kerukunan umat beragama (studi hubungan pemeluk buddha …digilib.uin-suka.ac.id/1794/1/bab i, bab...
TRANSCRIPT
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (Studi Hubungan Pemeluk Buddha dan Islam di Desa Jatimulyo,
Kec. Girimulyo, Kab. Kulon Progo)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Guna memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam
Pada Ilmu Ushuluddin
Oleh:
HERY RISDIANTO NIM.01520562
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2008
v
MOTTO
“Apabila engkau sudah usai menunaikan sebuah tugas, hendaklah engkau
bangkit kembali (menunaikan tugas lainnya). Dan hendaknya kepada
Tuhanmu engkau sandarkan semua harapan“
(Qur’an: 94: 7-8)
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk
Allah, Tuhan alam semesta“
(Qur’an: 6: 162)
v
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan kepada :
Kedua orang tuaku yang telah memberikan segalanya untuk menyelesaikan skripsi ini, serta keluarga tercinta, mb’ chi, mas mardie, tete tit n te defi atas
semua doa dan bantuannya, Almamater tercinta UIN Sunan Kalijaga,
Kawan – kawan PA angkatan ’01, Kawan – kawan di PM dan NA serta sahabatku yang telah banyak
memberikan dukungan dan spirit motivasinya
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt atas karunia dan
kesempatan yang telah diberikan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada nabi Muhammad saw beserta keluarga dan sahabatnya.
Dalam kata pengantar ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak atas bantuannya baik moral maupun spirit sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Sekar Ayu Aryani, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
2. Dr. Syafa’atun Almirzanah, M.A, Ph.D dan Ustadzi Hamzah, S.Ag, M.Ag,
selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
3. Moh. Soehadha, S.Sos, M.Hum, selaku pembimbing, yang telah
memberikan arahan serta bimbinganya dengan arif dan bijaksana kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
4. Bapak Ibu staf UPT Perpustakaaan UIN Sunan Kalijaga, atas keramahan
dan pelayanan terbaiknya
5. Bapak Ibu perangkat Desa Jatimulyo dan masyarakat Desa Jatimulyo yang
telah membantu memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan
penyusunan skripsi ini
6. Kedua orang tua serta keluarga tercinta atas semua dukungannya
7. Kawan-kawan PA’01- doni, iik’, aam, encep, isna, rahma n ronny kalian
my best friends
8. Kawan-kawan PM dan NA- misbah, rudi, burbur, andre, pangky, maruki,
mumun, nurul and dinda zahro n dinda ika, thanks bwt spiritnya.
viii
9. Thanks bwt mb’ yuni, mas cahyono, atas bantuannya, bwt uun, nina n azis,
for atika rahmah n adiexq Nur Imaroh S.Pd.I thanks bwt smuanya hingga
kakak bisa nyelesain skripsi ini
Demikianlah kata pengantar ini penulis susun, penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu semua
masukan yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap
dengan segala keterbatasan yang ada, skripsi ini dapat bermanfaat baik untuk
civitas akademika UIN Sunan Kalijaga maupun para aktivis pecinta ilmu
pengetahuan dan agama Islam secara umum.
Yogyakarta, juni 2008
Penulis
Hery Risdianto
ABSTRAK
Pluralitas keberagamaan merupakan realitas yang tidak bisa ditolak atau bahkan dihilangkan sama sekali. Kenyataan ini membawa suatu konsekuensi logis dalam kehidupan keberagamaan, yakni untuk hidup berdampingan dalam perbedaan keyakinan. Paradigma dan sikap-sikap yang selama ini cenderung bersifat ekslusif, kini diuji dan dipertaruhkan dalam lingkup multireligius atau bahkan di era multikultural ini. Kenyataanya, paradigma yang bersifat inklusif, toleran bahkan moderat menjadi solusi atas persoalan yang kini sedang dihadapi. Kondisi inilah yang terjadi di Desa Jatimulyo Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulonprogo. Komposisi masyarakat yang begitu plural dari segi keyakinan, kepercayaan bahkan agama justru menjadi potensi dasar dalam membangun pola kehidupan beragama. Berdasarkan kenyataan inilah, penyusun merumuskan dua persoalan, pertama, bagaimana interaksi pemeluk agama Islam dan Buddha di Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta? Kedua, apa faktor pendukung dan penghambat dalam hubungan antara pemeluk agama Islam dan Buddha? Penelitian ini menggunakan metode observasi, metode ini menjadi langkah awal bagi penyusun untuk melihat, mengamati dan menyelidiki fakta-fakta empiris yang terjadi, setelah itu penyusun melakukan interview dan dokumentasi. Disamping itu, penyusun juga menggunakan kerangka teori yaitu teori struktural fungsional untuk melihat penelitian ini melalui sudut pandang sosiologis mengenai pola interaksi sosial yang meliputi aktifitas sosial keagamaan Muslim dan Buddha, bentuk–bentuk kerjasama dan relasi harmonis antara pemeluk Muslim dan Buddha. Hasil penelitian ini menunjukan pertama, hubungan kehidupan keberagamaan di Desa Jatimulyo berjalan sangat harmonis. Semua itu terwujud dalam bentuk gotong royong, pembangunan tempat ibadah serta penyatuan tradisi lokal (budaya Jawa) dengan ritual agama. Salah satu faktor yang sangat mendukung terciptanya hubungan tersebut adalah aspek kultural yakni Etika Jawa (Budaya Jawa). Kedua, hubungan keberagamaan yang harmonis tersebut, jika dilihat dalam perspektif teologis dan sosiologis terbangun atas dasar adanya pemahaman keagamaan yang plural. Mereka meyakini bahwa semua agama mengajarkan kebajikan, kebenaran, keadilan dan nilai-nilai luhur lainnya. Di samping itu, aktifitas dakwah atau misi keagamaan dipahami sebagai sarana mengajak seluruh umat manusia untuk menyerahkan diri kepada Allah dan berbuat kebajikan. Akhirnya pengembangan dialog inklusif, sebagaimana yang terjadi dimasyarakat Desa Jatimulyo, bukan hanya berada pada dataran pemahaman yang toleran atas wacana agama. Akan tetapi, kearifan lokal (lokal wisdom) seperti, warisan leluhur, yang berupa sesaji, kenduri telah menjadi sarana yang ampuh dalam merekatkan hubungan kemanusiaan yang selama ini tersekat oleh batas-batas agama formal. Kondisi inilah yang dipraktekkan oleh masyarakat Desa Jatimulyo, sehingga terbangunlah hubungan keberagaman yang harmonis.
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN KEASLIAN............................................................................... ii
HALAMAN NOTA DINAS .......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iv
HALAMAN MOTTO .................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
ABSTRAKSI................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii
BAB I: PENDAHULUAN........................................................................
A. Latar belakang masalah ........................................................... 1
B. Rumusan masalah .................................................................... 5
C. Tujuan penelitian ..................................................................... 6
D. Tinjauan pustaka...................................................................... 6
E. Kerangka teoritik ..................................................................... 9
F. Metode penelitian ................................................................... 18
G. Sistematika pembahasan.......................................................... 20
BAB II: KONDISI SOSIAL BUDAYA DESA JATIMULYO...............
A. Letak geografis dan akses wilayah .......................................... 22
B. Keadaan penduduk .................................................................. 25
1. Jumlah penduduk................................................................ 26
2. Pendidikan ........................................................................... 27
3. Lembaga kemasyarakatan dan kepemimpinan .................... 29
C. Ekonomi ................................................................................... 34
D. Agama dan Tradisi ................................................................... 37
1. Agama dan tradisi masyarakat Jatimulyo ............................ 40
2. Penyatuan ritual agama dan tadisi lokal ............................. 44
iii
BAB III: INTERAKSI SOSIAL PEMELUK MUSLIM DENGAN
UMAT BUDDHA .........................................................................
A. Aktifitas sosial keagamaan ..................................................... 46
1. Aktifitas sosial keagamaan pemeluk Muslim..................... 47
2. Aktifitas sosial keagamaan pemeluk Buddha..................... 51
B. Bentuk-bentuk kerjasama dalam bidang .................................
sosial kemasyarakatan............................................................. 54
1. Gotong royong..................................................................... 56
2. Pembangunan sarana dan prasarana ................................... 58
3. Meningkatkan kesejahteraan............................................... 59
C. Relasi harmonis pemeluk muslim dan Buddha ....................... 60
1. Solidaritas sosial .................................................................. 60
2. Kompromi ............................................................................ 62
3. Toleransi .............................................................................. 65
BAB IV: FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT
KERUKUNAN ............................................................................
A. Faktor pendukung .................................................................... 70
1. Faktor sistem nilai.............................................................. 70
a. Etika Jawa.................................................................... 70
b. Kaidah dasar masyarakat Jawa .................................... 74
2. Faktor sosial ....................................................................... 86
a. Pendidikan ................................................................... 86
b. Ekonomi....................................................................... 88
B. Faktor penghambat .................................................................. 88
1. Kedudukan sosial masyarakat........................................... 88
2. Aktifitas dakwah atau misi keagamaan............................. 94
C. Mengembangkan dialog inklusif berbasis kearifan lokal........ 96
iv
BAB V: PENUTUP ....................................................................................
A. Kesimpulan ............................................................................. 100
B. Saran-saran.............................................................................. 102
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pluralitas merupakan suatu yang tidak dapat disangkal atau dielakkan
keberadaanya di manapun dan oleh siapapun. Pluralitas dapat menyangkut
berbagai aspek kehidupan umat manusia seperti suku, bahasa, adat istiadat dan
juga agama. Lebih-lebih dalam dunia global yang batas-batas geografis dan
budaya menjadi samar-samar, kehidupan manusia telah berubah menjadi
komunitas yang menuntut adanya kesadaran penuh terhadap pluralitas,
khususnya pluralitas agama.
Oleh karena itu pluralitas agama merupakan fenomena realitas sosial
yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan ini. Sehingga adanya pluralitas
atau kemajemukan sebenarnya merupakan suatu rahmat yang patut untuk
disyukuri, akan tetapi sekaligus juga merupakan suatu tantangan1 bagi umat
beragama itu sendiri, karena dalam kemajemukan biasanya sarat dengan
kepentingan yang sering popular disebut conflict interest.2 Apalagi banyak
pihak mensinyalir bahwa pluralitas/keragaman dan kemajemukan rentan
menjadi sumber konflik dan perselisihan. Hal itu tentu saja terjadi disebabkan
karena ada banyaknya kepentingan yang berbeda-beda, yang masing-masing
kepentingan tersebut beradu di antara keragaman yang ada, sehingga
1 A.A Yewangoe, Agama dan kerukunan (Jakarta:PT Gunung Mulia, 2002), hlm.22. 2 Mark Jeergenmeyer, Menentang Negara Sekuler, Kebangkitan Global Nasionalis, terj,
Nurhadi (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 185.
1
1
terjadinya konflik dalam masyarakat plural tidak dapat dihindari. Lebih-lebih
konflik dalam masyarakat yang berada dalam kemajemukan atau pluralitas
agama sangat dimungkinkan terjadi.
Dengan demikian terjadinya konflik antar umat beragama dalam
masyarakat plural yang mensinyalir atas nama agama tidak dapat dielakkan,
karena persoalan agama dalam diri manusia merupakan persoalan yang dapat
membawa pada suatu keyakinana dalam prinsip agama tertentu. Dengan
adanya prinsip salah satu agama yang diyakini tersebut, maka akan melahirkan
suatu pandangan, kebutuhan, tanggapan dan struktur motivasi yang beraneka.
Sebagai wujud konkritnya dapat ditunjukan secara jelas dalam beberapa
prinsip keagamaan yang ada dalam agama tersebut. Dengan demikian dapat
terlihat jelas keberbedaannya antara kebutuhan dan pandangan kelompok
dalam kehidupan bermasyarakat.3
Meskipun demikian motivasi terjadinya konflik antar umat beragama
dalam masyarakat plural terkadang bukan dipengaruhi oleh faktor-faktor atas
nama agama. Akan tetapi konflik yang terjadi disebabkan oleh faktor lain,
karena dalam masyarakat meskipun berada dalam pluralitas agama diwarnai
juga dengan berbagai aspek pluralitas atau kemajemukan dalam hal lain,
seperti ekonomi, politik, sosial budaya atau yang lainnya. Oleh karena itu,
rentan terjadinya konflik sangat memungkinkan terjadi dalam realitas
sosial masyarakat secara global di seluruh negara-negara dunia.
Sebagai contoh, konflik antar umat beragama yang terjadi di Srilanka, India,
3Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama, Suatu Pengantar Awal, terj. Tim penerjemah
Yasogama. (Jakart: PT. Raja Grafido Persada, 1994), hlm. 105.
2
Nigeria, Sudan, Kosovo4 dan daerah-daerah yang lain tanpa terkecuali wilayah
negara Indonesia. Mengapa dapat dikatakan demikian, karena Indonesia dalam
struktur masyarakatnya ditandai dua ciri yang bersifat unik, yaitu pertama,
adanya kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama,
adat, serta perbedaan kedaerahan, hal ini ditinjau dari segi horisontal. Kedua,
ditinjau dari segi vertikal, yaitu bahwa struktur masyarakat Indonesia ditandai
oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan
bawah yang sangat tajam.5 Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat,
dan kedaerahan tersebutlah yang merupakan ciri bahwa masyarakat Indonesia
bersifat majemuk (plural societies).6 Dengan demikian konflik antar umat
beragama atas dorongan atau motivasi selain karena agama juga sangat
memungkinkan untuk terjadi di Indonesia.
Akan tetapi di satu sisi terjadinya konflik antar umat beragama dalam
realitas masyarakat pluralitas, yang mensinyalir atas nama agama tidak dapat
dipungkiri, karena agama juga ikut andil terhadap lahirnya konflik (meskipun
tidak dominan), seperti peristiwa yang terjadi di wilayah-wilayah kepulauan
Indonesia, seperti di Situbondo, Tasikmalaya, Kupang, Sambas7 dan di daerah
lainnya yang akan merambah ke daerah lain di seluruh kawasan nusantara
Indonesia tanpa terkecuali daerah Pulau Jawa yang masyarakatnya juga dalam
kondisi plural agama.
4A.A Yewangoe, op. cit., hlm xiv. 5Nasikun, sistem sosial indonesia (Jakarta: Rajawali, 1992), hlm. 28. 6Ibid., hlm. 29. 7A.A Yewangoe, op. cit., hlm xv.
3
Dengan gambaran realitas di atas, dan berangkat dari adanya salah satu
keunikan dalam realitas yang cukup menarik, bahwa ada satu daerah di Jawa
yaitu Yogyakarta, yang lebih tepatnya di daerah Desa Jatimulyo, Kecamatan
Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo yang masyarakatnya rukun dan harmonis,
yang daerah tersebut berada dalam komposisi masyarakat yang dari sisi agama
heterogen, yaitu agama Islam (agama mayoritas) dengan jumlah 5.781
pemeluk dan agama Buddha dengan jumlah 990 pemeluk, Katolik serta
Kristen Protestan masing-masing 5 dan 28 pemeluk (sebagai agama
minoritas). Akan tetapi dalam kehidupan sosialnya tetap berdampingan sejak
lama tanpa terjadi konflik sampai saat ini.
Di tambahkan juga bahwa suatu realitas yang tidak dapat di sangkal
yaitu adanya tempat-tempat ibadah seperti Masjid, Vihara dan Gereja yang
letaknya saling berdekatan. Posisi tersebut tidak juga menjadi suatu hal yang
mempengaruhi ataupun menjadi suatu pemicu terjadinya konflik antar umat
beragama dalam kehidupan masyarakat di Desa Jatimulyo. Kondisi demikian
dapat terlihat karena masih adanya kehangatan, keakraban bertetangga, dan
berhubungan sosial antar umat beragama yang satu dengan yang lain dalam
masyarakat terlihat begitu kentalnya.
Dengan situasi sosial seperti itulah yang menjadi salah satu
ketertarikan penyusun untuk melakukan penelitian tentang ”Kerukunan Umat
Beragama”. (Studi Hubungan Pemeluk Buddha dan Islam di Desa Jatimulyo,
Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo, Propinsi DI.Yogyakarta).
4
Adapun praduga yang melatarbelakangi kerukunan masyarakat Desa
Jatimulyo tersebut, adalah terjadi karena adanya faktor sosial budaya yang
masih melekat dan berkembang di daerah tersebut. Sosial budaya yang di
maksud adalah sebuah norma-norma, nilai-nilai etika daerah karena Desa
Jatimulyo merupakan bagian terkecil dari daerah kepulauan Jawa, maka yang
di pahami tentang etika disini adalah etika Jawa. Oleh karena itu etika Jawa
diasumsikan mempunyai suatu pengaruh yang signifikan dalam membentuk
pola hubungan sosial untuk menciptakan dan mewujudkan suatu kondisi rukun
dalam masyarakat Desa Jatimulyo. Meskipun masyarakatnya dalam hal
keyakinan (agama) berbeda-beda.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan fenomena empiris di atas, maka
penyusun merumuskan dua pokok permasalahan yang akan dikembangkan
dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana interaksi antara pemeluk agama Buddha dan Islam di
Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta?
2. Apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam hubungan
pemeluk agama Buddha dan Islam ?
5
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kondisi keberagamaan dan bentuk-bentuk interaksi antar
pemeluk agama di Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten
Kulon Progo, Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong dan menghambat
berlangsungnya kerukunan hidup beragama di lingkungan tersebut.
D. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengamatan penyusun, sampai saat ini terdapat beberapa
karya berupa buku, artikel maupun riset kesarjanaan yang membahas
mengenai hubungan antar agama. Beberapa karya yang telah ditulis antara
lain: Karya dalam bentuk buku ditulis oleh Adi Suhardi8 yang berjudul “Hidup
Bahagia di Dalam Toleransi”. Secara umum buku ini membahas bagaimana
pandangan agama Buddha menanggapi toleransi beragama dan bagaimana
menyikapinya. Pada bagian akhir buku ini dimuat bagaimana pandangan
agama Buddha hidup damai ditengah-tengah perbedaan agama, suku, budaya
juga sikap pemerintah Indonesia.
Karya yang berjudul “Mengapa Umat Beragama Bertoleransi” yang
ditulis oleh Ven. K. Sri Dhammananda dengan judul aslinya, “ Why Religious
Tolerance? “9 yang diterjemahkan oleh Lim Eka Setiawan. Buku ini berisi
tentang toleransi agama secara umum dalam agama-agama, sikap dan ajaran
8Adi Suhardi, hidup bahagia didalam toleransi, (Jakarta: Yayasan Dhammaduta carika,
1987). 9Ven. K. Sri Dhammananda, mengapa umat beragama bertoleransi, terj Lim eka setiawan
(Bandung: PUUD,1994).
6
Buddha tentang toleransi beragama, pandangan para tokoh agama lain tentang
toleransi beragama dalam agama Budda, toleransi yang mengarah kerjasama
untuk memecahkan masalah bersama (misal: kenakalan remaja dan moralitas),
penekanan arti pentingnya pemahaman yang mendalam tentang agama, karena
pemahaman yang mendalam tentang agama mendorong kita memajukan dan
menghormati agama kita sendiri tanpa harus menjadi orang yang tidak ramah
terhadap agama-agama lainnya.
Buku yang berjudul “Pluralitas Agama; Kerukunan dan Keragaman”
yang diedit oleh Nur Ahmad,10 membahas persoalan pluralitas merupakan
kenyataan yang tak mungkin dipungkiri. Akan tetapi, realitas bahwa agama itu
plural justru menjadi titik tolak bagi pemeluk agama untuk membangun
kerukunan, perdamaian abadi dan tidak saling “membunuh” satu sama lain.
Terdapat pada riset kesarjanaan yang ditulis oleh Rahmad Suharwanto,
yang berjudul “Kerukunan Intern Umat Buddha di Indonesia Masa Orde Baru
(Studi tentang Brahma Vihara)”. Skripsi ini mengulas tentang konsep
kerukunan dan landasan bagi peningkatan kerukunan umat Buddha dalam
ajaran Brahma Vihara Agama Buddha.11
Karya berbentuk skripsi lain ditulis oleh Muhammad Taufik, yang
berjudul “Kerukunan Hidup Beragama di Lingkungan Masyarakat Vihara
Mendut Kecamatan Mungkid, Magelang”. Dalam skripsi ini dibahas mengenai
10Nur Ahmad (Ed), Pluralitas Agama; Kerukunan dan Keragaman, (Jakarta: Kompas,
2001). 11Rahmad Suharwanto, Kerukunan Intern Umat Buddha di Indonesia Masa Orde Baru,
skripsi (Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005).
7
hubungan lembaga-lembaga agama (Buddha, Islam dan Kristen Katolik) di
sekitar vihara mendut dan analisis kerukunan umat beragama, faktor
pendukung dan penghambat serta makna kerukunan beragama.12
Karya Amrullah dalam skripsinya “Jalan Keselamatan Bagi
Kehidupan Umat Manusia Menurut Agama Buddha Dan Islam”. Dalam
skripsi ini diungkap bahwa salah satu ajaran keselamatan adalah sila sebagai
ajaran moral bentuk sosial. Ajaran sila (etika) adalah ajaran yang tendensinya
terhadap bagaimana mengatur manusia di dalam masyarakat, agar berbuat
sebagaimana ajaran Buddha yang mengatur hubungan dengan agama-agama
lain.13
Karya skripsi lain ditulis oleh Wiji Utami, “Pluralisme Agama Dalam
Perspektif Agama Buddha”. Skripsi ini membedah mengenai nilai-nilai dasar
teologi pluralisme agama dalam Buddha dan pengakuan Buddha terhadap
keberadaan agama lain serta keselamatan sebagai tujuan setiap agama.14
Dari beberapa karya penelitian yang penyusun paparkan di atas,
penelitian ini lebih memfokuskan diri dari sisi yang harmonis antar pemeluk
agama, disamping juga sisi konfliknya. Lebih dari itu, juga dilakukan analisa
kritis sesuai dengan kerangka teoritik yang digunakan. Meskipun demikian,
12Muhammad Taufik, Kerukunan Hidup Beragama di Lingkungan Masyarakat Vihara
Mendut Kecamatan Mungkid, Magelang, Skripsi (Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001).
13Amrullah, Jalan Keselamatan Bagi Kehidupan Umat Manusia Menurut Agama Buddha
dan Islam, Skripsi (Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002). 14Wiji Utami, Pluralisme Agama Dalam Perspektif Agama Buddha, Skripsi (Fakultas
Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
8
berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti akan dijadikan
pijakan acuan penelitian ini.
E. Kerangka Teoritik
Pengertian tentang kerukunan merujuk pada pemahaman yang
dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno, bahwa kerukunan berasal dari kata
rukun yang diartikan “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”,
“tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud untuk saling
membantu”. Adapun dapat dipahami juga, bahwa pengertian keadaan rukun
merupakan suatu keberadaan semua pihak berada dalam keadaan damai satu
sama lain, suka bekerjasama, saling menerima, dalam suasana tenang dan
sepakat.15
Interaksi berasal dari akar kata bahasa Inggris interaction yang berarti
pengaruh timbal-balik atau proses saling mempengaruhi. Interaksi merupakan
dinamika kehidupan manusia, baik secara individu maupun kelompok dalam
masyarakat. Dengan kata lain, interaksi berarti suatu rangkaian tingkah laku
yang terjadi antara dua orang atau lebih yang saling mengadakan respons
secara timbal- balik. Oleh karena itu, interaksi dapat pula diartikan sebagai
saling mempengaruhi perilaku masing-masing yang bisa terjadi antara
individu dan kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok lain.16
15Franz Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa, (Jakarta: PT. Gramedia Utama, 2001). Hlm.39. 16E. Jusuf Nusyriwan, Interaksi Sosial Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid 7.
(Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka 1989). Hlm, 192.
9
Adapun pembahasan tentang bentuk-bentuk interaksi sosial, penulis
merujuk pada teori Soerjono Soekanto dalam Sosiologi, Suatu Pengantar
(1990). Soerjono Soekanto, dalam tulisannya, membagi proses terjadinya
interaksi dalam dua bagian, yaitu pola hubungan assosiatif dan pola hubungan
dissosiatif. Menurutnya bentuk assosiatif meliputi kerjasama (cooperation)
dan akomodasi (accomodation) atau sebuah upaya untuk meredakan
pertentangan dengan cara mengurangi tuntutan-tuntutan. Dalam hal ini penulis
menggunakan dua bentuk, diantaranya kompromi (compromise) dan toleransi
(toleration). Meskipun konteks yang dibahas tentang keteraturan masyarakat
yang diartikan dengan tidak adanya konflik, penulis tetap tidak mengingkari
tentang konsep teori dissosatif sebagai suatu pola interaksi. Dalam proses
dissosiatif, meliputi bentuk persaingan (competition). Adapun upaya untuk
mencari hubungannya, penulis menggunakan teori konflik (conflict).17
Sehubungan dengan kerangka teori yang digunakan dalam membantu
penulisan hasil penelitian di lapangan, penulis menggunakan kerangka teori
Struktural Fungsional. Adapun dalam teori tersebut, ditekankan kepada
keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam
masyarakat. Salah satu dari beberapa konsep-konsep utamanya adalah tentang
keseimbangan (equilibrium).18
17Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1990). Hlm. 76-113. 18George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Alimandan
(Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 25.
10
Dalam teori tersebut, karena terlalu memberikan tekanan kepada
keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan sosial,
mengakibatkan golongan fungsional ini dinilai secara ideologis sebagai
konservatif. Sedangkan sosiolog terkemuka memandang golongan fungsional
ini sebagai sosiologi yang berusaha untuk mempertahankan status quo, bahkan
sampai menilai hal ini sebagai agen teoritis dari status quo.19
Menurut teori fungsionalisme struktural, masyarakat yang berada
dalam kondisi statis atau lebih tepatnya bergerak dalam kondisi
keseimbangan, selalu melihat bahwa anggota masyarakat terikat secara
informal oleh norma-norma nilai-nilai dan moralitas umum.20 Dalam teori
fungsional struktural ini juga diterangkan bahwa masyarakat merupakan suatu
sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling menyatu
dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan
membawa perubahan pula terhadap bagian lain. Asumsi dasarnya adalah
bahwa setiap struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain.
Sebaliknya kalau tidak fungsional, maka struktur itu tidak akan ada atau
hilang dengan sendirinya. Penganut teori ini cenderung melihat hanya kepada
sumbangan satu sistem atau peristiwa atau sistem dapat beroperasi menentang
fungsi-fungsi lainya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim penganut teori
19Ibid., hlm. 29. 20Ibid., hlm. 30.
11
ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional
bagi suatu masyarakat.21
Talcott Parson sebagai pentolan dalam teori ini menyatakan bahwa
suatu keadaan teratur itu disebut “masyarakat”. Dengan mengingat bahwa
masyarakat terdiri banyak individu yang berbeda, maka timbul masalah
“bagaimanakah orde itu mungkin?”. Apa yang melatar belakangi kesatuan
masyarakat?. Oleh karena itu ia menyusun beberapa dalil tentang sebab yang
melatar belakangi perpaduan masyarakat tersebut disebabkan karena:
a. Adanya nilai-nilai budaya yang dibagi bersama
b. Yang dikembangkan menjadi norma-norma sosial dan
c. Dibatinkan oleh individu-individu menjadi motivasi-motivasinya.22
Dalam teori struktural fungsional Parsons memandang bahwa
masyarakat sebagai bagian dari suatu lembaga sosial yang berada dalam
keseimbangan, yang mempolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma
yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu
sendiri.23
Dengan kata lain Parsons menyatakan juga, bahwa kelakuan manusia
digairahkan dari batin oleh tujuan-tujuan tertentu yang disandarkan atas nilai-
nilai dan norma yang dibagi bersama dengan orang lain. Ia juga telah
merumuskan pula empat prasyarat fungsional yang harus dipenuhi oleh setiap
21 Ibid, hlm.25. 22K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Masyarakat
Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1986), hlm. 199. 23 George Ritzer, op.cit., hlm. 25-26
12
masyarakat, kelompok atau organisasi untuk menjaga keseimbangan dan
keberadaanya tersebut, yang diantaranya adalah:
a. Adaptasi
b. Kemungkinan mencapai tujuan-tujuanya
c. Integrasi anggota-anggotanya
d. Kemampuan mempertahankan identitasnya terhadap kegoncangan yang
timbul dari dalam.24
Prasyarat fungsional yang harus dipenuhi masyarakat tersebut diatas,
dalam buku Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Doyle Paul Johnson), Parsons
menyebutnya dengan kerangka A-G-I-L, adapun penjelasanya sebagai berikut:
A-Adaptation, menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial
untuk menghadapi lingkungannya. Ada dua dimensi permasalahan yang dapat
dibedakan. Pertama, harus ada “suatu penyesuaian dari sistem itu terhadap
‘tuntutan masyarakat’ yang keras tidak dapat diubah” (inflexible) yang datang
dari lingkungan (atau kalau menggunakan terminologi Parsons yang terdahulu,
pada kondisi tindakan). Kedua, ada proses “transformasi aktif dari situasi itu”.
Ini meliputi penggunaan segi-segi situasi itu yang dapat dimanipulasi sebagai
alat untuk mencapai suatu tujuan. Lingkungan, seperti sudah di ketahui,
meliputi yang fisik dan sosial. Untuk suatu kelompok kecil, lingkungan sosial
akan terdiri dari satuan institusional yang lebih besar di mana kelompok itu
berada.
24 K.J Veeger, op. cit., hlm. 207
13
G-Goal Attainment merupakan persyaratan fungsional yang muncul
dari pandangan parsons bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuannya.
Namun, perhatian yang diutamakan di sini bukanlah tujuan pribadi individu,
melainkan tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem sosial. Dalam
salah satu dari kedua hal itu, pencapaian tujuan merupakan sejenis kulminasi
tindakan yang secara intrinsik memuaskan, dengan mengikuti kegiatan-
kegiatan penyesuaian persiapan. Menurut skema alat-tujuan (means-end
schema), pencapaian maksud ini adalah tujuannya, sedangkan kegiatan
penyesuaian yang sudah terjadi sebelumnya merupakan alat untuk merealisasi
tujuan ini. Pada tingkat individu dan sistem sosial untuk mencapai tujuan akan
harus meliputi pengambilan keputusan yang berhubungan dengan prioritas
dari sekian banyak tujuan.
I-Integration, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan
interelasi antara para anggota dalam sistem sosial itu. Supaya sistem sosial itu
berfungsi secara efektif sebagai satu satuan, harus ada paling kurang suatu
tingkat solidaritas di antara individu yang termasuk di dalamnya. Masalah
integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional
yang cukup menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerjasama
dikembangkan dan dipertahankan. Ikatan-ikatan emosional ini tidak boleh
tergantung pada keuntungan yang diterima atau sumbangan yang diberikan
untuk mencapai tujuan individu atau kolektif. Kalau tidak, solidaritas sosial
dan kesediaan untuk kerjasama akan jauh lebih goyah sifatnya, karena hanya
didasarkan pada kepentingan diri pribadi semata-mata.
14
L-Latent Pattern Maintenance. Konsep latensi (latency) menunjukan
pada berhentinya interaksi. Para anggota dalam sistem sosial lainnya yang
mungkin mereka terlibat. Karena itu, semua sistem sosial harus berjaga-jaga
bilamana sistem sosial itu sewaktu-waktu kocar-kacir dan para anggotanya
tidak lagi bertindak atau berinteraksi sebagai anggota sistem.25
Dalam teori struktural fungsional, parsons juga menyatakan adanya
beberapa struktur institusional fungsional dalam mekanisme untuk memenuhi
persyaratan fungsional yang diberikan sehingga mencapai hasil sebuah
identifikasi tipe struktural tertentu yang ada dalam masyarakat. Parsons dalam
hal ini menunjukan ada empat struktur, diantaranya yaitu:
1. Struktur Kekerabatan. Struktur-struktur ini berhubungan dengan pengaturan
ungkapan perasaan seksual, pemeliharaan, dan pendidikan anak muda.
2. Struktur Prestasi Instrumental dan Stratifikasi. Struktur-struktur ini
menyalurkan semangat dorongan individu dalam memenuhi tugas yang
perlu untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat keseluruhan sesuai
dengan nilai-nilai yang dianut bersama.
3. Teritorialitas, Kekuatan, dan Integrasi Dalam Sistem Kekuasaan. Semua
masyarakat harus memiliki suatu bentuk organisasi teritorial. Hal ini perlu
untuk mengontrol konflik internal dan untuk berhubungan dengan
masyarakat lainnya, atau masyarakat memiliki suatu bentuk organisasi
politik.
25Doyle Paul Johson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Jilid I, terj. Robert M.Z.
Lawang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990). Hlm. 130-131.
15
4. Agama dan Integritas Nilai. Pentingnya nilai-nilai yang dianut bersama
sudah sering kali ditekankan. Masalah membatasi nilai dan komitmen
yang kuat terhadap nilai-nilai itu sangat erat hubungannya dengan institusi
agama. Secara tradisional, agama memberikan kerangka arti simbolis yang
bersifat umum yang karenanya sistem nilai dalam masyarakat memperoleh
makna akhir atau mutlak.26
Selain teori struktural fungsional menurut pandangan parsons, ada juga
teori ini di kemukakan oleh Robert K, Merton, yakni seorang pentolan dari
teori ini. Ia berpendapat bahwa objek analisa sosiologi adalah fakta sosial,
seperti peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi
kelompok, pengendalian sosial dan sebagainya. Hampir semua penganut teori
ini berkecenderungan untuk memusatkan perhatiannya kepada fungsi dari
suatu fakta sosial terhadap fakta sosial yang lain. Fungsi adalah akibat-akibat
yang dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian dalam suatu
sistem. Oleh karena itu netral secara idiologis, merton mengajukan pula suatu
konsep yang disebut dis-fungsi. Sebagaimana struktur sosial atau pranata
sosial dapat menyumbang terhadap pemeliharaaan fakta-fakta sosial yang lain.
Sebaliknya ia juga menimbulkan akibat-akibat yang bersifat negatif.27
Merton mengungkapkan juga tentang pokok analisa dari teori struktural
fungsional ini adalah sebagai berikut:
1. Pola-pola sosial yang diteliti, baik yang merupakan keseluruhan ataupun
bagian-bagiannya.
26Ibid., hlm. 126. 27George Ritzer, op. cit., hlm. 21.
16
2. Pelbagai variasi tipe akibat pola-pola tersebut bagi persyaratan ketahanan
yang ditetapkan secara empiris.
3. Proses melalui mana suatu pola timbul dan mempunyai akibat bagi unsur-
unsur sistem maupun seluruhnya.28
Proses melalui mana suatu pola timbul dan mempunyai akibat bagi
sistem maupun keseluruhan, dengan pemahaman melalui pendekatan
struktural fungsional tersebut diatas dapat dikatakan bahwa keteraturan atau
kesatuan masyarakat tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya. Adapun
yang dimaksud kesatuan atau keteraturan masyarakat di sini adalah suatu
kondisi masyarakat yang rukun dan selaras. Oleh karena objek penelitian yang
dilakukan merupakan bagian dari kepulauan Jawa, maka yang dimaksud
dengan nilai dan norma dalam teori tersebut adalah nilai dan norma budaya
yang terdapat dalam etika Jawa.
Adapun teori tentang nilai dan norma budaya yang digunakan adalah
menurut pandangan Franz Magnis Suseno, yang mana dalam teorinya
dikemukakan bahwa ada dua kaidah dasar yang mempengaruhi pola pergaulan
atau hubungan sosial dalam masyarakat yang menciptakan rukun dan selaras
adalah, kaidah pertama, bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya
bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai timbul konflik. Kaidah kedua,
menuntut agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukan
sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Untuk kaidah pertama disebut prinsip kerukunan, sedangkan kaidah kedua
28Soejono Soekanto dan Ratih Lestarini, fungsionalisme dan teori konflik Dalam
perkembangan sosiologi (Jakarta: Sinar Grafika 1968), hlm. 61.
17
disebut prinsip hormat. Kedua prinsip tersebut merupakan dua kaidah yang
menentukan bentuk-bentuk konkrit semu interaksi yang disadari orang Jawa.29
F. Metode Penelitian
Untuk sebuah karya ilmiah, metode mempunyai peranan yang sangat
penting. Metode yang digunakan dalam sebuah penelitian menentukan hasil
penelitian tersebut sebuah metode penelitian merupakan ketentuan standar
yang harus dipenuhi. Adapun metode yang dipergunakan adalah:
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini sepenuhnya bersifat penelitian lapangan , oleh karena
itu langkah pertama yang harus penyusun lakukan adalah
mengumpulkan data primer khususnya data yang berhubungan dengan
masalah penelitian ini.
Karena penelitian ini murni bersifat penelitian lapangan, maka
penyusun menggunakan metode:
a) Observasi, metode ini menjadi awal bagi penyusun untuk
mengamati dan meneliti fenomena-fenomena, fakta-fakta yang
akan diteliti.30 Dalam hal ini, penyusun mengadakan pengamatan
secara langsung tehadap kondisi sosio-historis wilayah penelitian
serta peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan obyek penelitian,
seperti bakti sosial dan gotong royong.
29Franz Magnis Suseno, op. cit., hlm. 38. 30Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1986),
hlm. 136.
18
b) Interview, pengambilan data dengan metode ini dilalui dengan
proses tanya jawab, yang dilakukan secara sistematis dan
berdasarkan pada tujuan penelitian. Model metode ini dihadiri oleh
dua orang atau lebih secara fisik dalam proses tanya jawab.31
Dengan kata lain, agar data penelitian ini dapat diperoleh secara
lengkap dan sempurna, maka penyusun akan mengadakan
wawancara langsung dengan pihak pemerintahan desa dan tokoh
agama setempat, baik dari tokoh agama Islam maupun tokoh
agama Buddha. Wawancara ini dilakukan dengan cara saling
memahami, saling pengertian tanpa adanya tekanan, baik secara
mental ataupun fisik, membiarkan subyek penelitian berbicara
secara jujur dan transparan. Sehingga data yang diperoleh cukup
akurat dan valid, seta bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dan sosial.
c ) Dokumentasi, setelah penyusun melakukan observasi di lapangan
dan melakukan wawancara dengan masyarakat setempat, penyusun
lalu mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan atau yang
diperoleh dari beberapa dokumen yang dibutuhkan dari beberapa
keterangan yang dikutip, disadur atau disaring dari dokumen yang
ada, kemudian disusun menurut kerangka teori yang telah dibuat.
31Ibid, hal 192
19
Di samping itu, metode ini digunakan untuk mengambil data dari
dokumen aparat pemerintahan desa tentang keadaan penduduk,
kondisi keagamaan, dan lainnya yang berkaitan dengan penelitian
ini.
2. Metode Analisis Data
Didalam menganalisis data yang sudah terkumpul, penyusun
menggunakan metode analisis data dan kualitatif atau non statistic.
Penelitian ini juga lebih didasarkan atas jalan pikiran deduktif logis
atau logika edukasi. Dalam konteks ini, penyusun mengemukakan dan
menerangkan peristiwa-peristiwa khusus yang diambil dari peristiwa-
peristiwa tersebut ataupun juga sebaliknya, yakni dari yang umum
(general), teoritik yang berupa kerangka teori, kemudian diterapkan
pada persoalan yang lebih khusus.32
Penggabungan cara penarikan kesimpulan tersebut (metode induktif
dan deduktif) dilakukan untuk mempertajam analisis atas data empiris
yang terkumpul.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mewujudkan pembahasan yang terencana dan sistematis,
penulis akan menyusun skripsi ini dengan sistematika dan format pembahasan
sebagai berikut:
32 Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 43-45
20
Bab I. Berupa pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
teori, metode penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab II. Menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan obyek penelitian yang
dikaji, hal-hal yang berkaitan tersebut berupa letak geografis dan
akses wilayah, keadaan penduduk, kondisi ekonomi, potret
kehidupan pemeluk agama dan tradisi masyarakat.
Bab III. Menguraikan berbagai bentuk interasi sosial keagamaan, yang
mencakup: aktifitas sosial keagamaan pemeluk Muslim dan
Buddha, bentuk-bentuk kerjasama dalam bidang sosial yang
mengakar dari kondisi kultur yaitu masyarakat Jawa dan relasi
harmonis pemeluk Muslim dan Buddha.
Bab IV. Merupakan bab yang mencoba menganalisa kerukunan beragama
dari kacamata budaya Jawa. Secara ringkas bab ini mengulas akar
kerukunan hidup yang mencakup, pertama faktor pendukung yang
berupa faktor sistem nilai yaitu etika Jawa dan kaidah dasar
masyarakat jawa, empirik yaitu pendidikan dan ekonomi. Kedua,
faktor penghalang yang berupa kedudukan sosial masyarakat dan
aktifitas dakwah atau misi keagamaan. Ketiga, yaitu
mengembangkan dialog inklusif yang berbasis kearifan lokal.
Bab V. Merupakan akhir bab dari penelitian ini yang berisi penutup dan
saran-saran, ditambah dengan lampiran-lampiran yang
berhubungan dengan penelitian ini.
100
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang penyusun temukan dilapangan, yaitu
kualitatif mengenai kerukunan umat beragama dalam kerukunan masyarakat
pluralitas agama (studi kasus antara umat Islam dan Buddha) di Desa
Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, maka penulis dapat menyimpulkan hasil penelitian ini
sebagai berikut:
1. Eksistensi masyarakat Desa Jatimulyo dapat dipastikan dengan adanya
pebedaan dalam berbagai segi kehidupan, seperti halnya masyarakat
umumnya. Hal itu merupakan suatu realitas sosial yang tidak dapat
disangkal dan dielakkan, yaitu kondisi rukun atau konflik. Dalam
hubungan kehidupan keberagamaan di Desa Jatimulyo, hubungan
pemeluk-pemeluk agama terlihat dalam pola hubungan/interaksi sosial
yang berupa aktifitas sosial keagamaan dan bentuk-bentuk kerjasama serta
relasi harmonis kehidupan umat beragama yang mencakup solidaritas,
kompromi dan toleransi. Pola-pola hubungan sosial berjalan harmonis
seiring dengan faktor-faktor yang melandasi terjadinya pola interaksi
seperti ketidakmampuan dalam membangun rumah diwujudkan dengan
pola kerjasama yaitu gotong royong, perasaan senasib sepenanggungan
karena tetangga yang sakit dan terkena bencana dengan memberikan
100
101
bantuan yang merupakan wujud dari pola solidaritas sosial, menyelesaikan
pesoalan-persoalan dan usaha menghindari perselisihan dalam usaha-usaha
tertentu untuk mencapai tujuan bersama, merupakan bentuk kompromi
ditengah masyarakat, serta menjaga hubungan-hubungan agar tercipta
kondisi yang saling menghormati dan saling menghargai dalam aktifitas
kehidupan dan peribadatan adalah manifestasi dari sikap toleransi yang
ditanamkan oleh masyarakat Jatimulyo.
2. Adapun suatu wujud konkrit yang dilakukan umat beragama dalam
menjaga hubungan sosial yang rukun dan harmonis dalam kehidupan
masyarakat di Desa Jatimulyo adalah menanamkan nilai-nilai etis budaya
Jawa, yang diwujudkan melalui sikap penghormatan terhadap orang lain
sesuai dengan kedudukan sosialnya dan melakukan berbagai kegiatan
sosial yang bersifat kemasyarakatan, yang diikuti bersama-sama eperti
kerja bakti pembangunan jalan, bersih desa, dalam kepanitiaan HUT RI,
yang dilakukan tanpa membeda-bedakan satu dengan lainnya dari bentuk
apapun. Adapun wujud lainnya adalah dengan mengeliminir aktifitas-
aktifitas keagamaan yang mampu menciptakan kondisi-kondisi yang tidak
harmonis ditengah masyarakat, bentuknya seperti dengan mengadakan
dialog agama, menghadiri peringatan hari-hari besar agama (waisyak dan
idulfitri atau syawalan), selamatan, tasyakuran dan kegiatan-kegiatan
sosial keagamaan lainnya. Akan tetapi hal tersebut dilakukan tanpa
menyalahi dari aturan normatifitas agama yang diyakini masing-masing
umat beragama.
102
B. Saran-saran
Dalam bentuk kondisi apapun, kondisi masyarakat Desa Jatimulyo
merupakan suatu tanggung jawab bersama, sehubungan dengan penelitain ini,
penulis menyarankan kepada pihak setempat, yaitu:
1. Kepada seluruh pemeluk agama dimasyarakat Desa Jatimulyo, hendaknya
mampu menjaga terus etika Jawa sebagai salah satu instrumen dalam
mengatur hubungan sosial antar umat beragama yang membentuk
hubungan yang rukun dan harmonis antar pemeluk agama harus tetap
dapat mengontrol diri dalam menghadapi berbagai isu yang berkembang,
khususnya mengenai isu yang bertendensikan agama, sehingga hal itu
mampu mencegah konflik antar umat beragama.
2. Kepada para tokoh agama, diharapkan untuk tetap mengupayakan dalam
membantu menciptakan kondisi masyarakat yang rukun dan harmonis,
dengan cara tidak menanamkan sikap fanatisme agama yang akan
mengarah pada timbulnya konflik antar umat beragama.
3. Kepada aparat dan tokoh masyarakat yang berada dalam pemerintahan
desa diharapkan mampu memberikan keamanan (menjaga) warganya
untuk melakukan tindakan yang tidak melanggar norma-norma agama atau
kaidah-kaidah umum (aturan pemerintah) serta menanamkan sikap adil
dalam bentuk apapun terhadap semua pemeluk agama tanpa membedakan
agama yang satu dengan yang lain, sehingga tercipta suatu hubungan yang
rukun dan harmonis dalam kehidupan masyarakat setempat.
103
4. Untuk masyarakat daerah bagian dari kepulauan Jawa yang berada dalam
kondisi plural, untuk menanamkan nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai etika
Jawa sebagai salah satu upaya untuk mengatur pola hubungan sosial
masyarakat, yang dapat difungsikan sebagai suatu upaya untuk mencegah
terjadinya konflik antar umat beragama secara terbuka.
C. Kata Penutup
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang
telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari akan banyaknya keterbatasan,
sehingga uraian skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari semua pihak yang membaca sangat
penulis harapkan demi proses menuju kesempurnaan lebih lanjut skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga penulisan ini dapat
membawa manfaat bagi penulis sendiri pada khususnya, lebih dari itu, penulis
juga berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat menjadi khasanah keilmuan
sebagai bahan referensi yang bermanfaat bagi peneliti selanjutnya dan dapat
dikembangkan lebih luas serta lebih sempurna dari pada skripsi ini.
104
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti. Dialog Antar Agama. Yogyakarta: Yayasan Nida. 1970. _________. Ilmu Perbandingan Agama: sebuah pembahasan tentang metode dan
sistematika. Yogyakarta: Yayasan Nida, 1975 Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Renika Cipta, 1991 Abdulah, M. Amin. Studi Agama: Normatifitas Atau Historisitas. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001 Achmad, Nur (ed). Pluralitas Agama: Kerukunan dan Keragaman. Jakarta:
Kompas, 2001 Baker , Anton dan Zubair, Charis. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 1990 Bertens. K. Etika. Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Connoly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. terj. Imam Khoiri. Yogyakarta:
LKiS, 2002 De Vos, H. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara wacana. 1987 Damami, Moh. Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: LESFI,
2002 Djama’nuri: Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Objek Kajian.
Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, 1998 Elchols, M dan Shadaly, Hasan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Indonesia, 1994 Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat: Pengantar Kepada Teori Nilai. Jakarta: Bulan
Bintang, 1992 Hadi, Sutrisno. Metodologi Riset. Jilid II. Yogyakarta: Andi Offset, 1982 Hardjowirogo, Marbangun. Manusia Jawa. Jakarta: PT. Haji Masagung, 1989 Hendropuspito, Sosiologi Agama. Yogyakrata: BPK gunung Mulia, 1983 Huky, D. A. Wila. Pengantar Sosiologi. Surabaya: PT. Usaha Nasional, 1985
105
Johson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid. I. terj. Robert M.Z Lawang. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990
Jouergensmeyer. Mark. Menentang Negara Sekuler Kebangkitan Global
Nasionalis Religius, terj. Nurhadi. Bandung: Mizan, 1998 Kahmad H, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000 Kartodirjo Sartono (dkk.). Beberapa Segi Etika dan Etiket jawa. Jakarta:
Depdikbud-Javanologi, 1987/1988 Kattsoff, Lois O. Pengantar Filsafat. Terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta:
Tiara wacana, 1987 Khaldun, Ibnu dan Psawi Charles. Filsafat Islam Tentang Sejarah, terj. A. Mukti
Ali. Jakarta: Tinta Mas, 1962 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia,
1989 Mulders, Niels. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta:
Gramedia University Press, 1997 Muslich. Beberapa Hal Tentang Etika. Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Kalijaga. 1984 Mettadewi, Pandangan Sosial Agama Buddha. Jakarta: Pancaran Dharma, 1994 Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1992 Nusryriwan, E. Yusuf. Interaksi Sosial. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia.
Jilid. 7. Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka, 1989 O’dea, F. Thomas. Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal. terj. Tim penerjemah
Yasogana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1984 Purtanto, Pius A. dan Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Popular. Surabaya:
ARLOKA, 2001 Polak, Mayor. Sosiologi Pengantar Ringkas. Jakarta: Ikhtiar, 1974 Rizert, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj.
Alimandan. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1992 Soemarjan, Selo. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964
106
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada 1990 Soekanto, Soerjono dan Lestari, Ratih. Fungsionalisme dan Teori Konflik Dallam
Pengembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika. 1998 Suseno, Franz Magnis, Etika: Sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 1993 ___________. Kerukunan dan Konflik Sosial Paham Jawa Tentang Manusia
Sebagai Mahluk Sosial. Yogyakarta: Yayasan Pengetahuan dan Kebudayaan-Javanologi, 1985
___________. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:
Kanisius, 1992 Suseno, Franz Magnis dan Reksosusilo. Etika Jawa Dalam Bunga Rampai,
Yogyakarta: LESFI, 2002 Sutarto. Melaksanakan Beberapa Asas Organisasi Dalam Praktek. Yogyakarta:
Balai Pembinaan Administrasi Universitas Gajah Mada, 1972 Tim Penyusun Kamus Penelitian Dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Tim Rosda Karya. Kamus Filsafat. Bandung: PT. Remaja Rosda, 1994 Tim Penyusun Kelurahan Jatimulyo. Kulon Progo, 2006 Veeger, Karel. J dan Hubertus (dkk.). Pengantar Sosiologi Buku Panduan Untuk
Mahasiswa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992 ___________. Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Masyarakat
Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1985
Yewagoe, A. A. Agama dan Kerukunan. Jakarta: PT. Gunung Mulia, 2002
DAFTAR RESPONDEN
A. PERANGKAT DESA 1. Nama : Sarijo SM Umur : 36 tahun Jabatan : Ka.Bag. Kesra Agama : Islam Alamat : Dsn.Sibolong, Ds. Jatimulyo 2. Nama : R.Murdani Umur : 42 tahun Jabatan : Kepala Desa Agama : Islam Alamat : Dsn. Sukomoyo, Ds. Jatimulyo
B. PEMELUK AGAMA ISLAM
1. Nama : Siran S.T Umur : 45 tahun Pekerjaan : PNS ( tokoh agama ) Agama : Islam Alamat : Dsn. Gunung Kelir 2. Nama : Ambaryanti A.Ma.Pd Umur : 33 tahun Pekerjaan : Swasta ( tokoh agama ) Agama : Islam Alamat : Dsn. Gunung Kelir 3. Nama : Pairin Umur : 40 tahun Pekerjaan : Wiraswasta ( tokoh masyarakat ) Agama : Islam Alamat : Dsn. Sonyo 4. Nama : Sukamto Umur : 25 tahun Pekerjaan : PAH ( penyuluh agama harian ) Agama : Islam Alamat : Dsn. Sayam Sonyo
5. Nama : Sukardi Umur : 26 tahun Pekerjaan : Wiraswasta ( tokoh Pemuda ) Agama : Islam Alamat : Dsn. Branti 6. Nama : Paino Umur : 50 tahun Pekerjaan : Petani ( Rohis ) Agama : Islam Alamat : Dsn. Branti
C. PEMELUK AGAMA BUDDHA
1. Nama : Harsana Umur : 40 tahun Pekerjaan : PNS ( Ketua Vihara Giriloka ) Agama : Buddha Alamat : Dsn. Gunung Kelir 2. Nama : Supriyono Umur : 26 tahun Pekerjaan : Swasta (tokoh Pemuda ) Agama : Buddha Alamat : Dsn. Sonyo 3. Nama : Wagirah Umur : 50 tahun Pekerjaan : Tani Agama : Buddha Alamat : Dsn. Branti 4. Nama : Sukijo Umur : 50 tahun Pekerjaan : Petani ( tokoh agama ) Agama : Buddha Alamat : Dsn. Sonyo 5. Nama : Sukentri Umur : 18 tahun Pekerjaan : Pelajar ( Remaja Buddha ) Agama : Buddha Alamat : Dsn. Branti
Interview Guide
A. Pertanyaan untuk Perangkat Desa
1. Bagaimana peran pemerintah desa dalam menciptakan kerjasama
antar pemeluk Buddha dan Islam ?
2. Bagaimana peran pemerintah desa dalam menjaga kondisi
harmonis kehidupan sosial keagamaan masyarakat ?
B. Pertanyaan untuk Pemeluk Agama Islam
1. Bagaimana kondisi sosial budaya umat Islam di Jatimulyo ?
2. Bagaimana aktifitas keberagamaan umat Islam ?
3. Apa bentuk interaksi yang dilakukan pemeluk Islam terhadap umat
Buddha ?
4. Mengapa terjadi penyatuan ritual agama dan tradisi ?
5. Bagaimana bentuk partisipasi yang dilakukan oleh umat Buddha ?
6. Bentuk solidaritas yang bagaimana yang telah dilakukan umat
Islam terhadap umat Buddha ?
7. Apa faktor pendukung dan penghambat hubungan sosial
keagamaan pemeluk agama di Jatimulyo ?
8. Bagaimana bentuk toleransi yang dilakukan pemeluk Islam
terhadap umat Buddha ?
C. Pertanyaan untuk Pemeluk Agama Buddha
1. Bagaimana kondisi sosial budaya umat Buddha di Jatimulyo ?
2. Bagaimana aktifitas peribadatan dan keagamaan umat Buddha ?
3. Apa bentuk interaksi dan koordinasi yang dilakukan oleh pemeluk
agama Buddha terhadap pemeluk Islam ?
4. Mengapa tejadi penyatuan ritual agama dan tradisi ?
5. Bagaimana bentuk partisipasi yang dilakukan umat Islam ?
6. Bentuk solidaritas yang bagaimana yang telah dilakukan umat
Buddha terhadap umat Islam ?
7. Apa faktor pendukung dan penghambat hubungan sosial
kesgamaan pemeluk agama di Jatimulyo ?
8. Bagaimana bentuk toleransi yang dilakukan pemeluk Buddha
terhadap umat Islam ?
CURRICULUM VITAE
Nama : HERY RISDIANTO
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat,tgl lahir : Sambas, 04 Maret 1981
Agama : Islam
Alamat : Balong V Rt 39/19, Ds.Banjarsari, Kec.Samigaluh
Kab. Kulon Progo, D.I. Yogyakarta
Nama Orang Tua
1. Bapak : SUMIJO
2. Ibu : AMINAH
Pekerjaan
1 .Bapak : PNS
2. Ibu : Ibu Rumah Tangga
Riwayat Pendidikan
1. SD : SDN 20 Tg.putat, Sambas, Kalbar…….......lulus tahun
1993
2. SLTP : SMPN 2 Girimulyo, Kulon Progo…............lulus tahun
1996
3. SLTA : SMK MUH Kalibawang, Kulon Progo……lulus tahun
1999
4. PT : IAIN SUNAN KALIJAGA, Yogyakarta….masuk tahun
2001