kelas akselerasi dan diskriminasi anak

14
Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak Waras Kamdi PROGRAM percepatan belajar (lebih sering disebut kelas akselerasi atau "kelas aksel") mengingatkan kita pada program sekolah unggulan yang didirikan tahun 1994, yang telah dinilai gagal karena ternyata di dalamnya banyak juga yang tidak unggul. "Kelas aksel" bisa disebut sebagai bentuk "reinkarnasi" sekolah unggulan. Dasar pemikirannya sama, yaitu peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa berhak mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasinya dan bakatnya. Dengan kata yang lebih klise, menyiapkan "pasukan para" calon pemimpin masa depan. SEJAK pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar diluncurkan Depdiknas, sekolah-sekolah seperti "diwajibkan" membuat kelas khusus yang berisi anak-anak yang dinilai memiliki kecerdasan luar biasa (sebutlah kelas unggulan). Kenyataan di lapangan, "kelas aksel" juga tak terhindar dari penyimpangan, mulai dari proses perekrutan hingga pelayanannya (Kompas, 24 dan 26 Juli 2004). Kelas ini dilayani lebih istimewa, lebih khusus, terisolasi, lingkungan belajar yang lebih kaya daripada kelas biasa. Di beberapa tempat "kelas aksel" identik dengan kelas eksekutif karena ruangannya ber-AC dan perabot yang serba luks. Sekilas, program ini niscaya. Ada beberapa alasan yang masuk akal. Pertama, alasan efisiensi sosial pragmatis penyelenggaraan pendidikan. Karena negara Indonesia yang sedemikian besar, dengan penduduk amat banyak, dililit masalah pengembangan sumber daya manusia, tetapi miskin dana untuk pendidikan, maka lebih baik mendayagunakan dana yang sedikit itu secara lebih signifikan untuk memacu anak-anak cerdas agar lahir kelompok elite yang andal untuk memperbaiki kondisi bangsa ini secara lebih cepat, ketimbang dana yang sedikit itu dibagi-ratakan ke semua anak tetapi dampaknya tidak signifikan. Akumulasi pelayanan pendidikan "yang lebih" itu seakan mengharap kita semua memahami pentingnya bangsa ini "segera" memiliki "pasukan para", meskipun prosesnya harus diskriminatif dengan harus mengorbankan sebagian besar anak yang lain yang juga punya hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terbaik. Kedua, membuat kelas yang relatif homogen sehingga siswa yang merasa luar biasa (cerdas) tidak dirugikan oleh keterlambatan belajar siswa biasa. Sering dikeluhkan banyak guru, anak-anak cerdas di kelas heterogen cenderung merasa cepat bosan belajar dan cenderung mengganggu. Karena itu, anak-anak cerdas ini perlu mendapat layanan khusus di kelas yang terpisah dari kelas anak biasa. Dengan begitu, pengelolaan kelasnya menjadi lebih mudah.

Upload: outz

Post on 30-Jun-2015

385 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

Waras Kamdi

PROGRAM percepatan belajar (lebih sering disebut kelas akselerasi atau "kelas aksel") mengingatkan kita pada program sekolah unggulan yang didirikan tahun 1994, yang telah dinilai gagal karena ternyata di dalamnya banyak juga yang tidak unggul. "Kelas aksel" bisa disebut sebagai bentuk "reinkarnasi" sekolah unggulan. Dasar pemikirannya sama, yaitu peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa berhak mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasinya dan bakatnya. Dengan kata yang lebih klise, menyiapkan "pasukan para" calon pemimpin masa depan.

SEJAK pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar diluncurkan Depdiknas, sekolah-sekolah seperti "diwajibkan" membuat kelas khusus yang berisi anak-anak yang dinilai memiliki kecerdasan luar biasa (sebutlah kelas unggulan). Kenyataan di lapangan, "kelas aksel" juga tak terhindar dari penyimpangan, mulai dari proses perekrutan hingga pelayanannya (Kompas, 24 dan 26 Juli 2004). Kelas ini dilayani lebih istimewa, lebih khusus, terisolasi, lingkungan belajar yang lebih kaya daripada kelas biasa. Di beberapa tempat "kelas aksel" identik dengan kelas eksekutif karena ruangannya ber-AC dan perabot yang serba luks.

Sekilas, program ini niscaya. Ada beberapa alasan yang masuk akal. Pertama, alasan efisiensi sosial pragmatis penyelenggaraan pendidikan. Karena negara Indonesia yang sedemikian besar, dengan penduduk amat banyak, dililit masalah pengembangan sumber daya manusia, tetapi miskin dana untuk pendidikan, maka lebih baik mendayagunakan dana yang sedikit itu secara lebih signifikan untuk memacu anak-anak cerdas agar lahir kelompok elite yang andal untuk memperbaiki kondisi bangsa ini secara lebih cepat, ketimbang dana yang sedikit itu dibagi-ratakan ke semua anak tetapi dampaknya tidak signifikan. Akumulasi pelayanan pendidikan "yang lebih" itu seakan mengharap kita semua memahami pentingnya bangsa ini "segera" memiliki "pasukan para", meskipun prosesnya harus diskriminatif dengan harus mengorbankan sebagian besar anak yang lain yang juga punya hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terbaik.

Kedua, membuat kelas yang relatif homogen sehingga siswa yang merasa luar biasa (cerdas) tidak dirugikan oleh keterlambatan belajar siswa biasa. Sering dikeluhkan banyak guru, anak-anak cerdas di kelas heterogen cenderung merasa cepat bosan belajar dan cenderung mengganggu. Karena itu, anak-anak cerdas ini perlu mendapat layanan khusus di kelas yang terpisah dari kelas anak biasa. Dengan begitu, pengelolaan kelasnya menjadi lebih mudah.

Ketiga, memberikan penghargaan (reward) dan perlindungan hak asasi untuk belajar lebih cepat sesuai dengan potensinya.

PERSOALANNYA, haruskah keniscayaan itu ditempuh dengan melakukan diskriminasi? Percepatan belajar (accelerated learning) sebagai sebuah metode atau strategi pembelajaran pada dasarnya mengakui bahwa setiap manusia memiliki cara belajar yang dapat mengantarkan dirinya menjadi yang terbaik.

Ketika seseorang belajar tentang sesuatu yang secara eksak sesuai (match) dengan gaya belajarnya, maka dia akan belajar dalam cara yang natural. Karena belajar berlangsung natural, maka menjadi lebih mudah. Karena menjadi lebih mudah, maka belajar menjadi lebih cepat. Itulah mengapa kemudian disebut accelerated learning. Artinya, prinsip percepatan belajar berlaku bagi semua siswa kategori apa pun, tidak hanya bagi kelompok siswa tertentu. Pijakan utama percepatan belajar adalah karakteristik siswa.

Page 2: Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

Jika kecerdasan dipakai sebagai alat identifikasian, maka- pada konteks ini-kecerdasan adalah semata-mata kategori untuk mengidentifikasi karakteristik siswa. Dengan demikian, sudah semestinya program percepatan belajar diberikan kepada kelompok siswa kategori apa pun. Jika sekolah akan melaksanakan program percepatan belajar berdasarkan identifikasian kecerdasan, maka harus ditujukan untuk semua anak sesuai dengan kecenderungan kategori kecerdasan mereka.

Identifikasian kecerdasan dengan skor IQ, seperti yang sekarang dilakukan banyak sekolah untuk membuat kelas yang disebut unggulan, telah membuat tindakan sekolah diskriminatif bahkan sesat dalam memberikan pelayan belajar siswa secara keseluruhan. Sebab, sekolah menganggap siswa yang tidak mencapai skor IQ 120 termasuk ke dalam kelompok siswa yang tak perlu mendapat pelayanan belajar lebih.

Implementasi program percepatan belajar versi Depdiknas yang didasarkan pada identifikasian skor IQ yang dilakukan sekolah saat ini akan menimbulkan dampak buruk. Pertama, menimbulkan kecemburuan karena perlakuan yang diskriminatif. Guru akan lebih banyak menaruh perhatian kepada kelas khusus ini ketimbang kelas biasa. Di satu sisi melindungi hak asasi anak yang dianggap luar biasa untuk mendapatkan pelayanan lebih, tetapi sesungguhnya di sisi lain juga terjadi pelanggaran hak asasi karena siswa biasa pun berhak mendapat pelayanan maksimal.

Kedua, menimbulkan rasa teralienasi (tersisihkan dari lingkungan sekolah) bagi sebagian besar siswa dikategorikan kurang cerdas, yang akan memicu rendahnya motivasi belajar, dan bahkan mungkin akan memicu perilaku menyimpang karena mereka merasa karakternya telah terbunuh oleh sistem kelas yang diciptakan sekolah.

Ketiga, demikian sebaliknya, ada peluang bagi sebagian siswa yang termasuk ke dalam kelas unggulan akan berperilaku egois, angkuh, dan cenderung tidak mau mendengar pendapat orang lain. Testimoni kepada beberapa orangtua yang anak-anaknya pernah termasuk ke dalam kelas cepat di SMA PPSP tahun 1980-an menampakkan gejala-gejala psikologis seperti itu.

TEORI baru telah menunjukkan bahwa kecerdasan berdimensi majemuk. Teori multiple intelligences Howard Gardner yang telah teruji secara empiris di dalam kelas, yang juga didukung temuan-temuan di bidang neuro science tentang fungsi otak kanan dan otak kiri, adalah teori baru yang layak dijadikan landasan teori untuk membuat kategori kecerdasan siswa.

Gardner telah mengidentifikasi kecenderungan kecerdasan manusia menjadi sembilan jenis, yaitu linguistik, logiko-matematikal, musikal, spasial-visual, kinestetik-jasmani, intrapersonal, interpersonal, naturalis, dan spiritual atau eksistensial. Orang yang kurang cerdas di bidang logiko-matematikal mungkin cerdas luar biasa di bidang musik, mungkin kinestetik, mungkin spasial-visual. Sementara identifikasi kecerdasan anak yang didasarkan pada skor IQ, notabene hanya mengukur kecerdasan logika-matematikal dan sedikit linguistik. Oleh karena itu, identifikasian kecerdasan luar biasa yang hanya ditentukan berdasarkan skor IQ hanya mengukur dua dimensi saja.

Betapa indahnya sekolah jika dapat melayani semua karakteristik siswa sesuai dengan kecenderungan kecerdasannya secara optimal. Tidak hanya sekelompok kecil siswa yang cerdas logiko-matimatikal saja yang mendapat pelayanan khusus, tetapi juga kelompok-kelompok siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan yang lain. Pelayanan secara berbeda tetapi sama-sama optimal bukanlah diskriminasi yang terjadi, tetapi keniscayaan bagi semua siswa. Oleh karena itu, sekolah-sekolah yang telah membuat kelas unggulan versi Depdiknas itu perlu meninjau ulang sebelum program itu menambah daftar panjang masalah pendidikan kita yang tak henti-henti dirundung masalah.

Page 3: Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

Waras Kamdi Kepala Pusat Kurikulum, Pengembangan Pembelajaran dan Evaluasi LP3 Universitas Negeri Malang

Forum Guru

Penerapan Program Akselerasi di DaerahOleh NONO SUKARNO, S.P.

SEBUAH pertanyaan yang sangat berharga, tidak mudah diwujudkan. Di dalamnya terkandung makna tanya, apa, bagaimana, di mana, dan kapan program itu mulai dilaksanakan. Bagaimana pula pelaksanaannya di lapangan, kurikulum, strategi pembelajaran, sarana dan prasarana, serta bagaimana perlakuan guru terhadap siswa akselerasi ini.

Sebuah program yang dikemas diharapkan terlaksana dengan baik agar menghasilkan output bermutu, sesuai tuntutan dan kebijakan yang dibuat oleh para pengambil keputusan. Serta untuk memenuhi ketetapan satuan pendidikan berstandar nasional, baik sekolah yang ada di daerah maupun kota besar.

Kalau kita sadari, di negara kita terdapat banyak siswa berbakat dan berpotensi di bidang akademik. Salah satu bentuk usaha yang dilakukan pemerintah, program akselerasi (percepatan belajar). Yakni pemberian layanan pendidikan dengan menyelesaikan belajar dalam waktu lebih cepat dibanding temannya. Misalnya SD menjadi lima atau empat tahun, SMP dan SMA menjadi dua tahun.

Sekolah di beberapa kota besar, pemerintah telah melaksanakan program ini yang telah dirintis mulai tahun 1998/1999, dan masih terus dikembangkan hingga saat ini. Program yang menitikberatkan pada sekolah yang dianggap unggul dan favorit, memiliki berbagai fasilitas penunjang belajar yang lengkap. Sekaligus berhasil mencetak siswanya berkualitas dengan predikat memuaskan. Rata-rata mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan mudah sesuai minatnya. Untuk tingkat SMA, lulusannya banyak diterima di perguruan tinggi nasional maupun internasional.

Bagaimana dengan sekolah di daereah khususnya wilayah kecamatan atau kabupaten kecil? Belum adanya langkah nyata dari pemerintah daerah terutama dinas pendidikan kabupaten/kecamatan, sehingga program ini kurang populer di kalangan masyarakat pendidikan, terutama di sekolah di daerah pinggiran. Benarkah pemerintah pusat belum memberikan otonomi penuh pada pemerintah daerah di sektor pendidikan?

Page 4: Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

Berbagai pertimbangan

Namun begitu, pemerintah tidak perlu disalahkan. Pada dasarnya telah memberikan berbagai kemudahan dan bertindak adil dalam mencerdaskan masyarakatnya. Program ini diperuntukkan untuk semua sekolah, namun hanya sekolah tertentu yang memenuhi kriteria "mampu" melaksanakan program kilat belajar ini. Berbagai pertimbangan dapat dijadikan alasan, hingga tidak terlaksananya program ini pada sekolah di daerah yang belum mapan, tidak siap, akhirnya tujuan tidak tercapai, siswa tidak mencapai predikat lulus sesuai standar nasional.

Pertama, minat anak daerah untuk masuk kelas akselerasi cenderung lebih rendah karena jumlah anak yang "cerdas" di sini lebih sedikit, ada anggapan memberatkan, buang-buang energi, mudah stres, tidak mampu bersaing hingga mereka cenderung memilih kelas biasa (reguler). Karena itu, dalam proses pembelajaran pun persaingan tidak begitu ketat.

Nilai mudah diperoleh karena soal disesuaikan dengan variasi kecerdasan siswa, yang umumnya biasa. Meski ia "jago", ukuran kecerdasannya akan berbeda dengan siswa perkotaan. Misalnya, nilai matematika 8 siswa daerah bobotnya tidak akan sama dengan nilai matematika 8 siswa kota. Ini dipengaruhi berbagai faktor di antaranya, untuk memperoleh nilai bagus di kelas "kota" harus ekstrakeras karena soal dibuat sedemikian sulit sebab tingkat persaingan sangat tinggi.

Cerdasnya siswa daerah hanya berlaku di "kandang" sendiri. Ketika ia harus bertemu "adu saing" dengan siswa kota pada momen tertentu, ia merasa dirinya paling tertinggal. Asupan gizi makanan dan pengalaman hidup sehari-hari menentukan tingkat kecerdasan siswa kota ini.

Kedua, penyesuaian kurikulum dan GBPP yang digunakan pada kelas akselerasi, dimungkinkan siswa daerah akan lambat menyelesaikan seluruh materi pelajaran. Sebab kompetensi yang dimilikinya lebih rendah sehingga siswa sulit mencapai target dan memahami tahap materi yang harus dilalui dan dikuasai.

Ketiga, strategi pembelajaran pada kelas ini, siswa selalu dibimbing dan diarahkan untuk dapat menemukan, menafsirkan dan menyimpulkan sendiri (discovery oriented) apa yang telah dipelajari. Di daerah, metode ini jarang diterapkan, umumnya menggunakan metode ceramah (duduk, dengar, catat) siswa belajar

Page 5: Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

pasif.

Keempat, ada banyak hal yang turut mendukung berhasil-tidaknya program ini. Yakni sarana dan prasarana termasuk di dalamnya guru dan buku. Pada kelas ini guru harus memiliki kualifikasi dan kemampuan khusus, berkualitas, berpengalaman, mendapat pelatihan dan selalu siap agar dapat menyesuaikan diri dengan siswanya.

Di daerah, jumlah guru yang memenuhi kualifikasi relatif sedikit, dan agak sulit untuk mendatangkan guru dari luar sekolah. Sebab harus mengeluarkan dan menambah anggaran tambahan untuk keperluan itu. Selain itu, buku yang digunakan di kelas ini diambil dari berbagai sumber, tidak berpatokan pada buku itu saja termasuk internet bisa dijadikan acuan sumber informasi. Semua ini jarang sekali dimiliki sekolah yang ada di daerah.

Kelima, orang tua yang siswanya masuk kelas akselerasi umumnya sangat mendukung dan antusias. Ini dibuktikan dengan kesanggupan pembayaran uang SPP lebih besar dari siswa. Sebagian uang itu digunakan untuk membayar honor tambahan guru yang mengajar di kelas akselerasi.

Wajar bila kemampuan ekonomi orang tua turut berpengaruh terhadap maju-mundurnya pendidikan. Di daerah, orang tua siswa memiliki penghasilan bervariasi, sebagian dari mereka mungkin tidak mampu membayar SPP sesuai standar yang ditetapkan. Melihat kondisi seperti ini, sekolah tertentu merasa "malas" dan pesimis untuk membuka kelas akselerasi ini sebab harus menambah anggaran yang tidak sedikit.

Mungkinkah kelas akselerasi diterapkan di daerah? Jawabannya mungkin, asal ada niat dan tekad yang kuat serta dukungan dari semua pihak. Amin. Bukankah pendidikan itu tanggung jawab kita semua?*** 

Penulis Guru Honorer SMPN 2 Purwadadi Subang.

 

Page 6: Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

home >> Fasilitas Sekolah >> Program Akselerasi (KELAS PERCEPATAN)

Program Akselerasi (KELAS PERCEPATAN) by, filen

Program Akselerasi adalah merupakan salah satu alternatif dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang mempunyai kemampuan luar biasa (unggul). Peserta didik yang memiliki kemampuan tersebut berhak memperoleh pelayanan pendidikan yang sesuai dengan potensi individunya, sehingga dapat menyelesaikan studinya lebih cepat dari jadwal yang telah ditentukan. Untuk tingkat SLTP yang dijadwalkan selesai dalam waktu 3 tahun dapat ditempuh dalam waktu 2 tahun ( 1 tahun lebih cepat ).

A. Tujuan diselenggarakannya program akselerasi:

Memenuhi kebutuhan peserta didik yang memiliki karakteristik spesifik dari segi perkembangan kognitif dan afektif

Memenuhi minat intelektual dan persepektif masa depan peserta didik

Meningkatakan efisiensi dan efektifitas proses pembelajaran peserta didik

Memacu mutu siswa untuk meningkatkan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosionalnya secara seimbang. B. Landasan pelaksanaan program akselerasi:

Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999 yang salah satunya berbunyi: " Mengembangkan kualitas SDM sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyentuh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya".

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Yang tertuan dalam :

Pasal 8 ayat 2: " Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus" .

Pasal 24 ayat 1 dan 6 : " Setiap peserta didik berhak mendapatkan perlakuan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya dan berhak menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan".

Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No. 111/C/LL/2004 tentang program percepatan belajar, dengan menunjuk SLTP Negeri 1 Balikpapan sebagai salah satu sekolah yang diberi ijin melaksanakan program akselerasi.

Kurikulum yang digunakan adalah:

a. Menyelenggarakan Kurikulum Nasional

Page 7: Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

b. Melakukan modifikasi kurikulum Nasional ( Kurikulum Berdeferensiasi )

c. Penyampaian materi secara eskalasi dan mendalam ( pengayaan secara vertikal )

d. Pengayaan secara horisontal è perluasan materi secara lebih terinci

e. Alokasi waktu lebih singkat

f. Menyelenggarakan ekstrakurikuler sesuai minat

g. Melakukan penilaian terhadap pencapaian dan kemajuan belajara siswa pada setiap tahap atau unit pembelajaran yang didasarkan pada kriteria keberhasilan tertentu EvaluasiSistem Evaluasi: a. Ulangan Harian

1) Dilaksanakan pada akhir 1 atau 2 pokok bahasan, minimal 2x dalam setiap Cawu/Semester.

2) Jenis soal : Obyektif Test dan Essay Test

3) Hasil Evaluasi disampaikan kepada orang tua siswa

b. Ulangan Umum Studi

1) Ulangan Umum Studi dilaksanakan pada akhir Cawu/Semester ( sesuai dengan kalender pendidikan akselerasi ).

2) Mata pelajaran yang diujikan secara tertulis : Bahasa Indonesia, Matematika, IPA Fisika, IPA Biologi, IPS Geografi, IPS Sejarah, IPS Ekonomi, Bahasa Inggris, sedangkan mata pelajaran yang lainnya diberikan tugas akhir dan praktek.

3) Tingkat kesukaran soal disesuaikan dengan soal pada kelas unggul

4) Jenis soal : Obyektif Test dan Essay Test.

5) Hasil Ulangan Harian dan Ulangan Umum Studi sebagai bahan untuk mengisi buku Rapor yang diberikan sesuai dengan jadwal.

c. Ujian Akhir Mengikuti ujian akhir bersama-sama dengan kelas reguler G. Rombongan

Setiap rombongan ( kelas ) diisi maksimum oleh 20 orang siswa yang telah lulus seleksi

Rombongan I tahun pembelajaran 2001 - 2004 terdapat 19 orang siswa.Pindah sekolah 1 orang, sisa 18 orang siswa.

Rombongan II tahun pembelajaran 2002 - 2004 terdapat 20 orang siswaDipindahkan ke kelas reguler 1 orang (sakit), sisa 19 orang.

H. Prestasi

Peringkat kelas berdasarkan nilai rapor kelas akselerasi.

Page 9: Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

Jumat, 30 April 2004

Berhasilkah Program Akselerasi Kita?

Sejak tahun ajaran 1998/1999 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengadakan uji coba program akselerasi untuk anak berbakat intelektual. Dengan program ini, lama belajar siswa dapat dipercepat selama satu tahun pada setiap satuan pendidikan. Sekolah Dasar (SD) dari enam tahun dipercepat menjadi lima tahun, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) dari tiga tahun menjadi masing-masing dua tahun. Peserta program ini adalah siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, kreatif, dan tanggung jawab terhadap tugas.

Dalam pelaksanaannya, ternyata ditemukan berbagai masalah. Seorang wakil kepala sekolah salah satu penyelenggara program ini pernah mengisahkan pengalamannya. Dia berujar, ''Selama pelaksanaan akselerasi di sekolah ini, saya menemukan beberapa hal yang aneh. Antara lain siswa terlihat kurang komunikasi, mengalami ketegangan, kurang bergaul dan, tidak suka pada pelajaran olah raga. Mereka tegang seperti robot. Kami juga dapat laporan dari orang tua bahwa kini mereka sulit berkomunikasi dengan anaknya."

Hal itu, antara lain yang mendorong Nuraida untuk melakukan penelitian. Tim Peneliti Pusbangsitek Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini lebih menitikberatkan pada kecerdasan emosional siswa peserta akselerasi pada tingkat SMU. Dugaannya, kala itu, masalah ini terjadi karena tidak tercapainya salah satu tujuan program akselerasi, yaitu meningkatkan kecerdasan emosional.

Nuraida menuturkan, akselerasi yang dilaksanakan di Indonesia adalah akselerasi yang berbasis kurikulum nasional. Tingkat SMU, misalnya, ada 13 mata pelajaran: Agama, IPS, PPKN, Bahasa dan Sastra Indonesia, sejarah nasional dan sejarah umum, bahasa Inggris, pendidikan jasmani dan kesehatan, matematika, fisika, kimia, biologi, geografi, olah raga dan seni rupa, ditambah dengan sejumlah ekstra kurikuler. Oleh karena itu, Indonesia memakai jenis akselerasi Telescoping curriculum dan Compacting curriculum.

Alasan pemilihan jenis ini agar siswa tidak meninggalkan salah satu pelajaran tersebut. Jadi siswa mendapatkan semua pelajaran dalam sistem pendidikan nasional. Tekniknya, dengan mengambil pelajaran yang esensial saja sedangkan materi-materi yang tidak esensial bisa dipelajari sendiri oleh siswa. Tidak perlu tatap muka. Dengan cara seperti ini, siswa dapat menyelesaikan pendidikannya dalam waktu lebih cepat.

Kenyataannya, terdapat kesulitan karena sistem pendidikan yang sentralistik. Jumlah pelajaran sangat banyak, namum belum ada layanan individual sesuai dengan bakat dan minat. Karena itu, harus mengakselerasikan 13 mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum nasional. Akibatnya siswa sangat merasa berat karena harus mempelajari semua mata pelajaran dalam waktu yang sangat cepat.

Ini berbeda dengan di Amerika. Di Negeri Paman Sam tersebut, jelas Nuraida, peserta didik yang mengikuti program akselerasi tidak diberikan semua mata pelajaran. Anak berbakat matematika memiliki kurikulum khusus di bidang matematika. Jumlah pelajaran pun tak banyak. Antara lain; computer science, Humanities, Math, science course dan writing course (www.Jhu/Gifted/teaching). Namun mereka mempelajarinya secara luas dan mendalam sekali.

Bagi siswa yang telah menguasai sejumlah pelajaran matematika pada satu tingkatan maka dia perbolehkan mempelajari matematika pada tingkat yang lebih lanjut. Misalnya loncat ke kelas yang lebih tinggi, belajar matematika

Page 10: Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

ANALISIS PRESTASI BELAJAR PROGRAM AKSELERASI Studi Kasus pada Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah Atas Tahun 2005

Oleh: Samsudin S2 - Teknologi PendidikanDibuat: 2006-11-24 , dengan 1 file(s).

Keywords: PRESTASI BELAJARSubject: PRESTASI BELAJAR HASIL BELAJARCall Number: 370.152 3 Sam a C.1

ABSTRAK : Upaya meningkatkan pembinaan yang lebih intensif terhadap siswa terutama yang memiliki kecerdasan yang luar biasa, dilakukan dengan memberikan layanan khusus untuk dapat menyelesaikan pendidikannya dengan waktu yang relatif singkat. Karena itu keberadaan varibel potensi IQ, tes masuk dan aktivitas belajar menjadi penting untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang cara yang lebih tepat untuk memprediksi prestasi belajar siswa akselerasi SMAN 2 Bandar Lampung. Secara lebih khusus penelitian ini bertujuan untuk menentukan prediktor yang lebih tepat bagi prestasi belajar siswa akselerasi SMAN 2 Bandar Lampung dengan jalan membandingkan potensi IQ, tes masuk dan aktivitas belajar dengan prestasi belajar. Penelitian ini merupakan ex post facto terhadap 3 variabel bebas yakni potensi IQ, tes masuk dan aktivitas belajar, serta variabel terikat yakni Prestasi Belajar. Untuk menjaring data yang digunakan basil prestasi belajar siswa akselerasi berupa nilai rata-rata selama 1 semester, yang diambil dari hasil raport siswa. Pengukuran nilai intelegensi dilakukan dengan menggunakan instrumen tes PM yang dilaksanakan oleh sekolah terhadap siswa calon akselerasi SMAN 2 Bandar Lampung. Sampel sebanyak 20 orang merupakan jumlah seluruh siswa akselerasi setiap angkatan yang terjaring melalui seleksi yang ketat. Hipotesis penelitian tersebut diuji dengan menggunakan analisis statistik pada taraf signifikansi 0,05 dengan Teknik Analisis Korelasi, Regresi clan Koefisien Path. Hasil penelitian menunjukan : 1. Bahwa siswa yang mempunyai kapasitas intelligensi tinggi, dalam hal ini dicerminkan oleh nilai tes IQ, dapat mempengaruhi aktivitas belajar menjadi yang lebih baik. 2. Bahwa nilai tes masuk dapat meramalkan aktivitas belajar siswa dalam program akselerasi belajar. 3. Potensi IQ mempunyai pengaruh terhadap prestasi belajar. 4. Adanya pengaruh tes masuk terhadap prestasi belajar yang dicapai oleh siswa. 5. Aktivitas belajar yang dimiliki siswa mencerminkan suatu sikap keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran di kelas, yang secara logis sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar yang dicapai oleh siswa.

Jumat, 30 April 2004

Berhasilkah Program Akselerasi Kita?

Sejak tahun ajaran 1998/1999 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengadakan uji coba program akselerasi untuk anak berbakat intelektual. Dengan program ini, lama belajar siswa dapat dipercepat selama satu tahun pada setiap satuan pendidikan. Sekolah Dasar (SD) dari enam tahun dipercepat menjadi lima tahun, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) dari tiga tahun menjadi masing-masing dua tahun. Peserta program ini adalah siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, kreatif, dan tanggung jawab terhadap tugas.

Dalam pelaksanaannya, ternyata ditemukan berbagai masalah. Seorang wakil kepala sekolah salah satu penyelenggara program ini pernah mengisahkan pengalamannya. Dia berujar, ''Selama pelaksanaan akselerasi di sekolah ini, saya menemukan beberapa hal yang aneh. Antara lain siswa terlihat kurang komunikasi, mengalami ketegangan, kurang bergaul dan, tidak suka pada pelajaran olah raga. Mereka tegang seperti robot. Kami juga dapat laporan dari orang tua bahwa kini mereka sulit berkomunikasi dengan anaknya."

Hal itu, antara lain yang mendorong Nuraida untuk melakukan penelitian. Tim Peneliti Pusbangsitek Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini lebih menitikberatkan pada kecerdasan emosional siswa peserta akselerasi pada tingkat SMU. Dugaannya, kala itu, masalah ini terjadi karena tidak tercapainya salah satu tujuan program akselerasi, yaitu meningkatkan kecerdasan emosional.

Nuraida menuturkan, akselerasi yang dilaksanakan di Indonesia adalah akselerasi yang berbasis kurikulum nasional. Tingkat SMU, misalnya, ada 13 mata pelajaran: Agama, IPS, PPKN, Bahasa dan Sastra Indonesia, sejarah nasional dan sejarah umum, bahasa Inggris, pendidikan jasmani dan kesehatan, matematika, fisika, kimia, biologi, geografi, olah raga dan seni rupa, ditambah dengan sejumlah ekstra kurikuler. Oleh karena itu, Indonesia memakai jenis akselerasi Telescoping curriculum dan Compacting curriculum.

Alasan pemilihan jenis ini agar siswa tidak meninggalkan salah satu pelajaran tersebut. Jadi siswa mendapatkan semua pelajaran dalam sistem pendidikan nasional. Tekniknya, dengan mengambil pelajaran yang esensial saja sedangkan materi-materi yang tidak esensial bisa dipelajari sendiri oleh siswa. Tidak perlu tatap muka. Dengan cara seperti ini, siswa dapat menyelesaikan pendidikannya dalam waktu lebih cepat.

Kenyataannya, terdapat kesulitan karena sistem pendidikan yang sentralistik. Jumlah pelajaran sangat banyak, namum belum ada layanan individual sesuai dengan bakat dan minat. Karena itu, harus mengakselerasikan 13 mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum nasional. Akibatnya siswa sangat merasa berat karena harus mempelajari semua mata pelajaran dalam waktu yang sangat cepat.

Ini berbeda dengan di Amerika. Di Negeri Paman Sam tersebut, jelas Nuraida, peserta didik yang mengikuti program akselerasi tidak diberikan semua mata pelajaran. Anak berbakat matematika memiliki kurikulum khusus di bidang matematika. Jumlah pelajaran pun tak banyak. Antara lain; computer science, Humanities, Math, science course dan writing course (www.Jhu/Gifted/teaching). Namun mereka mempelajarinya secara luas dan mendalam sekali.

Bagi siswa yang telah menguasai sejumlah pelajaran matematika pada satu tingkatan maka dia perbolehkan mempelajari matematika pada tingkat yang lebih lanjut. Misalnya loncat ke kelas yang lebih tinggi, belajar matematika

Page 11: Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak