korelasi budaya keselamatan pasien dengan...
TRANSCRIPT
i
i
KORELASI BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DENGAN PERSEPSI
PELAPORAN KESALAHAN MEDIS OLEH TENAGA KESEHATAN
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN
KERJA DI RUMAH SAKIT X DAN RUMAH SAKIT Y TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun Oleh :
LANY APRILI SULISTIANI
NIM : 1111101000098
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015 M/1436 H
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S-1) Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 5 Juni 2015
Lany Aprili Sulistiani
iii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Juni 2015
Lany Aprili Sulistiani, NIM. 1111101000098
Korelasi Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan
Medis oleh Tenaga Kesehatan sebagai Upaya Peningkatan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Di Rumah Sakit X Dan Rumah Sakit Y Tahun 2015
(xvi + 112 halaman, 7 tabel, 4 bagan, 7 lampiran)
ABSTRAK
Latar Belakang. Tingkat pelaporan kesalahan medis di Indonesia masih rendah.
Pelaporan yang rendah disebabkan oleh ketidaktepatan persepsi tenaga kesehatan
terhadap pelaporan kesalahan medis. Masalah ini dapat diatasi dengan penerapan
budaya keselamatan pasien yang adekuat.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan
kuantitatif dan desain studi cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan
alat bantu berupa kuesioner HSOPSC dari AHRQ versi Bahasa Indonesia dan
kuesioner persepsi dari Beginta (2012). Besar sampel dalam penelitian ini
berjumlah 106 responden di masing-masing rumah sakit yakni Rumah Sakit X
dan Rumah Sakit Y. Analisis data univariat dilakukan dengan menggunakan
Hospital Survey Excel Tool 1.6 milik AHRQ sedangkan analisis bivariat
dilakukan dengan uji korelasional.
Hasil. Dimensi budaya keselamatan pasien dengan respon positif terendah di
Rumah Sakit X adalah dimensi penyusunan staf dan kerjasama antar unit
sedangkan di Rumah Sakit Y adalah penyusunan staf. Persepsi pelaporan
kesalahan medis di Rumah Sakit X sebesar 49,95% sedangkan di Rumah Sakit Y
sebesar 46%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada 6 dimensi (tindakan
promotif keselamatan oleh manajer, organizational learning, kerjasama dalam
unit, keterbukaan komunikasi, umpan balik dan respon yang tidak menyalahkan)
yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X
sedangkan di Rumah Sakit Y terdapat 4 dimensi (tindakan promotif keselamatan
oleh manajer, keterbukaan komunikasi, umpan balik dan respon yang tidak
menyalahkan) yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis.
Saran. Sosialisasi atau pelatihan terkait pelaporan kesalahan medis serta program
peningkatan budaya keselamatan diperlukan untuk meningkatkan persepsi positif
terhadap pelaporan kesalahan medis di kedua rumah sakit.
Kata Kunci : budaya keselamatan pasien, pelaporan kesalahan medis, K3RS
Daftar Bacaan : 81 (1993-2014)
iv
STATE ISLAMIC UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
STUDY PROGRAM PUBLIC HEALTH
DEPARTMENT OF OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH
Undergraduate Thesis, June 2015
Lany Aprili Sulistiani, NIM 1111101000098
Correlation Of Patient Safety Culture And Perception Of Medical Error
Reporting as An Increasing Effort for Occupational Safety and Health at X
Hospital and Y Hospital in 2015
(xvi + 112 pages, 7 tables, 4 graphics, 7 attachments)
ABSTRACT
Introduction. Medical error reporting rate in Indonesian is still low. Low
reporting rate is caused by health workers‘ inexactitude perception about medical
error reporting. This problem can be overcome by the implementation of adequate
patient safety culture
Method. This research is an analytical research with quantitative approach and
cross sectional study design. The data collected by using questionnaire include
HSOPSC questionnaire by AHRQ in Bahasa Indonesia and perception
questionnaire by Beginta. Sample size of this research is 106 respondent in both
of the hospitals, they are X Hospital and Y Hospital. Univariate analysis is
conducted by using AHRQ‘s Hospital Survey Excel Tool 1.6 while bivariate
analysis is conducted by using correlational statistical test.
Results. Patient safety culture dimension with the lowest positive response in X
Hospital is dimension staffing and teamwork across units while in Y Hospital is
also staffing. Perception of medical error reporting in X Hospital is 49,95% while
in Y Hospital is 46%. Statistic test showed that perception of medical error
reporting is correlated with 6 dimensions (manager expectations & actions
promoting patient safety, organizational learning, teamwork within unit, feedback
and nonpunitive response) in X Hospital which is correlated with while in Y
Hospital medical error reporting is correlated with 4 dimension (manager
expectations & actions promoting patient safety, feedback and nonpunitive
response).
Saran. Socialization or training about medical error reporting and patient safety
culture increasing programs is needed to improve positive perception about
medical error reporting.
Keywords : patient safety culture, medical error reporting, K3RS
References : 81 (1993-2014)
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul
Korelasi Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan
Medis oleh Tenaga Kesehatan sebagai Upaya Peningkatan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta Tahun 2015
Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Juli 2015
Disusun Oleh :
Lany Aprili Sulistiani
NIM : 1111101000098
Mengetahui
Pembimbing I, Pembimbing II,
Fase Badriah, M.Kes, Ph.D Riastuti Kusumawardani, MKM
NIP. 197106052006042012 NIP.198005162009012005
vi
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, Juli 2015
Penguji I
Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D
NIP. 197503162007102001
Penguji II
Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D
NIP. 197612092006042003
Penguji III
Susanti Tungka, MARS
vii
RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Lany Aprili Sulistiani
Nama Panggilan : Lany / April
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 28 April 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Raya Bekasi Km.23 Komplek TNI AD/51 RT 03 RW
006 Cakung Barat, Cakung, Jakarta Timur
No. Telpon/HP : 089601297604 / 082298506835
Email : [email protected]
LinkedIn : Lany Aprili Sulistiani
Kata Mutiara : Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain,dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu
berharap (QS. 94:7-8)
Riwayat Pendidikan Formal
1. 1998-1999 : TK Dharma Wanita Tunas Harapan Bekasi
2. 1999-2005 : SDN Cakung Barat 10 Petang
3. 2005-2008 : SMPN 168 Jakarta Timur
4. 2008-2011 : SMK Perawat Kesehatan Kesdam Jaya Jakarta
5. 2011-2015 : S1 Peminatan K3 Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Riwayat Pendidikan Non Formal
1. Latihan Dasar Penelitian Tingkat Wilayah Tahun 2008 dan 2009
2. Latihan Dasar Penelitian Tingkat Provinsi Tahun 2010
viii
3. Peserta Sertifikasi Kejuruan Bidang Studi Keahlian Kesehatan Kompetensi
Keahlian Keperawatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun
2011
4. Pendidikan Dasar Relawan Bencana Rumah Zakat Nasional Tahun 2013
5. Leadership and Character Building Course Kementerian Pemuda dan
Olahraga Tahun 2014
6. Pelatihan Basic Fire Fighting oleh Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta tahun 2013
7. Workshop Investigasi dan Pencegahan Kecelakaan Kerja tahun 2014
8. Workshop Ergonomi di Tempat Kerja tahun 2014
9. Workshop Risk Assessment in the Work Place tahun 2014
10. Workshop Management of Fire Safety tahun 2014
11. Course of Training SMK3 Based on OHSAS 18001 & PP No. 50 Tahun 2012
Riwayat Organisasi
1. Koordinator Bidang IPS Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Pusat Tahun 2009
2. Wakil Ketua Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Pusat Tahun 2010
3. School Representatives Kegiatan Ekstrakurikuler Sekolah Menengah Atas
dan Kejuruan Tingkat Provinsi Tahun 2009
4. Sekretaris OSIS SMK Perawat Kesehatan Kesdam Jaya Tahun 2010
5. Penasihat Kelompok Ilmiah Remaja SMK Perawat Kesehatan Kesdam Jaya,
Jakarta Pusat Tahun 2012
6. Relawan Rumah Zakat Cabang Jakarta Barat Tahun 2012-2014
7. Ketua Preventor Keluarga Kadarzitensi ICD Binaan Rumah Zakat Cabang
Jakarta Barat Tahun 2013
8. Staff Human Resources Department Forum Studi Keselamatan dan Kesehatan
Kerja UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013-2014
9. General Manager Forum Studi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (FSK3)
UIN Jakarta Tahun 2014-2015
10. Ketua Divisi Penelitian Panitia Seminar Pengembangan Profesi K3 UIN
Jakarta Tahun 2014
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan Inayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul ―Korelasi
Budaya Keselamatan Pasien dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh
Tenaga Kesehatan Di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Tahun 2015‖ ini dapat
diselesaikan tepat waktu.
Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir mahasiswa semester 8 Prodi
Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Kedua orangtua penulis, La Hadimu dan Mulyani atas limpahan ilmu,
perhatian, cinta dan kasih sayang yang tidak akan pernah terbalas. I love you
mom, dad!
2. Dr. H. Arif Sumantri SKM., M.Kes. selaku Dekan FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fase Badriah dan Ibu Riastuti Kusumawardani selaku dosen pembimbing
atas ilmu dan pencerahannya setiap saat kepada penulis.
4. Ibu Catur Rosidati selaku dosen penasihat akademik atas perhatian dan
nasihatnya sejak penulis masuk di keluarga besar Kesmas UIN Jakarta.
5. Ibu Iting Shofwati, seluruh dosen peminatan K3 dan tak lupa seluruh dosen
Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih
banyak atas ilmu yang telah diberikan selama perkuliahan.
6. Ms. Jenni Scolese selaku AHRQ Surveys on Patient Safety Culture Technical
Assistance, Ms. Limaya Atembina dan Ms. Randie Siegel selaku Patient
Safety Culture Surveys Support Group di Westat on behalf of AHRQ yang
telah memberikan arahan dalam menggunakan instrumen HSOPSC serta
memberikan instrumen analisis data oleh AHRQ.
7. Ibu Yuri selaku pembimbing lapangan di Rumah Sakit Y. Staf komite mutu
serta Bapak Budi, Mas Panji, Ka Dede, Ka Wiyar serta Bu Neti yang telah
membantu penulis selama penelitian di RS Y.
x
8. dr. Fitri, dr. Resnita, Ibu Nurhayana, Ibu Nina, Ka Shylvy dan Pak Timo di
Rumah Sakit X dan juga seluruh staf Rumah Sakit X yang telah membantu.
9. My beloved siblings both Syarfan Maulana Rahman and my youngest brother
Nasron Zubaidih. Terimakasih semangatnya dear. My big family especially
for Kakung, Nenek, Tete, om Mustar, om Nyong, om Mat, Papa-tua, mama-
tua, dan juga seluruh sepupu penulis (Ka Dian, Ka Wawan, Ka Sam, Ka
Akmal, Ka Ani, Ka Edi, Adi, Hafidz, Febri).
10. Temanku yang terkasih Annisa Septiani, Sri Wahyu Fitria, Yourike Alia
Stevani, Salsabila Triana Dwiputri, Betti Ronayan Adiwijayanti, Asril Yusuf
Putra Fau, Teman-teman Raklac UIN Jakarta 2011, K3 2011, Kesmas UIN
Jakarta 2011, FSK3 UIN Jakarta dan tak lupa IKAHIMA K3 Indonesia. Big
thanks for all of you!
11. Adik-adikku angkatan 30 SMK Kesdam Jaya Maya Febrihapsari, Dyah Ayu
Hapsari dan Fauziah Putridhini. Seacom my dearest Fitka Prili Miki, Rezky
Kira, Fransisca Christina, Dwi Nuraini dan Gita Mayang Asri. Anita Nuryani,
Isma Novianti dan staf SHE PT Krama Yudha Ratu Motor atas semangatnya
yang tidak putus. Dicky Saputra, Ittha ‗Jun‘, Dina ‗Min‘ serta teman-teman
dari seluruh forum dan institusi yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas
do‘a, motivasi dan semangatnya. Terutama untuk pertanyaan ‗kapan lulus?‘
atau ‗kapan sidang?‘ yang amat sangat memicu semangat penulis.
Harapan penulis agar tulisan yang penulis buat ini dapat memenuhi
tujuannya dan semoga tulisan ini dapat dicatat sebagai salah satu amal oleh Allah
SWT yang bermanfaat baik bagi Penulis maupun bagi pembaca. Tulisan ini
adalah karya manusia. Apa yang hari ini Penulis yakini benar dapat berubah suatu
saat nanti. Sesungguhnya kesempurnaan adalah milik Allah SWT sedangkan
kekurangan yang ada adalah bagian dari diri Penulis.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, Juli 2015
Penulis
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................. iii
ABSTRACT ........................................................................................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN ......................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
C. Pertanyaan Penelitian..................................................................................... 5
D. Tujuan ............................................................................................................ 5
E. Manfaat .......................................................................................................... 6
F. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9
A. Pelaporan Kesalahan Medis ........................................................................... 9
1. Definisi Kesalahan Medis ......................................................................... 9
2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis ........ 10
B. Konsep Pembentukan Persepsi .................................................................... 11
C. Konsep Keselamatan di Rumah Sakit.......................................................... 12
1. Definisi Keselamatan Pasien................................................................... 13
2. Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia ......................... 14
3. Tujuan Keselamatan Pasien .................................................................... 17
4. Insiden Keselamatan Pasien .................................................................... 17
D. Budaya Keselamatan Pasien ........................................................................ 19
1. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien ............................................... 20
2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan AHRQ ................... 24
E. Rumah Sakit................................................................................................. 33
1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum ............................................................. 33
xii
2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus ............................................................ 34
F. Analisis Kesesuaian Uji Hipotesis ............................................................... 35
G. Kerangka Teori ............................................................................................ 35
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL & HIPOTESIS . 37
A. Kerangka Konsep......................................................................................... 37
B. Definisi Operasional .................................................................................... 40
C. Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 43
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 45
A. Desain Penelitian ......................................................................................... 45
B. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................... 45
C. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................... 45
D. Alat dan Cara Pengumpulan Data................................................................ 47
E. Pengolahan Data, Uji Validitas dan Realibilitas.......................................... 49
F. Metode Analisis Data .................................................................................. 50
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 53
A. Gambaran Umum Rumah Sakit X ............................................................... 54
B. Analisis Univariat ........................................................................................ 55
1. Karakteristik Responden Penelitian ........................................................ 55
2. Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan ............... 56
3. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien.................................................. 56
C. Analisis Bivariat .......................................................................................... 58
BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN ............................................................ 68
A. Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 68
B. Gambaran Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis ......................................... 68
C. Gambaran Dimensi Budaya Keselamatan Pasien dan Korelasinya dengan
Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis ................................................................ 72
1. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer ........................................ 73
2. Organizational learning – perbaikan berkelanjutan ............................... 77
3. Kerjasama dalam unit rumah sakit .......................................................... 81
4. Keterbukaan komunikasi ........................................................................ 84
5. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi ..... 87
6. Respon yang tidak menyalahkan ............................................................ 90
7. Penyusunan staf ...................................................................................... 93
8. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien ................... 95
9. Kerjasama antar unit di rumah sakit ....................................................... 97
10. Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain ............................ 98
xiii
BAB VII PENUTUP ........................................................................................... 101
A. Kesimpulan ................................................................................................ 101
B. Saran .......................................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 106
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2. 1 Outcome Asuhan Medis ..................................................................... 18
Bagan 2. 2 Bagan Dimensi Budaya Keselamatan Pasien ..................................... 25
Bagan 2. 3 Kerangka Teori Penelitian .................................................................. 36
Bagan 3. 1 Kerangka Konsep ................................................................................. 37
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Matriks Alat Ukur Budaya Keselamatan Pasien .................................. 22
Tabel 4. 1 Deskripsi Kuesioner Bagian Budaya Keselamatan .............................. 48
Tabel 4. 2 Kriteria Penilaian Berdasarkan Presentase .......................................... 51
Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Responden Penelitian .................................... 55
Tabel 5. 2 Gambaran Persepsi Positif Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga
Kesehatan 2015 ..................................................................................................... 56
Tabel 5.3 Gambaran Respon Positif 10 Dimensi Budaya Keselamatan Pasien pada
Tenaga Kesehatan Tahun 2015 ............................................................................. 57
Tabel 5. 4 Analisis korelasi dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan
AHRQ dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan tahun
2015 ....................................................................................................................... 58
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Kuesioner
Lampiran 2. Alat Analisis Budaya Keselamatan Pasien
Lampiran 3. Output Analisis Data
xvii
DAFTAR SINGKATAN
AHRQ : Agency for Healthcare Research and Quality
CIHI : Canadian Institute for Health Information
CSS : Culture of Safety Survey
HSOPSC : Hospital Survey of Patient Safety Culture
IHI : The Institute of Healthcare Improvement
IOM : Institute of Medicine
JCAHO : Joint Commision on Accreditation of Health Organizations
KKP-RS : Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
OSHA : Occupational Safety and Health Administration
PSCHO : Patient Safety Cultures in Healthcare Organizations
SLOAPS : Strategies for Leadership - An Organizational Approach to
Patient Safety
VHA-PSCQ : Veterans Administration Patient Safety Culture Questionnaire
WHO : World Health Organization
KTD : Kejadian Tidak Diharapkan
KNC : Kejadian Nyaris Cedera
KTC : Kejadian Tidak Cedera
KPC : Kondisi Potensial Cedera
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan adalah keadaan sempurna baik secara fisik, mental, spritual
maupun sosial yang nantinya akan berpengaruh terhadap kinerja dan produktivitas
(Republik Indonesia, 2009a; Nurcahyo, 2008). Organisasi kesehatan berupa
rumah sakit diperlukan sebagai upaya perbaikan status kesehatan.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 menyatakan
bahwa setiap tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan dengan selalu
mengutamakan keselamatan pasien. Namun faktor keberagaman dan kerutinan
pelayanan kesehatan yang diberikan serta lingkungan rumah sakit yang kompleks
dengan berbagai macam profesi, peralatan, prosedur, infrastruktur dan kebijakan
dapat berpotensi menimbulkan kesalahan medis yang berujung pada insiden
keselamatan pasien (Kalra dkk., 2013; Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2006; Occupational Safey and Health Administration, 2014).
Perhatian dunia terhadap keselamatan pasien dimulai dari laporan Institute
of Medicine pada tahun 1999 terkait kesalahan medis dan jumlah kasus kejadian
tidak diharapkan (Classen dkk., 2011; Hercules, 2010). Occupational Safey and
Health Administration (2014) menyatakan bahwa sejak dirintis laporan
tersebutlah aspek keselamatan pasien mulai dipandang dengan pola pendekatan
sistem seperti aspek keselamatan pada bidang industri lainnya seperti manufaktur
2
2
ataupun penerbangan. Karena pada dasarnya isu keselamatan pasien berhubungan
erat dengan isu keselamatan tenaga kesehatan itu sendiri.
Meginniss dkk. (2012) menyatakan bahwa lebih dari 40.000 insiden
keselamatan pasien terjadi di Inggris setiap hari. Selanjutnya World Health
Organization (2014) mengungkapkan fakta mengejutkan yang menyatakan bahwa
1 dari 10 pasien di negara berkembang termasuk Indonesia mengalami cedera
pada saat menjalani pengobatan di rumah sakit.
Pada hakikatnya seluruh kesalahan medis yang terlaporkan masih
merupakan sebagian kecil dari jumlah sebenarnya (Suharjo dan Cahyono, 2008).
Hingga saat ini, tingkat pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan masih
sangat rendah (Youngson, 2014). Di Indonesia, Komite Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (2011) menyatakan bahwa sepanjang tahun 2010 telah didapatkan
103 laporan insiden keselamatan pasien dari rumah sakit di seluruh Indonesia.
Sementara itu Kementerian Kesehatan dalam Bambang (2011) juga menyatakan
bahwa pada tahun 2010 terdapat 1523 rumah sakit di Indonesia dengan 653
diantaranya sudah terakreditasi. Jumlah laporan yang sangat kecil bila
dibandingkan dengan jumlah rumah sakit yang telah terakreditasi pada saat itu
mengindikasikan tingkat pelaporan yang rendah di Indonesia.
Padahal pelaporan kesalahan medis merupakan upaya fundamental sebagai
pencegahan terjadinya kesalahan medis (Kachalia dan Bates, 2014), karena
pelaporan kesalahan medis dibutuhkan sebagai salah satu upaya dalam proses
pembelajaran dan evaluasi berkelanjutan (Lamo, 2011). Reason dalam Wolf dan
Hughes pada tahun 2005 menyatakan bahwa terjadinya kesalahan medis maupun
3
insiden keselamatan pasien di suatu rumah sakit menunjukkan adanya masalah
dalam jumlah besar pada sistem keselamatan di rumah sakit tersebut. Namun
Calado Monteiro dan Santos Natário (2014) mengungkapkan bahwa masalah-
masalah yang terjadi dalam sistem keselamatan dapat diatasi dengan penerapan
budaya keselamatan pasien. Hal ini dapat terjadi karena budaya keselamatan
pasien dapat mendukung pembangunan sistem yang kondusif bagi kegiatan
perawatan pasien yang aman serta bebas dari kesalahan medis.
Budaya keselamatan pasien didefiniskan sebagai lingkungan yang
mendukung dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan, melibatkan
kepemimpinan tingkat atas dan berfokus pada sistem (AORN Journal, 2006).
Dengan adanya budaya keselamatan pasien akan tercipta sistem keselamatan yang
efektif baik untuk melindungi pasien maupun seluruh tenaga kesehatan yang
berada dalam ruang lingkup rumah sakit. Terutama untuk melindungi tenaga
kesehatan dari tuntutan pasien ketika terjadi kesalahan medis (Lamo, 2011).
Pembentukan persepsi positif terhadap pelaporan kesalahan medis pada
tenaga kesehatan membutuhkan budaya keselamatan pasien yang nantinya akan
membentuk lingkungan yang bebas dari perilaku saling menyalahkan atas
kesalahan medis yang terjadi (El-Jardali dkk., 2011). Hal sama juga diungkapkan
Beginta (2012) bahwa persepsi pelaporan kesalahan medis dipengaruhi oleh gaya
kepemimpinan, kerja tim dan budaya keselamatan.
Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y adalah rumah sakit dengan perbedaan
kelas serta karakteristik pelayanan, dimana Rumah Sakit X merupakan rumah
sakit umum kelas B dan Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit khusus kelas A.
4
Budaya dan lingkungan yang berbeda sebagai stimulus akan memunculkan
persepsi yang berbeda pada tenaga kesehatan. Pada penelitian ini akan dilihat
korelasi budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di
masing-masing rumah sakit.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang didapatkan melalui in-depth
interview dengan informan pada 2 rumah sakit kelas A, 3 rumah sakit kelas B dan
2 rumah sakit kelas C di Jakarta didapatkan informasi bahwa tingkat kemauan
tenaga kesehatan yang bekerja 7 rumah sakit tersebut dalam melaporkan
kesalahan medis yang terjadi masih rendah. Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y
memberikan ijin untuk melakukan penelitian lebih lanjut sedangkan 5 rumah sakit
lainnya menolak untuk memberikan ijin penelitian.
Selain hal tersebut, penelitian terkait pelaporan kesalahan medis di
Indonesia juga masih sedikit. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian terkait korelasi budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan
kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di masing-masing Rumah Sakit Y Jakarta
dan Rumah Sakit X.
B. Rumusan Masalah
Setiap rumah sakit memiliki sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang
berbeda sesuai dengan potensi bahaya dan karakteristik pelayanan di dalam rumah
sakit tersebut. Dengan berlakunya sistem keselamatan pasien yang berbeda maka
akan terbentuk budaya berbeda yang dibentuk oleh setiap orang yang berada
didalam rumah sakit tersebut. Budaya keselamatan pasien sendiri merupakan
bagian dari budaya rumah sakit yang berperan penting untuk meningkatkan
5
persepsi positif terhadap pelaporan kesalahan medis. Karena masalah pelaporan
kesalahan medis yang rendah di rumah sakit dipengaruhi oleh persepsi tenaga
kesehatan yang tidak tepat terhadap pelaporan kesalahan medis. Berdasarkan hal
tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai ―Korelasi Budaya
Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga
Kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta Tahun 2015‖.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah gambaran budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit X
dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015?
2. Bagaimanakah gambaran persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga
kesehatan Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015?
3. Apakah terdapat korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan
persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y
Jakarta tahun 2015?
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi budaya
keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh
tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun
2015.
2. Tujuan Khusus
Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
6
a. Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien dimasing-masing
Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun 2015.
b. Mengetahui gambaran persepsi positif pelaporan kesalahan medis pada
tenaga kesehatan di masing-masing Rumah Sakit X dan Rumah Sakit
Y Jakarta pada tahun 2015.
c. Menggambarkan korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan
persepsi pelaporan kesalahan medis di masing-masing Rumah Sakit X
dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun 2015.
E. Manfaat
1. Bagi Peneliti
a. Dapat menjadi proses pembelajaran serta implementasi seluruh ilmu
yang didapatkan selama pendidikan.
b. Dapat menjadi media untuk mengembangkan ilmu serta praktiknya.
2. Bagi Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui informasi
terkait korelasi budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan
kesalahan medis di masing-masing rumah sakit.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam evaluasi dan
pembuatan kebijakan program peningkatan keselamatan dan kesehatan
kerja serta perlindungan tenaga kerja dari kesalahan medis di masing-
masing rumah sakit.
7
3. Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
a. Penelitian ini menjadi salah satu upaya untuk mengimplementasikan
Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran,
penelitian dan pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi mahasiswa
mengenai budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan
kesalahan medis oleh tenaga kesehatan.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berjudul korelasi budaya keselamatan pasien dengan persepsi
pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y tahun 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara budaya keselamatan
pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah
Sakit Y Jakarta. Penelitian ini akan dilakukan oleh mahasiswi Peminatan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan objek penelitian adalah perawat, dokter dan
tenaga kesehatan lain di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y.
Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta
pada bulan Desember 2014-Juni 2015. Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif dengan desain studi cross-sectional dengan pengumpulan data berupa
pengisian kuesioner. Kuesioner dimensi budaya keselamatan yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner Hospital Survey on Patient
Safety Culture sedangkan kuesioner persepsi pelaporan kesalahan medis yang
digunakan adalah kuesioner yang dikembangkan oleh Romi Beginta pada tahun
8
2012. Analisis data yang akan digunakan hanya berupa analisis univariat dan
bivariat dengan uji korelasi. Uji korelasi merupakan uji hipotesis untuk variabel
independen dan dependen yang bersifat numerik dilakukan pada tiap dimensi
yang ada dalam budaya keselamatan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pelaporan Kesalahan Medis
Laporan adalah suatu pernyataan baik secara lisan atau tulisan yang
menjelaskan tentang suatu kejadian atau tindakan yang telah (Siswandi, 2011).
Pelaporan kesalahan medis digunakan sebagai pembelajaran bagi organisasi
dalam memperbaiki sistem pelayanan dan pelaporan sebagai hal yang sangat
penting dalam upaya membangun budaya keselamatan pasien terutama dalam
mencegah pengulangan kesalahan yang sama (Wolf dan Hughes, 2005; Gulley,
2007). Espin dkk. (2007) juga menyatakan bahwa pembangunan mekanisme
pelaporan kesalahan medis adalah strategi yang pertama ditekankan oleh IOM.
Penerapan strategi tersbeut di Indonesia diimplementasikan melalui tujuh standar
keselamatan pasien yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
1. Definisi Kesalahan Medis
Kesalahan medis diartikan oleh AHRQ sebagai kesalahan yang terjadi
pada proses perawatan dan berpotensi menciderai pasien. Kesalahan medis
diantaranya adalah kegagalan melakukan tindakan yang telah direncanakan
atau penggunaan rencana yang tidak tepat untuk mencapai tujuan tertentu.
Kesalahan medis dapat berupa output dari tindakan yang dilakukan atau
tindakan yang tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan (Agency for Healthcare
Research and Quality, 2003).
10
Kesalahan medis adalah kegagalan dalam proses tetapi tidak dilakukan
secara sengaja untuk menciderai pasien. Kesalahan medis yang tidak
menimbulkan bahaya disebut hampir celaka atau near-miss (White dan
Gallagher, 2013). Kesalahan medis juga dapat didefinisikan sebagai kegagalan
proses yang tidak secara esensial membahayakan pasien namun kesalahan
medis dapat berujung pada timbulnya kejadian tidak diharapkan atau jenis
insiden keselamatan lainnya (Ghazal dkk., 2014).
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesalahan
medis adalah kegagalan tenaga kesehatan dalam suatu proses yang berpotensi
menimbulkan insiden keselamatan pasien.
2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis
Pelaporan kesalahan medis memerlukan pengungkapan kesalahan yang
tepat (Wolf dan Hughes, 2005). Dan untuk mencapai pelaksanaan pelaporan
kesalahan medis yang optimal diperlukan faktor pendukung. Faktor
pendukung persepsi pelaporan kesalahan medis adalah :
a. Kesempatan untuk belajar langsung dari kesalahan medis yang terjadi
(learning opportunity) (Waters dkk., 2012).
b. Sikap proaktif terhadap keselamatan pasien (Waters dkk., 2012).
c. Kewajiban profesi (Waters dkk., 2012).
d. Budaya keselamatan pasien (Sorra dan Nieva, 2004)
11
Selain faktor pendukung, terdapat juga beberapa penghambat dari
pelaporan kesalahan medis diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Standar operasional prosedur pelaporan kesalahan medis yang
menyulitkan (Wolf dan Hughes, 2005).
b. Kurangnya feedback dan dukungan organisasi terhadap pelaporan
insiden (Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; White dan
Gallagher, 2013; Lederman dkk., 2013).
c. Budaya yang menyalahkan apabila kesalahan medis tersebut terungkap
(Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; Waters dkk., 2012;
Espin dkk., 2007).
d. Waktu yang dibutuhkan untuk melapor (Winsvold Prang dan Jelsness-
Jørgensen, 2014; White dan Gallagher, 2013; Lederman dkk., 2013;
Sinicki dkk., 2012).
e. Derajat keparahan cidera akibat kesalahan medis yang terjadi
(Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; Williams dkk., 2013;
White dan Gallagher, 2013; Wolf dan Hughes, 2005).
B. Konsep Pembentukan Persepsi
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan persepsi sebagai tanggapan
(penerimaan) atas sesuatu (Setiawan, 2014). Persepsi didefinisikan lebih aplikatif
lagi sebagai kemampuan untuk membeda-bedakan, mengelompokkan,
memfokuskan dan selanjutnya diinterpretasikan (Sarwono, 2010).
Persepsi berlangsung saat tenaga kesehatan menerima stimulus dari dunia
luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk ke dalam
12
otak. Didalamnya terjadi proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam
sebuah pemahaman. Pemahaman inilah yang disebut sebagai persepsi. (Sarwono,
2010)
Sebelum terjadi persepsi pada tenaga kesehatan, diperlukan stimuli yang
merangsang individu dan stimuli tersebut haruslah ditangkap melalui organ-organ
tubuh individu yang diantaranya adalah panca indra. Selanjutnya sensasi dari
stimulan dibawa ke dalam sistem syaraf dan dilakukan penambahan informasi
kepada stimulus yang diterima yang didapat sebagai interpretasi hingga kemudian
menjadi persepsi. Organisasi dalam persepsi mengikuti beberapa prinsip
diantaranya wujud dan latar (figure and ground atau emergence), pola
pengelompokan serta ketetapan (Sarwono, 2010).
C. Konsep Keselamatan di Rumah Sakit
Konsep keselamatan yang berlaku pada rumah sakit tidak berbeda dengan
yang berlaku pada dunia industri lainnya dimana keselamatan dipandang dengan
pola pendekatan sistem dan bukan individu. Karena pada dasarnya keselamatan
tenaga kerja berhubungan erat dengan keselamatan pasien (Occupational Safey
and Health Administration, 2014).
Lingkungan yang aman bagi pasien juga akan menjadi lingkungan yang lebih
aman bagi pekerja dan sebaliknya karena keduanya terikat dalam banyak aspek
kebudayaan yang sama serta isu sistemik yang terjadi didalam lingkungan rumah
sakit. Salah satu contohnya adalah bahaya yang ada dalam ruang lingkup rumah
sakit yang disebabkan oleh lemahnya sistem pengendalian infeksi, kelelahan
ataupun kesalahan teknis dapat menimbulkan cidera atau penyakit bukan hanya
13
berbahaya terhadap pasien tetapi juga kepada pekerja di rumah sakit tersebut.
Tenaga kesehatan yang harus senantiasa berhadapan dengan lingkungan yang
tidak menempatkan keselamatan dan kesehatan mereka sebagai prioritas utama
tidak akan bisa memberikan pelayanan kesehatan yang benar-benar bebas dari
kesalahan (Occupational Safey and Health Administration, 2014).
1. Definisi Keselamatan Pasien
Keselamatan merupakan isu global termasuk juga untuk rumah sakit
World Health Organization (2014). Ada lima isu penting keselamatan di
rumah sakit dan salah satunya adalah keselamatan pasien (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Canadian Council on Health Services Accreditation (2003) memberikan
definisi keselamatan pasien yakni pencegahan dan mitigasi dalam lingkup
pelayanan kesehatan. Konsep mengenai keselamatan pasien berikutnya lebih
menggambarkan outcome dari keselamatan pasien dimana keselamatan pasien
diartikan sebagai reduksi dan mitigasi perilaku tidak aman didalam ruang
lingkup sistem pelayanan kesehatan, melalui pelaksanaan pelayanan terbaik
yang terbukti menghasilkan outcome pasien yang optimal (Davies dkk., 2003).
Keselamatan pasien rumah sakit sendiri adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi
kegiatan penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya
14
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan
atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Berdasarkan definisi yang disebutkan diatas maka dapat dirumuskan
bahwa keselamatan pasien merupakan usaha-usaha yang dilaksanakan dalam
melakukan pencegahan kesalahan yang ditimbulkan dari perilaku tidak aman
serta mitigasi untuk meringankan outcome yang tidak diharapkan seperti
insiden keselamatan pasien dalam rangka pelaksanaan upaya kesehatan yang
optimal.
Strategi untuk memperbaiki keselamatan pasien meliputi pembuatan
budaya yang mendukung identifikasi dan pelaporan perilaku tidak aman,
pengukuran yang efektif terhadap cidera yang dialami pasien dan indikator
outcome relevan lainnya serta alat untuk membangun atau menyesuaikan
struktur dan proses untuk mereduksi kepercayaan terhadap kewaspadaan yang
dimiliki tiap individu (Canadian Council on Health Services Accreditation,
2003).
2. Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia
Standar keselamatan pasien di Indonesia dibuat dengan mengacu kepada
Hospital Patient Safety Standards yang dikeluarkan oleh Joint Commision on
Accreditation of Health Organizations (JCAHO) pada tahun 2002 yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia. Standar
keselamatan pasien di Indonesia disusun dalam Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang kemudian diterbitkan oleh Departemen
15
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006. Standar keselamatan tersebut
diantaranya adalah :
a. Hak pasien
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan
informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk
kemungkinan terjadinya kejadian tidak diharapkan.
b. Mendidik pasien dan keluarga
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang
kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Rumah Sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
d. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk
melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki
proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis secara intensif kejadian tidak
diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja serta keselamatan pasien.
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
1) Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program
keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi
16
melalui penerapan ―Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien Rumah Sakit ‖.
2) Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif
untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program
menekan atau mengurangi kejadian tidak diharapkan.
3) Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan
koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan
pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.
4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk
mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit
serta meningkatkan keselamatan pasien.
5) Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya
dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan
pasien.
f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
1) Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan
orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan
dengan keselamatan pasien secara jelas
2) Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara
kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin
dalam pelayanan pasien.
17
g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien
1) Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses
manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi
kebutuhan informasi internal dan eksternal.
2) Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
3. Tujuan Keselamatan Pasien
Berdasarkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006) maka tujuan dari
keselamatan pasien adalah sebagai berikut :
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
b. Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan
masyarakat.
c. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.
d. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian tidak diharapkan.
4. Insiden Keselamatan Pasien
Kegiatan perawatan medis tidak selalu dapat menghasilkan outcome
positif yang diharapkan namun dapat menghasilkan beberapa kemungkinan
outcome termasuk insiden keselamatan pasien. Kemungkinan outcome
tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini (Suharjo dan Cahyono, 2008).
18
Bagan 2. 1 Outcome Asuhan Medis
Sumber : Suharjo dan Cahyono (2008)
Berdasarkan bagan 2.1. dapat kita ketahui bahwa terdapat dua jenis
outcome dari asuhan medis yang diberikan yakni hasil positif dan hasil
negatif. Hasil positif berarti pasien mengalami kesembuhan atau perbaikan
dari kondisi sebelumnya sedangkan hasil negatif berarti pasien tidak sembuh
atau bahkan mengalami masalah kesehatan yang baru (Suharjo dan Cahyono,
2008). Hasil negatif yang diakibatkan kesalahan medis berupa cidera atau
kejadian tidak diharapkan.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1691 terdapat 3 jenis insiden keselamatan pasien diantaranya adalah :
a. Kejadian tidak diharapkan (KTD) atau adverse events adalah insiden
yang mengakibatkan cedera pada pasien (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2011). Kejadian tidak diharapkan juga diartikan
sebagai cidera yang tidak dikehendaki atau komplikasi yang
menghasilkan kecacatan, kematian atau periode perawatan yang
diperlama. (Canadian Institute for Health Information, 2003).
19
Selanjutnya kejadian tidak diharapkan didefinisikan secara lebih
spesifik sebagai sebuah outcome merugikan bagi pasien, termasuk
cedera atau komplikasi dimana outcome tersebut berasal dari
manajemen medis yang diterima pasien dan bukan dari penyakit dasar
yang diderita oleh pasien (Wang dkk., 2014).
b. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) atau near miss adalah terjadinya
insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.
c. Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang sudah terpapar ke
pasien, tetapi tidak timbul cedera.
d. Kondisi Potensial Cedera (KPC) adalah kondisi yang sangat
berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
e. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian
atau cedera yang serius
D. Budaya Keselamatan Pasien
Budaya keselamatan merupakan salah satu bagian penting dari keseluruhan
budaya yang dianut dalam organisasi. Budaya keselamatan adalah produk dari
nilai individu dan kelompok, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang
menentukan komitmen untuk, dan gaya serta kecakapan dari manajemen
keselamatan dan kesehatan organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan
positif ditandai dengan komunikadi yang dibangun atas kepercayaan mutual,
dengan persepsi bersama terhadap pentingnya keselamatan dan dengan efikasi
dari pengukuran preventif (Advisory Committee on the Safety of Nuclear
Installations, 1993).
20
Budaya keselamatan juga didefiniskan sebagai lingkungan yang mendukung
dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan, melibatkan kepemimpinan
tingkat atas dan berfokus pada sistem (AORN Journal, 2006). Konsep budaya
keselamatan pasien dikembangkan dari konteks budaya keselamatan di dunia
industri dimana budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai keyakinan, nilai,
perilaku, yang dihubungkan dengan keselamatan pasien dan dianut bersama oleh
tenaga kesehatan yang berada didalam ruang lingkup rumah sakit (Beginta, 2012).
Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka budaya keselamatan pasien
dapat diartikan sebagai keyakinan, nilai, perilaku yang mendukung keselamatan
pasien dan dianut oleh seluruh anggota organisasi kesehatan yang membentuk
lingkungan yang mendukung dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan,
melibatkan kepemimpinan tingkat atas dan berfokus pada sistem. Budaya dalam
organisasi kesehatan merupakan hal yang penting dan menentukan proses
kemampuan pendeteksian serta penanganan kesalahan yang telah terjadi (Kohn
dan Corrigan, 1999).
1. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien
Pengukuran budaya keselamatan pada umumnya dilakukan pada tiap
individu kemudian dijadikan agregat pada tingkat yang lebih tinggi. Derajat
kesamaan persepsi pekerja terhadap budaya keselamatan itulah yang menjadi
kelebihan yang patut dipertimbangkan dari pengukuran budaya keselamatan
(Flin dkk., 2006).
Terdapat berbagai alat ukur untuk mengukur budaya keselamatan dengan
karakteristik organisasi dan dimensi budaya yang berbeda. Budaya
21
keselamatan pada dunia industri lain memiliki dimensi esensial berupa
komitmen manajemen terhadap keselamatan. Sedangkan dimensi yang
umumnya diukur pada tiap alat pengukuran budaya keselamatan di industri
adalah manajemen, sistem keselamatan, risiko, pressure pekerjaan,
kompetensi dan prosedur. Organisasi kesehatan sendiri mengembangkan
definisi dan/atau alat pengukuran budaya keselamatan pasien berdasarkan
literatur budaya keselamatan di industri (Flin dkk., 2006).
C Burns dan S Yulle dalam Flin dkk. (2006) menjabarkan dimensi
budaya keselamatan pasien yang paling umum diukur di rumah sakit adalah
manajemen, sistem keselamatan, persepsi risiko, tuntutan pekerjaan, pelaporan
atau pengungkapan, sikap atau perilaku keselamatan, komunikasi atau
feedback, kerjasama, sumber daya individu dan faktor organisasional. Berikut
ini adalah karakteristik dari tiap-tiap alat ukur yang dapat digunakan untuk
mengukur budaya keselamatan pasien pada seluruh unit secara umum dan
tidak terfokus pada salah satu profesi tenaga kesehatan (Robb dan Seddon,
2010; Colla dkk., 2005).
22
Tabel 2. 1 Matriks Alat Ukur Budaya Keselamatan PasienMatriks Alat
Ukur Budaya Keselamatan Pasien
Karakteristik Nama Alat ukur
SLOAPS PSCHO VHA PSCQ HSOPS CSS
Pengembang IHI Singer, dkk Burr, dkk. AHRQ Weingart, dkk
Karakteristik umum alat ukur
Untuk diisi secara
individual
Tidak Ya Ya Ya Ya
Jumlah pertanyaan 58 45 112 44 34
Dimensi Yang Tercakup
Manajemen Ya Ya Ya Ya Ya
Kebijakan dan
prosedur
Ya Sebagian Ya Sebagian Tidak
Penyusunan staf Ya Sebagian Ya Ya Sebagian
Komunikasi Ya Ya Ya Ya Ya
Pelaporan Ya Ya Ya Ya Ya
Cronbach’s Alpha - - 0.45-0.90 0.63-0.83 "Buruk"
Penggunaannya pada studi yang telah dilakukan sebelumnya
Perbandingan
dengan institusi lain
Tidak Ya Tidak Ya Ya
Korelasi dengan
pelaporan
Tidak Tidak Tidak Ya Ya
Sumber : Robb dan Seddon (2010); J.B. Colla (2005)
Dari matriks diatas dapat kita lihat masing-masing kelebihan dan kekurangan
dari seluruh alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur budaya keselamatan
pasien di rumah sakit secara umum. Instrumen pertama adalah SLOAPS yang
merupakan akronim dari Strategies for Leadership: An Organizational Approach
to Patient Safety dan merupakan alat ukur yang dikembangkan oleh The Institute
of Healthcare Improvement (Inoue dkk.) yang dpat digunakan untuk mengukur
budaya keselamatan pasien pada tiap bagian di rumah sakit namun kelemahan dari
alat ukur ini adalah alat ukur ini tidak dapat mengukur budaya keselamatan secara
individual pada tiap tenaga kesehatan melainkan harus diisi oleh manajer tenaga
kesehatan yang telah senior (World Health Organization, 2009). Selain itu nilai
23
Cronbach’s Alpha instrumen ini tidak diketahui sehingga tidak dapat
dibandingkan nilai realibilitas dan validitasnya.
PSCHO atau Patient Safety Cultures in Healthcare Organizations
merupakan instrumen yang dikembangkan oleh Singer dkk. pada tahun 2003.
Secara umum matriks ini dapat mengukur seluruh dimensi yang umum terdapat
pada budaya keselamatan namun tidak didapatkan penelitian yang melakukan
pengukuran budaya keselamatan untuk dikaitkan dengan pelaporan karena
instrumen ini memang tidak memiliki outcome spesifik sehingga hanya dapat
menggambarkan budaya keselamatan secara umum. Selain itu nilai Cronbach’s
Alpha dari instrumen juga tidak diketahui secara spesifik.
VHA-PSCQ atau Veterans Administration Patient Safety Culture
Questionnaire adalah instrumen yang dikembangkan oleh Burr dkk. pada tahun
2000 yang menjadi cikal bakal dari HSOPS. Jumlah pertanyaan instrumen ini
cenderung terlalu banyak bila dibandingkan dengan instrumen lainnya dengan
Cronbach’s Alpha yang masih lebih rendah bila dibandingkan dengan HSOPS.
HSOPS atau Hospital Survey on Patient Safety merupakan pengembangan
dari VHA-PSCQ dan mencakup seluruh dimensi yang akan diukur dalam
penelitian ini. Nilai Cronbach’s Alpha dalam instrumen ini juga tergolong lebih
tinggi. HSOPS juga memiliki dimensi outcome berupa pelaporan dan didukung
oleh database AHRQ yang dapat diakses. Alat analisa data HSOPS juga mudah
didapatkan yakni berupa aplikasi Hospital Survey on Patient Safety Culture Data
Entry and Analysis Tools (Agency for Healthcare Research and Quality, 2014).
HSOPS juga memiliki kriteria psikometrik spesifik yang lebih baik dibandingkan
24
instrumen lain karena telah dilakukan pengujian yang lebih sistematik pada
struktur internalnya (Flin dkk., 2006).
CSS atau Culture of Safety Survey adalah instrumen yang dikembangkan
oleh Weingart dkk. pada tahun 2004 untuk mengukur budaya keselamatan.
Instrumen ini cocok untuk digunakan di tiap unit di rumah sakit dan memiliki
jumlah item yang relatif lebih sedikit dibanding instrumen lain namun tidak
mencakup seluruh dimensi yang diinginkan dalam penelitian ini. Selain itu nilai
Cronbach’s Alpha dari instrumen ini tidak diketahui dan hanya diberikan
statement bahwa nilai Cronbach’s Alpha CSS berada pada kategori ‗buruk‘.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa HSOPS lebih adekuat untuk
digunakan mengukur budaya keselamatan pasien dalam penelitian ini.
2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan AHRQ
Terdapat 3 aspek dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ
(Stone dkk., 2006; Sorra dan Nieva, 2004) yakni dimensi budaya keselamatan
pasien pada tingkat unit, tingkat rumah sakit dan dimensi outcome keselamatan
yang dapat digambarkan dalam bagan berikut.
25
Bagan 2. 2 Bagan Dimensi Budaya Keselamatan Pasien
Sumber : AHRQ dalam Sorra dan Nieva (2004)
Pada tingkat unit terdapat 7 aspek budaya keselamatan pasien yang dapat
diukur diantaranya adalah :
a. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer (kepemimpinan)
Kepemimpinan memegang peran penting dalam pelaksanaan
manajemen keselamatan yang efektif, mulai dari pemimpin tim hingga
middle-manager (seperti contohnya kepala unit rumah sakit) pada tingkat
taktis pelaksana maupun top-level manager (seperti contohnya manajer
senior rumah sakit) pada tingkat perencanaan strategis. Perhatian
terhadap kepemimpinan dan outcome keselamatan ditunjukkan dengan
banyaknya penelitian yang meneliti kepemimpinan baik pada sikap,
perilaku maupun gaya kepemimpinan (World Health Organization,
Tingkat Unit • Tindakan promotif keselamatan
oleh manajer/supervisor
• Perbaikan berkelanjutan
• Kerjasama dalam rumah sakit
• Keterbukaan komunikasi
• Umpan balik dan komunikasi
terkait kesalahan yang terjadi
• Respon yang tidak menyalahkan
• Penyusunan staf
Tingkat Rumah Sakit • Dukungan manajemen rumah sakit
terhadap budaya keselamatan
pasien
• Kerjasama antar unit di rumah
sakit
• Serah terima dan transisi pasien
dari unit ke unit lain
Outcome Keselamatan • Persepsi keselamatan
secara keseluruhan
• Frekuensi kejadian yang
dilaporkan
• Tingkat Keselamatan
pasien pada unit
• Jumlah kejadian yang
dilaporkan
26
2009). Katz-Navon (2005) dalam WHO (2009) menyatakan bahwa ketika
keselamatan betul-betul diprioritaskan oleh manajer maka terjadi
penurunan jumlah kesalahan medis yang terjadi di unit rumah sakit
tersebut.
Senior manager perlu menunjukkan komitmen mereka terhadap
keselamatan dengan mengunjungi bangsal perawatan dan hal ini terbukti
berpengaruh terhadap budaya keselamatan pada tenaga perawat (Thomas
dkk., dalam WHO, 2009). Pendekatan lainnya adalah dengan
memberikan feedback terhadap komitmen tenaga kesehatan pada
keselamatan pasien. Sedangkan middle-manager harus terlibat langsung
dalam inisiatif keselamatan di unit terkait serta terus menekankan kepada
tenaga kesehatan bahwa keselamatan lebih penting daripada
produktivitas (World Health Organization, 2009).
b. Organizational learning-perbaikan berkelanjutan
Organizational learning adalah kegiatan proaktif yang dapat
menciptakan serta mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi
kesehatan (Kreitner dan Kinicki, 2007). Rumah sakit haruslah menjadi
organisasi pembelajar agar dapat melakukan perbaikan berkelanjutan
pada sistem keselamatan dan kesehatan.
Konsep learning organization merupakan konsep yang penting
dalam mendukung upaya penerapan dan peningkatan program
keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit. Dengan adanya aspek
organizational learning yang baik maka diharapkan akan terjadi
27
perbaikan yang berkelanjutan sehingga tercipta budaya keselamatan
pasien yang baik.
c. Kerjasama dalam rumah sakit
Kerjasama adalah kegiatan atau usaha yg dilakukan oleh beberapa
orang baik dalam berupa lembaga, pemerintah atau organisasi untuk
mencapai tujuan bersama (Setiawan, 2014) Kerjasama dalam rumah sakit
merupakan aspek penting dalam tiap organisasi karena banyak pekerjaan
yang melibatkan banyak orang dalam pelaksanaannya. Hal tersebut juga
berlaku di rumah sakit dimana hampir semua pelayanan kesehatan yang
diberikan melibatkan tenaga kesehatan dalam kelompok interdisiplin
(WHO, 2009).
Kerjasama tim dalam rumah sakit merupakan aspek krusial yang
harus dikembangkan untuk memastikan keselamatan pasien. Schaefer
dkk. dalam WHO (2009) menyatakan bahwa 70-80% kesalahan medis
yang terjadi merupakan akibat buruknya komunikasi dan pengertian
dalam tim.
d. Keterbukaan komunikasi
Keterbukaan komunikasi diwujudkan dengan adanya komunikasi
efektif yang menyeluruh mengenai hal-hal yang terjadi dan terkait
keselamatan pasien pada saat serah terima maupun pada saat briefing.
Keterbukaan komunikasi akan lebih baik jika terdapat pendekatan
standarisasi komunikasi mengenai hal-hal apa yang wajib
dikomunikasikan kepada rekan sejawatnya. Karena komunikasi yang
28
buruk saat serah terima akan menyebabkan kurang atau hilangnya
informasi pasien yang penting pada rekan sejawatnya yang berikutnya
akan menangani pasien tersebut.
Prinsip komunikasi terbuka tenaga kesehatan juga dengan pasien dan
keluarganya bila ada risiko atau kejadian yang tidak diharapkan. Pasien
berhak mendapat dukungan dan perlindungan bila terjadi kesalahan
medis. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh
komunikasi saling percaya, oleh persepsi bersama pentingnya
keselamatan, dan oleh kepercayaan dalam keberhasilan langkah-langkah
pencegahan (The comission of patient safety and quality assurance of
Irlandia, 2008).
e. Umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi
Menurut The Joint Commission dalam White (2013) kegagalan
komunikasi adalah faktor utama dan terpenting dari terjadinya kesalahan
medis di rumah sakit karena tenaga kesehatan dapat meminimalisasi
kesalahan medis atau kondisi potensial kesalahan medis di rumah sakit
yang sebelumnya dihadapi oleh rekan sejawat dalam timnya. Kegagalan
komunikasi seringkali merupakan kombinasi keteledoran manusia dan
kegagalan sistem yang laten dalam sistem keselamatan dan kesehatan
kerja di rumah sakit.
Ketiadaan atau minimnya umpan balik terkait kesalahan medis yang
terjadi juga merupakan salah satu kegagalan komunikasi. Lederman
(2013) menyatakan bahwa perawat dan dokter seringkali tidak
29
melaporkan kesalahan medis yang terjadi akibat ketiadaan umpan balik
yang mereka dapatkan dari kegiatan pelaporan yang telah mereka
lakukan. Ketika tenaga kesehatan telah meluangkan waktunya untuk
melakukan pelaporan disaat mereka seharusnya bisa melakukan kegiatan
lain, tenaga kesehatan menginginkan adanya outcome positif.
f. Respon yang tidak menyalahkan
Respon yang tidak menyalahkan baik dari manajemen maupun rekan
sejawat atas pelaporan kesalahan medis yang terjadi dibutuhkan untuk
dapat mendukung adanya budaya pelaporan kesalahan medis yang
efektif. Karena hingga saaat ini ketakutan akan adanya penyalahan
individu yang melakukan pelaporan masihlah menjadi faktor penghambat
pelaporan kesalahan medis di rumah sakit.
Lingkungan yang tidak menyalahkan diperlukan untuk menghindari
adanya under-reporting dalam pelaporan kesalahan medis. Lingkungan
dengan respon yang tidak menyalahkan tersebut dapat dibangun dengan
melakukan pendekatan sistem dimana tenaga medis melaporkan
kesalahan medis dengan berfokus pada outcome yang dihasilkan pada
kesalahan medis tersebut dan tidak berfokus pada siapa yang
melakukannya (Kachalia dan Bates, 2014).
g. Penyusunan staf
Doughlas dalam Beginta (2012) menjelaskan bahwa staffing atau
penyusunan staf adalah proses menegaskan pekerja yang ahli untuk
mengisi struktur organisasi melalui seleksi dan pengembangan personel.
30
Selain itu penyusunan staf juga didefinisikan sebagai proses menetapkan
orang-orang yang akan menduduki posisi tertentu didalam organisasi
atau dengan kata lain pemilihan penempatan tenaga kerja sesuai dengan
keterampilannya (Siswandi, 2011). Dengan adanya penyusunan staf
maka diharapkan jumlah dan keterampilan yang dimiliki setiap perawat
sesuaai dengan kebutuhan dan beban kerja di tiap unit rumah sakit.
Kesesuaian jumlah tenaga kesehatan dengan beban kerja atau
kebutuhan di tiap unit akan berpengaruh terhadap kinerja tenaga
kesehatan dalam meningkatkan keselamatan pasien. Aiken dkk. dalam
Beginta (2012) menyebutkan bahwa terdapat hubungan langsung antara
penyusunan staf pada perawat dan keselamatan pasien.
Pada tingkat rumah sakit terdapat 3 aspek budaya keselamatan pasien yang
dapat dinilai, diantaranya adalah :
a. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien
Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan dapat dilihat
dengan ada atau tidaknya sistem keselamatan pasien di dalam rumah
sakit tersebut. Sistem keselamatan pasien sendiri dapat mendukung
terciptanya iklim kerja yang mendukung keselamatan pasien di rumah
sakit. Dukungan manajemen juga dapat dilihat dari kebijakan manajemen
rumah sakit yang menunjukkan bahwa keselamatan pasien dijadikan
prioritas di rumah sakit tersebut (Rosyada, 2014).
31
b. Kerjasama antar unit di rumah sakit
Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan rangkaian kegiatan
dari berbagai unit yang ada dalam lingkup rumah sakit tersebut.
Kerjasama antar unit menunjukkan sejauh mana kekompakkan dan
kerjasama tim lintas unit atau bagian dalam melayani pasien (Rosyada,
2014). Kerjasama antar unit yang positif dapat dilihat ketika suatu unit
membutuhkan bantuan maka unit lainnya dalam rumah sakit tersebut
akan memberikan bantuan kepada unit tersebut.
c. Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain.
Transisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah peralihan
dari keadaan (tempat, tindakan dan sebagainya) kepada keadaan yang
lain. Dalam ruang lingkup keselamatan pasien rumah sakit, transisi dapat
diartikan sebagai peralihan dari satu unit ke unit lainnya.
Kegiatan serah terima dan transisi pasien merupakan dua jenis
kegiatan yang sangat rawan menghasilkan kesalahan medis karena
adanya informasi yang terlewat dan tidak tersampaikan pada rekan
sejawat yang bertugas selanjutnya. Selain informasi yang tidak
tersampaikan, pada kegiatan ini juga rentan terjadi kesalahan medis
seperti terjatuhnya pasien saat pemindahan pasien.
32
Sedangkan keluaran atau outcome dari budaya keselamatan pasien
berdasarkan AHRQ terdiri dari 4 aspek yang dapat dinilai diantaranya adalah :
a. Persepsi keselamatan secara keseluruhan
Persepsi keselamatan secara keseluruhan merupakan dimensi yang
merangkum persepsi keselamatan pasien oleh tenaga kesehatan secara
keseluruhan di rumah sakit tersebut. Dimensi ini mencakup keselamatan
pasien di seluruh unit tanpa kecuali.
b. Frekuensi pelaporan kejadian
Frekuensi pelaporan kejadian adalah persepsi tenaga kesehatan
tentang seberapa sering ia dan rekan sejawatnya membuat laporan
berupa kesalahan medis baik yang sudah terjadi ataupun tidak terjadi
serta baik mencelakai ataupun tidak mencelakai pasien.
c. Tingkat keselamatan pasien
Tingkat keselamatan pasien adalah persepsi tenaga kesehatan
terhadap tingkat keselamatan pasien di rumah sakit tersebut dari rentang
sangat baik hingga sangat buruk.
d. Jumlah kejadian yang dilaporkan
Jumlah kejadian yang dilaporkan merupakan dimensi yang
menjelaskan jumlah laporan yang dibuat oleh tenaga kesehatan dalam 12
bulan terakhir.
33
E. Rumah Sakit
Republik Indonesia (2009b) menyatakan bahwa rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Republik Indonesia (2009b) juga mengelompokkan rumah sakit berdasarkan
jenis pelayanan yang diberikan menjadi Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit
Khusus. Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang
dan jenis penyakit dan rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada
satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan
umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Dalam rangka
penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan,
rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas
dan kemampuan pelayanan rumah sakit.
1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum
a. Rumah sakit umum kelas A
Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4
spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, 12 spesialis lain dan 13 (tiga
belas) subspesialis.
34
b. Rumah sakit umum kelas B
Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4
spesialis dasar, 4 spesialis penunjang medik, 8 spesialis lain dan 2
subspesialis dasar.
c. Rumah sakit umum kelas C
Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4
spesialis dasar dan 4 spesialis penunjang medik
d. Rumah sakit umum kelas D
Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2
spesialis dasar.
2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus
a. Rumah sakit khusus kelas A
Rumah sakit khusus kelas A adalah rumah sakit khusus yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit
pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai
kekhususan yang lengkap.
b. Rumah sakit khusus kelas B
Rumah sakit khusus kelas B adalah rumah sakit khusus yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit
35
pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai
kekhususan yang terbatas.
c. Rumah sakit khusus kelas C
Rumah sakit khusus kelas C adalah rumah sakit khusus yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit
pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai
kekhususan yang minimal.
F. Analisis Kesesuaian Uji Hipotesis
Uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi. Uji
hipotesis jenis ini merupakan jenis uji hipotesis yang diperuntukkan untuk data
variabel dependen dan independen yang berjenis numerik. Seluruh data yang akan
dihasilkan dari penelitian ini bersifat numerik dan oleh karena itu peneliti
menggunakan uji korelasi untuk melihat ada atau tidaknya korelasi dan keeratan
korelasi diantara kedua variabel tersebut.
G. Kerangka Teori
Berdasarkan seluruh teori yang dipaparkan maka dapat disusun skema
kerangka teori yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaporan
kesalahan medis oleh tenaga kesehatan.
36
Bagan 2. 3 Kerangka Teori Penelitian
Sumber : Waters (2012); AHRQ (2004); Wolf dan Hughes (2005);Winsvold
Prang dan Jelsness-Jørgensen (2014); White dan Gallagher (2013); Lederman
dkk. (2013); 7Waters dkk. (2012); Sinicki dkk. (2013);
Williams dkk. (2013); El-
Jardali dkk. (2011)
37
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang dijelaskan pada bab sebelumnya maka
kerangka konsep yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
Bagan 3. 1 Kerangka Konsep
Pada kerangka konsep ini seluruh dimensi budaya keselamatan yang
terdiri dari 10 dimensi diteliti. Dimensi budaya keselamatan pasien
berdasarkan AHRQ terdiri dari tindakan promotif keselamatan oleh
manajer/supervisor, perbaikan berkelanjutan, kerjasama dalam rumah sakit,
keterbukaan komunikasi, umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang
terjadi, respon yang tidak menyalahkan, penyusunan staf, dukungan
Budaya Keselamatan Pasien
Tindakan promotif keselamatan oleh
manajer/supervisor
Perbaikan berkelanjutan
Kerjasama dalam rumah sakit
Keterbukaan komunikasi
Umpan balik dan komunikasi terkait
kesalahan yang terjadi
Respon yang tidak menyalahkan
Penyusunan staf
Dukungan manajemen rumah sakit
terhadap budaya keselamatan pasien
Kerjasama antar unit di rumah sakit
Serah terima dan transisi pasien dari
unit ke unit lain
Persepsi
Pelaporan
Kesalahan
Medis Oleh
Tenaga
Kesehatan
38
manajemen terhadap upaya keselamatan pasien, kerjasama antar unit di rumah
sakit serta serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain.
Variabel kesempatan belajar (learning opportunity) tidak diteliti karena
dapat diteliti melalui salah satu dimensi dalam variabel budaya keselamatan
pasien yakni dimensi perbaikan berkelanjutan. Keduanya sama-sama
menjelaskan bagaimana adanya pelaporan kesalahan medis dipandang sebagai
upaya pembelajaran baik bagi tenaga kesehatan maupun bagi pihak
manajemen.
Variabel sikap proaktif keselamatan pasien tidak diteliti karena upaya
dan sikap proaktif keselamatan pasien sudah dapat diteliti melalui salah satu
dimensi budaya keselamatan pasien yakni tindakan promotif keselamatan oleh
manajer. Keduanya sama-sama menjelaskan sikap proaktif individu terhadap
keselamatan pasien hanya saja pada dimensi tindakan promotif keselamatan
oleh manajer juga menjelaskan tentang respon manajer atau supervisor
terhadap sikap proaktif keselamatan pasien oleh tenaga kesehatan.
Variabel adanya kewajiban profesi tidak diteliti karena populasi
penelitian ini adalah pada dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain yang
memungkinkan adanya data homogen. Dokter, perawat dan tenaga kesehatan
lain merupakan tenaga kesehatan yang secara etik memang memiliki
kewajiban untuk melakukan pelaporan apabila terjadi kesalahan medis kepada
pihak berwenang di rumah sakit (Ghazal dkk., 2014).
Standar operasional prosedur yang berlaku di masing-masing rumah sakit
tidak diteliti karena keduanya bersifat homogen di masing-masing rumah
39
sakit. Standar operasional prosedur berlaku secara keseluruhan di tiap unit
pada masing-masing rumah sakit.
Variabel kurangnya feedback dan dukungan manajemen tidak diteliti
karena sudah dapat diteliti melalui salah satu dimensi dalam variabel budaya
keselamatan pasien yakni dimensi umpan balik dan komunikasi terkait
kesalahan yang terjadi serta dimensi dukungan manajemen terhadap upaya
keselamatan pasien.
Variabel budaya yang menyalahkan tidak diteliti karena sudah dapat
diteliti melalui salah satu dimensi budaya keselamatan pasien yakni dimensi
respon yang tidak menyalahkan. Keduanya menjelaskan tentang ada atau
tidaknya respon yang menyalahkan terkait pelaporan yang mereka lakukan.
Variabel waktu yang dibutuhkan untuk melapor tidak diteliti karena
keduanya bersifat homogen di masing-masing rumah sakit. Hal ini berkaitan
dengan penerapan standar operasional prosedur yang sama di seluruh unit
pada masing-masing rumah sakit.
Derajat keparahan cidera tidak diteliti dalam penelitian ini karena dapat
digambarkan melalui variabel persepsi pelaporan kesalahan medis yang juga
menggambarkan kemauan melapor pada saat terjadi kesalahan baik yang
menghasilkan cidera atau yang tidak menghasilkan cidera.
40
B. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Alat Ukur Skala Ukur
Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis
1 Persepsi pelaporan kesalahan
medis
Persepsi tenaga kesehatan terhadap pelaporan
kesalahan medis di rumah sakit masing-masing.
Responden
diminta
mengisi
kuesioner
Univariat :
• Rendah apabila
persentase 14%-
42,7%
• Sedang apabila
persentase
42,8%- 71,4%
• Tinggi, apabila
persentase
71,5%- 100%
Bivariat : Total
skor
Kuesioner Ordinal
untuk
univariat
dan Rasio
untuk
Bivariat
Budaya Keselamatan Pasien
2 Dimensi 1. Tindakan
promotif keselamatan oleh
manajer
Persepsi tenaga kesehatan tentang respon positif
yang diberikan atasan terhadap tindakan yang
dilakukan tenaga kesehatan yang mendukung
keselamatan pasien di unit kerja masing-masing.
Responden
diminta
mengisi
kuesioner
Persentase respon
positif untuk
univariat dan total
skor untuk bivariat
Kuesioner Rasio
3 Dimensi 2. Organizational
learning – perbaikan
Persepsi tenaga kesehatan tentang adanya budaya
pembelajaran dalam organisasi dimana kesalahan
Responden
diminta
Persentase respon
positif untuk
Kuesioner Rasio
41
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Alat Ukur Skala Ukur
berkelanjutan dijadikan bahan evaluasi dan pembelajaran dalam
rangka perbaikan berkelanjutan di unit dalam
rumah sakit masing-masing.
mengisi
kuesioner
univariat dan total
skor untuk bivariat
4 Dimensi 3. Kerjasama dalam
unit rumah sakit
Persepsi tenaga kesehatan tentang sikap dan
kerjasama antar individu di unit dalam rumah sakit
masing-masing.
Responden
diminta
mengisi
kuesioner
Persentase respon
positif untuk
univariat dan total
skor untuk bivariat
Kuesioner Rasio
5 Dimensi 4. Keterbukaan
komunikasi
Persepsi tenaga kesehatan tentang kebebasan
menyampaikan pendapat terkait keselamatan
pasien di dalam unit pada rumah sakit masing-
masing.
Responden
diminta
mengisi
kuesioner
Persentase respon
positif untuk
univariat dan total
skor untuk bivariat
Kuesioner Rasio
6 Dimensi 5. Umpan balik dan
komunikasi tentang
kesalahan medis yang terjadi
Persepsi tenaga kesehatan tentang adanya
pemberian informasi tentang kesalahan medis yang
terjadi, pemberian umpan balik perubahan yang
dilakukan dan adanya diskusi pencegahan
kesalahan medis di dalam unit pada rumah sakit
masing-masing.
Responden
diminta
mengisi
kuesioner
Persentase respon
positif untuk
univariat dan total
skor untuk bivariat
Kuesioner Rasio
7 Dimensi 6. respon yang
tidak menyalahkan
Persepsi tenaga kesehatan bahwa kesalahan medis
yang mereka lakukan dan atau laporan yang
mereka berikan tidak dijadikan bahan untuk
menyalahkan diri mereka dalam unit pada rumah
sakit masing-masing.
Responden
diminta
mengisi
kuesioner
Persentase respon
positif untuk
univariat dan total
skor untuk bivariat
Kuesioner Rasio
42
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Alat Ukur Skala Ukur
8 Dimensi 7. Penyusunan staf Persepsi tenaga kesehatan tentang kesesuaian
jumlah tenaga kesehatan dengan beban kerja yang
ada dan kesesuaian jam kerja yang ditentukan
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
optimal untuk pasien di dalam unit pada rumah
sakit masing-masing.
Responden
diminta
mengisi
kuesioner
Persentase respon
positif untuk
univariat dan total
skor untuk bivariat
Kuesioner Rasio
9 Dimensi 8. Dukungan
manajemen terhadap upaya
keselamatan pasien.
Persepsi tenaga kesehatan tentang dukungan yang
diberikan oleh manajemen rumah sakit masing-
masing kepada mereka dalam meningkatkan
keselamatan pasien.
Responden
diminta
mengisi
kuesioner
Persentase respon
positif untuk
univariat dan total
skor untuk bivariat
Kuesioner Rasio
10 Dimensi 9. Kerjasama antar
unit di rumah sakit
Persepsi tenaga kesehatan tentang adanya
kerjasama dan kordinasi yang baik antar unit
rumah sakit dalam memberikan pelayanan
kesehatan yang adekuat di rumah sakit masing-
masing.
Responden
diminta
mengisi
kuesioner
Persentase respon
positif untuk
univariat dan total
skor untuk bivariat
Kuesioner Rasio
11 Dimensi 10. Serah terima
dan transisi pasien dari unit
ke unit lain
Persepsi tenaga kesehatan tentang alur informasi
pasien yang penting pada saat kegiatan serah
terima dan trnasfer pasien di rumah sakit masing-
masing.
Responden
diminta
mengisi
kuesioner
Persentase respon
positif untuk
univariat dan total
skor untuk bivariat
Kuesioner Rasio
43
C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep dan definisi operasional diatas maka
hipotesis penelitian ini adalah : ―Terdapat korelasi antara budaya keselamatan
pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di
masing-masing Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015‖.
Sedangkan sub-hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Ada korelasi antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh
manajer dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga
kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.
b. Ada korelasi antara dimensi organizational learning – perbaikan
berkelanjutan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga
kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.
c. Ada korelasi antara dimensi kerjasama dalam unit rumah sakit dengan
persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah
Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.
d. Ada korelasi antara dimensi keterbukaan komunikasi dengan persepsi
pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X
dan Y Jakarta Tahun 2015.
e. Ada korelasi antara dimensi umpan balik dan komunikasi terkait
kesalahan yang terjadi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis
oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.
44
f. Ada korelasi antara dimensi respon yang tidak menyalahkan atas
kesalahan yang terjadi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis
oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.
g. Ada korelasi antara dimensi manajemen sumber daya manusidengan
persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah
Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.
h. Ada korelasi antara dimensi dukungan manajemen terhadap upaya
keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh
tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.
i. Ada korelasi antara dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit
dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di
Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.
j. Ada korelasi antara dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit
ke unit lain dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga
kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.
45
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan desain
studi cross sectional yaitu pengumpulan data dan informasi serta pengukuran
antara variabel independen dan dependen dilakukan satu persatu dalam satu
waktu.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Desember 2014 hingga Juni
2015. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan studi literatur dan
pengambilan data di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah tenaga kesehatan di Rumah Sakit X
dan Rumah Sakit Y. Tenaga kesehatan sendiri adalah setiap orang yang
mengabdikan diri di bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pendidikan
minimal tenaga kesehatan adalah diploma tiga (Republik Indonesia, 2014).
Tenaga kesehatan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi perawat,
dokter dan tenaga kesehatan lainnya Tenaga kesehatan lain disini adalah
perawat, ahli farmasi terapis, analis laboratorium, radiografer, safety officer,
sanitarian, ahli gizi dan bidan. Berdasarkan data sumber daya manusia di
46
Rumah Sakit X diketahui bahwa terdapat 81 dokter, 308 perawat dan 153
tenaga kesehatan lainnya. Sedangkan di Rumah Sakit Y terdapat 107 dokter,
473 perawat dan 217 tenaga kesehatan lainnya.
Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah systematic random sampling dan besar sampel dalam penelitian ini
ditentukan dengan rumus besar sampel uji korelasi. Rumus besar sampel
untuk uji hipotesis korelasi adalah sebagai berikut (Ariawan, 1998).
(
(
))
Diperkirakan korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan persepsi
pelaporan kesalahan medis berderajat sedang dengan koefisien korelasi (r)
sebesar 0,5. Nilai Z =1,96 ( = 0,05); nilai Z = 1,289. Berikut adalah besar
sampel untuk uji hipotesis pada masing-masing rumah sakit yang akan diteliti
dalam penelitian ini:
(
)
( )
Jadi besar sampel yang dibutuhkan untuk uji korelasi di masing-masing
rumah sakit adalah sebesar 53 orang. AHRQ menegaskan setiap peneliti untuk
melipatgandakan jumlah besar sampel untuk mencapai jumlah respon yang
diinginkan (Sorra dan Nieva, 2004). maka dari itu untuk mencapai jumlah
respon sebanyak 53 maka besar sampel yang dibutuhkan adalah 53x2=106
orang di masing-masing rumah sakit dengan total keseluruhan sampel yang
dibutuhkan adalah 212 orang.
47
Berdasarkan pembagian besar sampel proporsional berdasarkan jumlah
perawat dan dokter di masing-masing rumah sakit maka pada Rumah Sakit X
akan diambil sampel 15 dokter, 61 perawat dan 30 tenaga kesehatan lain.
Selanjutnya pada Rumah Sakit Y akan diambil sampel 16 dokter, 59 perawat
dan 32 tenaga kesehatan lainnya
Selanjutnya dari kerangka sampel masing-masing kelompok akan
ditentukan sampel terpilih melalui interval sistematis dengan besar interval
ditentukan dengan membagi total populasi (N) dengan besar sampel (n) atau
i=N/n (Budiarto, 2003). Besar interval di Rumah Sakit X adalah 5 sedangkan
interval di Rumah Sakit Y adalah 7.
D. Alat dan Cara Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa
kuesioner untuk mengukur variabel budaya keselamatan pasien dan persepsi
pelaporan kesalahan medis. Kuesioner dibagikan kepada seluruh responden
dan 2 hari kemudian peneliti mengambil kembali kuesioner yang telah diisi
oleh responden penelitian.
Bagian pertama kuesioner adalah identitas responden yang terdiri dari
usia, jenis tenaga kesehatan, unit kerja serta nama rumah sakit. Bagian kedua
kuesioner adalah budaya keselamatan pasien yang merupakan versi bahasa
indonesia dari Hospital Survey on Patient Safety Culture dari AHRQ.
Kuesioner ini sudah diterjemahkan oleh peneliti sebelumnya dan diuji
validitas dan realibilitasmya (Pratiwi, 2014). Berikutnya kuesioner ini
dikembalikan konteksnya sesuai dengan panduan penerjemahan yang
48
diterbitkan oleh AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality, 2009).
Agency for Healthcare Research and Quality (2014) menyatakan bahwa hal
ini bertujuan agar data yang didapatkan dapat diolah dengan menggunakan
aplikasi pengolah data univariat yang dikembangkan oleh AHRQ. Kuesioner
ini terdiri dari 42 item pertanyaan dengan 12 dimensi atau aspek yang diukur.
Berikut adalah daftar dimensi yang diukur dalam penelitian ini, poin
pertanyaan yang merefleksikannya serta nilai Cronbach’s Alpha per dimensi
(Sorra dan Nieva, 2004).
Tabel 4. 1 Deskripsi Kuesioner Bagian Budaya Keselamatan
No Nama Dimensi Nomor Soal Cronbach’s
Alpha
1 Dimensi 1. Tindakan promotif keselamatan
oleh manajer
B1, B2, B3,
B4
0,75
2 Dimensi 2. Organizational learning –
perbaikan berkelanjutan
A6, A9, A13 0,76
3 Dimensi 3. Kerjasama dalam unit rumah sakit A1, A3, A4,
A11
0,83
4 Dimensi 4. Keterbukaan komunikasi C2, C4, C6 0,72
5 Dimensi 5. Umpan balik dan komunikasi
terkait kesalahan yang terjadi
C1, C3, C5 0,78
6 Dimensi 6. Respon yang tidak menyalahkan A8, A12,A16 0,79
7 Dimensi 7. Penyusunan staf A2, A5, A7,
A14
0,63
8 Dimensi 8. Dukungan manajemen rumah sakit
terhadap budaya keselamatan
F1, F8, F9 0,83
9 Dimensi 9. Kerjasama antar unit di rumah sakit F2, F4, F6,
F10
0,80
10 Dimensi 10. Serah terima dan transisi pasien
dari unit ke unit lain
F3, F5, F7,
F11
0,80
Sumber : AHRQ, 2003
Kuesioner HSOPSC ini juga telah dilakukan uji realibilitas dan uji
validitas ulang dengan 30 sampel tenaga kesehatan. Hal ini dilakukan karena
49
diasumsikan terdapat perbedaan karakteristik tenaga kesehatan di Indonesia
dan Amerika Serikat.
Variabel berikutnya yang diukur adalah persepsi pelaporan kesalahan
medis yang diukur lewat kuesioner yang dikembangkan dari kuesioner
persepsi pelaporan kesalahan pelayanan oleh perawat (Beginta, 2012).
Kuesioner ini memiliki rentang skala likert 1-7 dan terdiri dari 10 pertanyaan.
E. Pengolahan Data, Uji Validitas dan Realibilitas.
1. Pengolahan data
Pengolahan data yang terkumpul pada penelitian ini akan dilakukan
dengan tahapan-tahapan berikut :
a. Penyuntingan data individu
Penyuntingan data individu dilakukan dengan menyeleksi
kuesioner yang telah diisi untuk melihat kelengkapan jawaban
kuesioner. Apabila tidak lengkap maka kuesioner akan disisihkan dan
tidak digunakan dalam penelitian ini.
b. Pemberian skor dan kode jawaban
Pemberian kode terhadap jawaban yang diberikan sesuai klasifikasi
pada tiap bagian pertanyaan untuk selanjutnya diberikan kode berupa
angka untuk memudahkan proses memasukkan data hingga analisis.
c. Proses memasukkan dan membersihkan data
Entry data dilakukan kedalam komputer untuk berikutnya
dibersihkan untuk memastikan kebenaran dari setiap jawaban yang
telah dimasukkan ke komputer sebelum diolah dan dianalisis.
50
2. Uji validitas dan uji realibilitas
Uji validitas kuesioner untuk melihat ketepatan alat ukur untuk
mengukur variabel yang diukur akan dilakukan dengan menggunakan uji
Pearson Product Moment. Sebelum melakukan uji validitas terlebih
dahulu akan dilakukan pencarian nilai korelasi antara bagian-bagian dari
alat ukur dengan cara mengkorelasikan setiap butir alat ukur dengan
jumlah skor total yang merupakan jumlah total skor butir. sedangkan uji
realibilitas untuk melihat tingkat keajegan instrumen yang digunakan
dilakukan dengan menggunakan rumus Cronbach’s Alpha.
F. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan berupa analisis univariat dan
bivariat. Analisis univariat ini bertujuan untuk mengetahui gambaran budaya
keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis di masing-masing
rumah sakit. Penggambaran kondisi keseluruhan dimensi yang diteliti dan
disajikan dalam bentuk tabel.
Analisis univariat budaya keselamatan pasien akan dilakukan dengan
menggunakan Hospital Survey Excel Tool 1.6 milik AHRQ yang dikirimkan
oleh pada Januari 2015 kepada penulis. Melalui aplikasi ini, jawaban
kuesioner dibagi menjadi 2 jenis yakni jawaban dengan respon positif dan
negatif. Jawaban dengan respon positif apabila bernilai 4 dan 5 (setuju dan
sangat setuju) pada pertanyaan yang bersifat positif atau bernilai 1 dan 2
(sangat tidak setuju dan tidak setuju) pada pertanyaan yang bersifat negatif.
Jawaban dengan respon negatif apabila bernilai 1 dan 2 (sangat tidak setuju
51
dan tidak setuju) pada pertanyaan yang bersifat positif atau bernilai 4 dan 5
(setuju dan sangat setuju) pada pertanyaan yang bersifat negatif.
Setelah diketahui sifat jawaban setiap item pertanyaan maka aplikasi
tersebut akan menghitung nilai komposit dimensi masing-masing. Nilai
komposit per dimensi didapatkan dengan merata-ratakan persentase respon
positif masing-masing pertanyaan sesuai dengan dimensinya masing-masing.
Nilai komposit per dimensi ini yang menjadi hasil analisis univariat budaya
keselamatan pasien.
Sedangkan analisis univariat untuk variabel persepsi dilakukan dengan
menggunakan analisis total skor. Skor tiap pertanyaan dengan skala likert 1-7
dijumlahkan keseluruhannya lalu dibuat persentasenya. Selanjutnya kriteria
penilaian kuat atau lemahnya variabel persepsi pelaporan kesalahan medis
dilihat dari persentase (Beginta, 2012).
Tabel 4. 2 Kriteria Penilaian Berdasarkan Presentase
No. Persentase (%) Kriteria
1. 14 - 42,7 Rendah
2. 42,8 - 71,4 Sedang
3. 71,5 – 100 Tinggi
Sumber : Beginta (2012)
Sedangkan analisis bivariat digunakan untuk membuktikan hipotesis
dalam penelitian ini. Analisis data yang digunakan adalah uji korelasi karena
baik variabel independen maupun dependen dalam penelitian ini bersifat
numerik. Apabila data terdistribusi normal maka digunakan uji korelasi
pearson product moment sedangkan apabila data tidak terdistribusi normal
52
digunakan uji korelasi Spearman. Rumus koefisien korelasi pearson product
moment adalah sebagai berikut :
(∑ ) (∑ ∑ )
√[ ∑ (∑ ) ][ ∑ (∑ ) ]
*Keterangan : r = koefisien korelasi pearson product moment
n = jumlah sampel penelitian
Sedangkan rumus koefisien korelasi Spearman adalah sebagai berikut :
∑
( )
*Keterangan : rs = koefisien korelasi Spearman
∑ = total kuadrat selisih antar rangking
n = jumlah sampel penelitian
Menurut Colton Hastono dan Sabri (2011), kekuatan korelasi antara 2
variabel secara kualitatif dapat dibagi kedalam empat area sebagai berikut :
1. r = 0,00-0,25, berarti tidak ada korelasi atau ada korelasi dengan kekuatan
lemah
2. r = 0,26-0,50, berarti ada korelasi dengan kekuatan sedang
3. r = 0,51-0,75, berarti ada korelasi dengan kekuatan kuat
4. r = 0,76-1,00, berarti ada korelasi yang sangat kuat atau sempurna
Setelah didapatkan koefisien korelasi tersebut, maka dilakukan
perbandingan r hitung dengan r tabel untuk menentukan apakah kedua
variabel benar-benar berkorelasi secara signifikan.
53
BAB V
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini dibagi menjadi 5 bagian. Bagian-bagian tersebut terdiri
dari gambaran umum Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y, gambaran budaya
keselamatan pasien masing-masing rumah sakit, gambaran persepsi pelaporan
kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di masing-masing rumah sakit dan korelasi
budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan tenaga kesehatan oleh
tenaga kesehatan.
Gambaran budaya keselamatan pasien di masing-masing rumah sakit
mencakup 10 dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ. Dimensi
tersebut diantaranya adalah dimensi tindakan promotif keselamatan oleh
manajer/supervisor, dimensi perbaikan berkelanjutan, dimensi kerjasama dalam
rumah sakit, dimensi keterbukaan komunikasi, dimensi umpan balik dan
komunikasi terkait kesalahan yang terjadi, dimensi respon yang tidak
menyalahkan, dimensi penyusunan staf, dimensi dukungan manajemen terhadap
upaya keselamatan pasien, dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit serta
dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain. Kesepuluh dimensi
budaya keselamatan pasien pada masing-masing rumah sakit disajikan dalam
bentuk tabel berupa persentase respon positif dari masing-masing dimensi.
Gambaran persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan
disajikan dalam bentuk persentase persepsi positif. Dalam penelitian ini variabel
persepsi pelaporan kesalahan medis dikategorikan menjadi 3 jenis yakni persepsi
54
lemah, sedang dan kuat berdasarkan pengkategorian yang dilakukan oleh Beginta
(2012). Persepsi pelaporan kesalahan medis dikatakan lemah apabila persepsi total
antara 14-42,7%; dikatakan sedang apabila persepsi total antara 42,8-71,4%; dan
dikatakan kuat apabila persepsi total lebih dari 71,5%.
Korelasi antara budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan
kesalahan medis digambarkan melalui uji korelasi dengan melihat nilai r hitung
dibandingkan dengan nilai r tabel serta dengan melihat nilai koefisien korelasi
yang didapatkan dari hasil uji hipotesis yang dilakukan.
A. Gambaran Umum Rumah Sakit X dan Y
Rumah Sakit X adalah rumah sakit umum kelas B sedangkan
sedangkan Rumah Sakit Y adalah rumah sakit khusus kelas A. Kedua rumah
sakit berlokasi di Jakarta.
Keselamatan pasien dan K3RS di Rumah Sakit X diupayakan melalui
program yang dilaksanakan oleh bagian Manajemen Risiko. Terdapat 3 seksi
utama yakni Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS),
Pencegahan Infeksi Rumah Sakit (PIRS) dan Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (KPRS). Sedangkan Keselamatan pasien dan K3 di Rumah Sakit Y
diupayakan melalui program-program terpadu yang dilaksanakan oleh Bagian
K3 dan Kesling bekerja sama dengan Komite Mutu serta tim keselamatan
pasien yang merupakan kelompok kerja terpadu dan dibentuk khusus untuk
melaksanakan survey budaya keselamatan pasien.
55
Kedua rumah sakit telah terakreditasi. Secara khusus, Rumah Sakit Y
sendiri telah memiliki sertifikasi sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan yakni OHSAS 18001.
B. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran masing-
masing variabel yang diteliti. Response rate yang diperoleh di Rumah Sakit Y
adalah sebesar 86% dengan jumlah kuesioner yang diisi lengkap dan dapat
digunakan sebanyak 91 kuesioner. Sedangkan response rate yang diperoleh
di Rumah Sakit X adalah sebesar 95,38% dengan total kuesioner yang terisi
lengkap dan dapat digunakan sebanyak 101 kuesioner. Hasil analisis univariat
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Karakteristik Responden Penelitian
Hasil analisis univariat karakteristik responden di kedua rumah
sakit adalah sebagai berikut :
Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Responden Penelitian
No. Jenis Tenaga
Kesehatan
Rumah Sakit
Rumah Sakit X Rumah Sakit Y
n % n %
1. Dokter 9 8,91% 8 8,79%
2. Perawat 56 55,44% 45 49,45%
3. Lainnya 34 30,69% 38 41,75%
Bidan 4 3,96% 1 1,09%
Radiografer 3 2,97% 9 9,89%
Farmasi 13 10,89% 5 5,50%
Terapis 2 1,98% 3 3,29%
Gizi 3 2,97% 4 4,39%
Sanitarian 2 1,98% 2 2,19%
Analis lab 4 3,96% 11 12,10%
Safety officer 2 1,98% 2 2,19%
4. Tidak diketahui 5 4,95% - -
Total 101 100% 91 100%
56
Berdasarkan tabel 5.1. diatas karakteristik responden dengan
anggota kelompok terbanyak berasal dari kelompok perawat baik di
Rumah Sakit X maupun di Rumah Sakit Y.
2. Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan
Hasil analisis univariat persepsi pelaporan kesalahan medis oleh
tenaga kesehatan di Rumah Sakit X didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 5. 2 Gambaran Persepsi Positif Pelaporan Kesalahan Medis
oleh Tenaga Kesehatan 2015
Variabel
Rumah Sakit
Rumah Sakit X
( n = 101 )
Rumah Sakit Y
( n = 91)
Persepsi positif
pelaporan kesalahan
Medis
49,95% 46%
Berdasarkan tabel 5.2. diatas secara umum persepsi positif
pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan
Rumah Sakit Y hampir sama. Meskipun persepsi positif di Rumah Sakit X
lebih tinggi 3,95% dari Rumah Sakit Y.
3. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien
Gambaran budaya keselamatan pasien berdasarkan dimensi AHRQ
pada tenaga kesehatan tahun 2015 didapatkan hasil sebagai berikut ini.
57
Tabel 5.3 Gambaran Respon Positif 10 Dimensi Budaya Keselamatan
Pasien pada Tenaga Kesehatan Tahun 2015
No Dimensi Budaya Keselamatan Pasien
Rumah Sakit
RS X
(n=101)
RS Y
(n=91)
1 Tindakan promotif keselamatan oleh
manajer
76% 65%
2 Organizational learning – perbaikan
berkelanjutan
67% 89%
3 Kerjasama dalam unit rumah sakit 71% 82%
4 Keterbukaan komunikasi 68% 82%
5 Umpan balik dan komunikasi tentang
kesalahan medis yang terjadi
65% 91%
6 Respon yang tidak menyalahkan 67% 52%
7 Penyusunan staf 61% 52%
8 Dukungan manajemen terhadap upaya
keselamatan pasien
71% 83%
9 Kerjasama antar unit di rumah sakit 61% 76%
10 Serah terima dan transisi pasien dari
unit ke unit lain
62% 68%
Berdasarkan tabel 5.3. diatas dimensi budaya keselamatan pasien
dengan respon positif tertinggi di Rumah Sakit X terdapat pada tindakan
promotif keselamatan oleh manajer sebesar 76%. Sedangkan respon positif
terendah didapatkan pada dimensi penyusunan staf dan kerjasama antar
unut rumah sakit staf yakni sebesar 61%.
Sedangkan dimensi budaya keselamatan di Rumah Sakit Y yang
memiliki respon positif tertinggi adalah dimensi organizational learning –
perbaikan berkelanjutan sebesar 91%. Sedangkan respon positif terendah
didapatkan pada dimensi penyusunan staf yakni sebesar 52%.
58
C. Analisis Bivariat
Analisis bivariat untuk mengetahui korelasi dimensi budaya
keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga
kesehatan tahun 2015 dilakukan dengan uji korelasi Spearman karena data
tidak terdistribusi normal. Tingkat kepercayaan yang ditetapkan adalah 95%.
Secara umum korelasi seluruh dimensi budaya keselamatan pasien
berdasarkan AHRQ dengan persepsi pelaporan kesalahan medis diringkas
dalam tabel berikut.
Tabel 5. 4 Analisis korelasi dimensi budaya keselamatan pasien
berdasarkan AHRQ dengan persepsi pelaporan kesalahan medis
oleh tenaga kesehatan tahun 2015
No Variabel RS X
(N = 101)
RS Y
(N = 91)
r p value r p value
1 Tindakan Promotif
Keselamatan Oleh Manajer 0,388 0,000* 0,217 0,039*
2 Organizational learning-
Perbaikan Berkelanjutan 0,496 0,000* 0,073 0,493
3 Kerjasama dalam unit 0,327 0,001* 0,184 0,081
4 Keterbukaan komunikasi 0,582 0,000* 0,264 0,012*
5 Umpan balik dan komunikasi
tentang kesalahan medis
yang terjadi
0,197 0,048* 0,286 0,006*
6 Respon yang tidak
menyalahkan 0,419 0,000* 0,217 0,039*
7 Penyusunan staf 0,039 0,701 -0,165 0,118
8 Dukungan manajemen
terhadap upaya keselamatan
pasien
0,112 0,266 0,157 0,137
9 Kerjasama antar unit 0,176 0,078 0,203 0,054
10 Serah terima dan transisi
pasien 0,016 0,870 0,098 0,357
*terbukti berkorelasi secara signifikan melalui uji statistik
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa terdapat 6 dimensi budaya
keselamatan pasien yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan
59
medis di Rumah Sakit X dan terdapat 4 dimensi budaya keselamatan pasien
yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis. Adapun hasil
analisis korelasi tiap variabel yang lebih spesifik adalah sebagai berikut.
1. Korelasi antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer
dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan
Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji
korelasi Spearman. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik
menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel di Rumah Sakit X
adalah sebesar 0,388 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan
sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada tingkat
kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai
korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.
Sedangkan hasil uji statistik yang dilakukan di Rumah Sakit Y
menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar
0,217 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p
value yang didapatkan adalah sebesar 0,039 pada tingkat kemaknaan 95%
sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang
bermakna di Rumah Sakit Y.
Variabel dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer dan
variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-sama berkorelasi di
kedua rumah sakit. Namun tingkat kekuatan korelasi kedua variabel
berbeda di kedua rumah sakit dimana tingkat kekuatan korelasi kedua
variabel lebih tinggi di Rumah Sakit X.
60
2. Korelasi antara dimensi organizational learning – perbaikan
berkelanjutan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh
tenaga kesehatan
Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji
korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada
tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.6. diatas diketahui hasil uji
statistik menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel di Rumah
Sakit X adalah sebesar 0,496 yang berarti ada korelasi dengan tingkat
kekuatan sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada
tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan
sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.
Sedangkan diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit Y
menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar
0,073 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah dan nyaris
tidak ada korelasi. Sedangkan nilai p value yang didapatkan adalah
sebesar 0,493 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua
variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna.
Variabel dimensi organizational learning dan variabel persepsi
pelaporan kesalahan medis memiliki korelasi yang bermakna di Rumah
Sakit X namun tidak memiliki korelasi bermakna di Rumah Sakit Y.
61
3. Korelasi antara dimensi kerjasama dalam unit rumah sakit dengan
persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan
Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji
korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada
tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4., diketahui hasil uji statistik
di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel
adalah sebesar 0,327 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan
sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,001 pada tingkat
kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai
korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.
Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan
bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,184 yang berarti
ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,081 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga
korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di
Rumah Sakit Y.
Variabel dimensi kerjasama dalam unit dan variabel persepsi
pelaporan kesalahan medis memiliki korelasi yang bermakna di Rumah
Sakit X namun tidak memiliki korelasi yang bermakna di Rumah Sakit Y.
4. Korelasi antara dimensi keterbukaan komunikasi dengan persepsi
pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan
Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji
korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada
62
tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.sebelumnya, diketahui hasil uji
statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua
variabel adalah sebesar 0,582 yang berarti ada korelasi dengan tingkat
kekuatan kuat. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada
tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan
sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.
Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan
bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,264 yang berarti
ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,012 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga
korelasi kedua variabel juga dikatakan sebagai korelasi yang bermakna
dan signifikan di Rumah Sakit Y.
Variabel dimensi keterbukaan komunikasi dan variabel persepsi
pelaporan kesalahan medis sama-sama memiliki korelasi yang bermakna
di kedua rumah sakit. Namun tingkat kekuatan korelasi kedua variabel
berbeda di kedua rumah sakit dimana tingkat kekuatan korelasi kedua
variabel lebih tinggi di Rumah Sakit X.
5. Korelasi antara dimensi umpan balik dan komunikasi tentang
kesalahan medis yang terjadi dengan persepsi pelaporan kesalahan
medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X
Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji
korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada
tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4. diatas, diketahui hasil uji
63
statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua
variabel adalah sebesar 0,197 yang berarti ada korelasi dengan tingkat
kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,048 pada
tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan
sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.
Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan
bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,286 yang berarti
ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,006 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga
korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna dan
signifikan.
Variabel dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan
medis yang terjadi dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-
sama memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit. Namun
tingkat kekuatan korelasi kedua variabel berbeda di kedua rumah sakit
dimana tingkat kekuatan korelasi kedua variabel lebih tinggi di Rumah
Sakit Y.
6. Korelasi antara dimensi respon yang tidak menyalahkan dengan
persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan
Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji
korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada
tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik di
Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel
64
adalah sebesar 0,419 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan
sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada tingkat
kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai
korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.
Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan
bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,201 yang berarti
ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,057 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga
korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna.
Variabel dimensi respon yang tidak meyalahkan dan variabel
persepsi pelaporan kesalahan medis memiliki korelasi yang bermakna di
Rumah Sakit X namun tidak memiliki korelasi yang bermakna di Rumah
Sakit Y.
7. Korelasi antara dimensi penyusunan staf dengan persepsi pelaporan
kesalahan medis oleh tenaga kesehatan
Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji
korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada
tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4 diatas, diketahui hasil uji
statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua
variabel adalah sebesar 0,039 yang berarti ada korelasi dengan tingkat
kekuatan lemah dan hampir tidak ada. Nilai p value yang didapatkan
adalah sebesar 0,701 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi
65
kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah
Sakit X.
Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan
bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar -0,165 yang berarti
ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,118 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga
korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna.
Dimensi penyusunan staf dengan persepsi pelaporan kesalahan
medis oleh tenaga kesehatan sama-sama tidak memiliki korelasi yang
bermakna di kedua rumah sakit.
8. Korelasi antara dimensi dukungan manajemen terhadap upaya
keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh
tenaga kesehatan
Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji
korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada
tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4 diatas, diketahui hasil uji
statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua
variabel adalah sebesar 0,112 yang berarti ada korelasi dengan tingkat
kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,266 pada
tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan
sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit X.
Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan
bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,157 yang berarti
66
ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,137 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga
korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di
Rumah Sakit Y.
Variabel dimensi dukungan manajemen terhadap upaya
keselamatan pasien dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-
sama tidak memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit.
9. Korelasi antara dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit dengan
persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan
Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji
korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada
tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik di
Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel
adalah sebesar 1,176 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan
lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,078 pada tingkat
kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai
korelasi yang tidak bermakna.
Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan
bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,203 yang berarti
ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,054 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga
korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di
Rumah Sakit Y.
67
Variabel dimensi kerjasama antar unit dan variabel persepsi
pelaporan kesalahan medis sama-sama tidak memiliki korelasi yang
bermakna di kedua rumah sakit.
10. Korelasi antara dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke
unit lain dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga
kesehatan
Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji
korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada
tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik di
Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel
adalah sebesar 0,016 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan
yang sangat lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,870
pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan
sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit X.
Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan
bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,098 yang berarti
ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah dan nyaris tidak ada. Nilai p
value yang didapatkan adalah sebesar 0,357 pada tingkat kemaknaan 95%
sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak
bermakna di Rumah Sakit Y.
Variabel serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain sama-
sama tidak memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit.
68
BAB VI
PEMBAHASAN PENELITIAN
A. Keterbatasan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini terdapat keterbatasan penelitian
dimana penelitian ini hanya menilai persepsi pelaporan kesalahan medis
sehingga belum bisa digunakan untuk menilai perilaku sebenarnya seluruh
tenaga kesehatan secara nyata terutama perilaku tenaga kesehatan dalam
melaporkan kesalahan medis yang terjadi.
Selain itu penelitian ini juga tidak membandingkan dua rumah sakit
yang sama klasifikasinya dimana Rumah Sakit X merupakan rumah sakit
umum kelas B sedangkan Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit khusus
kelas A. Sehingga ada kemungkinan kondisi yang berbeda di kedua rumah
sakit.
B. Gambaran Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan
Pelaporan digunakan sebagai pembelajaran bagi organisasi dalam
memperbaiki sistem pelayanan terutama dalam mencegah pengulangan
kesalahan medis yang sama (Wolf dan Hughes, 2005; Gulley, 2007).
Meskipun kesalahan medis tidak secara esensial membahayakan pasien
namun kesalahan medis dengan tingkat risiko yang tinggi dapat berujung
pada timbulnya kejadian tidak diharapkan atau jenis insiden keselamatan
lainnya (Ghazal dkk., 2014). Ada atau tidaknya efek negatif dari kesalahan
medis yang terjadi tidak mengalihkan fokus utama bahwa hal tersebut adalah
69
kesalahan medis. Karena pada dasarnya setiap pelaporan yang dibuat baik itu
menimbulkan bahaya atau baru berupa near miss menjadi upaya fundamental
untuk memperbaiki keselamatan di industri manapun (Wolf dan Hughes,
2005).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, persepsi pelaporan
kesalahan medis oleh tenaga kesehatan baik di Rumah Sakit X ataupun
Rumah Sakit Y berada pada kategori sedang (Beginta, 2012). Pelaporan dan
pengungkapan kesalahan medis sendiri masih tergolong baru di dalam dunia
kesehatan. Sebelumnya praktik pelayanan kesehatan oleh profesional tenaga
kesehatan akan menuntut tenaga kesehatan untuk diam atau membatasi
diskusi saat terjadi kesalahan medis. Tenaga kesehatan terutama dokter akan
dituntut untuk membicarakan masalah tersebut hanya pada pihak manajemen
rumah sakit atau pengacara mereka (Eaves-Leanos dan Dunn, 2012). Namun
kini pelaporan dan pengungkapan kesalahan medis dipandang sebagai upaya
fundamental dalam perbaikan sistem pemberian pelayanan kesehatan di
rumah sakit (Waters dkk., 2012). Lebih jauh lagi, apabila sistem pelaporan
dapat menerangkan tentang faktor manusia yang terlibat dalam proses
terjadinya kesalahan medis maka dapat menjadi acuan bagi pelaksanaan re-
desain atau penyusunan ulang sistem dan proses keselamatan dan kesehatan
yang ada serta meningkatkan aspek keselamatan di rumah sakit tersebut
(Carayon dkk., 2014).
Berdasarkan observasi dan peninjauan dokumen di kedua rumah sakit,
sistem pelaporan di kedua rumah sakit sudah berjalan namun belum optimal
70
karena masih banyak kesalahan medis yang tidak terlaporkan. Hal ini terjadi
karena persepsi yang umumnya masih dianut oleh tenaga kesehatan bahwa
adanya laporan kesalahan medis akan membawa citra buruk kepada pelaku,
kolega dan juga unit tempatnya bekerja. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian kualitatif yang dilakukan Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen
(2014) yang dilakukan pada perawat di 3 kota di Norwegia. Ketika
melakukan pelaporan, hal yang ditakutkan perawat adalah adanya tekanan
dari teman sejawat. Mereka mengaku kesulitan untuk melaporkan kesalahan
medis yang terjadi baik yang ia lakukan maupun yang dilakukan teman
sejawatnya. Uribe dalam Espin dkk. (2007) juga menyatakan bahwa
ketakutan terhadap outcome negatif yang muncul menjadi salah satu
penghalang perawat dan dokter untuk melaporkan kesalahan medis yang
terjadi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Waters dkk. (2012) di salah satu
provinsi di Inggris mengemukakan bahwa perawat dan bidan selalu
menghubungkan antara pelaporan dengan risiko tuduhan malpraktik dan
proses pengadilan sehingga baik perawat maupun bidan memilih untuk tidak
melapor apabila terjadi kesalahan medis.
Tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y juga jarang
melaporkan kesalahan medis apabila kesalahan medis tidak sampai
menciderai pasien. Hal ini selaras dengan hasil penelitian kualitatif yang
dilakukan Espin dkk. (2010) pada perawat ICU dari 3 rumah sakit di Kanada
yang menyatakan bahwa perawat cenderung tidak melaporkan kesalahan
medis yang terjadi apabila pasien tidak mengalami cidera.
71
Terdapat banyak barrier pelaporan kesalahan medis oleh tenaga
kesehatan yang mengurangi persepsi positif tenaga kesehatan terhadap
pelaporan kesalahan medis. Espin dkk. (2007) menyatakan bahwa umumnya
barrier tersebut mencakup adanya penyalahan diri, kurangnya kerahasiaan,
kurangnya waktu untuk melakukan pelaporan serta feedback yang minim.
Sebelumnya Espin dkk. (2006) juga menyatakan bahwa tenaga kesehatan
juga masih jarang yang melaporkan kesalahan medis apabila itu bukan
merupakan daerah kewenangannya meskipun ia melihat sendiri kesalahan
medis yang terjadi. Dan pada kenyataannya berdasarkan wawancara yang
dilakukan dengan beberapa tenaga kesehatan di masing-masing rumah sakit,
barrier tersebut masih sangat banyak ditemukan dalam praktik sehari-hari di
kedua rumah sakit.
IOM dalam Wolf dan Hughes (2005) sendiri membedakan antara
pelaporan sukarela dan wajib pada praktik pelayanan kesehatan di rumah
sakit. Pelaporan kesalahan medis yang bersifat sukarela berlaku saat tenaga
kesehatan mengetahui bahwa telah terjadi kesalahan medis yang belum atau
tidak menimbulkan efek negatif. Sedangkan pelaporan yang bersifat wajib
berlaku ketika terjadi kejadian serius seperti kejadian sentinel atau kejadian
tidak diharapkan yang sampai mengakibatkan kematian atau cidera berat pada
pasien. Penerapan pelaporan sukarela yang diterapkan di rumah sakit
nantinya akan memberikan persepsi positif terhadap pelaporan dan
membiasakan seluruh tenaga kesehatan untuk sadar lapor saat terjadi kejadian
tidak diharapkan.
72
C. Gambaran Dimensi Budaya Keselamatan Pasien dan Korelasinya dengan
Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis
Budaya keselamatan merupakan salah satu bagian penting dari
keseluruhan budaya yang dianut dalam organisasi. Budaya keselamatan
adalah produk dari nilai individu dan kelompok, sikap, persepsi, kompetensi
dan pola perilaku yang menentukan komitmen untuk, dan gaya serta
kecakapan dari manajemen keselamatan dan kesehatan organisasi (Advisory
Committee on the Safety of Nuclear Installations, 1993). Heni (2011)
menyatakan bahwa masih banyak industri yang memandang sebelah mata
aspek keselamatan di dalam ruang lingkupnya hanya demi kepentingan
efisiensi. Begitu pula yang terjadi di rumah sakit, untuk menyadarkan
manajemen akan pentingnya keselamatan kadang diperlukan satu kejadian
atau kesalahan medis yang menimbulkan outcome negatif terlebih dahulu.
Heni (2011) juga menyatakan bahwa untuk mencapai praktik
pelayanan kesehatan yang selamat baik bagi pekerja maupun pasien,
diperlukan budaya keselamatan yang kuat. Mengingat budaya keselamatan
erat kaitannya dengan sifat, sikap dan perilaku individu serta organisasi
terhadap pentingnya keselamatan maka upaya peningkatan budaya
keselamatan berarti juga upaya perbaikan sikap dan perilaku selamat. AHRQ
dalam Sorra dan Nieva (2004) sendiri mendefinisikan budaya keselamatan
pasien menjadi 10 dimensi berbeda pada tingkat unit dan rumah sakit untuk
nantinya dapat menjadi dimensi yang dapat diintervensi dalam rangka
perbaikan budaya keselamatan.
73
1. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer
Dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer adalah salah
satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang
menunjukkan bahwa manajer mempertimbangkan saran dari stafnya yang
bertujuan untuk perbaikan keselamatan pasien, menghargai stafnya ketika
mereka mengikuti prosedur keselamatan pasien dan tidak mengabaikan
masalah keselamatan pasien (Robb dan Seddon, 2010). Dalam dimensi ini
yang dimaksud sebagai manajer adalah atasan langsung dari tenaga kesehatan
baik secara fungsional maupun struktural di unit tempatnya bertugas.
Berdasarkan hasil penelitian, respon positif dari dimensi tindakan
promotif keselamatan oleh manajer di Rumah Sakit X adalah sebesar 76%
sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 65%. Dimensi ini terdiri dari 4
pertanyaan yang diwakili pada item B1, B2, B3 dan B4 dalam kuesioner
penelitian ini. Respon positif dimensi ini di Rumah Sakit X cenderung lebih
tinggi daripada di Rumah Sakit Y. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya sistem
yang lebih komprehensif yang berlaku di Rumah Sakit X.
Sistem komprehensif di Rumah Sakit X yang dimaksudkan disini
adalah karena memiliki safety officer pada tiap unit yang merupakan
representatif dari unit masing-masing. Hal ini menunjukkan adanya proses
integrasi yang baik antara unit yang menangani keselamatan rumah sakit
dengan seluruh unit di rumah sakit. Sedangkan di Rumah Sakit Y, unit yang
bertanggungjawab terhadap masalah keselamatan pasien dipisahkan dengan
K3 rumah sakit. Sehingga koordinasi terkait keselamatan pasien dan
74
komitmen yang tercipta pada manajer di Rumah Sakit Y tidak sebaik di
Rumah Sakit X Jakarta Timur.
Keselamatan dan kepemimpinan sendiri berkorelasi sangat erat.
Seperti yang dinyatakan oleh Katz-Navon (2005) dalam WHO (2009) bahwa
ketika keselamatan betul-betul diprioritaskan oleh manajer maka terjadi
penurunan jumlah kesalahan medis yang terjadi di unit rumah sakit tersebut.
Sherriff dan Rose (2011) lebih lanjut manyatakan bahwa apa yang dilakukan
oleh setiap organisasi bergantung pada kepemimpinan di organisasi tersebut.
Berdasarkan hasil uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi
tindakan promotif keselamatan oleh manajer berkorelasi dengan persepsi
pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y. Temuan
ini selaras dengan hasil penelitian pada tenaga kesehatan yang dilakukan oleh
Erler dkk. (2013) di Midwestern Amerika Serikat dan El-Jardali dkk. (2011)
di Libanon yang menyatakan bahwa ada korelasi signifikan antara dimensi
tindakan promotif keselamatan oleh manajer dengan persepsi pelaporan
kesalahan medis.
Hal tersebut juga selaras dengan hasil penelitian Winsvold Prang dan
Jelsness-Jørgensen (2014) yang dilakukan dengan responden perawat di 3
kota berbeda di negara bagian Østfold, Norwegia. Mereka menemukan bahwa
penyebab perawat cenderung tidak melaporkan kesalahan medis adalah
karena atasan yang tidak suportif terhadap keselamatan pasien. Atasan yang
tidak suportif terhadap keselamatan cenderung menyuruh informan untuk
berhati-hati dan selektif dalam melaporkan tiap kesalahan medis yang terjadi.
75
McFadden dkk. (2009) juga menyatakan bahwa ada korelasi antara
kepemimpinan dan budaya keselamatan dengan keselamatan pasien pada 371
rumah sakit di Amerika Serikat. Ballangrud dkk. (2012) juga menemukan
korelasi signifikan antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh
manajer dengan persepsi pelaporan kesalahan medis pada perawat unit ICU
pada studi cross sectional yang dilakukan di 10 ICU dalam 6 rumah sakit di
Norwegia. Pelaporan kesalahan medis
Umumnya ahli Keselamatan Kerja di seluruh dunia menyatakan
bahwa pengembangan budaya keselamatan dimulai dari manajemen puncak
dan tim manajemen dalam organisasi. Dengan demikian safety leadership
sangat berperan sebagai kunci keberhasilan dalam membangun budaya
keselamatan yang kuat pada industry beresiko tinggi (Astuti, 2010). Heni
(2011) menyatakan bahwa komitmen manajer terhadap keselamatan
menentukan pembangunan budaya keselamatan bagi tiap bawahannya. Dan
komitmen pemimpin harus ditunjukkan dalam perkataan dan tindakan.
Pemimpin memiliki pengaruh dalam mengubah mindset tenaga kesehatan
baik cara pikir, sikap dan perilaku mereka dalam membangun budaya
keselamatan baik demi petugas ataupun pasien. Faktor keteladanan dalam
safety leadership sangat diutamakan dalam membangun budaya keselamatan
suatu organisasi. Manajer atau pemimpin dalam organisasi dapat memberi
contoh nilai-nilai keselamatan yang ditunjukkan dalam perilaku dan tindakan
serta etika kerja untuk meningkatkan keselamatan.
76
Astuti (2010) menegaskan kembali hal tersebut dengan menyatakan
bahwa tim manajemen dalam organisasi mempunyai kepemimpinan
keselamatan yang efektif dan mendemonstrasikan karakter khusus,
berkorelasi dengan perilaku yang spesifik, dan cenderung menciptakan
budaya organisasi yang tepat. Jika atasan melihat suatu pekerjaan dilakukan
tidak benar, maka manajemen harus segera turun mengoreksi kondisi tersebut
untuk melihatkan komitmen yang tinggi dan meyakinkan pada pekerja bahwa
tidak ada toleransi untuk suatu penyimpangan prosedur. Keselamatan harus
dipenuhi sepenuhnya dan tidak boleh kurang agar suatu kecelakaan bisa
dihindari.
Kita sering melihat kebijakan atau ucapan pimpinan bahwa
keselamatan adalah prioritas utama, kenyataan di lapangan kebijakan dan
ucapan pimpinan ini belum dilaksanakan. Pimpinan atau manajer perlu
mewujudkan prioritas pertama dalam keselamatan dengan cara:
a. Para manajer perlu memeriksa potensi permasalahan aspek
keselamatan, dengan menggunakan matrik resiko.
b. Menjadikan aspek keselamatan dibahas pertama dalam agenda
pertemuan dan jadikan keselamatan menjadi bagian dari bisnis.
c. Bila aspek keselamatan tidak dimasukkan dalam budget, maka
penyebabnya harus disampaikan secara terus terang
d. Bila ada konflik prioritas produktivitas dengan keselamatan maka
dulukanlah aspek keselamatan, pujilah pekerja yang telah
melaksanakan aspek keselamatan dengan baik di depan koleganya.
77
Manajer sering mendelegasikan tanggungjawab ke bawahannya.
sering menyalahkan korban dan bukan mengidentifikasi kegagalan sistem dan
akar permasalahan, tidak menanyakan isu-isu keselamatan, dan tidak senang
mendengarkan informasi buruk tentang penerapan keselamatan dan
menyalahkan si pembawa berita. Beberapa hal yang bisa ditingkatkan oleh
manajer untuk meningkatkan motivasinya adalah :
a. Kunjungi lapangan secara perorangan dan minta pekerja membantu
menunjukkan kondisi dan perilaku tidak aman.
b. Sampaikan apa yg dilakukan sebagai manajer untuk aspek keselamatan
dan mengapa hal ini dilakukan.
Pada akhirnya kemajuan dan penerapan safety leadership di setiap
rumah sakit sangat tergantung dari komitmen pihak top management dalam
menumbuhkembangkan budaya keselamatan di organisasinya masing-
masing.
2. Organizational learning – perbaikan berkelanjutan
Dimensi organizational learning – perbaikan berkelanjutan adalah
salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang
menunjukkan bahwa terdapat budaya 'belajar‘ dimana kesalahan medis yang
terjadi dapat memberikan perubahan positif bagi peningkatan keselamatan
pasien. Dimensi ini juga menunjukkan bahwa setiap perubahan yang
dilakukan akan evaluasi efektifitasnya (Robb dan Seddon, 2010).
Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi
organizational learning – perbaikan berkelanjutan di Rumah Sakit X adalah
78
sebesar 67% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 89%. Dimensi ini
terdiri dari 3 pertanyaan yang diwakili pada item A6, A9 dan A13 dalam
kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah
Sakit X cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Hal ini bisa disebabkan
karena petugas kesehatan di Rumah Sakit Y telah lebih akrab dengan
pelaporan kesalahan medis dan budaya keselamatan pasien. Rumah Sakit Y
juga telah rutin melakukan pengukuran budaya keselamatan pasien selama 6
tahun terakhir sehingga setiap tahun tiap dimensi budaya keselamatan pasien
dapat terkontrol perkembangannya. Dan berdasarkan wawancara dengan
beberapa informan di Rumah Sakit Y didapatkan bahwa meskipun tenaga
kesehatan masih merasa adanya penyalahan individu, tetapi mereka sadar
bahwa itulah kesempatan mereka untuk mengetahui apa yang salah sehingga
menyebabkan kesalahan medis agar kesalahan tersebut dapat ditanggulangi
dan tidak terjadi lagi.
Hasil observasi di kedua rumah sakit selama pengumpulan data juga
menunjukkan bahwa kedua rumah sakit merupakan organisasi pembelajar
yang cukup baik. Tenaga kesehatan sudah mulai terbiasa untuk melakukan
diskusi untuk meningkatkan keselamatan baik dengan personil di unitnya
ataupun dengan personil lintas unit seperti unit K3 ataupun Komite Mutu di
Rumah Sakit Y ataupun Manrisk di Rumah Sakit X.
Saat terjadi kesalahan, tenaga medis juga secara aktif menjadikannya
sebagai bahan diskusi untuk evaluasi kinerja keselamatan guna menemukan
pemecahan masalahnya. Oleh karena itulah pengetahuan tenaga kesehatan
79
selalu berkembang seiring dengan banyaknya pengalaman yang didapatkan
selama bertugas di kedua rumah sakit.
Berdasarkan uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi
organizational learning-perbaikan berkelanjutan di Rumah Sakit X memiliki
korelasi yang bermakna dengan persepsi pelaporan kesalahan medis pada
tenaga kesehatan. Hali ini selaras dengan hasil penelitian Waters dkk. (2012)
yang dilakukan pada perawat dan bidan di 3 unit persalinan di provinsi
British Columbia. Pelaporan kesalahan medis merupakan kesempatan untuk
belajar bagi perawat yang terlibat atau anggota staf lainnya. Adanya
kesempatan untuk belajar memberikan motivasi bagi perawat dan bidan untuk
melaporkan kesalahan yang terjadi. Insiden keselamatan pasien yang
disebabkan oleh kesalahan medis memberikan kesempatan bagi perawat dan
bidan untuk mengetahui faktor-faktor yang berkontribusi hingga terjadi
kesalahan medis. El-Jardali dkk. (2011) juga menyatakan bahwa dimensi
organizational learning-perbaikan berkelajutan berkorelasi dengan persepsi
pelaporan kesalahan medis.
Pelaporan kesalahan pada level sistem dan bersifat wajib akan
menciptakan kesempatan untuk belajar yang lebih baik dibandingkan
pelaporan yang bersifat sukarela (Espin dkk., 2007). Organizational learning
sendiri merupakan kegiatan proaktif yang dapat menciptakan serta
mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi kesehatan (Kreitner dan
Kinicki, 2007). Adanya proses organizational learning berfungsi untuk
menambah, mengubah atau mengurangi pengetahuan organisasi (Schulz,
80
2001). Menurut Cyet dan March dalam Schulz (2001) organisasi akan belajar
saat terjadi ‗masalah‘. Pada saat mengalami masalah, organisasi akan mencari
penyelesaian masalah, mengadopsi solusi yang baik dan mempertahankan
solusi terbaik untuk nantinya digunakan di masa yang akan datang.
Schulz (2001) merangkum sumber pembelajaran organisasi dapat
berasal dari berbagai sumber termasuk diantaranya adalah pengalaman masa
lalu, pengalaman organisasi lain, proses berpikir, rekombinasi pengetahuan,
proses kehilangan, dan eksperimen. Sebagian besar dari sumber tersebut
mempunyai 2 peran yakni sebagai pencetus proses belajar (misal pencarian
solusi masalah yang terjadi) atau memberikan input pembelajaran (misal
pengalaman atau ide) bagi rumah sakit.
Heni (2011) menyatakan bahwa pengetahuan atau pengalaman tentang
keselamatan dapat berupa explicit knowledge ataupun tacit knowledge.
Explicit knowledge merupakan pengetahuan yang didapatkan petugas
kesehatan melalui lembaga pendidikan formal atau non formal seperti
pelatihan atau kursus. Sedangkan tacit knowledge adalah pengetahuan yang
didapatkan melalui pengalaman yang diresapi sendiri.
Pengetahuan petugas kesehatan di rumah sakit terkait keselamatan
yang didapatkan dari tiap pelatihan yang dihadiri haruslah terlebih dahulu
dipahami, dimengerti dan dilakukan agar dapat menjadi modal awal
pembelajaran mandiri dan aktif dari petugas yang bertugas di unit terkait. Dan
dalam rangka meningkatkan pengetahuan tersebut maka pengetahuan yang
patut diketahui petugas kesehatan bukan hanya terkait hal-hal di bidang
81
keselamatan tetapi juga perlu mengetahui aspek perilaku manusia, safety
leadership serta materi lainnya.
Berdasarkan Tecdoc IAEA No. 1329 yang dikutip oleh Barenzani
(2009) diketahui juga bahwa learning organization sendiri merupakan salah
satu ciri pengembangan budaya keselamatan tingkat akhir. Pada tahap ini
organisasi yang menerapkan sudah menerapkan gagasan terus menerus untuk
meningkatkan performa keselamatan. Manajemen organisasi yang sudah pada
tahap ini tercermin dengan adanya penekanan kuat pada komunikasi,
pelatihan, gaya kepemimpinan, dan meningkatkan efisiensi & efektifitas
sumber daya dalam organisasi.
3. Kerjasama dalam unit rumah sakit
Dimensi kerjasama dalam unit adalah salah satu dimensi budaya
keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya dukungan
yang diberikan staf satu sama lain. Dimensi ini juga menunjukkan adanya
sikap saling menghargai antar staf dan staf yang dapat saling bekerjasama
sebagai sebuah tim (Robb dan Seddon, 2010).
Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi kerjasama
dalam unit di Rumah Sakit X adalah sebesar 71% sedangkan di Rumah Sakit
Y adalah sebesar 81%. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan yang diwakili
pada item A1, A3, A4 dan A11 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif
dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y cenderung
tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh karena setiap petugas di dalam unit
tersebut saling mendukung satu sama lain, bekerja sebagai tim apabila banyak
82
hal yang harus diselesaikan dan menghargai satu sama lain. Selain itu atasan
mereka juga menciptakan suasana yang baik dan memotivasi tenaga
kesehatan untuk membicarakan masalah yang terjadi dalam unit mereka.
Hasil uji statistik yang dilakukan juga menunjukkan bahwa ada
korelasi signifikan antara kerjasama dalam unit rumah sakit dengan persepsi
pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X. Hal ini selaras dengan
penelitian Erler dkk. (2013) yang menemukan bahwa kerjasama dalam tim
memiliki korelasi yang bermakna dengan persepsi pelaporan kesalahan
medis. Hal yang sama juga ditemukan oleh El-Jardali dkk. (2011) pada
penelitiannya di Libanon.
Namun hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya hubungan antara
kerjasama dalam unit dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah
Sakit Y. Kerjasama yang ada di dalam unit tidak dapat dijadikan faktor
pendukung terciptanya persepsi positif tenaga kesehatan terhadap pelaporan
kesalahan medis yang ada. Kondisi ini dapat disebabkan perbedaan persepsi
tenaga kesehatan tentang kerjasama dalam unit di Rumah Sakit X dan Rumah
Sakit Y. Tenaga kesehatan di masing-masing unit Rumah Sakit Y cenderung
lebih beragam daripada di Rumah Sakit X. Keberagaman yang dimaksud
disini contohnya adalah pada tiap-tiap unit perawatan selalu ada petugas
farmasi yang bertugas untuk menyediakan kebutuhan obat-obatan pasien
sehingga dalam satu unit perawatan tidak hanya terdapat perawat dan petugas
administrasi saja. Hal ini berbeda dengan penerapan pembagian tugas di
Rumah Sakit X dimana pemberian obat di unit perawatan Rumah Sakit X
83
dilakukan oleh perawat dan tidak ada petugas farmasi yang ditugaskan di unit
perawatan.
Schaefer dkk. dalam WHO (2009) yang menyatakan bahwa 70-80%
kesalahan medis yang terjadi merupakan akibat buruknya komunikasi dan
pengertian dalam tim. Dalam penelitian kualitatif yang dilakukan Chakravarty
(2013) juga menyatakan bahwa mayoritas dokter dan perawat setuju bahwa
kerjasama yang baik dalam tim akan memberikan pengaruh yang baik
terhadap kinerja keselamatan unit kerjanya.
Kerjasama dalam unit menunjukkan sejauh mana anggota unit tersebut
dapat bekerjasama dalam tim. Kerjasama merupakan aspek penting dalam
tiap rumah sakit karena banyak pekerjaan yang melibatkan banyak orang
dalam pelaksanaannya. Hal tersebut juga berlaku di rumah sakit dimana
hampir semua pelayanan kesehatan yang diberikan melibatkan tenaga
kesehatan dalam kelompok interdisiplin (World Health Organization, 2009).
Perbedaan disiplin ilmu dari setiap anggota tim dapat berpengaruh terhadap
persepsi kerjasama yang berlaku di dalam tim tersebut (Erler dkk., 2013).
Kerjasama tim dalam rumah sakit merupakan aspek krusial yang harus
dikembangkan untuk memastikan keselamatan pasien.
Anggota tim yang bekerja dalam tiap fungsi di rumah sakit mungkin
merupakan ahli yang sangat berpengalaman di bidangnya namun mereka
tidak terlatih secara khusus untuk bekerja dalam sebuah tim (Beuzekom dkk.,
2010). Maka dari itu diperlukan satu sesi khusus bagi tiap rumah sakit untuk
mengembangkan kinerja tim di masing-masing rumah sakit untuk
84
mempertahankan dan memperbaiki kinerja tim. DiTullio (2010) menyatakan
bahwa ketika ada rasa tidak dihargai dalam suatu tim maka mereka memiliki
hak untuk bertindak sesuai yang diperlukan. Tidak ada tim yang sempurna
namun ketika ada hal yang tidak berjalan sesuai keinginan maka anggota tim
harus dapat menggunakan kemampuan komunikasi yang dimilikinya untuk
memecahkan situasi tersebut.
4. Keterbukaan komunikasi
Dimensi keterbukaan komunikasi adalah salah satu dimensi budaya
keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya kebebasan
staf untuk berbicara tentang hal yang berpotensial menciderai pasien dan
bebas untuk mempertanyakan hal-hal tersebut kepada atasan mereka (Robb
dan Seddon, 2010).
Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi
keterbukaan komunikasi di Rumah Sakit X adalah sebesar 62% sedangkan di
Rumah Sakit Y adalah sebesar 82%. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan
yang diwakili pada item C2, C4 dan C6 dalam kuesioner penelitian ini.
Respon positif dimensi ini cenderung cukup tinggi. Selama observasi di
kedua rumah sakit peneliti menemukan bahwa komunikasi antar tenaga
kesehatan sudah cukup baik dan tiap tenaga kesehatan dapat menyuarakan
pendapatnya secara bebas ketika melihat sesuatu yang menyimpang dari
standar, mempertanyakan keputusan yang diambil oleh atasan. Tenaga
kesehatan juga tidak merasa takut untuk bertanya jika ada suatu hal yang
85
tidak benar sedang terjadi dan hal tersebut berkaitan dengan keselamatan
pasien.
Namun respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X
cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Keterbukaan komunikasi di RS
Y yang cenderung lebih tinggi daripada di Rumah Sakit X dapat disebabkan
oleh karena mulainya pemberlakukan budaya keselamatan dimana seluruh
staf Rumah Sakit Y diwajibkan untuk mulai berkomunikasi dengan santun
kepada semua pihak dan berkomukasi dengan terbuka. Komitmen manajemen
untuk membentuk budaya tersebut serta seluruh program yang dibentuk guna
mewujudkannya menjadi faktor pendukung terciptanya lingkungan dengan
komunikasi terbuka demi mendukung perbaikan keselamatan di Rumah Sakit
Y.
Berdasarkan hasil uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi
keterbukaan komunikasi memiliki korelasi yang bermakna dengan persepsi
pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan
Rumah Sakit Y. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Erler dkk.
(2013) pada 76 personil critical care transport program di Midwestern,
Amerika Serikat dimana mereka menyatakan bahwa ada korelasi yang
signifikan antara dimensi keterbukaan komunikasi dengan persepsi pelaporan
kesalahan medis. El-Jardali dkk. (2011) juga menyatakan hal yang sama
dalam penelitiannya pada 68 rumah sakit di Libanon.
Dalam rangka meningkatkan budaya keselamatan pasien yang lebih
positif, maka komunikasi antar tenaga kesehatan haruslah lebih suportif dan
86
terbuka serta bebas dari penyalahan individu (Ross, 2011). Keterbukaan
komunikasi diwujudkan dengan adanya komunikasi efektif yang menyeluruh
mengenai hal-hal yang terjadi dan terkait keselamatan pasien pada saat serah
terima maupun pada saat briefing (Hamdani, 2007). Menurut The Joint
Commission dalam White dan Gallagher (2013) kegagalan komunikasi adalah
faktor utama dan terpenting dari terjadinya kesalahan medis di rumah sakit
karena tenaga kesehatan dapat meminimalisasi kesalahan medis atau kondisi
potensial kesalahan medis di rumah sakit yang sebelumnya dihadapi oleh
rekan sejawat dalam timnya.
Komunikasi antar petugas akan lebih baik dan terbuka jika terdapat
standarisasi komunikasi mengenai hal-hal apa yang wajib dikomunikasikan
kepada rekan sejawatnya. Dengan begitu maka tenaga kesehatan akan
terbiasa menyampaikan apa yang harus disampaikan dan tidak ada informasi
yang terlewat. Beberapa penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa
kurangnya komunikasi menyebabkan timbulnya kesalahan medis yang
berujung pada kejadian tidak diharapkan (Chakravarty, 2013; Erler dkk.,
2013; Waters dkk., 2012). White (2013) juga menyatakan bahwa kegagalan
komunikasi seringkali merupakan kombinasi keteledoran manusia dan
kegagalan sistem yang laten dalam sistem keselamatan dan kesehatan kerja di
rumah sakit.
Sebagian besar tenaga kesehatan mengakui bahwa komunikasi adalah
faktor terpenting yang paling diperlukan untuk mencapai peningkatan
keselamatan dan efisiensi (Chakravarty, 2013; Bognár dkk., 2008). Oleh
87
karena itu prinsip komunikasi terbuka harus diterapkan pada setiap
komunikasi yang dilakukan termasuk komunikasi dengan pasien dan
keluarganya bila ada risiko atau kejadian yang tidak diharapkan. Pasien
berhak mendapat dukungan dan perlindungan bila terjadi kesalahan medis.
Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh
komunikasi saling percaya, oleh persepsi bersama pentingnya keselamatan,
dan oleh kepercayaan dalam keberhasilan langkah-langkah pencegahan (The
Comission of Patient Safety and Quality Assurance of Irlandia, 2008).
Pendidikan terkait keterbukaan komunikasi dan kemampuan
komunikasi interpersonal bagi tenaga kesehatan sejak mereka masih berada
dibangku pendidikan sangat dibutuhkan dalam membangun dimensi ini.
Karena kemampuan komunikasi didapatkan dengan proses yang cukup lama
dan tidak instan. The Accreditation Council for Graduate Medical Education
sendiri sebagai institusi akreditasi pendidikan kedokteran mewajibkan para
calon dokter untuk membangun dan mengembangkan kemampuan
komunikasi dan interpersonal. Hal ini dilakukan karena tidak semua resident
memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan topik sensitif seperti
terjadinya kesalahan medis terkadang menjadi stressor yang sangat
memberikan efek psikologis bagi para dokter (Raper dkk., 2014).
5. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi
Dimensi umpan balik dan komunikasi tenatang kesalahan medis yang
terjadi adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan
AHRQ yang menunjukkan bahwa staf diinformasikan setiap kesalahan yang
88
terjadi dalam rumah sakit, diberikan umpan balik terkait perubahan yang
dilakukan untuk mencegah terulangnya kesalahan tersebut dan bagaimana
mereka mendiskusikan kesalahan medis yang terjadi serta cara untuk
mencegahnya (Robb dan Seddon, 2010).
Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi umpan
balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi di Rumah Sakit X
adalah sebesar 65% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 91%.
Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan yang diwakili pada item C1, C3 dan C5
dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di
Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Hal ini bisa
disebabkan oleh adanya kemudahan komunikasi dan kordinasi secara ‗trickle
down‘ di Rumah Sakit Y karena semua hal yang berkaitan dengan
keselamatan pasien ditangani langsung oleh Komite Mutu yang secara
struktural maupun fungsional lebih tinggi dari unit lain sehingga komunikasi
‗trickle down‘ akan menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Selain itu Unit
Komite Mutu di RS Y lebih dapat mengkoordinasikan unit lain karena
terdapat petugas-petugas yang paling senior dan seluruh petugas yang bekerja
di Rumah Sakit Y mengetahui bahwa unit inilah yang bertugas dalam proses
akreditasi maupun optimalisasi pelayanan di Rumah Sakit Y.
Berdasarkan uji statistik yang dilakukan juga diketahui bahwa dimensi
umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi memiliki
korelasi yang bermakna baik di Rumah Sakit X maupun di Rumah Sakit Y.
Hal ini selaras dengan temuan El-Jardali dkk. (2011) bahwa dimensi umpan
89
balik dan komunikasi tentang kesalahan yang terjadi berkorelasi signifikan
dengan persepsi pelaporan kesalahan medis pada tenaga kesehatan di
Libanon. Selain itu hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Winsvold Prang
dan Jelsness-Jørgensen (2014) di Norwegia juga menyatakan bahwa ada
korelasi antara umpan balik dengan pelaporan kesalahan medis. Dalam
penelitian mereka, perawat merasa enggan melaporkan karena mereka pikir
hal itu sama sekali tidak ada gunanya ketika tidak ada umpan balik apapun
dan hal itu tidak didiskusikan lebih lanjut. Sulit untuk menentukan apakah
ada peningkatan keselamatan saat tidak ada umpan balik yang adekuat bagi
perawat.
Hal yang sama juga diutarakan Lederman dkk. (2013) dalam
penelitiannya di 2 rumah sakit di Australia. Mereka menemukan bahwa
perawat dan dokter seringkali tidak melaporkan kesalahan medis yang terjadi
akibat ketiadaan umpan balik yang mereka dapatkan dari kegiatan pelaporan
yang telah mereka lakukan. Ketika tenaga kesehatan telah meluangkan
waktunya untuk melakukan pelaporan disaat mereka seharusnya bisa
melakukan kegiatan lain, tenaga kesehatan menginginkan adanya outcome
positif.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tenaga kesehatan di kedua
rumah sakit juga diketahui bahwa mereka lebih merasa termotivasi untuk
melakukan pelaporan ketika ada feedback yang cukup dan dikhususkan pada
mereka selaku pelapor. Tenaga kesehatan di kedua rumah sakit
mengungkapkan bahwa rumah sakit telah memberikan feedback yang baik
90
terkait semua laporan yang mereka lakukan, hanya saja mereka menyatakan
bahwa akan lebih baik jika feedback yang sebelumnya hanya bersifat general
kepada setiap unit baik yang melapor atau tidak maka ditambah. Unit mereka
selaku unit yang melapor sebaiknya diberikan feedback yang lebih
dibandingkan unit lain yang tidak melapor sebagai wujud apresiasi
manajemen terhadap pelaporan yang telah diberikan.
Ketiadaan atau minimnya umpan balik terkait kesalahan medis yang
terjadi juga merupakan salah satu kegagalan komunikasi. Ginen menyatakan
bahwa umpan balik merupakan aspek terpenting dan kritis dalam komunikasi
baik ketika menerima ataupun memberikan umpan balik. Umpan balik yang
efektif memberikan outcome positif bagi pemberi, penerima dan juga
organisasinya. Ketika individu berbicara maka dia perlu mendapatkan 2 hal
dasar dalam komunikasi tersebut yakni mereka perlu paham bahwa mereka
dimengerti dan apa yang mereka katakan adalah sesuatu yang bernilai.
Umpan balik yang positif juga merupakan kesempatan untuk memberikan
penghargaan dan motivasi bagi orang tersebut. Umpan balik juga merupakan
kesempatan untuk belajar dari hal sebelumnya yang dikomunikasikan (Ginen,
2014).
6. Respon yang tidak menyalahkan
Dimensi respon yang tidak menyalahkan adalah salah satu dimensi
budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya
persepsi bahwa kesalahan medis yang terjadi tidak digunakan untuk
91
menyalahkan mereka dan kesalahan tersebut juga tidak dijadikan catatan
khusus tentang pribadi mereka (Robb dan Seddon, 2010).
Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi respon
yang tidak menyalahkan di Rumah Sakit X adalah sebesar 67% sedangkan di
Rumah Sakit Y adalah sebesar 52%. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan
yang diwakili pada item A8, A12 dan A16 dalam kuesioner penelitian ini.
Respon positif yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih tinggi dari
Rumah Sakit Y. Hal ini bisa disebabkan oleh berlakunya budaya yang tidak
menyalahkan karena terdapat nilai-nilai keislaman yang bebas dari
penyalahan diri tenaga medis di Rumah Sakit X. Dalam nilai keislaman yang
dianut oleh seluruh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X, setiap orang yang
melapor tidak dapat disalahkan karena laporan yang mereka lakukan karena
laporan itu dibuat sesuai denga kondisi yang berlaku. Mereka dapat dengan
lebih baik berbicara mengenai kesalahan yang terjadi. Aspek kejujuran dan
keterbukaan komunikasi disini memegang peran penting bagi tingginya
respon positif di Rumah Sakit X.
Berdasarkan hasil uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi respon
yang tidak menyalahkan berkorelasi signifikan pada kedua rumah sakit baik
Rumah Sakit X maupun Rumah Sakit Y. Hal ini selaras dengan hasil
penelitian El-Jardali dkk. (2011) di 68 rumah sakit Libanon dan Beginta
(2012) pada perawat ruang inap RSUD Bekasi. Respon yang tidak
menyalahkan baik dari manajemen maupun rekan sejawat atas pelaporan
kesalahan medis yang terjadi dibutuhkan untuk dapat mendukung adanya
92
budaya pelaporan kesalahan medis yang efektif. Karena hingga saaat ini
ketakutan akan adanya penyalahan individu yang melakukan pelaporan
masihlah menjadi faktor penghambat pelaporan kesalahan medis di rumah
sakit.
Setiap orang membuat kesalahan dan apa yang dilakukan terhadap
kesalahan adalah hal yang paling penting. Pada saat terjadi kesalahan
dibutuhkan atasan yang suportif. Atasan yang suportif terhadap keselamatan
akan melihat kesalahan medis yang terjadi sebagai kesempatan untuk
memperbaiki keselamatan. Dan untuk melakukan hal ini diperlukan
kepercayaan yang baik antara tenaga kesehatan dan tiap tenaga kesehatan
sebelumnya harus tahu bahwa atasan mereka akan mendukung mereka
(DiTullio, 2010). Dengan demikian lingkungan yang tidak menyalahkan juga
sangat diperlukan untuk mendukung pelaporan kesalahan medis.
Pembentukan persepsi positif terhadap pelaporan kesalahan medis
memerlukan komunikasi yang baik dan lingkungan yang tidak menyalahkan
(Ross, 2011). Karena lingkungan yang menyalahkan dapat berpotensi
menimbulkan under-reporting dalam pelaporan kesalahan medis (Kachalia
dan Bates, 2014).
Lingkungan dengan respon yang tidak menyalahkan tersebut dapat
dibangun dengan melakukan pendekatan sistem dimana tenaga medis
melaporkan kesalahan medis dengan berfokus pada outcome yang dihasilkan
pada kesalahan medis tersebut dan tidak berfokus pada siapa yang
melakukannya (Kachalia dan Bates, 2014). Lingkungan yang tidak
93
menyalahkan juga diperlukan untuk memberikan pembelajaran bagi perawat
dan tenaga kesehatan lainnya dari kesalahan medis yang terjadi (Ross, 2011).
7. Penyusunan staf
Dimensi penyusunan staf adalah salah satu dimensi budaya
keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya persepsi
staf bahwa tenaga kerja di rumah sakit cukup untuk menangani semua beban
kerja yang ada dan jam kerja yang ditentukan manajemen sudah cukup untuk
memberikan pelayanan terbaik bagi pasien (Robb dan Seddon, 2010).
Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi penyusunan
staf di Rumah Sakit X adalah sebesar 61% sedangkan di Rumah Sakit Y
adalah sebesar 52%. Dimensi ini terdiri dari 4 pertanyaan yang diwakili pada
item A2, A5, A7 dan A14 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif
dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari
Rumah Sakit Y.
Respon positif yang lebih rendah di Rumah Sakit Y bisa disebabkan
oleh adanya kompleksitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi dan beragam
dengan jumlah pasien yang lebih banyak di Rumah Sakit Y mengingat
Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit rujukan tertinggi sekaligus pusat
kanker nasional. Hal-hal tersebut dapat menjadikan respon negatif dimensi ini
meningkat yang otomatis mengurangi respon positif dimensi ini.
Penyusunan staf yang adekuat merupakan aspek fundamental dalam
proses pemberian pelayanan kesehatan pada tiap organisasi kesehatan.
Petugas kesehatan seringkali hanya berfungsi sebagai lapisan pertahanan
94
terakhir untuk mencegah kesalahan medis tidak terjadi. Kelebihan beban
kerja akibat kurangnya petugas serta kemampuan yang tidak cukup
merupakan ancaman besar bagi keselamatan baik petugas maupun pasien di
rumah sakit (Beuzekom dkk., 2010). Hal ini ditegaskan oleh Aiken dkk.
dalam Beginta (2012) yang menyatakan bahwa kesesuaian jumlah tenaga
kesehatan dengan beban kerja atau kebutuhan di tiap unit akan berpengaruh
terhadap kinerja tenaga kesehatan dalam meningkatkan keselamatan pasien.
Berdasarkan hasil uji statistik yang juga dilakukan diketahui bahwa
terdapat dimensi penyusunan staf tidak berkorelasi signifikan dengan persepsi
pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan
Rumah Sakit Y. Hal ini tidak selaras dengan penelitian-penelitian terdahulu
yang menyatakan bahwa dimensi penyusunan staf berkorelasi dengan
persepsi pelaporan kesalahan medis (El-Jardali dkk., 2011; Agnew dkk.,
2013).
Hal ini bisa disebabkan oleh karena adanya variabel lain yang
mempengaruhi korelasi antara penyusunan staf dengan persepsi pelaporan
kesalahan medis pada tenaga kesehatan. Ketika tenaga kesehatan mengalami
beban kerja yang tinggi maka masih dapat tercipta persepsi positif terhadap
pelaporan karena banyaknya adanya hal lain yang mempengaruhi seperti
kepemimpinan keselamatan dalam unit rumah sakit.
Kepemimpinan manajer tiap unit di masing-masing rumah sakit
sebetulnya memegang peran penting bagi pembentukan persepsi positif
tenaga kesehatan terhadap pelaporan kesalahan medis. Kepemimpinan
95
keselamatan yang adekuat di rumah sakit berfungsi sebagai rolemodel yang
efektif dalam menciptakan persepsi tenaga kesehatan yang berada dalam
tanggung jawabnya. Manajer dapat memotivasi tenaga kesehatan untuk
melapor dan meyakinkan tenaga kesehatan bahwa hal itu sangat bermanfaat
bagi rumah sakit dan tidak akan merugikan dirinya sendiri selaku pelapor.
8. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien
Dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien
adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ
yang menunjukkan adanya suasana kerja yang dibentuk oleh manajemen
untuk mendukung keselamatan pasien di rumah sakit tersebut. Dimensi ini
juga menunjukkan persepsi tenaga kesehatan bahwa keselamatan merupakan
prioritas tertinggi di rumah sakit (Robb dan Seddon, 2010).
Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi dukungan
manajemen terhadap upaya keselamatan di Rumah Sakit X adalah sebesar
71% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 83%. Dimensi ini terdiri
dari 3 pertanyaan yang diwakili pada item F1, F8 dan F9 dalam kuesioner
penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X
cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y.
Tingginya respon positif yang didapatkan di Rumah Sakit Y dapat
terjadi karena manajemen sudah mengawasi budaya keselamatan pasien pada
seluruh staf berkat pelaksanaan survey budaya keselamatan pasien yang
dilaksanakan setiap tahun sekali. Sejak tahun 2007 Rumah Sakit Y telah
melakukan survey rutin budaya keselamatan pasien setiap bulan September.
96
Manajemen Rumah Sakit Y telah menyadari pentingnya budaya keselamatan
dan melakukan pengukuran tiap tahunnya untuk mengetahui perkembangan
budaya keselamatan di dalam rumah sakit. Hal ini menunjukkan adanya
perhatian khusus manajemen terhadap budaya keselamatan pasien di dalam
rumah sakit. Tim khusus budaya keselamatan pasien juga dibentuk untuk
mendukung kinerja Komite Mutu dalam mengawasi dan meningkatkan
budaya keselamatan pasien yang berlaku di dalam ruang lingkup Rumah
Sakit Y termasuk seluruh pekerja baik pekerja tetap, pekerja tidak tetap
maupun pekerja outsourcing.
Berdasarkan hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa dimensi
penyusunan staf tidak berkorelasi signifikan dengan persepsi pelaporan
kesalahan medis. Hal ini tidak selaras dengan hasil penelitian-penelitian
terdahulu (El-Jardali dkk., 2011; Agnew dkk., 2013). Hal ini dapat terjadi
karena masih terdapat variabel lain yang berkorelasi dengan persepsi
pelaporan kesalahan medis oeh tenaga kesehatan.
Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan dapat dilihat
dengan ada atau tidaknya sistem keselamatan pasien di dalam rumah sakit
tersebut. Sistem keselamatan pasien sendiri dapat mendukung terciptanya
iklim kerja yang mendukung keselamatan pasien di rumah sakit. Dukungan
manajemen juga dapat dilihat dari kebijakan manajemen rumah sakit yang
menunjukkan bahwa keselamatan pasien dijadikan prioritas di rumah sakit
tersebut (Rosyada, 2014).
97
9. Kerjasama antar unit di rumah sakit
Dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit adalah salah satu dimensi
budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya
kordinasi yang baik antar unit-unit di dalam rumah sakit dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien (Robb dan Seddon, 2010).
Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi kerjasama
antar unit di Rumah Sakit X adalah sebesar 61% sedangkan di Rumah Sakit
Y adalah sebesar 76%. Dimensi ini terdiri dari 4 pertanyaan yang diwakili
pada item F2, F4, F6 dan F10 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif
dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari
Rumah Sakit Y.
Respon positif yang tinggi di Rumah Sakit Y dapat disebabkan karena
Rumah Sakit Y telah memiliki sistem budaya keselamatan pasien yang telah
terorganisir sejak lama dan membuat tenaga kesehatan di Rumah Sakit Y
lebih sadar terhadap pentingnya budaya keselamatan dalam pemberian
pelayanan kesehatan kepada pasien. Team building dan capacity building
yang dilakukan juga amat membantu dalam membentuk hubungan kerjasama
maupun komunikasi yang baik pada tenaga kesehatan yang bekerja pada unit
berlainan. Selain itu koordinasi setiap unit dalam memberikan pelayanan
kesehatan juga lebih mudah
Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi
signifikan antara dimensi kerjasama antar unit dengan persepsi pelaporan
kesalahan medis oleh tenaga kesehatan baik di Rumah Sakit X maupun
98
Rumah Sakit Y. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian terdahulu yang telah
dilakukan sebelumnya (El-Jardali dkk., 2011; Agnew dkk., 2013). Hal ini
dapat disebabkan karena kerjasama antar unit tidak terlalu berkorelasi dengan
persepsi pelaporan kesalahan medis pada kedua rumah sakit. Perlu dilakukan
observasi mendalam lebih lanjut agar diketahui variabel lain yang
berpengaruh terhadap persepsi pelaporan kesalahan medis di kedua rumah
sakit baik di Rumah Sakit X maupun Rumah Sakit Y.
10. Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain
Dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain adalah
salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang
menunjukkan bahwa informasi penting terkait pasien dapat ditransfer antar
unit dan antar shift (Robb dan Seddon, 2010).
Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi
keterbukaan komunikasi di Rumah Sakit X adalah sebesar 62% sedangkan di
Rumah Sakit Y adalah sebesar 68%. Dimensi ini terdiri dari 4 pertanyaan
yang diwakili pada item F3, F5, F7 dan F11 dalam kuesioner penelitian ini.
Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih
rendah dari Rumah Sakit Y. Hal ini dapat terjadi karena respon positif yang
didapatkan baik pada dimensi kerjasama dalam unit ataupun antar unit pada
Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari respon positif yang didapatkan di
Rumah Sakit Y.
Transisi sendiri diartikan sebagai peralihan dari keadaan (tempat,
tindakan dan sebagainya) kepada keadaan yang lain (Setiawan, 2014). Respon
99
positif yang tidak terlalu tinggi di kedua rumah sakit menunjukkan adanya
proses serah terima maupun transisi pasien yang kurang optimal. Dalam
ruang lingkup keselamatan pasien rumah sakit, transisi dapat diartikan
sebagai peralihan pemberian pelayanana kesehatan oleh satu unit menjadi
oleh unit lainnya. Kegiatan serah terima dan transisi pasien merupakan dua
jenis kegiatan yang sangat rawan menghasilkan kesalahan medis karena
adanya informasi yang terlewat dan tidak tersampaikan pada rekan sejawat
yang bertugas selanjutnya. Selain informasi yang tidak tersampaikan, pada
kegiatan ini juga rentan terjadi kesalahan medis seperti terjatuhnya pasien
saat pemindahan pasien.
Dalam rangka mengurangi proses komunikasi yang tidak adekuat
untuk meneruskan informasi lintas unit dan lintas shift terutama informasi
yang terkait keselamatan maka diperlukan satu media atau kegiatan khusus.
Pada bidang industri lainnya, terdapat satu sesi khusus di awal kerja yang
disebut safety briefing dimana manajer akan membicarakan mengenai isu
keselamatan yang terjadi hari itu dan menanyakan kembali kepada pekerja
untuk mengetahui respon mereka terhadap isu tersebut. Dalam diskusi
tersebut, seluruh informasi terkait keselamatan akan tergali sehingga tidak
akan ada informasi yang terlewat atau tidak tersampaikan. Hal ini juga dapat
dilakukan di rumah sakit guna mengoptimalkan komunikasi terkait
keselamatan dalam rumah sakit baik yang terjadi dalam unit mereka ataupun
yang terjadi di unit lain.
100
Berdasarkan hasil uji statistik yang juga dilaksanakan diketahui bahwa
dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain tidak berkorelasi
dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan baik di
Rumah Sakit X maupun Rumah Sakit Y. Hal ini bertentangan dengan dengan
penelitian terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya (El-Jardali dkk., 2011;
Agnew dkk., 2013). Hal ini menun\jukkan bahwa terdapat kemungkinan
adanya variabel lain yang mempengaruhi korelasi keduanya dan erlu
dilakukan observasi mendalam lebih lanjut agar diketahui variabel lain yang
berpengaruh terhadap persepsi pelaporan kesalahan medis di kedua rumah
sakit baik di Rumah Sakit X maupun Rumah Sakit Y.
Kebutuhan pelayanan kesehatan dalam 24 jam tanpa henti menjadikan
tenaga kesehatan bekerja dalam pengelompokkan jam kerja yang di rumah
sakit. Pengelompokkan jam kerja ini membuat perlunya ada kegiatan transisi
dan serah terima pemberian pelayanan kesehatan pasien individual kepada
tim berikutnya. Transisi dan serah terima yang dialami pasien bergantung
pada kebutuhan pasien. Transisi dan serah terima membutuhkan komunikasi
yang adekuat dan efektif. Kewenangan, kewajiban, dan informasi ditransfer
melalui proses co-construction dimana pihak yang memberi dan menerima
berpartisipasi secara aktif (Behara dkk., 2005).
101
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas sebelumnya maka
kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1. Dimensi budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit X bervariasi dengan
budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit Y. Dimensi budaya
keselamatan pasien dengan respon positif terendah adalah dimensi
penyusunan staf dan kerjasama antar unit di Rumah Sakit X dan dimensi
respon yang tidak menyalahkan dan penyusunan staf di Rumah Sakit Y.
Dimensi budaya keselamatan pasien dengan respon positif tertinggi
adalah tindakan promotif keselamatan oleh manajer di Rumah Sakit X
dan umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi di
Rumah Sakit Y.
2. Persepsi positif pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan masih
rendah di kedua rumah sakit yakni kurang dari 50%.
3. Terdapat 6 dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang
berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga
kesehatan di Rumah Sakit X yakni dimensi tindakan promotif
keselamatan oleh manajer, dimensi organizational learning-perbaikan
berkelanjutan, dimensi kerjasama dalam unit, dimensi keterbukaan
komunikasi, dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan
102
medis yang terjadi serta dimensi respon yang tidak menyalahkan.
Sedangkan di Rumah Sakit Y terdapat 4 dimensi budaya keselamatan
pasien berdasarkan AHRQ yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan
kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit Y yakni dimensi
tindakan promotif keselamatan oleh manajer, dimensi keterbukaan
komunikasi, dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan
medis yang terjadi serta dimensi respon yang tidak menyalahkan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapatkan maka peneliti mengajukan
saran sebagai berikut :
1. Bagi pihak manajemen Rumah Sakit X
a. Memberikan sosialisasi secara berkala yang bersifat mandatory
tentang pelaporan kesalahan medis dan keuntungan serta kerugian
adanya pelaporan di Rumah Sakit X kepada tenaga kesehatan.
b. Memberikan pelatihan kepada safety officer dan kepala unit di
masing-masing unit kerja Rumah Sakit X tentang safety leadership.
c. Melakukan program khusus seperti pemberian reward pada kegiatan
wajib lapor isu keselamatan. Reward dapat berupa materil ataupun
poin tambahan pada penilaian kinerja yang dilakukan di rumah sakit.
Hal ini dapat meningkatkan ketertarikan, kesadaran dan kepedulian
tenaga kesehatan terhadap terjadinya kesalahan medis di sekitarnya.
Kegiatan ini sering dilakukan di industri lain kerap dimana terdapat
program wajib lapor kondisi dan perilaku tidak aman pada pekerja
103
dengan adanya umpan balik berupa hadiah tertentu. Pekerja dengan
laporan terbanyak berhak mendapatkan hadiah tertentu dari
manajemen. Dan setiap laporan yang masuk akan diberikan umpan
baliknya kembali berupa tinjauan ulang dari manajemen dan
disampaikan kepada pekerja.
d. Pelaksanaan safety briefing oleh manajer guna memberikan
komitmen terhadap keselamatan pasien dan pekerja di tiap unit.
Safety briefing berisi isu keselamatan yang terjadi, tindak lanjut
manajemen terhadap isu tersebut dan sarana untuk mengingatkan
kembali pekerja agar tetap bekerja dengan selamat.
e. Melaksanakan pengawasan dan kontrol terhadap budaya
keselamatan pasien melalui survey rutin budaya keselamatan pasien
di Rumah Sakit X.
f. Menyesuaikan beban kerja dengan jumlah tenaga kesehatan yang
ada di Rumah Sakit X.
g. Meningkatkan proses pertukaran informasi pada kegiatan serah
terima guna mencegah hilangnya informasi terutama informasi yang
terkait keselamatan.
h. Bekerjasama dengan bagian rohani untuk ikut mensosialisasikan dan
mulai membudayakan respon yang tidak menyalahkan atas
kesalahan medis yang terjadi.
104
2. Bagi pihak manajemen Rumah Sakit Y
a. Memberikan sosialisasi secara berkala yang bersifat mandatory
tentang pelaporan kesalahan medis dan keuntungan serta kerugian
adanya pelaporan di Rumah Sakit X kepada tenaga kesehatan.
b. Melakukan program khusus seperti pemberian reward pada kegiatan
wajib lapor isu keselamatan. Reward dapat berupa materil ataupun
poin tambahan pada penilaian kinerja yang dilakukan di rumah sakit.
Hal ini dapat meningkatkan ketertarikan, kesadaran dan kepedulian
tenaga kesehatan terhadap terjadinya kesalahan medis di sekitarnya.
Kegiatan ini sering dilakukan di industri lain kerap dimana terdapat
program wajib lapor kondisi dan perilaku tidak aman pada pekerja
dengan adanya umpan balik berupa hadiah tertentu. Pekerja dengan
laporan terbanyak berhak mendapatkan hadiah tertentu dari
manajemen. Dan setiap laporan yang masuk akan diberikan umpan
baliknya kembali berupa tinjauan ulang dari manajemen dan
disampaikan kepada pekerja.
c. Menggabungkan wewenang dan tanggung jawab unit yang
menangani masalah keselamatan pasien dan keselamatan kerja serta
program yang dilaksanakan oleh keduanya karena keduanya
merupakan aspek yang berkorelasi erat. Selain itu dengan
menggabungkan koordinasi kedua unit dalam melaksanakan
program dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi program di
Rumah Sakit Y.
105
d. Mengembangkan instrumen pengukuran budaya keselamatan pasien
yang ada agar hasil pengukuran lebih dapat dipercaya.
e. Melakukan evaluasi efektifitas setiap program keselamatan yang ada
kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran budaya
keselamatan pasien yang dilakukan setiap tahun.
f. Pelaksanaan safety briefing oleh manajer guna memberikan
komitmen terhadap keselamatan pasien dan pekerja di tiap unit.
Safety briefing berisi isu keselamatan yang terjadi, tindak lanjut
manajemen terhadap isu tersebut dan sarana untuk mengingatkan
kembali pekerja agar tetap bekerja dengan selamat.
g. Bekerjasama dengan bagian K3 dan manajer tiap unit dalam
menciptakan lingkungan yang bebas dari penyalahan individu atas
kesalahan medis yang terjadi.
h. Menyesuaikan beban kerja dengan kapasitas tenaga kesehatan yang
ada di Rumah Sakit Y.
3. Bagi peneliti selanjutnya
a. Melakukan penelitian kualitatif untuk menggali informasi yang lebih
mendalam terkait variabel-variabel lain yang mempengaruhi persepsi
pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan.
b. Melakukan penelitian dengan menyamakan klasifikasi rumah sakit
yang diteliti.
106
DAFTAR PUSTAKA
Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations. 1993. Human Factors
Study Group Third Report: Organising for Safety, London, HMSO.
Agency for Healthcare Research and Quality. 2003. Ahrq's Patient Safety
Initiative : Building Foundations, Reducing Risk. [Online]. Rockville,
MD. Dapat diakses dari: http://www.ahrq.gov/research/findings/final-
reports/pscongrpt/psiniapp1.html [Pada 12 Desember 2014.
Agency for Healthcare Research and Quality 2009. Background and Information
for Translators.
Agency for Healthcare Research and Quality. 22 Desember 2014 2014. RE: Re:
Request for the Tool of Hospital Survey :*Ref#24-38192. Type to
SULISTIANI, L. A.
Agnew, Cakil, Rhona Flin, dkk. 2013. Patient Safety Climate and Worker Safety
Behaviours in Acute Hospitals in Scotland. Journal of Safety Research,
45, 95-101.
Aorn Journal. 2006. Aorn Guidance Statement: Creating a Patient Safety Culture.
AORN Journal, 83, 936-942.
Ariawan, Iwan. 1998. Besar Dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan,
Depok, Jurusan Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Astuti, Yusri Heni Nurwidi 2010. Peran ―Safety Leadership‖ Dalam Membangun
Budaya Keselamatan Yang Kuat. SEMINAR NASIONAL VI SDM
TEKNOLOGI NUKLIR. Yogyakarta: STTN BATAN & Fakultas Saintek
UIN SUKA.
Ballangrud, Randi, Birgitta Hedelin, dkk. 2012. Nurses‘ Perceptions of Patient
Safety Climate in Intensive Care Units: A Cross-Sectional Study. Intensive
and Critical Care Nursing, 28, 344-354.
Bambang. 2011. 870 Rumah Sakit Belum Terakreditasi. Antara, kamis, 28 April
2015.
Barenzani, Nadia. 2009. Kajian Penerapan Budaya Keselamatan Di Iebe. Hasil-
hasil Penelitian di IEBE.
Beginta, Romi. 2012. Pengaruh Budaya Keselamatan Pasien, Gaya
Kepemimpinan, Tim Kerja, Terhadap Persepsi Pelaporan Kesalahan
Pelayanan Oleh Perawat Di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umumdaerah
Kabupaten Bekasi Tahun 2011. Magister Tesis, Universitas Indonesia.
107
Behara, Ravi, Robert L. Wears, dkk. 2005. A Conceptual Framework for Studying
the Safety of Transitions in Emergency Care. Advances in Patient Safety,
2.
Beuzekom, M. Van, F. Boer, dkk. 2010. Patient Safety : Latent Risk Factors.
British Journal of Anaesthesia, 105.
Bognár, Agnes, Paul Barach, dkk. 2008. Errors and the Burden of Errors:
Attitudes, Perceptions, and the Culture of Safety in Pediatric Cardiac
Surgical Teams. The Annals of Thoracic Surgery, 85.
Budiarto, Eko. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran : Sebuah Pengantar,
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Calado Monteiro, J. A. dan M. M. Santos Natário. 2014. Safety Culture in the
Surgical Services: Case Study. Tékhne.
Canadian Council on Health Services Accreditation 2003. Cchsa and Patient
Safety 2003.
Canadian Institute for Health Information. 2003. Frequently Asked Questions —
Adverse Events Project. Dapat diakses dari:
http://secure.cihi.ca/cihiweb/dispPage.jsp?cw_page=adevents_faq_e#adve
rse [Pada 12 Desember 2014].
Carayon, Pascale, Tosha B. Wetterneck, dkk. 2014. Human Factors Systems
Approach to Healthcare Quality and Patient Safety. Applied Ergonomics,
45.
Chakravarty, Abhijit. 2013. A Survey of Attitude of Frontline Clinicians and
Nurses Towards Adverse Events. Medical Journal Armed Forces India,
69, 335-340.
Classen, Dc, R Resar, dkk. 2011. ‗Global Trigger Tool‘ Shows That Adverse
Events in Hospitals May Be Ten Times Greater Than Previously
Measured. Health Aff (Millwood), 30.
Colla, J B, A C Bracken, dkk. 2005. Measuring Patient Safety Climate: A Review
of Surveys. Qual Saf Health Care, 14, 364-366.
Davies, Jan M., Philip Hébert, dkk. 2003. The Canadian Patient Safety Dictionary.
Canada: The Royal College of Physicians and Surgeons of Canada.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), Jakarta.
Ditullio, Barbara. 2010. On Building Teams That Support a Patient Safety
Culture. AORN Journal, 92, S107-S108.
108
Eaves-Leanos, Aaliyah dan Edward J. Dunn. 2012. Open Disclosure of Adverse
Events: Transparency and Safety in Health Care. Surgical Clinics of North
America, 92, 163-177.
El-Jardali, Fadi, Hani Dimassi, dkk. 2011. Predictors and Outcomes of Patient
Safety Culture in Hospital. BMC Health Services Research, 11.
Erler, Cheryl, Nancy E. Edwards, dkk. 2013. Perceived Patient Safety Culture in a
Critical Care Transport Program. Air Medical Journal, 32, 208-215.
Espin, Sherry, Wendy Levinson, dkk. 2006. Error or ―Act of God‖? A Study of
Patients' and Operating Room Team Members' Perceptions of Error
Definition, Reporting, and Disclosure. Surgery, 139, 6-14.
Espin, Sherry, Glenn Regehr, dkk. 2007. Factors Influencing Perioperative
Nurses' Error Reporting Preferences. AORN Journal, 85, 527-543.
Espin, Sherry, Abigail Wickson-Griffiths, dkk. 2010. To Report or Not to Report:
A Descriptive Study Exploring Icu Nurses‘ Perceptions of Error and Error
Reporting. Intensive and Critical Care Nursing, 26, 1-9.
Flin, R, C Burns, dkk. 2006. Measuring Safety Climate in Health Care. Qual Saf
Health Care, 15, 109-115.
Ghazal, Lubna, Zulekha Saleem, dkk. 2014. A Medical Error: To Disclose or Not
to Disclose. J Clin Res Bioeth, 5.
Ginen, Bob. 2014. Business Communication Feedback. Five reasons why
feedback may be the most important skill [Online]. Dapat diakses dari:
http://www.cambridge.org/elt/blog/2014/03/five-reasons-feedback-may-
important-skill/ [Pada 12 Juli 2015].
Gulley, Tamala Lavelle. 2007. Investigation into Workplace Culture for
Medication Error Reporting in Pharmacy, Ann Arbor, MI, Proquest.
Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. 2011. Statistik Kesehatan, Jakarta,
Rajawali Pers.
Heni, Yusri. 2011. Improving Our Safety Culture : Cara Cerdas Membangun
Budaya Keselamatan Yang Kokoh, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Hercules, Patricia Ann. 2010. Instrument Readiness: A Patient Safety Issue.
Perioperative Nursing Clinics, 5, 15-25.
Inoue, Akiomi, Norito Kawakami, dkk. 2010. Organizational Justice,
Psychological Distress, and Work Engagement in Japanese Workers. Int
Arch Occup Environ Health, 83, 29-38.
Kachalia, Allen dan David W. Bates. 2014. Disclosing Medical Errors: The View
from the USA. The Surgeon, 12, 64-67.
109
Kalra, Jawahar, Natasha Kalra, dkk. 2013. Medical Error, Disclosure and Patient
Safety: A Global View of Quality Care. Clinical Biochemistry, 46, 1161-
1169.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2011. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/Viii/2011 Tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit. In: MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA (ed.) Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor. Jakarta.
Kohn, Linda T. dan Janet M. Corrigan 1999. To Err Is Human. In:
DONALDSON, M. S. (ed.) Building a Safer Health System. Washington
D.C.: National Academy Press.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit 2011. Laporan Insiden Keselamatan
Pasien Periode Januari-April 2011. http://www.inapatsafety-
persi.or.id/data/triwulan12011/laporan_ikp12011.pdf: PERSI.
Kreitner, Robert dan Angelo Kinicki. 2007. Organizational Behavior, New York,
McGraw-Hill Int.
Lamo, Nancy. 2011. Disclosure of Medical Errors : The Right Thing to Do, but
What Is the Cost?, Kansas City, Lockton Companies LLC.
Lederman, Reeva, Suelette Dreyfus, dkk. 2013. Electronic Error-Reporting
Systems: A Case Study into the Impact on Nurse Reporting of Medical
Errors. Nursing Outlook, 61, 417-426.e5.
Mcfadden, Kathleen L., Stephanie C. Henagan, dkk. 2009. The Patient Safety
Chain: Transformational Leadership's Effect on Patient Safety Culture,
Initiatives, and Outcomes. Journal of Operations Management, 27, 390-
404.
Meginniss, Anne, Frances Damian, dkk. 2012. Time out for Patient Safety.
Journal of Emergency Nursing, 38, 51-53.
Nurcahyo, Heru. 2008. Ilmu Kesehatan Jilid 1 Dan 2 Untuk Smk, Jakarta,
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen
Pendidikan Nasional.
Occupational Safey and Health Administration. 2014. Organizational Safety
Culture - Linking Patient and Worker Safety [Online]. Dapat diakses dari:
https://www.osha.gov/SLTC/healthcarefacilities/safetyculture_full.html
[Pada 12 Januari 2014].
Pratiwi, Nurandini. 2014. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien Di Rsud
Lasinrang Pinrang Tahun 2014. S1 Undergraduate Thesis, Universitas
Hasanuddin.
110
Raper, Steven E., Andrew S. Resnick, dkk. 2014. Simulated Disclosure of a
Medical Error by Residents: Development of a Course in Specific
Communication Skills. Journal of Surgical Education, 71, e116-e126.
Republik Indonesia 2009a. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Republik Indonesia 2009b. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2009 Tentang Rumah Sakit. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 153. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Republik Indonesia 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2014. Lembaran Negara Republik Indonesia No. 298 Tahun 2014. Jakarta:
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Robb, Gillian dan Mary Seddon. 2010. Measuring the Safety Culture in a Hospital
Setting : A Concept Whose Time Has Come? The New Zealand Medical
Journal, 123.
Ross, Jacqueline. 2011. Understanding Patient Safety Culture: Part I. Journal of
PeriAnesthesia Nursing, 26, 170-172.
Rosyada, Sabila Diena. 2014. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien Pada
Perawat Unit Rawat Inap Kelas Iii Rumah Sakit Umum Daerah Pasar
Rebo Bulan Juni Tahun 2014. Sarjana Kesehatan Masyarakat Skripsi, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sarwono, Sarlito W. 2010. Pengantar Psikologi Umum, Jakarta, Rajawali Pers.
Schulz, Martin 2001. Organizational Learning. In: BAUM, J. A. C. (ed.)
Companion to Organizations. University of Washington: Blackwell
Publishers.
Setiawan, Ebta. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia Online [Online].
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. [Pada 19 Desember 2014].
Sherriff, Barry dan Norton Rose 2011. Promoting Effective Health and Safety
Leadership Using Platform in the Model Work Health and Safety Act.
Canberra: Safe Work Australia.
Sinicki, J., G. Bednarz, dkk. 2012. Your Safety, Our Commitment: A
Standardized Error Reporting Enabling a Culture of Patient Safety.
International Journal of Radiation Oncology*Biology*Physics, 84, S663-
S664.
Siswandi. 2011. Aplikasi Manajemen Perusahaan: Analisis Kasus Dan
Pemecahannya, Jakarta, Penerbit Mitra Wacana Media.
111
Sorra, Joann S. dan Veronica F. Nieva 2004. Hospital Survey on Patient Safety
Culture. In: WESTAT (ed.) AHRQ Publication No. 04-0041 ed.
Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality.
Stone, Patricia W., Michael I. Harrison, dkk. 2006. Organizational Climate of
Staff Working Condition an Safety - an Integrative Model Advances in
Patient Safety, 2, 467-468.
Suharjo, J. B. dan B. Cahyono. 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien
Dalam Praktik Kedokteran, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Wang, Xue, Ke Liu, dkk. 2014. The Relationship between Patient Safety Culture
and Adverse Events: A Questionnaire Survey. International Journal of
Nursing Studies, 51, 1114-1122.
Waters, Norna F., Wendy A. Hall, dkk. 2012. Perceptions of Canadian Labour
and Delivery Nurses About Incident Reporting: A Qualitative Descriptive
Focus Group Study. International Journal of Nursing Studies, 49, 811-
821.
White, Andrew A. dan Thomas H. Gallagher. 2013. Chapter 8 - Medical Error and
Disclosure. In: JAMES, L. B. dan H. R. BERESFORD (eds.) Handbook of
Clinical Neurology. Elsevier.
Who 2009. Better Knowledge for Safer Care : Human Factors in Patient Safety,
Review of Topics and Tools.
Williams, Steven D., Denham L. Phipps, dkk. 2013. Understanding the Attitudes
of Hospital Pharmacists to Reporting Medication Incidents: A Qualitative
Study. Research in Social and Administrative Pharmacy, 9, 80-89.
Winsvold Prang, Ida dan Lars-Petter Jelsness-Jørgensen. 2014. Should I Report?
A Qualitative Study of Barriers to Incident Reporting among Nurses
Working in Nursing Homes. Geriatric Nursing, 35, 441-447.
Wolf, Zane Robinson dan Ronda G. Hughes. 2005. Chapter 35. Error Reporting
and Disclosure. In: HUGHES, R. G. (ed.) Patient Safety and Quality: An
Evidence-Based Handbook for Nurses. Rockville, MD: Agency for
Healthcare Research and Quality.
World Health Organization 2009. Better Knowledge for Safer Care : Human
Factors in Patient Safety, Review of Topics and Tools.
World Health Organization. 2014. 10 Facts of Patient Safety. Dapat diakses dari:
http://www.who.int/features/factfiles/patient_safety/patient_safety_facts/e
n/ [Pada 28 November 2014].
Youngson, George G. 2014. Medical Error and Disclosure – a View from the
U.K. The Surgeon, 12, 68-72.
112
LAMPIRAN
113
KUESIONER PENELITIAN
Kepada Yth.
Bapak/Ibu/Saudara/i Dokter dan Perawat
di Rumah Sakit X dan Y Jakarta
Assalamualaikum wr.wb.
Salam Hormat.
Saya, Lany Aprili Sulistiani mahasiswi program studi Kesehatan Masyarakat peminatan
keselamatan dan kesehatan kerja akan mengadakan penelitian yang berjudul ―Korelasi
Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis Oleh Tenaga
Kesehatan Sebagai Upaya Peningkatan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Rumah Sakit X
Dan Rumah Sakit Y Jakarta Tahun 2015‖. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran hubungan budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis
oleh tenaga kesehatan di masing-masing rumah sakit.
Penelitian ini tidak akan menimbulkan hal merugikan bagi bapak/ibu/saudara/i sebagai
responden. Informasi yang didapatkan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya akan
digunakan dalam kepentingan penelitian ini. Oleh karena itu saya mohon agar
bapak/ibu/saudara/i untuk menjawab pertanyaan ini dengan objektif dan sejujur-jujurnya
sesuai dengan kondisi bapak/ibu/saudara/i.
Pernyataan dalam kuesioner ini merupakan pernyataan-pernyataan yang menggambarkan
kondisi umum pekerjaan bapak/ibu/saudara/i selama bekerja di rumah sakit sekarang ini. Atas
kesediaan bapak/ibu/saudara/i untuk mengisi kuesioner ini dengan lengkap dan jujur saya
mengucapkan banyak terimakasih.
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bersedia untuk menjadi responden
penelitian ini dan saya memahami dan menyadari bahwa penelitian ini bersifat rahasia dan
tidak akan mempengaruhi atau mengakibatkan hal yang merugikan saya. Oleh karena itu
saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Jakarta/ April 2015
Responden
114
C. Identitas Responden
1. Usia : ……. tahun
2. Jenis Tenaga Medis :
Dokter Perawat Tenaga kesehatan lain, (sebutkan)...............
3. Unit Kerja : …………………………………...
4. Rumah Sakit :
RS X Rumah Sakit Y
D. Petunjuk Pengisian
1. Kuesioner ini bertujuan untuk meminta pendapat anda tentang isu keselamatan pasien,
kesalahan medis dan pelaporan kesalahan medis di unit kerja dan rumah sakit tempat anda
bekerja. Untuk menyelesaikan seluruh pertanyaan dalam survei ini akan dibutuhkan kira-
kira 10-15 menit.
2. Kuesioner ini bukanlah tes dengan jawaban benar atau salah, yang terpenting anda
menjawab dengan jujur sesuai pendapat dan kondisi anda
3. Kami menjamin kerahasiaan jawaban bapak/ibu/saudara/i karena kuesioner ini semata-
mata bertujuan untuk penelitian dan bukan untuk mengevaluasi kinerja anda.
4. Kuesioner ini dapat digunakan optimal apabila semua pertanyaan terjawab. Oleh karena itu
mohon diteliti, apakah semua pertanyaan telah terjawab sebelum dikembalikan ke peneliti.
DEFINISI ISTILAH
Keselamatan pasien adalah suatu hal yang berbentuk pencegahan terhadap tindakan yang
dapat menciderai pasien selama proses perawatan.
Kesalahan adalah ketidaksesuaian pekerjaan yang dilakukan dengan standar operasional
prosedur yang berlaku dan berpotensi menimbulkan insiden keselamatan pasien baik secara
langsung maupun tidak langsung.
E. Pertanyaan
Bagian 1 : Budaya Keselamatan Pasien
Kuesioner bagian ini bertujuan untuk mengetahui budaya keselamatan pasien yang ada dan
berlaku di rumah sakit tempat anda bekerja.
NO. Pernyataan
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Setuju Setuju
Sangat
Setuju
A1 Setiap petugas di unit saya saling mendukung satu
sama lain dalam bekerja
A2 Saya merasa unit ini memiliki cukup petugas untuk
mengerjakan semua tugas yang ada di unit ini
A3
Ketika banyak pekerjaan yang harus diselesaikan
dengan cepat, kami bekerjasama sebagai sebuah tim
untuk mengerjakannya
115
NO. Pernyataan
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Setuju Setuju
Sangat
Setuju
A4 Di unit saya, setiap petugas memperlakukan rekan
kerja yang lain dengan baik
A5
Setiap petugas di unit saya bekerja lebih lama dari
waktu yang seharusnya (lebih dari 8 jam sehari; atau
lebih dari 40 jam seminggu) demi keselamatan pasien
A6 Kami secara aktif melakukan kegiatan – kegiatan yang
dapat meningkatkan kualitas keselamatan pasien
A7 Saya merasa unit ini lebih banyak menggunakan
tenaga honorer untuk kegiatan pelayanan disini
A8 Saya merasa kesalahan yang kami lakukan di unit ini
digunakan untuk menyalahkan kami
A9
Di unit saya, kesalahan – kesalahan yang dilaporkan
berperan penting untuk membawa perubahan yang
positif
A10 Jarang sekali tidak ada kesalahan yang serius terjadi
disini
A11 Ketika salah satu petugas di unit saya sibuk dengan
pekerjaannya, petugas yang lain akan membantu
A12
Ketika kesalahan yang berdampak negatif pada pasien
dilaporkan, saya merasa pelakunya yang utama
dibicarakan bukan masalahnya
A13 Kami mengevaluasi efektivitas setiap program
peningkatan keselamatan pasien yang telah dijalankan
A14
Kami bekerja dalam ―mode krisis‖, yaitu berusaha
melakukan pekerjaan yang begitu kompleks dalam
waktu yang sangat singkat
A15 Keselamatan pasien tidak pernah dikorbankan hanya
agar lebih banyak pekerjaan yang diselesaikan
A16 Saya khawatir kesalahan yang saya perbuat akan
dicatat dalam penilaian kinerja saya
A17 Saya merasa ada masalah keselamatan pasien di unit
ini
A18 Prosedur dan sistem di unit ini sudah baik dalam
mencegah kesalahan terjadi
B1
Atasan saya akan memberikan pujian ketika pekerjaan
yang saya lakukan sesuai dengan prosedur
keselamatan pasien
B2 Atasan saya selalu mempertimbangkan saran dari
stafnya untuk meningkatkan keselamatan pasien
B3
Ketika banyak tuntutan pekerjaan yang harus
diselesaikan, atasan saya menginginkan kami bekerja
lebih cepat, meskipun kami harus mengambil jalan
116
NO. Pernyataan
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Setuju Setuju
Sangat
Setuju
pintas untuk menyelesaikannya
B4 Atasan saya mengabaikan masalah keselamatan pasien
yang terus terjadi secara berulang
C1 Kami selalu diberi umpan balik tentang perubahan
yang dilakukan setelah terjadi suatu insiden
C2
Saya bebas untuk berpendapat jika melihat sesuatu
yang dapat memberikan dampak negatif terhadap
keselamatan pasien
C3 Kami selalu diberitahu mengenai setiap kesalahan –
kesalahan apapun yang terjadi di unit kami
C4
Saya memiliki kewenangan yang bebas untuk
mempertanyakan keputusan atau tindakan yang
diambil oleh atasan saya
C5
Pada unit kami, kami selalu mendiskusikan langkah-
langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu
kesalahan terjadi lagi di unit kami
C6
Petugas takut untuk bertanya jika terdapat suatu hal
yang tidak benar sedang terjadi berkaitan dengan
kselamatan pasien
F1
Pihak manajemen rumah sakit selalu menciptakan
suasana kerja yang berorientasi pada keselamatan
pasien
F2 Unit – unit di rumah sakit kurang berkoordinasi
dengan baik antara satu dengan yang lain
F3
Kesalahan yang terjadi di unit ini, seringkali menjadi
penyebab terjadinya kesalahan di unit lain yang
berdampak negatif pada keselamatan pasien
F4
Ada kerjasama yang baik antar unit di rumah sakit
dalam menyelesaikan pekerjaan yang harus dilakukan
secara bersama-sama
F5
Informasi penting yang berkaitan dengan keselamatan
pasien seringkali tidak tersampaikan kepada petugas
berikutnya saat pergantian shift kerja
F6 Saya merasa kurang nyaman bekerjasama dengan
petugas dari unit lain di rumah sakit ini
F7 Kadang muncul masalah saat melakukan pertukaran
informasi antar unit di rumah sakit
F8
Tindakan – tindakan yang dilakukan pihak manajemen
di rumah sakit menunjukkan bahwa keselamatan
pasien merupakan prioritas yang diutamakan
F9 Manajemen rumah sakit memperhatikan keselamatan
117
NO. Pernyataan
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Setuju Setuju
Sangat
Setuju
pasien hanya saat terjadi kejadian tidak diharapkan
yang menciderai pasien
F10
Unit – unit dalam rumah sakit bekerjasama dengan
baik dalam memberikan pelayanan yang bereorientasi
pada keselamatan pasien
F11 Pergantian shift menimbulkan masalah bagi pasien di
rumah sakit ini
Bagian 2 : Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis
Kuesioner bagian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana persepsi anda terhadap
pelaporan kesalahan medis yang ada di rumah sakit terutama di unit tempat anda bekerja.
Petunjuk Pengisian : Silahkan baca terlebih dahulu pernyataan di tiap-tiap poin dan berikan
tanda centang di pilihan jawaban anda.
Rentang jawaban di bawah ini menunjukkan jawaban saudara. Angka 1 menunjukkan bahwa
pernyataan tersebut tidak sesuai dengan kondisi anda dan tidak pernah anda lakukan,
sedangkan angka 7 menunjukkan bahwa pernyataan tersebut sangat sesuai dengan kondisi anda
dan selalu anda lakukan.
1 2 3 4 5 6 7
(Tidak Pernah) (Selalu)
NO. Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7
1 Saya memberikan laporan ketika menemukan kesalahan,
walaupun kesalahan tersebut tidak akan membahayakan
atau mencelakakan pasien
2 Saya memberikan laporan ketika menemukan kesalahan
yang dapat mencelakakan pasien walaupun tidak sampai
terjadi, karena sempat diketahui dan diperbaiki terlebih
dahulu
3 Saya memberikan laporan ketika menemukan kesalahan
yang dapat mencelakakan pasien walaupun tidak berakibat
buruk atau fatal
4 Saya memberikan laporan tentang kondisi kerja yang
berpotensi menyebabkan kesalahan (misalnya pencatatan
tidak teratur, lantai licin dll)
5 Saya memberikan laporan tentang kebiasaan kerja yang
saya tahu merupakan suatu yang salah
6 Saya memberikan laporan tentang penyimpangan prosedur
yang dilakukan untuk kebaikan (misal menunda
memberikan konseling/pemberian obat/visit karena pasien
sedang tidur)
118
NO. Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7
7 Saya memberikan laporan tentang penyimpangan prosedur
yang dilakukan untuk efisiensi kerja (misalnya menunda
memberikan konseling/obat/visit agar dapat dilakukan
bersama pasien lain)
8 Saya memberikan laporan kesalahan yang
disebabkan/terjadi pada rekan kerja saya
9 Saya memberikan laporan kesalahan yang
disebabkan/terjadi pada atasan saya
10 Saya memberikan laporan kesalahan pencatatan yang
terjadi
Terimakasih atas kesediaan bapak/ibu/saudara/i karena telah menjawab
pertanyaan survei ini dengan lengkap
Mohon diperiksa kembali jawaban anda dan pastikan sudah terisi semua
119
Alat Analisis Penelitian
Hospital Survey On Patient Safety Culture Data Entry and Analysis Tools
120
OUTPUT PERHITUNGAN
Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit X
Budaya Keselamatan Pasien di RS Y
121
Korelasi dimensi 1 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations
tot_persepsi d1_supervisor
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .388**
Sig. (2-tailed) . .000
N 101 101
d1_supervisor Correlation Coefficient .388** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 101 101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 2 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations
tot_persepsi D2_orglearn
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .496**
Sig. (2-tailed) . .000
N 101 101
D2_orglearn Correlation Coefficient .496** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 101 101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 3 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations
d3_TW_in_unit tot_persepsi
Spearman's rho d3_TW_in_unit Correlation Coefficient 1.000 .327**
Sig. (2-tailed) . .001
N 101 101
tot_persepsi Correlation Coefficient .327** 1.000
Sig. (2-tailed) .001 .
N 101 101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 4 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations
tot_persepsi
d4_comm_opennes
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .582**
Sig. (2-tailed) . .000
N 101 101
d4_comm_opennes Correlation Coefficient .582** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 101 101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
122
Korelasi dimensi 5 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations
tot_persepsi d5_feedback
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .197*
Sig. (2-tailed) . .048
N 101 101
d5_feedback Correlation Coefficient .197* 1.000
Sig. (2-tailed) .048 .
N 101 101
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 6 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations
tot_persepsi d6_nonpun_resp
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .419**
Sig. (2-tailed) . .000
N 101 101
d6_nonpun_resp Correlation Coefficient .419** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 101 101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 7 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations
tot_persepsi d7_staffing
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .039
Sig. (2-tailed) . .701
N 101 101
d7_staffing Correlation Coefficient .039 1.000
Sig. (2-tailed) .701 .
N 101 101
Korelasi dimensi 8 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations
tot_persepsi d8_mana_supp
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .112
Sig. (2-tailed) . .266
N 101 101
d8_mana_supp Correlation Coefficient .112 1.000
Sig. (2-tailed) .266 .
N 101 101
123
Korelasi dimensi 9 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations
tot_persepsi d9_team_across
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .176
Sig. (2-tailed) . .078
N 101 101
d9_team_across Correlation Coefficient .176 1.000
Sig. (2-tailed) .078 .
N 101 101
Korelasi dimensi 10 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations
tot_persepsi d10_handsoff
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .016
Sig. (2-tailed) . .870
N 101 101
d10_handsoff Correlation Coefficient .016 1.000
Sig. (2-tailed) .870 .
N 101 101
Korelasi dimensi 1 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations
tot_persepsi d1_supervisor
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .217*
Sig. (2-tailed) . .039
N 91 91
d1_supervisor Correlation Coefficient .217* 1.000
Sig. (2-tailed) .039 .
N 91 91
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 2 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations
tot_persepsi d2_orglearn
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .073
Sig. (2-tailed) . .493
N 91 91
d2_orglearn Correlation Coefficient .073 1.000
Sig. (2-tailed) .493 .
N 91 91
124
Korelasi dimensi 3 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations
tot_persepsi d3_TW_in_unit
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .184
Sig. (2-tailed) . .081
N 91 91
d3_TW_in_unit Correlation Coefficient .184 1.000
Sig. (2-tailed) .081 .
N 91 91
Korelasi dimensi 4 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations
tot_persepsi d4_comm_open
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .264*
Sig. (2-tailed) . .012
N 91 91
d4_comm_open Correlation Coefficient .264* 1.000
Sig. (2-tailed) .012 .
N 91 91
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 5 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations
tot_persepsi d5_feedback
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .286**
Sig. (2-tailed) . .006
N 91 91
d5_feedback Correlation Coefficient .286** 1.000
Sig. (2-tailed) .006 .
N 91 91
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 6 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations
tot_persepsi
d6_non_punitive_respond
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .201
Sig. (2-tailed) . .057
N 91 91
d6_non_punitive_respond Correlation Coefficient .201 1.000
Sig. (2-tailed) .057 .
N 91 91
125
Korelasi dimensi 7 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations
tot_persepsi d7_staffing
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 -.165
Sig. (2-tailed) . .118
N 91 91
d7_staffing Correlation Coefficient -.165 1.000
Sig. (2-tailed) .118 .
N 91 91
Korelasi dimensi 8 dengan persepsi di Rumah Sakit Y
Correlations
tot_persepsi
d8_management_support
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .157
Sig. (2-tailed) . .137
N 91 91
d8_management_support Correlation Coefficient .157 1.000
Sig. (2-tailed) .137 .
N 91 91
Korelasi dimensi 9 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations
tot_persepsi d9_TW_ac_unit
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .203
Sig. (2-tailed) . .054
N 91 91
d9_TW_ac_unit Correlation Coefficient .203 1.000
Sig. (2-tailed) .054 .
N 91 91
Korelasi dimensi 10 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations
tot_persepsi
d10_handsoff_transition
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .098
Sig. (2-tailed) . .357
N 91 91
d10_handsoff_transition Correlation Coefficient .098 1.000
Sig. (2-tailed) .357 .
N 91 91