konstruksi pemberitaan korupsi pegawai negeri sipil
TRANSCRIPT
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
98
KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL
(Analisis Framing Model Gamson-Modigliani dalam Pemberitaan Kasus Tindak Pidana
Korupsi Pegawai Negeri Sipil di Merdeka.com Edisi Februari-Maret 2019)
NEWS CONSTRUCTION OF CORRUPTION OF CIVIL SERVANTS EMPLOYEES
(Gamson-Modigliani's Model Framing Analysis in Reporting on Civil Servants Corruption Cases
at Merdeka.com Edition February-March 2019)
Launa1
1Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Satya Negara Indonesia
Jl. Arteri Pondok Indah No. 11 Jakarta Selatan 12240
Email: [email protected]),
Naskah diterima: 29 Maret 2019, direvisi: 8 Agustus 2019, disetujui: 20 September 2019
Abstrak – Beban anggaran negara akibat korupsi yang dilakukan para PNS yang belum dipecat telah menjadi
sorotan utama pemberitaan media massa nasional, termasuk menjadi hot issue di media sosial. Merdeka.com
adalah salah satu media sosial yang ikut memberitakan kasus korupsi para aktor birokrasi tersebut. Pemberitaan
Merdeka.com dalam kasus korupsi PNS cenderung memberi framing negatif pada sikap pemerintah. Kajian ini
menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Motode analisis yang digunakan adalah
model framing Gamson-Modigliani dengan teknik analisis deskiptif-interpretif, dan metode pengumpulan data
dokumentasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberitaan Merdeka.com menempatkan pemerintah pada
posisi negatif sebagai dampak dari ketidakjelasan sikap para pejabatnya dalam menindak tegas PNS pelaku
tindak pidana korupsi (tipikor). Perangkat framing (framing device) dan perangkat penalaran (reasoning device)
yang digunakan Merdeka.com lebih banyak menonjolkan pernyataan bernada permisif terkait sikap pemerintah
dan para pejabatnya atas kasus korupsi yang membelit institusinya. Di sisi lain, pihak pemerintah yang
ditampilkan sebagai narasumber (baik ditinjau dari sisi methapors, catchphrases, exemplars, dan depictions
maupun dari sisi roots, appeals to principle, dan consequence) juga terlihat defensif dalam memberi solusi atas
wacana tipikor yang dilakukan para PNS.
Kata kunci: Korupsi PNS, analisis framing, sikap ambigu pemerintah.
Abstract - The burden of the state budget due to corruption by unscrupted civil servants has been the main focus
of national mass media coverage, including being a hot issues on social media. Merdeka.com is one of the
social media that has contributed to the corruption of the bureaucratic actors. News on Merdeka.com in
corruption cases of civil servants tends to give a negative framing on the attitude of the government. This study
uses a constructivist paradigm with a qualitative approach. The analytical method used is the Gamson-
Modigliani framing model with desciptive-interpretive analysis techniques, and documentation data collection
methods. The results of the analysis show that the news of Merdeka.com put the government in a negative
position as a result of the unclear attitude of the officials in taking firm action against PNS perpetrators of
corruption. The framing device and the reasoning device used by Merdeka.com emphasize more permissive
statements regarding the attitude of the government and its officials over corruption cases that surround their
institutions. On the other hand, the government shown as a resource person (both in terms of methapors,
catchphrases, exemplars, and depictions as well as roots, appeals to principle, and consequence) also looks
defensive in providing solutions to the corruption discourse carried out by civil servants.
Keywords: Public servant corruption, framing analysis, umbiguous attitude of the government.
PENDAHULUAN
Fenomena korupsi—yang berlangsung
dalam wujud dan modus yang beragam—
intensitas dan penyebarannya bak virus ganas
dengan stadium mematikan. Berbagai jenis
terapi, resep, dan obat penawar sudah
diberikan, namun virusnya telah menyebar di
hampir semua lini, level, dan sektor kehidupan
bangsa, tak terkecuali sektor birokrasi yang
menjadi ujung tombak pelayan publik.
Banyaknya PNS yang terjerat kasus korupsi
membuat birokrasi menjadi trend setter
korupsi. PNS yang menjadi aktor terbanyak
dalam kasus korupsi karena dinilai memiliki
akses sebagai pelaksana dalam sejumlah
kegiatan. Pada 12 September 2018 lalu, Badan
Kepegawaian Negara (BKN) telah merilis
sebaran data rekapitulasi 2.357 PNS yang
terlibat tindak pidana korupsi. Dari jumlah itu,
sebanyak 98 orang adalah PNS yang ada di
sejumlah kementerian atau lembaga tingkat
pusat. Sementara, 2.259 lainnya tersebar di
sejumlah provinsi, kabupaten, dan kota.
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
99
Data BKN senada dengan laporan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK
menyoroti peran kepala daerah menyusul
terungkapnya sejumlah laporan bahwa masih
ada 2.357 PNS terpidana korupsi yang
berstatus aktif sebagai PNS. Data ini didapat
BKN setelah pihaknya menjalin kerja sama
dengan Dirjen Pemasyarakatan Kementerian
Hukum dan HAM pada tahun 2016. Dari
kerjasama itu ditemukan setidanya ada 7.749
PNS yang terlibat tindak pidana korupsi, 2.674
orang di antaranya telah mendapat vonis
pengadilan (inkracht). Dari 2.674 orang
tersebut, terungkap ada 317 di antaranya sudah
diberhentikan dengan tidak hormat, sementara
2.357 ternyata masih terdaftar aktif sebagai
PNS.
Namun, bila di total berdasarkan catatan
BKN, jumlah PNS yang terlibat dalam kasus
tindak pidana korupsi (tipikor) jauh lebih
besar. BKN mencatat dari 87 orang PNS yang
terlibat kasus tipikor dan masih berstatus aktif
tersebar di 17 kementerian dan lembaga.
Jumlah terbanyak ada di di Kementerian
Perhubungan (16 PNS), peringkat kedua di
Kementerian Agama (14 PNS), Menyusul 9
PNS dengan kasus tipikor dari Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR) dan Kementerian Ristekdikti. Selain
di kementerian, BKN juga menemukan 11
PNS yang terlibat tipikor dan berstatus aktif
sebagai pegawai dari berbagai lembaga negara.
PNS berkasus korupsi di Mahkamah Agung
berjumlah 5 orang. Terbanyak berikutnya
adalah PNS dari Setjen Komisi Pemilihan
Umum (KPU) sejumlah 3 orang.
Temuan menarik lain didapat dari hasil
penyilangan data rekapitulasi jumlah PNS
yang melakukan tipikor versi BKN, dengan
perbandingan data anggaran tiap kementerian
dan lembaga. Semakin besar anggaran
kementerian/lembaga maka jumlah PNS
pelaku tipikor juga tinggi. Melalui kajian di 10
kementerian dan 10 lembaga beranggaran
paling tinggi di tahun anggaran 2018 dari total
87 kementerian/lembaga. Berdasarkan data
pagu dan realisasi anggaran belanja
kementerian/lembaga tahun anggaran 2015-
2018, muncul pola alokasi anggaran yang
konsisten, dimana alokasi anggaran
kementerian/lembaga yang memiliki pagu
anggaran tinggi cenderung sama dari tahun ke
tahun. Namun, BKN menggunakan data
anggaran belanja kementerian/lembaga tahun
2018 sebagai patokan untuk melihat jumlah
PNS yang terlibat kasus tipikor.
Hasilnya, 90 persen kementerian yang
PNS-nya terlibat korupsi berasal dari
kementerian dan lembaga dengan besaran
anggaran belanja di atas Rp 20 triliun.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR), Kementerian Pertahanan, dan
Kementerian Agama adalah tiga kementerian
teratas (dengan besaran anggaran belanja
tertinggi yang memiliki) yang PNS terlibat
kasus tipikor terbanyak. Dari 10
kementerian/lembaga itu, hanya Kementerian
Sosial—menurut data rekapitulasi BKN
2018—yang tidak memiliki PNS aktif yang
terlibat kasus tipikor.
Menurut cara pandang konstruksi sosial,
berita tidak hadir dari ruang hampa. Berita
yang disusun wartawan hadir dari suatu proses
proses dialektis: siapa pemilik media itu?
(kepentingan) apa yang mendasari pendirian
media itu? Siapa orang-orang yang terlibat
dalam memproduksi teks-teks berita di media
itu? Bagaimana nilai dan rutinitas organisasi
mempengaruhi pemberitaan media?
Bagaimana watak realitas sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan ideologi yang melatari
lingkungan ekstra media (yang menjadi tempat
dimana media itu hidup dan beroperasi)?
Kajian framing berita dengan paradigma
konstruktivis ini meyakini bahwa dalam setiap
teks berita selalu tersembunyi kepentingan
(motif) tertentu yang ingin diraih oleh si
pembuat berita, melalui penggunaan perangkat
bahasa atas suatu isu atau peristiwa tertentu
yang bisa jadi dilatari oleh berbagai
kepentingan (bisa objektif atau subjektif,
konstruktif atau destruktif, membebaskan atau
menindas) yang sadar atau tidak tengah
diperjuangkan oleh wartawan/media
bersangkutan.
Kajian ini ditujukan untuk menjawab
pertanyaan: bagaimana Merdeka.com
menempatkan pemberitaan korupsi PNS dalam
perangkat framing (framing device) dan
perangkat penalaran (reasoning device) model
William A. Gamson dan Andre Modigliani.
Dari sisi akademis, hasil kajian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi studi
media berbasis analisis framing model
Gamson-Modigliani terkait konstruksi kasus
korupsi PNS di media online. Sementara dari
sisi praktis, hasil kajian diharapkan memberi
kontribusi praktis bagi wartawan dan para
pekerja media agar bersikap netral, objektif,
adil, dan proporsional serta khalayak pembaca
yang lebih cerdas (literatif) dalam memahami
(memilih dan memilah) isi berita.
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
100
METODE PENELITIAN
Paradigma yang digunakan dalam kajian
ini adalah paradigma konstruksi sosial.
Melalui penggunaan paradigma konstruksi
sosial, kajian ini diharapkan dapat menyibak
framing pemberitaan melalui praktik bahasa
seperti apa yang di konstruksi di ruang teks
berita Merdeka.com. Analisis teks berita akan
dilakukan dua tahap, yaitu analisis perangkat
framing (framing devices) dan analisis
perangkat penalaran (reasoning devices).
Struktur framing devices menekankan analisis
pada aspek cara „melihat‟ suatu isu
(mencakup: metaphors, catchphrases,
exemplars, depictions, dan visual images).
Sementara struktur reasoning devices
menekankan aspek pembenaran terhadap cara
„melihat‟ isu (mencakup roots/analisis kausal,
appeals to principle/klaim moral, dan
consequences/efek atau konsekuensi yang
didapat dari bingkai).
Jenis penelitian yang digunakan dalam
kajian ini adalah penelitian kualitatif dengan
metode analisis deskriptif-interpetif.
Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian
pada prinsip-prinsip umum yang mendasari
perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala
sosial yang berlangsung dalam kehidupan
masyarakat (Bungin, 2005). Teknik analisis
menggunakan analisis framing model
Gamson-Modigliani. Tujuannya untuk
mendapat gambaran (deskripsi) atas framing
pemberitaan Merdeka.com terkait kasus
tipikor PNS melalui interpretasi wacana
(bahasa) yang digunakan.
Sumber data sebagai objek adalah
pemberitaan kasus tipikor PNS di
Merdeka.com. Sementara subjek kajian adalah
teks berita yang termuat di portal berita
Merdeka.com. Dari 7 (tujuh) teks berita kasus
tipikor PNS yang ditemukan pada teks berita
Merdeka.com (periode Februari-Maret 2019),
hanya 3 (tiga) teks berita yang dipilih secara
purposif untuk dijadikan objek analisis, yakni:
(1) “PNS Napi Korupsi Masih Digaji, Negara
Berpotensi Rugi Rp. 72 Miliar (edisi Minggi,
24 Februari 2019); (2) “Negara Merugi Rp 6,6
Miliar Akibat Banyak ASN Terpidana Korupsi
Belum Dipecat” (edisi Sabtu, 02 Maret 2019);
dan (3) “Tak Ada Alasan Pemerintah Tunda
Pemecatan ASN Terbukti Korupsi” (edisi
Minggu, 03 Maret 2019).
Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah teknik dokumentasi. Teknik
ini diawali dengan pengumpulan data primer
berupa teks berita pada portal berita
Merdeka.com. Data (teks berita Merdeka.com)
yang berhasil terkumpul kemudian
diklasifikasi dan dianalisis dengan teknik
analisis kualitatif (deskriptif-interpretif). Data
lain yang digunakan adalah data sekunder dan
data tersier, seperti buku, jurnal, dokumen,
kajian, dan tulisan di website/internet, yang
relevan dengan kebutuhan kajian. Teknik
analisis data dilakukan melalui tahapan
berikut: (1) pengumpulan dan klasifikasi data;
(2) identifikasi teks berita yang disusun dalam
satuan-satuan analisis; (3) kategorisasi bagian-
bagian teks berita yang akan dianalisis; (4)
interpretasi dan analisis teks berita; dan (5)
penarikan kesimpulan.
Kerangka Teori
Analisis Framing William Gamson
Analisis framing Gamson-Modigliani
memahami wacana media sebagai satu
gugusan perspektif interpretasi (interpretative
package). Model analisis ini berfokus pada
wacana media sebagai sejumlah kemasan
(package) yang beroperasi dalam area framing
peritiwa atau konstruksi berita (wacana
korupsi PNS). Package (rangkaian ide-ide
yang menjadi petunjuk isu apa yang penting
untuk dibicarakan dan peristiwa mana yang
relevan untuk diliput) akan sangat menentukan
perspektif wartawan saat menyeleksi isu dan
menulis berita: fakta apa yang yang diambil,
bagian mana yang ditonjolkan dan
dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita
itu (Eriyanto, 2011).
Penelitian kualitatif berbasis analisis
framing ini juga ditujukan untuk menyingkap
pengunaan bahasa—dalam fungsinya sebagai
gejala sosiokultural maupun representasi
kepentingan kompok tertentu—yang
digunakan Merdeka.com sebagai sarana
framing berita. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan gambaran atas pola/kategori
tertentu terkait strategi framing yang
dikonstruksi atau diproduksi oleh
Merdeka.com. Sementara perspektif interpretif
memandang realitas sosial (teks berita yang
disajikan portal berita Merdeka.com) sebagai
fenomena yang bersifat holistik-dialektis.
Perspektif interpretif juga memandang realitas
sosial sebagai fenomena sosial yang bergerak
secara dinamis, penuh makna, subjektif,
bahkan bersifat ideologis (Rahardjo, 2017).
Dalam perspektif konstruktivis, media
dianggap sebagai cermin realitas. Apa yang
ditulis dan disajikan media adalah hasil dari
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
101
konstruksi sosial atas realitas yang
merepresentasikan fakta, dan karenanya
dianggap sebagai kebenaran (Rusadi, 2015).
Melalui analisis framing model Gamson-
Modigliani, penggunaan perangkat bahasa
sebagai cermin wacana media akan terlihat
sosoknya dalam framing berita korupsi PNS
yang di konstruksi Merdeka.com. Bagaimana
teks berita di framing dalam suatu wacana;
bagaimana strategi media dalam
mengonstruksi suatu peristiwa dan memberi
pemaknaan atas peristiwa itul; bagaimana
sebuah peristiwa dipandang penting atau tidak
penting; bagaiman individu atau kelompok
tertentu dimaknai dan digambarkan (baik atau
buruk); serta strategi wacana apa yang
digunakan untuk mengubah pemahaman
khalayak terkait isu korupsi PNS melalui cara
bercerita/narasi tertentu—yang seluruhnya
akan tercermin atau terepresentasikan dalam
teks berita.
Definisi Konseptual
Korupsi. Dari sudut etimologi korupsi
berasal dari kata „corruptio‟ atau „corruptus‟
(bahasa latin) yang berarti „kerusakan‟ atau
„kebobrokan‟. Sementara secara terminologi,
korupsi adalah „penyalahgunaan kepercayaan
publik‟ (public distrust) atau „penyalahgunan
kekuasaan‟ (abuse of power) yang melekat
pada suatu jabatan publik oleh
seseorang/sekelompok orang dengan tujuan
memperkaya diri sendiri atau menguntungkan
pihak lain (Evi Hartanti, 2007).
Definisi Transparency International
menyebut “penyalahgunaan kekuasaan yang
dipercayakan untuk pendapatan pribadi”
(“corruption is operationally defined as the
abuse of entrusted power for private gain”).
Sementara Bank Dunia mendefinisikan
korupsi sebagai “penyalahgunaan jabatan
publik untuk keuntungan pribadi” (corruption
is the abuse of public office for private gain).
Berikutnya, Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Tindak Pidana Pemberantasan
Korupsi, mendefinisikan korupsi sebagai:
“perbuatan melawan hukum, memperkaya diri
orang atau badan lain yang merugikan
keuangan atau perekonomian negara (pasal 2)
serta menyalahgunakan kewenangan karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan atau perekonomian negara (pasal
3).”
PNS/ASN. Pegawai Negeri Sipil (PNS)
adalah pegawai yang telah memenuhi syarat
yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang
berwenang, dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan negeri, atau diserahi tugas negara
lainnya. Undang Undang No. 8 Tahun 1974 jo
Undang Undang No. 43 Tahun 1999 yang
diperbarui oleh Undang-Undang No. 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
menyebut, anggota Polri dan TNI dianggap
tidak lagi menjadi bagian dari pegawai negeri.
Adapun pada UU ASN, definisi pegawai
negeri diganti dengan Aparatur Sipil Negara.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi salah satu
jenis pekerjaan Aparatur Sipil Negara, selain
PPK/P3K (Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjina Kerja).
Berita. Berita adalah hasil rekonstruksi
dari realitas sosial yang terdapat dalam
kehidupan. Berita adalah apa yang ditulis surat
kabar cetak (maupun online), apa yang
disiarkan radio, dan apa yang ditayangkan
televisi. Berita didefinisikan sebagai informasi
baru, penting, dan bermakna, berpengaruh
kepada khalayaknya. Berita adalah laporan
mengenai hal atau peristiwa yang baru terjadi,
menyangkut kepentingan umum, bersifat
aktual, terjadi di lingkungan terdekat dan
berpengaruh terhadap pembaca serta
diberitakan atua disiarkan secara cepat oleh
media massa.
Media Online. Media online adalah
saran komunikasi yang tersaji secara online di
situs web (website) yang dapat diakses oleh
setiap orang dengan menggunakan teknologi
internet. Media online disebut juga media
daring, media digital, media internet, dan
media siber (cyber media). Media online atau
media sosial (social media) merupakan produk
jurnalistik online (cyber journalism) yang
melakukan aktivitas jurnalistik melalui
pelaporan fakta atau peristiwa yang diproduksi
dan didistribusikan melalui jaringan internet,
seperti portal, website (situs web, termasuk
blog), radio streaming (online), TV streaming
(online), dan email. Isi media online terdiri:
teks, visual/gambar, audio, dan audio-visual
(video).
Portal Berita (Situs Web). Web portal
adalah situs web (website) yang menjadi pintu
gerbang (starting point) bagi setiap
pengunjung dunia maya yang ingin mencari
informasi/berita di internet. Portal berita online
adalah bagian dari web portal. Web portal bisa
berdiri sendiri atau merupakan konvergensi
dari media cetak dan elektronik. Kemampuan
portal web yang lebih spesifik adalah
penyediaan kandungan (content) informasi
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
102
atau berita yang dapat diakses menggunakan
beragam perangkat teknologi informasi
modern—seperti personal computer (PC),
komputer jinjing (notebook), PDA (personal
digital assistant), atau bahkan telepon
genggam (hand phone).
Portal berita (online news) adalah jenis
penyajian berita melalui medium baru (new
media), pasca media mainstram, seperti koran,
majalah (cetak) yang menyajikan teks dan
gambar, dan radio televisi yang menyajikan
teks, gambar, dan audio (media penyiaran).
Media online—sebagai fenomena baru
jurnalistik yang eksis di awal tahun 1990-an
dengan berkembangnya internet dan website
(world wide web)—bisa memadukan teks,
gambar, audio, dan video (multimedia).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Merdeka.com adalah portal web yang
berisi berita dan artikel. Berbeda dari situs-
situs berita lainnya, Merdeka.com hanya
memiliki edisi online (versi dalam
jaringan/daring internet) yang sepenuhnya
menggantungkan pendapatan untuk
mendukung operation business-nya dari iklan
komersial. Meski demikian, Merdeka.com
adalah salah satu portal berita terdepan di
Indonesia dalam hal aktualitas atau kebaruan
berita (breaking news).
Secara historis, Merdeka.com adalah
situs (portal) berita hasil diversifikasi dari situs
berita KapanLagi.com yang menyajikan
informasi berita seputar isu selebritis dan
entertainment. KapanLagi.com didirikan awal
tahun 2003 oleh Steve Christian bersama
seorang rekannya. Tahun 2012 Steve mencoba
peruntungan baru dengan membangun situs
berita yang lebih serius. Gagasan Seteve—
yang mendapat suntikan dana dari Sugiono
Wiyono (komisaris di Trikomsel)—inilah yang
kemudian melatari kelahiran situs berita
Merdeka.com. Saat ini Merdeka.com menjadi
portal berita dengan prinsip kerja jurnalistik
modern. Komitmen Merdeka.com adalah
menyajikan informasi yang benar dan enak
dinikmati, karena di era digital yang tak
bertepi, perlu ada informasi yang benar, cepat
saji, mudah diakses, akurat, dan bisa
dipertanggungjawabkan.
Tabel 1 Teks Berita 1 Judul: “PNS Napi Korupsi Masih Digaji, Negara Berpotensi Rugi Rp 72 M”
Framing Device
(Perangkat Framing)
Reasoning Devices
(Perangkat Penalaran)
Methapors:
“Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) tidak segera
memperoleh amar putusan pengadilan”. “Jika (amar
putusan) tidak segera diterima PPK, maka pemberhentian
PNS juga akan molor”.
“Ada PPK yang baru menjabat, (sehingga) enggan
memberhentikan (PNS korup)”.
“Ada surat edaran dari pengacara LBH Korpri kepada
KPK untuk menunda eksekusi pemberhentian dengan
tidak hormat”.
“Karena beberapa pasal dalam Undang-Undang ASN
sedang diujimaterikan”.
Roots:
Kasus korupsi PNS yang tidak dipecat dan telah
membebani APBN jangan dilihat secara parsial sebagai
semata kesalahan Badan Kepegawaian Negara (BKN),
akan tetapi terkait dengan:
- Lambatnya salinan putusan pengadilan dari MA yang
diterima oleh PPK dan BKN;
- Pejabat PPK yang baru bertugas.
- Pejabat PPK enggan memberhentikan PNS yang telah
diputus bersalah oleh pengadilan.
- LBH Korpri yang menyurati KPK untuk menunda
eksekusi (pemecatan) terhadap PNS yang melakukan
korupsi.
- Azas praduga tak bersalah.
- UU ASN yang sedang dalam proses uji materil di
Mahkamah Konstitusi.
Catchphrases:
“Menurut BKN, ada sekitar 1.466 PNS/ASN yang telah
divonis bersalah, tapi masih mendapat gaji”. “ICW
memperkirakan, negara masih harus mengeluarkan dana
sekitar Rp 6,5 miliar/bulan, atau Rp 72 miliar/tahun buat
mereka.”
Appeals to Principle Lambatnya pemecatan PNS yang terlibat kasus tindak
pidana korupsi, yang hingga saat ini masih berdinas,
sehingga membebani anggaran negara karena masih terus
menerima gaji dan tunjangan, bukan semata-mata
kesalahan PPK dan BKN, tapi juga kesalahan banyak
pihak.
Exemplars:
“Kemendagri mengalami kesulitan, karena tidak ada
salinan putusan pengadilan. Ini dorongan juga bagi MA,
untuk memberikan seluruh salinan putusan pengadilan
kepada instansi terkait. Jadi PPK yang dijabat kepala
daerah, atau menteri, atau sekretaris daerah itu bisa
melakukan pemecatan”.
Consequences:
PPK dan BKN tidak bisa dipersalahkan terkait banyaknya
jumlah PNS pelaku tindak pidana korupsi yang
membebani anggaran negara karena belum dipecat; dan
hingga saat ini terus menerima gaji dan tunjangan.
Depictions:
Kosa kata „terjerat‟, „mengambil titik tengah‟, „azas
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
103
praduga tak bersalah‟, dan „silahkan tanya PPK‟
digunakan sebagai leksikon untuk memberi label
„moderat‟ (bermakna mederasi; sikap permisif; sikap
defensif) terhadap PNS pelaku tipikor.
Visual Images:
Foto PNS sedang berbaris dan mengenakan seragam
Korpri; menunjukkan posisi dan peran PNS sebagai state
servant dan public servant.
Elemen inti berita (idea element) Dalam pandangan Merdeka.com, kasus
korupsi yang dilakukan para PNS yang belum
dipecat dan masih tercatat aktif sebagai PNS
selama ini telah membebani anggaran negara
yang cukup besar. Berdasarkan alasan ini,
Indonesian Corruption Watch (ICW)—salah
satu LSM terkemuka nasional yang bergiat di
bidang advokasi, riset, publikasi, dan
deseminasi korupsi—mendatangi Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melaporkan
dugaan potensi kerugian negara yang diaki-
batkan para PNS yang terjerat kasus tipikor—
namun hingga saat ini belum dipecat, masih
berstatus PNS dan masih tetap menerima gaji
dan berbagai tunjangan dari pemerintah.
ICW—seperti dituturkan oleh Wana
Alamsyah (staf divisi investigasi ICW)—
memperkirakan negara masih harus
mengeluarkan dana sekitar Rp 6,5 miliar per
bulan, atau Rp 72 miliar per tahun buat para
PNS yang terlibat tipikor. Jumlah potensi
kerugian negara kemungkinan akan lebih besar
dan akan terus bertambah. Pasalnya, nilai
potensi kerugian negara yang dihitung ICW
hanya berbasis perkiraan kasar, yakni dihitung
dari gaji pokok PNS pelaku tipikor.
Perangkat framing (framing device)
yang tersaji dalam konten pemberitaan
Merdeka.com—terkait kasus tipikor yang
berlangsung massif di lingkungan birokrasi
pemerintah mendapat respon cukup kritis dari
staf divisi investigasi ICW itu. Namun, dalam
kutipan pernyataan Wana kepada
Merdeka.com terlihat statement yang permisif
terkait temuan ICW atas kasus tipikor para
PNS yang sudah dilaporkan kepada
pemerintah.
Menurut Wana, dalam pertemuan ICW
dengan pihak pemerintah (pejabat BKN),
pejabat pemerintah yang berwenang cenderung
merespon secara permisif, dimana saat
dikonfirmasi banyak memakai kalimat
pengandaian (perumpaan) saat memberi
keterangan kepada ICW—seperti “masalahnya
PPK tidak segera memperoleh amar putusan
pengadilan.” Sebab, “jika (amar putusan) tidak
segera diterima PPK, maka pemberhentian
PNS juga akan molor”. Argumen lain dari
pihak pemerintah juga masih berkutat pada
kendala-kendala teknis, semisal “ada PPK
yang baru menjabat (baru diangkat/menduduki
jabatan sebagai PPK), sehingga enggan
memberhentikan PNS pelaku tipikor.” Atau
pernyataan “adanya surat edaran dari
pengacara LBH Korpri kepada KPK untuk
menunda pemberhentian (PNS pelaku tipikor)
dengan tidak hormat,” serta pernyataan
“beberapa pasal dalam Undang-Undang ASN
sedang diujimaterikan” (methapors).
Padahal, menurut Wana, jika kita kaji
dari sisi jumlah kasus tipikor yang dilakukan
oleh para PNS tersebut, jika dilihat dari sisi
jumlah pelaku cukup banyak (termasuk jumlah
uang negara yang mereka curi). Menurut
keterangan BKN, “masih ada sekitar 1.466
PNS yang telah divonis bersalah karena
terbukti melakukan tipikor, tapi masih
mendapat gaji dan tunjangan.” Sementara ICW
memperkirakan “negara masih harus
mengeluarkan dana sekitar Rp 6,5 miliar
sebulan, atau Rp 72 miliar setahun buat
mereka.” Kedua pernyataan di atas merupakan
frase yang kontras dan menonjol yang
digunakan Merdeka.com sebagai jargon
(catchphrases) pemberitaannya.
Dalam keterangan lain yang
disampaikan Wana, pejabat BKN kerap
menggunakan pernyataan klise, seperti
“Kemendagri mengalami kesulitan, karena
tidak ada salinan putusan (dari) pengadilan. Ini
sebetulnya dorongan juga bagi Mahkamah
Agung, untuk segera memberikan seluruh
salinan putusan pengadilan kepada instansi
terkait. Artinya, Pejabat Pembina
Kepegawaian (PPK) yang dijabat kepala
daerah, menteri, atau sekretaris daerah itu bisa
melakukan tindakan pemecatan (dengan
segera).” Keterangan pihak pemerintah (BKN)
yang bersumber dari Wana ini digunakan
Merdeka.com sebagai perbandingan untuk
memperjelas bingkai pemberitaannya terkait
ketidakjelasan sikap pemerintah dalam
menindak para PNS pelaku tipikor
(exemplars).
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
104
Sementara itu, kasus tipikor PNS
sepertinya juga tidak dipandang pemerintah
sebagai perilaku menyimpang (deviant
behavior) para pelayan publik dan abdi negara,
yakni tindak kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime). Sebab, kosa kata yang
digunakan pemerintah makna kalimatnya
terkesan bersayap atau bermakna ganda
(konotatif), seperti: „terjerat,‟ „mengambil titik
tengah,‟ „azas praduga tak bersalah,‟ dan
„silahkan tanya PPK.‟ Kalimat bersayap
(konotatif) ini ditonjolkan Merdeka.com
sebagai leksikon (depictions) untuk memberi
penekanan sebagai representasi sikap (pejabat)
pemerintah yang terkesan kompromis,
permisif, dan defensif dalam menindak para
PNS pelaku tipikor yang telah terbukti
melakukan korupsi keuangan negara.
Dari sisi semiotik, Merdeka.com juga
menyertakan foto PNS dengan tanda atau citra
visual (visual image) yang tengah berbaris
mengenakan seragam Korps Pegawai Republik
Indonesia (Korpri). Citra visual ini jelas
bermakna sarkasme (sindiran): Sebagai abdi
negara dan pelayan masyarakat, PNS
seyogyanya memegang teguh nilai dan etika
profesi yang menjunjung tinggi kejujuran,
keikhlasan, dan kerelaan berkorban untuk
masyarakat, bangsa, dan negara. Citra visual
ini dikonstruksi untuk melegitimasi bingkai
pemberitaan (framing device) secara
keseluruhan.
Perangkat penalaran (reasoning devices)
yang disajikan Merdeka.com bahwa kasus
tipikor yang dilakukan para PNS yang tidak
dipecat dan telah membebani anggaran negara
itu jangan dilihat secara parsial; semata-mata
kesalahan an sich pemerintah. Namun,
kondisi/situasi tersebut terkait dengan: (1)
lambatnya salinan putusan pengadilan (yang
telah berkekuatan hukum tetap—inkracht) dari
Mahkamah Agung yang (tidak segera)
diterima oleh PPK dan BKN; (2) Pejabat
Pembina Kepegawaian yang baru mendapat
tugas sebagai PPK; pejabat PPK yang enggan
memberhentikan PNS yang telah diputus
bersalah oleh pengadilan; (3) ada upaya
hukum yang dilakukan LBH Korpri (dengan
menyurati KPK) untuk menunda eksekusi
(tindakan pemecatan) terhadap PNS yang
melakukan korupsi; (4) prinsip azas praduga
tak bersalah (kendati PNS pelaku tipikor sudah
terbukti bersalah); dan (5) Undang-Undang
ASN yang sedang dalam proses uji materil di
Mahkamah Konstitusi. Perangkat penalaran ini
digunakan Merdeka.com sebagai analisis
sebab-akibat (roots) untuk menekankan
kepada khalayak bahwa berita yang
disampaikan terkait sikap ambigu
(inkonsisten) pemerintah atas kasus tipikor
PNS adalah benar (sesuai fakta berita).
Perangkat penalaran yang terbaca dalam
bentuk premis dasar atau klaim moral (sesuatu
yang dianggap benar sebagai landasan untuk
mengonstruksi kesimpulan) terkait kasus
tipikor para PNS, terkonstruksi dalam argumen
Wana yang menyebut bahwa lambatnya proses
pemecatan para PNS yang terlibat kasus
tipikor—yang hingga saat ini masih aktif
berdinas dan menerima gaji serta tunjangan
sebagai PNS—menurut pihak pemerintah
bukan semata-mata kesalahan mereka (baca:
PPK dan pejabat BKN), tapi juga kesalahan
pihak lainnya (appeals to principle).
Konsekuensi (consequences) dari
pernyataan Wana yang disajikan sebagai
framing pemberitaan Merdeka.com jelas
menunjukkan bahwa pemerintah (PPK dan
pejabat BKN) tidak bisa dipersalahkan atas
kasus banyaknya jumlah PNS pelaku tipikor
yang membebani anggaran negara karena
belum dipecat.
Tabel 2 Teks Berita 2 Judul: “Negara Merugi Rp 6,6 Miliar Akibat Banyak ASN Terpidana Korupsi Belum
Dipecat”
Framing Device
(Perangkat Framing)
Reasoning Devices
(Perangkat Penalaran)
Methapors:
“Banyak alasan” (kenapa PPK tidak memberhentikan
PNS/ASN korup).
“Aspek kemanusiaan” (sebagai variabel utama yang
mempengaruhi kenapa PNS/ASN yang melakukan tipikor
sampai saat ini belum diberhentikan).
“Saya kan‟ cuma kena getahnya.”
“Ya suruh aja bupati yang (ada) di sana yang
memberhentikan.”
Roots:
Sulitnya penanganan para PNS/ASN yang terlibat
korupsi namun hingga saat ini masih tetap berstatus PNS
aktif, belum ditindak, dan mendapat sanksi keras berupa
pemecatan karena alasan kemanusiaan (sesama korps
pegawai negeri/aparatur sipil negara); alasan “saya kan
(PPK) cuma kena getahnya”; alasan (BKN) yang
meminta bupati (atau menteri) untuk memberhentikan
PNS dilingkup kerjanya masing-masing yang melakukan
korupsi. Semua alasan itu bermuara pada ketidaktegasan
pemerintah dalam mengambil tindakan tegas terhadap
kasus korupsi yang melibatkan secara massif para
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
105
PNS/ASN.
Catchphrases:
“BKN mencatat 2.357 ASN terpidana korupsi belum
dipecat. Hal ini menyebabkan negara merugi sekitar Rp
6,6 miliar setiap bulannya dan Rp 72 miliar setahun.”
Appeals to Principle Kelambanan pemerintah dalam mengambil tindakan
tegas berupa pemecatan PNS yang terlibat kasus tindak
pidana korupsi di lingkungan kerjanya masing-masing
yang dilatari oleh berbagai alasan (seperti alasan
kemanusiaan, dan lempar tangan) telah mengakibatkan
kerugian negara.
Exemplars:
“Aspek penyebab ASN yang terpidana korupsi belum
dipecat. Salah satunya adalah kolusi ASN terpidana
korupsi dengan PPK.”
“Konflik kepentingan (pada diri PPK) akhirnya tidak
menghukum yang bersangkutan (para PNS pelaku tindak
pidana korupsi).”
Consequences:
PPK dan BKN memiliki alasan kemanusiaan dalam
semangat „saling melindungi‟ (esprit de corps) yang pada
akhirnya berdampak pada beban anggaran negara, karena
pemerintah harus memberi gaji dan tunjangan pada PNS
yang terus berlindung dibalik alasan-alasan yang
irasional dan subjektif.
Depictions:
Kosa kata „kolusi,‟ „konflik kepentingan,‟ „political will
pemerintah,‟ „keindahan politik‟ digunakan sebagai
leksikon untuk memberi label „kendala teknis‟ (bermakna
pe-ma‟af-an; sikap permisif) terhadap PNS pelaku
tipikor. Visual Images:
Foto PNS yang sedang keluar kantor/ruangan, terlihat
sibuk, lelah karena beban pekerjaan untuk memberi
penekanan pada kerja keras PNS selaku pelayan
masyarakat dan abdi negara.
Elemen inti berita (idea element)
Dalam pandangan Merdeka.com, kasus
tipikor yang dilakukan oleh para PNS telah
menyebabkan kerugian negara yang sangat
besar (Rp 6,6 miliar/bulan atau Rp 72
miliar/tahun). Fakta berita ini merupakan hasil
wawancara kedua Merdeka.com dengan Irham
Dilmy, Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil
Negara. Saat merespon isu tersebut, Dilmy
menjelaskan sebab yang melatari PNS yang
terlibat tipikor yang hingga saat ini belum
dipecat.
Perangkat framing Merdeka.com yang
ditulis dari hasil wawancara dengan Irham
Dilmy, direspon dalam kalimat perumpaan
atau pengandaian (methapors). Pemilihan
kalimat (diksi) Dilmy menunjukkan ada
sesuatu yang „ditutupi,‟ karena isu ini
menyangkut kepentingan korps (esprit de
corps), seperti terlihat dalam jawaban
narasumber: “(ada) banyak alasan kenapa
PPK tidak memberhentikan PNS pelaku
tipikor,” atau kalimat “ada pertimbangan
karena ini menyangkut aspek kemanusiaan,”
atau statement kontradiktif, “saya kan‟ cuma
kena getahnya.”
Pernyataan Dilmy terkesan pejoratif,
dilihat dari sisi komitmen (slogan) pemerintah
untuk menciptakan aparatur pemerintahan
yang bersih. Pernyataan Dilmy menjadi frase
yang menonjol yang digunakan Merdeka.com
sebagai perangkat framing pemberitaannya
(catchphrases).
Pernyataan Dilmy juga bersifat
konjungtif dan komparatif. Ada upaya untuk
menghubungkan dan membandingkan proses
penegakan hukum PNS pelaku tipikor dengan
aspek psikologis yang melatari budaya
organisasi (kentalnya tradisi kolusi dan konflik
kepentingan di tubuh birokrasi. Menurut
Dilmy, “aspek penyebab ASN yang terpidana
korupsi belum dipecat salah satunya adalah
kolusi ASN terpidana korupsi dengan PPK,”
atau “adanya faktor konflik kepentingan pada
diri PPK, yang akhirnya tidak menghukum
yang bersangkutan” sesuai ketentuan
perundangan yang ada. Keterangan Dilmy
ditonjolkan Merdeka.com untuk memperjelas
bingkai pemberitaannya terkait kentalnya
nuansa kolusi, nepotisme, dan conflict of
interest serta sikap ragu dan ambigu para
pejabat pemerintah untuk menindak tegas para
PNS pelaku tipikor (exemplars).
Sebagai sebuah tindakan penyimpangan,
pembiaran atas kasus tipikor PNS jelas
berbahaya bagi penciptaan PNS yang bersih.
Pernyataan Dilmy yang menggunakan kosa
kata, seperti „ada faktor kolusi,‟ „ada situasi
konflik kepentingan,‟ rendahnya „political will
pemerintah,‟ dan pentingnya menjaga
„keindahan politik‟ sebagai leksikon—
digunakan sebagai justifikasi sekaligus
labeling terkait faktor budaya organisasi
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
106
birokrasi yang secara existing masih bermental
KKN sebagai akar utamanya. Framing ini
memberi ilustrasi pada khalayak pada
lemahnya inisiatif dan komitmen pemerintah
untuk menindak PNS pelaku tipikor
dilingkungan internalnya (depictions).
Secara semiotik, Merdeka.com juga
menyertakan foto barisan PNS dengan citra
visual (visual image) yang menggambarkan
sekelompok PNS sedang keluar dari kantor
(entah istirahat atau pulang kantor), terlihat
sibuk dan menampakan gesture „lelah.‟
Visualisasi ini untuk memberi penekanan pada
sosok PNS sebagai pekerja keras. Secara
simbolik, visualisasi ini bisa dimaknai: sebagai
pelayanan publik, PNS berhak mendapat
perlindungan pemerintah, respek publik, dan
kelayakan hidup yang digunakan sebagai citra
visual bingkai pemberitaan Merdeka.com.
Perangkat penalaran (reasoning devices)
yang digunakan Merdeka.com terkait kasus
tipikor para PNS adalah statement narasumber,
seperti „rasa kemanusiaan,‟ adanya
„semangat/kehormatan korps‟ (esprit de
corps), dan potensi „konflik kepentingan‟
(conflict of interest) di antara para pejabat
pemilik kewenangan. Sulitnya penanganan
para PNS korup lebih disebabkan oleh alasan
kemanusiaan serta alasan bahwa BKN telah
meminta bupati (atau menteri) untuk segara
memecat PNS dilingkup kerjan (instansi)-nya
masing-masing yang terbukti melakukan
tipikor.
Semua alasan itu digunakan sebagai
perangkat penalaran untuk menjelaskan
adanya faktor sebab-akibat (roots) yang
melatari keenggan dan sikap permisif para
pejabat pemerintah untuk: (1) melakukan
tindakan tegas (dalam bentuk pemecatan); dan
(2) alasan-alasan yang subjektif-irasional
(seperti pertimbangan kemanusiaan, nama baik
dan kehormatan institusi/esprit de corps).
Reasoning device ini ditujukan untuk memberi
penekanan kepada khalayak pembaca bahwa
berita yang disampaikan terkait sikap permisif
dan defensif pejabat pemerintah untuk
mengambil tindakan tegas terhadap para PNS
pelaku tipikor adalah benar (sesuai dengan
fakta berita).
Perangkat penalaran lain yang terlihat
sebagai premis dasar atau klaim moral
(sesuatu yang dianggap benar sebagai landasan
untuk mengonstruksi kesimpulan) terlihat
dalam argumen narasumber yang menyatakan
bahwa kelambanan dan keengganan
pemerintah (baik di tingkat pusat maupun
daerah) dalam mengambil tindakan tegas
berupa pemecatan PNS yang terlibat kasus
tipikor di lingkungan kerjanya masing-masing
yang dilatari oleh alasan „kemanusiaan,‟
„semangat korps,‟ dan pejabat yang „saling
lempar tanggung jawab‟ telah berakibat pada
perugian anggaran/keuangan negara (appeals
to principle).
Konsekuensi (consequences) dari
pernyataan narasumber yang digunakan
sebagai framing berita Merdeka.com jelas
menunjukkan bahwa pemerintah (khususnya
PPK dan pejabat BKN) tidak correct dan
serius dalam menindak atau memberi sanksi
pada perilaku koruptif PNS.
Tabel 3 Teks Berita 3 Judul: “Tak Ada Alasan Pemerintah Tunda Pemecatan ASN Terbukti Korupsi”
Framing Device
(Perangkat Framing)
Reasoning Devices
(Perangkat Penalaran)
Methapors:
„Very clear‟ (“Sudah ada UU No. 5/2014 tentang
Aparatur Sipil Negara pasal 87 ayat 1; junto PP No.
11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil; junto
PP No. 32/1979 tentang Pemberhentian PNS; junto SKB
Menteri PAN-RB, Mendagri, dan BKN, Surat Edaran
(SE) Mendagri No. 800/2012 tentang Pemecatan PNS—
yang kemudian direvisi menjadi SE Mendagri No.
180/6867/SJ tentang tentang Penegakan Hukum
Terhadap Aparatur Sipil Negara yang Melakukan Tindak
Pidana Korupsi).
„Amunisi dan senjata sudah ada‟ (“Jika negara mau serius
memerangi korupsi, pemerintah tinggal menggunakan
aturan perundangan yang ada”).
Roots:
Terhambatnya sanksi pemecatan PNS/ASN pelaku
korupsi oleh pemerintah tidak masuk akal karena amunisi
dan sejata (seperti tercermin dalam berbagai aturan
perundangan) sudah sangat jelas dan tegas mengatur itu.
Problemnya, pemerintah dinilai tidak serius dalam
menangani kasus korupsi PNS, padahal pembiaran kasus
itu selama ini telah menjadi beban anggaran negara
cukup besar.
Catchphrases:
“BKN mencatat 2.357 ASN terpidana korupsi belum
dipecat, membuat negara setiap bulannya merugi sekitar
Rp 6,6 miliar atau Rp 72 miliar setahun.”
Appeals to Principle Pemerintah tak memiliki alasan logis untuk terus
memberi ruang para PNS pelaku tipikor karena berbagai
peraturan perundangan yang disiapkan negara sangat
lengkap, jelas, dan rinci sebagai pandu dalam menindak
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
107
para PNS pelaku tipikor.
Exemplars:
"Kalau bicara tentang hukum sebenarnya tidak kurang
lagi terkait peraturan perundang-undangan pemecatan
PNS terutama terkait korupsi."
"Masalahnya adalah di level pelaksanaan.” “Menteri,
Gubernur, Bupati dan Walikota belum mau memecat
ASN dengan segala argumennya.”
Consequences:
Berbagai alasan pemerintah yang berujung pada tidak
adanya upaya untuk mengambil tindakan tegas pada para
PNS pelaku tipikor tak hanya akan membebani anggaran
negara (Rp 6,6 miliar per bulan atau Rp 72 triliun per
tahun), namun tindakan itu sangat berbahaya bagi
pembentukan nilai-nilai positif bernegara: mewujudkan
birokrasi pelayanan berorientasi profesional, dan handal;
dus potensial merusak kepercayaan publik (lokal,
nasional maupun internasional) pada pemerintah.
Depictions:
Kosa kata „verry clear,‟ „amunisi,‟ „senjata,‟ dan „asas
legalitas,‟ digunakan sebagai leksikon untuk memberi
label „lengkapnya peraturan perundangan‟ untuk
memecat PNS pelaku tindak pidana korupsi.
Visual Images:
Karikatur dua orang yang tengah bersalaman, memberi
penekanan pada simbol persahabatan, kekeluargaan dan
kekompakan (esprit de corps) sebagai citra negatif
(kolusi, nepotisme). Citra, nilai/budaya organisasi ini
tumbuh subur di hampir seluruh level birokrasi
pemerintah (pusat maupun daerah).
Elemen Inti Berita (idea element)
Dalam pandangan Merdeka.com, kasus
tipikor yang dilakukan para PNS sebenarnya
sudah ada aturan perundangan yang mengatur,
dimana PNS dapat langsung dipecat jika
terbukti melakukan korupsi. Merdeka.com
mendasari elemen inti pemberitaan dari
pandangan Hery Firmansyah (pengajar Hukum
Pidana Universitas Tarumanegara, Jakarta).
Menurut Firmansyah, aturan pemecatan PNS
pelaku tipikor sesungguhnya telah diatur
secara lengkap dan rinci, baik dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (pasal 87 ayat 1); junto Peraturan
Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2017 tentang
Manajemen Pegawai Negeri Sipil; junto
Peraturan Pemerintah (PP) No. 32 Tahun 1979
tentang Pemberhentian PNS; junto Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri PAN-RB,
Mendagri dan BKN No. 182/6597/SJ, No. 15
Tahun 2018, dan No. 153/KEP/2018 tentang
Penegakan Hukum Terhadap Pegawai Negeri
Sipil yang Telah Dijatuhi Hukuman
Berdasarkan Putusan Pengadilan yang
Berkekuatan Hukum Tetap Karena Melakukan
Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak
Pidana Kejahatan yang Ada Hubungannya
Dengan Jabatan (menggantikan Surat Edaran
(SE) Mendagri No. 800 Tahun 2012 tentang
Pemecatan PN)—yang kemudian di revisi
menjadi SE Mendagri No. 180/6867/SJ
tentang tentang Penegakan Hukum Terhadap
Aparatur Sipil Negara yang Melakukan Tindak
Pidana Korupsi.
SKB merupakan komitmen sekaligus
bentuk sinergitas antar kementerian dan
lembaga, guna menciptakan kepastian hukum,
tertib administrasi, dan meningkatkan disiplin
PNS. Dengan terbitnya SKB, pemerintah telah
memberi dasar hukum yang makin kokoh
untuk mendesak para PPK maupun pejabat
berwenang untuk meningkatkan sistem
pengawasan informasi kepegawaian. SKB juga
sudah rinci mengatur penjatuhan sanksi
kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK)
dan Pejabat yang Berwenang (PyB) yang tidak
melakukan tindakan tegas kepada PNS pelaku
tipikor yang telah dijatuhi hukuman pidana
tipikor oleh pengadilan (inkracht).
Perangkat framing (framing device)
Merdeka.com didapat dari hasil interview
mendapat respon kritis dari Firmansyah,
dinyatakan dalam kalimat perumpaan atau
pengandaian (methapors), seperti kalimat “jika
negara mau serius memerangi korupsi,” atau
kalimat “tinggal bagaimana pemerintah
menggunakan aturan perundangan yang sudah
ada itu untuk menegakkan aturan.” Statement
narasumber menjadi frase yang kontras dan
ditonjolkan dalam pemberitaan Merdeka.com
sebagai perangkat framing pemberitaan
(catchphrases)-nya.
Perangkat framing Merdeka.com juga
menempatkan secara jelas contoh, komparasi
atau uraian praktis (exemplars) seperti
dinarasikan narasumber, bahwa "kalau kita
bicara tentang landasan hukum sebenarnya
tidak kurang lagi, jadi tidak ada alasan untuk
tidak memecat PNS pelaku tipikor." Menurut
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
108
Narasumber, “masalahnya adalah di level
pelaksanaan, dimana menteri, gubernur, bupati
dan walikota belum mau memecat ASN.”
Kosa kata „verry clear,‟ „amunisi,‟
„senjata,‟ dan „asas legalitas‟ digunakan
sebagai leksikon untuk memberi label
„lengkapnya perangkat peraturan
perundangan‟ untuk memecat PNS pelaku
tindak pidana korupsi. Pernyataan narasumber
memperkuat argumentasi perangkat framing,
bahwa landasan hukum untuk menegakkan
aturan sudah sangat jelas („very clear‟—sudah
ada asas legalitas, yakni berbagai perangkat
peraturan perundangan, terakhir adalah SKB
tiga menteri—Mendagri, Menpan RB, dan
BKN—tentang Penegakan Hukum Terhadap
Aparatur Sipil Negara yang Melakukan
tipikor). Jadi kejelasan aturan sebagai asas
legalitas untuk memecat PNS pelaku tipikor
sudah sangat lengkap (depictions).
Untuk mendukung perangkat framing
pemberitaan, Merdeka.com juga menempatkan
gambar karikatur dua sosok laki-laki yang
tengah bersalaman, memberi penekanan
simbol persahabatan, kekeluargaan dan
kekompakan (esprit de corps) sebagai citra
negatif (nepotisme), yakni nilai, tradisi, atau
budaya organisasi yang tumbuh subur di
hampir seluruh level birokrasi pemerintah
sebagai aspek visual images-nya. Visualisasi
(gambar karikatur) ini ditujukan untuk
memberi penekanan (citra) yang mendukung
bingkai pemberitaan (framing device) secara
keseluruhan.
Perangkat penalaran (reasoning devices)
yang digunakan Merdeka.com terkait wacana
pemerintah yang lamban dan enggan memberi
sanksi pemecatan para PNS pelaku tipikor,
menurut narasumber adalah hal yang tidak
masuk akal karena berbagai aturan
perundangan yang ada cukup lengkap, rinci,
jelas dan tegas mengatur tatacara/prosedur
pemecatan para PNS pelaku tipikor.
Problemnya, pemerintah dinilai tidak serius
dalam menangani kasus tipikor PNS.
Argumen yang digunakan sebagai
perangkat penalaran Merdeka.com untuk
menjelaskan adanya faktor sebab-akibat
(roots), yakni pemerintah sesungguhnya tidak
memiliki alasan, motif atau argumen yang
logis—baik ditinjau dari aspek yuridis, etis,
maupun politis—karena berbagai peraturan
perundangan yang disiapkan negara sudah
sangat lengkap, jelas, dan rinci sebagai
guidance dalam menindak para PNS pelaku
tipikor (appeals to principle).
Konsekuensi (consequences) dari
pernyataan narasumber yang digunakan
sebagai framing berita Merdeka.com jelas
menunjukkan bahwa berbagai alasan yang
berujung pada tiadak adanya upaya serius
pemerintah untuk mengambil tindakan tegas
pada para PNS pelaku tipikor.
Dari hasil analisis kasus tipikor PNS
dengan menggunakan analisis framing berita
model Gamson-Modigliani, asumsi paradigma
konstruksi sosial terafirmasi dalam kajian ini, dimana „realitas objektif‟ (objective reality)—
sebagai rutinitas tindakan/tingkah laku yang
telah terpola mapan serta dihayati oleh
individu sebagai fakta sosial—tercermin dalam
pemberitaan kasus korupsi PNS yang
berlangsung massif dan eksesif dilingkungan
birokrasi pemerintah. Stigma atas perilaku koruptif birokrasi
sebagai realitas objektif adalah bentuk
konstruksi sosial yang dihadirkan media, yang
pemaknaannya tidak bisa dilepaskan dari
konteks sosial, budaya, dan kekuasaan. Dalam
konteks wacana individual, seperti diafirmasi
oleh Gamson dan Modigliani, publik pembaca
memaknai korupsi birokrasi sesuai dengan
pengalaman, wawasan sosial, dan kondisi
psikologisnya. Sementara pada level kultural,
publik menginterpretasi korupsi sebagai
wacana legitimate yang selalu hadir sebagai
konstruksi wacana dominan (kekuasaan).
Framing Merdeka.com terkait kasus
tipikor PNS adalah bentuk tindakan yang
terkait dan terhubung secara dialektis dengan
struktur sosial. Wacana korupsi PNS
dipengaruhi oleh kondisi sosial (opini dan
persepsi publik tentang birokrasi sebagai
institusi korup), dan sebaliknya, opini dan
persepsi publik (birokrasi sebagai institusi
korup) juga dipengaruhi oleh praktik korupsi
sebagai produk kekuasaan negara.
Di sisi lain, wacana (korupsi) sebagai
praktik diskursif yang dikendalikan oleh
individu atau kelompok politik dominan.
Wacana (korupsi) tidak lahir dari ruang
hampa, namun dikondisikan dan dibentuk oleh
kekuatan politik dominan (relasi kuasa
negara). Melalui narasumber Merdeka.com
sebagai aktor yang berkehendak, orientasi
korupsi (jahat, buruk, dst) dan nilai korupsi
(salah, amoral, dst) sebagai representasi dari
praktik regulatif kemudian didefinisikan,
diberi makna serta diinterpretasikan secara
otonom oleh pembaca di dalam ruang teks
pemberitaan.
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
109
Berikutnya, wacana (korupsi) harus
dipahami sebagai sebuah peristiwa sosial
dengan empat ciri utamanya: (1) wacana
(korupsi) selalu terkait dengan tempat dan
waktu tertentu; (2) wacana (korupsi) selalu
memiliki subjek („siapa yang berbicara/who
speak)‟ karena peristiwa (korupsi) terjadi
ketika ada pihak yang menghadirkan bahasa
dalam waktu dan tempat tertentu; (3) wacana
(korupsi) selalu menunjuk pada sesuatu yang
sedang dibicarakan (baca: penggerogotan
anggaran negara), merujuk pada dunia yang
sedang digambarkan (baca: birokrasi sebagai
sarang koruptor); dan (4) wacana (korupsi)
merupakan locus bagi berlangsungnya
pertukaran pesan dan pemaknaan atas
peristiwa (antara pemerintah, media, dan
khalayak).
Dalam pemahaman framing berbasis
paradigma konstruksi sosial, teks pemberitaan
(korupsi PNS) tidak bisa dipisahkan dari
konteks (birokrasi sebagai ruang praktik
korupsi) dan wacana (ujuran, tuturan,
rangkaian kalimat bermakna), karena
ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh.
Dengan demikian, framing pemberitaan kasus
tipikor PNS yang disajikan sebagai fakta
penulisan berita oleh Merdeka.com telah
memberi dampak negatif pada citra
pemerintah.
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan dan analisis
pemberitaan kasus tipikor PNS di
Merdeka.com—ditinjau dari model analisis
framing device dan reasoning device Gamson-
Modigliani—dapat disimpulkan sebagai
berikut.
Teks berita 1. Perangkat framing berita
(framing device) Merdeka.com cenderung
memberi citra negatif pada pemerintah.
Framing negatif tersebut terlihat pada
penonjolan kalimat yang bernada permisif
(methapors), kalimat ambigu sebagai
catchphrases, kalimat perbandingan yang
bernada klise (exemplars), kosa kata (leksikon)
bemakna konotatif/bahasa bersayaf
(depictions), serta cita visual (visual images)
yang secara semiotik bermakna menyindir
(sarkastik).
Dari sisi perangkat penalaran (reasoning
device), Merdeka.com menonjolkan sikap
inkonsisten dan ambigu sebagai alasan sebab-
akibat (roots) yang melatari sikap permisif
pemerintah. Sikap ini juga terlihat dari klaim
moral pemerintah (appeals to principle),
bahwa lambannya proses pemecatan para PNS
pelaku tipikor bukan semata-mata kesalahan
tunggal mereka. Konsekuensi (consequences)
dari klaim moral: pemerintah bukanlah satu-
satunya pihak yang harus dipersalahkan.
Teks berita 2. Perangkat framing berita
(framing device) Merdeka.com juga cenderung
memberi citra negatif pada pemerintah, seperti
terlihat pada penonjolan kalimat „saya kan‟
cuma kena getahnya‟ (methapors), kontras
dengan komitmen (slogan) pemerintah untuk
menciptakan aparatur sipil negara yang bersih
dan bebas KKN (catchphrases), adanya sikap
ragu dan ambigu (exemplars), serta lemahnya
inisiatif dan komitmen pemerintah dalam
menindak PNS pelaku tipikor (depictions),
serta penggunaan citra visual (visual image)
bermakna „permohonan penghargaan‟ (respek
publik).
Dari sisi perangkat penalaran (reasoning
device), Merdeka.com menonjolkan „sisi
kemanusiaan‟, „kehormatan korps‟ (esprit de
corps), dan „conflict of interest‟ sebagai alasan
sebab-akibat (roots), serta diksi „lempar
tanggung jawab‟ sebagai klaim moral yang
mendasari sikap permisif dan defensif
pemerintah dalam mengambil tindakan tegas
pada PNS pelaku tipikor (appeals to
principles). Konsekuensi dari alasan subjektif
pemerintah („kemanusiaan‟, „semangat korps‟,
„conflict of interest‟) jelas akan memberi
dampak pada meningkatnya beban APBN
dalam jangka panjang (consequences).
Pada teks berita 3, perangkat framing
pemberitaan (framing device) Merdeka.com
tetap pada framing negatif, seperti terlihat
pada kalimat pengandaian „jika negara mau
serius memerangi korupsi‟ dan „aturan untuk
itu sudah ada (lengkap)‟ (methapors).
Penggunaan kalimat methapors ini sekaligus
menjadi frase yang kontras (ditonjolkan)
sebagai catchphrases. Sementara pada kalimat
„masalah ada di level pelaksanaan‟ digunakan
sebagai exemplars, serta kosa kata (leksikon)
seperti „verry clear,‟ „amunisi,‟ „senjata,‟ dan
„asas legalitas‟ sebagai depictions.
Penempatan gambar karikutur sosok laki-laki
yang tengah bersalaman (visual images) secara
semiotik bisa dimaknai sebagai simbol kolusi
dan nepotisme (nilai, tradisi atau budaya yang
masih sulit dieksklusi dari tubuh birokrasi).
Dari sisi perangkat penalaran (reasoning
devices), faktor sebab-akibat (roots) terlihat
dalam kalimat „tidak ada alasan, motif atau
argumen yang logis‟; serta aspek appeals to
principle terlihat dari kalimat „lengkapnya
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
110
aspek yuridis, etis, dan politis‟; serta
konsekuensi (consequences), yakni tidak
adanya tindakan tegas yang dilakukan
pemerintah pada para PNS pelaku tipikor—
jelas akan memberi dampak pada beban
anggaran negara, sulitnya membentuk nilai-
nilai positif bernegara (mewujudkan birokrasi
bermental pelayanan, profesional, dan handal)
serta potensial merusak kredibilitas, integritas,
dan kepercayaan publik terhadap komitmen
penegakan hukum pemerintah.
Kajian ini merekomendasikan beberapa
hal berikut. Pada level khalayak pembaca
diharapkan lebih kritis dan cerdas dalam
memilih dan memilah pemberitaan yang
disajikan media, khususnya media online.
Pada level praktisi media, peneliti
menyarankan agar menulis dengan komitmen
„menyampaikan peristiwa apa adanya‟
(objektif) bukan „menciptakan atau
merekayasa peristiwa‟ (subjektif). Sebagai
media online ternama, Merdeka.com dapat
memosisikan dirinya sebagai media online
yang memiliki tanggung jawab sosial sebagai
landasan penting untuk melahirkan masyarakat
pembaca yang kritis, cerdas, dan sadar akan
kebenaran informasi (smart and well
informated society).
Pada level pemilik media, Merdeka.com
diharapkan menjadi media online mampu
memberi public awareness dan menyajikan
prinsip pemberitaan objektif, adil, profesional,
proporsional, dan seimbang (cover both side)
sesuai dengan kaidah, norma, etika, dan
prinsip kerja jurnalistik modern.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Pimpinan Redaksi Jurnal Media dan
Komunikasi (DIAKOM), para editor DIAKOM,
dan Mitra Bestari DIAKOM yang telah
memberi kesempatan kepada penulis untuk
mempublikasikan naskah artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Berger, Peter L. dan Luckmann, Thomas
(1990). Tafsir Sosial Atas Kenyataan:
Risalah Sosiologi Pengetahuan. Jakarta:
LP3ES.
Bungin, Burhan (2005). Metodologi Penelitian
Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi dan
Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Sosial
Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Eriyanto (2011). Analisis Framing:
Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.
Yogyakarta: LKiS.
Fatkhuri (2017). Korupsi dalam Birokrasi dan
Strategi Pencegahannya. Jurnal Ilmiah
Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial, 2
(1), 65-76. DOI:
10.26623/themessenger.v6i1.166.
Gamson, William A. and Andre Modigliani
(1989). Media Discourse and Public
Opinion on Nuclear Power: A
Constructionist Approach. American
Journal of Sociology, 1 (95), 1-37.
Gerintya, Scholastica (2018). Kementerian dan
Lembaga Mana yang Jadi Sarang Para PNS
Korupsi? Retrieved from in
https://tirto.id/kementerian-dan-lembaga-
mana-yang-jadi-sarang-para-pns-korupsi-
cZvp.
Hartanti, Evi (2007). Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Sinar Grafika.
Helping Countries Combat Corruption: The
Role of the World Bank. Retrieved from
http://www1.worldbank.
org/publicsector/anticorrupt/corruptn/cor02
.htm.
http://jurnalistikonline1.blogspot.com/2015/11
/pengertian-karakteristik-media-
online.html.
http://www.kpk.go.id/modules/edito/content_f
aq.php?id=15.
http://www.zainalhakim.web.id/pengertian-
web-portal.html.
https://id.wikipedia.org/wiki/KapanLagi.com.
https://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial.
https://id.wikipedia.org/wiki/Merdeka.com.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pegawai_pemerin
tah_dengan_perjanjian_kerja.
https://kbbi.web.id/berita.
https://kompas.id/baca/utama/2018/09/18/koru
psi-di-sektor-birokrasi-jadi-tren-saat-ini/
https://tirto.id/2357-koruptor-masih-berstatus-
pns-kpk-soroti-peran-kepala-daerah-
cW8M.
https://www.komunikasipraktis.com/2018/10/p
engertian-berita-online-online-news.html.
https://www.merdeka.com/company/tentang-
kami.html.
https://www.merriam-
webster.com/dictionary/esprit_de_corps.
Huda, Sokhi (2018). Model-Model Analisis
Teks Media. Retrieved from
https://www.researchgate.net/
publication/331476275_Analisis_Teks_Me
dia, 27 (October), 1-5. DOI:
10.5281/zenodo.2582231.
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111
111
Kresno, Slamet Dodi (2014). Konstruksi
Sosial Pemberitaan Kasus Simulator Sim di
Media Online Kompas. com. Jurnal The
Messenger, 1 (6), 34-41. DOI:
http://dx.doi.org/10.26623/themessenger.v6
i1.166.
Newsom, Doug and James A. Wollert (1985).
Media Writing, News for The Mass Media.
California: Wadsworth Publishing
Company.
Rahardjo, Mudjia (2018). Paradigma
Interpretif. Retrieved from
http://repository.uin-
malang.ac.id/2437/1/2437. pdf, 1-5.
Rusadi, Udi (2015). Kajian Media: Isu
Ideologis dalam Perspektif, Teori dan
Metode. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Sobur, Alex (2015). Analisis Teks Media:
Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
www.transparancy.org/news_room/faq/corrupt
ion_faq.