konsep riya’ menurut al-ghazalirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · kelompok...
TRANSCRIPT
KONSEP RIYA’ MENURUT AL-GHAZALI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
Oleh:
Mohammad Mufid
1113033100035
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSASFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
iv
ABSTRAK
Mohammad Mufid
Konsep Riya’ Menurut al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang sufi besar yang namanya sudah tidak asing bagi
masyarakat dunia,terutama Indonesia. Ia bukan hanya seorang sufi saja, tetapi ia
juga seorang filsuf dan teolog. Sehingga tidaklah aneh kalau ia mempunyai
banyak karya yang membahas tentang filsafat dan ilmu kalam. Bahkan karya-
karyanya sudah menyebar luas dan menghiasi lemari-lemari yang ada diberbagai
perpustakaan dunia. Karyanya juga banyak dikaji oleh berbagai kalangan,
termasukpara akademisi.
Dari segitu banyak karya dan berbagai macam pembahsannya, penulis
merasa tertarik untuk mengkajinya. Namun penulis hanya membatasi
pembahasannya tentang masalah riya’. Karena, di zaman sekarang ini penyakit
yang namanya riya’ (pamer) ini sangat menyebar luas di dunia media sosial
(medsos). Oleh sebab itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang masalah
riya’ agar masyarakat menjadi sadar tentang bahayanya berbuat riya’. Perbuatan
riya’ bisa membuat orang lain menjadi iri. Dan karena perbuatan riya’ ini hati
orang lain menjadi sakit. Bukan hanya menyakiti hati orang lain saja, tetapi riya’
juga merusak dirinya sendiri. Terutama merusak amal perbuatan orang yang
melakukan riya’.
v
KATA PENGANTAR
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Alḥamdulillāh, puji syukur kepada Allah Swt. Yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini
tanpa kendala yang berarti. Ṣalawāh dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi
Muḥammad Saw. Beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag.selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
3. Dra. Tien Rohmatin, MA. Sebagai ketua Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam, yang tak henti-hentinya menyemangati, mengayomi,
dan memberikan masukan-masukan penulisan skripsi ini.
4. Kepada Dr. Abdul Hakim Wahid, MA. Selaku Sekretaris Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,yang tak pernah bosan
mendengarkan keluh kesah penulis, serta selalu memberikan saran
terbaik kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan ini.
5. Bapak Hanafi, S.Ag, MA, selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan nasehat-nasehat selagi saya sedang menyusun skripsi.
vi
6. Bapak Dr. Edwin Syarif, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah meluangkanbanyak waktunya untuk membimbing,
mengarahkan,memberikan pengoreksian, dan memberikan saran-saran
demi perbaikan skripsi ini.
7. Segenap Karyawan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan
semangat, dan selalu sabar menghadapi tingkah laku penulis selama
berada di perpustakaan.
8. Segenap Bapak dan Ibu dosen khususnya Aqidah dan Filsafat Islam,
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang sudah memberikan ilmu pengetahuannya selama penulis
belajar di Fakultas Ushuluddin.
9. Bapak, ibu, kakak, adik, dan keluarga saya yang tidak pernah letih
mendoakan dan memberikan biayah kuliah selagi sayamasih sedang
berjuang belajar agar saya dapat menimba ilmu setinggi dan sebaik
mungkin. Beserta keluarga besar lainnya yang selalu menyemangati
dan mengembalikan kepercayaan diri saya.
10. Teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2013, teman-teman
HMI, Hima-Cita, dan KMSGD yang selalu membantu penulis dan mau
berbagi ilmu,sehingga menambah imajinasi penulis dalam
menyelesaikan tugas akhir ini. Serta semua pihak yang telah
membantu, penulis ucapkan terimakasih.
vii
Penulis menyadari, masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Namun
sedikit banyaknya, semoga dapat bermanfaat kususnya bagi penulis dan
masyarakat pada umumnya.
Kepada Allah saya mohon ampun, yang benar datangnya dari Allah Swt dan
kesalahan atas kekhilafan penulis sendiri. Semoga dengan ini kita selalu
berpegang teguh pada Alquran yang telah Allah Swt turunkan untuk menjadi
pedoman dalam hidup manusia.
Wassalāmu`alaikum waraḥmatullāh wabarakātuh.
Ciputat, 23 April 2018
Mohammad Mufid
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
PadananAksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidakdilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts tedanes ث
j je ج
ẖ h dengangarisbawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de danzet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy esdan ye ش
s esdengangaris di bawah ص
ḏ de dengangaris di bawah ض
ṯ tedengangaris di bawah ط
ẕ zetdengangarisdibawah ظ
komaterbalik di atashadapkanan ʹ ع
gh gedan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h wa ھ
apostrof ء
y ye ي
Vokal Tunggal
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
a fatẖah َـ
i kasrah َـ
u ḏammah َـ
ix
VokalRangkap
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ي َـ ai a dani
و َـ au a dan u
Vokal Panjang
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
â a dengantopi di atas آ
Î Idengantopi di atas إى
Û u dengantopi di atas أو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalamsistemaksaraarabdilambangkandenganhuruf,
yaituال, dialihaksarakanmenjadihuruf /l/,
baikdiikutihurufsyamsiyyahmaupunhurufqomariyyah. Contoh: al-
rijâlbukanar-rijâl, al-dîwânbukanad-dîwân.
Syaddah(Tasydȋd)
Syaddah atau tasdȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (َـ), dalamalihaksarainidilambangkandenganhuruf,
yaitudenganmenggandakanhuruf yang diberitandasyaddahitu. Akan tetapi,
halinitidakberlakujikahuruf yang menerimatandasyaddahituterletaksetelah
kata sandang yang diikutiolehhuruf-hurufsyamsiyyah. Misalnya, kata
.tidakditulisaḏ-darûrahmelainkanal-darûrahالضرورۃ
Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯahterdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihatcontoh 1). Hal yang sama juga berlaku jika ta
marbûṯahtersebutdiikutioleh kata sifat (naʹt) (lihatcontoh 2). Namun,
jikahurufta marbûṯahtersebutdiikuti kata benda (ism),
makahuruftersebutdialihaksarakanmenjadihuruf /t/ (lihatcontoh 3).
No Kata Arab AlihAksara
ṯarîqah طريقة 1
al-jâmi’ah al-islâmiyyah الجامعة اإلسالمية 2
waẖdat al-wujûd وحدۃالوجود 3
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena modernisme telah menawarkan berbagai macam kemudahan
hidup. Perkembangan dan kemajuan sains dan teknologi yang begitu sangat pesat
telah menjadikan manusia sebagai penguasa alam raya secara global. Berbagai
macam produk teknologi telah menyempitkan dunia yang kita diami ini, kita
bagaikan berada dalam satu kapal besar yang bernama bumi, yang sekarang
sedang berlayar.
Begitu sangat sempitnya dunia kita ini bila diameter (diukur) dengan
kecanggihan dan kehebatan teknologi dan sains yang berkembang begitu sangat
cepat. Demikianlah, kita senantiasa berlomba dengan perkembangan sains dan
teknologi yang melaju cepat sehingga kita tidak sempat lagi untuk berpikir
tentang hal-hal yang gaib, kita sudah lupa dengan entitas-entitas (kenyataan-
kenyataan) yang kita anggap sebagai sebuah kesakralan dan berada di luar pikiran
kita.
Dalam dunia materalisme-hedonisme yang selalu menggoda nafsu-nafsu
terhadap perilaku kita, membuat kita merasa kehilangan ketajaman pandangan
spiritual. Keinginan nafsu kita hanya tertuju pada kesenangan-kesenangan fisik.
Mata batin kita telah dibuta oleh debu-debu sains dan teknologi yang sangat
berbahaya, sehingga sensitivitas qalbu (hati) kita pupus habis oleh kenikmatan
duniawi.
2
Dari satu sisi, keunggulan sains dan teknologi telah membuat manusia
sombong dan suka menampilkan kelebihannya (riya’) merasa dirinyalah yang
paling hebat dan kuat di alam raya ini. Pada saat-saat seperti inilah Nietzsche
melontarkan ucapan, “Tuhan telah mati”. Tuhan telah dihabisi oleh produk
teknologi canggih, sehingga penguasaan alam ada di tangan manusia.
Apabilah hati manusia modern sudah lupa dengan Tuhan yang telah
menciptakannya, maka ia sudah tidak lagi mengakui Tuhan sebagai Sang Pencipta
dan yang mengatur alam ini. Ia merasa bahwa dirinyalah yang telah menciptakan
dan mengatur kehidupan di muka bumi ini. Karena itu, lihatlah manusia modern,
sisa hidupnya harus diisi dengan bekerja keras untuk mencari sesuatu yang ia
inginkan, malahan ia tidak disertai dengan berdoa dan berkontemplasi (renungan)
dalam bekerja.1
Zaman modern sudah dihembuskan di benua Eropa Barat Laut sekitar abad
ke-18 seiring dengan memuncaknya Revolusi Industri di bagian Negara Inggris
dan Revolusi Sosial di Prancis. Kelompok pemikiran Aufklarung (abad
pencerahan) yang tumbuh di Inggris dan Prancis dipandang sebagai pelopor
gerakan revolusi di masa modern. Filsafat empirisme (pengalaman) John Lucke
dan teori fisika Newton merupakan bahan yang telah membuka masyarakat Eropa
untuk memasuki gerbang abad modern.
Dari pemikiran dua tokoh tersebut dunia modern mengembangkan sains
yang diiringi dengan memakai penerapan teknologi. Pencapaian-pencapaian
gemilang dalam dunia sains telah mempermudah kehidupan yang sebelumnya
1Yunasir Ali, Mata Air Kehidupan Bekal Spiritual Menghadapi Tantangan Globalisasi,
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), h. 10-11.
3
dirasakan sulit dan memberikan banyak kemudahan dalam perkembangan
pengetahuan. Pengetahuan modern yang kita sering sebut sains telah
memperpendek jarak ruang dan mempersingkat perputaran waktu, sehingga dunia
yang kita tinggali ini hanya bagaikan kapal besar yang menjadi tempat tumpangan
milyaran manusia.2
Pencapaian-pencapain sains yang begitu sangat gemilang telah membawa
penyakit-penyakit hati di dalam diri manusia modern seperti mempunyai perasaan
sombong, dan membanggakan dirinya (riya’) sehingga ia semakin percaya diri
untuk menatap masa depannya. Hal-hal yang bersifat metafisik dan yang bersifat
teologis tidak lagi dipikirkan dan sudah selayaknya untuk ditinggalkan. Kalau
manusia modern masih berpikir tentang masalah-masalah yang ghaib (tidak
kelihatan) bersifat metafisik dan teologis (keyakinan) berarti mengembalikan
kehidupan ke masa lalu, yang seharusnya ditinggalkan dan merupakan sebuah
kesia-siaan.3
Oleh karena itu, sudah saatnya manusia modern untuk mempelajari ilmu
tasawuf, karena ilmu tasawuf begitu sangat penting di zaman modern ini. Ilmu ini
mengkaji tentang konsep yang mengatur tentang wilayah batin (jiwa dan hati)
dalam rangka untuk tazkiyatunnafsi (membersihkan hati) dari berbagai macam
dosa dan penyakit-penyakit yang ada di dalam hati. Karena tujuan dari ilmu
2Yunasir Ali, Sufisme dan Pluralisme Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-
agama, (Jakarta: PT Gramedia , 2012). h. 215. 3Yunasir Ali, Sufisme dan Pluralisme Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-
agama, h. 215.
4
tasawuf ialah agar seorang hamba bisa wushul (sampai) kepada Tuhan. Zat yang
Maha tidak terbatas dan tidak bisa dibatasi.4
Oleh sebab itu, manusia modern harus bisa menjaga hatinya dari berbagai
macam penyakit-penyakit hati. terutama tentang sifat riya’ yang bisa merusak
amal perbuatan manusia. Karena di zaman sekarang sifat riya’ sedang
digandrungi oleh banyak masyarakt. Oelh sebab itu, hati yang selalu diwarnai
oleh sifat riya’ dan persoalan dunia, membuat hati menjadi buram dan gelap. Jika
hakikat dunia disebut gelap, maka wujud Tuhan diibaratkkan sumber cahaya yang
menerangi hati. Tuhan berfirman di dalam surat an-Nur, ayat 35.
هللا نورالسماوات واالرض
Artinya: “Tuhan (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”. Bagaimana
hati bisa memantulkan cahaya ketuhanan jika masih tertutup oleh keadaan dan
lukisan-lukisan dunia.
Tatkala hati tidak mampu melihat dengan bashiratul qolbi (penglihatan hati)
pasti ada sesuatu yang menjadi penyebab terhalangnya sumber cahaya tersebut,
sehingga hati tidak bisa memantulkan cahayanya. Yang menghalangi wujud
Tuhan ialah pandangan dan rasa kemanusiaan pada setiap wujud selain-Nya. Jika
hati orang yang menuju Tuhan ada rasa cinta dan ambisi untuk memiliki dan
menguasai sesuatu, maka rasa terhadap sesuatu itu juga sebagai penghalang atau
hijab.
Kemudian, bagaimana bisa seseorang akan sampai menuju Allah jika tidak
mampu melepaskan dirinya dari penyakit hati dan syahwat yang timbul dari
dalam hatinya. Padahal Tuhan sudah memberikan jalan kepada hamba-hamba-
4Tim Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, Jejak Sufi Membangun Moral berbasis Spiritual, (
Kediri: Lirboyo Press, 2011 ), h. 221.
5
Nya untuk “berniaga ruhani”, dengan imbalan keuntungan berupa pembebasan
diri (manusia) dari keinginan syahwat dan maksiat yang ada di dalam hatinya.5
Al-Ghazali beranggapan bahwa hati bagaikan sebuah kaca. Pengetahuan tak
lain adalah terpancarnya hakikat-hakikat dalam cermin tersebut. Di saat kaca hati
tersebut tak mengkilap, maka tak mampu memantulkan hakikat-hakikat keilmuan
tersebut. Yang menjadikan kaca hati menjadi buram adalah hatinya dipenuhi
dengan syahwat dan penyakit-penyakit hati lainnya. “Melakukan ketaatan kepada
Tuhan, memalingkan diri dari tuntutan-tuntutan syahwat, adalah sesuatu yang bisa
mengkilapkan hati dan membersihkannya.”6 Oleh karena itu, jika seseorang ingin
hatinya dipenuhi dengan pengetahuan Tuhan, maka hatinya harus dibersihkan dari
macam-macam dosa dan penyakit-penyakit. Banyak tokoh-tokoh sufi yang
membahas tentang masalah macam-macam penyakit hati, namun penulis lebih
tertarik pada tokoh yang sudah menyebar luas kedunia nama dan karangannya,
yakni al-Ghazali.
Al-Ghazali adalah seorang tokoh Filsuf Islam, dan sufi yang mendalami
sesuatu ilmu secara terperinci. Beliau mendapkan gelar hujjatul Islam dan
pembaharu dalam segala disiplin ilmu, yaitu beliau akan membuat pembaharuan
atau pemahaman yang lebih jelas mengenai sesuatu ilmu yang diterapkannya.
Beliau berbeda dengan ulama-ulama lain yang mana usaha mereka menghafal apa
yang diterimanya, mengulangi, dan menukilnya. Bahkan beliau seorang ulama
yang aktif, pengetahuan yang diterimanya diteliti dan diuji sejauh mana
kebenaran dan kebatilannya. Oleh sebab itu, ada kalanya beliau menolak,
5Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, (Jakarta: GP Press, 2012), h. 98-99.
6Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya, Penerjemah Subkhan Anshori, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 2008), h. 201.
6
mengubah atau menjelaskan dan menguraikan lalu membuat pembaharuan dalam
segala bidang ilmu.7
Adapun penulis memilih pembahasan tentang masalah riya’ dari berbagai
jenis-jenis penyakit hati, karena di zaman yang semakin canggih ini banyak sekali
orang-orang melakukan perbuatan-perbuatan riya’. Baik di media sosial maupun
di media lainnya. Manusia di zaman sekarang ini tidak mengetahui tentang
bahayanya perbuatan riya’.
Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk memahami dan memperdalam lebih
tajam tentang masalah-masalah riya’ini. Karena itu, penulis tertarik untuk
mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: “Konsep Riya’ Menurut al-Ghazali.”
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis akan mengidentifikasikan beberapa
masalah yang berkaitan dengan maksiat hati. Di antaranya:
1. Apa corak tasawuf al-Ghazali?
2. Apa Riya’ menurut al-Ghazali?
3. Ada berapa macam-macam Riya’?
4. Apa Tujuan Riya’ menurut al-Ghazali?
5. Apa akibat dari riya’?
6. Bagaimana cara menghilangkan riya’?
7. Apa penyebab dari riya’?
7Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, Pengenalan,
Pemahaman, dan Pengaplikasiannya disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013), h. 157-158
7
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis hanya akan mengambil satu
tokoh saja, yaitu al-Ghazali. Ia adalah seorang sufi besar yang nama dan ajaran
tasawufnya sudah menyebar luas keseluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun,
ajaran tasawuf al-Ghazali yang akan dibahas oleh penulis ialah yang berkaitan
dengan masalah riya’. Penulis merasa sangat tertarik untuk membahas
permasalahan-permasalahan tentang riya’ ini, karena belum ada karya yang
meneliti secara khusus tentang riya’ menurut al-Ghazali. Oleh sebab itu, penulis
perlu memberikan batasan pada permasalahan yang akan dikaji dan diteliti agar
pembahasannya tidak melebar jauh. Adapun batasan yang akan dikaji oleh penulis
ialah konsep riya’ menurut al-Ghazali.
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah dijelaskan di atas tadi, penulis hanya akan
merumuskan tentang tasawuf al-Ghazali yang berkaitan dengan riya’. Yaitu:
1. Apa yang dimaksud riya’ menurut al-Ghazali?
2. Apa bahaya riya’ menurut al-Ghazali?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mendeskripsikan (menguraikan) permasalahan riya’ menurut al-Ghazali.
F. Manfaat Penelitian
8
Manfaat penelitian ini diharapkan bisa memiliki nilai manfaat akademis
maupun praktis.
1. Manfaat Akademis
Memberikan kontribusi kepada para akademisi agar bisa menjaga hatinya
dari perbuatan riya’. Karena di dalam kehidupan dunia akademisi tidak bisa
terhindarkan dari yang namanya perbuatan riya’ (pamer).
2. Manfaat Praktis
a. Mampu menambah wawasan tentang riya’ menurut al-Ghazali.
b. Mampu menambah khazanah keilmuan, terutama yang berkaitan dengan
riya’ menurut pandangan al-Ghazali.
c. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana
Program Strata Satu (S1) dalam bidang Akidah dan Filsafat Islam (AFI).
G. Telaah Pustaka
Sejauh penulis ketahui tentang karya tulis yang membahas tentang al-
Ghazali yang sudah dijadikan sebuah skripsi, yakni Hubungan Syari’at dan
Hakikat perspektif al-Ghazali yang ditulis oleh Amirul Muttaqin mahasiswa
Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2016. Skripsi ini menjelaskan hubungan keduanya untuk mendekatkan manusia
kepada Allah.
Skripsi yang lainnya yaitu Pengaruh Tasawuf al-Ghazali Terhadap Akhlak
Santri Putri Pondok Pesantren Dảr El-Hikam yang ditulis oleh Putriana Sallamah
mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2016. Skripsi ini menjelaskan tentang perilaku
9
ketaatan maupun sosial santri putri Dảr el-Hikam yang mengandung nilai-nilai
tasawuf al-Ghazali.
Oleh sebab itu, penulis yakin kalau pembahsan yang disajikan oleh penulis
dalam bentuk skripsi ini sebuah karya akademik yang baru dalam menganalisis
riya’ menurut al-Ghazali.
H. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research), yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai
literatur yang relevan. Data-data yang terkumpul diambil dari kitab Ihya
‘Ulumuddin, Minhảjul ‘Abidỉn dan karya lainnya imam al-Ghazali sebagai
referensi pokok dalam skripsi ini. Untuk referensi selebihnya dijadikan sebagai
penguat sekaligus pembanding.
Metode penelitian yang penulis gunakan pada skripsi ini bersifat kualitatif
dengan teknik pembahasan deskriptif-analitis, yaitu data yang dikumpulkan
pertama-tama disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa. Langkah ini diambil
sebagai awal yang penting karena akan menjadi dasar bagi metode pembahasan
selanjutnya. Mengingat bahwa pemikiran senantiasa dipengaruhi oleh kondisi
setempat. Metode ini relevan digunakan untuk menjelaskan konsep riya’ menurut
al-Ghazali.
Sebagai pedoman teknik penulisan skripsi, penulis menggunakan buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan CeQda tahun 2013.
10
I. Sistem Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menulis secara sistematis agar
pembahasannya teratur, maka penulis akan menguraikannya ke dalam lima bab
yang memuat beberapa sub-bab di dalamnya. Hal ini karena penulisannya bersifat
kepustakaan sehingga dibutuhkan analisis yang mendalam. Adapun uraian dalam
lima bab tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I, sebagai bab pendahuluan, bagian ini menjelaskan latar belakang
dengan rumusan masalah sebagai bingkai dan penentu arah dalam penelitian
skripsi ini, dengan ditunjang serta manfaat penelitian, tinjauan pustaka sebagai
penunjang penelitian dahulu yang relevan, disertai dengan metodologi penelitian.
Penelitian ilmiah harus memiliki jalan atau cara yang ditempuh guna
mendapatkan hasil yang optimal. Kemudian penulis mengakhiri bab ini dengan
sistematika penulisan.
Bab II, dalam bab ini membahas tentang biografi al-Ghazali, menjelaskan
mengenai riwayat hidup, pendidikan, pengaruh tasawuf al-Ghazali, dan karya-
karyanya.
Bab III, dalam bab ini membahas tentang teori-teori riya’ dalam pandangan
tokoh-tokoh sufi
Bab VI, dalam bab ini membahas secara khusus ajaran tasawuf al-Ghazali
tentang permasalahan riya’ menurut al-Ghazali.
Bab V, dalam bab ini berisi penutup. Adapun penutup ini hanya terbagi ke
dalam dua sub-bab. Pertama, kesimpulan. Kesimpulan ini berisi tentang sebuah
jawaban dari rumusan masalah yang sudah diuraikan di atas. Kedua, saran-saran.
11
Saran-saran ini diarahkan kepada para akademisi dan masyarakat. Penulis
berharap kepada para akademisi agar ada yang melanjutkan penelitian tentang
masalah riya’ ini agar pembahasannya semakin jelas. Penulis juga berharap
kepada para masyarakat dengan adanya skripsi ini agar bisa menjaga hatinya dari
yang namanya perbuatan riya’.
12
BAB II
BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup al-Ghazali
Di kalangan umat Islam, nama al-Ghazali tidak begitu asing bagi telinga
mereka. Mereka membicarakan al-Ghazali bagaikan mengunjungi orang tua yang
telah lama dikenal, namun tetap menyimpan segi kerahasiaan, jika tidak dapat
disebut sebuah misteri. Nama tokoh yang satu ini menjadi buah bibir
perbincangan harian di kalangan masyarakat Muslim.
Al-Ghazali memang tidak pernah terlepas dari siapa pun yang ingin
memahami tentang ilmu agama Islam yang secara luas dan dalam. Ia terkait erat
dengan proses pengukuhan paham yang berbasis Sunni. Di luar madzhab
Hambali. Dan karena di bidang fiqh al-Ghazali adalah seorang pengikut madzhab
Syảfi’i, maka nama pemikir besar itu lebih lagi tidak dapat dilepaskan dari dunia
pemikiran dan pemahaman Islam di Indonesia, sebab hampir kaum Muslim di
Indonesia itu bermadzhabkan imam Syảfi’i.1
Nama lengkap imam al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-Ghazali, beliau dilahirkan di tanah Thus (Khurasan) pada tahun 405 H
yang bertepatan dengan tahun 1058 M.2 Nama Muhammad yang ada di depannya
1Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997),
h.79-80. 2Moh. Syah Doa, Rahasia Alam Kebatinan, (Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956). h.7.
13
ialah namanya sendiri, nama ayahnya, dan nama kakeknya, dan setelah itu
diatasnya lagi bernama Ahmad.3
Sebutan nama laqob (julukan nama) dalam kalangan umat Islam zaman
dahulu yang menghubungkan nama seseorang kepada nama keluarganya seperti
ayahnya, kakeknya itu sudah menjadi tradisi bagi kalangan umat Islam zaman
klasik. Nama seorang anak akan memakai kata “ibnu” dan diakhirnya akan
menyebutkan nama ayahnya atau nama kekeknya. Seperti nama ibnu Siena, ibnu
Rusyd, ibnu Khaldun, dan nama yang lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali nama
yang dipakainya dari nama tempat kelahirannya, yakni al-Ghazalah.
Sama halnya seperti tokoh-tokoh Islam lainnya, seperti al-Kindi yang
berasal dari al-Kindah, al-Farabi yang berasal dari al-Farab. Dan ada pula yang
dihubungkannya kepada pekerjaan setiap harinya, misalnya al-Qaffal (tukang
kunci), al-Khayyam (pembuat khaimah) dan sebutan nama yang lainnya.
Nama-nama seorang tokoh besar yang dihubungkan kepada keturunannya,
pada pekerjaannya, atau pada tanah kelahirannya itu merupakan sebuah
kebanggan yang menaikkan derajat nama keluarga, keturanan, dan tanah
kelahirannya. Sehingga nama keluarga, pekerjaan, dan tanah kelahirannya
menjadi populer dikalangan dunia.4
Al-Ghazali lahir dari keluarga sangat miskin, ayahnya adalah seorang yang
sangat mencintai ilmu dan mempunyai cita-cita sangat besar. Ayah al-Ghazali
selalu berdoa kepada Allah agar dianugerahi seorang anak-anak yang alim,
3Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 27-
29. 4Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 28-29.
14
mempunyai wawasan luas, dan mempunyai banyak ilmu. Baik ilmu agama
maupun ilmu-ilmu yang lainnnya.
Alangkah bahagia hati ayah al-Ghazali ketika doanya dikabulkan oleh Allah.
Beliau dikaruniai dua anak laki-laki. Anak pertama diberi nama Muhammad yang
kemudian mendapat gelar “Abu Hamid”, dan dia adalah Imam al-Ghazali.
Kemudian anak kedua diberi nama Ahmad yang kemudian mendapatkan gelar
”Abu al-Futủh”, dan beliau ini adalah seorang ulama yang ahli dalam da’wah.
Yang di kemudian hari terkenal dengan sebuatan seorang “Mujidduddỉn”.5
Ayah al-Ghazali adalah seorang penenun bulu dan pedagang yang
mempunyai sebuah tokoh, beliau meninggalkan kedua puteranya, yakni ketika
Muhammad dan Ahmad masih dalam usia kanak-kanak. Kemiskinan keluara al-
Ghazali tidak bisa diragukan lagi.6 Oleh sebab itu kedua putranya dididik sendiri.
Pada masa kecilnya, ayahnya merasa mempunyai tanggung jawab yang
besar untuk memberikan sebuah pengajaran dan pendidikan kepada al-Ghazali
dan saudara kandungnya, yakni Akhmad. Namun, keinginannya tidak dapat
terwujudkan, karena belum beberapa lama, ayahnya wafat berpulang
kerahmatullah. Mungkin karena terlalu keras kerjanya demi untuk mencari nafkah
buat keluarganya sehingga ayahnya sering sakit-sakitan hingga akhirnya
meninggal dunia.
Sebelum meninggal, ayahnya berpesan kepada kedua anaknya supaya
mereka berdua meneruskan belajarnya kepada salah seorang sahabatnya (seorang
yang ahli dalam bidang tasawuf) yakni syaikh Ahmad Arrozakony. Ayah al-
5Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 29.
6Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 31.
15
Ghazali pernah berkata kepada sahabatnya itu, katanya: ,,, “Saya sangat menyesal
tentang pelajaran kedua anak saya dan saya ingin mewujudkankan apa yang
sudah menjadi pertanggung jawaban saya terhadap kedua anak saya ini. Ajarlah
dan didiklah mereka berdua dan laksanakan pertanggung jawaban saya terhadap
mereka berdua itu.” Itulah permohanan ayah al-Ghazali kepada sahabatnya agar
mau mendidik dan mengajari kedua anaknya tersebut.
Baru setelah ayahnya meninggal dunia, al-Ghazali dan Ahmad pergi kepada
guru sahabat ayahnya, mereka berdua menuruti wasiat ayahnya. Gurunya pun
sangat bahagia menyambut kedatangan al-Ghazali dan saudara kandungnya
dengan tangan terbuka. Mereka berdua belajar membaca dan menulis. Jadi, pada
masa kecilnya al-Ghazali belajar membaca dan menulis juga mempelajari ilmu
fikih di negerinya sendiri.7
Setelah beberapa lamanya mendidik dan mengasuh al-Ghazali dan
saudaranya, gurunya tersebut sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan
hidup al-Ghazali dan Ahmad, ia menganjurkan agar mereka berdua dimasukkan
kedalam madrasah untuk memperoleh sebuah pengetahuan yang baru, juga agar
bisa memperoleh sebuah santunan untuk kebutuhan hidupnya.8
B. Pendidikan al-Ghazali
Pada masa itu, madrasah-madrasah tidak ada yang memunguti biaya sepeser
pun. Oleh sebab itu para orang tua berbondong-bondong untuk menyekolahkan
anak-anaknya untuk belajar di madrasah-madrasah. Termasuk al-Ghazali dan
saudaranya ikut mendaftarkan diri di sebuah madrasah tempat kelahirannya. Dan
7Moh Syah Doa, Rahasia Alam Kebatinan, (Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956), h.7.
8Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), h. 78.
16
kesempatan ini dimanfaatkan oleh al-Ghazali untuk belajar sampai ke perguruan
yang lebih tinggi.
Pada masa itu, di kota Thus banyak para ulama dan ilmuwan yang
memberikan beasiswa kepada setiap pelajar yang tidak mampu untuk membiayai
pendidikannya. Kesempatan emas ini tidak disia-siakan oleh al-Ghazali dan
saudaranya. Atas saran sahabat ayahnya, al-Ghazali menemui seorang ilmuwan
Muslim yang kaya raya bernama syaikh Ahmad bin Muhammad Razkafi untuk
mendapatkan beasiswa. Setelah memperoleh beasiswa, al-Ghazali belajar di kota
tersebut selama bertahun-tahun.9
Setelah diterima di madrasah yang ada di tanah kelahirannya, al-Ghazali
belajar ilmu fikih dan ilmu-ilmu dasar yang lain kepada Ahmad al-Radzkani di
Thus, juga al-Ghazali belajar kepada Abu Nashr al-Isma’ili di Jurjan. Setelah itu,
al-Ghazali kembali lagi ke thus, dan selama tiga tahun berada di tempat
kelahirannya, ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar ilmu
kesufian kepada Yusuf al-Nassaj (w. 478 H).10
Al-Ghazali mulai belajarnya kepada seorang sufi besar yang memberikan
pelajaran tentang ilmu al-Qur’an dan al-Hadits, juga kepada gurunya ia belajar
tentang ilmu tasawuf. Ia kemudian belajar ilmu syariah kepada Syekh Ahmad at-
Tusi, lalu ia pergi lagi ke Jurjan untuk belajar kepada Syekh Abu Nasr.
Setelah pulang dari Jurjan, al-Ghazali kembali lagi ke Thus, ia mengabdikan
dirinya untuk mempelajari ilmu kesufian dan pada tahun 1078 M, ia diterima di
9Ikhwan Fauzi, Cendekiawan Muslim Klasik, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h. 2-3.
10Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 78.
17
Madrasah Nizamiyyah di kota Nishapur dan menjadi murid kepala sekolahnya
sendiri, yakni Syeikh Abu al-Ma’ali, seorang syekh dari Harảmain.
Dibawah bimbingan Syaikh Ma’ali, al-Ghazali belajar ilmu agama, filsafat,
dan hukum alam. Semua orang yang ada di Madrasah Nizamiyyah merasa kagum
tentang pengetahuan al-Ghazali yang begitu mendalam ditambah lagi oleh
kejeniusan otak al-Ghazali. Tanpa ada rasa malu dan rasa iri, gurunya mengakui
kepandaian muridnya tersebut sambil berkata kepada al-Ghazali, “Engkau telah
mengalahkan aku selagi hidup, paling tidak engkau bisa menunggu aku sampai
meninggal”. 11
Itulah ucapan gurunya yang begitu sangat rendah diri mengakui
keunggulan ilmu muridnya.
Di sisi lain, gurunya merasa sangat bangga atas prestasi yang telah diperoleh
oleh al-Ghazali. Walaupun al-Ghazali sudah memperoleh kemasyhuran namanya,
namun ia tetap setia terhadap gurunya tersebut dan tidak mau meninggalkannya
sampai gurunya wafat pada tahun 478 H. Sebelum al-Juwaini wafat, ia sempat
memperkenalkan al-Ghazali kepada Nizham al-Mulk, seorang perdana menteri
Sultan Saljuk Maliksyah. Nizham al-Mulk adala pendiri madrasah-madrasah di
Nizhamiyah. 12
Nizham al-Mulk adalah sebuah gelar kehormatan yang diberikan oleh Bani
Saljuk. Nama aslinya ialah Abu Ali Hasan ibn Ali ibn Ishaq at-Thusi yang lahir di
Nauqan pada tahun 408 H. Di usianya yang masih sangat mudah, yakni 11 tahun,
11
M. Atique Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, Penerjemah Ira
Puspitorini, (Yogyakarta: Diglosia, 2013). h. 51. 12
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 78.
18
ia dibimbingan ayahnya sendiri tentang belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu
keagamaan. Ia juga belajar sastra Arab dan fiqh yang bermadzhab Syafi’i.13
Pada bulan Jumadil Awal tahun 484 H, al-Ghazali diperintah oleh Nizham
al-Mulk agar pergi ke Baghdad untuk menjadi seorang guru besar di Madrasah
Nizhamiyah. Pada saat itu usia al-Ghazali masih sangat mudah, 34 tahun. Tetapi
ia sudah memperoleh kedudukan yang sangat penting di Madrasah Nizhamiyah.
Hingga banyak muridnya dari berbagai kalangan yang mengikuti kajiannya,
hingga muridnya mencapai sekitar 300.14
Ketika al-Ghazali sudah menjabat sebagai seorang guru besar, ia mengalami
kekosongan jiwa di dalam dirinya yang menyebabkan dirinya tidak betah untuk
tinggal di Baghdad. Kemudian al-Ghazali melepaskan jabatannya dan pergi ke
Syiriah untuk mencari ketenangan batin dengan cara berkhalwat (menyendiri
sambil merenung) dan melakukan riyadhah (latihan kebatinan). Ia melakukan ini
setelah ia bergelut dengan keraguan di dalam dirinya yang tidak berkunjung
selesai. Dan konflik kejiwaan antara kesibukan urusan dunia dengan kepentingan
akhirat. Ia melepaskan jabatannya agar bisa khusủ’ menjalankan shalat dan
memerangi hawa nafsunya.
Al-Ghazali sendiri mengemukan corak mengapa ia menjauhkan dirinya dari
kegemerlapan dunia dan mengisahkan perjalanan spiritualnya tentang menjauhkan
dirinya dari orang lain kemudian memfokuskan dirinya untuk menjalankan
ibadah. Ketika al-Ghazali sedang menggeluti menjadi seorang guru, ia
13
Mahbub Djamaluddin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, (Jakarta: Senja Publshing,
2015), h. 41-41. 14
Mahbub, Djamaluddin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, h. 46.
19
mendapatkan keikhlasan kerja, bahkan ia sendiri terkecoh oleh kecintaan terhadap
harta dan tahta. Konflik batin yang terus –menerus menghantui dirinya. Ketika ia
ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai guru besar, hasrat duniawi menariknya
pada sebuah jabatan.
Pada saat al-Ghazali sedang terjebak dalam keraguan terus-menerus, antara
keinginan duniawi dan kepentingan akhirat, sekitar enam bulan lamanya, saat itu
bertepatan dengan bulan rajab tahun 488 H. Pada saat itu keadaan al-Ghazali
semakin memburuk melampaui kemampuannya. Lida terasa kaku dan tidak bisa
menyampaikan matakuliah kepada para muridnya. Namun, ia terus berusaha
untuk tetap mengajar para muridnya, walaupun hanya sehari sekedar untuk
menghilangkan kegundahan hatinya. Namun lida tidak bisa mengeluarkan kata-
kata yang sesuai dengan perasaan di dalam hatinya. Keadaan yang seperti ini
membuat al-Ghazali semakin merasa sedih. Oleh sebab itu, al-Ghazali
memutuskan untuk meninggalkan Baghdad dan kepergiannya itu tidak ada
seorang pun yang mengetahuinya.15
Setelah berkelana ke semua kota-kota untuk mencari pengetahuan untuk
menenangkan batinnya, al-Ghazali dirundung rindu atas kampung halamannya. Ia
ingin kembali ke kota kelahirannya. Pada saat itu, para pejabat tinggi Khalifah
Abbasiyah dan pemerintahan Saljuk mengundangnya. Namun, ia tetap pada
pendiriannya untuk kembali ke Ghazalah.
Setelah berada di Ghazalah, al-Ghazali kemudian menikah dan dikaruniai
tiga orang anak perempuan dan satu anak laki-laki. Al-Ghazali mengisi kegitan
15
Victor Said Basil, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Penerjemah Ahmadie Thaha, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1990), h. 8-11.
20
sehari-harinya dengan mengajar dan menulis sebuah buku. Buku-buku yang ia
tulis mencapai 300 judul. Beliau pun mendirikan sebuah asrama bagi para pelajar
yang datang dari luar kota.
Adapun al-Ghazali wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau
bertepatan dengan tahun 1111 M. Sebelum ia wafat, al-Ghazali meminta kepada
para kerabatnya untuk dibawakan keranda yang biasa digunakan untuk
mengangkut jenazah. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, al-Ghazali
sempat menatap keranda jenazah itu sambil berkata, “apapun perintah Allah, aku
siap melaksanakannya.” Setelah berkata seperti itu, al-Ghazali menghembuskan
nafas terakhirnya. Dan ia disemayamkan di kota Thus, Iran.16
C. Pengaruh al-Ghazali Terhadap Tasawuf
Tidak dapat diragukan lagi yang menjadi permasalahan sasaran kritik al-
Ghazali adalah para filosof klasik. Dalam sebuah karyanya al-Munqidz min al-
Dlalảl, al-Ghazali mengatakan bahwa, setelah dirinya mengupas tuntas tentang
pemikiran para filosof, para teolog, dan golongan bathiniyah, ia masih belum puas
memperoleh jalan menuju keyakinan yang hakikat. Menurut al-Ghazali,
“kebenaran yang hakiki hanya bisa diperoleh melalui jalan tasawuf”. Di jalan
tasawuflah ia baru bisa mengenal sesuatu secara yakin, sebagaimana yang
dikatakannya sendiri. Kaum sufi adalah sosok seorang yang menempuh di jalan
Allah, dan itu adalah sebaik-baiknya jalan. Jalan yang mereka gunakan ialah jalan
yang benar, dan akhlak mereka ialah akhlak yang suci.17
16
Ikhwan Fauzi, Cendekiawan Muslim Klasik, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h. 8- 9. 17
Yusuf Qordhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra,Penerjemah Hasan Abrori,
(Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997), h. 191.
21
Imam al-Ghazali bukanlah orang yang pertama kali mendapat gelar seorang
sufi. Ia juga bukan seorang perintis dan peletak dasar ilmu tentang tasawuf. Jauh
sebelum al-Ghazali menulis tentang kitab-kitab tasawuf, pada abad sebelumnya
sudah muncul beberapa ulama yang bergelut dengan ilmu tasawuf. Pada abad
kedua Hijriyah, para sufi muncul dari daerah-daerah seperti Kufa, Bashrah,
Madinah, Khurasan, dan Mesir.18
Namun, walaupun al-Ghazali bukan seorang perintis dan peletak dasar
dalam ilmu tasawuf, tetapi al-Ghazali sebenarnya sudah pernah menjalani
kehidupan tasawuf ketika ia masih berusia sangat muda, akan tetapi ia masih
belum yakin untuk menjalani kehidupan tasawufnya. Baru setelah ia pergi
meninggalkan Baghdad pada bulan dzulhijjah 488 H atau 1095 M, ia merasa
yakin untuk menjalani tasawuf. Namun, al-Ghazali baru menjalani dan
mempraktekkan ketasawufannya ketika ia berada di Syria.
Setelah berada di Syria selama dua tahun, ia menjalani dan mempraktekkan
tasawufnya di dalam Masjid Umaiyah, kemudian ia pindah lagi ke Yerussalem
untuk melakukan hal yang sama di Masjid Umar dan monument suci The Dome of
The Rock. Setelah menziarahi makam Nabi Ibrahim di Hebron, ia baru pergi untuk
menunaikan ibadah haji, kemudian ia kembali menjalani kehidupan sufinya di
Mekkah dan Madinah.19
Al-Ghazali mempunyai intelektualitas yang sangat luas dan mendalam. Ia
memiliki intelektualitas yang berbeda-beda pada masanya, dan mampu
18
Kautsar Azhari Noer,ed, Warisan agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi,
(Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 361. 19
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuh kembangkan Kepribadian dan
Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhana, 1994 ), h. 23.
22
menguasainya dengan sangat mengherankan. Itu semua tampak dari karya-karya
yang telah ditulisnya.
Al-Ghazali membangun sebuah tasawuf Sunni yang didirikan atas dasar
akidah Ahlussunnah wa al-Jama’ah, dan berusaha menjauhkannya dari pengaruh
Gnostis dari berbagai macam pemikiran yang telah mempengaruhi para filsuf
Muslim, Ismailiyyah (salah satu sekte dari Syiah), Ihwan ash-Shafa’, dan yang
lainnya. Ia juga menjauhkan wilayah tasawuf dan konsep ketuhanan Aristoteles,
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan teori emanasi dan penyatuan.
Sehingga bisa dikatakan bahwa tasawuf al-Ghazali beralirkan Islam murni.
Al-Ghazali sangat merasa kagum terhadap para sufi-sufi klasik, terutama
pada sufi abad ketiga dan keempat hijriyah yang beraliran Sunni. Ia mengambil
keilmuan kesufiannya dari Harits al-Muhasibi, dan sangat mengaguminya seperti
yang telah dikemukakan oleh Ibn Ibad Randi dalam kitab Syarakh Himak.
“Imam Abu Abdillah al-Harits al-Muhasibi, menulis sebuah kitab
yang berjudul Nasbaih, yang di dalamnya mengandung pemikiran-
pemikiran tentang hawa nafsu dan kejelekan-kejelekannya secara
menyeluruh, dan sekaligus mengkaji kesunnahan secara menyeluruh
sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu kita, serta melakukan
penelitian dan melihat segala sesuatu yang yang bisa memperbaiki
perbuatan, kondisi, dan jiwa mereka, serta menjaga kesucian hati, dan
menekankan kehati-hatian agar tidak terjerumus dalam dosa.”20
Imam al-Ghazali memberikan pujian terhadap al-Muhasibi dalam salah satu
bab di kitabnya (Ihya’) dan bahkan mengemukakannya secara leterlek, setelah
memuji penulisannya, kemudian ia menjelaskan kepada orang-orang yang belum
mengetahuinya tentang keilmuan dan keutamaannya, ia mengatakan: “Al-
20
Lihat ucapan Ibn Ibad randi tentang pujian al-Ghazali kepada al-Muhasibi dalam buku
Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya,Penerjemah Subkhan Anshori, (Jakarta: Gaya Media Pertama), h. 192-193.
23
Muhasibi merupakan orang yang sangat memumpuni dalam bidang mu’ammalah.
Pembahasannya tentang cela-cela yang ada di dalam jiwa, penyakit-penyakit
dalam amal perbuatan, dan segala sesuatu yang bisa merusak amal ibadah, telah
mendahului orang-orang yang membahas permasalahan tersebut.”21
Pernyataan tersebut sekaligus menunjukkan dominasinya nuansa akhlak
dalam tasawuf al-Ghazali. Perhatiannya terhadap tasawuf sebagaimana al-
Muhasibi dan sufi-sufi kurun ketiga dan keempat, adalah tentang nafs (jiwa atau
hawa nafsu). Manusia, dan bahaya-bahayanya mekanisme melakukan pembinaan
terhadap akhlaknya. Secara keseluruhan, tasawufnya adalah berkenaan dengan
sebuah pembinaan akhlak.22
Sebelumnya al-Ghazali sangat tidak suka terhadap tasawuf. Ia tidak
mempercayai tentang maqam-maqam (tingkatan-tingkatan), kondisi-kondisi
spiritual, dan penyingkapan hijab (kasyf) yang banyak digunakan oleh kalangan
para sufi. Apalagi ia melihat sendiri bagaimana cara hidup golongan sufi pada
masa itu, yang tampak jelas anti intelektual. Namun, setelah mempelajari kitab-
kitab tasawuf dari berbagai para tokoh-tokohnya sendiri, al-Ghazali mengetahui
bahwa sebenarnya para sufi itu telah melenceng dari apa yang telah digariskan
oleh para sufi-sufi yang lurus.”Penempuh jalan Tuhan,” demikian menurut al-
Ghazali.
Selain itu, al-Ghazali juga mengkritisi para sufi di masa itu yang tidak mau
mempelajari ilmu lahiriah. Padahal ilmu lahiriah seperti fiqh dan syar’i lain sangat
21
Lihat pujian al-Ghazali dalam buku Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf
Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya, h. 193. 22
Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya, h. 193.
24
membantu meluruskan seorang salik (Pejalan menuju Tuhan) untuk menimbang
kelurusan jalan yang ia tempuhnya. Hal ini dibuktikan, di antaranya, ia
memulainya di dalam kitab ihya’ ‘Ulủmuddỉn dengan bab ilmu, yang berisi
anjuran dan sangat penting mempelajari berbagai macam ilmu.
Al-Ghzali mengatakan di dalam kitabnya tersebut: “Tipu daya di jalan
menuju Allah sedemikian begitu banyak macamnya, tidak bisa dihitung….”,
kemudian al-Ghazali melanjutkan sesudah beberapa uraian : “….Semua itu
disebabkan karena kekeliruan dan was-was yang diletakkan oleh setan, karena
mereka sibuk dengan bermujahadah sebelum menguasai ilmu; karena mereka
tidak mengikuti seorang guru yang bertakwa lagi berilmu, yang pantas untuk
dijadikan teladan.”23
Setelah mengkaji pemikiran teologi, filsafat, dan ajaran Batiniyyah, al-
Ghazali memberi sebuah kesimpulan bahwa tasawuflah sebuah jalan yang bisa
mengantarkan manusia untuk menuju ke jalan Tuhan, dan golongan para sufilah
yang paling nyata dalam mencari sebuah kebenaran. Jalan para sufi ialah
kombinasi (gabungan) antara ilmu dan amal, dan buahnya adalah sebuah
moralitas.
Dengan demikian, menurut pendapat al-Ghazali, mempelajari ilmu para sufi
melalui karya-karya mereka ternyata lebih mudah daripada mengamalkan
ilmunya. Kemudian al-Ghazali menyatakan bahwa keistimewahan dan kelebihan
khusus hanya milik para sufi tidak mungkin keistimewahan dan kelebihan khusus
tersebut dicapai hanya melalui belajar, tetapi harus melalui ketersingkapan batin
23
Mahbub Djamaluddin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, (Jakarta:Senja Publishing,
2015), h. 112-113.
25
(kasyf), keadaan rohaniah, serta pergantian tabiat-tabiat. Bagi al-Ghazali tasawuf
adalah sebuah pengalaman yang nyata.24
D. Karya-karya al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang ulama yang sangat menguasai dalam segala hal
bidang tentang ilmu agama. Begitu juga ia adalah seorang ulama yang sangat
produktif dalam hal tulis-menulis. Oleh sebab itu, beliau mempunyai beberapa
karya dalam segala bidang agama. Seperti dalam bidang tasawuf, filsafat, fikih,
dan bidang ilmu agama lainnya. Namun penulis hanya akan mencantumkan
beberapa karya beliau yang fenomenalnya saja.
Dalam bidang tasawuf beliau menulis kitab Ihyả’ ‘Ulủmuddỉn
(Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), Kitab ini terdiri dari empat jilid. Jilid yang
pertama menjelaskan tentang masalah ibadah (al-‘Ibảdah). Jilid yang kedua
menjelaskan tentang masalah yang berkaitan tentang perilaku (al-‘Ảdat). Jilid
yang ketiga menjelaskan tentang menjelaskan masalah yang membinasakan (al-
Muhlikah). Dan jilid yang keempat berisi tentang menjelaskan masalah yang
menyelamatkan (al-Munjiyah).
Kitab Minhảj al-‘Ảbidỉn (Jalan para Ahli Ibadah) membahas tentang
masalah ibadah, etika, dan masalah tentang tasawuf. Adapun kitab Kaimiyyah al-
Sa’ảdah (Metode Kebahagiaan) menjelaskan tentang manusia, Tuhan, dan
masalah pernikahan.
Dalam bidang filsafat, beliau menulis al-Tahảfut al-Falảsifah (Kerancauan
pemikiran para Filusuf). Kitab ini berisi tentang kritikan al-Ghazali terhadap para
24
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). h. 42.
26
filusuf Islam sesudahnya yang mengatakan tentang tidak adanya hari kebangkitan,
ketidaktahuan Tuhan tentang masalah juz’i, dan tentang masalah kekekalan alam.
Adapun kitab Munqỉdz min al-dlalảl (Pembebasan dari Kesesatan). Kitab ini
membicarakan tentang golongan yang mengingkari terhadap segala ilmu,
membicarakan tentang keberhasilan ilmu filsafat, dan pembahasan yang lainnya.
27
BAB III
TEORI RIYA’ MENURUT TOKOH SUFI
A. Abdul Qodir al-Jailani
Penulis belum menemukan secara langsung syaikh Abdul Qadir Jailani
mendefinisikan istilah riya’. Namun di dalam kitabnya al-Fathul al-Rabbani
beliau menjelaskan tentang orang yang melakukan berbuat riya’. Beliau
mengatakan, orang yang berbuat riya’ adalah orang yang memakai pakaian yang
bersih tetapi hatinya kotor. Ia hidup berzuhud menjauhi hal-hal yang
diperbolehkan dan bermalas-malasan dalam berusaha. Ia mencari makannya
dengan berhutang kepada orang lain. Secara umum, ia tidak mempunyai sifat
wara’. Ia memakan sesuatu yang sudah jelas-jelas haram. Ia juga panadai
menyimpan rapat sifat keburukannya di hadapan orang biasa, namun ia dapat
terbongkar di hadapan orang yang mempunyai keistimewaan yang luar biasa.
Kezuhudan dan ketaatannya hanya terlihat di luar saja.1
Yang dimaksud dengan zuhud ialah meninggalkan keinginan dari segala
sesuatu karena mengikuti keinginan lain pada sesuatu yang lebih baik. Misalnya
orang tidak mau mengambil tanah tetapi ia mengambil uang karena lebih berharga
daripada tanah, maka orang yang seperti ini tidak melakukan zuhud.2
Orang yang seperti ini menurut Abdul Qodir, dari lahirnya ia adalah
seorang yang pemakmur rumah Tuhan, namun batinnya bobrok. Ia melaknat
orang yang melakukan perbuatan ini. Ketaatan kepada Tuhan itu dengan hati,
1Abdul Qadir al-Jailani, Renungan Sufi, Penerjemah Kamran As’ad Irsyadi,
(Yogyakarta: Beranda, 2010), h. 258. 2Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang 1998), h, 51.
28
bukan dengan formalitas ucapan dan tingkah laku. Semua hal di atas terkait
dengan perbuatan hati, nurani, dan dimensi maknawi.3
Kemudian beliau juga mengecam seseorang yang melakukan riya’ dengan
menggunakan sifat wara’. Kebanyakan orang banyak mengaku seorang yang
wara’ tetapi menurut beliau hanya di lisannya saja, namun hatinya durjana.
Lisannya merangkai pujian-pujian terhadap Tuhan, namundi hatinya ada sifat
menentangnya. Penampilan lahirnya bagaikan seorang yang Muslim, namun
batinnya adalah seorang yang kafir. Lahirnya mengesakan Tuhan, namun batinnya
menyekutukan Tuhan. Jika seseorang telah melakukan perbuatan seperti ini, maka
setan benar-benar telah bersemayam di dalam hatinya, bahkan hatinya dijadikan
sebagai tempat tinggalnya setan.4
Menurut beliau lagi, kalian hanya berbicara dengan mulut kalian semata,
bukan dengan hati kalian. Kalian sebenarnya adalah orang-orang yang menentang
firman-Nya, para nabi, dan para pengikut-pengikutnya yang sesungguhnya
merupakan pengganti dan pewaris para nabi. Kalian lebih merasa bangga dengan
pemberian dan pujian makhluk (manusia) daripada anugerah dari Tuhan. Ucapan
kalian tidak akan didengar oleh Tuhan hingga kalian bertaubat dengan setulus dan
keteguhan serta menerima ketentuan dan keputusan secara total.5
Celakalah diri kalian! Itulah ucapan laknat beliau terhadap orang yang
amal perbuatannya hanya untuk diperlihatkan dihadapan orang lain. Kemudian
beliau melanjutkan, bagaimana kalian rusak akhirat kalian hanya karena
3Abdul Qadir al-Jailani, Renungan Sufi, Penerjemah Kamran As’ad Irsyadi, h. 258.
4Abdul Qadir al-Jailani, Renungan Sufi, Penerjemah Kamran As’ad Irsyadi, h. 259-260.
5Abdul Qadir al-Jailani, Renungan Sufi, Penerjemah Kamran As’ad Irsyadi, h. 261.
29
keduniawian. Bagaimana kalian rusak ketaatan pada junjungan kalian „Azza wa
Jalla dengan ketundukan kalian terhadap hawa nafsu, setan, dan manusia.6
Menurut beliau, kalian adalah seorang pembohong dalam segala keadaan
kalian. Kalian sendiri tidak mengetahui jalan menuju Tuhan, lalu bagaimana
kalian mau mengajak selain diri kalian menuju ke Tuhan? Kalian sudah dibutakan
oleh hawa nafsu, tabi’at, kecintaan diri kalian terhadap dunia, ambisi
kepemimpinan, dan syahwat kesenangan kalian.7
Oleh sebab itu, beliau menyuruh untuk meninggalkan perbuatan riya’.
Beliau mengatakan, jika kalian memang memiliki sebuah pengetahuan dan
keberkahannya, tentu kalian tidak akan melangkah menuju pintu-pintu pembesar
hanya untuk menuruti kebahagiaan nafsu dan syahwat kalian. Seorang yang
berpengetahuan tidak akan melangkahkan kedua kakinya untuk berjalan menuju
pintu-pintu makhluk (manusia).
Seorang yang zuhud juga tidak akan menggerakkan kedua tangannya
untuk mengambil harta-harta kekayaan manusia. Sedangkan seorang pencinta
Tuhan tidak akan mengarahkan pandangan kedua matanya untuk melihat selain-
Nya.8
Telanjangilah diri kalian dari segala yang ada apad diri kalian hingga
Tuhan memakaikan kepada kalian pakaian yang tiada pernah tergantikan karena
rusak. Tinggalkanlah pakaian kalian hingga Tuhan membungkus diri kalian
dengan sebuah pakaian. Tinggalkanlah baju syahwat, kelembutan, ‘ujub
6Abdul Qadir al-Jailani, Renungan Sufi, Penerjemah Kamran As’ad Irsyadi, h. 262.
7Abdul Qadir al-Jailani, Renungan Sufi, Penerjemah Kamran As’ad Irsyadi, h. 378.
8Abdul Qadir al-Jailani, Renungan Sufi, Penerjemah Kamran As’ad Irsyadi, h. 377.
30
(membanggakan diri), dan kecintaan kalian agar diterima manusia dan mendapat
pujian (riya’) dan diberi hadia dari mereka.
Jika kalian meninggalkan semua perbuatan seperti ini, ia mengatakan,
kalian akan melihat tangan-tangan kelembutan0Nya untuk menjemput kalian,
kasih-Nya akan memeluk kalian, serta nikmat dan anugerah-Nya akan
membungkus dan merengkuh kalian ke dalam-Nya. Kalian harus menuju-Nya.9
B. Abu Ja’far
Syaikh Abu Ja’far adalah seorang guru dari seorang sufi besar abad ke-3
H, yakni al-Muhảsibi. Walaupun beliau tidak secara langsung menulis hasil
pemikirannya, namun pemikiran-pemikirannya itu ditulis oleh muridnya tersebut.
Di antara pemikirannya yang ditulis oleh muridnya adalah tentang riya’.
Beliau memberi pengertian riya’ ialah suka mendapatkan pujian dari orang
banyak atas perbuatan baik yang telah ia lakukan.10
Riya’ adalah salah satu
penyakit hati yang bisa menyerang setiap orang yang beramal dan beribadah.
Penyakit yang satu ini bisa merusak bahkan menghancurkan nilai amal ibadah
seseorang, walaupun seseorang tersebut sudah banyak melakukan amal perbuatan
dan ibadah, namun semuanya akan menjadi tidak berharga. Orang tersebut tidak
mendapatkan balasan dari Tuhan, yakni ia tidak bisa merasakan hasil atau buah
dari apa yang telah ia kerjakan baik di dunia maupun di akhirat.11
9Abdul Qadir al-Jailani, Renungan Sufi, Penerjemah Kamran As’ad Irsyadi, h 258-259.
10Al-Muhảsibi, Menuju Hadirat Ilahi, Penerjemah Tholib Anis, (Bandung: Al-Bayan,
2003), h. 60. 11
A. Ilyas Ismail dkk, Ensiklopedi Tasawuf,ed. Heri MS Faridy dkk, (Bandung: Angkasa,
2008), h. 1030.
31
Sumber dari sifat riya’ menurut beliau ialah mencintai dunia.12
Dunia
memiliki dua sisi, yakni sisi lahir dan sisi batin. Sisi batin dunia menurut beliau
ialah menuruti ajakan hawa nafsu, seperti sombong, dendam, iri hati, riya’, buruk
sangka, jelek nurani, cari muka, suka dipuji, cinta harta, bersaing dalam kekayaan,
saling membanggakan dirinya, dan cinta kedudukan. Adapun sisi lahirnya ialah
harta, pakaian, rumah, pelayan, kendaraan, dan semua materi yang mendatangkan
kenikmatan sesaat. Para pecinta dunia hanya akan mendapatkan celaan dan
memutuskan dirinya dari akhirat.13
Menurut al-Muhảsibih, kecintaan terhadap dunia sebuah pangkal dari
setiap yang bertentangan dengan akhirat, dan yang menjadi sasaran empuk dari
tipu daya setan untuk merusak umat dan menyia-nyiakan batasan-batasan hukum
agama.
Al-Muhảsibi melanjutkan, cinta dunia merupakan pangkal dari bencana
dan sumber dari setiap kesalahan. Bermula dari sinilah para manusia mengabaikan
hak-hak Tuhan dan menelantarkan hokum-hukum-Nya, berupa perintah shalat,
puasa, zakat, serta seluruh kewajiban yang lainnya.14
Menurut beliau, ketika seseorang sudah menggandrungi dunia, maka ia
akan lebih senang untuk tinggal bersamanya. Ia ingin tinggal di dunia selama-
lamanya, mempopulerkan kedudukannya, mendapatkan pujian, dan namanya akan
12
Al-Muhảsibi, Menuju Hadirat Ilahi, Penerjemah Tholib Anis, h. 60. 13
Al-Muhảsibi, Menuju Hadirat Ilahi, Penerjemah Tholib Anis, h. 44. 14
Al-Muhảsibi, Nasihat-nasihat Sang Sufi, Penerjemah Saifuddin Zuhri, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2000), h. 18.
32
selalu disebut dengan kebaikan. Ia juga ingin membangun citra kelompoknya di
kalangan para pengikutnya agar namanya semakin terkenal.15
Al-Muhảsibi melarang manusia agar jangan sampai terpedaya oleh setan
dan wakil-wakilnya di antara manusia hanya karena alasan yang lemah di sisi
Tuhan. Sesungguhnya mereka itu adalah orang yang rakus terhadap dunia lalu
mereka mencari-cari alasan untuk diri mereka.16
Menurut beliau, ada tiga hal yang menjadi tanda orang yang berbuat riya’,
yakni jika berada di tengah orang banyak ia akan giat, jika ia sendirian maka ia
merasa malas untuk mengerjakannya, dan terakhir ingin mendapatkan pujian dala
segala tindakan.17
Sedangkan Sayyid Muhammad Nuh memperkuat pendapat beliau tentang
tanda orang yang melakukan perbuatan riya’. Ia juga membagi tanda orang yang
berbuat riya ada tiga pula. Di antaranya:
Pertama, Rajin dan melipat gandakan ketika sedang mengerjakan
perbuatan amal baik bila ia mendapat pujian, tetapi ia akan malas mengerjakannya
dan enggan melakukan amal baik kalau tidak mendapatkan pujian.
Kedua, rajin dan suka melipat gandakan perbuatan baik jika ia berada di
antara kerumuan orang banyak, tetapi ia merasa malas berbuat kebaikkan ketika
sedang sendirian atau jauh dari kerumuan orang banyak.
15
Al-Muhảsibi, Menuju Hadirat Ilahi, Penerjemah Tholib Anis, h. 60. 16
Al-Muhasibi, Nasihat-nasihat Sang Sufi, Penerjemah Saifuddin Zuhri, h. 26. 17
Al-Muhảsibi, Menuju Hadirat Ilahi, Penerjemah Tholib Anis, h. 61.
33
Ketiga, tidak melanggar larangan Tuhan jika berada di antara orang
banyak, tetapi ia akan melanggarnya ketika ia sedang berada sendirian atau jauh
dari orang banyak.18
Faktor yang menjadi penyebab seseorang yang melakukan riya ialah
karena kurangnya pengetahuan tentang Tuhan. Orang yang bodoh atau kurang
mengenal Tuhan bisa menjadi penyebab seseorang tidak mengagungkan atau
menghormati hukum-hukum Tuhan, Ia menganggap kalau dirinya mampu
memberikan kerusakan dan kemaslahatan. Dari sini ia pun cenderung ingin
memperlihatkan (riya’) amal perbuatan baiknya kepada orang-orang, agar orang
lain memberikan sesuatu terhadap dirinya.
Perbuatan tamak juga bisa menjadi faktor penyebab seseorang untuk
berbuat riya’. Tamak terhadap materi yang ada pada diri orang lain dan
menginginkan dunia bisa membuat seseorang berbuat pamer (riya’). Agar orang
lain mempercayainya, hati orang lain menjadi lunak, dan akhirnya mereka
memberikan sesuatu terhadap dirinya. Ia pun akan memperlihatkan amal
baiknya.19
C. Ibnu ‘Ata’illah
Sebagaimana halnya syaikh abdul Qadir al-Jailani yang secara langsung
memberikan sebuah pengertian secara khusus tentang riya’, Ibnu “ata’illah pun
tidak memberikan pengertian secara jelas. Namun di dalam kitabnya, beliau
18
Sayyid Muhammad Nuh, Menggapai Ridha Ilahi, Penerjemah Darmanto dan Abdul
Wadud, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1998), h, 127. 19
Sayyid Muhammad Nuh, Menggapai Ridha Ilahi, Penerjemah Darmanto dan Abdul
Wadud, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1998), h, 124-125.
34
menyebutkan istilah tentang riya’. Beliau mengatakan, terkadang riya’ itu masuk
di dalam diri anda sekiranya orang lain tidak melihat kepada diri anda.20
Menurut syaikh Muhammad bin Ibrahim seorang ulama yang mensyarakhi
(memberikan penjelasan) kitab al-Hikam Ibnu ‘Ata’illah menjelaskan, maksud
dari Ibnu ‘Ata’illah itu adalah anda ada di sebuah tempat tetapi manusia tidak
melihat diri anda di tempat tersebut.
Menurut Muhammad bin Ibrahim, riya’ itu ada dua macam. Yakni riya’ al-
Jalỉ (riya’ yang jelas) dan riya’ al-Khảfi (riya’ yang samar). Pertama riya yang
jelas ialah seseorang yang melakukan perbuatan amal ketika berada di hadapan
orang lain. Kedua riya’ yang samar ialah seseorang yang melakukan perbuatan
riya’ tetapi ia menyamarkan perbuatannya tersebut ketika ia berada di hadapan
orang lain.21
Kemudian Ibnu ‘ata’illah memberi perumpamaan tentang seseorang yang
berbuat amal harus tanpa ada keinginan lain. Ia mengatakan, janganlah anda
berangkat dari satu keadaan menuju keadaan yang lainnya. Maka jadilah anda
seperti hewan keledai penarik gilingan. Ia berjalan sedang jalan yang ia tempati
adalah sebuah tempat yang ia mulai berangkat.22
Siapa saja yang melakukan perbuatan amal baik, maka hendaknya mereka
menyandarkan perbuatannya itu hanya karena Tuhan semata, dan bukan karena
yang lainnya, termasuk mengharapkan surga. Karena surge juga termasuk
makhluk Tuhan. Oleh sebab itu, untuk menghindari perbuatan riya’ maka
20
Ibnu ‘Ata’illah, al-Hikam, (Kediri, Percetakan Petuk, tt), h. 5. 21
Muhammad bin Ibrahim, Syarakh al-Hikam, (Kediri: Petuk, tt), h. 5. 22
Lihat pendapat ibnu ‘Ata’illah di buku Labib Mz, Kuliah Ma‟rifat, (Surabaya: Tiga
Dua, 1996), h. 69.
35
seseorang yang melakukan perbuatan baik harus menanamkan sifat ikhlas.
Kemudian Labib Mz mengutip ucapan al-Muhảsibi.
“Ikhlas adalah menuju Tuhan dengan cara mentaatinya, tidak ada yang
lain dikehendaki selain-Nya. Adapun riya‟ itu terbagi menjadi dua macam. Riya‟
mentaati Tuhan tapi karena manusia, dan tujuannay karena manusia dan
Tuhannya, keduanya termasuk perbuatan amal”.23
Itulah pernyataan Ibnu ‘Ata’illah mengenai tentang riya’. Riya’ yang
dimaksud oleh beliau terkadang tanpa bisa diketahui oleh orang lain. Oleh sebab
itu kita harus berhati-hati terhadap riya’ yang samar seperti ini. Kalau tidak
berhati-hati, maka ia bisa celaka.
23
Labib Mz, Kuliah Ma‟rifat, (Surabaya: Tiga Dua, 1996), h. 70.
37
BAB IV
PANDANGAN RIYA’ MENURUT AL-GHAZALI
A. Pengertian Riya’
Riya‟ berasal dari kata ru’yah yang artinya melihat, sementara sum’ah
berasal dari kata samả‟ yang artinya mendengar.1 Sedangkan al-Ghazali
memberikan sebuah pengertian tentang riya‟ adalah mencari kedudukan di dalam
hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka tentang beberapa hal yang
sifatnya kebaikan.2 Di dalam kitab yang lainnya, al-Ghazali mendefinisikan riya‟
adalah mencari sebuah kemasyhuran atau ketenaran dan kedudukan dengan
menggunakan ibadah.3 Di dalam kitab minhảj al-‘Abidỉn, al-Ghazali memberi
pengertia riya‟ ialah seseorang mengerjakan sesuatu tetapi hanya ingin
memperoleh kemanfaatan dunia dengan jalan melakukan ibadah.4 Pengertian riya‟
yang dijelaskan oleh al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ dan kitab yang lainnya
artinya sama, yakni memperlihatkan kebaikan, pangkat, kedudukan di hati
manusia menggunakan dengan amal-amal perbuatan selain ibadah, dan terkadang
juga memakai dengan amal ibadah.5
Jadi al-Ghazali mendefinisikan riya‟ itu dikhususkan dengan hukum
kebiasaan untuk mencari kedudukan di hati manusia dengan cara ibadah dan
1Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulủmuddỉn, Penerjemah Irwan Kurniawan, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1999), h. 285. 2Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah, (Jakarta: Republik, 2012), h. 291. 3Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlak yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
(Jakarta: Pustaka Amani, tt), h. 136. 4Al-Ghazali, Menuju Mukmin Sejati, Penerjemah Abdullah bin Nuh, (Bogor: Fenomena,
1986), h. 308. 5Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah, h.291.
38
diperlihatkannya.6 Sedangkan menurut Abdullah bin Husain, riya‟ adalah
melakukan amal perbuatan karena manusia.7 Intinya, riya‟ adalah sebuah
perbuatan yang dilakukan dihadapan seseorang atau orang banyak tetapi ia
mempunyai tujuan agar memperoleh perhatian dan pujian dari mereka.
Jadi, penulis menyimpulkan tentang pengertian riya‟ ialah beramal
melakukan perbuatan baik tapi ingin diperlihatkan di depan orang lain agar apa
yang telah ia lakukan itu memperoleh perhatian dan pujian dari manusia.
Adapun riya‟ menurut Muhammad Ali Ba‟athiyah adalah mencari sebuah
kedudukan dan kemuliaan di hadapan manusia dengan menggunakan perbuatan-
perbuatan yang berkaitan dengan urusan akhirat. Misalnya mendirikan shalat,
berpuasa, bershadaqah, berhaji, dan membaca al-Qur‟an agar memperoleh pujian
dan kemuliaan dari orang yang melihatnya.8
Sedangkan al-Ghazali menjelaskan lagi tentang pengertian riya‟ ialah
keinginan manusia akan kedudukan di hati manusia dengan menaati Tuhan. Maka
manusia yang berbuat riya‟ seperti itu adalah manusia yang beribadah dengan
memperlihatkan ibadahnya dihadapan manusia.9
Riya‟ adalah satu di antara dua perbuatan syirik, yakni sebuah perbuatan
syirik yang samar. Perbuatan riya‟ ini bersumber dari rasa keinginan seseorang
memperoleh perhatian dari sesame makhluk sehingga sehingga orang tersubut
bisa memperoleh jabatan, kedudukan, dan sanjungan dari orang lain.10
6Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah,h. 291. 7Abdullahbin Husain, Sullamal-Taufỉq, (Surabaya: Kharisma, tt), h. 63.
8Muhammad Ali Ba‟athiyah, Suluk: PedomanMemperoleh Kebahagiaan Dunia-
Akhirat,Penerjemah Hasan Suaidi, (Bantul: CV. Layar Creativa Mediatama, 2015), h. 134. 9Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah,h. 291. 10
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
(Jakarta: Pustaka Amani, tt), h. 155.
39
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi, riya‟ adalah syirik yang
tersembunyi. Kemudian beliau mengutip sebuah hadis nabi, “hindarilah syirik
kecil”. Lalu para sahabat bertanya, “apa syirik kecil itu?”Nabi menjawab, riya’. Ia
adalah salah satu dari dua syirik.”
Asal timbulnya sifat syirik ialah karena mencari simpati atau perhatian di
dalam hati manusia dengan cara menonjolkan sifat-sifat baiknya agar memperoleh
kedudukan dan sanjungan agar ia memperoleh keseganan di antara manusia.11
Penyakit hati yang sangat buruk yang menimpa pada diri manusia ialah
kemusyrikan. Karena memberikan sebuah rububiyah kepada yang tidak
mempunyai hak menerimanya dan memberikan berbagai macam ubudiyah
(ibadah) kepada yang tidak berhak untuk mendapatkannya.
Seseorang bisa saja terkena penyakit kemusyrikan yang tersembunyi, yaitu
riya‟ sehingga manusia melihatnya mengerjakan segala sesuatu amal perbuatan
seolah-olah beribadah kepada seseorang atau masyarakat, kemudian dari sinilah ia
mulai terjerumus ke dalam sifat riya‟ yang sangat berbahaya juga membawa
dampak yang sangat negative terhadap orang yang melakukannya.
Masalah yang terbesar diupayakan oleh manusia adalah keselamatan
dirinya di samping Tuhan. sementara itu, banyak sekali nash yang menerangkan
kebinasaan orang yang beramal tidak ikhlas untuk mencari keridhaan Tuhan.
Dalam buku Sa‟id Hawa, ada sebuah hadis shahih yang menyebutkan tiga orang
yang pertama kali menjadi bahan bakar api neraka dari golongan orang-orang
11
Muhammad Nawawi, Terjemah Maraqil ‘Ubudiyah, Penerjemah Zaid Husein al-
Hamid, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), h. 196.
40
yang berbuat maksiat, yaitu orang yang riya‟ dengan jihadnya, orang yang riya‟
dengan ilmunya, dan orang yang riya‟ karena kedermawanannya.12
Riya‟ menurut al-Ghazali ada dua, yang pertama riya‟ khusus. Riya‟ ini
hanya bertujuan untuk mencari keuntungan dunia saja tanpa diimbangi dengan
tujuan akhirat. Sedangkan riya‟ yang kedua ialah riya‟ campuran. Riya‟ ini
mempunyai tujuan dunia dan akhirat. Jadi, riya‟ yang khusus itu tidak dimiliki
oleh orang-orang yang makrifat. Adapun menurut gurunya, al-Ghazali
mengatakan, riya‟ yang khusus itu tidak akan terjadi pada orang yang makrifat
dalam keadaan sadar akan akhirat, tetapi terjadinya itu ketika dalam keadaan
lengah. Sedangkan riya‟ campuran itu bisa menghilangkan seperempat bagian
pahala.13
Adapun di kitab lainnya al-Ghazali membagi riya‟ menjadi tiga. Pertama
riya‟ yang jelas, yakni riya‟ yang mendorong terwujudnya sesuatu amal perbuatan
hingga ia merasakan kalau tidak adanya riya‟ tidak ada rasa kesenangan dalam
melakukan amal perbuatan.14
Kedua riya‟ yang samar, yakni riya‟ yang tidak mampu untuk mewujudkan
amal perbuatan tetapi ia merasakan kesenangan ketika melakukan amal perbuatan,
sehingga orang yang memiliki riya‟ yang semacam ini akan menjadi lemah
semangatnya dalam melakukan amal tanpa adanya riya‟ tersebut.
Misalnya orang yang melakukan shalat tahajjud diwaktu malam hari,
apabila ia kedatangan tamu maka ia akan semangat melakukan shalat tahajjudnya.
Yang lebih samar dari tingkatan ini bahwa perbuatan tersebut tidak menambah
12
Sa‟id Hawa, Menyucikan Jiwa, Penerjemah Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, (Jakarta:
Robbani Press, 2013), h. 219. 13
Al-Ghazali, Menuju Mukmin Sejati, Penerjemah Abdullah bin Nuh,h. 309. 14
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
(Jakarta: Pustaka Amani, tt), h. 150.
41
semangat, tetapi jika ia sedang melakukan shalat tahajjud kemudian dilihat oleh
orang lain, ia merasa bahagia dan di dalam dirinya ada rasa sangat puas.
Hal yang semacam ini menunjukkan kalau riya‟ tersebut berada di tengah-
tengah hati seserang sebagaimana terpendamnya api dibawah rasa cinta, sehingga
terbukalah rasa kesenangan daripadanya ketika diperlihatkan. Sedangkan hatinya
sudah lupa terhadap kecintaan itu.15
Ketiga riya‟ yang samar, riya‟ ini tidak merasa senang kalau orang lain
melihatnya, akan tetapi riya‟ itu terjadi biasanya ketika memulai salam. Dan ia
merasa heran terhadap orang yang berbuat jahat terhadap dirinya dan tidak mau
bertoleransi di dalam perdagangan serta ia tidak mau menghormatinya.
Hal yang seperti ini menunujukkan amal perbuatannya diberikan hanya
kepada manusia; seolah-olah ia memberikan penghormatan kepada manusia
dengan perbuatan ibadah dengan menyembunyikan sifat riya‟ itu terhadap
manusia.16
Sifat riya‟ itu terkadang datang pada saat berniat untuk mengerjakan
ibadah, tetapi rasa riya‟ itu tidak menghilangkan kesadaran dirinya dari golongan
ibadahnya, melainkan hanya semata-mata hanya untuk memperoleh kesenangan
dirinya sendiri dalam menjalankan ibadah yang tidak memberi pengaruh sama
sekali pada pelaksanaan ibadah tersebut. Kecuali hanya bisa menambah bagusnya
saja, maka perasangka yang kuat menyatakan bahwa ibadahnya tidak rusak,
sedangkan kewajibannya terlaksanakan.17
15
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
h. 150. 16
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
h. 150. 17
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
h. 152.
42
Menurut al-Ghazali, kalau saja orang-orang menyadari akan perbuatan-
perbuatan yang telah mereka kerjakan, maka mereka akan memaklumi bahwa
kebanyakan ilmu-ilmu yang mereka peroleh dan ibadah-ibadah yang telah mereka
kerjakan sesungguhnya dihasilkan dari dorongan riya‟. Karena kesukaannya
mencari pengaruh agar orang lain memuji dirinya adalah termasuk
memperturutkan hawa nafsu, dan disebabkan oleh perbuatanseperti inilah banyak
manusia yang hancur binasa.18
Hawa nafsu selalu mengajak manusia untuk berbuat riya‟ dengan
memperindah amal dan merasa senang kepadanya, sedangkan kebencian terhadap
perbuatan riya‟ akan mengajak untuk menolak dan berpaling dari padanya. Dalam
masalah ini kekuatan manusia akan tergerak untuk mengikuti dorongan yang lebih
kuat. Andai saja kebencian terhadap riya‟ lebih kuat sehingga bisa mencegah
datangnya perbuatan riya‟ kedalam amal perbuatan dan menemani amal ibadah
yang sedang dikerjakan; artinya amal ibadah manusia tidak akan bertambah juga
tidak akan berkurang karena riya‟.19
Oleh sebab itu, al-Ghazali mekankan agar sifat riya‟ itu dihilangkan.
Karena sifat riya‟ benar-benar bisa menghilangkan semua amal perbuatan baik
dan merupakan menjadi sebab kemurkaan serta mendatangkan kebencian Tuhan
terhadap siapa saja yang melakukan riya‟.
Riya‟ merupakan sebuah sifat perusak jiwa dan hati yang sangat besar.
Oleh sebab itu, keadaannya memang benar-benar nyata sangat membahayakan.
18
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
h. 155. 19
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
h. 155.
43
Oleh karena itu, keberadaan riya‟ yang ada di dalam diri seseorang harus
dilenyapkan sama sekali hingga ke akar-akarnya dari dalam hati.20
B. Tujuan Riya’
Al-Ghazali mengatakan, orang yang berbuat riya‟ itu pasti mempunyai
tujuan dan maksud yang terkandung di dalam hatinya. Ia melakukan perbuatan
riya‟ adakalanya sebab menginginkan untuk memperoleh harta, kedudukan,
kemasyhuran ataupun hal-hal yang lainnya. Inipun ada pula tingkatan-
tingkatannya.21
Pendapat Sa‟id Hawa juga tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan
oleh al-Ghazali. Sa‟id mengatakan, manusia yang melakukan perbuatan riya‟ pasti
mempunyai tujuan yang tertentu. Ia melakukan perbuatan riya‟ adakalahnya
bertujuan untuk mendapatkan harta, kedudukan, atau tujuan-tujuan yang lainnya.22
Tetapi penulis akan menulis tujuan riya‟ di sini menurut pandangan al-Ghazali.
Tujuan yang pertama menurut al-Ghazali adalah ia melakukan riya‟ tapi
punyamaksud untuk bermaksiat, seperti seseorang yang memamerkan ibadahnya,
menunjukkan ketaqwa dan kewara‟annya, sedangkan tujuannya ialah supaya
orang lain menganggap bahwa ia adalah seorang yang dapat dipercaya. Oleh
sebab itu, ia diharapkan agar bisa diangkat menjadi kepala daerah atau diserahi
untuk membagi-bagikan harta zakat, namun tujuannya ialah hendak untuk
menyalah gunakan kekuasaannya atau mencurinya.
Juga agar ia diberi sebuah titipan, lalu digelapkan atau supaya dapat
berhubungan dengan wanita dan bisa bersenang-senang dengan jalan yang curang
20
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
h. 152. 21
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
h. 148. 22
Sa‟id Hawa, Menyucikan Jiwa, Penerjemah Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, h. 224.
44
dan penuh dengan kemesuman dan lain-lain sebagainya. Demikian pula seperti
orang yang menghadiri majlis ilmiah ataupun nasehat, tetapi tujuannya hanyalah
untuk melihat kaum perempuan atau orang-orang banci yang ia sukai.
Semuanya itu menurut al-Ghazali adalah seburuk-buruknya perbuatan
riya‟ kepada Tuhan, sebab ketaatan terhadap Tuhan dijadikan sebagai bahan untuk
bermaksiat kepada-Nya, dijadikan terhadap kesucian agama. Agaknya dapat
digolongkan ke dalam hal ini adalah seseorang yang melakukan kemaksiatan
secara terus-menerus, tetapi di luarnya ia menunjukkan ketakwaan dan dengan
demikian hilanglah orang lain bahwa ia terus-menerus melakukan kemaksiatan
tadi.23
Sa‟id menguatkan pendapat al-Ghazali, tujuan ini dianggapnya yang
paling berat, yakni seseorang melakukan perbuatan riya‟ tapi untuk bisa
melakukan perbuatan maksiat. Seperti orang yang riya‟ dengan ibadahnya dan
menampakkan ketakwaan dengan memperbanyak amalan-amalan sunnah dan
menahan diri dari memakan makanan yang syubhat, tetapi tujuannya agar bisa
dikenal sebagai orang yang amanah. Kemudian ia mengurusi masalahperadilan,
wakaf, harta anak yatim, pembagian zakat atau shodaqoh untuk mengambil
sebagian dari apa yang bisa diambilnya.
Terkadang sebagian mereka ada yang mengenakan pakaian layaknya
seorang sufi, berpenampilan khusyu‟, berbicara penuh hikmah seperti orang
memberikan nasehat dan peringatan, tetapi ia tujuannya hanya untuk dicintai oleh
seorang perempuan, lalu ia melakukan perbuatan dosa.24
23
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
h. 148. 24
Sa‟id Hawa, Menyucikan Jiwa, Penerjemah Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, h. 224.-225.
45
Adapun tujuan riya‟ menurut Ahmad Farid ialah bermaksud untuk
menutupi kemaksiatan yang telah ia lakukannya, seperti orang yang dilihat
ibadahnya lantas ia menampakkan ketakwaan dan kewara‟annya. Tujuannya
adalah untuk dikenal orang lain sebagai orang yang mempunyai amanah,
kemudian ia merasa akan diberikan kedudukan karena sifatnya tersebut. Atau bisa
saja karena sifatnya itu ia akan diberikan sejumlah uang secara tersembunyi.
Orang mempunyai sifat riya‟ seperti ini adalah orang yang sangat dibenci Tuhan,
karena ia menjadikan ketaatan sebagai jalan menuju kemaksiatan.25
Semua perbuatan tersebut, perbuatan riya‟ yang terburuk yang dilakukan
terhadap Tuhan. Sebab ketaatan kepada Tuhan dijadikan sebagai sarana untuk
melakukan kemaksiatan terhadap-Nya. Juga termasuk ke dalam golongan di atas
adalah orang yang terus-menerus melakukan kemaksiatan, tetapi mereka
menutupinya dengan menunjukkan ketakwaannya agar ia dapat menolak dugaan
negatif yang ditunjukkan kepada dirinya.26
Tujuan yang kedua menurut al-Ghazali ialah, mempunyai keinginan untuk
memperoleh keduniaan seperti harta atau ingin mengawini seorang perempuan
yang cantik juga seorang bangsawan. Ia akan memperlihatkan ilmu yang ia miliki
serta ibadah-ibadah yang berat-berat agar ia bisa diterima lamarannya atau diberi
harta yang dimaksudkan. Inipun riya yang terlarang sekali, sebab dengan berbakti
kepada Tuhan itu digunakan untuk mencari benda kedunawian dan kehidupan
25
Ahmad Farid, Zuhud dan Kelembutan Hati, Penerjemah Fuad Githa Perdana, h. 240. 26
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Petunjuk bagi Orang Beriman,Penerjemah Team
Azzam ed. Abu Faiq, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), h. 267.
46
sementara. Namun dosa dari golongan ini menurut al-Ghazali masih dibawah dosa
golongan yang pertama.27
Sa‟id memperkuat pendapat al-Ghazali. Ia mengatakan, tujuan melakukan
riya‟ hanya untuk mendapatkan bagian dunia yang dibolehkan, misalnya harta
atau menikahi perempuan cantik atau perempuan yang mempunyai kedudukan
yang mulia. Seperti orang yang menampakkan kesedihannya, tangisan dan sibuk
memberikan nasehat dan peringatan agar diberikan harta dan bisa menikahi
dengan seorang perempuan, kemudian ia bermaksud untuk menikahi perempuan
tersebut atau bahkan ia bertujuan untuk menikah perempuan mulia secara umum.
Atau seperti orang yang ingin menikahi seorang anak perempuan yang ahli dalam
agama yang ahli beribadah,. Kemudian ia menampakkan ilmu dan ibadahnya agar
dinikahkan dengan anak perempuannya. Ini adalah perbuatan riya‟ yang terlarang
karena merupakan perbuatan mencari kesenangan hidup dunia melalui ketaatan
terhadap Tuhan. Tetapi tingkatan tujuan perbuatan riya‟ semacam ini masih
dibawah tingkatan perbuatan riya‟ yang pertama. Sebab apa yang ia cari dengan
melakukan perbuatan yang dibolehkan.28
Begitu juga Ahmad Farid menjelaskan tujuan riya‟ yang kedua ini yakni
ingin mendapatkan dunia, misalnya ingin memperoleh harta atau agar ia bisa
dinikahkan dengan seseorang perempuan. Ia akan menampakkan ilmu dan
ibadahnya agar disukai di dalam pernikahannya juga agar ia diberikan sebuah
harta. Riya‟ yang seperti ini sangat terkutuk, tetapi lebih ringan dari riya‟ yang
27
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
h. 149. 28
Sa‟id Hawa, Menyucikan Jiwa, Penerjemah Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, h. 225.
47
pertama, karena ia meminta kesenangan dunia melalui cara ketaatan kepada
Tuhan.29
Tujuan riya‟ yang ketiga menurut al-Ghazali ialah bukan untuk
memperoleh atau ingin mengawini perempuan, tetapi ia memperlihatkan amal
ibadahnya dengan cara yang sangat baik. Ia bermaksud agar jangan ada orang
yang menganggap dirinya kurang, sehingga orang-orang menyangka bahwa ia
bukan termasuk golongan yang ahli zuhud atau golongan yangkhusus.
Ia merasa takut derajatnya disamakan dengan kebanyakan orang. Seperti
orang yang biasanya biasanya berjalan dengan cepat-cepat, tetapi setelah ada
orang lain yang melihat dirinya, tiba-tiba ia berjalan dengan sangat berlahan sekali
dan ia pun mrubaht gaya berjalannya dengan cara yang baik. Tujuannya agar tidak
dinamakan orang yang tergesah-gesah, dan ia agar dianggap sebagai orang yang
tenang dan khusyu‟ dalam berperilaku.30
Sa‟id juga mengatakan, riya‟ yang ketiga ini tidak ada tujuannya untuk
mendapatkan harta atau pernikahan, tetapi ia menampakkan perbuatan ibadahnya
karena ia mempunyai rasa takut dipandang kurang atau dianggap sebagai orang
khusus dan zuhud, atau ia mempunyai rasa takut dianggap sebagai orang biasa.
Seperti orang yang berjalan tergesah-gesah, lalu setelah dilihat oleh orang lain ia
berjalannya biasa saja agar tidak dikatakan sebagai orang yang tidak mempunyai
wibawa. 31
Farid menguatkan pendapat al-Ghazali dan Sa‟id, riya yang tidak
dimaksudkan untuk mendapatkan sesuatu, seperti ingin mendapatkan harta atau
29
Ahmad Farid, Zuhud dan Kelembutan Hati, Penerjemah Fuad Githa Perdana, h. 240. 30
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
h. 149. 31
Sa‟id Hawa, Menyucikan Jiwa, Penerjemah Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, h. 226.
48
ingin dinikahkan. Akan tetapi ia menampakkan ibadahnya karena ia merasa takut
kekurangannya terlihat oleh orang lain, dan tidak dianggap sebagai orang yang
memiliki kekhususan dalam ibadah dan kezuhudan, sehingga ia akan dianggap
sebagai orang awam pada umumnya.32
Termasuk riya‟ yang tidak ada tujuan untuk mendapatkan harta dan
mengawini ialah sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ghazali lagi, orang yang
habis ketawa terbahak-bahak atau sedang bersenda gurau, kemudian karena
merasa takut dilihat orang dengan pandangan penghinaan, lalu segera diikutinya
perbuatan tadi dengan membaca istighfar atau bernafas yang sangat panjang serta
menunjukkan seolah-olah ia merasa sangat sedih karena telah melakukan
perbuatan seperti tadi.33
Tujuan membaca istighfar dan menarik nafas sangat panjang tersebut
menurut al-Ghazali hanyalah sebagai cara untuk mencari alasan agar tidak
memperoleh ejekan atau hinaan dari orang-orang. Juga ia bermaksud supaya
dianggap sebagai orang yang khusyu‟, berwibawa, tenang, dan tentram.34
Perbuatan-perbuatan riya‟ tersebut merupakan tindakan-tindakan riya‟
akan akan mendatang kerugian dan bencana bagi dirinya sendiri. Apabila
semuanya itu dilakukan oleh seseorang, maka semuanya itu akan menguatkan
sifat riya‟ yang ada di dalam hatinya.
32
Ahmad Farid, Zuhud dan Kelembutan Hati, Penerjemah Fuad Githa Perdana, h. 240. 33
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
h. 149. 34
Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlaq yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
h. 149.
49
Oleh sebab itu, seseorang harus ikhlas dalam mengerjakan segala
perbuatannya, karena orang yang mengerjakan dengan niat ikhlas, bagaimanapun
pandangan orang lain terhadap dirinya tidak akan dihiraukannya. Ia melakukan
amal ibadahnya hanya mencari keridhaan Tuhan.
Demikianlah tingkatan-tingkatan tujuan riya‟ dari berbagai golongan orang
yang suka melakukan perbuatan riya‟. Mereka semua dimurkai dan tidak diridhai
oleh Tuhan. Kiranya perlu untuk ketahui bahwa perbuatan riya‟ itu merupakan
perkara yang paling membinasakan.35
C. Tingkatan-tingkatan Riya’
Manusia yang melakukan perbuatan riya‟ biasanya mempunyai penyabab
yang ia gunakan untuk diriya‟kan. Biasanya manusia yang berbuat riya‟ karena ia
mempunyai kelebihan-kelebihan yang ada di dalam dirinya. Seperti mempunyai
ilmu yang tinggi, harta yang banyak, dan kelebihan-kelebihan yang lainnya.
Namun al-Ghazali mengelompokkan sesuatu yang menjadi penyebab riya‟
ke dalam lima bagian. Yakni, kelompok yang dipergunakan oleh manusia untuk
melakukan berhias diri kepada manusia. Misalnya, anggota badan, pakaian,
ucapan, perbuatan, pengikut, dan hal-hal yang ada di luar tadi. Dan penulis akan
memaparkatan kelompok-kelompok yang diriya‟kan tersebut.
1. Riya‟ dalam urusan agama dengan menggunakan anggota badan.
Riya‟ yang demikian menurut al-Ghazali adalah memperlihatkan keadaan
kurus dan pucat agar agar ia disangkanya orang yang keras berijtihad, besar
prihatinnya terhadap urusan agama, serta menang takutnya pada akhirat. Dengan
35
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Petunjuk bagi Orang Beriman,Penerjemah Team
Azzam ed. Abu Faiq, h. 270.
50
keadaan kurus ia menunjukkan kalau ia sedikit makannya dan dengan
kepucatannya ia ingin menunjukkan kalau ia kurang tidur malam,dan dengan
banyak berijtihad ia ingin menunjukkan kalau dirinya adalah orang yang sangat
prihatin terhadap agama.36
Sedangkan menurut Ahmad Farid, riya‟ yang menampilkan badan di
dalam agama adalah dengan memperlihatkan lekukan tubuh kepada orang lain
agar ia diperhatikan seolah-olah ia adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan ajaran agama, juga agar ia dilihat sebagai orang yang memiliki rasa
sedih dan takut terhadap kehidupan akhirat.37
Begitu juga yang dikatakan oleh Nawawi tentang manusia yang
melakukan riya‟ dalam agama yang menonjolkan anggota badan seperti muka
pucat dan rambut acak-acakan. Padahal ia sendiri sebenarnya ingin menunjukkan
kalau dirinya adalah seorang yang sangat memikirkan masalah agama. Sehingga
ia tidak ada waktu untuk menyisir rambut.38
Dengan demikian, al-Ghazali mengatakan, manusia yang berbuat riya‟
dengan rambut yang tidak terurus secara rapi. Tujuannya hanyalah untuk
menunjukkan pada penenggelaman lebih dalam cita-citanya pada agama.
Sehingga ia tidak ada kesempatan untuk menyisir rambutnya. Cara-cara seperti ini
jika telah ditampakkan dan diperlihatkan, maka manusia akan mencari petunjuk
dengan cara-cara tersebut untuk urusan-urusan yang diinginkannya. Oleh sebab
36
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah,h. 292. 37
Ahmad Farid, Zuhud dan Kelembutan Hati, Penerjemah Fuad Githa Perdana, (Depok:
Pustaka Khazanah Fawa‟id, 2016), h. 239. 38
Muhammad Nawawi, Terjemah Maraqil ‘Ubudiyah, Penerjemah Zaid Husein al-
Hamid, h. 198.
51
itu, maka nafsu akan mendorongnya untuk memperlihatkan cara-cara tersebut
agar memperoleh kesenangan untuk dirinya.39
Hampir senada dengan ini, mengecilkan suara, membiarkan matanya
menjadi cekung dan bibirnya menjadi kering bertujuan untuk menunjukkan kalau
ia selalu melakukan puasa. Juga wibaya syari‟atlah yang membuat suara dirinya
menjadi kecil, serta karena laparlah yang membuat tubuhnya menjadi lemah dan
lunglai.40
Ibnu Qudamah juga mengatakan riya‟ dalam agama tidak berbedah jauh
dengan pendapat ulama lainnya. Ia mengatakan, riya‟ dalam agama ialah
memperlihatkan kelemahan dan kepucatan untuk menunjukkan bahwa hal itu
karena ia mengerjakan kerasnya dalam menjalankan ibadah, serta rasa takutnya
tentang kehidupan di akhirat sangat tinggi. Begitu juga memperlihatkan rambut
yang kusut untuk diketahui oleh manusia bahwa dirinya adalah seorang yang
sibuk dalam urusan agama, sehingga ia tidak sempat untuk menyisir rambut.
Oleh sebab itu, Ibnu Qudamah mengutip ucapan Nabi Isa as di dalam
kitabnya, “Bila salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaknya ia
meminyaki rambut dan menyisirnya.” Hal itu karena orang yang sedang
melakukan puasa dikhawatirkan terkena penyakit riya‟. Perbutan seperti ini adalah
riya‟ dari arah badan bagi ahli agama.41
39
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah,h. 40
Al-Ghazali, Jiwa Agama, Penerjemah Maisir Thaib dkk, (Medan: Pustaka Indonesia,
1974), h. 177. 41
Ibnu Quddamah, Muktashar Minhajul Qashidin, Penerjemah Izzudin Karimi, (Jakarta:
Darul Haq, 2014),h. 403.
52
Begitulah perbuatan riya‟ yang dikatakan oleh al-Ghazali bagi orang-orang
yang yang ahli di dalam bidang keagamaan. Sedangkan orang-orang yang
keduniawian bersikap riya‟nya dengan memamerkan gemuknya badan, wajah
yang tampan dan cantik, dan anggota tubuh yang otot-otonya kekar dan
seimbang.42
2. Riya‟ dengan tingkah laku dan pakaian
Riya‟ dalam tingkah laku dan pakaian seperti rambut yang tidak pernah
disisir, mencukur kumis, menundukan kepala ketika sedang berjalan, pelan-pelan
ketika bergerak, menetapkan bekas sujud pada dahi, memakai pakaian tebal,
memakai pakaian bulu, menyingsingkan pakaian yang dekat dengan betis, dan
yang lain-lainnya. Semuanya itu bisa digunakan untuk melakukan perbuatan riya‟
agar dirinya bisa disebut sebagai seorang yang taat dan sebagai seorang yang
sudah berada pada keadaan yang mengikuti hamba-hamba Tuhan yang shalih.43
Ahmad Farid juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh al-Ghazali tentang
riya‟ yang berupa tingkah laku dan pakaian. Ia mengatakan, menyisir rambut,
menegakkan kepala ketika sedang berjalan, bersikap santai ketika sedang berjalan,
dan membiarkan bekas sujud menempel di wajahnya. Itu semua adalah perbuatan
riya‟ yang berbentuk tingkah laku dan pakaian. Dan ia mengharapkan orang lain
melihat dirinya.44
42
Al-Ghazali, Jiwa Agama, Penerjemah Maisir Thaib dkk, h. 178. 43
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah,h. 293. 44
Ahmad Farid, Zuhud dan Kelembutan Hati, Penerjemah Fuad Githa Perdana, (Depok:
Pustaka Khazanah Fawa‟id, 2016), h. 239.
53
Termasuk perbuatan riya‟ yang berbentuk tingkah laku dan pakaian lagi
ialah memakai pakaian-pakaian yang bertambal-tambal, melakukan shalat di atas
sajadah, memkai pakaian bagus yang bisa menyerupai ahli tasawuf. Manusia yang
melakukan tingkah laku dan cara berpakaian seperti itu adalah manusia yang
hatinya kosong dari pengetahuan, dengan tujuan agar manusia lain menyangka
dirinya termasuk dari orang yang memilikimu.45
Orang yang melakukan riya‟ dengan cara berpakaian seperti ini, menurut al-
Ghazali mempunyai beberapa taraf pula. Ada yang mencari tempat di dalam hati
manusia shaleh dengan memamerkan sikap zuhudnya, serta berpakaian baju yang
kotor, pendek, kasar, dan compang-camping pakaiannya. Ia bermaksud bersikap
riya‟ dengan memperlihatkan kalau dirinya tidak terlalu memperdulikan
keduniaan.46
Hal yang seperti ini ditegaskan pula oleh Ibnu Quddamah. Seseorang yang
melakukan perbuatan riya‟ dari arah penampilan ini juga bertingkat-tingkat. Di
antara mereka ada yang mencari kedudukan di sisi orang-orang baik dengan
menampilkan kezuhudan melalui pakaian yang bertambalan, kasar, dan kotor.
Tujuannya agar ia disangka sebagai orang yang zuhud dalam keduniawian.
Seandainya orang yang seperti ini diminta untuk memakai pakaian setengah
bersih yang dipakai oleh golongan ulama shalih, maka hal itu baginya adalah
seperti akan disembelih, dia takut orang-orang akan berkata, “dulu ia adalah
45
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah,h. 293.
54
seorang yang zuhud, namun sekarang ia telah meninggalkan kehidupan
zuhudnya.”47
Orang-orang yang melakukan perbuatan riya‟ semacam ini menurut al-
Ghazali, hanya sekedar untuk menjaga martabatnya. Sehingga ia menggunakan
dengan cara berpakaian yang tertentu, dan merasa berat untuk berpindah ke atas
atau ke bawah karena khawatir dicela oleh orang lain.48
Hal yang seperti ini
memang nyata di dalam kehidupan masyarakat, dimana orang-orang akan
berpenampilan dengan mengikuti situasi kehidupan lingkungan masyarakat
tersebut.
3. Riya‟ dengan perkataan
Riya‟ dibidang ini menurut al-Ghazali, biasanya dilakukan di dalam
sebuah pengajian, memberikan nasehat-nasehat dan memberikan kata-kata bijak,
menghafal hadis-hadis dan perkataan-perkataan para ulama untuk dipakai dalam
bertukar pikiran guna untuk memperlihatkan banyaknya ilmu, juga membuktikan
dirinya orang yang sangat memperhatikan keadaan para ulama dan orang-orang
yang shalih.49
Farid menegaskan pula, riya‟ dengan ucapan maka riya‟ yang biasa
digunakan oleh para ahli dalam ilmu agama dengan nasehat-nasehatnya yang baik.
Juga peringatan yang dikatakannya dan kata-kata yang keluar dari dalam
47
Ibnu Quddamah, Muktashar Minhajul Qashidin, Penerjemah Izzudin Karimi, h. 404. 48
Al-Ghazali, Jiwa Agama, Penerjemah Maisir Thaib dkk, h. 179. 49
Al-Ghazali, Jiwa Agama, Penerjemah Maisir Thaib dkk, h. 179.
55
mulutnya itu untuk menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap keadaan
yang ia miliki.50
Kemudian al-Ghazali melanjutkan lagi yang termasuk riya‟ perkataan
ialah bertindak amar ma‟ruf nahi munkar di tengah-tengah orang banyak,
memperlihatkan kemarahan terhadap sesuatu yang munkar juga bersedih hati
terhadap terjerumusnya umat manusia kedalam perbuatan dosa. Berbicara dengan
suara yang lembut dan melantunkan ayat-ayat suci al-Qur‟an secara pelan-pelan
agar menonjolkan kecemasan dan kesedihan.
Memperlihatkan keunggulan di dalam masalah ini, dan berdebat dengan
tujuan mengalahkan lawan-lawannya agar orang-orang yang menyaksikan
kejadian seperti ini mengetahui kalau dirinya adalah orang yang ahli dalam
masalah ilmu agama.
Adapun orang-orang mempunyai harta yang banyak, bertindak riya‟
dengan cara lisan. Dengan menghafalkan lagu-lagu dan pepatah-pepatah, serta
mengeluarkan kata-kata yang indah, juga menghafalkan kata-kata yang sulit agar
orang-orang pada merasa kagum dan dirinya terlihat sebagai orang yang pandai.
Tetapi perbuatan seperti ini bermaksud untuk menarik hati orang lain.51
4. Riya‟ dengan perbuatan
Riya‟ dalam amal perbuatan seperti riya‟ orang yang melakukan shalat
dengan berdiri agak lama, memperlambat mengangkat dari sujud dan ruku‟,
menundukkan kepalanya, meninggalkan berpaling, memperlihatkan ketenangan
50
Ahmad Farid, Zuhud dan Kelembutan Hati, Penerjemah Fuad Githa Perdana, h. 239. 51
Al-Ghazali, Jiwa Agama, Penerjemah Maisir Thaib dkk, h. 180.
56
dan ketentraman, dan berbuatan amal yang lainnya. 52
Orang melakukan perbuatan
riya‟ seperti ini maka akan kelihatan ketika ia sedang melakukannya.
Seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali, orang yang berbuat riya‟ itu
kadang-kadang mempercepat ketika sedang berjalan dalam keadaan sangat butuh.
Oleh sebab itu, jika seseorang dari ahli dalam agama melihat kepada dirinya,
maka ia akan kembali pada hormat dan menundukkan kepalanya. Karena ia
merasa khawatir kalau suatu saat nanti ia dikatakan pada orang yang tergesah-
gesah dan sedikit sekali rasa hormatnya.53
Adapun riya‟ amal perbuatan menurut Farid tidak jauh beda dengan apa
yang dikatakan oleh al-Ghazali. Ia mengatakan, riya‟ dengan amal perbuatan ialah
ia melakukan sebuah perbuatan agar bisa dilihat oleh seseorang ketika sedang
shalat yang cukup lama berdirinya, sujud dan ruku‟nya juga dilama-lamakan, juga
selalu menundukkan kepala dan tidak pernah menoleh.54
5. Riya‟ dengan banyak massa
Riya‟ yang terakhir menurut al-Ghazali ialah riya‟ dengan banyaknya
teman, banyak yang berkunjung ke kediamannya, dan banyak orang yang mau
bergaul dengan dirinya. Misalnya orang yang merasa berat ketika dikunjungi oleh
seseorang yang ilmunya tinggi dari kalangan para ulama, agar dikatakan bahwa si
fulan itu telah berkunjung ke rumahnya Fulan, atau dikunjungi oleh seseorang
yang ahli ibadah yang sangat terkenal.
52
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah,h. 295. 53
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah,h. 295. 54
Ahmad Farid, Zuhud dan Kelembutan Hati, Penerjemah Fuad Githa Perdana, h. 239.
57
Orang seperti ini, menurut al-Ghazali, merasa dirinya agar dikatakan oleh
orang lain, bahwa orang-orang yang ahli dalam agama telah mengambil sebuah
keberkahan setelah mengunjungi dirinya. Dan ahli agama bolak-balik menemui
dirinya.55
Adapun menurut pendapat Farid tentang riya‟ dengan persahabatan dan
kunjungan seperti halnya orang yang memaksakan dirinya untuk berkunjung ke
rumah seorang alim dari kalangan ulama agar ia dikatakan sebagai seorang yang
telah berkunjung ke rumahnya seorang ulama.56
Jadi menurut penulis pendapat al-
Ghazali dan Farid tentang penyebab riya‟ tidak ada perbedaan. Semua
pendapatnya sama.
Inilah sesuatu yang penting tentang mana orang bersikap riya‟ yang
tujuannya ialah untuk mencari kehebatan, kemasyhuran, dan memburu tempat di
hati orang banyak. Namun ada pula orang yang telah merasa cukup dengan
keyakinan baik orang lain terhadap dirinya. Sudah berapa banyak para pendeta
yang mengurung dirinya selama bertahun-tahun di dalam biaranya, begitupun
beribadah menyingkirkan diri dari keramaian masyarakat ke atas gunung dalam
masa yang begitu lama.57
D. Bahaya Riya’
Al-Ghazali mengatakan, suka berbuat riya‟ (pamer) merupakan syirik yang
tersembunyi. Hal ini merupakan dari salah satu bentuk kesyirikan. Bila seseorang
55
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah,h. 296. 56
Ahmad Farid, Zuhud dan Kelembutan Hati, Penerjemah Fuad Githa Perdana, h. 239. 57
Al-Ghazali, Jiwa Agama, Penerjemah Maisir Thaib dkk, h. 181.
58
berupaya untuk menarik hati orang agar ia menjadi orang yang berpengaruh dan
terhormat, maka ia sudah melakukan kesyirikan.
Cinta terhadap pengaruh merupakan bagian dari mempertuhankan hawa
nafsu, dank arena kecintaannya inilah kebanyakan manusia menjadi binasa.
Namun, binasanya manusia disebabkan karena perbuatan mereka sendiri. Jika
manusia benar-benar mengetahuinya, tentu mereka akan menyadarinya bahwa
karena suka berbuat riya‟ mendorongnya untuk menuntut ilmu dan beramal
dimaksudkan sebagai kepada Tuhan, bukan untuk memperoleh pujian dari sesama
manusia; bila manusia suka berbuat riya‟, maka sia-sialah amal perbuatannya.58
Nawawi menguatkatkan pendapat al-Ghazali. Ia mengatakan, cinta
kedudukan termasuk perbuatan yang timbul karena dorongan hawa nafsu yang
diikuti dan kebanyakan manusia menjadi binasa karenanya. Maka, seseorang tidak
akan binasa melainkan karena dengan sebab orang lain. Andai saja ornag-orang
melakukan bersikap adil, maka ia mengetahui bahwa sebagian besar ilmu dan
ibadahnya yang ia kerjakan di samping amalan-amalan biasa tidak lain disebabkan
karena riya‟, perbuatan riya‟ itu termask yang menjadi penyebab hilangnya
pahala.59
Oleh karena itu al-Ghazali mengharamkan sifat riya‟. Menurutnya, orang
yang memiliki sifat riya‟ maka di sisi Tuhan ia termasuk orang yang terlaknat
dengan laknat yang sangat keras. Allah lebih memuji orang-orang yang berbuat
58
Al-Ghazali, Menjelang Hidayah, Penerjemah As‟ad El-Hafidy, (Bandung: Penerbit
Mizan, 1998, h. 109-110. 59
Muhammad Nawawi, Terjemah Maraqil ‘Ubudiyah, Penerjemah Zaid Husein al-
Hamid, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), h. 196.
59
dengan ikhlas yang meniadakan semua kehendak selain kehendak kerihaan
Tuhan. Dan sikap riya‟ merupakan kebalikan dari sifat ikhlas.
Al-Ghazali mengutip ayat al-Qur‟an tentang bahayanya orang-orang yang
melakukan perbuatan riya‟. Al-Qur‟an mengatakan yang artinya,:60
“Maka kecelakaan bagi orang-orang yang shalat, yakni orang-orang yang
lalai dari shalatnya; orang-orang yang berbuat riya’.” (QS. al-Mả‟ủn: 4-6).
Dalam surat yang lain juga menjelaskan tentang bahyanya riya‟, yang artinya:
“Dan rencana jahat mereka akan hancur”. (QS. al-Fảthir: 10).
Al-Ghazali juga mengutip ucapan sahabat Umar bin Khatab, Umar berkata
kepada Mu‟adz bin Jabal-semoga Tuhan meridhai kepada keduanya-ketika Umar
melihat Mu‟adz menangis di samping sebuah kuburan, “apa yang membuat
engkau menangis?” Lalu Mu‟adz menjawab, “Sebuah hadis yang saya dengar dari
pemilik kuburan ini-yang dimaksudkan adalah Rasulullah SAW-dimana beliau
pernah bersabda, “sesungguhnya sikap riya’ yang paling rendah nilainya setara
dengan syirik”. Hadis ini diriwayatkan oleh imam at-Thabảri.61
Sedangkan menurut Sayyid Muhammad Nuh, orang yang melakukan
perbuatan riya‟, maka ia akan tertutup dari hidayah dan pertolongan dari Tuhan.
Hanya Tuhan semata yang memiliki pintu hidayah dan pertolongan. Dan Dia pula
yang mempunyai hak untuk menganugerahkan keduanya kepada orang yang Dia
kehendaki. Tidak ada keputusan yang bisa ditolak setelah Tuhan telah menetapkan
keputusannya, juga tidak ada yang bisa melawan hukum-Nya. Tuhan akan
60
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah, h. 279. 61
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah, h. 282.
60
memberikan hidayah dan pertolongan hanya kepada orang yang beramal ikhlas
dan tujuan niatnya benar.
Orang yang berbuat riya‟ juga hidupnya akan menjadi sempit dan merasa
gelisah. Seseorang yang melakukan riya‟ di manapun ia melakukannya, hal
demikian karena ingin mencari perhatian orang banyak dan mengharapkan
imbalan materi dari mereka, terkadang harapan dan keinginannya tidak terwujud
karena tidak sesuai dengan ketetapan dan takdir Tuhan.
Ketika harapan dan keinginanannya tidak terwujud, maka ia hidupnya
terasa sempit dan merasa gelisah hatinya. Sebab, ia tidak mendapatkan keridhaan
Tuhan dan tidak pula memperoleh hasil yang diharapkan dari orang banyak.62
62
Sayyid Muhammad Nuh, Menggapai Ridha Ilahi, Penerjemah Darmanto dan Abdul
Wadud, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1998), h, 128.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan ini adalah sebuah jawaban dari pertanyaan rumusan masalah
yang diajukan oleh penulis. Penulis akan menjawab pertanyaan apa riya’ menurut
al-Ghazali? Dan apa bahaya riya’ menurut al-Ghazali?
Riya’ adalah sebuah perbuatan seseorang yang mengerjakan perbuatan
baik tetapi ia ingin mendapatkan perhatian atau simpati dari orang lain.
Sedangkan menurut al-Ghazali, riya’ adalah mencari sebuah kemasyhuran atau
ketenaran dan kedudukan dengan menggunakan ibadah. Jadi, riya adalah sebuah
perbuatan seseorang yang berbentuk amal perbuatan ibadah tetapi tujuannya
hanya untuk mendapatkan pujian dari orang lain.
Riya’ adalah sebuah sifat tercela yang ada di dalam diri manusia. Sifat ini
mempunyai bahaya yang sangat luar biasa bagi seseorang yang melakukan
perbuatan tersebut. Apalagi di zaman sekarang, seseorang tidak menyadari apa
yang ia kerjakan mengandung sebuah unsur tentang riya’. Sehingga ia bebas
memamerkan apa saja yang ia dianggapnya sebuah kelebihan dirinya sendiri.
Bahaya bagi seseorang yang melakukan perbuata riya’ ialah ia telah
melakukan perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan) yang tersembunyai. Menurut
al-Ghazali sendiri, riya’ adalah syirik yang tersembunyi. Oleh sebab itu, seseorang
harus bisa menjaga dirinya kalau ia ingin selamat dari yang namanya syirik.
Karena syirik adalah dosa besar yang tidak ampunan bagi orang yang
melakukannya.
62
Kemudian bahyanya riya’ lagi adalah mengahapus semua amal perbuatan
kebaikkan orang tersebuat. Jadi, seseorang yang amal kebaikannya agar tidak
hulang, maka ia harus menjauhi yang namanya perbuatan riya’.
B. Saran-saran
Pembahasan tentang riya’ merupakan sebuah kajian sangat penting dalam
kehidupan manusia. Karena setiap manusia tidak bisa terlepas dari berbagai yang
namanya riya’ atau pamer. Apalagi di zaman yang serba modern ini, pastinya
banyak sekali manusia-manusia yang hatinya mempunyai tujuan apa yang ia
lakukan agar dirinya mendapatkan perhatian dan pujian dari orangt lain..
Namun karena keterbatasan penulis dalam membaca dan meneliti tentang
masalah riya’ , terutama riya’ dalam pandangan al-Ghazali yang karya-karyanya
begitu banyak, sehingga penulis merasa kesulitan untuk membaca dan memahami
karya-karya lainnya. Oleh karena itu, penulis memberi saran-saran ini kepada para
akademisi dan masyarakat.
Saran yang diarahkan kepada para akademisi, agar mereka bisa
melanjutkan penelitian tentang masalah riya’ menurut al-Ghazali agar
memperoleh keterangan-keterang yang lebih jelas dan memperoleh hasil yang
sangat memuaskan. Juga pembahasannya nanti menjadi lebih menarik.
Demikian pula saran kepada masyarakat, agar masyarakat bisa menjaga
hatinya dari sifat yang tercela ini, yakni riya’. Karena riya bukan hanya bisa
merusak amal perbuatan saja, tetapi bisa membawa pelaku riya’ melakukan
kemusyrikan.. Oleh sebab itu, penulis menyarankan kepada masyarakat agar
menjauhi sifat riya’.
61
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Ali, Yunasir, Mata Air Kehidupan Bekal Spiritual Menghadapi Tantangan Globalisasi,
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015).
Ali, Yunasir, Sufisme dan Pluralisme Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-
agama, (Jakarta: PT Gramedia , 2012).
‘Ata’illah, Ibnu, al-Hikam, (Kediri, Percetakan Petuk, tt).
Ba’athiyah, Muhammad Ali, Suluk: PedomanMemperoleh Kebahagiaan Dunia-
Akhirat,Penerjemah Hasan Suaidi, (Bantul: CV. Layar Creativa Mediatama,
2015).
Basil, Victor Said, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Penerjemah Ahmadie Thaha, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1990).
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang 1998).
Doa Moh Syah, Rahasia Alam Kebatinan, (Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956).
Djamaluddin, Mahbub, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, (Jakarta: Senja Publshing,
2015).
Farid, Ahmad, Zuhud dan Kelembutan Hati, Penerjemah Fuad Githa Perdana, (Depok:
Pustaka Khazanah Fawa’id, 2016).
Fauzi, Ikhwan, Cendekiawan Muslim Klasik, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002).
Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah Ibnu
Ibrahim Ba’adillah, (Jakarta: Republik, 2012).
Ghazali, Jiwa Agama, Penerjemah Maisir Thaib dkk, (Medan: Pustaka Indonesia, 1974).
Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlak yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto,
(Jakarta: Pustaka Amani, tt).
Ghazali, Menjelang Hidayah, Penerjemah As’ad El-Hafidy, (Bandung: Penerbit Mizan,
1998).
Ghazali, Menuju Mukmin Sejati, Penerjemah Abdullah bin Nuh, (Bogor: Fenomena,
1986).
Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulủmuddỉn, Penerjemah Irwan Kurniawan, (Bandung: Penerbit
Mizan, 1999).
Haque, M. Atique, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, Penerjemah Ira
Puspitorini, (Yogyakarta: Diglosia, 2013).
Hawa, Sa’id, Menyucikan Jiwa, Penerjemah Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, (Jakarta:
Robbani Press, 2013).
Husain, Abdullahbin, Sullam al-Taufỉq, (Surabaya: Kharisma, tt).
Ibrahim, Muhammad bin, Syarakh al-Hikam, (Kediri: Petuk, tt).
Ismail, A. Ilyas, dkk, Ensiklopedi Tasawuf,ed. Heri MS Faridy dkk, (Bandung: Angkasa,
2008).
Jailani, Abdul Qadir, Renungan Sufi, Penerjemah Kamran As’ad Irsyadi, (Yogyakarta:
Beranda, 2010).
Jaya, Yahya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuh kembangkan Kepribadian dan
Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhana, 1994 ).
Madjid, Nurcholis , Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997).
Muhảsibi, Menuju Hadirat Ilahi, Penerjemah Tholib Anis, (Bandung: Al-Bayan, 2003).
Muhảsibi, Nasihat-nasihat Sang Sufi, Penerjemah Saifuddin Zuhri, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2000).
Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, (Jakarta: GP Press, 2012).
Mz, Labib, Kuliah Ma’rifat, (Surabaya: Tiga Dua, 1996).
Nasution, Ahmad Bangun , dan Siregar, Rayani Hanum, Akhlak Tasawuf, Pengenalan,
Pemahaman, dan Pengaplikasiannya disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013).
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama).
Nawawi, Muhammad, Terjemah Maraqil ‘Ubudiyah, Penerjemah Zaid Husein al-Hamid,
(Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010).
Noer, Kautsar Azhari, ed, Warisan agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi,
(Jakarta: Sadra Press, 2015).
Nuh, Sayyid Muhammad, Menggapai Ridha Ilahi, Penerjemah Darmanto dan Abdul
Wadud, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1998).
Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Petunjuk bagi Orang Beriman,Penerjemah Team
Azzam ed. Abu Faiq, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013).
Qordhawi, Yusuf, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra,Penerjemah Hasan Abrori,
(Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997).
Quddamah, Ibnu, Muktashar Minhajul Qashidin, Penerjemah Izzudin Karimi, (Jakarta:
Darul Haq, 2014).
Taftazani, Abu Wafa’al-Ghanimi, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya, Penerjemah Subkhan Anshori, (Jakarta: Gaya Media
Pertama).
Tim Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, Jejak Sufi Membangun Moral berbasis Spiritual,
(Kediri: Lirboyo Press, 2011 ).
.