kewarganegaraan (golput)
TRANSCRIPT
-
7/22/2019 Kewarganegaraan (golput)
1/7
BAB I
PENDAHULUAN
Tahun 2009, Indonesia kembali menggelar Pemilu. Pertama untuk memilih
anggota legislatif di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten / kota serta anggota
Dewan Perwakilan Daerah. Menyusul kemudian pemilihan presiden dan wakil
presiden secara langsung. Seluruh proses ini jika dihitung dalam skala waktu di
luar waktu pembahasan peraturan dan perundangan, sosialisasi-sosialisasi, hingga
persiapan partai-partai berlangsung antara enam hingga sepuluh bulan. Betapa
panjang, berat, mahal, dan melelahkannya proses Pemilu era reformasi ini. Karena
itu sepertinya Pemilu tetap akan menjadi topik paling menarik dan favorit untuk
dibicarakan sepanjang saat ini.
Yang akan dibahas dalam makalah ini bukanlah jantung dari topik ini, tapi
boleh dikata pinggiran dari isu besar tersebut, yaitu tentang Golput, akronim dari
golongan putih. Melihat betapa besar kecenderungan Golput dalam pemilihan
kepala-kepala daerah sepanjang lima tahun terakhir ini, muncul pertanyaan :
apakah kecenderungan serupa akan berlangsung juga dalam Pemilu 2009? Inilah
pokok utama, dengan segala aspek, yang hendak ditelusuri. Golput bukanlah
isapan jempol. Golput adalah suatu gejala yang kompleks, yang bersumber dari
sikap apatis, kurang pemahaman tentang perundangan, ketidakpuasan politik
hingga sungguh-sungguh suatu resistensi terhadapsistem politik.
Setelah menengok gejala Golput di berbagai negara dan kajian-kajian teoritis
yang membahasnya, Munawar Ahmad, pengajar Sosiologi Agama,
Fak.Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memprediksikan Golput akan
terus ada, hanya persoalannya apakah gerakan tersebut akan mengganggu arah
dinamika politik menuju satu tujuan yang pasti, yakni kesejahteraan bersama
ataukah justru membelokkan dinamika politikke arah yang destruktif. Tingginya
angka Golput tidak ada korelasinya dengan cita-cita politik, sejauh system
perpolitikan sudah tertata dengan mapan. Tetapi, keadaan tersebut akan berbalik
apabila sistem perpolitikan belum mapan. Apalagi, kini sudah ada gejala
-
7/22/2019 Kewarganegaraan (golput)
2/7
reproduksi makna terhadap kata Golput sebagai kelompok yang bersih, paham
politik, tidak emosional dan lebih ningrat, di tengah hiruk pikuk dinamika politik
yang dinamis.
Nyoman Subanda dari Universitas Pendidikan Nasional, Denpasar, menelaah
kembali akar-akar Golput di era reformasi secara lebih luas. Bagi masyarakat,
problem korupsi, kemiskinan hingga kriminalitas adalah agenda-agenda yang
harus diselesaikan oleh pemerintah. Sekali janji penyelesaian masalah-masalah ini
tidak dilaksanakan, mereka akan mengutarakan protes, kritik, dan ketidakpuasan.
Golput di sini menjadi instrumen paling murah dan mudah untuk melakukan kritik
dan protes. Memahami Golput dengan demikian bisa juga dilakukan dengan
memahami apa yang menjadi aspirasi masyarakat.
Arie Sujito, sosiolog dari UGM dan Direktur eksekutifInsttitute for Research
and Empowerment (IRE),melihat Golput sebagai suatu tindakan politik, atau dari
sisi, perlawanan aktif dan sadar masyarakat terhadap sistem politik yang
ditulangpunggungi partai. Golput menjadi sebuah warning agar partai-partai
segera membenahi diri : merumuskan ideologi secara lebih jelas, rekruitmen kader
yang serius, tata kelola pemerintahan yang bersih dan demokratis, konsisten
menjalankan program yang memiliki nilai manfaat besar bagi masyarakat, dan
mempunyai kerangka program kerja yang jelas dan nyata.
Golput dianggap tidak memiliki pengaruh sama sekali terhadap hasil Pemilu.
Bahkan , jika suara Golput itu lebih besar daripada suara yang dinayatakan
sebagai pemenang, ia tetap kalah Tapi seperti seorang yang kena slilit,
keadaan pasti tidak akan berjalan tenang dan mudah. Itulah pentingnya kita
memahami Golput.
-
7/22/2019 Kewarganegaraan (golput)
3/7
BAB II
ISI
2.1 Makna Golput
Golput bisa diartikan sebagai protes atau penolakan terhadap mekanisme
dan sistem yang sedang berjalan. Dan hendaknya harus disikapi dengan etika,
moral dan civil society sebagai hal yang positif terhadap masalah-masalah yang
sifatnya struktural, susbtansi dan procedural sebagai sebuah gerakan moral politik.
Artinya, partai politik dalam mengusung calon harusnya memberi ruang kepada
masyarakat pemilih dalam merumuskan kepentingan dan konfirmasi kepada
pendukung dalam mengusulkan calon dalam kontestasi politik. Jika tidak,
tingginya angka Golput menjadi pekerjaan rumah bagi partai-partai politik di
Indonesia untuk secepatnya kembali memikirkan formulasi agar konstituennya
bias kembali pulang kandang dan merapat. Golput menuai tafsir sebagai
manifestasi sikap kritis yang menghendaki adanya perubahan system politikdalam electoral law dan electoral process. Pada Pilkada, momentumnya adalah
keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi(MK) yang membatalkan UU
Pemerintahan Daerah terkait item calon perorangan. Seperti yang diketahui,
menjelang pelaksanaan Pilkada, secara bersamaan keluar keputusan MK yang
melapangkan jalan adanya calon perorangan dalam Pilkada. Seperti diketahui,
menjelang pelaksanaan Pilkada, kandidat-kandidat yang tidak mendapatkan
kendaraan politik kemudian menggunakan peluang politik dengan adanya calon
perorangan dalam Pilkada, meski keputusan MK itu belum operasional.
Mencuatnya angka Golput bisa dibaca bahwa masyarakat tidak peduli terhadap
politik. Masyarakat tidak hirau, tidakp eduli dengan arah kebijakan politik.
Dengan demikian, fenomena Golput bisa diartikan bahwa tingkat apatisme politik
masyarakat terhadap masalah politik sangat rendah. Tentu apatisme politik seperti
itu terkait dengan perjalanan politik selama ini, dimana tingkat partisipasi
masyarakat politik yang tinggi setelah reformasi, tetapi tidak ada korelasinya
-
7/22/2019 Kewarganegaraan (golput)
4/7
dengan membaiknya tarap kehidupan masyarakat bidang ekonomi dan politik.
Politik dengan demikian, hanya menjadi urusan elit belaka dan tidak memiliki
hubungan dengan masalah-masalah nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-
hari. Ada beberapa hal yang perlu dicermati pada fenomena Golput :pertama,
Golput mampu menyeruak menjadi basis atas ketidakpercayaan pada kader
Parpol. Fenomena Golput juga dapat menjadi simbol pembelajaranbagi setiap
Parpol, karena dari beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei
nasional menunjukkan bahwa kondisi Parpol saat ini mengalami krisis
kepercayaan dari masyarakat. Kedua, Golput mencoba diakui sebagai sebuah
peradaban semacam ideologi (hak asazi manusia) dengan alasan kapok karena
Parpol yang ada dianggap tidak capable, dan melanggar janjinya. Ketiga,
persoalan ekonomi, masyarakat lebih mengutamakan adanya pendapatan dan
pekerjaan. Mereka tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk memilih, karena
merasa jenuh dan tidak mau terlibat politik. Yang penting bagaimana memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat, alasan teknis yaitu proses pendaftaran
pemilih yang masih belum tertib dan banyak manipulasi data pemilih. Dengan
kata lain, koordinasi antar departeman yang terlibat belum terlihat jelas dan masih
tumpang tindih, terutama data jumlah pemilih dan mekanisme yang panjang dan
menjelimet. Kearifan Golput adalah fenomena kerusakan dan sekaligus proses
perbaikan politik. Bila gagal, demokrasi akan mereduksi dirinya sendiri sebagai
bentuk festival yang penuh pesta pora dan kepentingan. Dalam arti, Golput
adalah kekuatan dan sekaligus menjadi ancaman dalam pengkhianatan terhadap
ideology bangsa. Kita karus belajar banyak dari pengalaman Majapahit dan
penjajahan Kolonialisme, artinya kekuatan integrasi politik sangat mendesak kita
perlukan dan kita distribusikan kenation state ini. Jangan sampai kita menunggu
kesalahan-kesalahan yang kita pernah buat yang menjamin bagi kehidupan yang
lebih baik di kemudian hari. Tidak layak bagi Golput untuk selalu di cap negatif,
namun lebih kepada bagaimana mengelola perbedaan sebagai momentum
kedaulatan rakyat tercipta atas sepengetahuan dan keterlibatan penuh dari rakyat
itu sendiri.
-
7/22/2019 Kewarganegaraan (golput)
5/7
2.2 AKAR PERMASALAHAN MAKIN BERKEMBANGNYA GOLPUT
Di bawah ini akan disampaikan beberapa faktor yang membuat Golput
semakin berkembang dalam masyarakat Indonesia :
1. KegagalanStudi yang dilakukan world economic forum dari Universitas Harvard
sekitar tahun 2002 tentang Negara gagal, ciri-ciri dan apa akibatnya di 59
negara dan Indonesia termasuk didalamnya. Studi ini telah menyimpulkan
indikator dan karakteristik dari Negara yang gagal:
a. Tingginya angka kriminalitasMunculnya aneka kasus dan tindakan fandalisme, kriminal yang terjadi di
masyarakat akhir-akhir ini merupakan gejala awal bahwa Negara kita
gagal dalam berdayakan masyarakatnya.
Masyarakat semakin mudah marah oleh sebab sepele lalu berprilaku atalis.
Gejala kekerasan dan kekejian adalah fenomena dan indikator kehidupan
masyarakat yang anomidan krisis identitas. Kasus mutilasi menjadi contohriil masyarakat yang cenderung mengambil jalan kekerasandan kekejian
dianggap lumrah bagi masyarakat.
b. Korupsi merajalelaModus korupsinya bervariasi yakni eksekutif berupa penggunaan sisa dana
tanpa prosedur, penyimpangan penggunaan sisa APBD dan manipulasi
proses pengadaan barang dan jasa. Sedangkan pihak legislative berupa
memperbanyak dan memperbesar mata anggaran, menyalurkan dana
APBD bagi lembaga fiktif dan manipulasi perjalanan dinas. Data inilah
yang menguatkan bahwa korupsi adalah proses bunuh diri yang sangat
efektif dalam proses pembangunan sekaligus memandulkan proses
demokrasi yang akan berkembang.
-
7/22/2019 Kewarganegaraan (golput)
6/7
c. Miskinnya opini publikMiskinnya opini publik ini terjadi karena agen opini publik itu sendiri
bersikap oportunitis dan berselingkuh dengan penguasa yang ada.
d. Suasana ketidakpastian yang tinggiKrisis kepercayaan ini tentu tak kekecewaannya dengan Golput lepas dari
ulah partai-partai politik sebagai aninfrastruktur yang mengolah,
mengkader dan memproses elit politik. Masyarakat Indonesia ditengarai
semakin apatis dan tidak lagi mengapresiasi keberadaan partai-partai
politik, sebab keberadaan partai politik dianggap tidak sungguh-sungguh
dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk mengartikulasikan aspirasi
masyarakat.
2. Pemilu Yang Tidak Bermanfaat Langsung kepada RakyatKonstituen atau para pemilih dan para peserta Pemilu atau yang disebut
Parpol, menawarkan janji-janji atau programnya pada masa kampanye,
sedangkan konstituen terjebak atau sepaham dalam ideologisnya partai yang
bermuara terhadap radikalisme dan anarkisme. Dari program-program yang
telah disosialisasikan pada masa kampanye, secara implementasinya pada akar
rumput, ternyata tidak sesuai dengan program-program pada saat kampanye,
sehingga munculnya faham golongan putih atau Golput yang merupakan
representatif konstituen akan ketidak sinkronisasinya program-program
dengan implementasi. Hal mendasar inilah yang menjadi Golput kian
bertambah tiap tahun berujung pada kepercayaan publik semakin menurun
terhadap lembaga-lembaga pemerintahan, sehingga Golput bagi masyarakat
bukan lagi menjadi fenomena tetapi realitas dan cara untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat akan masa depan demokrasi.
3. Demokrasi Tanpa Substansi Dan EsensiEsensi dan substansi yang diperjuangkan dalam demokrasi adalah
kesejahteraan rakyat, kebaikan bersamadan keadilan sosial (commond
-
7/22/2019 Kewarganegaraan (golput)
7/7
$good,bonum publicum). Namun cita-cita ideal dari demokrasi ini sengaja
dilupakan untuk diaplikasikan dan di implementasikan.
Demokrasi yang ada hanya mengutamakan demokrasi politik, tanpa
diimbangi dengan demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Korelasi antara
demokrasi politik tidak berbanding lurus dengan perkembangan ekonomidan
sosial. Sesuatu yang sangat paradox dan antagonisme politik ketika
mengutamakan kepentingan politik tetapi meniadakan kepentiangan ekonomi
masyarakat dan sosial.
2.3 Solusi untuk Mengurangi Banyaknya Golput :
KPUD, partai-partai, para kandidat dan kalangan lembaga swadaya
masyarakat selayaknya menyikapinya sebagai salah satu tantangan yang perlu
jawaban layak dan segera. Ancaman golput yang tinggi semestinya mendorong
berbagai kalangan itu untuk melipat gandakan kerja. KPUD mesti memperbaiki
kerjanya untuk mempersempit kemungkinan kebocoran dan pencederaan hak-hak
pemilih. Partai dan kandidat mesti mendekatkan isu dan program yang mereka
tawarkan pada persoalan sehari-hari masyarakat dan pada pembelaan konkret
hajat hidup orang banyak. Kalangan LSM juga selayaknya tergerak ikut
memfasilitasi terbangunnya pemilih maupun golput yang bertanggung jawab.
Yang penting disadari para pemilih dan calon golput, ketika penyontrengan
dilakukan, pekerjaan sebagai warga Negara Indonesia bukannya berakhir, tapi
baru saja dimulai.