kitin kitosan_alan wijaya_13.70.0101_c4_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Praktikum Teknologi Hasil Laut bab Kitin dan Kitosan dilakukan pada tanggal 28 September 2015 di Lab Rekayasa Pangan Unika Seogijapranata pada pukul 15.00 WIB. Praktikum ini didampingi oleh Asisten Dosen Tjan, Ivana Chandra. Praktikum diawali dengan kuis kemudian Asisten Dosen menjelaskan jalannya praktikum. Praktikum meliputi pembuatan kitosan dengan proses demineralisasi dan deproteinasi untuk menghilangkan mineral dan protein pada limbah yang digunakan yakni limbah udang.TRANSCRIPT
Acara I
KITIN DAN KITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun Oleh:
Nama : Alan Wijaya
NIM : 13.70.00101
Kelompok : C4
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1
1. MATERI DAN METODE
1.1.Materi
1.1.1. Alat
Pada praktikum ini digunakan alat antara lain oven, blender, ayakan, peralatan gelas dan
kain saring.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini yakni adalah limbah udang, HCl 0,75 N ; 1
N, NaOH 3,5 %, NaOH 40 %, 50 % dan 60 %.
1.2.Metode
1.2.1. Demineralisasi
Metode demineralisasi dapat dilihat pada diagram alir dibawah ini
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan
HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air
panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan
ayakan 40-60 mesh.
2
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan
pengadukan.
3
1.2.2. Deproteinasi
Metode deproteinasi dapat dilihat pada diagram alir dibawah ini
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
4
1.2.3. Deasetilasi
Metode deasetilasi dapat dilihat pada diagram alir dibawah ini
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,
NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok Perlakuan Rendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
C1 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 23,45 30,00 27,43
C2 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 37,82 44,00 27,38
C3 HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5% 41,67 54,55 32,16
C4 HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5% 40,00 58,30 24,30
C5 HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5% 21,19 40,32 11,25
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa kelompok C1 dan C2 diberi perlakuan
penambahan HCl 0,75 N, NaOH 40% dan NaOH 3,5 %. Kelompok C2 dan C4 dengan
penambahan HCl 1 N, NaOH 50% dan NaOH 3,5%. Lalu kelompok C5 dengan
penambahan HCl 1,25 N, NaOH 60% dan NaOH 3,5%. Pada rendemen kitin I paling
besar didapatkan oleh kelompok C3 dengan hasil rendemen kitin I sebesar 41,67 % dan
paling kecil oleh kelompok C5 sebesar 21,19 %. Sedangkan untuk rendemen kitin II,
nilai terbesar didapatkan oleh kelompok C4 dengan nilai 58,30 % dan terkecil sebesar
30 % yang didapatkan oleh kelompok C1. Kemudian untuk nilai rendemen kitosan
didapatkan nilai paling besar untuk kelompok C3 sebesar 32,16% dan nilai terkecil
didapatkan oleh kelompok C5 sebesar 11,25 %.
6
3. PEMBAHASAN
Pada Praktikum ini digunakan bahan yakni limbah dari udang yakni berupa kulit udang
yang telah dikeringkan dan dihaluskan sebagai bahan utama. Menurut Suhardi (1992),
kandungan yang terdapat pada kulit udang meliputi kitin sebanyak 15 % hingga 20 %,
protein sebanyak 25 % hingga 40 % serta kalsium karbonat sebanyak 45 hingga 50 %.
Kitin merupakan polisakarida yang tersusun atas unit N-asetil-D-glukosamin yang
terhubung pada ikatan β (1, 4) (Krishnaveni & Ragunathan, 2015). Wang et al. (2010)
menambahkan bahwa kitin memiliki karakteristik yakni warnanya yang putih serta
memiliki tekstur yang keras dan inelastik serta mengandung nitrogen. Sumber kitin
sendiri berasal dari cangkang crustasea seperti udang dan kepiting.
Gambar 1. Struktur kimia kitin (Dutta et al., 2004)
Sedangkan kitosan merupakan produk biopolymer dimana dapat diperoleh dari
deasetilasi kitin. Kitosan tersusun atas ikatan disakarida (1-4)-2-amino-2-deoksi-2--D-
glukosa yang saling berikatan beta (Rumengan et al., 2014). Karakteristik dari kitosan
sendiri yakni bersifat biodegradable atau mudah terurai sehingga banyak digunakan
dalam skala industri. Pada pembuatan kitosan sendiri dilakukan penghilangan mineral
dan protein melalui proses demineralisasi dan deproteinasi dengan menggunakan
larutan asam dan basa. Kitosan kemudian dibentuk melalui proses deasetilasi dimana
larutan basa digunakan selama proses pemanasan (Tolamite et al., 2000).
Pada praktikum yang dilakukan, terdapat tiga tahapan utama yang terdiri dari
demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi dimana proses demineralisasi merupakan
proses untuk penghilangan dari mineral pada bahan yang digunakan. Selain untuk
menghilangkan mineral, proses ini juga bertujuan untuk melarutkan kalsium karbonat
7
utama dengan cara penambahan larutan seperti HCl, HNO3, H2SO4, CH3COOH dan
HCOOH. Dengan penambahan asam diatas, proses demineralisasi dapat dilakukan
dengan lebih mudah dikarenakan keterlibatan kalsium karbonat yang mudah larut dalam
air ketika dilakukan proses pencucian. Reaksi yang terjadi selama proses demineralisasi
yakni : 2 HCl + CaCO3 CaCl2 + H2O + CO2 (Younes & Rinaudo, 2015).
Kemudian pada proses deproteinasi, merupakan proses pemisahan protein yang masih
terdapat pada kitin yang digunakan. Untuk melarutkan protein yang terkandung
digunakan bahan kimia depolimerisasi seperti NaOH, Na2CO3, KOH, K2CO3, Ca(OH)2,
Na2SO3, NaHSO3, CaHSO3, Na3PO4 dan Na2S. Sedangkan proses deasetilasi
merupakan proses pembuatan kitosan dari kitin yang telah melalui proses penghilangan
mineral dan protein (Younes & Rinaudo, 2015).
3.1.Demineralisasi
Pada pembuatan kitin dan kitosan, bahan yang digunakan yakni limbah kulit udang
disiapkan terlebih dahulu. Kulit udang kemudian dicuci dan dikeringkan. Pencucian
yang dilakukan pada tahap persiapan adalah untuk membersihkan kotoran yang terdapat
pada kulit udang yang akan digunakan. Sehingga cemaran pada kulit udang dapat
dihilangkan. Setelah dikeringkan kulit udang dihaluskan hingga menjadi tepung. Setelah
tepung siap, proses dilanjutkan pada tahap demineralisasi dimana pada prosesnya
ditambahkan larutan asam (Mizani, 2007). Pada tahap demineralisasi, mula – mula
limbah udang diambil sebanyak 10 gram dan ditambahkan larutan HCl dengan
perbandingan tepung : larutan HCl yakni 1 : 10. Pada kelompok C1 dan C2, tepung
ditambahkan larutan HCl 0,75 N, pada kelompok C3 dan C4 ditambahkan HCl 1 N dan
kelompok C5 ditambahkan HCl 1,25 N. Penambahan HCl pada tepung bertujuan untuk
melarutkan kandungan mineral yang terdapat pada kulit udang. Menurut Austin (1981),
mineral CaCO3 yang terdapat pada kulit udang akan lebih mudah dihilangkan dengan
menggunakan asam klorida, namun penambahan asam klorida tersebut memiliki
kekurangan dimana depolimerisasi pada kitin yang digunakan. Reaksi yang terjadi
antara garam organik dengan HCl yakni sebagai berikut :
CaCO3 (s) + 2 HCl (l) CaCl2 (s) + H2O (l) + CO2 (g)
8
Ca3(PO4)2 (s) + 4 HCl (l) 2 CaCl2 (s) + Ca(H2PO4)2 (l)
Selanjutnya, larutan dipanaskan dengan menggunakan hot plate hingga mencapai suhu
90oC. Setelah suhu tercapai, larutan kemudian diaduk selama 1 jam dengan
mempertahankan suhu pada kisaran 90oC. Tujuan dari pengadukan sendiri adalah untuk
menghomogenkan larutan sehingga pemanasan pada larutan dapat terjadi secara merata.
Selain itu pengadukan juga berfungsi agar kontak HCl dengan mineral – mineral dapat
berlangsung secara optimal. Sehingga proses penghilangan mineral pun dapat berjalan
maksimal (Austin, 1981). Setelah itu, larutan disaring dengan menggunakan kain saring
dan dicuci dengan menggunakan air hingga didapatkan pH netral. Pengujian pH
dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus dimana saat kertas lakmus berwarna
hijau muda maka pH telah mencapai 7 (netral). Menurut Austin (1981), tujuan dari
pencucian sendiri adalah agar mineral yang masih terdapat dalam kulit udang dapat
terlarut terbawa air. Selain itu pula pencucian dapat mencegah adanya degradasi pada
produk pada saat dikeringkan. Setelah itu residu ditimbang (berat basah rendemen I)
dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 80oC selama 24 jam.
3.2.Deproteinasi
Setelah dikeringkan selama 24 jam, sampel yang telah kering diambil dan ditimbang
sehingga didapatkan berat kering rendemen I. Selanjutnya, NaOH 3,5% ditambahkan
pada sampel dengan perbandingan sampel berbanding NaOH yakni 1 : 6. Penambahan
NaOH dilakukan untuk menghilangkan protein yang terdapat pada limbah kulit udang.
Menurut Hagono dan Haryani (2004), deproteinasi dilakukan untuk menguraikan ikatan
protein dengan kitin dikarenakan kandungan protein yang masih cukup tinggi pada
limbah kulit udang yakni sekitar 30%. Kemudian, sampel dipanaskan hingga mencapai
suhu 70oC. Setelah suhu mencapai 70
oC, sampel kemudian diaduk kembali selama 1
jam dengan kisaran suhu kurang lebih 70oC. Setelah itu larutan didinginkan di dicuci
dengan menggunakan air hingga pH menjadi netral (pH 7). Hal ini dilakukan agar
kandungan senyawa NaOH dapat bekerja secara optimal dalam mengurangi kandungan
protein pada tepung kulit udang. Setelah pH netral, residu kemudian ditimbang dan
dimasukkan ke dalam oven untuk dipanaskan dengan suhu 80oC selama 24 jam.
9
Menurut Supitjah (2004), NaOH dianggap paling efektif dalam menghidrolisis gugus
asetil pada kitin dikarenakan senyawa tersebut bersifat alkali. Pemisahan protein yang
terikat pada kitin lebih susah dipisahkan dibandingkan dengan mineral. Namun dengan
semakin tinggi penggunaan konsentrasi NaOH yang digunakan serta suhu yang
digunakan selama pemanasan akan mengoptimalkan proses pemisahan kitin dari gugus
protein. Namun penggunaan konsentrasi NaOH yang terlalu tinggi akan menyebabkan
terjadinya degradasi pada struktur protein secara berlebihan. Sedangkan bila konsentrasi
NaOH semakin sedikit maka proses reduksi gugus protein tidak dapat berjalan secara
maksimal.
3.3.Deasetilasi
Setelah dikeringkan selama 24 jam kembali, sampel kitin ditimbang lagi sehingga
didapatkan berat rendemen kering II. Selanjutnya dilakukan proses deasetilasi kitin
sehingga didapatkan hasil akhir berupa kitosan. Sampel kitin yang telah dikeringkan
kemudian ditambahkan NaOH yakni dengan perbandingan NaOH : sampel sebesar 20 :
1. Untuk kelompok C1 dan C2, digunakan NaOH konsentrasi 40 %. Pada kelompok C3
dan C4 ditambahkan NaOH konsentrasi 50 % dan kelompok C5 menggunakan NaOH
konsentrasi 60 %. Setelah itu larutan dipanaskan hingga suhu 90oC lalu kemudian
diaduk selama 1 jam dengan kisaran suhu larutan ± 90oC. Selanjutnya larutan
didinginkan dan disaring menggunakan kain saring. Residu yang dihasilkan kemudian
dicuci dengan menggunakan air mengalir hingga pH netral (±7). Setelah didapatkan pH
netral, residu diperas dan ditimbang sehingga didapatkan rendemen berat basah III.
Sampel kitosan kemudian dioven selama 24 jam dengan menggunakan suhu 70oC.
Setelah 24 jam kitosan ditimbang sehingga didapatkan berat rendemen kitosan kering.
Menurut Ramadhan et al. (2010), proses deasetilasi bertujuan untuk merubah kitin
menjadi kitosan dimana terdapat gugus asetil yang hilang pada kitin lalu menjadi gugus
amina yang ada pada kitosan. Kualitas kitosan sendiri ditentukan oleh persentase gugus
asetil yang hilang baik pada rendemen kitin maupun pada rendemen kitosan. Untuk
mengetahui kualitas kitosan yang dihasilkan digunakan rumus perhitungan sebagai
berikut :
10
Rendemen Kitin I = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝐼
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝐼 x 100 %
Rendemen Kitin II = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝐼𝐼
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝐼𝐼 x 100 %
Rendemen Kitosan = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑖𝑡𝑜𝑠𝑎𝑛
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝐼𝐼𝐼 x 100 %
Pada hasil pengamatan dapat dilihat bahwa perlakuan yang dilakukan oleh kelompok
C1 dan C2 sama yakni dengan penambahan HCl 0,75 N pada proses demineralisasi,
penambahan NaOH 3,5% pada proses deproteinasi dan penambahan NaOH 40% pada
proses deasetilasi. Kemudian pada perlakuan kelompok C3 dan C4 dengan penambahan
HCl 1 N pada proses demineralisasi, penambahan NaOH 3,5% pada proses deproteinasi
dan penambahan NaOH 50% pada proses deasetilasi. Sedangkan pada kelompok C5,
perlakuan yang digunakan yakni dengan menambahkan HCl 1,25 N pada proses
demineralisasi, NaOH 3,5% pada proses deproteinasi dan NaOH 40% pada deasetilasi.
Persentase Rendemen kitin I menunjukkan bahwa hasil kelompok C1 dan C5 yakni
sebesar 23,45 dan 21,19 berbeda jauh dengan range hasil kelompok C2, C3 dan C4
dengan rata – rata sebesar 39,83%. Sedangkan untuk hasil rendemen kitin II, kelompok
C4 dengan persentase sebesar 58,3% dan uuntuk rendemen kitosan, didapatkan hasil
paling besar oleh kelompok C2 sebesar 37,38%. Menurut Supitjah (2004), semakin
tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka akan semakin banyak pula mineral yang
akan larut. Hal ini akan mengurangi kadar mineral pada limbah udang yang digunakan.
Pada penggunaan HCl kelompok C5 digunakan konsentrasi yang paling besar dan
mendapatkan hasil rendemen yang paling kecil. Hal ini telah sesuai teori, akan tetapi
pada kelompok C1 dengan penggunaan HCl 0,75 N juga mendapatkan hasil yang
hampir sama dengan penggunaan HCl kelompok C5. Selain itu hasil yang didapatkan
oleh kelompok C1 dan C5 jauh dari range kelompok C2, C3 dan C4 sehingga walaupun
hasil rendemen kitin kelompok C5 telah sesuai namun hasilnya masih diragukan. Hal ini
dapat dikarenakan selama pengadukan suhu yang digunakan mungkin tidak stabil
(tidak pada kisaran 90oC). Selain itu pula dapat diakibatkan karena pada proses
pencucian, mineral yang harusnya terlarut pada kelompok C2, C3 dan C4 masih tidak
11
terlarut secara sempurna sehingga hasil dari rendemen yang didapatkan masih terlalu
tinggi (Austin, 1981).
Kemudian pada hasil kitosan yang didapatkan, tiap kelompok mengalami penurunan
rendemen kitin (III). Hal ini menurut Hong et al. (1989) mengatakan penambahan
konsentrasi NaOH yang semakin besar akan menyebabkan penurunan rendemen yang
semakin besar pula. Hal ini telah sesuai dengan hasil praktikum dimana rendemen
kitosan kelompok C5 mengalami penurunan yang drastis karena penggunaan NaOH
yang paling besar. Hal ini dikarenakan penggunaan NaOH dengan konsentrasi lebih
tinggi akan mengakibatkan depolimerisasi rantai molekul kitosan dimana berat
molekulnya akan mengalami penurunan. Namun Hong et al. (1989) juga menambahkan
bahwa penimbangan yang tidak akurat dapat menyebabkan kesalahan pada praktikum.
Kadar air yang seharusnya keluar saat pemerasan tidak keluar secara maksimal dan
tertinggal pada kitosan yang dihasilkan. Hal ini akan mempengaruhi berat saat proses
penimbangan.
Hasil akhir dari praktikum ini yakni didapatkannya kitosan dimana kitosan dalam
aplikasinya banyak digunakan dalam industri besar seperti farmasi, biokimia,
bioteknologi, kosmetik, biomedical, industri kertas, makanan bahkan tekstil dan lain –
lain. Dalam bidang pangan, kitosan banya digunakan karena sifatnya sebagai pencegah
mikroorganisme, pemurnian air, de – acidification dari jus jeruk dikarenakan kitosan
dapat mengurangi limbah dari hasil laut seperti kerang dan juga udang maupun kepiting
(Hossain & Iqbal, 2014). Sedangkan ditambahkan oleh Khorrami et al. (2012),
penggunaan kitin dalam bidang pertanian juga memiliki peranan yang baik dikarenakan
dapat diaplikasikan sebagai mekanisme pertahanan tanaman, sebagai pembungkus biji
dan sebagai penyubur tanaman.
12
4. KESIMPULAN
Kitin memiliki karakteristik yakni warnanya yang putih serta memiliki tekstur yang
keras dan inelastik serta mengandung nitrogen.
Sumber kitin berasal dari cangkang crustasea seperti udang dan kepiting.
Kitosan bersifat biodegradable atau mudah terurai sehingga banyak digunakan
dalam skala industri.
Penambahan HCl pada tepung bertujuan untuk melarutkan kandungan mineral yang
terdapat pada kulit udang.
Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka akan semakin banyak pula
mineral yang akan larut.
Deproteinasi dilakukan untuk menguraikan ikatan protein dengan kitin dikarenakan
kandungan protein yang masih cukup tinggi
Deasetilasi bertujuan untuk merubah kitin menjadi kitosan dimana terdapat gugus
asetil yang hilang pada kitin lalu menjadi gugus amina yang ada pada kitosan.
NaOH dianggap paling efektif dalam menghidrolisis gugus asetil pada kitin
dikarenakan senyawa tersebut bersifat alkali.
Kualitas kitosan sendiri ditentukan oleh persentase gugus asetil yang hilang baik
pada rendemen kitin maupun pada rendemen kitosan.
Penambahan konsentrasi NaOH yang semakin besar akan menyebabkan penurunan
rendemen yang semakin besar pula.
Penggunaan konsentrasi NaOH yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya
degradasi pada struktur protein secara berlebihan.
Semarang, 22 Oktober 2015
Praktikan Asisten Dosen
- Tjan, Ivana Chandra
Alan Wijaya
(13.70.0101)
13
5. DAFTAR PUSTAKA
Austin, P.R., Brine, C.J., Castle, J.E. & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New facets of
research. Science, 212(4496), 749–753.
B. Krishnaveni, R.Ragunathan. 2015. Extraction and Characterization of Chitin and
Chitosan from F.solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposites and
Study of their Productive Application. Journal of Pharmaceutical Science and
Research Vol 7(4), 197 – 205.
Hargono, S., Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses
Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin
from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
I.F.M. Rumengan, E. Suryanto, R. Modaso, S. Wullur, T.E. Tallei and D. Limbong.
2014. Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the Biomass
of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis. International Journal of
Fisheries and Aquatic Sciences 3(1): 12-18, 2014.
Islem Younes , Marguerite Rinaudo. 2015. Chitin and Chitosan Preparation from
Marine Sources Structure, Properties and Applications. Mar. Drugs 2015, 13,
1133-1174.
M. Khorrami,a G. D. Najafpour, a, H. Younesi,b and M. N. Hosseinpoura. 2012.
Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of
Lactobacillus plantarum. Chem. Biochem. Eng. Q. 26 (3) 217–223 (2012)
M. S. Hossain and A. Iqbal. 2014. Production and characterization of chitosan from
shrimp waste. J. Bangladesh Agril. Univ. 12(1): 153–160, 2014
Mizani, A.Maryam dan B.Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for
Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceedings of European
Congress of Chemical Engineering (ECCE-6) Copenhagen, 16-20 September
2007.
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S.
Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia
Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Suhardi, 1992, Buku monograf khitin dan khitosan, PAU UGM, Yogyakarta.
14
Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses
Produksi.Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1.
Tolaimatea, A.; Desbrieresb, J.; Rhazia, M., dan Alaguic, A., 2003, Contribution to the
preparation of chitins and chitosans with controlled physico-chemical
properties,Polym. J., 44, 7939–7952.
.
15
6. LAMPIRAN
6.1.Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ𝐼× 100%
Rendemen Chitin II = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑖𝑡𝑖𝑛
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝐼𝐼× 100%
Rendemen Chitosan = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑖𝑡𝑜𝑠𝑎𝑛
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝐼𝐼𝐼× 100%
Kelompok C1
Rendemen Chitin I = 3,5
14,5× 100%
= 23,45 %
Rendemen Chitin II = 1,5
5,0× 100%
= 30,00 %
Rendemen Chitosan = 0,96
3,5× 100%
= 27,43 %
Kelompok C2
Rendemen Chitin I = 4,5
11,9× 100%
= 37,82 %
Rendemen Chitin II = 2,2
5× 100%
= 44 %
Rendemen Chitosan = 1,57
4,2× 100%
= 27,38 %
Kelompok C3
Rendemen Chitin I = 4,5
10,8× 100%
= 41,67 %
Rendemen Chitin II = 3
5,5× 100%
= 54,55 %
16
Rendemen Chitosan = 1,19
3,7× 100%
= 32,16 %
Kelompok C4
Rendemen Chitin I = 4
10× 100%
=40,00 %
Rendemen Chitin II = 3,5
6× 100%
= 58,3 %
Rendemen Chitosan = 1,41
5,8× 100%
= 24,30 %
Kelompok C5
Rendemen Chitin I = 2,5
11,8× 100%
= 21,19 %
Rendemen Chitin II = 2,5
6,2× 100%
= 40,32 %
Rendemen Chitosan = 0,18
1,6× 100%
= 11,25 %
6.2.Laporan Sementara
6.3.Diagram Alir
6.4.Jurnal
6.5.Viper
17