[koass] lapsus gangguan stress pasca trauma
DESCRIPTION
Gangguan stres pasca trauma didefinisikan sebagai kecemasan patologis yang biasanya terjadi setelah pengalaman atau saksi individu trauma parah yang merupakan ancaman terhadap integritas fisik atau kehidupan individu orang lain.TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA MARET 2015
GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA
Nama : Ahmad Rahmat Ramadhan
No. Stambuk : N 111 14 055
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2015
STATUS PSIKIATRI
Nama : An. D
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 16 tahun
Status Perkawinan : Belum Menikah
Warga Negara : Indonesia
Pendidikan / Sekolah : SD Kelas 4
Alamat / No. Telp. : Perumahan Tondo
Nama, Alamat, dan No. Telp keluarga dekat : -
Di kirim oleh : Orang Tua Pasien
Diagnosis sementara : Gangguan stres akut
Gejala-gejala utama : Takut
LAPORAN PSIKIATRIK
A. RIWAYAT PENYAKIT
1. Keluhan Utama dan alasan MRSJ/terapi : Perasaan takut
2. Riwayat Gangguan Sekarang, Perhatikan
a. Keluhan dan gejala
Pasien anak perempuan 16 tahun datang dengan keluahan munculnya
perasaaan takut. Perasaan ini timbul awalnya dialami oleh pasien sejak dua minggu
yang lalu pada hari minggu 1 maret 2015, akibat dari pelecehan seksual. Ketakutan
ini berlangsung kurang lebih 2 minggu tetapi tidak terjadi setiap waktu. Biasanya
perasaan takut disertai tangisan timbul ketika pasien dalam keadaan sendiri akibat
pasien masih terbayang-bayang kejadian pelecehan seksual.
Pasien menceritakan bahwa pasien dipeluk dari belakang oleh seorang pria
yang dikenalnya sebagai penjaga satpam di daerah perumahan tondo, saat pagi hari
ketika pasien sedang menyiram halaman rumah, saat itu pasien berusaha untuk
melepaskan diri dari pelukan pria tersebut. Kemudian tangan pria tersebut mencoba
untuk memegang kelamin pasien, sehingga pasien dapat lari keluar dari pelukan
pria tersebut. Setelah kejadian tersebut pasien mengunci diri didalam kamar hingga
kakak dari pasien kembali ke rumah, dan menceritakan peristiwa tersebut.
Takut yang dirasakan pasien disertai nyeri kepala dari dahi sampai kepala
bagian belakang. Pasien mengalami kesulitan tidur. Pasien mengungkapkan setiap
kali terbayang kejadian pelecehan tersebut pasien akan mengalami ketakutan
sehingga tidak dapat tidur, bahkan pasien kadang-kadang terbangun dari tidur
tengah malam kemudian menangis.
Pasien menyangkal bila pernah mengalami ketakutan seperti ini
sebelumnya. Pasien merasa nyaman bila tidur ditemani oleh ibunya dan akan
ketakutan bila di tinggal sendiri. Saat ini kehidupan pasien merasa sangat marah
dan kacau.
Sosialisasi dengan masyarakat disekitar rumah baik namun pasien sejak
awal sebelum kejadian jarang bergaul dan lebih sering berada di dalam rumah.
Kegiatan keseharian pasien adalah membantu Ibunya di rumah dan membersihkan
kandang kucing. Namun, sejak kejadian tersebut pasien hanya berusaha untuk
mengurung diri di rumah dan memiliki rasa takut terhadap lawan jenisnya.
a. Hendaya/disfungsi
Karena kondisi ini pasien mengaku tidak dapat beraktivitas normal seperti
biasanya, misalnya membersihkan kandang kucingnya.
b. Faktor stresor psikososial
Pelecehan seksual
c. Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat penyakit fisik dan psikis
sebelumnya
Penyakit lain disangkal oleh pasien, dan pasien tidak pernah di rawat di rumah
sakit sebelumnya. Pasien merasa sakit kepala bila teringat bayangan dari
kejadian trauma.
d. Riwayat Kehidupan Sebelumnya
Riwayat psikiatri
Pasien mengaku belum pernah datang dengan keluhan psikiatri sebelumnya ke
dokter di puskesmas ataupun rumah sakit.
Riwayat medis
Pasien mengaku belum ada penyakit medis yang terkait dengan gangguan jiwa
sebelumnya.
Riwayat penggunaan zat
Penggunaan zat berbahaya dan psikotropika di sangkal oleh pasien.
e. Riwayat Kehidupan Pribadi
Riwayat prenatal dan perinatal
Pasien adalah anak kedua dari 5 bersaudara. Pasien merupakan anak yang
diharapkan dan lahir secara normal. Tidak ada keterangan jelas apakah kondisi
pasien saat lahir ada masalah atau tidak.
Riwayat kanak-kanak
Dapat ke kamar mandi untuk buang air kecil atau besar. Pasien menyangkal
adanya perilaku menyimpang seperti membentur-benturkan kepala. Tokoh yang
paling dekat dengan pasien adalah ibu. Kondisi hubungan pasien dengan kedua
orang tua pasien lebih cenderung kepada ibu pasien karena ayah pasien telah
meninggal sejak pasien berusia 5 tahun. Saat masa kanak-kanak, pasien bisa
berteman dan berkomunikasi baik dengan teman-teman sebaya di sekitar
rumahnya.
Riwayat kanak pertengahan
Pasien mengatakan tidak ada gangguan belajar pada pasien. Pasien hanya
menceritakan bahwa sejak duduk di Sekolah Dasar, pasien sering merasa di
bully oleh teman-temannya terkait tempat tinggal pasien saat ini yang berada di
daerah lokalisasi.
Masa kanak akhir dan remaja
Pasien diusia remaja berteman baik dan bersosialisasi baik dengan orang-orang
di lingkungan sekitarnya dan saudara-saudaranya di rumah. Pasien senang
melakukan hobbi memasak dan mewarnai.
f. Riwayat Kehidupan Keluarga
Tidak ada masalah bermakna dalam keluarga inti atau dengan anggota keluarga lainnya.
Pasien selalu berbagi keluh kesah kepada kakaknya tentang keluhan penyakit atau
kondisi yang akhir-akhir ini di rasakan pasien. Keluarga mendukung dan memberikan
ketenangan kepada pasien sehingga pasein perlahan-lahan bisa membaik.
g. Situasi Sekarang
Pada saat pasien datang kondisi takut disampaikan oleh pasien, pasien merasa hidupnya
kacau dan merasa ingin marah bila teringat kejadian itu.
h. Persepsi Pasien Tentang Diri Dan Kehidupannya
Pasien mempersepsikan dirinya sakit kehidupannya sudah tidak normal tetapi masih
merasa cemas akan kembalinya rasa takut yang sebelumnya dialami pasien.
i. STATUS MENTAL
1. Deskripsi Umum
a. Penampilan : pasien wanita anak-anak, usia sebanding dengan tampakan
wajahnya, berpakaian rapi, tidak ada gerakan tertentu atau berulang saat
wawancara, pasien menangis saat bercerita, dan menundukkan kepala hingga
wajahnya tertutup oleh rambut
b. Kesadaran: komposmentis
c. Perilaku dan aktivitas psikomotor : tidak terlihat adanya aktivitas tanpa
tujuan dari pasien.
d. Pembicaraan: bicara sedikit demi sedikit. suara dapat didengar dan mudah
dipahami isi pembicaraannya.
e. Sikap terhadap pemeriksa: kooperatif namun ada rasa waspada
2. Keadaan Afektif (Mood), Perasaan, Empati dan Perhatian
a. Mood : hipotimia, secara obyektif tampak marah, takut, dan defensif
b. Afek : luas
c. Empati : dapat dirasakan
3. Fungsi Intelektual (Kognitif)
a. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan : normal
b. Daya konsentrasi : dapat mengeja kata DUNIA dari belakang ke depan dengan
baik dan tepat.
c. Orientasi (waktu, tepat dan orang) : baik
d. Daya ingat : baik
e. Pikiran abstrak : baik
f. Bakat kreatif : memasak, mewarnai
g. Kemampuan menolong diri sendiri : baik
4. Gangguan Persepsi
a. Halusinasi : tidak ada
b. Ilusi : tidak ada
c. Depersonalisasi : tidak ada
d. Derealisasi : tidak ada
5. Proses Pikir
a. Arus pikiran
1) Produktivitas : normal
2) Kontiniuitas : koheren dan relevan
3) Hendaya berbahasa : tidak ada
b. Isi pikiran
1) Preokupasi : flashback
2) Gangguan isi pikir : tidak ada
6. Pengendalian Impuls : cukup. Walaupun terkadang rasa takut masih di
dapatkan.
7. Daya Nilai
a. Norma sosial : baik
b. Uji daya nilai : baik
c. Penilaian realitas : baik
8. Tilikan (Insight) :
Derajat 4 : menyadari dirinya sakit dan buth bantuan namun tidak memahami
penyebab sakitnya
9. Taraf Dapat Dipercaya : dapat dipercaya
j. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT
Pemeriksaan Fisik :
1. Status internus
Pemeriksaan tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu : 36,2 C
Pemeriksaan fisik abdomen dan thoraks tidak dilakukan
Pemeriksaan neurologis tidak dilakukan
2. Hal-hal bermakna lainnya yang ditemukan pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan
lab
Pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan
3. Pemeriksaan penunjang
- Evaluasi psikologi, IQ, dan MMPI
k. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA
• Pasien anak perempuan usia 16 tahun datang dengan keluhan munculnya
perasaan takut
• Berlangsung sejak awal maret sampai sekarang
• Takut yang dirasakan pasien selalu disertai nyeri kepala dan perasaaan ingin
menangis.
• Pasien mengungkapkan setiap kali nyeri kepala, pasien selalu takut akan
mengalami kejadian pelecehan tersebut.
• Pasien mengaku mengalami gangguan tidur dan sering terbangun di malam hari
akibat terbayang-bayang tentang kajdian itu.
• Pasien merasa hidupnya kacau dan ingin marah jika mengingat kejadian itu.
I. EVALUASI MULTIAKSIAL
1. Aksis I :
Merujuk pada kriteria diagnostif dari PPDGJ III, pasien dalam kasus ini dapat
didiagnosa sebagai F43.1 Gangguan stress pasca-trauma
Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun
waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar
antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui
6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya
waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan,
asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif
kategori gangguan lainnya.
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang
(flashback).
Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar
biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan
dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah mengalami katastrofa).
2. Aksis II
Berdasarkan hasil wawancara pasien merupakan orang yang suka menyendiri.
Belum ada perubahan kepribadian.
3. Aksis III
Pasien menderita nyeri kepala yang merupakan bentuk dari ketegangan mototrik.
4. Aksis IV
Masalah yang terpenuhi dari kondisi pasien saat ini adalah masalah pelecehan
seksual yang berkaitan dengan tempat tinggal.
5. Aksis V
70-61 = Beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam pekerjaan,
secara umum masih baik.
II. Diagnosis Banding
F43.0 Reaksi Stres Akut
Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya pengalaman
stressor luar biasa (fisik atau mental) dengan onset dari gejala, biasanya
setelah beberapa menit atau segera setelah kejadian.
Selain itu ditemukan gejala-gejala:
a. Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-
ubah; selain gejala permulaan berupa keadaan terpaku (daze),
semua hal berikut dapat terlihat: depresi, anxietas, kemarahan,
kecewa, overaktif dan penarikan diri.
b. Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkungan stressor-
nya, gejala-gejala dapat menghilang dengan cepat (dalam
beberapa jam); dalam hal ini di mana stres menjadi berkelanjutan
atau tidak dapat dialihkan, gejala-gejala biasanya baru mereda
setelah 24-48 jam dan biasanya hampir menghilang setelah 3
hari.
Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan mendadak
dari gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukkan gangguan
psikiatrik lainnya.
Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang
peranan dalam terjadinya atau beratnya suatu reaksi stres akut.
m. DAFTAR PROBLEM
1. Organobiologik:
a. gangguan hormon kortisol, sehingga aktivasi katekolamin akan tetap tinggi.
b. Nyeri kepala
2. Psikologik: takut dengan kejadian traumatik yang terus membayangi pasien.
3. Sosial: Adanya proses defensing terhadap lawan jenis.
n. PROGNOSIS
Dapat memburuk dan berulang. Bisa mengalami perubahan kepribadian yang
berlangsung lama jika tidak diterapi dengan baik.
o. PEMBAHASAN TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan stres pasca trauma didefinisikan sebagai kecemasan patologis yang
biasanya terjadi setelah pengalaman atau saksi individu trauma parah yang merupakan
ancaman terhadap integritas fisik atau kehidupan individu orang lain.(1)
Bagan 1
Struktur otak yang berhubungan dengan reaksi tubuh terhadap rasa takut dan stres
Gangguan stress pasca trauma timbul akibat dari respon biologi dan juga
psikologi seseorang, kondisi ini terjadi karena aktivasi dari beberapa sistem di otak yang
berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. Dalam hal ini, amigdala
akan mengaktivasi beberapa neurotransmiter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak
jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respon
tubuh untuk menghadapi peristiwa tersebut.(2)
Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico-Releasing Factor (CRF) dan beberapa
neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan
mensekresi pengeluaran adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya
menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Sehingga
menimbulkan peningkatan tenaga dan meningkatkan aktivitas kardiovaskular yang
disebut sebagai reaksi ‘fight or flight reaction’.(3)
Ketika seseorang mengalami tekanan, maka tubuh secara alamiah akan
meningkatkan pengeluaran katekolamin dan kortisol pada kelenjar adrenal; pengeluaran
kedua zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin
berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam
bereaksi terhadap tekanan tesebut. Hormon kortisol berperan dalam menghentikan
aktivasi sistem saraf simpatis dan beberapa sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang
timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh individu.(3)
Model psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stres pasca trauma terjadi
oleh karena gangguan reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang belum
terselesaikan di masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik yang dialami maka
konflik psikologis tersebut akan teraktivasi kembali. Sistem ego akan kembali
teraktivasi dan berusaha untuk mengatasi masalah dan meredakan kecemasan yang
terjadi.(1)
Bagan 2
12 Langkah Gangguan stress post traumatik
Gambaran klinis dari gangguan stres pasca trauma seringkali berupa adanya
ingatan-ingatan kembali akan peristiwa-peristiwa traumatik yang pernah dialami serta
mendesak untuk timbul ke alam sadar dan disertai adanya mimpi-mimpi buruk. Individu
juga dengan sengaja tampak menghindari berbagai situasi atau kondisi yang akan
mengingatkannya akan peristwa traumatik tersebut. (2)
Antidepresan golongan SSRI (Penghambat selektif dari ambilan serotonin)
merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini. Terapi yang efektif harus dilanjutkan
paling sedikit 12 bulan. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan
psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan. (3)
p. RENCANA TERAPI
1) SSRI (Penghambat Selektif dari ambilan Serotonin)
Pengobatan farmakoterapi dapat diberikan antidepresan golongan SSRI
(Penghambat selektif dari ambilan serotonin) seperti fluoxetin 10-60 mg/hr,
Sertralin 50-200 mg/hr atau Fluvoxamine 50-300 mg/hr. Antidepresan lain yang
juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300 mg/hr dan juga Imipramin 50-
300 mg/hr. (4)
2) Psikoterapi
Psikoterapi yang umum diberikan bagi individu dengan gangguan stres pasca
trauma adalah psikoterapi kognitif-perilaku, psikoterapi kelompok dan
hypnotherapy. (2)
q. FOLLOW UP
Tidak dilakukan follow up
DAFTAR PUSTAKA
1. de Quervain DJ, Margraf J. Glucocorticoids for the treatment of post-traumatic stress
disorder and phobias: a novel therapeutic approach. Eur J Pharmacol. Apr 7
2008;583(2-3):365-71. Available from :
http://reference.medscape.com/medline/abstract/18275950
2. Maslim R (ed). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta:
Bagian Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, PT Nuh Jaya; 2001.
3. Utama H (ed). Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013
4. Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman & Gillman Manual
Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011.