kode/ nama rumpun ilmu : 793/ pgsd - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/5224/1/penelitian 1.pdf ·...
TRANSCRIPT
Kode/ Nama Rumpun Ilmu : 793/ PGSD
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI
HUBUNGAN BUDAYA KERJA, KECERDASAN EMOSIONAL DAN
ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) TERHADAP
KINERJA MENGAJAR GURU SD KECAMATAN
BANJARMASIN UTARA
TIM PENGUSUL
Prof. Drs. Ahmad Suriansyah, M.Pd., Ph.D NIDN 0025125903 Ketua
Dr. Hj. Aslamiah, M.Pd., Ph.D. NIDN 0010016011 Anggota
Rizky Amelia, S.Pd., M.Pd. NIDN 0009129301 Anggota
JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
PENDIDIKAN GURU PRASEKOLAH DAN SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2019
IDENTITAS DAN URAIAN UMUM
1. JudulPenelitian : Hubungan Budaya Kerja, Kecerdasan Emosional, dan
Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Terhadap Kinerja Mengajar Guru SD Kecamatan
Banjarmasin Utara
Tim Penelitian
No Nama Jabatan Bidang
Keahlian
Instansi
Asal
Alokasi
waktu
1 Prof. Drs. Ahmad
Suriansyah,
M.Pd., Ph.D.
Ketua Manajemen
Pendidikan
di Sekolah
Dasar
Univeristas
Lambung
Mangkurat
5 jam/
minggu
2 Dr. Aslamiah,
M.Pd., Ph.D.
Anggota 1 Manajemen
Pendidikan
di Sekolah
Dasar
Univeristas
Lambung
Mangkurat
4 jam/
minggu
3 Rizky Amelia,
S.Pd., M.Pd.
Anggota 2 Bahasa
Indonesia di
Sekolah
Dasar
Univeristas
Lambung
Mangkurat
4 jam/
minggu
2. Objek Penelitian :
Objek dari penelitian ini adalah kepala sekolah dan guru SD Kecamatan Banjarmasin
Utara.
3. Masa pelaksanaan
Mulai : bulan Januari tahun 2019
Berakhir : bulan Agustus tahun 2019
4. Usulan Biaya DRPM FKIP Universitas Lambung Mangkurat: Rp. 20.000.000,-
5. Lokasi Penelitian : SD Kecamatan Banjarmasin Utara.
6. Rencana luaran, yaitu: a. Publikasi di jurnal nasional yang terakreditasi
a. Publikasi di prosiding seminar internasional terakreditasi
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... i
IDENTITAS UMUM ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 13
BAB 3. METODE PENELITIAN .................................................................. 35
BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 49
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era revolusi indutri 4.0 menuntut kualitas sumber daya manusia yang tidak
hanya cerdas tetapi juga berkarakter yang mampu menghadapi tantangan serta
kompetesi yang sangat ketat secara global. Untuk itu maka sumber daya manusia
Indonesia sekarang dan untuk masa depan di tuntut memiliki karakter (karakter
kinerja: kerja keras, disipilin, ulet, tidak mudah menyerah, tuntas serta karakter nilai
moral seperti iman dan taqwa, jujur, rendah hati, sopan satun/akhlak), kompetensi
(creative thinking, creativity, communication dan collaboration serta problem solving),
literasi ( reading and writing, numeracy, scientiufic literacy, ICT Fluency/technologi
skills), linguage skill, cultural awareness, logical thinking) dan kemampuan komunikasi
dalam dunia global. Menghadapi tantangan ini maka bangsa Indonesia dituntut
menghasilkan sumber daya manusia berkualitas melalui proses Pendidikan yang
berkualitas dari jenjang PAUD hingga perguruan tinggi.
Kualitas merupakan isu yang menjadi perhatian setiap orang dari berbagai
bidang pekerjaan dan pelayanan di seluruh dunia, termasuk dunia pendidikan. Bagi
masyarakat Indonesia sekarang harapan kepada kualitas menjadi begitu kuat karena
masalah kualitas pendidikan masih belum memenuhi harapan semua pihak. Peningkatan
kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan kerja, budaya kerja dan budaya
organisasi yang saling berhubungan. Tanpa budaya kerja dan budaya organisasi yang
mengarah kepada budaya kerja berkualitas maka usaha peningkatan kualitas secara
optimal tidak akan tercapai sebagaimana yang diharapkan (Suriansyah, 2017). Untuk
itulah maka berbagai upaya dilakukan untuk mencapai budaya kerja dan kinerja yang
optimal. Perbaikan tersebut di mulai dengan melakukan perbaikan pengelolaan sekolah
yaitu implementasi manajemen berbasis sekolah.
Penggunanaan manajemen berbasis sekolah sebagai upaya merubah paradigma
pengelolaan sekolah dari sentralistik menjadi manajemen sekolah yang sangat otonomi
di tingkat sekolah. Upaya-upaya ini menggambarkan usaha perbaikan pengelolaan
sekolah melalui perubahan paradigma manajemen sekolah (Firman & Tola, 2008).
2
Usaha-usaha yang dilakukan ini dalam rangka mencapai Visi Indonesia 2020 yang
berbunyi: “Visi Indonesia 2020 adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius,
manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih
dalam penyelenggaraan Negara.
Berbagai permasalahan yang dihadapi pendidikan dewasa ini sudah sangat
kompleks, di samping masalah pemerataan pendidikan yang masih belum mencapai
harapan dan rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Di samping
itu nampaknya pendidikan masih dihadapkan pada permasalahan klasik tetapi sangat
urgen dan menjadi tuntutan masyarakat yaitu masalah rendahnya mutu hasil pendidikan.
Berdasarkan data 2017 peringkat Indonesia masih berada pada peringkat 5 (lima) di
negara-negara ASEAN. Permasalahan lainnya adalah karakter para peserta didik seperti
perkelahian/tawuran antar pelajar/mahasiswa, penyalah gunaan obat terlarang,
pemukulan guru oleh siswa atau sebaliknya, pelanggaran asusila bahkan yang paling
umum ngelim sampai di tingkat sekolah dasar. Bahkan hal terkini yang menjadi salah
satu indikator mutu adalah rendahnya tingkat kelulusan peserta seleksi CPNS diberbagai
jenis/bidang pekerjaan yang diikuti sehingga hal tersebut sangat memprihatinkan semua
orang.
Rendahnya mutu pendidikan ini disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat
kompleks seperti sumber daya manusia, sumber dana, fasilitas penunjang Pendidikan,
budaya belajar dan budaya kerja serta berbagai faktor lainnya termasuk kebijakan
pendidikan dan lingkungan masyarakat. Namun satu hal yang tampaknya belum
terbentuk dalam jiwa dan pemikiran para penyelenggara pendidikan baik pimpinan
institusi pendidikan, guru/dosen, staf, orang tua siswa/mahasiswa bahkan mungkin
masyarakat lingkungan pendidikan adalah budaya kerja yang berorientasi pada mutu.
Budaya mutu yang telah dikenal oleh banyak kalangan dunia usaha dan telah berhasil
membuat mereka maju nampaknya belum mengimbas kepada dunia pendidikan secara
utuh dan komprehensif. Budaya kerja bermutu ini menjadi sangat penting pada semua
orang yang berperan dalam menyelenggarakan Pendidikan sampai pada guru dan siswa
bahkan orang tua.
Salah satu faktor dominan pada saat ini yang turut memberikan kontribusi pada
rendahnya mutu pendidikan tersebut adalah faktor guru. Hal ini tergambar dari
3
beberapa hasil penelitian seperti diungkapkan oleh Khodijah (2013) bahwa kinerja guru
masih dirasakan rendah oleh berbagai kalangan bahkan meskipun mereka sudah
sertifikasi guru profesional. Guru-guru setelah lulus sertifikasi dan memperoleh
tunjangan profesi baik guru Madrasah maupun guru PAI masih di bawah standar
kinerja, di samping itu kinerja guru perkotaan lebih tinggi dari pada kinerja guru
pedesaan. Hasil penelitian ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh
Syanti (2013) bahwa guru SDN di daerah pinggiran kota mempunyai beban mengajar
yang lebih banyak, ia lambat mendapatkan informasi tentang perkembangan
pendidikan, mempunyai peluang kecil untuk meningkatkan profesionalitasnya.
Sebaliknya guru yang mengajar di daerah kota Kabupaten, mengajar sesuai beban
peraturan yang berlaku dan mempunyai kesempatan besar untuk meningkatkan
kompetensi dan profesionalismenya. Sementara itu Kartowagiran (2011) hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pengembangan profesi (kenaikan jenjang
kepangkatan) terdapat 90% guru belum pernah menulis artikel ilmiah, penelitian ilmiah,
artikel dalam jurnal dan majalah atau surat kabar, 82.5% guru belum pernah
menyiapkan proposal penelitian dan melakukan penelitian yang disebabkan karena
ketidak mampuan dan kesempatan. Hasil penelitian tersebut dipertegas oleh Purwanto
(2012) yang menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa dari sampel penelitian hanya
terdapat 2 (dua) orang guru yang mampu mencapai golongan kepangkatan IV b, akibat
ketidak siapan guru memenuhi angka kredit penulisan karya ilmiah. Berbagai hasil
kajian tersebut menggambarkan bahwa kinerja guru di sekolah dasar negeri masih
belum optomal.
Kinerja guru yang optimal merupakan kunci keberhasilan sekolah mencapai
prestasi. Hal ini juga dinyatakan oleh Lortie (2002) bahwa keberhasilan sekolah banyak
ditentukan oleh guru-guru. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Firman dan Tola (2008) bahwa guru-guru merupakan faktor utama
dalam menetukan keberhasilan pendidikan. Hal senada juga dinyatakan oleh tim The
Word Bank (2010) bahwa guru merupakan faktor penentu peningkatan kualitas
pendidikan. Pendapat ini didukung oleh Tyler (1988) yang menyatakan bahwa peranan
guru sangat menentukan dalam prestasi akademik murid-murid. Fullan (1991)
4
menyatakan bahwa sebuah sekolah akan menjadi efektif jika guru-gurunya menjalankan
tugas dengan penuh tanggung jawab.
Guru adalah orang yang berhadapan secara langsung dengan peserta didik
melalui proses interaksi instruksional sebagai wahana terjadinya proses pembelajaran.
Dari proses pembelajaran tersebut, terciptalah suasana eksperensial, yaitu diperolehnya
pengalaman belajar peserta didik melalui perubahan pengetahuan, sikap dan
keterampilan kearah yang lebih baik sesuai dengan tujuan pendidikan. Selanjutnya
Surya (2000: 4) menyatakan bahwa dalam tingkatan operasional, guru merupakan
penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional,
instruksional dan eksperensial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penentu dari
kualitas proses dan hasil pendidikan terletak pada kinerja guru dalam melaksanakan
proses pembelajaran.
Kinerja adalah pelaksanaan pekerjaan dan hasil pekerjaan yang dilakukan oleh
seseorang, tentang apa yang di kerjakan dan bagaimana mengerjakannya (Baron dan
Kenny, 1998). Kinerja guru pada dasarnya adalah merupakan gambaran seluruh
aktivitas yang yang dilakukan guru yang nampak dalam sikap dan tindakannya sesuai
dengan tugas dan tanggungjawabnya sebagai orang yang mengemban suatu amanat dan
tanggungjawab untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan memandu
peserta didik kearah perkembangan kedewasaan mental-spritual maupun fisik-biologis.
Kinerja guru terwujud dalam interaksi pembelajaran yang menimbulkan
perilaku belajar siswa untuk memperoleh hasil belajar yang optimal. Dengan kata lain,
kualitas hasil belajar siswa sebagai indikator kualitas pendidikan ditentukan oleh
kualitas belajar siswa yang terwujud melalui interaksi pembelajaran yang dikreasikan
oleh kinerja mengajar guru.
Namun demikian terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kinerja guru, baik
yang berkaitan dengan faktor individu itu sendiri maupun lingkungan sekolah. Salah
satu faktor yang mempengaruhi kinerja guru adalah budaya kerja, dimana faktor
tersebut sangat erat kaitannya dalam meningkatkan kinerja guru, sebab dengan
tercapainya budaya kerja yang baik dan ditunjang oleh kerjasama dengan sesama guru
maka akan tercapai hasil yang dapat meningkatkan kinerja kerja guru (Tika, 2008).
Budaya kerja tersebut meliputi kepemimpinan, disiplin, motivasi, dan iptek.
5
Sekolah sebagai institusi dan sistem sosial memiliki karakteristik budaya sendiri
(culture of school) yang merupakan akomulasi dari budaya organisasi sekolah dan
budaya individu. Budaya individu ini berbeda antara satu individu dengan individu guru
lainnya. Sehingga sekolah sebagai suatu sistem sosial memiliki budaya yang beragam
dan dipengauhi oleh sistem nilai, persepsi, kebiasaan-kebiasaan, kebijakan pendidikan
dan perilaku orang-orang yang berada di dalamnya (Kusnawan, Sunaryo dan Yusup,
2013). Budaya kerja yang dapat meningkatkan kualitas adalah: 1) Disiplin diri, 2)
mengontrol kemajuan belajar siswa, 3) Harapan yang tinggi kepada siswa, 4) Fokus
perhatian warga institusi pendidikan kepada proses pembelajaran (Suyata, 1996).
Budaya kerja pada umumnya merupakan pernyataan filosofis, dapat difungsikan
sebagai tuntutan yang mengikat para guru karena dapat diformulasikan secara formal
dalam berbagai peraturan dan ketentuan. Dengan memberlakukan budaya kerja, sebagai
salah satu acuan bagi ketentuan atau peraturan yang berlaku, maka kepala sekolah dan
guru secara tidak langsung akan terikat sehingga dapat membentuk sikap dan perilaku
sesuai dengan visi dan misi serta strategi. Proses pembentukan tersebut pada akhirnya
akan menghasilkan kepala sekolah dan guru profesional yang mempunyai integritas
yang tinggi.
Brown dan Dennis dalam Nugroho (2011) menyatakan bahwa budaya kerja
mempengaruhi organisasi dalam berbagai cara, artinya dengan peningkatan terhadap
budaya kerja, maka akan berpengaruh terhadap kinerja guru. Budaya kerja merupakan
implementasi dan aktualisasi dari kepribadian seseorang yang dapat mempengaruhi
kinerja dan tujuan sekolah, oleh karenanya perlu ditumbuhkan dalam kepribadian guru
sikap kebersamaan, keterbukaan dan profesionalisme dan menciptakan rasa nyaman,
kekeluargaan serta membangun komunikasi yang lebih baik terhadap lingkungan kerja,
sehingga tujuan untuk mewujudkan organisasi dengan efektif dan efisien dapat
terlaksana dengan baik (Sobirin, 2013).
Dalam upaya meningkatkan kinerja guru, nilai mendasar yang tidak kalah
penting dan harus terus dikembangkan adalah kecerdasan emosional. Menurut Goleman
(2000), setiap individu dalam suatu organisasi yang memiliki emosi yang baik
cenderung memiliki kemauan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya. Selain
itu Edwardin (2006) juga menyatakan bahwa guru yang secara emosional cerdas dapat
6
memahami bagaimana emosi terjadi, dapat mengatur emosinya, mengurangi emosi
tidak produktif yang menjadi penghalang dalam bekerjasama, serta mengambil langkah-
langkah proaktif untuk mencapai keberhasilan dalam bekerja. Berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa guru yang memiliki kecerdasan emosional, akan menjelma
menjadi pribadi yang memiliki kadar ketaatan dalam bekerja dan bertanggung jawab
terhadap pekerjaannya, mampu mengendalikan dan mengelola emosinya, serta mampu
menjalin kehidupan sosial yang harmonis dengan sesama guru, masyarakat sekitar
lingkungan kerja serta masyarakat dimana mereka tinggal. Mampu mengelola diri
sendiri, memiliki inisiatif, optimisme, mampu mengkoordinasi emosi dalam diri, serta
melakukan pemikiran yang tenang tanpa terbawa emosi (Boyatzis, 2001). Melalui
risetnya, Goleman (2001) membuktikan bahwa Emotional Quotient (EQ) yang
dicerminkan oleh kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol
desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama,
menyumbang 80% bagi kesuksesan seseorang.
Selain kecerdasan emosional, perilaku yang diharapkan oleh sekolah dalam
upaya meningkatkan kinerja guru adalah perilaku extra-role atau sering disebut
Organizational Citizenship Behavior (OCB). OCB berperan penting untuk
meningkatkan kinerja guru karena OCB dapat mengurangi kebutuhan akan berbagai
sumber daya yang langka atau mahal untuk fungsi-fungsi perawatan atau perbaikan
dalam organisasi, meningkatkan produktifitas hubungan kerja atau manajerial (Organ
dalam Podsakoff, 2000). Fakta menunjukkan bahwa organisasi yang mempunyai guru
yang memiliki OCB yang baik akan memiliki kinerja yang lebih baik (Robbins, 2008).
Selain itu menurut Podsakoff dkk, (2000) menyatakan bahwa OCB berpengaruh
terhadap prestasi organisasi. Selanjutnya OCB, guru yang menolong rekan kerja akan
mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya dan pada gilirannya meningkatkan
kinerja rekan tersebut. Selanjutnya Podsakoff dan McKenzie (1997), menyatakan
bahwa OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi dan guru yang
conscientiousness cenderung mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara
konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada unit kerja.
Guru yang berperilaku OCB bisa dikenali dari cara mereka bekerja dengan
menampilkan sikap mau membantu meringankan pekerjaan rekan mereka (altruism),
7
mencegah timbulnya masalah yang berhubungan dengan pekerjan dengan cara memberi
konsultasi dan informasi (courtesy), lebih bersikap toleran pada situasi yang kurang
ideal di tempat kerja dan tanpa mengeluh (sportsmanship), sangat peduli pada
kelangsungan hidup organisasi (civic virtue), serta melakukan hal-hal yang
menguntungkan organisasi (conscientiousness).
Walaupun budaya kerja, kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship
Behavior (OCB) penting dalam menentukan peningkatan kinerja guru, dan prestasi
akademik siswa, tetapi tingkat budaya kerja, kecerdasan emosional dan OCB guru tidak
menunjukkan peningkatan yang memuaskan.
Berdasarkan uraian di atas, diduga bahwa faktor budaya kerja, kecerdasan
emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dapat meningkatkan mutu
kinerja mengajar guru, sehingga peneliti mengambil fokus penelitian sebagai variable
pengaruh adalah budaya kerja, kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship
Behavior (OCB).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana pada bagian terdahulu maka rumusan masalah
dalam dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Bagaimana gambaran budaya kerja, kecerdasan emosional, Organizational
Citizenship Behavior (OCB) dan kinerja mengajar guru Sekolah Dasar di Kecamatan
Banjarmasin Utara?
2. Apakah ada hubungan langsung budaya kerja dengan kecerdasan emosional guru
sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara?
3. Apakah ada hubungan langsung budaya kerja dengan Organizational Citizenship
Behavior (OCB) guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara?
4. Apakah ada hubungan langsung kecerdasan emosional dengan kinerja mengajar guru
sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara?
5. Apakah ada hubungan langsung Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan
kinerja mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara?
6. Apakah ada hubungan langsung Budaya kerja dengan kinerja mengajar guru sekolah
dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara?
8
7. Apakah ada hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru
melalui kecerdasan emosional guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara?
8. Apakah ada hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru
melalui Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru sekolah dasar di
Kecamatan Banjarmasin Utara?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui gambaran tentang
budaya kerja, kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB),
serta kinerja mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara, serta
memperoleh kejelasan hubungan struktural antara masing-masing variabel, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui:
1. Gambaran budaya kerja, kecerdasan emosional, Organizational Citizenship
Behavior (OCB) dan kinerja mengajar guru Sekolah Dasar di Kecamatan
Banjarmasin Utara.
2. Hubungan langsung budaya kerja dengan kecerdasan emosional guru sekolah dasar di
Kecamatan Banjarmasin Utara.
3. Hubungan langsung budaya kerja dengan Organizational Citizenship Behavior
(OCB) guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.
4. Hubungan langsung kecerdasan emosional dengan kinerja mengajar guru sekolah
dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.
5. Hubungan langsung Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan kinerja
mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.
6. Hubungan langsung Budaya kerja dengan kinerja mengajar guru sekolah dasar di
Kecamatan Banjarmasin Utara.
7. Hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru melalui
kecerdasan emosional guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.
8. Hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru melalui
Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru sekolah dasar di Kecamatan
Banjarmasin Utara.
9
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan kecerdasan emosional guru
sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.
2. Terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan Organizational Citizenship
Behavior (OCB) guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.
3. Terdapat hubungan langsung kecerdasan emosional dengan kinerja mengajar guru
sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.
4. Terdapat hubungan langsung Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan
kinerja mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.
5. Terdapat hubungan langsung Budaya kerja dengan kinerja mengajar guru sekolah
dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara
6. Terdapat hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru
melalui kecerdasan emosional guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.
7. Terdapat hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru
melalui Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru sekolah dasar di
Kecamatan Banjarmasin Utara.
E. Manfaat/Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan sumbangan pemikiran
bagi perkembangan Ilmu Pendidikan, khususnya tentang kinerja dan variable-variabel
yang dapat membentuknya dengan latar sekolah dasar. Secara khusus manfaat teoritik
dan praktis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Kegunaan teoritik.
Hasil penelitian menjadi salah satu referensi guna memperkaya bagi pengembangan
konsep dan teori dalam peningkatan efektivitas pembelajaran melalui kinerja guru,
budaya kerja, kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB).
Dengan demikian akan dapat diketahui dan di deskripsikan secara jelas model teoritik
10
yang diprediksi akan dapat membentuk kinerja dan atau akan meningkatkan kinerja
guru dalam melaksanakan proses pembeajaran di sekolah, khususnya di sekolah dasar.
2) Kegunaan praktis.
Secara parktis penelitian ini sangat bermanfaat bagi pemangku kepantingan dalam
bidang Pendidikan, khususnya sekolah dasar yaitu:
1. Bagi Dinas Pendidikan sebagai masukan dalam merumuskan kebijakan pembinaan
guru-guru di sekolah dasar dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan
kinerja guru dalam melaksanakan proses pembelajaran.
2. Bagi Pengawas sekolah sebagai informasi dan masukan tentang kinerja guru, budaya
kerja, kecerdasan emosional dan OCB. Dengan demikian maka pembinaan guru
akan lebih fokus pada faktor pembentuk kinerja.
3. Bagi kepala sekolah hasil penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan dan self
evaluasi tentang kinerja pembelajaran, sehingga dapat memberikan masukan untuk
perbaikan proses pembelajaran selanjutnya atau untuk memperbaiki dan
meningkatkan efektivitas pembelajaran.
F. Defenisi Operasional
a. Budaya Kerja
Budaya kerja merupakan suatu organisasi komitmen yang luas dalam upaya
untuk membangun sumber daya mnusia, proses kerja dan hasil kerja yang lebih baik.
Untuk mencapai tingkat kualitas yang makin baik tersebut diharapkan bersumber
dari perilaku setiap individu yang terkait dalam organisasi kerja itu sendiri. Triguno
(1977) menyatakan bahwa warna budaya kerja adalah suatu produktiviti yang berupa
perilaku kerja yang dapat diukur seperti kerja keras, disiplin, produktif, tanggung
jawab, bermotivasi, kreatif, inovatif, responsif dan mandiri. Ini berarti bahwa budaya
kerja seperti tersebut merupakan dasar yang akan menghasilkan kualitas proses
kerja. Dengan demikian maka apabila seseorang ingin menghasilkan kerja
berkualitas maka dia harus memiliki proses kerja yang berkualitas dan proses kerja
yang berkualitas hanya akan lahir dari seseorang yang memiliki budaya kerja yang
kuat.
11
Dalam penelitian ini dimensi budaya organisasi dapat dibagi kepada dua
dimensi yaitu (1) Dimensi lingkungan luar (external environments); yang di
dalamnya terdapat lima hal pokok yaitu: mission and strategy; goals; means to
achieve goals; measurement; correction), (2) Dimensi integrasi internal (internal
integration) yang mencakup: common language; group boundaries for inclusion and
exclusion; distributing power and status; developing norms of intimacy, friendship,
and love; reward and punishment; explaining and explainable: ideaology and
religion)
b. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan,
meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan
dan maknanya serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu
perkembangan emosi dan intelektual.
Kecerdasan Emosional dalam penelitian ini diambil dari teori yang
dikemukakan oleh Robbins (2006: 144) yang merujuk kecerdasan emosional pada
keanekaragaman keterampilan, kapabilitas, dan kompetensi kognitif, yang
mempengaruhi seseorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan dan tekanan
lingkungan. Sementara itu, indikator yang digunakan untuk mengukur variabel
kecerdasan emosional didasarkan pada teori yang dikemukakan Goleman (McPheat,
2010: 24) menguraikan kompetensi dalam kecerdasan emosi ke dalam empat
kompetensi, antara lain:
1) Self-Awareness (Kesadaran Diri) yang terdiri dari: (1) emotional self-awareness
(kesadaran emosi diri), (2) accurate self-assessment (ketepatan penilaian diri),
dan (3) self-confidence (kepercayaan diri).
2) Self-Management (Pengelolaan Diri) yang terdiri dari: (1) self-control (kontrol
diri), (2) trustworthiness (kepercayaan), (3) conscentiousness (mendengarkan
kata hati), (4) adabtability (kemampuan menyesuaikan diri), (5) achievement
orientation (tujuan pencapaian), (6) initiative (inisiatif).
3) Social Awareness (Kesadaran Sosial) yang terdiri dari: (1) empathy (empati), (2)
organizational awareness (kesadaran berorganisasi), (3) service orientation
(bertujuan untuk melayani).Social Skills (Keterampilan Sosial) yang terdiri dari:
12
(1) influence (mempengaruhi orang lain); (2) leadership (kepemimpinan), (3)
developing others (mengembangkan orang lain), (4) communication
(komunikasi), (5) change catalyst (katalisator perubahan), (6) conflict
management (pengelolaan konflik), (7) building bonds (ikatan untuk
memberdayakan), (8) teamwork and collaboration (kerjasama dan kolaborasi).
c. Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah tinggi rendahnya
kontribusi seseorang dalam melaksanakan tugasnya, melebihi tuntutan yang diakui
oleh perolehan kerja dan ditunjukkan melalui perilaku membantu orang lain
(altruisme), partisipasi dukungan secara sukarela terhadap organisasi baik secara
profesional maupun sosial alamiah (civic virtue), kinerja dari prasyarat peran yang
melebihi standart minimum (conscientiousness), perilaku membantu memecahkan
problem yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain (courtesy), dan
kemauan untuk bertoleransi tanpa mengeluh (sportmanship).
d. Kinerja guru
Kinerja guru adalah suatu hasil yang dicapai oleh guru dalam melaksanakan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan,
pengalaman dan kesungguhan serta penggunaan waktu. Alat ukur yang akan
digunakan dalam penelitian ini, adalah InstrumenPenilaian Kinerja Guru (PKG)
yang terdiri dari empat komponen, yaitu 1) perencanaan pembelajaran, 2)
pelaksanaan pembelajaran, 3) penilaian pembelajaran, 4) hubungan antar pribadi.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kinerja Mengajar Guru
Kinerja atau sering juga di sebut dengan performansi pada saat ini menjadi
perhatian semua orang pada semua institui termasuk institusi Pendidikan hingga di
tingkat paling rendah seperti sekolah dasar. Oleh sebab itu kinerja selalu menjadi fokus
perhatian oleh pimpinan di setiap sekolah dan selalu menjadi obyek monitoring dan
evaluasi (monev) setiap tahun bahkan setiap semester karena dari kinerja yang baik dan
berkualitaslah akan lahir kualitas Pendidikan yang dapat memenuhi harapan semua
orang.
Lawler dan Porter (dalam Sutrisno, 2011) menyatakan bahwa kinerja adalah
kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugas. Menurut Miner (dalam Sutrisno,
2011) kinerja adalah bagaimana seseorang diharapkan dapat berfungsi dan berperilaku
sesuai dengan tugas yang telah dibebankan kepadanya. Irianto (dalam Sutrisno, 2011)
mengemukakan kinerja karyawan adalah prestasi yang diperoleh seseorang dalam
melakukan tugas. Kinerja menurut Mangkunegara (2007) adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
1. Mutu Kinerja Mengajar Guru
Konsep mutu perlu dipahami dengan baik dan jelas agar rencana program
peningkatan mutu dapat terarah dan memberikan hasil yang optimal.Para ahli
mendefinisikan mutu dari berbagai sudut pandangnya masing-masing. Usman (2014:
541) mengutip beberapa definisi mengenai mutu sebagai berikut: (1) Deming,
mendefinisikan mutu sebagai satu tingkat yang dapat diprediksi dari keseragaman
dan ketergantungan pada biaya yang rendah sesuai pasar, (2) Juran, mengartikan
mutu sebagai kemampuan untuk digunakan (fitness for use), (3) Crosby, menyatakan
bahwa mutu sesuai persyaratan.Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, yang
disebut mutu adalah sifat-sifat produk atau jasa yang sesuai persyaratan dan memiliki
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan penggunanya.
14
Berbicara tentang mutu berarti berbicara tentang suatu produk atau layanan
(jasa). Dari sisi penyelenggaraannya, pendidikan termasuk kategori layanan jasa
(service). Jasa menurut Kotler (dalam Syamsi, 2008) adalah setiap tindakan atau
unjuk kerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip
intangible dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Dari pernyataan
Kotler tersebut dapat dipahami bahwa jasa merupakan kinerja yang diberikan oleh
penyedia layanan kepada konsumen.Bersifat intangible maksudnya jasa tidak
berwujud, berbeda dengan barang atau benda. Jasa merupakan suatu kinerja
(performance), tindakan, proses, atau usaha yang tidak bisa dilihat, dirasa, maupun
didengar sebelum dibeli atau dikonsumsi.
Mengenai kinerja, Supardi (2013: 47) berpendapatbahwa kinerja adalah hasil
kerja yang telah dicapai oleh seseorang dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan
berdasarkan standardisasi atau ukuran dan waktu yang disesuaikan dengan jenis
pekerjaannya dan sesuai dengan norma dan etika yang telah ditetapkan. Pernyataan
tersebut mengindikasikan bahwa kinerja sebagai proses dan hasil akhir dari suatu
kegiatan yang dilakukan seorang pegawai dalam mencapai tujuan organisasi harus
berdasarkan kepada standar atau ukuran yang telah ditentukan.
Menurut Maier dalam Junaedi (2013) kinerja merupakan kesuksesan
seseorang dalam melaksanakan pekerjaan”. Pandangan ini menjelaskan bahwa
kinerja adalah hasil yang dicapai seseorang menurut kriteria dan alat ukur yang
berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Suharsaputra (2010) juga menyatakan
bahwa guru dalam pengelolaan pembelajaran harus memiliki kemampuan antara lain,
kemampuan menyusun rencana pembelajaran, kemampuan melaksanakan
pembelajaran, kemampuan mengadakan evaluasi pembelajaran.
Husdarta (2009) menyebutkan secara umum terbentuknya kinerja disebabkan
oleh tiga faktor yaitu: (1) faktor kemampuan (ability) merupakan fungsi dari
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan teknologi karena faktor tersebut dapat
memberikan indikasi terhadap batas kemungkina, kinerja yang dapat dicapai; (2)
faktor upaya (effort) merupakan fungsi dari kebutuhan sarana, harapan dan ganjaran.
Beberapa banyak kemampuan individu yang dapat direalisasikan sangat tergantung
dari tingkatan individu dan atau kelompok motivasi, sehingga dapat mencurahkan
15
upaya atau usaha sebesar mungkin; dan (3) faktor kesempatan/peluang (opportunity)
kepada individu atau bawahan agar dapat menggunakan temampuan dan upaya
mereka ditempat-tempat yang berarti dalam pekerjaannya.Adapunkegiatan kinerja
mengajar guru dijelaskan dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang standart
proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang mengungkapkan bahwa
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan
pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup.
Sedangkan, mengajar menurut Usman dan Setiawati (1993), mengajar pada
prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Howard
(dalam Slameto, 1995) memberikan definisi mengajar lebih lengkap, menurutnya
mengajar adalah suatu aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang
untuk mendapatkan, mengubah atau mengembangkan skills, attitude, ideals (cita-
cita), appreciations (penghargaan) dan knowledge.
Pemahaman secara umum mengajar seringkali diartikan sebagai usaha guru
untuk menyampaikan dan menanamkan pengetahuan kepada siswa atau transfer of
knowledge. Padahal tugas guru dalam mengajar bukan sekedar memindahkan
pengetahuan kepada siswanya, meminta siswa mencatat dan menghapalkan bahan
pelajaran sehingga siswa tidak berpikir dan berbuat sesuatu, hanya mendengarkan
dan menerima saja apa yang diberikan guru. Mengajar yang hanya menekankan
intelektual saja tidak akan membentuk kreativitas di dalam diri siswa, jiwanya
menjadi tidak kritis, kurang inisiatif, dan daya kreasi yang rendah. Menjadi tugas
berat bagi guru untuk membawa perubahan tingkah laku siswa ke arah yang lebih
baik. Guru perlu memikirkan bagaimana bentuk penyajian pembelajaran yang tepat
untuk mencapai tujuan tersebut.
Konsep mengajar apabila dikaitkan dengan kinerja guru akan mengandung
pengertian bahwa kinerja mengajar guru adalah suatu kemampuan guru dalam
melaksanakan tugas mengajar yaitu membimbing siswa dalam belajar dengan
menciptakan proses pembelajaran yang sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan
pembelajaran. Untuk dapat menampilkan kinerja yang bagus, guru harus profesional
dalam menjalankan tugasnya. Guru yang memiliki kinerja yang baik dan profesional
dalam implementasi kurikulum menurut Basyirudin dan Usman (dalam Supardi,
16
2013) memiliki ciri-ciri yaitu mendesain program pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran dan menilai hasil belajar peserta didik.
Dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran, guru perlu merencanakan dan
menyiapkan pembelajaran yang bermutu yaitu dengan mengkondisikan berbagai
aspek pembelajaran. Menurut Sulthon (2013) untuk menuju pembelajaran yang
berkualitas dibutuhkan pengkondisian berbagai aspek pembelajaran diantaranya:
metode, strategi, pendekatan, pengelolaan pembelajaran, manajemen kelas,
pemanfaatan media, dan penguasaan materi pembelajaran. Sulthon menambahkan
bahwa dalam paradigma pendidikan modern, pembelajaran yang bermutu adalah
pembelajaran yang di desain dengan subyek (siswa) dijadikan sebagai pelaku
pembelajaran, dengan demikian dalam pembelajaran yang aktif melakukan belajar
adalah siswa sedang guru sebagai fasilitator dan motivator dalam belajar. Hal ini
bertolak belakang dengan proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak guru saat
ini. Guru terbiasa mendominasi kegiatan pembelajaran. Dalam menyampaikan
materi, guru terbiasa menggunakan metode ceramah, sementara siswa hanya duduk,
mencatat, dan mendengarkan, sehingga siswa menjadi pasif dan suasana
pembelajaran tidak kondusif.
Mengajar pada intinya adalah melayani kebutuhan siswa dalam belajar.Untuk
itu guru perlu memperhatikan kondisi siswa yang diajarnya, memahami latar
belakang, kemampuan, minat, dan potensi yang dimiliki siswa. Pemenuhan terhadap
kebutuhan belajar siswa akan memberi kepuasan bagi siswa yang ditandai dengan
meningkatnya prestasi belajar yang dicapainya. Oleh karena itu, pelayanan yang
diberikan guru harus terencana dan sistematis dengan memperhatikan dimensi
kualitas pelayanan jasa dari Parasuraman, Zeithaml dan Berry (dalam Tjiptono, 2012)
yang meliputi: (1) reliabilitas (reliability), (2) daya tanggap (responsiveness), (3)
jaminan (assurance), (4) empati (empathy), dan (5) bukti fisik (tangibles).
Penilaian terhadap mutu kinerja mengajar guru memerlukan sumber informasi
data dari berbagai pihak, terutama yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran
yaitu siswa. Pandangan siswa mengenai kemampuan guru mengajar dan pelayanan
yang diterimanya adalah faktor yang menentukan penilaian dan pengukuran kepuasan
pelanggan.
17
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa mutu kinerja mengajar
guru merupakan serangkaian perilaku atau kegiatan yang dilaksanakan oleh guru
berdasarkan kemampuannya dalam memberikan layanan pengajaran yang sesuai
dengan kebutuhan dan harapan siswa serta tujuan pembelajaran yang hendak dicapai
secara efektif dan efisien.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Bernardin (dalam Mahesa, 2010) menyatakan bahwa terdapat enam kriteria
yang digunakan untuk mengukur sejauh mana kinerja secara individu, yaitu:
1) Kualitas, tingkat dimana hasil aktivitas yang dilakukan mendekati sempurna,
dalam arti menyelesaikan beberapa cara ideal dan penampilan aktivitas ataupun
memenuhi tujuan yang diharapkan dari suatu aktivitas.
2) Kuantitas, jumlah yang dihasilkan, dinyatakan dalam istilah jumlah unit, jumlah
siklus aktivitas yang diselesaikan.
3) Ketepatan waktu, tingkat suatu aktivitas yang diselesaikan pada waktu awal yang
dinginkan, dilihat dari sudut koordinasi yang dengan hasil output serta
memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
4) Efektivitas, tingkat penggunaan sumber daya organisasi dimaksimalkan dengan
maksud menghasilkan keuntungan dan mengurangi kerugian setiap penggunaan
sumber daya.
5) Kemandirian, tingkat dimana seorang karyawan dapat melakukan fungsi kerjanya
tanpa meminta bantuan, bimbingan dan pengawasan atau meminta turut
campurnya pengawas.
6) Komitmen kerja, tingkat dimana karyawan mempunyai komitmen kerja dengan
perusahaan dan tanggung jawab kerja terhadap perusahaan.
Secara lebih ringkas, Mangkunegara (dalam Darmawan, 2009) menetapkan
dimensi-dimensi yang mempengaruhi kinerja guru, yakni:
a. Kualitas yang berarti hasil pekerjaan yang dapat dilakukan mendekati sempurna
atau memenuhi tujuan yang diharapkan dari pekerjaan tersebut. Kualitas kerja,
meliputi ketepatan, ketelitian, keterampilan, dan kebersihan. Ketepatan dalam hal
ini adalah ketepatan waktu yang diartikan sebagai jumlah pekerjaan yang
18
dilaksanakan apakah sesuai dengan waktu yang direncanakan. Ketelitian diartikan
jumlah kesalahan yang dilakukan pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya.
Keterampilan merupakan tingkat kemampuan pegawai dalam bekerja.
b. Kuantitas yang berarti jumlah yang dihasilkan atau jumlah aktivitas yang dapat
diselesaikan dalam periode waktu tertentu. Kuantitas kerja juga berhubungan
dengan output serta seberapa cepat seseorang dapat menyelesaikan kerja secara
ekstra. Output dapat diartikan jumlah pekerjaan yang mampu dikerjakan pegawai
dalam jangka waktu tertentu. Dan kecepatan dapat diartikan sebagai waktu rata-
rata yang digunakan untuk menyelesaikan satu unit pekerjaan.
c. Kehandalan atau dapat diartikan kemampuan seorang pegawai yang digunakan
dan dapat dipercaya dalam mengikuti instruksi yang diberikan oleh pimpinan;
memiliki inisiatif diartikan sebagai kemampuan pegawai dalam mengemukakan
gagasan, metode, dan pendekatan baru dalam pekerjaannya; sifat kehati-hatian
yang tepat, dan faktor kerajinan dalam pekerjaan yang juga dapat diartikan
sebagai kerapian dalam bekerja.
d. Sikap dalam hal ini diartikan sebagai tindakan pegawai dalam melakukan segala
sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya, baik berkenaan dengan sikap
terhadap organisasi, maupun sikap dengan pegawai lain, serta kerjasama dalam
menyelesaikan suatu tugas untuk mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan
organisasi.
B. Budaya Kerja
Triguno (1977) menyatakan bahwa warna budaya kerja adalah suatu produk yang
berupa perilaku kerja yang dapat diukur seperti kerja keras, disiplin, produktif, tanggung
jawab, bermotivasi, kreatif, inovatif, responsif dan mandiri. Ini bererti bahwa budaya
kerja seperti tersebut merupakan dasar yang akan menghasilkan kualitas proses kerja.
Dengan demikian maka apabila seseorang ingin menghasilkan kerja yang berkualitas
maka dia harus memiliki proses kerja yang berkualitas, dan proses kerja yang
berkualitas hanya mungkin berlaku apabila seseorang memiliki budaya kerja.
Schien (1997), budaya kerja ialah satu budaya dalam organisasi yang mengarah
kepada suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang
19
membezakan organisasi itu dengan organisasi lain. Robbins (2001) menyatakan bahwa
sebuah sistem yang didukung dan dibentuk bersama oleh warganya sekaligus
menjadikan organisasinya berbeza dengan organisasi lain. Budaya juga dapat dilihat
sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian
dan sekaligus cara untuk melihat persoalan dan menyelesaikannya (Zamroni, 2003).
Budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi
dan dijadikan sebagai falsafah kerja staf/anggota-anggota dalam suatu organisasi
(Moelyono, 2003).
Budaya organisasi adalah budaya yang ada di dalam organisasi. Budaya dapat
dilihat dari tiga sudut, iaitu idea/gagasan, kelakuan dan ada fisik (Koentjaraningrat,
1982). Sementara Glinow dan McShane (2007) melihat budaya organisasi sebagai nilai,
asumsi bersama daripada anggota-anggota organisasi. Gibson, Ivanicevic dan Donelly
(2000) menekankan bahwa budaya organisasi merupakan asumsi, keyakinan, nilai-nilai
dan persepsi bersama anggota-anggota organisasi yang membentuk dan memberi kesan
ke atas sikap, perilaku, serta petunjuk dalam menyelesaikan masalah. Selari dengan
perkara tersebut oleh Luthans (2007) menyatakan bahwa budaya organisasi mencakup
keteraturan perilaku, norma, nilai, falsafah dan aturan seperti asas/panduan bagi
anggota-anggota untuk bekerja dalam organisasi. Stoner (1995) mendefenisi budaya
sebagai gabungan asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora dan pelbagai idea lain
yang manjadi amalan anggota-anggota untuk menentukan apa ertinya menjadi anggota
masyarakat tersebut. Grave (1986) pula menyatakan budaya adalah suatu pola material
mahupun perilaku yang sudah diterima pakai oleh masyarakat sebagai cara hidup dalam
menyelesaikan masalah-masalah anggotanya. Budaya di dalamnya juga termasuk semua
cara yang telah diterima pakai seperti: kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya implisit
serta premis-premis dasar dan peraturan oleh organisasi berkenaan. Cowling dan James
(1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai cara kita melakukan
sesuatu perkara. Schein (2004), kata kunci pengertian budaya iaitu asumsi asas yang
diamati bersama (shared basic assumptions). Ndraha (1997) mengemukakan bahwa
asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value. Beliefs merupakan asumsi dasar tentang
dunia dan bagaimana dunia bergerak.
20
Dengan memahami konsep asas budaya di atas, anggota-anggota organisasi akan
berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut sebagai budaya
organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan
kepada pengertian organisasi formal. Dalam erti kata lain, kerja sama yang terjalin
antara anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan
anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Nevizond, 2007).
Schein (2004) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibahagikan kepada
dua dimensi iaitu (1) Dimensi persekitaran luaran (external environments); yang
didalamnya terdapat lima perkara asas iaitu: (a) misi dan strategi (mission and
strategy); (b) tujuan (goals); (c) cara untuk mencapai ) tujuan (means to achieve goals);
(d) pengukuran (measurement); dan (e) pembetulan (correction), dan (2) Dimensi
integrasi internal (internal integration) yang di dalamnya terdapat enam aspek utama,
iaitu: (a) bahasa umum (common language); (b) kumpulan (group boundaries for
inclusion and exclusion); (c) penyebaran kekuasaan dan status (distributing power and
status); (d) pengembangan norma keakraban (developing norms of intimacy, friendship,
and love); (e) penghargaan dan hukuman (reward and punishment); dam (f)
menjelaskan falsafah dan keagamaan (explaining and explainable: ideaology and
religion).
Schein (1997) menjelaskan sepuluh ciri budaya organisasi, mencakup: (1) tingkah
laku yang nampak (observe behavior): bahasa, adat, tradisi; (2) norma kelompopk
(groups norms): standard dan nilai (standards and values); (3) espoused values:
published, publicly announced values; (4) falsafah formal (formal philosophy): misi; (5)
aturan main (rules of the game): aturan untuk semua orang dalam organisasi; (6) iklim
(climate): iklim interaksi dalam kelompok (climate of group in interaction); (7)
keterampilan tertanam (embedded skills); (8) kebiasaan berfikir, paradigma,
pengetahuan bersama untuk disosialisasikan (habits of thinking, acting, paradigms:
shared knowledge for socialization); (9) makna bersama kepada kelompok (shared
meanings of the group); dan (10) bahasa kiasan atau simbol (metaphors or symbols).
Luthans (2007) mengetengahkan enam ciri penting budaya organisasi, iaitu: (1)
obeserved behavioral regularities; yakni peraturan cara bertindak daripada para anggota
yang boleh diamati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya,
21
mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms;
norma yakni pelbagai standard perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang
panduan sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; nilai
dominan iaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota
organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, ketidak hadiran yang rendah
atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; falsafah iaitu adanya dasar dan garis panduan
yang berkenaan dengan keyakinan organisasi semasa melayani pelanggan dan
staf/anggota-anggota (5) rules; peraturan iaitu adanya peraturan yang ketat, dikaitkan
dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; iklim organisasi merupakan
perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang digambarkan dan disampaikan
melalui keadaan tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota
organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain.
McNamara (2002) mengemukakan pendapat bahwa dari sudut input, budaya
organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum,
kompetensi dan sebagainya. Dari sudut proses, budaya organisasi menjurus kepada
asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang: uang, waktu, manusia, kemudahan dan
ruang. Apabila dilihat dari sudut output berhubungan dengan impak budaya organisasi
kepada perilaku organisasi, teknologi, strategi, produk dan sebagainya (Kreitner &
Kinicki, 2007).
Berkaitan dengan budaya organisasi dan prestasi organisasi, Gomez-Gras dan
Verdu-Jove (2005) mengidentifikasi empat elemen pembentuk oraganisasi pembelajaran
yang menuju ke arah perubahan budaya kualitas yaitu (1) Komitmen pimpinan.
Dukungan dan komitmen pimpinan perlu untuk melahirkan budaya kerja, (2) Perspektif
sistem. Berfikir secara sistem, di mana anggota-anggota organisasi melihat organisasi
sebagai satu sistem, (3) Keterbukaan; iklim keterbukaan yang mengakui pengetahuan
individu yang selalu diperbaharui, diperluas dan ditingkatkan, dan (4) Pemindahan
pengetahuan dan integrasi. Tim kerja atau anggota organisasi sentiasa belajar dan
menyebarkan pengetahuan secara terintegrasi kepada anggota-anggota organisasi.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Irani et al. (2004) telah menyarankan
sebuah model mengintegrasikan TQM dan OL untuk mencapai kecemerlangan
22
organisasi. Mereka menekankan bahwa kekuatan budaya TQM dan OL merupakan
kunci yang boleh meningkatkan organisasi dalam dunia yang kompetetif.
Kotter dan Haskett (1992) setelah melakukan kajian selama 14 tahun di pelbagai
organisasi terbaik di Amerika telah menyimpulkan bahwa organisasi-organisasi tersebut
meningkat prestasinya karena didukung oleh budaya organisasi yang kuat. Budaya
organisasi perusahaan atau budaya korporat pada dasarnya adalah budaya organisasi
yang berasaskan budaya kerja berkualitas dari individu-individu yang terlibat dalam
organisasi perusahaan tersebut.
Sartika (1999) dalam kajiannya tentang impak budaya organisasi yang berorientasi
TQM, kepuasan kerja dan prestasi menyimpulkan bahwa; 1) Prestasi adalah disebabkan
oleh faktor-faktor budaya organisasi, kepuasan kerja dan pengurusan kualitas, 2)
variabel budaya oraganisasi dalam kalangan pimpinan memberi pengaruh kepada
prestasi dan kepuasan kerja, 3) TQM memberi pengaruh kepada budaya organisasi.
Ambroz (2004) juga membuat kajian yang mempunyai tema yang sama yaitu untuk
menemukan budaya organisasi yang dapat menyumbang kepada keberhasilan
pelaksanaan TQM dalam tiga organisasi perkilangan di Slovenia. Sebanyak 670 pekerja
telah mengambil bagian dalam kajian ini dengan menjawab angket untuk mengukur
budaya korporat. Kajian ini mendapati bahwa budaya korporat yang terbuka dan
berorientasikan kemanusiaan menyumbang kepada kebehasilan pelaksanaan TQM.
Hasil kajian Jabnoun dan Sedrani (2005) hanya menyatakan budaya mempunyai
hubungan dengan pelaksanaan TQM.
Kualitas merupakan isu yang menjadi perhatian setiap orang dari pelbagai bidang
pekerjaan dan pelayanan di seluruh dunia, termasuk dunia pendidikan. Bagi masyarakat
Indonesia sekarang harapan kepada kualitas menjadi begitu nampak karena masalah
kualitas pendidikan di pelbagai jenis dan peringkat pendidikan masih belum memenuhi
harapan semua pihak.
Walau apapun usaha untuk meningkatkan kualitas, peningkatan kualitas di sesuatu
institusi sangat dipengaruhi oleh kebiasaan kerja, budaya kerja dan budaya organisasi
yang saling brhubungan. Tanpa budaya kerja dan budaya organisasi yang mengarah
kepada budaya kerja berkualitas maka usaha peningkatan kualitas secara optimal tidak
akan tercapai sebagaimana yang diharapkan (Suriansyah, 2014).
23
Keterlibatan dan keterikatan semua anggota organisasi dalam proses pengelolaan
yang mengarah kepada penciptaan budaya kerja dan budaya kualitas merupakan
prasyarat utama dalam pelaksanaan kualitas menyeluruh (Bafadal, 2007).
Kualitas kerja sangat erat kaitannya dengan budaya kerja yang dimiliki serta
mendasari para pelakunya. Kualitas tidak akan berhasil tanpa proses yang berkualitas.
Oleh karena itu proses yang berkualitas merupakan suatu yang harus dibentuk melalui
kebiasaan kerja yang berkualitas. Untuk mencapai kebiasaan kerja yang berkualitas
harus dimulai dari adanya kesepakatan semua anggota organisasi tentang budaya kerja
institusi. Suyata (1996) menyatakan bahwa ciri-ciri budaya kerja institusi pendidikan
yang dapat meningkatkan kualitas adalah: 1) Disiplin diri, 2) mengontrol kemajuan
belajar siswa, 3) Harapan yang tinggi kepada siswa, 4) Fokus perhatian warga institusi
pendidikan kepada proses pembelajaran. Hickman dan Silva (1984) menyatakan bahwa
budaya yang kuat dimiliki oleh anggota-anggota institusi memberi pengaruh kepada
keberhasilan institusi. Budaya yang kuat ini memerlukan suatu model tertentu. TQM
adalah budaya kerja dalam organisasi yang kuat untuk menghasilkan kualitas kerja yang
optimal (Kekale, 1999; Lam & Chin, 2008; Irani et al., 2004).
Ciampa (1991) pula menyarankan bahwa budaya organisasi dapat diubah secara
tetap oleh satu orang atau melalui program perbaikan secara terus menerus. Walaupun
begitu pada prakteknya, perubahan ini tidak dapat terjadi dalam waktu yang singkat.
Budaya organisasi bukan sesuatu yang diciptakan oleh seorang pemimpin secara
sendirian, ataupun sesuatu yang dapat dikawal dan diramalkan oleh pengurus oragnisasi.
Budaya merupakan sesuatu yang dirangkai dan dibentuk hasil dari setiap pegawai dalam
organisasi, sehingga perubahan budaya jauh dari kemustahilan, walaupun dia adalah
suatu proses yang lambat dan sukar untuk mencapai perubahan (Montes et al., 2003).
C. Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Salovey dan Mayer dalam Goleman (2000) menjelaskan bahwa kecerdasan
emosional merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan
membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya
serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan
24
emosi dan intelektual. Cooper dan Sawaf (1999) juga mengatakan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan
daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Disisi
lain, Robbins dan Judge (2008) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan
kemampuan seseorang untuk mendeteksi dan mengelola isyarat-isyarat emosional dan
informasi.
Goleman, Boyatzis, dan McKee (2004) mengatakan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,
ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi, dan menunda kepuasan,
serta mengatur keadaan jiwa. Goleman (2000) juga menjelaskan bahwa setiap individu
dalam suatu organisasi yang memiliki emosi yang baik cenderung memiliki kemauan
untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya. Edwardin (2006) menyatakan hal
yang sama bahwa karyawan yang secara emosional cerdas dapat memahami bagaimana
emosi terjadi, dapat mengatur emosinya, mengurangi emosi tidak produktif yang
menjadi penghalang dalam bekerjasama, serta mengambil langkah-langkah proaktif
untuk mencapai keberhasilan dalam bekerja.
Sementara itu, kata emosional sendiri mendapatkan penekanan khusus karena
secara terminologis berasal dari kata emosi. Emosi pada dasarnya adalah dorongan
untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang ditanamkan secara
berangsur-angsur yang berkaitan dengan pengalaman dari waktu ke waktu. Emosi
merupakan reaksi terhadap rangsangan dari dalam dan luar individu yang
diimplementasikan melalui tindakan. Pendapat didukung Goleman (2009) yang merujuk
emosi pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis
dan rangkaian kecenderungan untuk bertindak. Sementara itu, Anthony (2007) merujuk
emosi sebagai energi dahsyat yang kekuatannya melampaui batas kesadaran dan fisik.
Singkatnya, pikiran mempengaruhi emosi dan emosi mempengaruhi kualitas tindakan.
Selain itu, Emosi berperan dalam peningkatan proses konstruksi pikiran dalam
berbagai bentuk pengalaman kehidupan manusia. Salovey dan Mayers (Goleman, 2009:
7) mengungkapkan bahwa emosi sebagai respon terorganisasi, termasuk sistem
fisiologis, yang melewati berbagai batas subsistem psikologis, misalnya kognisi,
motivasi, dan pengalaman. Pengertian ini menunjukkan bahwa emosi merupakan respon
25
atas stimulus yang diperoleh dari lingkungan sekitar yang terorganisasi dengan baik
melewati subsistem psikologis. Hal senada juga diungkapkan oleh Campos dan Saarni
(Santrock, 2007) mendefinisikan emosi sebagai perasaan atau afek yang terjadi ketika
seorang manusia berada pada sebuah keadaan atau sedang berinteraksi sebagai makhluk
sosial. Sementara itu, Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan emosi sebagai
perasaan-perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu serta melabeli
emosi sebagai reaksi terhadap seseorang atau kejadian.
Lebih jauh, McPheat (2010) menyatakan bahwa basis fisik emosi berasal dari
otak. Hal senada juga diungkapkan Folkerts (1999) seperti diungkapkan Wahyono
(2001) mengungkapkan bahwa emosi manusia dikoordinasikan oleh otak. Bagian otak
yang mengatur emosi adalah sistem limbik. Struktur-struktur dalam sistem limbik
mengelola beberapa aspek emosi, yaitu pengamalan emosi melalui ekspresi wajah,
tendensi dan penyimpanan memori emosi. Sistem limbik terdiri atas empat unsur, yaitu
thalamus, hypothalamus, amigdala, hipokampus, dan lobus frontalis.
2. Indikator Kecerdasan Emosional
Berdasarkan teori Salovey dan Mayer dalam Goleman (2000), indikator
kecerdasan emosional terdiri dari lima hal, yaitu:
a) Kesadaran diri (mengenali emosi diri) atau self-awareness merupakan kemampuan
untuk mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya
untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, serta memiliki tolok ukur yang
realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
b) Pengaturan diri (mengelola emosi) atau self-regulation merupakan kemampuan
untuk menangani emosi diri sendiri sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan
tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum
tercapainya suatu sasaran, serta mampu pulih dari tekanan emosi.
c) Motivasi diri sendiri atau self-motivation merupakan kemampuan untuk
menggunakan hasrat diri yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun
menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan
untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi.
26
d) Empati (mengenali emosi orang lain) atau empathy merupakan kemampuan untuk
merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka,
menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan berbagai
tipe orang.
e) Keterampilan sosial (membina hubungan antar pribadi) atau interpersonal skill
merupakan kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan
dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial,
berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan ini untuk mempengaruhi
dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, serta untuk
bekerja sama dalam tim.
Kecerdasan emosional menurut Robbins dan Judge (2008) terdiri dari lima
dimensi, yaitu (a) kesadaran diri sendiri (self-awareness); (b) pengelolaan diri sendiri
(self-management); (c) motivasi diri sendiri (self-motivation); (d) empati (empathy); dan
(e) kecakapan sosial (social skills).
3. Dimensi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional seperti diuraikan sebelumnya secara harfiah didefinisikan
sebagai serangakaian kemampuan yang digunakan untuk mengelola dan memanfaatkan
emosi secara cerdas. Terkait dengan hal tersebut, berikut akan diuraikan tentang
komponen-komponen kecerdasan emosional yang berupa keterampilan yang
dikembangkan menurut para ahli, diantaranya menurut Robbins dan Judge (2008)
membagi kecerdasan emosional ke dalam lima dimensi yaitu: a) Self-awareness
(Kesadaran Diri) - selalu sadar terhadap apa yang dilakukan dan dirasakan, b) Self-
management (Pengaturan Diri) - Kemampuan mengelola emosi dan dorongan-dorongan
anda sendiri, c) Self-motivation (Motivasi Diri), merupakan kemampuan bertahan dalam
menghadapi kemunduran dan kegagalan, d) Empathy (Empati) merupakan kemampuan
untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, serta e) Social Skills (Keterampilan
Sosial), merupakan kemampuan untuk mengendalikan emosi terhadap orang lain.
27
Sementara itu, Peter Salovey (Goleman, 2009) dengan berlandaskan pada teori
Gardner (1983) membagi kecerdasan emosional ke dalam lima wilayah utama, antara
lain:
a) Mengenali emosi diri.
Merupakan pondasi kecerdasan emosional yang didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Terdapat tiga
indikator dalam aspek mengenali diri ini, antara lain: (1) mengenal dan merasakan
emosi sendiri, (2) memiliki kepercayaan diri, (3) mengenal kelemahan dan kelebihan
sendiri.
b) Mengelola Emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan terungkap dengan
tepat. Aspek mengelola emosi ini memilii enam indikator, antara lain: (1) bersikap
toleran terhadap toleransi, (2) mampu mengendalikan marah secara lebih baik, (3) dapat
mengendalikan perilaku agresif yang dapat merusak diri dan orang lain, (4) memiliki
perasaan positif tentang diri sendiri dan orang lain, (5) memiliki kemampuan untuk
mengatasi stress, dan (6) dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas.
c) Memotivasi Diri
Memotivasi diri berarti mampu mengendalikan kecemasan, memiliki pola pikir
yang positif, optimisme, mampu mencapai keadaan flow yaitu keadaan ketika seseorang
sepenuhnya terserap dan memusatkan perhatiannya ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, serta kesadaran menyatu dengan tindakan. Aspek motivasi diri sendiri
memuat tiga indikator, yaitu: (1) mengendalikan impuls, (2) bersikap optimis, (3)
mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan.
d) Mengenali Emosi Orang Lain
Mengenali emosi orang lain merupakan kemampuan untuk membaca perasaan
orang lain yang ditampilkan melalui isyarat-isyarat yang ditangkap. Kemampuan ini
diidentikkan dengan kemampuan berempati yang diartikan sebagai “keterampilan
bergaul” dasar. Aspek mengenali meosi ini memiliki tiga indikator, yaitu: (1) mampu
menerima sudut pandang orang lain, (2) memiliki sikap empati atau kepekaan terhadap
orang lain, dan (3) mampu mendengarkan orang lain.
e) Membina Hubungan dengan Orang Lain
28
Membina hubungan dengan orang lain merupakan kecakapan emosional yang
mendukung keberhasilan dalam bergaul dengan orang lain. Aspek ini memiliki sembilan
indikator antara lain: (1) memahami pentingnya membina hubungan dengan orang lain,
(2) mampu menyelesaikan konflik dengan orang lain, (3) memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi dengan orang lain, (4) memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul
dengan teman sebaya, (5) memiliki sikap tenggang rasa, (6) memiliki perhatian terhadap
kepentingan orang lain, (7) dapat hidup selaras dengan kelompok, (8) bersikap senang
berbagi dengan kelompok, dan (9) bersikap demokratis.
Adapun untuk mengukur variabel kecerdasan emosional yang digunakan dalam
penelitian ini, peneliti merujuk komponen kecerdasan emosional yang dikemukakan
oleh Goleman (McPheat, 2010) menguraikan kompetensi dalam kecerdasan emosi ke
dalam empat kompetensi, antara lain:
a) Self Awareness (Kesadaran Diri) yaitu mengetahui apa yang kita rasakan pada saat
itu, dan menggunakan pengungkapan perasaaan itu untuk membantu menarik
kesimpulan; memiliki pemahaman yang realistis terhadap kemampuan diri kita serta
memiliki sebuah kepercayaan diri yang kuat. Adapun kemampuan ini meliputi: (a)
emotional self-awareness (kesadaran emosi diri), (b) accurate self-assessment
(ketepatan penilaian diri), dan (c) self-confidence (kepercayaan diri).
b) Self-Management (Pengelolaan Diri) merupakan kemampuan untuk menangani
emosi sehingga emosi tidak ikut campur melainkan memfasilitasi; memiliki
kemampuan untuk menunda kesenangan dalam pencapaian tujuan; bangkit dari
tekanan emosional (keterpurukan); menanggulangi kesedihan dan memilih tindakan
yang benar untuk meraih kesuksesan. Pengelolaan diri ini terdiri atas: (a) self-
control (kontrol diri), (b) trustworthiness (kepercayaan), (c) conscentiousness
(mendengarkan kata hati), (c) adabtability (kemampuan menyesuaikan diri), (d)
achievement orientation (tujuan pencapaian), (e) initiative (inisiatif).
c) Social Awareness (Kesadaran Sosial) merupakan kemampuan untuk merasakan
perasaan orang lain; memahami situasi dari sudut pandang orang lain; menjalin
hubungan dengan orang yang berbeda-beda. Adapun kesadaran sosial ini meliputi:
(a) empathy (empati), (b) organizational awareness (kesadaran berorganisasi), (c)
service orientation (bertujuan untuk melayani).
29
d) Social Skills (Keterampilan Sosial) didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mengelola emosi dalam rangka sebagai penghormatan kepada orang lain; mampu
membaca intrik yang terjadi dari interaksi sosial; mampu berinteraksi di lingkungan
sosial dengan baik; serta mampu menggunakan serangkaian keahlian ini untuk
mempengaruhi, membujuk, menegosiasikan, bahkan memimpin. Adapun yang
termasuk dalam keahlian sosial ini meliputi: (a) influence (mempengaruhi orang
lain); (b) leadership (kepemimpinan), (c) developing others (mengembangkan orang
lain), (d) communication (komunikasi), (e) change catalyst (katalisator perubahan),
(f) conflict management (pengelolaan konflik), (g) building bonds (ikatan untuk
memberdayakan), (h) teamwork and collaboration (kerjasama dan kolaborasi).
Berdasarkan uraian teori-teori yang mendukung tentang kecerdasan emosional,
maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional diperlukan sebagai penyeimbang
kehidupan yang memuat kesadaran terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain,
bersikap empati, kasih sayang, motivasi, dan kemampuan untuk merespon suasana
kegembiraan dan kesedihan secara tepat sehingga dapat menunjang keberhasilan dan
kesuksesan hidup seseorang.
D. Organizational Citizenship Behavior (OCB)
1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan Organizational Citizenship Behavior
(OCB) sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal
seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.
Organ (2006) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang bersifat bebas, yang
tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan sistem imbalan formal dan dapat
meningkatkan efektivitas fungsi-fungsi organisasi.
Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu
yang mendalam yang melebihi tuntutan peran di tempat keja dan ganjaran oleh
perolehan pelaksanaan tugas. Organizational Citizenship Behavior (OCB) melibatkan
beberapa perilaku seperti perilaku menolong orang lain, menjadi sukarelawan untuk
tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan atau prosedur-prosedur di tempat kerja,
30
perilaku ini menggambarkan nilai tambah pegawai, ia merupakan salah satu bentuk
perilaku pro sosial yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna
membantu (Aldag & Resekhe,1997; Ackfeldt & Coote, 2003; Organ, 1988;
Schnake,1991).
Berdasarkan definisi seperti yang telah diuraikankan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa OCB merupakan (1) Perilaku yang bersifat sukarela, bukan
tindakan terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi; (2)
Perilaku individu sebagai perwujudan dari kepuasan berdasarkan prestasi yang tidak
diperintahkan secara formal; dan (3) Tidak berkaitan secara langsung dan terang-
terangan dengan sistem dan reward yang formal.
Selanjutnya Organizational Citizenship Behavior (OCB) pertama kali di ajukan
oleh Organ (1997) yang menyatakan bahwa terdapat lima dimensi yaitu (1) Altruism,
yaitu perilaku membantu pegawai lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas yang
berkaitan erat dengan kegiatan organisasional; (2) Civic Virtue yaitu hal yang
menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-fungsi organisasi
baik seccara profesional maupun secara sosial alamiah; (3) Cortesya, ialah perilaku
meringankan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain; dan
(4) Sportmanship, ialah berisi tentang pantangan yang membuat issue yang merusak.
2. Dimensi- Dimensi OCB
Pengukuran Organizational Citizenship Behavior (OCB) telah dikembangkan,
satu di antaranya ialah yang telah disempurnakan dan memiliki kemampuan
psikometrik yang baik adalah skala yang dikembangkan Aldag dan Resekhe (1997),
yang mengukur kelima dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB) seperti
berikut.
a. Altruisme, yaitu menggantikan rekan kerja yang tidak masuk seperti membantu
orang lain yang pekerjaannya overload; membantu orientasi pegawai baru;
membantu tugas orang lain pada saat mereka tidak masuk; dan meluangkan waktu
membantu orang lain berkaitan dengan masalah pekerjaan.
b. Civic virtue, yaitu partisipasi atau dukungan secara profesional maupun sosial
alamiah seperti tidak menyimpan informasi/ kejadian maupun perubahan dalam
31
organisasi; mengikuti perubahan dan perkembangan dalam organisasi; membaca
danmengikuti pengumuman organisasi; dan membuat pertimbangan dan menilai apa
yan terbaik untuk organisasi.
c. Conscientioueness, yaitu kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standard
minimum, seperti tiba lebih awal sehingga siap bekerja pada saat di mulai; tepat
waktu setiap hari tidak peduli pada musim dan lalu lintas; berbicara seperlunya
dalam percakapan telpon; tidak menghabiskan waktu untuk berbicara di luar
pekerjaan dan datang segera jika diperlukan.
d. Coertesy, yaitu perilaku meringankan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan
yang dihadapi orang lain seperti menberi perhatian terhadap fungsi yang menbantu
pencitraan organisasi; memberikan perhatian terhadap pertemuan yang dianggap
penting; dan membantu mengatur kebersamaan dalam organisasi.
e. Sportmanship, yaitu kemauan untuk bertoleransi tanpa mengeluh seperti tidak
mencari-cari kesalahan dalam organisasi; tidak mengeluh tentang segala sesuatu;
dan tidak membesar-besarkan masalah diluar proporsinya.
3. Manfaat OCB
Organisasi yang berfungsi efektif membutuhkan karyawan yang tidak hanya
bekerja sesuai tugasnya, tetapi juga melakukan hal-hal diluar deskripsi pekerjaan. Hal
ini dapat dicapai apabila organisasi dapat mengembangkan Organzational Citizenship
Behavior (OCB).
OCB merupakan konsep yang penting karena memberikan keuntungan kepada
organisasi, yaitu membuat organisasi tempat menarik untuk bekerja dan rekan kerja. Hal
ini disebabkan rekan kerja yang ramah dan penuh pertimbangan.
Podsakoff dkk. (2000) menyatakan bahwa Organizational Citizenship Behavior
(OCB) berpengaruh terhadap prestasi organisasi yaitu (1) Karyawan yang menolong
rekan kerja akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya dan pada gilirannya
meningkatkan produktivitas rekan tersebut dan (2) Seiring dengan berjalannya waktu
perilaku membantu yang ditunjukkan oleh pegawai akan menyebarkan best practice
keseluruh organisasi (kelompok unit kerja) yaitu:
32
Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan produktivitas
pimpinan organisasi atau manager, yaitu (1) pegawai yang menampilkan civic akan
membantu pimpinan mendapatkan saran dan umpan balik yang berharga dari pegawai
tersebut untuk meningkatkan efesiensi organisasi; (2) pegawai yang sopan yang
menghindari terjadinya konflik dengan rekan kerja akan membantu pimpinan terhindar
dari krisis pengeloaan
Organizational Citizenship Behavior (OCB) menghemat sumber daya yang
dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan, yaitu (1) jika pegawai saling
tolong menolong dalam menyelesaikan masalah dalam pekerjaan, maka tidak perlu
melibatkan pimpinan, konsekuensinya pimpinan dapat memakai waktu untuk tugas
lainnya, seperti membuat perencanaan; (2) pegawai yang menampilkan
consentioussness yang tinggi hanya memerlukan pengawasan minimal dari pengawas
dan pimpinan sehingga pimpinan dapat mengelegasikan tanggung jawab yang lebih
besar; (3) pegawai lama yang membantu pegawai baru dalam berbagai hal dalam
melakukan orientasi akan membantu organisasi berjalan lebih efektif dan efisien; (4)
pegawai baru yang memperlihatkan sportsmanship akan dapat menolong pimpinan,
tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan–keluhan
karyawan.
Organizational Citizenship Behavior (OCB) dapat menjadi sarana yang efektif
untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja yaitu (1) keuntungan dari
perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril (morale) dan kerekatan
(cohesiveness) kelompok sehingga anggota kelompok tidak perlu menghabiskan energi
dan waktu untuk memelihara fungsi kelompok; dan (2) pegawai yang menampilkan
courtesy terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok kerja, sehingga
organisasi berjalan lebih efektif.
Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan stabilitas kinerja
organisasi yaitu (1) membantu tugas pegawai lain yang tidak masuk kerja atau yang
mempunyai beban kerja akan meningkatkan stabilitas (dengan cara mengurangi
variabilitas) dari kinerja dalam kelompok; (2) pegawai yang conscientiousness cendrung
mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi
variabilitas pada unit kerja.
33
Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan kemampuan adaptasi
dengan perubahan lingkungan yaitu: (1) Pegawai yang mempunyai hubungan dekat
dengan rekan kerja dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi
di lingkungannya dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan tersebut,
sehingga pegawai lain dapat beradaptasi dengan cepat; (2) Pegawai yang aktif hadir
dalam rapat organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting yang
berkembang dalam organisasinya; dan (3) Pegawai yang menampilkan concentiousness
misalnya kesediaan memikul tanggung jawab baru di luar walaupun dia harus
mempelajari keahlian baru yang dapat meningkatkan kemampuan organisasi.
4. Karakteristik Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Ada bebrbagai karakteristik yang dapat menggambarkan organizational
citizenship behaviour. Menurut Organ (2006), OCB memiliki lima dimensi primer,
yaitu:
1. Altruism, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugas-
tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi organisasi.
2. Courtesy, yaitu perilaku meringankan problem-problem yang berkaitan dengan
pekerjaan yang dihadapi orang lain.
3. Sportsmanship berisi tentang pantangan-pantangan membuat isu-isu yang
merusak meskipun merasa jengkel.
4. Conscientiousness, yaitu kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standar
minimum.
5. Civic Virtue menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-
fungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial ilmiah.
Dimensi altruism dan courtesy berkaitan dengan hubungan langsung individu
dengan individu dan berhubungan pula dengan perusahaan secara tidak langsung.
Sementara dimensi conscientiousness, sportsmanship, dan civic virtue berhubungan
langsung dengan masalah-masalah perusahaan.
Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan Organizational Citizenship Behavior
(OCB) sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal
seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.
34
Podsakoff et al (dalam Rahmi, 2013) menjelaskan OCB mempengaruhi keefektifan
organisasi karena beberapa alasan diantaranya yaitu OCB dapat membantu
meningkatkan produktivitas rekan kerja dan manajerial, serta dapat meningkatkan
stabilitas kinerja organisasi.
D. Kerangka Penelitian
Berdasarkan kajian teori di atas, maka kerangka penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Variabel budaya kerja, kecerdasan
emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB), serta kinerja mengajar guru.
Hubungan antara masing-masing variabel diberikan pada gambar seperti berikut:
Gambar 2.2: Model Hubungan Budaya Kerja, Kecerdasan Emosional, dan
Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan Kinerja Guru
Secara Teoritis
Berdasarkan model kerangka konseptual pada gambar 2.2 tersebut dapat
dijelaskan beberapa pola hubungan, yaitu: a) budaya kerja berhubungan langsung
dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan kecerdasan emosional, b)
kecerdasan emosional berhubungan langsung dengan kinerja guru, c) Organizational
Citizenship Behavior (OCB) berhubungan langsung dengan kinerja guru, d) budaya
kerja berhubungan tidak langsung dengan kinerja guru melalui OCB, e) budaya kerja
berhubungan tidak langsung dengan kinerja guru melalui kecerdasan emosional.
Berdasarkan kerangka mnodel teoritik sebagaimana tergambarkan diatas
(gambar 2.2) maka model tersebut menjadi model awal penelitian ini yang akan diuji
melalui penelitian ini.
Budaya Kerja
Kecerdasan Emosional
Organizational
Citizenship Behavior
(OCB)
Kinerja Mengajar
Guru
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara budaya kerja,
kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan kinerja
mengajar guru-guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara. Untuk mencapai
tujuan tersebut penelitian ini menggunakan metode deksriptif-kuantitatif. Metode
deskriptif artinya metode ini digunakan untuk menggambarkan fakta (expost facto) yang
sedang berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan dapat membuat tafsiran yang
tepat (Nazir, 2005). Metode deskriptif dapat memberikan gambaran fenomena-
fenomena, menunjukkan hubungan, menguji hipotesis, membuat ramalan serta
mendapatkan makna implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan (Nazir, 2005).
Sedangkan kuantitatif artinya jenis data yang dikumpulkan dan diolah melalui
perhitungan struktur teori untuk membangun model penelitian serta hipotesis-
hipotesisnya, dan memerlukan pengujian secara kuantitatif dan statistik (Hartono,
2004).
Penelitian ini termasuk penelitian korelasional, yakni menjelaskan hubungan
antara variabel berdasarkan teori dan penelitian-penelitian terdahulu dan data empiris
(Cooper & Schindler, 2003). Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini termasuk
penelitian survei, dan dilihat dari pengendalian variabel termasuk penelitian bukan
eksperimen (Sukarmin, 2010).
Variabel-variabel yang akan diuji hubungannya dalam penelitian ini meliputi :
Kinerja guru (Y), budaya kerja (X1), Kecerdasan emosional (X2), dan Organizational
Citizenship Behavior (OCB) (X3). Variabel-variabel tersebut terdiri dari empat variabel
eksogen (variabel bebas) dan satu varibel endogen (variabel terikat). Variabel eksogen
adalah variabel yang tidak dipengaruhi atau tidak diprediksi oleh variabel lain dalam
suatu model, sedangkan variabel endogen adalah variabel yang dipengaruhi (diprediksi)
oleh satu atau beberapa variabel eksogen dalam satu model. (Ferdinand, 2002).
36
Variabel endogen dalam penelitian ini adalah kinerja guru (Y), sedangkan
variabel eksogen adalah kepemimpinan instruksional budaya kerja (X1), Kecerdasan
emosional (X2), dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) (X3).
Penelitian ini, untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas yaitu, budaya
kerja (X1), Kecerdasan emosional (X2), dan Organizational Citizenship Behavior
(OCB) (X3) dengan variabel terikat, yaitu kinerja guru (Y). Karena penelitian ini
difokuskan untuk mengetahui kemampuan prediksi variabel-variabel eksogen (varibel
bebas) terhadap variabel endogen (variabel terikat), dan juga untuk mengetahui model
konstruk variabel yang memiliki hubungan signifikan, maka tehnik analisis data yang
digunakan adalah tehnik analisis SEM ( Structural Equation Model).
Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.1 Rancangan Penelitian
B. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh subjek yang dikaji (Arikunto, 2002) atau
dengan kata lain seluruh penduduk yang dimaksudkan akan diteliti (Hadi, 1984), atau
dapat pula diartikan sebagai kelompok yang menjadi sasaran penelitian dalam usaha
untuk memperolehi informasi dan menarik kesimpulan (Abdulla, 1964). Oleh karena
itu, populasi pada penelitian ini adalah seluruh guru sekolah dasar negeri di Kecamatan
Banjarmasin Utara sebanyak 634 orang yang tersebar di 48 sekolah dasar.
Sampel penelitian adalah sebagian populasi yang dapat mewakili seluruh
populasi yang ada (Arikunto, 2002). Hadi (1984) menyatakan sampel adalah bagian dari
populasi atau jumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi, dapat juga disebut
Budaya Kerja
(X1)
Kecerdasan Emosional
(X2)
Organizational
Citizenship Behavior
(OCB) (X3)
(X3)
Kinerja Mengajar
Guru (Y)
37
sebagai kelompok representatif dari populasi. Selain itu, menurut Sudjana (1990),
jumlah anggota sampel tidak ada ketetapan yang pasti. Namun Hadi (1984) menyatakan
pada umumnya sampel minimum untuk penelitian deskriptif adalah 10 sehingga 20
persen dari populasi. Mengingat karakteristik sampel, heterogenitas populasi dan
penyebarannya serta tujuan penelitian, maka teknik penarikan sampel yang digunakan
adalah proporsional random sampling.
Proporsional digunakan untuk mendapatkan subjek sampel yang mempunyai
proporsi yang sama untuk masing-masing wilayah dengan ketentuan, responden adalah:
(1) Guru yang mengajar di sekolah dasar negeri. Sekolah dan guru-guru di sekolah
negeri mendapat kemudahan dan fasiltas dari Negara dan memiliki kesempatan yang
sama dalam pengembangan kariernya; (2) Guru yang telah mengajar di sekolahnya
sekurang-kurangnya 1 tahun. Waktu 1 tahun merupakan masa yang dianggap cukup
untuk mengenal tingkah laku kepemimpinan kepala sekolah di sekolahnya (Kingstrom
& Mainstone, 1985); (3) Guru yang berada di sekolah yang kepala sekolahnya telah
mengabdi sekurang-kurangnya 2 tahun. Masa 2 tahun merupakan masa yang dianggap
cukup bagi kepala sekolah untuk menjalankan kepemimpinan di sekolahnya.
Sampel diambil berdasarkan beberapa ketentuan yang disarankan oleh Hair dkk.
(2006) yaitu (1) Model SEM yang memilikii ≤ 5 konstuk terdiri dari 3 item indikator
atau lebih, dan memiliki komunaliti yang tinggi (≥ .60), maka jumlah sampel yang
diperlukan ialah 100-150; (2) jika nilai komunaliti sederhana (.40-.45), atau model SEM
memiliki konstruk dengan jumlah indikator kurang dari 3 item, maka jumlah sampel
yang diperlukan adalah sekitar 200; (3) jika nilai komunaliti rendah, atau model SEM
memiliki konstruk dengan jumlah indikator kurang dari 3 item, maka jumlah sampel
yang diperlukan adalah 300 atau lebih; dan (4) jika nilai komunaliti besar (≥ 6),
beberapa konstruk yang memiliki jumlah indikator kurang dari 3 item, dan nilai
komunaliti rendah, maka jumlah sampel yang diperlukan 500 atau lebih.
C. Instrumen Penelitian
Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka diperlukan
alat pengumpul data yang disebut instumen. Semua data dari variabel di atas
dikumpulkan dengan instrumen dalam bentuk angket/kuesioner dan instrument
pengamatan/ lembar observasi.
38
1. Pengembangan Instrumen
a. Angket Variabel Budaya Kerja
Angket untuk variable budaya kerja di rancang sesuai dengan definis
oeparasional yang mengacu pada teori Dimensi budaya organisasi dapat dibahagikan
kepada dua dimensi yaitu (1) Dimensi lingkungan luar (external environments); yang
didalamnya terdapat lima perkara asas yaitu: mission and strategy; goals; means to
achieve goals; measurement; correction), (2) Dimensi integrasi internal (internal
integration) yang mencakup: common language; group boundaries for inclusion and
exclusion; distributing power and status; developing norms of intimacy, friendship, and
love; reward and punishment; explaining and explainable: ideaology and religion)
(Schein, 2004). Hal sama juga dikemukakan oleh Luthans (2007) mengetengahkan enam
ciri penting budaya organisasi, yaitu: (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms;
(3) dominant values; (4) philosophy; (5) rules; (6) organization climate; (an overall
“feeling”). Komponen-komponen budaya tersebut pada dasarnya sama dengan apa yang
dikemukakan oleh McNamara (2002) mengemukakan pendapat bahwa dari sudut input,
budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum,
kompetensi dan sebagainya. Dari sudut proses, budaya organisasi menjurus kepada
asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang: uang, waktu, manusia, kemudahan dan
ruang. Apabila dilihat dari sudut output berhubungan dengan impak budaya organisasi
kepada perilaku organisasi, teknologi, strategi, produk dan sebagainya (Kreitner &
Kinicki, 2007).
Dengan konsep tersebut maka pengembangan instrumen budaya kerja disusun
kisi-kisi sebagai berikut:
Tabel 3.1 Pengembangan Instrumen Variabel Budaya Kerja
Variabel Sub Variabel Indikator
Budaya Kerja
1) external environments
a) mission and strategy;
b) goals; means to achieve goals;
c) measurement; correction)
2) internal integration
a) common language;,
b) group boundaries for inclusion and
exclusion;
39
c) distributing power and status;
d) developing norms of intimacy
e) friendship, and love;
f) reward and punishment;
a) explaining and explainable:
b) ideaology and religion
b. Angket Variabel Kecerdasan Emosional
Angket ini dibuat peneliti sendiri dengan mengacu kepada definisi operasional
yang diperoleh dari uraian teori kecerdasan emosional seperti diuraikan pada bagian
kajian pustaka penelitian ini. Sementara itu, tujuan penyusunan angket ini adalah untuk
mendapatkan data-data terkait gambaran kecerdasan emosional guru SD yang dijadikan
responden, oleh karena itu dalam penyusunannya menggunakan skala Likert yang terdiri
dari empat opsi penilaian dari positif sampai negatif yaitu Selalu dengan skor 4, Sering
dengan skor 3, Kadang-Kadang dengan skor 2, dan Tidak Pernah dengan skor 1.
Tabel 3.2 Pengembangan Instrumen Variabel Kecerdasan Emosi
Variabel Sub Variabel Indikator
Kecerdasan
Emosional
3) Self-Awareness
(Kesadaran Diri
d) Kesadaran emosi diri
e) Ketepatan penilaian diri
f) Percaya diri
4) Self-Management
(Pengelolaan Dri)
g) Kontrol diri
h) Kepercayaan
i) Mendengarkan kata hati
j) Adaptabilitias
k) Tujuan pencapaian
l) Inisiatif
5) Social-Awareness
(Kesadaran Sosial)
c) Empati
d) Kesadaran berorganisai
e) Bertujuan melayani
6) Social Skills
(Keterampilan Sosial
a) Mempengaruhi orang lain
b) Kepemimpinan
40
c) Mengembangkan orang lain
d) Komunikasi
e) Katalisator perubahan
f) Pengelolaan konflik
g) Ikatan untuk memberdayakan
h) Kerja sama dan kolaborasi
(dikembangkan dari teori Goleman, dan dimodifikasi dari Uno, 2005)
c. Angket Variabel Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
Angket Organizational Citizenship Behaviour dikembangkan berdasarkan pada
teori yang dikembangkan oleh Aldag & Resekhe (1997); Ackfeldt & Coote )2003);
Organ, (1988); dan Schnake, (1991) yang pada prinsipnya menyatakan bahwa
Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu yang
mendalam yang melebihi tuntutan peran di tempat keja dan ganjaran oleh perolehan
pelaksanaan tugas. Organizational Citizenship Behavior (OCB) melibatkan beberapa
perilaku seperti perilaku menolong orang lain, menjadi sukarelawan untuk tugas-tugas
ekstra, patuh terhadap aturan-aturan atau prosedur-prosedur di tempat kerja, perilaku ini
menggambarkan nilai tambah pegawai, ia merupakan salah satu bentuk perilaku pro
sosial yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna membantu.
Selanjutnya dinyatakan bahwa terdapat lima dimensi OCB yaitu (1) Altruism, yaitu
perilaku membantu pegawai lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas yang berkaitan
erat dengan kegiatan organisasional; (2) Civic Virtue yaitu hal yang menunjukkan
partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-fungsi organisasi baik seccara
profesional maupun secara sosial alamiah; (3) Cortesya, ialah perilaku meringankan
masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain; dan (4)
Sportmanship, yang berisi tentang pantangan yang membuat issue yang merusak.
Berdasarkan konsep OCB yang dikemukakan oleh ahli tersebut maka
dikembangkan kisi-kisi Instrumen untuk variabel Organizational Citizenship Behaviour
dalam penelitian ini sebagaimana terlihat pada table di bawah ini.
41
Tabel 3.3 Pengembangan Instrumen Variabel
Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
No. Variabel Indikator
1 Organizational
Citizenship
Behaviour (X4)
Altruism
Courtecy
Conscientiousness
Sportmanship
Civic Virtue
d. Angket Variabel Kinerja Guru
Instrument variable kinerja guru dikembangkan dengan mengacu pada alat
penilaian yang sudah di berlakukan di lingkungan Pendidikan/sekolah yaitu yang
dikenal dengan nama Alat Penilaian Kompetensi Guru (APKG). Berdasarkan APKB
tersebut disusun kisi-kisi instrument variable kinerja sebagai berikut:
Tabel 3. Pengembangan Instrumen Variabel Kinerja Guru
No. Variabel Indikator
1 Kinerja Guru
(Y)
Perencanaan Pembelajaran (Y1)
Pelaksaanaan Kegiatan Pembelajaran (Y2)
Penilaian Pembelajaran ( Y3)
Hubungan Antar Pribadi (Y4)
2. Uji coba Instrumen
Angket yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini terdiri
dari empat komponen. Angket yang digunakan dalam mengumpulkan data harus sahih
(valid) dan dapat dipercayai (reliable). Oleh karena itu perlu dilakukankan uji coba
instrumen. Uji coba akan dilakukan kepada 50 guru sekolah dasar. Untuk menguji
42
kesahihan instrument (instrument validity) digunakan kesahihan isi (content validity)
dan kesahihan item (item validity).
a. Validitas Instrumen
Untuk mengukur validitas instrumen digunakan validitas isi dan kontruk,
validitas isi merujuk pada derajad ketercakupan konsep yang akan di ukur (Babbie,
1986).
Kesahihan isi (content validity) instrument diuji konsep teoritik yang menjadi
acuan penyusunan instrumen. Instrumen akan benar-benar memiliki validitas isi, jika
terpenuhi prinsip-prinsip variable dan sub variable sesuai dengan konsep teori yang
diacu.
Untuk menguji kesahihan item (item vadility) digunakan statistic product
moment correlation dengan melihat nilai item-total correlation. Sebuah item didalam
konstruk dikatakan sahih (valid) apabila memiliki nilai item-to-total correlation di atas
.50 dan inter-item correlation di atas .30 (Nunnally, 1979; Azwar, 1986).
Pengujian validitas dilakukan dengan teknik korelasi Product Moment yang
dikemukakan oleh Pearson dengan rumus angka kasar sebagai berikut.
( )( )2222 )()(
))((
ååååå å å
--
-=
YYNXXN
YXXYNrxy
dengan:
rxy = koefisien korelasi
N = jumlah responden
X = skor butir
Y = skor total
Adapun perhitungan validitas instrumen dihitung menggunakan bantuan aplikasi
SPSS 21. Sementara hasil validitas dapat dilihat dengan membandingkan hasil yang
terdapat pada kolom corrected item-total correlation dengan nilai r tabel untuk jumlah
sampel uji try out sebanyak 30 orang dan taraf signifikansi 5% yaitu 0,361. Berdasarkan
acuan tersebut, sebuah item dikatakan valid apabila nilai corrected item-total
correlation lebih besar serta bertanda positif dari 0,361.
43
b. Uji Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas menurut Singarimbun, et al (2008: 57) adalah suatu istilah yang
dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten
apabila pengukuran dilakukan dua kali atau lebih. Reliabilitas instrumen dalam
penelitian ini didasarkan atas internal consistency, yang dihitung dengan menggunakan
rumus Koefisien Alpha dari Cronbach. Hal ini dilakukan karena data dari instrumen
menggunakan skala Likert. Adapun pengujian reliabilitas kuisioner menggunakan rumus
alpha dari Cronbach yaitu ÷÷
ø
ö
çç
è
æ-÷
ø
öçè
æ
-=
å2
2
1 11
t
i
s
s
k
kr
yang dianalisis menggunakan
bantuan aplikasi SPSS 21.0, dimana:
1r = Reliabilitas tes
k = mean kuadrat antara subjek
∑ 2
is = mean kuadrat kesalahan
2
ts = variansi total
Sementara itu, Salimun (2002:143) menyatakan bahwa instrumen dapat
dikatakan andal (reliabel) apabila memiliki koefisien keandalan reliabilitas (Cronbach
Alpha) hitung ≥ 0.600. Sehingga perhitungan reliabilitas dilakukan setelah perhitungan
validitas. Oleh karena itu, hanya butir ítem yang valid yang dianalisis.
Uji reliabilitas instrumen dimaksudkan untuk mengetahui adanya konsistensi
alat ukur, atau dengan kata lain alat ukur tersebut memiliki konsistensi apabila
digunakan berkali-kali pada waktu yang berbeda tetapi hasilnya sama.
Sedangkan untuk menguji tingkat keterandalan (reliability) angket digunakan
Cronbach’s alpha Coefficiency Test. Angket dikatakan keterandalan (reliable) apabila
memiliki nilai Koefisyen alpha Cronbach di atas .70 (Nunnally, 1979; Azwar, 1986).
Untuk memudahkan dalam perhitungan digunakan software statistic SPSS 15. Angka
1 sampai dengan 5 merupakan jenjang skor setiap pernyataan. Artinya, jika responden
untuk suatu pernyataan memilih jawaban angka 5, maka skor jawaban tersebut 5. Jika
responden memilih angka jawaban 1 maka skor jawaban tersebut 1, begitu seterusnya.
Sehingga, jika responden menjawab keseluruhan pernyataan (20 butir) yang diberikan,
maka skor indek berkisar antara 20 dan 100.
44
D. Pengumpulan Data
Pengumpulkan data penelitian tentang budaya kerja, kecerdasan emosional dan
Organizational Citizenship Behavior (OCB) digunakan angket (kuesioner) sedangkan
untuk mengumpulkan data tentang kinerja guru digunakan tehnik observasi. Penelitian
deskriptif, konsep atau kontruk variabelnya harus dijabarkan kedalam pertanyaan-
pertanyaan dalam bentuk kuesioner (Gay,1987). Kuesioner adalah metode pengumpulan
data dengan menggunakan daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh orang yang
menjadi responden dalam penelitian.
Angket (kuesioner) yang digunakan berbentuk skala likert yang meenyediakan
alternatif jawaban yang mendapat skor 1 sampai dengan 5, yang dibagikan kepada
responden untuk dijawab/diisi oleh guru-guru yang menjadi responden. Untuk
menghindari subjektivitas responden terhadap kuesioner, maka sebelum kuesioner
dibagikan terlebih dahulu dijelaskan bahwa pernyataan yang diberikan tidak akan
mempengaruhi statusnya sebagai guru, dan diminta menyebutkan identitas diri.
Observasi digunakan untuk menggali data tentang kinerja guru, lembar observasi
diisi oleh kepala sekolah dengan asumsi bahwa kepala sekolah sebagai atasan dari
responden yang memiliki pekerjaan melekat dalam tugas kesehariannya memiliki
kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap kinerja guru dalam pembelajaran yang
menjadi bawahannya.
Pemberian skor tentang kinerja guru dalam pembelajaran dalam penelitian ini
menggunakan lembar observasi yang penilaiannya diisi oleh kepala sekolah dengan
skor penilaian sebagai berikut:
Ya = 1
Tidak = 0
a. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data interval yang diperoleh melalui instrument atau
alat ukur dengan skala likert, yaitu data tentang budaya kerja, kecerdasan emosional dan
Organizational Citizenship Behavior (OCB), dan kinerja guru.
45
Gerungan (1991) menyatakan bahwa cara-cara yang dapat dipakai untuk
mengukur sikap antara lain: (1) keadaan langsung dimana orang secara langsung
diminta pendapat atau tanggapan mengenai objek tertentu, biasanya disampaikan secara
lisan pada waktu wawancara. (2) metode tak langsung, yaitu orang diminta supaya
menyatakan dirinya mengenai objek sikap yang diselidiki, tetapi secara tidak langsung,
misalnya menggunakan tes psikologi. (3) metode tes terstruktur, yaitu metode
pengukuran yang menggunakan skala sikap yang dikembangkan terlebih dahulu
menurut prinsip-prinsip tertentu, seperti metode Limkert, Thurstone atau Guttman. (4)
metode tes tak terstruktur, yaitu dengan wawancara, daftar pertanyaan biasanya untuk
pentelidikan bibliografi atau karangan (Gerungan, 1991).
Sedangkan Azwar (1986) berpendapat bahwa, metode pengukuran sikap yang
dianggap dapat diandalkan dan dapat memberikan penafsiran terhadap sikap manusia
adalah pengukuran melalui skala sikap (attitude scale). Skala sikap bertujuan untuk
menentukan kepercayaan, respons, atau perasaan seseorang. Terhadap suatu objek.
Suatu skala sikap merupakan suatu kumpulan pernyataan sikap yang berkenaan dengan
objek sikap. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat mengenai objek sikap yang
diukur (Azwar, 1986). Pada penelitian ini data diambil dengan menggunakan skala (skal
likert), karena mudah dianalisis secara kauantitatif (Azwar, 1986).
b. Memasukkan Data
Setelah pengumpulan data selesai, tahap berikutnya adalah memasukkan (entry)
data hasil entry dan tabulasi data, kemudian digunakan untuk uji lebih lanjut dengan
menggunakan software Amos 6.0 untuk mengetahui hasil model pengukuran
(measurement model) dan model structural (structural model) SEM.
E. Analisis Data
Prosedur analisis data meliputi deskriptif data, pengukuran model/ measurement
model, dan statistik infrensial seperti diuraikan berikut:
1. Analisis Deskriptif
46
Analis deskriptif digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang
deskripsi masing-masing variabel, yaitu gambaran tentang budaya kerja, kecerdasan
emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan kinerja guru sekolah
dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.
Analisis deskriptif dimaksudkan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan
fenomena-fenomena yang ada dari suatu data.
Data yang terkumpul dideskripsikan dengan menyajikan persentasi jawaban
responden terhadap masing-masing butir dan membuat tabulasi data untuk masing-
masing variabel yang dilakukan terhadap skor data yang diperoleh. Kemudian langkah
selanjutnya data diproses dengan program The Statistical Packages For Social Sciences
(SPSS) untuk mendapat mean, distribusi frekuensi, dan statistik standar deviasi
(standard deviation statistics) (Nazir, 2005). Analisis deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan data-data variabel penelitian dalam bentuk nilai rata-rata (X), rata-rata
ideal (Mi), simpangan baku ideal (Sdi), serta visualisasi data berupa tabel dan grafik.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
b. Median
Rumus yang digunakan untuk menghitung median adalah:
Median =
Jika nilai rata-rata aktual lebih besar atau sama dengan median, berarti pada
konstruk tersebut tergolong tinggi atau baik. Sebaliknya apabila nilai rata-rata lebih
kecil dari nilai median berarti konstruk tersebut dinilai kurang. Gambaran distribusi data
masing-masing konstruk dilakukan dengan menggunakan histogram. Perhitungan
histogram dibantu dengan software SPSS.
Distribusi data akan dicocokkan ( fitted) dengan distribusi normal. Apabila
terpenuhi maka, maka dapat diberikan interpretasi bahwa peluang skor di sekitar rata-
rata adalah tinggi atau baik.
c. Persentasi
Rumus yang digunakan adalah:
Persentasi = x 100%
47
Keterangan:
F= Frekuensi responden dalam satu katagori
N= Jumlah keseluruhan responden
Penentuan kriteria, setiap konstruk mengacu pada ketentuan berikut:
Skor Kategori
0% - 24% Sangat rendah
25% - 49% Rendah
50% - 69% Sedang
70% - 89% Tinggi
90% - 100% Sangat tinggi ( Sugiono, 2000)
d. Rerata
Untuk memperoleh skor rerata bagi sekelompok responden digunakan
rumus sebagai berikut: Me =
Keterangan :
Me = Mean (Rerata)
= Sigma (baca jumlah)
Xi = Nilai x ke i ( i = 1,2,...n )
N = Jumlah individu/responden (Sudjana, 1998; Sugiono, 2000).
2. Model Pengukuran dan Model Struktur
Measurement Model adalah proses pemodelan dalam penelitian yang diarahkan
untuk menyelidiki unidemensionaliti indikator-indikator yang menjelaskan sebuah
ondica atau sebuah ondicato laten (Ferdinand, 2002). Teknik pengujian model
pengukuran adalah melalaui Confirmatory Faktor Analysis (CFA) untuk konstruk
masing-masing.
Tujuan analisis model pengukuran adalah untuk mengetahui model yang
sepadan/fit yaitu yang dapat menjelaskan item-item dalam kuesioner tersebut sesuai
dengan kontruk variabel yang diteliti. Konstruk yang hendak diuji secara konfirmatori
dalam penelitian ini adalah konstruk yang terdiri atas lebih dari satu variabel, yaitu:
48
budaya kerja, kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB),
dan kinerja guru.
Pedoman yang dipakai dalam Confirmatory Faktor Analysis adalah nilai
Loading Faktor lebih beasar 0.4 atau lambda value yang lebih kecil dari 0.05
(Ferdinand, 2002). Nilai yang tidak memenuhi kedua syarat tersebut tidak digunakan
dalam analisis berikutnya.
Konstruk yang hendak diuji secara konfirmatori dalam penelitian ini digambar
dalam ondicat jalur. Beberapa ketentuan yang ada pada penggambaran diagram jalur
adalah:
a. Anak panah satu arah digunakan untuk melambangkan hubungan sebab akibat yang
biasanya merupakan hipotesis penelitian.
b. Anak panah dua arah digunakan untuk melambangkan korelasi antara dua variabel
eksogen dan mungkin juga korelasi antara dua indicator.
c. Bentuk elips, digunakan untuk melambangkan suatu konstruk yang tidak diukur
secara langsung.
d. Bentuk kotak, melambangkan variabel yang diukur langsung.
e. Huruf e, melambangkan ralat pada masing-masing pengamatan.
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Analisis Deskriptif
Kuesioner diberikan kepada guru SD Kecamatan Banjarmasin Utara. Jumlah
kuesioner yang kembali ke peneliti adalah 89 dari 100 ekslemplar, dengan response
rate sebesar 89%. Kuesioner yang kembali tersebut kemudian disaring dan diteliti
kelengkapan datanya. Terdapat sembilan buah kuesioner yang tidak lengkap dan
tidak sesuai dengan kriteria responden yang ditetapkan dalam penelitian ini. Jadi,
jumlah kuesioner yang digunakan (usable rate sebanyak 80%) untuk pengolahan data
adalah 80 eksemplar.
Berdasarkan hasil survei, menunjukkan bahwa responden laki-laki
mendominasi paling banyak, yaitu 42 responden (52,5%), dibandingkan dengan
responden perempuan yang hanya berjumlah 38 responden (47,5%). Tingkat usia
produktif 20-35 tahun (60%) dan responden berusia 36-44 tahun (22,5%), serta
responden yang berusia 44 tahun keatas (17,5%), dapat disimpulkan bahwa mayoritas
responden relatif berusia muda dan produktif, yaitu di antara usia 20-35 tahun
sehingga kinerja yang ditampilkan cenderung lebih baik.
Pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan, wawasan, dan tingkat
kepercayaan diri dari responden dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal tersebut
dikarenakan faktor pendidikan sangat penting untuk meningkatkan kemampuannya.
Berdasarkan hasil survey, tingkat pendidikan responden D2 sebanyak 13 orang
(16,2%), S1 mendominasi sebanyak 61 responden (76,3%), dan S2 sebanyak 6
responden (7,5%). Mayoritas responden berpendidikan sarjana sehingga akan
cenderung mampu bekerja dengan tingkat kesulitan dan tanggung jawab yang lebih
tinggi.
50
60%
82.80%
72%64.30%
39.70%
76.41%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
Usia Muda S1/S2 Budaya K.Emosi OCB Kiner ja
Gambar 4.1 Karakteristik Responden dan Persepsinya
Dari gambar tersebut di atas Nampak bahwa kecenderungan yang searah yaitu
pada guru yang usia nya muda dan masih tergolong produktif ternyata juga rata-rata
memiliki Pendidikan yang lebih baik. Kondisi tersebut juga berkaitan dengan budaya
kerja mereka juga cenderung tinggi, demikian juga pada kecerdasan emosi yang pada
gilirannya memberi dampat pada kinerja mengajar juga cenderung tinggi. Secara
kualitatif dapat dilihat bahwa data usia produktif memiliki potensi untuk
dikembangkan kompetensinya melalui Pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan yang
tinggi memiliki kecenderungan kemampuan untuk memiliki kompetensi dan
kebiasaan kerja yang membentuk budaya kerja yang baik serta kemampuan
mengendalikan emosinya dalam komunikasinya di tempat kerja. Kemampuan budaya
kerja dan pengendalian emosi inilah yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap
kinerjanya dalam mengajar. Hal ini sudah diyakin oleh para ahli dan berbagai
penelitian bahwa Pendidikan menjadi cara yang strategis dalam mengembangkan
kecerdasan emosi dan social serta kompetensi kerja yang baik.
Budaya kerja guru berdasarkan prilaku di lingkungan SD Kecamatan
Banjarmasin Utarayang dipersepsikan oleh guru-guru menghasilkan skor minimum
40, skor maksimum 75, skor total sebanyak 5.028, skor rata-rata sebesar 60,84
51
standar deviasi skor sebesar 8,424, dan variasi skor sebesar 70,971. Dengan
mengkonversikan dalam tiga skala tingkatan (tinggi, sedang dan rendah).
Berdasarkan rataan hitung yang diperoleh dari skor budaya kerja dilihat dari prilaku
orientasi tugas pada guru SD Kecamatan Banjarmasin Utara diketahui sebagian kecil
responden (55 orang atau 28%) beraktegori sedang dan sebagian besar responden (64
orang 72%) berkategori tinggi. Hal tersebut terlihat dalam grafik sebagaimana
tergambar di bawah :
Gambar 4.2 Kategori Budaya Kerja Guru
Kecerdasan emosional guru berdasarkan prilaku di lingkungan SD Kecamatan
Banjarmasin Utara yang dipersepsikan oleh guru-guru menghasilkan skor minimum
39, skor maksimum 75, skor total sebanyak 4.833, skor rata-rata sebesar 60,05
standar deviasi skor sebesar 8,997, dan variasi skor sebesar 80,944. Dengan
mengkonversikan dalam tiga skala tingkatan (tinggi, sedang dan rendah).
Berdasarkan rataan hitung yang diperoleh dari skor kecerdasan emosional dilihat dari
prilaku orientasi tugas pada guru SD Kecamatan Banjarmasin Utara diketahui
sebagian kecil responden (30 orang atau 33,7%) berkategori sedang dan sebagian
besar responden (59 orang 64,3%) berkategori tinggi. Hal tersebut terlihat dalam
grafik sebagaimana tergambar di bawah ini.
52
Gambar 4.3 Kategori Kecerdasan Emosional Guru
Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru berdasarkan prilaku di
lingkungan SD Kecamatan Banjarmasin Utara yang dipersepsikan oleh guru-guru
menghasilkan skor minimum 49, skor maksimum 82, skor total sebanyak 5.332, skor
rata-rata sebesar 70,05 standar deviasi skor sebesar 10,267, dan variasi skor sebesar
105,410. Dengan mengkonversikan dalam tiga skala tingkatan (tinggi, sedang dan
rendah). Berdasarkan rataan hitung yang diperoleh dari skor Organizational
Citizenship Behavior (OCB) dilihat dari prilaku orientasi tugas pada guru SD
Kecamatan Banjarmasin Utara diketahui sebagian kecil responden (54 orang atau
60,7%) berkategori sedang dan sebagian besar responden (35 orang 39,3%)
berkategori tinggi. Hal tersebut terlihat dalam grafik sebagaimana tergambar di
bawah ini.
53
Gambar 4.4 Kategori OCB Guru
Kinerja guru berdasarkan prilaku di lingkungan SD Kecamatan Banjarmasin
Utara yang dipersepsikan oleh guru-guru menghasilkan skor minimum 149, skor
maksimum 236, skor total sebanyak 25.719, skor rata-rata sebesar 185,10 standar
deviasi skor sebesar 18,68, dan variasi skor sebesar 349,137. Dengan
mengkonversikan dalam tiga skala tingkatan (tinggi, sedang dan rendah).
Berdasarkan rataan hitung yang diperoleh dari skor kinerja guru dilihat dari prilaku
orientasi tugas pada guru SD Kecamatan Banjarmasin Utara diketahui sebagian kecil
responden (21 orang atau 23,59%) berkategori sedang dan sebagian besar responden
(68 orang 76,41%) berkategori tinggi. Hal tersebut terlihat dalam grafik sebagaimana
tergambar di bawah ini.
54
Gambar 4.5 Kategori Kinerja Guru
B. Hasil Uji Asumsi Structural Equation Model (SEM)
Pada analisis data dengan SEM menggunakan software AMOS 21.0, harus
dipenuhi persyaratan asumsi-asumsi, antara lain ukuran sampel, normalitas data dan
outlier. Untuk ukuran sampel, tidak boleh terlalu kecil (minimal 75) dan tidak boleh
terlalu besar (maksimum 400).
Uji normalitas data dapat dilakukan baik menggunakan software SPSS 17.0
atau AMOS 21.0. pada perhitungan menggunakan AMOS 21.0, harga nilai z dapat
dilihat pada output di kolom critical ratio (c.r) yang dinilai tidak boleh lebih besar
dari +/-2,58. Dari hasil analisa data, untuk semua indicator memliki harga critical
ratio (c.r) yang masih dalam rentang -2,58 sampai dengan +2,58 sehingga dapat
disimpulkan data berdistribusi normal. Dengan data berdistribusi normal ini
kemudian dapat diteruskan untuk diolah lebih lanjut.
Pada uji outlier, diketahui apakah ada nilai-nilai ekstrim baik secara univariant
maupun multivariant. Untuk univariant dari hasil analisis data, tidak ada z-score
dengan nilai ≥4,0, sehingga dapat dinyatakan bahwa data bebas outlier secara
univariant. Sedangkan untuk multivariant, dari hasil analisis data, dihasilkan jarak
mahalanobis terendah 39,152 dan tertinggi 67,501 (lebih kecil dari chi-square tabel
69,364) yang menunjukkan bahwa tidak ada responden yang termasuk outlier
55
multivariant, sehingga tidak bias dilakukan interprestasi terhadap hasil pengujian
lebih lanjut.
C. Hasil Uji Unidimensionalitas Konstruk dengan Indikator
Uji Unidimensionalitas ini merupakan analisis untuk validitas isi (content
validity) dari masing-masing item dari indicator terhadap konstruk atau variable laten
melalui confirmatory faktor analysis (CFA). Analisis ini dengan melihat nilai-nilai
hasil analisis untuk bobot regresi yang standarisasi (loading faktor) yang diestimasi
harus >0,5 dan nilai p-value yang harus <0,05. Bila hasil analisis nilai loading faktor
< 0,5 maka perlu dibuang atau dihilangkan.
Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan bahwa seluruh item instrument
yang menjadi indicator-indikator dari variable budaya kerja, kecerdasan emosional,
Organizational Citizenship Behavior (OCB), dan kinerja guru adalah signifikan
(bermakna), dengan nilai p (p-value) di bawah 0,05. Artinya seluruh item
instrumentasi yang menjadi indicator-indikator dari variable budaya kerja, kecerdasan
emosional, Organizational Citizenship Behavior (OCB), dan kinerja guru tersebut
dapat dipakai dalam pengujian dan tidak ada yang dihilangkan/dibuang, karena
mempunyai nilai loading faktor < 0,5.
Hasil confirmatory faktor analysis (CFA) pada analisis undimensionalitas
untuk semua konstruk dalam penelitian ini telah memenuhi persyaratan nilai-nilai
cut-off goodness of fit yang direkomendasikan, yang meliputi nilai-nilai untuk chi-
square Probabilitas, CMIN/DF, GFI, AGFI, CFI, TLI, dan RMSEA. Dengan
demikian konstruk variable budaya kerja, kecerdasan emosional, Organizational
Citizenship Behavior (OCB), dan kinerja guru memiliki unidimensionalitas yang
dapat diterima.
Hasil uji analisis konfirmatori untuk ke empat variable yang digunakan dalam
penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
56
1. Budaya Kerja (X1)
Gambar 4.6 Analisis Faktor Konfirmatori Variabel Budaya Kerja
Gambar di atas menunjukan bahwa keunggulan hubungan (X1.1); external
environments dan (X1.2); internal integration memiliki dimensi yang sama dalam
membentuk konstruk budaya kerja (BK). Hal tersebut dapat dilihat pada nilai lambda
yang ditunjukkan oleh masing-masing variabel dimensi harus lebih besar atau sama
dengan 0.40 (Ferdinand, 2002), karena apabila nilai lambda kurang dari 0.40 maka
variabel dipandang tidak berdimensi sama dengan variabel lainnya untuk menjelaskan
sebuah variabel laten.
2. Kecerdasan Emosional
Gambar 4.7 Analisis Faktor Konfirmatori Variabel Kecerdasan Emosional
57
Gambar di atas menunjukan bahwa keunggulan hubungan (X2.1); Kepercayaan
diri (self-Awareness), (X2.2); Pengelolaan Diri (Self-Management, (X2.3) Kesadaran
Sosial (Social Awareness), dan (X2.4) Keterampilan Sosial (Social Skills) memiliki
dimensi yang sama dalam membentuk konstruk budaya kerja (BK). Hal tersebut dapat
dilihat pada nilai lambda yang ditunjukkan oleh masing-masing variabel dimensi harus
lebih besar atau sama dengan 0.40 (Ferdinand, 2002), karena apabila nilai lambda
kurang dari 0.40 maka variabel dipandang tidak berdimensi sama dengan variabel
lainnya untuk menjelaskan sebuah variabel laten.
3. OCB
Gambar 4.8 Analisis Faktor Konfirmatori Variabel OCB
Gambar di atas menunjukan bahwa keunggulan hubungan (X3.1); Altuism, (X3.2);
Courtecy, (X3.3) Concientiousness, (X3.4) Sportmanship dan (X3.5) Civic Virtue
memiliki dimensi yang sama dalam membentuk konstruk budaya kerja (BK). Hal
tersebut dapat dilihat pada nilai lambda yang ditunjukkan oleh masing-masing variabel
dimensi harus lebih besar atau sama dengan 0.40 (Ferdinand, 2002), karena apabila
nilai lambda kurang dari 0.40 maka variabel dipandang tidak berdimensi sama dengan
variabel lainnya untuk menjelaskan sebuah variabel laten
58
4. Kinerja Guru
Gambar 4.9 Analisis Faktor Konfirmatori Variabel Kinerja Guru
Gambar di atas menunjukan bahwa keunggulan hubungan (X4.1);
Perencanaan Pembelajaran, (X4.2); Pelaksanaan Pembelajaran, (X4.3) Penilaian
Pembelajaran, dan (X4.4) hubungan antar pribadi memiliki dimensi yang sama
dalam membentuk konstruk budaya kerja (BK). Hal tersebut dapat dilihat pada nilai
lambda yang ditunjukkan oleh masing-masing variabel dimensi harus lebih besar
atau sama dengan 0.40 (Ferdinand, 2002), karena apabila nilai lambda kurang dari
0.40 maka variabel dipandang tidak berdimensi sama dengan variabel lainnya untuk
menjelaskan sebuah variabel laten
D. Hasil Uji Model Struktural
Hasil uji goodness of fit model untuk model structural awal menunjukkan
bahwa sebagian besar criteria yang dihasilkan mempunyai kategori kurang baik.
Hasil ini terutama dikarenakan nilai chi-square yang dihasilkan masih terlalu tinggi
yaitu sebesar 1533,098 padahal untuk derajat kebebasan 317 yang ada pada model
awal tersebut, cut-off value untuk chi-square adalah 1533, 09. Sedangkan untuk nilai
probabilitasnya diperoleh hasil kurang dari 0,05 yaitu sebesar 0,0000 (prob < 0,05),
sedangkan nilai cut-off yang direkomendasikan adalah p≥0,05.
59
Tabel 4.1: Analisis SEM Terhadap Model Struktur Penelitian
Hubungan Antar Variabel Estimate Critical Ratio P Ket
Kecerdasan
Emosional <-- Budaya Kerja 6.018 0.705 .000 Signifikan
OCB <-- Budaya Kerja 7.006 0.638 .000 Signifikan
Kinerja guru <-- Kecerdasan
Emosional 6.743 0.631 .000 Signifikan
Kinerja guru <-- OCB 5.571 0.639 .000 Signifikan
Kinerja guru <-- Budaya kerja 6.065 0.528 .000 Signifikan
Penafsiran terhadap hasil analisis SEM di atas didasarkan pada tiga kriteria, yaitu
Estimates, Critical Ratio, dan Probability. Untuk keperluan pengujian hipotesis
dilakukan dengan kriteria critical ratio lebih dari 2.58 pada taraf signifikansi 1%
persentasi atau 1.96 untuk signifikansi sebesar 5%.
E. Hasil Uji Hipotesis
Berikut adalah laporan hasil uji statistik SEM, untuk menguji keenam hipotesis
dalam penelitian ini.
1. Hipotesis Pertama
Uji regresi dalam model struktur SEM digunakan untuk menguji hipotesis H1.
Maka hipotesis tersebut adalah seperti berikut:
H01: : Tidak terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan kecerdasan
emosional guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara
Analisis uji regresi dalam model struktur SEM menunjukkan bahwa nilai critical
ratio yaitu 0.705. Oleh karena nilai p ≤ .05, yaitu .0,000. Berdasarkan analisis ini, maka
hipotesis yang berbunyi bahwa tidak terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan
kecerdasan emosional guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara adalah
ditolak. Ini berarti terdapat hubungan yang positif dan signifikan budaya kerja dengan
kecerdasan emosional guru.
60
2. Hipotesis Kedua
Uji regresi dalam model struktur SEM digunakan untuk menguji hipotesis Ha2.
Maka hipotesis tersebut adalah seperti berikut:
H02 : Tidak terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan
Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru sekolah dasar di
Kecamatan Banjarmasin Utara.
Analisis uji regresi dalam model struktur SEM menunjukkan bahwa nilai critical
ratio pada hubungan ini 0,638 dan nilai p > 0.05, yaitu 0.000. Berdasarkan analisis ini,
maka hipotesis yang berbunyi bahwa tidak terdapat hubungan budaya kerja dengan
Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru adalah ditolak. Ini berarti terdapat
hubungan yang positif dan signifikan budaya kerja dengan Organizational Citizenship
Behavior (OCB).
3. Hipotesis Ketiga
Uji regresi dalam struktur SEM digunakan untuk menguji hipotesis Ha3.
Ho3 : Tidak terdapat hubungan langsung kecerdasan emosional dengan
kinerja mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara
Analisis uji regresi dalam model struktur SEM menunjukkan bahwa nilai critical
ratio 0.631 dan nilai p > 0.05 yaitu 0.000. Berdasarkan analisis ini, maka hipotesis yang
berbunyi tidak terdapat hubungan kecerdasan emosional dengan kinerja mengajar guru
adalah ditolak. Ini berarti bahwa terdapat hubungan yang positif dan kecerdasan
emosional dengan kinerja mengajar guru.
4. Hipotesis Keempat
Uji regresi dalam model struktur SEM digunakan untuk menguji hipotesis:
H04 : Tidak terdapat hubungan langsung Organizational Citizenship
Behavior (OCB) dengan kinerja mengajar guru sekolah dasar di
Kecamatan Banjarmasin Utara
Berdasarkan hasil uji regresi dalam model struktur SEM menunjukkan bahwa
nilai critical ratio 0,639 dan nilai p ≤ .05, yaitu 0,000. Berdasarkan analisis ini, maka
hipotesis yang berbunyi bahwa tidak terdapat hubungan Organizational Citizenship
Behavior (OCB) dengan kinerja mengajar guru sekolah dasar negeri ditolak. Ini berarti
61
bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan Organizational Citizenship
Behavior (OCB) dengan kinerja mengajar guru.
5. Hipotesis kelima
Uji regresi dalam model struktur SEM digunakan untuk menguji hipotesis:
H04 : Tidak terdapat hubungan langsung Budaya Kerja dengan kinerja
mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara
Berdasarkan hasil uji regresi dalam model struktur SEM menunjukkan bahwa
nilai critical ratio 0,528 dan nilai p ≤ .05, yaitu 0,000. Berdasarkan analisis ini, maka
hipotesis yang berbunyi bahwa tidak terdapat hubungan Budaya Kerja dengan kinerja
mengajar guru sekolah dasar negeri ditolak. Ini berarti bahwa terdapat hubungan yang
positif dan signifikan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan kinerja
mengajar guru.
6. Hipotesis Keenam
Pengaruh langsung dari tiap tiap variabel yang terlibat dalam model struktur
SEM yaitu pengaruh langsung budaya kerja dengan kecerdasan emosional dan pengaruh
langsung budaya kerja dengan kinerja guru serta pengaruh langsung kecerdasan
emosional dengan kinerja yang digambarkan melalui diagram jalur seperti dalam
Gambar berikut.
Gambar 4.10: Hubungan budaya kerja, kecerdasan emosional dan kinerja guru
Ketiga-tiga hubungan langsung di atas seperti ditunjukkan pada Gambar 4.5 di
atas digunakan untuk menguji hipotesis Ha6. Hipotesis tersebut adalah seperti berikut:
62
H 06 : Tidak terdapat hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja
mengajar guru melalui kecerdasan emosional guru sekolah dasar di
Kecamatan Banjarmasin Utara.
Selanjutnya berdasarkan Gambar 4.9 di atas pengaruh total
budaya kerja terhadap OCB dengan formula Baron dan Kenny (1986)
seperti berikut:
Pengaruh tidak langsung = 0.705 x 0.631
= 0.445
Pengaruh langsung = 0.528
Pengaruh total = 0.973
Jika pengaruh langsung (0.705) dibandingkan nilai koefisien pengaruh total
budaya kerja dan kecerdasan emosional guru (0.973), terdapat perbedaan koefisien yang
signifikan (≥.08), maka hipotesis yang berbunyi bahwa tidak terdapat hubungan tidak
langsung budaya kerja dengan kinerja guru melalui kecerdasan emosional adalah
ditolak.
7. Hipotesis Ketujuh
Pengaruh langsung dari tiap tiap variabel yang terlibat dalam model struktur
SEM yaitu pengaruh langsung budaya kerja dengan OCB dan pengaruh langsung
budaya kerja dengan kinerja guru digambarkan melalui diagram jalur seperti dalam
Gambar berikut.
Gambar 4.11: Hubungan Budaya Kerja, OCB dengan kinerja guru
63
Ketiga-tiga hubungan langsung seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.6 di atas
digunakan untuk menguji hipotesis H07. Maka hipotesis tersebut adalah seperti berikut:
H 07 : Terdapat hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja
mengajar guru melalui Organizational Citizenship Behavior (OCB)
guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara
Selanjutnya berdasarkan Gambar 4.9 di atas pengaruh total budaya kerja
terhadap OCB dengan formula Baron dan Kenny (1986) seperti berikut:
Pengaruh tidak langsung = 0.638 x 0.639
= 0.408
Pengaruh langsung = 0.529
Pengaruh total = 0.938
Jika pengaruh langsung (0.528) dibandingkan dengan nilai koefisien pengaruh
total budaya kerja dan OCB (0.936), terdapat perbedaan koefisien yang signifikan
(≥.08), maka maka hipotesis yang berbunyi bahwa tidak terdapat hubungan tidak
langsung budaya kerja dengan kinerja guru melalui Organizational Citizenship
Behavior (OCB di tolak.
Hasil uji hipotesis sebagaimana di uraikan tersebut di atas dapat di rangkum
sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.1 Rangkuman Hasil Uji Hipotesis
No Hipotesis H0 Ha
1 Tidak terdapat hubungan langsung budaya kerja
dengan kecerdasan emosional guru sekolah dasar
di Kecamatan Banjarmasin Utara
Ditolak Diterima
2
Tidak terdapat hubungan langsung budaya kerja
dengan Organizational Citizenship Behavior
(OCB) guru sekolah dasar di Kecamatan
Banjarmasin Utara
Ditolak Diterima
3 Tidak terdapat hubungan langsung kecerdasan
emosional dengan kinerja mengajar guru sekolah
dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara
Ditolak Diterima
64
4
Tidak terdapat hubungan langsung
Organizational Citizenship Behavior (OCB)
dengan kinerja mengajar guru sekolah dasar di
Kecamatan Banjarmasin Utara
Ditolak Diterima
5 Tidak terdapat hubungan langsung Budaya Kerja
dengan kinerja mengajar guru sekolah dasar di
Kecamatan Banjarmasin Utara
Ditolak Diterima
6
Tidak terdapat hubungan tidak langsung budaya
kerja dengan kinerja mengajar guru melalui
kecerdasan emosional guru sekolah dasar di
Kecamatan Banjarmasin Utara
Ditolak Diterima
7
Tidak terdapat hubungan tidak langsung budaya
kerja dengan kinerja mengajar guru melalui
Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru
sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara
Ditolak Diterima
F. Model Akhir Penelitian
Berdasarkan hasil analisis dan uji hipotesis dalam penelitian sebagaimana
digambarkan pada tabel di atas, maka model akhir sebagai temuan penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Kecerdasan
Emosional
(X2)
X2.1 X2.2 X2.3 X2.4
0.712 0.644 0.851 0.802
Budaya Kerja
(X1)
X1.1
X1.2
Kinerja
Mengajar
(Y)
Y1
Y2
Y3
Y4
0.850
0.797
0.874
0.882OCB
(X3)
X3.1 X3.2 X3.3 X3.4
0.721 0.563 0.664 0.741
X3.5
0.630
0.705
0.638
0.631
0.639
0.528
Gambar 4.12 Model Akhir Temuan Penelitian
65
Dari gambar akhir temuan hasil penelitian tersebut di atas jelas tergambar bahwa
budaya kerja memiliki hubungan langsung dengan kecerdasan emosional dan OCB. Dan
hubungan langsung budaya kerja dengan kinerja guru. Di samping itu ditemukan juga
bahwa kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB)
berhubungan langsung dengan kinerja. Sementara itu hasil lainnya adalah budaya kerja
berhubungan tidak langsung dengan kinerja melalui kecerdasan emosional dan
Organizational Citizenship Behavior (OCB).
G. Pembahasan
1. Budaya kerja dan kinerja
Budaya Kerja mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja
guru SD Kecamatan Banjarmasin Utara. Hal ini disimpulkan karena dari hipotesis yang
dilakukan diperoleh persamaan regresi yaitu Y 2,852 + 0,256 X yang berarti nilai
konstanta sebesar 2,852 menunjukkan bahwa jika budaya tidak diperhatikan masih
terdapat kinerja pegawai walaupun kecil dalam ukuran satuan oleh faktor-faktor lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini, sedangkan koefisien regresi sebesar 0,256
menunjukkan bahwa jika budaya kerja diperhatikan atau terjadi peningkatan nilai
budaya kerja maka kinerja pegawai akan mengalami perubahan atau peningkatan.
Dengan demikian analisis ini menunjukkan bahwa variabel budaya kerja (X)
mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel kinerja (Y).
Pengaruh budaya kerja dengan kinerja guru SD Kecamatan Banjarmasin Utara ternyata
positif.
Hal ini dibuktikan dengan perhitungan nilai r sebesar 40% dimana pedoman
untuk memberikan interpretasi yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto berada pada
interval 0,0600 – 0,0800 yang termasuk dalam kategori cukup. Hal ini berarti bahwa
kenaikan atau penurunan nilai variabel X mengakibatkan peningkatan atau penurunan
nilai variabel Y. Nilai r tabel untuk taraf kesalahan 5% dengan n = 45 diperoleh 0,404.
Dan karna nilai rhitung > rtabel maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang positif
dan signifikan sebesar 40% antara Budaya Kerja dan Kinerja guru SD Kecamatan
Banjarmasin Utara.
66
Seperti yang dikemukakan oleh Mangkunegara (2005:113) yang dikutip dari
Edgar H Schein mendefinisikan bahwa: Budaya Kerja adalah seperangkat asumsi atau
system keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang
dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah
adaptasi eksternal dan integrasi internal. Dengan kesadaran dan kesediaan seseorang
untuk mentaati semua peraturan, diharapkan pegawai yang bersangkutan akan
meningkat kinerjanya, dengan demikian Budaya Kerja harus ditegakkan dalam suatu
organisasi.
Temuan kajian ini juga mendukung pernyataan Kreitner dan Kinicki (2007)
bahwa budaya kerja sebagai perekat organisasi yang mengikat anggota organisasi
melalui nilai-nilai yang ditaati, peralatan simbol dan cita-cita sosial yang ingin dicapai.
Hal ini dipertegas Mondy (1993) bahwa budaya kerja sebagai sistem nilai, keyakinan
dan kebiasaan menghasilkan norma. Norma membentuk kebasaan kerja dalam bentuk
komitmen dan kebiasaan kerja berbasis norma, nilai, aturan organisasi termasuk standar
kerja organisasi. Hal inilah yang membntuk kinerja berkualitas sesuai harapan
organisasi. Hasil kajian lainnya yang selaras dengan temuan penelitian ini dinyatakan
oleh Sikorska-Simons (2005) yang menyatakan bahwa budaya organisasi menjadi
penentu komitmen organisasi anggota apabila organisasi dapat merealisasikan visi dan
misi organisasi yang memiliki kesesuaian dengan visi dan misi anggota organisasi. Hal
ini senada dengan temuan Domiri (2001) bahwa budaya organisasi yang dapat membuat
anggota-anggota senang, tertarik atau menyukai akan mendukung anggota organisasi
tersebut untuk menghasilkan performansi yang tinggi, sebagaimana diperkuat oleh
kajian Xenikou dan Simosi (2006) bahwa budaya organisasi memberikan pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap performansi karyawan. Seperti juga ditegaskan oleh
Robbin dan Timothy (2008) budaya organisasi dapat meningkatkan komitmen dan
memiliki hubungan positif dengan kinerja seseorang. Oelh karena itu temuan penelitian
ini juga mendukung temuan Siburian (2013) bahwa budaya organisasi secara langsung
mempengaruhi komitmen guru, budaya organisasi yang baik akan tinggi pula komitmen
kerja guru.
67
Sehubungan dengan hal tersebut Schien (1997), menyatakan budaya kerja ialah
satu budaya dalam organisasi yang mengarah kepada suatu sistem makna bersama yang
dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dengan organisasi lain.
Budaya juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap dan cara hidup untuk
melakukan penyesuaian dan sekaligus cara untuk melihat persoalan dan
menyelesaikannya (Zamroni, 2003). Karena itu sebenarnya budaya kerja merupakan
nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan dijadikan sebagai
falsafah kerja staf/anggota-anggota dalam suatu organisasi (Djokosantoso Moelyono,
2003). Sementara Glinow dan McShane (2007) melihat budaya organisasi sebagai nilai,
asumsi bersama anggota-anggota organisasi. Hal ini senada dengan pernyataan Gibson,
Ivanicevic dan Donelly (2000) bahwa budaya organisasi merupakan asumsi, keyakinan,
nilai-nilai dan persepsi bersama anggota-anggota organisasi yang membentuk dan
memberi kesan ke atas sikap, perilaku, serta petunjuk dalam menyelesaikan masalah.
Dengan kata lain, kerja sama yang terjalin antara anggota yang memiliki unsur visi dan
misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka
mencapai tujuan tertentu (Nevizond, 2007). Sementara Luthans (2007) menyatakan
bahwa budaya organisasi mencakup keteraturan perilaku, norma, nilai, falsafah dan
aturan seperti asas/panduan bagi anggota-anggota untuk bekerja dalam organisasi.
Dengan demikian penelitian memperkuat penelitian-penelitian dan teori
sebelumnya yang telah dilakukan oleh para ahli seperti: Mondy (1993), Domiri (2001)
Domiri (2001), Sikorska-Simons (2005), Xenikou dan Simosi (2006), Kreitner dan
Kinicki (2007), Glinow dan McShane (2007), Luthans (2007), Robbin dan Timothy
(2008), Siburian (2013), Suriansyah (2010, 2017).
Oleh sebab itu dapat dinyatakan bahwa budaya kerja adalah kunci keberhasilan
suatu organisasi dalam mencapai tujuan sehingga dapat dikatakan bahwa Budaya Kerja
mempengaruhi kinerja guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang bermuara
pada peningkatan hasil belajar siswa.
2. Kecerdasan emosional dan kinerja
Hasil penelitian ini menunjukkan seluruh variabel independen berpengaruh
signifikan ter-hadap kinerja, hipotesis 1 didukung (β = 0,307; p <0,05). Kecerdasan
68
emosional memiliki banyak fungsi dengan mengetahui kapan dan bagaimana
mengekspresikan emosi sehingga hal tersebut dapat menjadi kontrol untuk setiap
individu dalam menjalankan aktivitas dan tuntutan pekerjaan pada organisasi.
Kecerdasan emosi juga merupakan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan
mengekspresikan emosi dengan tepat. Jika seorang karyawan mempunyai emosional diri
atau self awareness yang tinggi, maka akan bekerja dengan lebih baik dan bahkan
cenderung sesuai dengan standar yang ditetapkan organisasi, sehingga pada akhirnya
akan mencapai kinerja yang lebih baik.
Kecerdasan emosional dan kinerja memiliki hubungan dan saling terkait. Setiap
individu dalam suatu organisasi yang memiliki emosi baik, cenderung memiliki
kemauan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya, seperti yang dinyatakan
oleh Goleman (2000). Kecerdasan emosional merujuk pada kemam-puan mengenali
perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik serta dalam membina hubungan dengan
orang lain. Kerangka kerja kecerdasan emosional adalah kesadaran diri, pengaturan,
motivasi, empati dan ketrampilan sosial.
Hasil pengujian terbukti ada pengaruh signifikan kecerdasan emosional terhadap
kinerja. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dari aspek
self motivation atau kemampuan memotivasi diri sendiri (indikator dominan) perawat
rumah sakit, berdampak signifikan terhadap kualitas dan kuantitas (indikator dominan)
kinerja. Membuktikan teori yang mengatakan bahwa salah satu aspek dalam kecerdasan
emosi adalah motivasi. Memotivasi diri sendiri merupakan landasan keberhasilan dan
terwujudnya kinerja yang tinggi di segala bidang (Salovey dalam Goleman, 2001).
Sependapat dengan penelitian Boyatzis (1999) dan Chermiss (1998) dalam Trihandini
(2005) bahwa karyawan yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan
menghasilkan kinerja yang lebih baik yang dapat dilihat dari bagaimana kualitas dan
kuantitas yang diberikan karyawan tersebut terhadap tempat mereka bekerja.
Self motivation atau motivasi intrinsic yang dimiliki perawat mereka lebih totalitas
dalam memerankan tugas mereka, sekaligus membenarkan pernyataan Ormrod (2006)
bahwa seseorang yang memiliki motivasi intrinsic terhadap suatu aktivitas akan lebih
melibatkan diri sepenuhnya dalam aktivitas tersebut sehingga hasil kerja yang diperoleh
69
akan lebih maksimal. Bisa jadi disebabkan oleh ketertarikan mereka terhadap rutinitas
(asuhan keperawatan) yang berulang-ulang sehingga mendorong motivasi untuk
memahami dan menghayati aktivitas tersebut (Deci dalam Elliot dkk., 2000).
Penelitian ini juga memberikan makna bahwa para perawat sejauh ini mampu
mengenali perasaan (self awareness) dalam dirinya dan efeknya serta menggunakannya
untuk membuat keputusan bagi diri sendiri, serta relatif memiliki tolak ukur yang
realistis mengenai kemampuan kerja, yang menjadikan mereka mempunyai kepercayaan
diri yang kuat. Kepercayaan diri yang kuat para perawat, realistis karena ditunjang oleh
tingkat kontrol diri mumpuni yang terbentuk melalui pengalaman pribadi dalam
merawat pasien dan learning proces lebih luas.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa apa yang ditemukan memperkuat teori
yang dibangun sebelumnya oleh para ahli serta hasil-hasil penelitian terdahulu yang
ternyata memiliki konsistensi dan juga kesamaan sehingga hasil penelitian ini
memperkuat justifikasi penelitian terdahulu yang dilakukan oleh para ahli (Wong, 2002;
Lyons & Schneider, 2005; Trihandini, 2005). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Edwardin (2006), (Salovey dalam Goleman, 2001). Sependapat dengan penelitian
Boyatzis (1999) dan Chermiss (1998) dalam Trihandini (2005), Ormrod (2006), Deci
dalam Elliot dkk (2000)
Penelitian ini juga menguatkan secara empirik temuan penelitian Dyan (2010),
dimana kecerdasan emosional yang dinyatakan dalam lima indikator yaitu kesadaran diri
(self awareness), pengaturan diri (self regulation), motivasi diri (self motivation),
kesadaran sosial (social awareness), dan ketrampilan sosial (social skill) secara
signifikan berpengaruh terhadap kinerja karyawan
3. Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan kinerja
Hasil pengujian hipotesis ketiga menun-jukkan bahwa OCB berpengaruh positif
terha-dap kinerja, hipotesis 3 didukung (β = 0.220; p <0,05). Aktivitas menolong
rekan kerja lain akan mempercepat penyelesain tugas rekan kerjanya, dan pada
gilirannya meningkatkan produktivi-tas kinerja rekan tersebut. Seiring dengan ber-
jalannya waktu, kar-yawan dapat saling tolong menolong dalam menyelesaikan
masalah dalam pekerjaannya sehingga tidak mengganggu ki-nerjanya. Perilaku
70
membantu yang ditunjukkan karyawan akan berkontribusi meningkatkan ki-nerja
karyawan. Sebagai contoh, karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam
pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya
untuk keperluan tersebut. Selain itu, dapat juga membantu kar-yawan baru untuk
cepat mencapai target kinerja yang sudah di tentukan oleh Organisasi.
Perilaku menolong dapat meningkat-kan kedekatan emosional serta perasaan
saling memiliki diantara anggota organisasi, sehingga akan mempe-ngaruhi kinerja
karyawan. Selain itu, pengaruh tidak langsung bagi organisasi adalah membantu
organisasi mempertahankan karyawan yang memiliki kinerja baik. OCB juga
meningkatkan stabilitas kinerja karyawan. Karyawan yang menampilkan perilaku
conscien-tiousness diidentifikasi memiliki kesediaan untuk memikul tanggung jawab
baru dan mempelajari keahlian baru dengan meningkatkan kemampu-annya
beradaptasi dengan perubahan yang ter-jadi di lingkungannya. Hal tersebut
dikarenakan OCB sebagai perilaku dan sikap yang mengun-tungkan organisasi dan
tidak bisa ditumbuhkan dengan basis kewajiban peran formal maupun dengan bentuk
kontrak atau rekompensasi. Jika dilihat lebih jauh, OCB merupakan faktor yang
memberikan sumba-ngan pada hasil kerja orga-nisasi secara keseluruhan (Organ,
1988).
Hasil analisis dan pembahasan di atas me-nunjukkan bahwa OCB mampu
meningkatkan kinerja karyawan. Hal ini mengindikasikan, bah-wa karyawan telah
membentuk perilaku OCB dalam dirinya, dapat dilihat dari sikap karyawan yang
berperilaku mengantikan orang lain dalam bekerja, berperilaku melebihi persyaratan
mini-mal, kemauan bertoleransi, terlibat dalam fung-si organisasi dan dapat
menyimpan informasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Khazaei dan
Khalkhali (2011) yang melakukan penelitian pada responden guru di Iran dengan
sampel sebanyak 358 orang. Penelitian tersebut menunjukkan, bahwa konstruk-
konstruk pembentuk variabel OCB berpengaruh signifikan pada kinerja. Konsisten
dengan penelitian Sani (2013), menyatakan adanya pengaruh positif antara keadilan
prosedural, komitmen organi-sasional dan kepuasan kerja terhadap kinerja, yang
dimediasi oleh OCB. Hal ini mendukung temuan, bahwa OCB memiliki peran yang
sig-nifikan untuk meningkatkan kinerja karyawan.
71
Hasil pengujian membuktikan adanya pengaruh signifikan OCB terhadap kinerja.
Hal ini memberikan makna bahwa OCB melalui sikap altruism atau sikap yang lebih
mementingkan orang lain (sebagai indikator dominan) yang dimiliki para perawat,
berkontribusi positif terhadap kinerja. Altruism perawat ini direpsentasikan dengan kerja
sukarela dalam meringankan tugas rekan kerja mereka, sehingga tidak ada tugas-tugas
keperawatan yang terbaikan meskipun perawat jaga sedang istrahat atau tidak berada di
tempat sekalipun. Selain itu dimanifestasikan dengan kesedian mereka membantu
perawat lain yang pekerjaannya overload, meskipun bukan menjadi bagian dari
kewajiban kerja formal yang harus mereka kerjakan. Salah satunya yang biasa dilakukan
yaitu memposisikan diri menjadi volunteer dari tugas perawat lainnya tanpa banyak
berharap pada reward.
Kepedualian sesama perawat tersebut untuk saling meringankan beban kerja,
memperlihatkan bahwa perawat di kedua rumah sakit penelitian cenderung
mengesampingkan sifat egosentrik, yang selama ini dilekatkan oleh masyarakat. Dalam
tataran inilah argumentasi Bolino dalam Sarwono dan Soeroso (2001) mengenai
pentingnya perawat “good citizen” (istilah lain dari OCB) dapat dijustifikasi, sebab
keberadaannya memberikan dampak positif pada organisasi atau kinerja kelompok,
paling tidak pada seting penelitian ini.
Sikap altruism juga mendorong partisipasi fungsional perawat melebihi standar
kerja yang diwajibkan sehingga menjadikan rumah sakit tempat mereka bekerja,
berfungsi secara efektif dalam menjalankan pelayanan kesehatan pada masyarakat.
Perawat benar-benar mendukung fungsi organisasi dengan menampilkan perilaku
altruistic (menolong) yang diekspresikan dalam bentuk tindakan-tindakan yang
menunjukkan sikap tidak mementingkan diri sendiri dan perhatian pada kesejahteraan
orang lain (Purba, 2003).
Podsakoff dkk. (2000) menyatakan bahwa Organizational Citizenship Behavior
(OCB) berpengaruh terhadap prestasi organisasi yaitu (1) Karyawan yang menolong
rekan kerja akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya dan pada gilirannya
meningkatkan produktivitas rekan tersebut dan (2) Seiring dengan berjalannya waktu
perilaku membantu yang ditunjukkan oleh pegawai akan menyebarkan best practice
72
keseluruh organisasi (kelompok unit kerja). Lebih lanjut dinyatakan Organizational
Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan produktivitas pimpinan organisasi atau
manager, yaitu (1) pegawai yang menampilkan civic akan membantu pimpinan
mendapatkan saran dan umpan balik yang berharga dari pegawai tersebut untuk
meningkatkan efesiensi organisasi; (2) pegawai yang sopan yang menghindari terjadinya
konflik dengan rekan kerja akan membantu pimpinan terhindar dari krisis pengeloaan
Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan stabilitas kinerja
organisasi yaitu (1) membantu tugas pegawai lain yang tidak masuk kerja atau yang
mempunyai beban kerja akan meningkatkan stabilitas (dengan cara mengurangi
variabilitas) dari kinerja dalam kelompok; (2) pegawai yang conscientiousness cendrung
mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi
variabilitas pada unit kerja.
Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan kemampuan adaptasi
dengan perubahan lingkungan yaitu: (1) Pegawai yang mempunyai hubungan dekat
dengan rekan kerja dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi
di lingkungannya dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan tersebut,
sehingga pegawai lain dapat beradaptasi dengan cepat; (2) Pegawai yang aktif hadir
dalam rapat organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting yang
berkembang dalam organisasinya; dan (3) Pegawai yang menampilkan concentiousness
misalnya kesediaan memikul tanggung jawab baru di luar walaupun dia harus
mempelajari keahlian baru yang dapat meningkatkan kemampuan organisasi.
Temuan dari studi ini sejalan kesimpulan dari studi-studi sebelumnya, salah
satunya yang dilakukan Podsakoff dan MacKenzie dalam Purba (2003), dimana OCB
dapat meningkatkan stabilitas kinerja dengan cara membantu tugas perawat yang tidak
hadir di tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan
stabilitas (dengan cara mengurangi variabilitas) kinerja dari unit kerja. Serta linear
dengan kesimpulan penelitian Ariani (2008), dimana OCB merupakan perilaku positif di
tempat kerja yang mendukung kinerja individu dan keefektifan organisasi.
73
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan sebagaimana diuraikan pada bagian
terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Budaya kerja dan kinerja guru-guru yang menjadi sampel penelitian ini
tergolong tinggi, yaitu 72.3% guru-guru sampel penelitian ini memiliki budaya
kerja tinggi, sedangkan 74.41% guru-guru memiliki kinerja yang tergolong
tinggi. Tingkat kecerdasan emosi guru-guru dalam sampel penelitian ini
tergolong tinggi (64.3%) sedangkan OCB guru-guru masih tergolong sedang
yaitu 60.7%.
2. Terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan kecerdasan emosional guru
sekolah dasar
3. Terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan Organizational Citizenship
Behavior (OCB) guru sekolah dasar
4. tTerdapat hubungan langsung kecerdasan emosional dengan kinerja mengajar
guru sekolah dasar
5. Terdapat hubungan langsung Organizational Citizenship Behavior (OCB)
dengan kinerja mengajar guru sekolah dasar
6. Terdapat hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru
melalui kecerdasan emosional guru sekolah dasar
7. Terdapat hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru
melalui Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru sekolah dasar
74
B. Saran-saran
Berdasarkan hasil kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini, maka disarankan
hal-hal sebagai berikut:
1. Dinas pendidikan disarankan apabila menginginkan adanya peningkatan kinerja guru
dalam melaksanakan proses pembelajaran, maka hal yang harus menjadi perhatian
adalah menumbuh kembangkan budaya kerja melalui penciptaan dan pengkondisian
kecerdasan emosi dan organizational citizenship behaviour di sekolah. Untuk itu
maka segala kebijakan yang lahir dalam peningkatan kinerja diharapkan didasari
oleh penciptaan kondisi untuk tumbuh dan berkembangnya budaya kerja, kecerdasan
emosi dan organizational citizenship behaviour bagi guru-guru.
2. Pengawas sekolah disarankan untuk melakukan pembinaan dan pengembangan
budaya kerja, kecerdasan emosi dan organizational citizenship behaviour. Untuk itu
diperlukan pembinaan yang mengarah pada upaya menumbuh kembangkan suasan
yang mampu melahirkan ke tiga faktor tersebut. Hal ini penting karena berbagai
penelitian telah membuktikan pentingnya budaya kerja, kecerdasan emosi dan
organizational citizenship behaviour dalam mebentuk kinerja yang tinggi.
3. Kepala sekolah disarankan untuk selalu memberikan suasana untuk tumbuh dan
berkembangnya budaya kerja, kecerdasan emosi dan OCB bagi guru-guru dalam
kegiatan sekolah. Untuk itu maka pembinaan yang intensif dan menciptakan Susana
yang kondusif bagi guru dalam proses pembelajaran sangat penting untuk
menunjang peningkatan kinerja guru.
4. Bagi guru disarankan untuk memelihara dan menumbuhkembangkan budaya kerja,
dan OCB dalam rangka meningkatkan kinerja proses pembelajaran yang optimal,
sehingga dapat meningkatkan mutu hasil belajar.
75
DAFTAR RUJUKAN
Acar, A.Z. (2012). Organizational culture. Leadership style and organizational
commitment in Turkish logistics industry. Social and behavior sciences journal,
58, pp 217-226
Allen, N. J.&Meyer, J. P. (1990). The measurement and antecedents of affective,
continuance, and normative commitment to the organization, Journal of
Occupational and Organizational Psychology, 63, 1– 8.
Armstrong, M. & Baron. (2006). A Handbook of human resource management
practice 10th
edition. London dan Philadelphia: Kogan Page
Boyatzis, R,E, Ron, S. 2001. Unleashing the Power of Self Directed Learning,
Case Western Reserve University. USA: Cleveland, Ohio.
Cooper, R. K., dan Sawaf, A. 1999. Executive Emotional Intelligence: Kecerdasan
Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Darmawan, Didit. 2009. Motivasi dan Kinerja (Studi Sumber Daya Manusia).
Jakarta: Metromedia Printing.
Domiri. (2001). Pengaruh budaya perusahaan terhadap kepuasan kerja, komitmen
organisasi dan kinerja karyawan. Tesis program Studi Magister Manajemen,
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Dyan S., Catarina. 2010. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Kecerdasan
Emosional terhadap Kinerja Karyawan (Studi pada Proyek Konversi Energi
Batubara PT Petrokimia Gresik). Tesis. Program Magister Manajemen
Universitas Brawijaya Malang.
Edwardin, Laras Tris A. S. 2006. Analisis Pengaruh Kompetensi Komunikasi,
Kecerdasan Emosional, dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan
(Studi pada PT POS Indonesia (Persero) se Kota Semarang). Tesis. Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Elzbieta, S. Simons. (2005). Predictors of organizational commitment among staff in
assisted living, vol 45, no 2 pp 196-205
Fitriastuti, Triana. 2013. Pengaruh Kecerdasan Emosional, Komitmen Organisasional
dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) terhadap Kinerja Karyawan.
Jurnal Dinamika Manajemen, Vol 4, No 2, hal 103-114.
76
Goleman, Daniel. 2000. Working With Emotional Intellegence: Kecerdasan Emosi
Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D., Boyatzis, R., dan McKee, A. 2004. Primal Leadership: Realizing The
Power of Emotional Intelligence. Boston: Harvard Business School Press.
Hanzaee, Kanbiz Heidarzadeh dan Majid Mirvaisi. 2013. A Survey On Impact Of
Emotional Intelligence, Organizational Citizenship Behaviors And Job
Satisfaction On Employees' Performance In Iranian Hotel Industry.
Management Science Letters 3.
Hackman, J.R. & Oldham, G.R. (1976) Motivation through the Design of Work: Test
of a Theory. Organizational Behavior and Human Performance, 16, 250-279.
Huselid, M. A., & Day, N. E. (1991). Organizational commitment, job involvement,
and turnover: A substantive and methodological analysis. Journal of Applied
Psychology, 76, 380-391.
Jogiyanto, H.M. 2011. Konsep dan Aplikasi Structural Equation Modeling Berbasis
Varian dalam Penelitian Bisnis. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Khazaei, K. & Khalkhali, A. 2011. Relationship Be-tween Organizational Citizenship
Behavior and Performance of School Teachers in West of Mazandaran
Province. World Applied Sci-ences Journal. 13 (2): 324-330.
Kreitner, R. & Kenicki, A. (2007). Organizational behavior. New York: McGraw-
Hill International.
Lee, H.Y., & Ahmad, Bin K.Z. (2009). The moderating effects of organizational
culture on the relationships between leadership behavior and organizational
commitment and between organizational commitment and job satisfaction and
performance. Journal of leadership and organization development, vol 30 no 1
pp 53-86
Luthans, F. (2007). Organizational behavior. 11th
edition, New York USA: McGraw-
Hill International.
Lyons, J. B & Schneider, T. R. 2005. The Influence Of Emotional Intelligence On
Performance. Personality and Individual Differences. 39, Is-sue 4: 693-703.
McNamara, C. (2002). Organizational culture, the Management Assistance Program for
Nonprofits. (http://www.mapnp.org/library/orgthry /culture/culture.htm)
77
Mahesa, Deewar. 2010. Analisis Pengaruh Motivasi dan Kepuasan Kerja terhadap
Kinerja Karyawan dengan Lama Kerja sebagai Variabel Moderating (Studi
pada PT Coca Cola Amatil Indonesia Central Java). Skripsi. Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro Semarang.
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2007. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia.
Bandung: PT Refika Aditama.
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Perilaku dan Budaya Organisasi
Cetakan Pertama. Malang : Remaja Rosda Karya.
Moeljono, D. (2003). Budaya korporat dan keunggulan korporasi. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo
Mondy, R. W., & Noe, R. M. (1993). Human resource management. Massachusetts:
Allyn & Bacon.
Mowday, R.T., Porter, L.W. & Steers, R.M. (1982). Employee organizational
linkages. Academy Press, New York.
Navizond, C. (2007). Profil budaya organisasi. Bandung: Alfabito.
Nien, W. L & Hung, T. K. 2013. The effect of Emo-tional Intelligence on Job
Performance- Pro-fessional Commitment as a Moderator. Busi-ness and
Information. Bali
Nugroho, Agung Adityo. (2011). Pengaruh Kompensasi dan Budaya Kerja Terhadap
Kinerja Karyawan Pada PT. Pura Barutama Unit Offset Kudus. Jurnal.
Universitas Diponegoro.
Ormrod, J. E. 2006. Educational Psychology Developing Learners (5th ed).
USA: Merill Prentice Hall.
Organ, D. W., et all. 2006. Organizational Citizenship Behavior: Its Nature,
Antecedents,Consequences. California: Sage Publication.
Podsakoff, P.M., et all. 2000. Organizational Citizenship Behavior: A Critical Review
of Theoretical Empirical Literature and Suggestions for Future Research.
Journal of Management. 26, 3, 513-563.
Purba, Eflina, Debora dan Seniati, Liche, Nina, Ali. 2004. “Pengaruh Kepribadian
dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenzhip Behavior”.
Makara, Sosial Humaniora. Vol. 8, No. 3, Desember 2004: 105-111.
Rahmi, B. Maptuhah. 2013. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap
Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan Komitmen Organisasional
dengan Mediasi Kepuasan Kerja (Studi pada Guru Tetap SMA Negeri di
78
Kabupaten Lombok Timur). Tesis. Program Pascasarjana Universitas Udayana
Denpasar Bali.
Robbins, Stephen P. 2008. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.
Robbins, S. P., dan Judge, T. A. 2008. Perilaku Organisasi Edisi Ke-Duabelas.
Jakarta: Salemba Empat.
Robbins, S.P. (2007). Perilaku organisasi. Edisi translate. Jakarta: Prelindo
Sani, A. 2013. Role of Procedural Justice, Organizational Commitment, and Job
Satisfaction On Job Performance: The Mediating Effects of OCB. International
Journal of Business and Mangement. 8 (15): 57-67.
Schein, E.H. (2004). The Role of Foundation in creating organizational culture,
organizational dynamic. Summer:2004.
Siburian, T.A. (2013). The effect of interpersonal communication, organizational
culture, job satisfaction, and achievement motivation to organizational
commitment of state high school teacher in the district humbang hasunudan,
north sumatera. International journal of humanities and social science. Vol 3
Nomor 12 (special issu-Juni 2013)
Sarwono, Slamet S. dan Soeroso, Amiluhur. 2001. “Determinasi Demografi terhadap
Perilaku Karitatif Keorganisasian”. Jurnal Siasat Bisnis. JSB No. 6 Vol. 1 Th.
2001.
Soltani, Mahdi dan Hossein Rezai Dolat Abadi. 2015. Investigation The Influence Of
Emotional Intelligence And Organizational Citizenship Behavior On Labor
Productivity With Emphasis On The Mediator Role Of The Spiritual
Intelligence. International Research Journal Of Management Science. Vol 3
(3). 118-123.
Suriansyah, A. (2010). Quality work Culture: Case Study at Lambung Mangkurat
University, Banjarmasin Indonesia: Disertation: University Utara Malaysia
Suriansyah, A. (2014). Hubungan Budaya Sekolah, Komunikasi Dan Komitmen
Kerja Terhadap Kinerja Guru Sekolah Dasar Negeri. Jurnal Ilmu Pendidikan,
Malang: FIP UN Malang.
Suriansyah, A. (2018). Membangun Pendidikan Berkualitas Berbasis Budaya Kerja
Bermutu. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Lambung Mangkurat,
Tanggal 3 Desember 2018. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.
Sutrisno, Edy. 2011. Budaya Organisasi. Jakarta: Kencana.
79
Suyata. (1996). Budaya kualitas kerja dan penerapannya di lembaga pendidikan.
Jurnal Dinamika Pendidikan, 2(VIII), Yogyakarta: FIP.
Trigono. (1977). Budaya kerja. Jakarta: PT. Golden Terayon Press.
Tang, K. N. (2011). The effect of transformational leadership on school culture in
male primary school Maldives, Social and behavior sciences journal, vol 30, pp
2575-2580
Trihandini, Meirnayati, R.A Fabiola. 2005. “Analisis Pengaruh
Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual terhadap
Kinerja Karyawan (Studi Kasus di Hotel Horison Semarang)”. Tesis. Semarang:
Program Studi Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro. Melalui www.google.co.id/.
Wong, C. S., Wong, P. M & Law, K. S. 2005. The interaction effect of emotional
intelligence and emotional labor on job satisfaction: A test of Holland’s
classification of occupations. In C. E. J. Härtel, W. J. Zerbe, & N. M.
Ashkanasy (Eds.), Emotions in Organizational Behavior. Mah-wah, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates, Inc
Xenikou. A. & Simosi. M (2006). Organizational culture and transformational
leadership as predictors of business unit performance. Journal of managerial
psychology, Vol 1 no 6 pp 566-579