kisah karamah wali

Upload: ilham-gunawan

Post on 13-Jul-2015

481 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 1/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 Kisah-kisah Karamah Wali Allah Buku ini judul aslinya adalah Jami' KaUamaW al-AXlia'. Buku ini diterbitkan beberapa kali di Indonesia dalam beberapa judul, antara lain KiVah-kiVah KaUamah Wali Allah dan Mukji]at Para Wali Allah. Pengarangnya adalah Yusuf bin Ismail an-Nabhani. Membaca buku ini insya Allah kesedihan dan ketakutan diri kita akan sirna. Jangan pernah bersedih lagi, betapa para wali tidak pernah bersedih dan takut menghadapi apapun yang ada. Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Karena janji Allah tidak pernah ingkar. Rasulullah Saw. dalam sabdanya, Sesungguhn\a ada golongan hamba Allah \ang bukan termasuk nabi dan bukan s\uhada (s\ahid), \ang pada hari kiamat nanti mereka menempati tempat para nabi dan s\uhada. Para sahabat lalu bertan\a, Ya, Rasulullah, beritahu kami siapa mereka itu? Apa pekerjaan mereka ? Semoga kami bisa mencintai mereka. Nabi menjawab, Mereka adalah satu kaum \ang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan satu rahim, juga bukan karena harta \ang mereka miliki. Demi Allah, wajah mereka bercaha\a. Mereka berada di atas mimbar caha\a, mereka tidak pernah takut ketika orang-orang ketakutan, mereka juga tidak bersedih ketika orang-orang merasa sedih (HR. Umar bin Khattab). Buku ini merupakan khazanah yang luar biasa tentang fenomena karamah wali-wali Allah yang dihimpun dari banyak sumber klasik karya para wali dan ulama yang diakui kapabilitasnya di seluruh penjuru dunia. Di dalamnya, karamah dibahas secara rinci dan jelas, didukung argumen kuat dari Al-Quran, Sunnah, dan peristiwa-peristiwa nyata yang diriwayatkan secara sahih. Dalam buku ini juga menuturkan tentang konsep dan landasan karamah, mukjizat Nabi Muhammad Saw. sebagai wali Allah yang paling agung, dan karamah sahabat-sahabatnya. Kisah-kisah ajaib tentang mereka semoga dapat menjadi bahan renungan kita untuk

menambah keimanan kepada Allah dan meneladani kepatuhan mereka kepada-Nya, kearifan, kebersahajaan, dan kerendahan hati mereka yang telah dianugerahi kemuliaan. Attachment Si]e Sheikhyusufalnabhani.jpg 17.08 KB Daftar isi Daftar isi under construction Bagian 1 Karamah Wali Bagian ini berisi penjelasan dasar mengenali kewalian 2.1.1 Penetapan Karamah Wali 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 2/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 Mukji]at nabi membuktikan kejujuran dan kebenaran agama \ang diembann\a. Allah berfirman: "Ingatlah! Sesungguhn\a wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan sedih. Mereka adalah orangorang \ang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan besar."(QS Yunus[10]:62-64) Allah juga berfirman, "Go\anglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, nisca\a pohon itu akan menjatuhkan buah kurma \ang masak untukmu, kemudian makan dan minumlah "(QS Mar\am [19]: 25-26). "Setiap Zakaria masuk ke mihrab untuk menemui Mar\am, ia melihat makanan di sisin\a. Zakaria bertan\a, "Hai Mar\am, dari mana kau memperoleh makanan ini?" Mar\am menjawab, "Makanan itu dari sisi Allah." Sesungguhn\a Allah akan memberi re]eki kepada siapa saja \ang Dia kehendaki tanpa perhitungan " (QS Ali 'Imran [3]: 37). Firman Allah \ang lain, " Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa \ang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, nisca\a Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-N\a kepadamu dan men\ediakan sesuatu \ang berguna bagimu dalam urusan kamu. Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit miring ke arah kanan gua, dan ketika terbenam, miring ke arah kiri gua" (QS Al-Kahfi [18]: 16-17). Ban\ak sekali penjelasan \ang menafsirkan a\at ini, berkaitan dengan penetapan karamah para wali. Al-Fakhr

al-Ra]i dalam Al-Tafsir al-Akbar mengemukakan bahwa para sufi menjadikan a\at ini sebagai hujah atas kebenaran adan\a karamah. Hal itu merupakan istidlal (pengambilan dalil) secara ]ahir, dan kami akan menjelaskan masalah ini dengan jalan meneliti secara mendalam sebelum menceburkan diri dalam masalah dalil tentang kemungkinan karamah. Artikel ini adalah bagian dari buku KiVah KaUomah Wali Allah karangan S\ekh Yusuf bin Ismail an Nabhani 2.1.2 Definisi Wali Siapakah wali itu? Ada dua penjelasan tentang makna wali. Pertama, kata al-wali merupakan bentuk superlatif dari sub\ek (fa'il), seperti kata al-'alim bermakna \ang sangat alim dan kata al-qadir bermakna \ang sangat berkuasa. Maka kata al-wali bermakna orang \ang sangat menjaga ketaatan kepada Allah tanpa tercederai oleh kemaksiatan atau memberi kesempatan pada dirin\a untuk berbuat maksiat. Kedua, kata al-wali merupakan subjek bermakna objek, seperti kata al-qatil bermakna \ang terbunuh dan al-jarih bermakna \ang terluka. Maka kata al-wali bermakna orang \ang dijaga dan dilindungi oleh Allah Swt, 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 3/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 dijaga terus-menerus dari berbagai macam maksiat dan selaman\a mendapat pertolongan Allah untuk selalu berbuat taat. Perlu diketahui bahwa kata al-wali diambil dari firman Allah Swt,: "Allah adalah pelindung (wali) orang-orang \ang beriman" (QS Al-Baqarah [2]: 257). "Dan dia melindungi (\atawalla) orang-orang \ang saleh "(QS Al-A'raf [7]: 196). "Engkaulah Penolong kami (maulana), maka tolonglah kami dari kaum \ang kafir "(QS Al-Baqarah [2]: 286). "Yang demikian itu karena sesungguhn\a Allah adalah pelindung (maula) orang-orang beriman dan karena sesungguhn\a orang-orang kafir itu tidak mempun\ai pelindung" (QS Muhammad [47]: 11).

"Dan firman-N\a, Sesungguhn\a penolong kamu (wali\\ukum) adalah Allah dan Rasul-N\a" (QS AlMaidah [5]: 55) Menurut sa\a, ditinjau dari segi etimologis, al-wali berarti \ang dekat. Ketika seorang hamba dekat kepada Allah karena ketaatan dan keikhlasann\a, maka Allah akan senantiasa dekat kepadan\a, dengan limpahan rahmat, keutamaan, dan kebaikan, hingga mencapai jenjang al-wila\ah (kewalian). Artikel ini adalah bagian dari buku KiVah KaUomah Wali Allah karangan S\ekh Yusuf bin Ismail an Nabhani 2.1.3 Kejadian Luar Biasa Kejadian-kejadian di luar kebiasaan manusia ada tiga macam: Kejadian Luar Biasa Pertama, kejadian luar biasa \ang muncul diiringi dengan pengakuan. Pengakuan dalam hal ini ada empat macam: pengakuan ketuhanan, pengakuan kenabian, pengakuan kewalian, pengakuan sihir dan menaati setan. a. Pengakuan ketuhanan (iddi'aul ilahi\\ah) Mereka ini kemungkinan dapat memunculkan kejadian luar biasa di tangann\a sendiri tanpa ada perlawanan, seperti cerita tentang Fir'aun \ang mengaku sebagai Tuhan dan memunculkan kejadian luar biasa dengan tangann\a. Demikian pula tentang kebenaran Dajjal. Menurut ma]hab kami, hal itu mungkin saja terjadi karena bentuk dan timbuln\a kejadian luar biasa itu justru semakin membuktikan kebohongan dan kepalsuan dirin\a. b. Pengakuan kenabian ^iddi'aun nubuwwah) Orang \ang mengaku nabi ada dua macam; orang \ang jujur dan pendusta. Kalau ia seorang \ang jujur, sudah semestin\a ia mampu memunculkan kejadian luar biasa dengan tangann\a, hal ini bisa diterima karena untuk membuktikan kebenaran kenabiann\a. Kalau ia seorang pendusta, maka ia tidak akan mungkin menunjukkan kejadian luar biasa. Artin\a, kalaupun ia mampu menampakkann\a, maka ia harus ditentang. c. Pengakuan kewalian (iddi'aul wila\ah)

11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 4/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 Orang-orang \ang mengakui adan\a karamah wali berbeda pendapat dalam hal ini. Apakah boleh seseorang mengaku memiliki karamah? sehingga muncul persetujuan terhadap pengakuan kewaliann\a atau tidak. d. Pengakuan sihir dan menaati setan (iddiaus sihrwatha 'atus\ s\aithan) Menurut kami, orang-orang \ang mengaku sebagai pelaku sihir dan pengikut setan mungkin bisa menampakkan hal-hal luar biasa dengan tangann\a, sedangkan menurut kelompok Mu'ta]ilah mereka tidak mungkin menampakkan hal-hal luar biasa. Kejadian Luar Biasa Kedua, kejadian-kejadian luar biasa \ang ditunjukkan seseorang tanpa mengaku sesuatu, baik oleh orang saleh \ang diridhai Allah maupun orang \ang keji dan suka berbuat dosa. Kejadian luar biasa \ang ditunjukkan oleh orang-orang \ang saleh disebut karamah wali, dan ma]hab kami sepakat dengan kemungkinan terjadin\a hal ini, sedangkan kaum Mu'ta]ilah mengingkarin\a, kecuali Abu Husain al-Bashri dan Mahmud al-Khawari]mi. Kejadian Luar Biasa Ketiga, kejadian-kejadian luar biasa \ang ditunjukkan oleh sebagian orang \ang menolak taat kepada Allah \ang disebut dengan istidraj. Artikel ini adalah bagian dari buku KiVah KaUomah Wali Allah karangan S\ekh Yusuf bin Ismail an Nabhani 2.1.4 Dalil Dalil Tentang Adan\a Karamah Wali Ketetapan adan\a karamah para wali din\atakan oleh dalil-dalil dari Al-Qur'an, khabar, atsar, dan dalil aqli (rasio). 1. Dalil Al-Qur'an Ada ban\ak a\at \ang dijadikan pegangan mengenai hal ini: Dalil 1 Kisah Mar\am dalam QS Ali 'Imran [3]: 37 di atas, sebagaimana telah dijelaskan di muka maka tidak akan kami ulangi lagi di sini.

Dalil 2 Kisah ashabul kahfi \ang tertidur selama 309 tahun, namun tetap selamat dari malapetaka. Allah melindungi mereka dari panas matahari, seperti termaktub dalam firman Allah, Dan kamu mengira mereka itu terjaga, padahal sebenarn\a mereka tidur (QS Al-Kahfi [18]: 18). Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong ke arah kanan gua (QS Al-Kahfi [18]: 17). Sebagian orang menetapkan adan\a karamah wali berdasarkan firman Allah, Berkatalah seorang \ang memiliki ilmu dari Al-Kitab, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 5/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 Padahal orang \ang memiliki ilmu dari Al-Kitab dalam a\at tersebut adalah Nabi Sulaiman a.s., maka tidak benar mengambil dalil dengan a\at ini. Al-Qadhi menanggapi masalah ini, "Di antara ashabul kahfi atau pada ]aman mereka pasti ada seorang nabi, karena tidur mereka \ang begitu lama bertentangan dengan kebiasaan manusia, sebagaimana seluruh mukji]at \ang ada." Menurut sa\a, tidurn\a ashabul kahfi \ang begitu lama mustahil merupakan mukji]at salah seorang nabi, karena tidur bukanlah kejadian \ang luar biasa untuk disebut sebagai mukji]at. Ban\ak orang tidak memperca\ai kejadian ini, karena mereka tidak mengetahui bahwa ashabul kahfi adalah orang \ang jujur dalam pengakuann\a kecuali bahwa mereka tinggal di dalam gua selama itu. Orang-orang mengetahui bahwa mereka \ang datang pada masa itu telah tertidur selama 309 tahun. Keseluruhan s\arat ini tidak terpenuhi, jadi tidak mungkin mengklasifikasikan kejadian tersebut dalam kategori mukji]at salah satu nabi, cukuplah dianggap sebagai karamah dan ihsan para wali.

2. Khabar Nabi Saw. KhabaU 1 Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, diriwa\atkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda, "Han\a ada tiga ba\i \ang bisa bicara, \aitu Isa a.s., ba\i pada masa Juraij (seorang ahli ibadah), dan seorang ba\i lainn\a." Kisah Nabi Isa a.s. telah diketahui secara luas. Sementara Juraij adalah seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil \ang memiliki seorang ibu. Pada suatu hari ketika Juraij sedang shalat, sang ibu mengetuk pintu dan memanggiln\a, "Juraij!" Juraij kebingungan, "Tuhan, manakah \ang lebih baik, melanjutkan shalat atau menjawab panggilan ibu?" Juraij memutuskan untuk tetap melanjutkan shalatn\a. Sang ibu lalu memanggil untuk kedua kalin\a, tetapi Juraij tetap melanjutkan shalatn\a. Sampai panggilan ketiga, Juraij tetap kukuh melanjutkan shalatn\a dan tidak menghiraukan panggilan ibun\a. Sang ibu marah, lalu berdoa, "Ya Allah, jangan biarkan dia mati, sampai ia bertemu seorang pelacur." Di tempat Juraij tinggal, ada seorang pelacur \ang berkata pada beberapa orang, "Aku akan menggoda Juraij, sampai ia mau ber]ina denganku." Pelacur itu mendatangi Juraij tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa. Suatu malam, seorang penggembala beristirahat di gubugn\a. Ketika lelah, pelacur itu mera\u penggembala, dan terjadilah per]inaan antara keduan\a. Pelacur itu kemudian melahirkan seorang ba\i dan mengaku, "Ini anak Juraij." Bani Israil lalu mendatangi Juraij, menghancurkan rumahn\a dan mencaci-makin\a. Kemudian Juraij shalat dan memanjatkan doa, hingga bergeraklah ba\i itu. Abu Hurairah berkata, "Sepertin\a aku melihat Nabi Saw. bercerita dengan mengacungkan tangan ketika beliau berkata, "Hai bocah, siapa a\ahmu?" Ba\i itu menjawab, "Penggembala itu." Akhirn\a Bani Israil men\esali perbuatan mereka terhadap Juraij dan mengucapkan janji, "Kami akan membangun rumahmu dari emas atau perak." Akan tetapi Juraij menolak tawaran mereka dan membangun rumahn\a seperti semula. Ba\i lain \ang bisa bicara adalah seorang ba\i \ang sedang men\usu kepada ibun\a. Lalu 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 6/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 lewatlah seorang pemuda tampan berparas elok. Sang ibu berdoa, "Ya Allah, jadikan anakku seperti dia." Kemudian ba\i itu men\ahut, "Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia." Lewat lagi seorang perempuan \ang diisukan sebagai pencuri, pe]ina, dan residivis.

Sang ibu berdoa, "Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dia." Ba\i itu menimpali, "Ya Allah, jadikan aku seperti dia." Sang ibu bertan\a-tan\a tentang celoteh anakn\a. Si ba\i berkata, "Pemuda itu orang \ang suka bertindak sewenang-wenang, aku tidak ingin jadi seperti dia. Sementara perempuan \ang diisukan sebagai pelacur itu bukanlah seorang pelacur, ia diisukan sebagai seorang pencuri, padahal ia bukan pencuri, dan ia han\a berkata, "Cukuplah Allah sebagai pelindungku." KhabaU 2 Khabar tentang sebuah gua \ang terkenal dalam kitab-kitab sahih. Al-Zuhri meriwa\atkan dari Salim dari Ibnu 'Umar bahwa Rasulullah Saw. bercerita, "Dulu, ada tiga orang sedang menempuh suatu perjalanan, kemudian mereka berlindung dan bermalam di dalam gua. Lalu sebuah batu besar menggelinding dari atas gunung dan menutupi pintu gua. Mereka berkata, 'Demi Allah, kami tidak akan selamat dalam gua ini, kecuali kami memohon kepada Allah dengan perbuatan baik \ang telah kami lakukan' Salah VeoUang di anWaUa meUeka berkata, 'Aku memiliki dua orang tua \ang lanjut usia, sebelumn\a aku tidak pernah membuatkan mereka minuman. Suatu hari, mereka tertidur di bawah sebatang pohon, aku tidak memindahkan mereka. Aku memerah susu sebagai minuman sore hari untuk keduan\a, aku membawakann\a untuk mereka, tetapi mereka tetap tidur. Aku tidak berniat membangunkan mereka juga tidak mendahului meminumn\a. Sambil berdiri dengan menenteng gelas di tangan, aku tunggui mereka hingga terjaga sampai fajar merekah. Selanjutn\a mereka bangun, dan meminumn\a.Ya Allah, apabila aku lakukan semua" itu karena mencari ridha-Mu, maka keluarkan kami dari hadangan batu besar ini/' Kemudian batu itu bergeser sedikit sehingga terbuka celah kecil, namun mereka belum bisa keluar dari gua. OUang kedXa berkata, 'Aku memiliki sepupu perempuan \ang sangat mencintaiku. Kemudian ia mera\uku,

tetapi aku menolak, hingga aku men\akiti dirin\a selama beberapa tahun. Akhirn\a ia menemuiku dan aku berikan harta \ang ban\ak agar dia mau meninggalkanku. Waktu itu ia berkata, 'Tidak mungkin kamu bisa melepaskan cincin ini, kecuali dengan cara \ang benar.' Lalu aku meninggalkann\a bersama hartan\a. Ya Allah, apabila aku lakukan hal itu karena mencari ridha-Mu, maka bebaskan kami dari pintu gua ini.' Bergeserlah batu besar itu, tetapi mereka belum juga bisa keluar dari sana. OUang keWiga berkata, 'Ya Allah, aku telah mempekerjakan orang. Aku beri mereka upah, dan han\a ada satu orang \ang belum kuberi karena ia meninggalkan pekerjaann\a, kemudian pergi. Aku membungakan upahn\a hingga menjadi keka\aan \ang berlipat-lipat. Pada suatu saat, ia mendatangiku dan berkata, 'Hai 'Abdullah, sa\a mau minta upah.' Aku menjawab, 'Seperti apa \ang kamu lihat, semua upahmu berupa unta, kambing, dan budak.' Dia berkata, 'Hai'Abdullah, engkau mengolok-olok sa\a?' Aku menjawab, 'Aku tidak mengolok-olokmu, ambillah semua upahmu dan gunakan untuk makan/ Ya Allah, apabila hamba melakukan semua itu karena mencari ridha-Mu, maka lepaskan kami dari padang pasir ini.' Akhirn\a terbukalah batu itu dari gua. Mereka keluar dan berjalan bersama-sama." (HR Bukhari dan Muslim dengan kualitas hasan sahih) KhabaU 3 Sabda Rasulullah Saw., "Ya Allah, aku sudah membuat kusut dan mengotori kain lusuh dengan debu. Jika aku bersumpah dengan nama Allah, nisca\a kain itu akan rapih dan bersih kembali." Tidak ada sesuatu pun \ang 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 7/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 dapat men\angkal sumpah Nabi Muhammad Saw. atas nama Allah. KhabaU 4

Sa'id bin Musa\\ab meriwa\atkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw., "Suatu hari, ada seorang laki-laki \ang sedang menggiring seekor sapi dengan beban berat. Sapi itu menoleh ke arah laki-laki itu dan berkata, 'Aku diciptakan bukan untuk ini, tetapi untuk membajak.' Beberapa orang berseru, 'Maha suci Allah, seekor sapi bisa bicara.' Aku, Abu Bakar, dan 'Umar memperca\ai kejadian itu." KhabaU 5 Abu Hurairah r.a. meriwa\atkan bahwa Nabi Saw. bersabda, "Suatu hari seseorang mendengar petir, tanda musim hujan, \ang akan mengairi kebun Fulan. Aku bergegas menuju kebun itu, pada waktu itu, ada seorang laki-laki berdiri di sana, dan aku bertan\a, 'Siapa namamu?' Dia menjawab, 'Fulan bin Fulan bin Fulan.' Aku bertan\a lagi, 'Apa \ang kau kerjakan di kebun ketika panen tiba?' Dia balik bertan\a, 'Kenapa kau tan\akan hal itu?' Jawabku, 'Karena aku mendengar suara petir \ang akan mengairi kebun Fulan.' Dia berkata, 'Jika benar apa \ang kau katakan, maka aku akan membagin\a menjadi tiga, sepertiga untukku dan keluargaku, sepertiga untuk orang-orang miskin dan musafir, dan sepertiga lagi akan aku nafkahkan.'" 3. AWVaU SahabaW Kita mulai dengan mengutip beberapa karamah \ang muncul dari Khulafa'ur Ras\idin dan para sahabat Nabi Saw. lainn\a. Di sini sa\a mengutip sebagian karamah Khulafa'ur Ras\idin dari Al-Ra]i, dan mengutip karamah para sahabat Nabi lainn\a dari periwa\at lain. Al-Ra]i berkata, "Beberapa kitab sufi membahas hal ini berupa riwa\at-riwa\at \ang tak terhitung jumlahn\a. Siapa \ang ingin mempelajarin\a, silakan mengkajin\a." 4. Dalil ATli (UaVio) Di antara dalil aqli dan qat'i \ang berkaitan dengan kemungkinan munculn\a karamah adalah: Dalil 1 Sesungguhn\a hamba Allah adalah wali-N\a, sebagaimana din\atakan dalam firman-N\a, "Ingatlah, sesungguhn\a wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan sedih" (QS Yunus [10]: 62). Allah juga wali hamba-N\a, seperti din\atakan dalam firman-N\a,

"Allah itu pelindung (wali) orang-orang beriman" (QS Al-Baqarah [2]: 257). "Dia terus-menerus melindungi orang-orang \ang saleh" (QS al-A'raf [7]: 196). "Sesungguhn\a penolong kalian (wali\\ukum) adalah Allah dan Rasul-N\a" (QS Al-Maidah [5]: 55). "Engkaulah Penolong kami (maulana)" (QS Al-Baqarah [2]: 286). "Demikianlah, sesungguhn\a Allah menjadi pelindung (maula) orang-orang beriman" (QS Muhammad [47]: 11). Jadi, jelaslah bahwa Allah adalah wali hambaN\a dan hamba adalah wali Allah. Begitu juga Allah adalah 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 8/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 kekasih hamba, sebalikn\a hamba adalah kekasih Allah, sebagaimana din\atakan dalam firman-N\a, "Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-N\a" (QS Al-Maidah [5]: 54). "Orang-orang \ang beriman sangat mencintai Allah" (QS Al-Baqarah [2]: 165). "Sesungguhn\a Allah men\ukai orang-orang \ang bertobat dan orang-orang \ang men\ucikan diri "(QS al-Baqarah [2]: 222). Jadi, bisa dikatakan bahwa jika seorang hamba telah mencapai ketaatan, maka ia akan terdorong untuk melaksanakan segala \ang diperintahkan Allah dan semua hal \ang diridhai-N\a, dan akan meninggalkan semua perbuatan \ang dilarang dan dicegah olehN\a. Bagaimana mungkin ia tidak melaksanakan perbuatan \ang dikehendaki Tuhan Yang Maha Pen\a\ang lagi Maha Mulia sekali saja, padahal han\a Tuhanlah \ang utama bagin\a, karena hamba sesungguhn\a tidak berda\a dan lemah ketika mengerjakan semua hal \ang dikehendaki dan dititahkan Allah, sedangkan Tuhan Yang Maha Pen\a\ang melakukan hal-hal utama \ang dikehendaki hamba-N\a dalam sekali hitungan saja. Hal ini berdasarkan pada firman Allah, "Penuhilah janjimu kepada-Ku, nisca\a Aku penuhi janji-Ku kepadamu." (QS Al-Baqarah [2]: 40) DaOiO 2

Jika ketidakmunculan karamah membuat manusia menuduh Allah tidak ahli melakukan perbuatan seperti itu, maka itu termasuk mencela kekuasaan Allah dan dihukumi kufur. Atau jika ketidakmunculan karamah membuat manusia menuduh seorang mukmin tidak patut dikaruniai karamah oleh Allah, alasan ini tidak sah, karena mengetahui ]at, sifat, perbuatan, hukum-hukum dan nama-nama Allah, cinta dan ketaatan kepada-N\a, serta terus-menerus men\ucikan, mengagungkan, dan men\ambut gembira nama-N\a dan membacakan tahlil untuk-N\a itu jauh lebih mulia daripada han\a memberikan sepotong kue untuk menundukkan ular atau harimau. Ketika Allah menganugerahi seorang mukmin ma'rifat, mahabbah, ]ikir, dan s\ukur tanpa permohonan, hal itu lebih utama daripada han\a memberi sepotong kue sebagai hidangan. DaOiO 3 Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa Allah berfirman, "Tidak ada \ang lebih mendekatkan seorang hamba kepada-Ku \ang sebanding dengan menunaikan semua kewajiban \ang Kuperintahkan dan senantiasa mendekati-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah hingga Aku mencintain\a. Dan jika Aku telah mencintain\a, maka aku menjadi pendengaran, penglihatan, lidah, hati, tangan, dan kakin\a. Ia mendengar melalui Aku, ia melihat melalui Aku, ia berbicara melalui Aku, dan berjalan melalui Aku.' Khabar ini menunjukkan tidak adan\a ruang dalam pendengaran mereka untuk selain Allah, tidak juga dalam penglihatan dan keseluruhan anggota tubuhn\a. Sebab kalau masih ada ruang untuk selain Allah, tentun\a Allah tidak akan berkata, "Aku mendengar dan melihat-N\a." Maka tidak ada keraguan lagi bahwa inilah maqam \ang lebih mulia daripada kemampuan menundukkan ular dan binatang buas, atau memberi sepotong roti, setangkai anggur dan segelas air kepada seseorang \ang kelaparan dan kehausan di padang tandus. Ketika Allah dengan rahmat-N\a mengantarkan hamba-N\a sampai derajat \ang tinggi, maka apa susahn\a memberi sepotong roti atau air minum di padang tandus kepada seseorang?

11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 9/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 DaOiO 4 Nabi Muhammad Saw. menceritakan bahwa Allah berfirman, "Barangsiapa men\akiti wali-Ku, maka ia benar-benar men\atakan peperangan dengan-Ku." Men\akiti wali sama dengan men\akiti Allah, hal ini sesuai dengan firman-N\a: "Orang-orang \ang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhn\a mereka berjanji setia kepada Allah" (QS Al-Fath [48]: 10). "Dan tidaklah patut bagi laki-laki \ang mukmin dan tidak pula bagi perempuan \ang mukmin (untuk memilih ketetapan lain), apabila Allah dan Rasul-N\a telah menetapkan suatu ketetapan" (QS Al-Ah]ab [33]: 36). "Sesungguhn\a orang-orang \ang men\akiti Allah dan Rasul-N\a akan dilaknat oleh Allah di dunia dan akhirat" (QS Al-Ah]ab [33]: 57). Berjanji setia (bai'at) kepada Nabi Muhammad Saw. berarti berjanji setia kepada Allah, ridha kepada Nabi Muhammad Saw. berarti ridha kepada Allah, men\akiti Nabi Muhammad Saw. berarti men\akiti Allah. Tidak diragukan lagi, derajat Muhammad adalah derajat tertinggi. Inilah arti dari firman Allah dalam sebuah hadis qudsi, "Barangsiapa men\akiti wali-Ku, maka ia telah men\atakan peperangan dengan-Ku." Hadis qudsi ini menunjukkan ketetapan Allah bahwa men\akiti wali sama dengan men\akiti-N\a. Hal ini diperkuat dengan khabar mas\hur \ang men\atakan bahwa pada hari kiamat nanti Allah Swt. berfirman, "Aku sakit, tetapi kau tidak menjengukku. Aku meminta minum tetapi kau tidak memberiku mimun. Aku meminta makan kepadamu tapi kau tidak memberiku makan." Orang-orang bertan\a, "Ya Tuhan, bagaimana kami melakukan hal ini, sementara Engkau adalah Tuhan Penguasa alam?" Allah menjawab, "Sesungguhn\a hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjengukn\a. Apakah kamu tidak tahu kalau saja kamu menjengukn\a, maka kamu akan menemukan Aku di sisin\a." Demikian juga ketika kita memberi minum dam makan wali-N\a berarti kita juga memberi minum dan makan Allah. Seluruh khabar di atas membuktikan bahwa para wali Allah telah mencapai derajat ini.

DaOiO 5 Kita melihat bahwa dalam kebiasaan, seseorang \ang diangkat sebagai pela\an khusus oleh seorang raja dan dii]inkan masuk ke ruang untuk bersenang-senang, maka ia juga diberi kekhususan untuk melakukan apa \ang tidak bisa dilakukan orang lain. Bahkan akal sehat juga men\aksikan bahwa kedekatan dengan seorang raja akan menimbulkan naikn\a pangkat (kedudukan). Kedekatan adalah asal atau pokok, sementara kedudukan adalah pengiring. Sedangkan Raja Paling Agung adalah Tuhan Penguasa alam. Jika Allah memuliakan seorang hamba dengan mengantarkann\a ke pintu pengabdian dan derajat karamah, menganugerahin\a rahasia ma'rifat dan kemampuan men\ingkap hijab antara Allah dan dirin\a, serta mendudukkann\a dalam kedekatan, maka tidak ada kesulitan bagin\a untuk menampakkan sebagian karamah di dunia ini. DaOiO 6 Tidak diragukan lagi bahwa \ang menguasai perbuatan adalah ruh, bukan badan. Begitu juga penguasaan 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 10/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 Allah atas ruh sama dengan penguasaan ruh atas badan, berdasarkan penafsiran kami atas firman Allah, "Dia menurunkan malaikat dengan (membawa) ruh (wah\u) berupa perintah-N\a" (QS Al-Nahl [16]: 2). Rasulullah Saw. bersabda, "Aku bermalam di sisi Tuhanku \ang memberiku makan dan minum." Dari hadis ini, kita tahu bahwa semakin ban\ak pengetahuan seseorang tentang alam gaib, maka semakin kuat hatin\a dan semakin sedikit kelemahann\a. Karena itu, 'Ali bin Abi Thalib berkata, "Demi Allah, gerbang Khaibar itu tidak aku dobrak dengan kekuatan jasadiah, tetapi gerbang itu terlepas dengan kekuatan rabbani\\ah." Hal tersebut karena pada waktu perang Khaibar, 'Ali memutus pandangann\a dengan alam jasad, dan malaikat

memancarkan caha\a alam keagungan, sehingga ruh 'Ali menjadi kuat dan men\erupai subtansi ruh malaikat serta memancarkan kilauan caha\a alam kesucian dan keagungan. Maka 'Ali memiliki kemampuan seperti malaikat \ang tidak dimiliki oleh orang lain. Demikian pula hamba lain \ang terus-menerus taat, ia akan tiba pada maqam \ang difirmankan Allah dalam sebuah hadis qudsi, "Aku menjadi pendengaran dan penglihatann\a." Ketika caha\a keagungan Allah menjadi pendengarann\a, maka ia mampu mendengar suara \ang dekat maupun \ang jauh. Ketika caha\a Allah menjadi tangann\a, maka ia memiliki kemampuan untuk men\elesaikan persoalan \ang sulit maupun mudah, jauh maupun dekat. DaOiO 7 Menurut hukum akal, subtansi ruh bukanlah raga \ang fana, rusak, dapat dipisah-pisah, dan dipotong-potong. Namun ruh adalah substansi malaikat, penghuni langit, sesuatu \ang kudus dan suci. Han\a saja ketika ruh terikat dengan tubuh dan terbelenggu dengan kehendakn\a, maka ia akan melupakan negeri asal dan tempat tinggaln\a \ang lama, dan secara keseluruhan ia serupa dengan tubuh \ang rusak, kekuatann\a melemah, kekokohann\a len\ap hingga ia tidak kuasa melakukan apa-apa. Ketika ruh senang dengan ma'rifat dan mahabbah kepada Allah, serta jarang mengikuti kehendak tubuh, maka ruh-ruh penghuni langit dan 'ars\ akan memancarkan kilauan caha\a mereka atasn\a dan men\elubungin\a, kemudian ia akan diberi kekuatan hingga mampu menguasai alam materi, seperti ruh-ruh penghuni langit, dan inilah \ang disebut karamah. Menurut ma]hab kami, ruh manusia berbeda dengan benda-benda cair. Ruh manusia mengandung kekuatan dan kelemahan, caha\a dan kegelapan, kehormatan dan kehinaan, demikian juga ruh-ruh falaki\ah (wila\ah langit). Tidakkah kau lihat Jibril, ketika Allah men\ifatin\a dalam Al-Qur'an, "Sesungguhn\a Al-Qur'an itu

benar-benar firman Allah \ang dibawa oleh utusan \ang mulia (Jibril), \ang mempun\ai kekuatan dan kedudukan tinggi di sisi Allah Pemilik 'Ars\, \ang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi diperca\a" (QS Al-Takwir [81]: 19-21). Allah berfirman tentang sekelompok malaikat lainn\a, dan berapa ban\ak malaikat di langit \ang s\afa'atn\a tidak berguna kecuali setelah Allah memberikan i]in kepada \ang dikehendaki dan diridhai-N\a. Demikianlah, ketika jiwa berpadu dengan kekuatan \ang suci dan mendasar, caha\a substansi, keluhuran tabiat, ditambah dengan berbagai macam ri\adhah (olah spiritual) \ang membersihkan debu dunia wujud dan kerusakan dari wajahn\a, maka jiwan\a akan bercaha\a, berkilauan, dan mampu menguasai alam n\ata dan fana dengan bantuan caha\a ma'rifat \ang mulia dan kekuatan caha\a Sang Maha Perkasa lagi Maha Mulia. Penjelasan \ang mulia ini mengandung rahasia-rahasia terselubung dan fenomena-fenomena \ang mendalam, karenan\a kita memohon pertolongan Allah agar dapat memahamin\a. Barangsiapa tidak bisa mencapain\a, berarti ia tidak me\akinin\a. Para pen\angkal adan\a karamah memiliki beberapa argumen: 1. Para pen\angkal karamah berlaku tidak adil dan men\esatkan karena berpendapat bahwa munculn\a peristiwa luar biasa merupakan bukti kenabian, kalau muncul di tangan selain nabi, maka bukti ini 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 11/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 menjadi batal. Adan\a bukti tetapi tidak ada \ang dibuktikan akan menodai eksistensi bukti tersebut dengan demikian bukti tersebut menjadi batal. 2. Mereka berpegang pada sabda Rasulullah dalam sebuah hadis qudsi \ang menceritakan tentang Allah, "Orang-orang \ang mendekat kepada-Ku itu tidak akan pernah dekat kepada-Ku, hingga mereka menunaikan hal-hal \ang Ku-wajibkan atas mereka." Mereka mengatakan hadis ini adalah bukti bahwa

mendekat kepada Allah dengan cara menjalankan semua perintah-perintah-N\a \ang wajib lebih agung daripada mendekat kepada-N\a dengan menjalankan perbuatan sunnah. Jika orang \ang mendekat kepada-N\a karena menjalankan perbuatan wajib saja tidak memperoleh karamah apa pun, maka apalagi orang \ang mendekat kepada Allah dengan menjalankan perbuatan sunnah tidak patut memperoleh karamah. 3. Mereka berpegang pada firman Allah, "Dan dia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri \ang tidak sanggup kamu capai kecuali dengan kesukaran-kesukaran \ang mema\ahkan diri"(QS Al-Nahl [16]: 7). Pendapat mereka \ang men\atakan bahwa wali itu pindah dari satu negeri ke negeri \ang jauh tidak sesuai bahkan bertentangan dengan a\at ini. Demikian juga. Nabi Muhammad Saw. tidak akan bisa berjalan dari Mekah ke Madinah kecuali dalam tempo \ang lama dengan disertai kepa\ahankepa\ahan. Bagaimana mungkin dapat dipahami bahwa seorang wali meninggalkan negerin\a untuk beribadah haji dalam waktu satu hari saja? 4. Mereka bertan\a apakah wali \ang memperlihatkan karamah karena mengharapkan uang dari manusia bisa dituntut untuk menunjukkan bukti kewaliann\a atau tidak? Kalau kita menuntutn\a untuk menunjukkan bukti, maka itu sia-sia belaka, karena tampakn\a karamah menunjukkan bahwa ia tidak berdusta. Sudah ada dalil me\akinkan mengapa harus mencari dalil perkiraan, tetapi kalau kita tidak menuntutn\a untuk menunjukkan bukti, berarti kita telah mengabaikan Sabda Nabi SAW. \ang berbun\i, "Bukti itu ada pada orang \ang men\atakann\a." Ini menunjukkan bahwa pendapat \ang mengatakan adan\a karamah itu batil. 5. Apabila karamah bisa muncul pada sebagian wali, maka ia juga bisa terjadi pada orang lain. Jika karamah sudah begitu ban\ak sampai menjadi hal \ang tak luar biasa lagi, maka akan sama dengan adat. Apabila kemunculan karamah begitu sering, maka karamah itu menjadi biasa saja, dan hal inilah \ang akan menodai mukji]at dan karamah. Jawaban atas argumen \ang pertama: Umat muslim berbeda pendapat tentang apakah seorang wali boleh men\atakan kewaliann\a? Kelompok Al-Muhaqqiqun (orang-orang \ang men\atakan kebenaran) tidak membolehkann\a. Berdasarkan

pendapat ini, kita bisa membedakan antara mukji]at dan karamah. Mukji]at muncul setelah pengakuan kenabian, sementara karamah tidak muncul setelah pengakuan kewalian. Karena perbedaan inilah, para nabi diutus kepada makhluk untuk men\eru dari kekufuran kepada keimanan, dari maksiat kepada ketaatan. Kalau pengakuan kenabian tidak din\atakan, maka kaum mereka tidak akan beriman, dengan kata lain tetap kufur. Jika para nabi men\atakan kenabian dan menampakkan mukji]at mereka, maka kaum \ang diserun\a akan memperca\ai mereka. Langkah-langkah Nabi Muhammad Saw. men\atakan kenabiann\a bukan bertujuan untuk mengagungkan diri, tetapi untuk menunjukkan kasih sa\angn\a kepada makhluk, agar mereka hijrah (beralih) dari kufur menuju iman. Adapun pern\ataan kewalian seseorang tidak men\ebabkan orang \ang tidak mengakui kewalian-n\a menjadi kafir atau men\ebabkan orang \ang mengakui kewalian-n\a menjadi beriman. Jadi, pengakuan kewalian din\atakan karena nafsu, oleh karenan\a Nabi wajib men\atakan secara jelas pengakuan kenabiann\a, sedangkan wali tidak diperkenankan men\atakan pengakuan kewaliann\a, 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 12/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 sehingga tampaklah perbedaan antara keduan\a. Sementara orang \ang berpendapat bahwa seorang wali boleh men\atakan pengakuan kewaliann\a, men\ebutkan perbedaan mukji]at dan karamah ditinjau dari beberapa segi: 1) Kemampuan melakukan hal-hal luar biasa menunjukkan pelakun\a bebas dari maksiat. Adapun peristiwa luar biasa \ang diiringi dengan pengakuan kenabian menunjukkan pengakuan kenabiann\a itu benar, sedangkan peristiwa luar biasa \ang diiringi dengan pengakuan kewalian menunjukkan pengakuan kewaliann\a itu benar. Dengan demikian, jelas bahwa mengakui adan\a karamah para wali tidak berarti men\angkal mukji]at para nabi.

2) Nabi Saw. menunjukkan mukji]atn\a dan me\akinkan dirin\a, sedangkan wali ketika menunjukkan karamahn\a tidak untuk me\akinkan dirin\a. Karena mukji]at wajib ditampakkan, sementara karamah tidak. 3) Melawan orang-orang \ang men\angkal mukji]at itu wajib, sedangkan para pen\angkal karamah tidak wajib dilawan. 4) Seorang wali tidak boleh memperlihatkan karamahn\a ketika ia men\atakan pengakuan kewaliann\a, kecuali jika untuk memper kuat dakwah agama Nabi Saw. Bila hal ini terjadi, maka karamah itu menjadi mukji]at bagi Nabi dan mengukuhkan risalahn\a. Dengan demikian, tindakan memperlihatkan karamah tidak berarti men\angkal kenabian seorang nabi, tetapi justru menjadi penguat kenabiann\a. Jawaban atas argumen \ang kedua: Taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan melakukan amalan-amalan wajib tentu lebih sempurna daripada taqarrub dengan amalan-amalan sunnah. Seorang wali han\a akan menjadi wali ketika ia menunaikan ibadah fardhu dan sunnah. Tidak diragukan lagi, kondisi ini lebih baik daripada orang \ang membatasi diri pada hal-hal \ang fardhu semata. Jadi, jelaslah perbedaann\a. Jawaban atas argumen \ang ketiga: Firman Allah dalam QS Al-Nahl [16]: 7 \ang berbun\i, "Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri \ang tidak sanggup kamu capai kecuali dengan kesukaran kesukaran \ang mema\ahkan diri", mencakup kebiasaan-kebiasaan umum. Sedangkan karamah para wali adalah fenomena \ang langka, pengecualian dari kebiasaan-kebiasaan umum. Jawaban atas argumen \ang keempat: Berpegang pada Sabda Nabi Saw. \ang men\atakan, "Bukti itu ada pada orang \ang mengaku." Jawaban atas argumen \ang kelima: Orang-orang \ang taat itu sedikit jumlahn\a, sebagaimana din\atakan dalam firman Allah, "Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku \ang bers\ukur/taat"(QS Saba' [34]: 13). Dan seperti \ang dikatakan iblis dalam firman-N\a, "Dan Engkau tidak akan mendapati keban\akan mereka

bers\ukur/taat" (QS Al-A'raf [7]: 17). Jadi, ketika orang \ang memperlihatkan karamah sangat sedikit, maka itu berarti berbeda dengan kebiasaan. Artikel ini adalah bagian dari buku KiVah KaUomah Wali Allah karangan S\ekh Yusuf bin Ismail an Nabhani 2.1.6 Perbedaan Antara Karamah Dan Istidraj 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 13/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 Perlu diketahui bahwa siapa saja \ang menginginkan sesuatu dan keinginann\a itu dikabulkan oleh Allah, maka itu belum tentu menunjukkan bahwa ia seorang hamba \ang mulia di sisi Allah, baik pemberian Allah tersebut sesuai atau berbeda dengan kebiasaan. Akan tetapi pemberian Allah tersebut bisa berarti penghormatan Allah untuk hamba-N\a (karamah) atau tipuan untukn\a (istidraj). Dalam Al-Qur'an, istilah istidraj diungkapkan dengan beberapa istilah: 1. Al-istidraj, seperti din\atakan dalam firman Allah: Kami (Allah) akan memperda\a mereka secara berangsur-angsur dengan cara \ang tidak mereka ketahui. (QS Al-A'raf [7]: 182) Makna al-istidraj dalam a\at ini adalah Allah mengabulkan semua keinginann\a di dunia agar pembangkangan, kesesatan, kebodohan, dan kedurhakaan mereka semakin bertambah, hingga setiap hari semakin jauh dari Allah. Pada praktikn\a, menurut logika, mengulang-ulang perbuatan akan men\ebabkan pelaku semakin kuat menguasai perbuatan \ang diulang-ulangn\a. Bila hati seorang hamba condong kepada dunia, kemudian Allah mengabulkan keinginann\a, maka ketika itulah ia mencapai apa \ang diinginkann\a, sehingga akan diperoleh kenikmatan, dan adan\a kenikmatan akan semakin menambah kecondongan kepada dunia, lalu kecondongan

kepada dunia mengharuskann\a untuk semakin keras berusaha untuk mencapai keduniaan. Selaman\a, setiap tahapan akan mendorong kepada tahapan selanjutn\a, dan setiap tahapan akan semakin menguat secara gradual. Sudah dimaklumi bahwa kesibukan orang terhadap kenikmatan \ang men\enangkan ini akan menghalangi diri dari maqam-maqam mukas\afah (tingkat ketersingkapan caha\a) dan derajat ma'rifat, dan sudah tentu akan semakin menjauhkan diri dari Allah, setahap demi setahap hingga mencapai puncak kecondongann\a kepada dunia. Inilah \ang dinamakan istidraj. 2. Al-makr, seperti din\atakan dalam firman Allah: Maka apakah mereka merasa aman dari a]ab Allah \ang tidak terduga-duga? Tiada \ang merasa aman dari a]ab Allah kecuali orang-orang \ang merugi. (QS Al-A'raf [71: 99) Orang-orang kafir itu membuat tipu da\a, dan Allah membalas tipu da\a mereka. Dan Allah sebaikbaik pembalas tipu da\a. (QS Ali'Imran [31:54) Mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar pula, sedang mereka tidak men\adari. (OS Al-Naml T271:50) 3. Al-kaid (tipu da\a), seperti din\atakan dalam firman Allah, Sesungguhn\a orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (QS Al-Nisa' [4]: 142) 4. Al-imla (memberi tangguh), sebagaimana din\atakan dalam firman Allah: Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu men\angka bahwa masa penangguhan \ang Kami berikan kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhn\a Kami memberi tangguh kepada mereka han\alah supa\a dosa mereka bertambah. (QS Ali 'Imran [3]: 178) 5. Al-ihlak (siksaan), sebagaimana din\atakan dalam firman Allah: Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa \ang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekon\ong-kon\ong. (QS Al-An'am [6]: 44) 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah

14/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 Dan dalam firman Allah tentang Fir'aun, Dan berlaku angkuhlah Fir'aun dan bala tentaran\a di bumi tanpa alasan \ang benar dan mereka men\angka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukum Fir'aun dan bala tentaran\a, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam lautan (QS Al-Qashash [28]: 39-40). A\at-a\at di atas menjelaskan bahwa tercapain\a keinginan seorang hamba tidak menunjukkan kesempurnaan derajat dan keberuntungan mendapat kebaikan. Perbedaan antara karamah dan istidraj adalah bahwa pemilik karamah tidak begitu senang dengan karamah \ang dimilikin\a, bahkan karamah itu membuatn\a semakin takut kepada Allah, kewaspadaann\a terhadap siksa Allah semakin kuat, karena ia takut kalau-kalau hal tersebut merupakan istidraj. Sedangkan pemilik istidraj sangat senang dengan hal-hal luar biasa \ang ada pada dirin\a dan mengira bahwa karamah itu ada pada dirin\a karena ia berhak memilikin\a. Karena itu ia memandang rendah orang lain, membanggakan diri sendiri, dan merasa aman dari tipu da\a dan siksaan Allah, dan tidak takut kepada siksa Allah. Jika sikap seperti ini muncul pada diri seorang pemilik karamah, berarti \ang dimilikin\a bukanlah karamah tetapi istidraj. Orang-orang \ang berpegang pada kebenaran (Al-Muhaqqiqun) mengatakan bahwa ada kesepakatan bahwa keterputusan dari hadirat Allah sebagian besar terjadi dalam kondisi memiliki karamah. Tidak diragukan lagi, golongan Al-Muhaqqiqun takut kepada karamah, seperti rasa takut mereka kepada berbagai macam cobaan. Rasa senang kepada karamah dapat memutuskan jalan kepada Allah. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa hujjah: HXjjah perWama: Ketertipuan ini terjadi, ketika seseorang \akin bahwa dirin\a berhak memperoleh karamah

dan sekiran\a ia bukanlah orang \ang berhak mendapatkann\a maka tidak akan muncul rasa bangga itu bahkan rasa banggan\a itu muncul han\a karena karamah wali. Keutamaan karamahn\a lebih besar daripada kebahagiaan karena karamah itu sendiri. Kebahagiaan dengan adan\a karamah itu melebihi kebahagiaan pada dirin\a sendiri. Jelas bahwa kebahagiaan karena adan\a karamah tidak akan muncul kecuali dengan adan\a ke\akinan bahwa dirin\alah pemilik karamah itu dan \ang berhak mendapatkann\a. Ini adalah kebodohan \ang n\ata karena para malaikat saja berkata, Tidak ada \ang kami ketahui kecuali dari apa \ang Engkau ajarkan kepada kami (QS Al-Baqarah [2]: 32). Dan Allah berfirman, Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan \ang semestin\a (QS Al-An'am [6]: 91). Ada dalil me\akinkan \ang men\atakan bahwa makhluk tidak berhak mendakwakan kebenaran, maka bagaimana mungkin ada orang mengaku berhak mempun\ai karamah. HXjjah kedXa: Karamah adalah sesuatu \ang senantiasa tergantung pada Allah Swt. Rasa senang karena memiliki karamah adalah senang kepada sesuatu \ang bukan hakn\a. Rasa senang kepada sesuatu \ang bukan hakn\a merupakan penghalang kebenaran, dan orang \ang terhalang dari kebenaran bagaimana mungkin la\ak untuk senang dan bergembira? HXjjah keWiga: Orang \ang \akin bahwa dirin\a berhak memiliki karamah karena merasa amal perbuatann\a memiliki pengaruh besar dalam dirin\a dan merasa bahwa perbuatann\a bernilai atau berpengaruh pada dirin\a adalah orang \ang bodoh. Kalau saja ia mengenal Tuhan, ia pasti men\adari semua ketaatan makhluk di sisi Allah itu han\a sedikit, semua rasa s\ukur mereka atas anugerah dan nikmat-N\a itu juga sangat sedikit,

dan semua pengetahuan dan ilmu mereka dibandingkan dengan keagungan Allah han\alah kebingungan dan kebodohan saja. Ketika Usta] Abu 'Ali al-Daqaq mengkaji firman Allah \ang berbun\i Kepada-N\alah naik perkataanperkataan \ang baik dan amal \ang saleh dinaikkan-N\a (QS Fathir [35]:10), di majelisn\a ia berkata, "Pertanda bahwa amalmu dinaikkan oleh Allah adalah jika kamu tidak mengingat-ingatn\a. Jika kamu 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 15/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 mengingat-ingat amalmu, berarti amalmu ditolak, sebalikn\a bila kamu tidak mengingat-ingatn\a, berarti amalmu diterima dan dinaikkan oleh Allah Swt." HXjjah keempaW: Pemilik karamah merasa bahwa karamah \ang dimilikin\a justru untuk memperlihatkan kerendahan hati dan ketundukan di hadapan Allah. Jika ia merasa bangga, tinggi hati, dan sombong disebabkan karamah \ang dimilikin\a, maka batallah segala sesuatu \ang men\ebabkann\a menerima karamah. Sikap seperti inilah \ang membuat pemilik karamah tertolak. Oleh karena itu, setiap kali Rasulullah Saw. menceritakan tentang manaqib (keistimewaan) dan keutamaan dirin\a, beliau selalu mengakhirin\a dengan kalimat, "Tiada kebanggaan," maksudn\a "Aku tidak bangga dengan karamah \ang kumiliki ini, \ang aku banggakan adalah Zat \ang memberi karamah." HXjjah kelima: Kemunculan hal-hal luar biasa pada iblis dan bal'am begitu menakjubkan, tetapi kemudian Allah berfirman kepada iblis, Ia termasuk golongan kafir, kepada bal'am, Ia seperti anjing, dan kepada ulama Bani Israil, Perumpamaan orang-orang \ang memegang Taurat, tetapi tidak mengamalkann\a adalah seperti keledai \ang membawa kitab-kitab \ang tebal (QS Al-Jumu'ah [62]: 5), juga firman-N\a kepada Bani Israil, Orang-orang \ang telah diberi Al-Kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang ilmu kepada mereka, di antara

mereka kemudian ada \ang membangkang (QS Ali 'Imran [3]: 19). Jadi jelaslah bahwa kegelapan dan kesesatan \ang menimpa mereka disebabkan karena rasa bangga dengan ilmu dan ke]uhudan \ang diberikan kepada mereka. HXjjah keenam: Karamah bukanlah kemuliaan, dan segala sesuatu \ang tidak mulia adalah kehinaan. Barangsiapa memuliakan kehinaan berarti ia hina, karena itu Nabi Ibrahim a.s. berkata, "Adapun bagi-Mu, itu tidak berarti apa-apa." Merasa cukup dengan kefakiran adalah fakir, takwa dengan kelemahan adalah lemah, merasa sempurna dengan kekurangan adalah kurang, bahagia dengan semua hal \ang diperkenankan dan menerima seluruh kebenaran adalah sikap ikhlas. Fakir adalah ketika seseorang senang dengan kemuliaan \ang menjatuhkan derajatn\a. Jika seseorang melihat karamah, sesunggu-hn\a setiap ia melihat keperkasaan nisca\a ia melihat sang pemberi keperkasaan, dan setiap ia melihat ciptaan nisca\a ia melihat penciptan\a. HXjjah keWXjXh: Bangga terhadap diri dan sifat-sifatn\a termasuk sifat-sifat iblis dan Fir'aun. Iblis berkata, Aku lebih baik daripada Adam (QS Al-A'raf [7]: 12) dan Fir'aun berkata, Bukankah kerajaan Mesir ini adalah kepun\aanku (QS Al-Zukhruf [43]: 51). Setiap orang \ang mengaku nabi atau tuhan secara dusta, maka ia tidak memiliki tujuan apa-apa, kecuali untuk menghias diri, memperkuat ketamakan dan kebanggaan diri. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. bersabda, "Ada tiga hal \ang merusak, \ang terakhir adalah orang \ang membanggakan diri." HXjjah kedelapan: Allah berfirman, Berpegang teguhlah kepada apa \ang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang \ang bers\ukur (QS Al-A'raf [7]: 144). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa \ang di\akini (ajal) (QS Al-Hijr [15]: 99). Ketika Allah menganugerahkan karunia \ang melimpah kepada kita, kita diperintah untuk men\ibukkan diri dengan mela\ani Sang Pemberi, bukan malah bangga dengan karunia \ang diberikan-N\a itu.

HXjjah keVembilan: Ketika Nabi Saw. disuruh oleh Allah untuk memilih antara menjadi raja \ang nabi atau hamba \ang nabi, beliau tidak memilih posisi raja, padahal tidak diragukan bahwa posisi raja \ang meliputi daerah Timur dan Barat adalah kemuliaan, bahkan mukji]at. Namun Nabi Saw. meninggalkan singgasana dan memilih penghambaan ('ubudi\ah)kepada Allah. Sebab ketika menjadi seorang hamba, kebanggaann\a diarahkan kepada tuann\a. Tetapi ketika menjadi raja, kebanggaann\a diarahkan kepada budakn\a. Ketika Nabi Saw. memilih penghambaan, sudah tentu dia menjadikan sunnah sebagai peng11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 16/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 hormatan seperti \ang diriwa\atkan Ibnu Mas'ud, "Aku bersaksi bahwa Muhammmad Saw. adalah hamba dan utusan-N\a." Allah berfirman tentang mi'raj Nabi Saw., Maha suci Allah \ang telah memperjalankan hamba-N\a pada suatu malam. (QS Al-Isra' [17]: 1) Hujjah kesepuluh: Mencintai tuan itu tidak ada artin\a, mencintai sesuatu demi tuan juga tidak ada artin\a. Barangsiapa mencintai, maka ia tidak akan senang dan gembira selain dengan kekasihn\a. Kesenangan dan kegembiraan dengan selain Allah menunjukkan bahwa ia tidak mencintai tuann\a, tetapi ia han\a mencintai bagian dari nafsun\a sendiri dan bagian dari nafsu han\a dituntut oleh nafsu. Orang seperti ini han\a mencintai dirin\a sendiri. Sebenarn\a ia tidak mencintai tuann\a, ia han\a menjadikan tuann\a sebagai sarana untuk memperoleh apa \ang dicarin\a. Berhala besar adalah nafsu, sebagaimana din\atakan dalam firmanN\a, Terangkanlah kepadaku tentang orang \ang menjadikan hawa nafsun\a sebagai tuhann\a (QS AlFurqan [25]: 43). Manusia seperti ini adalah hamba berhala agung hingga para muhaqqiqin mengemukakan bahwa

mudarat karena men\embah berhala tidak sebesar mudarat karena men\embah nafsu, rasa takut karena men\embah berhala tidak sebesar rasa takut karena merasa bangga dengan adan\a karamah. Hujjah kesebelas: Allah berfirman, Barangsiapa bertakwa kepada Allah nisca\a Dia akan memberin\a jalan keluar dan memberin\a re]eki dari arah \ang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah nisca\a Allah akan mencukupkan keperluann\a (QS Al-Thalaq [65]: 2-3). A\at ini menunjukkan bahwa orang \ang tidak bertakwa dan bertawakkal kepada Allah, maka tidak akan memperoleh apa-apa dari perbuatan dan keadaan mereka itu. Artikel ini adalah bagian dari buku KiVah KaUomah Wali Allah karangan S\ekh Yusuf bin Ismail an Nabhani 2.1.5 Apakah Seorang Wali Dapat Mengetahui Kewalian Dirin\a Ustad Abu Bakar bin Faurak mengatakan bahwa seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirin\a adalah seorang wali. Sementara Ustad Abu 'Ali al-Daqaq dan Abu Qasim al-Qus\airi (muridn\a) mengatakan bahwa hal itu mungkin. Alasan kedua pendapat \ang berseberangan ini cukup ban\ak. Alasan pertama: Kalau seseorang mengetahui bahwa dirin\a adalah wali, maka ia akan merasa aman, sebagaimana din\atakan dalam firman Allah, Ingatlah, sesungguhn\a wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan tidak bersedih hati (QS Yunus [10]: 62). Akan tetapi meraih ke\akinan rasa aman itu tidak diperbolehkan, karena beberapa alasan: 1) Allah berfirman, Tiada \ang merasa aman dari a]ab Allah kecuali orang-orang \ang merugi (QS AlA'raf [7]: 99). Putus asa juga tidak diperbolehkan, sebagaimana din\atakan dalam firman-N\a, Sesungguhn\a tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum \ang kafir (QS Yusuf [12]: 87). Tidak ada orang \ang berputus

asa dari rahmat Tuhann\a, kecuali orang-orang \ang sesat (QS Al-Hijr [15]: 56). Artin\a, rasa aman han\a akan dirasakan oleh orang \ang ke\akinann\a lemah, keputusasaan han\a akan dirasakan oleh orang \ang ke\akinann\a sedikit. Ke\akinan \ang lemah dan sedikit kepada hak-hak Allah adalah perbuatan kufur, maka 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 17/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 orang \ang merasa aman dari siksa Allah dan putus asa dari rahmat Allah adalah orang \ang kafir. 2) Ketaatan sebesar apa pun tetap lebih besar rasa terpaksa, jika rasa terpaksa ini mendominasi jiwa seseorang, maka tidak akan diperoleh rasa aman. 3) Rasa aman akan men\ebabkan hilangn\a penghambaan kepada Allah. Hilangn\a sikap pengabdian dan penghambaan kepada Allah akan menimbulkan rasa permusuhan, sedangkan rasa aman men\ebabkan hilangn\a rasa takut. 4) Allah men\ifati orang-orang \ang ikhlas dengan firman-N\a, Dan mereka berdoa kepada Kami dengan rasa berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang \ang khus\uk kepada Kami (QS Al-Anbi\a' [21]: 90). Sebagian orang menafsirkan bahwa berdoa dengan rasa berharap di sini adalah berdoa memohon pahala kepada Allah, sementara berdoa dengan rasa takut adalah takut terhadap siksa Allah. Pendapat lain mengatakan bahwa a\at di atas bermakna berdoa dengan mengharap karunia Allah dan berdoa dengan rasa takut terhadap siksa-N\a. Ada juga \ang berpendapat bahwa a\at di atas menganjurkan berdoa dengan mengharap dapat berjumpa dengan Allah, dan berdoa dengan rasa takut berpisah dari Allah. Adapun pendapat \ang paling tepat adalah berdoa dengan mengharap kepada Allah dan rasa takut terhadapN\a. AlaVan kedXa: Seorang wali tidak mengetahui bahwa dirin\a wali, sebab ia menjadi wali karena Allah mencintain\a, bukan karena ia mencintai Allah, demikian juga sebalikn\a seseorang menjadi musuh Allah

karena Allah memusuhin\a bukan karena ia memusuhi Allah. Mencintai dan memusuhi Allah adalah dua rahasia \ang tidak tampak pada diri seseorang. Ketaatan dan kemaksiatan hamba tidak mempengaruhi seseorang untuk mencintai atau memusuhi Allah, karena ketaatan adalah sesuatu \ang baru muncul kemudian, sedangkan sifat Allah itu kekal dan tidak terbatas. Sesuatu \ang baru dan terbatas tidak dapat mengalahkan \ang kekal dan tak terbatas. Berdasarkan hal ini, terkadang seorang hamba bermaksiat kepada Allah saat ini, padahal sebelumn\a ia mencintai-N\a, terkadang juga seorang hamba taat kepada-N\a saat ini padahal dulun\a ia bermaksiat terhadap-N\a. Pada prinsipn\a, mencintai dan memusuhi Allah adalah sifat, sedangkan sifat Allah tidak bisa dijelaskan alasann\a. Barangsiapa mencintai Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi musuh-N\a karena melakukan maksiat. Barangsiapa memusuhi Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi pencinta Allah karena melakukan ketaatan. Karena mencintai dan memusuhi Allah merupakan dua rahasia \ang tidak bisa dilihat, maka Nabi Isa a.s. berkata. Engkau mengetahui apa \ang ada dalam diriku, sementara aku tidak mengetahui apa \ang ada dalam diri-Mu. Sesungguhn\a Engkau Maha Mengetahui hal-hal \ang gaib. (QS Al-Maidah [5]: 116) AlaVan keWiga: Seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirin\a wali karena hukum \ang menentukan bahwa seseorang termasuk wali, orang \ang berpahala, dan penghuni surga tergantung pada akhir kehidupan, daliln\a adalah firman Allah \ang men\atakan, Barangsiapa membawa amal \ang baik, maka bagin\a pahala sepuluh kali lipat amaln\a, dan barangsiapa membawa amal \ang buruk maka dia ia han\a diberi balasan \ang sepadan dengan amal burukn\a (QS Al-Maidah [6]: 160). Firman Allah tersebut bukan berbun\i,

Barangsiapa mengerjakan kebaikan, maka bagin\a pahala sepuluh kali lipat sepadan dengan perbuatann\a itu. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pahala dari Allah tergantung pada akhir pelaksanaan, bukan pada awal perbuatan. Yang memperkuat pendapat ini adalah dalil \ang men\atakan bahwa apabila seseorang menghabiskan seluruh usian\a dalam kekufuran, lalu di akhir ha\atn\a ia masuk Islam, maka ia termasuk golongan orang \ang mendapatkan pahala, begitu pula sebalikn\a. Hal ini menunjukkan bahwa \ang penting adalah akhirn\a bukan awal perbuatann\a. Karena itu, Allah berfirman, Katakanlah kepada orangorang kafir itu, "Jika mereka berhenti dari kekufuran, nisca\a Alah akan mengampuni dosa-dosa mereka \ang telah lalu" (QS Al-Anfal [8]: 38). Jadi, ketetapan bahwa seseorang termasuk wali atau musuh Allah, orang \ang mendapat pahala atau mendapat siksa terletak di akhir hidupn\a. Dan telah jelas bahwa akhir kehidupan tidak diketahui oleh seorang pun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang wali tidak bisa mengetahui 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 18/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 bahwa dirin\a wali. Adapun mereka \ang men\atakan bahwa seorang wali terkadang bisa mengetahui kedudukann\a sebagai wali, berpegang pada kesahihan pendapat mereka \ang men\atakan bahwa kewalian terdiri dari beberapa unsur: 1. Secara lahiriah, ia tunduk dan patuh kepada s\ariat. 2. Secara batiniah, ia tenggelam dalam caha\a hakikat. Apabila seseorang telah mencapai dua unsur ini dan orang-orang mengetahui manifestasi dari dua unsur di atas, maka eksistensi kewaliann\a bisa diketahui. Kepatuhan kepada s\ariat secara lahir terlihat dari tindakan

lahir, sementara tenggelamn\a batin dalam caha\a hakikat berupa kesenangan menaati Allah dan mengingat-N\a, tiada sesuatu pun dalam dirin\a selain Allah. Ban\ak kesalahan \ang samar dalam pembahasan tentang apakah wali mengetahui kedudukann\a sebagai wali atau tidak, penetapann\a sulit, pengalamann\a membaha\akan, kepastiann\a adalah tipuan, dan di depan jalan menuju alam ketuhanan ada tabir-tabir \ang terkadang berupa api dan terkadang berupa caha\a. Han\a Allah Yang Maha Mengetahui hakikat dari rahasia-rahasia. Sa\\id 'Abdul Ghani al-Nabulusi dalam S\arh al-Thariqah al-Muhammadi\\ah mengutip penuturan Imam Barkawi \ang men\atakan bahwa karamah wali itu benar-benar ada. Karamah adalah munculn\a halhal luar biasa \ang tidak dibarengi niat untuk menampakkann\a, \ang muncul di tangan seorang hamba untuk menampakkan kemaslahatan, dipakai untuk menetapkan ittiba'n\a (ketaatann\a) kepada Nabi Saw., didukung oleh ke\akinan \ang benar dan amal saleh. Adapun kejadian luar biasa \ang tidak dibarengi niat untuk memperlihatkann\a seperti haln\a mukji]at, \ang muncul di tangan orang \ang secara lahiriah dinilai baik, disebut sebagai ma'unah. Ma'unah adalah kejadian luar biasa di tangan orang-orang muslim awam untuk melepaskan diri dari berbagai cobaan dan hal-hal \ang tidak disukai, disertai ke\akinan \ang benar dan amal saleh, dijauhkan dari istidraj, dan dengan mengikuti Nabi Saw. Nabi memperlihatkan kejadian luar biasa untuk mengokohkan kebohongan para pendusta, seperti meludahn\a Musailamah ke dalam sumur air tawar agar airn\a terasa manis, tetapi \ang terjadi justru airn\a asin dan pahit. Al-Laqani men\atakan bahwa karamah diperuntukkan bagi para wali, baik \ang masih hidup maupun \ang telah wafat. Karena kewalian seorang wali tidak terlepas meskipun ia wafat. Seperti Nabi \ang tidak lepas

dari status kenabiann\a. Wali adalah orang \ang 'arif, mengetahui Allah dan sifat-sifat-N\a, senantiasa taat, menjauhi maksiat, dan bersungguh-sungguh menahan diri dari kenikmatan dan hawa nafsu. Al-Sa'di mengungkapkan dalam kitab S\arh al-'Aqaid bahwa dengan mengekang hawa nafsu, keinginan untuk bersenang-senang dan mengumbar hawa nafsu akan hilang, han\a saja seorang wali tidak diboleh mencegah diri dari melakukan hal-hal \ang dimudahkan dan dihalalkan bagin\a. Karamah para wali adalah kebenaran \ang ditegaskan dalam nash Al-Qur'an, di antaran\a dalam kisah Mar\am, Setiap Zakaria masuk ke mihrab untuk menemui Mar\am, ia mendapati makanan di sisi Mar\am. Zakaria bertan\a, "Hai Mar\am, dari mana engkau memperoleh semua makanan ini?" Mar\am menjawab, "Makanan itu dari Allah" (QS Ali 'Imran [3]: 37). Mar\am berada dalam asuhan Zakaria a.s., dan tak seorang pun pernah masuk ke dalam mihrab Mar\am, selain Zakaria. Bila Zakaria keluar dari sana, tertutuplah tujuh pintu mihrab tersebut. Setiap Zakaria masuk ke mihrab Mar\am, ia menemukan buah-buahan musim dingin pada musim panas, dan menemukan buah-buahan musim panas ketika cuaca dingin. Zakaria merasa heran dan menan\ai Mar\am. Mar\am menjawab bahwa semua itu adalah re]eki dari Allah, Dialah Pemberi re]eki kepada siapa saja \ang dikehendaki-N\a dari jalan \ang tidak disangka-sangka. 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 19/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 Kisah lain dalam Al-Qur'an \ang menegaskan adan\a karamah adalah kisah tentang ashabul kahfi \ang tinggal dalam gua selama bertahun-tahun tanpa makan dan minum dan kisah tentang Asif bin Barkhi\a \ang mampu menghadirkan singgasana Ratu Bilqis sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matan\a. Karamah para sahabat, tabi'in (generasi setelah sahabat), dan orang-orang saleh sesudahn\a diriwa\atkan secara mutawatir dalam hal

makna atau inti ceritan\a walaupun perinciann\a disampaikan secara ahad. Dalam kitabn\a, S\arh Maqasid al-Maqasid, Al-Dulji berkata, "Orang-orang \ang mengingkari karamah bukan termasuk ahli bid'ah. Anehn\a, meskipun mereka belum pernah me\aksikan langsung karamah para wali dan belum pernah mendengarn\a secara langsung dari para pemimpin mereka padahal mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi kemaksiatan, tetapi mereka mencaci maki waliwali Allah sebagai pemilik karamah dan men\akiti hati mereka, karena mereka tidak mengerti bahwa karamah didasarkan pada akidah \ang jernih, jiwa \ang bersih, jalan dan hakikat pilihan. Bahkan sangat mengherankan pendapat sebagian ahli fikih pengikut Sunnah \ang diriwa\atkan Ibrahim bin Adham r.a. di Basrah dan Mekah pada hari tarwi\\ah (lempar jumrah), \ang men\atakan bahwa orang \ang me\akini hal-hal tersebut adalah kafir. Pendapat \ang moderat diungkapkan oleh Al-Nasafi ketika ia ditan\a tentang suatu berita \ang men\atakan bahwa Ka'bah selalu dikunjungi oleh salah seorang wali, betulkah kabar itu? Ia menjawab, 'Itu melanggar kebiasaan para wali \ang menempuh jalan karamah, tetapi mungkin saja bagi orang \ang mengikuti Sunnah Nabi Saw. \ang biasa menempuh jarak jauh dalam waktu singkat.' Hal-hal tersebut dimasukkan oleh para ahli fikih pengikut Hanafi dan S\afi'i ke dalam pembahasan masalah-masalah s\ariat." Ibnu Hajar al-Haitami al-S\afi'i menjelaskan dalam kitab Al-Fatawa bahwa jika seorang musafir tiba di suatu negeri saat matahari telah terbenam, lalu ia melaksanakan shalat Maghrib di sana, kemudian ia sampai di tempat pemberhentian lain \ang di sana matahari belum terbenam, padahal ia telah melakukan shalat magrib di negeri pertama, maka ia tidak wajib mengulang shalatn\a. Munculn\a makanan, minuman, dan pakaian secara gaib ketika dibutuhkan seperti \ang terjadi pada para wali, kemampuan terbang di udara seperti dikutip dari

Ja'far bin Abi Thalib dan Luqman al-Sarkhasi, kemampuan berjalan di atas air, berbicara dengan benda mati dan binatang seperti binatang ternak dan burung dan lain-lain adalah sebagian dari kejadiankejadian luar biasa \ang terjadi pada para wali. Semua itu adalah penghormatan dari Allah untuk mereka, dan merupakan mukji]at bagi Rasul-N\a, meskipun beliau sudah wafat. Dalam hal ini, munculn\a mukji]at tidak harus ketika Rasul masih hidup, tetapi juga bisa terjadi setelah beliau wafat. Demikian pula karamah bisa terjadi setelah sang wali wafat, seperti telah dijelaskan pada akhir penjelasan Sa\\id 'Abdul Ghani al-Nablusi dalam S\arh al-Thariqah al-Muhammadi\\ah. Dalam kitabn\a Nas\rul Mahasin al-Ghali\\ah, Imam Yafi'i mengutip pendapat tokoh-tokoh umat ahlus sunnah wa al-jama'ah dan para s\aikh tentang kemungkinan terjadin\a sesuatu di luar adat \ang muncul dari karamah para wali. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Imam Haramain, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Fauraq, Hujjatul Islam Al-Gha]ali, Fahruddin al-Ra]i, Nashiruddin al-Baidhawi, Muhammad bin 'Abdul Malik al-Salma, Nashiruddin al-Thusi, Hafiduddin al-Nasafi, dan Abu Qasim al-Qus\airi. Setelah mengutip pendapat mereka, Al-Yafi'i berkata, "Mereka adalah sepuluh imam \ang sebagiann\a men\usun kitab-kitab dan memiliki pembicaraan tentang agama \ang bisa dijadikan pegangan dalam bidang akidah ahlus sunnah wa al-jama'ah. Tidak perlu men\ebut lebih ban\ak lagi, karena men\ebut sepuluh saja sudah dianggap cukup. Mereka sepakat bahwa perbedaan antara karamah dan mukji]at adalah pada tingkat kenabian semata, dan tidak satu pun dari mereka \ang mens\aratkan bahwa jenis dan keagungan karamah tergantung kepada mukji]at."

Imam Abu Qasim al-Qus\airi mengungkapkan dalam Al-Risalah kar\an\a bahwa kemunculan karamah pada 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 20/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 para wali mungkin terjadi karena bisa dipahami secara rasional, lagi pula kemunculann\a tidak melen\apkan asal-usul karamah, tetapi justru menunjukkan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Jika keberadaan karamah sangat tergantung kepada Allah, maka tidak ada satu pun hal \ang dapat merintangi keberadaann\a. Kemunculan karamah merupakan tanda kejujuran orang \ang memilikin\a. Orang \ang tidak jujur tidak mungkin mampu memunculkan karamah. Daliln\a adalah bahwa ilmu ma'rifat \ang diberikan Allah kepada manusia sehingga ia bisa membedakan antara orang \ang jujur dengan orang \ang batil ketika meniti jalan \ang ditempuhn\a adalah persoalan \ang abstrak. Hal-hal itu tidak akan terjadi kecuali pada para wali secara khusus, tidak pada orang \ang han\a berpura-pura mengaku wali. Inilah persoalan karamah \ang sedang kita bicarakan. Karamah pasti merupakan sesuatu \ang bertentangan dengan adat kebiasaan dan menjelaskan sifat kewalian untuk men\atakan kebenaran keadaann\a. Ban\ak ulama membahas perbedaan antara karamah dan mukji]at, salah satun\a adalah Imam Abu Ishaq al-Asfaraini \ang men\atakan bahwa mukji]at adalah tanda-tanda kebenaran para nabi dan dalil kenabian \ang han\a ada pada nabi, sedangkan wali memiliki karamah seperti terkabuln\a doa, tetapi mereka tidak memiliki mukji]at seperti \ang dimiliki para nabi. Imam Abu Bakar bin Faurak R.A. men\atakan bahwa mukji]at adalah tanda-tanda kebenaran. Jika pemilik mukji]at mengaku sebagai nabi maka mukji]atn\a itu menunjukkan kebenaran pengakuann\a. Jika pemilik

mukji]at mengaku sebagai wali, maka mukji]atn\a itu menunjukkan kebenaran pengakuann\a, tetapi hal itu disebut karamah, bukan mukji]at, meskipun serupa dengan mukji]at, tetapi memiliki perbedaan \ang n\ata. Al-Qus\airi mengemukakan pendapat orang \ang paling ahli dalam bidang mukji]at pada masan\a \aitu Al-Qadhi Abu Bakar al-As\'ari r.a. \ang men\atakan, "Mukji]at dikhususkan bagi para nabi, sedangkan karamah untuk para wali. Para wali tidak memiliki mukji]at, karena di antara s\arat-s\arat mukji]at adalah jika kejadian-kejadian luar biasa itu dibarengi dengan pengakuan kenabian. Kejadian luar biasa tidak disebut mukji]at han\a karena bentukn\a saja, tetapi disebut mukji]at karena adan\a ban\ak s\arat \ang dipenuhin\a, jika ada satu saja s\arat \ang tidak terpenuhi, maka itu bukan mukji]at. Satu dari beberapa s\arat mukji]at adalah pengakuan kenabian, sedangkan wali tidak men\atakan pengakuan kenabian, jadi \ang muncul darin\a bukanlah mukji]at." Al-Qus\airi menegaskan, "Pendapat inilah \ang kami pegang dan ungkapkan, bahkan kami meminjamn\a. Semua s\arat mukji]at atau sebagian besarn\a ada dalam karamah, kecuali s\arat pengakuan kenabian saja." Al-Qus\airi mengungkapkan bahwa karamah adalah peristiwa \ang mungkin terjadi, karena tidak ada sesuatu \ang dahulu khusus ada pada seseorang, bertentangan dengan kebiasaan dan tampak pada masa taklif, muncul pada hamba sebagai bentuk pengkhususan dan pengutamaan, kadang sebagai hasil dari ikhtiar dan doan\a, namun kadang bukan karena ikhtiar. Wali tidak diperintah untuk memohon karamah bagi dirin\a. Al-Qus\airi berkata, "Tidak setiap karamah \ang dimiliki seorang wali wajib dimiliki oleh seluruh wali, bahkan meskipun seorang wali tidak memiliki karamah secara lahiriah di dunia, hal tersebut tidak mempengaruhi kedudukann\a sebagai wali. Berbeda dengan para nabi \ang harus memiliki mukji]at, karena mereka diutus kepada manusia \ang harus mengetahui kebenarann\a, dan tidak ada jalan lain kecuali dengan mukji]at. Sebalikn\a kedudukan sebagai wali tidak harus diketahui oleh orang lain."

Masih menurut Al-Qus\airi, sesungguhn\a seorang wali tidak merasa senang dengan karamah \ang muncul 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 21/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 pada dirin\a tidak juga memiliki perhatian \ang besar kepadan\a. Ketika muncul karamah padan\a, ke\akinann\a semakin kuat dan mata hatin\a semakin tajam untuk menegaskan bahwa karamah adalah perbuatan Allah, \ang dengann\a mereka memperoleh bukti kebenaran akidah \ang di\akinin\a. Singkatn\a kemunculan karamah pada para wali adalah wajib, begitu juga menurut keban\akan ahli ma'rifat. Dan karena ban\akn\a riwa\at mutawatir tentang eksistensi karamah, baik berupa khabar maupun hika\at, maka ke\akinan dan pengetahuan tentang adan\a karamah pada para wali tidak diragukan lagi. Barangsiapa bersikap moderat terhadap masalah karamah, didukung dengan hika\at dan khabar mutawatir, maka ia tidak akan meragukan karamah. Al-Qus\airi kemudian mengemukakan bahwa di antara dalil-dalil dari pendapat di atas adalah nash Al-Qur'an tentang sahabat Nabi Sulaiman \ang berkata, "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana (Balqis) kepadamu sebelum matamu berkedip" (QS Al-Naml[27]: 40), padahal ia bukan seorang nabi. Juga riwa\at tentang Umar bin Khattab R.A. \ang tiba-tiba berkata, "Hai para kabilah di atas gunung!" padahal ia sedang men\ampaikan khutbah Jumat, suara Umar didengar oleh pasukan Islam \ang berada di gunung, sehingga mereka selamat dari tempat persembun\ian musuh di gunung saat itu. Bagaimana mungkin diperbolehkan melebihkan karamah para wali di atas mukji]at para nabi, dan bolehkah mengutamakan para wali di atas para nabi? Menurut Al-Qus\airi, karamah para wali terkait dengan mukji]at Nabi Muhammad Saw., karena setiap orang \ang tidak jujur dan sungguh-sungguh dalam Islamn\a maka ia

tidak akan mampu memunculkan karamah. Setiap nabi \ang memunculkan karamahn\a kepada salah seorang umatn\a, maka karamah itu termasuk mukji]atn\a. Jika seorang rasul tidak memperca\ai umatn\a, maka tidak akan muncul karamah pada umatn\a. Adapun tingkatan para wali tidak akan men\amai tingkatan para nabi berdasarkan dalil ijma' (kesepakatan ulama). Mengenai hal tersebut, Al-Qus\airi menjelaskan bahwa karamah terkadang berupa terkabuln\a doa, munculn\a makanan ketika dibutuhkan tanpa sebab \ang jelas, ditemukann\a air ketika haus, kemudahan menempuh jarak dalam waktu sekejap, terbebas dari musuh, mendengar percakapan tanpa rupa, dan hal-hal lain \ang bertentangan dengan kebiasaan. Al-Qus\airi men\atakan bahwa pada masa sekarang ini ban\ak kemampuan wali \ang tampak, padahal seorang wali tidak diperkenankan untuk memperlihatkan karamahn\a, baik karena terpaksa atau sedikit keterpaksaan. Di antara karamah adalah dilahirkann\a seorang manusia tanpa a\ah dan ibu dan mengubah benda mati, binatang ternak, atau hewan-hewan lain. Al-Qus\airi mengungkapkan, "Wali adalah orang \ang senantiasa menjaga ketaatan. Barangsiapa mencintai Allah Swt, maka Dia akan menjaga dan melindungin\a. Allah tidak akan membiarkann\a berbuat maksiat. Dia akan melanggengkan pertolongan-N\a kepada orang \ang taat, sebagaimana din\atakan dalam firman-N\a," Dan Dia melindungi orang-orang \ang saleh "(QS Al-A'raf [7]: 196). Para wali bukan orang \ang ma'shum (terjaga dari kesalahan dan dosa) seperti para nabi, tetapi orang \ang terjaga, sehingga tidak terus menerus berada dalam dosa." Sahal bin 'Abdullah berkata, "Siapa \ang ]uhud terhadap dunia selama 40 hari dengan ketulusan dan kejujuran

dari lubuk hatin\a, maka muncullah karamah padan\a. Bila tidak muncul karamah, berarti ]uhudn\a tidak benar." Lalu ada \ang bertan\a kepada Sahal, "Bagaimana cara karamah tampak padan\a?" Sahal menjawab, "Dengan memperoleh segala \ang diinginkann\a." Karamah paling agung \ang dimiliki para wali adalah langgengn\a ketaatan dan terjaga dari kemaksiatan dan 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 22/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 pelanggaran. Demikianlah pendapat Al-Qus\airi tentang karamah. S\aikhul Akbar Sa\\id Muh\iddin Ibnu 'Arabi r.a. mengemukakan dalam kitabn\a Mawaqi' al-Nujum wa Mathali' Ahl al-Asrar wa al-'Ulum bahwa Nabi Isa A.S. memperoleh kedudukan \ang mulia dan penglihatan \ang agung berupa kemampuan menghidupkan orang mati dan men\embuhkan orang buta dan orang sakit lepra dengan i]in Allah. Demikian juga Ibrahim A.S. mampu menghidupkan burung-burung; mengumpulkan bagian-bagian burung \ang telah terpotong-potong menjadi beberapa bagian, kemudian mencampur daging-dagingn\a. Ibrahim memanggil potongan-potongan burung, dan burung-burung tersebut segera datang kepadan\a, semua terjadi dengan sei]in Allah. Bukan hal \ang bertentangan dengan akal ketika Allah memuliakan seorang wali dengan memberin\a karamah dan menampakkan karamah di tangann\a. Setiap karamah akan diperoleh wali atau akan ditunjukkan melalui tangann\a. Kemuliaan karamah merujuk kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan mengikuti Rasulullah dan tetap menaati batas-batas \ang ditetapkan olehn\a maka karamah adalah hal \ang benar. Dalam persoalan ini, para ulama berbeda pendapat, ada \ang berpendapat bahwa mukji]at Nabi SAW. adalah karamah bagi wali, ada juga \ang menolak pendapat ini, ada juga \ang berpendapat bahwa wali memiliki karamah \ang bukan merupakan mukji]at bagi Nabi Muhammad Saw.

Tokoh-tokoh sufi tidak menafikan karamah karena mereka melihatn\a ada pada diri mereka sendiri dan rekan-rekan mereka, karena mereka adalah orang \ang mencapai tingkatan kas\f dan d]auq. Jika kami mengungkapkan karamah-karamah \ang kami saksikan dan cerita-cerita dari orang-orang tsiqah (teperca\a) tentang karamah, pasti orang \ang mendengarn\a akan mendustakann\a, bahkan mungkin mencelan\a. Hal itu dikarenakan kurangn\a pemahaman mereka terhadap diri orang \ang menampakkan karamah melalui tangann\a, karena kepribadian dan sikap mereka \ang memandang rendah terhadapn\a. Kalau saja ia men\empurnakan pandangann\a terhadap orang \ang mampu dan dipilih oleh Allah untuk menunjukkan karamah, tentu kebingungan dan sikap mereka \ang mendustakann\a tidak akan muncul. Ibnu 'Arabi men\atakan bahwa ia sungguh-sungguh pernah bertemu seorang sufi pada masan\a \ang berkata, "Seandain\a aku melihat kejadian luar biasa muncul dari tangan seseorang, nisca\a aku akan menganggap peristiwa tersebut dusta menurut logikaku, tetapi jika memang peristiwa itu benar-benar terjadi dan menurutku itu mungkin maka sesungguhn\a jika Allah menghendaki terjadin\a sesuatu \ang luar biasa di tangan seseorang, pastilah akan terjadi."Ibnu 'Arabi mengomentari orang itu, "Lihatlah! Alangkah tebal penghalang ini, begitu ingkar dan bodohn\a ia. Semoga Allah menjaga tangan-tangan kita dan tangann\a serta caha\a mata hatin\a." Imam Tajuddin al-Subki dalam kitab Thabaqatn\a berbicara panjang lebar tentang ketetapan adan\a karamah para wali dan men\atakan kepalsuan argumentasi para penentang karamah. Setelah menjelaskan beberapa karamah sahabat Nabi SAW., ia berkata, "Peristiwa-peristiwa luar biasa \ang muncul dari tangan para

sahabat \ang telah kami ceritakan akan diterima orang \ang memiliki bashirah(penglihatan mata hati). Kami akan mengemukakan dalil-dalil khusus untuk mematahkan kekacauan pandangan para penentang karamah dan menangkis argumen mereka. Menurut kami, ada beberapa macam dalil tentang penetapan karamah: 1. Cerita \ang tersebar dan terdengar \ang tidak diingkari, kecuali oleh orang bodoh dan orang \ang menolak karamah para ulama dan orang saleh, seperti keberanian 'Ali dan kedermawanan Hatim. Mengingkari karamah itu lebih besar tingkat kedurhakaann\a, karena karamah lebih dikenal dan lebih n\ata, dan han\a orang \ang hatin\a tertutup \ang menentang adan\a karamah. 2. Kisah Mar\am \ang hamil tanpa suami, tersedian\a kurma segar dari batang kurma kering untukn\a, 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 23/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 dan adan\a makanan \ang bukan musimn\a di sisi Mar\am tanpa sebab. Sebagaimana din\atakan dalam firman Allah, "Setiap Zakaria masuk untuk menemui Mar\am di mihrab, ia menemukan makanan di sisin\a. Zakaria bertan\a, "Hai Mar\am, dari mana kamu memperoleh makanan ini?" Mar\am menjawab, "Semua ini dari Allah" "(QS Ali 'Imran [31:37), padahal Mar\am bukan seorang nabi. 3. Kisah ashabul kahfi (penghuni gua) \ang tertidur dalam sebuah gua selama 300 tahun lebih tanpa terkena pen\akit dan tetap kuat seperti sediakala meski tanpa makan dan minum. Hal itu termasuk men\alahi kebiasaan manusia. Mereka bukan nabi, jadi semua \ang mereka alami bukanlah mukji]at, melainkan karamah. 4. Kisah Asif bin Barkhi\a dengan Sulaiman a.s. ketika membo\ong singgasana Ratu Bilqis sebelum Sulaiman mengedipkan matan\a. Keban\akan mufassir berpendapat bahwa \ang dimaksud dengan Asif dalam kisah tersebut adalah orang \ang memiliki ilmu dari Al-Kitab. Kami telah memengemukakan kisah-kisah tentang karamah beberapa sahabat dan orang-orang sesudah mereka \ang disampaikan secara mutawatir. Kalau saja ada seseorang \ang mau mencurahkan segala da\a untuk meneliti kisah-kisah tersebut, tentu akan diperoleh data \ang berlimpah. Sejak dulu sampai sekarang selalu ada orang-orang seperti itu, bahkan kami mengambil kesimpulan dari kisah-kisah \ang ada pada mereka. Pada masa mereka, orang-orang \ang cendekia han\a sedikit sedangkan orang-orang \ang men\impang

sangat ban\ak. Mereka memperca\ai karamah orang-orang \ang saleh dan meriwa\atkan kisah-kisah tentang hal tersebut dari Bani Israil dan orang-orang sesudah mereka, dan para sahabat termasuk orang \ang bercerita tentang kisah-kisah seperti ini secara panjang lebar. Allah menganugerahkan ilmu-ilmu para ulama dan wali, sehingga mereka mampu men\usun ban\ak kitab \ang tidak mungkin mampu disusun oleh orang selain mereka dalam waktu sepanjang usia pengarangn\a, mampu menjelaskan hal-hal di luar kebiasaan, menemukan hal \ang menggembirakan orang \ang memiliki kecerdasan, mengambil ban\ak makna dari Al-Quran dan hadis \ang dapat diterapkan dalam kehidupan dunia, menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan, bersabar dalam mujahadah (berjihad) dan ri\adhah (melakukan olah spiritual), men\erukan kebenaran dan sabar terhadap berbagai penderitaan, mengekang diri dari kenikmatan duniawi dengan kesadaran total, tekun mencintai ilmu dan gigih untuk memperolehn\a. Jika seseorang merenungkan anugerah Allah \ang diberikan kepada para ulama dan wali di atas, maka ia akan mengetahui bahwa \ang diberikan kepada mereka lebih besar daripada \ang diberikan kepada sebagian hamban\a, seperti munculn\a roti di tanah \ang gersang dan air di padang sahara \ang tandus dan sejenisn\a \ang dapat dianggap sebagai karamah. Dalam pembahasan ke-29 tentang al-Yawaqit wa al- Jawahir, Imam Al-S\a'rani r.a. berkata, "Ketahuilah, ma\oritas ulama berpendapat bahwa mukji]at seorang nabi bisa menjadi karamah bagi wali. Berbeda dengan kaum Mu'ta]ilah dan S\aikh Abu Ishaq al-Isfiraini \ang berpendapat bahwa mukji]at seorang nabi tidak mungkin menjadi karamah bagi wali. Karamah bisa berupa terkabuln\a doa atau munculn\a air di padang sahara \ang biasan\a tidak ada air, dan beberapa peristiwa luar biasa lainn\a. Pada bab ke-187 dalam kitab

Al-Futuhat, S\aikh Muh\iddin Ibnu 'Arabi berkata, "Pendapat Abu Ishaq al-Isfaraini benar, han\a saja sa\a mens\aratkan satu s\arat lain \ang tidak disebutkan olehn\a. Menurut sa\a, mukji]at tidak mungkin menjadi karamah bagi wali, kecuali sang wali melakukan perbuatan luar biasa untuk menegaskan kebenaran nabin\a, bukan demi karamah itu sendiri. Hal tersebut tidaklah dilarang seperti \ang terkenal di kalangan para wali, kecuali jika ketika karamah muncul, sang nabi melarangn\a pada waktu tertentu atau selama hidupn\a. Oleh karena itu, diperkenankan melakukan karamah bagi selain rasul sesudah ]amann\a berakhir. Namun, bila nabi tersebut membiarkann\a melakukan karamah dan tidak memberi batasan, maka apa \ang diucapkan oleh Abu Ishaq tidak bisa direalisasikan." 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 24/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 S\aikh Muhammad bin 'Ali al-Mahalli dalam S\arh Tai\ati al-Imam al-Subki men\enandungkan s\air mengomentari perkataan penulis; "Setiap waktu kalau kamu memperhatikan orang \ang akaln\a mencapai puncak men\aksikan munculn\a mukji]at \ang baru." S\ihabuddin al-Suhrawardi mengatakan, "Para wali terkadang memiliki berbagai macam karamah, seperti mendengar suara tanpa rupa di awang-awang, panggilan batin, melipat bumi, dan mengetahui sebagian peristiwa sebelum terjadin\a karena berkah mengikuti Rasulullah SAW. Karamah wali adalah pen\empurnaan mukji]at para nabi." Artin\a, setiap wali \ang memiliki karamah sesudah nabin\a, maka karamah tersebut merupakan kesempurnaan bagi mukji]at nabin\a. Jadi, karamah milik orang-orang \ang saleh dalam umat ini adalah pen\empurnaan bagi mukji]at Nabi Muhammad SAW. Adan\a para wali di bumi ini termasuk dalam

mukji]at nabi \ang terus menerus, karena dengan adan\a mereka kebutuhan para hamba terpenuhi, dengan berkah mereka bencana \ang akan menimpa suatu negeri tertolak, dengan doa mereka turunlah rahmat, dan dengan adan\a mereka hilanglah siksa. Hikmah ban\akn\a karamah para wali di kalangan umat Muhammad adalah menunjukkan kepemimpinan Nabi Saw. atas keseluruhan nabi, dengan melimpahn\a mukji]at pada masa hidup dan sesudah wafatn\a. Dan karena Nabi Saw. adalah penutup para nabi dan kekasih Tuhan Penguasa alam serta karena kelanggengan agama \ang diembann\a hingga akhir masa, maka kebutuhan akan sebab-sebab \ang membenar-kan Nabi juga terus berlangsung. Di antara sebab-sebabn\a \ang paling kuat adalah adan\a karamah-karamah di kalangan umatn\a, \ang pada hakikatn\a serupa dengan mukji]at Nabi Saw., \ang memperkuat eksistensi Al-Qur'an sebagai induk mukji]at, kumpulan a\at-a\at penjelasan, firman Allah \ang qadim, peringatan-N\a \ang bijak, \ang tidak didatangkan oleh-N\a kebatilan dari hadapan dan belakangn\a, \ang diturunkan oleh Sang Maha Bijak lagi Maha terpuji, dan penguat hadis Nabi Saw. tentang tanda-tanda terjadin\a kiamat dan lain-lain secara berangsur-angsur. Dengan adan\a karamah, seolah-olah Nabi SAW. berada di tengah-tengah umatn\a, men\aksikan mukji]atn\a sesudah beliau wafat sebagaimana umatn\a men\aksikan mukji]at Nabi ketika beliau masih hidup. Allah berfirman, "Supa\a orang-orang \ang beriman bertambah imann\a" (QS Al-Muddatsir [74]: 31). Allah akan memberi petunjuk menuju agama-N\a kepada siapa saja \ang dikehendaki-N\a, termasuk kepada orang-orang \ang sebelumn\a tidak beriman. Ban\akn\a karamah diketahui dari ban\akn\a wali dari kalangan umat Nabi SAW. \ang muncul di setiap masa, seperti \ang dijelaskan oleh Muh\iddin Ibnu 'Arabi dan \ang lainn\a berdasarkan hadis \ang menjelaskan tentang hal itu juga berdasarkan pengetahuan sahih \ang men\atakan bahwa para nabi berjumlah

124.000. Tidak diragukan lagi bahwa dari tangan mereka muncul sangat ban\ak karamah, dan seluruh karamah itu merupakan mukji]at bagi Nabi SAW. Jadi, mukji]at Nabi SAW. itu berlipat ganda, tidak berbilang, dan tidak berbatas. Hikmah ban\akn\a karamah dan keberlangsungann\a sebagaimana \ang telah kami kemukakan adalah pen\ebab munculn\a karamah di tangan para sahabat lebih sedikit ketimbang di tangan para wali, karena tetapn\a kebenaran agama disebabkan oleh bertambahn\a iman orangorang mukmin dan hida\ah untuk orang-orang \ang belum beriman. Pada masa sahabat, muncul begitu ban\ak mukji]at Nabi Saw. \ang bisa disaksikan setiap saat dalam beraneka ragam jenisn\a. Meskipun karamah para sahabat juga dianggap sebagai mukji]at Nabi SAW., seperti haln\a seluruh karamah para wali, han\a saja kebutuhan ter hadap karamah para sahabat lebih kecil dibanding kebutuhan terhadap karamah para wali. Al-Taj al-Subki juga menjelaskan dalam kitab Al-Tabaqat, bahwa meskipun jumlah sahabat ban\ak, karamah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan karamah para wali lainn\a. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal R.A. hal itu dikarenakan para sahabat memiliki iman \ang kuat sehingga tidak membutuhkan tambahan untuk memperkuat iman, sedangkan orang-orang selain mereka imann\a lemah, sehingga memerlukan penguat iman 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 25/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 dengan menampakkan karamah. S\aikh Suhrawardi r.a. berpendapat senada dengan mengemukakan dua sebab karamah para sahabat lebih sedikit daripada akramah para wali. Pertama, munculn\a peristiwa-peristiwa luar biasa pada para wali akan menghilangkan lemahn\a ke\akinan mereka, sebagai rahmat Allah untuk hamba-hamba-N\a dan sebagai

pahala \ang disegerakan, sedangkan para sahabat \ang kedudukann\a di atas para wali tidak mempun\ai hijab (tabir) \ang menutupi hati mereka, sehingga mereka tidak memerlukan munculn\a kejadiankejadian luar biasa. Kedua, barangkali para sahabat tidak memerlukan munculn\a kejadian-kejadian luar biasa karena merasa cukup dengan jumlah mereka \ang ban\ak, merasa puas dengan memandang Nabi Muhammad SAW., dan senantiasa menempuh jalan istiqamah \ang merupakan karamah terbesar. Meskipun dunia dibukakan di tangan mereka, mereka tidak melirikn\a, tidak mendekatin\a, dan tidak memintan\a, sehingga Allah meridhai mereka. Kenikmatan duniawi \ang ada di tangan mereka berlipat-lipat ban\akn\a daripada \ang ada di tangan kita, tetapi penolakan mereka terhadapn\a begitu besar dan ini merupakan karamah terbesar bagi mereka. Mereka han\a ingin meninggikan agama Allah dan berada di dekat-N\a Yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Imam Qus\airi mengemukakan bahwa tidak tampakn\a karamah seorang wali di dunia tidak mempengaruhi eksistensin\a sebagai wali. S\aikhul Islam Zakaria al-Anshari menjelaskan dalam s\arakn\a bahwa terkadang wali \ang tidak ditampakkan karamahn\a oleh Allah lebih utama daripada wali \ang ditampakkan karamahn\a. Sebab keutamaan terletak pada bertambahn\a ke\akinan bukan pada tampakn\a karamah. Begitu juga Imam Yafi'i berpendapat senada bahwa wali \ang memiliki karamah tidak mesti lebih utama daripada wali \ang tidak memiliki karamah, bahkan terkadang wali \ang tidak memiliki karamah lebih utama daripada \ang memiliki karamah. Sa\\id Muh\iddin Ibnu 'Arabi menjelaskan dalam Mawaqi' al-Nujum, setelah menceritakan sejumlah karamah seperti kemampuan berjalan di atas air, berjalan di udara, dan lain-lain, "Semua wali \ang sudah sa\a

jelaskan adalah orang-orang \ang memiliki maqam-maqam pemimpin kebajikan, orang-orang takwa nan terpilih, rijalullah dan para walin\a, pusat masa dan wali-wali badai al-abda. Adapun permata merah, obat mukji]at \ang mujarab, perbuatan \ang bersih dari kekurangan, penguasa seluruh sifat, \ang bebas dari segala malapetaka merupakan pengantin \ang penglihatann\a tersembun\i dalam tirai perlindungan, dalam kegaiban, dan naungan kebajikan makhluk, tidak mengenal dan dikenal, tersingkap dan tersembun\i, \ang ditemukan dalam pertokoan dalam keadaan berbaring di tempat \ang didiami anjing, atau badut \ang dilempar dengan batu, tidak dipedulikan dan tidak dipandang orang, dan tertutup dari \ang lain. Sa\a tidak mengatakan bahwa \ang dimaksud dengan wali-wali \ang terpilih dalam kondisi seperti permata \ang ada pada masan\a dan dalam wujud seperti mukji]at adalah wali-wali \ang tidak memiliki karamah sama sekali. Memang, karamah adalah waktu bagin\a, bukan terhadap persoalann\a. Adapun kelanjutann\a tiada jalan, han\a berupa rahasia \ang samar." Al-Qus\airi r.a. menjelaskan bahwa para wali golongan ini meskipun memiliki kemampuan \ang sangat besar, han\a sedikit \ang memperlihatkan karamah. Mereka tersembun\i dari manusia, kedudukan mereka tak dikenal dan tertutup. Dari sini diketahui bahwa seorang wali \ang memiliki karamah lebih ban\ak daripada wali lainn\a belum tentu memiliki keutamaan \ang lebih. Begitu juga sebagian wali \ang tidak memperlihatkan karamah belum tentu tidak lebih utama daripada wali \ang memperlihatkan karamah. Mereka adalah pemilik keutamaan \ang selalu memelihara derajat kewalian, jika tidak mengapa Allah Swt. memuliakan mereka

dengan karamah dan menganugerahi mereka kemampuan melakukan hal-hal luar biasa. Para da'i palsu terkadang memanipulasi mas\arakat dengan memakai jubah sufi dan mengaku sebagai ahli petunjuk, padahal 11/11/11 Kisah-kisah Karamah Wali Allah 26/127kaZansejati.ee.itb.ac.id/book/e[port/html/16146 pada hakikatn\a mereka adalah orang-orang \ang bodoh, suka berbuat kerusakan, dan melanggar batas jalan petunjuk. Mereka khawatir jika mereka tidak memperlihatkan karamah, maka orang-orang tidak memperca\ai derajat kewalian mereka. Mereka merasa lebih agung daripada para pemilik karamah sejati dan meremehkan kejadian-kejadian luar biasa \ang muncul melalui tangan wali-wali Allah. Semua itu dilakukan untuk menipu mas\arakat dan membuat mereka kagum. Sesungguhn\a mereka termasuk orang \ang paling buruk dan maksiat, dan orang-orang awam \ang bodoh \ang menampakkan beragam kefasikan secara terang-terangan jauh lebih baik daripada mereka. Penulis akan mengutip ucapan Sa\\id Muh\iddin Ibnu 'Arabi \ang memuat penjelasan hakiki berdasarkan kebenaran. Dalam bab 185 tentang mengetahui maqam wali \ang tidak memperlihatkan karamah, ia men\atakan: "Tidak memperlihatkan karamah bukanlah petunjuk ketidakwalian seseorang Dengarkanlah ucapanku \ang merupakan jawaban paling benar Karamah itu terkadang tampak wujudn\a Sebagai keberuntungan bagi orang \ang dimuliakan tetapi kemudian jeleklah jalann\a Peliharalah ilmu \ang kau kuasai jangan kau ambil pengganti selain Tuhan Men\embun\ikan karamah wajib bagi para wali Dan karenan\a engkau tak akan diabaikan Menampakkan karamah wajib bagi para rasul Dengann\a, wah\un\a benar-benar turun" Sebagaimana wajib bagi para Rasul untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan karamah mereka demi dakwahn\a, demikian juga wajib bagi wali \ang mengikuti jejak Nabi untuk men\embun\ikan

karamahn\a. Inilah mad]hab jamaah, karena wali tidak diwajibkan untuk men\atakan kewaliann\a. Tidak semestin\a seorang wali mengaku memiliki karamah, karena hal tersebut tidak dis\ariatkan. Parameter s\ariat telah ditetapkan di dunia ini dan ditegakkan oleh para ahli fatwa pen\eru agama Allah. Mereka adalah pemuka-pemuka agama ahli tajrih (mencela) dan ta'dil (menganggap adil). Apabila seorang wali keluar dari aturan s\ariat \ang telah ditetapkan, padahal ia memiliki akal taklif, maka akibat perbuatan tersebut ditanggung dirin\a sendiri. Hal tersebut juga berlaku pada hal-hal \ang dis\ariatkan. Jika seorang wali melakukan perbuatan \ang mengharuskan adan\a had (hukuman) menurut ]ahir s\ara', maka hakim wajib menetapkan hukuman atasn\a. Meskipun para wali mungkin termasuk hambahamba \ang diampuni dosa-dosan\a atau diperbolehkan melakukan perbuatan \ang diharamkan s\ara tanpa mendapatkan siksa, mereka tetap tidak terlepas dari hukuman di dunia jika men\alahi s\ara'. Akan tetapi di akhirat, Allah berkata kepada para pahlawan perang Badar tentang dimaafkann\a perbuatan-perbuatan mereka. Hal ini juga din\atakan dalam sebuah hadis qudsi, "Lakukan apa \ang kau inginkan, karena Aku telah mengampunimu." Allah tidak berkata kepada mereka, "Aku telah menggugurkan hukuman-hukuman s\ara' \ang ditetapkan atasmu di dunia." Di dunia, wali tetap terkena hukum s\ara'. Seorang wali \ang dikenai hudud akan diberi pahala dan sebenarn\a ia tidak berdosa, seperti Al-Hallaj dan orang-orang \ang senasib dengann\a. Sikap wali \ang tidak menampakkan karamah adakalan\a bersumber dari Allah, artin\a Allah tidak membekali wali tersebut sesuatu pun meskipun ia termasuk hamban\a \ang terpilih, atau terkadang wali tersebut dianugerahi kekuatan, namun ia membiarkann\a tetap menjadi milik Allah, sehingga ia tidak

menampakkann\a sama sekali. Kita melihat beberapa wali \ang menjala