kebijakan kesehatan pemerintah kolonial pada awal abad ke-20-libre
DESCRIPTION
kesehatanTRANSCRIPT
-
ANTARA PREVENTIF DAN KURATIF:
Kebijakan Kesehatan Pemerintah Kolonial Pada Awal Abad Ke-20
Dalam ilmu kedokteran upaya preventif didefinisikan sebagai
tindakan-tindakan yang diambil untuk mencegah terjadinya atau semakin
menyebarnya suatu penyakit pada masyarakat. Biasanya usaha preventif
dibarengi dengan usaha promotif yaitu tindakan-tindakan yang bertujuan
dalam rangka untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Sementara upaya
kuratif didefinisikan sebagai tindakan perawatan dan pengobatan terhadap
seseorang yang secara positif telah terjangkiti suatu penyakit. Tindakan
kuratif biasanya juga dilanjutkan dengan upaya rehabilitatif yaitu upaya
untuk memulihkan kesehatan orang yang sakit.1
Tujuan tulisan ini ingin menjelaskan mengenai respon dan kebijakan
pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap kondisi kesehatan masyarakat
terutama di Jawa pada awal abad ke-20. Selain itu juga ingin membuktikan
pendapat Boomgaard yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan dalam kebijakan kesehatan pemerintah kolonial Hindia Belanda
pada abad ke-19 dan 20. Menurut Boomgaard, pada abad ke-19, pemerintah
Hindia Belanda sangat lamban dalam merespon kasus-kasus epidemi dan
endemi yang melanda masyarakat di Jawa. Selain itu pemerintah Hindia
Belanda juga tidak memiliki kemampuan dalam memahami karaktersitik
penyakit-penyakit tropis dan yang lebih parah lagi adanya kecenderungan
keengganan untuk mengeluarkan dana kesehatan.2
1Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-prinsip Dasar
(Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm 2.
2Sebagian besar penyebab penyakit infeksi yang melanda di Jawa baru
diketahui pada akhir abad ke-19, malaria pada tahun 1882, tipus tahun 1880, kolera
tahun 1883, dan tetanus pada tahun 1884.
-
2
Sementara pada abad ke-20 pemerintah Hindia Belanda telah
banyak memahami mengenai karakteristik penyakit tropis terutama
mengenai hubungan kesehatan rakyat dengan sanitasi dan penyakit.
Perkembangan ilmu kedokteran pada saat itu telah mampu melakukan upaya
preventif yang lebih baik yaitu dengan dilakukannya vaksinasi secara intensif
untuk beberapa penyakit seperti cacar dan kolera, walaupun sebenarnya
aktivitas ini sudah dilakukan pada abad sebelumnya.
A. Upaya Preventif dan Kuratif terhadap Penyakit Cacar
Upaya preventif penyakit cacar yaitu vaksinasi cacar3 atau lebih
terkenal dengan istilah pencacaran merupakan usaha paling tua yang pernah
dilakukan dalam mencegah suatu penyakit di Indonesia. Bahkan sampai
sekitar tahun 1900, selain vaksinasi cacar sama sekali tidak ada usaha lain
untuk mengembangkan pemeliharaan kesehatan masyarakat di Jawa.4
Upaya vaksinasi di Jawa pertama kali dilakukan pada tahun 1804.
Namun upaya pertama ini mula-mula hanya di lakukan kepada orang-orang
pribumi yang sehari-hari berhubungan dengan orang-orang Eropa. Dalam hal
3Penyakit cacar merupakan penyakit infeksi yang telah dikenal sejak
sebelum Masehi. Di Asia Tenggara pertama diketahui pada tahun 1550 dan di Jawa
pada awal tahun 1600. Penularan penyakit ini antara lain melalui udara dan dengan
persentuhan langsung. Masa inkubasinya antara 10-12 hari dan penularan dapat
terjadi dengan benih cacar (lymfe) pada kulit orang yang terjangkiti. Gejala yang
ditimbulkannya adalah berupa bisul-bisul kecil dan manusia merupakan vendor
satu-satunya benih cacar ini. Vaccine cacar pertama kali ditemukan oleh Jenner pada
tahun 1789 dengan menggunakan lymfe cacar sapi. Sebelum ditemukan vaksin ini
pencacaran dilakukan dengan menggunakan benih cacar yang sesungguhnya yang
dikenal dengan istilah inokulasi. Lihat Bram Peper, Jumlah dan Pertumbuhan
Penduduk Asli di Jawa dalam Abad ke-19: Suatu Pandangan lain khususnya mengenai
masa 1800-1850, (Jakarta: Bhratara, 1975), hlm. 50-52. Lebih detil mengenai
penyakit cacar dan kebijakan penanganannya pada masa kolonial lihat tulisan saya
"Dari Mantri Hingga Dokter Jawa"
4Ibid., hlm. 49.
-
3
ini adalah para pekerja pribumi yang bekerja di perkebunan orang Eropa.5
Upaya vaksinasi cacar besar-besaran dilakukan pada masa pemerintahan
Raffles dengan jalan memperluas daerah operasi diluar daerah Surabaya,
Semarang dan Batavia yang sebelumnya menjadi pusat kegiatan ini.6 Di
ketiga kota tersebut ditempatkan tiga orang pengawas (superintendent).
Perluasan vaksinasi pada tahap ini meliputi daerah-daerah seperti Jepara,
Surakarta, Yogyakarta, Priangan dan Bogor.7 Pada tahun 1812, ketika W.
Hunter, superintendent di Surabaya melakukan inspeksi di beberapa wilayah
Jawa Timur telah menemukan aktivitas vaksinasi cacar dilakukan di Gresik,
Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Besuki dan Banyuwangi, namun dia belum
menemukan aktivitas yang sama di daerah Madura.8
Keterbatasan jumlah tenaga kesehatan pada waktu itu dan adanya
jarak sosial antara pribumi dengan tenaga medis Eropa maka pemerintah
memutuskan untuk melatih dan memotivasi sejumlah orang pribumi yang
terpandang dalam suatu daerah. Pelatihan inilah yang kemudian
menghasilkan apa yang dikenal dengan mantri cacar atau juru cacar
(vaccinateur). Bahkan para Dokter Djawa lulusan Dokter Djawa School
(Sekolah Dokter Djawa) di Weltevreden pada mulanya difungsikan sebagai
dokter pembantu (hulp genesheer) dan bertugas sebagai mantri cacar.9 Pela-
5D. Schoute, Occidental Therapeutics in the Netherlands East Indies During
three Centuries of Netherlands Settlement (1600-1900), (The Hague: Netherlands
Indian Public Health Service, 1937), hlm. 26.
6Ibid., hlm.. lihat juga Peter Boomgaard, Smallpox, vaccination, and the
Pax Nerlandica Indonesia, 1550- dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en, Volkenkunde, deel 159, 2003, hlm. 603.
7Peter Boomgaard, Smallpox and Vaccination on Java, -1860; Medical data as a source for demographic history dalam A.M. Luyendijk-Elshout (ed.), Dutch
Medicine in the Malaya Archipelago 1816-1942 (Amsterdam: Rodopi 1989), hlm.124.
8D. Schoute, op.cit., hlm. 49.
9Mantri cacar inilah yang membuka jalan masuk bagi pengobatan Barat
sampai ke pelosok-pelosok pedesaan dan melawan penolakan penduduk dengan
segala macam cara, termasuk paksaan. Sehingga sebenarnya mantri cacar
-
4
tihan mantri cacar orang pribumi ini dilakukan di beberapa rumah sakit milik
militer.10
Grafik 1
Fluktuasi Angka Penderita dan Mortalitas
yang diakibatkan Cacar (awal Abad ke-20)
Sumber: Data diolah dari Slamet Ryadi, Ilmu Kesehatan Masyarakat; dasar-dasar
dan Sejarah Perkembangannya. (Suraba ya: Usaha Nasional, 1982), hlm.
42.
Tersedianya tenaga kesehatan mantri cacar ini sangat membantu
upaya perluasan vaksinasi di Jawa pada paruh pertama abad ke-19. Dalam
rangka hal tersebut di atas, para mantri cacar kemudian diharuskan untuk
tinggal di distrik-distrik yang telah ditentukan dan aktivitas pencacaran
dilakukan di desa-desa induk untuk mempermudah menjangkau masyarakat
pedesaan. Misalnya pada waktu itu, di Karesidenan Surabaya aktivititas
vaksinasi cacar ini dipimpin oleh seorang dokter sebagai superintendent
bernama Dr. Gray. Dokter ini dibantu oleh dua orang vaccinateur Belanda dan
14 mantri cacar pribumi yang disebar ke distrik-distrik yang ada di wilayah
mempunyai misi untuk menanamkan kepercayaan masyarakat terhadap pola peng-
obatan Barat yang dibawa oleh Belanda. Lihat Baha` Uddin, Pelayanan Kesehatan Masyarakat )ndonesia pada Masa Kolonial, dalam Lembaran Sejarah Vol.5. No.1. 2000, hlm.112. Lihat juga Rosalia Scortiono, Menuju Kesehatan Madani (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 20.
10Satrio, et al., Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia I (Jakarta: Depkes,
1978), hlm. 53.
05000
10000150002000025000300003500040000
1912 1913 1914 1915 1928
Penderita
Mortalitas
-
5
ini. Kegiatan vaksinasi cacar disetiap distrik ditangani oleh 2 orang mantri
cacar pribumi.11
Tabel 1
Jumlah Orang di Jawa dan Madura
yang dilakukan Pencacaran Pada Abad ke-19
Tahun Pencacaran Pencacaran Ulang Jumlah
Keseluruhan
1818 50.420 Tidak diketahui 50.420
1819 55.322 Tidak diketahui 55.322
1820 83.237 Tidak diketahui 83.237
1860 479.768 211.051 690.819
1871 524.553 209.479 734.032
1875 570.652 360.201 930.853
Sumber: D. Schoute, De Geneeskunde in Nederlandsch-Indie gedurende de
negentiende eeuw (Batavia: Druk G. Kolff & Co., 1934), hlm. 118, 119 dan
267.
Perubahan signifikan terjadi pada tahun 1820 ketika dikeluarkan
Reglement voor den Burgelijke Geneeskundige Dienst (Peraturan mengenai
BGD) yang dibarengi dengan dikeluarkan Reglement op de uitoefening der
koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie (Peraturan Pelaksanaan Vaksinasi
cacar). Dengan dikeluarkannya peraturan ini maka dimulailah sebuah usaha
pertama yang terorganisir untuk memberantas penyakit cacar.12 Pemerintah
kemudian membentuk sebuah dinas khusus untuk mencegah penyakit cacar
yang berskala nasional. Dinas khusus ini kemudian mengeluarkan beberapa
kebijakan yang berhubungan dengan aktivitas vaksinasi cacar yaitu:13
a. Seluruh usaha vaksinasi ditempatkan di bawah seorang inspektur;
b. Pada setiap karesidenan diangkat seorang pengawas seorang pengawas
yang lebih baik diisi oleh dokter setempat;
11D. Schoute, op.cit., hlm. 59.
12Bram Peper, op.cit., hlm. 54.
13Satrio, et al., op.cit., hlm. 55.
-
6
c. Untuk tempat-tempat yang jauh dari tempat kedudukan pengawas,
digunakan mantra cacar pribumi yang telah terdidik terlebih dahulu;
d. Tiap bulan pengawas harus mengirimkan laporan kepada residen dan
inspektur dan setiap 6 bulan memeriksa hasil pekerjaan para mantri
cacar;
e. Inspektur bertanggung jawab atas pengiriman bibit cacar ke seluruh
karesidenan yang ada di Nusantara.
Perbaikan pelaksanaan vaksinasi cacar ini terjadi lagi pada tahun
1850 ketika diciptakan apa yang disebut dengan sistem pencacaran sirkulir.
Tujuan sistem ini ialah untuk membawa vaksin cacar sedekat mungkin
dengan penduduk di pedesaan.14 Prinsip sistem ini adalah bahwa setiap
orang berhak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh manfaat dari
vaksin cacar ini. Untuk keperluan tersebut maka dibuatlah wilayah-wilayah
khusus dalam rangka untuk memeratakan persebaran vaksin cacar. Sebuah
karesidenan kemudian dibagi-bagi atas distrik-distrik vaksin yang memiliki
luas setara dengan wilayah kabupaten, namun jika penduduknya lebih padat
maka distrik-distrik vaksin akan didirikan lebih banyak lagi.
Mantri cacar dalam sistem ini mempunyai tugas yang semakin berat
karena di samping melakukan pencacaran juga harus melakukan kontrol di
distrik yang menjadi wilayah kerjanya. Konsekuensi dari sistem ini adalah
semakin banyak diperlukan tenaga mantri cacar seiring dengan semakin ba-
nyaknya diciptakan distrik vaksin. Selain itu dana yang diperlukan untuk
aktivitas ini juga berlipat. Namun sebaliknya bagi penelitianduduk di
pedesaan karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk
menjangkau pelayanan vaksinasi cacar tersebut. Sebelum tahun 1818, setiap
keluarga di Priangan dikenai biaya sebesar 12 stuivers15 untuk mendapatkan
14D. Schoute., op.cit., hlm. 267.
151 stuiver sama dengan 5 sen, jadi 12 stuivers = 60 sen.
-
7
vaksinasi cacar, namun setelah tahun 1818, disemua daerah dibebaskan dari
pembiayaan tersebut.16
Faktor utama kegagalan vaksinasi yang terjadi pada paruh pertama
abad ke-19 adalah buruknya kualitas vaksin dan minimnya pengetahuan
yang dimiliki oleh para mantri cacar. Dalam beberapa kejadian mantri cacar
sering melakukan kesalahan dengan melakukan vaksinasi terhadap orang
yang kulitnya masih terluka, atau orang yang sudah terjangkiti tetapi
bisulnya belum timbul. Dari tindakan dan rendahnya kualitas vaksin
tersebut, antara 10-15% vaksinasi yang dilakukan mengalami kegagalan.17
Kegagalan-kegagalan itu antara lain terjadi di Surabaya tahun 1824, Pasu-
ruan tahun 1828, Kedu tahun 1823, Pasuruan tahun 1830, dan Banyumas
tahun 1835.18 Mengenai jumlah orang yang di Jawa dan Madura pada abad
ke-19 yang dilakukan pencacaran dapat dilihat pada tabel 7.
Namun sebenarnya kegagalan pencacaran ini juga disebabkan oleh
faktor-faktor yang dimiliki penduduk pedesaan Jawa pada saat itu. Kesadaran
dan melek huruf yang rendah telah menyulitkan para mantri cacar dalam
melaksanakan tugasnya. Selain itu rasa enggan penduduk terhadap sesuatu
yang belum dikenalnya serta jarak tempuh untuk mencapai tempat penca-
caran juga merupakan alasan kuat bagi penduduk untuk tidak mau
melakukan pencacaran. Bram Peper menduga, rendahnya kesadaran
pencacaran penduduk ini tidak hanya terjadi pada abad ke-19 namun juga
pada abad ke-20.19 Walaupun angka kegagalan vaksinasi ini tinggi namun
16Peter Boomgaard, (1989), op.cit., hlm.126.
17Bram Peper, op.cit., hlm. 61.
18Peter Boomgaard, loc.cit. Dalam penelitian Dina Dwikurniarini,
Karesidenan Banyumas sejak akhir abad ke-19 sampai tahun 1940 mengalami hampir semua epidemi penyakit rakyat yang ada di Jawa. lebih lanjut lihat Dina Dwikurniarini, Epidemi di Karesidenan Banyumas tahun - Tesis S-2 Program Studi Sejarah UGM Yogyakarta, 1999.
19Bram Peper, op.cit., hlm.68.
-
8
Gooszen berpendapat setidaknya pada paruh kedua abad ke-19, upaya
vaksinasi ini telah berhasil menurunkan angka kematian yang disebabkan
oleh penyakit cacar.20
Memasuki abad ke-20, sistem pencacaran sirkulir yang diterapkan
sejak tahun 1850, pada tahun 1911 sudah lazim dilakukan dihampir semua
wilayah di Jawa. Permasalahan buruknya vaksin yang disebabkan oleh
kematian vaksin sebelum disuntikkan kepada orang karena harus
didatangkan dari Belanda telah teratasi dengan keberhasilan pembuatan
vaksin oleh Lembaga Pembuatan vaksin cacar di Batavia pada akhir abad ke-
19. Pada tahun 1918 lembaga ini dipindah ke Bandung dan bersama dengan
Instituut Pasteur menjadi lembaga yang berperan vital dalam pengembangan
dan penelitian masalah kesehatan di Indonesia.
Pada tahun 1914 dikenalkan sistem baru untuk memperbaiki sistem
yang lama. Sistem pencacaran baru ini dikenal dengan istilah separated
vaccination system. Dalam sistem ini vaksinasi pertama yang dilakukan pada
masa bayi (utama) dan vaksinasi ulang yang dilakukan pada orang dewasa
dilaksanakan secara terpisah. Dengan sistem baru ini dalam 5-7 tahun pen-
cacaran ulang dalam sebuah distrik akan dapat diselesaikan dan mantri cacar
dapat memulai dari proses awal lagi.21
Dengan penyempurnaan usaha-usaha preventif penyakit cacar ini
telah berhasil menekan bahkan membebaskan penduduk di Jawa dari
serangan penyakit cacar. Penurunan jumlah penderita dan kematian
penduduk Jawa pada awal abad ke-20 dapat dilihat pada grafik 2 pada bab
sebelumnya.
20 Hans Gooszen, A Demographic History of The Indonesian Archipelago
1880-1942 (Leiden: KITLV Press. 1999), hlm. 176.
21Verslag voor Burgelijke Geneeskundige Dienst, -1918. dalam
Mededelingen Burgelijke Geneeskundige Dienst in Nederlandsch-Indie, 1919. hlm 27.
-
9
B. Upaya Preventif dan Kuratif terhadap Penyakit Malaria
Upaya-upaya pemberantasan dan preventif penyakit malaria pada
abad ke-19 masih sporadis dan tidak terorganisir serta terencana dengan
baik. Upaya-upaya itu mengalami perbaikan dan penyempurnaan pada abad
ke-20 karena pada abad ini upaya-upaya tersebut didahului dengan
penelitian mendalam terutama mengenai tempat pengembangbiakan larva
anopheles.22 Dengan kata lain pada abad ke-20, faktor lingkungan, sosial, dan
adat kebiasaan masyarakat di Jawa telah dijadikan faktor penting untuk
mencari solusi pemberantasan dan upaya preventif penyakit ini.
Sepanjang awal abad ke-20 di Jawa pemerintah Hindia Belanda telah
melakukan beberapa tindakan pemberantasan epidemi malaria dengan
menggunakan penelitian dan metode yang berbeda-beda disesuaikan dengan
tempat pengembangbiakan larva anopheles. Tindakan pemberantasan ini
bertujuan untuk memutus lingkaran pengembangbiakan dan persebaran
malaria dengan membunuh larva-larvanya. Tindakan-tindakan itu secara
umum dapat dibagi menjadi dua yaitu tindakan pemberantasan di daerah
pesisir dan di daerah pedalaman23.
1). Pemberantasan di daerah Pesisir
a). Penerapan tindakan yang disebut dengan istilah species-
assaineering. Ada dua macam tindakan dalam hal ini yaitu:
(1) Pembuatan tanggul di sepanjang garis pantai. Tanggul dibuat lebih tinggi dari pasangnya air laut yang tertinggi. Hal ini
bertujuan untuk pengeringan rawa-payau dan mencegah air
laut mengalir ke wilayah tersebut.
22Terdapat banyak jenis anopheles yang menjadi vendor malaria. Dalam
beberapa kasus epidemi dan endemi paling tidak ada 4 jenis anopheles-malaria yang
sangat banyak ditemukan di Jawa pada abad ke-19 dan 20 yaitu Anopheles
Maculatus, A.Sundaicus, A. Aconitus, dan A. Hyrcanus.
23R. Soesilo, Malariabestrijding in den Oost-Indischen Archipel dalam
Feestbundel Geneeskundige Tijdschrift voor Nederlansch-Indie 1936. Lihat juga P.
Peverelli, De Zorg voor de Volksgezonheid in Nederlandsch-Indie S-Gravenhage: W. Van Hoeve, 1947), hlm. 63.
-
10
(2) Membuat saluran dari muara sungai menuju laut sampai mencapai gelombang laut. b. Penempatan tambak air payau pada sebuah komunikasi yang terbuka dengan laut. Tindakan ini dapat dilakukan dengan jalan
pembukaan tanggul di beberapa tempat supaya kadar garam di
tambak dan airnya dapt selalu mengalami perubahan. Tindakan ini
pernah diterapkan di Probolinggo pada tahun 1921 dan di
Banyuwangi pada tahun 1927.24 Kecermatan, kejelian, dan
pengetahuan mengenai jenis ikan dan lingkungan laut setempat
mutlak diperlukan ketika menerapkan metode ini.
c). Pemeliharaan tambak ikan bandeng secara higienis dengan jalan
menjaga permukaannya tetap bersih dan makanan ikan terbatas
pada lumut di dasar tambak. Metode ini pernah diterapkan di
Kotapraja Batavia pada tahun 1928 dan 1932 dengan luas tambak
sekitar 291 ha.25
2. Pemberantasan di daerah Pedalaman
a). Memberantas larva anopheles di kolam ikan tawar (A. Ludlowi)
digunakan cara membuat saluran air untuk mengatur aliran air
tambak dan pada tindakan yang radikal dengan jalan merubah
tambak menjadi areal persawahan.
b). Selain tindakan di atas, di kolam ikan dapat juga dilakukan
tindakan lain seperti penggantian air kolam secara teratur.
Kebanyakan orang pribumi pada saat itu umumnya kurang
mempunyai perhatian terhadap sanitasi kolam ikannya. Metode ini
dilakukan dengan jalan membuat beberapa saluran air atau pintu
air di sekeliling kolam, kemudian disekeliling pinggir kolam bagian
dalam dibuat parit yang dalamnya melebihi dasar kolam. Parit ini
berfungsi sebagai penampungan ikan ketika kolam dikeringkan,
24J.G. Overbeek and W.J. Stoker, op.cit., hlm. 57.
25Ibid., hlm. 43.
-
11
sedangkan larva-larva anopheles akan terjebak didasar kolam.
Tindakan ini pernah diterapkan di Batavia pada tahun 1919.26
c). Penimbunan rawa atau tempat sejenis dengan tanah, pasir atau
material lainnya. Tindakan ini pernah dilakukan di Tanjung Perak,
Surabaya pada tahun 1916 dan di Tegal pada tahun 1926.
Tindakan ini mungkin untuk dilakukan jika kawasan yang akan
ditimbun tidak terlalu luas karena untuk kawasan yang sangat luas
kemungkinan kecil akan dilakukan karena akan membutuhkan
banyak biaya. Di Surabaya tindakan ini menelan biaya f 700.000
sedangkan di Tegal f 360.000.27
d). Pengeringan tempat-tempat luas yang digenangi air dengan jalan
memompanya dan membuangnya ke sungai. Pada tempat yang
sama dapat juga dilakukan metode lain seperti membuat beberapa
pintu air beserta katupnya. Pada tahun 1919 kebijakan ini pernah
dilakukan di Cilacap dan menelan biaya sebesar f 1.000.000.28
e). Metode yang digunakan untuk pemberantasan larva anopheles
yang menggunakan sawah sebagai tempat pengembangbiakannya
dilakukan dengan cara:
(1) Pemeliharaan saluran irigasi, termasuk menjaganya agar tetap bersih dan membuang tanaman-tanaman yang menutupinya.
(2) Penanaman padi dan penyaluran air irigasi dilakukan hanya dari bulan Oktober sampai Mei dan setelah panen semua lahan
persawahan dikeringkan dengan segera untuk beberapa waktu
lamanya.
26W. Takken, et al., Environment Measures for Malaria Control in Indonesia: an
Historical Review on Species Sanitation, (Wageningen: Wageningen Agricultural
University Papers, 1991), hlm. 88.
27J.G. Overbeek and W.J. Stoker, op.cit., hlm. 57.
28Ibid.
-
12
(3) Pengeringan sawah yang tidak diolah antara dua masam tanam.
Metode ini diterapkan atas prakarsa dr. Mangkoewinoto di dataran
Cihea, Cipadani, dan Cianjur dari tahun 1919-1935 dan mencakup
lahan persawahan seluas 12.502 ha.29 Tindakan ini sangat sukses
mengendalikan malaria di daerah itu khususnya di Cihea. Biaya
untuk kebijakan ini mendapat subsidi dari Dinas Kesehatan
Rakyat, setiap 5.600 ha menelan biaya sebesar f 1.500.000.30
f). Jika tempat pengembangbiakan larva anopheles tertutup dan dalam
skala yang kecil maka dilakukan penyiraman minyak
(petrolization) pada permukaan airnya. Tindakan ini bertujuan
menutup jalan pernafasan larva sehingga sebelum berkembang
menjadi nyamuk dewasa telah binasa. Metode ini pernah
dilakukan di beberapa selokan yang ada di Tanjung Priok pada
tahun 1922.
Sementara itu pada awal abad ke-20 telah mulai dilakukan upaya
pemberantasan anopheles dewasa yaitu dengan menggunakan racun
serangga atau insektisida seperti Didhloro-Dipendhyl-Trichloro-ethaan (DDT),
Benzine Hexa Chlororide (BHC) dan Dieldrien. Namun upaya-upaya tersebut
sebenarnya masih pada taraf eksperimen. Beberapa daerah di Jawa yang
dijadikan eksperimen ini antara lain Tanjung Priok, Batavia, Semarang, dan
Surabaya. Tindakan pemberantasan baik terhadap larva maupun anopheles
dewasa selalu dibarengi dengan Kinaisasi.
Pendistribusian pil kina31 secara reguler dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Rakyat, dengan memanfaatkan pangreh praja, kepada penduduk
29W. Takken, et al., loc.cit.
30J.G. Overbeek and W.J. Stoker, op.cit., hlm. 60. Lihat juga W. Takken, et al.,
loc.cit.
31Bandoengsche Kinine Fabriek memproduksi 3 jenis pil Kina: 1). Bisulfas
Chinine berwarna putih. Jenis ini banyak dijumpai di took obat dan diperjualbelikan
-
13
di suatu daerah dengan gratis atau dijual harga yang murah. Di beberapa
tempat, seperti di afdeeling Sampang Madura, orang yang bertugas sebagai
distributor pil Kina di tingkat onderdistrik adalah para juru tulis
onderdistrik. Mereka mendapat imbalan 10% dari harga penjualan pil
tersebut.32 Pada tahun 1918 Bandoengsche Kinine Fabriek telah menyuplai pil
Kina kepada pemerintah sebanyak 11.774.000 pil Kina dengan dosis yang
berbeda. Pil ini kemudian didistribusikan kepada penduduk miskin dengan
embel-embel sebagai bantuan medis.33 Pengendalian malaria pada masa ini kemudian dianggap sebagai
sebuah permasalahan yang mempunyai banyak aspek sehingga dibutuhkan
sebuah peraturan umum yang mengatur semua hal yang berhubungan
dengan malaria. Oleh karena itulah pada tahun 1924 kemudian didirikan
Centrale Malaria Bureau atau Biro Pusat Malaria sebagai salah satu sub-
bagian dari Dinas Kesehatan Rakyat. Tugas biro ini adalah meneliti dan
mencari metode khusus untuk pemberantasan malaria dalam hubungannya
dengan sanitasi lingkungan. Singkatnya, biro ini bertugas untuk melakukan
perencanaan (planning), mengorganisir (organizing) dan melaksanakan
(carrying out) pemberantasan penyakit malaria di seluruh wilayah
Nusantara.34
Untuk lebih mengintensifkan upaya-upaya baik kuratif maupun
preventif terhadap malaria, dipandang perlu untuk mendirikan cabang biro
secara luas; 2). Hidrochlorus Chinine berwarna merah jambu. Jenis ini dibuat khusus
untuk kepentingan militer Belanda, terutama yang bertugas di daerah pesisir; 3).
Malariakuur Tableta DVG yang berwarna biru. Jenis ini dibeli dan didistribusikan
oleh pemerintah kepada rakyat dalam rangka kinaisasi pada kasus epidemi.
32ANRI, Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah Kerajaan)
(Jakarta: ANRI, 1978), hlm.CXLVIII.
33Verslag voor Burgelijke Geneeskundige Dienst, -1918, op.cit., hlm. 49. 34J.P. Verhave, Malaria: Epidemiology and )mmunity in the Malay Arcipelago dalam A.M. Luyendijk-Elshout (ed)., Dutch Medicine in the Malaya
Archipelago 1816-1942, (Amsterdam: Rodopi, 1989), hlm. 96.
-
14
ini di beberapa daerah di Indonesia. Pada tahun 1929 di Surabaya dibuka
satu cabang untuk melayani kawasan timur, kemudian menyusul di Medan
untuk melayani seluruh Sumatera.35
Sama dengan alasan ketika dilakukan upaya vaksinasi cacar, pada
tahun 1926 biro ini untuk pertama kalinya melakukan pelatihan kepada
orang-orang pribumi mengenai seluk beluk malaria dan pengendaliannya.
Setelah lulus pelatihan orang-orang ini kemudian disebut dengan mantri
malaria. Syarat utama bagi orang pribumi untuk dapat mengikuti pelatihan
ini harus telah lulus sekolah dasar dan jangka waktu pelatihan selama 1,5
tahun. Pada tahun kedua pelatihan ini telah meluluskan 134 mantri malaria
36 dan pada akhir tahun 1930-an meluluskan sebanyak 180 mantri malaria.37
Mereka ini kemudian dipekerjakan untuk membantu para dokter pada kasus-
kasus malaria. Sementara tugas khusus mereka adalah:38
a. Menangkap dan menentukan jenis nyamuk dan larva-larvanya.
b. Membuat persiapan pemeriksaan darah bagi penderita malaria.
c. Mengadakan pembedahan lambung nyamuk anopheles untuk
keperluan penelitian.
d. Membuat peta wilayah pemberantasan malaria.
Dampak dari berbagai upaya seperti telah dijelaskan di atas,
menurut beberapa laporan kolonial berhasil menekan angka kematian
penduduk di Jawa. Pada akhir tahun 1920-an, laporan dari Koloniaal Verslag
mengenai malaria mengalami perubahan yang dramatis. Hal ini terutama
disebabkan oleh perbaikan sarana irigasi di persawahan dan peningkatan
distribusi kina ke berbagai daerah. Sementara pada akhir tahun 1930-an
35Satrio, et al., op.cit., hlm.56.
36J.L. Hydrick, Intensive Rural Hygiene Work and Public Health Education of
the Public Health Service of Netherlands India, (Batavia-Centrum: DVG, 1937), hlm.
47.
37J.P. Verhave, loc.cit.
38 Satrio, et al., op.cit., hlm. 57.
-
15
dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa sebagian besar kasus malaria
berada di bawah kendali. 39
C. Upaya Preventif dan Kuratif terhadap Penyakit Kolera
Kolera mulai ditemukan pertama kali di Nusantara pada awal abad ke-
19. Pada bulan Desember tahun 1819 pemerintah Hindia Belanda di Batavia
menerima peringatan mengenai kematian massal yang disebabkan oleh
epidemi kolera di Mauritius, Penang, dan Malaka, khususnya di Provinsi
Queda.40 Persebaran kolera ke Mauritius dan Malaka disebabkan adanya
hubungan dagang keduanya dengan Bengal, tempat yang diyakini merupakan
asal muasal timbulnya kolera.41 Di India, kolera timbul sebagai sebuah
epidemi pada tahun 1818. Satu tahun kemudian penyakit ini telah ditemukan
di Jawa karena daerah ini merupakan salah satu pusat jaringan perdagangan
di Nusantara yang mempunyai hubungan langsung baik ke Malaka maupun
ke India.42
39 Peter Gardiner and Mayling Oey, Morbidity and Mortality in Java -: The Evidence of the Colonial Reports dalam Norman G. Owen (ed.), Death and Disease in Southeast Asia: explorations in Social, Medical, and Demographic History
(Singapore: Oxford University Press, 1987), hlm. 79.
40D. Schoute (1937), op.cit., hlm. 121.
41Kolera disebabkan oleh baksil yang disebut dengan vibrio- cholera. Baksil
ini menyerang bagian pencernaan atau usus manusia dan dapat mengakibatkan
gejala berupa muntah-muntah dan berak. Selain itu penderita pada tingkat akut
akan mengalami kejang-kejang dan gangguran saluran kencing dan akhirnya dapat
mengakibatkan kematian.
42Slamet Ryadi, Ilmu Kesehatan Masyarakat; dasar-dasar dan Sejarah
Perkembangannya. (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 42.
-
16
Grafik 2
Fluktuasi Laporan Kematian yang Disebabkan oleh
Epidemi Kolera Di Karesidenan Semarang, 1910-1920
Sumber: Diolah dari data di Koloniaal Verslag 1911-1921.
Sampai tahun 1860, dikalangan para medis masih terjadi
perdebatan mengenai sifat persebaran penyakit ini.43 Namun diyakini bahwa
manusia memegang peranan utama dalam penyebarluasan kolera karena
persebarannya ternyata mengikuti jalur hubungan manusia dalam
melakukan aktivitasnya. Dibandingkan dengan penyakit menular lainnya,
kolera merupakan penyakit yang dengan cepat bisa menyebar luas di seluruh
wilayah sebuah komunitas.44
Pola persebaran kolera yang pada abad ke-20 berbeda dengan pola
persebaran pada abad ke-19. Laporan BGD dan juga Peverelli menyebutkan
bahwa epidemi utama pada abad ini pertama kali ditemukan di Jambi pada
tahun1909 ketika orang-orang muslim pribumi pulang menunaikan ibadah
haji dari Makkah.45
43Satrio, et al., op.cit., hlm.59.
44Peter Gardiner and Mayling Oey, op.cit., hlm.75.
45Verslag voor Burgelijke Geneeskundige Dienst, -1918, op.cit., hlm. 23.
bandingkan dengan P. Peverelli, P. Peverelli, De Ontplooiing vand den Burgelijken Geneeskundigen Dienst dalam Feestbundel Geneeskundige Tijdschrift voor Neder-lansch-Indie 1936. hlm 42.
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
1910 1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919 1920
-
17
Dari Jambi, penyakit ini kemudian masuk ke Batavia dan 2-3 tahun
kemudian menyebar ke seluruh wilayah di Jawa, lalu ke luar Jawa dan
mencapai klimaksnya pada tahun 1912 dan 1913, setelah itu perlahan-lahan
kasus kolera berkurang. Epidemi kolera yang terjadi di Jawa dan Madura
pada tahun 1910 ini dilaporkan menelan korban sebanyak 60.000 jiwa.46
Pada paruh kedua tahun 1915 dan 1916, serta paruh pertama tahun
1917 hanya ditemui beberapa kasus kolera di Batavia. Kemudian pada
pertengahan tahun 1917 sebuah infeksi kolera baru masuk ke Batavia lagi
yang berasal dari Singapura melalui Palembang. Setelah itu pola persebaran
pada awal abad ke-20 terulang kembali ketika Batavia menjadi titik
persebaran kolera ke hampir seluruh Jawa dan Madura, dan daerah luar Jawa
terutama di Kalimantan Timur dan Selatan.47
Sementara itu di Karesidenan Semarang, setelah terjadi laporan
kematian yang cukup tinggi akibat epidemi penyakit ini pada awal abad ke-
20, untuk beberapa tahun lamanya penyakit ini menghilang. Laporan
kematian serupa baru muncul lagi pada antara tahun 1910 sampai tahun
1920. Lebih jelasnya lihat grafik 2.
Untuk seluruh Jawa dan Madura, pada awal abad ke-20 ini terdapat
dua tahun puncak terjadinya epidemi kolera yang menyebabkan banyaknya
korban meninggal yaitu pada tahun 1910 dan pada tahun 1918.48 Lebih
jelasnya mengenai hal ini lihat grafik 3.
46Peter Gardiner and Mayling Oey, op.cit., hlm.76.
47Ibid., hlm. 25.
48Lihat P. Peverelli, op.cit., hlm. 185., Bandingkan dengan Peter Gardiner and
Mayling Oey, loc.cit.
-
18
Grafik 3
Fluktuasi Laporan Kematian yang Disebabkan
oleh Epidemi Kolera Di Jawa dan Madura, 1910-1920
Sumber: Diolah dari P. Peverelli, De Ontplooiing vand den Burgelijken Geneeskundigen Dienst dalam Feestbundel Geneeskundige Tijdschrift
voor Nederlansch-Indie 1936. hlm. 186.
Upaya preventif dan kuratif kolera hampir sama dengan malaria
yaitu harus dilakukan bersamaan diantara keduanya. Vaksin kolera pertama
kali ditemukan pada tahun 1912 dan upaya pengobatan ini harus dibarengi
dengan upaya-upaya perbaikan lingkungan tempat tinggal termasuk harus
menjaga kebersihan yang akan digunakan untuk keperluan sehari-hari
terutama penggunaan air bersih. Tindakan ini juga diimbangi dengan
pelaksanaan karantina bagi orang migran yang berasal dari daerah yang
dijangkiti kolera. Sebaliknya bagi orang yang akan pergi ke luar daerah harus
diinjeksi vaksin kolera terlebih dahulu. Misalnya mulai dekade pertama abad
ke-20 bagi masyarakat di Jawa yang akan menunaikan ibadah haji harus
terlebih dahulu diinjeksi vaksin kolera.49 Tidak seperti pada kasus epidemi
cacar atau malaria yang mempunya tenaga kesehatan mantri, pelaksanaan
vaksinasi penyakit kolera ini menggunakan jasa para mantri cacar.
49Peter Gardiner and Mayling Oey, loc.cit.
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
1910 1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919 1920
-
19
Upaya-upaya di atas pada awal abad ke-20 selalu dilakukan di
daerah sepanjang pantai utara Jawa, terutama kota-kota yang memiliki
pelabuhan besar seperti Surabaya, Semarang dan Batavia. Hal ini sebenarnya
mendukung teori yang berkembang pada masa kontemporer ini yang
menyatakan bahwa beberapa penyakit yang berkembang di Asia Tenggara
khususnya Nusantara menyebar melalui perantara kapal-kapal dagang yang
berasal dari kawasan Asia lain.
Dengan berbagai upaya yang dilakukan pada awal abad ke-20 ini
maka pada awal tahun 1920-an kolera secara meyakinkan dapat
dikendalikan sebagai faktor yang menyebabkan tingginya kematian di Jawa.
Kasus kolera terakhir yang ditemukan sampai berakhirnya kolonialisme
Belanda adalah pada tahun 1927 di Tanjung Priok.50
D. Upaya Preventif dan Kuratif terhadap Penyakit Pes
Pada awal abad ke-20 muncul epidemi penyakit baru yang tidak kalah
dalam menyebabkan kematian penduduk di Jawa. Salah satu penyakit
tersebut adalah pes.51 Penyakit pes52 atau juga dikenal dengan sampar mem-
punyai jaringan organisme antara bakteri, kutu (xeropsylla), tikus, dan
manusia. Terdapat dua bentuk penyakit pes yang dikenal pada waktu itu
50P. Peverelli, (1936), op.cit., 186.
51Peter Boomgaard, (1993), op.cit., 80.
52Pes merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri
Pasturella pestis (dalam dunia kedokteran modern bernama Yersinia
pseudotuberculosis sub pestis). Persebaran bakteri ini melalui transmitter kutu
binatang pengerat terutama tikus (sebagai host). Sementara media atau cara
penularannya biasanya melalui gigitan tikus terhadap manusia atau dapat juga
melalui udara dalam hal ini adalah nafas manusia yang sudah terinfeksi bakteri ini.
Sementara bagi host-nya, ketika bakteri masuk kedalam tubuhnya dipercaya bahwa
beberapa spesies tikus mampu mengembangkan kekebalan tubuhnya. Sehingga
tikus ini membawa bakteri dalam aliran darahnya tanpa mengalami gangguan rasa
sakit. Baca Terence (. (ull, Plague in Java dalam G. Owen (ed.), Death and Disease in Southeast Asia: explorations in Social, Medical, and Demographic History
(Singapore: Oxford University Press, 1997), hlm. 210.
-
20
yaitu Pes Bubo (bubonic) dan Pes Paru-paru (pneumonic).53 Gejala umum yang
ditimbulkan dari penyakit ini berupa demam tinggi, muntah-muntah,
kesadaran menurun, shock dan kondisi badan yang lemah.
Penderita pes bubo dapat mengalami pembengkakan kelenjar limpa
yang terasa sangat sakit, jika kondisi ini tidak segera diterapi limpa dapat
pecah dan mengeluarkan nanah. Sementara penderita pes paru-paru
mengalami gejala berupa sesak nafas dan batuk-batuk yang tidak jarang
disertai dengan darah.54 Pes merupakan salah satu penyakit menular yang
mempunyai rasio kematian yang sangat tinggi yaitu antara 25%-50% pada
kasus pes bubo55 dan bisa mencapai 100% pada pes paru-paru.
Sebenarnya pes bukanlah penyakit asli manusia melainkan penyakit
binatang pengerat terutama tikus. Sebelum terjadi kejadian epidemi pes,
biasanya didahului dengan epidemi pes yang diderita oleh binatang ini.
Dalam kondisi seperti ini maka terjadi penularan pes melaui kutu56 yang
menempel dibadan dari satu tikus ke tikus yang lain. Pada tahap selanjutnya
penularan terjadi antara tikus dengan manusia karena secara ekologis sarang
tikus biasanya tidak jauh dari tempat tinggal dan aktivitas manusia. Pada
awal abad ke-20, masyarakat mengenal beberapa macam tikus yang menjadi
53Pada perkembangannya di masa sekarang penyakit ini mengalami tiga
bentuk yaitu bubonic, septikemik, dan pneumonik. Pes bubonic terjadi karena gigitan
serangga yang mengandung bakteri Pes. Bakteri ini masuk melalui sistem limfatik ke
nodus limfatikus terdekat. Peradangan terjadi di nodus limfatikus, kemudian diikuti
pembentukan bubo, yakni reaksi tubuh akibat masuknya bakteri Pes melalui kulit ke
dalam nodus limfatikus. Septikemik adalah bentuk Pes yang terjadi ketika infeksi
menyebar secara langsung melalui aliran darah. Bentuk ini biasanya mematikan jika
tidak segera diterapi. Pes Pneumonik adalah infeksi paru-paru yang disebabkan oleh
bakteri pes. Pes bentuk ini mempunyai rasio kematian yang sangat tinggi.
54Indan Entjang, Ilmu Kesehatan Masyarakat (Bandung: Alumni, 1979), hlm.
38.
55Orang Jawa menyebut jenis ini dengan istilah Pes benjol
56Kutu tikus biasanya disebut dengan pinjal.
-
21
agent pes yaitu tikus rumah, tikus sawah, tikus got (selokan), dan tikus
pegunungan.57
Struktur sosial dan kehidupan masyarakat Jawa pada waktu itu,
ditambah dengan politik diskriminasi yang diterapkan oleh pemerintah
kolonial telah menempatkan mereka pada tempat tinggal yang buruk. Pada
awal abad ke-20, jumlah orang Eropa yang tinggal di rumah yang terbuat dari
batu sebanyak 35.890, sedangkan untuk seluruh masyarakat Jawa yang
tinggal di tempat yang sama hanya 352.353 orang. Rumah-rumah luas yang
terbuat dari batu dengan halaman di depannya hanya dimiliki oleh golongan
priyayi, pegawai tinggi dan menengah. Sementara pegawai rendahan
bertempat tinggal di rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan penduduk
desa umumnya tinggal di rumah-rumah yang terbuat dari bambu (gedek).58
Selain faktor lingkungan tempat tinggal, iklim tropis juga berperan
besar dalam persebaran pes di Jawa. Pada musim hujan tikus dapat
berkembang biak dengan sangat cepat. Sepasang tikus dalam waktu lima
minggu bisa melahirkan sepuluh ekor anak dan dalam waktu tiga bulan
mereka sudah dapat bereproduksi. Dengan sistem pengembangbiakan
seperti itu maka kemungkinan pes menjadi sebuah epidemi sangat besar.
Di Asia persebaran penyakit ini diketahui pertama kali di wilayah
Tiongkok Barat, dekat perbatasan Tibet dan Myanmar, pada tahun 1866.
Pada tahun 1894 penyakit ini kemudian menyebar ke daerah Kanton dan
menewaskan sebanyak 70.000 jiwa. Lebih lanjut, penyakit ini kemudian
menyebar ke negara-negara lain dengan perantara kapal laut menuju
Hongkong. Pada tahun 1896 pes sudah diketahui keberadaannya di Bombay,
kemudian menyebar ke Kolombo, Jepang, Formosa (Taiwan), Singapura,
Sydney dan kemudian sampai di Nusantara.59
57R. Soemedi, Penyakit Pes (Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1951), hlm. 22.
58Sartono Kartodirdjo, Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial dalam Lembaran Sejarah 4, 1969, hlm. 49. 59Lihat Indan Entjan, op.cit., hlm. 47, dan R. Soemedi, op.cit., hlm. 6.
-
22
Di Jawa, kasus pes pertama kali ditemukan di Surabaya pada bulan
Oktober tahun 1910. Persebaran pes ke Jawa ini diduga berasal dari
Rangoon.60 Kasus di Surabaya ini muncul diperkirakan ketika pemerintah
membangun sebuah gudang pangan untuk mengantisipasi kekurangan
pangan sebelum panen tiba. Dari Surabaya melalui perantara transportasi
kereta api, pada bulan November tahun 1910 penyakit ini kemudian menye-
bar ke daerah Malang bagian selatan tepatnya di Distrik Turen. Pada akhir
tahun 1910, 17 orang dari dua desa di Turen dilaporkan meninggal yang
disebabkan oleh penyakit ini. Setahun kemudian, pes telah berkembang
menjadi sebuah epidemi di Malang. Setelah diketahui bahwa penyakit yang
menyerang penduduk itu adalah penyakit pes, maka kejadian ini membuat
shock para dokter lokal yang sedang bertugas di daerah itu karena kasus ini
mengingatkan mereka pada peristiwa The Black Death di Eropa pada abad
ke-14.
Grafik 4
Jumlah Mortalitas yang diakibatkan oleh Epidemi Pes
Pada Beberapa Karesidenan di Jawa Timur, 1911-1920
Sumber: Diolah dari (.J. Rosier, Verslag Betreffende De Pestbestrijding op Java over het jaar dalam Mededeelingen van den Dienst der Volksgezonheid
in Nederlandsch-Indie,1936.
60L. Otten, De Pestbestrijding op Java - dalam Geneeskundige Tijdschrift voor Nederlansch-Indie 1936, hlm. 84.
0100020003000400050006000700080009000
1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919 1920
MalangSurabayaKediriMadiun
-
23
Dari Turen Malang, penyakit ini kemudian dengan cepat menjalar ke
Karanglo dan pada bulan Maret tahun 1911 dilaporkan hampir semua distrik
di Malang, Kediri dan Surabaya telah terjangkiti. Pada akhir tahun yang sama
sekitar 2000 orang meninggal dunia akibat dari penyakit pes dan pada tahun
1912 jumlah yang sama juga meninggal dunia.61 Penyebaran yang cepat ini,
selain disebabkan oleh cepatnya perkembangbiakan tikus, juga disebabkan
oleh frekuensi migrasi orang dari satu daerah ke daerah lain pada waktu itu.
Kasus epidemi pes pada tahun 1911 di Malang ini benar-benar
membuat panik Dinas Kesehatan Sipil sebagai pihak yang mempunyai
wewenang dan kewajiban terhadap kondisi kesehatan rakyat pada waktu itu.
Karena kepanikan tersebut akhirnya delapan orang mahasiswa kedokteran
diluluskan tanpa melalui ujian akhir karena tenaganya sangat diperlukan
untuk membantu menangani kasus ini.62
Grafik 5
Jumlah Mortalitas yang diakibatkan oleh Epidemi Pes
Pada Beberapa Karesidenan di Jawa Timur, 1921-1934
Sumber: Diolah dari (.J. Rosier, Verslag Betreffende De Pestbestrijding op Java over het jaar dalam Mededeelingen van den Dienst der
Volksgezonheid in Nederlandsch-Indie,1936.
Dari kejadian ini terdapat permasalahan yang kemudian diteliti oleh
Dinas Kesehatan Sipil yaitu kenapa epidemi pes justru terjadi di daerah
61Ibid. 62Slamet Riyadi, op.cit., hlm. 42.
020406080
100120140160180200 Malang
Surabaya
Kediri
-
24
pedesaan dan bukannya di kota Surabaya yang notabene merupakan tempat awal mendaratnya penyakit ini? Dipimpin oleh Swellengrebel, beberapa dokter mengadakan penelitian mengenai tikus dan pinjal beserta
karakteristik dan perilakunya masing-masing. Akhirnya mereka membuat
kesimpulan untuk menjawab permasalahan tersebut di atas.
Grafik 6
Jumlah Mortalitas yang diakibatkan oleh Epidemi Pes
Pada Beberapa Karesidenan di Jawa Tengah, 1921-1934
Sumber: Diolah dari (.J. Rosier, Verslag Betreffende De Pestbestrijding op Java over het jaar dalam Mededeelingen van den Dienst der
Volksgezonheid in Nederlandsch-Indie,1936.
Tikus-tikus yang berada di Surabaya lebih suka tinggal di bawah
tembok rumah dengan membuat liang yang dangkal sebagai tempat
tinggalnya. Ketika tikus ini mati di liangnya, pinjal yang ada ditubuhnya
mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam rumah, baik karena jaraknya
maupun disebabkan mereka mati dimakan oleh semut sebagai predator
alaminya.
Sementara tikus yang ada di pedesaan, biasanya tinggal di balik atap
atau langit-langit rumah penduduk. Ketika tikus ini mati maka pinjal dengan
mudah dapat jatuh kebawah atau meloncat kebadan manusia yang ada di
bawahnya. Teori kedua yang dikemukakan oleh Swellengrebel dalam
penelitiannya itu bahwa pinjal lebih aktif bergerak dan lebih tahan hidup di
daerah yang berhawa sejuk. Oleh karena itulah maka pinjal lebih senang
0
1000
2000
3000
4000
5000 SurakartaSemarangYogyakartaKeduPekalongan
-
25
menginfeksi manusia yang bertempat tinggal di pedesaan dataran tinggi
daripada di kota-kota pantai yang panas.63
Grafik 7
Jumlah Mortalitas yang diakibatkan oleh Epidemi Pes
Pada Beberapa Karesidenan di Jawa Barat, 1921-1934
Sumber: Diolah dari (.J. Rosier, Verslag Betreffende De Pestbestrijding op Java over het jaar dalam Mededeelingen van den Dienst der
Volksgezonheid in Nederlandsch-Indie,1936.
Di Jawa Timur, penyakit ini mencapai puncaknya pada tahun 1913
dan 1914 yang masing-masing menelan korban sebanyak 11.552 dan 15.703
orang. Daerah-daerah yang penduduknya paling parah diserang penyakit pes
adalah bagian utara Karesidenan Surabaya, seluruh wilayah Karesidenan Ma-
lang, Madura, sebagian besar Karesidenan Kediri dan Madiun.64Pada tahun
1913 itu juga pes mulai menyebar ke luar Jawa Timur karena pada tahun itu
di Karesidenan Surakarta telah ditemukan beberapa kasus penyakit ini. Dari
wilayah ini kemudian pes menyebar kearah tengah dan utara Jawa dan pada
tahun 1916 dilaporkan sudah ada kasus pes di Karesidenan Semarang.
Dari wilayah ini pes terus menyebar ke arah barat Pulau Jawa. Sebe-
lum tahun 1920 sudah terdapat laporan mengenai penyakit ini di Jawa
bagian barat terutama di Batavia. Pada tahun 1933 dan 1934 penyakit ini me-
nimbulkan banyak korban di Karesidenan Priangan. Selain itu terdapat
63Lihat Terence Hull, op.cit., hlm. 214. 64Verslag voor Burgelijke Geneeskundige Dienst -, op.cit., hlm.31.
02000400060008000
100001200014000160001800020000 Cirebon
BanyumasPriangan
-
26
pusat-pusat pes yang terletak di sejumlah daerah pegunungan di Jawa yaitu
Pegunungan Tengger di Jawa Timur, Merapi, Sumbing, Sindoro, dan Merbabu
di Jawa Tengah, serta Ciremai di Jawa Barat.65
Tabel 2
Jumlah Mortalitas yang diakibatkan oleh Epidemi Pes
Pada Tingkat Karesidenan di Jawa, 1911-1934
No Karesidenan Jumlah
Mortalitas
1 Malang 23.105
2 Surabaya 3.079
3 Kediri 10.097
4 Madiun 2.775
5 Madura 151
6 Surakarta 25.088
7 Semarang 9.123
8 Yogyakarta 4.372
9 Kedu 39.573
10 Pekalongan 13.871
11 Rembang 2
12 Cirebon 6.677
13 Banyumas 7.413
14 Priangan 43.069
15 Bogor 123
16 Batavia 30
Sumber: Diolah dari (.J. Rosier, Verslag Betreffende De Pestbestrijding op Java over het jaar dalam Mededeelingen van den Dienst der Volksgezonheid in Nederlandsch-Indie,1936.
Upaya preventif yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Sipil adalah
melakukan tindakan isolasi terhadap daerah-daerah yang terjangkiti pes dan
melakukan karantina terhadap orang yang sudah terinfeksi. Tidak ada
seorang pun yang dapat meninggalkan atau masuk ke suatu wilayah tanpa
menjalani pemeriksaan terlebih dahulu. Sementara informasi mengenai pes
di wilayah pedesaan dilakukan oleh para kepada desa dan juga para guru.
Bahkan sebelum masuk kedalam ruang kelas, semua murid diwajibkan
65P. Peverelli, op.cit., hlm. 184.
-
27
mengganti pakaian yang sudah steril, sedangkan pakaian mereka sendiri
harus dicuci dan dijemur di bawah terik matahari dan diambil untuk dipakai
ketika proses belajar mengajar telah selesai.66
Rumah-rumah penduduk kemudian menjadi perhatian utama dalam
memberantas penyakit ini. Setelah dilakukan disinfeksi dengan menggunakan
sulphurous vapour rumah-rumah yang diidentifikasi sebagai sarang tikus
pembawa pes dibangun kembali sesuai dengan peraturan kesehatan.
Tindakan lainnya biasanya adalah dengan mengganti atap rumah yang
terbuat dari dedaunan dengan atap genting. Biaya untuk perbaikan ini
disesuaikan dengan kemampuan penduduk atau atas bantuan kredit dari pe-
merintah seperti yang terjadi di Afdeeling Pasuruan terutama di Onderdistrik
Pasrepan dan Bayeman pada tahun 1923.67
Selama kurun waktu antara 1911 sampai 1935, telah diadakan
upaya perbaikan rumah 553.773 di Jawa Timur, 685.762 di Jawa Tengah dan
85.404 di Jawa Barat. Di Karesidenan Surakarta misalnya, dengan dipimpin
oleh kontrolir kota, perbaikan-perbaikan rumah dilakukan di Afdeeling
Boyolali terutama di onderdistrik Ampel, Singasari, Cepogo, Boyolali, Nusuk,
Selo, Mojosongo, dan Taras. Sementara di Afdeeling Klaten perbaikan dila-
kukan di onderdistrik Jatinom, Ponggok, Tulung, Keprun, Karangnongko,
Kemalang, Karanganom, dan Polanharjo.68 Di Yogyakarta pusat epidemi pes
terdapat di pedesaan di kaki Gunung Merapi, Imogiri, Kota Gede, Gunung
Kidul dan Onderdistrik Panjatan di Kulon Progo. Tidak seperti metode
perbaikan perumahan diwilayah lain, perbaikan perumahan di wilayah ini
yaitu dengan cara melakukan pelebaran jarak rumah satu dengan yang lain.69
66Lihat Hans Gooszen, op.cit., hlm.179.
67Lihat ANRI, op.cit., hlm. LII.
68Ibid., hlm. CCLVII
69Ibid., hlm. CCLXX
-
28
Upaya perbaikan perumahan rakyat dengan penggantian atap
dengan genting juga dilakukan di Karesidenan Cirebon. Pada pertengahan
tahun 1929 pemerintah daerah telah berusaha melakukan perbaikan
tersebut namun karena persediaan genting di wilayah itu tidak mencukupi
maka harus mendatangkan genting dari Kebumen yaitu dari Soka, Wonosari
dan Sruweng. Sampai awal tahun 1930 perbaikan perumahan rakyat di
wilayah ini telah mencakup 10 desa yaitu Cikaso, Krucuk, Klapagunung (On-
derdistrik Kuningan-Klapagunung) Karangtawang, Winduaji, Windu-
sengkahan, Citangtu, Cigugur Windujinten, dan Cipondok (Onderdistrik
Kuningan-Kadugede). Lebih dari 5.000 rumah rakyat berhasil diperbaiki
dalam dua tahun tersebut dan menghabiskan dana sebesar f150.000 untuk
pembelian genting dan f40.000 untuk upah kerja.70
Sementara vaksinasi sebenarnya telah dilakukan pada tahun 1920-an,
namun baru efektif dapat mengendalikan pada tahun 1930-an ketika
menggunakan vaksin Otten. Vaksin ini berhasil menekan angka kematian
sampai dengan 20%.71 Pada tahun 1935, seorang dokter pemerintah dengan
dibantu oleh 4 orang mantri setiap minggunya melakukan vaksinasi terhadap
sekitar 50.000 orang. Jumlah orang yang berhasil divaksinasi di Jawa pada
tahun 1935 sekitar 2,5 juta orang dan 4,5 juta orang pada tahun 1936.72
Kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam
menanggulangi epidemi pes ini seringkali merupakan kebijakan yang tidak
popular. Kebijakan mengenai fumigasi, perbaikan rumah, karantina terhadap
penderita dan evakuasi penduduk dari desa atau wilayah epidemi seringkali
mendapat tentangan dari masyarakat. Misalnya mengenai evakuasi
70ANRI, Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat) (Jakarta: ANRI, 1978),
hlm.CXLVII.
71Satrio, et al., op.cit, hlm. 58.
72Lihat P. Peverelli, (1947), op.cit. hlm. 59. Lihat juga C. Bonne De
Ontwikkeling der Geneeskundige Wetenschappen in Nederlandsch-Indie de Periode
1911- dalam Feestbundel GTNI 1936, hlm. 31.
-
29
penduduk, seringkali terjadi kasus ketika siang hari dilakukan evakuasi,
mereka kembali lagi ke desa mereka pada waktu malam harinya.73
Tindakan yang lebih radikal lagi misalnya yang dilakukan oleh
pemerintah Kotapraja Semarang ketika daerah itu dilanda epidemi pes pada
tahun 1917. Mereka memberi waktu selama 8 hari kepada masyarakat untuk
pindah dari rumah-rumah yang dijadikan sarang tikus. Setelah waktu
tersebut mereka kemudian membongkar dan membakar rumah-rumah itu
sebagai upaya untuk membasmi tikus. Namun atas desakan Sarekat Islam,
pemerintah kotapraja akhirnya membangunkan perumahan untuk rakyat
yang tidak mampu.74
Selain upaya di atas, pemerintah juga melatih orang-orang pribumi
untuk menjadi Mantri Pes yang bertugas menjadi mediator antara dokter
dengan masyarakat. Selain itu mereka juga yang bertugas untuk meyakinkan
kepada masyarakat bahwa upaya-upaya di atas adalah untuk kepentingan
bersama. Bahkan sejak tahun 1915, didirikan lembaga khusus yang
menangani penyakit pes yaitu Dinas Pemberantasan Pes.75 Dengan semua
upaya-upaya tersebut terbukti dapat mengendalikan epidemi pes di Jawa wa-
laupun korban yang diakibatkannya juga sangat banyak.
73Lihat Terence Hull, op.cit., hlm. 216.
74Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999),
hlm. 43.
75Ibid.