kesantunan berbahasa orangtua dan anak dalam … · vii abstrak muhammad afdal. 2019.“kesantunan...
TRANSCRIPT
KESANTUNAN BERBAHASA ORANGTUA DAN ANAK DALAM
LINGKUNGAN KELUARGA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu
SyaratgunaMenperolehGelarSarjanaProgram StudiPendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia
FakultasKeguruandanIlmuPendidikan
UniversitasMuhammadiyah Makassar
OLEH
MUHAMMAD AFDAL
10533802215
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
ii
iii
iv
v
vi
MOTO
Keputusasaan bukanlah sesuatu yang diberikan dari luar,
Tetapi datang dari diri sendiri..
Selama hati tak menyerah,
Maka keputusasaan akan menjadi lemah..
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya
persembahkan untuk
Ayahanda Nurhady T dan Ibunda
Dahnia Yusuf M yang selalu
kurindukan dengan
curahan kasih sayangnya serta tak henti-hentinya
mendukung dan memotivasi setiap waktu hingga
terselesaikannya skripsi ini.
Kepada kakak-kakak dan adik-adikku, keluarga
serta sahabat-sahabat yang selalu memberikan motivasi dan
dukungan untuk menjadi lebih baik.
vii
ABSTRAK
Muhammad Afdal. 2019. “Kesantunan Berbahasa Orang Tua dan Anak
dalam Lingkungan Keluarga. Skripsi, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas
Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Rosmini Madeamin dan Tarman
A.Arief.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud kesantunan
berbahasa orangtua dan anak dalam lingkungan keluarga. Jenis penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan wujud
kesantunan berbahasa orangtua dan anak dalam lingkungan keluarga. Data
dalam penelitian ini berupa tuturan-tuturan yang menunjukkan wujud
kesantunan orangtua dan anak dalam lingkungan keluarga. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik observasi, teknik
simak, dan teknik catat. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa prinsip kesantunan dalam interaksi orangtua
dan anak dalam lingkungan keluarga menunjukkan jumlah tuturan yang
ditemukan sebanyak 28 tuturan yang menggunakan prinsip kesantunan.
Prinsip kesantunan yang dimaksud meliputi: (1) maksim kebijaksanaan
sebanyak 3 tuturan (2) maksim kedermawanan sebanyak 10 tuturan (3)
maksim penghargaan sebanyak 2 tuturan (4) maksim kesederhanaan
sebanyak 6 tuturan (5) maksim permufakatan sebanyak 5 tuturan dan (6)
maksim kesimpatian sebanyak 2 tuturan. Dengan demikian, adanya wujud
kesantunan berbahasa tersebut merupakan penanda kesantunan yang
menunjukkan bahwa orangtua dan anak cukup memperhatikan kesantunan
dalam berkomunikasi. Saran dari peneliti adalah masyarakat disarankan
memperbanyak penggunaan wujud kesantunan berbahasa yang telah
ditemukan di lingkungan keluarga maupun lingkungan luar agar perilaku
berbahasa santun dapat semakin terinternalisasi dalam diri masyarakat
Kata kunci: Keluarga, Kesantunanberbahasa, Sosiopragmatik
viii
KATA PENGANTAR
Bismilaahirrahmaanirrahiim
Allah Maha Penyayang dan Maha Pengasih, demikian kata untuk mewakili
atas segala karunia dan nikmat-Nya. Jiwa ini takkan henti bertahmid atas anugrah
pada detik waktu, denyut jantung, gerak langkah, serta rasa dan rasio pada-Mu,
Sang Khalik. Skripsi ini adalah setitik dari berkah-Mu
Setiap orang dalam berkarya selalu mencari kesempurnaan, tetapi
terkadang kesempurnaan itu terasa jauh dari kehidupan seseorang. Kesempurnaan
bagaikan fatamorgana yang semakin dikejar semakin menghilang dari pandangan,
bagai pelangi yang terlihat indah dari kejauhan, tetapi menghilang jika didekati.
Demikian juga tulisan ini, kehendak hati ingin mencapai kesempurnaan, tetapi
kapasitas penulis dalam keterbatasan. Segala daya dan upaya telah penulis
kerahkan untuk membuat tulisan ini selesai dengan baik dan bermanfaat dalam
dunia pendidikan.
Oleh sebab itu, sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada orang tua yang tak henti-henti memberikan dukungan
dan doa serta motivasi yang sangat luar biasa, Dr. Dra. Rosmini Madeamin, M.Pd.
PembimbingI dan Dr. Tarman A. Arief, S.Pd., M.Pd. Pembimbing II yang telah
meluangkan waktu guna penyelesaian skripsi, Erwin Akib, M.Pd., Ph. D. Dekan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Dr. Munirah, M.Pd. Ketua Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Kakak, dan Adik saya yang terus
memberikan dukungan serta motivasi, Puspitasari yang senantiasa memberikan
waktu dan dukungan serta motivasi, teman-teman kelas D 2015 yang telah
ix
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi, sahabat serta teman-teman yang
tak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuan dan doanya.
Tak ada gading yang tak retak, itulah peribahasa yang tepat untuk
menggambarkan skrpsi ini, yang penulis sadari masih banyak kekurangan. Untuk
itu, tegur sapa, kritik,dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan guna
perbaikan dimasa yang akan datang. Harapannya, agar skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis umumnya bagi semua pembaca.
Makassar, Januari 2020
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ......................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................ii
PERSETUJUAN PEMBIBING .......................................................................iii
SUTAR PERNYATAAN ..................................................................................iv
SURAT PERJANJIAN .....................................................................................v
MOTO DAN PERSEMBAHAN ......................................................................vi
ABSTRAK .........................................................................................................vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka ....................................................................................... 7
1. Penelitian Relevan ........................................................................... 7
2. Bahasa .............................................................................................. 10
3. Pragmatik ........................................................................................ 16
4. Tindak Tutur ................................................................................... 17
5. Kesantunan Berbahasa .................................................................... 19
xi
6. Prinsip Kesantunan Berbahasa ........................................................ 20
7. Konsep Keluarga ............................................................................. 26
B. Kerangka Pikir .......................................................................................... 26
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian ................................................. 29
B. Definisi Istilah ...................................................................................... 30
C. Data dan Sumber Data ......................................................................... 31
D. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 31
E. Teknik Analisis Data ........................................................................... 32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ...................................................................................... 33
B. Pembahasan ........................................................................................... 47
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................... 51
B. Saran .......................................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat komunikasi dan interaksi yang digunakan untuk
menyampaikan pesan kepada mitra tuturnya. Masinambouw (dalam Abdul Chaer,
2010: 6) mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana
berlangsungnya suatu interaksi manusia dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan
dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku dalam
budaya itu.
Agar tercapainya tujuan penutur kepada mitra tutur oleh karena itu
penutur harus memiliki kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan bukan hal yang
asing lagi bagi masyarakat, apalagi masyarakat Indonesia yang kental akan
budaya dan adat istiadat. Kesantunan dapat berupa tindak tutur, dan sikap yang
dapat menggambarkan identitas diri seseorang. Oleh karena itu, kesantunan
merupakan hal yang sangat penting saat berinteraksi dengan orang lain agar
hubungan baik selalu terjaga.
Kesantunan merupakan aspek kebahasaan yang amat penting karena dapat
memperlancar interaksi antara individu. Dalam tataran sosiolinguistik kesantunan
merupakan sebuah istilah yang berkaitan dengan „kesopanan‟, „rasa hormat‟,
„sikap yang baik‟, atau „perilaku yang pantas‟. Dalam kehidupan sehari-hari,
keterkaitan kesantunan dengan perilaku yang pantas mengisyaratkan bahwa
kesantunan tidak hanya berkaitan dengan bahasa, tetapi juga dengan perilaku non-
verbal. yang menarik adalah kesantunan merupakan titik pertemuan antara bahasa
2
dan realitas sosial. Duranti, 1997 (dalam Zalili Sailan, 2014: 5) menyebutkan
bahwa fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, mempunyai hubungan dengan
masyarakat, kebudayaan dan pikiran penuturnya, bahkan dengan dunia secara
umum maka timbul adanya hubungan antara bahasa, masyarakat, budaya, dan
pikiran manusia. Penggunaan kesantunan berbahasa tidak saja ditentukan oleh
pilihan tuturannya, melainkan juga oleh aspek-aspek lain yang turut menentukan
tingkat kesantunan, misalnya usia, jarak sosial antara penutur dengan mitra tutur,
situasi, waktu, tempat, dan tujuan tuturan. Dengan demikian, dalam penggunaan
bahasa perlu diperhatikan konteks pemakaian bahasa.
Agar tercapainya tujuan penutur kepada mitra tutur, penutur harus
memiliki kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan bukan hal yang asing lagi bagi
masyarakat, apalagi masyarakat Indonesia yang kental akan budaya dan adat
istiadat. Kesantunan dapat berupa tindak tutur, dan sikap yang dapat
menggambarkan identitas diri seseorang. Oleh karena itu, kesantunan merupakan
hal yang sangat penting saat berinteraksi dengan orang lain agar hubungan baik
selalu terjaga.
Maksim sopan santun mempelajari tentang bagaimana seseorang dapat
mengungkapkan pernyataan dengan menunjukkan sikap sopan santun kepada
pihak lain sesuai aturan-aturan Geoffrey Leech menjelaskan bahwa secara umum
maksim sopan santun berhubungan antara dua orang pemeran yaitu diri sendiri
(penutur) dan orang lain (mitra tutur).
Lingkungan keluarga merupakan sekumpulan orang yang memiliki
hubungan darah, perkawinan, dan adopsi. Keluarga merupakan kebutuhan
3
manusia yang universal dan menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam
kehidupan individu. Keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu keluarga
kerabat yang tidak didasarkan pada pertalian suami istri, tetapi pada pertalian
darah atau ikatan keturunan dari sejumlah orang kerabat. Keluarga kerabat terdiri
atas hubungan darah dari beberapa generasi yang mungkin berdiam dalam satu
rumah atau pada tempat lain yang berjauhan.
Di lingkungan keluarga sekalipun, terkadang kita mendengar pembicaraan
yang diucapkan oleh anak mengucapkan kata-kata yang tidak santun pada saat
berkomunikasi. Interaksi sosial dalam lingkungan keluarga lebih banyak
mengesampingkan kesantunan dalam bertindak tutur. Lokusi, ilokusi, maupun
perlokusi dari tindak tutur orang tua dan anak jauh dari maksim kesantunan .
Berdasarkan uraian tersebut, tampak bahwa percakapan dalam lingkungan
keluarga sangat potensial digunakan sebagai objek kajian kesantunan berbahasa
karena masih banyak yang menggunakan bahasa-bahasa yang tidak
memperhatikan kesopanan berbahasa dalam bertutur. Penggunaan bahasa dalam
lingkungan keluarga tentu harus memperhatikan etika komunikasi, pada saat kita
berbicara. Suasana interaksi antara orang tua dan anak sangat rentan dengan
penggunaan bahasa yang tidak santun serta tidak bisa menempatkan penggunaan
bahasa yang sesuai norma yang berlaku, terutama mencerminkan identitas sebagai
makhluk sosial yang sebenarnya. Peran dan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi
yang santun harus mencerminkan identitas diri sebagai masyarakat atau makhluk
sosial. Penggunaan bahasa yang santun dalam berkomunikasi dapat
mencerminkan karakter pengguna bahasa, karena ungkapan bahasa yang
4
digunakan berkaitan dengan etika dalam komunikasi. Pragmatik mempunyai teori
kesantunan dalam berkomunikasi antar sesama manusia. Kesantunan ini
dibutuhkan karena terdapat status sosial, perbedaan umur, jenjang, ataupun latar
belakang hidup seseorang agar terjadi suatu kesantunan yang baik antar sesama.
Hal tersebut sangat perlu dalam proses komunikasi orang tua dan anak.
Hal seperti inilah terkadang diabaikan oleh orang tua dan anak, sehingga
etika komunikasi tidak diterapkan dalam berbahasa khususnya dalam konteks
interaksi di lingkungan keluarga. Misalnya, bahasa yang digunakan kepada teman
sebaya sama dengan bahasa yang digunakan kepada orang yang lebih tua darinya.
Sehingga dengan alasan inilah peneliti merasa penting untuk meneliti tentang
kesantunan berbahasa yang digunakan oleh orang tua dan anak dalam lingkungan
keluarga.
Oleh sebab itu, peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan judul
Kesantunan Berbahasa Orang Tua dan Anak dalam Lingkungan Keluarga
menggunakan kajian sosiopragmatik. Penelitian ini disebut sebagai penelitian
sosiopragmatik karena yang dikaji adalah penggunaan bahasa di dalam sebuah
masyarakat budaya di dalam situasi sosial tertentu. Sosiopragmatik adalah telaah
mengenai kondisi-kondisi setempat. Kondisi-kondisi lokal yang lebih khusus
mengenai penggunaan bahasa. Dalam masyarakat setempat lebih khusus terlihat
bahwa prinsip kesopansantunan berlangsung secara berubah-ubah dalam
kebudayaan yang berbeda-beda atau aneka masyarakat bahasa dalam situasi sosial
yang berbeda. Sosiopragmatik adalah suatu studi yang mengkaji tentang ujaran
yang disesuaikan dengan situasi dalam suatu lingkungan tertentu. Penelitian ini
5
menggunakan teori Geoffrey Leech. Prinsip kesantunan yang dikembangkan oleh
Geoffrey Leech terdiri atas maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan,
maksim penghargaan, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim
kesimpatian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu, Bagaimanakah wujud prinsip kesantunan berbahasa antara
orang tua dan anak dalam lingkungan keluarga?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud kesantunan
berbahasa dan prinsip kesantunan berbahasa antara orang tua dan anak dalam
lingkungan keluarga.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah hasil penelitian tentang
kesantunan berbahasa dalam lingkungan keluarga dan memperkaya khazanah
ilmu pengetahuan serta wawasan dalam ilmu pragmatik.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti untuk menambah pemahaman
mengenai pembelajaran kesantunan berbahasa dalam lingkungan
keluarga.
6
b. Penelitian ini bermanfaat bagi pembaca untuk memberikan
pembelajaran tentang kesantunan berbahasa dalam lingkungan
keluarga.
c. Penelitian ini dapat dijadikan acuan atau referensi bagi peneliti lain
yang akan meneliti lebih lanjut khususnya mengenai kesantunan-
kesantunan dalam lingkungan keluarga.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
Keberhasilan sebuah penelitian bergantung pada teori yang mendasarinya.
Teori merupakan landasan dari sebuah penelitian. Suatu penelitian yang berkaitan
dengan kajian pustaka yang mempunyai koherensi dengan masalah yang dibahas.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini bersifat elastis, artinya penelitian
ini tidak bertumpu pada satu teori tertentu, tetapi berpegang pada beberapa teori
yang dianggap cocok dan sejalan dengan penelitian ini. Adapun teori-teori yang
dijabarkan dari tinjauan pustaka dan ditinjau oleh peneliti sebagai landasan teori
dalam memecahkan masalah adalah sebagai berikut.
1. Penelitian Relevan
Penelitian ini merujuk pada penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Wa Ode Nurjamily pada tahun 2015 yang meneliti “Kesantunan
Berbahasa Indonesia dalam Lingkungan Keluarga (Kajian Sosiopragmatik)‟.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yang
menguraikan dan menyajikan data-data yang diperoleh secara faktual dan akurat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa Indonesia di lingkungan
keluarga terdapat beberapa strategi kesantunan negatif yang dikembangkan oleh
Penelope Brown dan Levinson Stephen C. dengan menggunakan ukuran
solidaritas kesantunan berbahasa, dan prinsip kesantunan yang dikembangkan
oleh Geoffrey Leech yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan,
maksim pujian, maksim kesederhanaan, maksim kesetujuan, maksim kesimpatian,
8
dan maksim pertimbangan, serta dilengkapi dengan prinsip kerja sama yang
dikembangkan oleh Grice yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim
relevansi, dan maksim cara atau pelaksanaan. Prinsip-prinsip tersebut tidak selalu
diterapkan dalam percakapan.
Penelitian selanjutnya oleh Ali Kusno pada Tahun 2014 dengan judul
“Kesantunan Bertutur Oleh Orang Tua Kepada Anak di Lingkungan Rumah
Tangga”. Dalam penelitiannya mengangkat tentang penerapan kesantunan
berbahasa orang tua kepada anak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Pengumpulan data
dalam penelitian ini, dengan teknik pengamatan berperan serta.
Penelitian selanjutnya oleh Siti Norhidayah pada tahun 2014 dengan judul
“Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Keluarga Masyarakat Banjar di
Kecamatan Banjar Selatan”. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan kualitatif ini, peneliti mengamati
tindak komunikasi penutur berpendidikan formal dan tidak berpendidikan formal
dalam keluarga di masyarakat Banjar.
Penelitian selanjutnya oleh Randi Pratama pada tahun 2018 dengan judul
“Telaah Kesantunan Berbahasa Indonesia Siswa Kelas XI SMK Negeri Tapango
Kab. Polewali Mandar”. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif
dengan subjek tuturan interaksi verbal siswa kelas XI SMK Negeri Tapango Kab.
Polewali Mandar. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik
observasi, teknik catat, dan teknik rekam. Teknik analisis data dengan cara
mentranskrip data hasil observasi, mengidentifikasi dan mengklarifikasi data,
9
menyalin kedalam kartu data, menganalisis kartu data dan menyimpulkan.
Untuk penelitian relevan yang kelima oleh Anita Rahman pada tahun 2017
dengan judul “Kesantunan Berbahasa Indonesia Masyarakat dan Polisi pada
Pemeriksaan Lalulintas Kepolisian Polres Gowa”. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif yaitu mendeskripsikan wujud kesantunan berbahasa Indonesia
masyarakat dan polisi dalam pemeriksaan lalulintas Polres Gowa. Data dalam
penelitian ini berupa tuturan-tuturan yang menunjukkan wujud kesantunan
masyarakat dan polisi dalam pemeriksaan lalulintas Polres Gowa. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik observasi, teknik rekam, dan
teknik catat. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan, penelitian ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan sebelumnya. Pertama, jika dibandingkan dengan
penelitian Wa Ode Nurjamily berbeda dengan sasaran yang diteliti. Sasaran
penelitian adalah menggali hubungan dan mendeskripsikan prinsip kesantunan
berbahasa antara orang tua dan anak dalam lingkungan keluarga. Sedangkan,
penelitian Wa Ode Nurjamily meneliti prinsip kesantunan berbahasa Indonesia
yang ada di dalam lingkungan keluarga.
Sementara jika dibandingkan dengan penelitian Ali Kusno yang meneliti
tentang penerapan kesantunan berbahasa orang tua kepada anak. Subjek penelitian
antara kedua peneliti berbeda, yaitu peneliti Siti Norhidayah meneliti tindak
komunikasi penutur berpendidikan formal dan tidak berpendidikan formal dalam
keluarga di masyarakat Banjar.
10
Selanjutnya jika dibandingkan penelitian Randi Pratama perbedaan pada
penelitian ini terletak pada subjek penelitian. Penelitian ini menempatkan tuturan
langsung siswa SMK Negeri Tapango sebagai subjek penelitian. Sedangkan pada
penelitian yang dilakukan oleh Anita Rahman adalah kesantunan berbahasa
masyarakat dan polisi pada pemeriksaan lalulintas kepolisian Polres Gowa.
Sedangkan penelitian penulis menggali hubungan dan mendeskripsikan
prinsip kesantunan berbahasa antara orang tua dan anak dalam lingkungan
keluarga.
Berdasarkan penelitian yang relevan diatas, maka peneliti mampu
mengetahui bahwa persamaan dari penelitian ini adalah sama-sama meneliti
tentang kesantunan berbahasa.
2. Bahasa
a. Pengertian Bahasa
Menurut Abdul Chaer (2007: 14) bahasa diartikan sebagai sebuah sistem
lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan manusia sebagai alat
komunikasi atau alat interaksi sosial. Batasan ini menunjukkan bahwa manusia
tidak dapat hidup sendiri. Pada dasarnya manusia membutuhkan bantuan orang
lain dalam rangka bersosialisasi dengan lingkungan. Seseorang akan dikatakan
berhasil bersosialisasi apabila menggunakan bahasa. Oleh karena itu, dengan
bahasa manusia dapat membina relasi, bekerja sama, dan berinteraksi serta
memperkenalkan diri dengan manusia lainya dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Gorys Keraf (2004: 1) bahasa merupakan alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Dalam
11
hal ini bahasa diartikan sebagai simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia yang dapat dijadikan sebagai alat untuk berkomunikasi oleh manusia
dalam kehidupan sehari-hari.
Pendapat lain dikemukakan oleh Kridalaksana ( dalam Abdul Chaer, 2007:
32); yaitu bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan
oleh anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri. Yang dimaksud dengan arbitrer adalah tidak adanya
hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang dengan yang
dilambangkannya (Abdul Chaer, 2007: 38). Selain itu bahasa merupakan suatu
sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat
bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada
budaya yang mereka miliki bersama (Soenjono Dardjowidjojo, 2012: 16).
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang artinya tidak
ada hubungan wajib antara bahasa dengan konsep yang dilambangkan dan bahasa
juga digunakan oleh manusia sebagai alat saling berhubungan atau berkomunikasi
dengan satu sama lain. Bahasa dijadikan sebagai alat komunikasi oleh manusia
dalam kehidupan sehari-hari karena manusia tidak dapat hidup sendiri, dan
manusia membutuhkan bantuan orang lain dalam rangka bersosialisasi di dalam
masyarakat. Bahasa digunakan oleh manusia untuk menyampaikan pikiran dan
perasaan agar saling berhubungan dan berinteraksi.
12
b. Fungsi Bahasa
Secara umum fungsi bahasa menurut Hidayat (2006: 26) adalah sebagai
alat komunikasi, bahkan dapat dipandang sebagai fungsi utama dari bahasa.
Sedangkan jika dilihat dari perspektif kebahasaan istilah komunikasi mencakup
makna mengerti dan berbicara, mendengar dan merespon suatu tindakan. Bahasa
mempunyai fungsi yang penting bagi manusia. Menurut Tarigan (2009: 3) Bahasa
sebagai sarana komunikasi vital dalam hidup ini. Karena bahasa merupakan milik
manusia dan bahasa merupakan salah satu ciri pembeda kita manusia dengan
mahluk hidup lainya di dunia ini. Wardhaugh, 1972 (dalam Abdul Chaer, 2007:
15) mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi manusia,
baik lisan maupun tulisan.
Menurut Gorys Keraf (2004: 3) bahwa ada empat fungsi bahasa, yaitu
untuk menyatakan ekspresi diri, sebagai alat komunikasi, sebagai alat untuk
mengadakan integrase dan adaptasi sosial, dan sebagai alat untuk mengadakan
kontrol sosial. Pengertian bahasa sebagai alat untuk menyampaikan pikiran si
penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga
memperhatikan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Di bawah ini
dijelaskan fungsi-fungsi bahasa yang dimaksud yaitu:
a) Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri. Bahasa sebagai alat untuk
menyatakan ekspresi diri maksudnya ialah bahasa menyatakan secara
terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-
kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang
mendorong ekspresi diri antara lain keinginan menarik perhatian orang
13
lain terhadap kita dan keinginan untuk membebaskan diri dari semua
tekanan emosi. Contohnya pada bayi, ia akan menangis bila lapar atau
haus. Ketika mulai belajar berbahasa, ia menyatakan kata-kata untuk
menyatakan lapar atau haus. Hal itu berlangsung terus hingga seorang
menjadi dewasa.
b) Sebagai alat komunikasi. Komunikasi merupakan akibat yang jauh dari
ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna jika ekspresi diri tidak
diterima atau dipahami oleh orang. Dengan komunikasi kita dapat
menyampaikan semua yang kita rasakan, pikirkan, dan kita ketahui kepada
orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua
yang pernah dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita. Tuturan
sehari-hari yang diucapkan oleh ibu terhadap anaknya sudah menunjukkan
komunikasi. Tuturan ibu merupakan proses penyampaian pesan antara ibu
dengan anaknya.
c) Sebagai alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Bahasa, di samping
sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia
memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari, dan
mengambil bagian dalam pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan
orang lain. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap
orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang
dimasukinya serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan
dengan menghindari bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi
yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembaruan) yang
14
sempurna bagi setiap individu dengan masyarakatnya. Melalui bahasa
seorang anggota masyarakat perlahan-lahan belajar mengenai adat-istiadat,
tingkah laku, dan tata krama masyarakatnya. Ia mencoba menyesuaikan
dirinya (adaptasi) dengan lingkungannya.
d) Sebagai alat mengadakan kontrol sosial. Kontrol sosial adalah usaha untuk
mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang lain. Tingkah laku itu
dapat bersifat terbuka (overt: yaitu tingkah laku yang dapat diamati atau
diobservasi), maupun yang bersifat tertutup (covert: yaitu tingkah laku
yang tidak dapat diamati atau diobservasi). Semua kegiatan sosial akan
berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan mempergunakan bahasa.
Semua tuturan pertama-tama dimaksudkan untuk mendapat tanggapan,
baik tanggapan yang berupa tutur maupun tanggapan yang berbentuk
perbuatan. Dalam mengadakan kontrol sosial, bahasa mempunyai relasi
dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat.
Menurut Abdul Chaer (2007: 32) fungsi bahasa adalah sebagai alat
komunikasi. Dalam kapasitas sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki fungsi-
fungsi yang lebih khusus dalam masyarakat, seperti untuk menjalin hubungan atau
kerja sama dengan sesama manusia, menyatakan pikiran, perasaan, menyatakan
keinginan, alat untuk mendefinisikan diri dan sebagainya.
P. W. J. Nababan (dalam Hidayat, 2006: 29), seorang linguis Indonesia,
membagi fungsi bahasa sebagai komunikasi dalam kaitannya dengan masyarakat
dan pendidikan menjadi empat fungsi, yaitu 1) fungsi kebudayaan; 2) fungsi
kemasyarakatan; 3) fungsi perorangan dan 4) fungsi pendidikan. Fungsi
15
kebudayaan dari bahasa, menurut Nababan adalah sebagai sarana perkembangan
kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan.
Sedangkan fungsi kemasyarakatan bahasa menunjukkan peranan khusus suatu
bahasa dalam kehidupan masyarakat. P. W. J. Nababan mengklasifikasikan fungsi
kemasyarakatan bahasa kedalam dua bagian, yaitu 1) berdasarkan ruang lingkup;
2) berdasarkan bidang pemakaian. Yang pertama mengandung arti “bahasa
nasional” dan “bahasa kelompok”. Bahasa nasional berfungsi sebagai lambang
kebanggan kebangsaan, lambang identitas bangsa, alat penyatuan berbagai suku
bangsa dengan berbagai latar belakang sosial budaya, dan bahasa sebagai alat
perhubungan antara daerah dan antara budaya. Yang kedua, bahasa kelompok
ialah bahasa yang digunakan oleh kelompok yang lebih kecil dari suatu bangsa,
seperti suku bangsa atau subsuku, sebagai lambang identitas kelompok dan alat
pelaksanaan kebudayan kelompok itu.
Fungsi perorangan dari bahasa, dijelaskan P. W. J. Nababan (dalam
Michael Haliday 1976). Michael Halliday membuat klasifikasi kegunaan
pemakaian bahasa atas dasar observasi yang terus-menerus terhadap penggunaan
bahasa oleh anaknya sendiri. Klasifikasi untuk anak-anak kecil terdiri dari enam
fungsi yaitu sebagai 1) instrumental; 2) menyuruh; 3) interaksi; 4) kepribadian; 5)
pemecahan masalah (heuristik); dan 6) khayal. Terakhir fungsi pendidikan dari
bahasa, didasarkan pada banyaknya penggunaan bahasa dalam pendidikan dan
pengajaran, mencakup empat fungsi yaitu 1) fungsi integratif; 2) fungsi
instrumental; 3) fungsi kultural; 4) fungsi penalaran.
16
Dari fungsi-fungsi yang diungkapkan para ahli tersebut, jelas bahwa
dengan bahasa itulah manusia berkata, bercakap-cakap, melakukan interaksi dan
komunikasi, mengungkap isi pikirannya, mengungkapkan segala gejolak yang ada
dalam perasaannya, dan berargumentasi. Dengan bahasa martabat manusia
menjadi meningkat, baik disisi Tuhan maupun umat manusia. Karena itulah
manusia sampai kapan pun tidak akan bisa melepaskan diri dari adanya bahasa
sebagai suatu yang mesti ada.
3. Pragmatik
Pragmatik merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa yang
digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. Menurut George Yule
(2006: 3) pragmatik merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh
penutur atau peneliti dan ditafsirkan oleh pendengar atau pembaca. Dalam hal ini
pragmatik merupakan ilmu yang menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-
situasi khusus. Untuk itu pragmatik memusatkan perhatian pada aneka ragam cara
yang merupakan wadah aneka konteks sosial performansi bahasa. Menurut
Stephen C. Levinson (Kunjana Rahardi, 2005: 48) mendefinisikan pragmatik
sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dan konteksnya. Menurut
Geoffrey Leech (2011: 5) pragmatik sebagai pokok bahasan utama dalam buku
yang menyelidiki makna dalam konteks penggunaan bahasa dan bukan makna
sesuatu yang abstrak.
Menurut I Dewa Putu Wijana (1996: 2) pragmatik adalah cabang ilmu
bahasa yang mempelajari stuktur bahasa secara eksternal. Ia mengatakan bahwa
17
pragmatik adalah bagaimana satuan kebahasaan yang digunakan dalam
komunikasi.
4. Tindak Tutur
Teori tindak tutur secara khusus telah dibahas oleh dua ahli filsafat yaitu
John Austin 1962 dan John Searle 1983 (dalam Zalili Sailan, 2014). Dalam
formulasi keduanya menegaskan, bahasa digunakan tidak hanya menggambarkan
dunia, tetapi untuk melakukan tindakan yang dapat diindikasikan dari tampilan
ujaran atau tuturan itu sendiri. Menurut John Austin (1962) setidaknya terdapat
tiga macam tindak tutur yang harus dipahami bersama oleh peserta tutur, yaitu (1)
tindak lokusioner, (2) tindak ilokusioner, dan (3) tindak perlokusioner.
1) Tindak lokusioner
Tindak lokusioner atau lokusi adalah tindak berbicara dengan
mengucapkan sesuatu dengan makna kata sesuai makna kamus atau makna
kalimat menurut kaidah sintaksisnya. Jadi, berupa ujaran yang dihasilkan
oleh penutur dan maknanya sesuai dengan makna yang dikandung oleh
kata, frasa, dan kalimat itu sendiri. Misalnya seorang penutur mengujarkan
sebuah kalimat yang berbunyi, “saya haus” maka kalimat itu mengandung
arti, saya sebagai orang pertama tunggal dan haus mengandung makna
mengacu ke tenggorokan kering, dan perlu diucapkan tanpa bermaksud
minta minum. Contoh lain dalam ujaran, tanganku gatal, yang diujarkan
oleh seorang penutur, maka tindak tutur lokusionernya semata-mata hanya
bermaksud memberitahukan kepada mitra tutur bahwa tangan penutur
18
dalam keadaan sakit gatal. Demikian pula ujaran Anda merokok? tindak
lokusionernya adalah kalimat tanya.
2) Tindak Ilokusioner
Tindak ilokusioner atau ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu, yakni
kita berbicara tentang maksud, fungsi, atau daya ujaran yang
bersangkutan, dan bertanya untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi ucapan
saya haus, tanganku gatal, dan Anda merokok? yang diucapkan oleh
penutur, tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan kepada
mitra tutur pada saat kata itu dituturkan, tetapi penutur mengiginkan agar
mitra tutur melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan tuturan
tersebut. Jadi, ucapan saya haus, tanganku gatal, atau Anda merokok?
dapat bermaksud, yang pertama minta minum, kedua minta obat, dan
ketiga berisi permintaan, larangan, tawaran, dan pertanyaan.
3) Tindak Perlokusioner
Tindak perlokusioner atau perlokusi adalah tindak tutur yang mengacu ke
efek yang dihasilkan oleh penutur dengan mengatakan sesuatu. Misalnya
dalam ujaran saya haus, atau tanganku gatal, dimana kedua kata itu
diucapkan oleh penculik anak atau oleh seorang tukang pukul, maka
efeknya akan menimbulkan rasa takut pada anak, apalagi di dalam memori
anak sebelumnya telah tertanam pemahaman bahwa tukang pukul itu
nakal, atau penculik itu selalu haus darah. Hal yang sama terjadi pula pada
tuturan, Anda merokok? ucapan itu pasti berefek pada „pemberian,
penghentian, penerimaan, dan penolakan‟. Contoh-contoh di atas adalah
19
tindak perlokusi karena ada efek yang ditimbulkan oleh tuturan itu.
Sejalan dengan pendapat John Austin tersebut, John Searle kemudian
menegaskan bahwa dalam satu tindak tutur sekaligus terkandung tiga
macam tindakan, yaitu (1) tindak lokusi atau pengujaran yang berupa kata
atau kalimat, (2) tindak ilokusi yang dapat berupa pernyataan, janji,
perintah, dan (3) tindak perlokusi itulah yang kadang-kadang memiliki
dampak terhadap perilaku masyarakat. Hal-hal yang bersifat perlokusi
inilah yang biasanya muncul dari maksud yang berada di balik tuturan
(implikatur).
5. Kesantunan Berbahasa
Menurut Fraser (dalam Abdul Chaer, 2010: 47) mendefinisikan
kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan dengan hal ini
menurut pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak melampaui hak-haknya
atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibanya. Mengenai definisi
kesantunan dari Faser, menurut Asim Gunarwan (Abdul Chaer, 2010: 47) ada tiga
hal yang perlu diulas. Pertama, kesantunan itu adalah properti atau bagian dari
tuturan; jadi bukan tuturan itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang
menentukan apakah kesantunan itu terdapat pada sebuah tuturan. Mungkin saja
sebuah tuturan dimaksudkan sebagai tuturan yang santun oleh si penutur, tetapi
ditelinga lawan tutur, tuturan itu ternyata tidak terdengar santun, begitupun
sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta
pertuturan. Artinya, apakah sebuah tuturan terdengar santun atau tidak diukur
20
berdasarkan: (a) apakah si penutur tidak melampaui haknya terhadap lawan
tuturnya; (b) apakah si penutur memenuhi kewajibanya kepada lawan tuturnya itu.
Kesantunan bersifat relatif di dalam masyarakat. Ujaran biasa dikatakan
santun di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, akan tetapi di kelompok
masyarakat lain bisa dikatakan tidak santun. Tujuan kesantunan termasuk
kesantunan berbahasa adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak
mengancam muka dan efektif. Menurut Zamzani, dkk. (2010: 2), kesantunan
merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika.
Kesantunan merupakan fenomena kultural, sehingga apa yang dianggap santun
oleh suatu kultur mungkin tidak demikian halnya dengan kultur yang lain.
Kesantunan mencakup intonasi. Menyatakan bahwa intonasi adalah tinggi-
rendah suara, panjang-pendek suara, keras-lemah, jeda, dan irama yang menyertai
tuturan. Intonasi dapat dibedakan menjadi dua, yakni intonasi yang menandai
berakhirnya suatu kalimat atau intonasi final, dan intonasi yang berada di tengah
kalimat atau intonasi nonfinal. Intonasi berfungsi untuk memperjelas maksud
tuturan. Oleh karena itu, intonasi dapat dibedakan lagi menjadi intonasi berita,
intonasi tanya, dan intonasi seruan. Intonasi seruan itu sendiri masih dapat
diperinci lagi menjadi intonasi perintah, ajakan, permintaan, dan permohonan.
6. Prinsip Kesantunan Berbahasa
Prinsip kesantunan berbahasa pada dasarnya adalah bagaimana seseorang
berbahasa dan berperilaku santun untuk menjaga kehormatan dan martabat diri
sendiri. Prinsip kesantunan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni
dari diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur dan orang
21
lain adalah lawan tutur (I Dewa Putu Wijana, 1996: 55). Prinsip kesantunan
berbahasa menyangkut hubungan antara peserta komunikasi yaitu penutur dan
pendengar, dalam suatu tuturan sehingga tuturan tersebut tidak menyinggung
perasaan orang lain. Terkait dengan prinsip kesantunan, ada sejumlah pakar yang
menulis mengenai teori kesantunan berbahasa. Diantaranya adalah Penelope
Brown dan Stephen C. Levinson (1978), dan Geoffrey Leech (1993). Prinsip
kesantunan yang dikemukakan oleh beberapa tokoh tersebut, yang sampai saat ini
dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif telah
dirumuskan oleh Geoffrey Leech. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
maksim-maksim prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Geoffrey Leech
sebagai acuan yaitu dari berbagai bentuk maksim. Selain itu maksim juga disebut
sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kesopanan Geoffrey Leech (dalam
Kunjana Rahardi, 2011: 206). Untuk itu maksim dapat dikatakan sebagai kaidah-
kaidah yang mengantur tindakannya.
Geoffrey Leech (dalam Kunjana Rahardi, 2011: 206), membagi prinsip
kesantunan ke dalam enam maksim yaitu, (a) maksim kebijaksanaan (taxt maxim),
(b) maksim kedermawanan (generosity maxim), (c) maksim penghargaan
(approbation maxim), (d) maksim kesederhanaan (modesty maxim),(e) maksim
pemufakatan (agreementmaxim), dan (f) maksim kesimpatian (sympathy maxim).
Keenam maksim yang dirumuskan oleh Geoffrey Leech :
a) Maksim Kebijaksanaan (Taxt maxim)
Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan
kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Berikut ini
22
contoh penerapan maksim kebijaksanaan antara orang tua kepada anak di
lignkungan keluarga :
Ayah : ”Jihan, ayo makanannya dihabiskan”.
Jihan : “Ayah?”
Ayah : “Jihan habiskan tidak apa-apa. Ayah sudah kenyang.”
Jihan : “Jihan habiskankah?”
Ayah : Iya.
Informasi tuturan:
Dituturkan oleh ayah kepada Jihan yang sedang asyik makan. Ayah
meminta Jihan menghabiskan makanannnya. Meskipun sebenarnya ayah
juga ingin makan.
Pada tuturan tersebut, ayah menerapkan maksim kebijaksanaan dengan
mengatakan Jihan, ayo makanannya dihabiskan dan Jihan habiskan tidak
apa-apa. Ayah sudah kenyang. Penggunaan dua tuturan ayah tersebut
menerapkan maksim kebijaksanaan dengan menambah keuntungan pada
Jihan agar menghabiskan makanannya, meskipun ayah juga ingin makan.
b) Maksim Kedermawanan (generosity maxim)
Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk
memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan bagi
diri sendiri. Berikut ini contoh penerapan maksim kedermawanan antara orang tua
kepada anak di lingkungan keluarga.
Jihan : Susu Jihan habis.
Ibu : Habiskah Jihan. Sini ibu bikinkan yang baru ya.
23
Informasi tuturan:
Dituturkan oleh antara Jihan dan ibu saat susunya habis. ibu
membantu membuatkan susu yang baru.
Pada tuturan tersebut, ibu menerapkan maksim kedermawanan dengan
mengatakan Habiskah Jihan. Sini ibu bikinkan yang baru ya.
Penggunaan tuturan ibu tersebut menerapkan maksim kedermawanan
dengan mau berkorban membuatkan susu untuk Jihan.
c) Maksim Penghargaan (approbation maxim)
Maksim penghargaan diutarakan dengan kalimat asertif dan kalimat
ekspresif. Maksim penghargaan menuntut setiap peserta penutur untuk
memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak
hormat kepada orang lain. Berikut ini penerapan maksim penghargaan antara
orang tua dan anak dalam lingkungan keluarga.
Jihan : Ayah, Jihan bisa naik sepeda.
Ayah : Wah hebat anak ayah. Tapi hati-hati ya.
Informasi tuturan:
Dituturkan Jihan dan ayah setelah Jihan belajar naik sepeda.
Pada tuturan tersebut, ayah menerapkan maksim penghargaan dengan
mengatakan Wah hebat anak ayah. Tapi hati-hati ya. Penggunaan tuturan
ayah tersebut menerapkan maksim penghargan, yakni dengan
menambahkan pujian kepada Jihan.
d) Maksim Kesederhanaan (modesty maxim)
Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan
24
ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri
sendiri. Berikut ini contoh penerapan maksim kesederhanaan antara orang tua
kepada anak di lingkungan keluarga.
Jihan : Jihan cantik.
Ibu : Iya, cantik sekali.
Jihan : Ibu cantik juga.
Ibu : ehm, masih cantikkan anak ibu dong.
Informasi tuturan:
Dituturkan Jihan dan ibu dalam obrolan setelah mandi sore.
Pada tuturan tersebut, ibu menerapkan maksim kedermawanan dengan
mengatakan ehm, masih cantikkan anak ibu dong. Penggunaan tuturan ibu
tersebut menerapkan maksim kesederhanaan dengan mengurangi pujian
pada diri sendiri dan menambahkan cacian pada diri sendiri.
e) Maksim Pemufakatan (agreementmaxim)
Maksim ini menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk
memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan
di antara mereka. Berikut ini contoh penerapan maksim kemufakatan antara orang
tua kepada anak di lingkungan keluarga.
Ayah : Jihan lagi gambar apa, ya?
Jihan : Jihan gambar rumah. Bagus kan!
Ayah :Iya bagusnya. Mau dong ayah dibuatkan rumah juga.
Informasi tuturan:
Dituturkan ayah dan Jihan saat sedang belajar menggambar.
25
Pada tuturan tersebut, ibu menerapkan maksim kedermawanan dengan
mengatakan iya bagusnya. Mau dong ayah dibuatkan rumah juga.
Penggunaan tuturan ibu tersebut menerapkan maksim kemufakatan, yakni
dengan mengurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain
dan meningkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
f) Maksim Kesimpatian (sympathy maxim)
Maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan
tuturnya. Berikut ini contoh penerapan maksim simpati antara orang tua kepada
anak di lingkungan keluarga.
Jihan : Ibu, Jihan gigit semut sini. Gatal.
Ibu : Kasihannya anak ibu. Gatalkah nak?
Jihan : Iya.
Ibu : Sini ibu kasih minyak biar ndak gatal lagi.
Informasi tuturan:
Dituturkan ibu dan Jihan, saat Jihan mengeluh kakinya gatal digigit
semut.
Pada tuturan tersebut, ibu menerapkan maksim kedermawanan dengan
mengatakan kasihannya anak ibu. Gatalkah nak? penggunaan tuturan
ibu tersebut menerapkan maksim simpati, yakni mengurangi antipati
antara diri sendiri dengan orang lain dan memperbesar simpati antara
diri sendiri dengan orang lain.
26
7. Konsep Keluarga
Narwoko dan Suyanto, 2004 (http:// 4.bp.blogspot.com/2015/04/
pengertian-keluarga-menurut-para-ahli.html) Keluarga adalah lembaga sosial
dasar dari mana semua lembaga atau pranata sosial lainnya berkembang. Di
masyarakat mana pun di dunia, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang
universal dan menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu.
Keluarga juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti (conjugal
family) dan keluarga kerabat (consanguine family). Conjugal Family atau
keluarga inti didasarkan atas ikatan perkawinan dan terdiri dari suami, istri, dan
anak-anak mereka yang belum kawin. Sedangkan Consanguine family atau
keluarga kerabat tidak didasarkan pada pertalian suami istri, melainkan pada
pertalian darah atau ikatan keturunan dari sejumlah orang kerabat. Keluarga
kerabat terdiri dari hubungan darah dari beberapa generasi yang mungkin berdiam
dalam satu rumah atau pada tempat lain yang berjauhan. Kesatuan keluarga
kerabat ini disebut juga sebagai keluarga luas. (Narwoko dan Suyanto, 2004: 14).
B. Kerangka Pikir
Penelitian Kesantunan Berbahasa Orang Tua dan Anak dalam
Lingkungan Keluarga ini meneliti wujud kesantunan berbahasa dan
mendeskripsikan prinsip kesantunan berbahasa antara orang tua dan anak dalam
lingkungan keluarga. Data berupa tuturan percakapan yang terjadi antara orang
tua dan anak di lingkungan keluarga dan mematuhi maksim-maksim kesantunan.
Alat pengukur kesantunan yang digunakan untuk menentukan tuturan pada
27
pelaksanaan percakapan antara orang tua dan anak, yaitu maksim-maksim
kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Geoffrey Leech.
Data yang akan dikaji tentunya kesantunan berbahasa antara orang tua dan
anak dalam lingkungan keluarga. Setelah data terkumpul dan dianalisis, kemudian
dikomparasikan sehingga dapat disimpulkan termasuk dalam kategori tingkat
kesantunan yang mana. Kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan melalui bagan I
berikut.
28
Bagan I: Kerangka Pikir
Pragmatik
Tindak Tutur
Prinsip Kesantunan
Berbahasa Keluarga
Ayah dan Ibu
Bahasa Indonesia
Ayah dan Anak Ibu dan Anak
Kesantunan Berbahasa
Analisis
Temuan
Sosiolinguistik
Semantik
Psikolinguistik
Maksim
Kebijaksanaan
Maksim
Kedermawanan
Maksim
Penghargaan
Maksim
Kerendahan Hati
Maksim
Kesepakatan
Maksim
Kesimpatian
29
BAB III
METODE PENELITIAN
Kata metode berarti cara yang telah diatur dan disusun secara sistematis
untuk mencapai suatu maksud tertentu baik dalam ilmu pengetahuan ataupun
lainnya. Jadi, untuk memperoleh data yang objektif dalam penelitian kesantunan
berbahasa antara orang tua dan anak dalam lingkungan keluarga. Penelitian ini
melalui tahapan-tahapan untuk mendapat hasil penelitian yang valid. Adapun
tahap-tahapnya dalam penelitian ini harus mengetahui beberapa hal sebagai
berikut :
A. Jenis dan Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode ini merupakan penggambaran atau penyajian data berdasarkan
kenyataan-kenyataan secara objektif dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta
hubungannya dengan masalah penelitian. Metode ini bertujuan membuat
deskriptif sesuai dengan kenyataan atau keadaan data secara alamiah, sehingga
data yang ada berdasarkan fenomena dan fakta yang memang sesuai dengan
kenyataan pada penuturnya.
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian lapangan yaitu
peneliti yang terlibat secara langsung dalam melakukan penelitian di lingkungan
keluarga.
30
B. Definisi Istilah
1. Kesantunan Berbahasa
Kesantunan bersifat relatif di dalam masyarakat. Ujaran tertentu biasa
dikatakan santun di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, akan tetapi di
kelompok masyarakat lain bisa dikatakan tidak santun. Tujuan kesantunan
termasuk kesantunan berbahasa adalah membuat suasana berinteraksi
menyenangkan, tidak mengancam muka, dan efektif. Kesantunan merupakan
perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika. Kesantunan
merupakan fenomena kultural, sehingga apa yang dianggap santun oleh suatu
kultur mungkin tidak demikian halnya dengan kultur yang lain.
Kesantunan mencakup intonasi. Menyatakan bahwa intonasi adalah tinggi-
rendah suara, panjang-pendek suara, keras-lemah, jeda, dan irama yang menyertai
tuturan. Intonasi dapat dibedakan menjadi dua, yakni intonasi yang menandai
berakhirnya suatu kalimat atau intonasi final, dan intonasi yang berada di tengah
kalimat atau intonasi nonfinal. Intonasi berfungsi untuk memperjelas maksud
tuturan.
2. Konsep Keluarga
Keluarga adalah lembaga sosial dasar dari mana semua lembaga atau
pranata sosial lainnya berkembang. Di masyarakat mana pun di dunia, keluarga
merupakan kebutuhan manusia yang universal dan menjadi pusat terpenting dari
kegiatan dalam kehidupan individu.
Keluarga kerabat terdiri dari hubungan darah dari beberapa generasi yang
mungkin berdiam dalam satu rumah atau pada tempat lain yang berjauhan.
31
C. Data dan Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang secara
langsung berkaitan atau berkenaan dengan masalah yang diteliti dan secara
langsung dari sumber. Sumber data tersebut dapat berupa percakapan di dalam
satu lingkungan keluarga. Keluarga yang dimaksud yaitu Keluarga Nurhady yang
tinggal di Jl. Zamrud, Kelurahan Darma, Kecamatan Polewali, Kabupaten
Polewali Mandar.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah lisan dan tulisan. Data
lisan dan tulisan diperoleh dengan cara mengamati interaksi antara orang tua
sebanyak 2 orang dan anak 2 orang dalam lingkungan keluarga dan mencatat
ujaran-ujaran anggota keluarga pada saat bercerita di dalam rumah.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
observasi, teknik simak bebas libat cakap, dan teknik catat.
1. Teknik observasi dilakukan peneliti dengan mengamati interaksi antara
orang tua dan anak dalam lingkungan keluarga. Teknik ini digunakan agar
situasi berkomunikasi berlangsung alamiah tanpa ada campur tangan dari
peneliti.
2. Teknik simak bebas libat cakap yaitu peneliti hanya berperan sebagai
pengamat penggunaan bahasa oleh para informan. Peneliti tidak terlibat
langsung dalam peristiwa penuturan yang bahasanya sedang diteliti. Jadi,
peneliti hanya menyimak dialog yang terjadi antara informan.
32
3. Teknik catat yaitu teknik yang digunakan dengan jalan mencatat
percakapan yang bersifat spontan.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
sosiopragmatik, sebuah pendekatan yang menelaah tuturan yang dikaitkan dengan
kondisi tertentu, kebudayaan-kebudayaan, dan masyarakat yang memakai bahasa
Indonesia yang dikaitkan dengan prinsip kesantunan berbahasa di lingkungan
keluarga.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan
data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu.
Setelah data terkumpul melalui teknik observasi, teknik simak bebas libat cakap,
dan teknik catat. Peneliti menganalisis dengan cara :
1. Mentranskip data yang telah diperoleh baik melalui teknik simak
dan teknik catat.
2. Mengidentifikasi tuturan berdasarkan pematuhan dan pelanggaran
maksim kesantunan Geoffrey Leech, yaitu : (1) maksim
kebikjasanaan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim
penghargaan, (4) maksim kesederhanaan, (5) maksim
permufakatan, (6) maksim kesimpatian.
3. Menganalisis tuturan yang telah diidentifikasi berdasarkan prinsip
kesantunan Geoffrey Leech.
4. Mendeskripsikan hasil analisis kesantunan berbahasa yang telah
dianalisis.
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian berdasarkan teori kesantunan berbahasa yang dapat
direalisasikan bermacam-macam wujud. Pada bagian ini akan dipaparkan hasil
penelitian yang kemudian akan diuraikan. Berdasarkan rumusan masalah dan
tujuan penelitian, hasil penelitian berupa bentuk penggunaan prinsip kesantunan
dalam interaksi orang tua dan anak dalam lingkungan keluarga dan jenis tindak
tutur yang terdapat dalam interaksi orang tua dan anak.
Berikut ini akan dibahas secara rinci wujud penggunaan prinsip kesantunan
berbahasa dalam lingkungan keluarga.
a. Maksim Kebijaksanaan
Dalam maksim kebijakasanaan dijelaskan bahwa orang dapat
dikatakan santun apabila memaksimalkan keuntungan orang lain dan
meminimalkan kerugian orang lain. Ketika penutur berusaha
menguntungkan pihak lain, lawan tutur akan merasa dihargai dan dihormati.
Hal ini dilakukan untuk menjaga perasaan agar tidak dianggap kurang
sopan. Agar lebih jelas tuturan di bawah ini dapat dicermati dan
dipertimbangkan.
34
1) Dahnia (Mama) :“kalau lulus mako nanti, sudahmi
kusiapkan uang untuk ongkos kuliahmu.”
(Kalau kamu lulus nanti, sudah ibu siapkan ongkos
buat kamu kuliah).
Uswatun (Anak) :“iyekah mak, adami uangta?”
(betulkah ibu, sudah ada uangnya ya?)
Dahnia (Mama) :”Setiap bulan mama menabung untuk
keperluanmu dan adekmu untuk melanjutkan
sekolah tahun depan.”
(Setiap bulan ibu menabung uang untuk
keperluan kamu dan adik kamu yang mau
melanjutkan sekolah tahun depan).
(Data tanggal, 2 September 2019/tempat penelitian di rumah)
(01160718)
Konteks : Tuturan ibu dan anak di atas dituturkan pada saat seorang ibu
menyampaikan kepada anaknya bahwa ibu sudah mempersiapkan uang
untuk anaknya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Kutipan [1] di atas antara ibu dan anak terlihat wujud kesantunan
maksim kebijaksanaan tindak tutur komisitif (berjanji) pada tuturan
mama, janji mama kepada anak mengenai kesiapan mama menyediakan
uang kuliah. Dengan tindak tutur “sudahmi kusiapkan uang untuk ongkos
kuliahmu.” terlihat mama berandai-andai. Mama berandai-andai dengan
tindak tutur “kalau lulus mako nanti”akan tetapi, pengandaian mama itu
35
dalam hal waktu bukan dalam hal uang untuk kuliah. Anak menanyakan
secara langsung kesiapan mama mengenai uang kuliah melalui tindak
tutur “iyekah mak, adami uangta?”. Sebenarnya yang ditanyakan anak
itu adalah tindak tutur mama dalam berjanji, tidak hanya menayakan
kesiapan mama tentang biaya kuliah, tetapi juga meminta konfirmasi
tentang janji mama. Untuk merespon keraguan anaknya, ibu menjawab
secara argumentatif untuk meyakinkan anaknya dengan tindak tutur
“setiap bulan mama menabung untuk keperluanmu dan adekmu untuk
melanjutkan sekolah tahun depan.”. Tindak tutur ibu tersebut di samping
meyakinkan anaknya tergambar kebijaksanaan ibu dengan menyisihkan
sebagian uang yang diberikan suami kepadanya. Ibu memilih menyimpan
uang itu demi kepentingan anak-anaknya melanjutkan pendidikan.
Gambaran tersebut mengarah pada maksim kebijaksanaan. Dengan
demikian, keuntungan yang diperoleh anaknya bertambah. Kedua
anaknya memperoleh keuntungan dari pengorbanan ibu dengan
melanjutkan pendidikan.
b. Maksim Kedermawanan
Maksim kedermawanan seringkali disebut dengan maksim kemurahan
hati. Maksim kedermawanan mewajibkan setiap peserta tutur
memaksimalkan pengorbanan atau kerugian dirinya sendiri dan
meminimalkan keuntungan diri sendiri. Tuturan berikut dapat dicermati dan
dipertimbangkan untuk memperjelas maksim kedermawanan.
36
2) Sri (Menantu) : ”Apa kita’ beli ma?”
(Mau beli apa Bu?)
Nuraidah (Mertua) : ”Mau ja’ beli ikan.”
(Membeli ikan saja).
Sri (Menantu) : ”Berapa itu Ma?”
(Itu berapa Bu?)
Nuraidah (Mertua) : ”25 ribu ji.”
(25 ribu saja.)
Sri (Menantu) :”Jangan maki ambil uang ma, nanti saya yang
bayar.”
(Tidak usah mengambil uang Bu, Nanti saya yang
membayarnya).
Nuraidah (Mertua) : “Iye Nak, Terimakasih nah Nak.”
(Iya Nak, Terimakasih ya Nak).
Sri (Menantu) : “Jangan maki berterimakasih ma ai, wajar ji
kalau saya yang bayar.”
(Tidak perlu berterimakasih Bu, Sudah sewajarnya
saya membayarnya).
(Data tanggal, 05 September 2019/tempat penelitian di teras rumah)
(28180718)
37
Konteks: Tuturan antara menantu dan mertua di atas dituturkan pada
saat si menantu melihat Ibu mertuanya sedang membeli ikan.
Kutipan (2) di atas terlihat penggunaan wujud kesantunan maksim
kedermawanan tindak tutur direktif (pertanyaan) pada tuturan (1), yaitu
menanyakan apa yang dibeli mertuanya :”Beli apa ki’ ma?”. Pada tuturan
(2), yaitu ”Mau ja’ beli ikan.” dituturkan mertua untuk menerangkan
kepada menantunya mengenai apa yang ia beli. Kemudian menantu dalam
tuturan (3) menggunakan kalimat direktif (pertanyaan) “berapa itu ma?”
untuk menanyakan harga ikan yang dibeli mertuanya dan direspon si ibu
menggunakan kalimat deklaratif pada tuturan (4) untuk menginformasikan
harga ikan “25 ribu ji.” kemudian menantu menuturkan agar mertuanya
tidak perlu mengambil uang seperti tuturan (5) ”Jangan maki ambil uang
ma, nanti saya yang bayar.” dalam tuturan ini direspon mertua untuk
menyatakan tindak ekspresif (ucapan terimakasih) pada tuturan (6) “Iye
nak, terimakasih nah Nak.” kepada menantunya yang direspon menantu
pada tuturan (7) seperti tuturan “Jangan maki berterimakasih ma ai, wajar
ji kalau saya yang bayar.” bahwa seorang mertua tidak seharusnya
berterima kasih dengan menantunya. Dalam kutipan di atas terlihat
penggunaan wujud kesantunan maksim kedermawanan yang tampak pada
tuturan (5) dengan memaksimalkan kerugian dirinya. Hal ini membuat
maksim kebijaksanaan muncul dalam percakapan yang tampak pada tuturan
(5).
38
Tuturan di bawah ini termasuk juga ke dalam penggunaan maksim
kedermawanan.
3) Nurhady (Ayah) : ”Kalau sudah maki makan, pergi ki sholat dulu
nak.”
(Kalau kamu selesai makan, pergi shalat dulu nak).
Uswatun (Anak) : ”Iye, sudah ma tadi sholat pak.”
(Iya, saya sudah selesai sholat pak).
Nurhady (Ayah) : ”Oh, iye pale nak.”
(Oh, iya nak).
(Data tanggal, 10 September 2019/tempat penelitian di rumah)
(6170718)
Konteks :
Tuturan terjadi pada siang hari saat makan. Ayah menyuruh
Uswatun untuk mengerjakan sholat setelah makan siang.
Tuturan antara ayah dan Uswatun di atas termasuk santun.
Pada tuturan ayah ”Kalau sudah maki makan, pergi ki sholat dulu
nak.” mematuhi maksim kedermawanan karena penutur
memaksimalkan kerugian dan meminimalkan keuntungan pada diri
sendiri. Pemaksimalan kerugian terjadi karena penutur memberi tahu
mitra tutur dengan bahasa yang halus untuk mengerjakan sholat
selesai makan malam.
39
c. Maksim Penghargaan
Di dalam maksim penghargaan, peserta tutur dapat dianggap santun
apabila berusaha menghargai orang lain. Peserta tutur harus memaksimalkan
pujian kepada orang lain dan meminimalkan cacian atau kerugian pada
orang lain. Tuturan berikut dapat dicermati dan dipertimbangkan untuk
memperjelas maksim penghargaan.
4) Ummi : ”Beruntung sekali ki’ punya menantu yang baik
sekali sama orang tua.”
(Beruntung sekali kamu punya menantu yang baik
sekali orangnya dengan orangtua).
Nuraidah (Mertua) : ”Iye, baik sekali memang ini menantuku tidak
perhitungan orangnya.”
(Iya, menantunku yang ini memang baik sekali
orangnya tidak perhitungan).
(Data tanggal, 05 September 2019/tempat penelitian di teras rumah)
(17170718)
Konteks: Tuturan antara Ummi dan mertua ini dituturkan pada saat
Ummi melihat menantu sepupunya itu selalu baik dan perhatian
dengan mertuanya.
Kutipan [3] di atas muncul pada saat Ummi melihat menantu dari
lawan tuturnya begitu baik terhadap mertuanya seperti yang tampak
pada tuturan (1) dituturka Ummi kepada lawan tutur (mertua) dengan
40
menggunakan kalimat direktif untuk menyatakan pernyataan si
penutur (Ummi), sedangkan dalam tuturan (2) dituturkan si mertua
menggunakan kalimat ekspresif untuk menyatakan pujiannya. Untuk
memaksimalkan pujian terhadap menantu lawan tutur seperti yang
tampak pada tuturan ”Beruntung sekali ki’ punya menantu yang baik
sekali sama orang tua.”. Penggunaan maksim pujian ini tidak hanya
terdapat dalam tuturan (1) tetapi terdapat juga dalam tuturan (2)
bahwa mertua memuji perbuatan menantunya seperti tuturan ”Iye,
baik sekali memang ini menantuku tidak perhitungan orangnya.”
Dalam tuturan ini tampak jelas bahwa penutur (2) memaksimalkan
pujiannya terhadap menantunya sendiri. Dari tuturan (1) dan (2) di
atas tampak jelas bahwa mereka mematuhi maksim pujian karena
memaksimalkan maksim pujian kepada orang lain.
d. Maksim Kesederhanaan
Menurut maksim kesederhanaan, setiap peserta tutur hendaknya
memaksimalkan cacian pada diri sendiri dan meminimalkan pujian pada diri
sendiri. Orang dapat dikatakan santun jika tidak sombong dan
mengunggulkan diri sendiri di hadapan orang lain. Berikut tuturan yang
mengandung maksim kesederhanaan.
5) Nuraidah (Mertua) : ”Apa lagi dibeli itu untuk mama Nak?”
(Apa lagi yang kamu belikan untuk Ibu Nak?)
Sri (Menantu) : “Sayur Ma, masa ikanji dibeli sayurnya tidak
ada.”
41
(Sayur Bu, tidak mungkin membeli ikannya saja
sayurnya tidak).
Nuraidah (Mertua) : ”Baik sekali ki’ Nak, macam-macam mu
tawarkan ka.”
(Kamu sangat baik Nak, menawarkan Ibu
bermacam-macam).
Ummi : “Seandainya punya ka juga menantu yang baik
kaya kita.”
(Seandainya saja aku juga punya menantu yang baik
seperti kamu).
Sri (Menantu) : “Nda ji juga Tante, kebetulan adaji uang.”
(Tidak juga Tante, kebetulan uangnya ada).
Ummi : “Itu, bicaramu saja selalu ki’ merendah.”
(Itu, kamu bicara saja selalu merendah).
(Data tanggal, 05 September 2019/tempat penelitian di teras rumah)
(07170718)
Konteks : Tuturan antara mertua dan menantu ini dituturkan pada
saat menantunya mengantarkan sayur untuk ibu mertuanya.
Data pada kutipan [4] di atas dituturkan menggunakan
kalimat direktif (bertanya) untuk menanyakan sesuatu ketika seorang
mertua melihat menantunya mengantarkan sesuatu untuknya pada
42
tuturan mertua ”Apa lagi dibeli itu untuk mama Nak?” seorang
mertua menanyakan apa yang diantarkan menantu untuknya dan
direspon menantu dengan tuturan “Sayur Ma, masa ikanji dibeli
sayurnya tidak ada.” tuturan ini dituturkan untuk menerangkan
mengenai apa yang ia bawakan untuk mertuanya. Tindakan menantu
tersebut di respon mertua dengan tuturan, ”Baik sekali ki’ Nak,
macam-macam mu tawarkan ka.” dalam tuturan ini mertua memuji
kebaikan menantunya dan ditambah lagi pujian dari bibinya (Ummi)
pada tuturan bahwa Ummi menyatakan kalau ia mengharapkan
menantu seperti menantu kakak sepupunya itu yang tampak pada
tuturan “Seandainya ada juga menantuku yang baik kaya kau.”.
Dilihat dari tuturan (5), yaitu “Nda ji juga Tante, kebetulan adaji
uang.” tampak bahwa tuturan tersebut telah meminimalkan pujian
terhadap dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dirinya tidak
sebaik yang bibinya katakan. Oleh karena itu, tuturan (5) ini telah
mematuhi maksim kesederhanaan dengan merendahkan dirinya
sendiri dan diperkuat dengan pernyataan pada tuturan (6), yaitu “Itu,
bicaramu saja selalu ki’ merendah.” Dalam tuturan (6) ini si Ummi
mengatakan bahwa keponakannya itu selalu bicara dengan
merendahkan dirinya sendiri tanpa menuturkan perkataan yang
tinggi atau menyombongkan diri.
43
e. Maksim Pemufakatan
Maksim permufakatan atau biasa disebut dengan maksim kecocokan,
mewajibkan setiap peserta tutur memaksimalkan kecocokan antara diri
sendiri dengan orang lain. Orang yang melaksanakan maksim pemufakatan
dianggap santun. Untuk memperjelas hal itu, tuturan berikut ini dapat
dicermati.
6) Dahnia (Mama) : ”Nak, kalau kuliah maki nanti mauki ambil
jurusan apa?”
(Nak, kalau kamu nanti sudah kuliah, jurusan apa
yang akan kamu pilih?)
Uswatun (Anak) : ”Mau ka ambil jurusan akutansi, ka lulusan
SMK akutansi ja.”
(Saya ingin memilih jurusan akutansi, karena saya
lulusan SMK jurusan akutansi juga).
Dahnia (Mama) : “Kalau jurusan akuntasi mu ambil, pasti lebih
cepatko dapat kerja Nak.”
(Kalau kamu mengambil jurusan akutansi, kamu
akan lebih cepat mendapatkan pekerjaan Nak).
(Data tanggal, 07 September 2019/tempat penelitian di rumah)
(11170718)
44
Konteks : Tuturan antara ibu dan anak ini dituturkan pada saat mereka
sedang membicarakan mengenai rencana anak dalam mengambil
jurusan ke perguruan tinggi.
Data kutipan [5] di atas pada tuturan (1) dituturkan
menggunakan kalimat direktif untuk menanyakan tentang jurusan
yang hendak diambil oleh anak dalam melanjutkan pendidikan ke
Perguruan Tinggi yang tampak pada tuturan ”Nak, kalau kuliah maki
nanti mauki ambil jurusan apa?” pernyataan si mama di respon si
anak dengan menginformasikan bahwa ia mau melanjutkan
pendidikan ke jurusan akutansi terlihat dari tuturan (2) ”Mau ka ambil
jurusan akutansi, kah lulusan SMK akutansi ja.” Dalam tuturan (2)
ini dituturkan si anak untuk menjelaskan alasan kenapa ia memilih
mengambil jurusan akutansi karena menurutnuya agar menyesuaikan
dengan bidang yang ia gelut selama di Sekolah. Rencana si anak telah
disetujui si mama seperti yang terlihat pada tuturan (3) bahwa
pernyataan si mama anaknya akan lebih muda mencari pekerjaan
kalau mengambil jurusan akutansi, “Kalau jurusan akuntasi mu
ambil, pasti lebih cepatko dapat kerja nak.” Pada pernyataan ini
secara tidak langsung telah mematuhi maksim pemufakatan, yaitu
memaksimalkan kesetujuan diantara mereka. Dari pernyataan (3) ini si
ibu tidak langsung menyatakan bahwa ia setuju dengan jurusan yang
hendak dipilih oleh anaknya namun dilihat dari tuturannya yang
tampak jelas bahwa si mama menyetujui jurusan yang akan dipilih
45
anaknya tersebut dengan mengatakan bahwa kalau anaknya
mengambil jurusan akuntansi akan lebih mudah mendapatkan
pekerjaan.
Tuturan di bawah ini termasuk juga ke dalam penggunaan maksim
pemufakatan.
7) Dahnia (Ibu) : “Bagaimana kalau ini meja sa simpan di dekat
lemari mi saja di?”
(Bagaimana kalau meja ini saya simpan di dekat
lemari saja?”
Nurhady (Ayah) : “Iye, bisa ji juga supaya kelihatan luas i.”
(Iya, bisa juga supaya kelihatan luas).
(Data tanggal, 08 September 2019/tempat penelitian di rumah)
(18170718)
Konteks :
Tuturan tersebut terjadi pada pagi hari saat ibu sedang menyimpan
di ruang tamu. Ibu meminta pendapat ayah untuk memindahkan meja di
dekat lemari agar kelihatan lebih luas.
Tuturan tersebut menandakan adanya kecocokan pendapat antara ibu
dengan ayah. Percakapan tersebut mematuhi maksim pemufakatan karena
penutur meminta pertimbangan/saran dari mitra tutur. Data di atas
menunjukkan tuturan yang dilakukan oleh dua orang peserta tutur dengan
46
status berbeda, ayah memiliki status yang lebih tinggi sedangkan ibu
sebagai istri memiliki status yang lebih rendah dari segi kekuasaan. Jadi,
dari tuturan tersebut terlihat bahwa penutur mampu memaksimalkan rasa
senang pada mitra tutur.
f. Maksim Kesimpatian
Di dalam maksim kesimpatian, peserta tutur diharapkan
memaksimalkan sikap simpati antara diri sendiri dengan orang lain, dan
meminimalkan rasa simpati antara dirinya dengan orang lain. Berikut ini
adalah maksim kesimpatian yang terdapat di dalam tuturan interaksi orang
tua dan anak.
8) Dahnia (Mama) : “Astaga, kenapa banyak sekali cucianmu Nak?
kasihan sekali anakku sampe-sampe
keringatan begitu.”
(Astaga, kenapa cucian kamu banyak sekali
Nak?Kasian sekali anak saya sampai keringatan).
Uswatun (Anak) : ”Cucian yang kemarin ini ma, itumi nah banyak
sekali.”
(Ini cucian yang kemarin Bu, makanya banyak
sekali).
(Data tanggal, 07 September 2019/tempat penelitian di rumah)
(05170718)
47
Konteks : Tuturan antara ibu dan anak ini dituturkan pada saat si ibu
terkejut melihat anaknya mencuci pakaian kotor yang sangat banyak
dengan keadaan yang panas dan berkeringat .
Data kutipan [6] pada tuturan (1) di atas dituturkan dengan kalimat
deklaratif untuk menanyakan kenapa cucian si anak sangat banyak
sampai keringatan. Dalam tuturan si mama, yaitu “Astaga, kenapa
banyak sekali cucianmu Nak? kasihan sekali anakku sampe-sampe
keringatan begitu.” Tuturan ini digunakan seorang ibu untuk
menanyakan sebab cuciannya sangat banyak sampai keringatan.
Dilihat dari tuturan (2) bahwa pernyataan si mama telah direspon oleh
si anak dengan memberitahukan sebab cuciannya sangat banyak
seperti tuturan ”Cucian yang kemarin ini ma, itumi nah banyak
sekali.” Dalam tuturan ini si anak berusaha menjelaskan sebab
cuciannya sangat banyak akibat belum mencuci pakaian yang
kemarin. Data pada kutipan di atas menunjukkan adanya maksim
kesimpatian yang tampak pada tuturan (1) terdapat penggunaan kata
„astaga dan kasihannya‟ digunakan untuk memaksimalkan rasa
simpati melihat anaknya mencuci dengan keadaan berkeringat.
Maksim kesimpatian yang terdapat dalam tuturan ini karena ekspresi
si mama yang seolah-olah ikut merasakan gerah melihat anaknya yang
berkeringat.
48
B. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan prinsip kesantunan yang digunakan,
meliputi: maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan,
maksim kesederhanaan, maksim permufakatan dan maksim kesimpatian. Hasil
penelitian penggunaan prinsip kesantunan berbahasa antara orang tua dan anak ini
didukung oleh data kuantitatif. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian
yang diperoleh yang mengkaji kesantunan berbahasa orang tua dan anak.
Sesuai dengan kajian teori, wacana iklan dipandang sebagai wacana
persuasif dan wacana hortatori. Wacana persuasif dan wacana hortatori adalah
wacana yang bertujuan mempengaruhi pendengar agar tertarik terhadap apa yang
dikemukakan sehingga melakukan tindakan sesuai yang diharapkan.
Menurut Penelope Brown & Stephen C. Levison (1978), bahwasanya
bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “wajah” atau “muka”, baik
penutur maupun petutur. “Wajah” dalam hal ini bukan dalam arti fisik, namun
”wajah” dalam artian public image, atau mungkin harga diri dalam pandangan
masyarakat.
Konsep wajah ini berakar dari konsep tradisional di China, yang
dikembangkan oleh konfusius terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pada
wajah, dalam tradisi China, melekat atribut sosial yang merupakan harga diri,
sebuah penghargaan yang diberikan oleh masyarakat, atau dimiliki secara
individu.
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan
kesopanan, kata sopan memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra
49
tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa atau berperilaku dengan
berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan petutur. Konsep wajah di atas
benar-benar berkaitan dengan persoalan kesantunan bukan kesopanan. Rasa
hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa mungkin akan berakibat santun,
artinya sopan berbahasa akan memelihara wajah penutur dan petutur.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa keluarga sangat berperan dalam
membentuk pribadi seorang individu. Pendidikan dan pengetahuan yang kita
peroleh di dalam sebuah keluarga akan mempengaruhi apa yang kita lakukan di
dalam sebuah masyarkat atau kelompok diluar sebuah keluarga. Salah satunya
adalah mengenai kesantunan berbahasa. Keluarga berperan mengajarkan dan
memberikan pengetahuan tentang bagaimana harus bertindak dan berperilaku
dalam masyarakat, kita dapat menyesuaikan diri dan bertindak sesuai dengan
nilai dan norma yang berlaku.
Pada sebuah keluarga, pasti terdapat seorang ayah yang berperan
sebagai kepala keluarga, ibu, dan anak-anaknya. Kepala keluarga di sini adalah
orang yang berhak memimpin dan mengatur kegiatan dalam sebuah keluarga.
Ibu di sini juga berperan dalam membantu posisi seorang kepala keluarga.
Dalam sebuah keluarga pasti tidak akan terlepas dari interaksi yang salah
satunya adalah diwujudkan dalam bentuk komunikasi.
Meskipun dalam lingkup keluarga, sebuah komunikasi juga harus
mementingkan sebuah kesantunan yang akan menimbulkan sebuah kesopanan dan
rasa saling menghargai. Jika dihubungkan dengan teori kesantunan Penelope
Brown & Stephen C. Levison di sini kedudukan ayah dan ibu sebagai pemegang
50
kekuasaan tertinggi dalam sebuah keluarga, mereka berhak menentukan apa yang
seharusnya dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dalam keluarga tersebut
karena mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang mereka tentukan itu
memang benar dan akan menimbulkan kebaikan. Dalam hal ini, anak-anak
sebagai individu yang harus mematuhi apa yang telah ditentukan umumnya akan
menghargai dan melaksanakan apa yang telah ditentukan. Apabila dilihat dari
kondisi nyata saat ini, sebagian besar sebuah keluarga masih menerapkan
kebiasaan ini. Di sini, antara kepala keluarga dan anggota keluarga yang lain akan
saling menjaga dan melaksanakan apa yang telah ditentukan dan disepakati
sehingga secara tidak langsung mereka saling menunjukkan rasa keakraban dan
saling menghargai.
Dalam sebuah keluarga untuk berbicara dengan orang tua, kita harus
selalu menjaga kesopanan baik melalui tingkah laku dan ucapan kita. Apabila
kita berbicara kepada orang yang lebih tua dari pada kita, bahasa yang kita
gunakan selayaknya lebih sopan apabila dibandingkan dengan cara kita
berbicara dengan temen sebaya kita. Hal ini akan menimbulkan sikap saling
menghargai antara seorang anak dengan orang tua mereka. Apabila dikaji
menggunakan teori Penelope Brown & Stephen C. Levison mengenai prinsip
muka negatif, keadaan tersebut menggambarkan adanya jarak antara mana
yang lebih muda dan mana yang lebih tua. Keadaan demikian tidak perlu
menjadi masalah karena dengan adanya jarak tersebut akan menimbulkan rasa
saling menghargai sehingga tampak kesopanan pada setiap perilaku didalam
sebuah keluarga.
51
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Wujud kesantunan penutur dibagi menjadi enam, yaitu maksim
kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim
kesederhanaan, maksim pemufakatan, dan maksim kesimpatian.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan kesantunan berbahasa orang
tua dan anak dalam lingkungan keluarga dapat disimpulkan bahwa :
Penggunaan prinsip kesantunan dalam interaksi orang tua dan anak dalam
lingkungan keluarga menunjukkan jumlah tuturan yang ditemukan sebanyak 28
tuturan yang menggunakan prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan yang
dimaksud meliputi: (1) maksim kebijaksanaan sebanyak 3 tuturan (2) maksim
kedermawanan sebanyak 10 tuturan (3) maksim penghargaan sebanyak 2 tuturan
(4) maksim kesederhanaan sebanyak 6 tuturan (5) maksim permufakatan
sebanyak 5 tuturan dan (6) maksim kesimpatian sebanyak 2 tuturan.
Data tersebut menunjukan bahwa tuturan orang tua dan anak dalam
lingkungan keluarga telah mematuhi prinsip maksim kesantunan yang ada.
Kesantunan orang tua dan anak dalam bertutur bukan hanya sekadar mematuhi
prinsip maksim kesantunan. Maksim-maksim yang ada tentunya menggambarkan
pola hidup masyarakat yang terimplikasi dalam tutur kata. Kesantunan bertutur
orang tua dan anak dibangun oleh budaya dan norma-norma yang mengikat
mereka dalam budaya Mandar. Maksim-maksim yang ada tentunya
menggambarkan pola hidup masyarakat yang terimplikasi dalam tutur kata.
52
Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa
Indonesia di lingkungan keluarga terdapat beberapa strategi kesantunan negatif
yang dikembangkan oleh Penelope Brown dan Levinson Stephen C. dengan
menggunakan ukuran solidaritas kesantunan berbahasa, dan prinsip kesantunan
yang dikembangkan oleh Geoffrey Leech yaitu maksim kebijaksanaan, maksim
kedermawanan, maksim pujian, maksim kesederhanaan, maksim kesetujuan,
maksim kesimpatian, dan maksim pertimbangan, serta dilengkapi dengan prinsip
kerja sama yang dikembangkan oleh Grice yaitu maksim kuantitas, maksim
kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara atau pelaksanaan. Prinsip-prinsip
tersebut tidak selalu diterapkan dalam percakapan. Karena dalam satu keluarga
yang dijadikan penelitian tidak memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan pada
saat bercerita antara penutur dan mitra tutur dengan konteks dan situasinya.
Sesuai dengan kajian teori, wacana iklan dipandang sebagai wacana
persuasif dan wacana hortatori. Wacana persuasif dan wacana hortatori adalah
wacana yang bertujuan mempengaruhi pendengar agar tertarik terhadap apa yang
dikemukakan sehingga melakukan tindakan sesuai yang diharapkan.
Prinsip kesantunan Geoffrey Leech (1993) dapat digunakan untuk
mengkaji penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat tertentu. Masyarakat yang
dimaksud di sini adalah keluarga Nurhady di Kelurahan Darma, Kecamatan
Polewali, Kabupaten Polewali Mandar. Kesantunan suatu masyarakat dapat dinilai
dengan budaya yang dijunjungnya termasuk dengan meneliti bahasanya, karena
bahasa sebagai alat identitas diri. Bahasa setiap daerah pasti berbeda karena
53
mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan berbeda, sehingga bahasa menjadi
beragam.
B. Saran
Berdasarkan simpulan hasil penelitian penggunaan prinsip kesantunan
berbahasa orang tua dan anak dalam lingkungan keluarga, maka saran yang
diperoleh sebagai berikut.
1. Peneliti atau penulis khususnya dalam bidang bahasa, agar dalam
melakukan penelitian secara menyeluruh, agar dapat dirasakan oleh
pembaca dan peneliti pada khususnya.
2. Penelitian lebih lanjut terkait kesantunan berbahasa masih perlu
dilakukan dan dikembangkan, karena masih banyak yang belum
terungkap melalui penelitian ini.
3. Penggunaan prinsip kesantunan dalam tuturan orang tua dan anak
merupakan suatu bentuk yang telah dirancang sedemikian rupa dan
mengalami pengeditan agar dapat diterima oleh pembaca. Maka sangat
baik apabila peneliti selanjutnya juga meneliti penyimpangan
kesantunan.
4. Para pembaca, penelitian singkat ini semoga dapat dijadikan bahan
referensi tentang kesantunan dan sekaligus penambah wawasan tentang
fenomena bahasa dalam masyarakat.
54
DAFTAR PUSTAKA
Asri. 2013. Humor Seksualitas dalam Bahasa SMS (Short Message Service):
Kajian Sosiopragmatik Berdasarkan Kesantunan Berbahasa. Gramatika:
Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan. Sulawesi Tengah: Balai
Bahasa Sulewesi Tengah.
Brown, Penelope & Levinson, Stephen C. 1978. Universals in Language Usage :
Politeness Phenomena. in Goody, Esther N,ed. Questions and Politeness :
Strategies in Social Interaction Cambridge. University Press, 56-310.
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Adul. 2007. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
George, Yule. 2006. Pragmatik (Edisi terjemahan oleh Indah Fajar Wahyuni dan
Rombe Mustajab). Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Gunarwan, Asim. 1994. Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan
Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik. PELBA 7: Pertemuan
Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya:Ketujuh”. Jakarta: Lembaga
Bahasa Unika Atma Jaya.
Haliday, Michael. 1976. Cohesion in English. London, Newyork: Longman.
Hidayat. 2006. Filsafat Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Flores:
Nusa Indah.
Kusno, Ali. 2014. Kesantunan Bertutur oleh Orang Tua kepada Anak di
Lingkungan Rumah Tangga. Dinamika Ilmu Volume 14. Kalimantan
Timur: Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Kesantunan. (Terjemahan oleh M.D.D
Oka). Jakarta: Universitas Indonesia.
Leech, Geoffrey. 2011. Prinsip-prinsip Pragmatik. (Terjemahan oleh M.D.D
Oka). Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
55
Mahsum. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan
Tekniknya. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Miles, Matthew B. dan A. Micheal Huberman. 2007. Analisis Data Kualitataif.
(Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI-Press.
Mulyana, Deddy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Narwoko dan Suyanto, 2004 (http:// 4.bp.blogspot.com/2015/04/ pengertian-
keluarga-menurut-para-ahli.html).
Norhidayah, Siti. 2014. Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Keluarga
Masyarakat Banjar Di Kecamatan Banjar Selatan. Jurnal Bahasa Sastra
dan Pembelajarannya (JBSP) Volume 5. Banjarmasin: Universitas
Lambung Mangkurat.
Nurjamily, Wa ode. 2015. Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Lingkungan
Keluarga (Kajian Sosio Pragmatik). Jurnal Humanika. No. 15. Volume 3.
Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pratama, Randi. 2018. Telaah Kesantunan Berbahasa Indonesia Siswa Kelas XI
SMK Negeri Tapango. Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.
Rahman, Anita. 2017. Kesantunan Berbahasa Indonesia Masyarakat dan Polisi
pada Pemeriksaan Lalulintas Kepolisian Polres Gowa. Tesis. Makassar:
Program Pascasarjana UNM Makassar.
Rahardi, Kunjana. 2011. PRAGMATIK: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: ERLANGGA.
Sailan, Zalili. 2014. Pidato Ilmiah: Solidaritas dan Kesantunan Berbahasa
(Telaah Pragmatik). Kendari.
Suparno. 2008. Kesantunan Berbahasa Indonesia dan Implikasinya dalam
Pendidikan. Jembatan Merah: Jurnal Ilmiah Pengajaran Bahasa dan
Sastra Volume 2 1-7. Surabaya: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan
Nasional.
Tarigan. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: ANGKASA.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.
Zamzani, dkk. 2010. Pengembangan Alat Ukur Kesantunan Berbahasa Indonesia
dalam Interaksi Sosial Bersemuka dan Non Bersemuka. Laporan
56
Penelitian Hibah Bersaing (Tahun Kedua). Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta.
57
Lampiran I : Data penggunaan Maksim tuturan orangtua dan anak dalam
lingkungan keluarga
No. Kode
Data Konteks Peristiwa Tutur Maksim Indikator Maksim
1 01160718
Tuturan Ibu dan
Anak di atas dituturkan pada
saat seorang Ibu
menyampaikan
kepada anaknya bahwa Ibu sudah
mempersiapkan
uang untuk
anaknya melanjutkan
pendidikan ke
perguruan tinggi.
Dahnia (mama) : “Kalau lulus
mako nanti,
sudahmi
kusiapkan uang untuk ongkos
kuliahmu”
Uswatun (anak) : “Iye kah mak,
adami uangta’”
Dahnia (mam) : “Setiap bulan
mama menabung
untuk
keperluanmu dan adekmu untuk
melanjutkan
sekolah tahun
depan”
Kebijaksanaan
Penggunaan maksim
kebijaksanaan ditunjukan pada tindak
tutur “setiap bulan
mama menabung untuk
keperluanmu dan adekmu untuk
melanjutkan sekolah
tahun depan”. Tindak
tutur Ibu tersebut di samping meyakinkan
anaknya tergambar
kebijaksanaan Ibu
dengan menyisihkan sebagian uang yang
diberikan suami
kepadanya. Ibu memilih
menyimpan uang itu demi kepentingan
Anak-anaknya
melanjutkan
pendidikan. Gambaran tersebut mengarah pada
maksim kebijaksanaan.
2
28180718
6170718
Tuturan antara
menantu dan
mertua di atas
dituturkan pada
saat si menantu
melihat Ibu
mertuanya sedang
membeli ikan.
Tutran terjadi
pada malam hari
saat makan malam
Sri (menantu)
:“apa kita’ beli
ma?”
Nuraidah
(menantu) :“mau
ja’ beli ikan”
Sri (menantu) :
“Berapa itu ma?”
Nuraidah (menantu) : “25
ribu ji”
Sri (menantu) : “jangan maki
ambil uang ma,
nanti saya yang
bayar”
Nuraidah
(menantu) : “Iye
nak, terimakasih nah nak”
Sri (menantu) :
“jangan maki berterimakasih
ma ai, wajarji
Kedermawanan
Penggunaan maksim
kedermawanan pada
tuturan ini ditunjukan
pada kalimat “Jangan maki ambil uang ma,
nanti saya yang bayar”.
tuturan menantu terlihat
penggunaan wujud kesantunan maksim
kedermawanan yang
tampak dengan
memaksimalkan kerugian dirinya.
Tuturan antara Ayah
dan dan Uswatun di atas
termasuk santun. Pada
tuturan Ayah ”Kalau
sudah maki makan,
58
di ruang makan.
Ayah menyuruh
Uswatun
kalau saya yang
bayar”
Nurhady (ayah) :
“Kalau sudah
maki makan,
pergi ki sholat dulu nak”
Uswatun (Anak) :
“Iye, sudah ma tadi sholat pak”
Nurhady (Ayah) :
“Oh, Iye pale nak”
pergi ki sholat dulu
nak” mematuhi maksim
kedermawanan karena
penutur memaksimalkan
kerugian dan
lanjutan lampiran I
untuk sholat setelah
makan siang.
meminimalkan
keuntungan pada diri
sendiri. Pemaksimalan
kerugian terjadi karena
penutur memberi tahu
mitra tutur dengan bahasa
yang halus untuk
mengerjakan sholat
selesai makan malam.”
3 17170718
Tuturan antara
Ummi dan Mertua
ini dituturkan pada saat Ummi melihat
menantu sepupunya
itu selalu baik dan
perhatian dengan mertuanya.
Ummi : ”Beruntung
sekaliki’ punya menantu yang baik
sekali sama orang
tua”
Nuraidah (mertua) :
“Iye, baik sekali
memang ini menantuku tidak
perhitungan
orangnya”
Penghargaan
Penggunaan maksim
penghargaan ditunjukan
oleh kalimat
Ummi“Beruntung
sekaliki’ punya menantu
yang baik sekali sama
orang tua”.Tetapi
terdapat juga pada
kalimat Nuraidah
(mertua) “Iye, baik sekali
memang ini menantuku
tidak perhitungan
orangnya” bahwa mertua
memuji perbuatan
menantunya
4 07170718
Tuturan antara
Mertua dan
Menantu ini dituturkan pada saat
menantunya
mengantarkan sayur
untuk Ibu mertuanya.
Nuraidah (mertua)
:”Apalagi dibeli itu
untuk mama nak?”
Sri (menantu) :
”Sayur ma, masa
ikanji dibeli sayurnya tidak ada”
Nuraidah (mertua) :
”Baiksekaliki’ nak, macam-macam mu
Kesederhanaan
Penggunaan maksim
kesederhanaan ditandai
dengan tuturan Sri
(menantu) :”ndaji juga
tante, kebetulan adaji
uang”dan diperkuat
dengan pernyataan pada
tuturan Ummi : ”Itu,
bicaramu saja selalu ki
merendah”. Dalam
59
tawarkanka”
Ummi :
”Seandainyapunyaka juga menantu
yang baik kaya
kita”
Sri (menantu) :
”ndaji juga tante,
kebetulanadajiuang
”
Ummi : ”Itu,
bicaramu saja
selaluki merendah”
tuturan Ummi
mengatakan bahwa
keponakannya itu selalu
bicara dengan
merendahkan dirinya
sendiri tanpa menuturkan
perkataan yang tinggi
atau menyombongkan
diri.
lanjutan lampiran I
5
11170718
18170718
Tuturan antara Ibu
dan Anak ini
dituturkan pada saat mereka sedang
membicarakan
mengenai rencana
Anak dalam mengambil jurusan
ke perguruan tinggi.
Tuturan tersebut terjadi pada pagi
hari saat Ibu sedang
menyimpan di
ruang tamu. Ibu meminta pendapat
Ayah untuk
memindahkan meja
di dekat lemari agar kelihatan lebih luas.
Dahnia (Mama)
:”Nak, kalau kuliah
maki nanti mauki ambil jurusan
apa?”
Uswatun (Anak) :”Mau ka ambil
jurusan akutansi,
kah lulusan SMK
akutansi ja”
Dahnia (Mama)
:”kalau jurusan akutansi mu ambil,
pasti lebih cepatki
dapat kerja Nak”
Dahnia (Ibu) :” Bagaimana kalau ini
meja sa simpan di
dekat lemari mi saja
di?”
Nurhady (Ayah) :” Iye, bisa ji juga
supaya kelihatan luas i”
Pemufakatan
Penggunaan maksim
pemufakatan ditunjuukan
oleh tuturan Dahnia (Mama) :”kalau jurusan
akutansi mu ambil, pasti
lebih cepatki dapat kerja
Nak” pada pernyataan ini secara tidak langsung telah
mematuhi maksim
pemufakatan, yaitu
memaksimalkan kesetujuan diantara mereka. Dari
pernyataan ini Ibu tidak
langsung menyatakan bahwa ia setuju dengan
jurusan yang hendak dipilih
oleh anaknya namun dilihat
dari tuturannya yang tampak jelas bahwa si
Mama menyetujui jurusan
yang akan dipilih anaknya
tersebut dengan mengatakan bahwa kalau anaknya
mengambil jurusan akutansi
akan lebih mudah
mendapatkan pekerjaan.
Tuturan tersebut
menandakan adanya kecocokan pendapat antara
Ibu dengan Ayah.
Percakapan tersebut
mematuhi maksim pemufakatan karena penutur
meminta
pertimbangan/saran dari
mitra tutur. Data di atas menunjukkan tuturan yang
dilakukan oleh dua
60
lanjutan lampiran I
orang peserta tutur
dengan status berbeda,
Ayah memiliki status
yang lebih tinggi sedangkan Ibu sebagai
anak memiliki status
yang lebih rendah dari
segi kekuasaan. Jadi, dari tuturan tersebut
terlihat bahwa penutur
mampu memaksimalkan
rasa senang pada mitra tutur.
6 05170718
Tuturan antara Ibu dan Anak ini
dituturkan pada saat
si Ibu terkejut melihat
anaknya mencuci pakaian kotor yang
sangat banyak dengan
keadaan yang panas
dan berkeringat
Dahnia (mama) : ”Astaga, kepana
banyak sekali
cucianmu Nak?
Kasihan sekali anakku sampe-
sampe keringatan
begitu”
Uswatun (anak)
:”Cucian yang
kemarin ini ma, itumi nah banyak
sekali” Kesimpatian
Penggunaan maksim kesimpatian ditunjukan
oleh tuturan Dahnia
(mama) : ”Astaga,
kepana banyak sekali cucianmu Nak?
Kasihan sekali anakku
sampe-sampe
keringatan begitu” pada tuturan ini terdapat
penggunaan kata
„astaga dan kasihannya‟ digunakan untuk
memaksimalkan rasa
simpati melihat
Anaknya mencuci dengan keadaan
berkeringat. Maksim
kesimpatian yang
terdapat dalam tuturan ini karena ekspresi si
Mama yang seolah-olah
ikut merasakan gerah
melihat anaknya yang berkeringat.
61
62
Lampiran II : Dokumentasi
RIWAYAT HIDUP
Muhammad Afdal. Dilahirkan di AralleKecamatan
Aralle, Kabupaten Mamasa pada tanggal 10 Juni
1996. Anak kelima dari tujuh bersaudara buah hati
dari pasangan Ayahanda Nurhady T dan Ibunda
Dahnia Yusuf M. Sekarang bertempat tinggal di
Kelurahan Darma, Kecamatan Polewali, Kabupaten
Polewali Mandar. Pendidikan yang penulis tempuh di SDN 001 Mamasa (2004-
2009), SMP Negeri 1 Aralle (2009-2012), SMK DDI PolewaliMandar (2012-
2015).Padatahun 2015 penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar.