konsep syariah dalam membangun karakter islami€¦ · kepentingan penciptanya. 2) universal,...
TRANSCRIPT
-
KONSEP SYARIAH DALAM MEMBANGUN KARAKTER
ISLAMI
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Penyusun :
Kelompok A3
1. Diah Ayu Kusumaningrum NPM 193101096 2. Dwi Ayu Nurhanisa NPM 193101050 3. Fitria Kumala Sari NPM 193101053 4. Laily Nur Safitri NPM 193101094 5. Niken Risma Wanda NPM 193101120 6. Mafida Kusumaningrum NPM 193101052 7. Vini Elwida Ramadhanti NPM 193101060
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI BISNIS
POLITEKNIK NEGERI MADIUN
November 2019
-
1
KONSEP DAN TUJUAN SYARIAH ISLAM
Pengertian Syariah Islam
Syariah Islam berasal dari kata syara', secara etimologi berarti "jalan-jalan yang
bisa di tempuh air", maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju
allah. Bagi umat Islam syari‟ah adalah” tugas umat manusia secara menyeluruh” meliputi
moral, teologi, etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah formal dan ritual yang
rinci. Syari‟ah mencakup seluruh aspek hukum publik dan perorangan, kesehatan bahkan
kesopanan dan pembinaan budi. Mengingat syari‟ah merupakan pedoman dalam
hubungannya dengan Allah, sesama, dan lingkungan hidupnya. Mahmud Syaltut bahwa
syari‟at adalah hukum Allah atau peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada manusia
untuk dijadikan pedoman dalam hubungannya secara tiga dimensi.
Syariat Islamiyyah adalah hukum atau peraturan Islam yang mengatur seluruh
sendi kehidupan umat Islam. Selain berisi hukum, aturan dan panduan peri kehidupan,
syariat Islam juga berisi kunci penyelesaian seluruh masalah kehidupan manusia baik di
dunia maupun di akhirat. Syariat Islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal, sehat,
dan telah menginjak usia baligh atau dewasa. (dimana sudah mengerti /memahami segala
masalah yang dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi anak laki-laki, yaitu apabila
telah bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, sedangkan bagi anak wanita adalah
jika sudah mengalami datang bulan (menstruasi). Bagi orang yang mengaku Islam,
keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan dalam firman Allah SWT.
"kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari
agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang
yang tidak mengetahui." (QS. Jatsiyah: 18).
Syariat Islam ini, secara garis besar, mencakup tiga hal:
a. Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam gaib yang tak
terjangkau oleh indera manusia (Ahkam syar'iyyah I'tiqodiyyah) yang menjadi
pokok bahasan ilmu tauhid.
b. Petunjuk untuk mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia
agar menjadi makhluk terhormat yang sesungguhnya (Ahkam syar'iyyah
khuluqiyyah) yang menjadi bidang bahasan ilmu tasawuf (ahlak).
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukumhttp://contohdakwahislam.blogspot.com/2013/02/contoh-dakwah-islam-agama-islam.html
-
2
c. Ketentuan-ketentuan yang mengatur tata cara beribadah kepada Allah SWT atau
hubungan manusia dengan Allah (vetikal), serta ketentuan yang mengatur
pergaulan/hubungan antara manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya.
Syariah islam adalah ketetapan Allah SWT, maka memiliki sifat-sifat antara lain:
1) Umum, maksudnya syariat Islam berlaku bagi segenap umat Islam di seluruh
penjuru dunia, tanpa memandang tempat, ras, dan warna kulit. Berbeda dengan
hukum perbuatan manusia yang memberlakukannya terbatas pada suatu tempat
karena perbuatannya berdasarkan faktor kondisional dan memihak pada
kepentingan penciptanya.
2) Universal, maksudnya syariat Islam mencakup segala aspek kehidupan umat
manusia. Ditegaskan oleh Allah SWT. "Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan
di dalam Kitab (Al-Qur'an)." (QS. 6/An-An'am: 38). Maksudnya di dalam Al-
Qur'an itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-
hikmah, dan tuntunan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat
Bukti bahwa hukum Islam mencakup segala urusan manusia, berikut kami petikkan
beberapa ayat Al-Qur'an, antara lain:
a). Tentang ekonomi dan keuangan.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang-piutang untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar." (QS. Al-Baqarh [2] : 282].
b). Tentang usaha dan kerja.
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya." (QS.
An-Najm [53] : 39).
c). Tentang peradilan.
"...dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil." (QS. An-Nisa [4] :58).
-
3
d). Tentang militer.
"Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan
kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan
musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya." (QS. Al-Anfal [8]: 60)
e). Tentang masalah perdata.
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji." (QS. Al-Maidah [5] : 1).
Maksudnya adalah janji kepada Allah, janji terhadap sesama manusia, dan janji
kepada diri sendiri.
3) Orisinil dan abadi, maksudnya syariat ini benar-benar diturunkan oleh Allah
SWT, dan tidak akan tercemar oleh usaha-usaha pemalsuan sampai akhir zaman.
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang
memeliharanya." (QS. Al-Hijr [151] : 9).
Firman Allah tersebut telah terbukti. Beberapa kali umat lain gagal memalsukan
ayat-ayat Al-Qur'an.
4) Mudah dan tidak memberatkan. Kalau kita mau merenungkan syariat Islam
dengan seksama dan jujur, akan kita dapati bahwa syariat Islam sama sekali tidak
memberatkan dan tidak pula menyulitkan.
"Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
[QS. Al-Baqoroh [2] : 286).
Bukti-bukti bahwa syariat ini mudah dan tidak memberatkan, bisa kita dapati
antara lain bagi:
http://contohdakwahislam.blogspot.com/2013/02/contoh-dakwah-islam-agama-islam.html
-
4
a. Orang yang bepergian (Musafir) mendapat keringanan boleh mengqoshor
(memendekkan sholat yang empat rokaat menjadi dua rokaat), dan boleh tidak
berpuasa dengan catatan harus menggantinya pada hari yang lain.
b. Orang yang sedang sakit tidak diharuskan bersuci dengan wudhu, melainkan
dengan tayammum yakni menggunakan debu. Dalam menunaikan sholat pun
jika tidak sanggup berdiri, boleh dengan duduk, atau bahkan boleh sambil
merebahkan diri.
c. Percikan najis dari genangan air di jalanan, apabila mengenakan pakaian,
dimaafkan karena itu sulit di hindarkan.
d. Dalam keadaan terpaksa, tidak ada secuil pun makanan untuk mengganjal perut,
makanan yang telah diharamkan seperti bangkai, boleh dimakan asalkan tidak
berlebihan.
5) Seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat. Islam tidak memerintahkan
umatnya untuk mencari kesenangan dunia semata, sebaliknya juga tidak
memerintahkan pemeluknya mencari kebahagiaan akhirat belaka. Akan tetapi
Islam mengajarkan kepada pemeluknya agaromencari kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat kelak. Ayat-ayat Al Quran yang mensuratkan keseimbangan antara
kehidupan dunia dan akhirat, antara lain:
"Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia." (QS. Al-Qoshosh
[28] : 77).
“Dialah yang menjadikan malam untukmu (sebagai) pakaian, dan tidur untuk
istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha."
(QS. Al-Furqan [25] : 47).
http://contohdakwahislam.blogspot.com/2013/02/contoh-dakwah-islam-agama-islam.html
-
5
Tujuan Syariah Islam
Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim
Dirasah Islamiyah dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan
tujuan utama dari Syariat Islam, yaitu:
1) Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)
Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-
jawab yang hendak merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan
kebebasan untuk memilih agama, seperti ayat Al-Quran:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]:
256).
Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil‟alamin,
maka Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik
dan murtad:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa
yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-
Nisaa [4]: 48).
Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.
2) Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)
Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah
hukum qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan.
Seseorang yang telah membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah
mencederai orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain,
akan disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan
kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:
-
6
“Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash
(pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan,
atau diat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar.
“Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara
yang baik dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para calon
pembunuh akan berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai taruhannya.
Dengan begitu, jiwa orang beriman akan terpelihara.
3) Memelihara akal (Hifzh al-‘aqli)
Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia
dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah)
menuju manusia kamil.
Salah satu cara yang paling utama dalam memelihara akan adalah dengan
menghindari khamar (minuman keras) dan judi. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan sebagai
berikut:
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman
keras) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS Al-
Baqarah [2]: 219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa
perjudian.
-
7
4) Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)
Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat
Islam telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak
boleh dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan
emosional (dengan disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.
5) Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)
Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih
aman, karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti
yang tertulis di dalam Al-Quran:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
-
8
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan
alasan yang sangat kuat sebelum diputuskan. Jadi bukan berarti orang mencuri dengan
serta merta dihukum potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya
serta kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya mengambil beberapa butir buah
untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong tangan. Berbeda dengan para
koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan menyalahgunakan jabatannya, tentunya
hukuman berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi
andalan dalam menjaga suasana tertib masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.
-
9
MAKSUD DITURUNKANNYA SYARIAH ISLAM
Dalam hubungannya dengan agama, syariat adalah metode atau cara
melaksanakan agama. Sehingga, syariat juga dapat disebut sebagai program implementasi
agama (Busthanul Arifin, 1996:24). Syariat seperti pengertian diatas, berisi segala
ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan semua aspek kehidupan manusia yang
merupakan implementasi dari apa yang tercantum dalam agama.
Lalu ada istilah yang kemudian disebut dengan aturan atau undang-undang yang
dipilih oleh sekelompok manusia, yaitu hukum wadh‟i (positif). Hukum wadh‟i adalah
undang-undang yang dipilih oleh umat sebagai pedoman untuk mengurus hal-hal yang
berhubungan dengan individu dan mengatur kehidupan secara universal. Hanya saja,
hukum ini dirasakan terbatas cakupannya dalam kebutuhan manusia. Hal ini tentu saja
terjadi, karena hukum tersebut merupakan buatan manusia. Meskipun memiliki
pengetahuan yang tinggi, tetap saja manusia memiliki keterbatasan dan tidak mengetahui
sesuatu yang ghaib.
Oleh karena itu, manusia harus memiliki hukum langit (tasyri‟ samawi) melebihi
aturan-aturan yang dibuat oleh manusia sehingga mencakup semua kebutuhan mereka,
seperti mengatur hubungan dan interaksi sebagian manusia terhadap sebagian yang lain
dengan sempurna. Serta mendidik manusia dengan kekuatan akidah yang dapat
memelihara diri, baik dalam keadaan sunyi maupun terang-terangan serta menegakkan
pertahanan jiwa (Muhammad Ali As-Sayis, 2003:9-10).
Allah SWT berfirman yang artinya:
“….Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. . “ (QS.al-Maidah [5] :48)
Perbedaan antara hukum samawi dan hukum wadh‟i dapat dipandang dari
berbagai segi,diantaranya:
a. Hukum samawi bertujuan untuk membentuk seseorang seperti berakhlak
baik. Di dalamnya terdapat cara mendidik kesucian hati, ketinggian jiwa,
ketanggapan perasaan, menyebarluaskan kewajiban, memperhatikan
kuatnya hubungan diantara seseorang dan saudaranya dan dengan Pencipta
secara sempurna. Hukum wadh‟i tidak demikian.
b. Hukum samawi itu positif dan negatif, dalam artian bahwa di dalamnya
terdapat perintah yang menghendaki kebaikan melalui janji yang baik.
-
10
Mencegah kemungkaran dan menjauhi larangan dengan ancaman yang
menakutkan dan larangan yang keras. Semua itu dimaksudkan untuk
menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan sebagai tujuan utama.
Hukum wadh‟i tidak demikian.
c. Hukum samawi merupakan hukum yang dianut, mengerjakannya
merupakan kekuatan yang diberi pahala dan menyalahinya merupakan
maksiat yang diberi siksa. Hukum wadh‟i lebih merupakan konsekuensi
duniawi.
d. Hukum samawi memperhitungkan amal perbuatan lahir, batin dan yang
akan datang, yang merupakan wasilah pada yang lain. Berbeda dengan
hukum wadh‟i yang tidak memperhitungkan hal tersebut.
e. Hukum samawi merupakan ciptaan Allah SWT, meliputi semua perbuatan
hamba-Nya baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Abadi dan
memenuhi apa yang mereka maksud dari segi kemaslahatan yang Allah
SWT ajarkan kepada mereka, hingga waktu yang ditentukan untuk hukum
itu. Hukum wadh‟i tidak demikian.
f. Terkadang hukum wadh‟i membolehkan apa yang diharamkan pada hukum
samawi. Sebagaimana juga melarang yang dibolehkan atau yang
diwajibkan dalam hukum samawi.
-
11
PERBEDAAN ANTARA SYARI’AH, FIQH, DAN HUKUM ISLAM
Fiqh dan Hukum Islam
Fiqh
Secara etimologis kata „fikih‟ berasal dari kata be rbahasa Arab: al-fiqh berarti
pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu. Dalam hal ini kata „ fiqh‟ identik dengan
kata „ fahm‟ yang mempunyai makna sama. Kata fikih pada mulanya digunakan orang-
orang Arab untuk seseorang yang ahli dalam mengawinkan onta, yang mampu
membedakan onta betina yang sedang birahi dan onta betina yang sedang bunting. Dari
ungkapan ini fikih kemudian diartikan „pengetahuan dan pemahaman yang mendalam
tentang sesuatu „hal‟.
Alquran menggunakan kata „fiqh‟ atau yang berakar kepada kata „ faqiha‟dalam
20 ayat. Dalam pengertian memahami, kata fiqh secara umum berada di lebih dari satu
tempat dalam Alquran.
Salah satunya pada surah Q.S At- Taubah [9] : 122 telihat kalimat „liyatafaqqahū fi al-
dīn‟ (ا ا)yang artinya „agar mereka melakukan pemahaman dalam agama‟ menunjukkan
bahwa di masa Rasulullah istilah fiqh tidak hanya dikenakan dalam pengertian hukum
saja, tetapi juga mempunyai arti yang lebih luas mencakup semua aspek dalam Islam,
yaitu aspek teologis, politis, ekonomis, dan hukum. Istilah lain yang searti dengan fiqh
adalah „ilm. Jadi, kata fiqh dan „ilm pada masa-masa awal digunakan dalam lingkup yang
lebih luas. Alasan penggunaannya secara umum di masa-masa awal, menurut Ahmad
Hasan, adalah bahwa yang ditentukan adalah landasan-landasan pokok agama.
Kebanyakan orang tidaklah terlibat dalam perincian-perincian yang kecil.
Seperti halnya syariah, fikih semula tidak dipisahkan dengan ilmu kalam hingga masa
al-Ma‟mun (w. 218 H.) dari Bani Abbasiah. Hingga abad II H. fikih mencakup masalah-
masalah teologis maupun masalah-masalah hukum. Sebuah buku yang berjudul al-Fiqh
al-Akbar, yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah (w. 150 H.) dan yang menyanggah
kepercayaan para pengikut aliran Qadariah, membahas prinsip-prinsip dasar Islam atau
masalah-masalah teologis. Karenanya, judul buku ini menunjukkan bahwa kajian ilmu
kalam juga dicakup oleh istilah fikih pada masa-masa awal Islam.
-
12
Adapun secara terminologis fikih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum
syara‟ yang bersifat amaliyah (praktis) yang digali dari dalil-dalil terperinci. Dari definisi
ini dapat diambil beberapa pengertian bahwa:
1. Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‟. Kata hukum di sini menjelaskan
bahwa hal-hal yang tidak terkait dengan hukum seperti zat tidak termasuk ke
dalam pengertian fikih. Penggunaan kata syara‟ ( syar‟i ) dalam definisi tersebut
menjelaskan bahwa fikih itu menyangkut ketentuan syara‟, yaitu sesuatu yang
berasal dari kehendak Allah. Kata syara‟ ini juga menjelaskan bahwa sesuatu
yang bersifat „aqli seperti ketentuan satu ditambah satu sama dengan dua, atau
yang bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas bukanlah cakupan ilmu
fikih.
2. Fikih hanya membicarakan hukum-hukum syara‟ yang bersifat amaliyah
(praktis). Kata „amaliyah‟ menjelaskan bahwa fikih itu hanya menyangkut
tindak-tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Karena itu, hal-hal yang bersifat
bukan amaliyah seperti keimanan (aqidah) tidak termasuk wilayah fikih.
3. Pemahaman tentang hukum-hukum syara‟ tersebut didasarkan pada dalil-dalil
terperinci, yakni Alquran dan Sunnah. Kata terperinci (tafshīli) menjelaskan dalil-
dalil yang digunakan seorang mujtahid (ahli fikih) dalam penggalian dan
penemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang
mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk dalam pengertian fikih.
4. Fikih digali dan ditemukan melalui penalaran para mujtahid. Kata digali dan
ditemukan mengandung arti bahwa fikih merupakan hasil penggalian dan
penemuan tentang hukum. Fikih juga merupakan penggalian dan penemuan
mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh dalil-dalil (nash) secara pasti.
Ilmu yang diperoleh para malaikat dan para Rasul Allah melalui wahyu tidak
dapat disebut fikih, karena tidak diperoleh melalui proses penggalian,
penganalisisan, dan pengambilan keputusan (sering disebut ilmu ladunni).
Karena, itu dalam fikih peran nalar mendapat tempat dan diakui dalam batas-
batas tertentu.
Adapun yang menjadi objek pembahasan ilmu fikih adalah perbuatan orang mukallaf.
Atau dengan kata lain, sasaran ilmu fikih adalah manusia serta dinamika dan
perkembangannya yang semuanya merupakan gambaran nyata dari perbuatan-perbuatan
orang mukallaf yang ingin dipolakan dalam tata nilai yang menjamin tegaknya suatu
kehidupan beragama dan bermasyarakat yang baik. Studi komprehensif yang dilakukan
oleh para pakar ilmu fikih seperti al-Qādi Husein, Imām al-Subki, Imām Ibn „Abd al-
-
13
Salām, dan Imām al-Suyūthi merumuskan bahwa kerangka dasar dari fikih adalah
zakerhijd atau kepastian, kemudahan, dan kesepakatan bersama yang sudah mantap. Pola
umum dari fikih adalah kemaslahatan (i‟tib ār al-mashālih).
Hukum Islam
Hukum islam merupakan gabungan dari kata “hukum dan “islam, kedua kata itu
secara terpisah merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab, Al-Quran dan juga
bahasa Indonesia baku. Namun “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata adalah
bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, tetapi kata ini tidaklah tepat untuk
mengartikan hukum isam karena tidak dipakai dalam bahasa Arab, Al-Quran atau
literatur Arab manapun.seperti yang dituliskan oleh Siti Rohmah (2013) dalam tesis nya,
bahawa istilah “Hukum Islam” adalah istilah keindonesiaan, yaitu upaya
mengkonvergesikan antara syariat dengan fiqh dalam satu bingkai yaitu Hukum Islam itu
sendiri. Dan keduanya tidak bisa berdiri sendiri-sendiri akan tetapi harus berjalan bareng
dan saling mengisi antara keduanya
Berdasarakan buku Garis-Garis Besar Fiqh
(Amir Syariffudin, 2003) Untuk
memahami pengertian hukum islam atau yang dalam bahasa melayu disebut Undang-
Undang Islam, perlu diketahui apa kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian
disadarkan dengan kata “islam”. Ada kesulitan dalam mendefinisikan kata “hukum”
dikarenakan pada setiap definisi yang ada memiliki kelemahan. Sederhananya hukum
adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok
masyarakat; disusun oleh orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku dan
mengikat seluruh anggotanya”. Bila kata tersebut disambungkan dengan kata “islam” atau
“syara” maka “hukum Islam” akan berarti : “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu
Allah dan atau Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat untuk semua yang beragama islam”
Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum
islam adalah peraturan-peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai
kekuatan yang mengikat”. Kata “yang berdasarkan wahyu Allah dan sunnah
rasul”menjelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada
wahyu Allah dan sunnah Rasul, atau yang populer disebut dengan “syari‟ah”.
Kata “tentang tingkah laku manusia mukallaf” mengandung arti bahwa hukum islam
itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai hukum. Peraturan tersebut
berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu
Allah dan sunnah Rasul itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
-
14
Bila artian sederhana tentang “Hukum Islam” itu dihubungkan kepada pengertian
“fiqh” yang mana fiqh adalah penyebutan hukum Islam dalam litratur berbahasa Arab.
Dengan demikina kajian Hukum Islam mengandung dua pokok yang masing masing luas
cakupan nya, yaitu :
1. Kajian tentang Perangkat Peraturan Terperinci yang bersifat amaliyah dan harus
diikuti umat islam dalam kehidupan beragama. Inilah yang secara sederhana disebut
“fiqh” dalam artian khusus dengan segala lingkup bahasannya.
2. Kajian tentang ketentuan serta cara dan usaha yang sistematis dalam menghasilkan
perngkat peraturan yang terinci itu disebut “Ushul fiqh” atau dalam arti lain “sistem
metodologi fiqh”.
Dari penjelasana diatas terlihat adanya ketidakpastian arti dari hukum islam antara
syariah dan fiqh. Jadi, kata hukum islam yang sering dijumpai pada literatur berbahasa
Indonesia secara umum mencakup syariah, fiqh dan bahkan ushul fiqh.
Ruang lingkup hukum Islam sangat berbeda dengan hukum Barat yang membagi
hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan hukum publik. Sama halnya dengan
hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum privat dan hukum
publik. Pembagian bidang-bidang kajian hukum Islam lebih dititikberatkan pada bentuk
aktivitas manusia dalam melakukan hubungan. Dengan melihat bentuk hubungan ini,
dapat diketahui bahwa ruang lingkup hukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia
dengan Tuhan (hablun minallāh) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun
minannās). Bentuk hubungan yang pertama disebut ibadah dan bentuk hubungan yang
kedua disebut muamalah. Dengan mendasarkan pada hukum-hukum yang terdapat dalam
Alquran, „Abd alWahhāb Khallāf membagi hukum menjadi tiga, yaitu hukum-hukum
i‟tiqādiyyat (keimanan), hukum-hukum khulūqiyyat (akhlak), dan hukum-hukum
„amaliyyat (aktivitas baik ucapan maupun perbuatan). Hukum-hukum „amaliyyat inilah
yang identik dengan hukum Islam yang dimaksud di sini. „Abd al-Wahhāb Khallāf
membagi hukumhukum „amaliyyat menjadi dua, yaitu hukum-hukum ibadah yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukum-hukum muamalah yang
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ruang
lingkup atau bidangbidang kajian hukum Islam ada dua, yaitu bidang ibadah dan bidang
muamalah.
Jika dibandingkan dengan hukum Barat yang membedakan antara hukum privat
dengan hukum publik, hukum Islam dalam bidang muamalah tidak membedakan antara
keduanya, karena kedua istilah hukum itu dalam hukum Islam saling mengisi dan saling
terkait. Akan tetapi, jika pembagian hukum muamalah yang tujuh di atas digolongkan
-
15
dalam dua bagian sebagaimana yang ada dalam hukum Barat, maka susunannya adalah
sebagai berikut: 1. Hukum perdata (Islam), yang meliputi: a. Ahkām al-ahwāl al-
syakhshiyyat, yang mengatur masalah keluarga, yaitu hubungan suami isteri dan kaum
kerabat satu sama lain. Jika dibandingkan dengan tata hukum di Indonesia, maka bagian
ini meliputi hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan Islam. b. Al-ahkām al-
madaniyyat, yang mengatur hubungan antar individu dalam bidang jual beli, hutang
piutang, sewa-menyewa, petaruh, dan sebagainya. Hukum ini dalam tata hukum
Indonesia dikenal dengan hukum benda, hukum perjanjian, dan hukum perdata khusus.
Dua Hukum publik (Islam), yang meliputi:
a) Al-ahkām al-jināiyyat, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh orang mukallaf dan hukuman-hukuman baginya. Di Indonesia hukum ini
dikenal dengan hukum pidana.
b) Ahkām al-murāfa‟āt, yang mengatur masalah peradilan, saksi, dan sumpah untuk
menegakkan keadilan. Di Indonesia hukum ini disebut dengan hukum acara.
c) Al-ahkām al-dustūriyyat, yang berkaitan dengan aturan hukum dan
dasardasarnya, seperti ketentuan antara hakim dengan yang dihakimi,
menentukan hakhak individu dan sosial.
d) Al-ahkām al-duwaliyyat, yang berhubungan dengan hubungan keuangan antara
negara Islam dengan negara lain dan hubungan masyarakat non-Muslim dengan
negara Islam. Di Indonesia hukum ini dikenal dengan hukum internasional.
e) Al-ahkām al-iqtishādiyyat wa al-māliyyat, yang berkaitan dengan hak orang
miskin terhadap harta orang kaya, dan mengatur sumber penghasilan dan sumber
pengeluarannya. Yang dimaksud di sini adalah aturan hubungan keuangan antara
yang kaya dengan fakir miskin dan antara negara dengan individu.
Beda Ketiga Hukum Islam
Terminologi syarî‟ah mencakup semua aspek dari ajaran Islam baik fiqh maupun
kalam. Syarî‟ah mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada fiqh yang meliputi
segala aspek kehidupan manusia sedangkan ruang lingkup fiqh lebih sempit dan
menyangkut hal–hal yang pada umumnya dipahami sebagai aturan-aturan hukum,
syarî‟ah senantiasa mengingatkan kita bahwa ia bersumber pada al-Qur‟ân dan Hadîts,
oleh sebab itulah arah dan tujuan syarî‟ah telah ditentukan oleh Allâh dan Nabi-Nya.
Sedangkan materi yang tercantum dari fiqh dalam perkembangannya disusun dan
diangkat atas usaha dan ijtihâd manusia.
Dalam fiqh suatu pekerjaan bisa saja dikatakan sah atau haram, boleh atau tidak,
sementara dalam syarî‟ah terdapat tingkatan diperbolehkan atau tidaknya. Dengan
-
16
demikian, fiqh merupakan terminologi tentang hukum sebagai salah satu ilmu, dalam fiqh
bisa saja terjadi perbedaan interprestasi antara para mujtahid sementara syarî‟ah lebih
merupakan perintah ilahi yang harus diikuti.
Ada suatu perbedaan yang dapat ditarik dari kesimpulan tersebut bahwa syarî‟ah
mencakup hak-hak serta prinsip-prinsip dari ajaran Islâm sedangkan fiqh berkaitan
dengan aturan–aturan hukum, syarî‟ah juga mencakup persoalan-persoalan teologi dan
etika sementara aksentuasi dan stressing fiqh lebih kepada persoalan-persoalan hukum
ijtihadiyah dan perumusan hukum-hukumnya melalui metode istidlâl sehingga dalam
perkembangan selanjutnya kata fiqh digunakan sebagai penunjuk hukum-hukum Islam
baik yang ditetapkan langsung oleh al-Qur‟ân dan Sunnah maupun yang telah di
interprestasikan oleh pemikiran manusia (ijtihâd). Selanjutnya istilah syarî‟ah erat
kaitannya dengan istilah tasyri', syarî‟ah ditujukan kepada materi hukum sedangkan
tasyri' merupakan penetapan materi dari hukum syarî‟ah tersebut, pengetahuan tentang
tasyri' berarti pengetahuan tentang cara, proses, dasar dan tujuan Allâh swt. menetapkan
hukum-hukum tersebut.
Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian fikih berbeda dengan syariah baik dari
segi etimologis maupun terminologis. Syariah merupakan seperangkat aturan yang
bersumber dari Allah Swt. dan Rasulullah Saw. untuk mengatur tingkah laku manusia
baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya (beribadah) maupun dalam rangka
berhubungan dengan sesamanya (bermuamalah). Sedangkan fikih merupakan penjelasan
atau uraian yang lebih rinci dari apa yang sudah ditetapkan oleh syariah. Adapun sumber
fikih adalah pemahaman atau pemikiran para ulama (mujtahid) terhadap syariah.
Perbedaan antara syari’ah dengan fiqih
a. Syariah
Berasal dari Al-Qur'an dan As-sunah
Bersifat fundamental
Hukumnya bersifat Qath'i (tidak berubah)
Hukum Syariatnya hanya Satu (Universal)
Langsung dari Allah yang kini terdapat dalam Al-Qur'an
b. Fiqih
Karya Manusia yang bisa Berubah
Bersifat Fundamental
Hukumnya dapat berubah
Banyak berbagai ragam
-
17
Berasal dari Ijtihad para ahli hukum sebagai hasil pemahaman manusia yang
dirumuskan oleh Mujtahid
Sedangkan perbedaan hukum islam adalah kenyataan bahwa hukum islam adalah
cakupan dari syaria, sunnah dan ijtihad yang menangani permasalahan anatara hubungan
manusia dengan tuhan dan sesama manusia. Hukum islam tidak boleh menyimpang dari
syaria dan fiqh, selain itu dikarenakan merupakan campuran dari syariah dan fiqih maka
sifat dan pembentukan nya juga tergantung kedua hukum tersebut.
-
18
KONSEP IBADAH DAN MUAMALAH
Ibadah
Kata ibadah berasal dari bahasa Arab, „abada ya‟budu „ibaadah yang berarti
mengabdi. Untuk memudahkan kita memahami pengertian ibadah, kita bisa merujuk pada
definisi yang diungkapkan oleh Imam Besar Ibnu Taimiyah, yakni “Ibadah adalah istilah
yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah SWT dan diridhai-Nya, baik berupa
perkataan maupun perbuatan yang terlihat maupun tak terlihat”. Jadi, jelaslah bahwa
ibadah mencakup semua perbuatan baik yang dilakukan untuk mengharap ridha Allah
SWT.
Ibadah yang kita lakukan, tentu saja, tidak boleh asal-asalan, terutama ibadah
wajub, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Demikian pula halnya ketika hendak
melakukan hal-hal yang terkait dengan ibadah wajib tersebut, seperti wudhu sebelum
shalat, sahur sebelum puasa, dan berpakaian ihram saat haji. Semua hal tersebut harus
dilakukan sesuai syariat, yaitu cara yang benar menurut Al-Qur‟an dan hadits. Artinya,
harus sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah SWT dan diajarkan oleh Rasulullah
SAW.
Dalam melaksanakan ibadah, kita tentunya berharap ibadah kita diterima oleh
Allah SWT. Karena itu, ada dua hal yang harus ada ketika kita beribadah, yaitu:
1. Sesuai syariat. Artinya, sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Al-Qur‟an
dan apa yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam hadits.
2. Niat yang benar, yakni hanya karena Allah SWT semata.
Jika ibadah yang kita lakukan ini tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Al-
Qur‟an dan hadits, maka ibadah tersebut adalah ibadah yang mengada-ada. Artinya, tidak
ada nilainya sama sekali di mata Allah SWT. Percuma kita melakukan suatu ibadah yang
tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, karena bukan saja tidak mendapat nilai,
melainkan juga ditolak oleh Allah SWT.
Seperti disebutkan dalam sebuah hadits yang diterima dari Ummul Mukminin,
Aisyah ra., yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa mengerjakan suatu amal yang bukan berdasar perintah perintah
kami, ia tertolak.”
Agar tidak salah langkah dalam melaksanakan ibadah, kita harus tahu ilmu ibadah.
Dengan mengetahui ilmu ibadah, kita bisa beribadah dengan benar, bukan sekadar ikut-
ikutan yang benar-salahnya tidak kita ketahui.
-
19
Konsep ibadah dalam islam bermakna luas, mencakup semua aktivitas menusia
yang diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah swt. Konsep ibadah kepada Allah ini oleh
masyarakat sekuler termasuk masyarakat Barat modern dipandang sebagai terlalu
sempit, terlalu ketat, dan terbatas. Padahal, sesungguhnya konsep itu sedemikian luas dan
mencakup semua dimensi kehidupan umat manusia. Memang konsep ibadah ini menjadi
semakin lemah dan sempit selama beberapa generasi terakhir ini, yakni ketika ibadah
hanya ditempatkan sebagai sebuah ritus semata. Namun, konsep ibadah seperti ini sama
sekali bertolak belakang dengan konsep islam. Ibadah mencakup semua aspek kehidupan
manusia, keimanannya, perbuatannya, pikirannya, perasaannya, dan akhlaknyaa. Al-
Quran mengajarkan konsep ibadah ini dalam firman berikut:
”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
(QS Al-An‟am [6]: 162-163)
Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa seluruh hidup manusia, bahkan
kematiannya, adalah hanya untuk Allah semata, Tuhan sekalian alam. Dengan demikian,
konsep ibadah dalam islam mencakup semua yang dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan
manusia. Semua kaum beriman dituntut agar mengabdikan segenap jiwa, raga, perasaan,
pikiran, dan hatinya, kepada Allah swt. dan perintahnya lebih lanjut diterangkan dalam
Surah Al-Baqarah:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh
yang paling nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 208).
-
20
Hakikat Ibadah
Makna sesungguhnya dalam ibadah ketika seseorang diciptakan maka tidak
semata- mata ada di dunia ini tanpa ada tujuan di balik penciptaannya tersebut
Menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk Allah SWT. yang
diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada- Nya. Hal ini seperti firman Allah SWT.
dalam QS Al- Dzariyat.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”. (QS Al- Dzariyat [51]:56)
Dengan demikian, manusia diciptakan bukan sekedar untuk hidup mendiami dunia
ini dan mengalami kematian tanpa adanya pertanggung jawaban kepada pencipta,
melainkan manusia diciptakan oleh Allah SWT. untuk mengabdi kepada- Nya. Dijelaskan
pula dalam QS Al Bayyinah [98] : 5
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus , dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. dan yang demikian itulah agama yang
lurus”. (QS Al Bayyinah [98] : 5)
Serta masih banyak lagi ayat yang menjelaskan bahwasanya tujuan utama manusia
diciptakan di bumi ini untuk beribadah hanya kepada Allah sedangkan tujuan yang lain
adalah sebagai pelengkap atas tujuan utama diatas. Lalu apabila tujuan manusia untuk
beribadah kepada Allah semata, bagaimana manusia dapat menjalankan kehidupannya
sebagai makhluk sosial? Ibadah tidak hanya terbatas kepada sholat, puasa ataupun
membaca Al qur‟an tetapi ibadah juga berarti segala sesuatu yang disukai Allah dan yang
diridlai- Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang- terangan maupun
diam- diam.
Pada dasarnya, tujuan akal dan pikiran adalah baik dan benar. Akan tetapi sebelum
jalan akan dan fikiran itu diarahkan dengan baik, kebenaran dan kehendaknya itu belum
tentu baik dan benar menurut Allah. Oleh sebab itulah manusia diberi beban atau taklif,
yaitu perintah- perintah dan larangan- larangan menurut agama Allah SWT, yaitu agama
Islam. Gunanya ialah untuk memperbaiki jalan akal pikirannya.
-
21
Macam –Macam Ibadah
Menurut Ahmad Thib Raya dan Siti Musdiah Mulia dalam bukunya menyelami
seluk beluk ibadah dalam islam, secara garis besar ibadah dapat dibagi menjadi dua
macam:
1. Ibadah khassah (khusus) atau ibadah mahdhah (ibadah yang ketentuannya
pasti) yakni, ibadah yang ketentuan dan pelaksanaan nya telah ditetapkan
oleh nash dan merupakan sari ibadah kepada Allah SWT. seperti shalat,
puasa, zakat dan haji.
2. Ibadah „ammah (umum), yakni semua perbuatan yang mendatangkan
kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT.
seperti minum, makan, dan bekerja mencari nafkah.5
Pengaturan hubungan manusia dengan Allah telah diatur dengan secukupnya,
sehingga tidak mungkin berubah sepanjang masa. Hubungan manusia dengan Allah
merupakan ibadah yang langsung dan sering disebut dengan „Ibadah Mahdhah
penggunaan istilah bidang „Ibadah Mahdhah dan bidang „Ibadah Ghairu Mahdhah atau
bidang „Ibadah dan bidang Muamalah, tidaklah dimaksudkan untuk memisahkan kedua
bidang tersebut, tetapi hanya membedakan yang diperlukan dalam sistematika
pembahasan ilmu.
Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah merupakan perkara yang sakral. Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah pun
yang disyariatkan kecuali berdasarkan al- Qur‟an dan sunnah. Semua bentuk ibadah harus
memiliki dasar apabila ingin melaksanakannya karena apa yang tidak disyariatkan berarti
bid‟ah, sebagaimana yang telah diketahui bahwa setiap bid‟ah adalah sesat sehingga
mana mungkin kita melaksanakan ibadah apabila tidak ada pedomannya? Sudah jelas,
ibadah tersebut akan ditolak karena tidak sesuai dengan tuntunan dari Allah maupun
Rasul Nya.
Menurut Syaikh Dr.shalih bin Fauzan bin Abdulah, “amalnya ditolak dan tidak
diterima, bahkan ia berdosa karenanya, sebab amal tersebut adalah maksiat, bukan taat”.
Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar
terkecuali dengan ada syarat:
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
2. Sesuai dengan tuntunan Rasul.
Selain itu dalam buku lain masih terdapat beberapa syarat yang harus di miliki oleh
seorang abduh dijelaskan pula supaya ibadah kita diterima Allah maka kita harus
memiliki sifat berikut.
-
22
1. Ikhlas, artinya hendaklah ibadah yang kita kerjakan itu bukan mengharap
pemberian dari Allah, tetapi semata- mata karena perintah dan ridha- Nya.
Juga bukan karena mengharapkan surga bukan pula takut kepada neraka
karena surga dan neraka itu tdak dapat menyenangkan atau menyiksa tanpa
seizin Allah.
2. Meninggalkan riya‟, artinya beribadah bukan karena malu kepada manusia
atau supaya dilihat orang lain.
3. Bermuraqabah, artinya yakin bahwa Tuhan itu selalu melihat dan ada
disamping kita sehingga kita bersikap sopan kepada- Nya.
4. Jangan keluar dari waktu nya, artinya mengerjakan ibadah dalam waktu
tertentu, sedapat mungkin dikerjakan di awal waktu.
Hakikat manusia terdapat pada inti yang sangat berharga, yang dengan nya manusia
menjadi dimuliakan dan tuan bagi makhluk- makhluk diatas bumi. Inti itu adalah ruh.
Ruh yang mendapat kesucian dan bermunajat kepada Allah SWT. ibadah kepada Allah
lah yang memenuhi makanan dan pertumbuhan ruh, menyuplainya setiap hari, tidak habis
dan tidak surut. Hati manusia itu senantiasa merasa butuh kepada Allah. Itu adalah
perasaan yang tulus lagi murni. Tidak ada satupun di alam dunia ini yang dapat mengisi
kehampaan nya kecuali hubungan baik kepada Tuhan seluruh alam. Inilah dampak dari
ibadah apabila dilakukan dengan sebenarnya.
Selanjutnya dari sisi lain akhlak seorang mukmin itu juga merupakan ibadah. Yaitu
lantaran yang menjadi barometer keimanan dan kehinaan serta yang menjadi rujukan bagi
apa yang dilakukan dan ditinggalkan adalah perintah Allah. Seseorang yang memiliki
akhlak yang baik niscaya setiap langkahnya selalu ingat kepada Allah sehingga
perilakunya bisa terkontrol dan selalu merasa diawasi oleh Allah.
Muamalah
Pengertian Muamalah
Kata Muamalat yang kata tunggalnya muamalah yang berakar pada kata „amala
secara arti kata mengandung arti “saling berbuat” atau berbuat secara timbal balik. Lebih
sederhana lagi berarti “hubungan antara orang dan orang”. Muamalah secara etimologi
sama dan semakna dengan al- mufa‟alah yaitu saling berbuat. Kata ini, menggambarkan
suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang
dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Atau muamalah secara etimologi itu artinya
saling bertindak atau saling mengamalkan.
Secara terminologi, muamalah dapat dibagi menjadi dua macam yaitu pengertian
muamalah dalam arti luas dan dalam arti sempit.
-
23
Pengertian muamalah dalam arti luas yaitu “menghasilkan duniawi supaya menjadi
sebab suksesnya masalah ukhrawy‟.
Menurut Muhammad Yusuf Musa yang dikutip Abdul Madjid: “Maumalah adalah
peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat
untuk menjaga kepentingan manusia”.
“muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan”.
Jadi, pengertian muamalah dalam arti luas yaitu aturan-aturan (hukum-hukum)
Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan
sosial”.
Adapun pengertian muamalah dalam arti sempit (khas) didefinisikan oleh para
ulama sebagai berikut:
1. Menurut Hudhari Byk yang dikutip olrh Hendi Suhendi, “muamalah adalah semua
akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”.
2. Menurut Rasyid Ridha, “muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang
bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan”.
Dari defiinisi diatas dapat dipahami bahwa pengertian muamalah dalalm arti sempit
(khas) yaitu semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya dengan
cara-cara dan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dan manusia wajib mentaati-Nya.
Prinsip-prinsip Muamalah
Namun ada beberapa prinsip yang menjadi acuan dan pedoman secara umum untuk
kegiatan mumalat ini. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut
1. Muamalah adalah Urusan Duniawi
Muamalat berbeda dengan ibadah. Dalam ibadah, semua perbuatan dilarang
kecuali yang diperintahkan. Oleh karena itu, semua perbuatan yang dikerjakan harus
sesuai dengan tuntuna yang diajarkan oleh Rasulullah. Sebaliknya, dalam muamalat,
semua boleh kecuali yang dilarang. Muamalat atau hubungan dan pergaulan antara
sesama manusia di bidang harta benda merupakan urusan duniawi, dan pengaturannya
diserahkan oleh manusia itu sendiri. Oleh karena itu, semua bentuk akad dan berbagai
cara transaksi yang dibuat oleh manusia hukumnya sah dan dibolehkan. Asal tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam syara„.
2. Muamalat harus Didasarkan kepada Persetujuan dan Kerelaan Kedua
Belah Pihak.
-
24
Persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi merupakan
asas yang sangat penting untuk keabsahan setiap akad. Hal ini didasarkan kepada firman
Allah dalam surat an-nisa (4): 29 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S An-Nisa [4] : 29)
3. Adat kebiasaan dijadikan dasar hukum
Dalam masalah Muamalat, adat kebiasaan bisa dijadikan dasar hukum, dengan
syarat adat tersebut diakui dan tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan umum yang
ada dalam syara'. Sesuatu yang oleh orang muslim dipandang baik maka di sisi Allah juga
dianggap baik.
4. Tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain
Setiap transaksi dan hubungan perdata (muamalat) dalam Islam tidak boleh
menimbulkan kerugian kepada diri sendiri dan orang lain hal ini didasarkan pada hadis
Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah addaruquthni dan
lain-lain dari Abi Sa'id al-khudri bahwa Rasulullah bersabda yang artinya: Janganlah
merugikan diri sendiri dan janganlah merugikan orang lain. Dari hadits ini kemudian
dibuatlah kaidah kuliah yang berarti Kemudhorotan harus dihilangkan.
Jenis-Jenis Muamalah
Para ulama fiqh membagi jenis muamalah menjadi dua yaitu
muamalah yang jenisnya ditunjuk langsung oleh nash(al-Quran dan as-
Sunah) dan muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh nash (Mardani,
2012).
1. Jenis muamalah yang jenisnya ditunjukan langsung oleh nash dengan
memberikan batasan tertentu. Seperti keharaman tentang riba.
Ketentuan haramnya riba bersifat permanen dan tidak dapat diubah dan
tidak menerima perubahan
-
25
2. Jenis muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh nash, tetapi
diserahkan sepenuhnya kepada hasil ijtihad para ulama, sesuai dengan
kreasi para ahli dalam rangka memenuhi kebutuhan umat manusia
sepanjang tempat dan zaman, serta sesuia pula dengan situasi dan
kondisi masyarakat itu sendiri. Untuk bidang muamalah seperti ini,
syariat Islam hanya mengemukakan kaidah-kaidah dasar, kriteria, dan
prinsip-prinsip umum yang sejalan dengan syara‟. Muamalah jenis ini
merupakan rahmat Allah yang besar, yang diberikan kepada umat Islam
dengan memberikan kebebasan bagi mereka untuk melakukan kreasi
jenis muamalah yang sesuai dengan tuntutan zaman, tempat, dan
kondisi mereka, serta bertujuan untuk memenuhi kemashlahatan
mereka.
Macam-macam Muamalah
1. Al-mu‟amalah Al-Maddiyah
Al-mu‟amalah Al-Maddiyah, yaitu suatu pergaulan yang terjadi antar
manusia yang berkaitan dengan materi atau yang porosnya berada
diatas sesuatu yang bersifat materiil seperti jual beli barang dan jasa
maupun jual beli di pasar modal dan yang merupakan pertukaran harta
benda dan kemanfaatan antara manusia melalui akad atau transaksi. (Ali
Fikri: 1938, 7). Macam-macamnya antara lain yaitu :
a. al-bay‟ atau jual beli
b. al-ijarah atau sewa
c. al-muzara‟ah atau bagi hasil dari penanaman tanaman yang
bibitnya dari pemilik tanah
d. al-mudarabah atau suatu akad kerjasama untuk melakukan usaha
antara dua pihak
e. al-musharakah atau suatu akad kerjasama antara beberapa pemilik
modal
f. al-wakf atau wakaf
2. Al-mu‟amalah Al-Adabiyah
Al-mu‟amalah Al-Maddiyah, yaitu suatu pergaulan antar manusia yang
penekannya pada perilaku , sikap dan tindakan yang bersumber dari
-
26
lisan dan anggota badan yang dasarnya adalah kesoopanan dan
berperadaban supaya bisa tercipta masyarakat madani. Misalnya jujur,
benar dalam ucapan, tindakan, melakukan kesaksian apa adanya dan
benar, menjauhkan diri dari berbohong dalam ucapan, tindakan,
kesaksian palsu, sumpah bukan karena Allah, sumpah-sumpah bohong.
Meninggalkan perkataan dan perbuatan jahat dan keji, menjaga dan
menyimpan rahasia dan tidak menyebarkannya, tidak pernah memata-
matai, tidak menggosip, tidak mengadu domba, tidak memfitnah dan
tidak berburuk sangka. (Ali Fikri: 1946, 9). Macam-macamnya antara
lain:
a. Bersikap adil dan baik
b. Bersikap jujur dalam segala hal
c. Bersikap amanah
d. Menepati janji
e. Bermurah hati (bersikap toleran)
-
27
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto. 2014. Hakikat Ibadah. Tulungagung : IAIN Tulungagung.
Fauzi. 2018. Sejarah Hukum Islam. Cetakan ke-1. Jakarta: Prenada Media Group.
Ghazaly, Abdul Rahman. 2016. Fiqh Muamalat. Jakarta : Prenada Media.
Hamdani, Irma Irawati. 2014. Keajaiban Ibadah Setiap Waktu. Jakarta : Bhuana Ilmu
Populer.
Khobir, Abdul. 2009. Perilaku Ekonomi Dalam Bingkai Antara Al-Muamalah Al-
Maddiyah dan Al-Muamalah Al-Adabiyah. Pekalongan: IAIN Pekalongan.
Marzuki. 2012. Pengantar Studi Hukum Islam. Yogyakarta : Universitas Negeri
Yogyakarta.
Muhaimin, Abdul Wahab Abd. 2015. Aktualisasi Syariah dan Fikih Dalam
Menyelesaikan Pelbagai Persoalan Hukum (Hal 250-251). Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Nurhayati. 2017. Jurnal Tentang Syariah Islam. Makassar : Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Rahman, Afzalur. 2007. Ensiklopedia Ilmu dalam Al-Quran : Rujukan Terlengkap
Isyarat-isyarat Ilmiah dalam Al-Quran. Bandung : Penerbit Mizania.
Rohmah, Siti.2013. Formalisasi syariah : Studi konstruksi sosial elit partai politik di
Kabupaten Pamekasan. Malang : Universtas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Saladin, Bustami. 2009. Aktualisasi Makna Syariah dan Fiqh Dalam Konsep Hukum
Islam (Hal 231-233). Pamekasan : STAIN Pamekasan.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta : Prenada Media.
Tommy, Adham. 2017. Analisis Sop (Standard Operating Procedure) Marketing Plan
Dan Implementasinya Pada Perusahaan Multi Level Marketing Syariah Dalam
Perspektif Hukum Ekonomi Islam (Studi Kasus Distributor Tiens Kota Cierbon).
Cirebon : IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Yuliana, Sa‟adah dkk. 2017. Transaksi Ekonomi dan Bisnis dalam Tinjauan Fiqh
Muamalah. Idea Press: Yogyakarta.