koefisien inbreeding jalak bali (leucopsar rotschildi ... · rothschild. i. stresemann 1922) di ....
TRANSCRIPT
KOEFISIEN INBREEDING JALAK BALI (Leucopsar rotschildi
Stresemann 1922) DI PENANGKARAN TEGAL BUNDER
TAMAN NASIONAL BALI BARAT
ADILIA PUTRI RAHMAWATI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Koefisien inbreeding
jalak bali (Leucopsar rotschildi Stresemann 1922) di penangkaran Tegal Bunder
Taman Nasional Bali Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Adilia Putri Rahmawati
NIM E34120052
ABSTRAK
ADILIA PUTRI RAHMAWATI. Koefisien Inbreeding Jalak Bali (Leucopsar
rothschildi Stresemann 1922) di Penangkaran Tegal Bunder Taman Nassional Bali
Barat. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan LIN NURIAH GINOGA.
Penangkaran Tegal Bunder merupakan salah satu lembaga konservasi eks-
situ yang menangkarkan jalak bali untuk pelepasliaran. Penangkaran eks-situ
memiliki resiko terjadinya silang dalam atau inbreeding tinggi, yang dapat
menyebabkan adanya perubahan atau abnormalitas pada satwa. Penelitian
dilakukan untuk menganalisis manajemen perkawinan dan mengidentifikasi
inbreeding melalui hubungan kekerabatan, koefisien inbreeding, serta karakteristik
morfologis. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi
lapang, wawancara, dan studi pustaka. Hasil identifikasi inbreeding yang diperoleh
menunjukkan bahwa telah terjadi inbreeding pada jalak bali, sedangkan pada
pengamatan karakteristik morfologis diduga telah terjadi tekanan inbreeding pada
jalak bali di penangkaran Tegal Bunder.
Kata kunci: inbreeding, jalak bali, manajemen perkawinan
ABSTRACT
ADILIA PUTRI RAHMAWATI. Inbreeding Coefficient of Bali Starling
(Leucopsar rothschildi Stresemann 1922) in Tegal Bunder captive West Bali
National Park. Supervised by BURHANUDDIN MASY’UD and LIN NURIAH
GINOGA.
Tegal Bunder captive is one of ex-situ conservation organization that breed
bali starling for release. The risk of inbreeding is high as an animal captivity. This
research aimed to analyse management breeding and identify in breeding based on
kinship, inbreeding coefficient, and morphological characteristic. Observation,
interview, and literature study were used in this research. The identification of
inbreeding showed that there was indeed inbreeding occured in Tegal Bunder
captive, and there was significant difference of morphological characteristic, body
size of the progeny, which indicated inbreeding depression of bali starling in Tegal
Bunder captive.
Keywords: bali starling, inbreeding, management of breeding
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
KOEFISIEN INBREEDING JALAK BALI (Leucopsar rotschildi
Stresemann 1922) DI PENANGKARAN TEGAL BUNDER
TAMAN NASIONAL BALI BARAT
ADILIA PUTRI RAHMAWATI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Judul Skripsi: Koefisien Inbreeding Jalak Bali (Leucopsar rotschildi Stresemann
1922) di Penangkaran Tegal Bunder Taman Nassional Bali Barat Nama
NIM : Adilia Putri Rahmawati : E34120052
Dr Ir Burhanuddin Masy'ud, MS
Pembimbing I
Tanggal Lulus: 2 � OEC 2016
Disetujui oleh
Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi
Pembimbing II
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dari penelitian
yang telah dilakukan berjudul “Koefisien inbreeding Jalak Bali (Leucopsar rotschildi
Stresemann 1922) di Penangkaran Tegal Bunder Taman Nasional Bali Barat”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS dan Ir Lin
Nuriah Ginoga MSi selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan,
bimbingan, dan saran kepada penulis selama penyusunan penelitian, pelaksanaan
penelitian, dan penyusunan skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
pihak Taman Nasional Bali Barat yang telah mengizinkan, memfasilitasi, dan
membantu penulis sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar sampai selesai.
Penulis menyampaikan penghargaan sebesar-besarnya kepada kedua orang tua,
Bapak Cucuk Sugiarto dan Ibu Yuni Hastuti serta kedua orang kakak penulis yang
selalu memberikan do’a dan memberi dukungan bagi penulis. Penghargaan penulis
sampaikan kepada Pak Nana, Pak Putu, Pak Heri, Mas Ari, Mas Hanung, Mas Harpa,
serta seluruh staff Pusat Pembinaan Jalak Bali Tegal Bunder Taman Nasional Bali
Barat yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga
disampaikan kepada keluarga besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata (DKSHE) IPB, keluarga besar Cantigi Gunung (KSHE angkatan 49),
HIMAKOVA, Kelompok Pemerhati Kupu-Kupu SARPEDON, sahabat dunia
akhirat, serta seluruh pihak yang turut menyukseskan penyusunan karya ilmiah ini
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Desember 2016
Adilia Putri Rahmawati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
METODE 2
Lokasi dan Waktu Penelitian 2
Alat dan Bahan 3
Objek Penelitian 3
Metode Pengumpulan Data 3
Metode Analisis Data 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Hasil 9
Pembahasan 17
SIMPULAN DAN SARAN 23
Simpulan 23
Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 23
LAMPIRAN 26
vii
DAFTAR TABEL
1 Jenis data dan metode pengumpulan data 3 2 Pengukuran ukuran tubuh jalak bali di PPJB Tegal Bunder 4 3 Kategori tingkat inbreeding 8 4 Dasar pemilihan bibit jalak bali jantan dan betina di PPJB Tegal Bunder 9 5 Ciri-ciri morfologis jalak bali jantan dan betina di PPJB Tegal Bunder 10 6 Jenis dan ukuran kandang jalak bali PPJB Tegal Bunder 11 7 Asal indukan transfer jalak bali di PPJB Tegal Bunder 13 8 Nilai koefisien inbreeding jalak bali tiap generasi 14 9 Perbandingan ukuran tubuh jalak bali jantan dan betina pada SPSS 15
10 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak bali tiap generasi pada SPSS 15 11 Perbandingan pola (variasi) jalak bali di PPJB Tegal Bunder 16
12 Rekomendasi skenario pengaturan kawin jalak bali di PPJB Tegal
Bunder 22
DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian 2 2 Contoh silsilah suatu individu X 8 3 Pasangan jalak bali di kandang pembiakan (A) jantan dan (B) betina 10 4 Gowok pada kandang jalak bali di PPJB Tegal Bunder 12 5 Penelusuran silsilah jalak bali dengan kode TNBB 534 13 6 Diagram panah hubungan kekerabatan jalak bali di PPJB Tegal Bunder 14
7 Rentang sayap (A) dan bulu ekor (B) jalak bali di PPJB Tegal Bunder 21 8 Warna mata (A) dan kaki (B) jalak bali di PPJB Tegal Bunder 21
DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan nilai koefisien inbredding jalak bali di PPJB Tegal Bunder 26 2 Silsilah jalak bali di PPJB Tegal Bunder 28
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jalak bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) atau juga dikenal oleh
masyarakat lokal dengan nama curik bali merupakan burung yang berasal dari suku
sturnidae. Jalak bali merupakan satwa endemik Bali yang berstatus terancam punah
(critically endangered) (IUCN 2012) dan saat ini habitat alaminya hanya ditemukan
di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Jalak bali juga terdaftar di dalam Apendiks
I CITES yakni termasuk kelompok yang terancam punah dan dilarang untuk
diperdagangkan. Di Indonesia burung ini masuk dalam kategori jenis yang dilindu
ngi oleh pemerintah melalui SK Menteri Pertanian No.421/Kpts/Um/8/70 tanggal
26 Agustus 1970 dan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa Liar.
Populasi jalak bali di alam setiap tahunnya mengalami penurunan, sampai
dengan tahun 2005 tercatat bahwa jumlah populasi jalak bali di alam sebanyak 12
ekor (Rianto 2006). Menurut TNBB (2013) hal ini disebabkan karena perburuan,
predator, dan kebakaran hutan. Jumlah populasi jalak bali yang sangat sedikit
menjadi alasan pentingnya upaya konservasi, salah satunya adalah penangkaran dan
pelepasliaran hasil penangkaran ke alam. Saat ini, upaya konservasi eks-situ jalak
bali telah tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Keberadaan jalak bali di eks-situ
selain meningkatkan populasi juga dapat membantu upaya konservasi dan
penelitian jalak bali.
Program penangkaran di Pusat Pembinaan Jalak Bali (PPJB) Tegal Bunder
ditujukan untuk menangkarkan jenis yang terancam punah dan dikembalikan atau
dilepasliarkan ke habitat alaminya. Untuk keberhasilan pelepasliaran dibutuhkan
bibit jalak bali yang berkualitas baik dengan salah satu indikator berupa kualitas
dan genetik yang baik. Di dalam penangkaran jalak bali ada kecenderungan
terjadinya silang dalam atau inbreeding. Inbreeding dapat diidentifikasi melalui
analisis silsilah jalak bali dan besarannya dapat dilihat dari nilai koefisien
inbreeding. Inbreeding dapat menimbulkan pengaruh buruk seperti penurunan
fertilitas, peningkatan mortalitas, penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit,
penurunan daya hidup, dan penurunan laju pertumbuhan (Noor 2008). Kondisi
abnormalitas juga dapat terjadi pada satwa sebagai efek dari inbreeding. Untuk
mengetahui terjadinya abnormalitas ini, maka perlu diketahui perihal koefisisen
inbreeding agar dapat dilakukan pengaturan perkawinan dengan tepat dan
penelaahan karakteristik morfologis untuk mengetahui ada atau tidaknya tekanan
inbreeding pada jalak bali di Pusat Pembinaan Jalak Bali (PPJB) Tegal Bunder.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji manajemen perkawinan pada jalak bali di PPJB Tegal Bunder
2. Menghitung hubungan kekerabatan dengan menggunakan diagram pohon dan
koefisien inbreeding pada jalak bali di PPJB Tegal Bunder
2
3. Mengukur perbandingan karakteristik morfologis jalak bali untuk
mengidentifikasi keberadaan tekanan inbreeding pada jalak bali di PPJB Tegal
Bunder.
Manfaat
Hasil penelitian mengenai koefisien inbreeding pada jalak bali diharapkan
dapat dijadikan dasar pengelolaan PPJB dan lembaga konservasi eks-situ lainnya,
dan memperoleh informasi mengenai tingkat inbreeding pada jalak bali, serta
memperoleh informasi mengenai karakteristik morfologis pada jalak bali yang ada
di PPJB Tegal Bunder.
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian mengenai analisis koefisien inbreeding jalak bali dilakukan di
PPJB Tegal Bunder, Taman Nasional Bali Barat tersaji pada Gambar 1. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret – September 2016.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan data antara lain alat tulis,
penggaris, jangka sorong, kamera digital, dan pita ukur. Bahan yang digunakan
adalah tally sheet.
3
Objek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jalak bali
(Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) dengan spesifikasi analisis koefisien
inbreeding.
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Data primer
Data primer merupakan data yang didapatkan langsung di lokasi penelitian.
Data primer yang diambil meliputi manajemen perkawinan, koefisien inbreeding
dan karakteristik morfologis (Tabel 1). Metode pengambilan data meliputi
pengamatan langsung, pengukuran, wawancara semi terstruktur kepada pihak
pengelola, dan perhitungan.
Tabel 1 Jenis data dan metode pengumpulan data
Data yang diambil Metode
Pengamatan Pengukuran Wawancara Perhitungan
A. Manajemen
perkawinan
1. Pemilihan bibit v v
2. Penentuan jenis
kelamin
v v
3. Penjodohan
4. Pemantauan
selama massa
bertelur dan
penyapihan anak
5. Pengaturan
kawin kembali
v
v
v
v
v
v
B. Koefisien
inbreeding
Silsilah jalak bali v v
C. Karakteristik
morfologis
Data kuantitatif
(pengukuran
terhadap peubah
ukuran tubuh)
v v v
Data kualitatif
(warna, pola
bulu sayap dan
bulu ekor)
v
v
Keterangan : v (data yang diambil)
4
A. Manajemen perkawinan
Data mengenai manajemen perkawinan meliputi pemilihan bibit, penentuan
jenis kelamin, penjodohan, dan pengaturan kawin. Data pemilihan bibit di
maksudkan untuk mengetahui cara penentuan jenis kelamin indukan. Kegiatan
pengaturan kawin yaitu cara penjodohan yang dilakukan pengelola.
B. Koefisisen inbreeding
Perhitungan koefisien inbreeding pada jalak bali diawali dengan penelaahan
hubungan kekerabatan atau silsilah seluruh individu jalak bali pada (studbook)
kemudian dibuat dalam diagram panah untuk menentukan hubungan kekerabatan
antar jalak bali (Gambar 16). Pengambilan data juga dilakukan dalam bentuk
wawancara kepada pengelola untuk mengetahui silsilah jalak bali yang ada di PPJB.
C. Karakteristik morfologis
Data karakteristik morfologis yang bersifat kuantitatif meliputi ukuran tubuh
yang diukur mencakup panjang paruh, tinggi paruh, lebar pangkal paruh atas,
panjang kepala, lebar kepala, tinggi kepala, panjang tibia kanan dan kiri, panjang
tarsometatarsus kanan dan kiri, panjang jari kaki ketiga kanan dan kiri, diameter
tarsometatarsus kanan dan kiri, panjang tubuh total, panjang rentang sayap kanan
dan kiri, serta panjang bulu ekor (Tabel 2). Perkembangan pertumbuhan individu-
individu jalak bali ini akan dijadikan salah satu parameter untuk mengetahui
tekanan inbreeding yang terjadi. Salah satu dampak yang ditimbulkan akibat
adanya inbreeding adalah pertumbuhan tidak normal. Pada peubah ukuran tubuh
yang tersebar secara bilateral (kiri-kanan), maka pengukuran dilakukan pada kedua
bagian tubuh tersebut (peubah ukuran tubuh bagian kiri dan bagian kanan).
Data karakteristik morfologis yang bersifat kualitatif meliputi warna dan pola
bulu sayap dan bulu ekor, warna kaki, warna mata, dan daerah sekitar mata. Data
yang diperoleh dijadikan sebagai salah satu indikator terhadap adanya gejala
inbreeding pada jalak bali.
Tabel 2 Pengukuran ukuran tubuh jalak bali di PPJB Tegal Bunder NO Peubah Ukuran Tubuh Gambar Pengukuran
1. Panjang tubuh total
yang diukur dari ujung
paruh sampai dengan
ujung bulu ekor
5
Tabel 2 Pengukuran peubah ukuran tubuh jalak bali di PPJB Tegal Bunder
(lanjutan) No Peubah Ukuran Tubuh Gambar Pengukuran
2. Panjang paruh yang
merupakan panjang
maxilla (paruh atas)
3. Tinggi paruh pada
bagian paruh tertinggi
4. Lebar pangkal paruh
atas diukur melintang
pada lebar pangkal
paru atas
5. Panjang kepala yang
diukur dari bagian
tengkuk hingga ujung
paruh
6. Lebar kepala yang
diukur dari bagian
tengah kepala terlebar
6
Tabel 2 Pengukuran peubah ukuran tubuh jalak bali di PPJB Tegal Bunder
(lanjutan) No Peubah Ukuran Tubuh Gambar Pengukuran
7. Tinggi kepala diukur
dari bagian tinggi
kepala terbesar
8. Panjang rentang sayap
diukur dari pangkal
sayap hingga ujung
sayap
9. Panjang ekor yang
diukur dari pangkal
ekor sampai ujung
ekor
10. Panjang kaki yang
diukur dari pangkal
kaki hingga ujung kaki
11. Panjang tibia diukur
dari panjang tulang
femur hingga tulang
metatarsal
7
Tabel 2 Pengukuran peubah ukuran tubuh jalak bali di PPJB Tegal Bunder
(lanjutan) No Peubah Ukuran Tubuh Gambar Pengukuran
12. Panjang
tarsometatarsus diukur
dari persendian
tarsometatarsus
sampai tempat jari-jari
kaki melekat
13. Panjang jari ketiga
diukur dari pangkal
hingga ujung jari
ketiga
14. Diameter
tarsometatarsus diukur
mengelilingi
tarsometatarsus
Data sekunder Data sekunder yang diambil meliputi data jalak bali yang ada di studbook atau
buku catatan informasi jalak bali dan data mengenai jalak bali berdasarkan literatur
yang berkaitan dengan tujuan penelitian seperti buku, jurnal ilmiah, skripsi, dan
artikel.
Metode Analisis Data
Manajemen perkawinan
Data menajemen perkawinan dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan
dijabarkan dalam uraian atau penjelasan disertai dengan gambar atau foto untuk
memperjelas atau indikator tentang ada tidaknya pengaruh inbreeding terhadap
manajemen perkawinan.
8
Perhitungan koefisien inbreeding
Menurut Noor (2008), koefisien inbreeding dapat dihitung menggunakan
diagram panah. Pembuatan diagram panah setiap individu pada kedua silsilah
tersebut dimasukkan sekali pada diagram panah walaupun pada kenyataannya
individu-individu tersebut muncul beberapa kali. Contoh silsilah (pohon filogeni)
dan aliran genetik disajikan dalam Gambar 2.
(a) (b) M : Male, F : Female
Gambar 2 (a) Silsilah suatu individu G; (b) Aliran gen individu G.
Langkah 1 : Individu G memiliki nenek moyang yang sama (B), dapat dipastikan
bahwa koefisian inbreeding-nya lebih besar dari nol
Langkah 2 : Nenek moyang B tidak diketahui sehingga koefisien inbreeding B
diasumsikan nol (noninbred)
Langkah 3 : Terdapat satu moyang bersama individu G, yaitu G-D-B-E-G.
Koefisien inbreeding dari individu dihitung dengan menentukan n, yaitu
banyaknya individu dalam alur (tidak termasuk individu yang diperhatikan) yang
terdiri dari moyang bersama dari tetua yang kawin sedarah (inbred). Nilai F berkisar
antara 0 atau tidak ada perkawinan sedarah sama sekali hingga 1 atau kawin sedarah
total (Allendorf dan Luikart 2008). Perhitungan koefisien inbreeding pada dasarnya
adalah mengalikan koefisien kekerabatan dengan ½ . Nilai koefisien inbreeding
dihitung dengan rumus menurut Allendorf dan Luikart (2008) :
Fx= Σ[( 1/2)n-1 (1+Fca )] Keterangan:
F = Nilai Koefisien inbreeding
n = banyaknya anak panah dalam setiap jalur
Fca = Koefisien inbreeding moyang bersama
Menurut Cervantes et al. (2007), hasil perhitungan koefisien inbreeding ini
kemudian dibagi ke dalam empat selang nilai disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Kategori tingkat inbreeding
Nilai Koefisien Inbreeding (F) Kategori
0 Non Inbreed
0 - 6,25 % Rendah
6,25 - 12,5 % Sedang
> 12,5 % Tinggi Sumber: Cervantes et al. (2007)
G B (M)
E (F)
D (M)
G
A (M) B (F) B (M) C (F)
E (F) D (M)
9
Karakteristik morfologis
Data karakteristik morfologis yang dianalisis berupa data kuantitatif dan
kualitatif. Data kuantitatif ditabulasi dan dihitung nilai rataan dan simpangan
bakunya, selanjutnya dilakukan pengujian perbandingan nilai rataan dengan uji t-
student pada selang kepercayaan 95% menggunakan software SPSS untuk
menentukan adanya perbedaan antar jenis kelamin dan tiap generasinya. Data
kualitatif dianalisis secara deskriptif untuk menentukan ada tidaknya indikasi
tekanan inbreeding karena terjadinya penurunan dari sifat-sifat morfologisnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Manajemen perkawinan
Manajemen perkawinan atau reproduksi merupakan komponen pengelolaan
yang penting dan perlu diperhatikan dalam penangkaran satwa karena salah satu
indikator keberhasilan sebuah penangkaran. Pemilihan indukan yang tepat dapat
menjadi faktor penentu keberhasilan reproduksi. Berdasarkan hasil pengamatan dan
wawancara oleh pihak pengelola, aspek reproduksi yang terdapat di penangkaran
PPJB Tegal Bunder meliputi pemilihan bibit, penentuan jenis kelamin, penjodohan,
pemantauan selama masa bertelur dan penyapihan anak, serta pengaturan kawin
kembali.
1. Pemilihan bibit
Langkah awal dalam menangkarkan jalak bali yaitu dengan menyeleksi atau
memilih bibit kualitas baik yang nantinya akan dipelihara atau dikembangbiakan.
Tujuan dari adanya seleksi bibit ini unuk mendapatkan jalak bali yang benar-benar
bagus dan sehat sehingga nantinya dapat menghasilkan indukan yang berkualitas
baik. Dasar bagi pengelola penangkaran PPJB Tegal Bunder dalam pemilihan bibit
jalak bali untuk indukan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Dasar pemilihan bibit jalak bali jantan dan betina di PPJB Tegal Bunder
No Kriteria Jantan Betina
1 Perilaku Aktif (lincah) Aktif (Lincah)
2 Bulu Bulu terlihat tidak kusam Bulu terlihat tidak kusam
3 Usia Minimal berumur 1 tahun Minimal berumur 8 bulan
4 Fisik Tidak cacat atau kelainan Tidak cacat atau kelainan
2. Penentuan jenis kelamin
Penentuan jenis kelamin merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah
dilakukan, karena tampilan luar antara jalak bali jantan dan jalak bali betina tidak
jauh berbeda. Penangkaran di PPJB Tegal Bunder mempunyai cara sendiri dalam
menentukan jenis kelamin jantan dan jenis kelamin betina pada jalak bali
berdasarkan morfologi dan aktivitasnya (Tabel 5).
10
Tabel 5 Ciri-ciri morfologis jalak bali jantan dan betina di PPJB Tegal Bunder
No Kriteria Ciri Jantan Betina
1 Morfologis Postur Tubuh Tampak lebih besar
dari betina
Tampak lebih kecil
dari jantan
Jambul Menjurai diatas
kepala lebih panjang
Menjurai di atas
kepala lebih pendek
Daerah
sekitar mata
Warna biru lebih
gelap, permukaan
mata tampak lebih
kasar
Warna biru lebih
terang, permukaan
mata tampak lebih
halus
2 Aktivitas Gerakan
Lebih aktif dan
agresif
Kurang aktif
Identifikasi jenis kelamin penting untuk mempermudah proses perkawinan
sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemilihan indukan, baik pada jantan
maupun betina. Di penangkaran jalak bali PPJB Tegal Bunder identifikasi jenis
kelamin jalak bali dilakukan dengan melihat ciri morfologis yang ada pada jantan
dan betina (Gambar 3).
Gambar 3 Pasangan jalak bali di kandang pembiakan (A) jantan dan (B) betina
3. Penjodohan
Langkah awal yang dilakukan untuk mengembangbiakan jalak bali adalah
membentuk pasangan atau menjodohkan pasangan jalak bali yang ditangkarkan.
Penjodohan dilakukan dengan mengawinkan satu jantan dan satu betina dalam satu
kandang pembiakan (Tabel 6).
11
Tabel 6 Jenis dan ukuran kandang jalak bali di PPJB Tegal Bunder
No Jenis
Kandang Jumlah
Ukuran
Kandang Fasilitas Fungsi
1 Kandang
Pembiakan
37 4 m x 4 m x
2,5 m dan 3
m x 2,5 m x
2,25 m
Gowok (tempat
bersarang),
tempat
bertengger, pohon
(sawo, murbei,
tekik), tempat
makan dan
minum
Penjodohan,
bertelur,
mengeram,
menetas, dan
mengasuh
anakan
2 Kandang
Sapihan
5 3 m x 3 m x
2,5 m
Tempat
bertengger, pohon
(sawo, murbei,
tekik), tempat
makan dan
minum
Menampung
anakan usia
sapih
3 Kandang
Karantina
2 4 m x 3 m x
2,5 m
Tempat
bertengger,
tempat makan dan
minum
Menempatkan
burung-
burung jalak
bali yang baru
datang atau
burung yang
sakit
4 Kandang
Habituasi
(kubah)
2 Tinggi 27,5
m dan
diameter
17,5 m
Gowok (2 buah),
tempat
bertengger,
tempat makan dan
minum, rumput,
pohon (asam)
Menampung
individu yang
akan
dilepasliarkan
(individu
calon
pelepasliaran)
Penentuan pasangan dilakukan dengan membiarkan jalak bali memilih
pasangannya sendiri, dengan cara menempatkan beberapa pasang jalak bali yang
sudah dewasa kelamin di dalam satu kandang biak. Perkembangbiakan diawali
dengan pemilihan pasangan jalak bali pada kandang sapih. Induk diperoleh dari
anakan di kandang sapih, yaitu individu anakan yang telah berumur lebih dari 7
bulan. Pemilihan calon indukan dari kandang sapih harus berasal dari individu
anakan burung yang menunjukkan tingkah laku berpasangan. Hal ini akan
mempengaruhi keberhasilan penjodohan burung jalak bali. Apabila terdapat jalak
bali yang berpasangan, maka akan diamati lebih lanjut kecocokan pasangannya,
termasuk diperiksa hubungan kekerabatannya dengan cara melihat buku silsilah
(studbook). Berdasarkan perilakunya akan ditetapkan pasangan untuk masing-
masing jalak bali apabila menunjukan ketidakcocokan maka pasangan akan diganti
dengan yang baru. Jalak bali yang sudah berjodoh ditandai selalu berdua dengan
pasangannya dan berkicau sahut menyahut. Pasangan jalak bali yang telah berjodoh
diamati perkembangannya sampai terjadi perkawinan dan bertelur. Apabila sudah
terjadi proses perkawinan, maka intensitas perawatan kandang harus dikurangi.
12
Keberhasilan penjodohan jalak bali sangat tergantung pada keberhasilan pemilihan
bibit dan membedakan jenis kelamin (jantan dan betina), baik pada jalak anakan
maupun jalak dewasa, oleh karena itu burung yang akan dijodohkan harus dapat
dipastikan kualitas bibit baik dan jenis kelaminnya masing-masing (jandan dan
betina).
4. Pemantauan selama massa bertelur dan penyapihan anak
Penangkaran PPJB Tegal Bunder selama satu tahun jalak bali betina dapat
menghasilkan empat kali masa bertelur. Proses perkawinan jalak bali menurut
pengelola PPJB Tegal Bunder terjadi setiap bulan dengan jumlah telur yang
dihasilkan antara 2 – 4 butir, dengan masa bertelur selama 2 hari. Jalak bali betina
mengeluarkan telur per hari dan terus berlanjut hingga jumlah telur di tubuhnya
habis. Proses dilanjutkan dengan mengerami telur selama 14 hari hingga menetas.
Telur jalak bali menetas pada usia 14-15 hari. Apabila telah memasuki hari ke-16,
maka telur yang gagal menetas dibuang agar tidak membusuk di dalam gowok.
Kandang pembiakan dilengkapi dengan gowok (Gambar 4) yang berfungsi
untuk tempat meletakkan telur. Keberhasilan kawin dapat dilihat dari tingkah laku
betina yang aktif membuat sarang di dalam gowok, tingkah laku tersebut dapat
dilihat dengan adanya aktivitas betina mengumpulkan bahan-bahan sarang yang
dimasukkan ke dalam gowok sebagai tempat bertelur.
Gambar 4 Gowok di dalam kandang jalak bali di PPJB Tegal Bunder
Pengecekan telur dilakukan setiap hari dan dilakukan pencatatan terkait tanggal
bertelur indukan. Berdasarkan hasil wawancara dari pihak pengelola PPJB Tegal
Bunder penyebabkan kegagalan dalam penetasan telur jalak bali biasanya
dikarenakan faktor lingkungan sehingga ini dapat mempengaruhi proses
pengeraman pada indukan.
5. Pengaturan kawin kembali
Pengaturan kawin jalak bali kembali dilakukan pasca penyapihan anak.
Penyapihan anakan di PPJB Tegal Bunder ini dilakukan secara alami, yaitu
penyapihan dilakukan secara intensif oleh indukan sendiri. Penyapihan secara alami
ini untuk menjaga sifat liar dari burung jalak bali karena penangkaran ini bertujuan
menghasilkan keturunan yang produktif untuk memenuhi kebutuhan cikal bakal
peliaran dalam rangka pemulihan populasi liar Jalak Bali. Penyapihan secara alami
juga bertujuan untuk mengurangi kematian jalak bali di penangkaran. Proses
13
penyapihan indukan terhadap anakannya berlangsung selama 45 hari atau sampai
anakan bisa makan dengan sendirinya. Pengaturan kawin kembali dapat dilakukan
ketika indukan telah selesai melakukan penyapihan anakan ± 45 hari. Selama
pengaturan kawin kembali pasangan jalak bali akan diamati perilakunya, ketika
salah satu individu jalak bali menunjukkan perilaku tidak mau kawin maka indukan
akan diganti.
Koefisien inbreeding
Jalak bali di penangkaran PPJB Tegal Bunder berdasarkan data terakhir
Januari 2015 berjumlah 150 individu dengan jumlah jantan 34 individu, betina 35
individu, dan anakan berjumlah 81 individu. Indukan jalak bali didapatkan melalui
sumbangan dan penukaran antar indukan dari beberapa penangkaran (Tabel 7).
Asal indukan jalak bali yang ada di penangkaran PPJB Tegal Bunder
diberikan kode atau penamaan untuk memudahkan penjodohan jalak bali (Tabel 7),
antara lain yaitu Kebun Binatang Surabaya (KBS), Taman Mini Indonesia Indah
(TMII), Taman Safari Indonesia (TSI), BKSDA DKI (DKI), penangkar di
Denpasar (DPS), penangkar di Bandung (BDG), penangkar di Madiun (MDN),
Asosiasi Penangkar Curik Bali (APCB), dan Pemerintah Jepang (Jepang).
Tabel 7 Asal indukan transfer jalak bali di PPJB Tegal Bunder
No Transfer Jumlah
Asal Tahun Jumlah
1 1995 3 3 KBS
2 1996 6 8 KBS/DPS
3 1997 12 20 TMII/BDG
4 1998 10 30 TMII
5 1999 7 31 TMII/MDN/TSI
6 2000 - 17 -
7 2001 - 5 -
8 2002 4 9 DKI/BDG
9 2003 9 14 DKI/BDG
10 2004 34 35 DKI/Jepang
11 2005 2 35 TSI/APCB
12 2007 30 33 TSI/Jepang
13 2009 30 31 TSI/Jepang Sumber : BTNBB 2012
Berdasarkan penelusuran silsilah Gambar 5 dapat dilihat bahwa asal indukan
jalak bali di penangkaran PPJB Tegal Bunder adalah DPS 2, KBS 82, KBS 104,
KBS 103, 0319 RTMII dan 048 CZoo dengan tetua nenek moyang yang tidak
diketahui sehingga diasumsikan berasal dari alam dengan koefisien inbreeding 0.
Inbreeding terjadi pada perkawinan antara jalak bali jantan TNBB 424 dengan
betina TNBB 428.
14
M : Male, F : Female
Gambar 5 Penelusuran silsilah jalak bali dengan kode TNBB 685
Jalak bali jantan TNBB 424 dengan betina TNBB 428 merupakan saudara
sedarah sehingga perkawinan antar kedua jalak bali ini menghasilkan anakan yang
inbreed yaitu TNBB 685. Hal ini menghasilkan data diagram panah kekerabatan
seperti dalam Gambar 6. Nilai koefisien inbreeding pada individu TNBB 685
sebesar 0.062.
Keterangan : : Hubungan antara individu ke anak jalak bali di PPJB Tegal Bunder
M : Male
F : Female
Gambar 6 Diagram panah hubungan kekerabatan jalak bali di PPJB Tegal Bunder
Hasil analisis dari data silsilah dan hubungan kekerabatan jalak bali yang
berada di penangkaran PPJB Tegal Bunder berdasarkan perhitungan nilai koefisien
inbreeding memiliki hasil seperti ditampilkan pada Tabel 8 (Lampiran 1-2).
Tabel 8 Nilai koefisien inbreeding jalak bali di PPJB Tegal Bunder tiap generasi
No Status Filial Jumlah Total Kosfisien Inbreeding
1 F2 1 0.25
2 F3 12 0.71
3 F4 32 1.22
4 F5 4 0.03
Rata-rata 0.045 Keterangan: F2 : Anak generasi 2
F3 : Anak generasi 3
F4 : Anak generasi 4
F5 : Anak generasi 5
DPS 2
M
048 CZoo
F
0319 RTMII
M
KBS 103
F
KBS 104
M
KBS 103
F
KBS 104
M KBS 82
F
TNBB 31
M TNBB 57
F TNBB 77
M
TNBB 33
F
TNBB 428
F TNBB 424
M
TNBB 685 TNBB 686 TNBB 687 TNBB 672
TNBB
685
428 (F)
424 (M)
57 (F)
33 (F)
Kbs 103
(F)
Kbs 104
(M)
15
Berdasarkan data yang diperoleh (Tabel 8), terdapat empat generasi jalak bali
dengan koefisien inbreeding yang berbeda. Koefisien inbreding mulai terjadi pada
generasi kedua sebesar 0.25, generasi ketiga terdapat 12 individu dengan nilai
koefisien inbreeding yaitu 0.71. Koefisien terbanyak terjadi pada generasi keempat
terjadi pada 32 individu dengan nilai koefisien inbreeding sebesar 1.22. Generasi
kelima terdapat empat individu dengan koefisiean inbreeding sebesar 0.03
Karakteristik morfologis
Hasil perbandingan ukuran tubuh jalak bali jantan dan betina disajikan di
dalam Tabel 9 dan hasil perbandingan ukuran tubuh jalak bali tiap generasi
disajikan pada Tabel 10.
Tabel 9 Perbandingan ukuran tubuh jalak bali jantan dan betina pada SPSS
No Parameter (cm) Jantan
(n=3)
Betina
(n=3)
Uji t-
student
1 Panjang total tubuh 25.91 ± 0.75 25.44 ± 0.46 0.503
2 Panjang paruh 2.64 ± 0.32 2.64 ± 0.23 0.691
3 Tinggi paruh 0.96 ± 0.26 0.91 ± 0.09 0.14
4 Lebar pangkal paruh 0.92 ± 0.05 0.9 ± 0.04 0.83
5 Panjang kepala 7.03 ± 0.35 6.73 ± 0.65 0.352
6 Lebar kepala 2.51 ± 0.5 2.39 ± 0.41 0.666
7 Tinggi kepala 2.66 ± 0.25 2.62 ± 0.37 0.457
8 Panjang rentang sayap kiri 18.89 ± 1.56 18.7 ± 0.94 0.254
9 Panjang rentang sayap kanan* 18.86 ± 1.63 18.59 ± 0.36 0.039
10 Panjang ekor 9.46 ± 0.68 9.69 ± 0.31 0.297
11 Panjang kaki 6.24 ± 0.51 6.4 ± 0.7 0.688
12 Panjang tibia kanan 5.19 ± 0.21 5.09 ± 0.21 0.974
13 Panjang tibia kiri 5.22 ± 0.22 5.13 ± 0.19 0.707
14 Panjang tarsometatarsus kanan 3.3 ± 0.32 3.21 ± 0.67 0.089
15 Panjang tarsometatarsus kiri 3.25 ± 0.27 3.22 ± 0.21 0.601
16 Panjang jari ketiga kanan 3.01 ± 0.07 3.14 ± 0.11 0.444
17 Panjang jari ketiga kiri 2.99 ± 0.07 3.27 ± 0.1 0.358
18 Diameter tarsometatarsus kanan 0.31 ± 0.01 0.36 ± 0.05 0.066
19 Diameter tarsometatarsus kiri 0.37 ± 0.01 0.32 ± 0.23 0.116 Keterangan : *) Beda nyata (P<0,05)
Tabel 10 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak bali tiap generasi pada SPSS
No Parameter (cm) F0
(n=3)
F1
(n=4)
F2
(n=4)
1 Panjang total tubuh 23.3 ± 0.31a 24.01 ± 1.17a 24.87 ± 0.33a
2 Panjang paruh* 1.95 ± 0.31a 2.02 ± 0.06a 2.08 ± 0.16b
3 Tinggi paruh 0.96 ± 0.14a 0.91 ± 0.20a 0.92 ± 0.10a
4 Lebar pangkal paruh 0.92 ± 0.08a 0.9 ± 0.01a 0.86 ± 0.04a
5 Panjang kepala 5.66 ± 0.85a 6.1 ± 0.09a 6.19 ± 0.09a
16
Tabel 10 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak bali tiap generasi pada SPSS
(lanjutan)
No Parameter (cm) F0
(n=3)
F1
(n=4)
F2
(n=4)
6 Lebar kepala* 2.17 ± 0.67a 2.21 ± 0.18a 1.95 ± 0.13b
7 Tinggi kepala 3.56 ± 0.91a 3.16 ± 0.17a 2.64 ± 0.17a
8 Panjang rentang sayap kiri 18.89 ± 1.56a 18.7 ± 0.37a 19.12 ± 0.41a
9 Panjang rentang sayap
kanan 18.86 ± 1.63a 18.56 ± 0.36a 18.51 ± 0.11a
10 Panjang ekor 6.91 ± 0.74a 6.97 ± 0.22a 8.76 ± 0.37a
11 Panjang kaki 6.2 ± 0.51a 6.39 ± 0.85a 5.99 ± 0.19a
12 Panjang tibia kanan 5.18 ± 0.21a 5.09 ± 0.05a 4.90 ± 0.37a
13 Panjang tibia kiri 5.22 ± 0.21a 5.13 ± 0.06a 5.18 ± 0.22a
14 Panjang tarsometatarsus
kanan 3.3 ± 0.33a 3.21 ± 0.07a 3.19 ± 0.28a
15 Panjang tarsometatarsus
kiri 3.25 ± 0.27a 3.22 ± 0.05a 3.11 ± 0.11a
16 Panjang jari ketiga kanan 3.17 ± 0.08a 3.28 ± 0.02a 2.81 ± 0.10a
17 Panjang jari ketiga kiri 2.99 ± 0.07a 3.27 ± 0.53a 2.89 ± 0.18a
18 Diameter tarsometatarsus
kanan 0.30 ± 0.04a 0.36 ± 0.07a 0.30 ± 0.02a
19 Diameter tarsometatarsus
kiri 0.34 ± 0.03a 0.32 ± 0.01a 0.27 ± 0.04a
Keterangan : *) huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
P<0,05)
Penelaahan terhadap pola warna bulu sayap, bulu ekor, mata, kaki dari ketiga
pasang jalak bali contoh dibandingkan dengan pola (variasi) merutut (Alikodra
1987) tidak menujukan tidak ada perbedaan (Tabel 11).
Tabel 11 Perbandingan pola (variasi) jalak bali di PPJB tegal Bunder
No Parameter Alikodra (1987)
Hasil Warna Pola
1 Bulu Sayap Putih bersih hanya pada
ujung sayap berwarna
hitam (blackspotted)
Rata - rata memiliki
17-18 helai bulu
sayap
Tidak
berbeda
2 Bulu ekor Putih bersih hanya pada
ujung ekor berwarna
hitam (blackspotted) ±
25 mm
Rata - rata memiliki
10-11 helai bulu
ekor
Tidak
berbeda
3 Mata Biru tua Pelupuk mata
berwarna biru tua
mengelilingi bola
mata
Tidak
berbeda
4 Kaki Biru abu - abu empat jemari ( satu
ke belakang dan tiga
kedepan)
Tidak
berbeda
17
Pembahasan
Manajemen perkawinan
Faktor yang sangat diperhatikan pada proses pengembangbiakan di
penangkaran PPJB Tegal Bunder adalah pemilihan bibit indukan jalak bali,
penentuan jenis kelamin, penjodohan, dan pengaturan kawin. Tujuan dari seleksi
bibit ini adalah untuk mendapatkan bibit jalak bali yang benar-benar bagus dan
sehat sehingga nantinya dapat menghasilkan jalak bali yang berkualitas baik. Dalam
hal penangkaran, kualitas bibit yang digunakan perlu memperoleh perhatian sangat
serius, khususnya dalam hal variasi genetiknya (Thohari 1987). Apabila bibit jalak
bali yang digunakan kualitasnya buruk, seberapa pun bagusnya kualitas
pemeliharaan yang telah diberikan tidak akan memperoleh hasil yang maksimal.
Menurut Masy’ud (2010) pemilihan bibit jalak bali yang dijadikan sebagai indukan
yaitu harus dalam kondisi sehat dan tidak cacat, energik (aktif), nafsu makannya
baik, mata jernih, bulunya bersih mengkilap, dan gerakannya lincah. Hal ini juga
dijadikan dasar bagi pengelola penangkaran PPJB Tegal Bunder, pemilihan bibit
jalak bali memiliki ciri-ciri sehat yaitu mempunyai tingkah laku yang aktif lincah
dan bulu terlihat tidak kusam (bulu harus terlihat cerah dan mengembang). Menurut
Panuju dan Sri (2006) memilih calon indukan yang unggul baik betina maupun
jantan harus mempertimbangkan tujuh kriteria yakni (1) sehat, (2) tidak cacat, (3)
tidak mudah stress, (4) jika bisa burung calon indukan hasil penangkaran, (5) tidak
buas, (6) mutu suara bagus dan (7) bentuk fisik besar dan lincah, sehingga perlu
dijadikan acuan tambahan bagi pengelola dalam pemilihan bibit jalak bali. Jalak
Bali mempunyai sifat yang peka tehadap gangguan, mudah mengalami stress dalam
keadaan lingkungan yang tidak wajar (Alikodra 1987). Secara umum burung jalak
bali yang dipilih sebagai bibit lebih baik yang masih muda karena kemungkinan
stress dengan sifat liarnya relatif kecil (Masy’ud 2010).
Identifikasi jenis kelamin jalak bali yang dikenal dengan istilah sexing ini
sangat penting untuk dilakukan karena berkaitan dengan proses penjodohan. Hal ini
untuk mempermudah proses penjodohan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
pemilihan indukan, baik pada jantan maupun pada betina yang dijodohkan.
Masy’ud (2010) juga menyebutkan jalak bali termasuk burung monomorfik yang
memiliki tampilan luar relatif sama, maka membedakan jenis kelamin antara
burung jantan dan betina relatif sulit. Tidak ada kriteria baku dalam menentukan
jenis kelamin jalak bali. Penangkaran PPJB Tegal Bunder mengidentifikasi jalak
bali dengan melihat ukuran tubuh, jambul, dan daerah sekitar mata. Jalak bali jantan
mempunyai ciri berupa bentuk tubuh yang lebih besar dari burung jalak bali betina,
burung jalak bali jantan mempunyai ukuran bulu jambul di kepala yang lebih
panjang dari burung jalak bali betina, serta bagian kulit yang tidak berbulu di sekitar
mata pada burung jalak bali jantan terasa dan terlihat lebih kasar dari pada burung
betina serta terlihat berwarna lebih biru tua dari pada burung betina (Gambar 3).
Pengelola PPJB Tegal Bunder dalam mngidentifikassi jenis kelamin jalak bali
diamati juga melalui aktivitas yaitu jalak bali jantan lebih aktif dan agresif
dibandingkan betina. Menurut Masy’ud (2010) perbedaan antara jalak bali jantan
dan jalak bali betina yaitu jalak bali jantan memiliki volume suara yang lebih besar,
bulunya lebih cerah, gerakannya lincah dan gesit, serta jambulnya relatif lebih
panjang jika dibandingkan dengan betina. Selain itu Yunanti (2012) menambahkan,
untuk menentukan jenis kelamin pada jalak bali dapat dilakukan dengan teknik
18
endoskopi (pemeriksaan organ kelamin bagian dalam melalui pembedahan ringan
dan dengan bantuan endoskop) dan analisa karyotipe (kromosoma) atau analisa
DNA.
Penjodohan terhadap jalak bali yang berada di penangkaran PPJB Tegal
Bunder adalah dengan mengawinkan satu jantan dengan satu betina dalam satu
kandang pembiakan. Jalak tergolong hewan monogamus yang hanya memiliki satu
pasangan dalam satu musim kawin sehingga sex rasionya adalah 1:1 (Masy’ud
2010). Penentuan pasangan dilakukan dengan membiarkan jalak bali memilih
pasangannya sendiri, dengan cara menempatkan beberapa pasang jalak bali yang
sudah dewasa kelamin di dalam satu kandang biak, cara penentuan pasangan seperti
ini telah sesuai dengan Masy’ud (2010) dan penelitian Yunanti (2012) di
penangkaran Mega Bird and Orchid Farm Bogor. Campur tangan manusia
dilakukan dalam mengatur pemilihan pasangan. Sistem monogami yang
dikembangkan tidak bersifat tetap, artinya pasangan yang dibentuk bisa diganti atau
dipasangkan lagi dengan yang lain. Hal ini juga dilakukan oleh pengelola
penangkaran PPJB Tegal Bunder ketika salah satu pasangan baik itu jantan atau
betina yang menunjukkan sikap tidak mau bereproduksi maka akan digantikan
dengan indukan yang lainnya. Jalak bali yang sudah berjodoh ditandai selalu berdua
dengan pasangannya dan berkicau sahut menyahut. Masy’ud (2010) juga
menyatakan hal yang sama, calon indukan yang sudah berjodoh dan memasuki
masa birahi akan ditandai dengan perilaku bersuara/berkicau sepanjang hari yang
diikuti dengan aktivitas saling dekat.
Jalak bali penangkaran PPJB Tegal Bunder selama satu tahun dapat
menghasilkan empat kali masa bertelur, namun berdasarkan hasil penelitian Aziz
(2013) di penangkaran UD Anugrah Kediri menunjukkan bahwa jalak bali selama
satu tahun dapat menghasilkan 12 kali masa bertelur. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan cara pembesaran piyik yang dilakukan oleh penangkar. Purnamasari
(2014) juga menyatakan hal yang sama yaitu perbedaan masa bertelur dapat
dipengaruhi oleh pengaturan perkembangbiakan, perawatan, pembesaran anak dan
frekuensi perawatan burung berhubungan nyata dengan kematian burung. Menurut
Masy’ud (2010) perkembangbiakan jalak bali di penangkaran pada dasarnya dapat
diatur, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih maksimal. Tingkat gangguan
lingkungan kandang juga sangat berpengaruh terhadap daya tetas telur, terutama
untuk pasangan burung jalak bali. Dalam pengamatan diketahui bahwa jika ada
gangguan maka cenderung induk betina jalak bali yang sedang mengerami telur
akan meninggalkan telurnya bahkan seringkali telurnya dimakan atau dipecahkan.
Hal ini sejalan dengan penelitian Widiyanti (2015) burung jalak bali sifat liarnya
masih relatif tinggi sehingga kepekaannya terhadap gangguan faktor lingkungan
masih sangat tinggi. Masy’ud (2010) juga menyatakan hal yang sama, dalam proses
perkawinan intensitas kandang harus dikurangi dan faktor-faktor gangguan sedapat
mungkin harus dihindari karena jika terdapat gangguan jalak bali seringkali
memperlihatkan sifat tidak mau bertelur, dan tidak mau mengerami telurnya bahkan
kanibalisme.
Pemilihan pembesaran anakan jalak bali secara alami dimaksudkan untuk
menjaga sifat liar karena penangkaran ini bertujuan untuk pelepasliaran jalak bali
di alam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yunanti (2012) perawatan secara alami
akan menghasilkan anak-anak burung tumbuh secara sehat dan mandiri karena
piyik mendapatkan menu makanan yang paling sesuai, kenyamanan hidup yang
19
optimal dalam lingkungan “kasih sayang” induk, serta mendapatkan pendidikan
dasar dari indukannya. Penangkaran PPJB Tegal Bunder juga melakukan
penyapihan secara alami dengan tujuan untuk megurangi kematian pada jalak bali
hal ini telah dibuktikan oleh penelitian Widiyanti (2015) bahwa angka kematian
piyik jalak bali di PPJB Tegal Bunder lebih kecil jika dibandingkan dengan
penangkaran UD Anugrah Kediri. Pengaturan kawin kembali dapat dilakukan
ketika indukan telah selesai melakukan penyapihan anakan ± 45 hari. Menurut
Masy’ud (2010) Jalak bali yang telah bertelur dan menetaskan anaknya akan
bertelur kembali setelah berusia sekitar 4-5 minggu atau jarak waktu bertelur sekitar
dua bulan.
Koefisien inbreeding
Inbreeding merupakan perkawinan yang terjadi antara dua individu yang
berasal dari satu garis keluarga dekat (Thohari 1987). Inbreeding atau silang dalam
adalah persilangan antar satwa yang memiliki hubungann kekerabatan yang lebih
dekat jika dibanding dengan rataan hubungann kekerabatan kelompok tempat satwa
tersebut (Noor 2008). Menurut Allendorf dan Luikart (2008) perkawinan
inbreeding akan menyebabkan kehilangan variasi genetik. Kedua individu yang
dikawinkan secara inbreeding tersebut akan mempunyai moyang bersama pada
beberapa generasi keatasnya dan dengan adanya peristiwa inbreeding pada satwa
berpengaruh terhadap pertumbuhan satwa tersebut (Dinarwati 2011). Dengan
demikian, keturunan dari hasil perkawinan inbreeding ini akan mempunyai dua gen
pada lokus yang identik dengan gen moyang bersama (Hardjosubroto, 2001).
Berdasarkan data yang diperoleh (Tabel 8), terdapat empat generasi jalak bali
dengan koefisien inbreeding yang berbeda. Koefisien inbreding mulai terjadi pada
generasi kedua sebesar 0,25. Generasi ketiga terdapat 12 individu dengan nilai
koefisien Inbreeding yaitu 0,71. Koefisien terbanyak terjadi pada generasi keempat
terjadi pada 32 individu dengan nilai koefisien inbreeding sebesar 1,22. Generasi
kelima terdapat empat individu dengan koefisiean inbreeding sebesar 0,03.
Cervantes et al. (2007) menyajikan nilai koefisien inbreeding berdasarkan
selang angka tertentu. Secara umum, rata-rata koefisien inbreeding jalak bali di
PPJB Tegal Bunder adalah 0,045 atau 4,5 % sehingga termasuk kedalam kategori
rendah. Hal ini perlu sangat diperhatikan oleh pihak pengelola penangkaran di PPJB
Tegal Bunder. Inbreeding di PPJB Tegal Bunder dapat berubah apabila terus
dilakukan kawin, maka kategori inbreeding yang ada dapat meningkat yang
disebabkan keterbatasan jumlah pasangan jantan dan betina dalam populasi jalak
bali yang bisa dikawinkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiener (1994) bahwa
pada populasi yang terbatas, inbreeding tidak dapat dihindari namun hanya dapat
dikurangi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi inbreeding yaitu
mengawinkan jalak bali secara teratur disertai dengan pencatatan yang lengkap
terhadap semua individu. Menurut Thohari (1987) semakin tinggi variasi genetik
dari bibit yang digunakan maka semakin tinggi kualitasnya sebagai induk, demikian
pula kualitas yang diharapkan pada keturunannya akan bertambah kecil apabila
jumlah populasi pada penangkaran semakin besar. Menurut Armbruster dan Reed
(2005) efek dari inbreeding cenderung terjadi lebih parah di dalam komunitas yang
terbatas dengan tekanan yang tinggi. Nilai koefisien inbreeding jalak bali di
penangkaran PPJB Tegal Bunder dapat berkurang dengan menerapkan cara
20
pengembangbiakkan satwa menurut Thohari (1987) agar terhindar dari inbreeding,
antara lain:
1. Pada penangkaran jalak Bali perlu dilakukan perkawinan secara teratur dan
pencatatan terhadap semua individu secara lengkap. Dengan demikian,
pengelola akan tahu kedudukan seluruh individu dalam keluarga.
2. Secara berkala dimasukkan individu-individu jalak Bali baru dan memiliki
kekerabatan yang jauh dengan individu lama dalam kelompok yang sedang
ditangkar, sebagai upaya penyegaran genetik ke dalam kelompok lama.
Apabila kondisi jumlah jalak bali dengan hubungan sedarah tinggi maka
kemungkinan munculnya gejala efek gen lethal pada jalak bali pun tinggi dan akan
memicu terjadinya pengurangan, atau bahkan kepunahan satwa baik di alam dan
dalam penangkaran (Rivanisa 2015). Penurunan keanekaragaman genotipe sebagai
akibat dari efek inbreeding, penyimpangan genetik atau perkawinan sedarah dapat
menyebabkan perubahan kondisi suatu organisme (Zakharov 1997). Inbreeding
dapat menimbulkan pangaruh buruk seperti penurunan fertilitas, peningkatan
mortalitas, penurunan daya tahan terhadap penyakit, penurunan daya hidup, dan
penurunan laju pertumbuhan (Noor 2008). Thohari (1987) juga menyatakan bahwa
hasil perkawinan dalam atau inbreeding umumnya rentan dalam kemampuan
reproduksi, kekuatan, dan mengurangi penampilan (performance) bibit jalak Bali.
Koefisien inbreeding dapat digunakan untuk mengukur peningkatan
homozigositas suatu individu akibat silang dalam atau inbreeding (Noor 2000).
Terjadinya peningkatan homozigositas dapat menyebabkan terjadinya tekanan
inbreeding (Thohari 1987). Yunanti (2012) menambahkan, Inbreeding dapat
menimbulkan karakter buruk pada satwa jika terlalu dekat hubungan kerabatnya
karena karakter buruk ini bersifat resesif. Menurut Allendorf dan luikart (2008) laju
peningkatan homozigositas akibat silang dalam pada suatu individu tergantung dari
seberapa dekat hubungan kekerabatan kedua tetuanya. Apabila koefisien
inbreeeding meningkat, jumlah anak yang mampu untuk hidup menurun, penurunan
ini disebut tekanan inbreeding yang meliputi tiga macam yaitu tekanan terhadap
kemampuan hidup, tekanan terhadap fekunditas, dan tekanan terhadap sex ratio
(Thohari 1987).
Karakteristik morfologis Pekembangan suatu individu dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetik ditentukan oleh susunan gen dan kromosom yang dimiliki tiap
individu. Faktor genetik merupakan faktor yang bersifat baku atau tidak berubah
selama hidupnya sedangkan faktor lingkungan bersifat tidak baku atau tidak dapat
diwariskan pada keturunannya (Hardjosubroto 2001). Hasil pengukuran terhadap
tiga pasang individu jalak bali di penangkaran PPJB Tegal Bunder terlihat adanya
perbedaan ukuran tubuh jalak bali jantan lebih besar dibandingkan jalak bali betina
(Tabel 8), hal ini sesuai dengan Masy’ud (2010) Ukuran tubuh jantan relatif lebih
besar dan panjang dari pada betina. Hal ini juga didukung oleh penelitian
Kurniawan (2014), penangkar jalak bali di Mega Bird and Orchid Farm (MBOF)
menyatakan bahwa ukuran tubuh jantan lebih besar dibandingkan dengan betina,
memiliki kicauan lebih nyaring dan sering, dan sebaliknya pada individu betina,
selain itu, warna bulu tubuh jantan lebih cerah dan ekornya lebih panjang
dibandingkan dengan betina.
21
Pengaruh terjadinya inbreeding pada jalak bali di PPJB Tegal Bunder dapat
dilihat dengan membandingkan ukuran jalak bali pada individu jantan dan betina
dengan perhitungan uji t dengan selang kepercayaan 95% menggunakan SPSS.
Hasil pengamatan (Tabel 9) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05)
pada peubah ukuran tubuh panjang rentang sayap kanan (P=0,039). Hasil
pengukuran (Tabel 9) menunjukkan peubah ukuran tubuh yang berbeda nyata
antara individu jantan dan betina dengan nilai pengukuran individu jantan selalu
lebih besar dibandingkan dengan betina. Hasil pengukuran peubah ukuran tubuh
jalak bali pada tiap generasi (Tabel 10) terdapat perbedaan yang signifikan pada
panjang paruh (P=0.038) dan lebar kepala (P=0.045) pada generasi pertama (F0),
generasi kedua (F1) dan generasi ketiga (F2). Hal ini menunjukkan adanya
perbedaan performa pertumbuhan pada peubah ukuran tubuh yang dibandingkan.
Beda nyata yang terdapat pada peubah ukuran tubuh panjang paruh dan lebar
kepala jalak bali di PPJB Tegal Bunder dapat disebabkan oleh faktor genetik dan
lingkungan. Apabila terdapat perbedaan pada performa individu maka penyebabnya
adalah faktor genetik, pengaruh lingkungan yang diasumsikan sama (Maulana
2014). Menurut Lacy (2000) pada kondisi dimana kondisi lingkungan dan
manajemen yang sama, diduga faktor inbreeding memiliki peran yang cukup besar
terhadap perubahan kondisi yang dialami satwa.
Hasil analisis statistik perbandingan rata-rata dari semua komponen ukuran
tubuh dengan menggunakan uji t-student menunjukan ada perbedaan yang nyata
pada panjang paruh, lebar kepala, dan panjang ekor pada selang kepercayaan 95%.
Hal ini diduga bahwa telah adanya tekanan inbreeding pada jalak bali di
penangkaran PPJB Tegal Bunder namun masih rendah.
Penelaahan terhadap pola warna bulu sayap, bulu ekor, mata, kaki dari ketiga
pasang jalak bali contoh menunjukkan tidak ada perbedaan (Tabel 10). Dari hasil
pengamatan terhadap pola pola warna bulu sayap dan bulu ekor (Gambar 7), mata
dan kaki (Gambar 8) menunjukkan pola warna yang sama (tidak berbeda).
(A) (B)
Gambar 7 Rentang sayap (A) dan bulu ekor (B) jalak bali di PPJB Tegal Bunder
(A) (B)
Gambar 8 Pola warna mata (A) dan kaki (B) jalak bali di PPJB Tegal Bunder
22
Variasi pada sifat bawaan dalam suatu kelompok timbul karena adanya faktor
keturunn dan faktor lingkungan. Selain itu Thohari (1987) menambahkan variasi
genetik tersebut dapat dimungkinkan akibat adanya individu-individu yang
memiliki kombinasi gen-gen (genotipe) yang berbeda sehingga tidak dapat diamati
secara langsung, oleh karena itu perlu meggunakan sifat-sifat luar yang bisa
diamati, disebut fenotipe. Dengan demikian sifat kualitatif secara fenotipe dari
ketiga pasang jalak bali contoh untuk pola warna bulu sayap, bulu ekor, mata, dan
kaki tidak terlihat adanya perbedaan. Hal ini dapat dinyatakan bahwa jalak bali di
penangkaran PPJB Tegal Bunder belum menunjukkan adanya perubahan (variasi)
pola sifat secara kualitatif.
Skenario pengaturan perkawinan jalak bali di PPJB Tegal Bunder
Pengaturan kawin jalak bali perlu dilakukan untuk menekan atau mengurangi
adanya inbreeding di penangkaran PPJB Tegal Bunder. Berdasarkan data analisis
koefisien inbreeding jalak bali di PPJB Tegal Bunder dapat direkomendasikan
skenario pengaturan kawin jalak bali di PPJB Tegal Bunder (Tabel 12). Masing-
masing indukan jalak bali yang di rekomendasikan memiliki nilai koefisien
inbreeding sebesar 0, sehingga dapat dipastikan tidak ada perkawinan sedarah antar
tetuanya.
Tabel 12 Rekomendasi skenario pengaturan kawin jalak bali di PPJB Tegal Bunder
NO Indukan
Jantan Betina
1 TNBB 296 TNBB 535
2 TNBB 386 TNBB 535
3 GA 195 TNBB 403
4 TNBB 407 TNBB 535
5 TNBB 412 Kbs 134
6 TNBB 412 TNBB 134
7 TNBB 412 TNBB 403
8 TNBB 412 TNBB 524
9 TNBB 412 TNBB 528
10 TNBB 412 TNBB 535
11 TNBB 419 TNBB 403
12 TNBB 419 TNBB 406
13 TNBB 419 TNBB 523
14 TNBB 419 TNBB 524
15 TNBB 419 TNBB 528
16 TNBB 419 TNBB 537
17 TNBB 419 TNBB 571
18 TNBB 419 TNBB 572
19 TNBB 419 TNBB 579
20 TNBB 424 TNBB 535
21 TNBB 515 TNBB 535
22 TNBB 515 TNBB 579
23
Tabel 12 Rekomendasi skenario pengaturan kawin jalak bali di PPJB Tegal Bunder
(lanjutan)
NO Indukan
Jantan Betina
23 TNBB 526 TNBB 535
24 TNBB 534 TNBB 535
25 TNBB 566 TNBB 535
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Manajemen perkawinan di PPJB Tegal Bunder diawali dengan pemilihan bibit,
penentuan jenis kelamin jantan, penjodohan, dan pengaturan kawin.
2. Hubungan kerabat dekat sebanyak 49 individu atau sebesar 32,67% dari 150
jumlah total individu jalak bali di PPJB Tegal Bunder, dan pada silsilah jalak
bali ditemukan adanya jalak bali yang inbreeding dengan nilai koefisien
inbreeding total 4,5% yang tergolong dalam koefisien inbreeding rendah.
3. Hasil dari penelaahan morfologis dengan membandingkan antara tiap generasi
menggunakan uji t-student diperoleh hasil adanya perbedaan morfologis
kuantitaif yang nyata antara generasi (F0), generasi kedua (F1) dan generasi
ketiga (F2) pada peubah ukuran panjang paruh (P=0.038) dan lebar kepala
(P=0.045) di penangkaran PPJB Tegal Bunder. Hal ini diduga bahwa telah
adanya tekanan inbreeding pada jalak bali di penangkaran PPJB Tegal Bunder.
Saran
1. Manajemen perkawinan jalak bali di PPJB Tegal Bunder perlu ditingkatkan
dari segi pembukuan silsilah jalak bali (studbook) dan digunakan sebagai acuan
dalam manajemen perkawinan untuk mengurangi perkawinan sedarah.
2. Perlu dilakukan pengaturan sistem pengawinan jalak bali dengan individu yang
memliki tetua yang berbeda melalui sistem pertukaran satwa dari penangkaran
atau kebun binatang lain untuk mengatasi inbreeding.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 1987. Masalah pelestarian jalak bali. Media Konservasi Vol 1 No 4.
Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar dalam Rangka Mempertahankan
Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor (ID) : IPB Press.
Allendorf FW, Luikart G. 2008. Conservation and the Genetics of Population.
Victoria (UK): Blackwell Publishing.
Armbruster P, Reed DH. 2005. Inbreeding Depression in Benign and Stressful
Environments. Heredity 95: 235–242.
24
Azis AS. 2013. Teknik Penangkaran dan Aktivitas Jalak Bali (Leucopsar
rothschildi) di Penangkaran UD Anugerah Kediri Jawa Timur [Skripsi].
Bogor (ID) : Fakultas Kehutanan IPB.
BTNBB. 2012. Rencana induk (grand design) pelestarian curik bali di Taman
Nasional Bali Barat. Gilimanuk (ID) : BTNBB.
Cervantes I, Molina A, Goyache F, Gutiérrez JP, Valera M. 2007. Population
history and genetik variability in the spanish arab horse assessed via pedigree
analysis. Livestock Science 113: 24–33.
Dinarwati D. 2011. Evaluasi Koefisien dan Laju Inbreeding pada Kuda Militer di
Detasemen Kavaleri Berkuda (DENKAVKUD) Parongpong, Bandung
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hardjosubroto W. 2001. Genetika Hewan. Yogyakarta (ID): Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada.
[IUCN] International Union for the Conservation of Nature. 2012. IUCN red list
of threatened species [internet]. (diunduh 2016 Jan 18). Tersedia pada :
http//www.iucnredlist.org.
Kurniawan H. 2014. Teknik Penangkaran dan Aktivitas Harian Jalak Bali
(Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Megabird and Orchid Farm
Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Lacy RC. 2000. Should We Select Genetic Alleles in Our Conservation Breeding
Programs. Zoo Biol. 19: 279–282.
Masyud B. 2010. Teknik Menangkarkan Burung Jalak di Rumah. Bogor: IPB Press.
Maulana B. 2014. Analisis Koefisien Inbreeding dan Karakteristik Suara Jalak
Putih (Sturnus melanopterus Daudin 1800) di Pusat Penyelamatan Satwa
Cikananga Jawa Barat, Jawa Barat [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian
Bogor.
Noor RR. 1996. Genetika Ternak. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Panuju K, Sri. 2006. Cucakrowo, Pelestarian Fauna Indonesia. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Purnamasari I. 2014. Model keberhasilan penangkaran jalak bali (Leocopsar
rothschildi) berdasarkan peubah sosial masyarakat. [Tesis]. Bogor (ID):
Pascasarjana IPB.
Rianto T. 2006. Review faktor pembatas ekologi dalam upaya pengembalian
populasi liar jalak bali (Leucopsar rothschildi) taman nasional bali barat.
Gilimanuk (ID) : BTNBB.
Rivanisa FP. 2015. Koefisien Inbreeding, Perilaku Harian dan Ciri Fisik Harimau
Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Kebun Binatang Bandung Jawa Barat
[Skripsi]. Bogor (ID) : Fakultas Kehutanan IPB.
Setio P, Takandjandji M. 2007. Konservasi ek-situ burung endemic langka melalui
penangkaran. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian; Padang, 20
September 2006. Bogor (ID) : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan dan Konservasi Alam.
Thohari M. 1987. Gejala inbreeding dalam penangkaran satwa liar. Media
Konservasi 1(4): 1-10.
TNBB. 2013. Evaluasi review rencana pengelolaan Taman Nasional Bali Barat.
Gilimanuk (ID) : BTNBB.
25
Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1990. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta
(ID) : Gajah Mada University Press.
Widiyanti R. 2015. Perbandingan Sistem Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar
rothschildi Stresemann, 1912) di Sistem Lingkungan Terkontrol dan Semi
Alami, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wiener G. 1994. Animal Breeding. London (UK): The MacMillan Press.
Yunanti BD. 2012. Teknik Penangkaran dan Analisis Koefisien Inbreeding pada
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Mega Bird and
Orchid Farm, Bogor, Jawa barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Zakharov VM, Sikorski MD. 1997. Inbreeding and developmental stability in a
laboratory strain of the bank vole Clethrionomys glareolus. Acta
Theriologica. 4 (1997): 73-78.
26
Lampiran 1 Nilai koefisien inbreeding jalak bali di PPJB Tegal Bunder tiap
generasi
No Nama Indukan Status
Filial
Koefisien
Inbreeding Jantan Betina
1 TNBB 639 TNBB 566 TNBB 540 F2 0.25
2 TNBB 534 TNBB 426 TNBB 422 F3 0.024
3 TNBB 685 TNBB 424 TNBB 428 F3 0.062
4 TNBB 686 TNBB 424 TNBB 428 F3 0.062
5 TNBB 687 TNBB 424 TNBB 428 F3 0.062
6 TNBB 672 TNBB 424 TNBB 428 F3 0.062
7 TNBB 633 TNBB 424 TNBB 406 F3 0.062
8 TNBB 634 TNBB 424 TNBB 406 F3 0.062
9 TNBB 602 TNBB 424 TNBB 406 F3 0.062
10 TNBB 595 TNBB 424 TNBB 406 F3 0.062
11 TNBB 596 TNBB 424 TNBB 406 F3 0.062
12 TNBB 580 TNBB 424 TNBB 406 F3 0.062
13 TNBB 573 TNBB 424 TNBB 406 F3 0.062
14 TNBB 696 TNBB 529 TNBB 523 F4 0.016
15 TNBB 697 TNBB 529 TNBB 523 F4 0.016
16 TNBB 673 TNBB 529 TNBB 523 F4 0.016
17 TNBB 674 TNBB 529 TNBB 523 F4 0.016
18 TNBB 660 TNBB 529 TNBB 523 F4 0.016
19 TNBB 661 TNBB 529 TNBB 523 F4 0.016
20 TNBB 639 TNBB 529 TNBB 523 F4 0.016
21 TNBB 622 TNBB 529 TNBB 523 F4 0.016
22 TNBB 607 TNBB 529 TNBB 523 F4 0.016
23 TNBB 670 TNBB 386 TNBB 528 F4 0.064
24 TNBB 659 TNBB 386 TNBB 528 F4 0.064
25 TNBB 652 TNBB 386 TNBB 528 F4 0.064
26 TNBB 653 TNBB 386 TNBB 528 F4 0.064
27 TNBB 632 TNBB 386 TNBB 528 F4 0.064
28 TNBB 631 TNBB 386 TNBB 528 F4 0.064
29 TNBB 643 TNBB 526 TNBB 537 F4 0.064
30 TNBB 612 TNBB 526 TNBB 537 F4 0.064
31 TNBB 603 TNBB 526 TNBB 537 F4 0.064
32 TNBB 667 TNBB 572 TNBB 559 F4 0.064
33 TNBB 655 TNBB 572 TNBB 559 F4 0.064
34 TNBB 685 TNBB 424 TNBB 428 F4 0.064
35 TNBB 686 TNBB 424 TNBB 428 F4 0.016
36 TNBB 687 TNBB 424 TNBB 428 F4 0.016
37 TNBB 672 TNBB 424 TNBB 428 F4 0.016
38 TNBB 692 TNBB 531 TNBB 524 F4 0.032
27
Lampiran 1 Nilai koefisien inbreeding jalak bali di PPJB Tegal Bunder tiap
generasi (lanjutan)
No Nama Indukan Status
Filial
Koefisien
Inbreeding Jantan Betina
39 TNBB 693 TNBB 531 TNBB 524 F4 0.032
40 TNBB 619 TNBB 531 TNBB 524 F4 0.032
41 TNBB 618 TNBB 531 TNBB 524 F4 0.032
42 TNBB 617 TNBB 531 TNBB 524 F4 0.032
43 TNBB 668 TNBB 575 TNBB 571 F4 0.032
44 TNBB 669 TNBB 575 TNBB 571 F4 0.032
45 TNBB 656 TNBB 575 TNBB 571 F4 0.032
46 TNBB 688 TNBB 515 TNBB 569 F5 0.008
47 TNBB 648 TNBB 515 TNBB 569 F5 0.008
48 TNBB 640 TNBB 515 TNBB 569 F5 0.008
49 TNBB 630 TNBB 515 TNBB 569 F5 0.008
28 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
a). T
NB
B 6
06
L
inta
san
N
K
on
trib
usi
TN
BB
69
4 <
A-4
26
-104
-Kb
s 8
2-3
1-4
22
-A >
TN
BB
69
4
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
69
4 <
A-4
26
-39
-Kb
s 10
4-3
3-4
22
-A >
TN
BB
69
4
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
69
4 <
A-4
26
-39
-Kb
s 10
3-3
3-4
22
-A >
TN
BB
69
4
7
(1/2
)7 =
0,0
08
Fx
0,0
24
A
TN
BB
651
422
(F
)
426
(M
)
33 (
F)
39 (
F)
31 (
M)
KB
S
103
(F
)
KB
S 8
2
(F)
KB
S
104
(M
)
104
(M
)
DP
S 1
M
KB
S 8
2
F
DP
S 2
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 8
2
F
TN
BB
104
M
TN
BB
33
F
TN
BB
31
M
TN
BB
39
F
TN
BB
422
F
TN
BB
426
M
TN
BB
534
M
GA
20
1
F
WIL
D
TN
BB
657
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
TN
BB
695
TN
BB
606
T
NB
B
694
TN
BB
626
TN
BB
676
TN
BB
627
TN
BB
6
51
TN
BB
675
29 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
)
b).
TN
BB
666
c). T
NB
B 6
39
Lin
tasa
n
N
Ko
ntr
ibu
si
TN
BB
63
9 <
A-4
26
-540
> T
NB
B
63
9
3
(1/2
)3 =
0,1
25
TN
BB
63
9 <
A-4
22
-540
> T
NB
B
63
9
3
(1/2
)3 =
0,1
25
Fx
0,2
5
TN
BB
426
M
TN
BB
422
F
TN
BB
422
F
TN
BB
426
M
TN
BB
540
F
TN
BB
566
M
TN
BB
639
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
0319
RT
MII
M
048
CZ
oo
F
KB
S 1
04
M
KB
S 1
03
F
TN
BB
77
M
TN
BB
57
F
0319
RT
MII
M
048
CZ
oo
F
TN
BB
296
M
TN
BB
412
F
TN
BB
637
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
TN
BB
639
B (
F)
A (
M)
422
(F
)
426
(M
)
30 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) d
). T
NB
B 6
65
e). T
NB
B 6
39
Mae
stro
16
M
TN
BB
448
F
TN
BB
665
WIL
D
WIL
D
TN
BB
6
13
TN
BB
6
14
TN
BB
6
04
TN
BB
589
TN
BB
590
TN
BB
556
TN
BB
5
23
TN
BB
5
32
TN
BB
5
47
TN
BB
5
46
TN
BB
558
TN
BB
557
TN
BB
5
13
TN
BB
426
M
TN
BB
422
F
TN
BB
566
M
WIL
D
WIL
D
TN
BB
426
M
TN
BB
422
F
TN
BB
540
F
WIL
D
WIL
D
TN
BB
6
39
31 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) f)
. TN
BB
697
Lin
tasa
n
N
Ko
ntr
ibu
si
TN
BB
69
7 <
A-4
21
-72
-Kb
s 10
4-5
7-
42
1-A
> T
NB
B 6
97
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
69
7 <
A-4
21
-72
-Kb
s 10
3-5
7-
42
1-A
> T
NB
B 6
39
7
(1/2
)7 =
0,0
08
Fx
0,0
16
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
TN
BB
72
M
TN
BB
57
F
TN
BB
421
M
TN
BB
529
M
i88
7
F
WIL
D
TN
BB
697
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
048
CZ
oo
F
0139
RT
MII
M
TN
BB
412
F
KB
S 1
34
M
TN
BB
523
F
WIL
D
WIL
D
WIL
D
TN
BB
607
TN
BB
638
TN
BB
622
TN
BB
660
TN
BB
661
TN
BB
673
TN
BB
674
TN
BB
696
A (
M)
TN
BB
697
421
(M
)
57 (
F)
72 (
M)
KB
S 1
03
(M)
KB
S 1
04
(M)
32 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) g)
. TN
BB
68
5
h).
TN
BB
63
3
Lin
tasa
n
N
Ko
ntr
ibu
si
TN
BB
68
5 <
A-3
3-K
bs
104
-57
-B >
TN
BB
63
9
5
(1/2
)5 =
0,0
31
TN
BB
68
5 <
A-3
3-K
bs
103
-57
-B >
TN
BB
63
9
5
(1/2
)5 =
0,0
31
Fx
0,0
62
Lin
tasa
n
N
Ko
ntr
ibusi
TN
BB
685 <
A-3
3-K
bs
104
-57-B
> T
NB
B 6
39
5
(1
/2)5
= 0
,031
TN
BB
685 <
A-3
3-K
bs
103
-57-B
> T
NB
B 6
39
5
(1
/2)5
= 0
,031
Fx
0,0
62
DP
S 2
M
048
CZ
oo
F
0319
RT
MII
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 8
2
F
TN
BB
31
M
TN
BB
57
F
TN
BB
77
M
TN
BB
33
F
TN
BB
428
F
TN
BB
424
M
TN
BB
685
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
TN
BB
686
TN
BB
687
TN
BB
672
TN
BB
685
B (
F)
A (
M)
57
(F)
33 (
F)
Kb
s 1
03
(F)
Kb
s 1
04
(M)
DP
S 2
M
048
CZ
oo
F
0319
RT
MII
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 8
2
F
TN
BB
31
M
TN
BB
57
F
TN
BB
77
M
TN
BB
33
F
TN
BB
406
F
TN
BB
424
M
TN
BB
633
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
TN
BB
634
TN
BB
602
TN
BB
594
TN
BB
595
TN
BB
596
TN
BB
573
TN
BB
580
TN
BB
633
B (
F)
A (
M)
57
(F)
33 (
F)
Kb
s 1
03
(F)
Kb
s 1
04
(M)
33 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) i)
. TN
BB
670
Lin
tasa
n
N
Ko
ntr
ibu
si
TN
BB
67
0 <
A-3
1-D
PS
2-3
1-4
22-B
>
TN
BB
67
0
6
(1/2
)6 =
0,0
16
TN
BB
67
0 <
A-3
1-K
bs
82
-104
-42
6-B
>
TN
BB
67
0
6
(1/2
)6 =
0,0
16
TN
BB
67
0 <
A-3
3-K
bs
104
-39
-42
6-B
>
TN
BB
67
0
6
(1/2
)6 =
0,0
16
TN
BB
67
0 <
A-3
3-K
bs
103
-39
-42
6-B
>
TN
BB
67
0
6
(1/2
)6 =
0,0
16
Fx
0,0
64
DP
S 1
M
KB
S 8
2
F
DP
S 2
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 8
2
F
TN
BB
104
M
TN
BB
33
F
TN
BB
31
M
TN
BB
39
F
TN
BB
422
F
TN
BB
426
M
TN
BB
528
F
TN
BB
6
31
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
TN
BB
386
M
TN
BB
33
F
TN
BB
31
M
KB
S 8
2
F
DP
S 2
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
WIL
D
TN
BB
6
52
TN
BB
6
70
TN
BB
6
32
TN
BB
6
59
TN
BB
653
A (
M)
TN
BB
688
422
(F
)
31 (
M)
426
(M
)
33 (
F)
39 (
F)
KB
S 1
03
(F
)
KB
S 1
04
(M
) B
(F
)
104
(M
)
KB
S 8
2 (
F)
DP
S 2
(F
)
34 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) j)
. T
NB
B 6
79
k). T
NB
B 6
11
DP
S 1
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 8
2
F
TN
BB
104
M
TN
BB
39
F
TN
BB
403
F
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
GA
19
5
M
WIL
D
TN
BB
6
79
TN
BB
6
79 K
BS
103
F
KB
S 1
04
M
KB
S 2
92
F
KB
S 1
26
M
TN
BB
77
M
TN
BB
57
F
TN
BB
407
M
TN
BB
611
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
048
CZ
oo
F
0139
RT
MII
M
TN
BB
535
F
WIL
D
WIL
D
35 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) L)
. TN
BB
64
3
Lin
tasa
n
N
Kon
trib
usi
TN
BB
643
< A
-42
6-1
04
-DP
S 2
-31
-42
2-A
> T
NB
B 6
43
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
643
< A
-42
6-1
04
-Kb
s 82
-31
-42
2-A
> T
NB
B 6
43
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
643
< A
-42
6-3
9-K
bs
104
-33
-42
2-A
> T
NB
B 6
43
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
643
< A
-42
6-3
9-K
bs
104
-57
-42
1-B
> T
NB
B 6
43
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
643
< A
-42
6-3
9-K
bs
103
-33
-42
2-A
> T
NB
B 6
43
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
643
< A
-42
6-3
9-K
bs
103
-57
-42
1-B
> T
NB
B 6
43
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
643
< A
-42
2-3
3-K
bs
104
-57
-42
1-B
> T
NB
B 6
43
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
643
< A
-42
2-3
3-K
bs
103
-57
-42
1-B
> T
NB
B 6
43
7
(1/2
)7 =
0,0
08
Fx
0
,064
DP
S 1
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 8
2
F
TN
BB
104
M
TN
BB
39
F
TN
BB
426
M
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
DP
S 1
M
048
CZ
oo
F
0319
RT
MII
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 8
2
F
TN
BB
31
M
TN
BB
57
F
TN
BB
77
M
TN
BB
33
F
TN
BB
421
M
TN
BB
422
F
TN
BB
526
M
TN
BB
6
43
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
i88
7
F
TN
BB
537
F
TN
BB
612
WIL
D
TN
BB
603
A (
M)
TN
BB
643
422
(F
)
31 (
M)
426
(M
)
33 (
F)
39 (
F)
KB
S 1
03
(F
)
KB
S 1
04
(M
) B
(F
)
104
(M
)
KB
S 8
2 (
F)
DP
S 2
(F
)
421
(M
)
57 (
F)
36 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) m
). T
NB
B 6
67
Lin
tasa
n
N
Ko
ntr
ibu
si
TN
BB
66
7 <
A-4
27
-77
-031
9 R
TM
II-4
12
-B >
TN
BB
66
7
6
(1/2
)6 =
0,0
16
TN
BB
66
7 <
A-4
27
-77
-031
9 R
TM
II-1
34
-B >
TN
BB
66
7
6
(1/2
)6 =
0,0
16
TN
BB
66
7 <
A-4
27
-77
-048
CZ
oo
-41
2-B
>
TN
BB
66
7
6
(1/2
)6 =
0,0
16
TN
BB
66
7 <
A-4
27
-77
-048
CZ
oo
-41
2-B
>
TN
BB
66
7
6
(1/2
)6 =
0,0
16
Fx
0,0
64
TN
BB
572
M
TN
BB
559
F
0319
RT
MII
M
048
CZ
oo
F
WIL
D
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
048
CZ
oo
F
TN
BB
77
M
0319
RT
MII
M
TN
BB
57
F
KB
S 1
34
M
TN
BB
427
M
BS
MP
16
F
TN
BB
412
F
TN
BB
667
WIL
D
WIL
D
WIL
D
TN
BB
655
WIL
D
0319
RT
MII
M
048
CZ
oo
F
WIL
D
A (
M)
TN
BB
667
412
(F
)
427
(M
)
134
(M
)
77 (
M)
048
CZ
oo
(F)
0319
RT
MII
(M)
B (
F)
37 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) n).
TN
BB
677
o).
TN
BB
64
9
048
CZ
oo
F
0319
RT
MII
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
0187
RT
MII
M
TN
BB
57
F
TN
BB
77
M
0381
RT
MII
F
TN
BB
406
F
TN
BB
419
M
TN
BB
677
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
TN
BB
677
TN
BB
677
TN
BB
677
TN
BB
677
0319
RT
MII
M
048
CZ
oo
F
TN
BB
412
M
WIL
D
WIL
D
KB
S 1
34
F
WIL
D
TN
BB
649
TN
BB
462
TN
BB
523
TN
BB
5
52
TN
BB
559
TN
BB
636
TN
BB
650
38 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) p).
TN
BB
68
5
Lin
tasa
n
N
Ko
ntr
ibu
si
TN
BB
68
5 <
A-4
10
-40
-Kb
s 10
4-5
7-4
27
-B>
TN
BB
68
5
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
68
5 <
A-4
10
-40
-Kb
s 10
3-5
7-4
27
-B>
TN
BB
68
5
7
(1/2
)7 =
0,0
08
Fx
0,0
16
BS
MP
16
F
048
CZ
oo
F
0319
RT
MII
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
BS
MP
08
F
0104
RT
MII
M
TN
BB
57
F
TN
BB
77
M
TN
BB
40
F
TN
BB
427
M
TN
BB
410
M
TN
BB
553
M
TN
BB
579
F
WIL
D
TN
BB
672
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
TN
BB
687
TN
BB
686
TN
BB
685
TN
BB
685
B (
F)
A (
M)
427
(M
)
410
(M
)
Kb
s 1
03
(F)
Kb
s 1
04
(M)
57 (
F)
40 (
F)
39 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) q).
TN
BB
68
8
Lin
tasa
n
N
Ko
ntr
ibu
si
TN
BB
68
8 <
A-3
84
-57
-Kb
s 10
4-2
-32
3-
52
0-A
> T
NB
B 6
88
8
(1/2
)8 =
0,0
04
TN
BB
68
8 <
A-3
84
-57
-Kb
s 10
3-2
-32
3-
52
0-A
> T
NB
B 6
88
8
(1/2
)8 =
0,0
04
Fx
0,0
08
0319
RT
MII
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 8
2
F
TN
BB
02
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
048
CZ
oo
F
TN
BB
77
M
TN
BB
323
F
KB
SD
DI
06
M
TN
BB
57
F
TN
BB
520
F
TN
BB
384
M
TN
BB
569
F
TN
BB
6
88
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
836
KA
B
F
GA
16
5
M T
NB
B 5
15
M
WIL
D
TN
BB
630
TN
BB
640
TN
BB
648
A (
F)
TN
BB
688
520
(F
)
384
(M
)
323
(F
)
57 (
F)
02 (
M)
KB
S 1
03
(M
)
KB
S 1
04
(M
)
40 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) r)
. T
NB
B 6
92
Lin
tasa
n
N
Ko
ntr
ibu
si
TN
BB
69
2 <
A-4
08
-31
-DP
S 2
-31-4
31
-B >
TN
BB
69
2
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
69
2 <
A-4
08
-31
-Kb
s 82
-31
-43
1-B
>
TN
BB
69
2
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
69
2 <
A-4
08
-33
-Kb
s 10
4-3
3-4
31
-B >
TN
BB
69
2
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
69
2 <
A-4
08
-33
-Kb
s 10
3-3
3-4
31
-B >
TN
BB
69
2
7
(1/2
)7 =
0,0
08
Fx
0,0
32
DP
S 2
M
KB
S 8
2
F
DP
S 2
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
KB
S 8
2
F
TN
BB
31
M
TN
BB
33
F
TN
BB
31
M
TN
BB
33
F
TN
BB
431
F
TN
BB
408
F
TN
BB
524
F
TN
BB
619
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
BS
MP
17
M
WIL
D
0381
RT
MII
F
0187
RT
MII
M
TN
BB
419
M
WIL
D
TN
BB
531
M
WIL
D
TN
BB
692
TN
BB
6
93
TN
BB
6
18
TN
BB
617
A (
M)
TN
BB
692
431
(F
)
31 (
M)
408
(F
)
33 (
F)
KB
S 1
03
(F
)
KB
S 1
04
(M
)
B (
F)
KB
S 8
2 (
F)
DP
S 1
(F
)
41 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) s)
. T
NB
B 5
54
t). T
NB
B 6
28
KB
S 1
26
M
Kb
s 2
92
F
TN
BB
5
55
WIL
D
WIL
D
TN
BB
5
74
TN
BB
554
GA
20
1
M
GA
24
0
F
TN
BB
6
08
WIL
D
WIL
D
TN
BB
6
09
TN
BB
610
TN
BB
6
29
TN
BB
6
28
42 L
ampir
an 2
Sil
sila
h J
alak
Bal
i di
Pen
angkar
an P
PJB
Teg
al B
under
(la
nju
tan
) u).
TN
BB
66
8
Lin
tasa
n
N
Ko
ntr
ibu
si
TN
BB
66
8 <
A-4
07
-77
-031
9 R
TM
II-7
7-4
27
-B >
TN
BB
66
8
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
66
8 <
A-4
07
-77
-048
CZ
oo
-77
-42
7-B
>
TN
BB
66
8
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
66
8 <
A-4
07
-57
-Kb
s 10
4-5
7-4
27
-B >
TN
BB
66
8
7
(1/2
)7 =
0,0
08
TN
BB
66
8 <
A-4
07
-57
-Kb
s 10
4-5
7-4
27
-B >
TN
BB
66
8
7
(1/2
)7 =
0,0
08
Fx
0,0
32
0319
RT
MII
M
048
CZ
oo
F
TN
BB
77
M
WIL
D
WIL
D
TN
BB
407
M
TN
BB
575
M
KB
S 1
03
F
KB
S 1
04
M
TN
BB
57
F
WIL
D
WIL
D
TN
BB
57
F
TN
BB
77
M
WIL
D
WIL
D
WIL
D
WIL
D
KB
S 1
04
M
KB
S 1
03
F
0319
RT
MII
M
048
CZ
oo
F
KB
S 2
92
F
KB
S 1
26
M T
NB
B 5
35
F
WIL
DW
ILD
TN
BB
427
M
BS
MP
16
F
TN
BB
571
M
TN
BB
668
TN
BB
656
TN
BB
669
WIL
D
A (
M)
TN
BB
668
427
(M
)
407
(M
) 5
7
(F)
77 (
M)
048
CZ
oo
(F)
0319
RT
MII
(M)
B (
F)
KB
S 1
03
(F
)
KB
S 1
04
(M
)
RIWAYAT HIDUP
Tuhan mengamanahkan Bapak Cucuk Sugiarto dan Ibu Yuni Hastuti untuk
melahirkan penulis pada 13 Juli 1994 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan formal Sekolah Dasar di SDN 6 Selong Kecamatan
Selong, Lombok Timur pada tahun 2000-2006, SMP Negeri 1 Selong pada tahun
2006-2009, SMA Negeri 1 Selong pada tahun 2009-2012, kemudian melanjutkan
ke tingkat perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor pada Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan pada tahun
2012-2016.
Penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat
Fakultas Kehutanan, Anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) yang tergabung dalam Kelompok Pemerhati
Kupu-kupu “Sarpedon” dan Kelompok Pemerhati Flora “Rafflesia”pada tahun
2014-2015. Tahun 2014, penulis mengikuti kegiatan Ekspedisi Rafflesia di CA
Gunung Tilu Kabupaten Kuningan Jawa Barat, pada tahun 2014 penulis mengikuti
Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di CA Sancang Timur dan CA Papandayan,
pada tahun 2014 penulis juga mengikuti ekspedisi SURILI HIMAKOVA di TN
Aketajawe Lolobata, Maluku Utara. Penulis mengikuti Praktek Pengenalan Hutan
di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan mengikuti kegiatan Ekspedisi SURILI
HIMAKOVA di TN Tambora, NTB pada tahun 2015.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian
dengan judul “Koefisien Inbreeding Jalak Bali (Leucopsar rotschildii Stresemann
1922) di Pusat Pembinaan Jalak Bali Tegal Bunder Taman Nasional Bali Barat”
dibimbing oleh Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Ir. Lin Nuriah Ginoga, MSi.