kisah pedih itu terulang kembali; apalah arti devisa jika nyawa taruhannya?

Upload: najmu-laila-sopian

Post on 09-Apr-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/8/2019 Kisah Pedih Itu Terulang Kembali; Apalah Arti Devisa Jika Nyawa Taruhannya?

    1/3

    Najmu Laila - FHUI 2010

    KISAH PEDIH ITU TERULANG KEMBALI:

    APALAH ARTI DEVISA JIKA NYAWA TARUHANNYA?

    oleh Najmu Laila1

    Kisah pedih mengenai nasib para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja diluar negeri nampaknya tidak (akan) ada habisnya. Penganiayaan terhadap Kikim yang

    berujung kepada kematian dan Sumiati yang digunting mulutnya hanyalah merupakan

    segelintir kisah pedih yang kerap kali menimpa mereka. Fakta bahwa mereka adalah

    pahlawan devisa nampaknya tidak sebanding dengan apa yang harus mereka terima. Hal

    ini lantas mengguratnya tanda tanya besar di benak kita semua, mengapa hal ini selalu

    terjadi?

    Maka inilah cerita tentang mereka. Mereka yang suaranya terlalu lemah untuk

    sekedar bisa didengar. Mereka yang kehadirannya tidak begitu berarti sehingga

    seringkali diabaikan, atau malah dilupakan. Mereka yang tenaganya terlalu rapuh untuk

    terus dapat melawan ketidakberdayaan.

    Indonesia, Negeri Para Buruh?

    Sebuah anekdot yang kerap kali dilontarkan dengan miris adalah, jika negara

    lain mengekspor teknologi, maka Indonesia mengekspor TKI. Memang bukan hal yang

    salah, tetapi ketika hal tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan yang menjamin

    perlindungan hak-hak asasi mereka, maka tidak akan mengagetkan jika berkali-kali kita

    akan berhadapan dengan rangkaian masalah.

    Negara Indonesia lebih dari satu dekade ini telah menjadi negara pemasok

    tenaga kerja terbesar kedua di dunia setelah Filipina. Hingga saat ini, tercatat ada 6 juta

    TKI yang ada di berbagai negara seperti Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hongkong,

    Taiwan, Korea Selatan, Kuwait, dan lain sebagainya (Kompas, 5 Februari 2010). Dari

    angka tersebut, hampir 70 persen diantaranya bekerja di sektor informal, seperti Pekerja

    Rumah Tangga (PRT), buruh konstruksi, perkebunan, dan sopir. Sekitar 72 persen TKI

    tersebut berjenis kelamin perempuan, dan 90 persennya bekerja sebagai pekerja

    rumah tangga (Republika 13 Mei 2005).

    Tingginya angka TKI yan g bekerja di luar negeri tersebut sejatinya merupakan

    imbas dari tidak mencukupinya lapangan pekerjaan di dalam negeri. Lebih dari itu,

    fenomena ini secara gamblang menggambarkan ketidakmampuan Pemerintah dalam

    menunaikan amanat konstitusi untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya.

    Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini, uang TKI sukses menaikkan cadangan

    devisa nasional dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Betapa tidak, TKI merupakan

    penyumbang devisa nasional terbesar kedua setelah sektor minyak dan gas. Berdasarkandata BI dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

    (BNP2TKI), jumlah remittance (uang yang dikirim TKI ke tanah air) meningkat setiap

    tahunnya. Dalam semester pertama tahun ini saja, jumlah remittance sudah mencapai

    3,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 29,7 triliun. Jumlah remittance pada 2005 tercatat

    5,3 miliar dolar AS, 5,6 miliar dolar AS (2006), 6 miliar dolar AS (2007), 6,6 miliar do-

    lar AS (2008) dan 6 miliar dolar AS (2009).

    Melihat besarnya devisa yang disumbangkan oleh para TKI ini, adalah sangat

    wajar adanya apabila Pemerintah memberikan perhatian yang lebih kepada mereka,

    terutama dengan serangkaian kebijakan yang jelas memihak kepada mereka. Namun apa

    1

    Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum UI angkatan 2008. Anggota Lembaga KajianKeilmuan (LK2) FHUI.

    1

  • 8/8/2019 Kisah Pedih Itu Terulang Kembali; Apalah Arti Devisa Jika Nyawa Taruhannya?

    2/3

    Najmu Laila - FHUI 2010

    yang yang terjadi selama ini? Semacam dejavu, rasanya sudah ratusan kali atau bahkan

    ribuan kali berbagai media massa ramai-ramai memberitakan permasalahan TKI, judul

    besarnya sama: kisah pedih para TKI di luar negeri. Menurut Migrant Care, sepanjang

    tahun 2010 ini 5.635 para TKI mengalami penyiksaan, pelecehan seksual, perolehan

    gaji yang tak layak, sampai kerja yang melebihi waktu. (Koran Tempo, 26 November2010).

    Selama ini, sikap Pemerintah bak pemadam kebakaran yang memecahkan

    permasalahan-permasalahan TKI secara kasuistis tanpa menyentuh akar

    permasalahannya. Langkah diplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah pun cenderung

    lembek. Hal ini terbukti dengan selalu gagalnya perundingan pemerintah dengan

    pemerintah Arab Saudi mengenai perlindungan dan perbaikan nasib TKI. Padahal

    berdasarkan statistik, kasus kekerasan TKI terbesar justru berasal dari TKI yang berada

    di Arab Saudi. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap pasal 27 Undang Nomor

    39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, yang

    menyatakan bahwa penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara

    tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan PemerintahIndonesia atau memiliki peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja

    asing. Arab Saudi jelas tidak termasuk ke dalam kriteria negara yang dimaksud.

    Menyikapi hal tersebut, kerap kali Pemerintah berdalih bahwa posisi Indonesia

    selalu menjadi sub-ordinat di mata Arab Saudi karena setiap kali ada upaya pendesakan

    bilateral agreement perlindungan dengan Arab Saudi, setiap kali pula ancaman

    pengurangan kuota haji dari Indonesa dilontarkan oleh otoritas Arab Saudi. Dalih

    tersebut tentu tidak dapat menjadi sebuah pembenaran mengingat justru itulah tugas

    Pemerintah untuk melindungi seluruh warga negara. Kita dapat mencontoh sikap

    Australia yang begitu gigih mengajak Indonesia untuk berunding di dalam kasus Corby

    dan Bali Nine untuk melindungi warga negaranya. Maka saatnya Indonesia berani tegak

    kepala untuk memperjuangkan nasib para TKI di Saudi Arabia.

    Selain itu, tidak adanya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

    (PRT) semakin menegaskan ketidakseriusan Pemerintah dalam menangani

    permasalahan ini. Hal ini menjadi sebuah permasalahan serius karena selama ini para

    PRT tidak mendapatkan perlindungan yang cukup mengingat UU No. 13 Tahun 2003

    tentang Ketenagakerjaan belum mengakomodir kepentingan mereka. Bagaimana kita

    bisa mendesak negara-negara lain untuk melindungi para TKI sementara kita sendiri

    belum memiliki Undang-Undang yang melindungi mereka?

    Di dalam konteks Internasional, perlindungan mengenai buruh migran telah

    diatur di dalam Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Semua Buruh

    Migran dan Anggota Keluarganya (UN Convention on the Protection of the Rights ofAll Migrant Workers and Member of Their Families). Sayangnya, meski telah menjadipeserta dan menandatangani konvensi tersebut sejak September 2004, sampai saat ini

    pemerintah belum juga meratifikasi konvensi tersebut. Keengganan Pemerintah untuk

    melakukan ratifikasi lebih banyak disebabkan karena dari 14 negara tujuan TKI, belum

    ada satu pun negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Jalan pikiran tersebut sedikit

    banyak dapat dimengerti mengingat konvensi tersebut hanya berlaku bagi para pihak

    yang menjadi peserta konvensi. Namun hal tersebut tidak dapat menjadi alasan

    pembenar bagi Pemerintah untuk tidak melakukan ratifikasi terhadap konvensi tersebut.

    Dengan melakukan ratifikasi, posisi tawar Indonesia menjadi lebih kuat di mata negara

    lain karena menunjukkan kesungguhan sikap Indonesia dalam melakukan perlindungan

    terhadap para buruh migran, termasuk TKI.

    2

  • 8/8/2019 Kisah Pedih Itu Terulang Kembali; Apalah Arti Devisa Jika Nyawa Taruhannya?

    3/3

    Najmu Laila - FHUI 2010

    Bukan Sekedar Deretan Angka

    Wacana yang saat ini beredar bahwa Pemerintah akan membagi-bagikan telepon

    seluler kepada seluruh kepada para TKI untuk menjamin keselamatan mereka. Hal

    tersebut sungguh merupakan sebuah tindakan yang dangkal dan menggelikan karenatidak berpijak pada realitas yang terjadi. Hampir seluruh PRT migran yang bekerja di

    Saudi Arabia dilarang untuk memegang telepon seluler. Bahkan adakalanya sejak

    berada di penampungan di Indonesia, akses untuk berkomunikasi sudah mulai dibatasi.

    Tindakan politik yang paling logis untuk dilakukan adalah melakukan high-leveldialogue dengan berkomunikasi langsung dengan raja Saudi Arabia. Sikap seperti inilahyang pernah dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada saat

    memperjuangkan pembatalan eksekusi mati terhadap Siti Zaenab, PRT migran asal

    Bangkalan yang dituduh membunuh majikannya di Saudi Arabia. Saat itu, Presiden Gus

    Dur menelpon langsung Raja Fahd untuk meminta pembatalan hukuman mati dan

    permintaan tersebut akhirnya dikabulkan.

    Nyawa dan nasib para TKI tidak hanya sekedar deretan angka dan serangkaianfoto mengerikan. Mereka adalah manusia, punya nama, punya keluarga, punya

    kehidupan. Sudah seharusnya Pemerintah menegaskan sikap untuk tidak mentoleransi

    segala bentuk kekerasan terhadap TKI sekecil apapun jumlahnya. Hanya dengan sikap

    seperti itulah Pemerintah dapat menjalankan tugasnya untuk memberikan jaminan

    pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia kepada setiap warga negaranya, tanpa

    terkecuali.

    Oleh karena itu, solusinya adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap

    penanganan dan perlindungan TKI. Evaluasi ini meliputi berbagai element pemerintah

    dan masyarakat baik dari segi struktur, substansi hukum, dan budaya masyarakat. Dari

    segi struktur, harus dipertegas tugas pokok, fungsi dan wewenang antara regulator dan

    operator. Harus jelas lembaga yang bertanggung jawab terhadap isu-isu penempatan dan

    perlindungan TKI di luar negeri. Dari segi substansi hukum, sudah saatnya pemerintah

    mensahkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan melakukan

    ratifikasi Konvensi PBB untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggotanya.

    Selain itu, pemerintah juga harus mereformasi sistem pengiriman tenaga kerja legal,

    terutama Undang-Undang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri

    tahun 2004 dan menyelesiakan perjanjian perlindungan TKI dengan negara-negara

    tujuan, terutama Arab Saudi. Langkah-langkah tersebut juga harus dibarengi dengan

    edukasi dan pemahaman yang baik kepada masyarakat agar tidak terjebak ke dalam

    lingkar hitam sindikat perdagangan manusia berkedok penyaluran tenaga kerja ke luar

    negeri. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah diplomasi yang kuat untukmelindungi para TKI dimana pun mereka berada.

    3