkatan batuk dan respiration/heart rate >20%
Tipe 2 : Moderate Terdapat dua gejalaTipe 3 : Severe Terdapat tiga gejala
BAB II
PATOFISIOLOGI
Pajanan gas beracun mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel jalan
napas dalam membentuk faktor kemotaktik, penglepasan faktor kemotaktik
menginduksi mekanisme infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru yang dapat
menimbulkan kerusakan struktur paru. Infiltrasi sel ini dapat menjadi sumber faktor
kemotaktik yang baru dan memperpanjang reaksi inflamasi paru menjadi penyakit
kronik dan progresif. Makrofag alveolar penderita PPOK meningkatkan penglepasan
IL-8 dan TNF-α. Ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase serta
ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan berperan dalam patologi PPOK.
Proteinase menginduksi inflamasi paru, destruksi parenkim dan perubahan struktur
paru.
Respons epitel jalan napas terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa
peningkatan jumlah kemokin seperti IL-8, macrophage inflamatory protein-1 α
(MIP1-α) dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1). Peningkatan jumlah
Limfosit T yang didominasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru
tetapi juga pada kelenjar limfe paratrakeal. Sel sitotoksik CD8+ menyebabkan
destruksi parenkim paru dengan melepaskan perforin dan granzymes. CD8+ pada
pusat jalan napas merupakan sumber IL-4 dan IL-3 yang menyebabkan hipersekresi
mukus pada penderita bronkitis kronik (Fitriani, 2015).
Gambar 1. Patofisiologi PPOK
Gambar 2. Konsep patogenesis PPOK
(PDPI, 2003)
Gambar 3. Perbedaan pathogenesis asma dan PPOK (PDPI, 2003)
BAB III
PILIHAN TERAPI
A. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis bertujuan untuk mengurangi gejala, mengurangi
keparahan eksaserbasi, dan meningkatkan status kesehatan pasien. Penatalaksanaan
PPOK terbagi atas penatalaksanaan pada keadaan stabil dan penatalaksanaan pada
eksaserbasi. Setiap pengobatan harus spesifik terhadap pasien karena gejala dan
keparahan keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh banyak faktor seperti frekuensi
keparahan eksaserbasi, adanya gagal nafas, dan status kesehatan secara umum
(GOLD, 2015).
1. Bronkodilator
Obat golongan ini bekerja dengan merelaksasi saluran pernapasan dan
meminimalkan pembatasan aliran udara. Keuntungan menggunakan bronkodilator
adalah meningkatkan ”exercise”, mengurangi udara yang terjebak di paru paru,
dan mengurangi gejala seperti dyspnea. Pemberian obat pada derajat berat
diutamakan menggunakan obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek
panjang (long acting) (PDPI, 2003). Berdasarkan aksi obatnya, bronkodilator
dibedakan menjadi short-acting bronchodilator dan long-acting bronchodilator.
Short-acting bronchodilator mengurangi gejala dan meningkatkan exercise
tolerance. Long acting bronchodilator dapat mengurangi gejala dan frekuensi
kekambuhan serta meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan. Macam–macam
terapi inhalasi antara lain MDI, DPI, dan nebulizer (Dipiro, 2008). Macam-macam
bronkodilator adalah:
a. Agonis β-2
Agonis β-2 dapat menyebabkan bronkodilatasi dengan menstimulasi
enzim adenyl siklase untuk meningkatkan jumlah cyclic adenosine
monophospat (cAMP). cAMP bertanggung jawab untuk memediasi relaksasi
dari otot halus brankial dan memperbaiki pembersihan mukosiliari. Contoh obat
selective β2-agonists adalah albuterol, levalbuterol, dan pirbuterol. Pirbuterol
dipilih untuk digunakan karena tidak meningkatkan cardiostimultory effect
seperti metaproterenol, isoetharine, isoproterenol, dan epinephrine. Selective
β2-agonists tersedia dalam bentuk oral, parenteral, dan inhalasi. Namun
penggunaan selective β2-agonists secara oral dan perenteral kurang disarankan
dibanding penggunaan untuk inhalasi karena dapat menyebabkan takikardia dan
tremor tangan (Dipiro, 2008).
Agonis β-2 dibedakan berdasarkan aksinya menjadi short-acting β2-
agonists dan long-acting β2-agonists. Short-acting β2-agonists memiliki onset
yang cepat. Durasi obat short-acting β2-agonists adalah sekitar 4-6 jam.
Nebulizer digunakan untuk pasien yang mengalami dyspnea/sesak napas parah
yang tidak dapat bernafas dengan sendirinya, setelah penggunaan MDI.
Nebulizer dianggap lebih efektif dilihat dari sisi harga dan kenyamanan. short-
acting β2-agonists dapat dikombinasikan dengan obat golongan antikolinergik
apabila gejala PPOK yang timbul belum hilang meskipun dosis short-acting β2-
agonists sudah ditingkatkan, dapat diadministrasikan dengan menggunakan
MDI atau nebulizer dengan efektivitas yang sama (Dipiro, 2008).
b. Golongan antikolinergik.
Digunakan pada pasien PPOK derajat ringan sampai berat. Selain
sebagai bronkodilator juga dapat mengurangi sekresi lendir (PDPI, 2003).
Mekanisme kerja obat golongan antikolinergik adalah menghalangi aksi
asetilkolin dengan mengurangi guanosin monofosfat siklis yang secara normal
berfungsi untuk fase konstriksi otot halus bronkial. Golongan antikolinergik
dibedakan menjadi short-acting β2-agonists dan long-acting antichollinergis.
Contoh obat short-acting anticholinergics adalah ipratropium atau atropine
yang akan menghambat reseptor kolinergik di otot halus bronkial. Contoh obat
long-acting antichollinergis adalah tiotropium bromide yang berfungsi
mengikat reseptor muskarinik, memblok efek kolinergik bronkokontriksi, dan
sekresi mucus. Obat ini lebih selektif dan lebih poten 10 kali dari ipratropium
serta mampu melawan bronkokontriksi kolinergik lebih dari 24 jam.
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghalangi aksi asetilkolin pada
reseptor M2 dan M3 muskarinik pada obat efek pendek, sedangkan pada efek
obat panjang, aksi asetilkolin dihalangi pada reseptor M1 dan M3 muskarinik
(Dipiro, 2008).
c. Methylxanthine
Teofilin termasuk dalam metylxanthine, memiliki mekanisme rangkap
(bronkodilatasi dan antiinflamasi). Obat ini kurang direkomendasikan
dibandingkan dengan bronkodilator lain karena kurang efektif (GOLD, 2015).
Teofilin digunakan untuk meningkatkan fungsi jantung, termasuk kapasitas
vital, pertukaran gas. Teofilin dapat mengurangi dyspnea, meningkatkan
exercise tolerance, dan meningkatkan laju respirasi pada PPOK. Kombinasi
salmeterol dan teofilin dapat meningkatkan fungsi pulmonary dan mengurangi
dyspnea (Dipiro, 2008).
2. Kortikosteroid
Memiliki peran mengurangi permeabilitas kapiler untuk mengurangi
mukus, menginhibisi pembebasan enzim proteolitik dari leukosit, dan
menginhibisi prostaglandin. Kortikosteroid yang digunakan tersedia dalam bentuk
sediaan dengan rute oral dan inhalasi. Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien
PPOK dengan FEV1 < 60%. Pengobatan regular dengan kortikosteroid inhalasi
dapat mengurangi gejala, meningkatkan fungsi paru dan kualitas hidup, serta
menurunkan frekuensi eksaserbasi. Efek yang mungkin muncul dari kortikosteroid
adalah hiperglikemia dan halusinasi bila menggunakan obat tersebut dalam dosis
tinggi. Contoh obat golongan kortikosteroid adalah metilprednisolone dan
prednisone.
3. Kombinasi kortikosteroid dan bronkodilator (long-acting β-2 agonis)
Kombinasi kortikosteroid dan bronkodilator (long-acting β-2 agonis)
dapat meningkatkan fungsi paru-paru, mengurangi gejala dyspnea (sesak napas),
dan frekuensi eksaserbasi jika dibandingkan dengan penggunaan individual.
Kombinasi inhaler (salmeterol dan fluticasone) bersifat lebih nyaman untuk pasien
dan dapat mengurangi penggunaan harian inhalasi.
4. Inhibitor fosfodiesterase-4
Fosfodiesterase-4 adalah fosfodiesterase yang ditemukan pada sel otot
halus jalur pernapasan dan sel yang merangsang inflamasi serta bertanggung jawab
dalam mendegradasi cyclic adenosine monophospate. Inhibitor fosfodiesterase-4
dapat membuat sel otot halus jalur pernafasan berelaksasi dan mengurangi
aktivitas sel perangsang inflamasi. Inhibitor fosfodiesterase-4 adalah cilomilast
dan foflumilast (Dipiro, 2008).
5. Antibiotik
Penggunaan antibiotik tidak direkomendasikan kecuali untuk pengobatan
eksaserbasi infeksius dan infeksi bakteri lainnya (PDPI, 2003). Terapi dengan
menggunakan antibiotik dilakukan selama 7-10 hari, misalnya dengan
menggunakan floroquinolone, sefalosporin generasi kedua dan ketiga,
antimikrobial makrolida (Dipiro, 2008).
6. Stimulan pernapasan
Contoh obat yang menstimulasi pernapasan adalah almitrine dan
doxapram. Almitrin dibatasi karena ada efek tosik pada sistem syaraf
(neurotoxicity). Doxapram tersedia dalam bentuk intravena.
Tabel III. Daftar obat PPOK
(PDPI, 2003).
Penatalaksanaan PPOK stabil
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk mempertahankan
fungsi paru, meningkatkan kualiti hidup, mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan
PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah untuk
mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.
a. Penatalaksanaan di rumah
Tujuan penatalaksanaan di rumah adalah untuk mempertahankan
PPOK yang stabil. Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita
PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik. Tujuan
penatalaksanaannya adalah untuk menjaga kestabilan PPOK, melakukan
pengobatan pemeliharaan, melakukan evaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini,
mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan, menjaga penggunaan
ventilasi mekanik, meningkatkan kualiti hidup (PDPI, 2003).
Gambar 4. Algoritme penanganan PPOK (PDPI, 2003)
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut
Gambar 5. Algoritme penatalaksanaan PPOK eksaerbasi akut di rumah dan pelayanan kesehatan primer/puskesmas
B. Terapi Non Farmakologi
Pasien dengan PPOK harus menerima edukasi mengenai penyakit yang
diderita, rencana pengobatan, dan strategi untuk menurunkan progresi penyakit dan
mencegah komplikasi. Saran dan konseling mengenai penghentian merokok sangat
diperlukan.
1. Penghentian merokok
Komponen penting dalam manajemen PPOK adalah menghindarkan atau
menghilangkan paparan terhadap faktor resiko. Paparan terhadap asap tembakau
merupakan faktor resiko paling berpengaruh, dan srategi yang paling efektif untuk
mengatasinya yaitu dengan menghentikan konsumsi rokok untuk menghilangkan
resiko semakin berkembangnya PPOK dan untuk menurunkan atau menghentikan
perkembangan penyakit ini. Penghentian merokok dapat menurunkan symptom
dan menekan laju penurunan fungsi walaupun hasil tes menunjukan secara
signifikan terjadinya abnormalitas pada paru (FEV1, FVC <60%) (Dipiro, 2008).
2. Rehabilitasi Paru
Olahraga sangat penting dalam pengobatan PPOK untuk mengurangi
gejala sesak nafas dan cepat lelah. Intensitas latihan yang tinggi (maksimal 70%
beban kerja) sangat memungkinkan dilakukan bahkan pada pasien PPOK lanjutan,
dan dapat meningkatkan fungsi pada ventilasi. Penelitian menunjukan bahwa
rehabiltasi paru dengan olahraga 3-7 kali per minggu dapat menghasilkan
kemajuan long-term pada aktifitas sehari hari, kualitas hidup, dan menurunkan
gejala sesak nafas pada pasien PPOK dengan level sedang hingga level lanjut
(Dipiro, 2008).
3. Terapi Oksigen Jangka Panjang
Penggunaan terapi oksigen tambahan dapat meningkatkan ketahanan pada
pasien COPD dengan hypoxemia kronis. Terapi oksigen jangka panjang memiliki
peranan yang penting dan memberikan manfaat bagi pasien PPOK. Terapi oksigen
jangka panjang harus diberikan jika salah satu dari dua kondisi muncul, yaitu PaO2
kurang dari dari 55 mm Hg atau bukti kegagalan sisi kanan jantung, polisitemia, atau
gangguan fungsi neuropsikiatri dengan PaO2 kurang dari 60 mm Hg. Cara yang paling
praktis dalam pemberian oksigen jangka panjang adalah dengan kanula nasal 1-2 L / menit
yang memberikan 24% sampai 28% oksigen. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
PaO2 di atas 60 mm Hg. Tiga cara untuk menghantarkan oksigen , termasuk wadah
liquid, mengecilkan menjadi silinder dan melalui konsentrator oksigen (Dipiro,
2008).
4. Imunisasi
Vaksin dapat dipertimbangkan untuk menghilangkan faktor resiko
eksaserbasi PPOK. Karena influenza merupakan komplikasi umum pada PPOK
yang dapat menyebabkan eksaserbasi dan kegagalan dalam bernafas. Agen anti
influenza oral (Oseltamivir) dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan PPOK
untuk pasien yang belum diimunisasi; Namun, terapi ini kurang
efektif dan menyebabkan efek samping yang lebih. Vaksin pneumokokus
polivalen, diberikan satu kali dan banyak direkomendasikan untuk orang-orang
usia 2-64 tahun yang memiliki penyakit paru-paru kronis dan bagi semua orang tua
dari usia 65 tahun (Dipiro, 2008).
5. Terapi tambahan
Selain penambahan oksigen untuk terapi tambahan, terapi tambahan lain
juga perlua diperhatian sebagai bagian dari program rehabilitas paru yaitu
psychoeducational care dan dukungan nutrisi. Psychoeducational care seperti
relaksasi, berhubungan dengan peningkatan fungsi dan kesejahteraan dari orang
dewasa dengan PPOK. Dukungan nutrisi pada pasien PPOK masih dalam
perdebatan. Beberapa penelitian menemukan hasil bahwa ada hubungan antara
malnutrisi, BMI rendah, dan status paru yang lemah diantara pasien COPD.
Namun, meta-analisis menunjukkan bahwa efek kecil dari dukungan nutrisi pada
PPOK dan tidak terkait dengan, fungsi paru-paru, atau kapasitas latihan fungsional
(Dipiro, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2008,
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7th edition, McGraw Hill
Medical, New York.
Fitriani, F., Faizal, Y., Wiwien, H.W., dan Budhi, A., 2015, Penyakit Paru Obstruktif
Kronik Sebagai Penyakit Sistemik, http://www.klikpdpi.com/jurnal-warta/jri-
01-07/jurnal-6.html, diakses pada tanggal 31 Agustus 2015.
PDPI, 2003, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia: PPOK,
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
GOLD, 2015, Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, Inc.