keadaan hemostasis pada penderita hemofilia
TRANSCRIPT
KEADAAN HEMOSTASIS PADA PENDERITA
HEMOFILIA
Penulis :
drg. I Gst Ayu Fienna Novianthi Sidiartha, Sp.KG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa k a r e n a atas
berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan kajian pustaka ini. Penulis menyadari
bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan masukan dari berbagai pihak pada penyusunan
kajian pustaka ini, sangatlah sulit untuk dirampungkan. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan kajian
pustaka ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dari kajian pustaka ini,
maka dari itu penulis memohon maaf apabila ada kesalahan maupun kekurangan dari
penulisan kajian pustaka ini. Semoga kajian pustaka ini dapat memberikaan manfaat bagi
setiap orang yang membacanya.
Denpasar, 19 Desember 2018
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ...................................................................................................................
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
1.3 Tujuan .................................................................................................................. 2
1.4 Manfaat ................................................................................................................ 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 4
2.1. Darah ......................................................................................................................... 4
2.2. Komponen Darah ...................................................................................................... 4
2.3. Fungsi Darah ............................................................................................................. 9
2.4. Hemostasis .............................................................................................................. 10
2.5. Mekanisme Hemostasis .......................................................................................... 11
2.6. Hemofilia ................................................................................................................ 13
2.7. Kelaianan Darah Pada Penderita Hemofilia ........................................................... 17
2.8. Keadaan Hemostasis Pada Penderita Hemofilia ..................................................... 19
2.9. Penatalaksanaan Hemofilia ..................................................................................... 20
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 22
3.1. Kesimpulan ............................................................................................................. 22
3.2. Saran ....................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap orang pada umumnya menginginkan hidup yang sehat fisik maupun psikis, dengan
berbagai upaya menerapkan pola hidup yang sehat, seperti berolahraga secara rutin dan
mengatur pola makan. Namun pada kenyataanya terdapat beberapa penyakit yang tidak dapat
dihindari, seperti diantaranya kecacatan fisik sejak lahir dan penyakit keturunan. Beberapa
contoh dari penyakit keturunan diantaranya adalah Diabetes, Albino, Hemofilia dan lain
sebagainya. Penyakit keturunan tidaklah dapat disembuhkan melainkan hanya dapat dikelola
dengan baik agar penderita dapat hidup secara normal. Ketika mendengar “Hemofilia” yang
terbesit dalam pikiran adalah penyakit herediter yang mematikan. Hemofilia diturunkan dari
orang tua kepada anaknya, meskipun sebagian kecil penderita hemofilia tidak memiliki riwayat
keluarga hemofilia tetapi kemungkinan terjadi karena mutasi genetik.
Pada tahun 1803, Dr. John Conrad Otto, seorang dokter asal Philadelphia menulis
sebuah laporan mengenai perdarahan yang terjadi pada suatu keluarga tertentu. Beliau
menyimpulkan bahwa kondisi tersebut hanya dapat diturunkan pada pria. Beliau menelusuri
penyakit tersebut pada seorang wanita dengan tiga generasi sebelumnya yang tinggal dekat
Plymouth, New Hampshire pada tahun 1780. Kata hemofilia pertama kali muncul pada sebuah
buku yang ditulis oleh Hopff di Universitas Zurich, tahun 1828. Dan menurut ensiklopedia
Britanica, istilah hemofilia (haemophilia) pertama kali diperkenalkan oleh seorang dokter
berkebangsaan Jerman, Johann Lukas Schonlein (1793-1864), pada tahun 1928 (Maritalia,
2012)
2
Penyakit hemofilia merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan
hemostasis pada proses pembekuan darah pada manusia pada faktor VIII dan IX. Menurut
survey angka kejadian hemofilia A adalah 1 dari 10.000 kelahiran, sedangkan hemofilia B 1
dari 60.000 kelahiran. Dalam sebuah peneltian menunjukan bahwa di Indonesia terdapat 1.409
pasien baik anak maupun dewasa. Hemofilia dapat terjadi dalam bentuk ringan, sedang, dan
berat berkaitan dengan kadar faktor plasma.
Penyakit hemofilia merupakan penyakit keturunan yang jarang terjadi dan yang memiliki
angka harapan hidup terpendek. Penderita hemofilia cenderung meninggal pada usia anak-
anak, hal tersebut terjadi karena tanggalnya gigi susu pada masa anak-anak yang tidak dapat
dihindari. Ketika tanggalnya gigi susu, maka akan terjadi pendarahan terus-menerus yang
akhirnya menyebakan kematian. Namun seiring berkembangnya pengetahuan medis
angka harapan hidup pasien hemofilia dapat ditingkatkan dengan terapi. Terapi hemofilia
dengan pemberian FVIII telah meningkatkan harapan hidup secara bermakna. Pada awal tahun
1900 harapan hidup hanya sekitar 11,3 tahun, sedangkan saat ini harapan hidup pasien
hemofilia berkisar antara 60-70 tahun (Prasetyawaty, 2016).
1.2 Rumusan masalah
Bagaimana keadaan hemostasis pada penderita hemofilia?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan student project ini adalah untuk mengetahui bagaimana keadaan
hemostasis pada penderita hemofilia.
3
1.4 Manfaat
Penulisan student project ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.4.1 Memberikan pengetahuan mengenai keadaan hemostasis pada penderita hemofilia.
1.4.2 Menjadi sumber pengetahuan bagi masyakat agar dapat meningkatkan angka
harapan hidup bagi penderita hemofilia.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Darah
Darah adalah komponen penting yang terdiri dari komponen cair dan padat.
Komponen cair disebut plasma dan yang padat disebut sel darah. Beberapa unsur sel
darah antara lain sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah
yang disebut trombosit. Pembentukan dan pematangan sel darah ini terjadi di sumsum
tulang, proses pembentukan sel darah ini disebut hematopoiesis (Price dan Wilson,
2013). Volume darah secara keseluruhan rata-ratanya adalah 5 liter. Sekitar 55% nya
adalah cairan, sedangkan 45% terdiri atas sel darah, angka ini dinyatakan dalam nilai
hematokrit atau volume sel darah yang dipadatkan berkisar antara 40% sampai 47%
(Pearce, 2009).
2.2 Komponen darah
Komponen darah manusia dapat terbagi menjadi dua bagian besar, yakni plasma darah
dan sel-sel darah. Kandungan plasma darah ini sebesar 55% di dalam darah, sedangkan
kandungan sel-sel darah ini sebesar 45%. Dan volume darah hanya 7-8% dari berat badan
tubuh kita.
2.2.1 Plasma
Komponen darah yang pertama adalah plasma darah. Pada dasarnya, plasma
darah merupakan air yang mengandung hormon, berbagai jenis protein, berbagai
jenis garam, dan lain-lain. Persentase kandungannya sebesar 90% air, 7% protein,
0,9% garam dan 0,1% adalah glukosa. Selain itu, plasma darah juga memiliki
kandungan pH sebesar 6,8-7,7. Kandungan protein dalam plasma darah adalah
seberat sekitar 200-300 gram dari total berat seluruh plasma darah di dalam tubuh
kita. Nantinya, protein ini akan membentuk koloid yang dapat memberikan
pengaruh terhadap tingkat kekentalan pada darah. Jenis-jenis protein yang
terkandung dalam plasma darah, yakni albumin, beta globulin dan fibrinogen.
Albumin biasanya disebut sebagai serum albumin dan memiliki volume yang
besar dibandingkan jenis asam yang lainnya, yaitu sebesar 4-5% (Mallo et al.,
2012). Selain itu, plasma darah juga memiliki beberapa fungsi yang sangat
penting, antara lain :
1. Sebagai transportasi
Salah satu fungsi paling penting plasma darah yakni sebagai transportasi
hasil metabolisme yang diperlukan oleh tubuh. Saat makanan dicerna oleh
usus kemudian dipecah menjadi komponen-komponen yang lebih kecil
seperti lipid, glukosa, dan asam lemak, plasma darah berfungsi
mentransformasikan seluruh komponen tersebut ke seluruh tubuh. Selain itu,
plasma darah juga berfungsi sebagai pengangkut zat sisa hasil metabolisme
menuju alat-alat eksresi tubuh, seperti urea, amonium garam yang bisa
dikeluarkan melalui ginjal.
2. Penjaga keseimbangan elektrolit di dalam darah.
Plasma darah membawa garam ke seluruh tubuh, hal ini disebut elektrolit.
Garam-garam tersebut antara lain seperti natrium, kalsium, kalium,
magnesium, dan klorida. Kandungan ini sangat penting bagi fungsi tubuh.
Tanpa garam-garam ini, otot tidak akan bisa berkontraksi dan saraf-saraf
tidak akan bisa mengirim sinyal dari dan ke otak.
3. Mempertahankan tubuh
Plasma membawa banyak protein lain ke seluruh tubuh. Contohnya adalah
immunoglobulin yang juga dikenal sebagai antibodi merupakan protein yang
melawan zat asing, seperti bakteri yang menyerang tubuh. Ada juga protein
fibrinogen yang diperlukan untuk membantu trombosit dalam proses
pembekuan darah. Dengan protein ini, plasma darah memiliki peran penting
dalam mempertahankan tubuh terhadap infeksi dan kehilangan darah dalam
jumlah yang besar.
2.2.2 Sel-sel Darah
Sel darah pada manusia dapat dibagi menjadi tiga, yakni sel darah merah
(eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping-keping darah atau trombosit
(Fajrina et al., 2016).
1. Sel darah merah (Eritrosit)
Sel darah merah merupakan salah satu penyusun jaringan darah pada
manusia yang paling besar. Pada wanita, kandungan eritrositnya sekitar 4,5
juta/mm3, sedangkan pada laki-laki, kandungan eritrositnya sekitar 5 juta/mm3.
Sel darah merah berbentuk seperti cakram dengan diameter 75 nm, dan memiliki
ketebalan di tepi 2 nm dan ketebalan ditengah 1 nm. Pada orang dewasa, sel
darah merah dibentuk di dalam sumsum tulang. Sel pembentuk ini dinamakan
osteoblast. Namun pada embrio, sel darah merah dibentuk di dalam hati dan
limpa. Warna merah pada sel darah merah disebabkan karena pigmen merah
yang disebut hemoglobin (Hb). Hemoglobin adalah suatu protein yang terdiri
atashemin yang mengandung zat besi serta globin. Hb ini mempunyai daya ikat
tinggi terhadap O2. Dalam peredarannya menuju seluruh tubuh, oksigen diikat
oleh Hb yang kemudian diberi nama oksihemoglobin. Selain mengikat O2, Hb
juga dapat mengikat CO2 dan sisa metabolisme tubuh untuk dikeluarkan ke luar
tubuh melalui organ-organ ekskresi, Hb tersebut dinamakan
karbominohemoglobin.
2. Sel darah putih (Leukosit)
Sel darah putih merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh
terhadap infeksi dari luar tubuh. Saat terjadi luka, maka sel darah putih akan
berkumpul di tempat terjadinya luka yang merupakan jalur masuk bagi bakteri
dan virus. Saat ada bakteri atau virus yang masuk, maka sel darah putih akan
menyerang virus atau bakteri tersebut yang hasilnya akan menimbulkan nanah.
Sel darah putih memilki nukleus yang bentuknya bervariasi. Ukurannya sekitar
10 nm – 25 nm. Sel darah putih berfungsi untuk melindungi badan dari infeksi
penyakit serta sebagai antibodi di dalam tubuh. Jumlah sel darah putih dalam
tubuh lebih sedikit daripada sel darah merah dengan perbandingan 1:700.
Jumlah sel darah putih di dalam tubuh berkisar antara 5.000–9.000 butir/mm3,
namun jumlah ini bisa saja naik atau turun. Salah satu faktor penyebab turunnya
sel darah putih adalah karena infeksi kuman/penyakit. Pada kondisi sel darah
putih yang turun di bawah normal disebut dengan leukopenia, sedangkan saat di
mana jumlah sel darah putih naik di atas jumlah normal disebut dengan
leukositosis. Sel darah putih diproduksi di dalam sumsum tulang, limfe, dan
kelenjar limfe.
Sel darah putih terdiri dari agranulosit dan granulosit. Agranulosit
merupakan leukosit dimana plasmanya tidak bergranula, sedangkan granulosit
merupakan leukosit dimana plasmanya memiliki granula.
2.1 Granulosit (leukosit bergranula)
2.1.1 Neutrofil, plasmanya bersifat netral, inti selnya sering kali berjumlah
banyak dengan bentuk bermacam-macam, bersifat fagositosis
terhadap eritrosit.
2.1.2 Eosinofil, plasmanya bersifat asam sehingga akan berwarna merah
tua bila ditetes eosin, bersifat fagosit dan jumlahnya akan meningkat
jika tubuh terkena infeksi.
2.1.3 Basofil, plasmanya bersifat basa sehingga akan berwarna biru jika
ditetesi larutan basa, jumlahnya bertambah banyak jika terjadi infeksi,
bersifat fagosit, mengandung heparin, yaitu zat kimia anti
penggumpalan.
2.2 Agranulosit (leukosit tidak bergranula)
2.2.1 Limfosit, tidak dapat bergerak, berinti satu, ukuran ada yang besar dan
ada yang kecil, berfungsi untuk membentuk antibodi.
2.2.2 Monosit, dapat bergerak seperti Amoeba, mempunyai inti yang bulat
atau bulat panjang, diproduksi pada jaringan limfa dan bersifat
fagosit.
3. Keping darah (Trombosit)
Di dalam darah mengandung protein (trombin) yang akan larut dalam plasma
darah yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin atau benang-benang. Fibrin
tersebut akan membentuk anyaman dan terisi keping darah, sehingga
menyebabkan penyumbatan dan akhirnya darah membeku. Kulit terluka
mengakibatkan darah keluar dari pembuluh darah. Trombosit juga ikut keluar
bersama darah kemudian menyentuh permukaan-permukaan kasar dan akan
menyebabkan trombosit pecah. Trombosit akan mengeluarkan zat (enzim) yang
disebut trombokinase. Trombokinase ini akan masuk ke dalam plasma darah dan
akan mengubah protrombin menjadi enzim aktif yang disebut dengan trombin.
Perubahan tersebut dipengaruhi oleh ion kalsium (Ca2+) di dalam plasma darah.
Protrombin merupakan senyawa protein yang larut di dalam darah yang
mengandung globulin. Zat ini adalah enzim yang belum aktif yang dibentuk oleh
hati. Pembentukannya dibantu oleh vitamin K. Trombin yang terbentuk tersebut
akan mengubah fibrinogen menjadi benang-benang fibrin. Terbentuknya
benang-benang fibrin ini akan menyebabkan luka tertutup sehingga darah tidak
mengalir keluar lagi. Fibrinogen merupakan sejenis protein yang larut dalam
darah.
2.3 Fungsi Darah
Fungsi darah di dalam tubuh yang terpenting yaitu sebagai alat transportasi, misalnya
membawa dan menghantarkan nutrisi dan bahan kimia dari saluran pencernaan ke
seluruh jaringan tubuh. Menghantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh.
Membawa keluar sisa metabolisme dan karbondioksida untuk diekskresi. Membantu
mengangkut hormon dan enzim dari tempat produksi ke organ target (Siswanto, 2017).
Selanjutnya darah juga memiliki fungsi mempertahankan temperatur atau suhu tubuh
karena darah dalam arteri mempunyai panas spesifik yang tinggi. Sel darah putih sebagai
media pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme. Mempertahankan keseimbangan
asam basa untuk menghindari kerusakan jaringan dengan menggunakan hemoglobin,
oksihemoglobin, bikarbonat, fosfat, dan protein plasma (Fajrina, 2016).
2.4 Hemostasis
Hemostasis adalah mekanisme tubuh yang berfungsi dalam pencegahan kehilangan
darah yang berlebih saat terjadinya trauma ataupun luka. Terdapat tiga kompartemen
penting di dalam hemostasis dan berkaitan dengan trombosit, protein darah dan jaringan-
jaringan fibrin pembuluh darah (Mahmuddin, 2015). Hemostasis merupakan suatu fungsi
tubuh yang berperan untuk mempertahankan keenceran darah sehingga darah tetap
mengalir pada pembuluh darah dan dapat menutup kerusakan dinding pembuluh darah
sehingga mengurangi kehilangan darah pada saat terjadinya kerusakan pembuluh darah.
Terdapat empat sistem yang dilibatkan dalam hemostasis diantaranya yaitu sistem
vaskuler, sistem trombosit, sistem koagulasi, dan sistem fibrinolisis. Keempat sistem
tersebut harus saling berkoordinasi untuk mendapatkan hemostasis yang baik.
2.4.1 Komponen Hemostasis
Hemostasis terdiri atas beberapa komponen yaitu diantaranya trombosit dan
endotel vaskuler (Kemenkes RI, 2018). Berikut penjelasannya:
1. Trombosit
Trombosit merupakan sel yang ikut terlibat dalam proses hemostasis.
Trombosit dihasilkan dari megakariosit. Jumlah trombosit yang terdapat pada
darah normal adalah 150.000-450.000/ μL, tetapi 5% populasi normal memiliki
hitung trombosit di luar rentang nilai normal. Hormon trombopoietin (TPO)
merupakan regulator utama produksi trombosit, terutama yang disintesis pada
hepar. Dalam sirkulasinya rata-rata masa hidup trombosit adalah 7-10 hari
(Sianipar, 2014).
2. Endotel vaskuler
Sel endotel vaskular melapisi seluruh sistem peredaran darah, dari jantung
hingga kapiler terkecil. Sel ini memiliki fungsi unik dalam biologi vaskular.
Fungsi sel endotel vaskular yaitu filtrasi cairan, tonus pembuluh darah,
hemostasis, pengerahan neutrofil, dan lalu lintas hormon.
2.5 Mekanisme Hemostasis
Pada pembuluh darah yang mengalami kerusakan terjadi vasokonstriksi inisial
sehingga aliran darah di sebelah distal cedera terganggu (Kemenkes RI, 2018).
Hemostasis memiliki 3 fase yaitu :
1. Pembekuan pada proses pembentukan agregasi trombosit yang masih awal, masih
longgar dan bersifat sementara pada tempat luka. Kolagen diikat oleh trombosit pada
luka pembuluh darah dan selanjutnya diaktifkan oleh trombin yang terbentuk dalam
kaskade peristiwa koagulasi pada tempat yang sama, atau oleh ADP yang dilepaskan
trombosit aktif lainnya. Pada pengaktifan, trombosit akan berubah bentuk dan dengan
adanya fibrinogen, trombosit kemudian melakukan proses agregasi untuk membentuk
sumbat hemostatik ataupun trombus (Kemenkes RI, 2018).
2. Terbentuknya jaring atau benang fibrin yang terikat dengan agregat trombosit
sehingga terjadi sumbatan hemostatik atau disebut juga dengan trombus yang kuat dan
stabil (Kemenkes RI, 2018).
3. Proses pelarutan parsial atau total agregat hemostatik atau trombus oleh plasmin
(Kemenkes RI, 2018).
Faal hemostasis untuk dapat berjalan normal memerlukan tiga langkah, yaitu :
Langkah I : Langkah pertama ini juga disebut dengan Hemostasis primer, yang
merupakan pembentukan “primary platelet plug”. Hal ini terjadi
apabila terdapat deskuamasi dan luka kecil pada pembuluh darah.
Tunika intima pembuluh darah dan trombosit dilibatkan dalam
langkah ini. Luka akan menginduksi terjadinya vasokonstriksi dan
sumbat trombosit. Sifat dari hemostasis primer ini adalah cepat dan
tidak bertahan lama (Mahmuddin, 2015).
Langkah II : Langkah kedua atau Hemostasis sekunder merupakan pembentukan stable
hemostatic plug (platelet+fibrin plug). Hemostasis sekunder ini
terjadi bila terdapat luka yang relatif besar pada pembuluh darah atau
jaringan lain, sehingga vasokontriksi dan sumbat trombosit belum
cukup untuk mengkompensasi luka tersebut. Trombosit dan faktor
koagulasi serta mencakup pembentukan jaring-jaring fibrin dilibatkan
hemostasis sekunder. Sifat dari hemostasis sekunder ini adalah
delayed and long-term response (Mahmuddin, 2015).
Langkah III : Hemostasis tersier, memiliki tujuan untuk mengontrol agar aktivitas
koagulasi tidak berlebihan. Sistem fibrinolisis terlibat pada
hemostasis tersier. Fibrinolisis yang dapat menyebabkan lisis dari
fibrin setelah dinding vaskuler mengalami reparasi sehingga
pembuluh darah kembali (Mahmuddin, 2015).
3.6 Hemofilia
3.6.1 Definisi Hemofilia
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang paling
sering dijumpai, bermanifestasi sebagai episode pendarahan intermiten. Hemofilia
disebabkan oleh mutasi gen faktor VIII (F VIII) atau faktor IX (F IX),
dikelompokkan sebagai hemofolia A dan hemofilia B. Kedua gen tersebut terletak
pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit resesif terkait-X (Ginsberg,2008).
Oleh karena itu, semua anak perempuan dari laki-laki yang menderita hemofilia
adalah karier penyakit, dan anak laki-laki tidak terkena. Anak laki-laki dari
perempuan yang karier memiliki kemungkinan 50% untuk menderita penyakit
hemofilia. Dapat terjadi wanita homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia, ibu
karier), tetapi keadaan ini sangat jarang terjadi. Kira-kira 33% pasien tidak
memiliki riwayat keluarga dan mungkin akibat mutasi spontan.
Hemofilia merupakan kelainan perdarahan herediter terikat faktor resesif yang
dikarakteristikkan oleh defisiensi faktor pembekuan esensial yang diakibatkan oleh
mutasi pada kromosom X (Handayani, 2008).
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan
darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X
(Xh). Meskipun hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 20-30%
pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah,
sehingga diduga terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen maupun
eksogen (Aru et al, 2010).
Hemofilia adalah kelompok gangguan perdarahan yang diturunkan dengan
karakteristik defisiensi faktor pembekuan darah. Hemofilia adalah kelainan
perdarahan kongenital terkait kromosom X dengan frekuensi kurang lebih satu per
10.000 kelahiran. Jumlah orang yang terkena di seluruh dunia diperkirakan kurang
lebih 400.000. Hemofilia A lebih sering dijumpai daripada hemofilia B, yang
merupakan 80-85% dari keseluruhan.
2.6.2 Klasifikasi Hemofilia
Menurut Handayani (2008) hemofilia dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu sebagai
berikut:
1. Hemofilia A
Hemofilia Ahemofilia yang paling umum ditemukan, keadaan terkait –X
yang disebabkan oleh kekurangan faktor koagulasi VIII. Hemophilia ini juga
disebut hemofilia klasik
2. Hemofilia B
Hemofilia B, jenis hemofilia yang umum ditemukan, keadaan terkait-X
yang disebabkan oleh kekurangan faktor koagulasi IX. Hemophilia ini disebut
juga chrismast disease. Hemofilia B Leyden, bentuk peralihan defisiensi faktor
koagulasi IX, tendensi perdarahan menurun setelah pubertas.
3. Hemofilia C
Hemofilia C, gangguan autosomal yang disebabkan oleh kekurangan faktor
koagulasi XI, terutama terlihat pada orang turunan Yahudi Aohkenazi dan
ditandai dengan episode berulang perdarahan dan memar ringan, menoragia,
perdarahan pascabedah yang hebat dan lama, dan masa rekalsifikasi dan
tromboplastin parsial yang memanjang. Disebut juga plasma tromboplastin
antecedent deficiency. PTA deficiency, dan Rosenthal syndrome. (Dorland’s
Ilustrated Medical Dictionary, 29/E. 2002).
Derajat penyakit pada hemofilia :
1. Berat: Kurang dari 1 % dari jumlah normal. Penderita hemofilia berat dapat
mengalami beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang-kadang
perdarahan terjadi begitu saja tanpa sebab yang jelas.
2. Sedang: 1% – 5% dari jumlah normalnya. Penderita hemofilia sedang lebih
jarang mengalami perdarahan dibandingkan hemofilia berat. Perdarahan
kadang terjadi akibat aktivitas tubuh yang terlalu berat, seperti olahraga yang
berlebihan.
3. Ringan: 6 % – 50 % dari jumlah normalnya. Penderita hemofilia ringan
mengalami perdarahan hanya dalam situasi tertentu, seperti operasi, cabut
gigi, atau mengalami luka yang serius (Betz, Cecily Lynn. 2009).
2.6.3 Penyebab Hemofilia
Hemofilia adalah penyakit keturunan yang menyebabkan gangguan
pembekuan darah pada faktor VIII (Anti Hemophilic) yang disebut Hemofilia
A, faktor IX (Christmas Factor) yang disebut Hemofilia B dan faktor XI yang
disebut Hemofilia C. Kelainan ini disebabkan oleh mutasi gen kromosom X (X-
linked recessive) sama seperti penyakit keturunan lainnya. Ini berarti penyakit
ini menyebabkan perempuan sebagai carrrier (pembawa sifat) kepada anak laki-
laki sebagai penderita walaupun 30% dari penderita hemofilia tidak memiliki
keluarga sebagai penderita hemofilia. Hal ini dikarenakan sebagian besar kasus
hemofilia disebabkan oleh mutasi gen secara spontan (Ayu, 2016).
Ketika terjadi defisit faktor XIII, IX, dan XI maka pembentukan bekuan
darah akan terlambat dan tidak stabil, oleh karena itu penderita hemofilia
biasanya akan sulit mengalami pendarahan tetapi jika sudah terjadi pendarahan
maka darah akan sulit berhenti. Pada saat ada pendarahan pada ruang yang
tertutup maka akan berhenti akibat efek tamponade tetap jika terjadi pendarahan
pada ruang yang terbuka maka efek tamponade tidak ada dan akan terjadi
pendarahan masif (Bakta, 2017).
2.6.4 Gejala
Gambaran klinis yang sering terjadi pada klien dengan hemofilia adalah
adanya perdarahan berlebihan secara spontan setelah luka ringan,
pembengkakan, nyeri, dan kelainan-kelainan degeneratif pada sendi, serta
keterbatasan gerak. Hematuria spontan dan perdarahan gastrointestinal juga
kecacatan terjadi akibat kerusakan sendi (Handayani, Wiwik, 2008).
Pada penderita hemofilia ringan perdarahan spontan jarang terjadi dan
perdarahan terjadi setelah trauma berat atau operasi. Pada hemofilia sedang,
perdarahan spontan dapat terjadi atau dengan trauma ringan. Sedangkan pada
hemofilia berat perdarahan spontan sering terjadi dengan perdarahan ke dalam
sendi, otot dan organ dalam. Perdarahan dapat mulai terjadi semasa janin atau
pada proses persalinan. Umumnya penderita hemofilia berat perdarahan sudah
mulai terjadi pada usia di bawah 1 tahun. Pendarahan dapat terjadi di mukosa
mulut, gusi, hidung, saluran kemih, sendi lutut, pergelangan kaki dan siku
tangan, otot iliospoas, betis dan lengan bawah. Pendarahan di dalam otak, leher
atau tenggorokan dan saluran cerna yang masif dapat mengancam jiwa.
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006)
dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam menyatakan bahwa Hemartrosis paling
sering ditemukan (85%) dengan lokasi berturut-turut sebagai berikut, sendi
lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, pergelangan tangan dan lainnya. Sendi
engsel lebih sering mengalami hemartrosis dibandingkan dengan sendi peluru
karena ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan menyudut pada saat
gerakan volunter maupun involunter, sedangkan sendi peluru lebih mampu
menahan beban tersebut karena fungsinya.
Hematoma intramaskuler terjadi pada otot – otot fleksor besar, khususnya
pada otot betis, otot-otot region iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan
bawah. Hematoma ini sering menyebabkan kehilangan darah yang nyata.
Pendarahan intracranial bisa terjadi secara spontan atau trauma yang
menyebabkan kematian. Retriperitoneal dan retrofaringeal yang membahayakan
jalan nafas dan mengancam kehidupan. Kulit mudah memar, pendarahan
memanjang akibat luka, hematuria spontan, epiktasis, hemartrosis (perdarahan
pada persendian menyebabkan nyeri, pembengkakan, dan keterbatasan gerak,
serta pendarahan jaringan lunak. Pembengkakan, keterbatasan gerak, nyeri dan
kelainan degenerative pada persendian yang lama kelamaan dapat
mengakibatkan kecacatan (Aru et al, 2010).
2.7 Kelainan Darah Pada Penderita Hemofilia
Hemofilia adalah kelainan koagulasi arah bawaan yang paling sering dan serius,
berhubungan dengan defisiensi faktor VIII, IX atau XI. Biasanya hanya terdapat pada
anak laki-laki, terpaut kromosom x dan bersifat resesif. Sekitar 80% kasus hemofilia
adalah hemofilia A. Hemofilia jenis ini disebut juga hemofilia klasik, karena jenis
hemofilia ini adalah paling banyak kekurangan faktor pembekuan pada darah. Penyakit
ini disebabkan oleh defisiensi faktor VIII (globulin atau faktor anti hemolitik) yang
diturunkan secara genetik (Antihaemophilic Factor). Mekanisme pembekuan pada
penderita hemofili mengalami gangguan yaitu jumlah pembeku darah jenis tertentu
kurang dari jumlah normal, bahkan hampir tidak ada. Darah pada seorang penderita
hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan
pada seorang penderita hemofilia tidak secepat dan sebanyak orang lain yang normal. Ia
akan lebih banyak membutuhkan waktu untuk proses pembekuan darahnya. Penderita
hemofilia kebanyakan mengalami gangguan perdarahan dibawah kulit, seperti luka
memar jika sedikit mengalami benturan, atau luka memar timbul dengan sendirinya jika
penderita telah melakukan aktifitas yang berat, pembengkakan pada persendian, seperti
lutut, pergelangan kaki atau siku tangan.Pada kasus hemofilia ringan sampai sedang
menunjukan riwayat perdarahan yang terus-menerus yang sering melibatkan rongga
mulut. Penderita hemofilia-A dapat mengalami perdarahan spontan pada gingiva yang
mengalami inflamasi (Afanty, 2008).
Hemofilia adalah gangguan perdarahan bersifat herediter yang berkaitan dengan
defesiensi atau kelainan biologik faktor VIII, Faktor X dan faktor XI dalam plasma.
Hemofilia merupakan penyakit gangguan pembekuan darah yang diturunkan melalui
kromosom X. Karena itu, penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria karena mereka
hanya mempunyai kromosom X, sedangkan wanita umumnya terjadi pembawa sifat saja
(carrier). Namun, wanita juga bisa menderita hemofilia jika mendapatkan kromosom X
dari ayah hemofilia dan ibu pembawa carrier serta bersifat letal (Summer, 2010). Gejala
yang paling sering terjadi pada hemofilia ialah perdarahan, baik yang terjadi di dalam
tubuh (internal bleeding) maupun yang terjadi di luar tubuh (external bleeding). Internal
bleeding yang terjadi dapat berupa: hyphema, hematemesis, hematoma, perdarahan
intrakranial, hematuria, melena, dan hemartrosis. Terdapatnya external bleeding dapat
bermanifestasi sebagai pendarahan masif dari mulut ketika ada gigi yang tanggal
(Prastowo, 2010).
Secara umum, penderita hemofilia parah atau berat yang hanya memiliki faktor VIII
atau faktor IX kurang dari 1% dari jumlah normal di dalam darahnya, dapat mengalami
beberapa kali pendarahan dalam sebulan. Kadang-kadang pendarahan terjadi begitu saja
tanpa sebab yang jelas. Penderita sedang lebih jarang mengalami perdarahan
dibandingkan hemofilia berat. Perdarahan kadang terjadi akibat aktifitas tubuh yang
terlalu berat, seperti olahraga yang berlebihan. Penderita hemofilia ringan lebih jarang
mengalami perdarahan. Mereka mengalami masalah perdarahan hanya dalam situasi
tertentu, seperti operasi, cabut gigi atau mengalami luka yang serius. Wanita hemofilia
ringan mungkin akan mengalami perdarahan lebih pada saat mengalami menstruasi
(Koesema, 2008).
2.8 Keadaan Hemostasis Pada Penderita Hemofilia
Hemostasis bergantung pada beberapa faktor diantaranya faktor koagulasi, trombosit
dan pembuluh darah. Mekanisme hemostasis terdiri dari respons pembuluh darah, adesi
trombosit, agregasi trombosit, pembentukan bekuan darah, stabilisasi bekuan darah,
pembatasan bekuan darah pada tempat cedera oleh regulasi antikoagulan, dan pemulihan
aliran darah melalui proses fibrinolisis dan penyembuhan pembuluh darah (Kemenkes
RI, 2018).
Cidera yang terjadi pada pembuluh darah akan menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah dan terpaparnya darah terhadap matriks subendotelial. Faktor von
Willebrand (vWF) akan aktif yang diikuti dengan adesi trombosit. Setelah proses ini,
adenosine diphosphatase, tromboxane A2 dan protein lain trombosit dilepaskan granul
yang berada di dalam trombosit dan menyebabkan agregasi pada trombosit. Selain itu,
cidera yang terjadi pada pembuluh darah juga melepaskan tissue factor dan melakukan
perubahan pada permukaan pembuluh darah, sehingga memulai kaskade pembekuan
darah dan menghasilkan fibrin. Bekuan fibrin dan trombosit ini akan distabilkan oleh
faktor XIII (Ariambarini, 2016).
Penderita hemofilia mengalami defisit F VIII atau F IX yang mengakibatkan tidak
stabilnya pembentukan bekuan darah. Pendarahan yang terjadi di dalam ruang tertutup
seperti pada sendi, proses perdarahan terhenti akibat adanya efek tamponade.
Namun pada luka terbuka tidak ada efek tamponade dan pendarahan masih dapat terjadi.
Defisit F VIII dan F IX ini disebabkan oleh mutasi yang terjadi pada gen F8 dan F9.
2.9 Penatalaksanaan Hemofilia
2.9.1 Terapi Suportif
1. Melakukan pencegahan baik menghindari luka atau benturan
2. Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan kadar aktivitas
faktor pembekuan sekitar 30-50%
3. Lakukan Rest, Ice, Compressio, Elevation (RICE) pada lokasi perdarahan
untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi.
4. Kortikosteroid, untuk menghilangkan proses inflamasi pada sinovitis akut
yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis
5. Analgetik, diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri hebat, hindari
analgetik yang mengganggu agregasi trombosit
6. Rehabilitasi medik, sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara komprehensif
dan holistic dalam sebuah tim karena keterlambatan pengelolaan akan
menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan baik fisik, okupasi maupun
psikososial dan edukasi. Rehabilitasi medis atritis hemofilia meliputi : latihan
pasif/aktif, terapi dingin dan panas, penggunaan ortosis, terapi psikososial dan
terapi rekreasi serta edukasi.
2.9.2 Terapi Pengganti Faktor Pembekuan
Dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX baik rekombinan,
kosentrat maupun komponen darah yang mengandung cukup banyak faktor
pembekuan tersebut. Hal ini berfungsi untuk profil aktif/untuk mengatasi
episode perdarahan. Jumlah yang diberikan bergantung pada faktor yang
kurang.
2.9.3 Terapi lainnya
1. Pemberian DDAVP (desmopresin) pada pasien dengan hemofili A ringan
sampai sedang. DDAVP meningkatkan pelepasan factor VIII.
2. Pemberian prednisone 0.5-1 mg/kg/bb/hari selama 5-7 hari mencegah
terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi (atrosis) yang mengganggu aktivitas
harian serta menurunkan kualitas hidup pasien Hemofilia (Aru et al, 2010)
3. Transfusi periodik dari plasma beku segar (PBS)
4. Hindari pemberian aspirin atau suntikan secara IM
5. Membersihkan mulut sebagai upaya pencegahan
6. Bidai dan alat orthopedic bagi pasien yang mengalami perdarahan otak dan
sendi (Handayani, Wiwik, 2008).
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hemofilia merupakan penyakit yang diturunkan dari orang tua dan menyebabkan
gangguang hemostasis. Hemofilia disebabkan oleh mutasi gen kromoson x (x-linked
recessive) sehingga wanita cenderung menjadi pembawa sifat sedangkan laki-laki
sebagian besar menjadi penderita. Gangguan hemostasis yang terjadi yaitu kurangnya
atau bahkan tidak adanya faktor koagulasi VIII (Anti Hemophilic) untuk penderita
hemofilia A, kurang atau tidak adanya faktor koagulasi IX untuk penderita Hemofilia B
dan kurangnya atau tidak adanya faktor koagulasi XI. Penderita hemofilia biasanya sulit
untuk mengalami pendarahan tetapi ketika sudah mengalami pendarahan akan sangat
susah untuk membeku. Tentunya penyakit ini merupakan penyakit yang tidak bisa
disembuhkan dan hanya dapat dicegah serta diobati gejalanya seperti melakukan terapi
suportif yaitu mencegah adanya benturan yang menyebabkan luka, melakukan RICE,
melakukan operasi untuk mempertahankan faktor koagulasi, meminum obat anti nyeri
jika seandainya gejala klinis meradang dan melakukan rehabilitas medik.
3.2 Saran
3.2.1 Saran kepada masyarakat
Penyakit ini merupakan penyakit keturunan yang jelas saja sangat tidak
mungkin untuk dicegah melainkan penyakit ini hanya dapat diatasi gejalanya
saja. Cara mengatasinya dengan melakukan terapi. Berbagai macam terapi
17
untuk hemofilia memang tidak akan menyembuhkan penyakit hemofilia tetapi
dengan dilakukannya terapi-terapi tersebut maka diharapkan angka harapan
hidup pasien meningkat.
3.2.2 Saran kepada mahasiswa
Sebagai calon tenaga kesehatan kita seharusnya dapat melakukan sosialisasi
guna memberikan edukasi mengenai terapi dan penatalaksanaan penyakit
hemofilia kepada masyarakat. Di zaman globalisasi ini para peneliti banyak
menciptakan terapi maupun penatalaksanaan lainnya untuk mempertahankan
angka harapan hidup penderita hemofilia. Terapi yang ada seperti terapi yang
mengobati gejala dari hemofilia, penambahan faktor VIII, IX, dan XI yang
merupakan penyebab hemofilia, donor komposisi darah yang dibutuhkan
serta terapi lainnya. Oleh karena itu tenaga kesehatan sebaiknya menyediakan
sarana untuk penatalaksanaan hemofilia lebih banyak agar masyarakat guna
meningkatkan angka harapan hidup penderita hemofilia.
1
DAFTAR PUSTAKA
Afanty, A. 2008. Perawatan Gingivitis pada Penderita Hemofilia-A (Gingivitis
Treatment in Children with Hemofilia-A). Jurnal Kedokteran Gigi Indonesia
(PDGI). Edisi Khusus PIN IKGIA II: 191-194.
Ariambarini, 2016, Patofisiologi Hemofilia B, diakses pada tanggal 15 November 2018
(20:35),
tersedia di http://repository.unair.ac.id/68213/3/Fis.S.34.17%20.%20Ayu.o%20-
%20JURNAL.pdf
Aru, W., Sudoyo. 2010. Ilmu Penyakit dalam Jilid II: Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Ayu, Y.A.W. 2016. Orientasi Kesehatan Penderita Hemofilia dalam Proses Pengobatan
(Studi Kualitatif tentang Tindakan Sosial Penderita Hemofili di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya). Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Airlangga. Surabaya.
Cecily, L., Betz. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatrik alih bahasa Eni Meiliya.
Edisi 5. EGC.Jakarta.
Fajrina, S.N. 2016. Jenis-Jenis Sel Darah Beserta Fungsinya. Laporan Praktikum
Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah.
Semarang.
Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes Neurologi. Erlangga. Jakarta.
Handayani, Wiwik dan Haribowo, A.S. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Hematologi. Salemba Medika. Jakarta
2
Bakta, I.M. 2017. Hematologi Klinik Ringkas EGC. Jakarta.
Kemenkes RI. 2018. Bahan Ajar Teknologi Laboratorium Medik (LTM) Hemostasis.
Jakarta.
Koesoema., A.M. 2008. Penyakit Hemofilia di Indonesia Masalah Diagnostik dan
Pemberian Komponen Darah. Tesis. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Mahmuddin, I. 2015. Efek Antiperdarahan Alga Coklat (Sargassum sp. dan Padina sp.)
pada Luka Potong Ekor Mencit (Mus Musculus) (Pilot Study). Skripsi. Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin. Makassar.
Mallo, P. Y., Sompie, U. A. Nerasiang, dan B. S. Baharudin. 2012. Rancang Bangun
Alat Ukur Kadar Hemoglobin dan Oksigen Dalam Darah dengan Sensor
Oximeter Secara Non-Invasive. Jurnal Teknik Elektro dan Komputer 1(1).
Maritalia, R. 2012. Biologi Reproduksi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Pearce, EC. 2009. Anatomi Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia. Jakarta.
Prasetyawaty, F., L. Sukrisman, B. Setyohadi, S. Setiati, dan M. Prasetyo. 2016.
Prediktor Kualitas Hidup terkait Kesehatan pada Pasien Hemofilia Dewasa di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 3(3): 116-
124.
Prastowo, D. 2010. Penanganan Dental pada Pasien Hemofilia. Majalah Kedokteran
Gigi. Edisi Khusus Temu Ilmiah Nasional: 312-315.
Price, S.A., Wilson , L.M. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi VI. EGC. Jakarta
3
Sianipar, Nicholas Benedictus. 2014. Trombositopenia dan Berbagai Penyebabnya.
CDK-217 41(6).
Siswanto. 2017. Darah dan Cairan Tubuh. Diktat Laboratorium Fisiologi Veteriner.
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Denpasar.
Summer, E. 2010. Guidelines for the Management of Hemofilia. Montreal. World
Federation of Hemofilia.