komisi perubahan iklim

12
Komisi Perubahan Iklim Radityo Pangestu Irene Sondang Hana Camelia Fajri Mulya Iresha 2 Strategi Akselerasi Restorasi Mangrove Melalui Pengembangan Komunitas Lokal Kawasan Pesisir Yang Berkelanjutan

Upload: others

Post on 27-Jan-2022

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Komisi Perubahan Iklim

Radityo PangestuIrene SondangHana Camelia Fajri Mulya Iresha

2

Strategi Akselerasi Restorasi Mangrove Melalui Pengembangan Komunitas Lokal Kawasan Pesisir Yang Berkelanjutan

[Policy Brief 2 - Komisi Perubahan Iklim PPI Dunia]

Strategi Akselerasi Restorasi Mangrove Melalui Pengembangan Komunitas Lokal Kawasan Pesisir Yang Berkelanjutan

Radityo Pangestu, Irene Sondang, Hana Camelia & Fajri Mulya Iresha

RINGKASAN

Sebagian wilayah Indonesia berada dalam kondisi darurat tenggelam. Berdasarkan prediksi

skenario RCP8.5, sebesar 17% dari wilayah Jakarta akan tenggelam di tahun 2030 sehingga

dapat mempengaruhi sebesar 18% GDP kota di tahun tersebut dan memaksa adanya aksi

evakuasi sebanyak 5 juta penduduk di Jakarta. Uniknya, ekosistem mangrove memiliki peran

sebagai lapisan pelindung daerah pesisir terhadap bencana akibat kenaikan permukaan air laut,

seperti banjir rob. Sayangnya, keberadaan hutan mangrove di Indonesia semakin berkurang

dalam laju yang sangat masif akibat alih guna lahan. Rehabilitasi lahan mangrove tidak hanya

cukup melalui penanaman kembali mangrove di daerah pesisir. Agar ekosistem mangrove tetap

terjaga dalam jangka waktu panjang, aksi restorasi sangat perlu melibatkan masyarakat pesisir.

Di samping melindungi wilayah pesisir, budidaya mangrove juga dapat memperkuat kemandirian

ekonomi masyarakat setempat. Namun, saat ini tidak semua komunitas lokal mangrove di pesisir

dapat berkembang, sehingga membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah. Untuk menjaga

keberlanjutan kegiatan komunitas mangrove, berbagai bentuk program dukungan dapat

dilakukan, dimulai dari pemberian bantuan finansial, pelatihan sumber daya manusia,

perlindungan hukum, hingga pengembangan teknologi yang dapat bermanfaat untuk aktivitas

budidaya mangrove di wilayah pesisir. Program-program dukungan tersebut dapat terlaksana

melalui keterlibatan berbagai pihak stakeholder, termasuk pemerintah pusat dan daerah,

akademisi, dan organisasi non-pemerintahan.

LATAR BELAKANG

Ancaman Tenggelamnya Indonesia Perubahan iklim merupakan fenomena yang berdampak secara global, regional, maupun

lokal terhadap berbagai bidang. Salah satu dampak utama perubahan iklim adalah kenaikan

muka laut. Permukaan laut global diproyeksikan akan mengalami kenaikan sebesar 0,43-0,84

meter pada tahun 2100 (skenario RCP2.6) (IPCC, 2019). Sementara itu, pada skala regional,

Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan salah satu negara yang sangat rentan akan

dampak perubahan iklim ini. Pesisir Indonesia termasuk ke dalam 10% negara dengan tingkat

kerentanan tertinggi di dunia terhadap kenaikan muka laut dan badai tropis akibat perubahan

iklim (Gambar 1.a.). Jakarta sebagai ibukota dan pusat perekonomian Indonesia adalah salah

satu wilayah Indonesia yang sangat rentan akan dampak tersebut. Kombinasi akan kenaikan

muka laut dan subsidensi lahan mengakibatkan sebagian wilayah Jakarta diproyeksikan akan

berada di bawah muka laut pada tahun 2050. Pada tahun 2100, tinggi muka laut Jakarta

diproyeksikan akan mengalami kenaikan sebesar 3 meter (skenario gas rumah kaca rendah)

hingga 5 meter (skenario gas rumah kaca tinggi) apabila tidak ada langkah mitigasi dan adaptasi

perubahan iklim yang diambil (Gambar 1.b.). Proyeksi ini dapat mengakibatkan perlunya

pengalihan sekitar 5 juta penduduk Jakarta kelak. Bahkan, studi lain menunjukkan bahwa

proyeksi tenggelamnya 17% wilayah Jakarta pada tahun 2030 (skenario RCP8.5) akan

mempengaruhi sekitar 18% dari total GDP DKI Jakarta di tahun tersebut (~US$ 68,2 miliar)

(Wang & Kim, 2021).

Peran Mangrove terhadap Isu Perubahan Iklim Terdapat berbagai macam pendekatan adaptasi terhadap isu kenaikan permukaan air

laut, contohnya melalui metode hard protection, sediment-based protection dan ecosystem-based adaptation. Di antara metode-metode tersebut, ecosystem-based adaptation dianggap

bersifat non-destruktif, memiliki efek proteksi jangka panjang, dan memungkinkan adanya

keterlibatan komunitas sekitar lingkungan pesisir (IPCC, 2019). Dalam hal ini, konservasi dan

rehabilitasi ekosistem mangrove adalah bagian dari implementasi pendekatan tersebut.

Keberadaan mangrove dapat menahan pasang surut air laut dan meredam banjir rob akibat

kenaikan permukaan air laut. Selain dari aspek adaptasi, mangrove juga memiliki peran penting

dalam aspek mitigasi perubahan iklim, dimana tanaman ini dapat menyerap karbon dioksida di

atmosfer dalam bentuk blue carbon dan menyimpan karbon empat lebih tinggi dibandingkan

hutan tropis (Donato et al., 2011).

Berdasarkan data tahun 2010, sebanyak 22.6% hutan mangrove dunia berada di

Indonesia – tertinggi dibandingkan negara lainnya (Giri et al., 2011). Sayangnya, luas lahan

mangrove di Indonesia terus berkurang secara drastis. Dengan laju deforestasi mencapai 52 ribu

ha per tahun (tercepat di dunia) (Murdiyarso et al., 2015), hutan mangrove Indonesia terancam

punah. Berdasarkan data tahun 2000 hingga 2012 (Gambar 1.c.), hilangnya hutan mangrove ini

sebagian besar disebabkan oleh aktivitas alih guna lahan mangrove menjadi area akuakultur

(tambak udang dan ikan) dan perkebunan kelapa sawit (Richards & Friess, 2016).

a.

b.

c.

Gambar 1. (a) Peta tingkat kerentanan wilayah pesisir terhadap kenaikan permukaan air laut dan badai tropis akibat perubahan iklim (Jones et al., 2020) (b) Proyeksi kenaikan permukaan air laut di Jakarta pada tahun 2100 (Mulhern, 2020) (c) Peta deforestasi mangrove di Indonesia akibat alih guna lahan pada rentang 2000-2012 (Richards & Friess, 2016)

Dengan semakin maraknya isu deforestasi mangrove Indonesia di mata kalangan penggerak lingkungan dalam negeri maupun internasional, akhirnya perhatian pemerintah terhadap masalah ini pun meningkat. Hal tersebut tercermin dengan diubahnya nama Badan Restorasi Gambut (BRG) menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada tahun 2020 dan dinaikkannya target restorasi lahan menjadi 50 ribu hektar di tahun 2024 (sesuai RPJMN 2020-2024). Bahkan, pemerintah berencana untuk membangun World Mangrove Center (WMC) di Sumatera, Kalimantan dan Papua (Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan, 2021). Meskipun demikian, saat ini tahap restorasi mangrove dianggap masih banyak terfokus pada berbagai wilayah di Jawa (Hanum, 2021). Selain itu, masih ada juga berbagai konflik kebijakan pemerintah dan ketidaksesuaian rencana tata ruang yang menjadi penghambat jalannya agenda restorasi hutan mangrove (Muhtar, 2021; Rahmadi, 2020; Saturi, 2021). Peran Masyarakat Lokal Pesisir

Salah satu kata kunci yang banyak terlupakan dari berbagai aksi iklim adalah JOB CREATION. Contohnya, agenda “coal phase-out” banyak mendapat hambatan dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai dampak positif penggunaan energi terbarukan dalam menciptakan berbagai jenis lapangan kerja baru. Hal yang sama pun juga terjadi pada isu kenaikan permukaan air laut.

Saat ini, masih banyak kalangan yang menganggap bahwa isu tenggelamnya sebagian wilayah pesisir merupakan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya. Padahal, upaya adaptasi dapat dilakukan melalui pendekatan komunitas (community-based mangrove management /

CBMM). Proses adaptasi melalui pemeliharaan mangrove diharapkan dapat meningkatkan resiliensi masyarakat pesisir terhadap dampak perubahan iklim. Selain itu, keterlibatan masyarakat pesisir pada aksi rehabilitasi mangrove tentunya dapat membuka lapangan kerja baru untuk masyarakat pesisir yang belum memiliki pekerjaan tetap ataupun kehilangan pekerjaan akibat pandemi, sekaligus mendukung aktivitas perekonomian yang saat ini telah berjalan. Keberadaan mangrove juga telah terbukti dapat meningkatkan jumlah tangkapan ikan dan produksi budidaya laut (Sambu, 2013). Selain itu, dalam jumlah yang terkontrol, mangrove dapat digunakan sebagai sumber kayu dan hasil-hasil hutan non-kayu yang memiliki nilai ekonomi. Inisiasi pariwisata berbasis alam juga dapat meningkatkan serapan tenaga kerja yang berasal dari masyarakat pesisir, sekaligus membuka berbagai peluang usaha non-formal di sekitar lokasi pariwisata (Fauzi, 2019).

Secara teori, mangrove sendiri memiliki fungsi sebagai penyokong kekondusifan ekosistem berbagai hewan dan tumbuhan, contohnya ikan kakap, ikan belanak, udang windu, kerang tiram, kerang lokan, kepiting, buah pidada, dan lain-lain. Salah satu studi yang dilakukan di Desa Margasari, Lampung Timur, menunjukkan bahwa nilai guna langsung dari hutan mangrove dapat mencapai sekitar Rp. 1,8 miliar per tahun. Bila digabungkan dengan nilai guna tak langsung (meliputi penyedia pakan alami bagi biota laut, penghalang intrusi air laut ke darat, dan perluasan lahan ke arah laut), nilai pilihan (meliputi nilai keanekaragaman hayati) dan nilai

keberadaan (nilai kepedulian individu terhadap keberadaan SDA), maka total nilai ekonomi dari hutan mangrove di wilayah tersebut telah melebihi Rp. 10,5 miliar per tahun (Ariftia et al., 2014).

Keberadaan lahan mangrove dapat menjadi sumber daya bersama untuk skala komunitas. Sumber daya bersama atau common pool resources pada mangrove dapat diwujudkan apabila adanya pengelolaan yang baik di antara masyarakat sekitar dan memiliki kelembagaan yang kuat sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat. Saat ini, telah ada beberapa contoh sukses dari kelompok masyarakat pesisir yang berhasil mengembangkan UKM berbasis mangrove di daerahnya, contohnya kelompok mangrove di Magepanda (Nusa Tenggara Timur), Angke (Jakarta), dan lain-lain. Namun, masih banyak juga komunitas mangrove di daerah lainnya yang cenderung kurang berkembang, sehingga membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah setempat. Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap berbagai komunitas mangrove yang ada di Thailand, terdapat beberapa faktor yang menjadi kunci kesuksesan dari kegiatan manajemen komunitas mangrove, di antaranya: (1) kejelasan hak masyarakat terhadap sumber daya yang ada; (2) pembentukan lembaga masyarakat yang efektif; (3) komitmen dari pemimpin dan anggota yang terlibat; dan (4) dukungan finansial dan SDM yang memadai (Kongkeaw et al., 2019). Faktor-faktor tersebut juga dirasa cukup relevan dengan kondisi berbagai komunitas mangrove di Indonesia. REKOMENDASI Rekomendasi Untuk Pemerintah Daerah

Sebagai lapisan pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat lokal di kawasan pesisir, peran pemerintah daerah tentunya sangatlah krusial. Dalam hal ini, pemerintah daerah adalah stakeholder yang paling memahami secara detail tentang struktur sosial di wilayahnya masing-masing. Tentunya, permasalahan komunitas mangrove di wilayah pesisir Jakarta dan Ambon sangatlah jauh berbeda, sehingga pendekatan solusi yang berhasil diimplementasikan di wilayah A belum tentu relevan untuk diterapkan di wilayah B. Namun, hal-hal berikut dapat menjadi catatan penting bagi perangkat terkait di daerah masing-masing: ● Perlunya pendataan yang akurat mengenai keberadaan komunitas mangrove di daerah

masing-masing. Data-data ini meliputi nama dan lokasi komunitas, jumlah pengurus, lama berdirinya organisasi, latar belakang pendidikan dan pekerjaan pengurus, dan lain-lain. Data ini dapat dijadikan sumber utama dalam mengidentifikasi permasalah dan bentuk bantuan yang dapat diberikan oleh pemerintah daerah kepada komunitas. Untuk wilayah pesisir yang belum memiliki organisasi terstruktur, pemerintah dapat menginisiasi pembentukan komunitas melalui bantuan unit kelompok masyarakat terkecil di sekitar lokasi.

● Memfasilitasi adanya pelatihan rutin kepada komunitas mangrove. Kurikulum pelatihan dapat berfokus pada pengembangan organisasi, pelatihan bisnis, maupun pengenalan mengenai berbagai teknik tanam dan perawatan mangrove. Program ini dapat dikolaborasikan dengan NGO maupun lembaga pendidikan yang ada di provinsi masing-masing.

● Program pengembangan SDM juga dapat dilakukan melalui program beasiswa ikatan dinas untuk sekolah dan kuliah kepada generasi muda yang tinggal di lingkungan pesisir. Melalui beasiswa ini, diharapkan SDM pengurus komunitas mangrove pada generasi selanjutnya memiliki hard-skill dan soft-skill yang mumpuni untuk memimpin dan mengembangkan komunitas mangrove di daerahnya masing-masing.

● Perlu adanya perlindungan dan kepastian hukum yang diberikan secara khusus kepada komunitas mangrove yang memiliki konflik lahan dengan pihak eksternal. Hal tersebut cukup banyak terjadi, apalagi dengan banyaknya data yang menunjukkan bahwa faktor utama dari deforestasi mangrove adalah akibat alih guna lahan. Dalam hal ini, pemerintah perlu secara konsisten untuk memberikan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang melanggar regulasi agar kedepannya tidak terjadi lagi pengulangan kasus konflik lahan mangrove.

● Perlunya melakukan sinkronisasi rencana tata ruang daerah yang baik agar tidak memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan mangrove. Hal ini sangat penting karena tata ruang di beberapa daerah menyebabkan perubahan kualitas air dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan mangrove (Kusima et al., 2016).

● Dalam hal mendukung kemandirian finansial daerah serta membuka peluang-peluang usaha non formal, inisiasi pengembangan wisata mangrove dapat dilakukan dengan melibatkan komunitas mangrove setempat yang dirasa telah cukup berkembang

● Optimalisasi untuk bekerjasama dengan stakeholder lain seperti akademisi, perangkat sekolah, pihak swasta dengan tujuan mengarusutamakan fungsi mangrove untuk ketahanan komunitas pesisir

Rekomendasi Untuk Pemerintah Pusat dan Badan Terkait

Meskipun restorasi mangrove melalui pendekatan bottom-up dianggap lebih efektif, namun bukan berarti peran pemerintah pusat menjadi tidak esensial. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove menjadi aktor utama yang dapat menentukan keberhasilannya implemplementasi langkah-langkah strategis berikut: ● Selain aksi penanaman mangrove secara massal, pemerintah juga perlu mengintegrasikan

agenda pengembangan SDM komunitas mangrove lokal pada rencana strategis restorasi mangrove nasional.

● Meningkatkan sinergisme dan peran pemerintah daerah pada pelaksanaan program restorasi mangrove nasional. Hal ini sangatlah penting agar program pemerintah pusat mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah daerah, serta menghindari adanya konflik kebijakan ataupun perbedaan persepsi dalam menyelesaikan isu yang sama

● Memberikan bantuan dana atau mekanisme insentif lainnya untuk pengembangan komunitas mangrove. Selain itu, diharapkan program pengembangan teknologi mangrove juga menjadi salah satu Prioritas Riset nasional (PRN) milik BRIN atau Kemdikbud Ristek.

● Memfasilitasi adanya kegiatan sharing knowledge antar komunitas mangrove di berbagai daerah. Melalui kegiatan ini, komunitas mangrove yang sudah cukup besar dan establish

dapat membagikan motivasi dan pengalamannya kepada komunitas mangrove yang masih kecil atau dalam tahap fase awal pengembangan

● Berkorelasi dengan hilangnya lahan mangrove akibat alih guna lahan untuk keperluan budidaya tambah, pemerintah perlu menyiapkan sistem sertifikasi budidaya tambak yang berkelanjutan dan efektif untuk diterapkan di lapangan. Bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, program ini dapat dipromosikan melalui berbagai langkah strategis, misalnya dengan cara pemberian insentif kepada pengusaha tambak yang tertarik untuk mensertifikasi usaha budidayanya, pemberian sosialisasi dan pelatihan mengenai budidaya tambak yang berkelanjutan, dan lain-lain.

Rekomendasi Untuk Lembaga Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Baik Perguruan Tinggi maupun berbagai Lembaga Penelitian dan Pengembangan Teknologi dapat berkolaborasi untuk membimbing dan mengembangkan komunitas mangrove, baik dari aspek sosial maupun teknologi. Berikut hal-hal yang dapat dijadikan sasaran utama: ● Aktif dan inisiatif dalam membantu pengembangan komunitas mangrove, contohnya melalui

program-program Pengabdian Kepada Masyarakat. Untuk dapat membantu proses pengembangan komunitas yang mandiri, pelaksanaan PKM dapat dirancang dalam rentang waktu lebih panjang dan tersebar di berbagai komunitas mangrove daerah secara merata. Selain itu, diharapkan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dapat membangun kemandirian dari komunitas mangrove pasca program PKM berakhir.

● Memberi edukasi sedini mungkin pada anak usia sekolah berupa pengenalan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanfaatan mangrove melalui kunjungan lapangan berkala dari sekolah ke wilayah mangrove terdekat. Untuk selanjutnya dapat dimasukkan pada kurikulum sebagai bagian dari pembelajaran sekolah.

● Dalam banyak kasus, perlu ada studi mendalam mengenai jenis-jenis mangrove yang sesuai untuk ditanam di wilayah tertentu dan teknik apa yang paling cocok digunakan agar pertumbuhan mangrove dapat optimum. Melalui kerjasama dengan pihak pengelola, akademisi dapat membuat laboratorium alam untuk mengamati dan mempelajari berbagai faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi ekosistem mangrove.

● Berbagai pengembangan inovasi dan teknologi juga dapat dilakukan untuk mendukung kegiatan konservasi dan budidaya mangrove, contohnya pengembangan teknologi remote

sensing untuk memonitor indeks kesehatan mangrove (Fajar, 2020). ● Bersamaan dengan itu, pihak akademisi juga dapat memberikan berbagai pelatihan kepada

SDM komunitas mangrove. ● Dalam beberapa kasus, ekosistem pesisir sudah tidak dapat lagi ditanami mangrove, baik

dikarenakan oleh tingginya tingkat pencemaran, keberadaan sampah plastik, ketidakstabilan gelombang ombak pesisir, ataupun telah parahnya kenaikan permukaan laut di wilayah tersebut sehingga bibit mangrove tidak dapat tumbuh. Sebagai alternatif, teknologi restorasi mangrove secara ex situ dapat juga dikembangkan dan dikaji secara mendalam

pengaplikasiannya (Kamali & Hashim, 2011). Konsep sejenis ini telah mulai dikembangkan di Malaysia.

Rekomendasi Untuk Non-Government Organization

Organisasi non-pemerintahan selalu memiliki peran penting dalam aksi lingkungan. Namun secara garis besar, hal-hal inilah yang dapat dilakukan: ● Menghimpun bantuan dana untuk mendukung kegiatan mangrove. Berbagai cara inovatif

untuk menghimpun dana dapat dilakukan, misalnya melalui kegiatan donasi online untuk tanam mangrove. Salah satu kegiatan “One Man, One Mangrove” yang dilakukan oleh Mangrove Jakarta Community (Mangrove Jakarta, 2021) dapat diadaptasi oleh NGO lokal di daerah lainnya.

● Bantuan lainnya yang dapat dilakukan adalah kegiatan tanam mangrove bersama yang dapat dilakukan secara rutin. Kegiatan ini cocok untuk digalakkan oleh berbagai NGO lokal setelah pandemi COVID-19 berakhir.

● Sebagai pihak stakeholder yang terbebas dari intervensi pemerintah, NGO dapat membantu pelaksanaan fungsi pengawasan terkait isu alih guna lahan, terutama apabila konflik lahan melibatkan pengaruh dari pemerintah lokal.

KESIMPULAN Isu kenaikan permukaan air laut adalah salah satu bagian dari fenomena perubahan iklim yang secara langsung berdampak bagi manusia, sekaligus melibatkan manusia sebagai bagian dari solusinya. Restorasi mangrove merupakan alternatif solusi yang perlu digalakkan oleh pemerintah maupun masyarakat umum sedini mungkin. Pengoptimalan peran komunitas pesisir menjadi kunci keberhasilan dari sasaran restorasi mangrove dalam jangka panjang. Salah satu tujuannya adalah untuk peningkatan ketahanan (resiliensi) penduduk pesisir dari segi ekologis dan sosial ekonomi. Untuk itu, program strategis pemerintah bukan hanya perlu diprioritaskan pada aksi penanaman mangrove secara massal di wilayah pesisir, namun juga pada pengembangan komunitas lokal yang bertindak sebagai aktor utama dalam teknis rehabilitasi dan budidaya mangrove. Berbagai aspek perlu diperhatikan untuk menjaga keberlangsungan komunitas ini. Selain itu keterlibatan semua aspek stakeholder dapat menjamin keberlanjutan dari aktivitas komunitas lokal ini. REFERENSI Ariftia, R. I., Qurniati, R., & Herwanti, S. (2014). Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove Desa

Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. In Jurnal Sylva

Lestari (Vol. 2, Issue 3, p. 19). https://doi.org/10.23960/jsl3219-28 Donato, D. C., Boone Kauffman, J., Murdiyarso, D., Kurnianto, S., Stidham, M., & Kanninen, M.

(2011). Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. In Nature Geoscience (Vol. 4, Issue 5, pp. 293–297). https://doi.org/10.1038/ngeo1123

Fajar, J. (2020, August 26). Sentuhan Teknologi dalam Pemantauan Mangrove di Nusantara. https://www.mongabay.co.id/2020/08/26/sentuhan-teknologi-dalam-pemantauan-mangrove-di-nusantara/

Fauzi. (2019, June 23). Wisata murah ekowisata mangrove DKI Jakarta. ANTARA. https://www.antaranews.com/berita/924537/wisata-murah-ekowisata-mangrove-dki-jakarta

Giri, C., Ochieng, E., Tieszen, L. L., Zhu, Z., Singh, A., Loveland, T., Masek, J., & Duke, N. (2011). Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. In Global Ecology and Biogeography (Vol. 20, Issue 1, pp. 154–159). https://doi.org/10.1111/j.1466-8238.2010.00584.x Hanum, Z. (2021, April 11). Rehabilitasi Mangrove Masih Berpusat di Pulau Jawa. https://mediaindonesia.com/humaniora/397169/rehabilitasi-mangrove-masih-berpusat-di-pulau-jawa

IPCC. (2019). Summary for Policymakers. In: IPCC Special Report on the Ocean and Cryosphere in a Changing Climate [H.-O. Pörtner, D.C. Roberts, V. Masson-Delmotte, P. Zhai, M. Tignor, E. Poloczanska, K. Mintenbeck, A. Alegría, M. Nicolai, A. Okem, J. Petzold, B. Rama, N.M. Weyer (eds.)]. In press.

Jones, H. P., Nickel, B., Srebotnjak, T., Turner, W., Gonzalez-Roglich, M., Zavaleta, E., & Hole, D. G. (2020). Global hotspots for coastal ecosystem-based adaptation. PloS One, 15(5), e0233005.

Kamali, B., & Hashim, R. (2011). Mangrove restoration without planting. In Ecological Engineering (Vol. 37, Issue 2, pp. 387–391). https://doi.org/10.1016/j.ecoleng.2010.11.025

Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan. (2021). 2021, Agenda Baru Perlindungan

Mangrove Dunia. Retrieved July 5, 2021, from https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3509/2021-agenda-baru-perlindungan-mangrove-dunia

Kongkeaw, C., Kittitornkool, J., Vandergeest, P., & Kittiwatanawong, K. (2019). Explaining success in community based mangrove management: Four coastal communities along the Andaman Sea, Thailand. In Ocean & Coastal Management (Vol. 178, p. 104822). https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2019.104822

Kusima, T., Bakti, D. & Leidonald, R. (2016). Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Dan Dampak Konversi Mangrove Terhadap Perubahan Kualitas Perairan Di Muara Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan. In Jurnal Aquacoastmarine (Vol. 4, No. 3). https://jurnal.usu.ac.id/index.php/aquacoastmarine/article/view/14721/6431 Mangrove Jakarta. (2021, July 4). World Mangrove Day 2021, Mangrove Jakarta Community

is about to plant 10,000 mangroves. https://mangrovejakarta.id/ Muhtar, F. (2021, June 4). KEK Likupang: Jangan Rampas Kehidupan Nelayan dan Mangrove di

Paputungan. https://beritamanado.com/kek-likupang-jangan-rampas-kehidupan-nelayan-dan-mangrove-di-paputungan/ Mulhern, O. (2020, June 30). Sea Level Rise Projection Map – Jakarta. https://earth.org/data_visualization/sea-level-rise-by-the-end-of-the-century-alexandria-2/

Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Boone Kauffman, J., Warren, M. W., Sasmito, S. D., Donato, D. C., Manuri, S., Krisnawati, H., Taberima, S., & Kurnianto, S. (2015). The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation. In Nature Climate Change (Vol. 5, Issue 12, pp. 1089–1092). https://doi.org/10.1038/nclimate2734

Rahmadi, R. (2020, July 27). Teluk Tomini Kehilangan Mangrove Akibat Alih Fungsi Lahan. https://www.mongabay.co.id/2020/07/27/teluk-tomini-kehilangan-mangrove-akibat-alih-

fungsi-lahan/ Richards, D. R., & Friess, D. A. (2016). Rates and drivers of mangrove deforestation in Southeast

Asia, 2000–2012. In Proceedings of the National Academy of Sciences (Vol. 113, Issue 2, pp. 344–349). https://doi.org/10.1073/pnas.1510272113

Sambu, A. H. (2013). Korelasi Mangrove Dengan Peningkatan Hasil Perikanan Tangkap Dan Budidaya Laut Perairan Pesisir (Studi Kasus Perairan Pesisir Kabupaten Sinjai). In Octopus

: Jurnal Perikanan (Vol. 2, No. 2). https://doi.org/10.26618/octopus.v2i2.529 Saturi, S. (2021, March 4). Tantangan Rehabilitasi Mangrove di Kepulauan Riau.

https://www.mongabay.co.id/2021/03/04/tantangan-rehabilitasi-mangrove-di-kepulauan-riau/ Wang, J. & Kim, M. (2021). The Projected Economic Impact of Extreme Sea-Level Rise in Seven Asian Cities in 2030. Greenpeace. https://www.greenpeace.org/static/planet4-eastasia-stateless/2021/06/966e1865-gpea-asian-cites-sea-level-rise-report-200621-f-3.pdf