kitin_regina septie n_13.70.0074_kloter a(a2)_unika soegijapranata

Upload: praktikumhasillaut

Post on 09-Jan-2016

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pada praktikum ini dilakukan ekstraksi kitin dan kitosan dari limbah udang. praktikum dilakukan dalam 3 tahap yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi.

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

KITIN DAN KITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:Regina Septie N. 13.70.0074Kelompok A2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Acara II

3

3. 21. 2. MATERI METODE

2.1. Materi2.1.1. AlatAlat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain adalah oven, blender, ayakan, dan peralatan gelas.

2.1.2. BahanBahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl, 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N, NaOH 3,5%, NAOH 40%, 50%, dan 60%.

2.2. Metode2.2.1. Demineralisasi Metode DemineralisasiLimbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh. HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N Lalu dicuci sampai pH netral.Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jamKemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

2.2.2. Deproteinasi

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jamKemudian disaring dan didinginkan Lalu dicuci sampai pH netral.Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam. Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

2.2.3. DeasetilasiChitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jamLalu dicuci sampai pH netral.Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

3. 44. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan rendemen kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan KitosanKelompokPerlakuanRendemen Kitin I (%)Rendemen Kitin II (%)Rendemen Kitosan (%)

A1HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%30,0020,0010,40

A2HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%45,0026,6713,07

A3HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%35,0022,2212,32

A4HCl 1 N + NaOH 50% + NaOH 3,5%20,0028,5714,95

A5HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%30,0025,0012,40

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa hasil rendemen kitin I tertinggi ada pada kelompok A2 dengan perlakuan HCl 0,75 N, NaOH 40% dan NaOH 3,5%, sedangkan hasil rendemen kitin I terendah ada pada kelompok A4 dengan perlakuan HCl 1 N, NaOH 50% dan NaOH 3,5%. Pada rendemen kitin II, hasil tertinggi ada pada kelompok A4 dengan perlakuan HCl 1 N, NaOH 50% dan NaOH 3,5%, sedangkan hasil terendah ada pada kelompok A1 dengan perlakuan HCl 0,75 N, NaOH 40% dan NaOH 3,5%. Sementara itu, pada rendemen kitosan, hasil tertinggi ada pada kelompok A4 dengan perlakuan HCl 1 N, NaOH 50% dan NaOH 3,5% yaitu sebesar 14,95%, sedangkan hasil terendah ada pada kelompok A1 dengan perlakuan HCl 0,75 N, NaOH 40% dan NaOH 3,5% yaitu sebesar 10,4%. .

5. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, dilakukan pembuatan kitin dan kitosan dari limbah udang. Kitin merupakan polimer alami yang terdapat pada hampir seluruh jenis crustaceans. Senyawa kitin memiliki struktur linear 2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa pada ikatan (1-4) (Trung & Bao, 2015). Kitin berbentuk serpihan berwarna putih kekuningan, tidak beracun, dan larut dalam asam kuat pekat, namun sulit larut dalam air, larutan basa encer dan pekat, larutan asam encer dan pelarut organik (Bastaman, 1989). Kitin memiliki struktur kimia kitin sebagai berikut:

Gambar 1. Struktur Kimia Kitin (Viarsagh et al., 2010)

Kitin diekstrak dari limbah crustaceans dalam 3 tahap yaitu pemisahan mineral (demineralisasi), protein (deproteinasi), dan deasetilasi. Proses deasetilasi kitin akan menghasilkan kitosan. Kitosan merupakan senyawa biopolimer dari D-glukosamin dengan presentase asetil glukosamin lebih rendah dari 50%. Kitosan memiliki sifat larut dalam asam asetat konsentrasi rendah (Viarsagh et al., 2010). Kitosan merupakan polimer berbentuk linier yang tersusun atas 2000-3000 monomer N-asetil-D-glukosamin dalam ikatan -(1-4) (Tang et al., 2007). Struktur kimia kitosan dapat dilihat pada gambar 2 berikut.

Gambar 2. Struktur Kimia Kitosan (Viarsagh et al., 2010)5.1. DemineralisasiPada praktikum ini, mula-mula limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Pencucian pertama dengan air mengalir bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang ada pada limbah udang. Sementara itu, pencucian dengan air panas bertujuan untuk menghilangkan mikroorganisme kontaminan yang mungin ada pada limbah udang. Pengeringan yang dilakukan pada tahap ini dilakukan untuk menguapkan sisa-sisa air hasil pencucian limbah sehingga dapat mengurangi kadar air pada limbah udang. Setelah dikeringkan, limbah udang dihancurkan dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh. Hal ini bertujuan untuk memperluas permukaan bahan sehingga proses pelarutan menjadi lebih mudah dan cepat (Prasetiyo, 2006).

Proses demineralisasi perlu dilakukan karena pada cangkang crustaceans mengandung banyak mineral seperti kalsium, fosfor, magnesium dan besi. Selain itu, protein dan lemak, juga turut terbuang dalam proses ini. Proses demineralisasi, dilakukan dengan penambahan larutan asam klorida pada bahan untuk mereaksikan senyawa kalsium yang ada pada bahan (Bastaman, 1989). Pada praktikum ini, bubuk limbah udang ditambah HCl dengan perbandingan pelarut dengan serbuk sebesar 10 : 1. Penambahan HCl ini berbeda konsentrasinya pada tiap kelompok, kelompok A1 dan A2 sebanyak 0,75 N, kelompok A3 dan A4 sebanyak 1 N, sedangkan kelompok A5 sebanyak 1,25 N. penambahan HCl ini bertujuan untuk melarutkan senyawa-senyawa mineral yang ada pada bahan. Penggunaan HCl ini efektif karena hampir semua ion-ion logam dapat membentuk garam-garam klorida yang mudah larut dalam air (Fahmi, 1997). Larutan tersebut diaduk dan dipanaskan diatas hotplate pada suhu 90C selama 1 jam. Pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat proses pemisahan mineral, sedangkan pengadukan bertujuan untuk mencegah terbentuknya gelembung udara yang dihasilkan akibat proses pemisahan mineral (Puspawati & Simpen, 2010).

Residu yang terbentuk dari hasil pemanasan lalu dicuci dengan air mengalir sampai pH 7 atau mendekati netral dan diuji dengan kertas pH. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kondisi asam akibat penambahan HCl. Setelah pH mencapai netral, residu dikeringkan dalam oven suhu 80C selama 24 jam. Pengeringan ini bertujuan untuk menguapkan air yang masih tersisa selama proses pencucian, sehingga produk akhirnya akan berupa serbuk kering (Austin, 1981). Kemudian, berat rendemennya dihitung sebagai berat rendemen kitin I.

Dari hasil pengamatan yang diperoleh, dapat diketahui bahwa hasil rendemen kitin I tertinggi ada pada kelompok A2 dengan perlakuan HCl 0,75 N, NaOH 40% dan NaOH 3,5% yakni sebesar 45% sedangkan hasil rendemen kitin I terendah ada pada kelompok A4 dengan perlakuan HCl 1 N, NaOH 50% dan NaOH 3,5% yakni 20%. Hasil yang diperoleh menyimpang dengan teori dari Johnson & Peterson (1974) yang mengatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka akan menghasilkan rendemen kitin yang semakin banyak karena senyawa mineral lebih mudah terlepas dari bahan. Di sisi lain, hasil yang diperoleh sesuai dengan teori dari Suptijah (2004), bahwa penggunaan asam dengan konsentrasi yang terlalu tinggi dapat menyebabkan reaksi berlangsung terlalu cepat dan terjadi reaksi antar asam dengan protein yang ditandai dengan munculnya bau amoniak, padahal proses pemisahan senyawa mineral belum sempurna dan berakibat pada hasil rendemen yang masih sedikit. Ada kemungkinan jugabahwa kitin mengalami degradasi karena konsentrasi asam terlalu tinggi dan waktu perendaman terlalu lama. Selain itu, penyimpangan ini dapat disebabkan karena beberapa komponen ikut terbuang saat proses pencucian sehingga nilai rendemen kitin menjadi berkurang (Knorr, 1984).

5.2. DeproteinasiProses selanjutnya adalah proses deproteinasi. Deproteinasi merupakan proses untuk memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan antara protein dan kitin. Hal ini perlu dilakukan karena kandungan protein pada limbah kulit udang tergolong tinggi yaitu sebesar 30% (Hagono & Haryani, 2004). Pada proses deproteinasi ini, rendemen kitin I dicampur NaOH 3,5% (6:1) lalu dipanaskan sambil diaduk pada suhu 90oC selama 1 jam. Residu yang diperoleh dicuci sampai pH netral lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 80oC selama 24 jam. Kemudian, berat rendemennya dihitung sebagai berat rendemen kitin II. Proses deproteinasi ini dilakukan menggunakan senyawa alkali yaitu NaOH. Hal ini sesuai dengan teori dari Suharto (1984), senyawa alkali yang paling efektif dan efisien untuk memisahkan protein dengan kitin adalah NaOH karena memperbesar volume partikel substrat sehingga ikatan antar komponen menjadi renggang, serta menginduksi terjadinya hidrolisis gugus asetil pada kitin. Pada proses deproteinasi ini juga dilakukan pemanasan dan pengadukan. Proses pemanasan bertujuan untuk menghilangkan gas CO2 yang terbentuk, menguapkan air serta mengkonsentrasikan NaOH, sehingga kitin yang dihasilkan akan lebih maksimal. Sementara proses pengadukan dilakukan agar proses perusakan berlangsung lebih cepat dan proses denaturasi protein oleh NaOH lebih merata dan efisien. Pencucian hingga pH residu menjadi netral dilakukan untuk mencegah penggembungan kitin karena bereaksi dengan alkali sehingga efektivitas proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai kitin berjalan dengan maksimal (Puspawati & Simpen, 2010).

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa rendemen kitin II tertinggi dihasilkan oleh kelompok A4, yaitu sebesar 28,57% dan rendemen terendah dihasilkan oleh kelompok A1, yaitu 20%. Selain itu, juga dapt diketahui bahwa pada semua kelompok terjadi penurunan presentase rendemen kitin, kecuali kelompok A4. Hal ini bertentangan dengan teori dari Puspawati & Simpen (2010) yang menyatakan bahwa rendemen kitin yang dihasilkan pada proses deproteinasi lebih sedikit daripada rendemen hasil proses demineralisasi karena pada proses deproteinasi, banyak protein dengan berat molekul besar yang terikat pada kitin sudah hilang. Penyimpangan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor konsentrasi larutan, suhu dan lama waktu reaksi juga berpengaruh pada jumlah rendemen yang dihasilkan. Di sisi lain, proses pengeringan yang kurang sempurna juga mengakibatkan adanya kandungan air dari proses pencucian yang tertinggal sehingga mempengaruhi berat kitin (Lehninger, 1975).

5.3. DeasetilasiProses deasetilasi dilakukan untuk memperoleh kitosan dari kitin. Mula-mula rendemen kitin II dilarutkan dengan larutan alkali kuat, yakni NaOH (20:1). Kelompok A1 dan A2 menggunakan NaOH 40%, kelompok A3 dan A4 menggunakan NaOH 50%, sedangkan kelompok A5 menggunakan NaOH 60%. Larutan kemudian dipanaskan dengan suhu 90C selama 1 jam sambil diaduk. Selanjutnya residu yang diperoleh dicuci dengan air mengalir hingga mendekati pH netral. Residu ber-pH netral tersebut lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 70oC selama 24 jam. Berat rendemen yang dihasilkan dihitung sebagai berat rendemen kitosan.

Pada proses deasetilasi NaOH mengganti gugus asetamida dengan gugus amino (Muzzarelli & Peter, 1997) dengan cara meregangkan struktur kitin sehingga proses deasetilasi polimer kitin berjalan lebih cepat (Martinou, et al., 1995). Proses deasetilasi ini juga melibatkan panas untuk mengoptimalkan pemutusan ikatan asetamida sehingga asetilasi dapat berlangsung cepat karena derajat deasetilasi kitosan meningkat (Reece & Mitchell, 2003). Sementara itu, proses pengeringan dengan oven bertujuan untuk mengurangi kadar air pada kitosan sehingga dapat memperpanjang umur simpan (Rogers, 1986).

Menurut jurnal yang ditulis Shoer (2010), kitosan memiliki derajat deasetilasi yang berkisar antara 56- 99% bergantung pada spesies crustaceans yang digunakan dan metode preparasi.derajat deasetilasi dari kitosan ini dapat ditentukan dengan uji minhidrin, titrasi, infrared spectroscopy, hidrolisis asam, dan lain-lain. Secara keseluruhan metode yang sering digunakan adalah teknik analisa kolorimetri karena lebih cepat, mudah, tidak mahal, aman terhadap lingkungan, dan bisa digunakan dengan peralatan diluar laboratorium. Derajat deasetilasi juga dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH dan suhu yang digunakan selama proses. Apabila semakin tinggi konsentrasi NaOH dan suhu yang digunakan juga tinggi, maka derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan akan semakin tinggi dan nilai rendemen yang dihasilkan juga akan semakin rendah (Supitjah , 2004).

Hasil praktikum yang diperoleh menunjukkan bahwa rendemen kitosan tertinggi dihasilkan oleh kelompok A4 yang menggunakan NaOH 50% yakni sebesar 14,95%, sedangkan rendemen kitosan terendah dihasilkan oleh kelompok A1 yang menggunakan NaOH 40% yaitu sebesar 10,4%. Hasil ini bertentangan dengan teori yang ada karena seharusnya konsentrasi NaOH yang rendah akan menghasilkan rendemen kitosan yang tinggi karena derajat deasetilasinya rendah, sedangkan konsentrasi NaOH yang tinggi akan menghasilkan rendemen yang rendah karena derajat deasetilasinya tinggi (Mekawati et al., 2000). Menurut Cheba (2011), kitin dan kitosan serta senyawa-senyawa turunannya dapat digunakan sebagai pengawet makanan, antioksidan, emulsifier, pengental, stabilizer, cryoprotectant, penjernih, viscosifier, gelling agent, penguat flavor, pakan ternak dan bahan tambahan untuk makanan ikan. Dalam aplikasinya sebagai pengawet makanan, maka sebaiknya, kitin dan kitosan yang digunakan adalah yang memiliki derajat deasetilasi tinggi, dan viskositas rendah, sebaliknya jika kitin dan kitosan digunakan sebagai agen pengemulsi maka digunakan yang derajat deasetilasi rendah untuk menjaga kestablian emulsi dan viskositasnya tinggi (Aranaz et al., 2009). Menurut Shahidi & Botta (1994), kitin juga dapat digunakan dalam modifikasi tekstur makanan, pelaisan buah dan biji, penghambat oksidasi dan enzyme support. Sementara itu, kitosan biasanya dimanfaatkan sebagai pengawet hasil perikanan dan penstabil warna produk pangan, flokulan dan membantu proses reverse osmosis dalam penjernihan air. Kitin dan kitosan juga dapat digunakan sebagai antioksidan yang aman ditambahkan ke dalam makanan dan dapat digunakan sebagai inhibitor efektif untuk bakteri dan jamur (Shahidi, et al., 1999).

15

2. 14

6. KESIMPULAN

Kitin memiliki struktur linear 2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa pada ikatan (1-4). Kitin berbentuk serpihan berwarna putih kekuningan dan larut asam kuat pekat, sulit larut dalam air, larutan basa, larutan asam encer dan pelarut organik. Kitin diekstrak dari limbah crustaceans dalam 3 tahap yaitu pemisahan mineral (demineralisasi), protein (deproteinasi), dan deasetilasi. Proses demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral, khususnya kalsium, dari limbah udang. Proses deasetilasi kitin akan menghasilkan kitosan. Kitosan merupakan senyawa biopolimer berbentuk linier yang tersusun atas monomer-monomer N-asetil-D-glukosamin dalam ikatan -(1-4). Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kontaminan baik fisik maupun biologi. Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka akan menghasilkan rendemen kitin yang semakin banyak. Rendemen kitin dari proses deproteinasi lebih sedikit daripada rendemen dari proses demineralisasi karena pada banyak protein dengan berat molekul besar yang sudah hilang. Konsentrasi NaOH yang rendah akan menghasilkan rendemen kitosan yang tinggi karena derajat deasetilasinya rendah dan sebaliknya. Kitin dan kitosan digunakan sebagai pengawet makanan, emulsifier, pengental, stabilizer, cryoprotectant, penjernih, viscosifier, gelling agent, dan penguat flavor. Kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai antioksidan yang aman ditambahkan ke dalam makanan dan dapat digunakan sebagai inhibitor efektif untuk bakteri dan jamur.

Semarang, 23 September 2015 Praktikan,Asisten Dosen,

Regina Septie N.13.70.0074 Tjan, Ivana Chandra

7. DAFTAR PUSTAKA

Aranaz, I., Mengibar, M., Harris, R., Panos, I., Miralles, B., Acosta, N., Galed, G., & Heras, A. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Current Chemical Biology Vol. 3, p. 203-230. Spanyol

Austin, P.R., Brine, C.J., Castle, J.E. & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New facets of research. Science, 212(4496), p. 749 753.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradationb and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

Cheba, B.A. (2011). Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with Unique Properties and Versatile Applications. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry 6 (3): 149-153. University of Sciences and Technology, Algeria.Fahmi, Rizal. (1997). Isolasi dan Transformasi Kitin Menjadi Kitosan. Jurnal Kimia Andalas. ISSN : 0853-8018. Volume 3, Nomor 1, p. 61-68.

Hargono, S & Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Kitosan. Universitas Indonesia, Jakarta.

Johnson, A.H. & M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II.

Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.

Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin Deacetylation by Enzymatic Means.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000). Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal. Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.

Muzzarelli and M.G. Peter. (1997). Chitin Handbook. European Chitin Society. Italy.

Prasetiyo, K.W. (2006). Pengolahan Limbah Cangkang Udang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 90.

Reece, C. dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books Cole Publishing Company. California. Science Published Ltd., England.

Shahidi F, Arachchi JKV, and Jeon Y-J. (1999). Food Applications of Chitin and Chitosans. Trends in Food Science and Technology 10 : 37- Slepecky, R. A. and H. E. Hemphill. 1991. The genus Bacillius-nonmedical the prokaryotes. In Balows, A. (ed). The Procaryotes, 2nd. Edn., Chapter 76, pp. 1663-1696. Springer Verlag. NY.

Shahidi, F. and J. R. Botta. 1994. Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Blackie Academics & Profesional. London

Shoer, M.A. (2010). A Simple Colorimetric Method for the Evaluation of Chitosan. American Journal of Analytical Chemistry. Vol 2: 91-94. Universitas Alexandria, Mesir.

Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualistas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1.

Tang, Z.X., Shi L, Qian J. (2007). Neutral Lipase from Aqueous Solutions on Chitosan nano particles. Journal Biochemical Engineering 34: 217-223.

Trung, T.S. & Bao, N.D. (2015). Physicochemical Properties and Antioxidant Activity of Chitin and Chitosan Prepared from Pacific White Shrimp Waste. International Journal of Carbohydrate Chemistry. Vietnam.

Viarsagh, M.S., Janmaleki, M., Falahatpisheh, H.R., Masoumi, J. (2010). Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation. Journal of Paramedical Sciences. Vol. 1, No. 2. Universitas of Medical Sciences, Iran.

6. LAMPIRAN

6.1. PerhitunganRendemen Chitin I= Rendemen Chitin II= Rendemen Chitosan =

Kelompok A1Rendemen Chitin I= = 30,00 %Rendemen Chitin II= = 20,00 %Rendemen Chitosan = = 10,40 %

Kelompok A2Rendemen Chitin I= = 45,00 %Rendemen Chitin II= = 26,67 %Rendemen Chitosan = = 13,07 %

Kelompok A3Rendemen Chitin I= = 35,00 %Rendemen Chitin II= = 22,22 %Rendemen Chitosan = = 12,32 %

Kelompok A4 Rendemen Chitin I= = 20,00 %Rendemen Chitin II= = 28,57 %Rendemen Chitosan = = 14,95 %

Kelompok A5Rendemen Chitin I= = 30,00 %Rendemen Chitin II= = 25,00 %Rendemen Chitosan = = 12,40 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal