konstitusionalitas wewenang negara ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52091...hak...
TRANSCRIPT
KONSTITUSIONALITAS WEWENANG NEGARA TERHADAP
PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA BERDASARKAN
PRINSIP HAK ASASI MANUSIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RICKO ANAS EXTRADA
NIM. 11150480000186
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441H / 2020 M
i
KONSTITUSIONALITAS WEWENANG NEGARA TERHADAP
PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA BERDASARKAN
PRINSIP HAK ASASI MANUSIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RICKO ANAS EXTRADA
NIM. 11150480000186
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441H / 2020 M
ii
Konstitusionalitas Wewenang Negara Terhadap Pengelolaan SumberDaya
Air di Indonesia Berdasarkan Prinsip Hak Asasi Manusia
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Ricko Anas Extrada
NIM: 11150480000186
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Kamarusdiana, M.H.
NIP. 19720224 199803 1 003
Mufidah S.H.I., M.H.
NIDN. 2101018604
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/ 2020 H
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “WEWENANG NEGARA TERHADAP
PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BERDASARKAN PRINSIP HAK
ASASI MANUSIA” telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah
dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 22 April 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada
Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, Juni 2020
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.
NIP. 19760807 200312 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQOSAH
1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( ............................ )
NIP. 19670203 2014 1 001
2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( .............................. )
NIP. 19650908 199503 1 001
3. Pembimbing I : Dr. Kamarusdiana, M.H. ( ............................ )
NIP. 19720224 199803 1 003
4. Pembimbing II : Mufidah, S.H.I., M.H. (................................)
NIDN. 2101018604
5. Penguji I : Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H,.M.H. (..............................)
NIP. 19760807 200312 1 001
6. Penguji II : Dewi Sukarti, M.A.
NIP. 19720817 200112 2 001 (................................)
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ricko Anas Extrada
Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 06 Mei 1997
NIM : 11150480000186
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Jl. Galeong I No. 67 RT 004/007, Kelurahan
Margasari Kec. Karawaci, Kota Tangerang, 15113
(081389128269)
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Uiniversitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 10 April 2020
Ricko Anas Extrada
NIM: 11150480000186
v
ABSTRAK
Ricko Anas Extrada. NIM 111504800001.... “Konstitusionalitas Wewenang
Negara Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Air Berdasarkan Prinsip
Hak Asasi Manusia” Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah
danHukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/
2020M.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dikotomi implementasi
privatisasi terhadap sumber daya air oleh swasta yang terjadi di Indonesia dan
tanggungjawab pengelolaan sumber daya air oleh negara yang ditinjau dari prinsip
hak asasi manusia. Sesuai dengan amanat konstitusi yang ditegaskan dalam Pasal
33 ayat (3) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif sedangkan
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan metode penelitian kepustakaan (library
research) serta pendekatan konseptual yang akan diselaraskan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa negara memiliki
tanggungjawab dalam pengelolaan sumber daya air sesuai dengan amanat
konstitusi guna menjamin, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia atas air.
Pengelolaan air oleh swasta (privatisasi air) yang bersifat monopoli, ekslopratif
dan materialistik tidak sesuai dengan semangat konstitusi dan dasar negara
Indonesia. Terlebih lagi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang
membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air mewajibkan pengelolaan sumber
daya air dilakukan oleh negara guna mewujudkan kesejahteraan sosial.
Kata kunci : Pengelolaan sumber daya air, privatisasi, kesejahteraan,
hak asasi manusia.
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Kamarusdiana, M.H.
2. Mufidah S.H.I., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1950 - Tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‟alamin puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
Swt karena berkat rahmat dan nikmat-Nya lah penulis mampu menyelesaikan
tugas akhir berupa skripsi ini sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana. Shalawat
serta salam tidak lupa penulis curahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad
Saw yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman
Islamiyah, sehingga penulis bisa merasakan nikmat iman dan islam sampai
dengan sekarang.
Skripsi yang berjudul “Konstitusionalitas Hak Menguasai Negara
Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Air Berdasarkan Tinjauan Prinsip Hak
Asasi Manusia” penulis susun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
hukum pada konsentrasi Praktisi Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Keberhasilan peneliti dalam menyelesaikan tugas akhir ini dari awal
proses menyusun skripsi hingga akhir penyelesaian skripsi tidak terlepas dari
bimbingan, saran maupun dukungan dari setiap orang yang banyak membantu
penulis. Dengan demikian pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tolabi Karlie, S.H., M.A. M.H. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajarannya.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Kamarusdiana M.H. dan Mufidah S.H.I., M.H. yang telah meluangkan
waktunya dan banyak memberikan bimbingan, motivasi, saran, maupun arahan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
vii
4. Seluruh staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya
dalam membantu peneliti mendapatkan sumber data studi kepustakaan dalam
rangka menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu, Bapak Suryanto dan Ibu Siti Muawanah, kedua orangtua
peneliti yang senantiasa berada di sisi peneliti dalam keadaan suka maupun
duka dan yang telah banyak memberikan dukungan berupa materil dan moril
kepada peneliti. Penelti yakin seluruh perjuangan dan jasanya tidak akan
pernah bisa dibalas oleh penulis, dan semoga Allah Swt membalas segala
kebaikan mereka yang telah diberikan kepada penulis.
6. Pihak-pihak yang telah terlibat dalam perkembangan kegiatan akademik dan
non-akademik penulis selama dalam menempuh kuliah jenjang S-1 di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 10 April 2020
Ricko Anas Extrada
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING.....................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI.................................iii
LEMBAR PERNYATAAN.................................................................................iv
ABSTRAK ............................................................................................................v
KATA PENGANTAR.........................................................................................vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1
B. Identifikasi, Pembahasan, dan Perumusan masalah.........................9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.........................................................10
D. Metode Penelitian................................................................................11
E. Sistematika Pembahasan....................................................................15
BAB II TINJAUAN PRIVATISASI DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Kerangka Konseptual......................................................................14
1. Pemahaman Umum Sumber Daya Air.......................................14
2. Privatisasi......................................................................................14
3. Hak Asasi Manusia......................................................................16
B. Kerangka Teoritis..............................................................................20
1. Konsepsi Negara Hukum di Indonesia........................................21
2. Konsepsi Negara Kesejahteraan Dalam Bingkai Hak Asasi
Manusia............................................................................................26
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu...............................................32
BAB III SISTEM TATA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI
INDONESIA
A. Kebijakan Global Dalam Pengelolaan Sumber Daya
Air......................................................................................................39
ix
B. Fenomena Privatisasi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air…......44
BAB IV IMPLEMENTASI PENGELOLAAN AIR DI INDONESIA
BERDASARKAN KAIDAH HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Kedudukan dan Peran Negara Dalam Pengelolaan Sumber Daya
Air......................................…............…………..................................45
B. Jaminan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia atas
Air di Indonesia...................................................................................50
C. Implementasi Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh Swasta di
Indonesia Pasca Dibatalkannya UU Sumber Daya Air Melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XII/2013..............56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................71
B. Rekomendasi.........................................................................................74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya air merupakan benda publik (public good) yang
dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk digunakan dan dinikmati guna
kelangsungan kehidupan seluruh makhluk hidup. Atas dasar fungsi air tersebut,
maka sepatutnya konsep kepemilikan sumber daya air adalah milik bersama
umat manusia (res communitis), dan oleh sebab itu tidak tepat apabila swasta
diberikan peran penuh dalam mengelola air guna memenuhi hajat hidup
manusia, karena air bukanlah benda pribadi (privat good) yang biasanya
dapat
dikuasai oleh korporasi.
Pemenuhan atas air bagi manusia dikategorikan sebagai natural rights,
yang artinya hak yang melekat pada sifat manusia karena kondisi historis,
kebutuhan dasar, dan gagasan akan keadilan. Hak atas air merupakan hak asasi
yang bukan diberikan oleh negara, akan tetapi hak asasi yang didadapatkan
karena konteks ekologis dari eksistensi manusia yang menimbulkan hak atas
air. Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban dalam mengelola sumber daya
air semata-mata untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia atas air
yang sifatnya alamiah tersebut.
Kewajiban negara dalam hal pengelolaan sumber daya air untuk
kesejahteraan rakyatnya secara konstitusional telah tegas dinyatakan dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Ketentuan yang terdapat dalam konstitusi tersebut merupakan dasar
hukum dan tujuan hukum sekaligus sebagai bentuk cita luhur bangsa Indonesia
yang menjadi titik temu kehidupan sosial dalam rangka melaksanakan
2
pengelolaan sumber daya alam di Indonesia secara optimal guna mewujudkan
kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia.1
Air merupakan unsur dasar yang penting bagi stabilitas ekosistem. Air
juga merupakan sumber daya alam yang mutlak diperlukan bagi hidup dan
kehidupan, tidak hanya manusia tetapi juga makhluk hidup lain beserta
lingkungannya. Ketersediaan sumber daya air bervariasi baik jumlah maupun
mutunya. Fungsi dan manfaat air memerlukan berbagai upaya peningkatan dan
perlindungan air agar berdaya guna dan berhasil guna.2
Kebutuhan manusia terhadap air secara berkelnjutan terus mengalami
peningkatan. Hal ini dikarenakan meningkatnya ragam kebutuhan manusia
terhadap air dan juga karena meningkatnya jumlah manusia yang
membutuhkan air. Di sisi lain, air yang tersedia di alam berpotensi mengalami
penurunan jumlah.3
Fungsi air adalah sebagai kebutuhan sosial maupun lingkungan
hidup, maka negara tidak semestinya membiarkan dan memberikan
ruang seluas-luasnya kepada pihak swasta dalam mengelola air, karena
pengelolaan air oleh swasta (privatisasi) hanyalah salah satu dari
agenda besar liberalisasi ekonomi.4
Munculnya agenda liberalisasi ekonomi terhadap pengelolaan air
dapat membahayakan kepentingan masyarakat luas, karena ketika
suatu negara menghadapi kelangkaan air justru hal tersebut akan
dimanfaatkan menjadi kesempatan pasar (market opportunity) yang
akan diperebutkan oleh korporasi dunia untuk meraup keuntungan.
Menurut data yang disampaikan MARS Indonesia, produksi air minum
dalam kemasan (AMDK) di Indonesia menyumbang sebagian besar
1 Djaren Saragih, Dunia Hukum Sebagai Dunia Nilai-Nilai, (Surabaya: Pusat Studi
Hukum Pembangunan Fakultas Hukum UNAIR, 1977), h. 23.
2 Ahmad Santoso, Demokratisas Pengelolaan Sumber Daya Alam, (Jakarta: Indonesian
Center for Enviromental Law, 1999), h. 195.
3 Daud Silalahi, Pengaturan Hukum Sumber Daya Air dan Lingkungan di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 2006), h. 11. 4 Munawar Khalil, Privatisasi Sumber Daya Air dalam Tinjauan Hukum Islam, Jurnal
Pemikiran Islam Afkaruna, Vol.1 No.1, 2006, h. 12.
3
eksploitasi air yang dilakukan oleh pihak swasta. Kebutuhan akan air
akan semakin bertambah seiring dengan adanya kelangkaan air yang
melanda di beberapa daerah sehingga hal tersebut dapat dimanfaatkan
oleh pihak swasta untuk meraup keuntungan semata.5
Paham liberalisasi ekonomi pada sektor pengelolaan sumber daya
air di Indonesia salah satunya dipengaruhi faktor krisis moneter yang
dialami Indonesia pada masa orde baru, yang kemudian menarik
perhatian organisasi internasional seperti World Bank yang mencoba
untuk merestrukturisasi sistem pengelolaan air dan menanamkan
modalnya dalam sektor tersebut di Indonesia. World Bank memberikan
pinjaman di sektor sumber daya air atau Water Resources Sector
Adjustment Loan (WATSAL) sebesar USD 300 juta untuk penataan
kembali kebijakan sektor air di Indonesia. Penataan ini untuk
memberikan peluang partisipasi sektor swasta (privatisasi) dalam
pengelolaan layanan air. Akibat dari kesepakatan tersebut, berimplikasi
pada terbukanya agenda privatisasi terhadap air.
Implikasi hukum yang timbul akibat kerjasama pemerintah
Indonesia dengan organisasi internasional seperti World Bank salah
satunya adalah adanya pembentukan dan pemberlakuan Keputusan
Presiden nomor 96 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa pengelolaan
dan penyediaan air minum boleh dikuasai asing hingga 95%. Dengan
seperti itu, pemerintah Indonesia telah membuka keran munculnya
liberaliisasi ekonomi yang dapat dikuasai oleh pihak swasta, karena
pada dasarnya sifat maupun tujuan utama swasta (korporasi) pada
umumnya hanya untuk mencari keuntungan semata (profit oriented),
maka pelayanan kepada masyarakat atau public service dalam bidang
pengelolaan air bukanlah orientasi utamanya, dengan begitu peran
swasta dalam hal pengelolaan air dapat mengabaikan kepentingan
masyarakat luas.6
5 https://tirto.id/melawan-komersialisasi-air-bJ75 diakses pada tanggal 10 Februari 2020
6 Samsul Wahidin, Hukum Sumber Daya Air, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) , h. 41.
4
Gagasan privatisasi air menimbulkan kerangka berpikir baru mengenai air
yang awalnya sebagai benda publik yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat
dengan mudah kini berubah sebagai benda ekonomi yang dieksploitasi oleh
swasta sehingga semakin mudah melanggengkan praktik komersialisasi atau
materialisasi terhadap pengelolaan air. Hal ini sekali lagi tentu akan mengubah
makna air yang sebelumnya barang publik dan pemenuhannya merupakan
kewajiban pemerintah/negara. Akibatnya adalah memposisikan air sebagai
komoditas ekonomi yang cenderung mengarah pada arah privatisasi dan
komersialisasi di mana hanya orang-orang. tertentu yang dapat mengaksesnya.7
Meningkatnya permintaan akan air di tengah-tengah kelangkaan air telah
menjadikan perusahaan-perusahaan besar (swasta) menanamkan usahanya di
bidang pengelolaan air. Tujuan perusahaan besar tidak lain adalah untuk
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya yang akan membahayakan
keberadaan masyarakat kecil. Padahal air merupakan komoditas sangat primer
bagi kehidupan, dan tidak seharusnya ada peristiwa kekurangan air karena
salah dalam pengelolaannya.
Kelangkaan air yang muncul sebagai masalah serius di banyak Negara di
dunia khususnya di Asia dan Afrika, disebabkan ketersediaan air yang tidak
sebanding dengan kebutuhan terhadapnya. Di samping pengelolaan yang tidak
berkeadilan dan tidak berpihak kepada masyarakat, kondisi demikian antara
lain juga disebabkan oleh ketidakstabilan lembaga, atau kurangnya struktur
kelembagaan dan sosial yang ada.8
Isu keterbatasan air baik kualitas maupun kuantitas menjadi isu yang
sangat penting sehingga menarik perhatia dalam dalam tataran internasional.
Sebagaimana yang ditulis oleh Maria Adelaida Henao Canas9:“Water is today
subject of debate in the international arena due to the deep politic, economic and
7 Samsul Wahidin, Hukum Sumber Daya Air, ...h,.30.
8 Samsul Wahidin, Hukum Sumber Daya Air, … h,.91.
9 Maria Adelaida Henao Canas, The Right To Water: Dimension and Opportunies, EAFIT
Of International Law Journal Columbia, Vol.1, No.1, 2010.
5
social implications it carries, along with challenges that require strong commitment
by government and international agencies.”
Sama halnya dengan apa yang dipaparkan dalam penelitian jurnal
internasional terindex scopus Harvard law review yang menjelaskan esensi air
bagi manusia di tengah kelangkaan air yang terjadi di belahan dunia. Jurnal
tersebut berjudul what price for the priceless:
“Implementing justiciability of the right to water is scare, such as Asia, South
America, Sub Saharan Africa, the relative cost of purchasing water is high,
and water takes on radically different level of importance. When its general
importance is coupled with scarcity, waters value increases exponentially,
making it more comparable to gold or diamondthan to air, with the added
weight of being necessary for survival. In this sense, there are few (perhaps
no) other resources of equal importance.”10
Krisis dan kelangkaan air yang terjadi baik secara kualitas maupun
kuantitas hampir di seluruh dunia dan minimnya dana serta teknologi yang
dimiliki pemerintah merupakan kelemahan yang membuat beberapa kelompok
memanfaatkan hal tersebut dengan menciptakan perubahan cara pandang
terhadap air dan pengelolaannya. Praktik komersialisasi atau privatisasi
terhadap air yang telah diterapkan di beberapa negara adalah contoh
keberhasilan pengaruh globalisasi dalam merubah perspektif terhadap
pengelolaan dan pemanfaatan air. Bahkan penguasaan sumber air oleh swasta
atau asing telah terjadi dan terus berkembang serta masif .11
Setiap konsep maupun prinsip dalam pengelolaan air, negara dihadapkan
dengan beberapa tantangan sebagaimana yang dikemukakan oleh M.A. Salman
bahwa:
“However, implementation of the right to water face multiple
challenges. One major challenge relates to the absence of legislation in
most countries to reflect the country’s international obligations and to
10 Note, “What the price for the priceless: Implementing the Justiciability of The Right To
Water”, Harvard Law Review, Vol. 120, 2007.
11
Samekto dan Suteki, Membangun Politik Hukum Sumber Daya Alam Berbasis Cita
Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Thafa Media, 2015), h. 4.
6
institutionalize and elaborate the right. Another challenge relates to
financial.”12
Kontrol pemerintah yang lemah dan kentalnya nuansa korupsi, kolusi dan
nepotisme di tingkat birokrasi pemerintah menyebabkan posisi tawar
(bargaining position) antara konsumen dan pemerintah terus melemah dan
tidak berdaya. Dalam kondisi tersudut dan tertekan, investor swasta dapat
melakukan aneka manuver baru guna meraup keuntungan dengan
mengeksploitasi sumber daya alam dan membebankan kepada konsumen dan
pemerintah melalui beragam cara seperti perpanjangan kontrak lebih lama,
peningkatan presentase bagi hasil yang terus meningkat untuk investor sampai
tuntutan penyertaan modal pemerintah. Pada tahap ini kolonisasi modern
dalam akses, kontrol, dan partisipasi penyediaan air minum terbentuk secara
alamiah.13
Berlakunya Undang-Undang Sumber Daya Air semakin membatasi peran
negara yang hanya sebagai pembuat dan pengawas aturan atau sebagai
regulator semata. Negara sebatas hanya sebagai regulator dan swasta sebagai
penyelenggara sistem air (privatisasi air) merupakan penjabaran dari penerapan
sistem ekonomi liberal. Peran sosial dalam penyelenggaraan sistem kelola air
tidak dapat digantikan oleh swasta yang memiliki orientasi pada keuntungan
sebagai tujuan utama.
Negara yang hanya menjadi regulator dikhawatirkan akan kehilangan daya
untuk mengontrol atas setiap tahapan pengelolaan air untuk memastikan
terjaminnya keselamatandan kualitas bagi setiap pengguna air. Apabila kontrol
yang dilakukan negara lemah, maka akan ada kemungkinan negara tidak dapat
menjamin dan memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok tidak
mampu dan rentan dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan
terjangkau.
12
Salman M. A. Salman, “The Human Right to Wate : Challenges of Implementation”,
American Society of International Law, Vol. 106, 2012, h. 44.
13
http://www.ampl.or.id/digilib/read/dampak-privatisasi-air-minum/ diakss pada tanggal
10 Desember 2019
7
Penyelenggaraan air minum dan pengelolaan air oleh swasta diyakini juga
akan berpengaruh terhadap biaya dan tarif yang ditanggung pengguna.
Keuntungan perusahaan, biaya eksternal, biaya operasional dan investasi
menjadi biaya total yang ditanggung oleh pengguna air. Inilah yang disebut
pengenaan full cost recovery.14
Dampak dari privatisasi di mana orientasi pengelolaan oleh perusahaan
adalah mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan
sekecil-kecilnya berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi telah mengubah
hubungan negara dengan warganya yang semula bersifat pelayanan menjadi
hubungan pengusaha dan konsumen yang berdasarkan perhitungan untung
rugi.
Penegasan hak atas air dalam suatu konstitusi dan peraturan perundang-
undangan di bawahnya adalah dalam kerangka untuk memberikan keadilan
bagi seluruh rakyat. Konkretnya, hal ini adalah suatu bentuk pembatasan
terhadap manusia itu sendiri dalam memanfaatkan air. Tidak boleh hanya
dimanfaatkan hanya untuk kepentingan pribadi dan atau kepentingan kelompok
tertentu dengan tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Dengan adanya
pengaturan tersebut akan melahirkan keadilan untuk seluruh rakyat tanpa
adanya diskriminasi dan monopoli oleh seseorang atau kelompok tertentu
saja.15
Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia dihadapkan kepada
gelombang globalisasi yang mempunyai kecenderungan ekonomi global.
Ekonomi global yang cenderung memiliki atribut aliran liberal kapitalis yang
tidak pro pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kebutuhan rakyat.
Namun atribut globalisasi berupa kapitalisme ternyata telah memaksa
14
Henry Heyneardhi dan Savio Wermasuban, Dagang Air: Perihal Peran Bank Dunia
dalam Komersialisasi dan Privatisasi Layanan Atas Air di Indonesia (Salatiga: Widya Sari Press,
2004), h. ii.
15 JJ. Rouseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik, Alih Bahasa:
Sundari Husen dan Rahayu Hidayat, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), h. 38.
8
Indonesia untuk menuruti kemauannya untuk menciptakan ekonomi pasar,
misalnya dengan privatisasi tadi.16
Dengan melihat latar belakang tersebut, peneliti sangat tertarik untuk
membahas masalah ini dengan mengambil judul: Wewenang Negara Terhadap
Pengelolaan Sumber Daya Air Berdasarkan Prinsip Hak Asasi Manusia
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Bedasarkan pada penjabaran yang telah diuraikan dalam latar belakang di
a. Konstitusionalitas wewenang menguasai oleh Negara dalam pengelolaan
air dalam Undang-Undang Sumber Daya Air terhadap UUD 1945 yang
tidak sesuai terhadap penerapan privatisasi air oleh swasta saat ini.
b. UU SDA telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun
penyalahgunaan pemberian izin (legitimasi) secara bebas dan masif oleh
pemerintah masih kerap terjadi terhadap pengelolaan air oleh swasta di
Indonesia.
c. Krisis air yang banyak melanda daerah di Indonesia sebagai bentuk
pelanggaran hak asasi manusia atas tindakan pengelolaan dan
pendistribusian air yang tidak merata dan tidak berkeadilan.
d. Negara wajib mengurangi serta membatasi pihak swasta yang
mengekploitasi air secara eksploratif dan materialistik untuk mencari
keuntungan semata (economic value).
2. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran dan meluasnya
pembahasan dalam penulisan ini serta pembatasan masalah bertujuan untuk
mendapatkan hasil penelitian yang kritis dan terkonsentris. Maka peneliti
membatasi penulisan ini pada permasalahan peran dan kewajiban negara
dalam pemenuhan hak asasi manusia terhadap air di Indoensia sejalan
dengan pengelolaan air yang masih dikelola oleh swasta (privatisasi) untuk
16 Samsul Wahidin, Hukum Sumber Daya Air,… h.14.
9
dikomersialisasikan. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini
adalah:
a. Tanggung jawab negara dalam pengelolaaan air berdasarkan prinsip hak
asasi manusia dan konsep welfare state.
b. Implikasi hukum timbulnya perizinan pengelolaan air dalam bentuk
privatisasi air di Indonesia pasca pembatalan UU SDA oleh Mahkamah
Konstitusi yang mengharuskan air dikelola oleh negara.
3. Perumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka
peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: Dengan adanya praktik
pengelolaan air oleh swasta (privatisasi air) di Indonesia banyak
menimbulkan permasalahan seperti sulitnya mengakses dan mendapatkan
air bersih yang terjangkau. Oleh sebab itu, negara memiliki
tanggungjawab untuk mengambil alih pengelolaan air dari swasta guna
melindungi dan memenuhi hak asasi manusia atas air dan demi terciptanya
kesejahteraan bagi rakyat. Untuk mempertegas dan menjawab dari
masalah utama yang telah diuraikan di atas, maka peneliti akan
menjabarkan penulisan ini melalui rincian dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Bagaimana tanggung jawab Negara dalam pengelolaan sumber daya
air berdasarkan konsepsi welfare legal state?
b. Apa terhadap pengelolaan sumber daya air dapat menjamin dan
melindungi HAM terhadap air?
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian memiliki tujuan penelitian Bedasarkan latar belakang
dan perumusan masalah yang telah dibentuk dalam penelitian ini, berikut ini
merupakan pemaparan atas tujuan penelitian sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui tanggung jawab negara dalam pengelolaan sumber
daya air dalam konsep welfare state.
10
b. Untuk memahami urgensi praktik privatisasi air dalam melindungi,
menjamin, dan memenuhi hak asasi manusia atas air di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi aktivitas akademis di
manapun khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum untuk mengetahui
dan memperluas wawasan dalam bidang hukum dan Hak Asasi Manusia
dan sekaligus dapat berguna sebagai referensi ilmiah untuk penelitian
selanjutnya yang lebih ekstensif.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi
kalangan profesi hukum dan aktivis HAM dalam memberikan
argumentasi hukum dan Hak Asasi Manusia yang dapat
dipertanggungjawabkan. Selain itu, penelitian ini secara praktis dapat
berguna bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam menentukan arah
kebijakan atas legitimasi privatisasiair yang nantinya akan berdampak
pada keberlangsungan hidup rakyat luas sekaligus dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam pengelolaan air oleh negara.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan
hukum dari sisi normatifnya, yang dibangun berdasarkan objek hukum itu
sendiri.17
Dalam penelitian hukum normatif, menitikberatkan pada kajian
literatur (kepustakaan) guna mengsinkronisasi hukum, menyelaraskan
hukum, konstruksi hukum, maupun histori pembentukan hukum
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan metode penelitian kepustakaan
17
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya :
Bayumedia Publishing, 2005), h. 57.
11
(library research) serta pendekatan konseptual (conseptual approach)
dengan mempelajari pandangan dan doktrin hukum dalam membangun
argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.18
3. Sumber Data
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka.19
Sumber
data dalam penelitian ini adalah:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara umum (perundang-undangan) Peraturan perundang-
undangan yangberkaitan dengan masalah yang dikaji, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999)
3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377)s
4) Undang-Undang Nomer 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
5) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
6) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Privatisasi Perusahaan Perseroan
7) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2005 tentang SPAM
8) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013
9) Intenational Covenant On Economic, Social, and Cultural Rights.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer, seperti jurnal, makalah, buku, hasil
lokakarya, seminar, simposium, diskusi, dan hasil-hasil penelitian, tesis
18
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 95. 19
Soerjono Soekanto dan Sri, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2011, cet.XIII, edisi I,), h. 12.
12
dan disertasi, serta tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya
dengan obyek penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang diperoleh baik dari bahan
yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, yaitu kamus hukum, kamus bahasa Indonesia,
ensiklopedia, artikel-artikel pada majalah/koran/internet dan sebagainya.
4. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yang merupakan
upaya untuk mencari dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan
perundang-undangan, artikel dan jurnal hukum yang relevan dengan
penelitian agar dapat digunakan untuk menjawab suatu pertanyaan atau
untuk memecah suatu masalah.20
5. Metode Analisis Data
Jenis penelitian yang digunakan dalam mengolah data menggunakan
metode kualitatif, metode penelitian secara kualitatif ini lebih menekankan
pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah dari pada
melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi, yang menggunakan
teknik analisis mendalam (in-depth analysis). Bahan hukum (data) hasil
pengolahan dianalisis secara kualitatif yang merupakan suatu upaya yang
sistematis dalam penelitian hukum. Termasuk di dalamnya adalah kaidah
dan teknik untuk memuaskan keingintahuan peneliti pada suatu gejala
yuridis atau cara untuk menemukan kebenaran dalam memperoleh
pengetahuan.21
6. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode penulisan
yang sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada buku “Pedoman
20
Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Bumi Intitama Sejahtera,
2009), h. 56. 21
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2004), h. 14.
13
Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017.
E. Sistematika Pembahasan
Sistematika ini merupakan gambaran dari penelitian agar memudahkan
dalam mempelajari seluruh isinya. Penelitian ini dibahas dan diuraikan menjadi
5 (lima) bab, adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut:
BAB I : Pada bab ini terdiri dari uraian mengenai latar belakang
masalah yang diteliti, identifikasi masalah, pembatasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode dan
sistematika penulisan.
BAB II : Pada bab ini memuat kajian pustaka yang membahas kerangka
konseptual, kajian teoritis dan review (tinjauan) hasil studi
terdahulu. Dari uraian teori maupun tinjauan studi terdahulu
tersebut digunakan untuk membentuk kerangka penelitian
serta menganalisis penelitian secara komprehensif.
BAB III : Pada bab ini menyajikan data penelitian. Penyediaan data
berupa deskripsi data yang berkenaan dengan variabel yang
diteliti secara objektif.
BAB IV : Pada bab ini menyajikan analisis dari hasil pembahasan
maupun data yang didapatkan pada bab sebelumnya. Analisis
yang digunakan dalam bab ini mencakup analisis secara
yuridis, sosiologis, dan filosofis.
BAB V : Pada bab ini menyajikan bagian penutup dari penelitian yang
isinya mencakup kesimpulan yang isinya diambil dari inti sari
pembahasan / data dan pada bab ini menyajikan bagian
rekomendasi / saran yang diberikan oleh penulis kepada
pihak-pihak yang berhubungan dengan objek penelitian guna
memperbaiki masalah yang diteliti.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM PRIVATISASI DAN HAK ASASI MANUSIA
1. Kerangka Konseptual
a. Pemahaman Umum Sumber Daya Air
Pada dasarnya komoditas berupa air sangat vital bagi konsumsi dan
kebutuhan manusia. Air sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa wajib
dikelola dengan baik, dengan prinsip keadilan. Keadilan dalam makna
sederhana tidak boleh ada yang memonopoli air, sehingga merugikan
kepentingan orang lain. Distribusi air secara berkeadilan menjadi dasar
pemenuhan kebutuhan biologis manusia terhadap air. Sementara di
dalam tata pengelolaan sumber daya air secara mendasar meliputi tiga
hal, yaitu: konservasi, pendayagunaan, dan pengendali daya rusak air.
Di dalam perspektif religiusitas, air merupakan karunia Allah SWT
bagi kelangsungan hidup makhlukNya. Boleh dikatakan bahwa tidak ada
makhluk hidup bernyawa yang tidak perlu air, termasuk tetumbuhan. Air
merupakan zat khusus yang tidak bisa digantikan atau tidak ada
penggantinya. Kebutuhan manusia terhadap air sangat mendasar atau
kebutuhan yang bersifat pokok, karena air merupakan unsur penting bagi
kehidupan.
b. Privatisasi
Privatisasi menurut ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang
No.19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara adalah penjualan
saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain
dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar
manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham
Michael oleh masyarakat.
Hadlow dalam disertasinya mengemukakan pengertian privatisasi
sebagai berikut:1“privatization has come to be applied both to the sale of
public enterprise to private shareholders and to wholesale transformation of the
1 Michael Hadlow, Privatization in Crechoslavakia, Disertation, Praha, 1993, h. 8.
15
state enterprissector into private ownership.” Selanjutnya, Ewa Baginska
mengemukakan privatisasi sebagai suatu pengertian yang luas bukan
hanya meliputi penjualan aset publik, tetapi juga meliputi kontrak
pelayanan yang dahulunya dilakukan oleh negara kemudian dialihkan
oleh swasta.2
Privatisasi sering diasosiasikan dengan perusahaan berorientasi
jasa atau industri, dan diterapkan pada aset apa saja, seperti tanah, jalan,
atau bahkan air. Privatisasi berkecenderungan ke arah pasar bebas dan
berorientasi pada kompetisi kapitalis, yang oleh para pendukungnya
dianggap akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada publik.
Pada sisi lain, privatisasi dinilai negatif, karena memberikan layanan yang
penting untuk publik kepada sektor privat akan menghilangkan kontrol
publik dan hanya akan berorientasi pada mencari keuntungan sebanyak-
banyaknya.
Privatisasi sendiri diyakini bermuara dari teori neo-liberalisme,
sebuah teori yang menggerakkan “revolusi” ekonomi dunia pada
pertengahan tahun 1980-an yaitu revolusi neo-liberalisme. Revolusi ini
bermakna bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan
persediaan menjadi berbasis permintaan. Paham/aliran neo-liberalis
dengan tokoh terkenal penganjur paham ini adalah Milton Friedman,
seorang pemikir yang masih percaya pada kapitalisme klasik yang
berpendapat bahwa urusan negara hanyalah masalah tentara dan polisi
yang melindungi hidup warganya.
Paham neoliberal menganggap bahwa negara tidak boleh
mencampuri perekonomian dan menarik pajak dari rakyatnya, karena
menurutnya telah terbukti bahwa krisis ekonomi semakin memburuk jika
negara berusaha mengatasinya. Pokok-pokok ajaran neoliberal tergambar
pada ciri-ciri berikut: Biarkan pasar bekerja, kurangi pemborosan dengan
memangkas semua anggaran negara yang tidak produktif seperti subsidi
2 Ewa Baginska, Privatization Process in Poland: Legal Aspect of the Privatization
Process in Poland, (Nicolaus Copernicus University, Torun, 1995), h. 1.
16
pelayanan sosial, lakukan deregulasi ekonomi, keyakinan terhadap
privatisasi, keyakinan pada tanggung jawab individual.3
c. Hak Asasi Manusia
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia:
“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Selain hak asasi, terdapat kebalikan dari hak yakni suatu kewajiban.
Hal tersebut merupakan konsekuensi hukum, yaitu timbulnya hak maka
timbul pula kewajiban. Oleh karena itu, selain hak asasi, manusia juga
memiliki kewajiban fundamental yang mesti dipatuhi sebagai warga
negara. Secara normatif, kewajiban dasar manusia berdasarkan pasal 1
ayat (2) didefinisikan sebagai berikut: “Kewajiban dasar manusia adalah
seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan
terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia.”
John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak
yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak
yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang
dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi
hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa
terlepas dari kehidupan manusia.4
Menurut Miriam Budiardjo, hak asasi adalah hak yang dimiliki
manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan
kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Perlakuan
dalam melindungi dan memenuhi beberapa hak tersebut tanpa perbedaan
atas dasar negara, ras, agama, dan kelamin dan karena itu bersifat asasi
serta universal. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa manusia harus
3
Wisnu HKP Notonagoro, Neoliberaisme Mengcengkerem Indonesiia, IMF-World Bank,
WTO Sumber Bencana Ekonomi Bangsa, (2011, Jakarta: Sekretariat Jenderal Kebangkitan Rakyat
Semesta), h. 26.
4 Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional
dan Internasional, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994), h. 3.
17
memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan
cita-cita.5
Hak asasi digolongkan menjadi beberapa bagian, Vicky Jakson dan
Mark Tushnet menjelaskan bahwa:
a. Hak asasi manusia generasi pertama, yaitu individual and political
rights, meliputi:
1. Freedom of Expression: Freedom of Expression mencakup antara
lain, freedom of press, freedom of opinion, dan freedom of association.
2. Freedom of Religion: Apabila dikaitkan dengan first and
amandements UU Amerika Serikat (1791), freedom of religion
merupakan bagian dari freedom of expression yang dikenal dengan
sebutan estabilishment clause.
3. Non discrimination (freedom from discrimination). Wujud dari
freedom from discriminations, antara lain lahir prinsip „equality before
the law larangan segala perbudakan dan peluluran (non slavery)
eksploitasi manusia oleh manusia (exploitation de I’homme Par
I’Homme). Dalam kaitan ini perlu dicatat “state of union’ di hadapan
para kongres pada tahun 1941 yang kenal dengan sebutan „Four Freedom
Roosevelt‟ yaitu:
a). Freedom of speech and expression (Kebebasan berbicara dan
berekspresi)
b). Freedom of Worship (Kebebasan beragama)
c). Freedom from want (Kebebasan dari kemiskinan)
d). Freedom from fear (Kebebasan dari ketakutan)
a. Hak asasi manusia generasi kedua yaitu, social and political rights
Demi terjaminnya hak asasi manusia di suatu negara, maka negara
sebagai entitas mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi
dan memenuhi hak asasi manusia. Hal ini disebabkan karena sejarah
5 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,
1999), h. 120.
18
pelanggaran HAM yang pernah terjadi sebelumnya hanya dilakukan oleh
negara terhadap hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan
budaya. Negara adalah satu-satunya pengemban kewajiban terhadap
HAM, adapun pihak selain negara adalah pemegang hak.
Norma-norma HAM menempatkan individu sebagai pemegang hak
(right holders) dan negara sebagai pemangku kewajiban (duties holder).
Pihak negara sebagai pemangku kewajiban harus mengakui,
menghormati, melindungi dan memenuhi dan menegakkan hak asasi
manusia. Berdasarkan paradigma ini, maka tanggung jawab negara
terhadap hak asasi manusia dapat dilihat dalam 3 hal, yakni:6
1. Kewajiban Negara untuk Menghormati HAM (obligation torespect)
Kewajiban negara untuk tidak melakukan tindakan intervensi atau
campur tangan oleh negara itu sendiri yang dapat mengurangi hak-hak
atau menghalangi penikmatan hak. Seperti hak untuk hidup, maka
kewajiban negara adalah tidak membunuh. Hak atas kebebasan
beragama, maka kewajiban negara adalah tidak memaksa seseorang
untuk berpindah pada keyakinan tertentu.
2. Kewajiban Negara untuk Melindungi HAM (obligation to protect)
Kewajiban negara untuk bertindak aktif dalam memastikan tidak
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh indvidu atau korporasi.
3. Kewajiban Negara untuk Memenuhi HAM (obligation to fulfill)
Kewajiban negara untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif,
administratif, yudisial dan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
memastikan bahwa hak-hak yang diperhatikan dilaksanakan sebesar
mungkin atau dapat diakses untuk semua orang. Misalnya, setiap
orang yang ditahan berhak untuk didampingi oleh kuasa hukum,
dokter dan/atau konsulat dari negara asalnya sesaat setelah ditahan.
Pada dasarnya negara selalu menjadi pihak yang kuat karena
memiliki wewenang dan kekuasaan, sedangkan masyarakat berada pada
posisi yang lemah karena tidak memiliki wewenang dan kekuasaan. Hak
6 Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia, ( Depok: Rajawali Press, 2018), h. 69.
19
asasi manusia merupakan proses pembelaan oleh masyarakatatas
tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara karena tidak
seimbangnya posisi negara dengan masyarakat tersebut.
Rumusan dari UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 memuat
beberapa ketentuan pokok yang berkenaan dengan jaminan atas
perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Salah satunya adalah
mengenai hak untuk hidup. Sebagaimana yang diketahui, hak untuk
hidup adalah hak yang sifatnya tidak dapat diderogasikan (non derogable
rights) artinya tidak ada satupun manusia atau dalam kondisi apapun
yang dapat merenggut hak seseorang untuk hidup.
Hak untuk hidup secara tegas dijamin dalam Konstitusi Indonesia
yang tercantum dalam Pasal 28 A yang menyatakan bahwa “Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Dengan demikian, hak untuk
hidup merupakan hak konstitusional.
Lebih lanjut konstitusi Indonesia bukan hanya menjamin hak untuk
hidup, akan tetapi hak untuk hidup sejahtera serta berhak menikmati
lingkungan yang bersih dan sehat yang merupakan bagian tidak terpisah
dari hak hidup itu sendiri. Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal
28 H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapalkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM,
menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu,
pemerintah, bahkan negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak
tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan.
Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh
merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu
pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus
20
diikuti dengan kewajiban asasi manusia dan tanggung jawab asasi
manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.7
B. Kerangka Teoritis
1. Konsepsi Negara Hukum di Indonesia
Pemikiran negara hukum dimulai sejak Plato mengemukakan
konsepnya “bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang
didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik atau yang disebut dengan
istilah nomoi.8Konsep negara hukum menurut Plato itu kemudian
dilanjutkan lagi oleh muridnya, Aristoteles (lahir 384 SM). Dalam karyanya
Politica (baru ditemukan tahun 1891), Aristoteles telah memperkenalkan
keharusan adanya konstitusi dan kedaulatan hukum (recht souvereniteit)
dalam suatu negara.
Berkenaan dengan konstitusi yang harus dibentuk oleh suatu negara
hukum, sebagaimana yang dikutip Azhari, Aristoteles mengatakan:
”Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara, dan menentukan
apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan, dan apa akhir dari setiap
masyarakat, konstitusi merupakan aturan‐aturan, dan penguasa harus mengatur
menurut aturan‐aturan tersebut.”9
Aristoteles juga mengatakan bahwa suatu negara yang baik adalah
negara yang diperintahkan dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu; pertama,
pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua,
pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada
ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-
wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga,
pemerintah berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas
7 Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
(Jakarta : Prenada Me0dia,2003) h. 201.
8 Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 66.
9 Tahir Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur‐
unsurnya, (Jakarta: Ul‐ Press, 1995), h. 21.
21
kehendak rakyat, bukan berupa paksaan maupun tekanan seperti yang
dilaksanakan oleh pemerintahan despotik.10
.
A.Hamid S. Attamimi dengan mengutip pendapat Burkens,
mengatakan bahwa negara hukum (rechstaat) adalah negara yang
menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan
kekuasaan negara. Atas dasar itu penyelenggaraan kekuasan tersebut dalam
segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.11
Di Indonesia sendiri, pengaturan dan penegasan bahwa Indonesia
adalah negara hukum ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang
menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Menurut Jimly
Asshiddiqie, “Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding
fathers sebagai suatu negara hukum (Rechtsstaat/The Rule of Law)”. 12
Prinsip negara hukum di setiap negara dapat berubah seiring dengan
perkembangan masyarakat dan negara. Menurut Utrecht ada dua macam
negara hukum yaitu:
1. Negara hukum formal atau negara hukum klasik, menyangkut pengertian
hukum yang bersifat formal dan sempit, yaitu dalam arti peraturan
perundang-undangan tertulis semata. Tugas negara adalah melaksanakan
peraturan perundang-undangan tersebut untuk menegakan ketertiban.
2. Negara hukum material atau negara hukum modern, mencakup pengertian
yang lebih luas termasuk keadilan di dalamnya. Tugas negara tidak
hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum, tetapi juga
mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan.13
.
10 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006),
h. 2.
11
A.Hamid S. Attamimi, 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia, makalah pada
PidatoUpacara pengukuhan Guru Besar tetap di Fakultas Hukum UI, Jakarta, h. 8.
12
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana
Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2009), h. 3.
13
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004), h. 122.
22
Pembedaan antara negara hukum formal dan material dimaksudkan
untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak
serta-merta akan terwujud secara substantif. Jika hukum dipahami secara
kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya
pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan
terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif.
Tugas dan fungsi negara dalam konsep hukum material menjadi
semakin luas sampai menjangkau kehidupan masyarakat di bidang sosial,
ekonomi, budaya, agama, teknologi, politik, pertahanan dan keamanan,
bahkan masuk hingga ranah privasi warga negaranya, karena yang
terpenting dalam konsepnegara hukum secara material itu adalah bertindak
sebagai pelayan masyarakat (public service) dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya.14
Sedangkan pada umumnya negara yang berideologi hukum formal
(klasik) mengenal tipe negara liberal individualis kapitalistik, sehingga
dalam perwujudannya, negara yang bertipe semacam ini semata-mata
bertindak sebagai penjaga malam (nachtwachterstaat). Kemudian dari sisi
politik, bahwa yang menjadi tugas pokok negara yang menganut hukum
formal, dititikberatkan pada bagaimana menjamin dan melindungi status
ekonomis dari kelompok yang menguasai alat-alat pemerintahan yang
dalam sistem klas dikenal dengan istilah rulling elite, yang merupakan klas
penguasa atau golongan eksekutif.15
Paham negara hukum formal menimbulkan berbagai akibat buruk bagi
kalangan klas bawah dalam wujud; 16
(1) Kelas bawah tidak mendapat perhatian yang serius oleh alat-alat
pemerintahan;
(2) Lapangan pekerjaan alat-alat pemerintahannya sangat sempit;
(3) Terjadi pemisahan antara negara dan masyarakatnya.
14 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Menuju Konsolidasi Sistem
Demokrasi, (Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), h. 20.
15
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1985), h. 3.
16
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, ... h.4
23
Dengan demikian, apabila paham negara hukum formal liberalistik
dipertahankan, maka rakyat kebanyakan akan mengalami penderitaan dan
kemiskinan yang dalam, sementara kalangan eksklusif akan semakin kaya
karena tipe negara yang memiliki paham seperti ini hanya memberi proteksi
kepada kalangan elite, sehingga cita-cita negara untuk memakmurkan
rakyaknya justru terbalik, dimana rakyat menjadi tidak berdaya dan hidup di
bawah ambang batas (di bawah garis kemiskinan).17
Azhary dalam melakukan penelitiannya menemukan dan merumuskan
dalam kepustakaan lima macam konsep negara hukum, yaitu:18
1. Negara hukum menurut Al-quran dan Sunnah. Untuk konsep ini Azhary
cenderung menggunakan istilah nomokrasi Islam dari Malcolm H.Kerr.
Majid Khadduri juga menggunakan istilah nomokrasi untuk konsep
negara dari sudut Islam, namun untuk membedakannya dengan konsep
negara yang sekuler atau negara hukum menurut konsep barat, Azhary
berpendapat istilah nomokrasi islam lebih tepat memperlihatkan kaitan
nomokrasi atau negara hukum itu dengan hukum Islam.
2. Negara hukum menurut konsep yang dianutEropa kontinental yang
dinamakan rechtsstaat. Model negara hukum ini diterapkan misalnya di
Belanda, Jerman maupun Perancis.
3. Konsep rule of law yang diterapkan di negara-negara Anglosaxon, antara
lain Inggris dan Amerika Serikat.
4. Suatu Konsep yang disebut socialist legality yang diterapkan antara lain
di Uni Soviet sebagai negara komunis.
5. Konsep negara Hukum Pancasila.
Menurut Philipus M. Hadjon, Indonesia sebagai negara yang
menganut konsep negara hukum berdasarkan Pancasila harus memberikan
perlindungan hukum terhadap masyarakatnya sesuai dengan Pancasila.
Artinya, perlindungan yang berarti pengakuan dan perlindungan hukum atas
17 Marilang, Ideologi Welfare State Konstitusi: Hak Menguasai Negara Atas Barang
Tambang, UIN Alauddin Makassar,Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
18
Triyanto, Negara Hukum dan HAM, (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 3.
24
harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan serta keadilan sosial. Nilai-nilai
tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam
wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan
dalam mencapai kesejahteraan bersama.19
Philipus M. Hadjon memberikan pendapat mengenai ciri-ciri negara
hukum Pancasila, yaitu:
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan atas
kerukunan
b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan
Negara
c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan saran terakhir.
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.20
Sedangkan menurut Maria Farida, prinsip negara hukum di Indonesia
adalah negara hukum pengurus (Verzonginstaat).21
Apabila dicermati secara
sungguh-sungguhkonsep negara hukum ini sangat mendekati konsep negara
hukum kesejahteraan (welfarestaat). Hal ini dapat dipahami melalui
pembukaan Undang-undang Dasar 1945, khususnya pada alinea ke IV, yang
selanjutnya dirumuskan sebagai berikut:“Negara melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Dalam negara hukum juga dikenal adanya teori stufenbautheory atau
teori hukum berjenjang. Menurut Adolf Merkl, suatu norma hukum itu ke
atas ia bersumber dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya
sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht)
19 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1987) , h. 84.
20
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, … h. 90
21
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, (Jakarta: Kanisius, 1998), h. 1.
25
yang relatif oleh karena itu masa berlakunya suatu norma hukum itu
tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya sehingga apabila
norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka norma-
norma hukum yang berada dibawahnya tercabut dan terhapus pula.22
Berdasarkan teori Adolf Merkl tersebut, dalam teori jenjang normanya
Hans Kelsen juga mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum
(stufentheori), dimana ia berpendapat bahwa norma hukum-norma hukum
itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan,
dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotetis dan fiktif. Sehingga kaidah dasar diatas sering disebut dengan
grundnorm.23
2. Konsepsi Negara Kesejahteraan Dalam Bingkai Hak Asasi Manusia
Secara umum, istilah kesejahteran sosial sering diartikan sebagai
kondisi sejahtera (konsepsi pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya
segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti
makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan perawatan
kesehatan. Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap
aktivitas pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi
kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung
(disadvantage groups). Penyelenggaraan berbagai skema perlindungan
sosial (social protection) baik yang bersifat formal maupun informal adalah
contoh aktivitas kesejahteraan sosial.24
22
Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya,
(Yogyakarta: Kanikus, 2006), h. 25. 23
Ni‟matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, ( Jakarta : Rajawali Press
;2008)h. 54
24
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2009), h. 154.
26
Merujuk pada pendapat Spicker, Midgley, Tracy, Livermore Thomson
dan Suharto mengenai pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung
empat makna:25
a. Sebagai Kondisi Sejahtera (Well-Being)
Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial
(welfare state) yaitu sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material
dan non material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia
aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan,
pendidikan, tempat tinggal dan pendapatan dapat dipenuhi; serta
manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko utama yang
mengancam kehidupannya.
b. Sebagai Pelayanan Sosial
Negara-negara seperti Inggris, Australia dan Selandia Baru,
pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial
(social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan
pelayanan sosial personal (personal social services).
c. Sebagai Tunjangan Sosial
Negara Amerika Serikat khususnya, untuk tunjangan sosial ini
diberikan kepada masyarakat miskin,orang cacat, pengangguran sebagai
peerima fasilitas ini, sehingga menimbulkan konotasi negatif pada istilah
kesejahteraan, seperti kemiskianan,kemalasan, ketergantungan, yang
sebenarnya lebih tepat disebut “social illfare” daripada “social welfare.”
d. Sebagai Proses atau Usaha Terencana
Hal ini dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial,
masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk kmenngkatkan
kualtas kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan
sosial. Negara kesejahteraan secara garis besar menunjuk pada sebuah
model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan
kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara
25 Erwiningsih, Winahyu, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, (Yogyakarta: Penerbit
Total Media, 2009), h. 63.
27
untuk memberikan pelayanan sosial secara universal dan komperehensif
kepada warganya.
Dalam perkembangannya, konsep kesejahteraan banyak
dikembangkan oleh aliran sosiologis. Menurut Habermas suatu negara
modern harus dapat menjamin kesejahteraan seluruh rakyat. Selanjutnya
Habermas menyebutkan beberapa jaminan yang diberikan negara sebagai
indikasi negara modern dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya yang
diwujudkan dalam perlindungan atas:
“The risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the
breadwinner must be covered largely through welfare provisions of the
state.”26
Miriam Budiarjo mengemukakan bahwa negara berkewajiban
menyelenggarakan beberapa fungsi yang mutlak sebagai negara, yaitu:
a. Melaksanakan penertiban (law and order), di mana fungsi ini dijalankan
untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan dari
masyarakat. Fungsi ini juga disebut sebagai “stabilisator”;
b. Mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya;
c. Pertahanan, di mana diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan
dari luar; dan
d. Menegakkan keadilan yang dilaksanakan melalui badan peradilan.27
Menurut Mac Iver, negara tidak dipandang lagi sebagai alat kekuasaan
(instrument of power) semata, tetapi lebih dari itu, dipandang sebagai alat
pelayanan (an agency of services). Paham yang pragmatis ini, kemudian
melahirkan konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) atau negara
hukum modern atau negara hukum dalam arti material, yang menurutnya
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:28
1) Dalam negara hukum kesejahteraan, yang diutamakan adalah terjaminnya
hak-hak asasi sosial ekonomi rakyat;
26 Sentanoe Kertonegoro, Jaminan Sosial dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 1987), h. 7.
27
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar,… h. 39.
28
Mac Iver, The Modern State, (London: Oxford University Press, 1950), h. 4.
28
2) Pertimbangan efisiensi dan manajemen lebih diutamakan daripada
pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peran
eksekutif lebih besar daripada peran legislatif;
3) Hak milik tidak bersifat mutlak;
4) Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi juga turut
serta dalam usaha-usaha sosial dan ekonomi;
5) Kaidah-kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur sosial
ekonomi dan membebankan kewajiban tertentu kepada warga negara;
6) Lebih bersifat negara hukum material yang mengutamakan keadilan
sosial.
Paham negara hukum kesejahteraan sering juga disebut sebagai
negara hukum modern dalam arti material. Bagir Manan mengatakan bahwa
konsep negara hukum kesejahteraan adalah: “Negara atau pemerintah tidak
sematamata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi
memiliki tanggung jawab melindungi dan memenuhi hak asasi manusia,
mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”29
Oleh karena itu setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di
depan hukum untuk mendapatkan haknya sebagai manusia dan warga
negara tanpa adanya diskriminasi dari siapaun. Kemudian, negara
bertanggung jawab dalam melindungi dan memenuhi hak rakyat atas
kesejahteraan dengan cara menjamin setiap warga negara dalam hal ini
untuk mendapatkan air untuk kehidupan dan mendapatkan perlindungan
terhadap hak atas air.30
Kemunculan usaha negara dalam bidang pelayanan atau jasa yang
berbentuk perusahaan negara (state enterprises), merupakan bagian dari
aktivitas negara yang menerapkan konsep kesejahteraan. Lahirnya
perusahaan negara dalam bidang pelayanan/jasa tersebut merupakan reaksi
29 Bagir Manan, Politik Perundang-undangan dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisme
Perekonomian, (Bandar Lampung: FH UNILA, 1996), h. 9.
30
Francisca Romana Harjiyanti, Memperjuangkan Hak Rakyat atas Air dalam Hukum
Positif Iindonesia (Yogyakarta: Janabadra, 2016) , h. 3.
29
atas anggapan bahwa selalu ada sektor atau bidang yang dianggap penting
bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak serta dinilai vital dan
strategis, sehingga hal tersebut tidak begitu saja dapat diserahkan
pengelolaan atau penyelenggaraannya kepada usaha swasta.31
Peran negara menjadi lebih penting lagi ketika banyak ahli ekonomi
kesejahteraan (welfare economics) yang begitu percaya bahwa sistem atau
mekanisme pasar tidak akan dapat menyelesaikan sepenuhnya semua
persoalan ekonomi. Kehadiran negara diperlukan justru untuk mengurangi
dampak kegagalan pasar (market failure), kekakuan harga (price rigidities),
dan dampak eksternalitas pada lingkungan maupun sosial.32
Di dalam negara kesejahteraan, negara atau pemerintah memiliki
banyak pilihan yang dapat dilakukan yang tidak dapat dilakukan oleh
institusi lain. Dalam hal ini negara dapat menentukan aturan (state establish
rules) sebagai bagian dari sistem hukum yang menjadi dasar pemberian
pelayanan, pemerintah memberikan subsidi dan pelayanan (government
subsidize and provide).
Marshall mengemukakan tentang karakteristik dari negara
kesejahteraan, yaitu individualisme dan kolektivisme. Yang dimaksud
dengan individualisme adalah menitikberatkan pada individu sebagai hak
untuk menerima kesejahteraan, sedang kolektivisme adalah prinsip dimana
negara mempunyai suatu kewajiban untuk meningkatkan dan menjamin
kesejahteraan seluruh masyarakat. Negara kesejahteraan tidak menolak
ekonomi pasar, namun dengan pertimbangan-pertimbangan khusus untuk
kesejahteraan masyarakat, pemerintah mengurangi peran pasar yang
menghasilkan kapitalisme yang diperlunak oleh sosialisme.33
31 Sjahrir dan Mohammad Ikhsan, Mendefinisikan Kembali Peranan Pemerintah dalam
Pembangunan Ekonomi, Majalah Manajemen dan Usahawan No. 4, 1994, h.9
32
J.M. Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money, (London:
Harvest, 1953), h. 34.
33Harry Puguh Sosiawan, Telaah Tentang Peran Negara Dalam Kesejahteran
Sosial(Pandangan 6 Fraksi MPR Dalam Proses Amandemen Ke-4 Pasal 34 UUD’45), Tesis pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta: 2003.
30
Negara yang demokratis pada dasarnya memperjuangkan realisasi
kepentingan umum atau res republica.34
Indonesia sebagai negara yang
berbentuk republik lebih lanjut harus menegaskan isi republik menurut
hakekat pengertian asalnya, yaitu res republica yang artinya untuk
kepentingan umum. Sesuai dengan makna res republica, penyelenggara
negara harus selalu berorientasi pada kepentingan umum atau kesejahteraan
sosial.
Dengan dijaminnya kesejahteraan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, menurut Jimly Asshidiqie, konstitusi
Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi (economic constitution)
dan bahkan konstitusi sosial (social constitution) sebagaimana juga terlihat
dalam konstitusi negara Rusia, Bulgaria, Cekoslowakia, Albania, Italia,
Belarusia, Iran, Suriah dan Hongaria. Selanjutnya menurut Jimly,
menyangkut corak muatan yang diatur dalam UUD 1945 nampak
dipengaruhi oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada
negara-negara sosialis.35
Bila dipandang dengan menggunakan kacamata teori negara
kesejahteraan (welfare state), maka campur tangan negara sebagai pengelola
sumber daya air dalam rangka menjamin kesejahteraan dan pemenuhan hak
rakyatnya atas air merupakan sesuatu yang penting untuk dilakukan.
Tanggung jawab negara yang besar dalam melindungi dan memajukan
kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negara merupakan aspek penting
dalam negara kesejahteraan.
Konsep negara kesejahteraan Indonesia sebenarnya terdapat dalam
budaya asli bangsa Indonesia dari budaya asli suku Jawa yang direfleksikan
dalam seni budaya wayang kulit. Negara kesejahteraan ini oleh para
pujangga Jawa digambarkan sebagai “Negara panjang hapunjung pasir
wukir loh jinawi, gemah ripah kartoraharjo.” Makna yang terkandung
34 Sri Soemantri dan Bintan R. Saragih, Ketatanegaraan Indonesia dalam Kehidupan
Politik Indonesia 30 Tahun ke UUD NRI 1945.( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983), h. 101.
35
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005), h. 124.
31
didalamnya adalah bahwa suatu wilayah negara meluas dari pantai sampai
puncak gunung dengan tanah yang subur dan murah sandang dan murah
pangan, keadaan aman tenteram dengan suasana rukun, serta tidak adanya
kejahatan, serta Pemerintah selalu memenuhi kebutuhan rakyat.36
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi
a. PRIVATISASI ATAS AIR PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
HUKUM INDONESIA (UNDANG-UNDANG NO.7 TAHUN 2004)
Skripsi ini ditulis oleh Achmad Usman, program studi
Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan
Kalijaga pada tahun 2008. Pada skripsi tersebut, aksentuasi dari
penelitiannya adalah studi komparatif, yang membandingkan pengaturan
privatisasi air menurut ketentuan dalam hukum positif Indonesia dan
hukum Islam yang dimana penelitian itu memaparkan bagaimana
pengelolaan air menurut Islam dan hukum positif dan apa saja yang
menjadi sumber hukum dari kedua hukum tersebut baik dari hukum
Islam menurut Al-Quran dan hadits maupun pengaturan dari hukum
positif berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004.
Perbedaan dari penelitian yang dibuat adalah peneliti meneliti
pengelolaan sumber daya air dari perspektif hukum Islam mengatur dan
di dalam penelitian tersebut pun mengkaji bagaimana negara Islam dalam
memanfaatkan dan mengelola air.
Persamaan pada studi kajian terdahulu ini adalah menganalisis
bagaimana kegiatan privatisasi air berjalan ditinjau berdasarkan
peraturan nasional.
b. SISTEM EKONOMI NEOLIBERALISME DAN SUMBER DAYA AIR
INDONESIA
36 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asal Ilmu Negara dan Politik, (Eresco: Jakarta, 1981) h.
14
32
Skripsi tersebut ditulis oleh Yustine Hendyana Molle, program
studi hubungan internasional, fakultas ilmu sosial dan politik, Universitas
Airlangga dan skripsi ini ditulis pada tahun 2008.
Pada skripsi tersebut membahas mengenai bagaimana sistem ekonomi
neoliberalisme yang mempengaruhi timbulnya kebijakan atau akses
untuk melaksanakan kegiatan privatisasi air.
Perbedaan dari peneletian yang dibuat adalah dari sudut objek
tinjauan kajian terdahulu tersebut lebih memfokuskan pada bagaimana
sistem ekonomi neoliberal yang dipengaruhi dan atas campur tangan
keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, dll sehingga
terciptanya sistem untuk membuka akses kepada pihak swasta dalam
menanggulangi dan mengambil alih kebutuhan negara dalam mengelola
air untuk rakyatnya.
Persamaannya adalah pada studi kajian terdahulu ini juga
menyinggung apa dampak terhadap manusia dan lingkungan atas
munculnya praktik privatisasi sumber daya air.
2. Jurnal
a. DAMPAK PRIVATISASI AIR BERSIH PERKOTAAN BAGI
MASYARAKAT KAITANNYA DENGAN Undang-Undang SUMBER
DAYA AIR
Jurnal ini dipublikasikan oleh Universitas Islam Indonesia yang
ditulis oleh Wijanto Hadipuro dengan nomor jurnal UNISIA
NO.63/XXX/I/2007.
Isi atau subtansi artikel dari jurnal di atas adalah memaparkan
dampak yang akan didapat baik oleh negara maupun rakyatnya atas
kebijakan privatisasi air yang diterapkan. Seperti halnya dampak yang
akan ditanggung oleh negara seperti minimnya kontrol akan tarif yang
dikenakan atas penggunaan air, korupsi yang akan bermunculan antara
pemerintah daerah dan swasta untuk memudahkan langkah swasta dalam
mengambil alih pengelolaan air.
33
Perbedaan pada penelitian dalam jurnal ini adalah menjelaskan
bagaimana strategi perusahaan swasta dalam andil mengelola sumber
daya air pada masyarakat miskin di perkotaan dan masyarakat pada
umumnya berdasarkan studi privatisasi air di Argentina.
Persamaan pada penelitian ini adalah penelitian ini juga membahas
mengenai dampak terhadap lingkungan yang diakibatkan aktivitas
privatisasi air.
34
BAB III
SISTEM TATA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
A. Kebijakan Global Mengenai Pengelolaan Sumber Daya Air Dalam
Menjamin Hak Asasi Manusia
Gagasan mengenai hak atas air yang diakui sebagai sebagai hak asasi
manusia dicetuskan pada tahun 1946 yang dirumuskan dalam konstitusi
WHO (World Health Organization). Di dalam konstitusi tersebut, WHO
memang tidak menyebut secara eksplisit mengenai hak atas air tetapi hak
untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang bisa dicapai.
Hak untuk hidup yang sehat juga diakui dalam Universal Declaration of
Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang
diadopsi pada tahun 1948. Pengakuan ini tertuang dalam Pasal 25 DUHAM
khususnya pada ayat (1) yang menyatakan:
“Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-
being of himself and of his family including food, clothing housing and medical care
and necessary social services,and the right to security in the event of unemployment,
sickness,disability, widowhood, old age orother lack of livelihood in circumstances
beyond his control.”
Hak asasi atas kehidupan yang diakui dalam Universal Declaration of
Human Rights itu kemudian diakui sebagai hak asasi manusia melalui
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)
atau Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
khususnya dalam Pasal 12 ayat (1), yaitu:
“The State Parties to the present Covenant recognize the right of everyone
to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental
health.”
Pada perkembangan pengakuan terhadap hak atas air, baik di arus
global maupun di tingkat nasional, hak atas air semakin diakui sebagai salah
satu hak asasi manusia (human right to water). Melalui pernyataan dan
himbauan melalui Deklarasi Millenium yang mencetuskan proyek MDGs
(Millenium Development Goals), yang merupakan komitmen para kepala
negara/ pemerintahan anggota PBB untuk memerangi kemiskinan global.
35
Pengakuan dan komitmen di level internasional tersebut bisa dilihat
salah satunya dalam “General Comments on the Right to Water” atau yang
biasa disebut “General Comments No. 15 (GC-15) yang dikeluarkan oleh
Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) pada bulan
November tahun 2002 yang antara lain memuat penyataan”The human right
to water entitles everyone to sufficient, safe, acceptable, physically accessible
and affordable water for personal and domestic uses. An adequate amount of
safe water is necessary to prevent death fromdehydration, reduce the risk of
water-related disease and provide for consumption, cooking, personal and
domestic hygienic requirements.”1
Didasari atas berbagai macam ancaman dari kesehatan yang menular
dan tidak menular, maka pembuat kebijakan mengharapkan kedepannya
setiap negara dapat mengatasi persoalan yang berkelanjutan akibat
permasalahan air. Hak asasi manusia menawarkan kerangka normatif untuk
memajukan keadilan global melalui kebijakan publik, menguraikan tanggung
jawab hukum untuk semakin menyadari bahwa air dan sanitasi untuk semua.2
Pentingnya hak atas air dan kaitannya dengan berbagai macam
permasalahan yang disebabkan oleh kurangnya akses terhadap air telah
disadari sejaklama. Organisasi kesehatan dunia atau World Health
Organisation (WHO) pada tahun 2003 mengeluarkan publikasi berjudul The
Right to Water, dalam publikasi ini WHO menyatakanbahwa dari 6 miliar
penduduk bumi, 1,1 miliar diantaranya tidak memiliki aksesyang cukup
terhadap air minum yang aman. Minimnya akses ini membawa akibat
lanjutan, yakni terhalangnya pemenuhan akan hak atas kesehatan dan hak
asasi manusia lainnya seperti hak atas makanan dan tempat tinggal yang
1 UN ECOSOC, Committee on Economic, Social & Cultural Rights, General Comments
No. 15: The Rights to Water, Geneva, 11-29 November 2002. (U.N. Doc. E/C.12/2002/11, Nov.
2002)
2 Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, (Ithaca, 2003:Cornell
University Press), h. 20.
36
memadai. Pernyataan demikian menunjukkan bahwa terpenuhinya hak atas
air (theright to water) sangat menentukan pemenuhan hak-hak asasi lainnya.3
Sedangkan mengenai persoalan yang timbul akibat praktik privatisasi air,
terdapat aturan dalam ruang lingkup internasional mengenai tanggung jawab
korporasi dalam pemenuhan hak atas air terutama yang berkaitan dengan
privatisasi air. Hal tersebut telah diatur dalam The Norms on the
Responsibilities of Transnational Corporations andOther Bussiness Entities
with Regard to Human Rights (UN Draft Norms). Dokumen tersebut mengatur
kewajiban perusahaan transnasional untuk menjamin pemenuhan hak asasi
manusia sebagaimana diatur dalam hukum nasional dan hukum internasional.
Dokumen tersebut juga mewajibkan perlindungan dan pemenuhan terhadap
hak atas air kepada pihak yang terlibat dalam privatisasi air.4
B. Fenomena Privatisasi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
Di Indonesia, gelombang privatisasi mulai terjadi setelah krisis ekonomi
pada pertengahan tahun 1997. Meski demikian, sebenarnya privatisasi BUMN
di Indonesia sudah dimulai sejak awal tahun 1990-an, tetapi privatisasi pada
waktu itu baru dalam bentuk kebijakan perekonomian terhadap BUMN, berupa
penjualan saham perusahaan milik negara di pasar bursa.5
Asumsi yang muncul atas privatisasi yang dilakukan di Indonesia
bertujuan agar perusahaan luar negeri atau investor asing dapat masuk sebagai
penanam modal atau saham sekaligus menanamkan pengaruhnya pada skala
ekonomi nasional.Indonesia termasuk negara di Asia yang memiliki hutang
luar negeri cukup besar.6Hal itu juga yang memengaruhi praktik privatisasi
yang dilakukan oleh pemerintah.
Sehubungan dengan privatisasi air di Indonesia telah mengubah nilai air
yang seharusnya bernilai sosial menjadi bernilai ekonomi. Air sebagai
3 World Helath Organisation, “The Right to Water”, (Prancis: WHO, 2003), h. 3.
4 Mellina Williams, “Privatization and The Human Right to Water: Challenges for The
New Century,” (Michigan Journal of International Law 469, 2007), h. 489. 5 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI. (2005). Analisa
dan Evaluasi Hukum tentang Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jakarta: BPHN RI,
h. 17.
6 Jimly Asshidiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK), h. 43.
37
komoditi publik (sosial), yang mempunyai multifungsi dan keberadaan multi
skala yang saling berkaitan, harus dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan
siklusnya. Penggunaan hak guna air di segala tingkatannya (baik untuk
kebutuhan individu, kelompok maupun global) merubah keberadaannya dari
barang publik menjadi barang privat. Oleh sebab itu, tidak sepatutnya untuk
eksploitasi serta diperdagangkan secara bebas dan sebebas-bebasnya.7
Padahal ada konsekuensi yang begitu besar yang harus dibayar akibat
munculnya fenomena liberalisasi dan privatisasi air tersebut, satu diantaranya
adalah semakin terpinggirkannya hak orang-orang dengan kemampuan
ekonomi lemah untuk mengakses dan memperoleh air akibat merajalelanya
praktik liberalisasi dan privatisasi air, padahal air merupakan kebutuhan yang
paling dasar bagi setiap manusia untuk dapat melangsungkan kehidupannya
yang semestinya tersedia/dapat diakses secara bebas dan adil oleh siapa pun.8
Beberapa wilayah di Indonesia merasakan kesulitan mendapatkan akses
air bersih untuk pertanian, perkebunan, bahkan untuk kehidupan sehari-hari.
Sebagian pakar lingkungan berpendapat, krisis air disebabkan oleh faktor
kerusakan ekologis. Di banyak wilayah pedesaan, permukaan air di bawah
tanah jauh menurun, mata air tercemar, dan persediaan air menurun drastis.
Selain karena faktor ekologis, pakar lingkungan berpendapat krisis air
disebabkan berkenaan dengan privatisasi pelayanan pasokan air dan
keterlibatan swasta dalam pengelolaan air. Sekitar 95% dari kegiatan
pelayanan air ini masih dikendalikan oleh sektor publik, yang kemudian
diserahkan kepada pihak swasta.9
Menanggapi krisis air yang dihadapi banyak negara, World Bank
beranggapan bahwa agar pelayanan air dapat dilaksanakan secara terus
menerus dengan baik dan efisien, maka harus dilakukan dengan privatisasi
7Tim Kruha, Kemelut Sumberdaya Air Menggugat Privatisasi Air Di Indonesia,
(Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama, 2005), h.xiii.
8 Hamid Chalid dan Arief Ainul Yaqin, Studi Tentang Hukum Airdan Problematika
Pemenuhan Hak Asasi Manusia Atas Airdi Indonesia, Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 2
(2018), h. 411-435.
9 Marwan Batubara, Menggugat Penjajahan Sumber Daya Air dengan Modus Privatisasi,
https://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus diakses pada 15 Desember 2019.
38
pelayanan air. World Bank juga menyarankan agar privatisasi pelayanan air
dapat dilaksanakan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh
negara dalam memberikan pelayanan air untuk seluruh rakyatnya, oleh karena
itu swasta dapat dilibatkan demi terjaganya kualitas layanan penyediaan air
bersih.10
Permasalahan dan isu kelangkaan air tersebut justru dimanfaatkan oleh
World Bank untuk melakukan upaya liberalisasi dan privatisasi air secara
besar-besaran dengan membawa masuk air ke dalam kerangka pikir dan
kerangka kerja ekonomi kapitalis, yakni mengkonspesikan dan
mempromosikan air sebagai benda ekonomi (economic good).11
Dalam hal tersebut World Bank berpegang pada hasil Konferensi tentang
Air dan Lingkungan (Water and Environment Conference) yang
diselenggarakan di Dublin, Irlandia pada tahun 1992 yang kemudian
melahirkan apa yang disebut dengan “Prinsip-prinsip Dublin” (Dublin
Principles). Dublin Principles itu sendiri memuat prinsip atau pedoman tentang
kebijakan global seputar masalah air dan lingkungan yang berisi empat prinsip
berikut ini:
1. Fresh water is a finite and vulnerable resource, essential to sustainlife,
development and the environment;
2. Water development and management should be based on a participatory
approach, involving users, planners and policy-makers at all levels;
3. Women play a central part in the provision, management and
safeguarding of water;
4. Water has an economic value in all its competing uses and should be
recognized as an economic good.
World Bank memperkirakan potensi pasar air senilai 1 trilyun Dollar AS.
Hal tersebut menjadikan bisnis air sebagai industri paling menguntungkan bagi
10 WHO, The Global Water Supply and Sanitation Assessment 2000, (Geneva,: 2000), h.
1. 11
Hamid Chalid dan Arief Ainul Yaqin, Studi Tentang Hukum Air Dan Problematika
Pemenuhan HakAsasi Manusia Atas Air Di Indonesia” Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 2
(2018), h.411-435.
39
para investor.12
Potensi pasar air yang besar telah menjadikan World Bank
melirik Indonesia untuk menginvestasikan modalnya dalam hal penataan ulang
peraturan akan air. Selain ketertarikan dari pihak luar, hal ini juga tidak
terlepas dari kebutuhan pemerintah Indonesia terhadap lembaga-lembaga donor
dalam hal pengucuran dana bantuan untuk menghadapi krisis khususnya krisis
ekonomi saat itu dihadapi bangsa Indonesia yang memerlukan bantuan asing.
Pada saat krisis ekonomi tahun 1997 yang menyebabkan jatuhnya
perekonomian Indonesia dan defisit neraca pembayaran (balance of payments),
akhirnya mendorong Pemerintah untuk mencari pinjaman yang sifatnya „quick
qisburse' untuk membantu neraca pembayaran Indonesia yang negatif pada
saat itu. Berkaitan dengan hal tersebut, Bank Dunia menawarkan pinjaman
seperti Structural Adjustment Loan (SAL) kepada pemerintah Indonesia,
dengan persyaratan dilakukan perubahan struktural (kelembagaan, peraturan
dan pengelolaan dari sektor tertentu). Dalam hal ini Bank Dunia memberikan
syaratbagi pinjaman yang langsung berkaitan dengan pengelolaan hutan dan
sumber daya alam lain.13
Adapun penyesuaian struktural yang dimaksud adalah suatu proses dari
pengukuran perubahan struktural secara sistematis, berupa pembaharuan
kebijakan nasional yang mencakup aspek reformasi ekonomi, reformasi
desentralisasi, pembaharuan peraturan perundang-undangan, pembaharuan
organisasi pemerintahan, pengembangan kapasitas tingkat lokal, regional,
maupun nasional.14
Dengan banyaknya hutang yang dimiliki Indonesia dari negara-negara
donor yang tergabung dalam International Monetery Fund (IMF) dan
Consultative Group on Indonesia (CGI) maupun World Bank telah membuat
pemerintah Indonesia menyepakati persyaratan khusus yang antara lain adalah
legalisasi privatisasi pada beberapa bidang perekonomian, salah satunya yaitu
12 Vandhana Shiva, Water Wars: Privatisasi Profit dan Polusi, (Yogyakarta: Insist Press.
2003), h. 100. 13
Hariadi Kartodiharjo dan Hira Djamtani, Politik Lingkungan Hidup dan Kekuasaan di
Indonesia, (Jakarta: Equinoq Publishing, 2006), h. 30.
14
Hariadi Kartodiharjo dan Hira Djamtani,Politik Lingkungan Hidup dan Kekuasaan di
Indonesia,… h.31.
40
investasi di bidang sumber daya air. Upaya ini ditempuh pemerintah Indonesia
dengan mengeluarkan UU.No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.15
Dalam laporan hasil studi Bank Dunia tentang SDA di Indonesia tahun
1997 menyimpulkan bahwa Indonesia perlu segera mengadakan perubahan
dalam pendekatan, cara pandang dan implementasi pengelolaan SDA.
Beberapa perubahan itu adalah dari penyediaan air untuk pertanian menuju
alokasi air lebih merata bagi sektor-sektor lain. Dari fokus pada pendekatan
pasokan (supply approach) ke pendekatan pengelolaan permintaan (demand
management) dan pendekatan pasokan secara seimbang. Selanjutnya
disarankan agar Bank Dunia tidak memberikan bantuan lebih lanjut unruk
sektor SDA dan irigasi kecuali ada upaya melakukan reformasi pada sektor ini.
Privatisasi merupakan bentuk perkembangan dari ekonomi kapitalis,
yang berujung pada eksploitasi dan komersialisasi atas sumber daya air
maupun eksploitasi manusia. Karena dorongan dari sistem kapitalisme adalah
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengesampingkan moral.
Semangat privatisasi dengan pelibatan swasta dalam pengelolaan air
minum sangat bertolak belakang dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal
37 ayat (1) PP Nomor 16 Tahun 2005 Tentang SPAM. Ditegaskan bahwa
“pengembangan SPAM menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemerintah
daerah dalam menjamin hak setiap orang dalam mendapatkan air minum bagi
kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat,
bersih, dan produktif sesuai dengan peraturan perundangan.
Ada beberapa bentuk komersialisasi yang dipakai dalam komersialisasi
sumberdaya air antara lain :
a. Kontrak Jasa (service contracts).
Aspek individual dari penyediaan infrastruktur (pemasangan dan
pembacaanmeteran air, operasi stasiun pompa dan sebagainya) diserahkan
kepada swastauntuk periode waktu tertentu (6 bulan sampai 2
tahun).Kategori ini kurangmemberi manfaat bagi penduduk miskin.Kontrak
15 Samsul Wahidin, Hukum Sumber Daya Air,… h.36.
41
jasa dipergunakan dibanyak tempat seperti di Madras (India), dan Santiago
(Chile).
b. Kontrak Manajemen.
Manajemen swasta mengoperasikan perusahaan dengan memperoleh
jasa manajemen baik seluruh maupun sebagian operasi.Kontrak bersifat
jangkapendek (3 sampai 5 tahun) dan tidak terkait langsung dengan
penyediaan jasa sehingga lebih fokus pada peningkatan mutu layanan
daripada peningkatanakses penduduk miskin. Kontrak manajemen
dilaksanakan di Mexico City,Trinidad, dan Tobago.
c. Kontrak Sewa-Beli (lease contracts).
Perusahaan swasta melakukan lease terhadap aset perusahaan
pemerintah dan bertanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaannya.
Biasanya kontraksewa berjangka 10-15 tahun.Perusahaan swasta mendapat
hak daripenerimaan dikurangi biaya sewa beli yang dibayarkan kepada
pemerintah.Menurut Panos (1998), perusahaan swasta tersebut memperoleh
bagian daripengumuman pendapatan yang berasal dari tagihan
pembayaran.Konsep”enhancedlease” diperkenalkan karena di negara
berkembangdibutuhkan investasi pengembangan sistem distribusi,
pengurangankebocoran, dan peningkatan cakupan layanan.Perbaikan kecil
menjaditanggungjawab operator dan investasi besar untuk fasilitas
pengolahanmenjadi tanggungjawab pemerintah.Kontrak sewa-beli banyak
digunakan diPerancis, Spanyol, Ceko, Guinea, dan Senegal.
d. Bangun-Operasi-Alih (Build-Operate-Transfer/BOT).
BOT dan beragam variasinya biasanya berjangka waktu lama
tergantung masaamortisasi (25-30 tahun).Operator menanggung risiko
dalam mendesain,membangun dan mengoperasikan aset. Imbalannya adalah
berupa jaminan aliran dana tunai. Pada akhir masa perjanjian, pihak swasta
mengembalikan seluruh aset ke pemerintah. Terdapat beragam bentuk BOT.
Pelaksanaan BOTterdapat di Australia, Malaysia, dan Cina. Di bawah
prinsip BOT, pendanaan pihak swasta akan digunakan untuk membangun
dan mengoperasikan fasilitas atau sistem infrastruktur berdasarkan standar-
42
standar performance yang disusun oleh pemerintah. Masa periode yang
diberikan memiliki waktu yang cukup panjang untuk perusahaan swasta
guna mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan dalam membangun
konstruksi beserta keuntungan yang akan didapat yaitu sekitar 10 sampai 20
tahun. Pemerintah tetap menguasai kepemilikan fasilitas infrastruktur dan
memiliki dua peran sebagai pengguna dan regulator pelayanan infrastruktur
tersebut.
e. Konsesi.
Konsesi biasanya berjangka waktu 25 tahun yang berupa pengalihan
seluruh tanggungjawab investasi modal dan pemeliharaan serta
pengoperasian ke operator swasta. Aset tetap milik pemerintah dan operator
swasta membayarjasa penggunaannya.Tarif mungkin dibuat rendah dengan
mengurangi jumlahmodal yang diamortisasi, yang dapat menguntungkan
penduduk miskin jikamereka menjadi pelanggan. Konsesi dengan target
cakupan yang jelasmengarah pada layanan bagi seluruh penduduk dapat
menjadi alat yang tepatdalam memanfaatkan kemampuan swasta
meningkatkan investasi,memberikan layanan yang baik, dan menetapkan
tarif yang memadai. Melaluicara ini, pemerintah tetap mengatur tarif
melalui sistem regulasi danmemantau kualitas layanan. Konsesi mempunyai
sejarah panjang di Perancis kemudian berkembang di Buenos Aires
(Argentina), Macao, Manila(Pilipina), Malaysia, dan Jakarta.
Dalam konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan
pengelolaanpenuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk
menyediakan pelayanan infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk
dalam hal pengoperasian,perawatan, pengumpulan dan
manajemennya.Konsesioner bertanggung jawabatas sebagian besar investasi
yang digunakan untuk membangun,meningkatkan kapasitas, atau
memperluas sistem jaringan, dimanakonsesioner mendapatkan pendanaan
atas investasi yang dikeluarkan berasaldari tarif yang dibayar oleh
konsumen.Sedangkan peran pemerintahbertanggung jawab untuk
memberikan standar kinerja dan jaminan kepadakonsesioner.
43
f. Divestiture.
Kategori ini merupakan bentuk paling ekstrim dari privatisasi, yang
berupapengalihan aset dan operasi ke swasta, baik keseluruhan maupun
sebagian aset. Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap regulasi.
Tidak banyakcontoh dari divestiture, hanya Inggris dan Wales melakukan
dalam skalabesar.
Selama perjalanan bangsa ini sampai merdeka, telah banyak
pengaturan hukum sumber daya air yang telah berlaku, mulai yang
bersumber dari perundang-undangan pemerintah kolonial Belanda, sampai
produk hukum pasca kemerdekaan. Di antara produk perundang-undangan
terkait sumber daya air dan dalam kerangka perlindungan lingkungan hidup,
sebagai berikut:
1. Hinder Ordonnantie 1926 No. 226, diubah dan ditambah terakhir dengan
Stb. 1940 No.450
2. Mijn Politie Reglement Stbl,1930 No. 341
3. Undang-Undang Penyaluran Perusahaan 1934. Stbl. 1938 No.86 jo Stb.
1948 No.224
4. Algemeen Wettereglement, (A.W.R) 1936 tentang Pengaturan Perairan
Umum.
5. Undang-Undang Nomor 11/1974 tentang Pengairan Tertanggal 26
Desember 1974
6. Undang-Undang Nomor 4/1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 1982 Tentang
Tata Pengaturan Air.
8. Peraturan Pemerintah RI Nomor 23 Tahun 1982 tentang Irigasi
9. INPRES No.1 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan Pengelolaan Pengairan
(Pengaturan Air dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi)
10. PERMEN Pertambangan Nomor 04/M/pertamb/73, tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Pencemaran Perairan dalam Kegiatan Eksploitasi
44
11. PERMEN Kesehatan Nomor 01/BIRHUKMAS/1/1975, tentang Syarat-
Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
Perundang-undangan di atas merupakan produk hukum dari
pemerintahan zaman Kolonial hingga Orde Baru.Pasca reformasi 1998,
konfigurasi pengaturan tentang sumber daya air mengalami perubahan, di
antaranya lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 Tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), dan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan SDA. Akan tetapi,
terdapat kekhawatiran di kalangan civil society. LSM, akademisi, hingga
ormas keagamaan terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air. Kecurigaan itu karena a qua dinilai telah menawarkan
paradigma baru dalam hal pengelolaan SDA.16
Kondisi bias norma dalam UU SDA mengakibatkan ketakutan akan
masuknya perusahaan besar untuk mengambil alih penyediaan air, sehingga
yang lazim terbayang adalah privatisasi tersebut merubah perspektif air
sebagai benda publik menjadi benda yang dapat diukur secara materil dan
akan merujuk pada pola korporatisasi yang profit oriented an sich, yang
menyulitkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar asasinya.17
16 Samsul Wahidin, Hukum Sumber Daya Air,… h.75.
17
Jundiani, Perlindungan Hak Rakyat atas Sumber Daya Air, (El-Qisth, Malang, 2006) ,
h. 278.
45
BAB IV
PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR OLEH SWASTA DI
INDONESIA BERDASARKAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Kedudukan dan Peran Negara Dalam Mengelola Sumber Daya Air
Untuk mencapai tujuan kesejahteraan umum, pemerintah memiliki
kedudukuan yang bersifat rangkap dan keduanya harus dijalankan pada saat
yang bersamaan, dimana kedudukan itu berkaitan satu sama lain. Pertama, di
satu pihak, pemerintah berkedudukan sebagai penguasa yang berwenang
membuat aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat supaya keteritiban dan
ketentraman masyarakat dapat diwujudkan. Kedua, di sisi lain, pemerintah
berkedudukan sebagai pelayan masyarakat (public servant) yang bertugas
mengurus, menyelenggarakan, melayani segenap urusan dan kepentingan
masyarakat.1
Penguasaan oleh negara merupakan refleksi dari tanggung jawab negara
dalam menyelenggarakan pemerintahan sebagai public servant dalam hal ini
pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan oleh negara merupakan suatu
wewenang formal yang melekat pada negara dan memberikan kesempatan
kepada negara untuk bertindak baik secara aktif maupun pasif dalam bidang
pemerintahan negara.2
Abrar berpendapat bahwa hak penguasaan negara ialah hak negara
melalui pemerintah yang mewakili kewenangan untuk menentukan
penggunaan, pemanfaatan, dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup
mengatur (regelen), mengurus atau mengelola (bestuuren, beheren) dan
mengawasi (toezichthouden) penggunaan serta pemanfaatan sumber daya
alam.3
Dalam konteks negara pembuat hukum (law making), dalam
merekonstruksikan aturan mengenai pengelolaan air wajib
1 Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara,… h. 11.
2Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), h. 24.
3 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Hukum Tata Ruang, Dalam Konsep Kebijakan
Otonomi Daerah (Bandung: Nuansa, 2008), h. 24.
46
mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan kemanfaatan, bukan hanya
memenuhi aspek kepastian hukum saja. Berdasarkan konstruksi politik
hukum, hak menguasai negara atas sumber daya air perlu diprioritaskan. Hal
tersebut bukan untuk menambah kekuatan negara dalam bertindak sewenang-
wenang terhadap rakyat atas pengelolaan sumber daya air, melainkan untuk
menjaga peran negara tetap pada koridornya sebagai entitas yang
berkewajiban melindungi hak asasi manusia sekaligus sebagai alat kontrol
terhadap deviasi pengelolaan sumber daya air.
Pengaturan mengenai pengelolaan air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD NKRI 1945, posisi negara yang merupakan organisasi
yang oleh satu atau beberapa bangsa yang berdiam dalam suatu wilayah
tertentu. Gunanya adalah untuk memelihara hukum yang berlaku di kalangan
mereka, membela kepentingan dan kesejahteraan bersama terhadap serangan
dari luar dan menyelenggarakan cita-cita kemakmuran bersama, baik di
lapangan kerohanian maupun materi.
Frasa “dikuasai oleh negera” yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 menurut Soepomo makna “dikuasai” memberi pengertian
mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan
mempertimbangkan produksi. Sedangkan Menurut Mohammad Hatta
pengertian “dikuasai” bukan secara otomatis dikelola langsung oleh negara
atau pemerintah, akan tetapi dapat menyerahkan pada pihak swasta, asalkan
dengan pengawasan pemerintah.
Pendapat Mohammad Hatta berbeda dengan pendapat Bagir Manan,
bahwa cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak penguasaan negara,
sebagai berikut:
(1) Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui
Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan
hak wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya.
(2) Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan.
47
(3) Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-
usaha tertentu.
Penguasaan sumber daya alam oleh negara, sebagaimana diatur dalam
UUD 1945 tidak dapat dipisahkan dengan tujuan dari penguasaan tersebut
yaitu guna mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keterkaitan
penguasaan oleh negara untuk kemakmuran rakyat, menurut Bagir Manan
akan mewujudkan kewajiban negara dalam hal: 4
1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat
(kekayaan alam), harus secara nyata dapat meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat;
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam
atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat
dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat;
3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan
rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknnya dalam
menikmati kekayaan alam.
Sementara itu, Emil Salim menjelaskan mengenai pengertian dikuasai
oleh negara itu sebagai berikut. “Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung dalam bumi dan yang merupakan pokok bagi
kemakmuran rakyat dalam melaksanakan hak “menguasai” ini perlu dijaga
agar sistem yang berkembang tidak menjurus ke arah etatisme. Oleh karena
itu hak “menguasai” oleh negara harus dilihat dalam konteks pelaksanaan hak
dan kewajiban negara sebagai (1) Pemilik, (2) pengatur, (3) perencana, (4)
pelaksana, dan (5) pengawas.5
Ramuan kelima pokok tersebut di atas dapat menempatkan negara
dalam kedudukannya untuk menguasai lingkungan alam sehingga hak
menguasai bisa dilakukan dengan memiliki sumber daya alam, atau tanpa
4 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 18.
5 Dian Cahya Ningrum,Politik Hukum Pengaturan Privatisasi dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, (Fakultas Hukum Universitas
Indonesia: Tesis, 2004), h. 28.
48
memiliki sumber daya, namun mewujudkan hak menguasai itu melalui jalur
pengaturan, perencanaan, dan pengawasan. Dalam sistem ekonomi Pancasila,
negara tidak perlu memiliki semua sumber daya alam, tetapi tetap bisa
menguasai melalui jalur pengaturan, perencanaan, dan pengawasan.”6
Dalam hal kaitannya hak menguasai oleh negara memiliki beberapa
poin-poin penting, beberapa poin penting dari hak menguasai negara ini
tentunya memiliki tujuan dan makna serta nilai yang berbeda namun tujuan
yang sama, diantaranya adalah sebagai berikut7:
a) Lahir dalam konteks anti imperialisme, anti kapitalisme dan anti
feodalisme;
b) Sebagai penghapusan terhadap asas-asas domein negara yang
dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk mengambil alih
kepemilikan rakyat dan kemudian menyewakan atau menjualnya kepada
pengusaha asing dan partikelir; c)Sebagai sintesa antara individualisme
dan kolektivisme/sosialisme;
d) Penguasaan ini lebih bersifat mengatur dan menyelenggarakan (publik),
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (sebagai pertanggungjawaban);
e) Dibatasi oleh konstitusi;
f) Penyelenggaraan hak menguasai oleh negara adalah untuk kesejahteraan
umum, dapat didelegasikan kepada daerah atau masyarakat hukum adat,
tetapi tidak berlaku kepada swasta.
Peranan pemerintah yang sangat vital dalam urusan pengelolaan air
dimaksudkan untuk menciptakan keadilan sosial. Keadilan sosial adalah
keadilan yang pelaksanaannya tidak lagi bergantung kepada kehendak pribadi
atau pada kebaikan individu yang bersikap adil, tetapi sudah bersifat
struktural.
6 Dian Cahya Ningrum, Politik Hukum Pengaturan Privatisasi dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,… h. 28.
7 Imam Koeswahyono, Hak Menguasai Negara, Perspektif Indonesia Sebagai Negara
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38
No.1 Januari-Maret 2008.
49
Apabila dihadapkan dengan monopoli dalam pengelolaan sumber daya
air, pertentangan dengan kecenderungan paham liberalisme yang mengususng
pasar bebas bisa saja memunculkan pertentangan. Namun, dalam posisi air
sebagai benda publik, campur tangan pemerintah menjadi sebuah keniscayaan
dan dalam konteks Indonesia, campur tangan pemerintah ini telah menjadi
cara pandang konstitusional. Adanya campur tangan pemerintah dalam
pengawasan, pengaturan, maupun pemanfaatan sumber daya air guna
mencegah monopoli oleh segelintir orang atau kelompok tertentu. Pada titik
inilah makna penting campur tangan negara dalam pengelolaan sumber daya
air dibutuhkan dalam rangka memberikan jaminan hak untuk memperoleh
hasil darinya yang merupakan hak asasi seluruh rakyat Indonesia.8
Begitu pentingnya air bagi kehidupan manusia dan apabila ada pihak-
pihak tertentu yang memonopoli air yang sejatinya milik publik, maka dalam
hal ini negara harus bertanggung jawab menyelesaikannya.Oleh karena itu,
pentingnya pengaturan di bidang air tidak kalah pentingnya dengan air itu
sendiri. Pada hakikatnya, air termasuk zat yang tidak dapat digantikan.
Air sebagai barang publik merupakan tanggung jawab negara untuk
menjamin perolehan dan pemenuhannya sebagai konsekuensi penguasaan air
oleh negara sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, persoalan
air harus ditata dengan baik melalui perangkat peraturan perundang-undangan
yang dapat melindungi dan mewujudkan ketertiban umum yang
mencerminkan keadilan masyarakat.
Negara memiliki kewajiban fundamental untuk memastikan bahwa
kebutuhan dasar demikian terpenuhi dengan baik. Kegagalan memenuhi
kebutuhan dasar tersebut atau setidaknya menyediakan akses untuk
terpenuhinya kebutuhan tersebut dapat menempatkan negara pada posisi tidak
bertanggungjawab (irresponsible) da n melanggar HAM.9
8 Samsul Wahidin, Hukum Sumber Daya Air,… h.24.
9 Helmy Kasim dan Titis Anindyajati, “Perspektif Konstitusional Kedudukan Negara dan
Swasta dalam Pengelolaan Sumber Daya Air Menurut UUD 1945”, Vol. 3 No. 2 Jurnal
Konstitusi, Juni, 2016, h. 16.
50
Mengenai hak atas air, Vendhana Shiva memberikan konsepsi tentang
hak atas sumber daya air yang mana negara memiliki peran yang vital dalam
mengelolanya untuk dinikmati sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yakni:
Pertama, konsepsi kedaulatan territorial, yakni negara yang memiliki
kekuasaan wilayah territorial memiliki hak eksklusif atau kedaulatan atas air
yang mengalir di dalam territorial negara tersebut.Artinya, di sini pemerintah
lebih berhak atas pengaturan atas air.
Kedua, konsepsi aliran air alami juga dikenal sebagai teori integritas
territorial, bahwa karena aliran air yang terdapat pada sungai merupakan
sebagian wilayah territorial negara, maka tiap pemilik riparia – hak yang
didasarkan pada konsep hak guna, kepemilikan umum dan pemanfaatan yang
masuk akal yang lebih rendah berhak atas aliran alami sungai, dirintangi oleh
pemilik riparia yang lebih tinggi.
Ketiga, konsepsi penggunaan yang adil.Secara harfiah penggunaan yang adil
merupakan bentuk upaya yang harus dimanfaatkan secara adil. Artinya
prinsip utama yang menjadi landasan bukan pada asas penyamarataan namun
lebih memperimbangkan perbedaan kebutuhan sosial dan kemampuan
ekonomi.
Keempat, konsepsi kepentingan komunitas (hak kolektif) dalam konsepsi ini
sebenarnya terkait erat dengan konsepsi penggunaan yang adil.
B. Jaminan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia atas Air
Dalam Konstitusi
Hampir di seluruh negara, konstitusi yang memuat berbagai materi
muatan termasuk kaidah-kaidah tentang hak asasi manusia, ditempatkan
sebagai peraturan tertinggi atau high ranking regulatory law, a statute fraught
with direct legal consequences.10
Menurut Prof. Sri Soemantri, tidak ada
suatu negara di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-
undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak
10 Frank Michelman, “The Constitution, social rights, and liberal political justification”,
I.CON, Vol.1, No.1, 2003, h.13.
51
dapat dipisahkan satu dengan yang lain.11
Dengan demikian, dalam batas-
batas minimal, negara hukum identik dengan negara yang berkonstitusional
atau negara yang menjadikan konstitusi sebagai atauran main kehidupan
bernegara, pemerintahan, dan kemasyarakatan.
Meskipun tidak semua negara yang memiliki konstitusi diilhami oleh
semangat individualisme, namun semangat untuk melindungi kepentingan
individu dan warganya melalui konstitusi dianggap paling memungkinkan,
terlepas dari falsafah negara yang bersangkutan. Dengan kata lain esensi dari
negara berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Atas
dasar itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara merupakan (kemutlakan)
conditio sine quanom.12
Konsep tentang hak asasi manusia (HAM) sekarang ini sudah diterima
secara universal sebagai a moral, political, legal framework and as a guidline
dalam pembangunan dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan
penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu dalam paham
negara hukum (rechtsstaat), jaminan terhadap perlindungan hak asasi
manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada dalam setiap negara.13
Mengenai asas perlindungan, dalam setiap konstitusi dimuat ketentuan
yang menjamin hak asasi manusia. Ketentuan tersebut antara lain:
1. Kebebasan berserikat dan berkumpul;
2. Kebebasan mengeluarkan pikiran baik lisan dan tulisan;
3. Hak bekerja dan penghidupan yang layak;
4. Kebebasan beragama;
5. Hak untuk ikut mempertahankan negara; dan
6. Hak lain-lain dalam pasal-pasal tentang hak asasi manusia.14
11 Dahlan Thalib dkk,Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,
2008) , h. 53.
12
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014), h. 24. 13
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konstitusi Press,
2006), h. 85.
14
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bandung: Mandar
Maju, 2011), h. 132.
52
Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak
asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi perilaku buas manusia
terhadap sesamanya (hommo homini lupus). Menurutnya keadaan seperti
itulah yang mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat dalam keadaan
rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa.15
John Locke berpendapat yang sebaliknya bahwa manusia tidaklah
secara absolut menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Hak-hak
yang diserahkan menurutnya hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan
perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada
masing-masing individu. Setiap individu selalu memiliki hak-hak yang tak
tertanggalkan yaitu life, liberty, serta estate. Maka logis apabila tugas negara
adalah memberikan perlindungan kepada masing-masing individu.
Teori perjanjian John Locke menjadi dasar negara dengan kekuasaan
terbatas. Menurut Locke, meskipun ada perjanjian membentuk satu kesatuan
masyarakat atau negara, rakyat tetap memiliki hak alamiah (natural rights)
sebagai inalienable rights. Negara atau pemerintah tidak boleh merampas
atau mengganggu hak-hak alamiah seperti right of life, right of liberty
maupun right of property sebagaimana disampaikan oleh John Locke dalam
buku Two Treaties of Civil Government:
“But though men when they enter into society give up the equality, liberty,
and executive power they had in the state of Nature into the hands of
society, to be so far disposed of by the legislative as the good society shall
require, yet it being only with the intention in everyone the better preserve
himself, his liberty and property,…the power of the society or legislative
constitute by them can never be supposed to extend further than the
common good but is obliged to secure everyone’s property by providing
against those three defects above mentioned that made the state of nature
an uneasy”.16
Terbentuknya negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan
suatu negara, tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak
asasi manusia, oleh karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan
15
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, …h.88.
16Clarence Morris, The Great Legal Philoshopers, (Philadhelpia: University of
Pennsylvania Press, 1979), h. 152.
53
terhadap hak-hak asasi manusia merupakan pilar yang sangat penting dalam
setiap negara yang disebut sebagai negara hukum. Jika dalam suatu negara,
HAM terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang
ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, negara yang bersangkutan
tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.17
Dalam konteks eksistensi hak asasi manusia atas air, awalnya hak atas
air hanya dianggap sebagai subordinat dari hak untuk hidup. Baru pada tahun
1977 ada upaya untuk menarik hak atas air menjadi hak asasi manusia yang
berdiri sendiri dan terpisah dari hak untuk hidup. Konferensi internasional
yang pertama tentang air diselenggarakan di Mar Del Plata, Argentina.
Konferensi tersebut mengeluarkan sebuah resolusi yang berbunyi: “all peoples
have the right to have access to drinking water in quantities and of a quality equal to
their basic needs.18
Di Indonesia, dengan diakui dan ditegaskannya hak atas air sebagai hak
asasi manusia (human right to water) oleh Mahkamah Konstitusi dalam
menafsirkan hak atas air menurut UUD 1945, maka hal tersebut menciptakan
konsekuensi bahwa hak asasi manusia atas air harus dilindungi, dimajukan,
dan dipenuhi oleh negara.19
Air disebut dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 meskipun
secara spesifik tidak disebut tentang hak atas air. Pasal-pasal lain tentang hak
asasi manusia dalam UUD 1945 juga tidak menyebutkan hak atas air. Namun,
dalam putusan Mahkamah Konstitusi, hak atas air tersebut telah dinyatakan
sebagai derivasi dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945.3 Sebagai hak
hidup yang merupakan salah satu hak asasi manusia, maka negara utamanya
pemerintah berkewajiban untuk menghargai, melindungi dan memenuhinya.
Kewajiban ini secara konstitusional telah ditegaskan dalam UUD 1945.
17 JimlyAsshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi
Press, 2005), h. 21.
18
The United Nation Water Conference, Mar del Plata, Argentina, 14-25 Maret 1977.
19
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang
Judicial Review atas Undang-Undang No.7Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, khususnya
bagian “Pendapat Mahkamah.”
54
Jaminan hak atas air bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan bentuk
kesejahteraan. Jaminan hak atas air merupakan penjelmaan dari pemenuhan
hak asasi manusia masyarakat Indonesia yang terdapat dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD NKRI 1945. Hak menguasasi negara dalam bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya merupakan bentuk hak asasi sosial.20
Menurut Jimly Assidiqy, UUD 1945 juga disebut dengan Green
Constitution, hal itu disebabkan karena UUD 1945 memasukkan lingkungan
ke dalam masalah ketatanegaraan Indonesia.21
Dalam hal air, dasar
konstitusional pengelolaan sumber daya air yang berasaskan pelestarian
kemampuan lingkungan dimuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang - Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemaknaan frasa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak” dalam Pasal 33 UUD 1945
dapat ditinjau dari pendapat Jimly Asshiddiqie yang memberikan 4 (empat)
kategori kemakmuran dan kesejahteraan yang dikaitkan dengan penguasaan
oleh Pemerintah, yaitu: a. Sumber-sumber kekayaan yang penting bagi
Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (harus dikuasai oleh
Pemerintah); b. Sumber-sumber kekayaan yang penting bagi Negara, tetapi
tidak menguasai hajat hidup orang banyak (dapat dikuasai oleh Pemerintah);
c. Sumber-sumber kekayaan yang tidak penting bagi Negara, tetapi
menguasai hajat hidup orang banyak (tidak perlu dikuasai oleh Pemerintah);
d. Sumber-sumber kekayaan yang tidak penting bagi Negara dan tidak
menguasai hajat orang banyak (tidak boleh dikuasai oleh Pemerintah).22
Berbagai kovenan yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) juga menyebutkan bahwa bukan hanya air itu sendiri yang merupakan
hak, tetapi akses terhadap air bersih juga menjadi hak asasi manusia. Namun
20 Sugeng Istanto, Undang-Undang Dasar dan Jaminan Hak Asasi Manusia, Jurnal
Mimbar Hukum (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1999), h. 12.
21
Jimly Assidiqy, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (Jakarta: Rajawali, 2010), h. 79.
22 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya
di Indonesia, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 95.
55
faktanya pemenuhan hak atas air (the right to water) untuk sebagian
penduduk dunia, termasuk Indonesia masih belum tercapai.23
Dalam UUD 1945 memang tidak mengatur mengenai hak atas air
secara eksplisit, tetapi secara implisit merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang dijamim oleh konstitusi Indonesia. Pada Pasal 28 ayat (1)
menyatakan bahwa“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Penegasan dalam konsitusi di atas dapat ditafsirkan merupakan bagian
dari kewajiban negara untuk memenuhi hak atas air bagi warga negaranya
dan merefleksikan tiga elemen hak atas air yang wajib dipenuhi. Tiga elemen
dasar yang wajib dipenuhi menurut Majda meliputi, ketersediaan
(availability), kualitas (quality) dan mudah dicapai (accessibility) termasuk di
dalamnya mudah dicapai secara fisik (physical accessibility), kemampuan
pengadaan (affordability or economicaccessibility), non-diskriminasi (non-
discrimination) dan kemudahan informasi (information accessibility).24
.
Dengan merujuk pada ciri-ciri menonjol dari pemahaman HAM yang
dikemukakan oleh James W. Nickel, maka dalam kerangka hak asasi manusia
atas air memiliki kesamaan karakteristik sebagai berikut:25
1). Hak asasi manusia merupakan norma-norma yang pasti dan memiliki
prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib.
2). Hak asasi manusia dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh
manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini
menunjukan dan menegaskanbahwa karakteristik seperti ras, jenis
kelamin, agama, kedudukansosial, dan kewarganegaraan tidak sesuai
23 Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro Rakyat, (Semarang: Surya Pena
Gemilang, 2009), h. 3.
24 Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 133.
25
James W Nickel, Hak Asasi Manusia Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 5.
56
untuk mempersoalkan apakah seseorang dapat memiliki atau tidak
memiliki hak.
3). Hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya dan tidak bergantung
pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem
hukum di negara-negara tertentu. Hak ini memang menjadi yang paling
efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai
dasar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan
hukumnya.
4). Hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting.
5). Mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah untuk
tidak melanggar hak seseorang.
C. Sistem Pengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia Pasca Dibatalkannya
UU SDA Melalui Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 85/PUU-
XII/2013
Pada latar filosofis, Pancasila sebagai groundnorm merupakan sumber
berlakunya hukum yang tertinggi dan terakhir (souce of the source). Ia
memberikan pertanggungjawaban mengapa hukum itu harus dilaksanakan.
Meskipun, ketidakpatuhan terhadapnya tidak terdapat sanksi. Ia diterima
masyarakat secara aksiomatis. Pasal 33 UUD Tahun 1945 merupakan dasar
demokrasi ekonomi konstitusional. Dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan
ayat (3) UUD Tahun 1945 merupakan kerangka pemikiran pengelolaan
sumber daya alam oleh negara terkait cabang-cabang produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak dan untuk kemakmuran banyak orang.
Pesan konstitusional tersebut tampak jelas, bahwa yang dituju adalah suatu
sistem ekonomi tertentu, yang bukan ekonomi kapitalistik (berdasar paham
individualisme), namun suatu sistem ekonomi berdasar kebersamaan dan
berdasar atas asas kekeluargaan dan jaminan sosial kepada seluruh rakyat
Indonesia secara berkeadilan.
Pengelolaan air oleh negara menjadi sebuah keniscayaan berdasarkan
pada doktrin hak menguasai negara, bahwa negara memiliki peran sebagai
entitas pemangku kewajiban (duty holder) yang diberikan mandat oleh rakyat
57
untuk menjamin hak asasi manusia dan mengatur pengelolaan air secara
berkeadilan. Maka dari itu peran negara dalam pengelolaan air sangat penting
sebagai alat kontrol dalam rangka menciptakan keadilan sosial dan
mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 33 UUD NRI 1945 merupakan roh atau dasar dari pengaturan
pengelolaan sumber daya air, pasal ini memberikan wewenang negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk mengatur hal-hal yang sehubungan
dengan air, tentunya juga dengan pengelolaan sumber daya air. Maka dari itu
penguasaan terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara. Dikuasai yang dimaksud adalah memiliki,
bukan dalam arti memiliki secara mutlak namun negara memiliki wewenang
yang berdasarkan hak bangsa yang diserahkan kepada negara untuk secara
penuh mengelola, mengatur, memanfaatkan, penggunaan, serta
mengusahakan air dimana segala bentuk perlakuan pemerintah tersebut
bertujuan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.26
Negara hakikatnya hanya melakukan tindakan administrasi, tindakan
pengurusan dan tidak melakukan domaindad (tindakan pemilikan) terhadap
sumber daya air. Sedangkan air sendiri berdasarkan interpretasi nilai-nilai
dalam Konstitusi pada dasarnya air sebagai benda publik dan negara sebagai
pemangku amanah (trustee) untuk mengatur, mengawasi, maupun mengelola
air bagi kesejahteraan rakyat.
Konstitusi negara Indonesia pada dasarnya tidak menutup partisipasi
swasta dalam penyelenggaraan cabang-cabang produksi yang menguasai
hajat hidup orang banyak, termasuk penyelenggaraan air minum, namun juga
tidak menghilangkan makna penguasaan oleh negara. Partisipasi swasta dapat
dilakukan dalam kerangka kerja sama dan dalam tahapan penyelenggaraan
yang tidak menghambat negara dalam penyelenggaraan air minum tersebut.
Jika dianalisis secara historis maksud dari para pendiri negara
membentuk konstitusi khususnya dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah untuk
26
Sri Hajati dan Sri Winarsai, Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan, (Surabaya: Airlangga
University Press, 2018), h. 53.
58
menghapuskan dan mengubah sistem ekonomi liberal warisan kolonial
Belanda, lalu membentuk sistem ekonomi nasional yang berkeadilan. Dalam
sistem liberalisme kapitalisme, peran swasta sangat dominan dalam
pengelolaan sumber daya air dan negara sebagai pelindung modal korporasi
dari setiap aktivitasnya.
Landasan pemikiran lahirnya Pasal 33 UUD NKRI 1945 tidak lepas
dari nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri, seperti tolong
menolong dan usaha bersama yang membedakannya dengan paham
kapitalisme. Hal demikian yang justru mengasikan nilai-nilai yang menjadi
dasar kehidupan dan interaksi dengan sesama, yang terus hidup dan
berkembang sesuai perkembangan masa.
Dalam hal prinsip kapitalisme, kepemilikan modal dan alat produksi
hanya dimiliki segelintir orang saja dalam praktik privatisasi air. Dalam
konteks negara Indonesia, pengelolaan sesuatu yang menjadi hajat hidup
banyak orang harus dikuasai negara seperti terkandung dalam Pasal 33 ayat
(2) UUD NKRI 1945 dalam kerangka keadilan sosial. Hal ini untuk
mencegah terjadinya monopoli oleh kelompok pemodal atau segelintir orang.
Dalam rangka melaksanakan pembangunan hukum dan pengelolaan
sumber daya air, diperlukan asas-asas yang harus diterapkan dalam
pelaksanaannya. Itu artinya peran negara atau pemerintah sangat dibutuhkan
dan tidak dapat digantikan oleh swasta/korporasi, karena negara sebagai
entitas yang memiliki wewenang dan juga memiliki kewajiban dalam
memastikan bahwa sistem pengelolaan air di Indonesia dilaksanakan
berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum,
keterpaduan, keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan
stabilitas.
Peran negara dalam mengelola sumber daya air semata-semata guna
meyeimbangkan fungsi dari sumber daya air yakni sebagai fungsi sosial,
fungsi lingkungan, dan juga fungsi ekonomi. Jika praktik privatisasi air
diterapkan secara bebas dan tidak diawasi secara ketat maka fungsi air hanya
akan berfokus pada fungsi ekonomi atau keuntungan ekonomi semata.
59
Kerangka berfikir terhadap sumber daya air di era globalisasi saat ini,
menciptakan persaingan usaha dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya air. Air sebagai komoditas utama dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat yang pada awalnya sebagai fungsi sosial dan lingkungan dalam
rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia dan makhluk hidup lainnya, kini
sifatnya berubah menjadi ekonomis.
Sebagaimana diketahui sumber daya air yang semakin langka justru
dimanfaatkan dengan cara dieksploitasi tidak secara proporsional dimana
guna memberikan keuntungan bagi korporasi. Maka dari itu bagi kalangan
masyarakat yang berada di ambang batas kemiskinan pun tidak luput dari
korban praktik pengelolaan air oleh swasta (privatisasi air) yang semakin hari
semakin sulit untuk mendapatkan air yang berkualitas dan terjangkau.
Akibatnya adalah banyak masyarakat yang tidak mampu untuk
membeli air bersih karena harganya yang cukup tinggi. Padahal, air
merupakan sumber utama kehidupan yang memberikan kewajiban bagi
negara untuk menjamin dan memenuhi hak asasi atas air bagi seluruh
masyarakat. Jaminan yang dimaksud adalah bukan hanya persoalan kuantitas,
akan tetapi negara perlu memerhatikan bagaimana kualitas air dan cara
masyarakat untuk mendapatkan akses air yang mudah dan terjangkau.
paradigma air sebagai benda privat yang bersifat ekoonomi (profit
oriented) akan mendorong korporasi dan pihak global untuk mengambil
kesempatan dalam mengeksploitasi sumber daya air tanpa batas. Dengan
begitu, dalam menjalankan bisnisnya di bidang pengelolaan air, korporasi
tidak segan-segan melakukan penyuapan, korupsi dan praktik-praktik
unfair lainnya. Praktik-praktik yang dilarang semacam itu akan membawa
ancaman ke depan yakni praktek bisnis yang tidak mengedepankan prinsip
hak asasi manusia serta kelangkaan (scarcity) sumber daya air yang akan
merugikan masyarakat luas.
Selain mengenai kelangkaan air, jaminan atas hak lingkungan yang
sehat maupun sumber daya alam. Isu lingkungan hidup dan pengelolaan
sumber daya air tidak lagi dipahami sebagai isu individual akan tetapi lebih
60
dipahami sebagai isu kolektif. Dengan demikian, bagi negara adanya hak
asasi manusia atas lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam
yang baik, sehat, dan berkelanjutan menjadi kewajiban negara menjamin
terpenuhinya hak-hak tersebut.27
Menghadapi berbagai permasalahan sumber daya air yang semakin hari
semakin rumit dengan adanya peningkatan akan kebutuhan air yang sejalan
dengan bertambahnya jumlah penduduk serta yang diiringi dengan
pertumbuhan sosial-ekonomi. Selain itu, kekeliruan dalam pengelolaan
sumber daya air menyebabkan upaya untuk meningkatkan kebutuhan akan air
telah menimbulkan eksploitasi sumber daya air secara berlebihan, tidak
seimbang, dan pendistribusian secara tidak berkeadilan sehingga
mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan sumber daya air yang
pada gilirannya menurunkan kemampuan pasokan air. Disamping tantangan
fisik tersebut, pengelolaan sumber daya air juga mengalami tantangan dalam
penanganannya seperti tidak tercukupinya dana operasi dan pemeliharaan,
lemahnya koordinasi antar instansi terkait dan masih kurangnya akuntabilitas,
transparansi serta partisipasi para pihak yang dilaksanakan secara good
governance.
Di sisi lain pemerintah justru mendorong komersialisasi air bersih
dengan kebijakan memberikan izin seluas- luasnya untuk penguasaan sumber
daya air oleh perusahaan swasta (domestik dan asing). Sehingga nampaknya
kebijakan pemerintah dalam hal swastanisasi atau privitasasi usaha - usaha
yang bergerak dalam bidang sumber daya air scolah bertentangan dengan
ketentuan dalam kebijalan hukumnya sendiri yakni dalam UU Nomor 7 tahun
2004 dan PP Nomor 16 Tahun 2005 yang notabenenya menggariskan bahwa
pemenuhan sarana air bersih bagi setiap warga negara merupakan kewajiban
bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
27
Bambang Sugiri, Pergeseran Kebijakan Hukum Pidana Tentang Pencemaran
Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Malang, Disertasi PDIH FH UB, 2012), h. 2.
61
Kebijakan privatisasi air yang digariskan dalam kebijakan mengenai
sumber daya air yang tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA,
menyebakan sekarang ini semakin banyaknya dibuat kebijakan daerah dalam
bentuk Perda yang memberikan peluang besar untuk privatisasi di bidang
pengeloaan sumber daya air. Keyakinan Pemerintah terhadap privatisasi di
bidang SDA ini membuat pemerintah seolah reaktif dengan segera
melahirkan kebijakan yang memberikan peluang besar kepada investor baik
asing maupun domestik dalam usaha berkenaan dengan sumber daya air di
Indonesia. Sekarang ini nampaknya bangsa kita sedang mengalami proses
dehumanisasi yang sering mengakibatkan kebijakan-kebijakan negara yang
tidak pro rakyat.28
Kajian tentang demokrasi ekonomi yang tertuang dalam pasal 33 UUD
1945, bahwa demokrasi ekonomi itu pada prinsifnya memiliki ciri positif,
yaitu :
1. Perekonomian disusun atas usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara .
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
4. Sumber-sumber kekayaan dan keuangan Negara dipergunakan dengan
permufakatan lembaga- lembaga perwakilan rakyat, serta pengawasan
terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga perwakilan rakyat.
5. Warga negara memiliki kebebasaan dalam memilih pekerjaan yang
dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang
layak.
6. Hak perorangan di akui dan pemanfaaatannya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan masyarakat.
28
Rahmida, Kebijakan Negara Tentang Privatisasi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
Dalam Relevansinya Dengan Keadilan Sosial Ekonomi, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume
6, h. 11, No. 2012
62
7. Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga Negara diperkembangkaan
sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umun. 8.
Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.29
Partisipasi sektor swasta, yang lazim juga disebut dengan privatisasi,
dipandang sebagai sebuah jalan keluar dalam memberikan pelayanan publik
yang tidak efisien, berbelit-belit dan cenderung koruptif karena birokrasi
negara yang membesar. Birokrasi negara yang membesar disebabkan
setidaknya oleh tiga hal: kebutuhan pelayanan publik yang semakin banyak,
keinginan birokrasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik dan
meningkatnya sumber daya untuk pemenuhan pelayanan publik.
Gagasan yang mendukung pravitiasasi air di Indonesia beralasan bahwa
bila negara tidak mampu menjamin pemenuhan hak-hak asasi manusia atas
air, maka penyediaan air dilakukan oleh pihak ketiga. Negara harus
melakukan pengaturan terhadap kepatutan penguasaan terhadap sumber air,
keterjangkauan harga, jaminan terhadap kesehatan air. Demi terwujudnya hal-
hal tersebut, suatu sistem pengaturan harus dibuat. Dapat pula dibentuk suatu
badan pengawas independen, partisipasi publik, dan sanksi terhadap
pelanggaran.
Berdasarkan Undang-Undang No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air telah memberikan hak guna usaha air secara luas kepada swasta untuk
ikut mengelola sumber daya air, sehingga muncul pemahaman terhadap
fungsi sosial dan fungsi ekonomi serta terjadinya usaha privatisasi dan
komersialisasi sumber daya air yang merugikan masyarakat.30
Pengaturan
lainnya terdapat dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001, dalam ketetapan
tersebut ditegaskan arti dari pentingnya sumber daya alam sebagai suatu
kekayaan nasional dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat
Indonesia. Ketetapan ini mengamanatkan pengelolaan secara optimal
terhadap sumber daya alam, khususnya air sebagai bentuk rasa syukur atas
29
Soementoro, Hukum Ekonomi, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 23. 30
Albertus Sentot Sudarwanto, Dampak Dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya Air Terhadap Manajemen Air untuk Kesejahteraan Masyarakat,
Yustisia. Vol. 4 No. 2 Mei – Agustus 2015
63
kekayaan alam yang diberikan oleh Tuhan. Hal ini untuk mewujudkan cita-
cita luhur yang terdapat dalam pembukaan UUD NKRI 1945 yang menuntut
keseriusan komitmen politik pemerintah dalam mewujudkannya.
Atas latar pertimbangan di atas, Mahkamah Konstitusi menghapus
keberadaan seluruh pasal dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air yang diajukan oleh pimipinan pusat Muhammadiyah dkk.
Pasalnya dalam UU tersebut dianggap belum, atau bahkan tidak menjamin
pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta. Kondisi demikian secara
substantif, dinilai bertentangan dengan UUD NKRI 1945. Dengan
dibatalkannya Undang-undang tersebut, kala itu MK memutuskan untuk
kembali ke Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan untuk
mencegah kekosongan hukum sampai pembentukan UU yang baru.31
Berdasarkan putusan MK dengan perkara No. 85/PUU-XI/2013 yang
diputus oleh Mahkamah Konsitusi pada tanggal 18 Februari 2015 yang isi
putusannya membatalkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air, setidaknya ada enam pembatasan yang harus diperhatikan
dan ditegakkan oleh Pemerintah ketika Pemerintah hendak membuka keran
investasi atau pengusahaan air kepada swasta. Keenam pembatasan tersebut
adalah:
a. Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan,
apalagi meniadakan hak rakyat atas air, karena bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya selain harus dikuasai oleh negara, juga
peruntukannya adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
b. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air. Sebab akses terhadap air
adalah hak asasi tersendiri, sementara Pasal 28I Ayat (4) menyatakan
bahwa “perlindungan, pemajuan, pengakuan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
c. Harus mengingat kelestarian lingkungan hidup, sebab sebagai salah satu
hak asasi manusia, Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa
“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
31
Samsul Wahidin, Hukum Sumber Daya Air,… h.15.
64
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh
pelayanan kesehatan.”
d. Sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak yang harus oleh negara (vide Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945 dan air
yang menurut Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 harus dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat maka
pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak.
e. Sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan karena air merupakan
sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak maka prioritas
utama yang diberikan pengusahaan air adalah Badan Usaha Milik Negara
(State-Owned Enterprises) atau Badan Usaha Milik Daerah (Regional-
Owned Enterprises), dan
f. Apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas sudah terpenuhi dan
ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah masih dimungkinkan
untuk memberikan izin kepada badan usaha swasta untuk melakukan
pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
Privatisasi harus didahului dengan tindakan seleksi atas perusahaan-
perusahaan dan mendasarkan pada kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah. Terhadap perusahaan yang telah diseleksi dan memenuhi kriteria
yang telah ditentukan, setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Keuangan,
selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat serta dikonsultasikan kepada
DPR. Privatisasi harus mendapat persetujuan dari DPR dan tata cara
privatisasi sesuai ketentuan Pasal 83 UU BUMN diatur lebih lanjut pada
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi
Perusahaan Perseroan (Persero).
Perspektif konstitusional pengelolaan sumber daya air dapat ditemukan
dalam dua sumber yakni naskah konstitusi itu sendiri dan putusan Mahkamah
Konstitusi. Dalam UUD 1945, air disebut secara eksplisit dalam ketentuan
Pasal 33 ayat (2). Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 058-059-
060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005 serta Putusan No. 85/PUU-
XI/2013 maka setidaknya ada empat pertimbangan yang mendasari bangunan
65
perspektif konstitusional yang dihadirkan Mahkamah Konstitusi dalam
pengelolaan sumber daya air yakni: (1) relasi antara negara, rakyat dan air;
(2) Jaminan hak asasi atas air dalam UU SDA; (3) Penguasaan air oleh
negara; dan (4) Pembatasan dalam pengusahaan air.
Pertimbangan pertama mengenai relasi antara negara, rakyat dan air
menekankan pada keharusan adanya campur tangan negara dalam pengaturan
air berdasarkan dua pertimbangan. Pertama, pertimbangan mengenai
kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi
akses terhadap air. Terkait hal tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan
dalam putusannya bahwa:
“Menimbang bahwa pengakuan akses terhadap air sebagai hak asasi
manusia mengindikasikan dua hal, di satu pihak adalah pengakuan terhadap
kenyataan bahwa air merupakan kebutuhan yang demikian penting bagi hidup
manusia, di pihak lain perlunya perlindungan kepada setiap orang atas akses
untuk mendapatkan air. Demi perlindungan tersebut perlu dipositifkan hak
atas air menjadi hak yang tertinggi dalam bidang hukum yaitu hak asasi
manusia. Permasalahan yang timbul kemudian adalah bagaimana posisi
negara dalam hubungannya dengan air sebagai benda publik atau benda sosial
yang bahkan telah diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Sebagaimana hak-hak asasi manusia lainnya posisi negara dalam
hubungannya dengan air sebagai benda publik atau benda sosial yang bahkan
telah diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sebagaimana hak-hak
asasi manusia lainnya posisi negara dalam hubungannya dengan
kewajibannya yang ditimbulkan oleh hak asasi manusia, negara harus
menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya (to
fulfill).”
Kewajiban negara yang demikian tidak hanya dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan sekarang tetapi juga harus berkesinambungan untuk
masa depan sebab terkait erat dengan eksistensi manusia. Kedua,
pertimbangan mengenai karakter/ sifat air yang khusus di mana kebutuhan
manusia akan air tidak bergantung pada tempat tinggalnya. Terkait
66
karakter/sifat air yang khusus, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya
menerangkan bahwa:
“Sifat air berbeda dengan sumber daya alam udara yang relatif secara
bebas dapat diperoleh di mana saja. Kondisi alam menyebabkan ketersediaan
air tidak selalu terdistribusi sejalan dengan penyebaran manusia yang
memerlukan air bagi kehidupannya. Pada hal, kebutuhan manusia akan air
bagi kehidupannya tidak tergantung oleh tempat tinggalnya. Artinya, ada atau
tidak tersedianya air di satu tempat tidak akan mengurangi kebutuhan
manusia akan air.”
Pertimbangan kedua yang berkenaan dengan jaminan hak asasi atas air
mewajibkan bahwa dalam undang-undang mengenai sumber daya air harus
ada jaminan oleh negara akan hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi
kehidupan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kebutuhan hidup
layak. Jaminan seperti ini sebenarnya terdapat dalam UU 7/2004 yang telah
dibatalkan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5
yang berbunyi, “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air
bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang
sehat, bersih dan produktif.” Namun, Mahkamah Konstitusi menegaskan
dalam putusannya bahwa jaminan negara ini harus dijabarkan secara lebih
rinci dalam bentuk tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Provinsi serta
pemerintah Kabupaten/Kota dengan tetap mendasarkan pada penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak asasi atas air. Meskipun UU 7/2004 telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi namun substansi pengaturan
sebagaimana ketentuan Pasal 5 UU tersebut yang diikuti dengan penjabaran
tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah menjadi aspek penting
yang seharusnya diatur dalam undang-undang mengenai sumber daya air
yang akan dibentuk kemudian. Hal ini mengingat UU 11/1974 tidak memuat
substansi pengaturan yang demikian. Tidak pula terdapat penjabaran yang
rinci mengenai tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.
Pertimbangan ketiga tentang penguasaan oleh negara menegaskan
bahwa karena air adalah res commune maka pengaturan air harus tunduk pada
67
ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Konsep penguasaan ini secara umum
merujuk pada tafsir atas frasa “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD
1945 yang telah menjadi konsep dasar hak menguasai negara atas sumber
daya alam termasuk namun tidak terbatas pada sumber daya air yang meliputi
kegiatan merumuskan kebijakan (beleid), melakuan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan
pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan
(toezichthoudensdaad). Berdasarkan konsep demikian maka penggunaan air
selain untuk pemenuhan kebutuhan pokok minimal harus dilakukan
berdasarkan izin yang diberikan oleh pemerintah.
Pertimbangan keempat adalah mengenai pembatasan dalam
pengusahaan air. Pembatasan ini pada dasarnya terkait erat dengan ketiga
perspektif sebelumnya. Pembatasan-pembatasan tersebut diterapkan agar hak
asasi atas air terpenuhi dan bahwa pemerintah bisa menjalankan
kewajibannya untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi
hak asasi tersebut yang juga sangat terkait dengan hak asasi lainnya yakni hak
atas lingkungan hidup yang sehat serta penguasaan negara atas sumber daya
air baik sebagai kekayaan alam maupun sebagai cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Peran BUMN
atau BUMD yang juga termasuk dalam pembatasan yang diputuskan
Mahkamah Konstitusi menegaskan kehadiran negara dan membatasai peran
swasta dalam pengelolaan sumber daya air. Bahkan, dalam putusannya,
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa swasta dapat diberi izin untuk
mengushakan air setelah hak warga negara atas air teah terpenuhi semua dan
masih ada ketersediaan air untuk diusahakan. Mekanisme perizinan dalam
pengusahaan air menjadi instrumen kontrol agar negara tidak kehilangan
kendali atas pengeleolaan sumber daya air.
Dari kesemua perspektif tersebut, penekanannya adalah bahwa air harus
dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Oleh karena itu, penguasaan atas air oleh negara dilakukan dengan
maksud semata-mata agar air dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Bila
68
merujuk pada public trust doctrine maka dalam hal ini penguasaan oleh
negara atas air tersebut mengandung pengertian bahwa penguasaan tersebut
merupakan amanah yang dipercayakan rakyat kepada negara yang berarti
menempatkan rakyat sebagai pemberi amanah dan negara sebagai penerima
amanah.32
Dalam kaitan ini, putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus UU
SDA dan memberlakukan kembali pada UU Pengairan, konsistensi dari
keputusan tersebut patut dipertanyakan, adakah pengingkaran terhadap
pelaksanaannya, adakah jiwa kebersamaan di dalam pengelolaan air masih
dalam semangat kebersamaan yang berpihak kepada rakyat.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka
kepada para pihak yang menjadi adressat, seluruh lembaga negara,
penyelenggara negara dan seluruh warga negara yang terkait dengan putusan
tersebut harus mematuhi dan melaksanakannya. Hal inilah yang kemudian
memunculkan dan berlakunya asas erga omnes pada putusan Mahkamah
Konstitusi karena Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang
tidak hanya mengikat para pihak (inter parties) akan tetapi juga harus ditaati
oleh siapapun (erga omnes). Asas erga omnes tercermin dari ketentuan yang
menyatakan bawa putusan Mahkamah Konstitusi langsung dapat
dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang
berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain. Ketentuan
tersebut merefleksikan kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya
secara publik
Permasalahan kemudian muncul ketika putusan Mahkamah Konstitusi
acapkali tidak serta merta dilaksanakan oleh para pihak yang berperkara,
lembaga negara, penyelenggara negara dan juga warga negara yang terkait
dengan putusan tersebut dengan berbagai alasan. Fakta empiris menunjukkan
bahwa ternyata, kekuatan dari putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat
final dan mengikat serta berlakunya asas erga omnes dari putusan Mahkamah
32
Helmi Kasim dan Titis Anindyajati, Perspektif Konsititusional kedudukan negara dan
swasta dalam pengelolaan sumber daya air menurut UUD 1945, Jurnal Konsititusi Vol. 13, Nomor
2, Juni 2016.
69
Konstitusi tidak dapat serta merta menjadikan putusan tersebut
diimplementasikan secara konkret (non-excutiable) dan hanya mengambang
(floating execution).
Dalam realitas empirik, masalah implementasi putusan Mahkamah
Konstitusi seringkali mengalami kesulitan, setidaknya menunjukkan banyak
variasi masalah dan pola implementasinya. Persoalan implementasi putusan
Mahkamah Konstitusi setidaknya disebabkan oleh 3 (tiga) hal yaitu: (1)
sebagaimana dituangan dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD RI 1945, putusan
Mahkamah Konstitusi hanya bersifat final akan tetapi tidak disertai kata
mengikat sehingga terkadang dipersepsikan tidak mengikat; (2) Mahkamah
Konstitusi tidak memiliki unit eksekutor yang bertugas menjamin aplikasi
putusan final (special enforcement agencies); dan (3) putusan final sangat
bergantung pada cabang kekuasaan negara yang lain yakni eksekutif dan
legislatif, yaitu kerelaan dan kesadaran untuk melaksanakan putusan.33
Dampak dibatalkannya Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air mempunyai pengaruh bagi Pemerintah (eksekutif), badan
usaha pengelola Air, maupun masyarakat.
a. Dampak Bagi Pemerintah
1). Berimplikasi kepada peraturan perundang-undangan sebagai aturan
pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tidak berlaku,
sehingga sebagai payung hukum diberlakukan kembali Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
2). Negara mempunyai hak menguasai sumber daya air, prioritas utama
menguasai atas air diberikan kepada Badan Usaha Milik
Negara(BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
b. Dampak bagi Badan Usaha Pengelola Air
1). Dibatalkannya Undang-undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air (SDA) berimplikasi turunan peraturan sebagai peraturan
pelaksanaannya menjadi batal sehingga hilangnya payung hukum yang
33
Fadzlun Budi Sulistyo Nugroho, “Sifat Keberlakuan Asas Erga Omnes Dan Implementasi Putusan
Mahkamah Konstiusi”, Jurnal Gorontalo Law Review, Volume 2 No. 2, Oktober 2019.
70
menjadi dasar penerbitan ijin pengambilan air bagi Badan Usaha
Pengelola Air baik ditingkat pusat maupun daerah.
2). Untuk proses pengusahaan air bagi Badan Usaha Pengelola Air Swasta
harus bermitra dengan BUMN atau BUMD diwilayahnya.
3). Akan berdampak pada terhambatnya iklim yang tidak kondusif dan
proses investasi yang belum ada kepastian hukumnya untuk mengatur
pendirian industri berbasis air di Indonesia.
c. Dampak Bagi Masyarakat
1). Dibatalkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Airakan berdampak positif dalam kehidupan masyarakat secara
luas. Artinya semangat hak masyarakat atas air bisa terpenuhi sesuai
landasan konstitusional UUD 1945 Pasal 33 ayat (3).
2). Kekayaan alam berupa air bisa sepenuhnya dimanfaatkan untuk
kemakmuran masyarakat dan kesempatan komersialisasi air oleh
perusahaan swasta harus diatur dan diawasi secara ketat.
3). Akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya airterbuka lebar,
artinya harus menempatkan masyarakat pada akses yang lebih besar
dalam rangka memperkuat daya tawar masyarakat sipil.
Jika dilihat dari pengelolaannya terutama terkait tentang pengusahaan
air bersih, ada perbedaan yang mendasar yaitu bagi pihak swasta yang
melaksanakan pengusahaan air pasca dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004
dan memberlakukan kembali pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya
air menurut UU No. 11 Tahun 1974, bahwa pihak swasta cukup meminta izin
pemerintah pusat akan tetapi syaratnya wajib berpedoman pada usaha
bersama dan kekeluargaan (koperasi), jika menurut UU No. 7 Tahun 2004,
boleh dilakukan swasta dengan skema izin guna air usaha air, tidak
disyaratkan adanya badan koperasi. Dengan hilangnya syarat berbadan
koperasi ini, maka hak guna usaha air sudah mencerminkan privatisasi air
untuk perdagangan.
71
Sehingga setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18
Februari 2015 perihal putusan perkara Nomor 85/PUU-XI/2013 yang
membatalkan seluruh isi dalam Undang-Undang Nomor Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air dan mengembalikan pengelolaan air ke
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang pengairan, maka sistem
pengusahaan air seharusnya menggunakan sistem usaha bersama atas dasar
kekeluargaan jika dikelola oleh swasta, atau negara mengambil alih
pengelolaan air.34
34
Muhammad Azil Maksur, Kebijakan Pengelolaan Air Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi tentang Undang-Undang Sumber Daya Air, Jurnal Konstitusi, Vol 16 No 3, September
2019.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasill pembahasan yang telah dipaparkan dan dianalisa, maka
peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa:
1. Berdasarkan amanat konstitusi yang ditegaskan dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 secara implisit menyatakan bahwa hakikatnya negara
memiliki trias obligation yakni kewajiban untuk menghornati,
melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia terhadap air. Dengan
demikian peran negara dalam pengelolaan sumber daya alam khusus
sumber daya air sangat vital dan dominan karena negara memiliki
wewenang yang besar dalam hal mengatur, mengawasi, serta mengelola
sumber daya air untuk kelangsungan hajat hidup banyak manusia.
Ditambah lagi dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah
membatalkan UU Sumber Daya Air, memberikan konsekuensi dan
implikasi hukum bagi negara untuk mengambil alih pengelolaan
sumber daya air dari swasta yang selama ini sudah masif dan
berlangsung lama. Karena apabila privatisasi air masih terus dilakukan
di tengah krisis air yang melanda, hal tersebut dapat menimbulkan tidak
terpenuhinya hak seluruh rakyat Indonesia untuk menikmati air dengan
mudah dan terjangkau. Privatisasi air secara masif merupakan paham
liberal kapitalistik dalam mengeksploitasi sumber daya air secara
materialistik yang semata-mata untuk mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya dan bukan untuk melaksanakan pelayan publik seperti
yang melekat pada tanggungjawab negara.
2. Implementasi privatisasi air di Indonesia masih sangat dimungkinkan
terjadi berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Namun dalam
penerapannya, negara wajib mengintervensi setiap tahapan pengelolaan
air oleh swasta dengan cara memberikan izin dan pengawasan yang
sangat ketat dan harus memastikan terlebih dahulu bahwa hak atas air
73
seluruh rakyat Indonesia sudah terpenuhi. Karena air bukan benda yang
hanya dapat dimanfaatkan nilai ekonomisnya (economic value) akan
tetapi fungsi sosial dan lingkungan juga harus diutamakan.
B. Rekomendasi
Dari hasil pembahasan serta analisis yang telah dipaparkan
sebelumnya, maka penulis memiliki saran terhadap pengelolaan sumber daya
air di Indonesia sebagai berikut:
1. Pemerintah sudah seharusnya mengambil alih pengelolaan sumber
daya air dari swasta melalui program remunisipalisasi dan
mengembalikan pelaksanaannya kepada BUMN maupun BUMD.
Pemerintah seharusnya dapat mengontrol izin dan pengawasan yang
ketat apabila mengizinkan pengelolaan air oleh swasta dengan syarat
hak atas air seluruh rakyat Indonesia telah terpenuhi sebelumnya.
2. Pemerintah dan Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-
Undangan harus segera merevisi UU SDA dan peraturan di bawahnya
yang lebih komprehensif agar terdapat kepastian hukum dalam
menerapkan pengelolaan sumber daya air.
3. Pemerintah seharusnya mengajak partisipasi publik maupun LSM
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air untuk
bekerjasama dalam mengurus sektor sumber daya alam di Indonesia
dengan prinsip kekeluargaan. Dengan partisipasi dan keterbukaan
terhadap publik tersebut diharapkan dapat mengoptimalisasi institusi
dan memperbaiki pendistribusian air secara merata dan berkeadilan.
4. Pemerintah maupun aparat penegak hukum disarankan dapat
bertindak tegas dalam menindak korporasi yang dalam pengelolaan
air tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dapat merusak
lingkungan dan tidak memerhatikan kesehatan manusia serta
mengurangi ketersediaan air bagi masyarakat sekitar.
74
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press,
2005)
Asshiddiqie, Jimly, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer
Kelompok Gramedia, 2009)
Asshidiqie, Jimly Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (Jakarta: Rajawali, 2010)
Azhary, Tahir, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
Azhary, Tahir, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur‐ unsurnya,
(Jakarta: Ul‐Press, 1995)
Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999)
Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, (Ithaca, 2003:Cornell University
Press)
Effendi, Masyhur, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994)
Erwiningsih, Winahyu, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, (Yogyakarta: Penerbit Total Media,
2009)
Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987)
Hajati, Sri dan Sri Winarsi, Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan, (Surabaya: Airlangga
University Press, 2018)
Handoyo, Hestu Cipto, Hukum Tata Negara Indonesia, Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi,
(Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2009)
Harjiyanti, Francisca Romana, Memperjuangkan Hak Rakyat atas Air dalam Hukum Positif
Iindonesia (Yogyakarta: Janabadra, 2016)
Heyneardhi, Henry dan Savio Wermasuban, Dagang Air: Perihal Peran Bank Dunia dalam
Komersialisasi dan Privatisasi Layanan Atas Air di Indonesia (Salatiga: Widya Sari Press, 2004),
HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011)
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya : Bayumedia
Publishing, 2005)
Ilmar, Aminuddin, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012)
Iver, Mac, The Modern State, (London: Oxford University Press, 1950)
Jean-Jacques Rouseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik, Alih Bahasa:
Sundari Husen dan Rahayu Hidayat, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989)
Jundiani, Perlindungan Hak Rakyat atas Sumber Daya Air, (El-Qisth, Malang, 2006)
75
Juniarso, Ridwan dan Achmad Sodik, Hukum Tata Ruang, Dalam Konsep Kebijakan Otonomi
Daerah (Bandung: Nuansa, 2008)
Kartodiharjo, Hariadi dan Hira Djamtani, Politik Lingkungan Hidup dan Kekuasaan di Indonesia,
(Jakarta: Equinoq Publishing, 2006)
Kertonegoro, Sentanoe, Jaminan Sosial dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Mutiara
Sumber Widya, 1987)
Keynes, John Maynard, The General Theory of Employment, Interest and Money, (London:
Harvest, 1953)
Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004)
Muhtaj, Majda El, Dimensi-Dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2009)
Nasution, Bahder Johan, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bandung: Mandar Maju, 2011)
Nickel, James W, Hak Asasi Manusia Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996)
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asal Ilmu Negara dan Politik, (Eresco: Jakarta, 1981)
Qamar, Nurul, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2014)
Riyadi, Eko, Hukum Hak Asasi Manusia( Depok: Rajawali Press, 2018)
Santoso, Ahmad, Demokratisas Pengelolaan Sumber Daya Alam, (Jakarta: Indonesian Center for
Enviromental Law, 1999)
Saragih, Djaren, Dunia Hukum Sebagai Dunia Nilai-Nilai (Surabaya: Pusat Studi Hukum
Pembangunan Fakultas Hukum UNAIR, 1977)
Shiva, Vandhana, Water Wars: Privatisasi Profit dan Polusi, (Yogyakarta: Insist Press. 2003)
Silalahi, Daud, Pengaturan Hukum Sumber Daya Air dan Lingkungan di Indonesia, (Bandung:
Alumni, 2006)
Sinamo, Nomensen, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Bumi Intitama Sejahtera, 2009)
Soekanto, Soerjono dan Sri, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
2011)
Soemantri, Sri dan Bintan R. Saragih, Ketatanegaraan Indonesia dalam Kehidupan Politik
Indonesia 30 Tahun ke UUD NRI 1945.( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983)
Soeprapto, Maria Farida Indrati , Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya,
(Jakarta: Kanisius, 1998)
Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT Refika Aditama,
2009)
Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro Rakyat, (Semarang: Surya Pena Gemilang,
2009)
Suteki, Membangun Politik Hukum Sumber Daya Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia,
(Yogyakarta: Thafa Media, 2015)
76
Thalib, Dahlan dkk,Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2008)
Tim Kruha, Kemelut Sumberdaya Air Menggugat Privatisasi Air Di Indonesia, (Yogyakarta:
LAPERA Pustaka Utama, 2005
Triyanto, Negara Hukum dan HAM, (Yogyakarta: Ombak, 2013)
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1985)
Wahidin, Samsul, Hukum Sumber Daya Air, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016)