kekebalan terhadap gedung diplomatik
TRANSCRIPT
Nama: Aini Nurul Iman Hukum Diplomatik dan Konsuler
NPM: 110111090068 Kekebalan terhadap gedung diplomatik
Awalnya pelaksanaan hubungan diplomatik antar negara didasarkan pada prinsip
kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara, prinsip kebiasaan berkembang demikian
pesatnya hingga hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan internasionalnya
berdasarkan pada prinsip tersebut. Dengan semakin pesatnya pemakaian prinsip kebiasaan
yang dianut oleh praktik-praktik negara kemudian prinsip ini menjadi kebiasaan internasional
yang merupakan suatu kebiasaan yang diterima umum sebagai hukum oleh masyarakat
internasional.1
Semakin berkembangnya hubungan antar negara, maka diperlu untuk membuat suatu
peraturan yang dapat mengakomodasi semua kepentingan negara-negara tersebut hingga
akhirnya Komisi Hukum Internasional (International Law Comission) menyusun suatu rancangan
konvensi internasional yang merupakan suatu wujud dari kebiasaan-kebiasaan internasional di
bidang hukum diplomatik yang kemudian dikenal dengan Viena Convention on Diplomatic
Relation 1961 (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik). Konvensi Wina 1961 adalah
sebagai pengakuan oleh semua negara-negara akan adanya wakil-wakil diplomatik yang sudah
ada sejak dahulu.
Dalam menjalankan tugas nya sebagai Diplomatik kita mengenal konsep kekebalan
terhadap yurisdiksi suatu negara mau tidak mau menjadi kebutuhan tersendiri dalam hukum
internasional. Pengecualian terhadap hukum negara setempat terhadap diplomat asing yang
bertugas di negara tersebut merupakan suatu kebutuhan yang seringkali susah untuk
dikompromikan atau dimengerti oleh mahasiswa hukum mengingat prinsip fiksi hukum yang
menghendaki semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Di sisi lain, tanpa
adanya kekebalan terhadap yurisdiksi suatu negara, maka tugas seorang diplomat tidak akan
bisa dilaksanakan secara sempurna.
1 Sigit Fahrudin, dalam Artikel, “Hubungan Diplomatik Menurut Hukum Internasional”Law Online Library.
a. Sovereign Immunity (Kekebalan karena Kedaulatan)
Suatu negara tak dapat memaksakan kedaulatannya terhadap negara berdaulat lainnya.
Prinsip ini dikenal dengan istilah par in parem non habet imperium-jika kedudukannya sama
maka tidak dapat saling memaksakan yurisdiksinya. Berdasar prinsip inilah maka prinsip
kekebalan terhadap yurisdiksi suatu negara dimunculkan.
b. Kekebalan terhadap Diplomat
Dalam US Diplomatic and Consular Staff in Tehran Case (1980) ICJ Reports, hal 3 dan hal 40
menyatakan bahwa kekebalah terhadap diplomat adalah “...constitute a slef-contained regime,
which on the one hand, lays down the receivingstate’s obligation regarding the facilities,
privileges, and immunities to be acorded to diplomatic missions and, on the onthe, foresees
their possible abuse by members of the mission and specifies the means at the disposal of the
receiving state to counter any such abuses”
Sejak tahun 1961, masyarakat internasional telah menyepakati beberapa kekebalan untuk
anggota misi diplomatik dalam Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961, antara lain
yaitu:
1) Kekebalan terhadap gedung diplomatik (Diplomatic premises, Pasal 22)
“The premises of the mission shall be inviolable. The agents of the receiving state may not enter
them, except with the consent of the head of the mission”. Hal ini dilandasi oleh tiga teori yang
berbeda:
a) The Extraterritorial Theory, yang menganggap bahwa gedung kantor diplomatik adalah
perpanjangan wilayah negara pengirim
b) The Representative Character Theory yang menganggap bahwa perwakilan dalah merupakan
cerminan dari kehadiran kekuasaan asing yang harus dihormati oleh negara lain sebagaimana
negara itu menghormati negara aslinya.
c) The Functional Necessity Theory, yang menganggap bahwa kekebalan terhadap yurisdiksi itu
perlu dimiliki agar fungsi perwakilan diplomatik dapat dijalankan dengan baik.
2) Kekebalan terhadap surat-surat diplomatik (Diplomatic Correspondence, Pasal 27) termaktub
dalam pasal ini adalah:
a) negera penerima harus mengijinkan dan melindungi kebebasan berkomunikasi antara kantor
perwakilan dan negara pengirim
b) Korespondensi Resmi tidak boleh diganggu gugat
c) Kantong Diplomatik (Diplomatic bag) tidak boleh ditahan atau dibuka
3) Kekebalan terhadap anggota diplomatik dan kebebasan dari proses penangkapan dan
penahanan (Pasal 29)
Setiap anggota misi diplomatik tidak dapat ditangkap atau ditahan oleh negara penerima.
Termasuk dalam pengertian itu adalah kewajiban dari negara penerima untuk melindungi
anggota misi diplomatik dari serangan terhadap diri pribadi, kebebasan maupun martabatnya.
Hak kekebalan bagi anggota diplomatik ini semakin ditegaskan dalam The Convention on the
Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, Including
Diplomatic Agents 1973.
4) Kekebalan terhadap yurisdiksi kriminal dan tuntutan perdata (Pasal 31) dituangkan sebagai
berikut: “...A diplomatic agent shall enjoy imunity from the criminal jurisdiction of the receiving
state. He shall also enjoy immunity from its civil and administrative jurisdiction (subject to
exeptions)” . Lebih lanjut disebutkan bahwa kekebalan terhadap yurisdiksi kriminal adalah
absolut sementara perkecualian terhadap tuntutan perdata terkait dengan kepemilikan pribadi
(private real property), pengalihan dan aktivitas komersial (succesion and commercial activity)
di luar kewenangan dan tugas diplomatiknya. Seorang diplomat juga tidak bisa dipaksa untuk
bersaksi dalam persidangan (Pasal 31 ayat 2)
Disini saya akan membahas mengenai perlindungan terhadap gedung-gedung
perwakilan. Menurut Satow, baik gedung perwakilan maupun rumah kediaman diplomat,
keduanya menurut hukum internasional diperlakukan sama.2 Sehingga keduanya berhak untuk
mendapatkan perlindungan khusus dan tidak dapat dimasuki tanpa izin kepala perwakilan,
kecuali jika terjadi kebakaran atau bencana lainnya yang memerlukan tindakan-tindakan yang
cepat.3 Maksud perlindungan khusus ini menyangkut dua aspek yaitu:
1. Mengenai kewajiban Negara penerima untuk memberikan perlindungan
sepenuhnya sebagai perwakilan asing Negara tersebut dari setiap gangguan
2. Kedudukan perwakilan asing itu sendiri yang dinyatakan kebal dari pemeriksaan
termasuk barang-barang dan arsip yang ada didalamnya 4
3. Teori Exterritoriality ialah bahwa seorang wakil diplomatik itu karena Eksterritoriality
dianggap tidak berada di wilayah negara penerima, tetapi di wilayah negara
pengirim, meskipun kenyataannya di wilayah neghara penerima. Oleh sebab itu,
maka dengan sendirinya wakil diplomatik itu tidak takluk kepada hukum negara
penerima. Begitun pula ia tidak dikuasai oleh hukum negara penerima dan tidak
takluk pada segala peraturan negara penerima.
4. Bahwa hak kekebalan ini tidak ditunjukan kepada pihak individu melainkan untuk
menjamin efisiensi dan pelaksanaan tugas dan fungsi diplomatic.5
5. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan gedung-gedung perwakilan
beserta arsip-arsip, kita jumpai pada pasal 22, 24 dan 30 Vienna Convention 1961.
Pasal 22 menyebutkan bahwa:
1. Gedung-gedung perwakilan asing tidak boleh diganggu-gugat. Alat-alat negara dari negara
penerima tidak diperbolehkan memasuki gedung tersebut kecuali dengan izin kepala
perwakilan;
2. Negara penerima mempunyai kewajiban khusus untuk mengambil langkah-langkah
seperlunya guna melindungi perwakilan tersebut dari setiap gangguan atau kerusakan dan
2 Satow`s, Guide to Diplomatic Pactice, 5th ed. (London: Longman Group Ltd, 1979). Hal 2133 Wiliam L. Tung, Internastional Law in an Organizing World, (New York: Thomas Y. Cromwell Company, 1968). Hal 2644 Pasal 45 Vienna Convention 19615 Grant V. Mclanahan, Diplomatic immunity principles, practices, problems, (New York, ST Martin Press,1989). Hal 45
mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan-perwakilan atau yang menurunkan harkat
dan martabatnya;
3. Gedung-gedung perwakilan, perabotannya dan harta milik lainnya yang berada di dalam
gedung tersebut serta kendaraan dari perwakilan akan dibebaskan dari pemeriksaan,
penuntutan, pengikatan atau penyitaan.
Pasal 24 menyebutkan bahwa:
Arsip dan dokumen dari misi tidak dapat diganggu gugat setiap saat dan di mana pun
Pasal 30 menyebutkan bahwa:
Kediaman pribadi diplomatik akan mendapatkan perlindungan dan tidak dapat di ganggu gugat
dimana ia bertempat menjalankan misi nya
Adapun kronologis kasus ini terjadi berawal dari Inggris membantu secara terbuka kebijakan AS
terhadap Iran, termasuk sanksi Ekonomi yang diterapkan oleh AS yang diumumkan oleh
Menkeu dan Menlu AS pada 22 Nopember lalu saat penetapan kebijakan ekstrim terhadap Iran
dengan menerapkan UU Patriot AS. Sanksi AS yang dibantu Inggris terbaru itu memang sangat
keras dan tajam untuk memberi pelajaran keras terhadap Iran. Diprediksikan oleh berbagai
kalangan sanksi baru AS tersebut bisa jadi sebagai cikal bakal terbitnya resolusi terbaru PBB
terhadap Iran. Resolusi terbaru tersebut tersebut adalah representasi dunia internasional atas
akumulasi kekecewaan AS dibantu Inggris dan sekutunya terhadap kebijakan garis keras Iran
dalam bernegosiasi dengan Barat.
Akhirnya ketegangan itu memuncak setelah Parlemen Iran (pada tanggal 27/11) menyetujui
RUU pengurangan hubungan diplomatik dengan Inggris sebgaimana yang telah diumumkan
oleh Parelemen Iran dua hari lalu, seperti dilaporkan oleh kantor berita Iran. Dalam serbuan
kali ini para pelajar dan mahasiswa pada siang hari tadi waktu Iran menyerbu kedutaan Inggris
dengan melemparinya dengan batu dan melemparkan bom molotov ke dalam kedutaan dari
luar pagar. Mereka melawan barikade Polisi keamanan Iran. Entah benar-benar terjaga
kedutaan itu apa tidak nyatanya dalam tempo 2 jam setelah berdesak-desakan para pelajar dan
mahasiswa berhasil menembus barikade polisi.
Perlindungan memang diperlukan bagi kedutaan besar Inggris dari pemerintah Iran, karena
dalam ini adanya kewajiban perlindungan di dalam atau lingkungan gedung perwakilan asing
(Interna Rationae) dan perlindungan di luar gedung perwakilan asing (Externa Rationae).
Kegiatan yang terjadi diluar gedung perwakilan asing tersebut dalam hal ini unjuk
rasa/demonstrasi yang merusak gedung kedutaan besar Inggris, hal itu merupakan gangguan
terhadap ketenangan perwakilan dalam menjalankan misinya atau dapat menurunkan harkat
dan martabat perwakilan asing di suatu negara yang pada hakikatnya bisa bertentangan dengan
arti dan makna dari Pasal 22 (2) Konvensi Wina 1961. Pasal 22 (2) ini mengakibatkan suatu
tingkat perlindungan yang khusus di samping kewajiban yang sudah ada guna menunjukkan
kesungguhan dalam melindungi perwakilan asing yang berada di suatu negara.
Dalam kasus perusakan Kedutaan Besar Inggris untuk Iran ini, negara Iran telah lalai melindungi
perwakilan asing (perwakilan dari negara Inggris) di wilayah negaranya sekaligus melanggar
pasal 22 ayat (2) Konvensi Wina 1961. Akan tetapi perlu kita perhatikan disini yang berhubung
dengan materi Hukum Pidana Internasional, pelaku yang merusak Kedutaan besar adalah para
mahasiswa (kelompok) warga negara Iran, dan bukan di bawah kebijakan
pemerintah/organisasi di Iran, sehingga kejahatan ini bukanlah kejahatan transnasional akan
tetapi merupakan kejahatan internasional, karena merupakan perbuatan dianggap sebagai
kejahatan internasional baik yang diatur dalam konvensi internasional (Konvensi Wina) maupun
dalam hukum kebiasaan internasional.
Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang perlu diambil adalah :
1. Karena ini merupakan tindak kejahatan yang bukan termasuk yurisdiksi ICC (Mahkamah
Internasional), maka para pelaku perusakan ini ditindak dengan menggunakan hukum nasional
Iran atas permintaan negara Inggris, selain itu penindakan terhadap para pelaku ini merupakan
kewajiban dari negara Iran.
2. Apabila negara Iran unwillingness atau unable, maka wewenang yurisdiksi terhadap para pelaku
dapat dialihkan kepada hukum nasional negara Inggris berdasarkan asas teritorial, karena
berdasarkan asas ekstrateritorial para pelaku yang merusak kedutaan besar Inggris dianggap
melakukan kejahatan di atas wilayah teritorial negara Inggris.
3. Selain itu negara Iran wajib memberi kompensasi berdasarkan prinsip ex gratia kepada negara
Inggris sebagai bentuk pertanggungjawaban negara Iran terhadap negara Inggris.
Apabila negara Iran tidak beritikad baik menunjukkan pertanggungjawabannnya untuk
melaksanakan hal tersebut, maka negara Inggris berhak menarik perwakilan diplomatiknya dari
negara Iran sebagai bentuk protes tertinggi suatu negara pengirim terhadap negara penerima.
KASUS DEMONSTRASI DI DEPAN KEDUTAAN BESAR INDONESIA DI CANBERRA TAHUN 1992
Kasus unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Indonesia di Canberra, Australia pada tahun 1992.
Suatu kelompok orang Timor-Timur yang sudah lama bermukim di Australia yang berjumlah
sekitar 100 orang telah mengadakan unjuk rasa di depan KBRI di Canberra pada tanggal 2
Januari 1992 sebagai rentetan aksi terjadinya insiden Dili 12 November 1991. Beberapa hal
yang menyebabkan terjadinya pelanggaran dalam unjuk rasa tersebut adalah didirikannya
tenda-tenda, pemasangan plakat-plakat dan lentera pemasangan salib-salib sejumlah 102 buah
di depan KBRI yang seakan-akan melambangkan jumlah korban penembakan yang terjadi di
Dili. Kelompok pengunjuk rasa tersebut membentuk semacam penjagaan secara bergantian di
tenda yang berada di luar gedung KBRI untuk selama beberapa waktu lamanya.6
Mereka juga mempertontonkan spanduk-spanduk yang bernada anti Indonesia dan meneriakan
yel-yel yang menyerang Pemerintah Indonesia serta kegiatan lainnya, seperti pembakaran dua
bendera merah putih yang dibawa mereka di depan gedung KBRI. Dengan adanya unjuk rasa
tersebut Pemerintah RI telah mengajukan protes dan meminta agar Pemerintah Australia
mencabut salib-salib, termasuk plakat-plakat, tenda-tenda dan kegiatan lainnya yang
mengganggu dan menurunkan harkat martabat misi perwakilan RI, karena hal itu bertentangan
dengan Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961. Berdasarkan peristiwa ini Menteri Luar Negeri
6 Canberra Times, 31 januari 1992 dalam Sumaryo Suryokusumo, hlm 87
Australia menyampaikan surat kepada Kedutaan Besar RI di Canberrra dan menyatakan
penyesalan atas terjadinya unjuk rasa tersebut, dan berjanji bahwa Pemerintah Australia akan
mengambil langkah-langkah seperlunya guna memberikan perlindungan terhadap misi
perwakilan RI.7
Tindakan yang kemudian dilakukan Pemerintah Australia dalam mengatasi pelanggaran
tersebut adalah pada tanggal 16 Januari 1992 telah mengeluarkan sertifikat yang menyatakan
bahwa pemindahan salib-salib yang berada dalam kedekatan atau kejarakan 50m dari batas
gedung KBRI di Canberra merupakan langkah yang layak sesuai dengan Pasal 22 dan 29
Konvensi Wina 1961. Pada hari itu juga sertifikat disahkan, dan Pemerintah Federal
memberikan kuasa kepada kepolisian untuk memindahkan salib-salib tersebut. Pada tanggal 22
Maret 1992 terjadi lagi unjuk rasa dari 40 orang Timor-Timur di depan KBRI di Canberra yang
menyatakan protes dengan tindakan Indonesia tersebut da kemudian bubar dengan tenang.8
Tanggal 5 April 1992 terjadi kembali unjuk rasa dari orang–orang Australia yang berjumlah 25
orang di depan KBRI di Canberra yang juga telah meneriakan yel-yel yang bernada anti
Indonesia, tetapi polisi datang tepat pada waktunya dan suasana akhirnya dapat dikendalikan.
Pada tanggal 17 April 1992 terjadi unjuk rasa kembali yang diikuti oleh 90 orang, 60 orang
diantaranya berasal dari Timor-Timur dan 30 orang lainnya adalah orang-orang Australia
dengan menancapkan kembali tanda-tanda salib yang berjumlah 125 buah. Di samping itu,
pengunjuk rasa juga memampangkan satu plakat dari logam yang bertuliskan “In memory of
the brave young men and women who die for the liberation of their country, East timor, on
November 1991, at Santa Cruz Cemetery”.9
Pemerintah Australia segera mengirimkan empat orang polisi pengaman dalam rangka
melindungi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dan telah mengadakan penjagaan terus-
menerus selama 24 jam. Atas kejadian ini, Kuasa Usaha ad Interim Kedutaan Besar RI di
Canberra menyatakan protes dan ketidaksenangannya atas pemasangan kembali tanda-tanda
salib dan kegiatan-kegiatan lainnya di luar gedung KBRI karena hal itu sangat mengganggu
7 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Penerbit Alumni, Bandung, 2005, hlm 868 Sumaryo Suryokusumo, Ibid, hlm 879 Sidney Morning Herlad, 18 april 1992 dalam Sumaryo Suryokusumo, Ibid, hlm 87
ketenangan dan menurunkan kehormatan misi perwakilan RI. Atas terjadinya hal tersebut
Pemerintah Australia melakukan upaya-upaya pembenahan dan langkah-langkah untuk
mengatasi hal tersebut. Akhirnya pada tanggal 3 Mei 1992 polisi federal Australia telah
mengangkat salib-salib dan lentera-lentera di depan KBRI di Canberra. Tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh Pemerintah Australia adalah sebagai pemenuhan atas kewajiban negara
penerima dalam melindungi perwakilan-perwakilan asing, dalam hal ini adalah perwakilan
diplomatik Indonesia sesuai Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961
B.2 ANALISA KASUS
Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961 memberikan kewajiban khusus kepada negara penerima
untuk mengambil semua tindakan yang patut untuk melindungi kantor, gedung, wisma
perwakilan dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan
perwakilan atau hal yang menurunkan martabatnya. Tidak diganggu gugatnya gedung
perwakilan asing sesuatu negara pada hakikatnya menyangkut dua aspek. Aspek pertama
adalah mengenai kewajiban negara penerima untuk memberikan perlindungan sepenuhnya
sebagai perwakilan asing di negara tersebut dari setiap gangguan. Aspek kedua adalah
kedudukn perwakilan asing itu sendiri yang dinyatakan kebal dari pemeriksaaan termasuk
barang-barang milikmnya dan semua arsip yang didalamnya.
Di dalam konvensi wina 1961, secara jelas memberikan batasan bahwa gedung perwakilan
merupakan gedung-gedung dan bagian-bagiannya dan tanah tempat gedung itu didirikan,
tanpa memperhatikan siapa pemiliknya yang digunakan untuk keperluan perwakilan negara
asing tersebut rumah kediaman kepala perwakilan. Meskipun demikian, kantor perwakilan
asing tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan tugas-tugas diplomatik
serta tempat berlindung pelaku tindak pidana kriminal, seperti ditentukan oleh konvensi wina
dan hukum internasional.10
10 Sumaryo Suryokusumo, Loc.Cit, hlm 71
Perlindungan terhadap gedung perwakilan asing yang diberikan di negara penerima dapat
dilakukan dalam dua hal, yaitu perlindungan di lingkungan gedung perwakilan asing (Interna
Rationae) dan perlindungan di luar lingkungan gedung perwakilan asing (Externa Rationae).
Gedung perwakilan asing tidak dapat diganggu gugat, bahkan para petugas maupun alat negara
setempat tidak dapat memasukinya tanpa izin kepala perwakilan. Namun apabila negara
mempunyai bukti-bukti atau dakwaan yang kuat bahwa fungsi perwakilan asing ternyata
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1961, pemerintah negara
penerima dalam keadaan seperti itu dapat memasuki gedung perwakilan tersebut.11 Di samping
itu, dalam keadaan darurat yang luar biasa (extreme emergency), gedung perwakilan dapat
dimasuki oleh petugas atau alat negara setempat untuk mengambil tindakan-tindakan yang
perlu guna menjamin atau menyelematkan nyama manusia yang terancam oleh musibah
maupun bencana alam lainnya.
Hal yang menyangkut situasi di luar lingkungan gedung perwakilan asing dimana gangguan
terjadi ditempat yang berada diluar tetapi di sekitar gedung perwakilan tersebut, dimana
pemasangan plakat-plakat serta mempertontonkan spanduk dan lain-lain di luar gedung
perwakilan suatu negara, semuanya itu dapat menurunkan harkat dan martabat perwakilan
asing di suatu negara yang pada hakikatnya bisa bertentangan dengan arti dan makna dari pasal
22 ayat (2) konvensi wina 1961. Pasal 22 ayat (2) ini mengakibatkan suatu tingkat perlindungan
yang khusus disamping kewajiban yang sudah ada guna menunjukkan kesungguhan dalam
melindungi perwakilan asing yang berada di suatu negara.12 seperti dalam kasus demonstrasi di
depan kedutaan Indonesia di Australia.
Pasal 22 Konvensi Wina mengatur tentang tidak diganggu gugatnya kantor perwakilan
diplomatik dan kewajiban negara untuk melindungi kantor tersebut dari setiap gangguan atau
kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan atau hal yang menurunkan
martabatnya, serta kekebalan dari penggeledahan, penuntutan, pengikatan atau penyitaan.
Sedangkan Pasal 41 ayat 3mengatur bahwa kantor perwakilan tidak boleh digunakan dengan
11 Sumaryo Suryokusumo, Op Cit hlm 7312 Ibid. hlm 80-81
cara apapun yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perwakilan sebagaimana ditetapkan dalam
Konvensi Wina 1961.13
Hukum diplomatik mengenal adanya prinsip ex gratia, yaitu suatu asas yang dipakai oleh negara
penerima dalam menyelesaikan segala persoalan yang berkaitan dengan kerusakan gedung
perwakilan asing termasuk mobil-mobil dan harta milik lainnya yaitu dengan memberikan
kompensasi baik berupa penggantian maupun perbaikan terhadap kerusakan atau kerugian
yang diakibatkan oleh kelalaian negara penerima Pelanggaran terhadap Pasal 41 ayat 3
Konvensi Wina 1961, yaitu penggunaan gedung perwakilan untuk hal-hal yang tidak sesuai
dengan tugas-tugas perwakilan sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961 dalam
memberikan perlindungan dan pencegahan. Menurut praktik-praktik yang ada selama ini,
kompensasi atas dasar ex gratia bukan saja diberikan atas gangguan secara langsung tetapi juga
yang terjadi sebagai akibat gangguan lain yang tidak disengaja. 14
13 Pelanggaran terhadap Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961, yaitu penggunaan gedung perwakilan untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perwakilan sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 196114 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit hlm78-79