kebijakan indonesia melakukan perjanjian ekstradisi...
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN INDONESIA MELAKUKAN PERJANJIAN EKSTRADISI
DENGAN VIETNAM TAHUN 2015
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Ahmad Deedat
1112113000070
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Dengan ini saya menyatakan bahwa, skripsi yang berjudul:
KEBIJAKAN INDONESIA MELAKUKAN PERJANJIAN EKSTRADISI
DENGAN VIETNAM TAHUN 2015
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tangerang Selatan, 2 Mei 2019
Ahmad Deedat
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa :
Nama : Ahmad Deedat
NIM : 1112113000070
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
KEBIJAKAN INDONESIA MELAKUKAN PERJANJIAN EKSTRADISI
DENGAN VIETNAM TAHUN 2015
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Tangerang Selatan, 2 Mei 2019
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi, Pembimbing,
Ahmad Alfajri, M.A. Febri Dirgantara Hasibuan, M.M
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
KEBIJAKAN INDONESIA MELAKUKAN PERJANJIAN EKSTRADISI
DENGAN VIETNAM TAHUN 2015
oleh:
Ahmad Deedat
1112113000070
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
20 Mei 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua, Sekretaris,
Ahmad Alfajri, M.A. Eva Mushoffa, MHSPS
Penguji I, Penguji II,
Irfan R. Hutagalung LL. M Teguh Santosa, M.A.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada 20 Mei 2019.
Ketua Program Studi,
Ahmad Alfajri, M.A.
v
ABSTRAK
Hubungan bilateral antara Indonesia dan Vietnam sudah terjalin cukup lama,
Indonesia sudah memiliki hubungan informal dengan Vietnam sejak tahun 1940-
an. Hubungan diplomatik antara Jakarta dengan Hanoi dideklarasikan setelah
Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955. Setelah itu barulah kedua
negara melakukan deklarasi hubungan diplomatik yang ditandai dengan
dibukanya Konsulat Republik Indonesia di Hanoi pada tahun 1955. Saat ini,
kedua negara terus membangun kerja sama yang kuat di berbagai sektor melalui
kemitraan strategis. Hasil dari kemitraan ini dapat dilihat dari peningkatan
hubungan kerja sama bilateral di berbagai bidang. Untuk mencegah dampak
negatif dari kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan aspek lainnya diperlukan
kerja sama antarnegara yang efektif melalui perjanjian, baik bilateral maupun
multilateral, khususnya dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan
transnasional. Untuk meningkatkan hubungan dan kerja sama yang efektif
tersebut, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Vietnam akhirnya
menandatangani perjanjian ekstradisi di Jakarta pada tahun 2013. Perjanjian
tersebut kemudian disahkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
tahun 2015 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia
dan Republik Sosialis Vietnam.
Dalam skripsi ini, menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan upaya
Indonesia melakukan perjanjian ekstradisi dengan Vietnam. Kemudian, untuk
mengelaborasi secara mendalam, kerangka teori yang digunakan teori neorealisme
dan kepentingan nasional serta kebijakan luar negeri. Tujuan dari penelitian ini
yaitu untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi Indonesia melakukan
perjanjian ekstradisi dengan Vietnam.
Kata kunci: Ekstradisi, Perjanjian Ekstradisi, Hubungan Bilateral, Indonesia,
Vietnam.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulilahirabbil’alamiin, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karuni-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat serta salam tak lupa kita panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya semoga kita semua mendapatkan
syafaatnya di yaumil akhir nanti. Aamiin.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat akademis di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapatkan gelar sarjana pada
program studi Hubungan Internasional. Penulis berterima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu,
penuli menyampaikan terima kasih kepada :
1. Allah SWT, Dzat yang Maha Sempurna, yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk selalu bersyukur.
2. Orang tua, keluarga besar Abdullah yang telah memberikan dukungan
baik moril dan materil kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
studi dengan lancar.
3. Bapak Febri Dirgantara Hasibuan, M.M selaku dosen pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pemikirannya selama membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak atas kesabaran
dan ilmu yang Bapak berikan kepada penulis.
4. Bapak Ahmad Alfajri, M.A selaku ketua Program Studi Hubungan
Internasional sekaligus dosen pembimbing saat seminar proposal
vii
penulis. Terima kasih banyak atas ilmu yang Bapak berikan kepada
penulis.
5. Jajaran dosen dan staf Program Studi Hubungan Internasional. Terima
kasih atas ilmu yang sangat bermanfaat serta kemudahan administrasi
yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
6. Sahabat penulis yaitu Bahrel Wafi, Abdullah Zein, Rizky Indrawan,
Djordi Prakoso, Ratna KJ, serta teman-teman HI UIN Jakarta Angkatan
2012. Terima kasih atas kebersamaannya.
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan selama proses penulisan skripsi ini.
Dengan demikian, penulis berharap skripsi ini dapat menjadi bermanfaat
bagi orang lain terutama para akademisi yang juga akan meneliti tentang isu
ekstradisi. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
agar skripsi ini dapat memberikan informasi yang baik bagi pembacanya.
Ahmad Deedat
viii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ......................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ..................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ...................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 9
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 10
E. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 12
E.1. Kepentingan Nasional ....................................................................... 12
E.2. Kebijakan Luar Negeri ...................................................................... 15
F. Metode Penelitian....................................................................................... 19
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 21
BAB II SEJARAH DAN DINAMIKA HUBUNGAN BILATERAL
INDONESIA DENGAN VIETNAM
A. Sejarah Hubungan Diplomatik Indonesia Dengan Vietnam ...................... 24
B. Dinamika Hubungan Bilateral Indonesia Dengan Vietnam ....................... 29
ix
BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DENGAN VIETNAM
A. Perjanjian Ekstradisi................................................................................... 42
B. Hukum Internasional .................................................................................. 57
BAB IV ANALISA KEBIJAKAN INDONESIA MELAKUKAN
PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DENGAN VIETNAM TAHUN
2015
A. Kepentingan Nasional Indonesia Melakukan Perjanjian Ekstradisi Dengan
Vietnam .................................................................................................................. 63
B. Kebijakan Luar Negeri Indonesia Melakukan Perjanjian Ekstradisi Dengan
Vietnam .................................................................................................................. 70
B.1. Faktor Internal ................................................................................... 70
B.2. Faktor Eksternal ................................................................................ 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 81
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... xii
LAMPIRAN..........................................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar III.1 Mekanisme Prosedur dan Proses Permintaan Ekstradisi Sebagai
Negara Diminta.....................................................................................................
Gambar III.2. Mekanisme Prosedur dan Proses Permintaan Ekstradisi Sebagai
Negara Peminta.....................................................................................................
Gambar IV.1 Peta Kawasan Asia Tenggara..........................................................
Gambar IV.2 Jumlah Kerugian Dari Kejahatan Transnasional di Asia Timur dan
Pasifik.................................................................................................................... 68
Gambar IV.3 Jalur Kejahatan Transnasional di ASEAN.....................................69
xi
DAFTAR SINGKATAN
PBB : Persatuan Bangsa Bangsa
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations
PKI : Partai Komunis Indonesia
APEC : Asia-Pacific Economic Cooperation
KTT : Konferensi Tingkat Tinggi
MOU : Memorandum of Understanding
NGO : Non-Governmental Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini mengkaji kebijakan Indonesia dalam melakukan perjanjian
ekstradisi dengan Vietnam tahun 2015. Perlu diketahui di era globalisasi seperti
sekarang ini perjanjian internasional merupakan sumber aspek hukum yang sangat
penting. Mengingat di era globalisasi yang meningkatkan kemajuan dalam bidang
teknologi, telekomunikasi, dan transportasi. Adanya percepatan perkembangan
globalisasi itulah yang membuat pertumbuhan mobilitas manusia dan ekonomi,
namun juga dikhawatirkan dapat menimbulkan efek yang negatif, karena data
yang dimiliki oleh seseorang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku tindak
kejahatan.
Oleh sebab itu dengan adanya kemudahan yang didapat dari adanya
teknologi ini bisa menghindarkan mereka dari tuntutan hukum atas kejahatannya,
dan dengan mudah melarikan diri dari jeratan hukum yang menimpanya, dengan
melewati negara yang belum mempunyai payung hukum internasional. Dengan
adanya ekstradisi ini dinilai dapat memperkuat instrumen penegakan hukum, dan
dapat dikatakan lebih relevan untuk menangani suatu kasus kejahatan
transnasional.
Kondisi yang mengkhawatirkan sebagai dampak dari perkembangan
teknologi informasi adalah ruang lingkup tindak kejahatan tidak hanya terbatas
2
pada ruang lingkup lokal atau nasional saja, tetapi sudah mencapai skala level
internasional. Kejahatan yang menjangkau ruang lingkup internasional inilah yang
disebut dengan kejahatan transnasional.
Kejahatan transnasional adalah kejahatan konvensional yang dilakukan
lintas negara dan tindakan tersebut diatur baik dalam yurisdiksi negara asal
maupun negara korban. Pada tahun 1974, United Nations Crime Prevention and
Criminal Justice Branch telah menggunakan konsep transnational crime untuk
menyebut beberapa fenomena kejahatan lintas negara tentang permaslahan
yurisdiksi beberapa negara atau berimplikasi pada negara lain.1
Dewan ekonomi dan sosial, dalam resolusi tanggal 25 Mei 1984, meminta
sekretaris jenderal PBB mempertahankan dan mengembangkan basis data terkait
kejahatan dan terus melakukan survei tren kejahatan operasi sistem peradilan
pidana.2 Tujuan utama dari survei itu adalah untuk mengumpulkan data tentang
insiden kejahatan yang dilaporkan dan operasi sistem peradilan pidana dengan
maksud untuk meningkatkan analisis dan penyebaran informasi tersebut secara
global.3
Kemudian pada tahun 1994 melalui United Nations Surveys on Crime
Trends and The Operations of Criminal Justice Systems, PBB mendefinisikan
kejahatan transnasional sebagai perbuatan melanggar hukum yang proses
1 G. O. Mueller, “Transnational Crime: Definition and Concepts”, in P. Williams and D. Vlassis,
eds, Combating Transnational Crime: Activities and Responses, (London: Frank Cass Publishers,
2001), h. 13-21. 2 UNODC, “United Nations Surveys on Crime Trends and the Operations of Criminal Justice
Systems (UN-CTS)”, website online, diakses pada tanggal 8 January 2018 dari
https://www.unodc.org/unodc/en/data-and-analysis/United-Nations-Surveys-on-Crime-Trends-
and-the-Operations-of-Criminal-Justice-Systems.html 3 Ibid.
3
pelaksanaannya baik langsung maupun tidak langsung melibatkan aktor lebih dari
satu negara.
Berdasarkan definisi tersebut PBB akhirnya mengidentifikasi 18 bentuk
kejahatan transnasional yang meliputi pencucian uang, perdagangan narkoba
ilegal, korupsi penyuapan dikalangan pemerintah, pembobolan informasi rahasia
dari suatu bisnis legal, penipuan yang mengakibatkan kebangkrutan, cyber crime,
pencurian hasil karya intelektual, perdagangan senjata ilegal, terorisme,
pembajakan pesawat, pembajakan laut, pembajakan di jalur darat, people
smugling, perdagangan organ tubuh manusia, pencurian karya seni dan objek
budaya, kejahatan lingkungan, serta kejahatan lainnya yang dilakukan oleh
kelompok kriminal.4
Kejahatan transnasional merupakan bentuk kejahatan yang dapat
mengancam kehidupan masyarakat seperti ekonomi, sosial, ketertiban, dan
keamanan baik nasional maupun regional. Perkembangan kejahatan transnasional
di Indonesia baik dari adanya dampak globalisasi juga faktor-faktor lainnya yang
berkaitan dengan pergerakan manusia dari suatu wilayah ke negara lainnya atau
dari suatu kawasan ke kawasan lainnya. Sehingga sangat potensial muncul dan
berkembangnya jenis kejahatan baru lintas batas negara.
Kejahatan transnasional merupakan ancaman serius bagi Indonesia.
Khususnya, berupa terorisme, cyber crime, drug trafficking, mengalami
perkemabangan yang signifikan. Kejahatan transnasional yang cenderung
4 NTS Alert, “Transnational Organised Crime in Southeast Asia: Threat Assesment”, website
online (2010), diakses pada tanggal 7 Januari 2018 dari http://www3.ntu.edu.sg/rsis/nts/HTML-
Newsletter/alert/NTS-alert-jul-1001.html
4
melibatkan jaraingan-jaringan diberbagai negara mengakibatkan perlunya
kerjasama baik regional maupun internasional dengan negara lain dalam hal
pertukaran data dan informasi.
Penanganan dan penanggulangan kejahatan transnasional merupakan
bentuk ancaman untuk kehidupan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, budaya,
ketertiban, dan keamanan baik nasional maupun regional. Indonesia sebagai
negara kepulauan yang padat dengan penduduk sangat berpotensi bagi pelaku
kejahatan transnasional untuk memperluas jaringannya, sebaliknya bagi Indonesia
ini merupakan sebagai ancaman keamanan, ancaman kedaulatan negara, serta
ancaman bagi anak bangsa.
Dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional pada
dasarnya sangat sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan dalam proses penegakan
hukum terhadap kejahatan transnasional memerlukan kerjasama antar negara yang
mempunyai hubungan kerjasama ekstradisi dengan negara yang bersangkutan.
Kerjasama antar negara tersebut dapat berupa perjanjian kerjasama antar negara
dalam bentuk perjanjian, yang disebut perjanjian internasional. Dalam hal ini
perjanjian internasional yang dipergunakan dalam proses penegakan hukum
kejahatan transnasional antara lain adalah perjanjian ekstradisi.
Perjanjian ekstradisi merupakan dasar dari permintaan dan penyerahan
seorang tersangka kejahatan transnasional oleh negara yang mengajukan
permohonan ekstradisi. Dengan adanya hubungan bilateral kedua negara proses
ekstradisi lebih mudah, karena seringkali suatu negara yang wilayahnya dijadikan
tempat berlindung oleh seorang penjahat yang jelas sudah mendapatkan vonis
5
hukum, mereka tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-
mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak
adanya yurisdiksi atas seseorang terduga tersebut.
Penjahat harus dipidana oleh negara tempat ia berlindung atau diserahkan
kepada negara yang bersedia dan mau memindahkannya. Terkadang negara yang
meminta kerjasama untuk memproses tersangka yang ingin diekstradisi ke negara
asalnya, agak kesulitan meminta ke negara tersebut.
Di dalam sistem internasional, tidak terdapat suatu kekuasaan tertinggi
yang dapat memaksakan keputusan-keputusannya kepada suatu negara, dan tidak
adanya badan legislatif internasional yang mengatur ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku serta mengikat secara langsung dengan negara anggota lain. Di
samping tidak adanya angkatan bersenjata untuk menegakkan sanksi-sanksi yang
dianggap melanggar hukum internasional. Oleh karena itu, setiap negara harus
merasa perlu untuk mematuhi suatu hukum internasional demi terciptanya
keamanan dengan negara-negara lain yang melindungi dari berbagai
kepentingannya.5
Hukum Internasional dapat diartikan sebagai suatu himpunan dari
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur
hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam
kehidupan masyarakat internasional. Perlu diketahui bahwa tujuan utama suatu
negara dalam kehidupan masyarakat internasional adalah untuk melindungi
kepentingan mereka sendiri.
5 Boer Mauna, Hukum Internasional, “Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global”, (Bandung: Alumni, 2001), h. 2-3.
6
Pelanggaran terhadap norma dan prinsip-prinsip hukum internasional pada
umumnya akan selalu dibenarkan oleh negara-negara tersebut sebagai tindakan
yang tidak melanggar hukum. Kedudukan hukum internasional tidak dapat
sebanding dengan kedudukan hukum nasional. Mengingat bahwa yang membuat
hukum internasional itu sendiri yaitu negara-negara, baik melalui hukum biasa
maupun hukum tertulis. Yang mana negara-negara itu merupakan aktor sekaligus
pengawas dari pelaksanaan tersebut.6
Tidak adanya ikatan hukum internasional menyebabkan setiap negara di
dalam sistem internasional tidak memiliki suatu kesepakatan bersama yang
bersifat universal. Dalam kasus tindak kriminilatas, misalnya, negara yang satu
memiliki perbedaan dengan negara lainnya dalam memandang dan memposisikan
para pelaku tindak kriminalitas yang melarikan diri dari negara asalnya untuk
mencari suaka atau perlindungan di negara yang dituju. Ketika terdapat sebagian
negara yang menolak untuk memberikan perlindungan kepada para pelaku tindak
kriminalitas dan memilih untuk menangkap dan meyerahkan mereka ke negara
asalnya, sebagian negara yang lain justru memilih untuk bertindak sebaliknya
yaitu agar meyediakan tempat perlindungan bagi mereka.
Munculnya permasalahan seperti pelarian pelaku tindak kriminal ke
negara lain tersebut meyebabkan timbulnya kesadaran sebagian besar negara akan
pentingnya keberadaan perjanjian ekstradisi ini sebagai sebuah bentuk perjanjian
internasional dalam menjaga hubungan bilateral yang baik antar setiap negara.
Ekstradisi berasal dari kata latin “extradere” yang berarti ex adalah keluar,
6 Ibid.
7
sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya ialah menyerahkan.
Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam
penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta.7
Menurut undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1979, ekstradisi
adalah penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan seseorang yang
disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara
yang menyerahkan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan
tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan menghukumnya.8
Pada umumnya, ekstradisi adalah sebagai akibat dari hak asylum yaitu
tujuan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun
pada saat ini ekstradisi diimplementasikan guna melewati batas wilayah negara
dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat
yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap
seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan.9
Menurut definisi lain, perjajian ekstradisi adalah penyerahan yang
dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan
sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang tertuduh
atau terdakwa atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang
dilakukannya secara terhukum atau terpidana oleh negara tempatnya melarikan
diri atau berada dan bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk
7 NCB-Interpol Indonesia, “Ekstradisi”, website online (2008), diakses pada tanggal 7 Januari
2018 dari http://www.interpol.go.id/id/uu-dan-hukum/ekstradisi/definisi-prosedur-dan-
implementasi-ekstradisi/262-ekstradisi 8 Ibid.
9 Ibid.
8
mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan
tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya.10
Hubungan bilateral antara Indonesia dengan Vietnam pada dasarnya
berjalan dengan baik jika ditinjau dari berbagai sisi secara umum. Namun
demikian, melihat seiring pergantian zaman terus berjalan tidak bisa dipungkiri
lagi kedua negara harus melakukan perjanjian tersebut.
Indonesia merupakan negara yang sarat akan tindak kejahatan
transnasional. Hal inilah tentu sangat sekali merugikan negara di dalam berbagai
bidang, baik itu ekonomi, politik, sosial, hukum dan keamanan. Terdapat banyak
sekali tindak kejahatan dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Sayangnya, sebagaian besar kasus tidak dapat diusut secara tuntas akibat larinya
para penjahat-penjahat yang tidak bertanggung jawab ini yang sangat merugikan
negara. Sungguh ironis melihat keadaan negara yang begitu memprihatinkan ini,
disaat negara sedang berkembang ingin membangun peradaban, malah dirugikan
dengan hal-hal tersebut.
Demikian hal tersebut menjadi menarik perhatian peneliti untuk
melakukan analisis lebih lanjut. Karena mengingat Indonesia dengan Vietnam
belum memiliki perjanjian ekstradisi. Dengan adanya perjanjian ekstradisi ini
akan memperkuat instrumen penegakan hukum serta menjaga stabilitas keamanan
baik di Indonesia maupun di kawasan. Maka dengan disahkannya undang-ndang
perjanjian ekstradisi nantinya potensi akan datang dan orang lari ke Vietnam juga
bisa dicegah, khususnya dalam kasus transnational crime. Selain itu, perjanjian
10
I Wayan Phartiana, “Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia”,
(Bandung: Alumni, 1993), h. 16.
9
ekstradisi juga akan mempersempit ruang gerak para pelaku tindak kejahatan yang
ingin melarikan diri ataupun berpindah kewarganegaraan ke Vietnam maupun ke
wilayah kawasan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengambil judul
“Kebijakan Indonesia Melakukan Perjanjian Ekstradisi Dengan Vietnam Tahun
2015”.
B. Rumusan Masalah
Setelah penjelasan latar belakang sebelumnya, penjelasan di atas
setidaknya memberi gambaran mengenai hubungan kerjasama Indonesia dengan
Vietnam. Maka pernyataan masalah yang akan diajukan adalah:
“Mengapa Indonesia melakukan perjanjian ekstradisi dengan Vietnam
tahun 2015?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Skripsi ini bertujuan untuk:
Mengetahui apa aja saja faktor-faktor yang melatarbelakangi Indonesia dan
Vietnam dalam melandasi kepentingan kedua negara.
1. Mengetahui tentang proses hubungan bilateral pemerintah Indonesia
dengan Vietnam dalam kerjasama ektradisi.
2. Menganalisa tentang bagaimana upaya pemerintah Indonesia untuk
melakukan kerjasama ekstradisi dengan Vietnam dengan menggunakan
konsep kepentingan nasional kebijakan luar negeri.
10
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat berkonstribusi dalam membuat
sumber atau rujukan bagi penelitian-penelitian terkait yang berhubungan dengan
kerjasama ekstradisi antara Indonesia dengan Vietnam, terutama untuk peneliti
mahasiswa Hubungan Internasional.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk menganalisa lebih dalam mengenai perjanjian ekstradisi, ada
beberapa literatur yang relevan dalam membahas isu tersebut. Salah satunya
adalah artikel yang ditulis oleh Rika Erawaty dalam jurnal ilmiah hukum Yuriska
Volume 3 No 2 Tahun 201111
dengan judul “Kajian Tentang Perjanjian Ekstradisi
Indonesia-Malaysia Dalam Memberantas Kejahatan dan Pelaksanaannya di
Indonesia”. Rika Erawaty menjelaskan bahwa perjanjian ekstradisi antara
Indonesia dan Malaysia penting untuk dilakukan mengingat kedua negara
berdekatan secara teritori dan juga kultural sehingga orang-orang yang ingin
melarikan diri dari proses hukum di salah satu negara akan memilih melarikan diri
ke negara tetangga. Untuk itu, Indonesia dan Malaysia sepakat membuat Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1974 yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979. Perbedaan antara penelitian ini
dengan artikel jurnal tersebut terdapat pada sisi pendekatan ilmiah dan objek
pembahasannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan hubungan internasional
dalam memahami perjanjian ekstradisi dan objek pembahasan penelitian ini
adalah Indonesia dengan Vietnam.
11
Rika Erawaty, dkk, Jurnal Ilmiah Hukum Yuriska Volume 3 No. 2 (2011), Universitas Widya
Gama Mulawarman, h. 52-68.
11
Kemudian, peneliti dari Universitas Botswana, Jonas Obonye menulis
artikel jurnal dengan judul Human Rights, Extradition and The Death Penalty:
Reflections on the stand-off between Botswana and South Africa pada
International Journal on Human Rights Volume 10 Nomor 18 Tahun 201312
Jonas
Obonye menjelesakan mengenai perjanjian ekstradisi antar Afrika Selatan dan
Botswana yang tidak memperhatikan hak asasi manusia yang melekat pada setiap
individu. Di sisi lain, Obonye juga menyadari dilema hukum yang terjadi akibat
simpati yang akan menjadi hambatan dalam memerangi kejahatan transnasional
dan internasional. Perbedaan penelitian ini dengan artikel jurnal tersebut adalah
dari sisi perspektif. Jonas Obonye menggunakan sisi persepektif Hak Asasi
Manusi dalam membahas perjanjian ekstradisi sedangkan penelitian ini
menggunakan persepektif kepentingan nasional dalam memahami perjanjian
ekstradisi.
Terakhir, penelitian dari Raisa Natasha dengan judul skripsi “Ekstradisi
sebagai Salah Satu Upaya Penanggulan Masalah Perdagangan Manusia” (Human
Trafficking) Menurut Hukum Internasional13
Raisa menjelaskan mengenai praktik
penerapan ekstradisi yang dilakukan antara Indonesia dan Australia khususnya
penanganan masalah perdagangan manusia. Raisa menyimpulkan bahwa
pentingnya peran pengadilan negeri Indonesia dalam menentukan penetapan
ekstradisi bagi setiap individu. Kemudian, peran patroli lalu lintas laut sangat
12
Jonas Obonye, International Journal on Human Rights, “Extradition and The Death Penalty:
Reflections on The Stand-off Between Botswana and South Africa”, Volume 10 No 18, jurnal
online (2013), diakses pada 15 Januari 2018 dari
https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2401222 13
Raisa Natasha, Skripsi, “Ekstradisi Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulan Masalah
Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Menurut Hukum Internasional”, Universitas
Hasanuddin Makassar, (2014).
12
krusial dalam menekan tingkan kejahatan human trafficking bagi kedua negara.
Perbedaan penelitian ini dengan skripsi tersebut adalah mengenai penekanan
masalah. Penelitian ini menekankan pentingnya ekstradisi bagi Indonesia dan
Vietnam untuk seluruh masalah kejahatan transnasional, tidak hanya membahas
isu human trafficking seperti yang ditulis oleh penulis tersebut.
E. Kerangka Pemikiran
Untuk menjelaskan mengapa Indonesia melakukan perjanjian ekstradisi
dengan Vietnam, maka skripsi ini akan menggunakan beberapa teori yaitu
kepentingan nasional, dan kebijakan luar negeri. Kedua teori tersebut merupakan
acuan untuk menganalisa mengapa Indonesia melakukan perjanjian ekstradisi
dengan Vietnam tahun 2015.
E.1. Kepentingan Nasional
Dalam menentukan arah kebijakan dan menetapkan keputusan, suata
negara akan terlebih dahulu merumuskan kepentingan nasionalnya. Untuk
memahami lebih dalam mengenai apa itu kepentingan nasional.
Menurut Kenneth Waltz, neorealisme adalah sebuah perspektif dalam
hubungan internasional. Menurut Waltz melalui bukunya yang berjudul “Theory
of International Politics”14
bahwa terdapat dua sistem dalam struktur politik, yaitu
hirarki dan anarki. Sistem hirarki bersifat tersentralisasi, dan memiliki institusi
pemerintah, sedangkan sistem anarki tidak tersentralisasi dan secara kontras tidak
14
Kenneth Waltz, “Theory of International Politics”, (Reading: Addison-Wesley, 1979).
13
memiliki institusi pemerintah. Anarki, secara sederhana dapat dimaknai sebagai
ketiadaan otoritas tunggal dengan posisi di atas masing-masing aktor, sehingga
pola interaksi antar aktor menjadi tidak teratur.
Dunia berada dalam hubungan yang sistemik, di mana perilaku dan
kebijakan suatu negara dipengaruhi oleh suatu sistem internasional yang terjadi
saat itu, baik secara langsung atau tidak langsung.15
Munculnya teori neorealisme
ini bisa dikatakan suatu pengembangan teori dan kritik atas perspektif dari teori
realisme. Neoreaslime berfokus pada struktur internasional yang mempengaruhi
perilaku aktor negara.
Sistem internasional yang bersifat anarki. Sistem anarki memaparkan
keadaan yang kompetitif, di mana setiap negara harus bisa survive. Pertentangan
antar negara terjadi karena tidak adanya pemerintahan otoritas tertingi yang dapat
meciptakan aturan atau hukum yang bisa menjamin keamaan perilaku negara.16
Lalu sistem internasional menjadi faktor penting dalam menentukan aktor. Tujuan
satu negara ialah terciptanya international security (keamanan internasional).
Sementara dalam pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara lebih
disebabkan oleh karena adanya sistem internasional yang anarki.
Neoralisme juga menjelaskan bahwa kepentingan itu merupakan strategi
yang dilakukan oleh pihak subjek yang didasari oleh kalkulasi tentang posisi
mereka di dalam sistem. Implikasi dari keadaan struktur anarki adalah setiap aktor
dalam sistem internasional tentu saja bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
15
George Sorensen and Robert Jackson, “Introduction to International Relations”, (New York:
Oxford University Press Inc, 1999). 16
Kenneth Waltz, “The Origins of War in International Theory, Journal of Interdiscplinary
History”, (1988), h. 88.
14
Negara tidak dapat mempercayai negara lain dan timbul pemikiran “self help”
dalam mencapai kepentingan nasionalnya maupun menigkatkan keamanan
negara.17
Relevansi dari self help mengartikan bahwa setiap negara harus
menolong dirinya sendiri, agar tidak menjadi korban dari negara lain. Waltz
berpendapat bahwa kondisi anarki di dalam sistem internasional memaksa negara
untuk melakukan apa yang dibutuhkan untuk menjamin survivalitas negaranya,
walaupun dengan konsekuensi adanya peningkatan kemungkinan konflik
antarnegara.
Neorealisme berpendapat bahwa dalam struktur yang anarkis dan
dihadapkan dengan kebutuhan untuk dapat mempertahankan suvivalitas negara,
maka harus ada lebih dari satu aktor negara super power dalam politik
internasional.18
Setiap negara memiliki kepentingan nasional masing-masing.
Namun demikian, tidak semua kepentingan nasional dapat dipenuhi, tidak semua
bersifat saling menguntungkan, dan beberapa harus mengambil resiko penuh
dengan pengorbanan. Kepentingan nasional merupakan tanggung jawab
pemerintah dalam sebuah negara yang harus mengetahui dengan pasti dan
bagaimana pencapaian tersebut akan dilakukan.19
Kepentingan nasional yang dicapai pada umumnya bertujuan untuk
meningkatkan power negara dalam aspek-aspek yang berbeda, dan terkadang
harus dicapai dengan melakukan penekanan tertentu terhadap negara lain. Tidak
17
John Baylis, James Wirtz, Elliot Cohen and Colin S. Gray, “Strategy in The Contemporary
World: An Introduction to Strategic Studies”, (New York: Oxford University Press, 2002), h. 7. 18
Mersheimer, “Structural Realism, International Relations Theories: Discipline and Diversity”,
Third Edition, (Oxford: Oxford University Press, 2013), h. 85. 19
W. David Clinton, “The National Interest: Normative Foundation”, The Review Politics,
Volume 48, No. 4. (Autumn, 1986), h. 500.
15
hanya tekanan yang didapat, pemenuhan kepentingan nasional juga dapat
dilakukan melalui ancaman terhadap satu negara ke negara yang lain.
Dalam politik internasional suatu negara akan mendapatkan respon dari
negara lain, bisa berbentuk positif ataupun negatif. Cara diplomasi seperti
negosiasi kerap dilakukan dalam arena politik internasional, sebagai sebuah
bentuk reaksi atas tindakan suatu negara internasional, dan sebagai sebuah bentuk
reaksi atas tindakan suatu negara dalam memenuhi kepentingan nasionalnya.20
Tujuannya adalah membentuk keseimbangan kekuatan (balance of power).
Keseimbangan kekuatan dalam perspektif neorealisme adalah kondisi ketika
terdapat lebih dari satu aktor super power yang menjadi penentu dalam dinamika
sistem internasional.21
E.2. Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri merupakan unsur yang tak terlepaskan dari negara.
Untuk mewujudkan kepentingan suatu negara maka sebuah negara perlu meramu
kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri ini pun yang diterapkan harus
memenuhi semua kepentingan nasional maupun kepentingan internasional.
Menurut James N. Rosenau, pengertian kebijakan luar negeri yaitu upaya
suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan
memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya.22
Kebijakan luar negeri
20
Ibid. 21
Kenneth Waltz, “Theory of International Politics”, (Reading: Addison-Wesley, 1979), h. 121. 22
James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson, “World Politics: An Introduction”,
(New York: The Free Press, 1976), h. 27.
16
menurutnya ditujukan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan
hidup suatu negara.23
Tujuan dari kebijakan luar negeri menurut Rosenau, sebenarnya
merupakan fungsi dari proses di mana tujuan negara dibuat. Tujuan tersebut
dipengaruhi oleh tinjauan yang dilihat masa lalu dan prospek untuk masa yang
akan datang. Tujuan kebijakan luar negeri melihat atas dasar tujuan jangka
panjang, menengah, dan jangka pendek. Pada dasarnya tujuan jangka panjang
kebijakan luar negeri adalah untuk mencapai perdamaian, kemanan, dan
kekuasaan.24
Dalam politik luar negeri sebagai suatu sistem, gambaran dari lingkungan
eksternal maupun internal sebagai input yang mempengaruhi politik luar negeri
suatu negara dipersepsikan oleh para pembuat keputusan dalam suatu proses
konversi menjadi output. Proses konversi yang terjadi dalam perumusan politik
luar negeri suatu negara ini mengacu pada pemaknaan situasi, baik yang
berlangsung dalam lingkungan ekstranal maupun internal dengan
mempertimbangkan tujuan yang ingin dicapai serta sarana kapabilitas yang
dimilikinya.25
Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang
dibuat oleh para pembuat kebijakan negara dalam menghadapi negara lain atau
23
Ibid. h. 32. 24
James N. Rosenau, “International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research and
Theory”, (New York: The Free Press, 1969), h. 167. 25
James N. Rosenau, “The Scientific Study of Foreign Policy”, (New York: The Free Pas, 1980),
h. 171-173.
17
unit politik internasional lainnya, dan dikelola untuk mencapai tujuan nasional
spesifik yang dituangkan dalam kepentingan nasional.26
Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara
memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional tersebut. Meskipun
kepentingan nasional suatu bangsa ditentukan oleh siapa saja yang menguasai
suatu kekuasaan. Untuk memenuhi kepentingan nasional banyak aktor kebijakan
luar negeri, seperti negara-negara maupun non state actor melakukan berbagai
macam kerjasama diantaranya adalah kerjasama bilateral, multilateral, dan
regional.27
Menurut K.J. Holsti, kebijakan luar negeri adalah tindakan atau gagasan
yang dirancang untuk memecahkan masalah atau meramu perubahan dalam suatu
lingkungan.28
Sementara Holsti, berpendapat bahwa ruang lingkup kebijakan luar
negeri meliputi semua tindakan serta aktivitas negara terhadap lingkungan
eksternalnya dalam upaya memperoleh keuntungan dari lingkungan tersebut, serta
hirau akan berbagai kondisi internal yang menopang formulasi tindakan
tersebut.29
Adapun perpsepektif kebijakan luar negeri menurut Holsti, dapat dibagi
menjadi empat komponen dari yang umum hingga kearah yang lebih spesifik
yaitu orientasi kebijakan luar negeri, peran nasional, tujuan, dan tindakan.30
26
Jack C. Plano dan Roy Olton, “The International Relations”, (California: ABC-Cilo, 1982), h. 5. 27
Mochtar Mas’oed, “Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metedologi”, (Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 1994), h. 184. 28
K.J. Holsti, “International Politics: A Frame Work for Analysis”, (New Jersey: Prentice-Hall,
1983), h. 107. 29
K.J. Holsti, “Politik International: Suatu Kerangka Analisis”, (Bandung: Bina Cipta, 1992), h.
21. 30
Ibid.
18
Holsti, menyatakan bahwa ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan
luar negeri, yaitu; faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor Internal:
a. Kepentingan ekonomi, sosial, dan keamanan. Tiga kepentingan ini
merupakan indikator bagi negara untuk mengeluarkan suatu kebijakan
luar negeri.
b. Atribut negera, merupakan ciri suatu simbol atribut negara.
Diantaranya meliputi, luas negara, sistem ekonomi dan juga populasi
dari suatu negara
c. Letak geografis, kondisi geografis suatu negara memiliki pengaruh
yang sangat penting dari perumusan kebijakan luar negeri, hal ini
berpengaruh kepada kondisi keamanan juga peluang kerjasama.
d. Struktur pemeritah, opini publik dan birokrasi. Tiga aspek tersebut
memberikan poin bagi negara untuk menentuka kebijakan luar
negerinya.
Faktor Eksternal:
a. Struktur ekonomi internasional, merupakan faktor yang berperan
dalam perumusan kebijakan luar negeri, hal ini dapat menajdi
perhatian ketika kebijkaan luar negeri memiliki tujuan untuk bidang
ekonomi suatu negara.
19
b. Kebijakan dari aktor lain, pembuat kebijakan dapat menjadikan
tindakan aktor lain sebagai peluang atau juga sebagai dasar utama
suatu kebijakan luar negeri dapat diputuskan oleh negara.
c. Hukum internasional dan opini publik, dalam memutuskan kebijakan
luar negeri negara harus memperhatikan hukum internasional yang
sedang berlangsung dan juga opini publik terhadap kebijakan luar
negeri yang akan diputuskan.
d. Masalah global dan regional, hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi
negara untuk menentukan arah kebijakan luar negeri dengan
memperhatikan kondisi global dan kondisi regional yang menjadi
landasan kebijakan legeri suatu negara.
Faktor yang melatarbelakangi Indonesia dalam mengambil keputusan
kerjasama ekstradisi dengan Vietnam yaitu dengan melakukan tindakan yang
dikaji terlebih dahulu dalam suatu bentuk kebijakan luar negeri. Dalam skripsi ini
penulis hanya memakai beberapa faktor saja, yaitu adanya faktor hukum dan
keamanan.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara atau langkah yang diterapkan guna
melakukan kajian terhadap masalah yang bertujuan untuk mencari cara
pemecahan berdasarkan data yang dihimpun. Penelitian ini akan menggunakan
metode penelitian kualitatif yang didefinisikian oleh John W. Creswell sebagai
20
suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu
gejala sentral.31
Jenis penelitian yang bersifat deskriptif analisis agar dapat menjelaskan
kebijakan Indonesia melakukan perjanjian ekstradisi dengan Vietnam. Di dalam
penelitian ini akan melewati dua proses penelitian, yakni menjelaskan mengenai
kasus yang akan dibahas dalam penelitian dan proses tersebut kemudian
dilanjutkan dengan menganalisa penjabaran kasus berdasarkan pertanyaan
penelitian yang telah disusun. Dalam menunjang proses penelitian ini akan
digunakan penelitian studi kasus dengan membahas sebuah kasus berdasarkan
teori yang menjadi sudut pandang penulis.
Sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Untuk melengkapi
data informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini dengan menggunakan data
yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel, dan website.
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian
ini yaitu, pertama melalui studi kepustakaan (library research), yaitu mencari data
dan mengumpulkan data serta informasi berdasarkan literature atau referensi yang
berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti. Lalu data yang digunakan adalah
dengan studi kepustakaan atau literatur. Teknik ini digunakan dengan
mengumpulkan sumber-sumber kepustakaan yang berkaitan dengan topik yang
dibahas dan menghubungkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan terdahulu.
Kedua, setelah data diperoleh maka dilakukan analisis atas data tersebut.
Sumber dari data sekunder tersebut kemudia dianalisis dan dihubungkan dengan
31
Dr. J. R. Raco, “Metode Penelitian Kualitatif”, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 7.
21
teori untuk mendapatkan kebijakan Indonesia melakukan perjanjian ekstradisi
dengan Vietnam tahun 2015.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini dibagi ke
dalam lima bab. Dimana masing-masing bab akan menjelaskan masalah secara
sistematis, maka penelitian ini akan ditulis berdasarkan sistematika sebagai
berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Pada Bab I akan dipaparkan latar belakang masalah yang merupakan
signifikansi dari isu yang akan dikaji dan menampilkan sebuah rumusan masalah
yang menjadi fokus pembahasan yang dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat dari
skripsi ini. Kemudian, skripsi ini juga menjelaskan tinjauan pustaka serta
menguraikan apa dari teori dan konsep yang digunakan untuk menjawab
pertanyaan penelitian.
Pada bab ini berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang
mengenai perjanjian ekstradisi dan penjelasan mengapa kedua negara
menginginkan perjanjian tersebut. Bab ini juga memberikan perjelasan mengenai
konsep yang akan digunakan untuk menganalisa penelitian serta sistematika
penulisan yang digunakan penulis dalam membantu menjelaskan skripsi ini.
22
BAB II: SEJARAH DAN DINAMIKA HUBUNGAN BILATERAL
INDONESIA DENGAN VIETNAM
Pada Bab II akan dijelaskan sejarah dan dinamika hubungan bilateral
Indonesia dengan Vietnam berkenaan dengan perjanjian ekstradisi. Dari mulai
sejarah terjalinnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Vietnam. Lalu
adanya dinamika yang terjadi, dari rangkaian pertemuan, perundingan, dan
berbagai aktivitas diplomatik Indonesia yang berkenaan dengan kesepakatan
ekstradisi dengan Vietnam. Bab ini juga memberikan gambaran secara umum
bagaimana sejarah dan dinamika hubungan Indonesia dengan Vietnam.
BAB III: PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DENGAN VIETNAM
Pada Bab III akan dijelaskan mengenai perjanjian ekstradisi Indonesia
dengan Vietnam. Untuk menjelaskan lebih dalam apa yang akan diuraikan dan
dibahas mengenai gamabaran umum dan khusus apa itu ekstradisi dan hubungan
internasional. Hubungan internasional pada intinya merupakan seperangkat aturan
yang mengandung berbagai nilai dan norma universal. Dan yang terakhir inti dari
permasalahan ini yaitu ektradisi antara Indonesia dengan Vietnam.
BAB IV: ANALISA KEBIJAKAN INDONESIA MELAKUKAN
PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DENGAN VIETNAM TAHUN
2015
Pada Bab IV ini akan dipaparkan kebijakan Indonesia melakukan
perjanjian ekstradisi dengan Vietnam. Perjanjian ekstradisi merupakan dasar dari
23
permintaan dan penyerahan seorang tersangka kejahatan transnasional oleh negara
yang mengajukan permohonan ekstradisi. Kebijakan ekstradisi tersebut akan
dianalisa menggunakan konsep kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri.
BAB V: PENUTUP
Pada Bab penutup ini akan dijelaskan kesimpulan penelitian yang
merupakan hasil dari aktifitas penelitian, berdasarkan analisa yang telah dilakukan
pada bagian-bagian sebelumnya.
24
BAB II
SEJARAH DAN DINAMIKA HUBUNGAN BILATERAL
INDONESIA DENGAN VIETNAM
Bab ini akan menjelaskan mengenai gambaran secara umum hubungan
bilateral antara Indonesia dengan Vietnam. Bab ini terdiri dari dua bagian. Bagian
pertama menjelaskan awal mula sejarah terjadinya hubungan diplomatik
Indonesia dengan Vietnam. Bagian kedua menjelaskan mengenai dinamika yang
terjadi antara Indonesia dengan Vietnam. Di mana adanya fenomena pasang surut
hubungan kedua negara, dan sampai terjalinnya proses kerjasama perjanjian
ektradisi antara Indonesia dengan Vietnam.
A. Sejarah Hubungan Diplomatik Indonesia Dengan Vietnam
Dalam dunia hubungan internasional diketahui apa yang dinamakan
kerjasama internasional. Kerjasama internasional merupakan suatu elemen
penting dalam pelaksanaan kebijakan dan politik luar negeri dalam hubungan
internasional. Melalui kerja sama internasional, negara-negara dapat berinteraksi
untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya. Kerjasama internasional terbentuk
karena adanya berbagai macam kepentingan nasional dari masing-masing negara
yang tidak dapat dipenuhi dari dalam negerinya sendiri. Kerjasama antara kedua
25
negara ini meliputi berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya,
kesehatan, ilmu pengetahuan (iptek), pertahanan dan keamanan.32
Asia Tenggara merupakan kawasan yang luar biasa dengan mempunyai
beberapa negara yang beragam, baik dari segi populasi, kekayaan alam,
geopolitik, dan tantangan keamanan yang dihadapi masing-masing negara. Namun
demikian, terdapat beberapa kesamaan diantara negara ASEAN. Aspek kesamaan
tersebut termasuk adanya kesamaan dalam letak geografis, kebudayaan, dan
bentuk persaudaraan.
Vietnam merupakan sebuah negara di kawasan Asia Tenggara dengan ibu
kota Hanoi. Vietnam menempati bagian timur dan selatan semenanjung Indochina
di Asia Tenggara, dengan Laut Tiongkok Selatan di sepanjang pesisirnya. Dengan
bagian wilayah Tiongkok di utara dan Laos dan Kamboja di barat. Panjang dan
sempit pada poros utara-selatan, Vietnam sekitar dua kali ukuran Arizona. Delta
Sungai Mekong terletak di selatan.33
Secara geografis Vietnam berbatasan
langsung dengan tiga negara tetangga di Asia Tenggara. Dalam urutan panjang
perbatasan bersama, ini adalah dengan Laos (2.161 km), Tiongkok (1.297 km),
dan Kamboja (1.158 km).34
Sebagai negara Asia Tenggara, Indonesia dan Vietnam memiliki banyak
kesamaan baik dalam sisi sejarah, budaya, dan kedua negara sama-sama
32
The Embassy of Socialist Republic of Vietnam in The Republic of Indonesia, “60th anniversary
of Vietnam-Indonesia established diplomatic relations: Strategic Partnership will help to elevate
the ASEAN Community”, website online (2015), diakses pada 3 Februari 2019 dari
https://vnembassy-jakarta.mofa.gov.vn/en-us/News/EmbassyNews/Pages/K%E1%BB%B7-
ni%E1%BB%87m-60-n%C4%83m-ng%C3%A0y-Vi%E1%BB%87t-Nam-%E2%80%93-
Indonesia-thi%E1%BA%BFt-l%E1%BA%ADp-quan-h%E1%BB%87-ngo%E1%BA%A1i-
giao.aspx 33
The Vietnam, “all about Vietnam”, website online, diakses pada 3 Februari 2019 dari
https://www.infoplease.com/world/countries/vietnam 34
Ibid.
26
memperoleh kemerdekaan melalui revolusi perjuangan. Sejak dibukannya
hubungan diplomatik, kedua negara telah menjalin kerjasama di berbagai bidang.
Ini menunjukkan bahwa masa depan hubungan Indonesia dan Vietnam
dipengaruhi oleh sejarah panjang yang telah dibangun sejak zaman Presiden
Soekarno dan Presiden Ho Chi Minh.
Indonesia sudah memiliki hubungan informal dengan Vietnam sejak tahun
1940-an.35
Hubungan diplomatik antara Jakarta dengan Hanoi dideklarasikan
setelah Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955.36
Setelah itu barulah
kedua negara melakukan deklarasi hubungan diplomatik yang ditandai dengan
dibukanya Konsulat Republik Indonesia di Hanoi pada tanggal 30 Desember
1955, lalu tiga bulan setelah dibukanya konsulat di Saigon. Hubungan ini
kemudian ditingkatkan lagi pada tanggal 10 Agustus 1964 dengan dibukanya
Kedutaan Besar Republik Indonesia.37
Pemimpin kedua negara disetiap kesempatan mengakui bahwa hubungan
bilateral antara Indonesia dan Vietnam dalam kondisi yang kuat dan sangat baik,
Meskipun demikian, pemimpin kedua negara memandang hubungan bilateral
Indonesia dan Vietnam perlu lebih ditingkatkan jika kedua negara ingin
dipandang sebgai negara yang proaktif dan aktif dalam mengkampanyekan
perdamaian dan keamanan regional.
Kedua negara dapat dikatakan merupakan negara yang berjuang melawan
kolonialisme untuk memperoleh kemerdekaannya. Mengingat para pemimpin
35
Leo Suryadinata, Indonesia-Vietnam Relations Under Soeharto, (Contemporary Southeast Asia
Volume. 12, No. 4, 1991), h. 331. 36
Ibid. 37
Franklin B. Weinstein, Indonesia Foreign Policy and the Dilemma of Depedence: From Sukarno
to Suharto, (Ithaca: Cornell University Press, 1976), h. 131.
27
kedua negara telah menekankan bahwa kedua negara ini telah memiliki
pengalaman sejarah yang sama dalam memperoleh kemerdekaan. Bahkan para
pemimpin, berpendapat bahwa pengalaman yang sama ini telah membentuk dasar
hubungan kedua negara. Indonesia maupun Vietnam juga menyadari bahwa kedua
negara perlu berkontribusi secara aktif dalam menjaga perdamaian, stabilitas, dan
keamanan, adanya rasa saling percaya, dan kerjasama pembangunan berkelanjutan
masing-masing negara, di ASEAN, maupun di kawasan regional.
Hubungan Indonesia dengan Vietnam sudah terjalin selama bertahun-
tahun dari perjanjian kemitraan komprehensif yang ditandatangani pada tahun
2003, hingga kemitraan strategis pada tahun 2013.38
Namun pada tahun 2013,
Indonesia memprakarsai kemitraan strategis dengan Vietnam, dan anggota
asosiasi negara-negara Asia Tenggara.39
Vietnam merupakan satu-satunya mitra strategis Indonesia di Asia
Tenggara. Duta besar luar biasa dan berkuasa penuh Indonesia untuk Vietnam,
Mayerfas mengatakan, “Bahwa tidak semua negara kita mempunya “strategic
partnership”. Ada level hubungan yang harus kita capai sehingga kita sepakat
untuk mempunya kemitraan strategis.
Ada 14 negara di dunia dan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya
mempunya kemitraan strategis dengan Vietnam. Itu merupakan hal yang perlu
kita catat. Pemimpin Indonesia akan selalu menganggap Vietnam sebagai mitra
38
The Diplomat, “Indonesia-Vietnam Strategic Partnership: The Maritime Domain”, website
online (2018), diakses pada 5 Februari 2019 dari https://thediplomat.com/2018/04/indonesia-
vietnam-strategic-partnership-the-maritime-domain/ 39
Veeramalla Anjaiah, Eurosia Review, “Growing Strategic Ties Between Vietnam-Indonesia”,
website online (2017), diakses pada tanggal 5 Februari January 2019 dari
https://www.eurasiareview.com/21082017-growing-strategic-ties-between-vietnam-indonesia-
analysis/
28
strategis karena hubungan ini sejak masa pemimpin Presiden Soekarno dan
Presiden Ho Chi Minh sampai sekarang tidak pernah berubah dan bahkan lebih
baik dan berkembang”.40
Kenapa hanya Vietnam? Indonesia Menganggap Vietnam sebagai negara
penting yang berpotensi memiliki kepentingan strategis besar di Asia Tenggara.
Hubungan Indonesia dengan Vietnam juga terus mengalami perkembangan dari
tahun ke tahun. Lalu melihat pertumbuhan ekonomi Vietnam yang begitu
impresif. Ini menggambarkan bahwa Vietnam sangat berpotensi sebagai pemain
penting di kawasan Asia Tenggara. Vietnam merupakan satu-satunya negara di
Asia Tenggara yang telah berperang melawan semua kekuatan global utama
seperti Prancis, Amerika Serika, dan Tiongkok. Bahkan Vietnam telah beberapa
kali berperang dalam kurun waktu lebih dari 1000 tahun bersaing dengan
tiongkok dan mengalahkannya.41
Hal inilah yang mendorong keinginan Indonesia melakukan hubungan
kerjasama yang komprehensif dengan Vietnam. Karena saat ini Vietnam
merupakan salah satu negara yang sedang berkembang pesat pembangunannya.
Ini yang menjadikan salah satu faktor Indonesia ingin menjadi mitra strategis
Vietnam di kawasan Asia Tenggara. Indonesia biasanya cenderung memilih
kemitraan strategis dengan negara-negara yang mempunyai hegemoni seperti
Amerika Serikat, Tiongkok, dan kekuatan regional seperti India.
40
Voice of Vietnam - VOV International, “Masa 60 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia
Vietnam”, website online (2015), diakses pada 7 Februari 2019 dari http://vovworld.vn/id-
ID/rumah-asean/masa-60-tahun-hubungan-diplomatik-vietnam-indonesia-397825.vov 41
Veeramalla Anjaiah, Eurosia Review, “Growing Strategic Ties Between Vietnam-Indonesia”,
website online (2017), diakses pada tanggal 7 Februari 2019 dari
https://www.eurasiareview.com/21082017-growing-strategic-ties-between-vietnam-indonesia-
analysis/
29
Melihat adanya kesepahaman antara Indonesia dan Vietnam pada
kerjasama ekstradisi ini, bisa dikatakan sebagai kebutuhan yang mendasar bagi
kedua negara. Dengan demikian, kemitraan yang strategis ini antara Indonesia
dengan Vietnam tidak hanyak akan membantu kedua negara untuk lebih terlibat
dalam permasalahan di kawasan. Akan tetapi juga akan memicu kedua negara
untuk menjalin hubungan diplomatik yang lebih bermakna dan matang. Karena
melihat di masa yang akan datang, kedua negara akan mendapatkan tantangan
berat. Baik itu dari dalam negeri maupun di kawasan.
B. Dinamika Hubungan Bilateral Indonesia Dengan Vietnam
Setiap periode masa pemerintahan pasti memliki pasang surutnya
hubungan dari periode ke periode. Sebagaimana pada umumnya kerja sama
bilateral antara Indonesia dengan Vietnam ini juga mengalami banyak dinamika
yang terjadi. Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya tetap
mengedepankan landasan pada politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Sebelum adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Vietnam, kedua
negara sudah melakukan hubungan dalam berbagai bidang. Sejak Vietnam dan
Indonesia menjalin hubungan diplomatik pada tahun 1955, persahabatan
tradisional bilateral dan berbagai macam kerjasama telah dibina dan
dikembangkan dari generasi ke generasi pemimpin dan rakyat kedua negara.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, kedua pemimpin negara
terlihat dekat secara politik, kedekatan ini terlihat saat Presiden Soekarno dan
Presiden Ho Chi Minh berada dipihak yang sama menentang adanya
30
kolonialisme. Pada saat itu Indonesia dan Vietnam sama-sama baru mendapatkan
kemerdekaan. Hal menarik lainnya ialah Indonesia dan Vietnam mendapat
kemerdekaan di tahun yang sama yaitu pada tahun 1945. Adanya kesamaan nasib
itulah yang membuat Indonesia dengan Vietnam disebut sebagai negara sahabat
dalam hal memperjuangkan kemerdekaan.
Pada bulan Februari tahun 1959, Presiden Vietnam Ho Chi Minh
mengunjungi Indonesia, kemudian dibalas oleh kunjungan Presiden Soekarno ke
Vietnam pada bulan Juni di tahun yang sama.42
Kedekatan kedua pemimpin
negara ini terlihat ketika Presiden Ho Chi Minh untuk pertama kalinya berkunjung
ke Indonesia, kedatangannya mendapat penyambutan besar-besaran dan begitu
antusiasnya masyarakat Jakarta yang luar biasa besar. Begitu turun dari pesawat,
President Ho langsung disambut oleh Presiden Soekarno.43
Hal ini menunjukkan
bahwa masa depan hubungan Indonesia dengan Vietnam dipengaruhi oleh sejarah
panjang yang telah terbangun di era Presiden Soekarno dan Presiden Ho Chi Minh
sejak tahun 1950-an.
Setelah itu, Indonesia memutuskan untuk mengakui tentara pembebasan
nasional Vietnam selatan dan mengizinkan pendirian kantor perwakilannya di
Jakarta. Hubungan Indonesia dengan negara-negara komunis, termasuk Vietnam
utara menjadi lebih dekat. Bersama dengan Tiongkok, mereka membentuk apa
42
Vietnam Embassy in Jakarta, “Vietnam – Indonesia Relations”, website online, diakses pada 19
Januari 2019 dari
http://www.vietnamembassyindonesia.org/en/nr070521165956/news_object_view?newsPath=/vne
mb.vn/cn_vakv/ca_tbd/nr040819102944/ns071211135543 43
Rudi Hartono, “Persahabatan Bung Karno dan Ho Chi Minh”, website online (2016), diakses
pada 7 Februari 2019 dari http://www.berdikarionline.com/persahabatan-sukarno-dan-ho-chi-
minh/
31
yang dikenal sebagai poros Jakarta-Hanoi-Phnom Penh-Beijing-Pyongyang.44
Poros ini bisa disebut poros “bulan madu” karena kedekatan tersebut tidak hanya
antara Indonesia dan Tiongkok, tetapi juga antara Indonesia dan Vietnam Utara.
Indonesia dan Vietnam dalam dinamika hubungan kedua negara, pernah
mengalami pasang surutnya hubungan, ketika bergejolaknya peristiwa gerakan
G30S/PKI yang terjadi pada tahun 1965 di Indonesia. Yaitu, adanya upaya kudeta
oleh PKI. Sebagaimana diketahui, Vietnam juga menganut ideologi komunisme.
Oleh sebab itulah yang menjadikan merenggangnya hubungan kedua negara
berdampak secara langsung. Vietnam menarik Duta Besarnya di Jakarta yang
kemudian langkah itu pun diikuti oleh Indonesia dengan menarik Duta Besarnya
di Hanoi pada tahun 1973.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, berakhirnya periode bulan
madu ini. Banyak dari kebijakan luar negeri Indonesia yang disesuakain. Namun
demikian, hubungan diplomatik Jakarta dengan Hanoi tetap dipertahankan selama
era Presiden Soeharto. Sementara hubungan Jakarta dengan Saigon tidak pernah
dilanjutkan. Ini menciptakan kesan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto masih dekat dengan Hanoi. Padahal kesan ini tidak sepenuhnya
benar. Bahkan, ada perubahan bertahap dan secara perlahan dalam arah kebijakan
Indonesia dengan Hanoi.
Perlu diketahui bahwa setelah kudeta yang dilakukan PKI tahun 1995,
Partai Komunis Indonesia dibubarkan dan ideologi Marxisme-Leninisme dilarang
di Indonesia. Lalu Vietnam mengkritik otoritas baru Indonesia ini, dan secara
44
Peter Christian Hauswedell, “The Anti-Imperialist International United Front in Chinese and
Indonesia Foreign Policy 1963-1965: A Study of Anti-Status Quo Politics”, (New York: Cornell
University, 1976), h. 242.
32
terbuka memihak ke PKI.45
Setelah kejadian itu, hubungan Indonesia dengan
Vietnam sempat mengalami ketidakjelasan. Kelihatannya, hubungan Indonesia
dengan Vietnam akan tetap dipertahankan karena ada faktor utama, yaitu:
Vietnam Utara, tidak memainkan peran penting dalam kudeta PKI di Indonesia
tahun 1965. Meskipun pada saat itu merupakan Vietnam Utara merupakan sekutu
dari Tiongkok.
Namun, selama periode Orde Baru, persepsi orang Indonesia terhadap
Vietnam Utara terpecah. Kaum nasionalis seperti Adam Malik dan Ruslan
Abdulgani memang masih bersimpati kepada Vietnam Utara, mereka
menganggap Vietnam Utara lebih sebagai nasionalis daripada negara komunis
yang telah berjuang melawan dominasi asing, pertama melawan kekaisaran
Tiongkok, dan kemudian melawan Prancis dan Amerika Serikat.46
Namun, tidak
pada beberapa pemimpin militer misalnya, Ali Murtopo yang curiga dan lebih
berhati-hati ketika berhadapan dengan negara-negara komunis termasuk Vietnam
Utara.
Hubungan antara Jakarta dengan Hanoi masih tetap belum mencair tetapi
kontak resmi masih tetap terjaga. Pada Juni 1989, kedua belah pihak secara resmi
meluncurkan rute penerbangan Indonesia-Vietnam47
. Banyak perusahaan
Indonesia datang ke Vietnam untuk mencari peluang untuk investasi. Hubungan
45
Hardi, Api Nasionalisme: Cuplikan Pengalaman, The Fire of Nationalism: Notes of My
Experience, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), h. 205. 46
Lie Tek Tjeng, “Vietnamese Nationalism: An Indonesian Perspective”, National Resilience, No.
1 (March 1982), h. 72-75. 47
Nhan Dan Online, “Strengthening Vietnam-Indonesia Strategic Partnership”, website online
(2018), diakses pada tanggal 11 Februari 2019 dari
http://en.nhandan.org.vn/politics/editorial/item/6593902-strengthening-vietnam-%E2%80%93-
indonesia-strategic-partnership.html
33
bilateral Indonesia dengan Vietnam memasuki tahap baru dengan kunjungan
bersejarah Presiden Soeharto pada November tahun 1990.
Hubungan Indonesia dengan Vietnam di bawah kepemimpinan Presiden
Soeharto, fungsi dari kebijakan pemerintah terhadap Beijing dan ASEAN adalah,
sebagai pintu penyangga terhadap Tiongkok. Namun demikian, di era Presiden
Soeharto, Indonesia sepertinya agak frustasi dengan sikap dinginnya Vietnam.
Karena cukup banyak perselisihan masalah perbatasan, dan nampaknya Vietnam
belum mau untuk melakukan negosiasi. President Soeharto, tetap melihat Vietnam
sebagai pemeran penting di kawasan ASEAN. Tidak mengherankan, karena pada
saat itu stabilitas ekonomi dan politik Vietnam sedang berkembang kearah yang
positif.
Pada masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie dan Presiden
Abdurrahman Wahid, hubungan Indonesia dengan Vietnam tidak banyak
mengalami perubahan yang signifikan.
Di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekanoputri, hubungan
Indonesia dengan Vietnam mulai kembali ada peningkatan. Beberapa waktu
setelah pelantikan Presiden Megawati Soekarnoputri, tidak membutuhkan waktu
yang lama untuk kembali berkunjung ke Hanoi pada tanggal 22 Agustus 2001.48
Ini membuktikan bahwa kedekatan antara kedua negara kembali terjadi mesra,
yang sebelumnya sempat merenggang di masa pemerintahan Soeharto. Perdana
Menteri Vuong Dinh Hue dan Presiden Megawati Soekarnoputri telah sepakat
untuk terus mempererat hubungan kedua negara melalui kunjungan dan
48
VOA Indonesia, “Presiden Megawati Kunjungi Vietnam Sebelum Ke Laos”, website online
(2001), diakses pada 13 Februari 2019 dari https://www.voaindonesia.com/a/a-32-a-2001-08-22-
1-1-85317307/55347.html
34
pertemuan tingkat tinggi, dan membina kemitraan di semua lini partai, negara, dan
pemerintah.
Presiden Megawati Soekarnoputri mengingat kembali kesan baiknya
selama kunjungannya ke Vietnam pada tahun 2003 sebagai Presiden Indonesia, di
mana kedua belah pihak menandatangani pernyataan bersama tentang kerangka
kerja kemitraan yang bersahabat dan komprehensif memasuki abad ke-21 dan
kesepakatan tentang penggambaran landasan kontinen, yang menempatkan sebuah
perusahaan landasan bagi kedua belah pihak untuk meningkatkan hubungan
negara ke semua bidang.
Presiden Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa dalam posisi apa
pun, dia akan selalu mendukung kemitraan strategis antara kedua negara. Pada
Juni 2003, Indonesia dan Vietnam mengeluarkan deklarasi bersama tentang
serangkaian kerangka kerja untuk menjalin kemitraan yang komprehensif dan
menandatangani perjanjian tentang penetapan batas landas kontinen.
Wakil Perdana Menteri Hue, sangat menghargai kontribusi besar
almarhum Presiden Sukarno dan Presiden Megawati terhadap pertumbuhan
kemitraan Vietnam dengan Indonesia. Dia menekankan kebijakan Vietnam yang
terus menerus untuk menghargai persahabatan dan kemitraan strategis dengan
Indonesia dan keinginan negara itu untuk lebih mengembangkan hubungan baik
dalam aspek bilateral maupun multilateral, sehingga berkontribusi untuk
35
memperkuat perdamaian, kesatuan ASEAN dan mempromosikan peran sentralnya
di kawasan tersebut.49
Indonesia dan Vietnam kembali memutuskan untuk membawa hubungan
mereka ke tingkat yang baru dengan menandatangani Pernyataan Bersama tentang
Kerangka Kerja Sama Ramah dan Komprehensif Memasuki abad ke-21 pada
masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada tahun 2003.50
Sejak
penandatanganan perjanjian kemitraan komprehensif, selama kunjungannya
Presiden Megawati Soekarnoputri ke Vietnam tahun 2003, hubungan keseluruhan
kedua negara terutama hubungan ekonomi, telah meningkat secara signifikan.
Hubungan bilateral Indonesia dengan Vietnam mengalami perubahan ke
arah yang lebih baik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo. Kunjungan pemimpin antar kedua negara
kerap dilakukan untuk membahas hal-hal menjadi kepentingan bersama kedua
negara. Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono inilah
langkah awal terjadinya proses dan perundingan awal perjanjian ekstradisi antara
Indonesia dengan Vietnam.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memulai lawatannya secara resmi
pertamanya ke Vietnam sejak terpilih sebagai presiden dengan mengunjungi
49
Nhan Dan Online, Vietnam, “Indonesia Keen On Boosting Strategic Partnership”, website
online (2017), diakses pada tanggal 15 Februari 2019 dari
http://en.nhandan.com.vn/politics/external-relations/item/5362002-vietnam-indonesia-keen-on-
boosting-strategic-partnership.html 50
The Jakarta Post, “Vietnam, RI to Upgrade Relationship to Strategic Partnership”, website
online (2013), diakses pada tanggal 15 Februari dari
https://www.thejakartapost.com/news/2013/06/27/vietnam-ri-upgrade-their-relationship-a-
strategic-partnership.html
36
Hanoi pada tanggal 28 Mei 2005.51
Kunjungannya, yang datang atas undanganya
Presiden Tran Duc Luong, diharapkan untuk memajukan ikatan tradisional,
persahabatan dan kemitraan komprehensif antara kedua negara di abad ke-21 ini.
Dalam kunjungannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disela-sela
kunjungannya sempat mengunjungi makam Presiden Ho Chi Minh, kemudian
dijadwalkan resmi disambut oleh Presiden Tran Duc Luong. Lalu juga akan
bertemu Ketua Majelis Nasional Nguyen Van An, Perdana Menteri Phan Van
Khai dan Sekretaris Jenderal Nong Duc Manh. Nantinya, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono akan berpidato di Forum Bisnis Vietnam-Indonesia di
Melia Hotel.52
Atas undangan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden
Truong Tan Sang melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 27-28 Juni
2013.53
Indonesia dan Vietnam telah mengeluarkan pernyataan bersama selama
kunjungan resmi Presiden Truong Tan Sang ke Indonesia, kedua negara sepakat
untuk meningkatkan hubungan bilateral yang telah terjalin lama ke tingkat yang
baru.54
Selama kunjungannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden
Truong Tan Sang mengadakan pembicaraan dalam suasana yang ramah dan
bersahabat. Kedua pemimpin bertukar pandangan dan sangat menghargai
51
Viet Nam News, “Indonesian President Begins Vietnam Visit”, website online (2005), diakses
pada tanggal 15 Februari 2019 dari https://vietnamnews.vn/politics-laws/143254/indonesian-
president-begins-viet-nam-visit.html#lATScUsZQOmIlIwV.97 52
Ibid. 53
Vietnam Plus, “Vietnam-Indonesia Joint Statement Stresses Ties Increase”, website online
(2013), diakses pada tanggal 15 Februari 2019 dari https://en.vietnamplus.vn/vietnamindonesia-
joint-statement-stresses-ties-increase/46403.vnp 54
Ibid.
37
hubungan tradisional persahabatan dan kerjasama komprehensif antara Indonesia
dan Vietnam yang telah dijaga dengan baik dan dikembangkan dengan prestasi
luar biasa, untuk kesejahteraan kedua negara, terutama sejak pembentukan
hubungan diplomatik pada tahun 1955.
Kemitraan strategis ini dibangun atas perjanjian kemitraan komprehensif
yang ditandatangani pada tahun 2003, yang berjanji mempromosikan kerja sama
praktis untuk mengatasi tantangan regional dan global mengenai kedua
negara.55
Kemitraan baru ini diharapkan untuk memperkuat hubungan bilateral
disemua bidang, termasuk kerja sama kelautan dan perikanan dan keamanan air,
pangan, dan energi. Kedua belah pihak juga telah menetapkan target untuk
meningkatkan volume perdagangan bilateral menjadi USD $5 miliar pada tahun
2015 dan menjadi USD $10 miliar pada tahun 2018.56
Sehubungan dengan masalah keamanan, perjanjian tersebut akan
menciptakan lebih banyak peluang bagi kedua negara untuk secara teratur dan
secara substansial bertukar pandangan. Tentang masalah keamanan regional,
termasuk pandangan tentang sengketa teritorial di Laut Tiongkok Selatan dan
adanya kode etik regional dalam wilayah maritim.
Tetapi kemitraan strategis yang baru ini juga memiliki resonansi positif
untuk wilayah tersebut. Di Asia Tenggara, Indonesia dan Vietnam masing-masing
adalah negara daratan dan lautan terpadat di Asia Tenggara. Keduanya adalah
pemain regional yang penting, dan kemitraan baru hanya akan memperkuat
55
Hoang Anh Tuan, East Asia Forum, “Why The New Vietnamese-Indonesia Strategic
Partnership Will Strengthen ASEAN”, website online (2013), diakses pada tanggal 15 Februari
2019 dari https://www.eastasiaforum.org/2013/08/20/why-the-new-vietnamese-indonesian-
strategic-partnership-will-strengthen-asean/ 56
Ibid.
38
komitmen kedua negara untuk menjadi negara regional yang baik, peserta dan
pemimpin ASEAN yang efektif. Ini terutama karena kedua negara memiliki
kepentingan regional yang semakin banyak dan memberikan tantangan baru,
seperti meningkatkatnya ketergantungan ekonomi melalui perdagangan dan
investasi, dan meningkatkatnya kerja sama pertanian dan pendidikan diantara
anggota ASEAN.
Indonesia dan Vietnam juga merupakan kekuatan yang muncul dengan
kapasitas untuk mempengaruhi hubungan negara lain dengan skala global yang
lebih besar. Ini tercermin dari komitmen bersama kedua negara untuk
mengimplementasikan agenda kebijakan luar negeri yang pro aktif dalam
kerangka kerja regional seperti APEC, KTT Asia Timur, Forum Regional
ASEAN, dan ASEAN Plus, yang meningkatkan prestige internasional, ASEAN
dan peran pentingnya dalam kerangka kerja ini.57
Di bidang keamanan, kemitraan strategis Indonesia dengan Vietnam
dibangun di atas sejarah kerja kedua negara dalam kerangka kerja ASEAN untuk
meningkatkan keamanan dan kerja sama kawasan. Kedua negara mengakui bahwa
keterlibatan negara-negara ASEAN dalam keamanan regional akan menjadi lebih
penting dalam menghadapi tantangan baru. Meskipun terdapat perbedaan besar
dalam orientasi politik kedua negara, Indonesia dan Vietnam memiliki keamanan
strategis dan kepentingan politik yang sama di Asia Tenggara. Indonesia lah yang
memainkan peran besar dalam meyakinkan negara-negara ASEAN lainnya.
57
Ibid.
39
Kemitraan strategis ini juga harus sesuai dengan prinsip-prinsip
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan ASEAN, perjanjian persahabatan dan kerjasama
di Asia Tenggara, dan norma-norma hukum internasional lainnya yang diakui
secara universal. Mengingat adanya kemitraan strategis, kedua pemimpin sepakat
untuk mengintensifkan pertukaran kunjungan tingkat tinggi dan untuk lebih
meningkatkan kerja sama yang saling menguntungkan di semua bidang.
Kedua pemimpin negara menugaskan kedua kementerian luar negeri,
untuk bekerja sama dengan kementerian terkait, untuk merumuskan rencana aksi
kemitraan strategis yang menyediakan sarana untuk memastikan implementasi
yang jelas dan efektif dari kemitraan strategis ini. Kedua pemimpin juga
menekankan pentingnya bagi kedua negara untuk secara berkala meninjau
implementasi kemitraan strategis melalui mekanisme kerja sama bilateral, yaitu
komisi gabungan untuk kerjasama bilateral dan komisi gabungan untuk kerjasama
ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknis.58
Pada kerja sama pertahanan dan keamanan, kedua pemimpin mendukung
implementasi lebih lanjut dari MOU mengenai kerja sama pejabat pertahanan dan
kegiatan terkait tahun 2010, perjanjian kerjasama penanggulangan dan
pencegahan pidana tahun 2005 dan kerangka acuan tentang angkatan laut tahun
2012, khususnya dalam pengembangan kapasitas dan pertukaran personel. Kedua
pemimpin juga mendorong peningkatan kerja sama dalam industri pertahanan
nasional dan bidang keamanan non-tradisional. Setelah pertemuan bilateral
selesai.
58
Vietnam Plus, “Vietnam-Indonesia Joint Statement Stresses Ties Increase”, website online
(2013), diakses pada tanggal 17 Februari 2019 dari https://en.vietnamplus.vn/vietnamindonesia-
joint-statement-stresses-ties-increase/46403.vnp
40
Pada tahun 2013, akhirnya kedua pemimpin melakukan penandatanganan
perjanjian, yaitu perjanjian ekstradisi, perjanjian bantuan hukum timbal balik
(Mutual Legal Assistance), dan nota kesepahaman tentang kerjasama komoditas
pertanian.59
Pada tahun 2015, ini menjadi titik awal proses pengesahan perjanjian
ekstradisi. Pada tanggal 9 Februari 2015, sidang paripurna DPR yang dipimpin
Wakil Ketua DPR, mengesahkan rancangan undang-undang perjanjian ekstradisi
antara Indonesia dengan Vietnam menjadi undang-undang.60
Perjanjian ekstradisi
disahkan oleh DPR melalui seluruh fraksi partai politik di Komisi I yang telah
menerima rancangan undang-undang pengesahan perjanjian ekstradisi antara
Indonesia dengan Vietnam dalam rapat kerja di kompleks gedung DPR.61
Penerimaan Rancangan Undangan-Undangan tersebut disampaikan oleh seluruh
perwakilan fraksi dalam sesi pandangan umum yang berlangsung di dalam rapat.
Menurut Menteri Hukum dan HAM62
, biasanya perjanjian ekstradisi
dibuat antar negara yang dekat dan berbatasan dengan Indonesia. Dengan adanya
perjanjian ekstradisi ini, potensi akan datang orang lari ke Vietnam juga bisa
dicegah nantinya. Maka dengan disahkannya kedua Rancangan Undangan-
Undangan ratifikasi ini dapat meningkatkan kekuatan dan penegakan hukum di
Indonesia, terutama dalam kasus transnational crime. Sehingga tidak ada lagi
59
Ibid. 60
JPNN, “Undang-Undang Perjanjian Ekstradisi Disahkan, Buru Buronan di Vietnam dan Papua
Nugini”, website online (2015), diakses pada tanggal 17 Februari 2019 dari
https://www.jpnn.com/news/uu-perjanjian-ekstradisi-disahkan-buru-buronan-di-vietnam-dan-
papua-nugini 61
Lalu Rahadian, CNN Indonesia, “DPR Terima RUU Ekstradisi dengan Vietnam dan Papua
Nugini” website oneline (2015), diakses pada tanggal 17 Februari 2019, dari
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150202143024-12-29001/dpr-terima-ruu-ekstradisi-
dengan-vietnam-dan-papua-nugini 62
Ibid
41
pelaku kejahatan yang dapat meloloskan diri dari penyidikan, penuntutan, dan
pelaksanaan pidana dari negara tempat ia melakukan kejahatan.
42
BAB III
PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DENGAN VIETNAM
Pada bab ini akan menjelaskan mengenai perjanjian ekstradisi Indonesia
dengan Vietnam. Dan ntuk menjelaskan lebih dalam apa yang akan diuraikan dan
dibahas mengenai gamabaran umum dan khusus apa itu ekstradisi dan hukum
internasional.
A. Pernjanjian Ekstradisi
Ekstradisi berasal dari Bahasa latin yaitu: extradere, atau extradition. Kata
tersebut terdiri dari kata “ex” yang artinya keluar dan “tredere” yang artinya
memberikan atau menyerahkan. Istilah ekstradisi ini kemudian lebih dikenal dan
dipakai dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara yang
peminta tersebut.63
Dalam sejarah hubungan antar bangsa-bangsa, ekstradisi
diakui sebagai suatu mekanisme dalam mencegah dan memberantas kejahatan
lintas negara yang selanjutnya disebut sebagai kejahatan transnasional. Perjanjian
ekstradisi juga merupakan bagian dari proses hukum internasional, yang mana
juga bagian dari hukum perjanjian internasional.
Ada beberapa teori yang menyatakan tentang ekstradisi dari para ahli
hukum internasional terkemuka, yakni diantarannya;
63
NCB-Interpol Indonesia, “Ekstradisi”, website online (2008), diakses pada 1 Maret 2019 dari
http://www.interpol.go.id/id/uu-dan-hukum/ekstradisi/definisi-prosedur-dan-implementasi-
ekstradisi/262-ekstradisi
43
L. Oppenheim, menyatakan: “Extradition is the delivery of an accused or
convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have commited
or to have been convicted of, a crime by the state on whose territory the alleged
criminal happens for the time to be”.64
L. Oppenheim, menyatakan: Ekstradisi adalah penyerahan seseorang yang
dituduh atau terpidana ke negara yang wilayah yang dituduh telah melakukan
kejahatan, atau seseorang yang sudah dihukum atas kejahatannya oleh negara
tempat terpidana tersebut berlindung.
J.G. Starke, menyatakan: “The term extradition denotes the process
whereby under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to
another state at it’s request a person accused or convicted of a criminal offence
committed againts the laws of the requesting state competent to try the alleged
offender”.65
J.G. Starke, menyatakan: Istilah ekstradisi menunjukkan proses di mana di
bawah perjanjian atau atas dasar timbal balik satu negara menyerah kepada negara
lain atas permintaan seseorang yang dituduh atau dihukum karena pelanggaran
pidana yang dilakukan terhadap hukum dari negara yang meminta kompeten
untuk mengadili tersangka pelaku.
I Wayan Parthiana, menyatakan: Ekstradisi merupakan penyerahan yang
dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan
sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seorang yang dituduh
64
L. Oppenheim, “International Law: a treatise” 8 th edition Volume One, (London: Longmans,
Green and Co), h. 696. 65
J.G. Starke, “An Introduction to International Law”, 7th
edition (London: Butterwords, 1972), h.
348.
44
melakukan tindak pidana kejahatan baik itu tersangka, tertuduh, maupun
terdakwa, atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang
dilakukannya oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada secara
tersembunyi, kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau
menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut dengan tujuan untuk
mengadili atau melaksanakan hukuman.66
Dalam sejarah dan perkembangan pranata hukum ekstradisi ini,
berdasarkan literatur hukum internasional dibuktikan dengan adanya sebuah
perjanjian yang sudah tua yang isinya mengatur tentang perjanjian penyerahan
atau ekstradisi seorang pelaku kejahatan di suatu negara, yang melarikan diri ke
negara lain. Perjanjian ekstradisi ini telah diakui dan diterima oleh para sarjana
hukum internasional sebagai hukum kebiasaan internasional. Hal ini memang bisa
dipahami karena perjanjian ekstradisi ini memang sudah berumur cukup lama.67
Indonesia sebelumnya, telah mempunyai undang-undang sebagai payung
hukum untuk ekstradisi. Pada tanggal 18 Januari 1979, Pemerintah Republik
Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
tahun 1979. Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang
meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena telah
melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di
66
I Wayan Parthiana, “Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern”, (Bandung: Yrama Widya,
2009), h. 38. 67
I Wayan Parthiana, “Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi”, Bandung: Yrama Widya,
2004), h. 28.
45
dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena
berwenang untuk mengadili dan memidananya.68
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang
Ekstradisi, pada dasarnya mengatur persyaratan secara detail mengenai ekstradisi.
Pada dewasa ini, ekstradisi merupakan bagian dari sistem penegakan hukum
nasional yang melibatkan sistem hukum pidana antar negara. Masing-masing
negara memiliki kedaulatan dalam menetapkan kebijakan yurisdiksi atas hukum
pidana yang diberlakukan kepada warga negaranya.
Pada umumnya undang-undang ekstradisi ini memuat tentang prosedur
atau tata cara, persyaratan dan proses permintaan ekstradisi. Dalam undang-
undang tersebut menentukan juga apakah ekstradisi terhadap pelaku kejahatan
dapat dilakukan ke negara peminta. Hal ini, sesuai dengan Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi, menyatakan bahwa ekstradisi
dapat dilakukan atas dasar adanya hubungan baik dan jika kepentinga Negara
Republik Indonesia menghendakinya.69
Namun demikian, banyak negara yang mempunyai undang-undang
ekstradisi, yang memberikan persyaratan bahwa perjanjian ekstradisi hanyak
dapat dilakukan apabila ada perjanjian ekstradisi baik itu yang bersifat bilateral,
regional, maupun multilateral, dengan negara peminta. Dalam implementasinya,
meskipun negara sudah mempunyai perjanjian ekstradisi antar negara-negara,
tidak menjamin bahwa permintaan dari negara asal secara otomatis dapat
68
OECD, “The Organisation for Economic Co-operation and Development”, website online,
Indonesia: Extradition Law, (2007), diakses pada 11 Maret 2019 dari
http://www.oecd.org/site/adboecdanticorruptioninitiative/39360376.pdf 69
Undang-undang Republik Indoensia Nomor1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, Pasal 2 Ayat 2.
46
dikabulkan. Tetapi dengan adanya perjanjian tersebut, setidaknya sudah
mempunyai jaminan dan landasan untuk bekerja sama dan wajib melaksanakan
permintaan dari pihak yang turut melakukan perjanjian tersebut.
Meskipun sudah ada perjanjian ekstradisi, terkadang dalam proses
penyerahan terhadap pelaku kejahatan dilakukan dengan cari handing over
(disguished extradition), yaitu penyerahan tanpa melalui proses ekstradisi. Hal
tersebut disebabkan adanya proses birokarsi terlalu sulit dan memerlukan waktu
yang cukup lama.
Biasanya para pelaku kejahatan berupaya menghindar dari jeratan hukum,
salah satu upaya untuk menghindar dari jeratan hukum tersebut dengan melarikan
diri keluar batas territorial dari negara di mana pelaku kejahatan tersebut
melakukan tindak pidana. Hal ini tentu merubah status pelaku kejahatan tersebut
menjadi buronan dengan melarikan diri ke negara lain.
Berdasarkan dari definisi di atas, berikut adanya unsur-unsur mengenai
ekstradisi:70
a. Unsur subjek, adalah negara atau negara-negara yang memiliki
yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya yang berkepentingan
untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum
atas kejahatan yang telah dilakukannya.
b. Unsur objek, adalah si pelaku kejahatan itu sendiri yang diminta oleh
negara peminta kepada negara diminta supaya diserahkan, sebagai
orang yang diminta.
70
I Wayan Parthiana, “Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi”, (Bandung: Yrama Widya,
2004), h. 129.
47
c. Unsur tata cara atau prosedur yang meliputi tentang cara untuk
mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk
menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri, serta segala hal
yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan
apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta
kepada negara yang diminta.
d. Unsur tujuan, yaitu tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan
penyerahan atau diserahkan. Penyerahan itu dimintakan oleh negara
peminta kepada negara diminta oleh karena pelaku tersebut telah
melakukan kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara. Atau negara-
negara peminta di mana pelaku tersebut melarikan diri ke negara
diminta setelah dijatuhi hukum yang telah mempunyai kekuatan
mengikat yang pasti.
Selain memiliki unsur-unsur tersebut, ekstradisi memiliki beberapa azas
yang sudah diterima masyarakat internasional baik yang sudah menjadi hukum
kebiasaan internasional, ataupun yang secara umum dicantumkan dalam
perjanjian dan peraturan perundang-undangan nasional negara tentang ekstradisi,
sebagai berikut:71
a. Azas kejahatan ganda (double criminality principle). Menurut azas ini
kejahatan atau tindak pidana yang dijadikan sebagai alasan oleh negara
peminta untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, harus juga
71
I Wayan Parthiana, “Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi”, (Bandung: Yrama Widya,
2004), h. 130.
48
merupakan kejahatan atau tindak pidana menurut hukum pidana dari
negara peminta.
b. Azas kekhususan (speciality principle). Menurut azas ini pada
dasarnya menentukan bahwa orang yang diminta diekstradisikan hanya
boleh diadili dan dihukum hanya atas dasar kejahatan yang dijadikan
alasan oleh negara yang diminta untuk melakukan ekstradisi kepada
negara peminta.
c. Azas tidak mengekstradisikan warga negara (non extradition of
nationals). Azas ini didasarkan atas suatu argument bahwa antar
negara dan warga negaranya terdapat hubungan timbal balik, yakni
adanya hak warga negara untuk mendapat perlindungan dari negaranya
dan sebaliknya adalah kewajiban negara untuk melindungi warga
negaranya.
d. Azas tidak mengekstradisikan pelaku kejahatan politik (non
extradition of political criminals). Jika negara diminta berpendapat
bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta
penyerahan atas seseorang yang diminta sebagai pelaku kejahatan
politik, maka negara peminta adalah tergolong sebagai kejahatan
politik.
e. Azas daluwarsa (lapse of time principle). Menurut azas ini, permintaan
dari negara peminta harus ditolak apabila kejahatan yang dijadikan
alasan untuk meminta ekstradisi oleh negara peminta, ternyata sudah
49
kadaluarsa menurut hukum negara diminta ataupun hukum negara
peminta.
f. Azas non/ne bis in idem. Azas ini merupakan azas yang sudah umum
diterima dalam hukum pidana negara mana pun di dunia. Menurut azas
ini negara diminta harus menolak permintaan dari negara peminta,
apabila terbukti bahwa orang yang sudah diadili dan dijatuhi putusan
oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti
atas kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta
penyerahan oleh negara peminta.
Dalam praktiknya, ekstradisi memiliki mekanisme permintaan ekstradisi,
berdasarkan ketentuan undang-undang, prosedurnya terbagi atas dua ketentuan,
yaitu; Kedudukan Indonesia sebagai negara diminta (requested state) dan
kedudukan Indonesia sebagai negara peminta (requesting state).
Sebagai negara yang diminta, dalam konvensi Wina sudah diatur
mengenai perjanjian internasional (UN Convention on the Law of the Treaty)
tahun 1969, yakni; asa pacta sunt sunt servanda, Pada umumnya berdasarkan
praktik hubungan internasional maka suatu negara tidak boleh menolak pelaksaan
suatu perjanjian dengan alasan bertentangan dengan sistem hukum nasional
makan permintaan ekstradisi wajib dipenuhi sebagai suatu kewajiban mutlak bagi
negara yang diminta ekstradisi.72
72
Vienna Convention on the Law of Treaties Tahun 1969, Pasal 26, h.11.
50
Gambar III.1. Mekanisme Prosedur dan Proses Permintaan
Ekstradisi Sebagai Negara Diminta73
Dalam implementasinya, Undang-Undang Ekstradisi Nomor 1 Tahun 1979
telah mengatur dengan cukup jelas prosedur dan proses yang harus diikuti dalam
hal (Indonesia sebagai negara diminta) dan Indonesia mengajukan permintaan
ekstradisi kepada negara lain (Indonesia sebagai negara peminta). Sesuai Undang-
Undang tersebut, prosedur yang harus ditempuh apabila negara lain mengajukan
permintaan ekstradisi kepada Indonesia adalah sebagai berikut.
Permintaan ekstradisi kepada Indonesia, diatur dalam Pasal 22, 23, dan 24,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi.74
Dalam penerimaan
73
Badan Pembinaan Hukum Nasional, “Naskah Akademik RUU Tentang Ekstradisi Tahun 1979”,
website online, diakses pada 25 Maret 2019 dari
https://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang_perubahan_uu_no._1_tah
un_1979_tentang_ekstradisi.pdf
SYARAT
POLRI
KEJAKSAAN
KEMENKUMHAM KEMLU
PRESIDEN
51
permintaan ekstradisi dari negara peminta, yang harus diperhatikan adalah
prosedur pengajuan permintaan, persyaratan yang harus dipenuhi, dan apakah
sudah ada perjanjian ekstradisi dengan negara peminta. Permintaan ekstradisi
kepada Indonesia ditujukan kepada kementerian Hukum dan HAM, dan
disampaikan melalui saluran diplomatik. Negara peminta dapat juga
menyampaikan permintaan ekstradisi tersebut melalui Kementerian Luar Negeri
atau KBRI setempat.75
Setelah permohonan permintaan ekstradisi ini diterima, selanjutnya dikaji
dan ditinjau oleh Kementerian Hukum dan HAM. Proses hukum selanjutnya
adalah tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum (Polri, Kejaksaan Agung,
Pengadilan) terhadap orang yang dikenakan ekstradisi dan dilengkapi dengan
berkas permintaan ekstradisi, serta barang bukti yang disita. Semua tindakan
hukum yang dilakukan dalam proses ekstradisi harus berdasarkan ketentuan
hukum Indonesia.76
Pelaksanaan ekstradisi atau penyerahan orang yang diminta, diatur dalam
Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang
Ekstradisi.77
Dalam penerapannya, seseorang yang akan diekstradisi akan
dititipkan di rumah tahanan Polri. Pada saat akan dilakukan penyerahan maka
yang bertanggung jawab atas penahan tersebut yaitu Polri dan Kejaksaan yang
akan membawa dan mengawal orang tersebut untuk diekstradisikan ke tempat
74
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, Pasal 22, 23, dan
24. 75
Siswanto Sunarso, “Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana Internasional”, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), h. 137-138. 76
Ibid. 77
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, Pasal 40.
52
penyerahan. Lalu Kementerian Hukum dan HAM menyiapkan berita acara
penyerahan dan Kementerian Luar Negeri bertanggung jawab mengatur kehadiran
perwakilan negara peminta, sedangkan Polri mengatur petugas dari negara
peminta yang akan membawa dan mengawasi pelaksanaan penyerahan ekstradisi.
Indonesia juga memiliki cara khusus dalam merespon permintaan
ekstradisi yang memiliki sifat urgent. Permintaan untuk melakukan provisional
arrest yaitu dengan cara melakukan penangkapan yang bersifat sementara apabila
ada permintaan mendesak untuk menangkap seseorang yang diduga pelaku tindak
kejahatan yang dapat melarikan diri atau buron.78
Setelah melewati tahap-tahap tersebut, kemudian proses penentuan
dikabulkan atau ditolaknya suatu permintaan ekstradisi kepada Pemerintah
Indonesia adalah Presiden. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 36, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi.79
78
Australian Government Attorney-General’s Department, “International Crime Cooperation
Division”, (website online), diakses pada 15 Maret 2019 dari
https://www.ag.gov.au/Internationalrelations/Internationalcrimecooperationarrangements/Extraditi
on/Documents/Factsheet%20Provisional%20Arrest%20Requests.pdf 79
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, Pasal 36.
53
Gambar III.2. Mekanisme Prosedur dan Proses Permintaan Ekstradisi
Sebagai Negara Peminta80
Dalam Undang-Undang Ekstradisi Nomor 1 Tahun 1979, telah disebutkan
bahwa yang dapat mengajukan permintaan ekstradisi kepada Kementerian Hukum
dan HAM adalah Polri dan Jaksa Agung. Permintaan Ekstradisi dilakukan apabila
orang yang dicari sudah diketahui keberadaaanya secara pasti di suatu negara.81
Indonesia sebagai peminta dalam implementasinya, permasalahan
permintaan pencarian dan penangkapan pelaku kejahatan baik itu tersangka,
terdakwa, terpidana, melarikan diri ke luar negara, aparat penegak hukum Polri
dan Kejaksaan Agung akan meminta bantuan Interpol untuk melakukan pencarian
dan penangkapan.
80
NCB-Interpol Indonesia, “Prosedur dan Implementasi Ekstradisi”, website online (2008),
diakses pada 15 Maret 2019 dari http://www.interpol.go.id/id/uu-dan-hukum/ekstradisi/definisi-
prosedur-dan-implementasi-ekstradisi/263-prosedur-dan-implementasi-ekstradisi 81
Ibid.
54
Setelah ada permintaan pencarian sekaligus penangkapan dan penahanan,
selanjutnya dilakukan persiapan untuk syarat permintaan ekstradisi. Persyaratan
yang diminta oleh negara diminta untuk melakukan penangkapan disiapkan oleh
instansi yang menangani perkaranya. Jika perkaranya sedang dalam tahap
penyidikan, maka Polri yang mengajukan dan menyiapkan persyaratannya sesuai
dengan perjanjian atau yang diminta oleh negara peminta.
Selanjutnya surat permintaan tersebut diajukan kepada Kementerian
Hukum dan HAM dengan aturan Pasal 44,82
Undang-Undang Republik Indonesia
tahun 1979 Tentang Ekstradisi, apabila persyaratan tersebut sudah dinyatakan
lengkap, maka Kapolri atau Jaksa Agung mengirim surat tersebut dan dilampiri
persyaratannya kepada Kementerian Hukum dan HAM. Materi tersebut berupa
suatu penjeleasan permasalahan perkara yang dimintakan ekstradisi, dan meminta
kepada Kementerian Hukum dan HAM agar mengajukan permintaan ekstradisi
kepada negara peminta, untuk melakukan penangkapan pelaku kejahatan yang
buron tersebut.
Kemudian, kementerian Hukum dan HAM selanjutnya mempelajari dan
mengecek persyaratan serta mencari dasar hukum kerja sama tentang ekstradisi
dengan pihak negara yang diminta. Jika negara yang diminta mengabulkan
permintaan ekstradisi, maka untuk pengambilan orang yang akan diekstradisi
dilakukan Interpol dan penyidik Polri.83
Sesampainya di Indonesia, tersangka
diserahkan kepada tim penyidik Polri untuk diproses perkaranya berdasarkan
82
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, Pasal 44. 83
NCB-Interpol Indonesia, “Prosedur dan Implementasi Ekstradisi”, website online (2008),
diakses pada 15 Maret 2019 dari http://www.interpol.go.id/id/uu-dan-hukum/ekstradisi/definisi-
prosedur-dan-implementasi-ekstradisi/263-prosedur-dan-implementasi-ekstradisi
55
hukum Indonesia. Putusan pengadilan dari orang yang diekstradisikan
diinformasikan kepada negara yang bersangkutan melalui saluran diplomatik atau
saluran Interpol.84
Adanya perkembangan kejahatan transnasional dinilai sebagai dampak
dari era globalisasi dan digitalisasi, seiring dengan pesatnya perkembangan
masyarakat dunia menuju zaman yang semakin modern berpengaruh kepada dunia
kejahatan yang dapat dirasakan perkembangannya sedemikian cepat. Pesatnya
perkembangan kejahatan transnasional juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi
dan perkembangan peradaban masyarakat dunia.
Di satu sisi, maraknya kejahatan tersebut telah menimbulkan kekhawatiran
masyarakat dunia. Dengan semakin meningkatnya kejahatan transnasional,
banyak negara telah sadar akan pentingnya perjanjian ekstradisi untuk saling
melakukan kerjasama dalam hal menanggulangi kejahatan tersebut yang
mencakup skala internasional.
Harus diakui memang bahwasannya implementasi dari ekstradisi ini akan
jauh lebih mudah bila mana kedua belah pihak negara yang telah memiliki
perjanjian ekstradisi. Ekstradisi yang dilakukan tanpa adanya perjanjian seringkali
menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya dasar hukum yang
jelas yang dapat digunakan untuk proses penyerahan seseorang terhadap negara
yang meminta.
Akibat dampak buruknya dari suatu jenis kejahatan yang merajalela di
suatu negara, misalnya korupsi, narkoba, terorisme, keamanan, dan sebagainya.
84
Ibid.
56
Dampak ini bukan hanya merugikan satu negara saja, akan tetapi juga berdampak
negatif kepada negara-negara lainnya dan pada waktunya akan menghancurkan
kehidupan manusia di dunia penanggulangan kejahatan transnasional, tentunya
tidak akan efektif bilamana hanya dilakukan oleh salah satu negara saja, Akan
tetapi harus membutuhkan kerjasama antar negara.
Indonesia sejauh ini baru mempunyai perjanjian ekstradisi secara bilateral
setidaknya dengan empat negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia Filipina,
Thailand, dan Vietnam.85
Pemerintah Indonesia akan terus mendorong upaya
pembetukan instrument perjanjian ekstradisi untuk kawasan ASEAN.86
Pemerintah Indonesia memandang bahwa dengan meningkatnya kejahatan lintas
batas di kawasan Asia Tenggara maka dibutuhkan kerja sama hukum yang kuat
antara sesame negara ASEAN, termasuk kerja sama ekstradisi.
Perjanjian ekstradisi ASEAN itu dinilai dapat membantu upaya penegakan
hukum di dalam negeri masing-masing negara anggota ASEAN. Memang perlu
adanya kepedulian untuk menanggulangi kejahatan transnasional ini harus dipacu
dengan semangat kebersamaan dan direspon oleh setiap negara baik secara
bilateral maupun multilateral.
85
Hanna Azarya Samosir, CNN Indonesia, “Tangkal Kejahatan, RI Dorong Perjanjian Ekstradisi
ASEAN, website online (2018), diakses pada tanggal 15 Maret 2019 dari
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180109182310-106-267698/tangkal-kejahatan-ri-
dorong-perjanjian-ekstradisi-asean 86
Yuni Arisandy Sinaga, Antara News, “Indonesia Dorong Pembentukan Perjanjian Ekstradisi di
ASEAN”, website online (2018), diakses pada tanggal 15 Maret 2019 dari
https://www.antaranews.com/berita/676625/indonesia-dorong-pembentukan-perjanjian-ekstradisi-
di-asean
57
B. Hukum Internasional
Hal yang perlu diketahui mengenai apa itu hukum internasional,
bagaimana hukum internasional dan menjadi landasan ketika membuat suatu
perjanjian. Hukum internasional atau hukum internasional publik merupakan
istilah yang lebih sering digunakan pada saat ini dibandingkan istilah hukum
bangsa-bangsa dan hukum antarnegara.87
Dua istilah terakhir itu sudah tidak digunakan lagi karena diniliai sudah
tidak relevan. Hukum internasional pada era kontemporer saat ini tidak hanya
mengatur hubungan antar bangsa atau antar negara saja. Tetapi hubungan
internasional sudah berkembang pesat sehingga subjek-subjek negara yang tidak
lagi terbatas pada negara saja sebagaimana di awal perkembangan hukum
internasional.88
Ada istilah hukum internasional dalam pembahasan ini adalah hukum
internasional publik, yang harus dibedakan dengan hukum perdata internasional.
Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan
internasional) yang bersifat perdata.89
Sedangkan, hukum perdata internasional
adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang
melintasi batas negara.90
Hubungan internasional sudah sangat berkembang jauh pesat sehingga
subjek negara tidak terpaku pada negara saja seabagimana diketahui terjadi pada
87
Sefriani, “Hukum Internasional: Suatu Pengantar”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), h. 2. 88
Ibid. 89
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung:
Alumni, 2003), h. 1-2. 90
Ibid.
58
awal perkembangan hukum internasional. Subjek hukum internasional dapat
diartikan sebagai pemilik, pemegang, atau pendukung hak dan kewajiban
berdasarkan hukum internasional. Pada awal mulanya, dari kelahiran dan
perkembangan hukum internasional, hanya negara saja yang diakui sebagai subjek
hukum internasional. Namun, dengan seiring perkembangan zaman telah terjadi
perubahan pelaku-pelaku subjek hukum internasional itu sendiri.
Adapun definisi dari hukum internasional yang dijelaskan oleh, Starke
Alina Kaczorowska:91
International law may be defined as that body of law which is composed
for its greater part of the principles and rules of conduct which states feel
themselves bound to observe, and therefore, do commonly observer in their
relations with each other, and which includes also:
1. The rules of law relating to the functioning of international institutions or
organizations, their relations which each other, and their relations with
states and individual.
2. The rules of law relating to individuals and non states so far as the rights
or duties of such individuals and non states entities are the cancern of the
international community.
Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai badan hukum yang
disusun untuk bagian yang lebih besar dari prinsip-prinsip dan aturan perilaku
yang menyatakan merasa terikat untuk mengamati, dan karena itu melakukan
pengamat umum dalam hubungan mereka satu sama lain, dan yang termasuk juga:
91
Alina Kaczorowska, “Public International Law”, (London: Old Balley Press, 2002), h. 7.
59
1. Aturan hukum yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga atau organisasi
internasional, hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka
dengan negara dan individu.
2. Aturan hukum yang berkaitan dengan individu dan non negara dengan hak
atau kewajiban individu dan entitas non negara tersebut merupakan
ancaman dari komunitas internasional.
Hukum internasional, pada intinya merupakan seperangkat aturan yang
mengandung nilai-nlai dan norma universal, yang harus dipatuhi oleh negara demi
menjaga kestabilan dalam sistem internasional. Dengan kata lain, setiap tindakan
negara terhadap hukum internasional adalah berdasarkan atas berbagai
kepentingan nasionalnya.
Hukum internasional terwujud dalam berbagai bentuk yaitu hukum
internasional dalam arti formil dan hukum internasional dalam arti materil.
Hukum internasional dalam arti formil diidentikkan dengan sumber hukum
internasional yaitu tempat ditemukan hukum internasional dalam menyelesaikan
setiap kasus hukum internasional.92
Sedangkan J.G. Starke mengemukakan 5
(lima) kategori sumber hukum formil dalam hukum internasional yaitu kebiasaan,
traktat, keputusan pengadilan atau badan-badan arbitrase, karya-karya hukum dan
keputusan atau ketetapan organisasi dan lembaga internasional.93
Meskipun mengakui adanya hukum internasional saat ini tidak hanya
mengatur hubungan antarnegara saja, tetapi menurut John O’Brien berpendapat
92
Jawahir Thantowi dan Pranoto Iskandar, “Hukum International Kotemporer”, (Bandung: Rafika
Aditama, 2006), h. 80. 93
J.G. Starke, “Introduction to International Law”, 10th edition, (London: Butterworths, 1989), h.
429.
60
bahwa hukum internasional adalah sistem hukum yang berkaitan dengan
hubungan antarnegara.94
Jadi, apa yang dimaksud oleh John O’Brien ini dapat
dipahami bahwa sampai saat ini negara adalah subjek yang paling utama. Adapun
subjek lainnya yang dapat dikatakan sebagai subjek derivative atau turunan dari
negara. Negaralah, yang menghendaki pengakuan mereka sebagai subjek hukum
internasional.95
Hukum internasional dalam pratiknya memiliki ragam macam perjanjian
yaitu; bilateral, trilateral, regional, multilateral, bahkan universal sekalipun.
Semua negara berhak melibatkan dirinya dalam perjanjian internasional baik itu
bilateral hingga sampai universal. Semua itu merupakan hukum internasional
yang mengikat bagi semua pihak yang bersangkutan.
Peran dan perkembangan hukum internasional di era kontemporer saat ini
mengatur segala aktivitas negara seperti hukum tentang penggunaan laut, udara,
ruang angkasa, dan antartika. Ada juga hukum yang mengatur telekomunikasi
pos, pengangkutan barang dan penumpang, baik juga keuangan.96
Hukum
internasional juga menjadi instrumen utama dalam pengaturan perdagangan
internasional.
Hukum internasional juga sangat memperhatikan masalah nasionalitas,
ekstradisi, penggunaan kekuatan bersenjata, hak asasi manusia, perlindungan
lingkungan dan keamanan nasional. Bisa dikatakan di zaman globalisasi saat ini
cukup sulit untuk menemukan aktivitas negara yang tidak diatur oleh hukum
94
John O’Brien, “International Law”, (Great Britain: Cavendish Publishing limited, 2001), h. 1. 95
Ibid. 96
Martin Dixon and Robert Mc Corquodale, “Cases & Materials on International Law”, Third
Edition, (London: Blakcstone Press Limited, 2000), h. 3.
61
internasional. Hukum internasional juga mengatur dan memfasilitasi kerja sama
antar negara-negara yang saling membutuhkan dengan negara lainnya.97
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum
internasional hingga sampai saat ini.98
Yang pertama, adalah meningkatnya
jumlah negara baru akibat adanya dekolonisasi. Sebagian besar yaitu negara-
negara berkembang yang merdeka setelah perang dunia kedua. Faktor kedua,
yaitu adanya pengaruh perkembangan hukum internasional adalah munculnya
berbagai organisasi internasional. Faktor ketiga, adalah diakuinya individu
sebagai subjek hukum internasional. Faktor keempat, adalah semakin majunya
perkembangan teknologi dan komunikasi. Faktor kelima, adalah muncul dan
semakin berperannya aktor-aktor non state dalam percaturan internasional
khususnya NGO serta perusahaan transnasional. Dan adanya isu-isu global seperti
demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, terorisme yang banyak
mempengaruhi perkembangan hukum internasional.99
Dalam praktiknya hukum internasional tidak dapat dipisahkan dari
masalah diplomasi, politik, dan pola atau kebijakan hubungan luar negeri. Dalam
banyak kasus meskipun pertimbangan hukum tetap penting, akan tetapi sangat
besar kemungkinan bahwa negara dalam mencari legalitas tindakan atau
keputusan yang akan diambilnya mengutamakan self-interest, expediency atau
humanity. Hal ini sangatlah wajar menurut Dixon, karena banyak negara
97
John O’Brien, “International Law”, (Great Britain: Cavendish Publishing limited, 2001), h. 42. 98
Ibid. Martin Dixon and Robert Mc Corquodale, “Cases & Materials on International Law”. 99
Ibid.
62
mempunyai karakter dan sikap yang berbeda-beda sebagaimana sikap manusia
pada umumnya.100
Mengenai perjanjian ekstradisi sendiri, perjanjian ini merupakan salah satu
turunan dari hukum internasional dan oleh karena itu disebut sebagai perjanjian
internasional karena dilakukan secara antarnegara, umunya perjanjian ekstradisi
ini bersifat bilateral.
100
Martin Dixon, “Text on International Law”, Martinus Nijhoff, (2001), h. 23.
63
BAB IV
ANALISA KEBIJAKAN INDONESIA MELAKUKAN
PERJANJIAN EKSTRADISI DENGAN VIETNAM TAHUN
2015
Pada Bab IV ini peneliti akan menjelaskan kebijakan Indonesia melakukan
perjanjian ekstradisi dengan Vietnam tahun 2015. Untuk menguraikan lebih dalam
strategi Indonesia bisa dapat melakukan perjanjian ekstradisi dengan Vietnam,
maka skripsi ini akan menggunakan analisa dengan menggunakan beberapa teori
penting yaitu kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri.
A. Kepentingan Nasional Indonesia Melakukan Perjanjian Ekstradisi
Dengan Vietnam
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Vietnam telah diratifikasi
dan lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perjanjian
Ekstradisi Antara Republik Indonesia dan Republik Sosialis Viet Nam. Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya teknologi, transportasi, komunikasi, dan informasi
memudahkan lalu lintas manusia dari satu negara ke negara lain, lalu
menimbulkan dampak positif dan dampak negatif.
Dampak negatif ini kemudian munculnya masalah baru yaitu kejahatan
transnasional karena melewati lintas batas negara, seperti tindak kejahatan yang
64
berpeluang lebih besar untuk pelaku meloloskan diri dari jeratan hukum,
penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan tindak pidana dari negara tempat
kejahatan yang dilakukan, sehingga dalam menanggulangi ancaman tersebut
diperlukan kerjasama antar dua negara baik bersifat bilateral maupun multilateral.
Dijelaskan dalam Undang-Undang tersebut, dengan mengedepankan azas
mutual benefit ,kerjasama pun dilakukan. Adapun azas-azas yang disepakati
dalam perjanjian tersebut yaitu101
:
1. Ekstradisi dilaksanakan terhadap setiap orang yang ditemukan berada di
wilayah pihak diminta dan dicari oleh pihak peminta untuk penuntutan,
persidangan, atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat
diekstradisikan, meskipun tindak pidana tersebut dilakukan sebelum atau
setelah berlakunya perjanjian ini.
2. Suatu tindak pidana merupakan tindak pidana yang dapat diekstradisikan,
apabila tindak pidana tersebut dapat dihukum menurut hukum kedua
pihak, dengan ancaman pidana penjara paling sedikit satu tahun atau
dengan hukuman yang lebih berat.
3. Ekstradisi tidak dikabulkan apabila tindak pidana yang dimintakan
ekstradisi adalah tindak pidana politik.
4. Ekstradisi tidak dikabulkan apabila tindak pidana yang dimintakan
ekstradisi adalah tindak pidana militer, yang bukan merupakan tindak
pidana dalam hukum pidana umum.
101
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi, antara
Republik Indonesia dan Republik Sosialis Viet Nam.
65
5. Tidak satu pihak pun terikat untuk mengekstradisikan warga negaranya.
Menurut perjanjian ini, ekstradisi tidak dapat dikabulkan apabila hak
diminta memiliki yurisdiksi atas tindak pidana yang dimintakan ekstradisi
sesuai dengan hukum nasionalnya.
6. Orang yang diekstradisikan berdasarkan perjanjian ini tidak boleh diproses
hukum ataupun menjalani hukuman pidana pada pihak peminta atas tindak
pidana yang dilakukan oleh orang tersebut sebelum penyerahannya selain
tindak pidana yang permintaan ekstradisinya dikabulkan.
Dari isi perjanjian tersebut yang menyebutkan bahwa ada beberapa
ketentuan di mana perjanjian ekstradisi tidak dapat diekstradisi lagi ke negara
pihak ketiga, kecuali:
1. Pihak diminta telah menyetujui sebelumnya.
2. Orang tersebut belum meninggalkan wilayah pihak peminta dalam waktu
30 (tiga puluh) hari setelah mendapatkan kebebasan untuk meninggalkan
wilayah pihak peminta atau orang tersebut telah secara sukarela kembali
ke wilayah pihak peminta setelah meninggalkan wilayah tersebut.
3. Setiap tindak pidana yang lebih ringan yang diungkapkan dengan fakta-
fakta untuk tujuan memastikan kembalinya orang yang dimintakan
ekstradisinya, selain tindak pidana yang secara hukum tidak dapat
dimintakan ekstradisinya.
4. Orang yang dimintakan ekstradisi tidak dapat dituntut karena daluwarsa
berdasarkan hukum pihak peminta atau hukumannya tidak dapat
dilaksanakan karena adanya pengampunan.
66
Berdasarkan hal tersebut, dapat dianalisa bahwa Indonesia melakukan
perjanjian ekstradisi dengan Vietnam karena beberapa hal berikut. Dalam asumsi
neorealis yang diungkapkan oleh Kenneth Waltz dalam bukunya yang berjudul
Theory of International Politics tahun1979, bahwa negara akan bertindak sesuai
dengan keadaan alami dalam struktur sistem internasional. Dalam sistem
internasional yang anarki, negara akan berusaha meraih kekuatan untuk
memastikan keamanan mereka.102
Kerjasama ekstradisi yang dilakukan oleh
Indonesia dengan Vietnam merupakan salah satu bentuk cara Indonesia dalam
memperkuat sistem keamanan, baik keamanan dalam negeri maupun di kawasan.
Menurut pandangan neorealisme, tidak ada negara yang benar-benar
secara ekonomi, politik, dan militer benar-benar dapat berdiri sendiri. Adanya
perbatasan baik darat maupun laut, sumber daya alam, yang berbeda dan berbagai
perbedaan lainnya membuat negara-negara harus membangun kerjasama dan tentu
membuat mereka saling ketergantungan. Hal ini membuat aliansi menjadi sangat
penting103
. Terutama bagi dua negara yang bukan negara super power seperti
Indonesia dan Vietnam. aliansi berfungsi untuk membangun kekuatan lebih besar
dalam menghadapi ancaman global, yang mana dalam perkembangannya ancaman
global saat ini dapat berupa ancaman non state actor yang bersifat transnational.
Dalam menghadapi ancaman tersebut maka Indonesia melihat kerjasama
dengan Vietnam ini adalah jalan terbaik membangun kekuatan menghadang
kejahatan transnasional tersebut. Dengan adanya perjanjian ekstradisi atau
102
Kenneth N. Waltz, “The Origins of War in Neorealist Theory”, in The Journal of
Interdiciplinary History, Volume 18, No. 4, The Origin and Prevention of Major Wars, (Spring,
The MIT Press, 1988). 103
Ibid.
67
penguatan penegakan hukum antar dua negara, maka Indonesia dan Vietnma akan
lebih mudah dalam menangani masalah kejahatan transnasional yang bisa saja
terjadi di kedua negara yang sama-sama berada di kawasan Asia Tenggara.
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Vietnam menjadi penting
mengingat kedua negara berada di satu kawasan yang sama yaitu di Asia
Tenggara, dengan adanya perjanjian ekstradisi, hal ini dapat mencegah larinya
pelaku kejahatan kenegara-negara di sekitar kawasan, terutama Indonesia dan
Vietnam. Berikut peta wilayah Indonesia dan Vietnam yang berada di kawasan
Asia Tenggara.
Gambar IV.1. Peta Kawasan Asia Tenggara
Sumber : www.google.com
Neorealisme juga berbicara perihal opportunity dan state preference.
Maksud dari kesempatan dan preferensi adalah bahwa negara akan bertindak
dalam rangka self-preservation atau penjagaan, pemeliharaan, dan pembelaan
68
dirinya dengan asumsi hanya sedikit melakukan “offense” dan “defense”104
. Oleh
sebab itu, dengan adanya kerjasama melalui perjanjian ekstradisi dengan Vietnam
ini merupakan salah satu bentuk minimnya Indonesia untuk melakukan “offense”
dan “defense” terhadap kejahatan transnasional yang semakin mudah terjadi
dalam era globalisasi saat ini.
Kerjasama ekstradisi ini yang mana pada tahun 2015 telah diratifikasi oleh
Indonesia dan Vietnam membuat Indonesia dalam proses penjagaan ataupun
pemeliharaan sistem hukum dari kejahatan yang mungkin saja bisa terjadi di
Indonesia dan kemudian para penjahat lari ke Vietnam, yang mungkin saja telah
terorganisir dan bekerjasama dengan berbagai pihak di luar Indonesia meskipun
pelakunya merupakan orang Indonesia. Dengan demikian, adanya ratifikasi
kerjasama ekstradisi yang dilakukan Indonesia dengan Vietnam dari pandangan
neorealisme merupakan bentuk perilaku Indonesia yang mengacu pada
opportunity dan preference.
Neorealisme menyatakan bahwa aspek moralitas juga tentu bisa menjadi
faktor yang mampu menjadikan motif kepentingan negara selain hanya berfokus
pada pencapaian keamanan105
. Seperti kasus perjanjian ekstradisi antara Indonesia
dan Vietnam, aspek moralitas juga menjadi pemicu yang menjadikan Indonesia
akhirnya meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut. Motif yang menjadi
kepentingan Indonesia juga didasari atas moralitas Indonesia yang sama-sama
dengan Vietnam merupakan aliansi dalam organisasi kawasan yakni ASEAN.
104
S. Telbami, “Kenneth Waltz, Neorealism, and Foreign Policy, Security Studies”, jurnal online,
(2002), h. 158-170. 105
Mary Maxwell, “Morality Among Nations An Evolutionary View” (New York: SUNY Press,
1990).
69
Selain itu, Indonesia dan Vietnam merupakan mitra strategis yang juga
memiliki sejarah panjang hubungan yang baik yang terjalin sejak Presiden
pertama Soekarno dan Presiden Ho Chi Minh. Sehingga, adanya moralitas
bersama-sama mempererat hubungan dan menjaga keamanan kawasan menjadi
faktor yang juga mempengaruhi keputusan dalam menjalin kerjasama ekstradisi
tersebut.
Kepentingan nasional dalam rangka memaksimalkan power atau kekuatan
dalam neorealisme yaitu untuk kepentingan survival negara, diwujudkan dengan
perjanjian ekstradisi dengan Vietnam. Dalam rangka memperkuat kekuatan
penegakan hukum, semakin banyak perjanjian ekstradisi dengan negara lain
semakin banyak pula kekuatan Indonesia dalam proses penegakan hukum yang
sudah ada saat ini. Neorealisme juga menjadikan kepentingan nasional sebagai
means atau cara dalam mencapai tujuan negara yakni keamanan dan survival.106
Seperti yang dikatakan neorealisme, kerjasama yang dilakukan negara
juga berdasarkan pada self interest atau berlandaskan tentang apa yang dibutuhkan
negara untuk mencapai survivalnya107
. Perjanjian ekstradisi tentu menguntungkan
baik pihak Indonesia dan Vietnam, dalam perjanjian tersebut kedua negara dapat
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam perjanjian ekstradisi yang telah
dibuat. Hal ini dalam kepercayaan neorealisme terciptanya kerjasama karena
106
Kenneth Waltz, “Realist Thought and Neorealist Theory”, in Charles W. Kegley (ed.)
Controversies in International Relations Theory: Realism and the Neoliberal Challenge, jurnal
online, (New York: St. Martin’s Press, 1995), h. 67-82. diakses pada tanggal 3 April 2019 dari
https://andreasbieler.net/wp-content/files/Neo-realism.pdf 107
Andrew Jones, “Comparatively Asses Neorealism and Neoliberalism, Whose Argument Do
You? Find the More Convicing and Why?”, website online (2007), diakses pada 3 April 2019 dari
http://www.e-ir.info/2007/12/21/comparatively-assess-neo-realism-and-neo-liberalism-whose-
argument-do-you-find-the-more-convincing-and-why/
70
adanya kepentingan yang sama, terutama dalam bidang keamanan dan penegakan
hukum sehingga keuntungan yang didapatkan antar dua negara bersifat
komparatif atau sama-sama menguntungkan sehingga terjadi perimbangan
kekuatan (balance of power) dari pihak-pihak yang bekerja sama tersebut.
Setelah Indonesia dan Vietnam bersama meratifikasi perjanjian pada 2015,
maka keduanya berhak melakukan ekstradisi atau penyerahan atau meminta
penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu
kejahatan di luar wilayah negara asalnya. Sehingga Indonesia melakukan
perjanjian ekstradisi dengan Vietnam merupakan suatu upaya dalam memperkuat
penegakan hukum dan keamana nasional yang pada saat ini dinilai masih belum
maksimal.
B. Kebijakan Luar Negeri Indonesia Melakukan Perjanjian Ekstradisi
Dengan Vietnam
B.1. Faktor Internal
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Vietnam merupakan bentuk dari
kebijakan luar negeri Indonesia. Seperti yang James N. Rosenau katakan bahwa
kebijakan luar negeri merupakan keseluruhan sikap dan aktivitas negara dalam
mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan internalnya108
yang mana
Indonesia meratifikasi perjanjian ekstradisi sebagai bentuk sikap dan aktivitasnya
dalam menghalau kejahatan yang dilakukan dalam negeri dan kawasan.
108
James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson, “World Politics: An Introduction,
(New York: The Free Press, 1976), h. 32.
71
Dengan adanya perjanjian ekstradisi, Indonesia mendapatkan keuntungan
yang sama dengan Vietnam di mana kedua negara sepakat untuk sama-sama
bekerjasama dalam menyerahkan penjahat yang melarikan diri ke masing-masing
negara. Yang mana hal ini juga menurut K.J. Holsti merupakan tindakan atau
gagasan yang dirancang untuk memecahkan masalah109
.
Jika dilihat dari perspektif kebijakan luar negeri menurut Holsti, terdapat
dua faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri, yaitu; faktor internal
dan faktor eksternal. Dalam perjanjian ekstradisi yang dilakukan Indonesia
dengan Vietnam faktor internal dapat dilihat dari sejarah hubungan Indonesia
dengan Vietnam, lalu adanya letak geografis dan struktur pemerintahan yang
melatar belakangi Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut110
.
Faktor pertama, sejarah hubungan kedua negara. Indonesia dan Vietnam
memiliki banyak kesamaan baik dalam sisi sejarah, budaya, dan kedua negara
sama-sama memperoleh kemerdekaan melalui revolusi perjuangan. Sejak
dibukannya hubungan diplomatik, kedua negara telah menjalin kerjasama di
berbagai bidang. Ini menunjukkan bahwa masa depan hubungan Indonesia dan
Vietnam dipengaruhi oleh sejarah panjang yang telah dibangun sejak zaman
Presiden Soekarno dan Presiden Ho Chi Minh.
Indonesia sudah memiliki hubungan informal dengan Vietnam sejak tahun
1940-an.111
Hubungan diplomatik antara Jakarta dengan Hanoi dideklarasikan
109
K. J. Holsti, “International Politics: A Frame Work for Analysis”, (New Jersey: Prentice-Hall,
1983), h. 107. 110
Ibid. 111
Leo Suryadinata, Indonesia-Vietnam Relations Under Soeharto, (Contemporary Southeast Asia
Volume. 12, No. 4, 1991), h. 331.
72
setelah Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955.112
Setelah itu
barulah kedua negara melakukan deklarasi hubungan diplomatik yang ditandai
dengan dibukanya Konsulat Republik Indonesia di Hanoi pada tanggal 30
Desember 1955, lalu tiga bulan setelah dibukanya konsulat di Saigon. Hubungan
ini kemudian ditingkatkan lagi pada tanggal 10 Agustus 1964 dengan dibukanya
Kedutaan Besar Republik Indonesia.
Kedua negara dapat dikatakan merupakan negara yang sama-sama
berjuang melawan kolonialisme untuk memperoleh kemerdekaannya. Mengingat
para pemimpin kedua negara telah menekankan bahwa kedua negara ini telah
memiliki pengalaman sejarah yang sama dalam memperoleh kemerdekaan.
Bahkan para pemimpin, berpendapat bahwa pengalaman yang sama ini telah
membentuk dasar hubungan kedua negara. Indonesia maupun Vietnam juga
menyadari bahwa kedua negara perlu berkontribusi secara aktif dalam menjaga
perdamaian, stabilitas, dan keamanan, adanya rasa saling percaya, dan kerjasama
pembangunan berkelanjutan masing-masing negara, di ASEAN, maupun di
kawasan regional.
Hubungan Indonesia dengan Vietnam sudah terjalin selama bertahun-
tahun dari perjanjian kemitraan komprehensif yang ditandatangani pada tahun
2003, hingga kemitraan strategis pada tahun 2013.113
Namun pada tahun 2013,
112
Ibid. 113
The Diplomat, “Indonesia-Vietnam Strategic Partnership: The Maritime Domain”, website
online (2018), diakses pada 5 April 2019 dari https://thediplomat.com/2018/04/indonesia-vietnam-
strategic-partnership-the-maritime-domain/
73
Indonesia memprakarsai kemitraan strategis dengan Vietnam, dan anggota
asosiasi negara-negara Asia Tenggara.114
Vietnam merupakan satu-satunya mitra strategis Indonesia di Asia
Tenggara. Duta besar luar biasa dan berkuasa penuh Indonesia untuk Vietnam,
Mayerfas mengatakan, “Bahwa tidak semua negara kita mempunya “strategic
partnership”. Ada level hubungan yang harus kita capai sehingga kita sepakat
untuk mempunya kemitraan strategis.
Kenapa hanya Vietnam? Indonesia Menganggap Vietnam sebagai negara
penting yang berpotensi memiliki kepentingan strategis besar di Asia Tenggara.
Hubungan Indonesia dengan Vietnam juga terus mengalami perkembangan dari
tahun ke tahun. Lalu melihat pertumbuhan ekonomi Vietnam yang begitu
impresif. Ini menggambarkan bahwa Vietnam sangat berpotensi sebagai pemain
penting di kawasan Asia Tenggara. Vietnam merupakan satu-satunya negara di
Asia Tenggara yang telah berperang melawan semua kekuatan global utama
seperti Prancis, Amerika Serika, dan Tiongkok. Bahkan Vietnam telah beberapa
kali berperang dalam kurun waktu lebih dari 1000 tahun bersaing dengan
tiongkok dan mengalahkannya.115
Hal inilah yang mendorong keinginan Indonesia melakukan hubungan
kerjasama yang komprehensif dengan Vietnam. Karena saat ini Vietnam
114
Veeramalla Anjaiah, Eurosia Review, “Growing Strategic Ties Between Vietnam-Indonesia”,
website online (2017), diakses pada tanggal 5 April 2019 dari
https://www.eurasiareview.com/21082017-growing-strategic-ties-between-vietnam-indonesia-
analysis/ 115
Veeramalla Anjaiah, Eurosia Review, “Growing Strategic Ties Between Vietnam-Indonesia”,
website online (2017), diakses pada tanggal 5 April 2019 dari
https://www.eurasiareview.com/21082017-growing-strategic-ties-between-vietnam-indonesia-
analysis/
74
merupakan salah satu negara yang sedang berkembang pesat pembangunannya.
Ini yang menjadikan salah satu faktor Indonesia ingin menjadi mitra strategis
Vietnam di kawasan Asia Tenggara. Indonesia biasanya cenderung memilih
kemitraan strategis dengan negara-negara yang mempunyai hegemoni seperti
Amerika Serikat, Tiongkok, dan kekuatan regional seperti India.
Melihat adanya kesepahaman antara Indonesia dan Vietnam pada
kerjasama ekstradisi ini, bisa dikatakan sebagai kebutuhan yang mendasar bagi
kedua negara. Dengan demikian, kemitraan yang strategis ini antara Indonesia
dengan Vietnam tidak hanyak akan membantu kedua negara untuk lebih terlibat
dalam permasalahan di kawasan. Akan tetapi juga akan memicu kedua negara
untuk menjalin hubungan diplomatik yang lebih bermakna dan matang. Karena
melihat di masa yang akan datang, kedua negara akan mendapatkan tantangan
berat. Baik itu dari dalam negeri maupun di kawasan.
Faktor kedua, letak geografis Indonesia-Vietnam. Asia Tenggara
merupakan kawasan yang luar biasa dengan mempunyai beberapa negara yang
beragam, baik dari segi populasi, kekayaan alam, geopolitik, dan tantangan
keamanan yang dihadapi masing-masing negara. Namun demikian, terdapat
beberapa kesamaan diantara negara ASEAN. Aspek kesamaan tersebut termasuk
adanya kesamaan dalam letak geografis, kebudayaan, dan bentuk persaudaraan.
Letak geografis antara Indonesia dan Vietnam yang berada di satu
kawasan yang sama yakni Asia Tenggara membuat kondisi keamanan juga
membuat peluang kerjasama semakin memungkinkan untuk dilakukan. Para
penjahat biasanya cenderung pergi atau lari ke negara tetangga dan negara
75
disekitar kawasan untuk memudahkan mereka berpindah secara cepat. Oleh sebab
itu, letak geografis antara Indonesia dan Vietnam mendorong terjadinya kerjasama
diantara mereka.
Faktor ketiga, yang melatarbelakangi kebijakan luar negeri Indonesia
melakukan perjanjian ekstradisi dengan Vietnam adalah struktur pemerintahan.
Sebagaimana diketahui Indonesia merupakan negara hukum. Segala sesuatu yang
berhubungan langsung dengan hak asasi manusia dan kewajiban warga negara
sudah diatur oleh undang-undang. Dengan adanya undang-undang maka negara
terlindungi dari Abuse of Power dan warga negara indonesia mendapatkan hak-
haknya sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, hak-hak warga negara untuk
dapat perlakuan yang sama dimata hukum harus diatur dalam undang-undang,
termasuk permasalahan ekstradisi ini.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi,
Negara Indonesia adalah negara hukum.116
Ada tiga prinsip dasar negara hukum
yaitu; supremasi hukum, persamaan hukum di hadapan hukum, dan penegakan
hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.117
Di dalam negara hukum,
semua orang dipandang sama dihadapan hukum (equality before the law).
Adapun persamaan di hadapan hukum diatur dalam Pasal 27 Ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
116
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”, website online, diakses pada 6 April 2019 dari
http://www.dpr.go.id/jdih/uu1945 117
A. Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung, “Panduan Bantuan Hukum Indonesia”, (Jakarta:
YLBHI, 2006), h. 34.
76
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.118
Kemudian ditegaskan
kembali di dalam Pasal 28D Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi,
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.119
Dengan demikian,
negara berkewajiban menjamin segala hak masyarakat yang berhubungan dengan
hukum, termasuk jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum.
Indonesia dan Vietnam sama-sama sudah mempunyai lembaga hukum
yang estabilished. Sehingga dibentuklah lembaga-lembaga yudikatif seperti
kepolisian, kejaksaan, kehakiman, imigrasi, dan lain-lain. Untuk memudahkan
kinerja proses hukum baik itu di Indonesia maupun di Vietnam maka sesama
pemerintah kedua negara melakukan kerjasama agar tidak terjadi pelanggaran
hukum, maka masing-masing negara bisa dengan mudah menindak tersangka
pidana melalui ekstadisi ini.
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Vietnam yang dituangkan
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 tentang
Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Sosialis
Vietnam (Extradition Treaty Between the Republic of Indonesia and the Socialist
Republic of Vietnam).
Hadirnya undang-undang tersebut tentunya dengan berbagai pertimbangan
yang sudah dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 5 tersebut, yaitu: Dalam
rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia untuk melindungi segenap
118
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”, website online, diakses pada 6 April 2019 dari
http://www.dpr.go.id/jdih/uu1945 119
Ibid.
77
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional
melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang diwujudkan dalam
perjanjian internasional.
Dengan adanya perjanjian tersebut, meningkatkan hubungan kerjasama
antar kedua negara dalam bidang penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan
transnasional atas dasar kerjasama yang saling menguntungkan, diharapkan
semakin meningkat. Dengan telah disahkannya undang-undang tentang
pengesahan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Vietnam dapat mendukung
di dalam penegakan hukum di Indonesia terutama yang berkaitan dengan
kejahatan transnasional (transnational crime).
B.2. Faktor Eksternal
Dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri, menurut K. J. Holsti,
negara juga memperhitungkan beberapa faktor baik internal maupun eksternal.
Faktor eksternal tidak hanya sebagai complimentary tetapi juga sebagai faktor
penting dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Untuk memutuskan perjanjian
ekstradisi antara Indonesia dengan Vietnam, salah satu faktor eksternal yang
sangat mempengaruhi adalah untuk turut serta menjaga stabilitas kawasan dari
ancaman kejahatan transnasional di kawasan Asia Tenggara.
78
Kasus kejahatan transnasional di ASEAN sudah semakin meningkat,
beragam, terstruktur dan memiliki berbagai macam pola. Sejak adanya Deklarasi
Bangkok pada tahun 1967 tentang “Strengthening the Foundation for a
Prosperous and Peaceful Community of Southeast Asian Nations”, dan adanya
pertemuan Bali Concord I, yang dalam pertemuan tersebut disepakati adanya
gagasan untuk membentuk “Asean Extradition Treaty” di bidang transnational
crimes. Pertemuan tersebut menjadi perhatian para petinggi pemimpin negara-
negara ASEAN pertama kali tahun 1976 tertuang dalam Declaration of Asean
Concord 1976 (Bali Concord I) “Study on how to develop judisial cooperation,
including the possibility of an Asean Extradition Treaty”.120
Permasalahan kejahatan transnasional menjadi salah satu fokus agenda di
ASEAN.121
Hal ini juga diperkuat dengan diterbitkannya ASEAN Vision 2020
pada tahun 1997 yang menekankan strategi koperatif yang tepat dalam menangani
kejahatan transnasional.122
Sejak saat itulah, setiap diadakannya Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, masalah kejahatan transnasional selalu menjadi
salah satu pembahasan utama baik di level kepala pemerintahan, menteri dan
pejabat terkait.
Menurut data ASEAN, kejahatan transnasional di Asia Tenggara meliputi
5 isu utama yaitu terorisme, perdagangan illegal, narkoba, penyelundupan senjata,
120
Ministry of Foreign Affairs of the Kingdom of Thailand, “Declaration of ASEAN Concord,
Adopted by the Heads of State/Government at the 1st ASEAN Summit”, website online, diakses
pada tanggal 17 April 2019 dari http://www.mfa.go.th/asean/contents/files/other-20130527-
163444-272383.pdf 121
ASEAN, “ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime”, website online (2012),
diakses pada tanggal 17 April 2019 dari https://asean.org/?static_post=asean-plan-of-action-to-
combat-transnational-crime 122
S. Pushpanathan, “Managing Transnational Crime in ASEAN”, website online (1999), diakses
pada tanggal 17 April 2019 dari https://asean.org/managing-transnational-crime-in-asean-by-s-
pushpanathan/
79
pencucian uang, perdagangan manusia dan pembajakan.123
Kemudian, menurut
data UNODC pada tahun 2013, beberapa kejahatan transnasional memiliki jumlah
kerugian yang cukup signifikan di wilayah Asia Timur dan Pasifik seperti
kejahatan penyelundupan barang dan Human Trafficking.
Gambar IV.2. Jumlah Kerugian dari Kejahatan Transnasional di Asia
Timur dan Pasifik124
Selain dari sisi jumlah kerugian, permasalahan kejahatan transnasional
juga dapat dianalisa melalui jalur yang tercatat pernah digunakan sebagai lalu
lintas kejahatan transnasional baik di ASEAN dan negara sekitarnya. Dari data
yang dihimpun oleh The Diplomat, tercatat kompleksitas alur kejahatan tersebut
menyebar dan melibatkan beberapa negara seperti negara anggota ASEAN,
Tiongkok, Jepang, Bangladesh dan kawasan Asia Selatan lainnya.
123
Ibid. “ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime”. 124
United Nations Office on Drugs and Crime, “Transnational Crime in East Asia and Pacific”,
jurnal online (2013), h. 2.
80
Gambar IV.3. Jalur Kejahatan Transnasional di ASEAN125
Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa perjanjian ekstradisi
antara Indonesia dengan Vietnam memang tidak terlepas dari pengaruh eksternal
terutama dalam mengatasi kejahatan transnasional. Sesuai dengan pendapat K.J.
Holsti bahwa kebijakan aktor luar negara mempengaruhi kebijakan luar negeri,
maka fokus ASEAN dalam memerangi kejahatan transnasional ini juga
menstimulus kebijakan luar negeri anggotanya dalam membuat perjanjian
ekstradisi terutama bagi Indonesia dan Vietnam. Perjanjian ekstradisi Indonesia
dengan Vietnam dinilai penting dalam mempermudah penegakan hukum antar
kedua negara dan juga turut andil dalam menjaga stabilitas keamanan di kawasan
Asia Tenggara.
125
TheRoderic Broadhurst, The Diplomat, “Asia Is in The Grip of a Transnational Crime Crisis”,
website online (2016), diakses pada 17 April 2019 dari https://thediplomat.com/2016/12/asia-is-in-
the-grip-of-a-transnational-crime-crisis/
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang sudah telah dipaparkan pada bab sebelumnya,
perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Vietnam telah diratifikasi dan
lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perjanjian
Ekstradisi Antara Republik Indonesia dan Republik Sosialis Viet Nam. Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya teknologi, transportasi, komunikasi, dan informasi
memudahkan lalu lintas manusia dari satu negara ke negara lain, lalu
menimbulkan dampak positif dan dampak negatif.
Dampak negatif ini kemudian munculnya masalah baru yaitu kejahatan
transnasional karena melewati lintas batas negara, seperti tindak kejahatan yang
berpeluang lebih besar untuk pelaku meloloskan diri dari jeratan hukum,
penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan tindak pidana dari negara tempat
kejahatan yang dilakukan, sehingga dalam menanggulangi ancaman tersebut
diperlukan kerjasama antar dua negara baik bersifat bilateral maupun multilateral.
Dalam menghadapi ancaman tersebut maka Indonesia melihat kerjasama
dengan Vietnam ini adalah jalan terbaik membangun kekuatan menghadang
kejahatan transnasional tersebut. Dengan adanya perjanjian ekstradisi atau
penguatan penegakan hukum antar dua negara, maka Indonesia dan Vietnma akan
82
lebih mudah dalam menangani masalah kejahatan transnasional yang bisa saja
terjadi di kedua negara yang sama-sama berada di kawasan Asia Tenggara.
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Vietnam menjadi penting mengingat
kedua negara berada di satu kawasan yang sama yaitu di Asia Tenggara, dengan
adanya perjanjian ekstradisi, hal ini dapat mencegah larinya pelaku kejahatan
kenegara-negara di sekitar kawasan, terutama Indonesia dan Vietnam.
Setelah Indonesia dan Vietnam bersama meratifikasi perjanjian pada 2015,
maka keduanya berhak melakukan ekstradisi atau penyerahan atau meminta
penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu
kejahatan di luar wilayah negara asalnya. Sehingga Indonesia melakukan
perjanjian ekstradisi dengan Vietnam merupakan suatu upaya dalam memperkuat
penegakan hukum dan keamana nasional yang pada saat ini dinilai masih belum
maksimal.
Dengan adanya perjanjian tersebut, meningkatkan hubungan kerjasama
antar kedua negara dalam bidang penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan
transnasional atas dasar kerjasama yang saling menguntungkan, diharapkan
semakin meningkat. Dengan telah disahkannya undang-undang tentang
pengesahan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Vietnam dapat mendukung
di dalam penegakan hukum di Indonesia terutama yang berkaitan dengan
kejahatan transnasional (transnational crime).
Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa perjanjian ekstradisi
antara Indonesia dengan Vietnam memang tidak terlepas dari pengaruh eksternal
terutama dalam mengatasi kejahatan transnasional. Perjanjian ekstradisi Indonesia
83
dengan Vietnam dinilai penting dalam mempermudah penegakan hukum antar
kedua negara dan juga turut andil dalam menjaga stabilitas keamanan di kawasan
Asia Tenggara.
xii
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Baylis, John. Wirtz, James. Cohen, Elliot. and Gray, Colin S. Strategy in The
Contemporary World: an Introduction to Strategic Studies, New York: Oxford
University Press, 2002.
Brien, John O. International Law, Great Britain: Cavendish Publishing limited,
2001.
Dixon, Martin and Corquodale, Robert Mc. Cases & Materials on International
Law, Third Edition, London: Blakcstone Press Limited, 2000.
Hardi, Api Nasionalisme: Cuplikan Pengalaman The Fire of Nationalism: Notes
of My Experience, Jakarta: Gunung Agung, 1983.
Hauswedell, Peter Christian. The Anti-Imperialist International United Front in
Chinese and Indonesia Foreign Policy 1963-1965: A Study of Anti-Status Quo
Politics, New York: Cornell University, 1976.
Holsti, K.J. International Politics: A Framework for Analysis, New Jersey:
Prentice- Hall International, 1992.
Holsti, K.J. International Politics: A Frame Work for Analysis, New Jersey:
Prentice-Hall, 1983.
Holsti, K.J. Politik International: Suatu Kerangka Analisis, Bandung: Bina Cipta,
1992.
Jack C. Plano. dan Olton, Roy. The International Relations, California: ABC-Cilo,
1982.
Kaczorowska, Alina. Public International Law, London: Old Balley Press, 2002.
Kusumaatmadja, Mochtar dan Agoes, Etty R. Pengantar Hukum Internasional,
Bandung: Alumni, 2003.
Mauna, Boer. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2001.
Mas’oed, Mochtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metedologi,
Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1994.
xiii
Maxwell, Mary. Morality Among Nations An Evolutionary View, New York:
SUNY Press, 1990.
Mersheimer, Structural Realism, International Relations Theories: Discipline and
Diversity, Third Edition, Oxford: Oxford University Press, 2013.
Mueller, G. O. Transnational Crime: Definition and Concepts. London: Frank
Cass Publishers, 2001.
Oppenheim, L. International Law: a treatise 8 th edition Volume One, London:
Longmans, Green and Co.
Parthiana, I Wayan. Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Indonesia, Bandung: Alumni, 1993.
Parthiana, I Wayan. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yrama
Widya, 2004.
Parthiana, I Wayan Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern, Bandung:
Yrama Widya, 2009.
Patra A. Zen M. dan Hutagalung Daniel, Panduan Bantuan Hukum Indonesia,
Jakarta: YLBHI, 2006.
Raco, Dr. J. R. Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Grasindo, 2010.
Rosenau, James N. International Politics and Foreign Policy: A Reader in
Research and Theory, New York: The Free Press, 1969.
Rosenau, James N. The Scientific Study of Foreign Policy, New York: The Free
Pas, 1980.
Rosenau, James N. Boyd, Gavin. Thompson, Kenneth W. World Politics: An
Introduction, New York: The Free Press, 1976.
Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2014.
Sorensen, George and Jackson, Robert. Introduction to International Relations,
New York: Oxford University Press Inc, 1999.
Starke, J.G. An Introduction to International Law, 7th
edition London:
Butterwords, 1972.
Starke, J.G. Introduction to International Law, 10th edition, London:
Butterworths, 1989.
xiv
Suryadinata, Leo. Indonesia-Vietnam Relations Under Soeharto, Contemporary
Southeast Asia Volume. 12, No. 4, 1991.
Sunarso, Siswanto. Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana:
Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2009).
Thantowi, Jawahir dan Iskandar, Pranoto. Hukum International Kotemporer,
Bandung: Rafika Aditama, 2006.
Tjeng, Lie Tek. Vietnamese Nationalism: An Indonesian Perspective, National
Resilience, No. 1 March 1982.
Waltz, Kenneth. Theory of International Politics, Reading: Addison-Wesley,
1979.
Waltz, Kenneth. The Origins of War in International Theory, Journal of
Interdiscplinary History, 1988.
Weinstein, Franklin B. Indonesia Foreign Policy and the Dilemma of Depedence:
From Sukarno to Suharto, Ithaca: Cornell University Press, 1976.
Artikel dan Jurnal
Erawaty, Rika. jurnal ilmiah, Hukum Yuriska Volume 3 No. 2, 2011, Universitas
Widya Gama Mulawarman.
Clinton, W. David. The National Interest: Normative Foundation, The Review
Politics, Volume 48, No. 4. Autumn, 1986, h. 500.
Martin Dixon, “Text on International Law”, Martinus Nijhoff, (2001), h. 23.
Obonye, Jonas. International Journal on Human Rights, Extradition and The
Death Penalty: Reflections on The Stand-off Between Botswana and South
Africa, Volume 10 No 18, 2013, diakses pada 15 Januari 2018 dari
https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2401222
Telbami, S. Kenneth Waltz, Neorealism, and Foreign Policy, Security Studies”,
jurnal online, 2002.
Waltz, Kenneth N. The Origins of War in Neorealist Theory, in The Journal of
Interdiciplinary History, Volume 18, No. 4, The Origin and Prevention of Major
Wars, Spring, The MIT Press, 1988.
xv
Waltz, Kenneth. Realist Thought and Neorealist Theory”, in Charles W. Kegley
(ed.) Controversies in International Relations Theory: Realism and the Neoliberal
Challenge, jurnal online, New York: St. Martin’s Press, 1995, diakses dari
https://andreasbieler.net/wp-content/files/Neo-realism.pdf
Skripsi
Natasha, Raisa. Ekstradisi Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulan Masalah
Perdagangan Manusia Human Trafficking Menurut Hukum Internasional,
Universitas Hasanuddin Makassar, 2014.
Website
Anjaiah, Veeramalla. Eurosia Review, Growing Strategic Ties Between Vietnam-
Indonesia, website online, 2017, diakses pada tanggal 5 Februari January 2019
dari https://www.eurasiareview.com/21082017-growing-strategic-ties-between-
vietnam-indonesia-analysis/
ASEAN, ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime, website online,
2012, diakses pada tanggal 17 April 2019 dari
https://asean.org/?static_post=asean-plan-of-action-to-combat-transnational-crime
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik RUU Tentang Ekstradisi
Tahun 1979, website online, diakses pada 25 Maret 2019 dari
https://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang_perubaha
n_uu_no._1_tahun_1979_tentang_ekstradisi.pdf
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, website online, diakses pada 6 April 2019 dari
http://www.dpr.go.id/jdih/uu1945
Hartono, Rudi. Persahabatan Bung Karno dan Ho Chi Minh, website online, 2016,
diakses pada 7 Februari 2019 dari http://www.berdikarionline.com/persahabatan-
sukarno-dan-ho-chi-minh/
Jones, Andrew. Comparatively Asses Neorealism and Neoliberalism, Whose
Argument Do You? Find the More Convicing and Why?, website online, 2007,
diakses pada 3 April 2019 dari http://www.e-ir.info/2007/12/21/comparatively-
assess-neo-realism-and-neo-liberalism-whose-argument-do-you-find-the-more-
convincing-and-why/
JPNN, Undang-Undang Perjanjian Ekstradisi Disahkan, Buru Buronan di Vietnam
dan Papua Nugini, website online, 2015, diakses pada tanggal 17 Februari 2019
xvi
dari https://www.jpnn.com/news/uu-perjanjian-ekstradisi-disahkan-buru-buronan-
di-vietnam-dan-papua-nugini
Nhan Dan Online, Strengthening Vietnam-Indonesia Strategic Partnership,
website online, 2018, diakses pada tanggal 11 Februari 2019 dari
http://en.nhandan.org.vn/politics/editorial/item/6593902-strengthening-vietnam-
%E2%80%93-indonesia-strategic-partnership.html
NCB-Interpol Indonesia, Ekstradisi, website online, 2008, diakses pada tanggal 7
Januari 2018 dari http://www.interpol.go.id/id/uu-dan-hukum/ekstradisi/definisi-
prosedur-dan-implementasi-ekstradisi/262-ekstradisi
NCB-Interpol Indonesia, Ekstradisi, website online, 2008, diakses pada 1 Maret
2019 dari http://www.interpol.go.id/id/uu-dan-hukum/ekstradisi/definisi-prosedur-
dan-implementasi-ekstradisi/262-ekstradisi
NCB-Interpol Indonesia, Prosedur dan Implementasi Ekstradisi, website online,
diakses pada 15 Maret 2019 dari http://www.interpol.go.id/id/uu-dan-
hukum/ekstradisi/definisi-prosedur-dan-implementasi-ekstradisi/263-prosedur-
dan-implementasi-ekstradisi
Nhan Dan Online, Vietnam, Indonesia Keen On Boosting Strategic Partnership,
website online, 2017, diakses pada tanggal 15 Februari 2019 dari
http://en.nhandan.com.vn/politics/external-relations/item/5362002-vietnam-
indonesia-keen-on-boosting-strategic-partnership.html
NTS Alert, Transnational Organised Crime in Southeast Asia: Threat Assesment,
website online, 2010, diakses pada tanggal 7 Januari 2018 dari
http://www3.ntu.edu.sg/rsis/nts/HTML-Newsletter/alert/NTS-alert-jul-1001.html
OECD, The Organisation for Economic Co-operation and Development, website
online, Indonesia: Extradition Law, 2007, diakses pada 11 Maret 2019 dari
http://www.oecd.org/site/adboecdanticorruptioninitiative/39360376.pdf
Pushpanathan, S. Managing Transnational Crime in ASEAN, website online,
1999, diakses pada tanggal 15 April 2019 dari https://asean.org/managing-
transnational-crime-in-asean-by-s-pushpanathan/
Rahadian, Lulu. CNN Indonesia, DPR Terima RUU Ekstradisi dengan Vietnam
dan Papua Nugini, website oneline, 2015, diakses pada tanggal 17 Februari 2019
dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150202143024-12-29001/dpr-
terima-ruu-ekstradisi-dengan-vietnam-dan-papua-nugini
The Embassy of Socialist Republic of Vietnam in The Republic of Indonesia, 60th
anniversary of Vietnam-Indonesia established diplomatic relations: Strategic
Partnership will help to elevate the ASEAN Community, website online, 2015,
xvii
diakses pada 3 Februari 2019 dari https://vnembassy-jakarta.mofa.gov.vn/en
us/News/EmbassyNews/Pages/K%E1%BB%B7-ni%E1%BB%87m-60-
n%C4%83m-ng%C3%A0y-Vi%E1%BB%87t-Nam-%E2%80%93-Indonesia-
thi%E1%BA%BFt-l%E1%BA%ADp-quan-h%E1%BB%87-ngo%E1%BA%A1i-
giao.aspx
The Diplomat, Indonesia-Vietnam Strategic Partnership: The Maritime Domain,
website online, 2018, diakses pada 5 Februari 2019 dari
https://thediplomat.com/2018/04/indonesia-vietnam-strategic-partnership-the-
maritime-domain/
The Jakarta Post, Vietnam, RI to Upgrade Relationship to Strategic Partnership,
website online, 2013, diakses pada tanggal 15 Februari dari
https://www.thejakartapost.com/news/2013/06/27/vietnam-ri-upgrade-their-
relationship-a-strategic-partnership.html
The Roderic Broadhurst, The Diplomat, Asia Is in The Grip of a Transnational
Crime Crisis, website online, 2016, diakses pada 17 April 2019 dari
https://thediplomat.com/2016/12/asia-is-in-the-grip-of-a-transnational-crime-
crisis/
The Vietnam, all about Vietnam, website online, diakses pada 3 Februari 2019
dari https://www.infoplease.com/world/countries/vietnam
Tuan, Hoang Anh. East Asia Forum, Why The New Vietnamese-Indonesia
Strategic Partnership Will Strengthen ASEAN, website online, 2013, diakses pada
tanggal 15 Februari 2019 dari https://www.eastasiaforum.org/2013/08/20/why-
the-new-vietnamese-indonesian-strategic-partnership-will-strengthen-asean/
UNODC, United Nations Surveys on Crime Trends and the Operations of
Criminal Justice Systems (UN-CTS), website online, diakses pada tanggal 8
January 2018 dari https://www.unodc.org/unodc/en/data-and-analysis/United-
Nations-Surveys-on-Crime-Trends-and-the-Operations-of-Criminal-Justice-
Systems.html
Vietnam Embassy in Jakarta, Vietnam – Indonesia Relations, website online,
diakses pada 19 Januari 2019 dari
http://www.vietnamembassyindonesia.org/en/nr070521165956/news_object_view
?newsPath=/vnemb.vn/cn_vakv/ca_tbd/nr040819102944/ns071211135543
Viet Nam News, Indonesian President Begins Vietnam Visit, website online,
2005, diakses pada tanggal 15 Februari 2019 dari https://vietnamnews.vn/politics-
laws/143254/indonesian-president-begins-viet-nam-
visit.html#lATScUsZQOmIlIwV.97
xviii
Vietnam Plus, Vietnam-Indonesia Joint Statement Stresses Ties Increase, website
online, 2013, diakses pada tanggal 15 Februari 2019 dari
https://en.vietnamplus.vn/vietnamindonesia-joint-statement-stresses-ties-
increase/46403.vnp
Vietnam Plus, Vietnam-Indonesia Joint Statement Stresses Ties Increase, website
online, 2013, diakses pada tanggal 17 Februari 2019 dari
https://en.vietnamplus.vn/vietnamindonesia-joint-statement-stresses-ties-
increase/46403.vnp
Vienna Convention on the Law of Treaties Tahun 1969, Pasal 26.
VOA Indonesia, Presiden Megawati Kunjungi Vietnam Sebelum Ke Laos,
website online, 2001, diakses pada 13 Februari 2019 dari
https://www.voaindonesia.com/a/a-32-a-2001-08-22-1-1-85317307/55347.html
Voice of Vietnam - VOV International, Masa 60 Tahun Hubungan Diplomatik
Indonesia Vietnam, website online, 2015, diakses pada 7 Februari 2019 dari
http://vovworld.vn/id-ID/rumah-asean/masa-60-tahun-hubungan-diplomatik-
vietnam-indonesia-397825.vov
SALINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2015
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA
DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM
(EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND
THE SOCIALIST REPUBLIC OF VIET NAM)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik
Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
Pemerintah Republik Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional melakukan hubungan dan kerja
sama internasional yang diwujudkan dalam perjanjian
internasional;
b. bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya teknologi transportasi, komunikasi, dan
informasi yang memudahkan lalu lintas manusia dari satu
negara ke negara lain, selain mempunyai dampak positif
juga mempunyai dampak negatif yang bersifat transnasional,
yaitu memberikan peluang yang lebih besar bagi pelaku
kejahatan untuk meloloskan diri dari penyidikan,
penuntutan, dan pelaksanaan pidana dari negara tempat
kejahatan dilakukan;
c. bahwa . . .
- 2 -
c. bahwa untuk mencegah dampak negatif tersebut diperlukan
kerja sama antarnegara yang efektif yang dilakukan melalui
perjanjian, baik bilateral maupun multilateral, khususnya
dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan;
d. bahwa untuk meningkatkan hubungan dan kerja sama yang
efektif tersebut, Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Republik Sosialis Viet Nam telah
menandatangani Perjanjian Ekstradisi di Jakarta pada
tanggal 27 Juni 2013;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian
Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Sosialis
Viet Nam (Extradition Treaty between the Republic of
Indonesia and the Socialist Republic of Viet Nam);
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3130);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4012);
Dengan . . .
- 3 -
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN
EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (EXTRADITION TREATY
BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE
SOCIALIST REPUBLIC OF VIET NAM).
Pasal 1
Mengesahkan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Republik Sosialis Viet Nam (Extradition Treaty
between the Republic of Indonesia and the Socialist Republic
of Viet Nam) yang ditandatangani pada tanggal 27 Juni 2013
di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa
Indonesia, bahasa Viet Nam, dan bahasa Inggris
sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 4 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 2015
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 48
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2015
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA
DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM
(EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE
SOCIALIST REPUBLIC OF VIET NAM)
I. UMUM
Dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Republik Indonesia,
sebagai bagian dari masyarakat internasional, melakukan hubungan
dan kerja sama internasional yang diwujudkan dalam perjanjian
internasional.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi yang semakin
canggih, telah menyebabkan wilayah negara yang satu dengan wilayah
negara yang lain seakan-akan tanpa batas (borderless), sehingga
memudahkan lalu lintas dan perpindahan manusia dari satu negara ke
negara lain.
Di samping mempunyai dampak positif bagi kehidupan manusia,
kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi juga
membawa dampak negatif yang bersifat transnasional yaitu memberikan
peluang yang lebih besar bagi pelaku kejahatan untuk meloloskan diri
dari penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan pidana dari negara
tempat kejahatan dilakukan. Untuk mencegah hal tersebut, diperlukan
hubungan dan kerja sama antarnegara yang dilakukan melalui berbagai
perjanjian baik bilateral maupun multilateral.
Menyadari . . .
- 2 -
Menyadari adanya pelaku kejahatan yang meloloskan diri dari
penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan pidana dari negara tempat
kejahatan dilakukan, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Republik Sosialis Viet Nam telah sepakat mengadakan kerja sama
Ekstradisi yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Juni 2013 di
Jakarta. Dengan adanya perjanjian tersebut, hubungan dan kerja sama
antara kedua negara dalam bidang penegakan hukum dan
pemberantasan kejahatan atas dasar kerja sama yang saling
menguntungkan (mutual benefit), diharapkan semakin meningkat.
Saat ini Indonesia telah memiliki 6 (enam) Undang-Undang yang
mengesahkan perjanjian bilateral mengenai Ekstradisi dan 1 (satu)
Undang-Undang yang mengesahkan perjanjian bilateral mengenai
perjanjian untuk penyerahan pelanggar hukum yang melarikan diri.
Ketujuh Undang-Undang tersebut, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1974 tentang Pengesahan
Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Malaysia mengenai Ekstradisi;
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1976 tentang Pengesahan
Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik
Philippina serta Protokol;
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978 tentang Pengesahan
Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Kerajaan Thailand tentang Ekstradisi;
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia;
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001 tentang Pengesahan
Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri
(Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and
the Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders);
6. Undang-Undang . . .
- 3 -
6. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2007 tentang Pengesahan
Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Korea
(Treaty on Extradition between the Republic of Indonesia and the
Republic of Korea); dan
7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengesahan
Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik India
(Extradition Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic
of India).
Dengan disahkannya Undang-Undang tentang Pengesahan
Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Sosialis
Viet Nam akan mendukung penegakan hukum di Indonesia terutama
yang berkaitan dengan kejahatan lintas negara (transnational crime).
Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik
Sosialis Viet Nam memuat asas antara lain:
a. Ekstradisi dilaksanakan terhadap setiap orang yang ditemukan
berada di wilayah Pihak Diminta dan dicari oleh Pihak Peminta
untuk penuntutan, persidangan, atau pelaksanaan hukuman untuk
tindak pidana yang dapat diekstradisikan, meskipun tindak pidana
tersebut dilakukan sebelum atau setelah berlakunya Perjanjian ini;
b. suatu tindak pidana merupakan tindak pidana yang dapat
diekstradisikan, apabila tindak pidana tersebut dapat dihukum
menurut hukum kedua Pihak, dengan ancaman pidana penjara
paling sedikit satu tahun atau dengan hukuman yang lebih berat;
c. suatu tindak pidana dapat diekstradisikan, tanpa
mempertimbangkan apakah perbuatan yang dituduhkan kepada
orang yang diminta telah dilakukan secara keseluruhan atau
sebagian di wilayah Pihak Diminta, apabila berdasarkan hukum
Pihak Diminta, perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya, atau
akibat yang dikehendaki, secara keseluruhan dianggap sebagai
tindak pidana yang terjadi di wilayah Pihak Peminta;
d. Ekstradisi . . .
- 4 -
d. Ekstradisi tidak dikabulkan apabila tindak pidana yang dimintakan
Ekstradisi adalah tindak pidana politik;
e. Ekstradisi tidak dikabulkan apabila tindak pidana yang dimintakan
Ekstradisi adalah tindak pidana militer, yang bukan merupakan
tindak pidana dalam hukum pidana umum;
f. tidak satu Pihak pun terikat untuk mengekstradisikan warga
negaranya menurut Perjanjian ini;
g. Ekstradisi dapat tidak dikabulkan apabila Pihak Diminta memiliki
yurisdiksi atas tindak pidana yang dimintakan Ekstradisi sesuai
dengan hukum nasionalnya;
h. orang yang diekstradisikan berdasarkan Perjanjian ini tidak boleh
diproses hukum ataupun menjalani hukuman pidana pada Pihak
Peminta atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang tersebut
sebelum penyerahannya selain tindak pidana yang permintaan
Ekstradisinya dikabulkan, ataupun orang tersebut tidak boleh
diekstradisi lagi ke negara ketiga, kecuali:
1. Pihak Diminta telah menyetujui sebelumnya;
2. orang tersebut belum meninggalkan wilayah Pihak Peminta
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendapatkan
kebebasan untuk meninggalkan wilayah Pihak Peminta atau
orang tersebut telah secara sukarela kembali ke wilayah Pihak
Peminta setelah meninggalkan wilayah tersebut;
3. setiap tindak pidana yang lebih ringan yang diungkapkan dengan
fakta-fakta untuk tujuan memastikan kembalinya orang yang
dimintakan Ekstradisinya, selain tindak pidana yang secara
hukum tidak dapat dimintakan ekstradisinya.
i. orang yang dimintakan Ekstradisi tidak dapat dituntut karena
daluwarsa berdasarkan hukum Pihak Peminta atau hukumannya
tidak dapat dilaksanakan karena adanya pengampunan.
II. Pasal . . .
- 5 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5673