konsep muntaj tsaqafy dalam studi al-qur’an nashr hamid
TRANSCRIPT
Vol. 1, No. 1 Juli 2016
Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi
al-Qur’an Nashr Hamid
Muhammad Syamsul Arifin Universitas Darussalam Gontor, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Contemporary Quranic studies have become popular amongst Muslim scholars
in the world by using new methods. Among them is Nasr Hamid Abu Zayd, the
professor of Arabic literature from Egypt. He is famous for his concept of the Qur’an
Muntaj Thaqafi (cultural products) and the Qur’an Muntij Thaqafi (cultural producers).
His concept begins with historicism phenomenologys in understanding the process of
revelation of the Qur’an. The impact of this is that, the holy text and meaning of the
Qur’an as verbum dei (Kalâmullah) is changed to mere cultural products, it means the
text of the Qur’an formed by it’s interaction with the socio-culture, that it was revealed
in for 20 years. This paper will provide an explanation of what the concept of Nasr
Hamid’s genealogy.
Keywords: Muntaj Thaqafi, Muntij Thaqafi, Hermeneutics, Historicism.
Abstrak
Studi al-Qur’an kontemporer kian diminati dan menjadi tren dikalangan
akademisi Muslim di dunia dengan membawakan metode-metode baru dalam
kajiannya. Diantaranya adalah Nashr Hamid Abu Zaid, professor sastra Arab dari
Mesir. Dia terkenal dengan konsepnya al-Qur’an muntaj tsaqafi (produk budaya) dan al-
Qur’an muntij tsaqafi (produsen budaya). Konsep yang digagasnya dimulai dengan
penggunaan pendekatan historisisme dalam memahami proses wahyu al-Qur’an.
Dampaknya, sakralitas teks dan makna al-Qur’an sebagai verbum dei (Kalâmullah)
terdekonstruksi menjadi sebatas ‘produk budaya’ artinya teks al-Qur’an terbentuk
dalam interaksinya dengan sosial-budaya dimana ia diturunkan selama 20 tahun.
Makalah yang sederhana ini akan memberikan penjelasan apa geneologi konsep Nashr
Hamid.
Kata Kunci: Muntaj Tsaqafi, Muntij Tsaqafi, Hermeneutika, Historisisme.
Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Jl. Raya SimanPonorogo, telp (0352) 483762,
Fax. (0352) 488182
DOI: http://dx.doi.org/10.21111/studiquran.v1i1.....
Jurnal STUDIA QURANIKA
Pendahuluan onsep wahyu al-Qur’an dalam pandangan Islam merupakan
satu hal yang transenden. Pada waktu selama 14 abad ke
belakang, tidak ada satu Rasul yang diutus setelah Muhammad
saw, maka dalam memahami fenomena wahyu kita merujuk kepada
laporan otentik dari Rasulullah saw, atau para Sahabahnya yang
mengikuti kehidupan beliau.1 Kemudian konsep wahyu al-Qur’an telah
menjadi epistemologi yang mapan dalam tafsir al-Qur’an yang terikat
dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw.2 Hal ini diperkuat
oleh dalil naqli tentang tugas Rasulullah saw untuk menjelaskan apa
yang telah diturunkan oleh Allah swt agar manusia berpikir (QS. Al-
Nahl 16/ 44).3
Kemapanan konsep wahyu al-Qur’an dicoba untuk didekonstruksi
dengan pendekatan historisisme.4 Aliran historisisme percaya, bahwa
proses pemahaman yang memadai tentang sifat dasar ‘sesuatu’, dan
penilaian paripurna tentang nilai ‘sesuatu’ itu harus dicapai dengan
mempertimbangkan dimana ia bertempat, dan apa peranannya dalam
proses perkembangannya.5 Oleh karena itu, jika historisisme
diaplikasikan dalam studi al-Qur’an, maka akan berimplikasi pada
dekonstruksi posisi al-Qur’an sebagai wahyu menjadi sebatas ‘teks-teks
biasa’ karena tidak lepas dari lingkaran sejarah yang mengelililnginya,
padahal kaum Muslimin mengimani, bahwa pengertian wahyu dalam
1 M. Musthafa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an: dari Wahyu Sampai Kompilasi: Kajian
Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Jakarta: Gema Insani, 2014,
hal. 45. 2 Adnin Armas, Tafsir al-Qur’an atau Hermeneutika al-Qur’an, Islamia, tahun 1 no
1/Muharram 1425/Maret 2004. hal. 39. 3 M. Musthafa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an: dari Wahyu Sampai Kompilasi: Kajian
Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, hal. 51. 4 Historisisme adalah suatu pandangan yang berasumsi bahwa segala sesuatu yang terjadi
hari ini lahir dari perkembangan sejarah. Lihat, Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafi, Beirut:
Dar al-Kutub Libanani, vol. 1, 1982, hal. 229. 5 Teks aslinya: ‚Historicism in the belief that an adequate understanding of the nature of anything
and an adequate assessment of its value are to be gained by considering it in terms of the place it
occupied and the roles it played within a process of development.‛ Lihat, Donald, M Borchert,
Encyclopedia of Philosophy, USA: Thompson Gale, 2006, hal. 392.
K
74 | Muhammad Syamsul Arifin
Vol. 1, No. 1 Juli 2016
al-Qur’an mencakup lafadz dan maknanya sekaligus.6 Kemudian ketika
kajian al-Qur’an melepaskan posisinya sebagai ‚Kalâmullah‛ (verbum
dei), maka akan diperlakukan hanya sekedar ‘teks bahasa’ (nash lughawi)
dan ‘produk budaya’ (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang telah dilakukan
oleh Nashr Hamid Abu Zayd yang kemudian hermeneutika liberal
memungkinkan untuk digunakan dalam penafsiran al-Qur’an.7 Dampak
yang paling nyata dari dua konsep di atas adalah sikap skeptis dan
relatif terhadap otentisitas dan sakralitas al-Qur’an.
Pada hakikatnya, hermeneutika merupakan prinsip umum dalam
interpretasi Bibel yang bertujuan mengungkap kebenaran dan nilai di
dalamnya.8 Bagi umat Kristiani, realitas teks Bibel memang
membutuhkan hermeneutika untuk sebuah penafsiran.9 Para hermeneut
dapat mengkritisi teks Bibel mencakup kondisi penulis Bibel, kondisi
historis, dan makna literal satu teks Bibel. Perbedaan realitas antara teks
Bibel dan al-Qur’an membawa konsekuensi perbedaan metodologi
penafsiran. Oleh karena itu, metode historis dan analisis penulis tidak
6 Henri Shalahuddin, Kredibilitas Ilmu Tafsir dalam Menegakkan Konsep Wahyu al-Qur’an,
Islamia, vol. 6, No. 1 2012. hal. 25. 7 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal,
Jakarta: Gema Insani, 2005, hal. 314. 8 Encyclopedia of Britannica, USA, 1998, hal. 874. 9 Hermeneutika dibutuhkan untuk mengungkap nilai Bibel karena mereka memiliki
sejumlah masalah dengan teks-teks Kitab Suci mereka, yakni: 1) adanya perbedaan
pengarang yang menyebabkan Bible tidak bisa dinyatakan Kalam Tuhan (the Word of
God) secara literal, 2) Bibel yang kini ditulis dan dibaca bukan dengan bahasa asalnya,
yaitu Hebrew. Sedangkan pada Perjanjian Baru adalah Greek, dan Nabi Isa a.s. berbicara
dengan bahasa Aramaic. Bibel ini kemudian diterjemahkan secara keseluruhan dalam
bahasa Latin, lantas bahasa- bahasa Eropa, 3) keraguan tentang orisinalitas teks Bibel
oleh para ahli di bidang itu sejak dari awal karena tidak adanya bukti materiil teks-teks
yang paling awal, 4) tidak adanya laporan perihal interpretasi yang dapat diterima
umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’, dan 5) tidak ada sekelompok
manusia yang menghafal teks- teks yang hilang itu. Kelima masalah ini tidak terdapat
dalam Islam dan Kitab Sucinya al-Qur’an. Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan
Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah, Islamia, Tahun I No. 1 Muharram 1425/ Maret 2004, hal. 61.
Lihat pula, Ugi Sugiharto, Apakah al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika?, Islamia Tahun I
No. 1 Muharram 1425/ Maret 2004, hal. 48. Lihat pula, Adian Husaini & Abdurrahman
al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, cet. 2, 2008,
hal. 43.
Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 75
Jurnal STUDIA QURANIKA
dapat diaplikasikan kepada al-Qur’an yang merupakan teks wahyu atau
tanzil dari Allah swt.10
Menanggapi problematika di atas, tulisan ini akan memaparkan
beberapa hal penting, yakni latar belakang pemikiran Nashr Hamid Abu
Zayd, serta bagaimana infiltrasi historisisme dalam konsep muntaj tsaqafi
dan mekanisme interpretasi al-Qur’an yang ditawarkan. Hal ini
bertujuan untuk menelaah dan menunjukkan inkoherensi
(ketidakselarasan)11 konsep muntaj tsaqafi ketika disubordinasikan
kepada al-Qur’an yang berdampak hermeneutis berupa historisitas al-
Qur’an.
Latar Belakang Pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd Pemikiran tentang pembacaan kontemporer Nashr Hamid Abu
Zayd12 dilatar belakangi oleh pengamatan atas fenomena gerakan
keagamaan (zahîrah wa harakah al-madd al-dîn),13 di Mesir pertengahan
abad 20. Saat itu, pergerakan keagamaan di Mesir secara garis besar
terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu institusi keagamaan resmi negara
(ittijah al-muassasah al-rasmiyyah li al-daulah), yang diwakili oleh al-Azhar.
Kedua, pendekatan Islam Kiri (al-yasar al-islami) yang dikembangkan oleh
Hasan Hanafi, khususnya yang tertuang dalam opus magnumnya ‚Min al-
10 Adian Husaini & Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, hal. 16. 11 Merriam Webster, Webster’s Seventh New Collegiate Dictionary Based Webster’s Third
International Dictionary, Massachusetts, USA: Merriam Company Publisher, 1961, hal. 424. 12 Nashr Hamid Rizk Abu Zayd dilahirkan di desa Qohafa dekat kota Thanta Mesir pada
10 Juli 1943. Nashr kecil mulai belajar menulis kemudian menghafal al-Qur’an di Kuttâb
ketika berusia empat tahun, dan karena kecerdasannya dia mampu menghafal al-Qur’an
pada usia delapan tahun. Nashr menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di
Thanta. Minatnya pada sastra nampak pada usia dua puluh satu tahun lewat tulisan-
tulisannya yang dipublikasikan pada 1964 di jurnal al-Adab pimpinan Amin al-Khulli
dan di sinilah awal hubungan intelektual keduanya. Nashr menyelesaikan pendidikan S1
sampai S3 pada jurusan Sastra Arab di Universitas Kairo. Pada tahun 1978-1980 ia
pernah tinggal di Amerika karena memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di
Institute of Middle Eastern Studies, University of Pensylvania, Philadelpia, USA. Lihat,
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid
Abu Zayd, Jakarta: Teraju, cet. 1, 2003, hal. 16-17. Dia meninggal setelah diserang virus
tak dikenal diusianya ke 67 pada 5 Juli 2010 di Rumah Sakit Spesialis Syeikh Zayd
beberapa minggu setelah kunjungannya ke Indonesia. 13 Nashr Hamid, Naqd al-Khithâb al-Din, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, cet. 3, 2007,
hal. 7-9.
76 | Muhammad Syamsul Arifin
Vol. 1, No. 1 Juli 2016
‘Aqîdah ila al-Tsaurah,‛ (Dari Aqidah Menuju Revolusi). Ketiga, golongan
pencerah (al-tanwiriyyûn), atau yang kerap dijuluki sebagai golongan
sekuler (al-‘ilmaniyyûn). Menurutnya, setiap fenomena dan gerakan
tersebut memiliki karakteristik dan pendekatan tersendiri dalam
interpretasi dan utilisasi al-Qur’an.
Pengamatan di atas menghasilkan asumsi, bahwa pembacaan teks-
teks keagamaan hingga saat itu belum mencapai titik obyektif-ilmiah
(‘ilmi maudhû’).14 Menurutnya, pembacaan teks saat ini masih terinfitrasi
oleh unsur mitos (usthûrah), khurafat, dan interpretasi literal yang
mengatasnamakan agama. Untuk mewujudkan interpretasi yang
objektif-ilmiah dan menghindari unsur mitos dalam pembacaan teks
keagaman. Nashr Hamid menawarkan dua metode pembacaan. Pertama,
interpretasi rasional, yang merupakan corak pendekatan interpretasi
yang dilakukan oleh golongan pencerah (sekuler) dimana interpretasi
didasarkan pada realitas dan pemahaman secara ilmiah terhadap
agama.
Kedua, menekankan kesadaran15 ilmiah (wa’y ‘ilmiy) terhadap turats
Islam.16 Menurutnya, hal ini adalah tantangan bagi umat, yakni
bagaimana kita menyadari secara ilmiah terhadap turats, dasar-dasar
apa yang membentuknya, dan faktor-faktor apa saja yang ikut andil
dalam gerak dan perkembangannya hingga sampai ke tangan kita.
Dalam mewujudkannya diperlukan keberanian seseorang untuk
melontarkan satu permasalahan dan mencari jawaban yang tepat
dengan menyadari, bahwa turats kita telah menjadi sejarah dan harus
dihindari untuk mencari satu kebenaran yang relatif secara kultural
bukan substansial.17
14 Nashr Hamid, Naqd al-Khithâb al-Din, hal. 8. 15 Kesadaran diartikan sebagai aktifitas dan efektifitas yang terus berkembang dan tidak
mengenal bentuk kemapanan. Lihat, Nashr Hamid, Al-Khitthâb wa al-Ta’wîl, Beirut: al-
Markaz al-Tsawafi al-‘Arabi, cet. 3, 2008, hal. 16. 16 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhûm Nash: Dirâsah fi ’Ulûm al-Qur’ân, hal. 10. 17 Dua tujuan dalam metode ini, yakni: 1) merajut kembali hubungan studi al-Qur’an
dengan studi sastra, dan studi kritik setelah terpisah dalam kesadaran modern akibat
dari banyak faktor yang memisahkan antara muatan turats dengan metodologi
pembelajaran ilmiah, dan 2) karena teks al-Qur’an adalah teks Islam, maka tujuan yang
kedua adalah usaha untuk mendefinisikan konsep ‚Islam‛ secara objektif, yakni
Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 77
Jurnal STUDIA QURANIKA
Kesadaran ilmiah yang ditekankan oleh Nashr Hamid sebagai
pendekatan kajian keagamaan ternyata adalah buah dari ideologi lain.
Konsep ini tidak lain terinspirasi oleh kesadaran historis (historical
consciousness) Wilhem Dilthey, yakni kesadaran akan relatifitas dari
realita dan fenomena sejarah yang menggiring pembaca untuk bersikap
kritis akan posisinya dan berusaha keras untuk mendapatkan
pemahaman yang objektif. Implikasi konsep ini adalah menisbikan
(relatifisasi) nilai-nilai agama dan mengedepankan realitas untuk
berkuasa atas pemaknaan teks. Dengan demikian, nilai-nilai atau
hukum-hukum yang sudah qath’i dan tsawabit, terbuka kemungkinan
untuk berubah menjadi dhanni dan mutaghayyirah.18
Dalam bukunya ‚Naqd al-Khitthab al-Dîn,‛ Nashr Hamid
memaparkan urgensitas interpretasi rasional dan realistis. Menurutnya,
pemikiran manusia termasuk pemikiran keagamaan (tafsir para Ulama)
adalah produk alami yang lahir dari sebuah kondisi global historis dan
realitas sosial pada zamannya.19 Semua pemikiran termasuk pemikiran
keagamaan haruslah tunduk pada hukum-hukum berpikir. Hukum ini
mengatur gerak pemikiran manusia, yaitu tidak berasumsi bahwa objek
pemikiran agama bersifat sakral dan mutlak. Berdasarkan hal ini, Nashr
Hamid mendikotomikan makna agama dan pemikiran keagaman.
Agama diartikan sebagai antologi teks-teks suci yang tetap secara
historis. Sedangkan pemikiran keagamaan adalah, produk ijtihad
manusia untuk memahami teks-teks suci tersebut berdasarkan zaman,
tempat, dan kondisi sosial-historis-geografis suatu daerah.
Dengan demikian, Nashr Hamid setidaknya terperangkap dalam
dua hal. Pertama, lemahnya pendapat mereka yang sudah tentu
terpengaruh oleh ideologi, metodologi, dan pemikiran lain yang telah
usang, tetapi masih diyakini finalitasnya dan tidak berubah. Kedua,
perihal pemikiran agama, dalam hal ini pengakuan tafsir tradisional
mereka tidak mampu menejalaskan fakta beberapa Muslim brilian
mengatasi tesis-tesis ideologis dari berbagai kekuatan sosial dan politik dalam realita
Arab Islam. Lihat, Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhûm Nash: Dirâsah fi ‘Ulûm al-Qur’ân, hal.
18-20. 18 Henry Shalahuddin, al-Qur’an Dihujat, hal. 122. 19 Nashr Hamid, Naqd al-Khitthâb, hal. 195.
78 | Muhammad Syamsul Arifin
Vol. 1, No. 1 Juli 2016
masih berpegang pada penafsiran tradisional, seperti Imam al-Ghazali
pada hampir seribu tahun yang lalu dan masih dapat
mempertahankannya. Meskipun di situ jelas berbeda dalam kondisi
politik, ekonomi, sosial dan budayanya. Hal yang serupa juga terjadi
pada pemikir Kristen modern, seperti Etienne Gilson yang masih
berpegang pada pendapat yang sama yang pernah dianut oleh Thomas
Aquinas.20
Konsep Muntaj Tsaqafi dan Infiltrasi Historisisme Nashr Hamid dalam pandangannya berkenaan dengan sifat dasar
teks al-Qur’an, menyatakan bahwa al-Qur’an adalah teks bahasa (nash
lughawi), teks manusiawi (nash insani), produk budaya (muntaj tsaqafi),
dan teks historis (nash tarikhi).21 Pernyataan tersebut berdasarkan fakta,
bahwa teks muncul bersama struktur budaya tertentu, dan telah
sempurna sesuai dengan hukum budaya tersebut, yang di dalamnya
terdapat sistem penandaan pusat (central signifying system). Asal-usul
keilahiahan teks tidak mengingkari sifat dasarnya sebagai ‘teks bahasa’
yang terikat oleh ruang dan waktu dalam sosial dan historis tertentu.
Artinya, al-Qur’an hanyalah satu teks yang tunduk pada pemahaman
dan interpretasi, sedangkan Kalam Ilahi (divine word) berada di luar
pengetahuan manusia.22
Dari sekian pandangan Nashr Hamid tentang sifat dasar teks al-
Qur’an, tulisan ini fokus pada konsep muntaj tsaqafi. Kata muntaj tsaqafi
merupakan kata majemuk gabungan dari dua suku kata, yaitu muntaj
dan tsaqafi. Arti leksikal kata muntaj dari akar kata nataja adalah
melahirkan atau keluar dan telah menjadi sesuatu (produk).23
20 Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta’wil sebagai Metode Ilmiah, Islamia, Tahun I No. 1
Muharram 1425/ Maret 2004, hal. 61. 21 Korelasi antar konsep ini adalah hasil analisa Andreas Meier yang telah mempelajari
buku Mafhûm al-Nash karya Nashr Hamid. Lihat, Yusuf Rahman, The Hermeneutical
Theory of Nashr Hamid Abu Zayd: An Analytical Study of His Method of Interpreting of the
Qur’an, Montreal: Mc Gill University, 2001, hal. 145. 22 Nashr Hamid, Naqd al-Khitthâb, hal. 51. 23 Abu al-Husain ahmad bin Faris bin Zakaria bin Muhammad bin Habib al-Razi al-
Lughawi, Maqâyis al-Lughah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, vol. 5, 1999, hal. 386. Lihat
juga, Fr. Louis Ma’luf al-Yasui’, Al-Munjîd fi al-Lughah wa al-Adab wa al-‘Ulûm, Beirut:
Mathba’ah Kathulikiyyah, cet. 19, 1908, hal. 788.
Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 79
Jurnal STUDIA QURANIKA
Sedangkan kata tsaqafi merupakan nisbat berupa kata sifat (adjektif) bagi
kata muntaj berasal dari kata tsaqafa atau tsaqafah artinya menguasai atas
ilmu, pengetahuan, dan kesenian24. Singkatnya, secara bahasa, kata
muntaj tsaqafi berarti produk budaya atau produk ilmu pengetahuan dan
seni.
Secara terminologi, terma muntaj tsaqafi bersumsi bahwa al-Qur’an
merupakan ‘produk budaya’ karena terbentuk dalam interaksinya
dengan realitas sosial dan budaya yang melingkupinya selama lebih dari
20 tahun, fase ini disebut sebagai fase ‘keterbentukan’ (marhalah al-
takawwun wa al-tasyakkul), yang kemudian menjadi produsen budaya
baru (muntij tsaqafi), pada fase ‘pembentukan’ (marhalah al-takwîn dan al-
tasyakul) karena menjadi teks yang hegemonik dan rujukan bagi teks-
teks keagamaan yang lain.25 Selama proses panjang itu terjadi, pasti
dialektika sosial dan budaya dalam masyarakat sebagai realitas yang
menentukan bagaimana teks itu kemudian berbicara.26
Konsepsi al-Qur’an muntaj tsaqafi senantiasa dikaitkan dengan
Jazirah Arab dimana ia diturunkan. Oleh karena itu, al-Qur’an
diwahyukan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar
makna yang terkandung dalam teks ketuhanan dan tidak bisa dilepaskan
dari peradaban Arab. Pada hakikatnya, dengan konsepnya ini, Nashr
Hamid ingin menyatakan bahwa al-Qur’an yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad yang hidup di Arab dengan segala budaya dan
tradisinya, lazimnya al-Qur’an telah masuk dalam wilayah sejarah
manusia, dan satu keniscayaan bagi al-Qur’an untuk memakai struktur
tata bahasa dan budaya Arab untuk menyampaikan risalah Nabi
Muhammad.27
Dari penjelasan di atas, nampak jelas konsep Nashr Hamid tentang
hubungan dialektis antara teks al-Qur’an dan realitas sosial-historis
24 Syauqi Dhaif, Mu’jam al-Wasîth, Mesir: Maktabah Syurouq al-Dauliyyah, vol. 1,, 2011,
hal. 98. Lihat pula, Fr. Louis Ma’luf al-Yasui’, Al-Munjîd fi al-Lughah wa al-Adab wa al-
‘Ulûm, hal. 71. 25 Nashr Hamid, Mafhûm Nash, hal. 24. 26 Budhy Munawwar Rachman, Argumen Islam Untuk Liberalisme: Islam Progresif dan
Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo, 2010, hal. 84-85. 27 Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, Sleman: eLSAQ, 2005,
hal. 101-102.
80 | Muhammad Syamsul Arifin
Vol. 1, No. 1 Juli 2016
dalam studi al-Qur’an yang digagasnya.28 Akhirnya, karena realitas
budaya tidak bisa dipisahkan dengan bahasa maka dengan sendirinya
al-Qur’an merupakan teks bahasa (nash lughawi).29 Menghubungkan
secara dialektis antara teks al-Qur’an dan realitas budaya manusia yang
berkembang pesat merupakan hal yang urgen. Jika hal ini tidak
dilakukan, maka teks al-Qur’an akan menjadi teks mati dan tidak berarti
dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur’an hanya akan
menjadi bacaan dogmatis, tetapi visi transformatif dan kemanusiaan al-
Qur’an akan hilang begitu saja.30
Dari hubungan dialektis antara teks al-Qur’an dan realitas sosial
budaya mengakomodasi penggunaan metode linguistik ditunjang
dengan metode kritik sejarah (historical critism) dalam interpretasi al-
Qur’an. Artinya, epistemologi yang digunakan dalam mengkaji al-
Qur’an berpijak pada keterkaitannya yang bersifat dialektis dengan
realitas sosial budaya. Implikasi metode ini berbeda dengan yang
digunakan para Ulama yang umumnya bersifat teosentris. Sehingga,
interpretasi model ini bisa lebih objektif, tidak a-historis dan bebas dari
ideologi dan kepentingan tertentu.31
Namun demikian, konsekuensi logis dari metode di atas adalah
‘profanisasi’ teks al-Qur’an yang tidak lepas dari realitas dan budaya
dimana al-Qur’an diturunkan. Menurut Nashr Hamid, hal ini telah
terjadi sejak awal diturunkannya al-Qur’an atau diwahyukan kepada
Nabi Muhammad saw, dia telah berubah dari proses tanzîl menjadi
takwîl. Seperti yang diungkapkannya dalam bukunya Naqd al-Khitthab al-
Dîn:
‚Sesungguhnya al-Qur’an yang menjadi poros pembicaraan kita sampai saat ini
adalah teks keagamaan yang tetap (tsâbit, fixed) dari sisi lafadznya, namun dari
sisi saat berintraksi dengan akal manusia dan menjadi sebuah ‘konsep/ konteks,’
maka hilanglah sifat ketetapannya. Kemudian teks yang tetap itu bergeser
menjadi makna ragam. Karena sesungguhnya sifat yang tetap itu adalah bagian
28 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, Gontor: CIOS
Unida, 2010, hal. 5. 29 Nashr Hamid, Mafhûm Nash, hal. 10-18. 30 Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagaman Liberatif, Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2004, hal. 91-92. 31 Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagaman Liberatif, hal. 26.
Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 81
Jurnal STUDIA QURANIKA
dari sifat absolut yang sakral. Namun secara manusiawi dia adalah relatif dan
berubah. Maka al-Qur’an adalah teks (nash) yang sakral secara ‘tekstual’
(manthûq), kemudian menjadi ‘kontekstual’ (mafhûm) sebab sifat relatifitas dan
perubahan tersebut, atau dari sudut pandang manusia berubah menjadi ‘teks
manusiawi’ ‚yataannas‛ (termanusiakan). Jadi, patut kita tekankan bahwa
kedudukan teks mentah dan sakral adalah wujudnya yang metafisis yang tidak
kita ketahui sedikitpun tentangnya, melainkan apa yang telah disebutkan oleh
teks tentangnya. Kemudian hendaknya kita memahaminya dari sudut pandang
manusia yang berubah dan relatif. Teks al-Qur’an sejak waktu pertama turun
sampai saat dibaca oleh Nabi dalam proses turunnya wahyu, telah bergeser dari
eksistensinya sebagai ‘teks Ilahi’ menjadi satu pemahaman (teks manusiawi)
karena telah berubah dari proses tanzîl menjadi takwîl. Setelah teks al-Qur’an
disamakan dengan teks manusia (nash insaniy).‛32
Pernyataan di atas, menunjukkan bahwa Nashr Hamid
membedakan al-Qur’an yang ‘termanusiakan’ (yata’annas) dengan ‘teks
mentah’ yang sakral dan berwujud metafisis. Pandangan ini merupakan
paham dualisme para filosof seperti Cristian Wolff. Sebagaimana yang
dikutip Hamid Fahmi, dualisme menurut Wolff adalah pengakuan
terhadap dua eksistensi dan substansi materi dan immateri sekaligus.33
Namun demikian, pandangan ini telah terbantahkan secara eksplisit
oleh Ibnu Jarir al-Thabari yang menafsirkan surat Yunus 10/ 108: ‚al haqq
min rabbikum‛ kata ‘haqq’ tersebut bermakna ‚al-Qur’an.‛34 Jadi, al-
Qur’an yang ada di tangan kita (textus receptus) adalah yang sakral dan
berwujud (fisik) bukan yang metafisis, seperti pendapat Nashr Hamid.
Menurut Imron, pernyataan Abu Zaid bahwa al-Qur’an adalah
produk budaya tentu tidak terlepas dari latar belakangnya sebagai
seorang sastrawan. Sehingga, ada kemungkinan teori-teori sastra yang ia
pelajari berpengaruh terhadap pemikiran-pemikirannya. Jika ditelusuri,
anggapan bahwa teks al-Qur’an adalah produk budaya sebenarnya
32 Nashr Hamid, Naqd al-Khitthâb, hal. 99-100. 33 Teks aslinya: ‚The dualist (dualistae) are those who admit the existence of both material and
immaterial substances‛. Lihat, Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi Tentang
Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSIST, 2012, hal. 76-77. 34 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsîr al-Thabary Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wîl ay
al-Qur’ân, Tahqiq. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki, Kairo: Markaz al-Buhuts wa al-
Dirasat al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah, cet. 1, vol. 12, 2001, hal. 305.
82 | Muhammad Syamsul Arifin
Vol. 1, No. 1 Juli 2016
diambil dari teori kritik sastra.35 Sosiologi sastra memandang, bahwa
karya sastra dihasilkan melalui antar hubungan bermakna, yaitu subjek
kreator dan masyarakat. Teori ini memandang karya sastra sebagai
bagian dari masyarakat, yaitu sebagai dokumen sosial. Seorang
pengarang tidak mungkin menciptakan suatu karya tanpa realitas yang
melatar belakanginya. Oleh karena itu, karya sastra adalah produk
masyarakat tertentu. Mungkin inilah teori sastra yang mempengaruhi
Abu Zaid, sehingga ia menyimpulkan bahwa al-Qur’an adalah produk
budaya.36
Konsep al-Qur’an sebagai produk budaya ini dikritisi oleh
Muhammad Imarah yang dinilainya hanya berpijak pada kerangka
materialisme dialektis Marxis. Dalam analisa dialektika-materialistis,
nilai-nilai sosial yang terdapat dalam masyarakat tidak dapat
dipisahkan dari fakta-fakta sosial.37 Teori ini sesuai dengan ungkapan
Abu Zaid ketika menyatakan, bahwa terbentuknya al-Qur’an tidak bisa
terlepas dari fakta-fakta sosial yang ada ketika itu. Selain itu, dalam
pandangan Marxisme, alam materi dan realitas adalah dua fondasi dasar
yang digunakan pikiran untuk membentuk, mengeluarkan, dan
memproduksi segala hal, seperti konsep, nilai, teori, agama, dan tidak
ada sumber bagi pemikiran di luar realitas, atau bersimpangan dengan
alam materi.38 Demikian juga dengan Abu Zaid yang menyatakan,
bahwa realitaslah yang menjadi dasar (pemahaman al-Qur’an), dan
tidak mungkin untuk diabaikan. Melalui realitaslah teks menjadi, dan
dari bahasa serta budayalah metodologinya dibentuk. Menyia-nyiakan
realitas demi teks agama yang kaku dan konstan, baik makna dan
dilâlah-nya, akan mengubahnya menjadi mitos.39
35 Kritiks sastra adalah bidang ilmu yang mencakup semua persoalan yang timbul
sehubungan dengan teks sendiri, termasuk pengarang, konteks sejarah dan pelbagai
aspek bahasa dan isi teks. Lihat, John H. Hayes & Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran
al-Kitab, Terj. Pndt. Ioanes Rakhmat, Jakarta: Gunung Mulia, 2006, hal. 86. 36 Ali Imron, Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits,
Yogyakarta: elSAQ, 2010, hal. 124. 37 George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian,
Terj. Nurhadi, Bantul: Kreasi Wacana, 2011, hal. 19. 38 Muhammad Imarah, Al-Tafsîr al-Marxisi li al-Islâm, Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 2, 2002, hal.
49. 39 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitâb al-Din, hal. 106-107.
Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 83
Jurnal STUDIA QURANIKA
Konsep muntaj tsaqafi merupakan salah satu unsur bagi Nashr
Hamid untuk membangun teori hermeneutikanya. Selain itu, dia juga
menyatakan bahwa al-Qur’an hanyalah sebuah teks (nash) meskipun
tidak ditulis apa definisinya secara eksplisit.40 Dalam bukunya Mafhûm
Nash, teks ia definisikan sebagai ‚makna (dalâlah) dan memerlukan
pemahaman, penjelasan, dan interpretasi.‛ Sedangkan Mushaf (buku)
tidaklah demikian, karena telah bertransformasi menjadi ‘sesuatu,’ baik
satu karya estetik (tastakhdimûh li al-zînah) atau untuk mendapatkan
berkah Tuhan.41 Pembagian ini sama persis dengan distingsi Roland
Bather antara ‘teks’ (text) dan ‘karya’ (work) dengan prinsip ‚The work is
held in the hand, the text in language‛.
Teori tekstualitas al-Qur’an ini kemudian dikembangkan oleh
Nashr Hamid dengan mengkorelasikannya dengan bahasa, budaya dan
historis. Konsekuensinya adalah menghilangkan ‘dimensi ke-
Ilahiahannya’ (divine dimension) dari kajiannya, dan teks al-Qur’an telah
menjadi teks manusia dan disamakan dengan teks-teks budaya lain
dalam kajiannya.42 Dalam konteks ini, penggunaan analisa wacana43
(discourse analysis) dan semiotika telah menjadi satu keniscayaan.44
Untuk melancarkan konsep tekstualitasnya, Nashr Hamid
mendekonstruksi konsep wahyu ilahiyyah dalam proses turunnya al-
Qur’an. Nashr Hamid membaginya ke dalam dua proses yaitu tanzîl dan
takwîl. Pertama, proses tanzîl yaitu Allah menurunkan al-Qur’an kepada
malaikat Jibril (tahap vertikal) dalam bentuk teks non-bahasa.45 Konsep
‘menurunkan’ atau tanzîl disini dipahami sebagai menurunkan dari
Allah kepada manusia lewat dua perantara, malaikat Jibril dan
Muhammad saw, yang berbentuk manusia. Dengan demikian dapat
40 Moch. Nur Ichwan, A New Horizon, hal. 46. 41 Nashr Hamid, Mafhûm Nash, hal. 13. 42 Nashr Hamid, Naqd al-Khithab, hal. 208. 43 Analisis wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari linguistik formal yang
lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat
keterkaitan di antara unsur tersebut. Analisis wacana merupakan kebalikan dari
linguistik formal, justru memusatkan perhatian pada level di atas kalimat seperti
hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Lihat,
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Bantul: LkiS, 2001, hal. 3. 44 Moch Nur Ichwan, A New Horizon, hal. 48. 45 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, hal. 8.
84 | Muhammad Syamsul Arifin
Vol. 1, No. 1 Juli 2016
disimpulkan, bahwa teks al-Qur’an dalam tahap ini masih berupa
‘makna’ atau ‘non-bahasa’.
Kedua, setelah teks sampai kepada Nabi Muhammad saw,
dimulailah proses takwîl. Nabi Muhammad dalam proses ini berperan
menyampaikan teks al-Qur’an yang masih ‚maknawy‛ dan ‚non-bahasa‛
dalam bahasa Arab. Dalam proses ini, teks al-Qur’an berubah dari teks
Ilahi menjadi teks insâni atau dari tanzîl menjadi takwîl.46 Lebih dari itu,
Nash Hamid menyatakan, bahwa al-Qur’an adalah riwayat Muhammad
atas apa yang beliau nyatakan dari Kalam Ilahi (the word of Muhammad
reporting what he asserts is the word of God. This is the Qur’an).47 Kemudian
dalam menginterpretasikan pesan dengan bahasanya, Nabi Muhammad
telah terpengaruh oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya setempat
saat itu, maka dengan sendirinya Nabi Muhammad merupakan produk
dari budaya dari masyarakat tempat dia tinggal.48
Konsep tanzîl al-Qur’an Nashr Hamid bertentangan dengan
konsep mayoritas Ulama tafsir. Imam Zarkasyi menjelaskan, bahwa para
Ulama Ahlusunnah bersepakat yang diturunkan adalah Kalâmullah, baik
lafaz maupun maknanya, yaitu Jibril menghafal al-Qur’an dari Lauh
Mahfûz kemudian turun bersamanya.49 Imam Juwaini membagi
Kalâmullah al-munazzal menjadi dua. Pertama, Kalam yang diturunkan
melalui Jibril hanya ‘makna’, kemudian Nabi menyampaikannya
dengan perkataanya sendiri. Kedua, Kalam yang diturunkan Jibril adalah
lafadz dan maknanya tanpa ada perubahan kata ataupun huruf,
kemudian Nabi juga menyampaikan apa adanya tanpa ada yang
dikurangi. Menurut Imam Suyuthi, al-Qur’an adalah bagian yang kedua,
sedang yang pertama adalah sunnah, sebagaimana Jibril turun
membawa sunnah sama dengan turunnya membawa al-Qur’an.50
46 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, hal. 8. 47 Nashr Hamid Abu Zayd and Esther R Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam,
London: Preager, 2004, hal. 57. 48 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, hal. 10 49 Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Tahqiq.
Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Kairo: Maktabah Dar al-Turats, vol. 1, t.th, hal. 239. 50 Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Tashih.
Muhammad Salim Hasyim, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, vol. 1, 2012, hal. 89-90.
Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 85
Jurnal STUDIA QURANIKA
Argumen yang lebih filosofis untuk menanggapi Nashr Hamid,
dapat disimak dari pandangan Sayyed Muhammad Naquib al-Attas.
Menurutnya jika wahyu itu diasumsikan kepada Nabi tanpa suara dan
huruf maka wahyu itu bisa menampung semua yang bisa
dipresentasikan oleh kata-kata, yang kemudian disampaikan Nabi
kepada manusia dalam bentuk bahasa baru. Akan tetapi, dapat secara
komprehensif (menampung yang dikomunikasikan Allah itu tadi), dan
tidak bercampur dengan muatan subjektifitas dan imajinasi kognitif
Nabi.51 Artinya, meskipun firman Allah itu menggunakan penuturan
Nabi, namun penuturan itu tidak menyimpang sedikitpun dari firman
Allah yang disampaikan kepada Nabi dan ini sesuai dengan firman-
Nya: ‚Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepada-
Nya).‛ (QS. al-Najm 53/ 3).
Konsep Nashr Hamid bahwa al-Qur’an muntaj tsaqafi, jika dianalis
dengat cermat, akan nampak kesamaan konseptual dengan historisisme
terutama dalam memandang hubungan antara teks al-Qur’an dengan
realitas sosial. Historisisme memandang, bahwa pemahaman yang
memadai tentang sifat dasar ‘sesuatu’ dan penilaian paripurna tentang
nilai ‘sesuatu’ itu harus dicapai dengan mempertimbangkan tempat
dimana ia bertempat, apa peranannya dalam proses perkembangannya
(sosial-budaya). Aspek radikal sebagai prinsip metodologisnya, yakni, 1)
melihat segala sesuatu dalam hal proses yang luas dari sebuah fase, dan
2) melihat bagaimana sesuatu itu berperan, dan hanya dengan
memahami sifat alamiah proses itu seseorang dapat memahami
keseluruhnya atau mengevaluasi peristiwa yang konkret.52 Atas dasar
ini, wajar jika Nashr Hamid dalam prosedur interpretasinya nanti akan
memperhitungkan tataran mimetic (fase ‘keterbentukkan (tasyakkul)
dimana al-Qur’an sebagai produk budaya, mempertautkan diri dengan
konteks linguistik dan kultural yang melahirkannya dalam prosedur
penafsirannya.53
51 Syed Muhammad Naquid al-Attas, Prolegomena to The Metaphysic of Islam, Kuala Lumpur:
ISTAC, 2005, hal. 6. 52 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, USA: Thompson Gale, 2006, hal. 392-393. 53 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, hal. 52.
86 | Muhammad Syamsul Arifin
Vol. 1, No. 1 Juli 2016
Aplikasi Historisisme dalam Hermeneutika Nashr Hamid Untuk lebih jelas melihat peran historisisme dalam konsep muntaj
tsaqafi, dapat kita telaah prosedur penafsiran yang digagasnya sebagai
upaya metode pembacaan produktif (qirâ’ah muntijah).54 Dalam hal ini,
ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu Pertama, landasan konseptual
penafsiran teks, dan Kedua, mekanisme penafsiran. Menurut Nashr
Hamid, hal pertama yang harus dilakukan adalah sebagaimana yang
dinyatakannya, ‚Menentukan dengan tepat dua kutub yang membentuk
pembacaan itu sendiri. Kutub pertama adalah keseluruhan konteks historis,
sosiologis, linguistik teks, sedangakan kutub kedua adalah keseluruhan konteks
sosial dan budaya kekiniaan pembaca yang mendorongnya melakukan proses
pembacaan itu sendiri. Penentuan dua kutub ini bertujuan untuk membedakan
antara (makna) yang bersifat historis dengan maghza (signifikansi) yang
bersifat kontemporer yang diinspirasikan dari ‚makna.‛ Pembedaan ini secara
metodologis, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab tanpa ini, batas antara masa
lalu dengan masa kini menjadi lebur dan kabur. Akibatnya, teks menjadi sangat
rentan dari penundukan pembacaan kepada ideologis dan kepentingan pembaca
sendiri‛.55 Pada tahap ini, penafsir dibimbing agar tidak terjerumus pada
pembacaan subjektif atau tendensius.
Budhy Munawar menjelaskan lebih detail perihal dua unsur
utama hermeneutika Nashr Hamid dimana antara keduanya terdapat
dialektika. Pertama adalah, segi historis dalam arti semiologis yang
bertujuan untuk menempatkan teks-teks tersebut pada konteksnya
dalam menyiapkan maknanya yang asli, kemudian masuk konteks
historis, dan selanjutnya konteks bahasa yang khusus dari teks-teks
tersebut. Kedua, menarik penafsiran makna asli tersebut ke dalam
kerangka-kerang sosio-kultural kontemporer dan tujuan (ghâyah)
praktis, sehingga dapat menjelaskan muatan ideologis penafsiran
tersebut dari makna historis yang asli. Sebuah pembacaan ‚produktif‛
akan menghasilkan pergerakan antara dimensi asal (ashl) dan tujuannya
(ghâyah) atau antara makna (dalâlah) dan signifikansinya.56 Pendekatan
hermeneutik di atas merupakan usaha untuk menerapkan kerangka
54 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, hal. 51. 55 Nashr Hamid, Naqd al-Khithâb, hal. 122-123. 56 Budhy Munawar, Argumen Islam, hal. 85.
Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 87
Jurnal STUDIA QURANIKA
objektif dan ilmiah untuk menganalisis dan menafsirkan teks
keagamaan sendiri.
Setelah pijakan pembacaan dirumuskan, selanjutnya mekanisme
penafsiran harus mengikuti model hermeneutika sebagaimana yang
telah ia rumuskan sebagai berikut:
1. Penafsiran berangkat dari realitas kontemporer atau kasus kekinian
yang tengah dihadapi oleh pembaca, seperti motivasi dan harapan
ketika penafsiran hendak dilakukan.
2. Perwujudan teks diperhitungkan dalam tataran mimetic (fase
keterbentukkan, dimana al-Qur’an sebagai produk budaya,
mempertautkan diri dengan konteks linguistik dan kultur yang
melahirkannya).
3. Beranjak pada tataran semiotiknya dalam keseluruhan latar tradisi
yang disimpanginya (fase pembentukan, dimana sebagai produsen
budaya, al-Qur’an memiliki sarana decoding spesifik yang mampu
merekonstruksi ulang realitas linguistik dan kultural tadi ke dalam
bentuknya yang baru).
4. Interaksi makna yang historis dengan realitas kontemporer
memungkinkan untuk menghasilkan signifikansi semiotik baru dari
teks untuk konteks historisitas masa kini, atau yang bisa
diistilahkan dengan ‚ajaran implisit/ the unmentioned‛ (al-maskût
‘anhu), yakni ajaran tersirat yang terinspirasi dari teks untuk
diterapkan dalam konteks kontemporer.
Rangkaian mekanisme di atas merupakan gerak dialektis antara
makna dan signifikansi, antara masa lalu dan masa kini, atau antara
pembaca dan teks. Mengabaikan salah satunya hanya akan membawa
pembaca pada model pembacaan ideologis (qirâ’ah talwiniyyah), atau
pembacaan tendensius (qirâ’ah mughridhah) yang sangat diantisipasi
olehnya.57
Landasan konseptual dan mekanisme penafsiran yang digagas
oleh Nashr Hamid nampaknya terinspirasi oleh hermeneutika historis
57 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, hal. 52-53.
88 | Muhammad Syamsul Arifin
Vol. 1, No. 1 Juli 2016
Wilhelm Dilthey. Dengan ‘kritik atas akal historis,’58 Dilthey
mengupayakan suatu konstruksi spekulatif yang dimaksudkan untuk
menemukan makna dalam sejarah sebagai cara memahami dengan lebih
mendalam daripada sekedar penelitian historis. Dalam bingkai
historisitas, dia mendefinisikan interpretasi sebagai suatu seni
memahami manifestasi atau pengejawantahan hal yang bersifat vital
dan ditampakkan pada kebiasaan yang tahan lama. Demikian halnya
dengan hermeneutika, Dilthey menggangap, bahwa hermeneutika pada
dasarnya bersifat historis, yang berarti bahwa ‘makna’ itu sendiri tidak
pernah ‘berhenti pada satu masa’ tetapi selalu berubah menurut
modifikasi sejarah. Oleh karena itu, maka interpretasi bagaikan benda
cair, senantiasa berubah-ubah.59
Dalam hermeneutika historisnya, Dilthey lebih menekankan
‘historisitas teks’ dan pentingnya kesadaran sejarah (Geschichtliches
Bewusstein). Seorang pembaca teks, menurutnya, harus bersikap kritis
terhadap teks dan konteks sejarahnya dan pada saat yang sama dituntun
untuk melompati ‘jarak sejarah’ antara masa lalu teks dan dirinya,
karena makna menurut dia, tersembunyi dalam setting sosial (sitz im
leben). Pemahaman seseorang ditentukan oleh seberapa mampu
‘mengalami kembali’ (nacherleben) dan menghayati isi teks tersebut.
Penekanannya tidak hanya sebatas manusia, melainkan juga bahasa dan
makna.60
Terakhir, menurut Dilthey sebagaimana mengutip H.A. Hodges
(1976), menyatakan semua pemahaman atau pengertian bila ditelusuri
sampai ke batas-batasnya akan menjadi menyejarah. Sehingga pada
akhirnya, secara ironis yang dipahami oleh penafsir bukan lagi puisi,
opera, atau teori melainkan orangnya. Dengan kata lain, yang dipahami
oleh seorang penafsir bukan lagi puisi, tapi pengarangnya. Dampaknya,
jika pemahaman historisitas diaplikasikan kepada al-Qur’an, maka akan
mengindikasikan pemahaman yang lebih komprehensif dari
58 Suatu filsafat tentang mengerti, cara melihat atau menemukan rangkaian pemikiran yang
berlangsung dalam sejarah. Lihat, E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat,
Sleman: PT. Kanisius, 2015, hal. 48. 59 E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, hal. 48-56. 60 Daden Robi Rahman, Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penfsiran Ayat- Ayat Ahkam: Kritik
Atas Pemikiran Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur, Gontor: CIOS Unida, 2010, hal. 23.
Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 89
Jurnal STUDIA QURANIKA
pengarangnya (Tuhan). Kemudian tujuan akhir dari setiap
hermeneutika Dilthey adalah kemampuan memahami penulis atau
pengarang melebihi pemahaman terhadap diri sendiri. Pernyataan ini
seakan-akan menghadang unsur keilahian di dalamnya.61 Kesimpulan
Dilthey tentang tujuan akhir hermeneutika, secara implisit sama dengan
konsep ‚al-maskût ‘anhu‛ (ajaran implisit), Nashr Hamid yang
merupakan hasil dari gerakan bolak-balik (harakah banduliyyah), dari
makna teks yang historis dan signifikansinya yang kontemporer dan
seolah-olah ‚lebih mengerti‛ maksud Tuhan.
Inkoherensi Konsep Muntaj Tsaqafi Menganalisa dengan cermat landasan konseptual penafsiran
model Nashr Hamid, akan mendapati supremasi data empiris dan
realitas atas makna teks yang sudah mapan.62 Setidaknya memang inilah
karakter dari pendekatan kesadaran historis ilmiah dalam memahami
teks-teks keagamaan. Bagi Nashr Hamid, teks adalah hasil dari sebuah
realitas, maka setiap perubahan yang terjadi pada realitas, menuntut
perubahan dalam pembacaan teks, sampai akhirnya terjadi kesepaduan
antara teks dan realitas (zaman dan tuntutannya).63 Pandangan
supremasi realitas dan menempatkan pembaca teks sebagai hakim
dalam pembacaan teks pada hakikatnya membatalkan konsep ‚al-Islâm
shâlih li kulli al-zamân wa al-makân,‛ karena pembacaan teks tidak
mengenal kata final dan absolut di semua sisi. Selain itu, konsep ini juga
melanggar kaidah ushûl ‚al-Ijtihâd fîmâ fîh al-nash,‛ terkait beberapa
hukum yang tetap juga masalah aqidah.64
Mekanisme interpretasi yang memfokuskan pada pergeseran dari
‘makna’ yang historis kepada ‘signifikansi’ yang progresif untuk tujuan
maqâshid adalah, mekanisme sekularisasi dan humanisasi al-Qur’an.
Teorinya memberikan ruang bagi kajian semantik yang liberal sesuai
kehendak untuk mendukung ‘modernitas’. Jadi ruang dan waktulah
yang merubah pemahaman teks, dan teks hanya responsif, bukan
61 E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, hal. 60-63. 62 Nashr Hamid, Naqd al-Khithâb, hal. 106-107. 63 Henri Shalahuddin, Kredibilitas Ilmu Tafsir dalam Menegakkan Konsep Wahyu al-Qur’an, hal.
23. 64 Fahmi Salim, Kritik Studi al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Gema Insani, 2010, hal. 229-230.
90 | Muhammad Syamsul Arifin
Vol. 1, No. 1 Juli 2016
sebaliknya. Pemahaman ini telah melampaui pandangan Muktazilah
yang mana Nashr kerap diasosiasikan sebagai neo-Muktazilah, karena
Muktazilah tidak pernah merumuskan konsep dekonstruksi syariah
sebagaimana Nashr Hamid. Sehingga kita mendapati kesimpulan,
bahwa menurutnya syariat turun hanya untuk melayani dan merespons
kondisi-kondisi tertentu dan terbatas untuk kurun waktu tertentu.65
Menurut Abdul Majid Najjar, landasan konseptual yang dibangun
untuk mekanisme interpretasi seperti di atas, merupakan pelanggaran
serius, dan menjadikan sebab inkoherensitasnya. Pelanggaran yang
paling terlihat jelas adalah mendekonstruksi hukum-hukum yang
bersifat qath’i tsubût dan qath’i dilâlah menjadi relatif semuanya karena
tidak ada batasan antara yang qath’i dan dhanni. Faktor- faktor yang
menyebabkan inkoherensitasnya, menurutnya, antara lain:66
Pertama, senantiasa mengkaji teks keagamaan dalam
keterkaitannya dengan peristiwa dan tempat dimana teks muncul
(ashbâb nuzûl), serta mengkhususkan kontekstualisasi dengannya.
Pemahaman seperti ini berlawanan dengan universalitas wacana
(khithâb) syari’at, seakan-akan syariat hanya berlaku untuk kaum
tertentu pada relatif waktu tertentu. Padahal wahyu yang berupa syariat
ditujukan untuk semua umat sepanjang zaman dan bersifat mengikat
tidak hanya kepada maqâshid yang umum, namun juga kepada
kewajiban yang harus dikerjakan (taklîf) yang menetapkan maqâshid
tersebut sebagaimana firman Allah dalam surah Saba 34/ 28, ‛Kami tidak
mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa
berita gembiran dan sebagai pemberi peringatan..‛ Inkoherensi ini bisa
disimak dari landasan konseptual interpretasi Nashr Hamid yang
melihat dan membatasi substansi kandung teks keagamaan pada tataran
mimetik teks tersebut (muntaj tsaqafi).
Teks wahyu menghendaki universalitas wacana (khithâb) dalam
arti mukallaf melaksanakan kewajibannya sepanjang waktu sesuai
dengan kehendak teks keagamaan. Atas dasar ini, teks wahyu jika telah
menjadi wacana (khithâb) bagi seluruh manusia, maka tidak ada
65 Fahmi Salim, Kritik Studi al-Qur’an Kaum Liberal, hal. 231. 66 Abdul Majid al-Najjar, Khilâfah al-Insan Bayna al-Wahi wa al-‘Aql: Bahts fi Jadaliyyah al-Nash
wa al-‘Aql wa al-Wâqi’, Beirut: Dar al-Gharb al-Islâmi, 1987, hal. 107.
Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 91
Jurnal STUDIA QURANIKA
sekalipun dalil ’aqli atau naqli yang mendasari, bahwa kewajiban (taklîf)
terbatas pada kaum dimana teks wahyu diturunkan, kecuali ada teks
yang memberikan takhshîsh. Sebagaimana telah populer di kalangan
Ulama ushul fiqh dan tafsir kaidah, ‚al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafz lâ bi
khushûsh al-sabab,‛ dimana Imam Syatibi menjelaskan ‚Hukum syariat
bagi mukallaf adalah perkara yang menyeluruh dan umum (kulliyah
‘âmmah) artinya tidak khusus dari segi hukum-hukumnya hanya bagi
sebagian dari yang lain, dan mengecualikan untuk luput dari hukum itu
seorang mukallaf pun.‛67
Kedua, melandaskan pemahaman akal (reason) terhadap teks-teks
keagamaan berdasarkan data-data empiris dengan progresifitasnya, atau
dikaitkan dengan konteks kekinian. Hal demikian berarti memahami
teks-teks keagamaan yang berselisihan dengan pemahaman teks
sebagaimana ia diturunkan dan mendasarkannya atas data-data realitas
kehidupan manusia modern. Bila kita bandingkan dengan konsep
pergeseran dari makna menuju signifikansi kemudian menghasilkan
ajaran implisit yang digagas oleh Nashr Hamid, maka akan nampak
kesamaanya, mengingat hasil dari interpretasi yang dilakukannya selalu
menghasilkan pemahaman yang mendukung kultur sosial masyarakat
modern.68
Penutup Pembacaan objektif ilmiah terhadap teks keagamaan yang digagas
oleh Nashr Hamid tidak lain adalah satu dimensi pemikiran yang absurd
jika diaplikasikan dalam studi al-Qur’an. Kerancuannya adalah, wacana
sekularisme pada kedua metode di atas setelah ditelaah dengan
seksama. Kesamaan dimensi penghilangan pesona dari alam natural
(disenchantment of nature) dari sekularisme terasa mengalir dalam alur
pembacaan objektif-ilmiah terhadap teks keagamaan. Selain itu,
kesadaran ilmiah yang digagasnya hanyalah satu imitasi dengan sedikit
modifikasi dari kesadaran historis (historical consciousness) Wilhem
Dilthey. Metode ini yang berimplikasi untuk menisbikan (relatifisasi)
67 Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Syathibi, Al-Muwâfaqât, Tahqiq. Muhammad
Muhyiddin ‘Abdu al-Hamid, Kairo: Thab’ah Shabih, vol. 2, 1969, hal. 179. 68 Abdul Majid al-Najjar, Khilâfah, hal. 108-110.
92 | Muhammad Syamsul Arifin
Vol. 1, No. 1 Juli 2016
nilai-nilai agama dan mengedepankan realitas untuk berkuasa atas
pemaknaan teks.
Pada taraf epistemologi, konsep al- Qur’an sebagai produk budaya
dan menjadikannya salah satu unsur mekanisme penafsiran adalah buah
dari paham historisisme. Dalam pemahaman ini, baik eksplisit maupun
implisit telah mereduksi sumber ketuhanan (divine source) terhadap al-
Qur’an yang hanya menganggap sebagai realitas holistik yang
dihasilkan dari metodologi penelitian ilmiah. Pernyataan tersebut juga
membawa asumsi bahwa al-Qur’an lahir dari serangkaian realitas
politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Dengan kata lain, sebagai hasil
pengalaman individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam tempat
dan waktu tertentu (specific time-space context).69
Dalam mekanisme penafsiran, penekanan konsep pergeseran
makna ke-signifikansi yang justru menghasilkan interpretasi yang
irrelevan dan inkonsisten. Ini berakibat serius pada kemapanan struktur
semantik teks yang memuat unsur hukum, teologi, dan akhlak yang
harus ditundukkan pada perkembangan zaman. Konsep ini tidak lain
adalah mengadopsi dari teori distingsi makna-signifikansi Eric Donald
Hirsch, yang berarti signifikansi bisa selalu berubah-ubah. Jika
demikian, maka dapat dikontemplasikan untuk apa Tuhan menurunkan
al-Qur’an dengan lafadz dan makna sekaligus, bukankah hal itu sia-sia
belaka karena pemaknaan lafadz disusupi subjektifitas dan berbagai
dugaan (conjecture) penafsir. Juga secara tidak langsung menuduh
Tuhan menurunkan ayat lafadz yang tidak mengandung maknanya
sekaligus.70
Daftar Pustaka A’zami, Muhammad Musthafa. 2014. Sejarah Teks al-Qur’an: dari Wahyu
Sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, Jakarta: Gema Insani, 2014.
69 Ahmad Bazli bin Shafie, A Modernist Approach to The al-Qur’an: A Critical Study of
Hermeneutics of Fazlur Rahman, Tesis Doktoral ISTAC-IIUM, 2004, hal. 237. 70 Fahmi Salim, Kritik Studi al-Qur’an, hal. 315-320.
Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 93
Jurnal STUDIA QURANIKA
Abdullah, Muhammad Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi:
Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
Abu Zayd, Nashr Hamid and Esther R Nelson, Voice of an Exile:
Reflections on Islam, London: Preager, 2004.
Abu Zayd, Nashr Hamid, Al-Khitthâb wa al-Takwîl, Beirut: al-Markaz al-
Tsawafi al-‘Arabi, 2008.
Abu Zayd, Nashr Hamid, Al-Tafkîr fi Zaman al-Tafkîr: Dhiddu al-Jahl wa al-
Zaif wa al-Khurafât, Kairo: Maktabah Madbuli, cet. 2, t.th.
Abu Zayd, Nashr Hamid, Imam Syâfi’i wa Ta’sîs al-Aidulujiyyah al-
Wasathiyyah, Beirut: al-Markaz al-Arabi al-Tsaqafi, cet. 1, 2007.
Abu Zayd, Nashr Hamid, Mafhûm Nash: Dirâsah fi ’Ulûm al-Qur’ân,
Beirut: al-Markaz al-Tsaqafiy al-‘Arabiy, cet. 2, 1994.
Abu Zayd, Nashr Hamid, Naqd al-Khithâb al-Dîn, Beirut: al-Markaz al-
Tsaqafi al-‘Arabi, cet. 3, 2007.
Armas, Adnin., Tafsir al-Qur’an atau Hermeneutika al-Qur’an, Islamia,
tahun 1 no 1/Muharram 1425/Maret 2004.
Attas, Syed Muhammad Naquid, Prolegomena to The Metaphysic of Islam,
Kuala Lumpur: ISTAC, 2005.
Bayanil Huda, Lalu Nurul, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd,
Gontor: CIOS Unida, 2010.
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method,
Philosophy, and Critique, London and New York: Routledge, 1980.
Dhaif, Syauqi, Mu’jam al-Wasith, Mesir: Maktabah Syurouq ad-
Dauliyyah, 2011.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Bantul: LkiS,
2001.
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika al-Qur’an: Tema- Tema Kontroversial,
Sleman: eLSAQ, 2005.
Fanani, Ahmad Fuad, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagaman
Liberatif, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2004.
George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Marxis dan Berbagai Ragam
Teori Neo-Marxian, Terj. Nurhadi, Bantul: Kreasi Wacana, 2011.
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular Liberal, Jakarta: Gema Insani, 2005.
94 | Muhammad Syamsul Arifin
Vol. 1, No. 1 Juli 2016
Imarah, Muhammad, Al-Tafsîr al-Marxisi li al-Islâm, Kairo: Dar al-Syuruq,
2002.
Imron, Ali, Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, Dalam Hermeneutika al-
Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: elsaQ, 2010.
John H. Hayes & Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Al-Kitab, terj.
Pndt. Ioanes Rakhmat, Jakarta: Gunung Mulia, 2006.
Nur Ichwan, Mochammad, A New Horizon in Qur’anic Hermeneutics:
Nashr Hamid Abu Zayd’s Contribution to Critical Qur’anic
Scholarship, Netherland: Leiden University, 1999.
Nur Ichwan, Mochammad, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori
Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd, Jakarta: Teraju, cet. 1, 2003.
Rachman, Budhy Munawwar, Argumen Islam Untuk Liberalisme: Islam
Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo, 2010.
Rahman, Daden Robi, Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penfsiran Ayat-
Ayat Ahkam: Kritik Atas Pemikiran Fazlur Rahman dan Muhammad
Syahrur, Gontor: CIOS Unida, 2010.
Rahman, Yusuf, The Hermeneutical Theory of Nashr Hamid Abu Zayd: An
Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur’an, Montreal,
Canada: Mc Gill University 2001.
Shalahuddin, Henri, Kredibilitas Ilmu Tafsir dalam Menegakkan Konsep
Wahyu al-Qur’an, Islamia, Vol. VI No. 1 2012.
Shalahuddin, Henry, Al-Qur’an Dihujat, Jakarta: Penerbit al-Qalam, 2007.
Shaliba, Jamil, Al-Mu’jam al-Falsafi, Beirut: Dar al-Kutub Libanani, 1982.
Sumaryono, E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Sleman: Penerbit
Kanisiu, 2015.
Suyuthi, Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-
Qur’ân, Tashih. Muhammad Salim Hasyim, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, vol. 1, 2012.
Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsîr al-Thabâry Jâmi’ al-Bayân
‘an Ta’wîl ay al-Qur’ân, Tahqiq. Abdullah bin Abdul Muhsin al-
Turki, Kairo: Markaz al-Buhuts wa al-Dirasat al-‘Arabiyyah al-
Islamiyyah, cet. 1, 2001.
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Tafsir dan Ta’wil sebagai Metode Ilmiah,
Islamia Tahun I No. 1 Muharram 1425/ Maret 2004.
Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid
| 95
Jurnal STUDIA QURANIKA
Webster, Merriam, Webster’s Seventh New Collegiate Dictionary Based
Webster’s Third International Dictionary, Massachusetts, USA:
Merriam Company Publisher,1961.
Zarkasyi, Hamid Fahmy, Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi,
LIberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSIST, 2012.
96 | Muhammad Syamsul Arifin