krisis hipertensi referat
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang dan
10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi yang merupakan suatu
kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan
jiwa penderita. Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di
negara maju berkisar 2 – 7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan
pengobatan yang tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam
10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih
kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada laporan
tentang angka kejadian ini. 1,2,3
Berbagai gambaran klinis dapat menunjukkan keadaan krisis HT dan secara garis besar,
The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High
Blood Pressure (JNCV) membagi krisis HT ini menjadi 2 golongan yaitu : hipertensi emergensi
(darurat) dan hipertensi urgensi (mendesak).3
Membedakan kedua golongan krisis HT ini bukanlah dari tingginya TD, tapi dari
kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita dipikirkan suatu
keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf sentral,
miokardinal, dan ginjal. HT emergensi dan urgensi perlu dibedakan karena cara penaggulangan
keduanya berbeda.1,3
Gambaran kilnis krisis HT berupa TD yang sangat tinggi (umumnya TD diastolik > 120
mmHg) dan menetap pada nilai-nilai yang tinggidan terjadi dalam waktu yang singkat dan
menimbulkan keadaan klinis yang gawat. Seberapa besar TD yang dapat menyebabkan krisis HT
tidak dapat dipastikan, sebab hal ini juga bisa terjadi pada penderita yang sebelumnya
nomortensi atau HT ringan/sedang.2,3 Walaupun telah banyak kemajuan dalam pengobatan HT,
namu para kilinisi harus tetap waspada akan kejadian krisis HT, sebab penderita yang jatuh
dalam keadaan ini dapat membahayakan jiwa/kematian bila tidak ditanggulangi dengan cepat
dan tepat. Pengobatan yang cepat dan tepat serta intensif lebih diutamakan daripada prosesur
diagnostik karena sebagian besar komplikasi krisis HT bersifat reversible.1,3
II. DEFENISI DAN KLASIFIKASI KRISIS HIPERTENSI
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat
tinggi ( tekanan diastolic > 120 mmHg) dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah
terjadinya kelainan organ target.4,5
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas pengobatan,
sebagai berikut : 3
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut. (tabel I). Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan
timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam
satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau
(ICU).
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam
sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II).
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain : 3
1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan
kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 – 130
mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan
intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila
penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada penderita
dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita
yang sebelumnya mempunyai TD normal.
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila
TD diturunkan.
Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat ) 3
TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
Pendarahan intra pranial, ombotik CVA atau pendarahan subarakhnoid.
Hipertensi ensefalopati.
Aorta diseksi akut.
Oedema paru akut.
Eklampsi.
Feokhromositoma.
Funduskopi KW III atau IV.
Insufisiensi ginjal akut.
Infark miokard akut, angina unstable.
Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :
- Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.
- Cedera kepala.
- Luka bakar.
- Interaksi obat.
Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak ) 3
Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal
atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I.
KW I atau II pada funduskopi.
Hipertensi post operasi.
Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.
Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hanya dari
tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa,
seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD yang lebih
tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang
terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai
bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada penderita
hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi ensefalopati
demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD 160/110
mmHg. 2,3,6
III. PATOFISIOLOGI
Arteri normal pada individu normotensi akan mengalami dilatasi atau kontriksi dalam
merespon terhadap perubahan tekanan darah untuk mempertahankan aliran (mekanisme
autoregulasi) yang tetap terhadap vascular beeds sehingga kerusakan arteriol tidak terjadi.
Pada krisis hipertensi terjadi perubahan mekanisme autoregulasi pada vascular beeds
(terutama jantung, SSP, dan ginjal) yang mengakibatkan terjadinya perfusi. Akibat perubahan
ini akan terjad efek local dengan berpengaruhnya prostaglandin, radikal bebas dan lain-lain
yang mengakibatkan nekrosis fibrinoid arteriol, disfungsi endotel, deposit platelet, proliferasi
miointimal, dan efek siskemik akan mempengaruhi renin-angiotensin, katekolamin, vesopresin,
antinatriuretik kerusakan vaskular sehingga terjadi iskemia organ target. Jantung, SSP, ginjal
dan mata mempunyai mekanisme autoregulasi yang dapat melindungi organ tersebut dari
iskemia yang akut, bila tekanan darah mendadak turun atau naik. Misalkan individu
normotensi, mempunyai autoregulasi untuk mempertahankan perfusi ke SSP pada tekanan
arteri rata-rata.
Mean Arterial Pressure (MAP) = Diastole + 1/3 (Sistole - Diastole)
Pada individu hipertensi kronis autoregulasi bergeser kekanan pada tekanan arteri rata-
rata (110-180mmHg).
Mekanisme adaptasi ini tidak terjadi pada tekanan darah yang mendadak naik (krisis
hipertensi), akibatnya pada SSP akan terjadi endema dan ensefalopati, demikian juga halnya
dengan jantung, ginjal dan mata.3
IV. DIAGNOSIS1,3,7
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa
suatu krisis hipertensi.
IV.1. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting
ditanyakan :
Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.
Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, pusing, perubahan mental, ansietas ).
Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).
Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri
dada ).
Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.
IV.2. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri ) mencari
kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, gagal jantung kongestif). Perlu
dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung,
kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung
koroner.
IV.3. Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
1. Pemeriksaan yang segera seperti :
a. darah : rutin, BUN, creatinine, elektrolit.
b. urine : Urinalisa dan kultur urine.
c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan
terlaksana ).
2. Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang
pertama ) :
a. Sangkaan kelainan renal : IVP, Renal angiography ( kasus tertentu ), biopsi renal
( kasus tertentu ).
b. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT Scan.
c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine,
metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).
V. DIFERENSIAL DIAGNOSIS 3
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti :
- Hipertensi berat
- Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
- Ansietas dengan hipertensi labil.
- Oedema paru dengan payah jantung kiri.
VI. PENGOBATAN KRISIS HIPERTENSI
VI.1. Dasar-Dasar Penanggulangan Krisis Hipertensi: 1,8,9
Seperti keadaan klinik gawat yang lain, penderita dengan krisis hipertensi sebaiknya
dirawat di ruang perawatan intensif. Pengobatan krisis hipertensi dapat dibagi:
1. Penurunan tekanan darah
Pada dasarnya penurunan tekanan darah harus dilakukan secepat mungkin tapi
seaman mungkin. Tingkat tekanan darah yang akan dicapai tidak boleh terlalu
rendah, karena akan menyebabkan hipoperfusi target organ. Untuk menentukan
tingkat tekanan darah yang diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Dalam
pengobatan krisis hipertensi, pengurangan Mean Arterial Pressure (MAP) sebanyak
20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi
penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah
jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30 menit dan bisa lebih rendah lagi
dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati,
penurunan TD 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun
pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan
harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 – 180/100 mmHg.
2. Pengobatan target organ
Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah memperbaiki fungsi
target organ, pada umumnya masih diperlukan pengobatan dan pengelolaan khusus
untuk mengatasi kelainan target organ yang terganggu. Misalnya pada krisis
hipertensi dengan gagal jantung kiri akut diperlukan pengelolaan khusus termasuk
pemberian diuretic, pemakaian obat-obat yang menurunkan preload dan afterload.
Pada krisis hipertensi yang disertai gagal ginjal akut, diperlukan pengelolaan khusus
untuk ginjalnya, yang kadang-kadang memerlukan hemodialisis.
3. Pengelolaan khusus
Beberapa bentuk krisis hipertensi memerlukan pengelolaan khusus, terutama
yang berhubungan dengan etiloginya, misalnya eklampsia gravidarum.
VI. 2. Penanggulangan Hipertensi Emergensi : 1,7
Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan.
Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada
indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.
Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik.
- tentukan penyebab krisis hipertensi
- singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT
- tentukan adanya kerusakan organ sasaran
Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya, cepatnya
kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia pasien.
- Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari
160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama,
kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ).
Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat.
- Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan dapat
menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus
dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal :
dissecting anneurysma aorta.
- TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.
Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi 1,2,7,9
Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi
tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi
emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan
intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).
1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodilator direkuat baik arterial maupun venous.
Secara IV mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 – 2 dosis 1 – 6 ug / kg / menit.
Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis
tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 – 5 menit, duration of action
3 – 5 menit.
Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara infus IV.
Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.
3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara IV bolus.
Onset of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 – 5 menit, duration of action 4 – 12 jam.
Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 – 75 mg setiap 5 menit sampai
TD yang diinginkan.
Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen, hiperuricemia,
aritmia, dll.
4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 – 1 jam,
IV :10 – 20 menit duration of action : 6 – 12 jam.
Dosis : 10 – 20 mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m.
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk
mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular.
Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,
eksaserbasi angina, MCI akut dll.
5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 – 60
menit.
Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama
untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin.
Dosis 5 – 20 mg secar i.v bolus atau i.m.
Onset of action 11 – 2 menit, duration of action 3 – 10 menit.
7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem
simpatis dan parasimpatis.
Dosis : 1 – 4 mg / menit secara infus i.v.
Onset of action : 1 – 5 menit.
Duration of action : 10 menit.
Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi,
mulut kering.
8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent.
Dosis : 20 – 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v.
Onset of action 5 – 10 menit
Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll.
Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10 jam
dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering
dijumpai.
9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis.
Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam.
Onset of action : 30 – 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam.
Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with drawal
sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak konsisten,
obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral.
Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc
dekstrose dengan titrasi dosis.
Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam.
Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, pusing, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila
dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang
cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan
Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara perlahan
maupun cepat sesuai keinginan dengan cara menatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD
berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit.
Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten
intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai, injeksi
dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang long
acting ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.
*Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi 1,6,10
Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang sebaiknya
dihindari adalah sbb :
1. Hipertensi encephalopati:
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide.
Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine.
2. Cerebral infark :
Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol,
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonidine.
3. Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid :
Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine.
4. Miokard iskemi, miokrad infark :
Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan loop
diuretuk.
Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.
5. Oedem paru akut :
Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik.
Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labetalol.
6. Aorta disseksi :
Anjuran : Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan B-antagonist,
labetalol.
Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil
7. Eklampsi :
Anjuran : Hydralazine, Diazoxide, labetalol, Ca antagonist, sodium nitroprusside.
Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist
8. Renal insufisiensi akut :
Anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist
Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan
9. KW III-IV :
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca – antagonist.
Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa.
10. Mikroaangiopati hemolitik anemia :
Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist.
Hindarkan : B-antagonist.
Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium
nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena
pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring ketat,
penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.
Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperukan
secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan
tampaknya memberikan harapan yang baik.
• Obat oral untuk hipertensi emergensi : 7,8
Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat
oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.
Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan captoprial
pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah menit ke 20.
Captopril dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dam menurunkan TD.
Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual kepada
pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat tanda-tanda
efek samping yang timbul. Pasien digolongkan non-respon bila penurunan TD diastolik
<10mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respon bila TD diastolik mencapai <120mmHg
atau MAP <150mmHg dan adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran
yang dinilai secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60
menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih >120mmHg atau MAP
masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan sign dari organ sasaran.
V.3. Penanggulangan hipertensi urgensi :1,1 0
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali
dalam 30 menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan.
Umumnya digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini
dan hasilnya cukup memuaskan.
Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan a.l :
Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit). Buccal (onset 5 –10 menit),
oral (onset 15-20 menit), duration 5 – 15 menit secara sublingual/ buccal).
Efek samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong.
Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit Duration of Action 8-12 jam.
Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg.
Efek samping : sedasi,mulut kering.Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rd degree, heart
block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
Captopril : pemberian secara oral/sublingual.
Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30 menit sesuai kebutuhan.
Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita bilateral renal
arteri sinosis.
Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila perlu.
Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit kepala.
Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP sebanyak
20 % ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin terutama digunakan pada
penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine.
Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan
penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas hipotensi (walaupun hal ini
jarang sekali terjadi).
Dikenal adanya “first dose” efek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi akibat
pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke.
Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat
diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari MAP.
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive
terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita dengan riwayat penyakit
cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua dan pasien dengan volume depletion
maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi paling
sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan
timbulnya orthotatis. Bila TD penderita yang obati tidak berkurang maka sebaiknya penderita
dirawat dirumah sakit.
VI. PROGNOSIS3
Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita hanyalah
20% dalam 1 tahun. Kematian sebabkan oleh uremia (19%), gagal jantung kongestif (13%),
cerebro vascular accident (20%), gagal jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Miokard
(1%), diseksi aorta (1%).
Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif dan penanggulangan
penderita gagal ginjal dengan analisis dan transplantasi ginjal.
KEPUSTAKAAN
1. Calhoun D.A, Oparil . S ; 1990 : Treatmenet of Hypertensive Crisis, New Engl J Med, 323 :
1177-83. Diakses dari www.nejm.com tanggal 28 Oktober 2008.
2. Kaplan N.M, 1986 : Clinical Hypertention, 4th Edition, William & Elkins, Baltimore, 2273-
89.
3. Sanif E, 2008. Krisis Hipertensi, Metode Baru Pengobatan. Diakses dari
www.jantunghipertensi.com tanggal 28 Oktober 2008.
4. Roesma J, 2006. Krisis Hipertensi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI.
5. Raharjo JP, 2001. Hipertensi Krisis. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.
6. Anavekar S.N. : Johns C.I; 1974 : Management of Acute Hipertensive Crissis with
Clonidine (catapres ), Med. Journal. Aust. 1 :829-831. Diakses dari
www.medicaljournal.com tanggal 28 Oktober 2008.
7. Angeli.P. Chiese. M, Caregaro,et al, 1991 : Comparison of sublingual Captopril and
Nifedipine in immediate Treatment of hypertensive Emergencies, Arch, Intren. Med
Journal, 151 : 678-82. Diakses dari www.medicaljournal.com tanggal 28 Oktober 2008.
8. Anwar C.H. ; Fadillah. A ; Nasution M. Y ; Lubis H.R; 1991 : Efek akut obat anti hipertensi
(Nifedipine, Klonodin Metoprolol ) pada penderita hipertensi sedang dan berat ; naskah
lengkap KOPARDI VIII, Yogyakarta, 279-83. Diakses dari www.jantunghipertensi.com
tanggal 28 Oktober 2008.
9. Bertel. O. Conen D, Radu EW, Muller J, Lang C : 1983:Nifedipine in Hypertensive
Emergencies, Brmmed J, 286; 19-21. Diakses dari www.brmmedicaljournal.com tanggal
28 Oktober 2008.
10. Gifford R.W, 1991 : Mamagement of Hypertensivi Crisis, JAMA SEA,266; 39-45. Diakses
dari www.jam.com tanggal 28 Oktober 2008