kerajaan mataram kuno
TRANSCRIPT
Kerajaan Mataram Kuno
Mataram Kuno atau Mataram (Hindu) merupakan sebutan untuk dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra, yang berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan. Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732. Beberapa saat kemudian, Dinasti Syailendra yang bercorak Buddha Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua dinasti ini berkuasa berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.
Lokasi pusat kerajaan Mataram Kuno.
1. Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan Kemboja). Dinasti ini bercorak Budha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Pada awal era Mataram Kuno, Dinasti Syailendra cukup dominan dibanding Dinasti Sanjaya. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga melakukan perkawinan politik: puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahuan. Peninggalan terbesar Dinasti Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).
Candi Borobudur, salah satu peninggalan Dinasti Syailendra.
2. Dinasti Sanjaya
Tak banyak yang diketahui sejarah Dinasti Sanjaya sejak sepeninggal Raja Sanna. Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Dinasti Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani (833-856), puteri raja Dinasti Syailendara Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera Samaratungga dan Dewi Tara). Tahun 850, era Dinasti Syailendra berakhir yang ditandai dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya.
Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikan Candi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra Ramayana dalam Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang). Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat serangan dari Sriwijaya.
KERAJAAN MATARAM KUNO
Kerajaan Mataram Kuno (abad ke-8) adalah kerajaan Hindu di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Berdasarkan catatan yang terdapat pada prasassti yang ditemukan, Kerajaan Mataram Kuno bermula sejak pemerintahan Raja Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Ia memerintah Kerajaan Mataram Kuno hingga 732M.
Atas : Komplek Candi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah, merupakan peninggalan candi Hindu pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri sejak awal abad ke-8. Pada awal berdirinya, kerjaan ini berpusat di Jawa Tengah. Akan tetapi, pada abad ke-10 pusat Kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbedaa, yakni agama Hindu dan Buddha.
Peninggalan bangunan suci dari keduanya antara lain ialah Candi Geding Songo, kompleks Candi Dieng, dan kompleks Candi Prambanan yang berlatar belakang Hindu. Adapun yang berlatar belakang agama Buddha antara lain ialah Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, dan Candi Plaosan.
Kerajaan Mataram di Jawa Tengah
Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa Sanjaya dan Sailendraa. Pendiri wangsa Sanjaya adalah Raja Sanjaya. Ia menggantikan raja sebelumnya, yakni Raja Sanna. Konon, Raja Sanjaya telah menyelamatkan Kerajaan Mataram Kuno dari kehancuran setelah Raja Sanna wafat.
Setelah Raha Sanjaya wafat, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, pendiri wangsa Sailendra. Para raja keturunan wangsa Sanjaya seperti Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warak, dan Sri Maharaja Rakai Garung merupakan raja bawahan dari wangsa Sailendra. Oleh Karena adanya perlawanan yang dilakukan oleh keturunan Raja Sanjaya, Samaratungga (raja wangsa Sailendra) menyerahkan anak perempuannya, Pramodawarddhani, untuk dikawinkan dengan anak Rakai Patapan, yaitu Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya).
Rakai Pikatan kemudian menduduki takhta Kerajaan Mataram Kuno. Melihat keadaan ini, adik
Pramodawarddhani, yaitu Balaputeradewa, mengadakan perlawanan namun kalah dalam peperangan. Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke P. SUmatra dan menjadi raja Sriwijaya.
Pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran Kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan G. Merapi, Magelang, Jawa Tengah.
Kerajaan Mataram di Jawa Timur
Setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Pada abad ke-10, cucu Sri Maharaja Daksa, Mpu Sindok, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh (wilayah antara G. Semeru dan G. Wilis), Jawa Timur. Mpu Sindok naik takhta kerajaan pada 929 dan berkuasa hingga 948. Kerajaan yang didirikan Mpu SIndok ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluass hingga ke Jawa Timur. Setelah masa pemerintahan Mpu Sindok terdapat masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga (1020). Sampai pada masa ini Kerajaan Mataram Kuno masih menjadi saatu kerajaan yang utuh. Akan tetapi, untuk menghindari perang saudara, Airlangga membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Kerajaan Pangjalu dan Janggala.
Atas: Candi Plaosan di Klaten, Jawa Tengah, salah satu peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang berlatar agama Buddha.
Atas : Arca Raja Airlangga, raja terakhir Kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur, di Candi Belahan. Arca ini kini disimpan di Museum Trowulan.
TAHUKAH KAMU Bencana alam karena letusan G. Merapi yang mengakibatkan berakhirnya Kerajaan Mataram Kuno dianggap sebagai paralaya atau kehancuran dunia.
Atas : Candi Gedong Songo di Ungaran, Jawa Tengah, merupakan candi peninggalan Kerjaan Mataram Kuno.
Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi–Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur. Di Bumi Mataram diperintah oleh dua wangsa atau dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu (di bagian utara), dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha (di bagian selatan). Dalam hal pembuatan candi, kedua dinasti dapat bekerja sama, tetapi di bidang politik terjadi perebutan kekuasaan
Kehidupan Politik Mataram Kuno
Pada mulanya yang berkuasa di Mataram adalah Dinasti Sanjaya. Bukti adanya kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah dapat diketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di kaki Gunung Wukir, Magelang. Prasasti CAnggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dengan berangka tahun berbentuk candrasengkala berbunyi srutiindriyarasa atau tahun 654 Saka=732 M berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Isi pokok Prasasti Canggal adalah pendirian sebuah lingga di Bukit Stirangga buat keselamatan rakyatnya.
Petunjuk lain tentang Sanjaya adalah Prasasti Mantyasih atau Prasasti Kedu yang dibuat oleh Raja Balitung. Prasasti itu menyebutkan bahwa sanjaya adalah raja pertama ( wangsakarta) dengan ibu kota kerajaannya di Mdang ri Poh Pitu. Dalam prasasti itu juga disebutkan raja-raja yang pernah memerintah, seperti berikut:
Urutan Raja Mataram Kuno adalah : 1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, 2) Sri Maharaja Rakai Panangkaran, 3) Sri Maharaja Rakai Panunggalan, 4) Sri Maharaja Rakai Warak, 5) Sri Maharaja Rakai Garung, 6) Sri Maharaja Rakai Pikatan, 7) Sri Maharaja Rakai Kayuwangi, 8) Sri Maharaja Rakai Watuhumalang, dan 9) Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.
Prasasti Dinoyo di Jawa Timur tahun 706 menyebutkan adanya Raja Gajayana yang mendirikan tempat pemujaan Dewa Agastya (perwujudan Siwa sebagai Mahaguru ) diwujudkan pula dalam bentuk lingga. Di sampimg itu, juga didirikan Candi Badut dengan berlanggam candi Jawa Tengah. Prasasti Kalasan tahun 778 M menyebutkan bahwa keluarga Syailendra berhasil membujuk Panangkaran untuk mendirikan bangunan suci buat Dewi Tara (istri Buddha) dan sebuah biara untuk para pendeta. Panangkaran juga menghadiahkan Desa Kalasan kepada sanggha.
Pada Prasasti Balitung yang berangka tahun 907 M disebutkan nama keluarga raja-raja keturunan Sanjaya memuat nama Panangkaran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu Dinasti Sanjaya dan S-ailendra sama-sama berperan di Jawa Tengah. Dinasti Sanjaya di bagian utara dengan mendirikan candi Hindu, seperti Gedong Sanga di Ungaran, Candi Dieng di DataranTinggi Dieng. Adapun Dinasti Syailendra dibagian selatan dengan
mendirikan candi Buddha, seperti Borobudur, Mendut, dan Kalasan.
Dalam Prasasti Kelurak (di daerah Prambanan) tahun 782 disebutkan tentang pembuatan Arca Manjusri sebagai perwujudan Buddha, Dharma, dan Sanggha yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Mungkin sekali bangunan sucinya ialah Candi Lumbung yang terletak di sebelah utara Prambanan. Raja yang memerintah pada waktu itu ialah Indra. Pengganti Indra yang terkenal ialah Smaratungga yang dalam pemerintahannya mendirikan Candi Borobudur tahun 824.
Di bawah pemerintahan putri Smaratungga, yakni Pramodhawardani Dinasti Syailendra dan Sanjaya menjadi satu karena perkawinnya dengan Rakai Pikatan yang kemudian membangun candi-candi Buddha dan Hindu. Misalnya, Candi Plaosan yang merupakan candi Buddha banyak disebut nama Sri Kahulunan Sri Pikatan dapat diartikan nama Sri Kahulunan adalah gelar Pramodhawardani. Rakai Pikatan mendirikan candi Hind yakni Candi Prambanan (Loro Jonggrang) yang sangat megah. Dengan dibangunnya candi Hindu dan Buddha yang berdekatan menggambarkan adanya kerukunan beragama di Bumi Mataram.
Pada tahun 856 terjadi perubahan besar di Jawa Tengah, Balaputra Dewa (adik Pramodhawardani) yang pusat -di pegunungan selatan yang terkenal dengan Istana Ratu Boko berusaha untuk merebut kekuasaan. Namun, ia malah tersingkir dari Jawa Tengah dan akhirnya melarikan diri ke Sumatra (menjadi raja di Sriwijaya). Jawa Tengah kemudian sepenuhnya diperintah oleh Dinasti Sanjaya. Raja terakhirnya Raja Wawa dan digantikan Empu Sendok yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur.
Kehidupan Sosial Ekonomi Mataram Kuno
Kehidupan ekonomi masyarakat bertumpu pada pertanian. Kondisi alam bumi Mataram yang tertutup dari dunia luar sulit untuk mengembangkan aktivitas perekonominan dengan pesat. Pada masa Raja Balitung aktivitas perhubungan dan perdagangan dikembangkan lewat Sungai Bengawan Solo. Pada Prasasti Wonogiri (903) disebutkan bahwa desadesa yang terletak di kanan-kiri sungai dibebaskan dari pajak dengan catatan harus menjamin kelancaran lalu-lintas lewat sungai tersebut.
Kehidupan Agama dan Kebudayaan Mataram Kuno
Bumi Mataram diperintah oleh Dinasti Sanjaya dan Dinasti Sailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu dengan pusat kekuasaannya di utara. Hasil budayanya berupa candi-candi, seperti Gedong Sanga dan Kompleks Candi Dieng. Sebaliknya, Dinasti Sailendra beragama Bundha dengan pusat kekuasaannya di daerah selatan. Hasil budayanya , seperti Candi Borobudur, Mendut, dan Pawon. Semula terjadi perebutan kekuasan, namun kemudian terjalin persatuan ketika terjadi perkawinan antara Pikatan (Sanjaya) beragama Hindu dengan Pramodhawardhani (Sailendra) beragama Buddha. Sejak itu agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan secara damai. Hal ini menunjukkan betapa besar jiwa toleransi bangsa Indonesia. Toleransi ini merupakan salah sifat kepribadian bangsa Indonesia yang wajib kita lestarikan agar tercipta kedamaian, ketenteraman
dan kesejahteraan
KERAJAAN MATARAM HINDU-BUDHA
Kerajaan Mataram Kuno atau disebut dengan Bhumi Mataram. Pada awalnya terletak di Jawa
Tengah. Daerah Mataram dikelilingi oleh banyak pegunungan seperti pegunungan serayu,
gunung prau, gunung sindoro, gunung sumbing, gunung ungaran, gunung merbabu, gunung
merapi, pegunungan kendang, gunung lawu, gunung sewu serta gunung kidul. Daerah ini juga
banyak mengalir sungai besar diantaranya sungai Progo, Bogowonto, Elo, dan Bengawan Solo.
Kerajaan ini sering disebut dengan Kerajaan Mataram Kuna sebagai pembeda dengan Mataram
Baru atau Kesultanan Mataram (Islam). Kerajaan Mataram merupakan daerah yang subur yang
memudahkan terjadinya pertumbuhan penduduk yang cukup pesat dan merupakan kekuatan
utama bagi Negara darat..
Kerajaan Mataram berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan antara abad ke-8 dan abad ke-10.
Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.
A. Mataram Hindu – Wangsa Sanjaya (732 M)
1. Sejarah dan Lokasi
Prabu Harisdarma seorang raja dari Kerajaan Sunda. Ia juga merupakan penerus
Kerajaan Galuh yang sah. Ayahnya bernama Bratasenawa yang merupakan raja ketiga
Kerajaan Galuh. Saat pemerintahan Bratasenawa pada tahun 716 M, Kerajaan Galuh
dikudeta oleh Purbasora. Purbasora dan Bratasena adalah saudara satu ibu, tetapi lain
ayah. Bratasenawa beserta keluarga melarikan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan
meminta bantuan pada Tarusbawa. Tarusbawa sendiri adalah teman dekat Prabu
Harisdarma sendiri adalah suami dari cucu Tarusbawa.
Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh menyerang Purbasora yang saat itu
menguasai Kerajaan Galuh dengan bantuan dari Tarusbawa dan berhasil
melengserkannya. Prabu Harisdarma pun menjadi raja Kerajaan Sunda Galuh. Prabu
Harisdarma yang juga ahli waris dari Kalingga, kemudian menjadi penguasa Kalingga
Utara yang disebut Bumi Mataram dan dikenal dengan nama Sanjaya pada tahun 732 M.
Sanjaya atau Prabu Harisdarma, raja kedua Kerajaan Sunda (723-732 M), menjadi raja
Kerajaan Mataram (Hindu) (732-760 M). ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno
sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.
2. Sumber Sejarah
Prasasti Canggal
Prasasti yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal berangka
Tahun 732 M dalam bentuk Candrasangkala. Menggunakan huruf pallawa dan bahasa
sangsekerta. Isi dari prasasti tersebut menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang
Syiwa) yang merupakan agama Hindu beraliran Siwa di desa Kunjarakunja oleh Raja
Sanya serta menceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah sena yang
kemudian digantikan oleh Sanjaya.
Prasasti Metyasih/Balitung
Prasasti ini ditemukan di desa Kedu, berangka tahun 907 M. Prasasti Metyasih yang
diterbitkan oleh Rakai Watukumara Dyah Balitung (Wangsa Sanjaya ke-9) terbuat dari
tembaga.. Prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan pemberian hadiah tanah kepada
lima orang patihnya di Metyasih, karena telah berjasa besar terhadap Kerajaan serta
memuat nama para raja-raja Mataram Kuno.
3. Kehidupan Ekonomi, Sosial, Politik dan Budaya
Dari prasasti Metyasih tersebut, didapatkan nama-nama raja dari Wangsa Sanjaya yang
pernah berkuasa, yaitu :
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)
Masa Sanjaya berkuasa adalah masa-masa pendirian candi-candi siwa di Gunung
Dieng. Kesusasteraan tidak menjadi monopoli kelas profesional. Pendidikan puisi
merupakan pendidikan yang wajib diikuti oleh umum, terlebih bagi kalangan
pegawai istana dan pemuka masyarakat.
Sanjaya memberikan wejangan-wejangan luhur untuk anak cucunya. Apabila sang
Raja yang berkuasa memberi perintah, maka dirimu harus berhati-hati dalam
tingkah laku, hati selalu setia dan taat mengabdi pada sang raja. Bila melihat gerak
lirik raja, tenagkanlah dirimu menerima perintah dan tindakan dan harus
menangkap isinya. Bila belum mampu mengadu kemahiran menagkap tindakan,
lebih baik duduk terdiam dengan hati ditenangkan dan jangan gentar dihadapan
sang raja.
Sanjaya selalu menganjurkan perbuatan luhur kepada seluruh punggawa dan
prajurit kerajaan. Ada empat macam perbuatan luhur untuk mencapai kehidupan
sempurna, yaitu :
Tresna (Cinta Kasih)
Gumbira (Bahagia)
Upeksa (tidak mencampuri urusan orang lain)
Mitra (Kawan, Sahabat, Saudara atau Teman)
Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya mangkat kira-kira pertengahan abad ke-8 M.
Ia digantikan oleh putranya Rakai Panangkaran.
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M)
Rakai Panangkaran yang berarti raja mulia yang berhasil mengambangkan potensi
wilayahnya. Rakai Pangkaran berhasil mewujudkan cita-cita ayahandanya, Sri
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya dengan mengambangkan potensi wilayahnya.
Nasehatnya yang terkenal tentang kebahagiaan hidup manusia adalah :
Kasuran (Kesaktian)
Kagunan (Kepandaian)
Kabegjan (Kekayaan)
Kabrayan (Banyak Anak Cucu)
Kasinggihan (Keluhuran)
Kasyuwan (Panjang Umur)
Kawidagdan (Keselamatan)
Menurut Prasati Kalasan, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun
sebuah candi yang bernama Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung Dewi
Tara. Terletak di Desa Kalasan, dan sekarang dikenal dengan nama Candi Kalasan.
3. Sri Maharaja Rakai Panaggalan (780-800 M)
Rakai Pananggalan yang berarti raja mulia yang peduli terhadap siklus waktu.
Beliau berjasa atas sistem kalender Jawa Kuno. Rakai Panggalan juga memberikan
rambu-rambu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti berikut ini
“Keselamatan dunia supaya diusahakan agar tinggi derajatnya. Agar tercapai
tujuannya tapi jangan lupa akan tata hidup”
Visi dan Misi Rakai Panggalan yaitu selalu menjunjung tinggi arti penting ilmu
pengetahuan. Perwujudan dari visi dan misi tersebut yaitu Catur Guru. Catur berarti
empat Guru berarti berat. Jadi artinya empat guru yang mempunyai tugas berat.
Catur Guru terdiri dari :
Guru Sudarma, orang tua yang melairkan manusia.
Guru Swadaya, Tuhan
Guru Surasa, Bapak dan Ibu Guru di sekolah
Guru Wisesa, Pemerintah pembuat undang-undang untuk kepentingan bersama
Pemberian penghormatan dalam bidang pendidikan, maka kesadaran hukum dan
pemerintahan di Mataram masa Rakai Pananggalan dapat diwujudkan.
4. Sri Maharaja Rakai Warak (800-820 M)
Rakai Warak, yang berarti raja mulia yang peduli pada cita-cita luhur. Pada masa
pemerintahannya, kehidupan dalam dunia militer berkembang dengan pesat.
Berbagai macam senjata diciptakan. Rakai Warak sangat mengutamakan ketertiban
yang berlandaskan pada etika dan moral. Saat Rakai Warak berkuasa, ada tiga
pesan yang diberikan, yaitu :
1. Kewajiban raja adalah jangan sampai terlena dalam menata, meneliti,
memeriksa dan melindungi.
2. Pakaian raja adalah menjalankanlah dengan adil dalam memberi hukuman dan
ganjaran kepada yang bersalah dan berjasa.
3. Kekuatan raja adalah bisa mengasuh, merawat, mengayomi dan memberi
anugrah.
5. Sri Maharaja Rakai Garung (820-840 M)
Garung memiliki arti raja mulia yang tahan banting terhadap segala macam
rintangan. Demi memakmurkan rakyatnya, Sri Maharaja Rakai Garung bekerja
siang hingga malam. Hal ini dilakukan tak lain hanya mengharap keselamatan dunia
raya yang diagungkan dalam ajarannya.
Dalam menjalankan pemerintahannya Rakai Garung memiliki prinsip tri kaya
parasada yang berarti tiga perilaku manusia yang suci. Tri Kaya Parasada yang
dimaksud, yaitu :
Manacika yang berarti berfikir yang baik dan benar.
Wacika yang berarti berkata yang baik dan benar.
Kayika yang berarti berbuat yang baik dan benar.
6. Sri Maharaja Rakai Pikatan (840 – 856 M)
Dinasti Sanjaya mengalami masa gemilang pada masa pemerintahan Rakai Pikatan.
Dalam Prasasti Tulang Air di Candi Perut (850 M) menyebutkan bahwa Rakai
Pikatan yang bergelar Ratu mencapai masa kemakmuran dan kemajuan. Pada masa
pemerintahannya, pasukan Balaputera Dewa menyerang wilayah kekuasaannya.
Namun Rakai Pikatan tetap mempertahankan kedaulatan negerinya dan bahkan
pasukan Balaputera Dewa dapat dipukul mundur dan melarikan diri ke Palembang.
Pada zaman Rakai Pikatan inilah dibangunnya Candi Prambanan dan Candi Roro
Jonggrang. Pembuatan Candi tersebut terdapat dalam prasasti Siwagraha yang
berangka tahun 856 M. Rakai Pikatan terkenal dengan konsepnya Wasesa Tri
Dharma yang berarti tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia.
7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (856 – 882 M)
Prasasti Siwagraha menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rakai Kayuwangi memiliki
gelar Sang Prabu Dyah Lokapala. Tugas utamanya yaitu memakmurkan,
mencerdaskan, dan melindungi keselamatan warga negaranya.
Pada masa pemerintahannya, Rakai Kayuwangi menuturkan bahwa ada enam alat
untuk mencari ilmu, yaitu :
1. Bersungguh-sungguh tidak gentar
Semua tutur kata dan budi bahasa dilakukan dengan baik, selaras dan menyatu.
2. Bertenggang rasa
Memperhatikan sikap yang kurang baik dengan kebenaran.
3. Ulah pikiran
Menimbang-nimbang dengan memperhatikan tujuan kemampuan dan kemauan
yang diterapkan harus atas pemikiran yang tepat.
4. Penerapan ajaran
Dalam setiap melaksanakan kehendak harus dipertimbangkan, jangan sampai
tergesa-gesa. Jangan melupakan ajaran terdahulu, ajaran masa kini perlu untuk
diketahui
5. Kemauan
Sanggup sehidup semati, mematikan keinginan dan membersihkan diri. Dalam
kata lain, tekad dan niat harus dilakukan dantidak segan-segan dalam
melakukan pekerjaan
6. Menguasai berbagai bahasa
Memahami semua bahasa agar mampu mengatasi perhubungan serta mampu
mengakrabi siapa saja.
8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882 – 899 M)
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang memiliki prinsip dalam menjalankan
pemerintahannya. Prinsip yang dipegangnya adalah Tri Parama Arta yang berarti
tiga perbuatan untuk mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Tri
Parama Arta terdiri dari :
1. Cinta Kasih, menyayangi dan mengasihi sesama makhluk sebagaimana
mengasihi diri sendiri.
2. Punian, perwujudan cinta kasih dengan saling tolong menolong dengan
memberikan sesuatu yang dimiliki secara ikhlas.
3. Bakti, perwujudan hati nurani berupa cinta kasih dan sujud Tuhan, orang tua,
guru dan pemerintah.
9. Sri Maharaja Watukumara Dyah Balitung (898 – 915 M)
Pada masa pemerintahannya beliau memiliki seorang teknokrat intelektual yang
handal bernama Daksottama. Pemikirannya mempengaruhi gagasan Sang Prabu
Dyah Balitung. Masa pemerintahannya duja menjadi masa keemasan bagi Wangsa
Sanjaya. Sang Prabu aktif mengolah cipta karya untuk mengembangkan kemajuan
masyarakatnya. Dalam mengolah cipta karya, tahun 907 Dyah Balitung membuat
Prasasti Kedu atau Metyasih yang berisikan nama-nama raja Kerajaan Mataram
Wangsa Sanjaya. Serta menjelaskan bahwa pertunjukan wayang (mengambil lakon
Bima di masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal pada masa itu.
10. Sri Maharaja Rakai Daksottama (915 – 919 M)
Daksottama yang berarti sorang pemimpin yang utama dan istimewa. Pada masa
pemerintahan Dyah Balitung, Daksottama dipersiapkan untuk menggantikannya
sebagai raja Mataram Hindu.
11. Sri Maharaja Dyah Tulodhong (919 – 921 M)
Rakai Dyah Tulodhong mengabdikan dirinya kepada masyarakat menggantikan
kepemimpinan Rakai Daksottama. Keterangan tersebut termuat dalam Prasasti Poh
Galuh yang berangka tahun 809 M. Pada masa pemerintahannya, Dyah Tulodhong
sangat memperhatikan kaum brahmana
12. Sri Maharaja Dyah Wawa ( 921 – 928 M)
Rakai Sumba Dyah Wawa dinobatkan sebagai raja Mataram pada tahun 921 M.
Beliau terkenal sebagai raja yang ahli dalam berdiplomasi, sehingga sangat terkenal
dalam kancah politik internasional.
Roda perekonomian pada masa pemerintahannya berjalan dengan pesat. Dalam
menjalankan pemerintahannya Dyah Wawa memiliki visiTri Rena Tata yang berarti
tiga hutang yang dimiliki manusia. Pertama hutang kepada Tuhan yang
menciptakannya, Kedua hutang jasa kepada leluhur yang telah melahirkannya. Dan
ketiga, hutang ilmu kepada guru yang telah mengajarkannya.
13. Sri Maharaja Rakai Empu Sendok (929 – 930 M)
Empu Sendok, terkenal dengan kecerdasan, ketangkasan , kejujuran dan
kecakapannya. Manajemen dan Akuntansi dikuasai, psikologi diperhatikan.
4. Keruntuhan Wangsa Sanjaya
Pada abad ke-10, Dyah Wawa mempersiapkan stategi suksesi Empu Sendok yang
memiliki integritas dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat itulah
pemerintahan Dyah Wawa mengalami kemunduran. Empu Sendok yang memegang
pemerintahan setelah Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap serangan yang
dilancarkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Empu Sendok memindahkan pusat
pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur Sumber lain menyebutkan
perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh meletusnya gunung
merapi di Jawa Tengah.
B. Mataram Budha – Wangsa Syailendra (752 M)
1. Sejarah dan Lokasi
Syailendra adalah wangsa atau dinasti Kerajaan Mataram Kuno yang beragama Budha.
Wangsa Syailendra di Medang, daerah Jawa Tengah bagian selatan. Wangsa ini berkuasa
sejak tahun 752 M dan hidup berdampingan dengan Wangsa Sanjaya.
2. Sumber Sejarah
Nama Syailendra pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778
M. Ada beberapa sumber yang menyebutkan asal-usul keluarga Syailendra, Yaitu :
Sumber India
Nilakanta Sastri dan Moes yang berasal dari India dan menetap di Palembang
menyatakah bahwa pada tahun 683 M keluarga Syailendra melarikan diri ke Jawa karena
terdesak oleh Dapunta Hyan.
Sumber Funan
Codes beranggapan bahwa Syailendra yang ada di Nusantara berasal dari Funan
(Kamboja). Kerusuhan yang terjadi di Funan mengakibatkan keluarga Kerajaan Funan
menyingkir ke Jawa dan menjadi penguasa di Mataram pada abad ke-8 M dengan
menggunakan nama Syailendra.
Sumber Jawa
Menurut Purbatjaraka, Keluarga Syailendra adalah keturunan dari Wangsa Sanjaya di era
pemerintahan Rakai Panangkaran. Raja-raja dari keluarga Sayilendra adalah asli dari
Nusantara sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama Budha
Mahayana. Pendapatnya tersebut berdasarkan Carita Parahiyangan yang menyebutkan
bahwa Sanjaya menyerahkan kekuasaanya di Jawa Barat kepada puteranya dari
Tejakencana, yaitu Rakai Tamperan atau Rakeyan Panambaran dan memintanya untuk
berpindah agama.
Selain dari teori tersebut di atas dapat dilihat dari beberapa Prasasti yang ditemukan,
Yaitu :
Prasasti Sojomerto
Prasasti yang berasal dari pertengahan abad ke-7 itu berbahasa Melayu Kuno di desa
Sojomerto, Kabupaten Pekalongan yang menjelaskan bahwa Dapunta Syailendra adalah
penganut agamat Siwa
Prasasti Kalasan
Prasasti yang berangka tahun 778 M merupakan prasasti peninggala Wangsa Sanjaya.
Prasasti ini menceritakan tentang pendirian Candi Kalasan oleh Rakai Panagkaran atas
permintaan keluarga Syailendra serta sebagai penghadiahan desa Kalasan untuk umat
Budha.
Prasasti Klurak
Prasasti yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan menyebutkan tentang
pembuatan Arca Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Budha, Wisnu dan
Sanggha. Prasasti ini juga menyebutkan nama raja yang berkuasa saat itu yang bernama
Raja Indra.
Prasasti Ratu Boko
Prasasti berangka tahun 865 M menyebutkan tentang kekalahan Raja Balaputra Dewa
dalam perang saudara melawan kakaknya Pradhowardhani dan melarikan diri ke
Palembang.
Nama Syailendra juga muncul dalam Prasasti Klurak (782 M)
“Syailendrawansantilakena”, Prasasti Abhayagiriwihara (792 M)
“Dharmmatunggadewasyasailendra”, Prasasti Kayumwunan (824 M)
“Syailendrawansatilaka”,
3. Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Politik
Kehidupan sosial Kerajaan Mataram Dinasti Syailendra ditafsirkan telah teratur. Hal ini
dilihat dari pembuatan Candi yang menggunakan tenaga rakyat secara bergotong royong.
Dari segi budaya Kerajaan Dinasti Syailendra juga banyak meninggalkan bangunan-
bangunan megah dan bernilai.
Adapun Raja-raja yang pernah berkuasa, yaitu :
1. Bhanu (752 – 775 M)
Raja Banu merupakan Raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra
2. Wisnu (775 – 782 M)
Pada masa pemerintahannya, Candi Borobudur mulai dibangun tepatnya 778 M.
3. Indra (782 – 812 M)
Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Klurak yang berangka tahun 782
M, di daerah Prambanan
4. Samaratungga ( 812 – 833 M)
Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyatnya.
Sebagai raja Mataram Budha, Samaratungga sangat menhayati nilai agama dan
budaya Pada masa pemerintahannya Candi Borobudur selesai dibangun.
5. Pramodhawardhani (883 – 856 M)
Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga yang dikenal cerdas dan cantik. Beliau
bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan
harapan bagi rakyat. Pramodhawardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan,
Raja Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya.
6. Balaputera Dewa (883 – 850 M)
Balaputera Dewa adalah putera Raja Samaratungga dari ibu yang bernama Dewi
Tara, puteri raja Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko, terjadi perebutan tahta kerajaan
oleh Rakai Pikatan yang menjadi suami Pramodhawardhani. Balaputera Dewa merasa
berhak mendapatkan tahta tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah
Syailendra dan tidak setuju terhadap tahta yang diberikan kepada Rakai Pikatan yang
keturunan Sanjaya. Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa mengalami
kekalahan dan melarikan diri ke Pelembang.
4. Keruntuhan Wangsa Syailendra
Sejak terjadi perebutan kekuasaan dan dipimpin oleh Rakai Pikatan, agama Hindu mulai
dominan menggantikan agama Budha. Sejak saat itulah berakhirnya masa Wangsa
Syailendra di Bumi Mataram..
Dari kedua Wangsa yang berkuasa di Bhumi Mataram tersebut, sampai saat ini masih dapat
dilihat bangunan-bangunan suci yang berbentuk, yaitu :
Candi di pegunungan Dieng, Candi Gedung Songo, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi
Prambanan, Candi Sambi Sari dan masih banyak yang lainnya.