kegiatan usaha pertambangan vs kerusakan lingkungan · pdf filekegiatan usaha pertambangan vs...
TRANSCRIPT
1
KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN Vs KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
(Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang,
ISSN: 0854-7254, Vol. XVII No. 35, Maret 2012, h. 75-81)
Abdul Rokhim1
Abstract
Legal issues raised in this paper are the legal issues on mining business, particularly
on the question of environmental damage caused by mining activities less attention to issues
of environmental preservation. One cause of the lack of attention from the mining business
to environmental problems are generally those still using the classic paradigm in
understanding the mining business, which dredge (extraction) as many minerals for
economic gain as much as possible without thinking about the negative impact or risks to
the community and the environment.
Key Words: Mining Business; Environmental Damage
1. Pendahuluan
Persoalan hukum yang diangkat dalam tulisan ini adalah masalah hukum di seputar
kegiatan usaha (bisnis) pertambangan, khususnya mengenai masalah kerusakan lingkungan
akibat kegiatan pertambangan yang kurang memperhatikan persoalan pelestarian lingkungan
hidup. Salah satu penyebab kurangnya perhatian dari para pelaku usaha (kontraktor)
pertambangan terhadap masalah lingkungan hidup adalah umumnya mereka masih
menggunakan paradigma klasik dalam memahami kegiatan usaha pertambangan, yakni
mengeruk (ekstraksi) sebanyak-banyaknya barang tambang demi keuntungan ekonomi
sebesar-besarnya tanpa memikirkan dampak negatif atau risikonya terhadap masyarakat dan
lingkungan di sekitarnya.
Makalah ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional tentang “Selamatkan
Alam Rembang Menuju Hijau Lestari” yang diselenggarakan oleh Lembaga Masyarakat
Lingkungan Hidup (LMLH), di Hotel Puri Indah, Rembang, 30 Juli 2011.
2. Paradigma dalam Usaha Pertambangan
Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hingga kini masih diwarnai oleh
paradigma klasik yang menilai sumber daya alam sebagai sumber pandapatan ketimbang
modal. Paradigma tersebut telah berkembang jauh sebelum terjadinya revolusi industri
sebagai manivestasi dari hasrat manusia untuk menguasai alam. Implikasi dari paradigma
yang demikian ini secara sadar atau tidak telah membentuk mode of production seluruh
aktivitas ekonomi, termasuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam pertambangan.
Eksploitasi sumber daya alam yang hanya diarahkan untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi tanpa memperhatikan secara proporsional kelestarian fungsi lingkungan tetap
merupakan fenomena umum. Bahkan, dalam batas-batas tertentu keberadaan industri
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
2
pertambangan dalam suatu wilayah pertambangan (blok) bukan hanya menempatkan diri
sebagai entitas asing (alien entity), tetapi dalam banyak kasus merupakan sumber prahara
dan bencana sosial bagi masyarakat di sekitarnya.
Namun di sisi lain, usaha pertambangan merupakan industri dasar yang menopang
kehidupan dan peradaban modern. Tanpa produk pertambangan logam dan mineral,
kehidupan dan peradaban manusia kembali ke zaman batu. Bagaimana membayangkan
hidup tanpa logam yang dipergunakan untuk membuat perkakas rumah tangga, kantor, dan
lain-lain dalam kehidupan modern seperti saat ini? Begitu pula dalam kehidupan modern
seperti saat ini, ketergantungan pada sumber energi fosil berupa minyak dan gas bumi masih
sangat tinggi dan belum bisa digantikan sepenuhnya dengan energi alternatif.
Atas dasar kedua realitas yang saling kontradiktif di atas, paradigma baru dalam
perusahaan pertambangan yang menghasilkan logam, batubara, dan bahan tambang non
logam (mineral) sebagai sumber energi, termasuk panas bumi, di masa yang akan datang
seyogyanya berbasis pada keadilan (equity), keseimbangan (balances), demokrasi
(democracy), dan keberlanjutan (sustainable) antar generasi. Paradigma baru ini hanya dapat
terlaksana dengan baik jika dituangkan dalam suatu kebijakan negara yang melibatkan
semua pihak terkait (stakeholder) secara optimal dengan pola kemitraan. Berdasarkan
paradigma tersebut, maka kebijakan pemerintah di bidang pertambangan haruslah
berkarakter “social justice and equality” dengan menggunakan pendekatan terpadu,
komprehensif, menjunjung tinggi keberagaman masyarakat (pluralism) serta berwawasan
lingkungan yang berkelanjutan (sustainable).
Praktik usaha pertambangan yang baik dan benar (good mining practice) diharapkan
mampu membangun peradaban modern yang memenuhi standar, kriteria dan kaidah-kaidah
pertambangan yang tepat, sehingga pemanfaatan sumber daya pertambangan dapat
memberikan manfaat yang seoptimal mungkin dan dampak buruk (risiko) yang seminimal
mungkin. Kaidah-kaidah yang dimaksud meliputi: perizinan, teknis pertambangan,
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), lingkungan (khususnya keterkaitan hulu-hilir dan
konservasi), nilai tambah, serta pengembangan masyarakat dan wilayah (local and
community development) di sekitar usaha pertambangan.
Timbulnya konflik sosial pada berbagai wilayah industri pertambangan mestinya
memberikan kesadaran baru bagi pemerintah dan kalangan industri pertambangan mengenai
perlunya menciptakan harmonisasi hubungan antara masyarakat dengan usaha
pertambangan melalui konsep “tanggung jawab sosial perusahaan”. Maraknya tuntutan
terhadap usaha pertambangan dengan berbagai aksi dari berbagai kelompok masyarakat
biasanya disebabkan oleh dua faktor, yaitu: pertama, manfaat usaha pertambangan tidak
langsung dirasakan oleh masyarakat lokal, yang terjadi justru merusak lingkungan hidup dan
sosial budaya masyarakat; kedua, kurangnya pemahaman terhadap karakteristik dan hakikat
usaha pertambangan.
3. Karakteristik Usaha Pertambangan Vs. Pelestarian Lingkungan Hidup
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa usaha pertambangan telah
memberikan kontribusi dalam skala nasional berupa penerimaan negara melalui devisa,
royalty, iuran pertambangan lainnya, pajak dan penerimaan negara non pajak, yang
digunakan untuk membiayai pembangunan nasional. Namun, kontribusi yang demikian itu
ternyata belum dirasakan oleh masyarakat lokal di kawasan pertambangan yang
bersangkutan, dan ironisnya masyarakat lokallah yang menanggung segala akibat (risiko)
3
dari usaha pertambangan, misalnya dampaknya terhadap kerusakan dan pencemaran
lingkungan.
Usaha pertambangan di Indonesia umumnya dilakukan secara masif dan modern,
dengan memanfaatkan penanaman modal yang sangat besar baik domistik maupun asing.
Pemanfaatan modal besar melalui Penanaman Modal Asing (PMA) dengan penggunaan
teknologi canggih (high technology) dan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan
keterampilan yang tinggi (high skilled) yang semuanya dipasok dan direkrut dari luar negeri.
Itulah sebabnya, komunitas pekerja tambang menjadi enclave (“asing”) dan nyaris tidak
memberikan sumbangan apapun kepada masyarakat lokal. Faktor ini pula yang seringkali
menyebabkan terjadinya gap antara masyarakat lokal dengan komunitas pekerja tambang
yang berujung pada terjadinya konflik sosial.
Terjadinya konflik sosial seperti tersebut di atas, mengingat setiap usaha
pertambangan di manapun pada umumnya dilakukan oleh dan untuk kepentingan
masyarakat non-lokal. Masyarakat non-lokal yang bekerja di kawasan pertambangan
tersebut tentu membawa nilai-nilai sosial budaya yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai
sosial budaya masyarakat lokal. Oleh karena itu, jika tidak diikuti kegiatan remedial tertentu,
usaha pertambangan yang memang sifatnya eksploitatif akan berdampak pada kerusakan
lingkungan dan degradasi nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal.
Di samping itu, dari aspek ekologi (lingkungan), usaha pertambangan sangat
berpotensi menimbulkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan di sekitar kawasan
pertambangan. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa kegiatan pertambangan dan lingkungan
hidup adalah dua hal yang kontradiktif tetapi tidak dapat dipisahkan. Bahkan, ada ungkapan
“tiada kegiatan pertambangan tanpa perusakan dan/atau pencemaran lingkungan”. Masalah
pertambangan termasuk dalam lingkup hukum sumber daya alam, sedang masalah
lingkungan diatur dalam hukum lingkungan. Padahal, hukum sumber daya alam dan hukum
lingkungan mempunyai asal usul yang berlainan, bahkan saling bertentangan satu sama
lainnya. Hukum sumber daya alam lebih banyak berfokus pada eksploitasi, sedangkan
hukum lingkungan berfokus pada pelestariannya. Meskipun kedua hukum tersebut
kelihatannya bertentangan, tetapi selalu berkaitan satu dengan lainnya. Hubungan yang
demikian dapat dilihat sebagai dua sisi dari sekeping uang logam.
Dari dua hal yang kontradiktif di atas, tidak berarti pengusahaan pertambangan harus
berhenti hanya karena kelestarian lingkungan hidup. Sebaliknya, upaya pelestarian
lingkungan hidup tidak dapat berhenti karena adanya pengusahaan pertambangan. Jalan
tengahnya adalah pengusahaan pertambangan tetap berjalan dengan cara tetap
memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan.
Masalah lingkungan yang dapat timbul akibat usaha pertambangan beraneka ragam
sifat dan bentuknya. Pertama, usaha pertambangan dalam waktu yang relatif singkat dapat
mengubah bentuk topografi dan keadaan muka tanah (land impact), sehingga dapat
mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya. Kedua, usaha
pertambangan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan, antara lain pencemaran
akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, limbah cair, tailing, serta buangan
tambang yang mengandung zat-zat beracun. Gangguan juga berupa suara bising dari
berbagai alat berat, suara ledakan dan gangguan lainnya. Ketiga, pertambangan yang
dilakukan tanpa mengindahkan keselamatan kerja dan kondisi geologi lapangan dapat
menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuan tambang, dan gempa.
4
Dalam rangka pelaksanaan konsep pertambangan yang berwawasan lingkungan,
setiap usaha pertambangan diwajibkan melakukan upaya meminimalkan dampak negatif dan
memaksimalkan dampak positifnya. Salah satu cara yang bijaksana untuk mewujudkan
konsep tersebut ialah dalam mengeksploitasi sumber daya bahan tambang harus selalu
mempertimbangkan prinsip pelestarian lingkungan hidup. Di samping itu, dalam
pengusahaan pertambangan juga harus memperhatikan prinsip keadilan antar-generasi.
Mengingat sumber daya alam bahan tambang sifatnya tidak dapat diperbaharui
(unrenewable) maka pengusahaannya harus betul-betul dapat memberikan manfaat bagi
generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Prinsip keadilan antar-generasi meletakkan tiga kewajiban mendasar bagi generasi
sekarang dalam konservasi sumber daya alam, yaitu: (1) conservation of option, menjaga
agar generasi mendatang dapat memilih kuantitas keanekaragaman sumber daya alam; (2)
conservation of quality, menjaga agar kualitas lingkungan lestari; dan (3) conservation of
acces, menjamin generasi mendatang minimal memiliki akses yang sama dengan generasi
sekarang atas titipan kekayaan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Khusus bagi usaha pertambangan perlu diperhatikan bahwa pengambilan bahan
tambang secara berlebihan di masa sekarang tanpa mematuhi kaidah-kaidah hukum
lingkungan maka akan menjadi beban berat bagi generasi yang akan datang. Generasi
penerus bangsa Indonesia akan menjadi generasi penanggung beban kerusakan dan
pencemaran lingkungan, apabila usaha pertambangan yang dilakukan oleh generasi sekarang
dilakukan untuk kepentingan sesaat dengan mengabaikan prinsip-prinsip pelestarian
lingkungan hidup.
Oleh karena bahan tambang merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan
(unrenewable resources), maka dalam pengelolaan dan pemanfaatannya dibutuhkan
pendekatan manajemen ruangan yang ditangani secara holistik dan integratif dengan
memperhatikan 3 (tiga) aspek pokok, yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth),
dampak sosial (social impact) dan pelestarian lingkungan (conservation). Penggunaan
pendekatan yang demikian memerlukan kesadaran bahwa setiap kegiatan eksploitasi bahan
tambang akan menghasilkan dampak positif (manfaat) dan sekaligus dampak negatif
(kerugian; risiko) bagi umat manusia pada umumnya, khususnya masyarakat dan lingkungan
sekitar.
4. Risiko Usaha Pertambangan
Tiada kegiatan pertambangan yang tidak mengandung risiko, baik bagi pelaku usaha
maupun lingkungan, baik fisik maupun non fisik (sosial budaya). Risiko pengusahaan
pertambangan dapat terjadi baik pada tahap eksplorasi maupun eksploitasi.
Eksplorasi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi dan
pemetaan secara rinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan
sumber daya terukur dari bahan galian hasil penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, dan
pengambilan contoh, parit atau sumur uji atau pemboran dan pembuatan terowongan
eksplorasi secara detail. Usaha pertambangan untuk tahap eksplorasi memerlukan lahan
yang luas untuk penjelajahan mengenai keberadaan (cadangan) bahan galian. Sesuai dengan
karakteristik kegiatannya, kegiatan eksplorasi berpotensi terhadap gangguan pada daerah
sensitif seperti cagar alam, hutan lindung dan hutan konservasi. Termasuk daerah sensitif
adalah kawasan yang sangat dekat dengan pemukiman penduduk, kawasan industri,
infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta api, pipa gas, dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap
5
usaha pertambangan pada tahap ini harus dilakukan secara teliti dan hati-hati, jika tidak
maka hal itu potensial menimbulkan risiko. Dalam kegiatan pertambangan modern saat ini
mestinya sudah dapat dilakukan antisipasi terhadap risiko lingkungan, termasuk
perlindungan terhadap kawasan sensitif dalam kegiatan eksplorasi.
Eksploitasi atau operasi produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan dengan
tujuan untuk melakukan penambangan, pengolahan, pemurnian, dan termasuk pengangkutan
dan penjualan. Beroperasinya perusahaan tambang diharapkan memberikan manfaat kepada
negara (pemerintah dan masyarakat). Akan tetapi, di balik harapan tersebut tentu saja tidak
dapat dipungkiri terjadinya risiko, antara lain pengubahan topografi bentang alam,
penggusuran lahan, dan penebangan pohon. Oleh karena itu, usaha pertambangan adalah
termasuk kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan berupa
perusakan dan pencemaran lingkungan, khususnya terhadap air, tanah dan udara di sekitar
kawasan pertambangan. Kerusakan dan pencemaran lingkungan tersebut selanjutnya
menimbulkan dampak turunan seperti sumber penyakit, biaya tinggi, degradasi kualitas
ekologi dan lain-lain, yang akhirnya dapat menimbulkan persepsi negatif masyarakat
terhadap kegiatan pertambangan.
5. Kerusakan Lingkungan Akibat Ulah Manusia atau Faktor Alam
Dilihat dari sumber penyebabnya, kerusakan lingkungan bisa disebabkan oleh
aktivitas (faktor) alam dan kerusakan lingkungan yang bersumber dari atau disebabkan oleh
aktivitas manusia. Kerusakan lingkungan yang murni disebabkan oleh faktor atau perbuatan
alam (act of God) lazim disebut “bencana alam” (natural disaster). Sedang, kerusakan
lingkungan yang terjadi karena ulah perbuatan manusia (human error) disebut “kecelakaan”
atau “tragedi”.
Bencana alam adalah kerusakan alam akibat aktivitas alam atau perbuatan illahi,
yakni sesuatu yang tidak dapat dihindari (damnum fatale). Kerusakan yang tidak dapat
dihindari/dielakkan (damnum fatale) termasuk golongan kerusakan yang tidak bersifat
melawan hukum (damnum sine injura; damage as non an injury), karena terjadi akibat
perbuatan alam. Kerusakan alam yang demikian ini tidak melanggar hukum, mengingat hak
itu berada di tangan illahi. Selanjutnya, hal itu juga tidak akan menimbulkan tanggung
jawab kepada manusia, yang berarti ada pengecualian tanggung jawab (exemption of
liability). Sebaliknya, kerusakan lingkungan yang terjadi akibat kesalahan manusia
digolongkan sebagai kerusakan yang melawan hukum (damnum injura), dan oleh karena itu
pelakunya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Terhadap pandangan tersebut di atas, ada 3 (tiga) hal yang perlu dicermati:
Pertama, sekalipun tidak ada pihak yang dapat dituntut pertanggungjawaban secara
hukum atas persoalan kerusakan lingkungan karena faktor alam, tidak berarti bahwa tidak
ada pihak yang seharusnya mengambil alih tanggung jawab atas masalah tersebut. Negara
sebagai organisasi dari sekumpulan rakyat yang dilengkapi dengan perangkat administrasi
untuk mengelola kepentingan umum adalah organ atau pihak yang harus tampil mengambil
alih tanggung jawab tersebut. Hal ini merujuk pada teori “kontrak sosial” dari J.J. Rosseau
yang menyatakan bahwa “Negara adalah suatu bentuk asosiasi yang mempertahankan dan
melindungi dengan seluruh kekuatan umum terhadap orang dan harta benda”, sesuai dengan
prinsip negara melindungi dan mengayomi rakyat atau bangsanya melalui kebijakan-
kebijakan yang bersifat preventif dan represif.
6
Kedua, negara sebagai penguasa atas sumber daya alam dapat pula diposisikan
sebagai subyek yang memiliki tanggung jawab hukum, sesuai dengan prinsip “siapa yang
menguasai, ia bertanggung jawab”. Jadi, makna tanggung jawab dilihat dari dimensi hukum
(liability) tidak dapat dilepaskan dari posisi tersebut, meskipun hal itu berhadapan dengan
aspek pengecualian tanggung jawab (exemption of liability) karena keadaan darurat atas
terjadinya bencana yang tidak dapat dielakkan dari sudut penilaian obyektif. Hal yang
demikian ini dikaitkan dengan alasan act of God.
Ketiga, dilihat dari sudut penyebabnya sulit membedakan antara kerusakan
lingkungan yang terjadi karena proses alam atau kejadian-kejadian alam yang timbul di luar
dugaan manusia dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau
kombinasi antara faktor alam dan perbuatan manusia. Jika suatu peristiwa halilintar
menewaskan banyak orang, gempa yang memporak-porandakan banyak bangunan, atau
tsunami yang membuat tewasnya ratusan ribu orang, hal demikian dapatlah disebut sebagai
damnum fatale atau damnum sine injura. Peristiwa demikian dapat disebut bencana alam
yang terjadi karena bersumber dari perbuatan alam (act of God). Negara atau pemegang
kekuasaan publik dalam hal ini tetap menunaikan tanggung jawabnya secara publik
(responsibilitas), meskipun bukan secara perdata (liabilitas). Secara responsibilitas
dimaksudkan sebagai sarana penuaian tanggung jawab negara atau pemerintah sebagai
badan organisasi tertinggi publik atas keadaan yang terjadi pada rakyatnya. Aspek
responsibilitas di sini lebih merupakan kerangka tanggung jawab politik, dan bukan
tanggung jawab hukum. Peristiwa alam seperti gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan
badai, secara jelas dapat dikatagorikan sebagai bencana alam (damnum fatale; damnum sine
injura). Karena peristiwa demikian tidak dapat dihindari, dan tidak memiliki kausalitas
dengan perbuatan manusia.
Lalu apakah peristiwa tersebut di atas dapat begitu saja disamakan dengan peristiwa-
peristiwa seperti: banjir yang kerap melanda Jakarta dan meluapnya lumpur panas di seputar
area eksplorasi minyak dan gas bumi P.T. Lapindo Brantas di Sidoarjo?
Contoh kasus pertama, perlu dicermati sinyalemen umum yang mengatakan bahwa
masalah banjir di Jakarta antara lain terjadi karena perbuatan manusia (khususnya policy
pemerintah dan aktivitas masyarakat) di kawasan hulu dan hilir yang abai terhadap bahaya
banjir di musim hujan. Kawasan Puncak yang dahulunya diperuntukkan sebagai daerah
tangkapan air (catchment area) telah diubah fungsinya menjadi kawasan hunian (villa, hotel,
real estate, dan lain-lain) sehingga ketika hujan turun kawasan lahan tidak mampu
menampung air hujan dan terus saja mengalir ke sekitar wilayah Jakarta (Jabotabek).
Sementara beberapa area yang di Jakarta dan sekitarnya yang dahulu digunakan sebagai
lahan terbuka hijau dan serapan air telah berubah fungsinya sebagai kawasan hunian (real
estate), kawasan industri (industrial estate), gedung perkantoran, mall, dan lain-lain, belum
lagi kebiasaan masyarakat yang membuang sampah yang menutupi saluran-saluran.
Contoh kasus kedua, sinyalemen yang mengatakan bahwa semburan lumpur panas di
Sidoarjo terjadi karena faktor alam berupa fenomena gunung lumpur (mud volcano) perlu
dipertanyakan kebenarannya. Mengingat di sekitar kawasan tersebut sebelumnya dilakukan
aktivitas pertambangan (eksplorasi migas) oleh PT Lapindo Brantas. Diduga karena izin
(lokasi) eksplorasi migas yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah menyalahi Peraturan
Daerah Nomor 16 Tahun 3003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabuparten
Sidoarjo dan kecerobohan sub kontraktor PT Lapindo Brantas (yakni PT Medici Citra Nusa)
yang melakukan pemboran (drilling) tidak sesuai prosedur, termasuk kelalaian pemerintah
7
(dalam hal ini Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral) serta Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dalam melakukan
pengawasan dalam kegiatan eksplorasi, menjadi sebab timbulnya semburan lumpur yang
hingga kini belum bisa diatasi. Contoh-contoh kasus yang demikian menunjukkan bahwa
tidak mudah mengatakan bahwa masalah banjir di Jakarta atau semburan lumpur panas di
Sidoarjo merupakan bencana alam. Akan tetapi, sebenarnya kasus-kasus tersebut cenderung
dapat dikatakan sebagai “bencana alam yang dipicu oleh aktivitas orang” atau merupakan
akibat dari perbuatan manusia secara tidak langsung (indirect action). Jika hal yang
demikian dapat diidentifikasi, maka sifat pertanggung-jawabannya bukan lagi dalam bentuk
tanggung jawab sosial (social responsibility), karena bukan murni karena faktor alam,
melainkan tanggung jawab hukum (liability) karena ada campur tangan manusia di
dalamnya.
Dalam hal terjadi bencana alam yang murni karena faktor alam, negara (pemerintah
dan masyarakat) bertanggung jawab sosial atau moral atas keadaan atau kerugian yang
diderita rakyatnya. Tanggung jawab pemerintah dalam hal ini lebih bersifat sebagai
tanggung jawab sosial, mengingat: (1) Negara sebagai pemegang kekuasaan atas sumber
daya alam dalam wilayah negara (Baca: Pasal 33 (3) UUD 1945); (2) Negara memiliki
kekuasaan untuk menciptakan kebijakan (policy), misalnya membuat dan menegakkan
aturan, bahkan dalam keadaan tertentu untuk kepentingan umum yang sifatnya emergency
pemerintah dapat menyimpangi suatu aturan yang dibuatnya sendiri demi mencapai sesuatu
yang lebih baik (freies emessen); (3) Negara memiliki kemampuan lebih dari pada yang
dimiliki pihak manapun. Tetapi, dalam hal-hal tertentu negara juga dapat dimintai
pertanggungjawaban secara hukum, manakala tindakan negara (policy pemerintah) itu
menjadi sebab timbulnya bencana alam atau kerusakan lingkungan hidup yang dipicu oleh
aktivitas pemerintah yang salah dalam mengelola lingkungan yang menjadi tanggung
jawabnya.
8
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rokhim, “Tanggung Jawab Negara terhadap Korban Kerusakan Lingkungan Hidup
(Kasus Semburan Lumpur Panas di Sekitar Area Eksplorasi P.T. Lapindo Brantas di
Sidoarjo Jawa Timur)”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang,
2010.
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004.
--------, “Risiko-risiko dalam Ekplorasi dan Eksploitasi Pertambangan serta Perlindungan
Hukum terhadap Para Pihak”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26 No. 2 Tahun 2007.
Siahaan, N.H.T., Hukum Lingkungan, Edisi Revisi, Penerbit Pancuran Alam, Jakarta, 2009
Harian Kompas, 11 Januari 1996
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
9
10