konsep pendidikan pluralisme menurut...
TRANSCRIPT
1
KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME MENURUT ABDURRAHMAN WAHID DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam
Ilmu Pendidikan Islam
Oleh:
Achmad Mustholih NIM: 063111064
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2011
2
3
4
5
ABSTRAK
Judul : Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam
Nama : Achmad Mustholih
NIM : 063111064
Skripsi ini membahas konsep pendidikan pluralisme menurut seorang
tokoh pejuang pluralisme bernama Abdurrahman Wahid ditinjau dari sudut
pandang Pendidikan Islam. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan:
(1) Bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Konsep
Pendidikan Pluralisme? (2) Bagaimana Konsep Pendidikan Pluralisme menurut
Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam? Permasalahan tersebut
dibahas melalui studi kepustakaan yang datanya diperoleh dari berbagai karya
tulisan Abdurrahman Wahid terkait pendidikan pluralisme. Semua data penelitian
dianalisis menggunakan pendekatan studi pemikiran tokoh yaitu dengan
pendekatan sosio histories dan factual histories, penulis juga menekankan pada
metode hermeneutika.
Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Menurut Abdurrahman Wahid Konsep
Pendidikan pluralisme merupakan suatu pendidikan untuk menerima perbedaan
sebagai sunnatullah agar saling mengenal, menghindari perpecahan,
mengembangkan kerjasama dengan menanamkan rasa saling pengertian, saling
memiliki dan bersikap inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan siapapun,
namun tetap meyakini kebenaran agama sendiri dengan tidak mempersamakan
keyakinan secara total. (2) Dalam perspektif pendidikan Islam, pemikiran
Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan pluralisme memiliki keserasian yaitu
berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur dengan
berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, serta mengupayakan untuk menanamkan
nilai-nilai toleransi pada peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan
mengembangkan rasa saling pengertian dan memiliki terhadap umat agama lain.
6
TRANSLITERASI
Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman
pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Nomor:
158/1987 dan Nomor 0543b/U/1987. Penyimpangan penulisan kata sandang (al-)
disengaja secara konsisten supaya sesuai teks Arabnya.
t ط a ا
z ظ b ب
‘ ع t ت
g غ s ث
f ف j ج
q ق h ح
k ك kh خ
l ل d د
m م z ذ
n ن r ر
w و z ز
s < h س
, ء sy ش
y ي s ص
d ض
Bacaan Madd: Bacaan Diftong
ā = a panjang او = au
i = i panjang اي = ai
ū = u panjang
7
MOTTO
$$$$ pp ppκκκκ šš šš‰‰‰‰ rr rr'''' ‾‾ ‾‾≈≈≈≈ tt ttƒƒƒƒ ââ ââ¨$$$$ ¨¨ ¨¨ΖΖΖΖ9999 $$ $$#### $$$$ ‾‾ ‾‾ΡΡΡΡ ÎÎ ÎÎ)))) //// ää ää3333≈≈≈≈ oo ooΨΨΨΨ øø øø)))) nn nn==== yy yyzzzz ÏÏ ÏÏ ii iiΒΒΒΒ 99 99���� xx xx.... ss ssŒŒŒŒ 44 44 ss ss\\\\ΡΡΡΡ éé éé&&&& uu uuρρρρ öö ööΝΝΝΝ ää ää3333≈≈≈≈ oo ooΨΨΨΨ ùù ùù==== yy yyèèèè yy yy____ uu uuρρρρ $$$$ \\ \\////θθθθ ãã ããèèèè ää ää©©©© ŸŸ ŸŸ≅≅≅≅ ÍÍ ÍÍ←←←← !! !!$$$$ tt tt7777 ss ss%%%% uu uuρρρρ (( ((#### þþ þþθθθθ èè èèùùùù uu uu‘‘‘‘$$$$ yy yyèèèè tt ttGGGG ÏÏ ÏÏ9999 44 44 ¨¨ ¨¨ββββ ÎÎ ÎÎ))))
öö öö//// ää ää3333 tt ttΒΒΒΒ tt tt���� òò òò2222 rr rr&&&& yy yy‰‰‰‰ΨΨΨΨ ÏÏ ÏÏãããã «« ««!!!! $$ $$#### öö ööΝΝΝΝ ää ää33339999 ss ss)))) øø øø???? rr rr&&&& 44 44 ¨¨ ¨¨ββββ ÎÎ ÎÎ)))) ©© ©©!!!! $$ $$#### îî îîΛΛΛΛ ÎÎ ÎÎ==== tt ttãããã ×× ××�������� ÎÎ ÎÎ7777 yy yyzzzz ∩∩∩∩⊇⊇⊇⊇⊂⊂⊂⊂∪∪∪∪
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di Sesungguhnya orang yang paling mulia di Sesungguhnya orang yang paling mulia di Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang antara kamu di sisi Allah ialah orang antara kamu di sisi Allah ialah orang antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di yang paling taqwa di yang paling taqwa di yang paling taqwa di antara kamu.antara kamu.antara kamu.antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.”1
Indahnya Perbedaan sebagai Rahmat Tuhan
1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok
Gema Insani,2005), hlm. 518
8
PERSEMBAHAN
Skripsi ini khusus Ku persembahkan kepada
Sang Guru Bangsa KH. Abdurrahman Wahid (alm.).
Allâhummaghfir lahu warhamhu wa ‘âfîhi wa’fu’anhu
serta
Para Pecinta Pluralisme
9
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadlirat Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Pembimbing manusia menuju jalan yang lurus. atas segala limpahan
rahmat, taufiq, hidayah serta inayahnya. shalawat serta salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada beliau Nabi besar Muhammad SAW., keluarga dan para
sahabatnya.
Hanya dengan ridla dan pertolongan Allah-lah penulisan skripsi ini bisa
terselesaikan. Akan tetapi penulis sadar bahwa pada seluruh pembahasannya
masih terdapat kekurangan, baik yang menyangkut segi metodologi maupun
analisisnya, hal ini penulis harapkan agar dapat dimaklumi sebagai akibat
keterbatasan kemampuan penulis. Maka demi kesempurnaannya, kritik
membangun dari pembaca senantiasa penulis harapkan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
memberikan pengarahan, bimbingan dan bantuan apapun yang sangat besar
artinya bagi penulis. Ucapan terima kasih ini terutama penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. Suja’i, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang,
2. Bapak Dr. H. Abdul Wahib, M. Ag. dan Bapak Syamsul Ma’arif, M. Ag.
selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan
pikiran untuk memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak dan Ibu dosen beserta karyawan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang yang telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga
penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibuku yang tak hentinya mendo’akanku, pengorbananmu yang
penuh keikhlasan sungguh berdampak luar biasa pada jiwaku. Kasih
sayangmu semoga berbuah kebaikan di sisi Tuhanku.
5. Para Kiai dan Guruku yang telah membimbing, mengarahkan, mendidik dan
mendo’akanku, menuntun ruhaniku ke jalan yang lurus menuju Tuhanku.
Berkah ilmu darimu semoga berbuah kemanfa’atan bagi ummat.
10
6. Adik-adikku, simbahku, serta paman-pamanku yang selalu memberi semangat
serta dorongan moril-materiil. Semoga Allah membalas dengan yang lebih
baik
7. Keluarga besar santri Ponpes. Raudlatut Thalibin (PPRT) Tugurejo, Tugu,
Kota Semarang, segenap jajaran pengurus tahun 2009/2010, teman
seangkatan, seperjuangan, serta seluruh santri PPRT. Kalian semua adalah
keluarga baru bagiku, orang-orang istimewa yang akan berkenang selalu
dalam hidupku. Terima kasih atas semuanya.
8. Teman-teman seperjuangan di “Desa tercinta”, motivator yang tak pernah
surut ditelan zaman.
9. Teman-teman seangkatan PAI B 2006, kebersamaan dalam kuliah, senda
gurau, diskusi, serta jatuh bangun sampai proses skripsi semoga akan selalu
terkenang manis dalam ikatan persaudaraan.
10. Teman-teman PPL, KKN, serta organisasi Nafilah, terima kasih atas segala
bimbingan yang kau berikan.
11. Teman-teman di MTs dan SMU Robin yang akan terus tersambung tali
silaturrahmi kita sampai kapanpun.
12. Gadis yang singgah di hatiku, terima kasih atas senyumanmu. Engkaulah
inspirasiku.
13. Saudara-saudara yang belum kusebutkan namanya satu persatu, semoga Allah
membalas jasa baikmu. Amiin...
Hanya untaian rasa terima kasih yang tulus dengan diiringi do’a semoga
Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan sebaik-baik balasan.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin
Semarang, 01 Juni 2011
Penulis,
Achmad Mustholih
NIM: 063111064
11
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
PERNYATAN KEASLIAN ......................................................................... ii
PENGESAHAN ........................................................................................... iii
NOTA PEMBIMBING ................................................................................ iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
TRANSLITERASI ....................................................................................... vi
MOTTO ....................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN......................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... xi
BAB I: PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ............................. 8
D. Penegasan Istilah .................................................................. 9
E. Tinjauan Pustaka ................................................................... 10
F. Metode Penelitian ................................................................. 13
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ...................................... 13
2. Sumber-Sumber Data ...................................................... 14
3. Metode Analisis Data ...................................................... 15
G. Sistematika Pembahasan Skripsi ........................................... 15
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN
PLURALISME DAN PENDIDIKAN ISLAM ......................... 18
A. Pendidikan Pluralisme .......................................................... 18
1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pluralisme ................ 18
2. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pendidikan
Pluralisme ....................................................................... 22
3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Pluralisme ........................ 25
12
B. Pendidikan Islam .................................................................. 40
1. Pengertian Pendidikan Islam ........................................... 40
2. Sumber atau Dasar Pendidikan Islam .............................. 44
3. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam ................................ 48
4. Tujuan Pendidikan Islam ................................................. 50
BAB III : PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG
KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME .............................. 52
A. Biografi Abdurrahman Wahid .............................................. 52
1. Biografi ......................................................................... 52
2. Karya-Karya Abdurrahman Wahid ................................ 60
3. Penghargaan-Penghargaan yang Diperoleh Abdurrahman
Wahid ........................................................................... 63
B. Pemikiran Abdurrahman Wahid Mengenai Konsep Pendidikan
Pluralisme ............................................................................. 65
1. Dasar Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid ........... 65
2. Pandangan Pluralisme Abdurrahman Wahid .................... 67
3. Cara Menyikapi Pluralisme ............................................. 68
4. Pluralisme Dalam Konteks Keindonesiaan ...................... 70
5. Aktualisasi Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid.. 73
BAB IV: ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN ABDURRAHMAN
WAHID TENTANG KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM .................. 81
A. Analisis Tentang Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut
Abdurrahman Wahid ........................................................... 83
1. Terbentuknya Watak Pluralisme Abdurrahman Wahid .. 83
2. Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid .... 85
B. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid
Ditinjau dari Pendidikan Islam ............................................ 89
1. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Prinsip Pendidikan
Pluralisme ..................................................................... 89
13
2. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman
Wahid Ditinjau dari Pendidikan Islam ........................... 92
C. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid dalam
Konteks Keindonesiaan ....................................................... 97
1. Indonesia adalah Negara Pancasila, Bukan Negara
Islam ............................................................................. 97
2. Memperjuangkan Penegakan Demokrasi, HAM, dan
Pluralisme di Indonesia ................................................. 100
3. Solusi bagi Permasalahan Kemajemukan di Indonesia ..... 105
BAB V: PENUTUP................................................................................ 108
A. Simpulan ............................................................................ 108
B. Saran dan Penutup .............................................................. 109
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk
atau plural society,2 dari segi etnis, misalnya ada suku melayu dan ada suku
Melanesia yang selanjutnya membentuk seratus suku besar dan 1.072 suku-
suku derivative besar dan kecil. Dari segi bahasa, terdapat ratusan bahasa yang
digunakan di seluruh wilayah Nusantara. Dari segi pulau yang dihuni, terdapat
sekitar 13.000 lingkungan kehidupan kepulauan. Dari segi sejarah politik
lokal, terdapat puluhan bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama yang
berpengaruh terhadap sistem stratifikasi sosial dan adat istiadat setempat
sekarang. Dari segi mata pencaharian, terdapat keragaman antara kehidupan
pedesaan dan perkotaan. Dari segi agama, terdapat sejumlah agama besar
dunia dan sejumlah sistem kepercayaan lokal yang tersebar diseluruh wilayah
Nusantara.3
Masyarakat semacam itu merupakan suatu fenomena unik dan
menarik, tetapi juga bisa menjadi pangkal konflik seperti yang banyak terjadi
sejak dahulu hingga kini. Di satu sisi keragaman dapat diterima oleh
masyarakat sebagai sebuah keniscayaan yang disikapi dengan arif, namun di
sisi lain ternyata menimbulkan masalah yang cukup kompleks.
Pada hakikatnya, bangsa kita sebagai sebuah masyarakat heterogen
yang sedang tumbuh, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian
yang mendalam antara beraneka ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah,
bahasa ibu, dan kebudayaannya. Paling tidak tentu saling pengertian tercapai
2 Setelah Indonesia merdeka, kemajemukan masyarakat Indonesia disebabkan oleh
keadaan intern tanah air dan bangsa Indonesia sendiri. Golongan Eropa yang sebelum itu
mempunyai kedudukan sangat penting di dalam masyarakat Indonesia kemudian terlempar keluar
dari sistem sosial masyarakat Indonesia. Lihat Dr. Ichtijanto, “Masyarakat Majemuk dan
Kerukunan Hidup Beragama”, dalam Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm. 47
3 Atho Mudzhar, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke
Depan (Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm. 1-2
15
barulah bersifat nominal belaka. Pola hubungan seperti itu dengan sendirinya
tidak memiliki daya tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang
dari perkembangan politik, ekonomi, dan budaya, sehingga kerukunan yang
ada hanyalah kondisi yang rapuh. 4
Sering kali perbenturan dalam pluralisme yang mendapat sorotan tajam
adalah mengenai pluralisme agama. Karena secara historis, di negara ini
agama-agama besar berkembang dengan suburnya. Dan secara sosiologis,
hubungan masing-masing agama sarat dengan berbagai dinamika, terkadang
akomodatif dan terkadang konfrontatif. Pola hubungan akomodatif terjadi
karena masing-masing umat dapat mengaktualisasikan ajaran agamanya
dengan benar sekaligus para pemeluk agama menaati dan mengakomodir
nilai-nilai budaya lokal. Sedangkan mencuatnya hubungan konfrontatif
disebabkan oleh sifat dan watak umat beragama, termasuk pemahaman agama
yang sempit serta adanya pengaruh provokasi dari luar. Yang selanjutnya
menyebabkan kerusuhan yang bernuansa agama.
Perbedaan sikap dan pandangan, apalagi perbenturan kepentingan
dapat membuat ketenangan suasana sewaktu-waktu berubah menjadi
kebalauan. Mereka yang tadinya saling menghormati, tiba-tiba dapat bersikap
saling menyalahkan.
Dua dasawarsa terakhir ini, Indonesia sedang ditandai oleh friksi dan
tensi krusial dengan warna keagamaan, misalnya konflik Kristen-Islam di
Poso, Maluku sampai Paling mutakhir dan paling menonjol dalam kurun tahun
2008 hingga awal 2011 adalah pada 1 Juni 2008 terjadi penyerangan oleh FPI
(Front Pembela Islam) terhadap anggota AKKBB (Aliansi Kebebasan untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) yang tengah melakukan aksi di
Monas, Jakarta. Pada 27 Juli 2010 masjid Syekh Ali Martaib di desa Lumban
Lobu, Kec. Tapanuli Utara-Sumatera Utara dibakar oleh orang tak dikenal
menjelang subuh, 06 Februari 2011 terjadi tragedi di Cikeusik, Pandeglang-
Banten yaitu penyerangan terhadap Jama’ah Ahmadiyah yang menewaskan
4 Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran
K. H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas, 1999), Cet. II, hlm. 15
16
empat orang dan melukai lima orang, 08 Februari terjadi perusakan tiga
Gereja di Temanggung Jawa Tengah oleh massa yang tidak puas karena
terdakwa kasus penistaan agama Antonius Richmon hanya divonis lima tahun
penjara, serta yang terakhir adalah penyerangan pesantren di Pasuruan oleh
gerombolan bermotor pada 15 Februari 2011.5
Sebenarnya, konflik-konflik tersebut tidak selalu berdasarkan
pertimbangan keagamaan, tetapi juga karena faktor kebangsaan, kesejarahan,
kesenjangan sosial-ekonomi dan politik, hegemoni kultural, kekuasaan
teritorial, dan sebagainya. Meskipun demikian, tampak bahwa pertimbangan
religiusitas sedikit banyak mengandung semangat kebencian pemeluk suatu
agama vis a vis pemeluk agama lainnya.6
Menurut Yenni Wahid7, kekerasan berbau SARA terjadi karena ada
pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa Indonesia yang majemuk.
Mereka membenturkan hal-hal yang berbeda, juga ada keinginan untuk
memimpin ruang-ruang tertentu namun rela mengacaukan hubungan yang
telah harmonis. Serta ada pula penyebab lain, terutama faktor ekonomi yang
bisa menyebabkan seseorang menjadi frustasi lalu mudah ditawari untuk
menjadi mujahid dengan mengikuti kelompok yang menjanjikan surga dan
kemuliaan.8
Agama dewasa ini ditantang dan diuji oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesatnya,9 agama-agama besar
5 Fauzan Dj, “Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama”, Suara Merdeka,
Semarang, 20 Februari 2011, hlm 4 6 Abdul Dubbun Hakim, “Islam, Inklusivisme, Dan Kosmopolitanisme”, dalam Abdul
Dubbun Hakim, Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), hlm. 3-4
7 Yenni Wahid bernama asli Zannuba Arrifah Chafsoh, putri ke-2 KH. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) adalah Direktur The Wahid Institut 2004-sekarang. 8 Zannuba Arrifah Chafsoh, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”, Suara Merdeka,
Semarang, 20 Februari 2011, hlm. 2 9 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari munculnya revolusi industri
yang berlangsung di beberapa masyarakat Barat terutama pada abad ke- 19 dan awal abad ke- 20.
Revolusi industri bukanlah peristiwa tunggal, melainkan terdiri dari beberapa perkembangan yang
saling terkait dan berpuncak pada transformasi dunia Barat dari sistem pertanian menuju sistem
industri besar-besaran. Dengan munculnya pabrik-pabrik sebagai buah dari kemajuan teknologi.
Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2009), cet. II, hlm. 7
17
dunia, Yahudi, Kristen, dan Islam disadari ataupun tidak telah memasuki
periode krisis yang akut dan berlangsung secara kontinyu. Krisis tersebut
karena agama-agama sudah tidak mampu memberikan solusi-solusi alternatif
bagi manusia modern dalam ragam masalah kehidupan mereka.
Adanya keanekaragaman corak beragama adalah fenomena empiris
historis yang tidak mungkin kita hindari. Berhadapan dengan realitas tersebut
setiap umat beragama disapa untuk menyikapi adanya pluralitas tersebut tanpa
mengambil sikap yang eksklusif, partikularis, dan intoleran dalam hidup di
tengah-tengah kemajemukan. Sebenarnya, pluralitas keagamaan adalah sebuah
kehendak Tuhan yang tidak akan berubah sehingga keberadaannya tidak
mungkin ditolak atau ditawar.10 Sikap mental yang apresiatif dan inklusif
terhadap adanya keanekaragaman agama tersebut sejalan dengan semangat
nash al-Qur’an surat al-Hujurat: 13
$ pκš‰r' ‾≈tƒ â¨$ ¨Ζ9$# $‾Ρ Î) /ä3≈oΨ ø)n= yz ÏiΒ 9�x.sŒ 4 s\Ρé&uρ öΝä3≈oΨ ù=yè y_uρ $ \/θãè ä© Ÿ≅Í← !$ t7s% uρ (#þθ èùu‘$ yè tGÏ9 4 ¨βÎ)
ö/ ä3tΒ t�ò2 r& y‰ΨÏã «! $# öΝä39s) ø?r& 4 ¨βÎ) ©!$# îΛ Î=tã ×��Î7yz ∩⊇⊂∪
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.11
Jika dicermati secara mendalam, Allah SWT. Secara tegas menyatakan
melalui firman-Nya tersebut bahwa terdapat kemajemukan di muka bumi ini.
Adanya laki-laki dan perempuan serta perbedaan suku bangsa harus diterima
sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar keniscayaan
tersebut. Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut dengan
berinteraksi sosial sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah
SWT.
10 Abdul Dubbun Hakim, op. cit. hlm. 9-10 11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok
Gema Insani,2005), hlm. 518
18
Sejalan dengan firman tersebut, maka pluralitas umat meningkat
menjadi pluralisme. Yaitu sistem nilai yang memandang optimis-positif
terhadap keanekaragaman dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan
itu.
Dalam sejarah perkembangan agama Islam, diketahui bahwa hijrahnya
Nabi ke Madinah bukan bertujuan untuk membentuk negara Islam, melainkan
hanya untuk menjamin keamanan masyarakat agamanya serta demi kondisi-
kondisi yang dibutuhkan bagi penyiaran agama Islam. Selain itu Nabi juga
ingin mengimplementasikan perintah-perintah Allah SWT. di Makkah untuk
diterapkan di Madinah. Di Madinah12, Nabi mengeluarkan sebuah Piagam
13
yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu
komunitas, dengan menekankan kerjasama seerat mungkin dengan sesama
kaum Muslimin dan menyerukan kepada orang-orang Muslim dan Yahudi
untuk bekerjasama demi keamanan mereka bersama.14
Pluralisme merupakan kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan
manusia terdapat keragaman suku, ras, budaya, dan agama. Keragaman itu
bisa terjadi karena adanya faktor lingkungan tempat manusia hidup yang
berbeda-beda. Lingkungan empat musim bagi seseorang akan membuat orang
tersebut memiliki karakter dan pembawaan yang berbeda dengan orang yang
hidup dalam lingkungan dua musim.
Menurut Nurcholis Madjid, Pluralisme tidak dapat dipahami hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri
dari berbagai suku dan agama15, yang justru hanya menggambarkan kesan
12 Masyarakat Madinah terkenal sebagai masyarakat plural, terdiri dari berbagai macam
suku yang sering berselisih, bermacam agama dan kepercayaan, serta beraneka profesi
penduduknya. 13 Teks Piagam Madinah ditetapkan bersama Sahabat Anshar dan beberapa Kepala
Keluarga dari Makkah, teks tersebut terdiri dari 47 pasal. 14 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm.13
15 Para ahli ilmu perbandingan agama membagi agama secara garis besar ke dalam dua
bagian. Pertama, kelompok agama yang diturunkan oleh Tuhan melalui wahyu-Nya yang disebut
sebagai agama samawi atau agama langit (antara lain; Islam, Yahudi dan Nashrani). Kedua, kelompok agama yang didasarkan pada hasil renungan mendalam dari tokoh yang membawanya
sebagaimana terdokumentasikan dalam Kitab Suci yang disusunnya, agama demikian disebut
sebagai agama ardli atau agama bumi (seperti; Hindu, Budha, Majusi, Konghucu, dsb.), lihat
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 119
19
fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar
sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya
untuk menyingkirkan fanatisme.
Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban. Bahkan juga suatu keharusan bagi keselamatan
ummat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan yang dihasilkannya.16 Dengan demikian, hal tersebut
menegaskan adanya masalah besar dalam kehidupan beragama yang ditandai
oleh kenyataan pluralisme dewasa ini. Salah satu masalah besar dari paham
pluralisme yang telah menyulut perdebatan abadi sepanjang masa menyangkut
masalah keselamatan adalah bagaimana suatu teologi dari suatu agama
mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain.17
Dari uraian tersebut, menjadi nyata bagi kita bahwa masalah pokok
dalam hal hubungan antarumat beragama adalah pengembangan rasa saling
pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita akan menjadi bangsa yang
kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu
sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang diperlukan adalah
rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang
rasa satu terhadap yang lain.18
Sikap mental ini kemudian berubah menjadi eksklusivisme,
sektarianisme, dan intoleransi antarumat beragama sehingga terjadilah
konflik-konflik dan perang atas nama agama. Realitas empirik inilah yang
memprihatinkan kita semua. Namun, justru karena itulah dialog antaragama
menjadi sangat penting.19
Kecenderungan sekelompok kecil umat Islam yang sering bersikap
keras terhadap penganut agama lain menurut Abdurrahman Wahid merupakan
proses pendangkalan agama. Pendangkalan ini muncul karena pengaruh
16 Budhi Munawwar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaran Kaum Beriman,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 39 17 Ibid, hlm. 40 18 Abdurrahman Wahid, op. cit, hlm. 16
19 Ibid, hlm. 4
20
politik Islam di Timur Tengah di mana Islam sudah dijadikan ideologi atau
komoditas politik. Proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung
bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain
merupakan faktor lain yang memperburuk hubungan antarumat beragama di
Indonesia. Hal ini dilakukan baik oleh mubalig maupun guru-guru di sekolah.
Padahal tidak ada ayat atau hadis nabi yang memerintahkan kaum Muslim
bersikap keras demikian, apalagi terhadap agama-agama samawi.20
Pluralisme yang ditekankan Abdurrahman Wahid adalah pluralisme
dalam bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam bertindak mensyaratkan
seseorang untuk tidak membatasi pergaulan dengan orang lain (eksklusif)
meskipun berbeda keyakinan. Pluralisme dalam berpikir adalah kesediaan
untuk menerima atau mengambil gagasan atau pemikiran dari kalangan lain.
Sikap hidup yang demikian merupakan realisasi dari pandangan
demokratis, toleran dan pluralistik Abdurrahman Wahid. Sikap itu pula yang
bisa menjelaskan keluasan pergaulan dan wawasan Abdurrahman Wahid yang
ternyata bersumber dari banyak sekali ajaran, nilai moral, dan budaya yang
ada di dunia termasuk faktor pendidikan yang diterima di dalam keluarga dan
pendidikan formal yang ditekuninya bahkan sampai kepada keaktifannya di
berbagai organisasi kemasyarakatan.
Oleh sebab itu, pendidikan yang sampai sekarang masih diyakini
mempunyai peran besar dalam membentuk karakter generasi muda penerus
bangsa, maka melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan pluralisme
akan sangat dibutuhkan serta dapat memelihara dan berupaya menumbuhkan
pemahaman yang inklusif pada anak bangsa. Dengan suatu orientasi untuk
memberikan penyadaran akan pentingnya sikap saling menghargai,
menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama lain.
Mencermati realitas tersebut, pemikiran mengenai pentingnya
pendidikan pluralisme terutama bagi bangsa Indonesia yang majemuk menurut
pandangan seorang tokoh yang sangat mengedepankan pluralisme, baik
20 Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama,” dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed), Passing Over: Melintas Batas Agama, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 51-54
21
pemikirannya yang diaktualisasikan dalam bentuk tulisan di berbagai media,
maupun bentuk sikap dan tindakan riil yang dilakukannya, entah itu ketika
menjabat sebagai presiden, sebelum maupun sesudah menjabat, sangatlah
menarik untuk dikaji. Dan untuk penelitian ini, pemikiran Abdurrahman
Wahid tentang Pendidikan Pluralisme akan ditinjau dalam perspektif
Pendidikan Islam, sehingga penelitian ini diberi judul KONSEP
PENDIDIKAN PLURALISME MENURUT ABDURRAHMAN WAHID
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah dan kerangka pemikiran di atas, terdapat
beberapa permasalahan yang akan dikaji:
1. Bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Konsep
Pendidikan Pluralisme?
2. Bagaimana Konsep Pendidikan Pluralisme menurut Abdurrahman Wahid
dalam Perspektif Pendidikan Islam?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Dari beberapa permasalahan di atas, maka tujuan penulisan skripsi
ini adalah:
a. Mengetahui pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang
Konsep Pendidikan Pluralisme
b. Mengetahui bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
tentang Konsep Pendidikan Pluralisme jika dilihat dalam Perspektif
Pendidikan Islam
2. Manfaat penelitian
Harapan dari penulisan skripsi ini adalah agar bermanfaat dalam
memberikan gambaran tentang Konsep Pendidikan Pluralisme untuk
dijadikan pegangan sesama praktisi pendidikan yang sekiranya dapat
memberikan sumbangsih dan kontribusi nyata dalam memecahkan
22
berbagai masalah berbau SARA yang bisa menimbulkan dampak
ketegangan di antara kelompok, suku, serta pemeluk agama yang dihadapi
oleh masyarakat plural, seperti di Indonesia.
D. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan dan memahami
pokok kajian penelitian ini, maka dirasa perlu untuk mengemukakan makna
dan batasan-batasan istilah dalam judul tersebut agar mudah dipahami secara
konkret dan lebih operasional. Adapun penjelasan tersebut adalah:
1. Konsep
Istilah Konsep dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai ide
umum, pengertian, pemikiran, rancangan, serta rencana dasar21
2. Pendidikan Pluralisme
Pluralisme berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak,
dalam arti terdapat keanekaragaman dalam masyarakat. Dalam Oxford
Advanced Learner’s Dictionary, Pluralisme diartikan sebagai keberadaan
atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam
suatu masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan atau sikap
dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya.22
Pendidikan Pluralisme merupakan pendidikan yang mengandaikan
kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu
melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita
mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki
perbedaan maupun kesamaan cita-cita.23
3. Pendidikan Islam
Pendidikan Islam mengandung arti upaya membimbing,
mengarahkan, dan membina peserta didik yang dilakukan secara sadar dan
21 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
1994), hlm. 362 22 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka,
2005), hlm. 13 23 Ibid, hlm. 92
23
terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan nilai-
nilai ajaran Islam.24
E. Tinjauan Pustaka
Sejak menjabat sebagai Ketua PBNU, ketika Almarhum Abdurrahman
Wahid diangkat menjadi Presiden, bahkan setelah wafatnya Beliau pada 30
Desember 2010 yang lalu, banyak pakar yang melakukan penelitian,
pengumpulan berbagai tulisan-tulisan Beliau yang tercecer di surat kabar dan
makalah-makalah, serta melakukan analisa tentang sikap, langkah kebijakan
maupun pemikiran-pemikiran mantan Presiden RI ke-4 ini, baik itu pemikiran-
pemikiran Beliau tentang politik, ekonomi, budaya, agama, pesantren, dan
sebagainya.
Penelitian tentang Beliau memang sudah banyak dilakukan oleh
beberapa pakar, misalnya; Al-Zastrouw Ng, karyanya berjudul “Gus Dur,
Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus
Dur”,25 mengungkapkan bahwa Gus Dur sebagai tokoh besar yang memiliki
gagasan besar pula, tidak jarang gagasan-gagasan tersebut menimbulkan salah
pengertian yang berujung pada terjadinya perdebatan, ketika gagasan tersebut
disosialisasikan ke tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pandangan Gus Dur tentang agama juga dengan gamblang dipaparkan
dalam buku ini bahwa sekalipun agama itu mengandung ajaran tunggal,
namun karena dia dipahami oleh umat yang memiliki latar belakang
pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang berbeda, maka dalam
prakteknya menjadi berbeda dan plural.
Sebenarnya umat beragama memiliki kebebasan untuk mengubah
simbol dan ritus yang menjadi bagian dari dimensi kebudayaan agama. Inilah
yang dilakukan Gus Dur selama ini, yaitu langkah untuk membawa agama
dalam nilai-nilai yang tetap relevan dengan realitas zamannya, dan agar agama
memiliki fungsi yang maksimal dalam menjawab problem kehidupan, salah
24 Abudin Nata, op. cit. hlm. 339-340 25 Zastrouw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pernyataan Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999)
24
satunya adalah membela pluralisme dalam beragama. Atas sikapnya yang
demikian, Gus Dur banyak mendapat tudingan dan hujatan. Dia dituduh
sekuler, pengkhianat umat, dan tidak membela umat Islam. Padahal, kalau
dilacak secara cermat, sebenarnya Gus Dur justru berusaha memfungsikan
agama secara maksimal.
”Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis
Madjid dan Abdurrahman Wahid”, karya Ahmad Amir Aziz, yang
memberikan pencerahan bagaimana Abdurrahman Wahid membela kalangan
minoritas dalam keberatannya terhadap pembentukan ICMI yang didasarkan
atas kuatnya semangat membentuk “Masyarakat Islam” pada sejumlah
aktifitas organisasi itu. Jika perkembangannya tidak direm, maka yang akan
terjadi adalah pengabaian semangat toleransi keagamaan.26 Pandangannya
yang mengedepankan Universalisme Islam semakin terlihat nyata ketika Ia
dalam kancah sosial dalam perpolitikan nasional, menunjukkan perhatian
besar pada hak-hak kelompok minoritas.
Salah satu manifestasi dari komitmen atas pluralisme, adalah ketika
menjadi presiden, Gus Dur mempelopori penghapusan diskriminasi terhadap
etnis Tionghoa dengan mengeluarkan Inpres No 6/2000 tanggal 17 Januari
2000, mencabut Inpres 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat
Cina. Gus Dur juga mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 29/1998
tentang Bakorstanas dan Keppres No. 16/1990 tentang Litsus. Kedua lembaga
itu dinilainya lebih banyak menimbulkan kesulitan dari pada manfaat dan
secara jelas merugikan nilai-nilai hak asasi manusia.
Perjuangan membela kaum tertindas dan termarjinalkan tanpa
membedakan agama dan keyakinan seseorang atau kelompok, misalnya
pembelaannya terhadapa Jama’ah Ahmadiyah dan sebagainya semakin
menunjukkan jiwa pluralis Gus Dur. Sikap semacam itu dibentuk melalui
proses panjang, di mana Ia pernah berorganisasi dan belajar di Mesir, Irak,
serta beberapa negara Eropa.
26 Ahmad, Amir, Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta, Rineka Cipta, 1999)
25
Douglas E. Ramage27 juga mengatakan bahwa strategi Pancasila Gus
Dur tidak hanya ditujukan untuk mengoreksi perilaku kekuasaan elit negara,
tetapi juga untuk mangatakan bahwa Pancasila pada dasarnya adalah sebuah
kompromi politik untuk tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sebagai
suatu bangsa yang terdiri atas berbagai suku dan agama, bangsa Indonesia
menerima Pancasila sebagai pernyataan ideologis tentang toleransi dan
komitmen untuk menghindari lahirnya perilaku-perilaku politik yang sifatnya
”eksklusif”. Faktor toleransi di antara umat beragama inilah yang menurut Gus
Dur harus menjadi dasar bagi pengembangan demokrasi di Indonesia.
Gejala menurunkan kemampuan masyarakat untuk memelihara sikap
toleransi yang demikian itu, mendorongnya pada 1992 lewat rapat akbar untuk
memperingatkan betapa bahayanya jika hal itu terus dibiarkan sejalan dengan
kuatnya kecenderungan ke arah apa yang disebutnya sebagai
rekonfensionalisasi politik di kalangan umat beragama. Sebab, seperti yang
sudah sering kali ia katakan, tanpa toleransi di antara umat beragama maka
demokrasi tidak akan pernah bisa dikembangkan.
Buku karya A. Nur Alam Bakhtiar28 juga memberikan gambaran untuk
mengenal Gus Dur secara dekat, baik konsep dan tindakannya. Sekalipun
buku ini sedikit subjektif dalam memberikan penilaian terhadap Gus Dur,
tetapi cukup menggelitik pembacanya untuk semakin mengaguminya.
Menurut Gus Dur, Prinsip pluralisme harus dilihat dalam konteks
manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme peradaban Islam, ajaran
moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah jaminan
dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, meliputi; keselamatan
fisik warga masyarakat (hifdzu al-nafs), keselamatan keyakinan agama
masing-masing (hifdzu al-din), keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu
al-nasl), keselamatan harta benda dan milik pribadi (hifdzu al-mal), dan
27 Douglas E. Ramage, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 2010),
Cet. III, hlm. 115 28 A. Nur Alam Bakhtiar, 99 Keistimewaan Gus Dur, (Jakarta: Kultural, 2008)
26
keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk). Kesemuanya itu
merupakan konsep yang dijadikan Gus Dur sebagai prinsip Universal Islam.29
Namun, sejauh ini semua jaminan dasar itu hanya menyajikan
kerangka teoritik yang tidak berfungsi tanpa didukung oleh kosmopolitanisme
peradaban Islam, yang muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti
hilangnya batasan etnik, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik.30
Berbagai karya penelitian yang telah dipaparkan di atas memiliki
keistimewaan dan corak tersendiri dalam mengkaji pemikiran serta sikap
seorang tokoh besar bernama Abdurrahman Wahid, karena kajian dan cara
pandang yang digunakan berbeda-beda. Begitu juga dalam penelitian ini,
pencarian sebuah konsep Pendidikan Pluralisme dalam pandangan Beliau
dilihat dari perspektif Pendidikan Islam.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Kepustakaan (library
research). Artinya penelitian yang bersifat kepustakaan murni yang data-
datanya didasarkan/diambil dari bahan-bahan tertulis, baik yang berupa
buku atau lainnya yang berkaitan dengan topik/tema pembahasan skripsi
ini.31
Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah studi
pemikiran tokoh yaitu dengan pendekatan sosio histories dan factual
histories, pendekatan sosio histories yaitu penelitian yang berupaya
memeriksa secara kritis peristiwa, perkembangan masa lalu, kemudian
mengadakan interpretasi terhadap sumber-sumber informasi.32 Sedangkan
29 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 4-5 30 Ibid, hlm. 9 31 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 63
32 Komaruddin, Kamus Research, (Bandung: Angkasa, 1984), hlm. 120
27
factual histories yaitu suatu pendekatan dengan mengemukakan sejarah
fakta mengenai tokoh.33
2. Sumber-Sumber Data
a. Sumber Primer
Sumber Primer dalam hal ini adalah hasil-hasil penelitian atau
tulisan-tulisan karya peneliti atau teoritisi yang orisinil.34 Sumber
primer ini berupa buku-buku dan karya ilmiah yang digunakan sebagai
referensi utama, dan sebagian besar penulis gunakan sebagai rujukan
dalam penulisan skripsi ini. Adapun sumber primer tersebut adalah
buku-buku karya Abdurrahman Wahid, di antaranya; Islam
Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan,
Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur Bertutur, Prisma Pemikiran
Gus Dur, Dialog kritik dan Identitas Agama, dan lain sebagainya.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah bahan pustaka yang ditulis dan
dipublikasikan oleh seorang penulis yang tidak secara langsung
melakukan pengamatan atau berpartisipasi dalam kenyataan yang ia
deskripsikan. Dengan kata lain penulis tersebut bukan penemu teori.35
Sumber sekunder ini digunakan sebagai bahan referensi tambahan
untuk lebih memperkaya isi skripsi, dan sebagai bahan pelengkap dalam
pembuatan skripsi ini. Sumber ini terdiri dari buku-buku atau karya
ilmiah lain yang masih ada hubungannya dengan isi skripsi. Misalnya;
Biografi Gus Dur, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Gus Dur, NU
dan Masyarakat Sipil, 41 Kebesaran Gus Dur, The Beauty of Islam,
Pendidikan Pluralisme di Indonesia, karya ilmiah Islam dan Pendidikan
Pluralisme, dan sebagainya.
33 Anton Bekker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61 34 Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 83 35 Ibid, hlm. 84
28
3. Metode Analisis Data
Dalam metode analisis data, ditekankan pada metode
hermeneutika, yang secara etimologis berarti penafsiran atau interpretasi.
Menurut istilah, Hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu
atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.36 Dengan Metode tersebut,
bisa ditafsirkan tulisan KH. Abdurrahman Wahid dengan menggunakan
bahasa sendiri.
G. Sistematika Pembahasan Skripsi
Untuk mempermudah penjelasan, pembahasan, penelaahan pokok-
pokok masalah yang dikaji, maka disusunlah sistematika sebagai berikut:
1. Bagian muka, pada bagian ini termuat halaman judul, kata pengantar dan
daftar isi.
2. Bagian isi, pada bagian ini termuat:
BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini dijelaskan
tentang latar belakang masalah, mengapa topik ini diambil.
Dalam menghindari meluasnya pembahasan skripsi ini, maka
dijelaskan penegasan istilah dan rumusan masalah, tujuan
penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian skripsi yang meliputi: jenis dan pendekatan
penelitian, sumber-sumber data, metode analisis data, serta
dijelaskan juga mengenai sistematika pembahasan skripsi.
BAB II : Bab ini merupakan landasan teori yang menguraikan tinjauan
umum tentang pendidikan pluralisme dan pendidikan Islam.
Yaitu pendidikan pluralisme yang meliputi: pengertian dan
sejarah munculnya pluralisme, pengertian dan sejarah
munculnya pendidikan pluralisme, dasar dan tujuan pendidikan
pluralisme. Juga diuraikan tentang pendidikan Islam yang
meliputi: pengertian pendidikan Islam, sumber atau dasar
pendidikan Islam, tugas dan fungsi pendidikan Islam, tujuan
pendidikan Islam.
BAB III : Pada bab ini diuraikan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid
mengenai konsep pendidikan pluralisme. Yaitu biografi
Abdurrahman Wahid yang meliputi: biografi, karya-karya
36 E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999),
hlm. 23
29
Abdurrahman Wahid, penghargaan-penghargaan yang
diperoleh Abdurrahman Wahid. Serta diuraikan tentang
pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai konsep pendidikan
pluralisme yang meliputi: dasar pemikiran pluralisme
abdurrahman wahid, pandangan pluralisme Abdurrahman
Wahid, cara menyikapi pluralisme, pluralisme dalam konteks
keindonesiaan.
BAB IV: Bab ini merupakan bab pembahasan dari pokok masalah yang
diajukan. Dalam hal ini merupakan analisis terhadap pemikiran
abdurrahman wahid tentang konsep pendidikan pluralisme
dalam perspektif pendidikan Islam. Yaitu termuat analisis
tentang konsep pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman
Wahid yang meliputi: terbentuknya watak pluralisme
Abdurrahman Wahid, konsep pendidikan pluralisme
Abdurrahman Wahid. Dijelaskan pula tentang konsep
pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid ditinjau
dari pendidikan Islam yang meliputi: maqashid al-syari’ah sebagai prinsip pendidikan pluralisme, konsep pendidikan
pluralisme menurut Abdurrahman Wahid ditinjau dari
pendidikan Islam. Serta dijelaskan mengenai relevansi
pemikiran Abdurrahman Wahid dalam konteks keindonesiaan
yang meliputi: Indonesia adalah negara Pancasila, bukan
negara Islam, memperjuangkan penegakan demokrasi, HAM,
dan pluralisme di Indonesia serta solusi bagi permasalahan
kemajemukan di Indonesia.
BAB V : Pada bagian ini termuat simpulan serta saran dan penutup.
3. Bagian akhir, pada bagian ini termuat: kepustakaan, lampiran-lampiran
dan riwayat hidup.
30
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN PLURALISME
DAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendidikan Pluralisme
1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pluralisme
a. Pengertian Pluralisme
Pluralisme yang dalam bahasa arabnya diterjemahkan al-
ta’addudiyyah37, secara lughawi berasal dari kata plural (Inggris) yang
berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada
banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme
adalah sebuah “ism” atau aliran tentang pluralitas.38
Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam
kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian
kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu
jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau
lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-
kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang
mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari
satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem
yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak
ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-
aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-
kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa
disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai
kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya
perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.39
37 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani,
2007), Cet. III, hlm. 11 38 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka,
2005), hlm. 11 39 Anis Malik Thoha, op. cit. hlm. 12
31
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa pluralisme tidak dapat
dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk,
beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru
hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme.
Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan
negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk
menyingkirkan fanatisme.
Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan juga suatu keharusan bagi
keselamatan ummat manusia, antara lain melalui mekanisme
pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci
justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan
dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan
bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang
melimpah kepada ummat manusia40.
Menurut Alwi Shihab, pengertian konsep pluralisme dapat
disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pluralisme tidak semata
menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang
dimaksud dengan pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap
kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat
dijumpai di mana-mana, tapi seseorang dapat dikatakan menyandang
sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam
lingkungan kemajemukan tersebut.
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme,
kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam, ras,
bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil contoh kota New
York, kota ini adalah kota kosmopolitan, yang terdapat orang Yahudi,
40 Seperti dijelaskan dalam QS. al-Baqarah: 251, yang artinya: Seandainya Allah tidak
mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam. Lihat Budhi Munawwar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 31
32
Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, bahkan orang-orang tanpa agama.
Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang
agama, sangat sedikit, kalaupun ada.
Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan
relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang
menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan
hidup serta kerangka berfikir seorang atau masyarakatnya. Sebagai
konsekuensi dari paham ini adalah agama apapun harus dinyatakan
benar, atau tegasnya, semua agama adalah sama.
Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni
menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau
sebagian komponen ajaran dari beberapa agama tersebut.41
Atau dapat diartikan bahwa pluralisme merupakan suatu sikap
saling mengerti, memahami, dan menghormati adanya perbedaan-
perbedaan demi tercapainya kerukunan antarumat beragama. Dan
dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama tersebut, umat
beragama diharapkan masih memiliki komitmen yang kokoh terhadap
agama masing-masing.42
b. Sejarah Munculnya Pluralisme
Pemikiran Pluralisme muncul pada masa yang disebut dengan
pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 M, masa
yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan
pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana
baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas
akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-
kungkungan agama. Di tengah hiruk pikuk pergolakan pemikiran di
Eropa yang timbul dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan
kehidupan nyata di luar Gereja, muncullah suatu paham yang dikenal
dengan “liberalisme”, yang komposisi utamanya adalah kebebasan,
41 Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 41-42
42 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op. cit., hlm. 17
33
toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. Oleh karena
paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai madzhab sosial
politis, maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk
gagasan pluralisme agama juga lebih kental dengan nuansa dan aroma
politik.43
Secara umum sebab-sebab lahirnya teori pluralisme dapat di
klasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (ideologis)
dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang timbul
akibat tuntunan akan kebenaran yang mutlak (absolute truth claims)
dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah akidah, sejarah
maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin.
1) Faktor ideologis (internal)
Keyakinan seseorang yang serba mutlak dan absolut dalam
apa yang diyakini dan diimaninya itu paling benar adalah alami
belaka. Keyakinan akan absolutisme dan kemutlakan ini berlaku
dalam hal akidah dan ideologi (baik yang berasal dari wahyu Allah
dan sumber lainnya). Kenyataan ini hampir tak satupun yang
mempertanyakannya, hingga datangnya era modern di mana faham
relativitas agama mulai dikenal dan menyebar secara luas di
kalangan para pemikir dan intelektual, khususnya pada dekade
terakhir abad ke-20 ini.
2) Faktor Eksternal
a) Faktor Sosio-Politis
Faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme
agama adalah berkembangnya wacana-wacana sosio politis,
demokratis dan nasionalisme yang telah melahirkan sistem
negara-bangsa dan kemudian mengarah pada apa yang dewasa
ini dikenal dengan globalisasi, yang merupakan hasil praktis
dari sebuah proses sosial dan politis yang berlangsung selama
kurang lebih tiga abad. Proses ini bermula semenjak pemikiran
43 Anis Malik Thoha, op. cit. hlm. 16
34
manusia mengenal liberalisme yang menerompetkan irama-
irama kebebasan, toleransi, kesamaan dan pluralisme
sebagaimana telah di singgung di atas.
b) Faktor Keilmuan atau Ilmiah
Pada hakikatnya terdapat banyak faktor keilmuan yang
berkaitan dengan pembahasan ini. Namun yang memiliki kaitan
langsung dengan timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah
maraknya studi-studi ilmiah modern terhadap agama-agama
dunia, atau yang sering juga dikenal dengan studi perbandingan
agama.
Dengan kata lain peran penting studi agama modern
adalah sebagai supplier para filosof agama dan teolog dengan
pengetahuan–pengetahuan dan data–data lengkap yang dapat
membantu peran dan tugas utama mereka, yakni memahami
hakikat agama.44
2. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pendidikan Pluralisme
a. Pengertian Pendidikan Pluralisme
Definisi tentang pendidikan pluralisme menurut Frans Magnez
Suseno adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk
membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas
batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita
mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang
memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah
pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian,
kemerdekaan, dan solidaritas.45
Pendidikan Pluralisme sering dikenal orang dengan sebutan
“Pendidikan Multikultural”. Ainurrofiq Dawam menjelaskan definisi
pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan seluruh
potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya
44 Ibid
45 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op. cit. hlm. 92
35
sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran
(agama). 46
Muhammad Ali menyebut pendidikan multikultural sebagai
pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang
berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan
multikultural, seperti itu, dengan sebutan “Pendidikan Pluralis
Multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat
sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi
konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi
bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah
toleransi. 47
Memperhatikan beberapa definisi tentang pendidikan
pluralisme tersebut di atas, secara sederhana pendidikan pluralisme
dapatlah didefinisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman
keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan demografis
dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan. Pendidikan di sini, dituntut untuk dapat merespon
terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana
tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan yang
berbasis pluralisme akan berusaha memelihara dan berupaya
menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan
suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para peserta
didiknya akan pentingnya saling menghargai, menghormati dan
bekerja sama dengan agama-agama lain.48
46 Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan
Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya
Press, 2003), hlm. 100 47 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, loc. cit 48 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme,
(Semarang: Nedd’s Press, 2008), hlm. 100
36
b. Sejarah Munculnya Pendidikan Pluralisme
Menurut sejarahnya, di negara-negara yang menganut konsep
demokrasi seperti Amerika Serikat dan Kanada, Pendidikan Pluralisme
bukanlah barang baru lagi. Karena mereka telah melaksanakannya
khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang
kulit putih dan kulit hitam yang bertujuan memajukan dan memelihara
integrasi nasional. Sedangkan di Indonesia, pendidikan pluralisme
relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih
sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen.
Memang terdapat sejumlah kekuatan di dunia ini yang ikut
melahirkan Pendidikan Pluralisme-Multikulturalisme. Yang menurut
H.A.R Tilaar, kekuatan-kekuatan tersebut adalah:
a. Proses demokratisasi dalam masyarakat dunia, yang dipicu oleh
pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia yang tidak membedakan
atas warna kulit, agama, dan gender.
b. Pembangunan kembali Eropa sesudah Perang Dunia II (marshal
plan), yang telah menarik pekerja-pekerja di luar Eropa memasuki
negara-negara Eropa Barat. Akhirnya banyak yang menetap dan
menjadi warga setempat sehingga mereka meminta perlakuan adil,
terutama pendidikan bagi generasi mudanya agar bisa
mengakomodir kultur asal mereka.
c. Lahirnya paham nasionalisme kultur, sejalan dengan
berkembangnya paham demokrasi dan HAM. Sehingga pendidikan
pun mulai terbuka untuk memenuhi kebutuhan serta
mempersiapkan paradigma baru bagi kelompok-kelompok etnis
baru dengan kebudayaan mainstream-nya.49
49 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme , op.
cit., hlm. 98-99
37
3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Pluralisme
a. Dasar Pendidikan Pluralisme
1) Dasar Historis
Ada banyak bukti historis bahwa Nabi Muhammad SAW.
Sangat proeksistensi terhadap pemeluk agama lain dan
memberikan kebebasan kepada mereka untuk melakukan ritual di
masjid milik umat Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Hisyam dalam al
Sirah al-Nabawiyyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjungan
para tokoh Kristen Najran berjumlah 60 orang. Menurut
Muhammad ibnu Ja’far ibnu al-Zubair, ketika rombongan itu
sampai di Madinah, mereka langsung menuju masjid. Saat itu Nabi
sedang melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya.
Mereka datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang
juga lazim digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan para
sahabatnya. Ketika waktu Kebaktian tiba, mereka pun tak harus
mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan
sembahyang di masjid.50
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan Kristen.
Ketika umat Islam dikejar-kejar oleh Kafir-Quraisy Mekkah, yang
memberikan perlindungan adalah Najasy, raja Abesinia yang
Kristen. Ia berpendirian bahwa pengikut Muhammad haruslah
dilindungi hak-haknya, termasuk hak memeluk agama.51
Begitu pula ketika Nabi hijrah ke Madinah, Beliau
mengadakan pertemuan secara besar-besaran bersama sahabat
Anshar dan beberapa keluarga (Naqib) dari Mekkah. Dalam
pertemuan itu, 23 artikel dari Piagam Madinah telah ditetapkan.
Juga tercantum dalam piagam itu, untuk membentuk masyarakat
dan hubungan-hubungan legal bagi kelompok Muslim yang baru.
50 Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh
Muhammadiyah, (Jogjakarta: LSAF, 2008), hlm. 54-55 51 Ibid
38
Selanjutnya Beliau berkonsultasi dengan perwakilan dari non-
Muslim. Akhirnya seluruh dari mereka menyepakati dasar-dasar
pembentukan sebuah “city-state” yang baru. Inilah yang kemudian
diabadikan dengan sebutan “Piagam Madinah”.52 Seperti yang
telah dikatakan oleh Muhammad Husain Haekal bahwa:
Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan masyarakat
Yahudi, Muhammad membuat perjanjian tertulis yang
berisi pengakuan atas agama mereka dan harta benda
mereka, dengan syarat-syarat timbal balik. Sehingga setiap
warga Madinah tanpa membedakan agama maupun suku,
mereka berkewajiban mempertahankan kota itu. Mereka
harus bekerja sama antar sesama.53
Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah
peradaban Islam yang menyepakati soal-soal hubungan atau
interaksi sosial antara kelompok-kelompok yang memiliki
perbedaan agama dan budaya, yakni antara kelompok Yahudi,
Nasrani dan Muslim. Di sini, Nabi Muhammad SAW bertindak
sebagai pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal-hal
penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi sosial di
tengah komunitas yang plural antara lain: 54
a) Seluruh suku yang ada di Madinah disebut dalam pasal-pasal
piagam dengan maksud menghormati identitas kolektivitas
keagamaan dan etnik yang ada dalam masyarakat tersebut.
b) Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi
hukum dan budayanya secara total.
c) Secara garis besar Piagam Madinah memuat kesepakatan antara
Muhammad, kaum Musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang
52 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit.,
hlm. 67 53 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Litera
Antar Nusa, 2008), cet. Ke-30, hlm. 202 54MukhsinAbdurrahman,PendidikanPluralisme-Multikultural
,http://mukhsinblog.blogspot.com/2010/06 pendidikan-pluralisme-multikultural.html
39
termuat dalam piagam itu meliputi masalah monoteisme,
persatuan-kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan
beragama, bela negara, pelestarian adat, perdamaian dan
proteksi.
d) Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas
Madinah.
e) Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki
kepedulian tinggi terhadap kesetaraan antaretnis dan ras. Dari
sudut tinjauan modern, ia diterima sebagai sumber inspirasi
untuk membangun masyarakat yang majemuk.
f) Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum
Muslimin dengan kelompok beragama lain, sekaligus
menunjukkan bahwa Muhammad telah melembagakan asas
toleransi beragama yang dinyatakan dalam al-Qur’an (Q.S al-
Baqarah: 156, al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6)
g) Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui
kebebasan hati nurani yang ditemui dalam sejarah umat
manusia.
Juga dikisahkan oleh al Qushairi dalam al-Risalah; saya
mendengar seorang ulama mengabarkan, “seorang Majusi
mengundang Nabi Ibrahim as. untuk makan. Ibrahim menjawab:
‘aku mau menerima undanganmu dengan satu syarat, yaitu bahwa
engkau memeluk Islam.’ Mendengar jawaban Ibrahim itu, orang
Majusi itu langsung pergi. Kemudian Allah SWT menurunkan
wahyu kepada Ibrahim, ‘selama lima puluh tahun Kami (Allah)
telah memberinya makan sekalipun ia kafir. (apa salahnya) jika
engkau menerima seporsi makanan darinya tanpa menuntutnya
mengganti agama?’ Ibrahim kemudian mengejar si Majusi itu lalu
meminta maaf kepadanya. Ketika si Majusi bertanya mengapa ia
minta maaf, Ibrahim menceritakan apa yang telah terjadi, dan
orang Majusi itu kemudian masuk Islam.”
40
2) Dasar Normatif
Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa pluralitas adalah
salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis
hukum Allah atau sunnah Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu
dan dapat menjelaskan di hari akhir nanti, mengapa manusia
berbeda satu dari yang lain. Hal tersebut tercantum dalam QS. al-
Hujurat: 13.
$ pκš‰r' ‾≈tƒ â¨$Ζ9$# $‾ΡÎ) / ä3≈ oΨ ø)n=yz ÏiΒ 9�x. sŒ 4s\Ρ é& uρ öΝä3≈oΨ ù=yè y_ uρ $ \/θ ãè ä© Ÿ≅Í← !$ t7s% uρ
(#þθ èùu‘$ yè tGÏ9 4 ¨βÎ) ö/ä3tΒt�ò2 r& y‰ΨÏã «!$# öΝä39s) ø?r& 4 ¨β Î) ©!$# îΛ Î=tã ×��Î7 yz ∩⊇⊂∪
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.55
Asbabun nuzul ayat tersebut menegaskan kesatuan asal usul
manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan
manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih
tinggi dari yang lain, bukan saja antar satu bangsa, suku atau warna
kulit dengan selainnya, tetapi juga antara jenis kelamin mereka.
Kata ta’ārafū terambil dari kata ‘arafa yang berarti
mengenal. yakni mengandung makna timbal balik, dengan
demikian ia berarti saling mengenal. Semakin kuat pengenalan
suatu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk
saling memberi manfaat. Karena itu ayat di atas menekankan
perlunya saling mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling
menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan
55 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok
Gema Insani,2005), hlm. 518
41
ketakwaan kepada Allah swt. yang dampaknya tercermin pada
kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan
ukhrawi.56
Islam juga memerintahkan umatnya untuk berinteraksi
terutama dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali
nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan
teologis secara bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya.
Hal tersebut terdapat pada QS. al-Ankabut: 46
Ÿω uρ (#þθä9 ω≈pg éB Ÿ≅ ÷δr& É=≈tG Å6 ø9$# āωÎ) ÉL ©9 $$Î/ }‘Ïδ ß|¡ ômr& āω Î) tÏ% ©!$# (#θ ßϑ n=sß
óΟßγ÷Ψ ÏΒ ( (#þθä9θè% uρ $ ¨ΖtΒ#u ü“ Ï% ©!$$Î/ tΑÌ“Ρé& $uΖøŠ s9 Î) tΑÌ“Ρé& uρ öΝà6ö‹s9 Î) $ oΨßγ≈ s9 Î)uρ
öΝä3 ßγ≈ s9Î) uρ Ó‰ Ïn≡uρ ßøt wΥ uρ … çµ s9 tβθ ßϑ Î=ó¡ ãΒ ∩⊆∉∪
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan
dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang
dzalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami Telah
beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami
dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu
adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.57
Dalam ayat ini, Allah memberi petunjuk kepada Nabi
Muhammad dan kaum Muslimin tentang materi dakwah dan cara
menghadapi Ahli Kitab karena sebagian besar mereka ini tidak
menerima seruannya. Ketika Rasulullah menyampaikan ajaran
Islam, kebanyakan mereka mendustakannya. Hanya sedikit sekali
di antara mereka yang menerimanya. Padahal mereka telah
mengetahui Muhammad dan ajaran yang dibawanya, sebagaimana
56 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 13, hlm. 261-262. 57 Ibid, hlm. 402
42
mereka mengetahui dan mengenal anak-anak mereka sendiri.
Seperti juga dijelaskan dalam QS. al-Baqarah: 14658
Serta mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam
beragama, telah dijelaskan dalam QS. al-Maidah: 48;
9e≅ä3 Ï9 $oΨù= yèy_ öΝä3Ζ ÏΒ Zπtã ÷�Å° %[`$ yγ÷Ψ ÏΒuρ 4 öθ s9 uρ u !$x© ª! $# öΝà6n=yè yfs9 Zπ ¨Βé&
Zο y‰Ïn≡ uρ Å3≈s9 uρ öΝä. uθè= ö7uŠ Ïj9 ’Îû !$tΒ öΝä38s?#u ( (#θ à) Î7tF ó™$$ sù ÏN≡u� ö�y‚ ø9$# 4 ’ n<Î) «! $#
öΝà6 ãèÅ_ ö�tΒ $Yè‹Ïϑy_ Νä3 ã∞Îm6 t⊥ ㊠sù $yϑ Î/ óΟçGΨä. ϵŠ Ïù tβθ à,Î= tFøƒrB ∩⊆∇∪
Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah
Kami tetapkan hukum (syari’ah) dan jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu
sekalian umat yang tunggal (monolitik). Namun Ia jadikan
kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal yang telah
dikaruniakan-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu
sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah
tempat kalian semua kembali, maka Ia akan menjelaskan
kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah kamu
perselisihkan59
Allah telah menetapkan syari’at dan minhaj yang khusus
buat mereka dan masa mereka. Umat yang hidup pada masa Nuh
as. ada syari’ah dan minhajnya, demikian juga pada masa nabi dan
rasul yang datang sesudahnya, Musa as. dan Muhammad saw. pun
demikian.
Allah juga tidak menghendaki menjadikan manusia semua
sejak dahulu hingga kini satu umat saja, yakni satu pendapat, satu
kecenderungan, bahkan satu agama dalam segala prinsip dan
rinciannya. Karena jika Allah menghendaki demikian, dia tidak
58 Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid
VII, hlm. 29 59 Ibid, hlm. 117
43
akan memberi manusia kebebasan memilah dan memilih, termasuk
kebebasan memilih agama dan kepercayaan. Kebebasan memilah
dan memilih itu dimaksudkan agar manusia dapat berlomba-lomba
dalam kebajikan, dan dengan demikian akan terjadi kreativitas dan
peningkatan kualitas, karena hanya dengan perbedaan dan
perlombaan yang sehat, kedua hal itu akan tercapai.60
Menurut Moh. Shofan, setidaknya ada empat tema pokok
yang menjadi kategori utama al-Qur’an tentang pluralisme
agama:61
a) Tidak ada paksaan dalam beragama, yang terdapat pada QS. al-
Baqarah: 256
Iω oν#t�ø. Î) ’ Îû ÈÏe$!$# ( ‰s% tt6 ¨? ߉ô© ”�9 $# zÏΒ Äcxö ø9 $#
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang
sesat.62
Tidak boleh ada paksaan dan tindakan kekerasan untuk
masuk ke dalam agama. Iman itu tunduk dan khudhu’ (patuh).
Untuk mencapai hal itu tidak bisa dilakukan dengan paksaan
dan tekanan, tetapi harus dengan alasan dan penjelasan yang
menguatkan. Iman adalah urusan hati. Tidak seorang pun bisa
menguasai hati manusia.
Ayat ini cukup untuk membuktikan tentang kekeliruan
musuh-musuh agama Islam yang mengatakan: “agama Islam
ditegakkan dengan pedang, dan orang yang tidak mau memeluk
agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah telah membuktikan
60 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 3, hlm. 115-116. 61 Moh. Shofan, op. cit., hlm. 74-75 62 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema
Insani, 2002), hlm. 43
44
kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan yang terjadi pada
masa Nabi bertujuan membela diri, supaya kaum Musyrik
berhenti mengganggu dan memfitnah para Muslim. Inilah
sebabnya, para Muslim tidak lagi memerangi para Musyrik
ketika mereka telah memeluk Islam atau tetap pada agama
semula dengan membayar jizyah (pajak) sebagai jaminan
keamanan.63
Allah Maha Kuasa, sehingga dengan kekuasaan-Nya,
Dia bisa jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat
menjadi alasan bagi Allah untuk memaksa makhluk mematuhi
agama-Nya. Namun yang terjadi tidak demikian, yang
dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama
adalah menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang telah
memilih satu akidah, maka dia terikat dengan tuntunan-
tuntunannya, dia berkewajiban melaksanakan perintah-
perintahnya. Dia terancam sanksi jika melanggar ketetapannya.
Allah menghendaki agar setiap orang merasakan
kedamaian. Agama-Nya dinamai Islam, yakni damai.
Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai, karena
itu tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam.
Mengapa ada paksaan, padahal telah jelas jalan yang benar dari
jalan yang sesat. Sangatlah wajar semua memilih agama ini,
pasti ada sesuatu yang keliru dalam jiwa seseorang yang
enggan menelusuri jalan yang lurus setelah jelas jalan yang
terbentang di hadapannya.
Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah
jelas jalan yang lurus. Itu sebabnya, sehingga orang gila dan
belum dewasa, atau yang tidak mengetahui tuntunan agama,
63 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an Nuur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451
45
tidak berdosa jika melanggar atau tidak menganutnya, karena
bagi dia jalan yang jelas itu belum diketahuinya. Tetapi Anda
jangan berkata bahwa Anda tidak tahu jika Anda mempunyai
potensi untuk mengetahui tetapi potensi itu tidak Anda
gunakan. Di sini Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan
potensi yang Anda miliki.
Anda juga tahu bahwa telah jelas yang ini membawa
manfaat dan itu mengakibatkan mudharat, jika demikian tidak
perlu ada paksaan karena yang dipaksa adalah yang enggan
tunduk akibat ketidaktahuan. Di sini telah jelas jalan itu
sehingga tidak perlu ada paksaan. Anda memaksa anak untuk
minum obat yang pahit, karena Anda tahu bahwa obat itu
adalah mutlak untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya.64
b) Pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan al-
Qur’an terhadap pemeluk agama-agama lain, antara lain
tercantum dalam QS. al-Baqarah: 62
¨β Î) tÏ% ©!$# (#θ ãΨ tΒ#u šÏ% ©!$#uρ (#ρ ߊ$ yδ 3“t�≈|Á ¨Ζ9$#uρ šÏ↔ Î7≈¢Á9$#uρ ôtΒ
ztΒ#u «!$$ Î/ ÏΘ öθu‹ø9$# uρ Ì�ÅzFψ $# Ÿ≅Ïϑtã uρ $ [sÎ=≈|¹ öΝßγ n=sù öΝèδ ã�ô_r& y‰ΨÏã
óΟÎγÎn/ u‘ Ÿωuρ ì∃öθ yz öΝ Íκ ö�n=tæ Ÿω uρ öΝèδ šχθçΡ t“øt s† ∩∉⊄∪
Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi'in,
siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman
kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal shaleh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak
64 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1, hlm. 551-552.
46
ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.65
Pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat
kelompok: al-ladzîna Âmanû (menunjuk pada umat Islam), al-
ladzîna Hâdû (ummat Yahudi), al-Nashârâ (umat Kristen), dan
al-Shâbi’în. Al-Thabari berpendapat bahwa jaminan Allah atas
keselamatan tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman, percaya
pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu
termasuk beriman kepada Allah dan Muhammad saw. atau
dengan kata lain, yang dimaksud dalam ayat ini ialah mereka
yang telah memeluk Islam.66
Yang dimaksud dengan kata Hâdû adalah orang-orang
yang beragama Yahudi. Mereka dalam bahasa Arab disebut
Yahûd. Penulis mengamati bahwa al-Qur’an tidak
menggunakan kata Yahûd kecuali dalam konteks kecaman.
Agaknya itulah sebabnya maka di sini tidak digunakan kata
tersebut tetapi digunakan kata Hâdû. Kata al-Nashârâ terambil
dari kata Nâshirah yaitu satu wilayah Palestina. Di mana
Maryam, ibu Nabi ‘Isa as. Dibesarkan dan dari sana dalam
keadaan mengandung ‘Isa as., beliau menuju baitul maqdis,
tetapi sebelum tiba beliau melahirkan ‘Isa as. Di Bethlehem.
Dari ‘Isa as. Digelari oleh Bani Israil dengan Yasu’, dari sini
pengikut-pengikut beliau dinamai Nasharaa yang merupakan
bentuk jamak dari Nashry atau Nâshiry.
Kata al-Shâbi’în ada yang berpendapat terambil dari
kata Shaba’ yang berarti muncul atau Nampak, misalnya ketika
melukiskan bintang yang muncul. Dari sini ada yang
memahami istilah al-Qur’an ini dalam arti penyembah bintang.
65 Departemen Agama, op. cit. hlm. 11
66 Alwi Shihab, op. cit., hlm. 79
47
Ada juga yang memahaminya terambil dari kata Saba’, satu
daerah di Yaman di mana pernah berkuasa ratu Balqis dan
penduduknya menyembah matahari dan bintang.
Persyaratan beriman kepada Allah dan hari Kemudian,
seperti bunyi ayat di atas, bukan berarti hanya kedua rukun itu
yang dituntut dari mereka, tetapi keduanya adalah istilah yang
biasa digunakan oleh al-Qur’an dan Sunnah untuk makna iman
yang benar dan mencakup semua rukunnya.67
Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju pada
penciptaan toleransi antarumat beragama yang berpendapat
bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa
penganut agama-agama yang disebut ayat ini, selama mereka
beriman kepada Tuhan dan hari Kemudian, maka mereka
semua akan memperoleh keselamatan dan tidak akan diliputi
oleh rasa takut di akhirat kelak, dan tidak pula bersedih hati.
Pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama
sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda
dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Bagaimana
mungkin Yahudi dan Nashrani dipersamakan, padahal
keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang
ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut atau sedih,
sedang yang ini menurut itu –dan atas nama Tuhan yang
disembah– adalah penghuni surga dan yang itu penghuni
neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu bukan saja
takut, tetapi disiksa dengan aneka siksa.
Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah
memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan
67 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1, hlm. 215-216.
48
semua penganut agama sama dihadapan-Nya. Bahwa hidup
rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang
mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk
mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama.
Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya
semata untuk memutuskan di hari Kemudian kelak, agama
siapa yang direstui-Nya dan agama siapa saja yang keliru, serta
siapa yang dianugerahi surge dan siapa pula yang akan takut
dan bersedih.68
c) Kesatuan Kenabian, yang bertumpu pada QS. Asy Syura: 13
tí u�Ÿ° Νä3s9 zÏiΒ ÈÏe$!$# $ tΒ 4 œ»uρ ϵÎ/ % [nθçΡ ü“Ï% ©!$#uρ !$ uΖøŠ ym ÷ρr& y7ø‹s9 Î) $ tΒ uρ
$ uΖøŠ ¢¹ uρ ÿ ϵÎ/ tΛ Ïδ≡t�ö/ Î) 4y›θ ãΒuρ #|¤Š Ïã uρ ( ÷βr& (#θãΚŠ Ï%r& tÏe$!$# Ÿω uρ (#θ è% §�x, tGs?
ϵŠÏù 4 u�ã9x. ’ n?tã tÏ. Î�ô³ßϑ ø9$# $tΒ öΝèδθãã ô‰s? ϵøŠ s9 Î) 4 ª! $# ûÉ<tFøg s† ϵ ø‹s9 Î) tΒ
â !$ t±o„ ü“ ωöκ u‰uρ ϵø‹s9 Î) tΒ Ü=‹Ï⊥ ム∩⊇⊂∪
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah
kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. amat berat bagi orang-orang Musyrik agama
yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-
Nya).69
Penyebutan Nabi-Nabi sebagaimana terbaca di atas,
sejalan dengan masa kehadiran mereka di pentas bumi ini
68 Ibid, hlm. 216
69 Departemen Agama, op. cit. hlm. 485
49
terkecuali Nabi Muhammad saw. Itu untuk mengisyaratkan
kedudukan terhormat yang diperoleh Nabi Muhammad saw. Di
kalangan para Nabi. Ini serupa dengan firman-Nya dalam QS.
al-Ahzab: 7.
Thabathaba’i memahami dari penyebutan nama Nuh
dalam urutan pertama dalam konteks syari’at sebagai isyarat
bahwa syari’at Beliau adalah syari’at pertama dan penyebutan
kelima Nabi di atas mengisyaratkan bahwa merekalah tokoh
para nabi, atau yang diistilahkan dengan Ulil ‘Azmi. Ulama ini
juga memahami bahwa syari’at kedua adalah syari’at Nabi
Ibrahim, lalu syari’at Nabi Musa kemudian Nabi ‘Isa as., dan
berakhir dengan syari’at Nabi Muhammad saw. Ini menurutnya
berarti bahwa Nabi yang diutus setelah Nabi Nuh dan sebelum
Nabi Ibrahim tidak memiliki syari’at khusus, tetapi mereka
menjalankan syari’at Nabi Nuh as. Demikian juga nabi yang
diutus setelah Nabi Ibrahim dan sebelum Nabi Musa as.,
mereka semua melaksanakan syari’at Nabi Ibrahim as. Sampai
datangnya Nabi Musa as., demikian seterusnya.70
d) Kesatuan Pesan Ketuhanan yang berpijak pada QS. an-Nisa’:
131
¬! uρ $ tΒ ’Îû ÏN≡uθ≈yϑ¡¡9$# $ tΒ uρ ’ Îû ÇÚ ö‘ F{$# 3 ô‰ s) s9 uρ $uΖ øŠ ¢¹uρ t Ï%©!$# (#θè?ρé&
|=≈tG Å3 ø9 $# ÏΒ öΝà6 Î=ö6 s% öΝä.$ −ƒ Î)uρ Èβ r& (#θ à)®? $# ©! $# 4 β Î)uρ (#ρã�à, õ3s? ¨β Î*sù ¬! $tΒ
’Îû ÏN≡ uθ≈yϑ ¡¡9 $# $tΒ uρ ’Îû ÇÚ ö‘ F{$# 4 tβ%x. uρ ª!$# $ †‹ÏΖxî #Y‰ŠÏΗxq ∩⊇⊂⊇∪
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang
di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan
70 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 12, hlm. 473
50
kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu
dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah.
tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya
apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah
kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha
Terpuji71
Apa saja yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan
Allah. Dialah yang menciptakan dan Dialah yang mengurus.
Dalam mengurus makhluk-makhuk-Nya, Allah menciptakan
hukum secara mutlak, dan semuanya tunduk di bawah hukum
itu.
Orang yang benar-benar memahami hukum-hukum
Allah yang berlaku umum terhadap bumi, langit dan semua
isinya serta memahami pula hukum yang mengatur kehidupan
makhluk-Nya, akan mengetahui betapa besar limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada semua makhluk-Nya. Oleh sebab
itulah kepada setiap hamba diperintahkan agar bertakwa
kepada-Nya, seperti telah diperintahkan kepada umat-umat
terdahulu, yang telah diberi al-Kitab seperti orang-orang
Yahudi dan Nashrani. Serta kepada orang-orang yang
melaksanakan ketakwaan dengan tunduk dan patuh kepada-
Nya dan dengan menegakkan syari’at-Nya. Dengan tunduk dan
patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan syari’at-Nya
manusia akan berjiwa bersih dan dapat mewujudkan
kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.72
b. Tujuan Pendidikan Pluralisme
Menurut Clive Back dalam Better School: a Value Perspective,
Tujuan Pendidikan Pluralisme adalah sebagai berikut:
71 Departemen Agama, op. cit. hlm. 100 72 Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid
II, hlm. 29
51
1) Teaching “ethnic” students about their own ethnic culture, including
perhaps some “heritage language” instruction;
2) Teaching all students about various traditional cultures, at home and
abroad;
3) Promoting acceptance of ethnic diversity in society;
4) Showing that people of different religious, races, national
background and so on are equal worth’s;
5) Fostering full acceptance and equitable treatment of the ethnic sub
cultures associated with different religions, races, national
background, etc. in one’s own country and in other parts of the
world; and
6) Helping students to work toward more adequate cultural forms, for
themselves and for society.73
Melalui pendidikan pluralisme yang demikian, seorang murid
bisa diantarkan untuk dapat memandang pluralitas dalam berbagai
aspek sosial, ekonomi, politik, sosial, dan agama sebagai kekayaan
spiritual bangsa yang harus dijaga kelestariannya.
Ainurrofiq Dawam memberikan kerangka orientasi Pendidikan
Pluralisme atau Pendidikan Multikultural agar pendidikan tersebut
tidak kehilangan arah dan dibangun berdasarkan orientasi nilai dasar
multikulturalisme, yaitu:74
1) Orientasi Kemanusiaan.
Kemanusiaan atau humanisme merupakan sebuah nilai
kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan.
Kemanusiaan bersifat universal, global, di atas semua suku, aliran,
ras, golongan, dan agama.
2) Orientasi kebersamaan.
Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang
sama sekali lepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan
73 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op. cit. hlm. 93
74Ainurrofiq Dawam, op. cit., hlm. 104 – 105.
52
yang dibangun adalah kebersamaan yang tidak merugikan diri
sendiri, orang lain, lingkungan, negara, bahkan Tuhannya. Dengan
demikian diharapkan muncul manusia yang aktif, kreatif, toleran,
tenggang rasa yang mendalam, dan terbuka.
3) Orientasi kesejahteraan.
Kesejahteraan yang dimaksud di sini adalah kondisi sosial
yang menjadi harapan semua orang. Konsistensi terhadap
kesejahteraan harus dibuktikan dengan perilaku menuju terciptanya
kesejahteraan. Konsekuensi yang kemudian terjadi adalah adanya
kedamaian di mana semua orang merasa aman, dihargai, diakui,
dan diperlakukan sebagai manusia oleh semua pihak yang
berinteraksi secara langsung atau tidak langsung.
4) Orientasi proporsional.
Proporsional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari
aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses,
tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat
kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan. Orientasi pendidikan
inilah yang diharapkan menjadi pilar pendidikan multikultural.
5) Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas.
Pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan
yang tidak mungkin ditindas secara fasih dengan memunculkan
sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh
sekelompok orang.
6) Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi.
Dominasi dan hegemoni adalah dua istilah yang sangat
populer bagi kaum tertindas. Istilah ini dihindari jauh-jauh oleh
para pengikut faham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis.
Hegemoni yang dimaksud adalah hegemoni dalam segalanya;
politik, pelayanan dan lain sebagainya
53
B. Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan term terpenting dan menentukan dalam
perubahan masyarakat. Bahkan Islam sendiri menempatkan pendidikan dalam
posisi vital. Bukan sebuah kebetulan jika dalam lima ayat pertama dimulai
dengan perintah membaca. Tak heran jika dalam syiar yang dikembangkan
Nabi Muhammad dilakukan dengan pendekatan pendidikan.75
Gagasan utama pendidikan, termasuk Pendidikan Islam, terletak pada
pandangan bahwa setiap manusia mempunyai nilai positif tentang kecerdasan,
daya kreatif, dan keluhuran budi. Namun fokusnya bukan semata kemampuan
ritual dan keyakinan tauhid tetapi juga akhlak sosial dan kemanusiaan.
Kualitas akhlak pun tak bisa dicapai hanya dengan doktrin halal-haram, tapi
usaha budaya dari rumah, masyarakat dan ruang kelas.76
1. Pengertian Pendidikan Islam
a. Pengertian Pendidikan Islam Secara Etimologi
Dewasa ini, terutama sejak dekade 1970-an sering terjadi
diskusi berkepanjangan berkenaan dengan wacana apakah Islam
memiliki konsep tentang pendidikan ataukah tidak. Sementara para
ahli berasumsi bahwa Islam tidak memiliki konsep, karena itu maka
penerapan Pendidikan Islam Selama ini hanyalah mengadopsi konsep
dan sistem Pendidikan Barat yang kini mendominasi sistem secara
global. Asumsi demikian tentu tidak boleh serta merta disalahkan
ataupun secara mutlak dibenarkan. Salah satu argumentasi yang biasa
diajukan adalah karena sampai sekarang peristilahan yang secara baku
dan konsisten disepakati semua pihak belumlah ada, kecuali dalam
wujud polemik yang tidak berkesudahan.77
Pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu
kepada term: tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris.
75 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001),
hlm. 4 – 5. 76 Abdul Munir Mulkhan, “Humanisasi Pendidikan Islam”, dalam Hamami
Zada, et. Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 11 tahun 2001, hlm. 17. 77 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2004), Cet. I,
hlm. 37-38
54
Masing-masing memiliki keunikan makna tersendiri, namun memiliki
makna yang sama. Akan tetapi term yang populer digunakan dalam
praktek Pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah.78
Istilah kunci yang seakar dengan kata tarbiyah adalah al-rabb,
rabbayâni, nurabbi, yurbi, dan rabbâni. Istilah tarbiyah yang diambil
dari madhi-nya (rabbayâni) memiliki arti memproduksi, mengasuh,
menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan,
memelihara, membesarkan, dan menjinakkan. Pemahaman tersebut
diambil dari tiga ayat dalam al-Qur’an:
1) QS. al-Isra’: 24 “kamâ rabbayânî shaghîrâ” (sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil).
2) QS. al-Syu’ara: 18 “alâ nurabbika fînâ walîdâ” (bukankah Kami
telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih
kanak-kanak).
3) QS. al-Baqarah: 276 “yamhu Allâh al-ribâ wa yurbi
shadaqah”.(Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah).79
b. Pengertian Terminologi Pendidikan Islam
Pengertian Pendidikan Islam ini sebetulnya sudah cukup
banyak dikemukakan oleh para ahli. Meskipun demikian, perlu
dicermati dalam rangka melihat relevansi rumusan baik dalam
hubungan makna, tujuan, fungsi, maupun proses kependidikan Islam
yang dikembangkan dalam rangka menjawab permasalahan dan
tantangan yang dihadapi dalam kehidupan umat manusia sekarang ini.
Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam
adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama
78 Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy dalam kitabnya Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim,
seperti dikutip oleh Abdul Mujib, Pendidikan Islam dalam khazanah keislaman populer dengan
Istilah Tarbiyah,78 karena mencakup keseluruhan aktivitas pendidikan, sebab di dalamnya tercakup
upaya mempersiapkan individu secara sempurna. Lihat. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. I, hlm. 10
79Ibid 10-11
55
Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran
Islam.80
Ramayulis dalam bukunya ilmu Pendidikan Islam
mengemukakan bahwa Pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif
yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.81
Sedangkan hakikat Pendidikan Islam menurut M. Arifin adalah usaha
orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan
membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah anak didik
melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan
perkembangannya.82
Memang dalam pendidikan Islam terdapat sebuah karakteristik
yang khusus, rekomendasi Konferensi Internasional Pendidikan Islam
di Universitas King Abdul Aziz Jeddah tahun 1997 mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai keseluruhan pengertian yang terkandung
dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Berdasarkan pemaknaan ini,
Abdurrahman al-Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam
terdiri dari empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan memelihara
fitrah anak menjelang baligh; kedua, mengembangkan seluruh potensi;
ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan;
dan keempat, dilaksanakan secara bertahap.83
Dari beberapa definisi Pendidikan Islam yang dikemukakan di
atas, tampak sekali umumnya penekanan utama diberikan kepada
pentingnya pembentukan akhlak, disamping adanya penekanan
persoalan fitrah dan upaya manusia dalam mencapai hidup makmur
dan bahagia sesuai dengan ajaran dan norma Islam.
Dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam akan
dipertanyakan dan menjadi sorotan tajam tatkala anak didiknya
80 Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 23
81 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 4
82 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjaun Teoritis dan Praksis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 32
83 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, op. cit. hlm. 31-32
56
terbawa arus modernitas; menjadi robot-robot yang tidak mempunyai
daya kreativitas kecuali hanya terseret arus. Domain ini yang sejatinya
mampu membawa perubahan tak lebih hanya teranggap sebagai
sesuatu yang konservatif dan sia-sia. Ini tak lebih karena pengajaran
agama selama ini bersifat normatif, dogmatis, dan hanya memikirkan
kebenaran yang masih di angan-angan (akhirat). Sedangkan
pemahaman tentang Tuhan beserta ritual pengabdiannya (baca:
teologi) cenderung eksklusif dan ada klaim-klaim apologis seperti
klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation
claim). Hal ini menyebabkan fragmentasi dan permusuhan antar agama
hingga menyebabkan konflik berkepanjangan dan berdarah-darah.
Nilai keagamaan menjadi luntur dan hanya memunculkan simbol-
simbol agama saja.
Dalam lingkup yang lebih luas, gerakan ini merupakan bentuk
perlawanan terhadap westernisasi. Walaupun dalam bentuk kaku,
formalistik, dan ritualistik semacam berjenggot, berpakaian putih dan
berjilbab, angkatan muda yang masih tergolong puritan dan steril dari
idiologi sekuler meyakini Islam sebagai satu-satunya juru selamat.
Karenanya identitas Islam harus dikembalikan dari pengaruh luar
(westernisasi). 84
Melihat realitas tersebut, bahkan ditambah dengan adanya
banyak konflik, kekerasan, dan bahkan kekejaman yang dijalankan
atas nama agama, sebagaimana tersebut di atas, seharusnya yang
menjadi tujuan refleksi atas pendidikan Islam adalah mampu
melakukan transformasi kehidupan beragama itu sendiri dengan
melihat sisi Ilahi dan sosial-budayanya. Pendidikan Islam harus
mampu menanamkan cara hidup yang lebih baik dan santun kepada
peserta didik. Sehingga sikap-sikap seperti saling menghormati, tulus,
84 Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela,
2001), hlm. 14 – 15.
57
dan toleran terhadap keanekaragaman agama dan budaya dapat
tercapai di tengah-tengah masyarakat plural.
Dengan menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari banyak
suku dan beberapa agama, jadi sangat pluralis. Maka, pencarian bentuk
pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk
pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan
memindahkannya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata
nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku,
ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta
mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah
yang banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka
mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi,
yang kemudian terkenal dengan sebutan “Pendidikan Pluralisme”.85
2. Sumber atau Dasar Pendidikan Islam
Sumber Pendidikan Islam yang dimaksudkan di sini adalah semua
acuan atau rujukan yang darinya memancarkan ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan dalam Pendidikan Islam.
Sumber ini tentunya telah diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam
mengantar aktivitas pendidikan, dan telah teruji dari waktu ke waktu.
Sumber Pendidikan Islam terkadang disebut dengan dasar ideal
Pendidikan Islam.86 Dasar Pendidikan Islam harus bersifat mutlak, baku
dan final, karena dari dasar inilah berbagai konsep, rumusan dan produk
pemikiran Pendidikan Islam dihasilkan. Apabila dasar sebagai rujukan
utamanya tidak kuat atau dapat berubah-ubah, bias dipastikan proses
perjalanan pendidikan bukan saja kehilangan arah, namun justru tidak
memiliki arah.87
Sebagai aktifitas yang bergerak dalam proses pembinaan
kepribadian muslim, maka Pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar
85MohibAsrori,IslamdanPendidikanPluralisme
http://gurutrenggalek.blogspot.com/2010/05/islam-dan pendidikan-pluralisme.html 86Abdul Mujib, op. cit., hlm. 31
87 Ahmad Syari’, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 22
58
yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah
bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini,
dasar yang menjadi acuan Pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber
nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik ke
arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu dasar yang terpenting dari
Pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW.88
Menetapkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Sebagai dasar
Pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang
didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang
terdapat dalam keduanya dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat
dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.89
Menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana yang dikutip oleh Hasan
Langgulung, dasar Pendidikan Islam terdiri dari al-Qur’an, al-Sunnah,
Madzhab Shahabi (kata-kata sahabat), Kemaslahatan ummat/sosial, ‘Urf
(tradisi atau adat kebiasaan masyarakat), dan Ijtihad (hasil pemikiran para
ahli dalam Islam). Keenam sumber tersebut didudukkan secara berurutan
diawali dari sumber pertama yaitu al-Qur’an.90
Al-Qur’an sebagai sumber utama pendidikan Islam memiliki
beberapa prinsip dasar yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan
toleransi. Paling tidak, dalam dataran konseptual, al-Qur’an telah memberi
resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia muslim
untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas
pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap toleransi
terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi.
88 Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2005), Cet. V, hlm. 34 89 Ibid
90 Abdul Mujib loc. cit. Lain halnya dengan Hasan Langgulung sendiri yang menyatakan
bahwa Dasar Pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang dijadikan untuk
merealisasikan dasar ideal sumber Pendidikan Islam. Sehingga dasar operasional Pendidikan Islam
terdapat enam macam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis dan
filosofis, yang mana keenam dasar tersebut berpusat pada dasar filosofis. keenam dasar tersebut
agaknya sekuler, dan perlu ditambahkan satu dasar lagi yaitu agama, karena dalam Islam dasar
operasional segala sesuatu adalah agama.
59
Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah
pengakuan terhadap komponen-komponen yang secara alamiah berbeda.
Kajian yang dilakukan oleh Adnan Aslam menghasilkan beberapa
proposisi yang mendukung konstruksi “Pluralistic Islam”, yaitu:91
a. Universalitas dan keragaman wahyu Tuhan kepada manusia ditegaskan
Islam secara eksplisit untuk mendukung universalitas wahyu Tuhan,
yang memainkan peran penting dalam pemahaman Islam akan agama
lain. Tuhan dalam al-Qur’an bukan hanya Tuhan kaum muslim, tetapi
Tuhan seluruh manusia. QS. al-Baqarah ayat 115 menggambarkan hal
ini dengan mengatakan: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat,
Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui.” Tuhan semua manusia tidak akan membiarkan bangsa
manapun dalam kegelapan. Sebaliknya, dia menerangi mereka dengan
mengutus para rasul.
b. Keragaman ras, warna kulit, komunitas, dan agama dipandang sebagai
tanda Rahmat dan Keagungan Tuhan yang ditunjukkan melalui
makhluk-Nya. Pluralis dalam pengertian ini diterima sebagai suatu
fenomena alamiah. Dalam al-Qur’an dinyatakan dalam Surat al-
Hujurat: 13
c. Setiap agama yang diwahyukan dapat disebut Islam jika dipandang
sebagai sikap pasrah kepada Tuhan (makna harfiah Islam). Jadi, Nuh,
Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, semuanya adalah Muslim. Karena itu,
siapa saja di kalangan orang Yahudi dan Kristen serta semua kaum
agama lain yang tunduk kepada Tuhan yang Esa, tidak menyekutukan
Tuhan, maka mereka adalah Muslim
d. Tidak ada paksaan dalam beragama, ini merupakan salah satu prinsip
unik al-Qur’an yang dimaksudkan untuk mangatur kebebasan
beragama dalam Islam. “Tidak ada paksaan dalam beragama;
91 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), cet. II, hlm. 88-93
60
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat.”(QS. al-Baqarah: 256), “Sesungguhnya jika mereka dapat
mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan
batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika
demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama lamanya “(QS.
al-Kahfi: 20), “dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya”(QS. Yunus: 99)
e. Agama di hadapan Tuhan adalah Islam. Di samping ayat-ayat yang
menunjukkan bentuk pluralisme Islam, ada juga beberapa ayat yang
menunjukkan eksklusivisme Islam. Dalam konteks ini, al-Qur’an
menyatakan: “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam”(QS.
Ali Imran: 19), “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang rugi”(QS. Ali Imran: 85),
f. Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berbuat baik
akan selamat. Gagasan Islam tentang keselamatan tidak bisa
disamakan dengan pembebasan Buddha atau pencerahan Kristen.
3. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
Pada hakikatnya, Pendidikan Islam adalah suatu proses yang
berlangsung secara kontinyu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini
maka tugas dan fungsi yang perlu diemban oleh Pendidikan Islam adalah
pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep
ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada
peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis
mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya.92
Secara umum, tugas Pendidikan Islam adalah membimbing dan
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke
tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal.
92 Al Rasyidin dan Syamsul Nizar, op. cit. hlm. 32
61
Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat
memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.93
Menurut Hujair AH. Sanaky, tugas dan fungsi Pendidikan Islam
adalah mengarahkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada manusia
seoptimal mungkin, sehingga dapat berkembang menjadi manusia muslim
yang baik atau insan kamil.94
Fungsi Pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang
dapat memungkinkan tugas-tugas Pendidikan Islam tersebut tercapai dan
berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan
tujuan yang bersifat struktural dan institusional.
Menurut Kursyid Ahmad, yang dikutip Ramayulis dalam bukunya
Metodologi Pengajaran Agama Islam, Fungsi Pendidikan Islam adalah:
a. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-
tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide
masyarakat dan bangsa.
b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang
secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru
ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk
menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.95
Pendidikan Islam sebagai penyedia segala fasilitas yang dapat
memungkinkan tugas-tugasnya tersebut tercapai dan berjalan lancar
dengan melihat realitas keanekaragaman ras dan agama di Indonesia, maka
pendidikan Islam harus memperhatikan beberapa hal berikut:
Pertama, Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai
lembaga pendidikan umum yang bercirikan Islam. Artinya, di samping
menonjolkan pendidikannya dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan,
namun karakter keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus
dikuasai serta menjadi bagian dari kehidupan siswa sehari-hari.
93 Ibid 94 Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003), hlm. 128 95 Abdul Mujib, op. cit., hlm. 69
62
Kedua; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai
pendidikan yang berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang
diberikan kepada siswa tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal,
termasuk di dalamnya juga pemahaman tentang realitas keberagamaan.
Ketiga; Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai
lembaga pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam
pendidikan. Sistem pendidikan yang memberikan keleluasaan pada siswa
untuk mengekspresikan pendapatnya secara bertanggung jawab.96
Hal tersebut dengan suatu pertimbangan, bahwa salah satu peran
dan fungsi pendidikan Islam diantaranya adalah untuk meningkatkan
keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan
memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan
mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap
toleransi. Ini artinya, pendidikan Islam pada prinsipnya, juga ikut andil
dan memainkan peranan yang sangat besar dalam menumbuh-kembangkan
sikap-sikap pluralisme dalam diri siswa.
4. Tujuan Pendidikan Islam
Dalam buku-buku mengenai Pendidikan Islam, tujuan Pendidikan
Islam selalu dihubungkan dengan konsep mengenai kepribadian muslim
atau insan kamil, atau takwa dan term yang sepadan dengannya.97 Zakiyah
Daradjat menyatakan bahwa Pendidikan Islam ialah perubahan sikap dan
tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Tujuannya adalah
kepribadian yang mengantarkan seseorang yang membuatnya menjadi
insan kamil.98
Pendidikan Islam sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW.
dimulai dari mengubah sikap dan pola pikir masyarakat, menjadikan
masyarakat Islam menjadi masyarakat belajar. Berkembang menjadi
96 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit.,
hlm. 120 97Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 300 98 Ibid hlm. 301
63
masyarakat ilmu yaitu masyarakat yang mau dan mampu menghargai
nilai-nilai ilmiah, yang dapat bertanggung jawab untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.99
Menurut Prof. Achmadi,100
tujuan tertinggi/terakhir Pendidikan
Islam, yaitu: menjadi hamba Allah yang bertakwa, mengantarkan subjek
didik menjadi khalifatullah fi al-ardl yang mampu memakmurkannya, dan
memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat.
Apakah sistem Pendidikan Islam itu sukses atau gagal dalam
mewujudkan misinya, Fazlur Rahman menegaskan bahwa yang harus
menciptakan kriteria riil untuk menilai sukses atau tidaknya sistem
Pendidikan Islam adalah tumbuhnya pemikiran Islam yang asli, orisinal
dan mencukupi.101
Sehingga rumusan Tujuan Pendidikan Islam diharapkan lebih
bersifat problematis, strategis, antisipatif, menyentuh aspek aplikasi serta
dapat menyentuh kebutuhan masyarakat. Karena menurut analisa Hujair
AH. Sanaky, tujuan Pendidikan Islam yang ada sekarang ini dirasakan
tidaklah benar-benar diarahkan pada tujuan positif, tetapi hanya
diorientasikan 102
Demi tujuan itu, maka Pendidikan Islam sebenarnya masih
dianggap sebagai instrumen penting. Sebab, pendidikan Islam sampai
sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk
karakter individu-individu yang dididiknya. Dalam konteks inilah,
pendidikan Islam sebagai media penyadaran umat perlu membangun
teologi inklusif dan pluralis, demi harmonisasi agama-agama yang telah
menjadi kebutuhan masyarakat agama sekarang.
99 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogya: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.
12 100
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 95
101 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 229
102 Hujair AH. Sanaky, op. cit.
64
Dengan demikian, Tujuan Pendidikan Islam seharusnya
diprioritaskan untuk menumbuhkan saling menghormati kepada semua
manusia yang memiliki iman berbeda atau mazhab berbeda dalam
beragama, Untuk merealisasikan tujuan pendidikan Islam tersebut,
lembaga pendidikan Islam perlu menerapkan sistem pengajaran yang
berorientasi pada penanaman kesadaran pluralisme dalam kehidupan.103
Pendidikan Islam, merupakan sarana yang sangat efektif untuk
menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik.
Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang
untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama pada
peserta didik yang berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali
dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing
sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain.
Pendidikan Islam harus memandang “iman”, yang dimiliki oleh
setiap pemeluk agama, bersifat dialogis artinya iman itu bisa didialogkan
antara Tuhan dan manusia dan antara sesama manusia. Iman merupakan
pengalaman kemanusiaan ketika berhubungan dengan-Nya (dengan begitu,
bahwa yang menghayati dan menyakini iman itu adalah manusia, dan
bukannya Tuhan), dan pada tingkat tertentu iman itu bisa didialogkan oleh
manusia, antarsesama manusia dan dengan menggunakan bahasa
manusia.104
103 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op.
cit., hlm. 125 104
Ibid.
65
BAB III
PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG KONSEP
PENDIDIKAN PLURALISME
B. Biografi Abdurrahman Wahid
1. Biografi
K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur, lahir di
Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dan meninggal di Jakarta, 30
Desember 2009 pada umur 69 tahun adalah tokoh Muslim Indonesia dan
pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia keempat dari tahun
1999-2001. Ia menggantikan Presiden B.J. Habibie setelah dipilih oleh
MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh
Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid
dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR
pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh
Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR.
Abdurrahman Wahid adalah mantan Ketua Tanfidziyah (Badan Eksekutif)
Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).105
a. Kehidupan Awal
Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada
4 Agustus, tampaknya teman-teman dan keluarganya tak sadar bahwa
hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu.106
Gus Dur lahir pada tanggal
7 September 1940 (4 Sya’ban 1940) di desa Denanyar, Jombang, Jawa
Timur107
. Ia putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam
keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur.
105
BiografiAbdurrahmanWahid,http://kumpulanmakalahdanartikelpendidikan.blogspot.co
m/2011/02/abdurrahman-wahid.html Abdurrahman Wahid 106 Di beberapa buku banyak tertulis bahwa tanggal lahir Gus Dur adalah 4 Agustus 1940.
akan tetapi menurut Greg Barton ketika wawancara dengan Gus Dur, sebenarnya Gus Dur
memang dilahirkan pada hari ke empat, bulan ke delapan. Padahal tanggal itu adalah menurut
kalender Islam, yakni bulan Sya’ban. Tetapi pejabat catatan sipil setempat mencatat tanggal 4
Agustus sebagai tanggal lahir Gus Dur. Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur, terj. (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. VIII, hlm. 25
107 ibid
66
Secara geneologi, Abdurrahman Wahid memiliki keturunan ”darah
biru” dan, menurut Clifford Geertz108
, Ia termasuk golongan santri dan
priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya,
Abdurrahman Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial
tertinggi dalam masyarakat Indonesia.109
Kakek dari ayahnya adalah
K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek
dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama
yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid
Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri
Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah puteri pendiri
Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Shalahuddin
Wahid dan Lili Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan
dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Gus Dur, Tokoh fenomenal yang dikenal sebagai pemikir
brilian, rasional, kiprah dan sepak terjangnya telah banyak mewarnai
pelbagai bidang: politik, sosial, budaya, ekonomi, seni, dan lainnya,
lahir dengan nama Abdurrahman ad Dakhil.110
"Ad Dakhil" berarti
"Sang Penakluk". Lalu ditambahkan nama "Wahid" (nama ayahnya),
dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah
panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak Kiai yang
berati "abang" atau "mas".
Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran
membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya.
Selain itu, Ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta.
Pada usia belasan tahun, Gus Dur telah akrab dengan berbagai
majalah, surat kabar, dan novel. di samping membaca, Ia juga hobi
bermain bola, catur, dan musik. Sehingga kesenangan Gus Dur
108
Seorang ahli ilmu Antropologi asal Amerika Serikat, yang telah meneliti kebudayaan
Indonesia dan menulis buku yang berjudul The Religion of Java. 109
Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 33
110 Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara,
2009), hlm. 35.
67
terhadap sepak bola menjadikannya pernah diminta menjadi
komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya adalah
menonton bioskop. Kesukaaannya ini menimbulkan apresiasi yang
mendalam dalam dunia film. Inilah sebabanya Gus Dur pada tahun
1986-1987 diangkat menjadi Ketua Juri Festival Film Indonesia
(FFI).111
b. Riwayat Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek,
K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, Ia diajari
mengaji dan membaca al-Qur’an di Ponpes. Tebu Ireng, Jombang.
Dalam usia lima tahun Ia telah lancar membaca al-Qur’an. Selanjutnya
pada usia 13 tahun, Abdurrahman Wahid harus sudah kehilangan
ayahnya, yang meninggal pada usia 38 tahun karena kecelakaan mobil.
Dahulu, pada saat sang ayah pindah ke Jakarta112
, di samping
belajar formal di sekolah, Gus Dur juga mengikuti les privat Bahasa
Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang
telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk
menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan
musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama
kali persentuhan Gus Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus
Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.113
Namun dalam waktu yang pendek, Gus Dur tidak terlihat
sebagai siswa yang cemerlang. Pada tahun 1954, setahun setelah Ia
menamatkan sekolah dasar dan memulai Sekolah Menengah Ekonomi
Pertama (SMEP), Ia terpaksa mengulang kelas satu karena gagal dalam
111
Ibid, hlm. 36. 112
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya
diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta.
Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu yang terdiri dari para tokoh-dengan
berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika
ayahnya menjadi Menteri Agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak
bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan
dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering ke rumahnya. 113
WiwitFathurrohman,BiografiGusDur, http://wiwitfatur.wordpress.com/2009/04/21/ biografi-abdurrahman-wahid/
68
ujian. Kegagalan tersebut disebabkan oleh karena seringnya Ia
menonton pertandingan sepak bola sehingga Ia tak mempunyai cukup
waktu untuk menegerjakan pekerjaan rumah (PR). Lalu pada tahun
1954 tersebut, ketika sang ibu berjuang sendirian untuk membesarkan
anaknya (karena telah ditinggalkan suaminya dalam kecelakaan maut)
sementara Gus Dur sendiri kurang berhasil dalam pelajaran
sekolahnya, ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di
SMP. Di kota ini Ia berdiam di rumah seorang teman ayahnya Kiai
Junaidi, seorang anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Dan untuk
melengkapi pendidikannya, Ia juga pergi ke pesantren al Munawwir di
Krapyak yang terletak di luar kota Yogyakarta tiga kali seminggu.114
Ketika menjadi siswa SMP tersebut, hobi membacanya
semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh
gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-
dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa
Inggris. serta untuk meningkatan kemampuan bahasa Inggrisnya
sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan
siaran lewat radio Voice of America dan BBC London.
Di toko-toko buku di Yogyakarta yang menyediakan buku-
buku untuk mahasiswa-mahasiswa UGM, Gus Dur dapat menemukan
judul-judul buku menarik. Sebagai seorang remaja, ia mulai mencoba
memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua orang pemikir
penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman pertengahan. Pada
saat yang sama ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan
What is To be Done karya Lenin, kedua buku yang mudah diperoleh di
negeri ini ketika Partai Komunis Indonesia membuat kemajuan besar.
Ia juga banyak tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial
secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little
Red Book-Mao.115
114
Greg Barton, op. cit., hlm. 50-51. 115
Ibid, hlm. 56.
69
Setamat dari SMP, dari tahun 1957-1959 Gus Dur melanjutkan
belajarnya di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren
ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok Kyai yang humanis, shaleh dan
guru yang dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus
Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual
mistik. Di bawah bimbingan Kyai ini pula, Gus Dur mulai
mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus
Dur pindah kembali ke Jombang, di Pesantren Tambak Beras di bawah
bimbingan KH. Wahab Chasbullah. Ia belajar di sini hingga tahun
1963 dan selama kurun waktu itu ia selalu berhubungan dengan Kiai
Bisri Syansuri. Selama tahun pertamanya di Tambak Beras, Gus Dur
mendapat dorongan untuk mulai mengajar. Dan kemudian ia mengajar
di madrasah modern yang didirikan di kompleks pesantren dan juga
menjadi Kepala sekolahnya. Selama masa ini pula ia tetap berkunjung
ke Krapyak secara teratur. Di kota ini ia tinggal di rumah Kiai Ali
Ma’shum. Pada masa inilah Gus Dur mengalami konsolidasi dalam
studi formalnya tentang Islam dan sastra arab klasik. Di kalangan
pesantren ia dianggap sebagai siswa yang cemerlang. Studinya ini
banyak bergantung pada kekuatan ingatan, hampir-hampir tidak
memberikan tantangan kepada Gus Dur yang mempunyai ingatan yang
amat kuat walaupun ia dikenal sebagai siswa yang malas dan kurang
disiplin dalam studi formalnya. Pada bulan November 1963, Gus Dur
mendapat beasiswa dari Menteri Agama berangkat ke Kairo-Mesir
untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar.116
Pada saat ia tiba di Universitas al-Azhar, ia diberitahu oleh
pejabat Universitas itu bahwa dirinya harus mengikuti kelas khusus
untuk memperbaiki pengetahuan bahasa arabnya karena tidak memiliki
ijazah dari pesantren, meskipun ia telah lulus berbagai studi di pondok
pesantren. Di sekolah Ia merasa bosan, karena harus mengulang mata
116
Ibid, hlm. 53
70
pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan
kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat
layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku di mana Ia
dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.117
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di
Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasser, seorang
nasionalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum
intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat mendapat
perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak,
sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup
maju. Di Irak Ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas
Baghdad sampai tahun 1970. Selama di Baghdad, Gus Dur mempunyai
pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu
malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak
didapatkan di Mesir.118
Di kota ini Ia merasa cocok karena tidak hanya mempelajari
sastra arab, filsafat, dan teori-teori sosial barat, tetapi ia bisa memenuhi
hobinya untuk menonton film-film klasik. Bahkan, Gus Dur merasa
lebih senang dengan sistem yang diterapkan Universitas Baghdad yang
dalam beberapa segi dapat dikatakan lebih berorientasi barat dari pada
sistem yang diterapkan al-Azhar. Selama belajar di Timur Tengah
inilah Gus Dur menjadi Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia untuk
Timur Tengah (1964-1970).
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-
makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-
Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran
Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti
oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber
spiritualitasnya.
117
http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-abdurrahmanwahidbiografi.html 118
Badiatul Roziqin, dkk., op. cit., hlm. 37
71
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan
studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat tidak dapat
dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan
dan menjadi pelajar keliling, dari satu Universitas ke Universitas
lainnya. Pada akhirnya Ia menetap di Belanda selama enam bulan dan
mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang
tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup, dua kali sebulan Ia pergi ke
pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga
sempat pergi ke Mc Gill University di Kanada untuk mempelajari
kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya Ia
kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita yang menarik
sekitar perkembangan dunia pesantren.119
Pada tahun 1971, Sepulang dari Timur Tengah, Gus Dur
kembali ke Jombang, menjadi guru. Ia mengajar di Fakultas
Ushuluddin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian Ia
menjadi Sekretaris Pesantren Tebu Ireng dan pada tahun yang sama,
Gus Dur mulai aktif menulis. Lewat tulisan-tulisannya, gagasan dan
pemikirannya, Ia mulai mendapat perhatian dari khalayak.
Pada pertengahan 1970-an, secara beraturan Ia telah menjalin
hubungan dengan Cak Nur dan Djohan Efendi. Karena itu, ketika
pindah ke Jakarta Ia semakin intens bergabung dalam rangkaian forum
akademik dan kelompok-kelompok kajian. Dari sini Gus Dur mulai
sering mendapat undangan menjadi nara sumber di sejumlah forum
diskusi keagamaan dan dunia pesantren, baik dalam maupun luar
negeri.
Semangat belajar Gus Dur memang belumlah surut. Pada tahun
1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah Universitas di
Australia guna mendapatkkan gelar Doktor. Akan tetapi maksud yang
baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup,
dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut.
119
Greg Barton, op. cit., hlm. 104-105
72
Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari
Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi,
dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.
Setelah pindah ke Jakarta, mula-mula Gus Dur merintis
Pesantren Ciganjur. Pada awal tahun 1980, Gus Dur dipercaya sebagai
Wakil Katib Syuriah PBNU. Gus Dur pun menjadi ketua Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983. pada 1984 Gus Dur dipilih
secara aklamasi oleh tim ahl halli wa al-’aqdi yang diketuai KH.
As’ad Syamsul Arifin untuk menjabat ketua umum PBNU pada
Muktamar ke-27 di Situbondo. jabatan tersebut kembali dikukuhkan
pada Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989) dan
Muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan Ketua Umum
PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI
ke-4. selama menjadi Presiden, pemikiran beliau masih mengundang
kontroversi. Sering kali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak
orang.120
Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam
pembahasan ini adalah Ia menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa
bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai
kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya
lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan
menuduh organisasi kaum ‘elit Islam’ sebagai dengan organisasi
sektarian.
Gus Dur juga pernah mengumumkan Tahun Bam Cina (Imlek)
menjadi hari libur nasional dan mencabut larangan penggunaan huruf
Tionghoa, berusaha membuka hubungan dengan Israel, sempat tercatat
dalam keanggotaan Yayasan Shimon Peres, memisahkan Polri dari
TNI, mengembalikan nama Papua, merintis perdamaian dengan GAM
120
Badiatul Roziqin, dkk., loc. cit
73
di Aceh, dan banyak "pluralisme" lain. Demokrasi juga tentu saja
adalah bagian vital perjuangan seorang Gus Dur.
Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa
kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti
kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup
dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan
pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan
ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai
dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis dan
sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah
budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai dengan
budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga
persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif,
ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.121
Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan
sulit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala
pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme
yang dipegangi komunitasnya sendiri. Gus Dur wafat, hari Rabu, 30
Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo (RSCM),
Jakarta, pukul 18.45 WIB. akibat berbagai komplikasi penyakit,
diantaranya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.
2. Karya-Karya Abdurrahman Wahid
Sejak 1971 tulisan-tulisan Gus Dur telah dikenal luas sebagai
representasi kaum sarungan (Pesantren), padahal jika dicermati isi
tulisannya, banyak yang mengedepankan analisis progresif. Gus Dur
menawarkan pandangan baru untuk menjawab persoalan-persoalan yang
sedang tren saat itu. Dunia tulis-menulis Gus Dur dimulai sejak Beliau
menjadi pengurus Sekolah Mu’allimat pondok pesantren Tambak Beras,
Jombang. Mulai 1961, aktif mengirimkan artikelnya untuk majalah
Horison dan Budaya Jawa. Tulisan-tulisannya semakin meningkat ketika
121
Wiwit Fathurrohman, op. cit.
74
Ia berada di Kairo. Pada 1964, bersama Musthofa Bishri (Gus Mus,
Rembang), Gus Dur menerbitkan majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia
Kairo (PPI-Kairo).
Pada 1972, Gus Dur mulai memberikan ceramah dan seminar
secara berkala di sela-sela aktivitasnya menulis untuk majalah Tempo dan
Kompas. Kolom-kolomnya mendapat sambutan sangat baik. Intensitas
menulisnya semakin tinggi setelah LP3ES menerbitkan Jurnal Prisma
yang mengedepankan pemikiran sosial yang kritis.
Bagi Gus Dur, menulis atau berceramah bukan sekedar
menebarkan ide-ide segar kepada masyarakat, melainkan juga berfungsi
sebagai perlawanan kultural terhadap rezim yang berkuasa. Hingga tahun
2000, Incres mengumpulkan 493 tulisan Gus Dur yang terbagi dalam
berbagai bentuk, yakni:122
Tabel Bentuk-Bentuk Tulisan Gus Dur
No. Bentuk Tulisan Jumlah Keterangan
1 Buku 12 buku Terdapat pengulangan
2 Terjemahan 1 Bersama Wahid Hasyim
3 Kata pengantar buku 20
4 Epilog buku 1
5 Antologi 41
6 Artikel 263 Tersebar di beberapa
majalah dan koran
7 Kolom 105 Tersebar di berbagai
majalah
8 Makalah 50 Sebagian besar
tidak dipublikasikan
Jumlah 493
Setelah tahun 2000, terbit 3 buku kumpulan tulisan Gus Dur
lainnya, yaitu Kumpulan Kolom dan artikel Abdurrahman Wahid Selama
Era Lengser (60 artikel), Gus Dur Bertutur (2 artikel), dan Universalisme
dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (20 artikel yang dimuat di
122
Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm.126-127
75
Kompas). Selain itu, publisitas tulisan Gus Dur dilakukan melalui situs
internet www.gusdur.net.
Spektrum intelektualitas Gus Dur mengalami perluasan dari waktu
ke waktu, terutama wacana yang dikembangkannya. Temuan Incress
(2000) mengidentifikasi perkembangan tersebut sesuai dengan periodesasi
per sepuluh tahun, mulai 1970-2000;123
Tabel Tema-Tema Tulisan Gus Dur
No. Periode Jumlah Keterangan
1 1970-an 37
Tradisi pesantren, modernisasi
pesantren, NU, HAM, reinterpretasi
ajaran, pembangunan, demokrasi
2 1980-an 189
Dunia pesantren, NU, ideologi
negara (Pancasila), pembangunan,
militerisme, pengembangan
masyarakat, pribumisasi Islam,
HAM, modernisme, kontekstualisasi
ajaran, Parpol.
3 1990-an 253
Pembaruan ajaran Islam, demokrasi,
kepemimpinan umat, pembangunan,
HAM, kebangsaan, Parpol, Gender,
toleransi agama, Universalisme
Islam, NU, Globalisasi.
4 2000-an 122
Budaya, NU dan Parpol, PKB,
demokratisasi dan HAM, ekonomi
dan keadilan sosial, ideologi dan
negara, tragedi kemanusiaan, Islam
dan fundamentalisme.
Sedangkan buku-buku kumpulan tulisan Gus Dur yang telah
dipublikasikan adalah:124
a. Bunga Rampai Pesantren (Dharma Bakti, 1979)
b. Muslim di Tengah Pergumulan (Lappenas, 1981)
c. Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Suatu Pergumulan Wacana dan
Transformasi (Fatma Press, 1989)
d. Universalisme dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (Kompas,
1991)
123
Ibid, hlm. 128-129 124
Ibid, 146
76
e. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (LKiS, 1997)
f. Tabayun Gus Dur (LKiS, 1998)
g. Islam, Negara, dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Gus
Dur (Erlangga, 1999)
h. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999)
i. Tuhan Tidak Perlu Dibela (LKiS, 1999)
j. Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS, 1999)
k. Membangun Demokrasi (Rosda Karya, 1999)
l. Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo, 1999)
m. Melawan Melalui Lelucon (Tempo, 2000)
n. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001)
o. Menggerakkan Tradisi (LKiS, 2001)
p. Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era
Lengser (LKiS, 2002)
q. Gus Dur Bertutur (Proaksi, 2005)
r. Islamku, Islam Anda, Islam Kita (The Wahid Institute, 2006)
s. Membangun Demokrasi (Rosdakarya, 1999)
t. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999)
3. Penghargaan Yang Diperoleh Abdurrahman Wahid
a. Pada 1993, Gus Dur menerima penghargaan Ramon Magsaysay
Award, sebuah “Nobel Asia” dari pemerintah Filipina. Penghargaan ini
diberikan karena Gus Dur dinilai berhasil membangun landasan yang
kokoh bagi toleransi umat beragama, pembangunan ekonomi yang
adil, dan tegaknya demokrasi di Indonesia
b. Pada akhir 1994, Gus Dur juga terpilih sebagai salah seorang Presiden
WCRP (World Council for Religion and Peace-atau Dewan Dunia
untuk Agama dan Perdamaian).
c. Pada tahun 1996 dan 1997, majalah Asiaweek memasukkan Gus Dur
dalam daftar orang terkuat di Asia. Gus Dur menjadi pemimpin besar
dan diakui dunia karena pemikirannya dan gerakan sosial yang
77
dibangunnya mempunyai dampak yang luas terhadap demokrasi,
keadilan dan toleransi keagamaan di Indonesia.
d. Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh
Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada
10 Maret 2004.
e. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif
Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis
dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan
kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan
demokrasi di Indonesia.
f. Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah
yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM di Israel, karena
dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli dalam persoalan HAM.
g. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di
Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum
minoritas.
h. Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan
namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman
Wahid Chair of Islamic Studies125
Selain itu, Gus Dur juga memperoleh banyak gelar Doktor
Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai Perguruan Tinggi
ternama di berbagai negara, antara lain:126
a. Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University,
Israel (2003)
b. Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul,
Korea Selatan (2003)
c. Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan
(2003)
125 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm.
43-44 126
http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-abdurrahmanwahidbiografi.html
78
d. Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang
(2002)
e. Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat
University, Bangkok, Thailand (2000)
f. Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok,
Thailand (2000)
g. Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi
dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne
University, Paris, Perancis (2000)
h. Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok,
Thailand (2000)
i. Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
j. Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)127
C. Pemikiran Abdurrahman Wahid Mengenai Konsep Pendidikan
Pluralisme
Mengamati pemikiran Gus Dur memang menarik sekaligus
menyulitkan. Menarik karena ide-idenya sangat sederhana, tetapi mampu
memberikan wawasan tersendiri dalam menganalisis persoalan, baik di
Indonesia maupun di dunia. Menyulitkan karena pemikirannya terkadang
keluar dari kultur yang membesarkannya (NU dan Pesantren).128
1. Dasar Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid
Tulisan Gus Dur berjudul ’Pengembangan Fiqih Secara
Kontekstual’, dipaparkan bahwa Ideologi pluralisme yang dibawa Beliau
dan penghormatannya terhadap pluralitas sepenuhnya berdasarkan
pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam dan juga tradisi
keilmuan NU sendiri. Pertama, prinsip pluralisme secara tegas diakui di
dalam kitab suci. Al-Qur’an secara tegas mendeklarasikan bahwa
pluralitas masyarakat dari segi agama, etnis, warna kulit, bangsa, dan
127
Ibid, hlm. 45-46 128
Munawar Ahmad, op. cit. hlm. 55
79
sebagainya, merupakan keharusan sejarah yang menjadi kehendak Allah
(sunnatullah). Karena itu, upaya penyeragaman dan berbagai bentuk
hegemonisasi yang lain, termasuk dalam hal pemahaman dan
implementasi ajaran agama, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan
semangat dasar al-Qur’an.
Pluralitas agama dan masyarakat menjadi alat uji parameter
kualitas keberagamaan umat, apakah dengan pluralitas itu setiap kelompok
atau umat beragama bisa hidup berdampingan secara damai dengan
pemeluk agama lain dengan semangat saling belajar dan saling
menghormati. Atau sebaliknya, pluralitas itu justeru menjadi alasan untuk
membangun klaim-klaim kebenaran yang bersifat sektarian129
Kedua, nalar keragaman NU sepenuhnya dibangun di atas spirit
pluralisme. NU mengikuti tradisi pemikiran madzhab yang menjadi pilar
tegaknya peradaban fiqih. Ajaran Islam digali secara langsung dari
sumbernya, tetapi melalui pemikiran, NU terhindar dari pendekatan
tekstual dan interpretasi tunggal terhadap al-Qur’an dan al-Hadis. Fiqih
dirumuskan sebagai hukum atau kumpulan hukum yang ditarik dari dalil-
dalil syar’i, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis (al-ahkam al-mustanbathah min
adillatiha al-syar’iyyah). Definisi ini menurut Gus Dur, secara jelas
menampakkan adanya proses untuk memahami situasi yang di situ ayat al-
Qur’an dan al-Hadis memperoleh pengolahan untuk disimpulkan
berdasarkan kebutuhan manusia.130
Di sini nyata terlihat bahwa pluralisme
yang dikembangkan Gus Dur adalah revitalisasi dari ajaran Islam dan
tradisi berpikir pesantren yang telah berkembang selama-berabad-abad.
Toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekedar
menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari
agama yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima
ajaran-ajaran yang baik dari agama lain, dalam sebuah tulisannya yang
129
M. Hanif Dhakiri, op. cit. hlm. 63-64 130
Ibid, hlm. 67
80
berjudul Intelektual di Tengah Eksklusivisme, Gus Dur pernah
mengatakan:
Saya membaca, menguasai, menerapkan al-Qur’an, al-Hadis, dan
kitab-kitab Kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya
bersedia memakai yang mana pun asal benar dan cocok dan sesuai
hati nurani. Saya tidak mempedulikan apakah kutipan dari Injil,
Bhagawad Gita, kalau bernas kita terima. Dalam masalah bangsa,
ayat al-Qur’an kita pakai secara fungsional, bukannya untuk
diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam
persoalan mendasar. Tetapi aplikasi adalah soal penafsiran.
Berbicara masalah penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis,
melainkan sudah menjadi masalah pemikiran.131
2. Pandangan Pluralisme Abdurrahman Wahid
Dalam QS. Ali Imran: 85 yang artinya: ”Barang siapa mengambil
selain Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima
oleh Allah, dan dia di akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi”,
Gus Dur memberikan penjelasan bahwa ayat tersebut jelas menunjuk
kepada masalah keyakinan Islam yang berbeda dengan keyakinan lainnya,
dengan tidak menolak kerjasama antara Islam dengan berbagai agama
lainnya.132
Dalam pidato perayaan Natal pada tanggal 27 Desember 1999 di
Balai Sidang Senayan Jakarta, misalnya, Abdurrahman Wahid
menyampaikan :
Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya, tapi
ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang
yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat
beragama. Sejak kecil itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di
lingkungan pasantren, hidup dikalangan keluarga kiai, tak pernah
sedikitpun saya merasa berbeda dengan yang lain.133
131
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), cet. II, hlm. 204
132 Menurut Gus Dur, Hal inilah yang membedakan amal sholeh yang merujuk pada amal
baik seorang Muslim dengan amal khoir atau amal baik non muslim. Kalau amal saleh itu akan
sampai kepada Allah dan akan diterima oleh Nya, sedangkan amal khair tidak demikian, dan
hanya akan menjadi fatamorgana. 133
Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada
(ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: LAKPESDAM), hlm. 144
81
Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama
antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang
menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama
itu tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada
dialog antaragama. Dengan kata lain prinsip pemenuhan kebutuhan
berlaku dalam hal ini, seperti adagium ushul fiqh/teori legal hukum Islam:
”sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa
kehadirannya, akan menjadi wajib pula (Ma la yatimmu al wajibu illa bihi
fahuwa wajibun)”. Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog, oleh
karena itu dialog antaragama juga menjadi kewajiban.134
Tentang pluralitas, seperti terdapat dalam QS. al-Hujurat: 13,
menurut Gus Dur, ayat tersebut menunjuk kepada perbedaan yang
senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa
atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan sebuah hal
yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan
keterpisahan.
Tentu saja adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu dipersamakan
secara total, karena masing-masing memiliki kepercayaan atau aqidah
yang dianggap benar. Demikian pula kedudukan penafsiran-penafsiran
aqidah itu. Umat Katholik sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam
Konsili Vatikan II yang dipimpin Paus Yohannes XXIII dari tahun 1962-
1965, menyebutkan bahwa para Uskup yang menjadi peserta menghormati
setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin bahwa kebenaran
abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka. jadi keyakinan masing-
masing tidak perlu diperbandingkan atau dipertentangkan.135
Di sinilah nantinya tebentuk persamaan antaragama, bukannya
dalam ajaran atau aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian
materi. Karena ukuran capaian materi menggunakan bukti-bukti kuantitatif
seperti tingkat penghasilan rata-rata masyarakat.
134 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute,
2002), hlm. 133-134 135
Ibid
82
3. Cara Menyikapi pluralisme
Menurut Gus Dur, pluralisme di tanah air disimbolisasi dengan
banyak hal, utamanya agama, suku, dan bahasa. Tetapi ada hal yang
banyak dilupakan oleh banyak kalangan, yaitu pluralisme makanan.
Ekspresi dan manifestasi pluralisme dalam makanan semakin
memperkukuh entitas kebhinekaan yang mewujud dalam bangsa ini.
Ketika berkunjung ke tempat manapun, yang paling menarik dan
menjadi salah satu kekuatan adalah aneka macam menu makanan dengan
variannya. Bahkan, belakangan soal pluralisme makanan tersebut
dijadikan sebagai salah satu acara di stasiun televisi, yang dikenal dengan
wisata kuliner.136
Gus Dur memandang bahwa siapapun yang memahami realitas
keragaman masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh
pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan
semakin kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya
merupakan unsur kekuatan, bukan unsur ancaman. Ia semakin menjadikan
kita sehat secara jasadi dan sehat secara ruhani. Makanan yang begitu
banyak aneka ragamnya telah menjadi fakta bahwa pluralisme atau
kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang harus didayagunakan untuk
kemajuan bangsa. Belajar dari pluralisme makanan, maka kita sebenarnya
dapat merayakan manfaat dari pluralisme.
Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama.
Kita semua mengakui dan menyadari bahwa setiap agama mempunyai
ajaran yang berbeda-beda. Tetapi perbedaan tersebut bukanlah alasan
untuk menebarkan konflik dan perpecahan. Perbedaan justru dapat
dijadikan sebagai katalisator untuk memahami anugerah Tuhan yang
begitu nyata untuk senantiasa merajut keharmonisan dan toleransi. Oleh
sebab itu, perbedaan dan keragaman merupakan keniscayaan yang tidak
dapat dihindari. Apalagi dalam perbedaan dan keragaman tersebut
136
Maman Imanulhaq Faqih, Fatwa dan Canda Gus Dur, (Jakarta: Kompas, 2010),
hlm.148
83
tersimpan keistimewaan, yang mana antara kelompok yang satu dengan
kelompok lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan.137
Restoran merupakan ruang publik yang sebenarnya dapat
memperkokoh pluralisme, karena di situlah perbedaan dirayakan dalam
konteks menentukan eksistensi setiap kelompok dengan basis saling
menghargai dan menghormati. Sebab itu kebiasaan Gus Dur dalam
menyantap aneka ragam menu masakan di negeri ini merupakan salah satu
apresiasi terhadap pluralisme dan bagaimana menyikapinya dengan positif
dan konstruktif.
Menurut Gus Dur, Setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa
dilakukan sebagai ikhtiar mengurangi berbagai bentuk ancaman terhadap
kemajemukan bangsa, Pertama, penegakan hukum secara tegas terhadap
pelaku tindak kekerasan dan pemaksaan kehendak yang mengatasnamakan
agama. Kedua, ormas-ormas keagamaan harus didorong untuk
mengedepankan dialog dan kerjasama dalam berbagai bidang sosial dan
kebudayaan sehingga toleransi dapat ditumbuhkan secara menyeluruh.
Ketiga, nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan dan diajarkan sejak dini dan
berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari Sekolah Dasar sampai
Perguruan Tinggi.138
4. Pluralisme dalam Konteks Keindonesiaan
Wajah budaya Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran
yang tinggi dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleransi tersebut harus
dapat diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan masyarakat sehingga
terbentuklah suatu masyarakat yang kompak tapi beragam sehingga kaya
akan ide-ide baru.139
Serta hubungan antaragama di Indonesia selama kurun waktu 30
tahun terakhir ini telah berkembang dalam berbagai dimensinya, yang
137
Ibid, hlm. 149 138
A. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 2010), hlm. 19-20
139 HAR. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2002), cet. III hlm. 180
84
secara kualitatif telah merubah, dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh
perkembangan pemikiran keagamaan di kalangan umat beragama itu
sendiri. Hal ini minimal dapat ditelusuri pada pemikiran keagamaan kaum
muslimin, dalam sosoknya yang tampak balau pada saat ini. Sebagaimana
telah diketahui sejarah bangsa kita, Islam datang di kawasan ini dalam
bentuk dan corak yang heterogen. Dalam garis besarnya, Islam datang
dalam bentuk utusan-utusan politik, para pedagang dan para sufi.140
Heterogenitas asal usul Islam di Indonesia menunjukkan variasi
sangat tinggi dalam pengalaman menjalani hubungan antaragama yang
dibawa oleh kaum Muslimin ke negeri ini. Dalam pola sinkretik kehidupan
beragama orang Islam di keraton Mataram hingga puritanisme Islam yang
kemudian meletus dalam perang Paderi di Sumatera Barat pada paruh
pertama abad yang lalu, terbentang spektrum luas dengan manifestasi
hubungan antar beragama yang sangat beragam. Muslimin masyarakat
Jawa menerima ”kekeramatan” bertemunya hari penting Arab Jum’at dan
Hari Jawa Kliwon atau Legi, dengan melakukan ibadah ekstra pada hari
tersebut.
Begitu juga mereka menyebut hari Ahad dengan hari Minggu,141
serta mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari tutup kantor dan tutup
sekolah dengan mengganti kesibukan seperti majlis ta’lim serta pengajian
umum. Perubahan ”Hari Kristen” menjadi ”Hari Islam”, tanpa merubah
penyebutan nama harinya itu menunjukkan keindahan mozaik kerukunan
hidup antara umat beragama yang menyejukkan hati dan menentramkan
jiwa. Namun, tantangan modernisasi yang datang dari Barat ternyata
menumbuhkan sikap-sikap baru di kalangan kaum muslimin, yang
memerlukan pengamatan teliti.142
140
Abdurrahman Wahid, “Hubungan antar-Agama, Dimensi Internal dan Eksternalnya di
Indonesia” dalam Adurrahman Wahid, dkk., Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hlm. 3
141 Minggu berasal dari kata domingo yang berarti hari Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian diikuti orang-orang Eropa lain untuk pergi ke gereja.
142 Ibid, hlm. 6-7
85
Pluralitas masyarakat Indonesia sendiri sekurang-kurangnya bisa
dilihat sebagai fakta dalam dua sisi. Sisi pertama: pluralitas suku, agama,
dan budaya serta berbagai turunannya. Sisi kedua: pluralitas di internal
suku, agama, dan budaya itu sendiri. Dalam Islam misalnya, terdapat
berbagai aliran yang secara formal sering kali berseberangan. Demikian
juga di dalam agama, budaya dan suku yang lain.
Toleransi yang diajarkan Gus Dur merupakan ajaran semua agama
dan budaya, apalagi dalam masyarakat majemuk dan multikultur seperti
Indonesia. Namun, toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur
berbeda dari tokoh-tokoh agama lain. Gus Dur mengajarkan toleransi plus,
yaitu kalau kebanyakan orang membudayakan toleransi sebatas pada hidup
berdampingan secara damai, yaitu hidup bersama dalam suasana saling
menghormati dan menghargai. Tidak demikian dengan Gus Dur. Dalam
menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur menegaskan bahwa tegaknya
pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada pola hidup
berdampingan secara damai (peaceful coexistence), karena hal demikian
masih sangat rentan terhadap munculnya kesalah-pahaman antar-
kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan
disintegrasi. Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya
kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga
kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan
menerima.143
Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang
mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan
bangsa Indonesia. Menurut Gus Dur, kelompok yang menolak pluralisme
itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya Bangsa Indonesia. Salah
satu cara mengatasinya, kata Gus Dur, Bangsa Indonesia harus
membangun batasan bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap
143 Tulisan ini diambil dari makalah Gus Dur berjudul “Pluralisme Agama dan Masa
Depan Indonesia”, disampaikan pada seminar di UKSW, th. 1992. lihat M. Hanif Dhakiri, op.cit. hlm. 120
86
pluralisme tidak akan diutak-atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas
Undang-Undang Dasar Negara.144
Konsep toleransi yang dikembangkan Gus Dur meniscayakan
adanya kebenaran yang datang dari agama atau peradaban lain. Namun,
jika kerendahan hati seperti itu bisa dikembangkan secara terus menerus,
maka toleransi di tengah masyarakat, akan semakin menemukan polanya
yang dengan sendirinya kerukunan antaragama akan menjadi bagian tak
terpisahkan dari dinamika masyarakat dan suasana saling belajar,
melengkapi dan mengisi akan menciptakan kultur keberagamaan yang
matang dan dewasa. Jika sudah demikian, maka dengan sendirinya
perbedaan agama dan keyakinan akan menjadi sumber kekuatan yang
sangat dahsyat bagi perubahan dalam persaudaraan.145
5. Aktualisasi Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memimpin upacara
pemakaman Gus Dur di lingkungan Ponpes. Tebu Ireng Jombang, 31
Desember 2009, secara terbuka mengakui Gus Dur sebagai Bapak
Pluralisme. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 24 Agustus 2005 sejumlah
tokoh Lintas Agama, Jaringan Doa Nasional Tionghoa Indonesia dan
warga Ahmadiyah menganugerahi Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme
Indonesia. Penganugerahan ini disampaikan di gedung PBNU, jalan
Kramat Raya 164 Jakarta Pusat.
Kepedulian Gus Dur terhadap kasus-kasus internasional yang
beberapa diantaranya kontroversial termasuk hubungannya dengan Israel,
maupun kasus kekerasan etnik dan keagamaan serta kasus yang berkaitan
dengan HAM dan demokrasi di Indonesia, misalnya: persoalan
Ahmadiyah, kasus Monitor, ICMI, Ulil Abshar Abdalla, Inul, peristiwa
Banyuwangi dan pembunuhan di Jawa Timur tahun 1998, Sambas di
Kalimantan Barat, peristiwa Ambon di Maluku, GAM di Aceh, masalah
Timor Timur, persoaalan Etnis China, tidak hanya dibuktikan pada level
144 Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur, Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis,
http://wahidinstitute.org 145
Ibid, hlm. 120
87
pemikiran belakan, namun Gus Dur selalu tampil sebagai pembela pada
level praktis.
a. Jama’ah Ahmadiyah
Ketika banyak kelompok menghujat dan berusaha
menyingkirkan kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara
kekerasan dan penistaan seperti yang sering dialami jamaah
Ahmadiyah, Gus Dur selalu tampil sebagai pembelanya. Bukan berarti
Gus Dur setuju dengan keyakinan Ahmadiyah itu, tetapi Ia sangat
menghormati keyakinan seseorang.
b. Kasus Monitor
Kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana tabloid
tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara sebuah
surveinya yang menyinggung perasaan umat Islam. Menurut Gus Dur,
kasus monitor menunjukkan bahwa kelompok dalam masyarakat ingin
memanipulasi isu-isu agama untuk mengedepankan kepentingan
mereka. Sehingga beliau mendirikan Forum Demokrasi untuk
memperjuangkan demokrasi di Indonesia
c. Munculnya ICMI
Berdirinya ICMI pada Desember 1990. Menurut Gus Dur,
ICMI merupkan alat eksploitasi politik terhadap agama yang
mengutamakan kepentingan kelompok eksklusif yang sempit di atas
kepentingan nasional. ICMI akan mengaliansikan non-Muslim dan
memperburuk pembelahan dan salah paham yang sudah kuat dalam
masyarakat Indonesia selama ini antara kelompok keagamaan,
kesukuan dan budaya yang berbeda. Peristiwa ini pula yang
melatarbelakangi Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi.
d. Pembelaan terhadap Ulil Abshar Abdalla, Inul Daratista, dan
kelompok yang dituduh Komunis.
Ia tanpa ragu membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual
muda NU yang juga tokoh muda “Islam Liberal” yang mengemukakan
Liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan
88
memiliki sejumlah implikasi yang sangat jauh, misalnya anggapan
bahwa Ulil akan mempertahankan kemerdekaan berpikir seorang santri
demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya
sendiri akan kebenaran Islam. Itulah sebabnya mengapa demikian
besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini. Seperti diketahui bahwa
sejumlah ulama’ serta aktifis Islam tertentu menilai pemikiran Ulil
telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu Ia layak dihukum mati.
Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan
dalam Islam.
Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan
sederhana ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis
Ulama’, dan Seniman karena goyang ngebornya dianggap melanggar
batas-batas kesusilaan umum. Mereka menggunakan justifikasi fatwa-
fatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Di
tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran
kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan
Gus Dur didasarkan pada melindungi Hak Asasi wong cilik dari
hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak
represif.
Dalam pembelaannya terhadap mereka yang diperlakukan tidak
manusiawi karena dituduh sebagai anggota kelompok Komunis.
Karena itu, ketika Ia menjadi Presiden, Gus Dur mengusulkan
pencabutan TAP No. XXV/MPRS/1966 soal pelarangan penyebaran
ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Namun usul tersebut
akhirnya ditolak. Dalam rapat yang berlangsung hari Senin 29 Mei
2000, seluruh fraksi MPR yang ada di panitia Ad Hoc II badan pekerja
(PAH II BP) MPR menolak usul Gus Dur tersebut. Para anggota MPR
tampaknya masih sulit membedakan antara Komunisme sebagai
89
ideologi (pengetahuan) dan Komunisme sebagai gerakan partai (G 30
S PKI).146
e. Peristiwa Banyuwangi dan Pembunuhan di Jawa Timur Tahun 1998
Pembunuhan yang konon dilakukan oleh para Ninja berpakaian
serba hitam itu telah memakan korban 200 orang lebih, terbukti bahwa
orang yang terlibat dalam pembunuhan ini mempunyai pendidikan
militer dan terorganisir dengan baik. serta menginginkan kerusuhan
sosial di masyarakat. Perlu dicatat bahwa sebagian korban peristiwa itu
adalah anggota NU yang memiliki kedudukan sebagai Ulama’ di
daerah mereka. Respon Gus Dur terhadap pembunuhan tersebut adalah
dengan mengunjungi Banyuwangi dan mendorong para tokoh agama
lokal untuk menahan diri dari godaan untuk merespons kekerasan ini
dengan kekerasan.
f. Sambas di Kalimantan Barat
Daerah ini mempunyai sejarah konflik yang panjang,
khususnya antara transmigran Madura dengan penduduk lokal Dayak
dan masyarakat Melayu. secara kebetulan penduduk asal Madura
mempunyai hubungan dengan NU. mempelajari akar konflik itu,
sering dikatakan bahwa elemen-elemen kekerasan etnik dan agama
berakar pada kenyataan bahwa dalam konflik itu masyarakat Dayak
yang Kristen bekerja sama dengan masyarakat Melayu yang Muslim
dan karenanya kerusuhan itu berkaitan dengan faktor sosio-ekonomi.
Meski selama hari-hari sibuk pra-kampanye, Gus Dur
menyempatkan diri untuk mengunjungi langsung daerah sengketa
tersebut untuk bertemu dengan para pemimpin lokal dan meminta
respons mereka dengan sabar dan dewasa terhadap persoalan yang
sangat kompleks ini. serta kunjungan meredamkan konflik tersebut
terus berlanjut pada kesempatan berikutnya. saat itu beliau ditemani
oleh Alwi Shihab untuk bertemu dengan kelompok yang terdiri atas
ratusan pemimpin lokal, mengadakan makan siang bersama dan
146
M. Hanif Dhakiri, op. cit., hlm.72
90
membincangkan isu kekerasan dan peranan agama dan etnisitas. baik
Alwi maupun Gus Dur berbicara dengan baik, sabar dan penuh
keyakinan serta agaknya punya pengaruh besar terhadap para
pendengarnya. sulit untuk menentukan sampai mana kunjungan
singkat tersebut bersifat instrumental dalam pencapaian perubahan
yang cepat, tetapi yang jelas Gus Dur konsisten dengan posisinya,
memberikan prioritas untuk mendorong pemimpin agama lokal dan
pemimpin masyarakat untuk menghindari kekerasan.
g. Peristiwa Ambon di Maluku
Di Ambon, tak lama setelah pecah kekerasan dan kondisinya
saat itu benar-benar tegang sehingga tidak mungkin mengadakan
pertemuan dengan kubu pemimpin Muslim maupun Kristen seperti
yang direncanakan. meski demikian, Gus Dur tetap bertemu dengan
para pemimpin masyarakat lokal dan membujuk mereka agar bersabar
dan toleran dan menahan kekerasan. sulit sekali untuk mengukur arti
kunjungan Gus Dur tersebut yang teramat penting, Gus Dur merasa
perlu untuk mengunjungi dan mempertaruhkan reputasi persoalannya
untuk mencari jalan pemecahan.
h. GAM di Aceh
Kunjungan Gus Dur ke Aceh pada bulan Mei 1999 adalah atas
undangan mahasiswa Aceh untuk berbicara masalah-masalah yang
dihadapi Aceh, khususnya berkaitan dengan kekerasan yang sedang
dan terus berlangsung di Aceh di tangan militer/TNI dan semakin
kuatnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). di sana Ia juga mengunjungi
para pemimpin komunitas agama walaupun banyak diantaranya bukan
anggota PKB, karna saat itu adalah saat menjelang kampanye. meski
sibuk menyiapkan kampanye, Gus Dur tetap menyempatkan untuk
meredamkan konflik Aceh padahal Ia juga tahu bahwa Aceh bukanlah
basis PKB. ini menunjukkan kunjungan tersebut memang murni
dorongan hati nurani beliau.
91
i. Masalah Timor Timur
Dalam seluruh aktivitas untuk menyelesaikan kekerasan ini,
pelanggaran HAM dan konflik yang sedang berlangsung, satu
persoalan penting muncul di hadapan Gus Dur dan dituntut untuk
segera disikapi untuk merespons pasukan internasional penjaga
perdamaian di Timor Timur. pada bulan September 1999, Gus Dur
membuat serangkaian komentar keras, khususnya diarahkan pada
pemerintahan Australia dan juga lembaga-lembaga lain yang dianggap
mencampuri urusan internal Indonesia.
j. Persoalan Etnis China.
Gus Dur sengaja melakukan hubungan dengan Beijing dan
orang-orang China, baik di daratan China maupun seluruh Asia
Tenggara. di samping untuk membantu orang-orang China di
Indonesia sebagai WNI, juga menjadi pemikiran penting sebagai
pendewasaan masyarakat Indonesia. karena itu dia nyatakan tujuan
akhirnya adalah dihapuskannya diskriminasi atas orang-orang China
Indonesia. bahkan dalam situasi yang tidak menguntungkan pun,
berkaitan dengan resiko politik, dia telah menunjukkan dukungannya
bagi orang-orang China, Kristen, dan masyarakat minoritas lainnya.
Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa
Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini
dikenal sebagai kawasan pecinan di Semarang Jawa Tengah,
mentahbiskan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa. Gus Dur bukan
hanya banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan yang menghormati
masyarakat Tionghoa, tetapi juga mensejajarkan mereka dengan semua
kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai agama, suku dan
adat-istiadat yang berbeda.
Pada level praktis dan kebijakan, pembelaan Gus Dur terhadap
kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan secara nyata. Saat Ia menjadi
Presiden, hari raya Imlek bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas.
Warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika
92
merayakannya. Kebebasan ini tak lepas dari keputusan politik Gus Dur
yang pada 17 Januari 2000 mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 6 tahun 2000, isinya mencabut Inpres nomor 14/1967 yang
dibuat Soeharto tentang agama, kepercayaan, dan adat-istiadat China.
Dengan Inpres No 14/1967 rezim Orde Baru yang represif telah
membuat Imlek terlarang dirayakan di depan publik; Barongsai, Liang
Liong harus sembunyi; huruf-huruf atau lagu Mandarin tidak boleh
diputar di radio.147
k. Konflik Filipina
Seiring dengan berjalannya waktu, Gus Dur telah tumbuh
berkembang reputasinya bukan hanya sebagai pemimpin agama yang
memiliki komitmen terhadap nilai toleransi, tetapi juga seorang
pemikir yang independen dan bijaksana, pada kunjungan ke Jakarta
pada September 1993, Presiden Filipina, Fidel Ramos mencuri
kesempatan untuk berkonsultasi dengan Gus Dur berkaitan dengan
masalah perselisihan Muslim Moro di bagian selatan Pulau Mindanao
agar dapat diselesaikan tanpa konflik senjata, Gus Dur sepakat dengan
menambahkan bahwa: “semakin lama masyarakat Islam dibiasakan
dengan konflik bersenjata, semakin lama pula mereka diharuskan
berjuang mengatasi kemundurannya”, Ramos kemudian mengundang
Gus Dur untuk mengunjungi Filipina dan membantu berunding dengan
Front Pembebasan Moro. permintaan yang diresponnya pada tahun
berikutnya. lebih menarik lagi itu dua pekan sebelum kunjungan
Ramos ke Jakarta, Gus Dur dianugerahi salah satu hadiah paling
bergengsi di Filipina dan Asia Tenggara, yaitu Magsaysay Award
(sebagai keterlibatan Gus Dur yang luas dalam upaya untuk
mengembangkan toleransi beragama).
l. Hubungan Diplomatik dengan Israel
Dalam hal ini dukungan Gus Dur untuk membuka hubungan
diplomatik dengan Israel. sangatlah penting untuk menimbang konteks
147
Hanif Dhakiri, op. cit. hlm. 71
93
historis posisi kebijakan Gus Dur, khususnya dalam pertemuan-
pertemuan sebelumnya dengan Israel. Gus Dur sendiri telah
memberikan berbagai macam alasan bahwa hubungan tersebut
berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan perwujudan kemauan
baik pada Israel itu sendiri. Jika Indonesia dapat membuka hubungan
dengan Israel, maka Indonesia akan memiliki posisi yang sangat kuat
untuk memperkuat argumentasi bagi perbaikan sosial dan politik di
Timur Tengah, khususnya Israel dengan Palestina. dalam konteks ini,
Gus Dur mengatakan bahwa sebagai Muslim terbesar di dunia,
sangatlah tepat jika Indonesia memainkan peranan penting bagi
perdamaian Israel dan Palestina. sudah pasti normalisasi hubungan
diplomatik dengan Israel sangat terikat dengan suksesnya perdamaian
itu. Inilah yang mendasari Gus Dur ketika pertama kali mengunjungi
Israel pada bulan oktober 1994 untuk menjadi saksi kemajuan proses
perdamaian antara Israel dengan negara-negara “Arab”. Gus Dur
berempat, ditemani oleh tokoh utama dialog antaragama.148
148
Ibid
94
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN ABDURRAHMAN
WAHID TENTANG KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Memasuki pembahasan analisis ini, penulis menekankan pada metode
hermeneutik, yakni metode penafsiran atau interpretasi. Menurut cerita mitologis
Yunani, hermeneutik diambil dari nama tokoh yang bernama Hermes, yaitu
seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan kepada manusia. Tugas
Hermes menerjemahkan pesan-pesan dari Dewa di gunung Olympus ke dalam
bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Fungsi Hermes menjadi penting
sebab apabila terjadi kesalahpahaman tentang pesan-pesan Dewa akibatnya akan
fatal bagi seluruh umat manusia. Maka Hermes harus mempunyai kemahiran
khusus sehingga mampu menginterprestasikan atau menyadur pesan-pesan itu ke
dalam bahasa yang digunakan oleh yang diajak bicara. Sejak itulah Hermes
menjadi simbol seorang yang dibebani misi tertentu, sehingga berhasil tidaknya
misi itu tergantung pada metode atau cara penyampaian pesan itu.149
Oleh karena itu hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.150
Hermeneutik
sebagai suatu metode diartikan sebagai cara menafsirkan simbol yang berupa teks
atau benda kongkrit untuk dicari arti dan maknanya. Metode ini mensyaratkan
adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami,
kemudian dibawa ke masa sekarang. Semula hermeneutik digunakan untuk
menafsirkan kitab suci keagamaan yang kemudian dikembangkan dalam ilmu-
ilmu humaniora dan termasuk di dalamnya ilmu filsafat.
Hermeneutik sebagai filsafat bahasa mempunyai sejarah yang sangat
panjang. Sejak Plato, Aristoteles, abad tengah, Renaissans, dan abad 19 M serta
149
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet. ke-3, hlm.84
150 E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999),
hlm. 23
95
abad 20 M. dikenal perkembangan filsafat bahasa yang namanya semantics.
Semantik yang berkembang pada abad 20 M. telah menjadi tumpang tindih
dengan hermeneutik phenomenologik. Garis batas antara strukturalisme semiotik
atau semantik dengan hermeneutik bahasa kabur atau tumapang tindih. Semantik
lebih berorientasi pada pemaknaan syntaxtical, adapun hermeneutik lebih ke
pemahaman isi.151
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Hanya
subjeklah yang kemudian memberi ”pakaian” arti pada objek. Subjek dan objek
adalah term-term yang korelatif atau saling menghubungkan diri satu sama lain.
Tanpa subjek, tidak akan ada objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh
subjek sesuai dengan cara pandang subjek.152
Berkaitan dengan analisis terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid
tentang konsep pendidikan pluralisme dalam perspektif pendidikan islam, penulis
menggunakan metode hermeneutik tersebut untuk menginterprestasikan
pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid dengan menggunakan bahasa yang
dipakai penulis sendiri.
Ibarat sebuah teks, Gus Dur banyak dibaca, diamati, dan bahkan
ditafsirkan banyak orang atas apa yang diucapkan dan menjadi sikap
kepribadiannya. Memahami Gus Dur tentu saja tak bisa lepas dari apa yang
tampak secara kasat mata semata. Dengan penuturannya yang lugas dan mudah
dicerna banyak kalangan, Gus Dur sesungguhnya tengah melakukan diagnosa
situasi nasional dan problem keumatan yang melalui tulisannya pula Ia melempar
gagasan yang berani dan konstruktif. Semuanya Ia lakukan tidak lain sebagai
ikhtiar membingkai kehidupan masyarakat dan bernegara di masa depan yang
lebih kondusif, ada jaminan hukum yang adil dan terciptanya harmonisasi yang
maksimal diantara sesama umat manusia.
151 Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Kualitatif & Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu
dan Penelitian, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006), cet. ke-3, hlm. 153 152
E. Sumaryono, op. cit., hlm. 30
96
B. Analisis Tentang Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman
Wahid
1. Terbentuknya Watak Pluralisme Abdurrahman Wahid
Dari lacakan epitemologis, Gus Dur bukanlah seorang yang
eksistensialis, melainkan seorang yang beragama dan percaya pada konsep
wahyu, tetapi Ia gabungkan dengan pemikiran modern. Bahwa kalau
memang ada Tuhan Allah Sang Pencipta, ada wahyu dan ada kitab suci,
tetapi juga ada pengetahuan obyektif. Jadi ada yang mutlak tetapi
kemutlakan itu dibatasi oleh yang tidak mutlak. Jadi secara otomatis ada
implikasi pluralisme. Ini adalah sumber pluralisme intelektual, tetapi ada
juga sumber-sumber pluralisme yang lain. Orang bisa pluralis karena
punya sikap humanitarian, kecintaan kepada manusia membuat kita saling
menghormati.
Telah disadari bahwa betapa kompleks dan rumitnya perjalanan
Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam
orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan,
strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman
keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih
kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai
modernis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di
tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai
dengan budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga
persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif,
ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia
pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang
penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur
Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann
Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang
liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur
banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat
97
humanismenya. Secara rasa maupun praktek perilaku yang humanis,
pengaruh para Kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil
besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah
dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori
dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat
peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Menurut Greg Barton, Sebagai seorang remaja, Gus Dur mulai
mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, serta pada saat
yang sama ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What is To
be Done karya Lenin, sehingga Ia tertarik pada ide Lenin tentang
keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan
dalam Little Red Book-Mao.
Saat di Mesir, Gus Dur juga dengan penuh minat mengikuti
bagaimana Mesir sebagai negara memperlakukan pemikir Islam Sayyid
Qutb. Pada saat itu ia telah membaca karya-karya penulis Islam dan
akhirnya mendapati bahwa pemikiran Islam bersifat ekstrim dan sangat
naif. Misalnya karya-karya Hasan al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin),
Ali Syari’ati, Sayyid Qutb, dan penulis-penulis lain.
Gus Dur juga belajar kepada salah seorang temannya bernama
Ramin ketika ia tinggal di Baghdad, tepatnya karena mereka berdua sama-
sama bekerja di ar-Rahmadani (perusahaan impor tekstil dari Eropa dan
Amerika). Ramin berasal dari komunitas kecil Yahudi Irak, juga
merupakan pemikir liberal dan terbuka. Mereka bertemu secara rutin untuk
membicarakan agama, filsafat, dan politik. Dari Ramin-lah Gus Dur
pertama kali mengetahui Yudaisme dan pengalaman orang-orang Yahudi.
Ramin berbicara panjang lebar mengenai cobaan berat yang dialami orang-
orang Yahudi yang tinggal di Rusia. Ia juga bercerita mengenai
keluarganya sendiri yang tinggal di Irak. Dari Ramin jugalah Gus Dur
mulai belajar menghormati Yudaisme dan memahami pandangan agama
Yahudi serta keprihatinan politik dan sosial orang-orang Yahudi yang
hidup dalam diaspora sebagai kaum minoritas yang selalu disiksa.
98
Akan tetapi bagi Gus Dur, topik yang sangat menarik perhatiannya
bukanlah politik atau filasafat yang dipelajari sebagai sesuatu yang
abstrak, namun bagaimana agar mempunyai sifat manusiawi. Pada waktu
itu, dan kemudian sepanjang hidupnya, ia sangat suka memahami
kepelikan sifat manusia. Sebagaimana yang ia pelajari dalam Wayang
Kulit, yang berisi kisah-kisah mengenai bagaimana menghargai
ambivalensi, maka dalam sastra-sastra besar Eropa ia juga belajar
menghargai kepelikan dan bermacam lapis kelabu yang membentuk sifat
manusia. Cintanya akan kemanusian ini, yang dibinanya lewat sastra
klasik, dilengkapi oleh kegemarannya menonton film. Demikianlah rasa
cinta Gus Dur yang besar akan sastra dan ilmu pada umumnya.
Pluralisme merupakan salah satu komponen dari liberalisme, di
samping komponen yang lain yaitu kebebasan, toleransi, serta persamaan.
Terbentuknya liberalisme Gus Dur tidaklah sulit untuk diidentifikasi, dan
juga tidak mengejutkan bahwa daya tarik Islamisme radikalnya tidak
berumur panjang. Menurut Greg Barton, Pengaruh yang pertama adalah
keluarganya sendiri. Di dalam lingkungan keluarga ini ia dididik untuk
bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu secara intelektual.
Yang kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam tradisional
Indonesia, dan yang ketiga adalah ia dipengaruhi oleh orientasi budaya
masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan
egalitarianisme. Akhirnya ia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan
dipelajarinya karena keduanya memberikan kesempatan kepada dirinya
untuk mencoba mensintesiskan pemikiran Barat modern dengan Islam.
Greg Barton juga menyatakan bahwa, terdapat lima elemen kunci
yang dapat disimpulkan dari pemikiran Abdurrahman Wahid153
: Pertama,
pemikirannya progresif dan bervisi jauh ke depan. baginya, dari pada
terlena oleh kemenangan masa lalu, Gus Dur melihat masa depan dengan
harapan yang pasti, bahwa bagi Islam dan masyarakat Muslim, sesuatu
153
Greg Barton, “Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagamaan” dalam M. Syafi’i
Ma’arif, dkk. Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 124-125
99
yang terbaik pasti akan datang. Kedua, pemikiran Gus Dur sebagian besar
merupakan respons terhadap modernitas; respons dengan penuh percaya
diri dan cerdas. Sembari tetap kritis terhadap kegagalan – kegagalan
masyarakat Barat modern, Gus Dur secara umum bersikap positif terhadap
nilai-nilai inti pemikiran liberal pasca pencerahan, walaupun dia juga
berpendapat hal ini perlu diikatkan pada dasar-dasar teistik.
Ketiga, dia menegaskan bahwa posisi sekularisme yang teistik
yang ditegaskan dalam Pancasila merupakan dasar yang paling mungkin
dan terbaik bagi terbentuknya negara Indonesia modern dengan alasan
posisi non-sektarian Pancasila sangat penting bagi kesejahteraan dan
kejayaan bangsa. Gus Dur menegaskan bahwa ruang yang paling cocok
untuk Islam adalah ruang sipil (civil sphere), bukan ruang politik praktis,
Keempat, Gus Dur mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan
terbuka yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga
harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikiran Gus Dur
mempresentasikan sintesis cerdas pemikiran Islam tradisional, elemen
modernisme Islam, dan kesarjanaan Barat modern, yang berusaha
menghadapi tantangan modernitas baik dengan kejujuran intelektual yang
kuat maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama
Islam.
Dari kelima kunci pemikiran Gus Dur tersebut, terlihat bahwa
fokus utama pemikiran beliau bertumpu pada terciptanya kehidupan yang
damai sesuai dengan cita-cita Islam yang memberi rahmat kepada seluruh
alam dengan menghormati HAM secara penuh, memberi ruang gerak
demokrasi, serta mengembangkan sikap pluralisme, yang kesemuanya itu
merupakan ajaran Islam yang terkandung pada prinsip universal Islam
pada maqashid al-syari’ah.
2. Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid
Salah satu aspek yang paling dapat dipahami dari Abdurrahman
Wahid adalah bahwa Ia sang penyeru pluralisme dan toleransi, pembela
kelompok minoritas, khususnya China Indonesia, juga penganut Kristen
100
dan kelompok-kelompok lain yang tidak diuntungkan. Gus Dur dipahami
sebagai Muslim non-chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan
diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam. Yang secara
luas tidak atau tepatnya kurang diapresiasi adalah bahwa Gus Dur itu
orang yang bangga sebagai seorang Muslim. Dia sangat mencintai
kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri.
Lebih dari itu, Gus Dur adalah tokoh spiritual, figur mistik yang dalam
pandangannya dunia spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat
dirasakan dengan indera manusia.
Dengan memahami berbagai pemikiran Gus Dur yang telah
dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka ide-ide mengenai Konsep
pendidikan pluralisme menurut beliau yaitu:
a. Pendidikan pluralisme Abdurrahman Wahid didasarkan pada
penghormatan yang mendalam terhadap tradisi keilmuan NU, yang
prinsip pluralismenya terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan
mengakui perbedaan sebagai keniscayaan bahwa Allah memang
menciptakan perbedaan itu agar saling mengenal dan menghindari
perpecahan. Konsep pluralisme yang didasarkan pada QS. al-Hujurat
ayat 13, menurut Gus Dur ayat tersebut jelas menunjuk kepada
perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta
antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan
merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang
adalah perpecahan dan keterpisahan.
Beliau tidak mempersamakan keyakinan secara total, karena
masing-masing percaya bahwa akidahnya sendiri adalah benar. Namun
hendaknya kita tetap meyakini kebenaran agama kita sendiri. Kendati
demikian kita harus tetap menciptakan suasana yang harmonis.
Sehingga dipahami bahwa Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan
semua agama sama. Kita semua mengakui dan menyadari bahwa setiap
agama mempunyai ajaran yang berbeda-beda. Tetapi perbedaan
tersebut bukanlah alasan untuk menebarkan konflik dan perpecahan.
101
Perbedaan justru dapat dijadikan sebagai katalisator untuk memahami
anugerah Tuhan yang begitu nyata untuk senantiasa merajut
keharmonisan dan toleransi. Oleh sebab itu, perbedaan dan keragaman
merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Apalagi dalam
perbedaan dan keragaman tersebut tersimpan keistimewaan, yang
mana antara kelompok yang satu dengan kelompok lain bisa saling
mengisi dan menyempurnakan.
b. Tugas Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu
membentuk masyarakat yang mengakui perbedaan sebagai ketentuan
dari Tuhan, serta menjalin kerjasama meskipun berbeda agama.
Abdurrahman Wahid mengembangkan pluralisme dengan bertindak
dan berpikir. Dalam bertindak yaitu hendaknya kita bersikap inklusif,
tidak membatasi pergaulan dengan orang lain, meski berbeda
keyakinan.
Dalam berpikir, bersedia menerima dan mengambil gagasan
atau pemikiran dari kalangan lain. Apa yang muncul paling jelas dalam
pemikiran Gus Dur adalah keyakinan bahwa pandangan religius yang
membentuk dan melahirkan nilai-nilai yang berasal dari Eropa Kristen
dan Yahudi sejajar dalam visi pokoknya dengan pesan Islam. Dengan
kata lain, Gus Dur seperti intelektual progresif lainnya di Indonesia,
tidak mempermasalahkan hubungan antara Islam dan Barat. Walaupun
tidak menolak adanya perbedaan penting antara keduanya, Gus Dur
berargumentasi dengan efektif bahwa arah dan perhatian utama tradisi
Judeo, Kristen dan Islam sangat dekat bila dicari sistem nilainya yang
paling utama.
Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama
antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang
menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan
kerjasama itu tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek
kehidupan, apabila ada dialog antaragama
102
c. Fungsi Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu
sebagai wadah untuk Mengembangkan rasa saling pengertian yang
tulus dan berkelanjutan terhadap umat beragama lain, bukan sekedar
saling menghormati serta tenggang rasa, tetapi yang diperlukan adalah
rasa saling memiliki .
Sebenarnya istilah toleransi jauh terlalu lemah untuk
mendeskripsikan sikap Gus Dur. Gus Dur tanpa sedikitpun
memperlemah keyakinan Islaminya, sepenuhnya menerima keberadaan
umat beragama lain. toleransi, keterbukaan, ketenangan berhadapan
dengan agama-agama lain, itu agak unik pada Gus Dur. seakan-akan Ia
begitu mantap dalam keislamannya sehingga dengan gampang dapat
berbesar hati pada agama-agama lain. Gus Dur sering dianggap terlalu
dekat dengan kaum minoritas dan kritis pada agamanya sendiri. tetapi
argumen itu lebih merupakan tanda kekerdilan mereka yang
mengajukannya. Dengan demikian, Gus Dur adalah seorang
humanis154
yakin dalam arti yang sebenar-benarnya; Ia akan selalu
membela yang lemah, tertindas, minoritas, dan Ia tidak akan tunduk
terhadap prasangka-prasangka.
d. Tujuan Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid
berorientasi pada terciptanya kerjasama anhtar pemeluk agama yang
berbeda serta menghindari perpecahan, agar terwujud kehidupan yang
harmonis dan sejahtera.
e. Mengenai penerapan Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman
Wahid yaitu dengan menanamkan pendidikan nilai-nilai toleransi sejak
dini dan berkelanjutan terhadap anak didik dari mulai kecil sampai
perguruan tinggi. Upaya ini sangat efektif untuk menginternalisasi
nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik. Perbedaan agama di
antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa bergaul
dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama pada peserta didik
154
Seperti ketika menjelang wafatnya, Gus Dur berpesan agar batu nisan di makamnya
kelak ditulis “di sini telah dikubur seorang humanis”.
103
yang berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan
menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing
sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain.
Cara paling efektif untuk menumbuhkan sikap pluralisme yaitu
berangkat dari penerimaan secara terbuka terhadap pluralisme
makanan. Keragaman menu makanan di Indonesia bisa diterima oleh
semua kalangan, demikian pula seharusnya pluralisme bangsa ini.
Gus Dur sangat yakin bahwa Islam adalah keyakinan yang
menebar kasih sayang, yang secara mendasar toleran dan menghargai
perbedaan. Bagi Gus Dur, Islam adalah keyakinan yang egaliter,
keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan yang
tidak adil karena alasan ras, suku, kelas, gender, atau pengelompokan-
pengelompokan lainnya dalam masyarakat.
Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam
pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara. Bagian dari
keyakinan mendasar Gus Dur adalah bahwa nilai-nilai yang mendasari
demokrasi dan liberalisme adalah nilai-nilai universal. Kemudian Ia
berargumentasi bahwa prinsip-prinsip itu dapat diterapkan di Timur
sebagaimana di Barat. Kendati demikian, Ia menolak argumentasi yang
terlalu menyederhanakan, yaitu bahwa hal ini karena Islam adalah
sumber asli pemikiran, nilai-nilai, dan ide-ide. Bahkan Gus Dur
menganggap pandangan ini apologetik saja. Gus Dur lebih lanjut
menegaskan bahwa prinsip-prinsip mendasar yang berasal dari
pencerahan duduk setara dengan pesan utama Islam.
C. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Ditinjau
dari Pendidikan Islam
1. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Prinsip Pendidikan Pluralisme
Menurut Gus Dur, Prinsip pluralisme harus dilihat dalam konteks
manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme peradaban Islam, ajaran
moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah
104
jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat (maqashid
al-syari’ah), meliputi; keselamatan fisik warga masyarakat (hifdzu al-
nafs), keselamatan keyakinan agama masing-masing (hifdzu al-din),
keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl), keselamatan harta
benda dan milik pribadi (hifdzu al-mal), dan keselamatan hak milik dan
profesi (hifdzu al-milk). Kesemuanya itu merupakan konsep yang
dijadikan Gus Dur sebagai prinsip Universal Islam.155
Demikian juga jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama
masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan
antarwarga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang
akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling
pengertian yang besar. Terlepas dari kentalnya perjalanan sejarah dengan
penindasan, kesempitan pandangan, dan kedzaliman terhadap kelompok
minoritas yang berbeda keyakinan atau agama dari keyakinan mayoritas,
sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah
bagian inherent dari kehidupan manusia.
Jaminan akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral
yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun
dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin.
Karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, maka tidak boleh
dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan
yang ada. Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang
memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi.
Jaminan dasar atas keselamatan harta-benda merupakan sarana
bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proporsional,
dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat
dapat menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara
kolektif atas masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan
kewajiban itu ada batas tejauhnya, dan warga masyarakat secara
155
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 4-5
105
perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari
batas-batas tersebut.
Jaminan dasar atas keselamatan profesi menampilkan sosok lain
lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan
penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas
resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan
yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut
profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap
dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam alur
umum kehidupan masyarakat.
Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan
universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan
berdasarkan hukum, persamaan derajat, dan sikap tenggang rasa terhadap
perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan dan dengan
demikian menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun, sejauh ini
semua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik (atau bahkan
mungkin hanya moralitas belaka) yang tidak berfungsi tanpa didukung
oleh kosmopolitanisme peradaban Islam.
Watak kosmopolitanisme dari peradaban Islam itu sesungguhnya
telah tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai
dengan cara-cara Nabi Muhammad saw. mengatur pengorganisasian
masyarakat Madinah hingga munculnya ensiklopedis Muslim awal pada
abad ketiga Hijriyah, memantulkan proses saling menyerap dengan
peradaban-peradaban lain di sekitar Islam pada waktu itu. Yaitu mulai dari
sisa-sisa peradaban Yunani Kuno yang berupa hellenisme hingga
peradaban Anak Benua India.
Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah
unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnik, kuatnya pluralitas budaya,
heterogenitas politik, dan bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan
106
yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik156 selama
berabad-abad.
Kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik
optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif
kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat termasuk
mereka yang non-Muslim. Kosmopolitanisme seperti itu adalah
kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat
mengambil inisiatif untuk mancari wawasan terjauh dari keharusan
berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian
sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan
ditemukan, situasi cair yang memaksa universalime ajaran Islam untuk
terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata. Namun
demikian, proses tersebut bukannya nyata dalam postulat-postulat
spekulatif belaka.
2. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid
Ditinjau dari Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani-rohani
berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran Islam.157 Pendidikan Islam juga mempunyai
pengertian sebagai suatu proses edukatif yang mengarah kepada
pembentukan akhlak atau kepribadian.158 Dari penjelasan tersebut,
diketahui bahwa pendidikan pluralisme Abdurrahman Wahid yang
mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik
sejak dini yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling
pengertian dan saling memiliki terhadap umat agama lain itu sesuai
dengan konsep pendidikan Islam yang selalu berorientasi pada
terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur.
156
Sikap berfilsafat yang bersifat memilih atau seleksi dari berbagai sumber untuk
membangun pemikiran filsafat sendiri. 157
Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 23 158
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 4
107
Dasar yang menjadi acuan Pendidikan Islam merupakan sumber
nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik ke
arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu dasar yang terpenting dari
Pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW.159 kedua dasar
itulah yang dijadikan Abdurrahman Wahid sebagai landasan pemikiran
dan tindakannya.
Menurut beliau, dalam mencapai taraf hidup yang sejahtera, Islam
mengajarkan umatnya agar senantiasa bekerjasama dalam hal muamalat
tak hanya dengan umat Muslim saja. Seperti yang telah dijelaskan dalam
ajaran agama bahwa umat Islam hendaknya saling tolong menolong dalam
hal kebaikan dan taqwa (wa ta’āwanū ’ala al-birri wa al-taqwā, QS.al-
Maidah:2), juga anjuran untuk berlomba dalam kebaikan (fastabiqu al-
khairāt, QS. al-Baqarah: 148). Dalam mengakui perbedaan antara laki-laki
dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa di bumi ini, menurut Gus
Dur hal itu sebagai keniscayaan bahwa Allah memang menciptakan
perbedaan itu agar saling mengenal dan menghindari perpecahan. Dalam
al-Qur’an juga dijelaskan bahwa kita semua diperintahkan untuk
berpegang teguh pada tali Allah, dan dilarang untuk bercerai berai (QS.
Ali Imran: 103).
Pada ayat yang lain misalnya, dalam menjelaskan QS. al-Baqarah:
120 yang artinya: “Dan orang-orang Yahudi dan Kristen tidak akan rela
kepadamu, hingga engkau mengikuti kebenaran/aqidah mereka. Gus Dur
memandang bahwa selama Nabi Muhammad saw. masih berkeyakinan;
Tuhan adalah Allah, dan Beliau sendiri adalah utusan Allah swt. selama itu
pula orang-orang Yahudi dan Kristen tidak dapat menerima (berarti tidak
rela) kepada keyakinan/aqidah tersebut. Sama halnya dengan sikap kaum
Muslimin sendiri. Selama orang Kristen yakin bahwa Yesus adalah anak
Tuhan dan orang Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan
159
Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2005), Cet. V, hlm. 34
108
Tuhan, maka selama itu pula kaum Muslimin tidak akan rela kepada kedua
agama tersebut. Dalam arti tidak menerima ajaran mereka.
Gus Dur menjelaskan bahwa jika kita bersikap demikian, hal itu
sebenarnya wajar-wajar saja, karena menyangkut penerimaan keyakinan.
Tetapi hal itu tidak menghalangi para pemeluk ketiga agama itu untuk
bekerjasama dalam hal muamalat, yaitu memperbaiki nasib bersama dalam
mencapai kesejahteraan materi. Mereka dapat bekerjasama untuk
mengatur kesejahteraan materi tersebut dengan menggunakan ajaran
masing-masing.160
Amal perbuatan kaum Muslimin yang ikhlas kepada agama mereka
memiliki sebuah nilai lebih. hal itu dinyatakan sendiri oleh QS. Ali Imran:
85: “Dan orang yang menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan
diterima amal perbuatannya di akhirat. dan ia adalah orang yang merugi”.
dari Kitab suci ini dapat diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal
perbuatan seorang non-Muslim, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari kita
tidak boleh memandang rendah kerja siapapun.
Sebenarnya pengertian kata diterima di akhirat berkaitan dengan
keyakinan agama dan dengan keyakinan demikian memiliki kualitas
tersendiri. sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu tidak tersangkut
dengan keyakinan agama, melainkan secara teknis membawa manfaat bagi
manusia lain. jadi manfaat dari setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari
keyakinan agama dan sesuatu yang secara teknis memiliki kegunaan bagi
manusia diakui oleh Islam. Namun dimensi penerimaan dari sudut
keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. pengislaman perbuatan kita
justru tidak tergantung dari nilai-perbuatan teknis semata, karena antara
dunia dan akhirat memiliki dua dimensi yang berbeda satu dari yang lain.
Dengan demikian, dasar pendidikan Islam itulah yang juga menjadi
dasar pemikiran pendidikan pluralisme Abdurrahman wahid, sehingga
sangatlah relevan. Pemikiran mengenai sikap saling memahami dan
160
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute,
2002), hlm. 135
109
menghargai memang diajarkan dalam setiap agama. Islam dengan jelas
menempatkan toleransi sebagai ajaran penting yang diwakili idiom al-
irham (QS. An Nisa’: 1) dan al-ta’aruf (QS. Al Hujurat: 13) yang berarti
silaturrahmi dan saling mengenal. Demikian pula lafadz ‘amalunā
‘amalukum dapat ditafsirkan sebagai asas penghargaan terhadap wilayah
keunikan setiap agama. Sejarah berbicara bahwa Rasulullah telah
menanamkan sikap tasamuh pada masyarakat Makkah dan Madinah untuk
hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan Nasrani.161
Ditinjau dari segi tugas pendidikan Islam yaitu membimbing dan
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke
tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal,162
maka
langkah beliau dalam merumuskan pendidikan pluralisme yaitu bahwa
untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik harus dilakukan
sejak dini dan berkelanjutan mulai dari kecil sampai perguruan tinggi
sehingga akan tercapai tugas tersebut yang menjadikan peserta didik
mampu membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu
melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga
akan mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki
perbedaan maupun kesamaan cita-cita.
Dari segi fungsi pendidikan Islam yaitu menyediakan fasilitas yang
dapat memungkinkan tugas pendidikan agar berjalan dengan lancar163
,
hendaknya mampu menjadi wahana mempererat persaudaraan di antara
masyarakat beragama, mengantarkan peserta didik memiliki cara pandang
inklusif, peduli terhadap sesama manusia yang sama-sama ciptaan Tuhan.
161
Hal tersebut sesuai dengan pembahasan dalam Seminar internasional pertama tentang
pendidikan antar-agama (interfaith education) yang diselenggarakan UIN Jakarta secara resmi
ditutup Presiden RI di Istana Negara tanggal 4 Februari 2005 lalu. Konferensi yang berlangsung
tiga hari ini terbilang cukup prestisius. Mayoritas pembicara kunci (keynote speakers) datang dari
sejumlah negara dengan beragam latar belakang keyakinan agama seperti Islam, Kristen, Budha,
Hindu, Kong Hu Cu, serta Taoisme. dan Gus Dur merupakan salah satu pembicara yang mewakili
Indonesia. Lihat: http://rohmatmulyana.blogspot.com/2006/11/issue-pendidikan-antar-agama.html 162
Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, loc. cit. 163
Ibid
110
Sementara itu, pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman
Wahid jika ditinjau dari segi Tujuan Pendidikan Islam164, memiliki tujuan
yang sama, yaitu bertujuan menjadikan manusia sebagai hamba Allah
yang bertakwa, mengantarkannya menjadi khalifatullah fi al-ardl yang
mampu memakmurkannya, dan memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan
hidup di dunia sampai akhirat. Hal tersebut akan tercapai jika ada upaya
untuk menjalankan amanat sebagai khalifatullah fi al-ardl dengan cara
senantiasa menciptakan kedamaian bagi sesama makhluk Tuhan,
mengembangkan rasa saling pengertian yang tulus terhadap umat
beragama lain, bukan sekedar saling menghormati serta tenggang rasa,
tetapi yang diperlukan adalah rasa saling memiliki.
Dalam pembahasan mengenai kurikulum pendidikan Islam, maka
kurikulum yang sesuai bagi masyarakat Indonesia yang majemuk yaitu
kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang
demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi
untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi muda yang tidak hanya
pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana
demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.165
Selain itu, perlu kiranya memperhatikan kurikulum sebagai proses.
Ada empat hal yang perlu diperhatikan guru dalam mengembangkan
kurikulum sebagai proses ini, yaitu; (a) posisi siswa sebagai subjek dalam
belajar, (b) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang
budayanya, (c) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa
adalah entry behaviour kultur siswa, (d) lingkungan budaya siswa adalah
sumber belajar. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan
seharusnya mencakup subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang
164 Menurut Prof. Achmadi, tujuan tertinggi/terakhir Pendidikan Islam, yaitu menjadi
hamba Allah yang bertakwa, mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fi al-ardl yang mampu memakmurkannya, dan memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai
akhirat. Lihat, Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 95
165 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka,
2005), hlm. 99
111
perbedaan ethno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian
konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan
universal dan subjek-subjek lain yang relevan.166
Salah satu cara paling efektif menerapkan kurikulum yang dapat
menunjang proses belajar siswa menjadi manusia yang demokratis,
pluralis artinya peserta didik dapat menerima dan mampu
mengembangkan pluralisme dengan kesadaran diri, menurut Abdurrahman
Wahid, hendaknya peserta didik mampu belajar dari penerimaan secara
terbuka terhadap pluralisme makanan. Siapapun yang memahami realitas
keragaman masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh
pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan
semakin kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya
merupakan unsur kekuatan, bukan unsur ancaman. Makanan yang begitu
banyak aneka ragamnya telah menjadi fakta bahwa pluralisme atau
kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang harus didayagunakan untuk
kemajuan bangsa.
D. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid dalam Konteks
Keindonesiaan
1. Indonesia Adalah Negara Pancasila, Bukan Negara Islam
Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri dari
bermacam-macam etnis, bahasa, suku, ras, agama, dan kepercayaan yang
saling berinteraksi secara harmonis. Semuanya memiliki kesadaran
berbangsa dan cinta tanah air dengan ditunjukkannya semangat membela
Negara dan mempertahankan Kesatuan Negara Republik Indonesia dari
pihak-pihak penjajah sampai titik darah penghabisan. Tak hanya suku
Jawa yang berjuang dan tak hanya umat Muslim yang
mempertahankannya, namun semua komponen bangsa, bukan segelintir
pihak. Sehingga upaya untuk menerapkan formalisasi, syari’atisasi
maupun ideologisasi Islam pada Negara merupakan hal yang mustahil.
166
Ibid
112
Gus Dur dengan tegas menolak pembentukan Negara Islam bagi
Indonesia, sikap tersebut didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai
jalan hidup tidak memiliki konsep yang jelas tentang Negara. Dasar yang
dipakai beliau adalah: Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang
jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan. Itu terbukti ketika
wafatnya Nabi Muhammad saw., dan digantikan Abu Bakar melalui bai’at
oleh kepala suku dan wakil-wakil kelompok umat pada waktu itu.
Sedangkan Abu Bakar sebelum wafat menyatakan kepada kaum Muslimin,
hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat menggantikan posisinya.
Berarti sistem yang dipakai adalah penunjukan. Sementara Umar
menjelang wafat meminta agar penggantinya ditunjuk melalui dewan ahli
yang terdiri dari tujuh orang. Lalu terpilihlah Usman bin Affan.
Selanjutnya Usman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu Abu
Sufyan juga telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali.
Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau sistem
marga yang menurunkan calon-calon raja dan sultan dalam sejarah Islam.
Kedua, besarnya Negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tak
jelas ukurannya. Nabi Muhammad saw. meninggalkan Madinah tanpa ada
kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin. Tidak ada
kejelasan, misalnya Negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia
dalam konteks Negara-bangsa ataukah hanya Negara kota. Acuan inilah
yang dipegang Gus Dur sebagai prinsip untuk menolak dijadikannya
Indonesia sebagai Negara Islam.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak zaman Kerajaan
Majapahit telah membuktikan adanya pluralisme. Para pendiri Indonesia
juga telah mewariskan nilai-nilai utama dalam membangun kehidupan
bangsa yang majemuk. Mereka mampu menempatkan antara agama dan
nasionalisme secara seimbang. Sikap dan perjuangan Gus Dur membela
pluralisme tidak datang seketika. Ia memahami sejarah kebangsaan dan
ke-NU-an dengan cermat, sebelum akhirnya memilih jalan itu. Tokoh-
tokoh NU sejak sebelum kemerdekaan, KH. Hasyim Asy’ari dan KH.
113
Wahab Hasbullah, telah memikirkan bagaimana menempatkan Islam agar
dapat berfungsi dalam Indonesia yang majemuk serta menjadikan Islam
hidup berdampingan dengan agama lain.
Pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU telah
memutuskan bahwa Hindia Belanda (nama Indonesia waktu itu) tidak
memerlukan Islam sebagai ideologi negara. Namun, umat Islam tetap
wajib membela negaranya meskipun negaranya tidak berbentuk negara
Islam. Keputusan ini pulalah yang membuat NU mengakui Pancasila dan
UUD 1945 saat ormas-ormas Islam lain masih memperdebatkannya. UUD
1945 dan Pancasila yang memberikan jaminan atas pluralisme juga banyak
mengandung nilai Islam, seperti mewujudkan kesejahteraan bersama serta
menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Sering kali Gus Dur mengutip atau bahkan mendasarkan
tindakannya sesuai dengan kaidah ushul fiqih, menanggapi keadaan atau
situasi bangsa. Dalam soal kepemimpinan, misalnya, Gus Dur sering
mengutip kaidah ushul, tasharrafu al imām ’alā al-ra’iyyah, manūthun bi
al-mashlahah (kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya, bergantung pada
kemaslahatan atau kesejahteraan). Dalam soal pembaruan, Gus Dur juga
memakai kaidah ushul al-muhāfadzatu ’ala al-qadim al-shālih, wa al-
akhdu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi terdahulu yang baik, dan
menerima sesuatu yang baru, yang lebih baik). Artinya, sikap pluralisme
Gus Dur sudah terbangun sejak kecil dan menerapkannya pada era
modern. Apa yang selama ini dipahami sebagai tradisi, Gus Dur
mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih bermakna.
Sebelum dipimpin Gus Dur, citra NU yang menonjol adalah
sebagai organisasi Islam yang eksklusif dari pengaruh pemikiran
kontemporer yang berkembang, konservatif dalam pemahaman
keagamaan, dan fundamentalis dalam memperjuangkan nilai-nilai
kebenaran yang diyakininya. hanya dalam tiga periode kepemimpinannya,
dia berhasil mengubah citra NU menjadi inklusif, modern, dan moderat.
114
Semangat itu pula yang menginspirasinya untuk menjadikan
Indonesia yang sejahtera dengan kemajemukan warganya. UUD 1945
telah menjamin hak hidup dan kemerdekaan untuk menganut keyakinan
dan mengungkapkan pendapat. Ini harus dipertahankan mati-matian apa
pun resikonya, Dalam hidup berbangsa, umat Islam perlu saling
mengembangkan dialog dan kerja sama dengan umat agama lain. Hanya
dengan dialog dan kerja sama inilah yang akan membuat umat Islam terus
belajar dan mampu hidup berdampingan dengan umat lain. Kondisi ini
menempatkan Islam bukan sebagai alternatif, tetapi sebagai bagian dari
masyarakat dan bangsa.
2. Memperjuangkan Penegakan Demokrasi, HAM, dan Pluralisme di
Indonesia
Bagi kalangan minoritas, Gus Dur dianggap sebagai pembela
utama eksistensi mereka. Masyarakat Papua, etnis Tionghoa, atau umat
Nasrani menganggap Gus Dur sebagai pembela di tengah tantangan dan
ancaman politis masyarakat atau negara. Ia mengatakan bahwa pembelaan
terhadap kelompok minoritas bukan perjuangan mudah. Oleh karena itu,
nasib kelompok minoritas yang selama ini tersisih harus terus
diperjuangkan sesuai dengan amanat UUD 1945.
Menurut Gus Dur, pemerintah tidak perlu melihat segala tuntutan
kelompok minoritas hanya dari kacamata politis. Jika segala tindakan
kelompok minoritas dipandang sebagai gerakan politis, berarti negara telah
kehilangan penghargaan atas keragaman yang dibangunnya sendiri.
Pluralisme Indonesia merupakan yang paling kuat dibandingkan negara
lain. Karena itu, perbedaan itu tidak perlu dipolitisasi. Kegigihannya
membela pluralisme inilah yang membuat Gus Dur pada dianugerahi
Medals of Valor dari The Simon Wiesenthal Center di Amerika Serikat. Ia
dinilai gigih memperjuangkan moderasi dalam Islam dan membangun
dialog dengan agama-agama lain dan turut menciptakan perdamaian dunia.
Gus Dur adalah orang yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya.
dan prinsip-prinsip ini berakar pada pemahamannya terhadap Islam yang
115
liberal, yaitu pemahamannya yang menekankan pada rahmat,
pengampunan, kasih sayang Tuhan dan keharusan kita untuk mengikuti
sifat-sifat ini dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan
beragama. Gus Dur sudah lama dikenal sebagai pembela kaum yang
lemah, dan selama berpuluh-puluh tahun Ia adalah orang yang terus
terang, sering mempertaruhkan reputasi personal yang cukup besar, dalam
membela kelompok yang orang lain enggan membelanya. dan
komitmennya pada toleransi, keterbukaan, kasih sayang dan pembebasan
dalam hubungan antar-komunal maupun antar-iman ini merupakan salah
satu identitas Gus Dur dalam memandang kehidupan publik baik politik
maupun religius.
Gus Dur adalah sosok pemimpin sejati yang selalu memayungi dan
mengayomi semua golongan tanpa melihat perbedaan ras, agama,
kepercayaan dan profesi. Gus Dur selalu melindungi dan mengayomi hak-
hak minoritas dari kesewenang-wenangan mayoritas di Indonesia.
Perjuangan beliau Tak hanya pada konsep pemikiran belaka, namun
langkah konkret beliau lakukan dalam mewujudkan masyarakat berbangsa
yang adil dan harmonis. Sehingga beliau layak disebut sebagai Bapak
Pluralisme, Bapak Demokrasi, serta Pejuang HAM.
m. Bapak Pluralisme
Perjuangan konkrit Gus Dur misalnya, Ketika banyak
kelompok menghujat dan berusaha menyingkirkan kelompok lain yang
dianggap sesat dengan cara-cara kekerasan dan penistaan seperti yang
sering dialami jamaah Ahmadiyah, Gus Dur selalu tampil sebagai
pembelanya. Bukan berarti Gus Dur setuju dengan keyakinan
Ahmadiyah itu, tetapi Ia sangat menghormati keyakinan seseorang. Ia
juga ingin menunjukkan cara memahami dan menghayati agama secara
dewasa, penuh kearifan dan kebijaksanaan. Tidak semata-mata
pemahaman agama yang berdasarkan pengetahuan dan sisi
normatifnya saja. Ia berpegang pada ajaran sang Kiai bahwa boleh saja
kita memandang keyakinan orang lain atau agama orang itu dianggap
116
sesat, tetapi hal itu tidak dengan sendirinya menjadi boleh bagi kita
untuk melarangnya atau melenyapkannya.
Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok dan etnis Tionghoa
dibuktikan secara nyata. Saat Ia menjadi Presiden, hari raya Imlek bisa
diperingati dan dirayakan dengan bebas. Warga Tionghoa tidak perlu
lagi harus sembunyi-sembunyi jika merayakannya.
Karena sebelumnya para warga keturunan Tionghoa harus
mengganti namanya menjadi nama pribumi, tidak boleh mendirikan
sekolah, dilarang mendirikan surat kabar atau majalah yang berbahasa
Mandarin, dan yang lebih parah lagi bahwa mereka dilarang beragama
Konghucu.
Beliau berpandangan bahwa Indonesia dari latar belakang
sejarahnya terbentuk oleh orang yang mempunyai asal-usul berbeda-
beda secara bersama-sama mendirikan Negara ini, termasuk warga
keturunan Tionghoa. Sehingga segala bentuk diskriminasi kepada
masyarakat Tionghoa sangat bertentangan dengan nilai perjuangan
pembentukan bangsa ini.
n. Pejuang Demokrasi
Gus Dur juga dikenal sebagai pejuang demokrasi yang sangat
gigih. Karena itu, pada Maret 1991 Gus Dur bersama para koleganya
mendirikan Forum Demokrasi. Tujuan utamanya adalah untuk
memperjuangkan tegaknya demokrasi di Indonesia baik pada level
kelembagaan maupun kesadaran masyarakat. Namun secara khusus
berdirinya forum demokrasi dilatarbelakangi oleh dua peristiwa
penting di Republik ini. Pertama, kasus Monitor pada bulan Oktober
1990, di mana tabloid tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan
Islam gara-gara sebuah surveinya yang menyinggung perasaan umat
Islam. Menurut Gus Dur, kasus monitor menunjukkan bahwa
kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi isu-isu agama untuk
mengedepankan kepentingan mereka.
117
Kedua, berdirinya ICMI pada Desember 1990. Menurut Gus
Dur, ICMI merupkan alat eksploitasi politik terhadap agama yang
mengutamakan kepentingan kelompok eksklusif yang sempit di atas
kepentingan nasional. ICMI akan mengaliansikan non-Muslim dan
memperburuk pembelahan dan salah paham yang sudah kuat dalam
masyarakat Indonesia selama ini antara kelompok keagamaan,
kesukuan dan budaya yang berbeda.
o. Pejuang HAM
Apresiasi Gus Dur terhadap HAM bukan hanya dalam konsep
saja, Gus Dur menyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus
tertentu yang menyangkut hak-hak kaum minoritas, penghormatan
terhadap non-Muslim. Ia tanpa ragu membela Ulil Abshar Abdalla,
seorang intelektual muda NU yang juga tokoh muda “Islam Liberal”
yang mengemukakan Liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama
sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi yang sangat jauh,
misalnya anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan kemerdekaan
berpikir seorang santri demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan
asas-asas keyakinannya sendiri akan kebenaran Islam. Itulah sebabnya
mengapa demikian besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini.
Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta aktifis Islam tertentu
menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu
Ia layak dihukum mati
Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah
keniscayaan dalam Islam. Tentu saja Ia percaya akan batas-batas
kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna
kecuali kehadirat Tuhan. Selama Ia percaya ayat 88 QS. al-Qashas
yang berbunyi: “Segala sesuatu akan musnah kecuali Dzat Allah”.
Serta yakin akan kebenaran kalimat tauhid, maka Ia adalah seorang
Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat
mengubah kenyataan ini. seorang Muslim yang menyatakan bahwa
Ulil anti Muslim, akan terkena sabda Nabi Muhammad saw. ”Barang
118
siapa yang mengkafirkan saudaranya yang beragama Islam, justeru
ialah yang kafir”.
Disadari atau tidak, bahwa hanya dengan cara menemukan
pemikiran seperti itu, barulah islam dapat berhadapan dengan
tantangan sekularisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita
masih mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka
dalam media khalayak. Bukankah para ulama’ di masa lampau cukup
bijaksana untuk memperkenalkan perbedaan-perbedaan pemikiran
seperti itu? Berpijak pada adagium seperti “Perbedaan pandangan di
kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat.”
Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan
sederhana ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis
Ulama’, dan Seniman karena goyang ngebornya dianggap melanggar
batas-batas kesusilaan umum. Mereka menggunakan justifikasi fatwa-
fatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Di
tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran
kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan
Gus Dur didasarkan pada melindungi Hak Asasi wong cilik dari
hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak
represif.
Dari pandangan dan impressinya terhadap HAM itu, jelas
bahwa Gus Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sendiri dalam
memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai HAM. Gus Dur
menginginkan agar Islam memberikan kesempatan lebih luas kepada
semua orang untuk berkarya tanpa dibatasi oleh apapun, seperti
identitas politik dan etnik.
Islam bagi Gus Dur, mencapai titik kemajuan tertinggi justru
ketika seluruh ekspresi dan karya cipta orang perorang dan kelompok
diberi hak hidup yang sama betapapun menyimpangnya atau dianggap
bid’ah. Islam juga memberikan kesempatan kepada siapapun untuk
terlibat langsung dalam pemajuan islam itu sendiri. Merespon balik
119
dengan cara menulis atau menciptakan karya sebanding adalah satu-
satunya cara yang diperbolehkan jika seseorang atau kelompok tidak
menyetujuinya. Situasi seperti itulah ketika Islam mencapai titik
tertinggi. Dan itulah cita-cita kebangkitan Islam.167
3. Solusi Bagi Permasalahan Kemajemukan di Indonesia
Pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang
tumbuh, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang
mendalam antara beraneka ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah,
bahasa ibu, dan kebudayaannya. kalaupun tidak terjadi salah pengertian
mendasar antara unsur-unsur itu, paling tidak tentu saling pengertian yang
tercapai barulah bersifat nominal belaka.
Pola hubungan harmonis seperti itu dengan sendirinya tidak
memiliki daya tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang
dari perkembangan politik, ekonomi, dan budaya. Kerukunan yang ada
hanyalah kondisi yang rapuh. Sudah tentu kedamaian yang terselenggara
sekedar sikap bertetangga baik, tanpa rasa senasib dan sepenanggungan di
antara orang yang merasa sesama bersaudara.
Dari uraian tersebut, menjadi nyata bagi kita bahwa masalah pokok
dalam hal hubungan antarumat beragama adalah pengembangan rasa
saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita akan menjadi bangsa
yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti
satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang diperlukan
adalah rasa saling memiliki, bukannya hanya saling bertenggang rasa satu
terhadap yang lain.168
Memang mayoritas bangsa kita yang Notabene beragama Islam,
masih dicekam oleh kemiskinan dan kebodohan sehingga mudah dirayu
untuk berpindah agama secara murahan. kondisi logis dari kenyataan itu
sebenarnya adalah keharusan bagi gerakan Islam untuk memajukan umat
167
Abdurrahman Wahid, op. cit., hlm. 145 168 Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan
Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas, 1999), Cet. II, hlm. 15
120
mereka. ini berarti para pemimpin Islam di segenap tingkatan harus
menutup mata terhadap semua ekses yang terjadi dalam kehidupan
beragama di negeri ini. harus ada langkah-langkah untuk menangani dan
mencegah terulangnya ekses-ekses itu, termasuk cara penyebaran agama
terlalu agresif, yang dilakukan oleh sementara kelompok penganut agama
dari golongan minoritas. Namun cara penanganan dan penangkalan
haruslah dilakukan dengan bijaksana, tanpa harus melakukan generalisasi
terhadap semua warga umat dari agama tersebut.
121
BAB V
PENUTUP
D. Simpulan
Berdasarkan uraian dan analisis tentang pendidikan pluralisme
menurut Abdurrahman Wahid yang ditinjau dari sudut pandang pendidikan
Islam, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Abdurrahman Wahid Konsep Pendidikan pluralisme merupakan
suatu pendidikan untuk menerima perbedaan sebagai sunnatullah agar
saling mengenal, menghindari perpecahan, mengembangkan kerjasama
dengan menanamkan rasa saling pengertian, saling memiliki dan bersikap
inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan siapapun, namun tetap
meyakini kebenaran agama sendiri dengan tidak mempersamakan
keyakinan secara total.
2. Dalam perspektif pendidikan Islam, pemikiran Abdurrahman Wahid
tentang Pendidikan pluralisme memiliki keserasian yaitu berorientasi pada
terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur dengan berdasarkan al-
Qur’an dan al-Hadits, serta mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai
toleransi pada peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan
mengembangkan rasa saling pengertian dan memiliki terhadap umat
agama lain.
E. Saran dan Penutup
Hendaknya para subjek pendidikan, baik pemikir, tokoh maupun
pelaksana lapangan dapat menjadikan pendidikan pluralisme sebagai
pendidikan untuk mengembangkan sikap pluralisme pada peserta didik di era
sekarang ini. Pendidikan Islam yang berorientasi pada perbaikan tingkah laku
peserta didik sangatlah perlu untuk segera menerapkan ajaran-ajaran Islam
yang toleran melalui kurikulum pendidikannya dengan tujuan pada
pemahaman serta upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan
budaya di tengah kehidupan berbangsa dalam konteks Indonesia yang plural
122
ini, baik secara individual maupun secara kelompok dan tidak terjebak pada
primordialisme dan eksklusifisme kelompok agama dan budaya yang sempit.
Demikian pula, hendaknya semua elemen masyarakat termasuk
pemerintah ikut serta berperan aktif dalam meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia dan menggalakkan pendidikan pluralisme mencakup berbagai aspek
seperti politik, sosial, ekonomi dan budaya yang mendukung terwujudnya
tatanan pendidikan yang bermutu dan berkualitas, sehingga kemajemukan
bangsa Indonesia bukanlah ancaman, namun akan menjadi kekuatan dengan
sumber daya yang mampu bersaing di tengah globalisasi.
Puji syukur ke hadirat Allah SWT., berkat rahmat, ridha dan inayah-
Nya, dan dengan didasari ketulusan hati serta kesungguhan, akhirnya skripsi
ini dapat terselesaikan. diakui bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentunya
masih banyak kekurangan sehingga jauh dari kesempurnaan, untuk itu demi
perbaikan skripsi ini serta demi kesempurnaan dalam penelitian selanjutnya,
saran kritik yang konstruktif dari para pembaca sangat diharapkan.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada
semua pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan moril maupun
materiil sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Teriring do’a
semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis pribadi serta kepada para
pembaca pada umumnya. hanya kepada Allah SWT. penulis memohon
limpahan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya. Amin ya rabb al-’alamin.
Wa Allahu a’lam bi al-shawab.
123
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Ahmad, Munawar, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta:
LKiS, 2010)
Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2005)
Al Ash Shieddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir al-Qur’anul Majid an
Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II
Arifin M., Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjaun Teoritis dan Praksis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994)
Aziz, Ahmad Amir, Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral
Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta, Rineka Cipta,
1999)
Bakhtiar, A. Nur Alam, 99 Keistimewaan Gus Dur, (Jakarta: Kultural, 2008)
Barton, Greg, Biografi Gus Dur, terj. (Yogyakarta: LKiS, 2008)
___________, “Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagamaan” dalam M.
Syafi’i Ma’arif, dkk. Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000)
Bekker, Anton dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990)
Chafsoh, Zannuba Arrifah, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”, Suara
Merdeka, Semarang, 20 Februari 2011
Dawam, Ainurrofiq, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan
Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta:
Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003)
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al Huda
Kelompok Gema Insani, 2002)
_____________________, Al Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda
Kelompok Gema Insani,2005)
Dhakiri, M. Hanif, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010)
124
Dj, Fauzan, “Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama”, Suara Merdeka,
Semarang, 20 Februari 2011
Faqih, Maman Imanulhaq, Fatwa dan Canda Gus Dur, (Jakarta: Kompas, 2010)
Hadjar, Ibnu, Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996)
Haikal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta:
Litera Antar Nusa, 2008)
Hanafi, Hassan, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
Jendela, 2001)
Hakim, Abdul Dubbun, “Islam, Inklusivisme, Dan Kosmopolitanisme”, dalam
Abdul Dubbun Hakim, Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan
yang Membebaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2006)
Ichtijanto, “Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup Beragama”, dalam Prof.
Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat
Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005)
Iskandar, A. Muhaimin, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur,
(Yogyakarta, LKiS, 2010)
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
Jilid II
___________________, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
Jilid VII
Komaruddin, Kamus Research, (Bandung: Angkasa, 1984)
Marimba, Ahmad D., Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif, 1989)
Ma’arif, Syamsul, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung
Pustaka, 2005)
______________, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme,
(Semarang: Nedd’s Press, 2008),
Mudzhar, Atho, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan
Tantangan ke Depan (Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho
125
Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Beragama, 2005)
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu, Kualitatif & Kuantitatif untuk Pengembangan
Ilmu dan Penelitian, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006)
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana,
2006)
Mulkhan, Abdul Munir, “Humanisasi Pendidikan Islam”, dalam Hamami Zada, et.
Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 11 tahun 2001
___________________, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002)
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan
Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010)
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009)
___________, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005)
Ng, Zastrouw, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pernyataan Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999)
Nazir, Moh., Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005)
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola, 1994)
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga
Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2004)
Rachman, Budhi Munawwar-, Islam Pluralis, Wacana Kesetaran Kaum Beriman,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
Rahim, Husni , Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos,
2001)
Rahman, Fazlur, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000)
Ramage, Douglas E., Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS,
2010)
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994)
126
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2009)
Roziqin, Badiatul, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-
Nusantara, 2009)
Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami
Zada (ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta:
LAKPESDAM)
Sanaky, Hujair AH., Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat
Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003)
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999)
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1
________________, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 3
________________, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 12
________________, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 13
Shofan, Moh., Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh
Muhammadiyah, (Jogjakarta: LSAF, 2008)
___________., Pendidikan Berparadigma Profetik, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2004)
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Sumaryono, E., Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1999)
Syari’, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema
Insani, 2007)
Thoha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogya: Pustaka Pelajar, 1996)
Tilaar, HAR., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002)
127
Wahid, Abdurrahman, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama,”
dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed), Passing Over:
Melintas Batas Agama, (Jakarta: Paramadina, 1998)
__________________, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan
Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas,
1999)
__________________, “Hubungan antar-Agama, Dimensi Internal dan
Eksternalnya di Indonesia” dalam Adurrahman Wahid, dkk., Dialog:
Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993)
__________________, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007)
__________________, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid
Institute, 2002)
__________________, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010)
Mukhsin Abdurrahman, Pendidikan Pluralisme-Multikultural,
http://mukhsinblog.blogspot.com/ 2010/06 pendidikan-pluralisme-
multikultural.html
Asrori, Mohib, Islam dan Pendidikan Pluralisme
http://gurutrenggalek.blogspot.com/2010/05/islam-danpendidikan-
pluralisme.html
Biografi Abdurrahman Wahid,
http://kumpulanmakalahdanartikelpendidikan.blogspot.com/2011/02/abdur
rahman-wahid.htmlAbdurrahman Wahid
Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur, Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis,
http://wahidinstitute.org
Fathurrohman, Wiwit, Biografi Gus Dur,
http://wiwitfatur.wordpress.com/2009/04/21/biografi-abdurrahman-wahid/
http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-abdurrahman-wahid-
biografi.html
http://rohmatmulyana.blogspot.com/2006/11/issue-pendidikan-antar-agama.html
128
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
1. Nama : Achmad Mustholih
2. Tempat & Tgl. Lahir : Demak, 27 Agustus 1988
3. Nomor Induk Mahasiswa : 063111064
4. Alamat Rumah : Berahan Wetan RT 03/III Wedung-Demak
Jawa Tengah
HP : 085640016271
E-mail : [email protected]
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal:
a. SDN Berahan Wetan I, Wedung-Demak lulus tahun 2000
b. MTs Raudlatut Thalibin Bungo, Wedung-Demak lulus tahun 2003
c. SMU Raudlatut Thalibin Bungo, Wedung-Demak lulus tahun 2006
d. IAIN Walisongo Semarang Fak. Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama
Islam (angkatan 2006) lulus tahun 2011
2. Pendidikan Non-Formal:
a. Madrasah Diniyah dan Wustho Nurul Burhan, Berahan Wetan,
Wedung, Demak
b. Ponpes. Raudlatut Thalibin, Tugurejo-Tugu-Kota Semarang Tahun
2006
Yang menyatakan,
Achmad Mustholih