keabsahan perjanjian kawin sebagai syaratlibrary.upnvj.ac.id/pdf/artikel/artikel_jurnal_fh/jurnal...
TRANSCRIPT
I
j
jj
BERLAKUNY A TERHADAP PIHAK KETIGA
KEABSAHAN PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI SYARAT
Tanti RisdiantiYuliana Yuli Wahyuningsih
Program Studi IImu Hukum Fakultas Hukum UPN" Veteran" Jakarta
Jl. RS Fatmawati Pondok Labu Jakarta Selatan, Telp 021 7656971Ext. 165
Abstract
In thelndonesianpositive law, Prenuptial agreement provisions stipulated
in the Indonesian Civil Code and in Act Nomor.1 year 1974 regarding Marriage.
Prenuptial agreement, as an agreement, it is considered validwhen the required
legitimate agreement egulated in Article 1320 of the Indonesian Civil Code, andit
has been made Previousoron the time of wedding. This Agreement shall be
binding on third partiesif authorized by the registrarof marriage.
Key Words: prenuptial agreement, agreement, registrar of marriage
PENDAHULUAN
Berkembangnya pengetahuan
masyarakat tentang perjanjian kawin
mengakibatkan eksistensi perjanjian
kawin im semakin mendapatkan
perhatian dan menjadi pertimbangan
bagi pasangan calon suarni istri yang
akan melangsungkan perkawinan.
Namun alasan yang dipakai
61
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
sebagai bahan pertimbangan antara satu
pasangan dengan pasangan yang lain
adalah berbeda-beda, disesuaikan
dengan kebutuhan para pasangan,
bahkan seringkali dikaitkan dengan
kepentinganaktifitas bisnisnya.
Adanya suatu pemahaman dan
tujuan akan adanya perjanjian kawin,
akan semakin memperkaya pengetahuan
seseorang dan dapat menjadi bahan
pertimbangan, sehingga bagi pasangan
calon suann istri yang akan
melangsungkan perkawinan, dapat
menentukan pilihannya dengan tepat,
apakah akan membuat perjanjian kawin
ini atau tidak. Pemahaman tentang
pengertian dan tujuan perjanjian kawin
ini tidak cukup tanpa adanya analisa
hukum yang cukup kritis, sehingga
ketika penggunaan perjanjian kawin ini
diterapkan dalam berbagai macron
praktek, tidak kehilangan
karakteristiknya dan tujuan
keberadaannya sesuai dengan aturan
perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.
Bahkan ketika suatu perkawinan
terjadi antara seorang
berkewarganegaraan Indonesia dan
berkewarganegaraan asmg, peranan
lembaga perjanjian kawin ini tetap
diminati, sehingga dalam hal lID
diperlukan suatu kemampuan untuk
menganalisa hukum secara hati-hati,
khususnya bagi Notaris dan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, yang dalam hal ini
adalah pejabat yang berwenang dan
mempunyai tugas terutama untuk
menjaga keabsahan dan keberlakuan
perjanjian kawin tersebut, sehingga
dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya.
B. PERMASALAHAN.
a. Syarat-syarat sahnya dan keberlakuan
perjanjian kawin.
b. Akibat hukum bagi akta perjanjian
kawin yang dinyatakantidak sah.
c. Perjanjian kawin sebagai solusi untuk
memperoleh property di Indonesia
bagi warga Negara Indonesia yang
menikah dengan warga Negara
Asing.
C. PEMBAHASAN.
1. Syarat-syarat sahnya dan
keberlakuan perjanjian kawin.
Ketentuan mengenai perjanjian
kawin, terdapat dalam Kitab Undang-
62
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
Undang Hukum Perdata Indonesia
(selanjutnya disebut KUH Perdata) dan
Undang-Undang nomor 1 Tahun
1974.Tentang perkawinan (selanjutnya
disebut UU No. 1/1974).
Sebelum membahas masing-masing
pasal dalam kedua peraturan tersebut,
perlu dipahami terlebih dahulu
mengenai ruang lingkup
keberlakuannya.KUH Perdata,misalnya
berlaku bagi :
- Mereka yang termasuk golongan
Eropa.
- Mereka yang tennasuk golongan
Tiong Hoa, dengan beberapa
kekecualian dan tambahan seperti
termuat dalam Lembaran Negara
Tahun 1917-129.
- Mereka yang termasuk golongan
Timur Asing lain daripada Tiong
Hoa, dengan kekecualian dan
penjelasan seperti termuat dalam
LernbaranNegara Tahun 1974-556.
UU No. 1/1974 merupakan
undang-undang yang bersifat nasional
yang berlaku bagi seluruh Warga Negara
Indonesia, baik yang di luar negeri
maupun dalam negeri.UU No.l/1974
juga berlaku bagi semua pemeluk agama
yang diakui di Indonesia.
Setelah diberlakunya UU No.1/1974,
peraturan-peraturanyang ada dinyatakan
tidak berlaku lagi sepanjang telah diatur
dalam Undang-Undang tersebut, hal ini
dinyatakan dalam pasal 66 tentang
ketentuan penutup UU No.1/1974,
dengan kata lain sepanjang telah diatur
dalam undang-undang uu, maka
ketentuan dalam KUH Perdata sudah
tidak berlaku lagi.
Sebagai acuan untuk
menentukan apakah suatu perjanjian
kawin yang dibuat sah atau tidak, maka
dasaryang dapat digunakan adalah :
a. Memenuhi syarat sahnya suatu
perjanjian secara umum syarat sahnya
suatu perjanjian ditentukan dalam pasal
. 1320 KUH Perdata, yaitu adanya
kesepakatan, kecakapan dalam
bertindak, adanya suatu hal tertentu dan
adanya suatu sebab yang halal.
Syarat pertama, tentang adanya
kesepakatan, maka kesepakatan dapat
terlihat dari adanya pembuatan
perjanjian kawin tersebut secara tertulis
yang ditandatangani oleh calon
pasangan suami istri tersebut. Namun
suatu perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh calon suami istri
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
63
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
suatu kesepakatan, apabila didalam
pembuatan dan penandatanganan
perjanjian tersebut ada unsur kesesatan,
pempuan dan paksaan.Dan untuk
membuktikan adanya unsur-unsur
tersebut, hams melalui gugatan dari
pihak yang dalam hal uu merasa
dirugikan, melalui pembuktian-
pembuktian menurut KUH Perdata.
Syarat Kedua adalah mengenai
keeakapan dalam bertindak, maka hal
yang perlu diperhatikan untuk
menentukan apakah pihak yang
membuat perjanjian kawin tersebut
cakap atau tidak adalah mengenai batas
usia dewasa dan kepastian bahwa
seseorang tersebut tidak dibawah
pengampuan. Batas usia dewasa yang
dianut di Indonesia dalam prakteknya,
tidak menunjukan adanya keseragaman,
namun jika semua pejabat yang
berwenang, khususnya notaries dan
pejabat pembuat akta tanah serta pejabat
penegak hukum lainnya mempunyai
komitmen untuk menjaga adanya
kepastian hukum, maka dalam hal ini
batas usia dewasa yang ditentukan oleh
hukum positif kita adalah mengaeu pada
undang undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang jabatan notaries, serta
Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia tertanggal 13
Oktober 1976 Nomor 477lK1Pdt, yang
menyatakan bahwa usia dewasa adalah
18 tahun. N amun ketentuan
tentang batas usia dewasa untuk
membuat perjanjian kawin ini
nampaknya tidak menganut pada
ketentuan tentang batas usia dewasa
tersebut, karena dengan melihat pada
pasal 151 KUH Perdata, yang
menyatakan bahwa seorang anak yang
masih minder dapat dianggap eakap
membuat perjanjian kawin, dengan
syarat bahwa anak tersebut hams sudah
eukup untuk melangsungkan perkawinan
dan hams dibuat dengan bantuan atau
didampingi oleh orang yang sehamsnya
memberikan ijin pembuatan tersebut.
Sehingga dalam hal ini syarat sudah
cukup untuk kawin sudah ada pada saat
perjanjian kawin itu dibuat.
Mengenai usia minimum
seseorang untuk melangsungkan
perkawinan, dalam UU No.lf1974
menimbulkan pengertian yang rancu,
namun jika diasumsikan berdasarkan
pasal 6 ayat 2 nya dan pasal 7 ayat 1
nya, maka batas usia dewasa untuk dapat
melangsungkan perkawinan adalah umur
21 tahun. Pasal 6 ayat 1 menyatakan
bahwa untuk melangsungkan
64
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
perkawinan seseorang yang belum
mencapai umur 21 tahun harus
mendapat ijin kedua orang tuanya,
sedangkan pasal 7 ayat 1 menyatakan
bahwa perkawinan hanya diijinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun, sehingga apabila dalam
hal pembuatan perjanjian kawin, maka
syaratnya adalah harus memenuhi usia
minimum yang dipersyaratkan untuk
melangsungkan perkawinan, yaitu sejak
seorang berusia 19 tahun untuk pihak
pria dan pihak wanita berusia 16 tahun,
dengan ketentuan bahwa sebe1um
mencapai usia 21 tahun, harus mendapat
ijin dari kedua orang tuanya.
Disamping batas usia dewasa
ini, maka yang perlu diperhatikan adalah
bahwa mereka yang mempunyat
kebiasaan mabuk karena alcohol atau
ditaruh dibawah pengampuan karena
lemah day a pikirannya dianggap tidak
cukup melakukan perbuatan hukum,
dalam hal ini membuat perjanjian kawin.
Selain unsur-unsur ini, maka pihak-
pihak yang dilarang untuk melakukan
perkawinan, secara otomatis dilarang
juga untuk membuat perjanjian kawin.
Syarat Ketiga ten tang adanya
suatu hal tertentu, artinya suatu
perjanjian harus menentukan jenis obyek
yang diperjanjikan, Hal ini dikaitkan
dengan pasal1332 KUH Perdata yang
menentukan hanya barang-barang yang
dapat diperdagangkan yang dapat
menjadi obyek perjanjian dan
berdasarkan pasal 1334 KUH Perdata
barang-barang yang baru akanada
dikemudian hari dapat menjadi obyek
perjanjian kecuali jika dilarang oleh
undang-undang secara tegas. Sehingga
dalam hal ini apabila dalam suatu
perjanjian kawin yang dibuat, telah
memenuhi persyaratan sebagaimana
sesuai dengan tujuan dari dibuat
perjanjian kawin tersebut, yaitu dibuat
oleh dua orang calon suami istri untuk
mengatur akibat-akibat perkawinan yang
menyangkut harta kekayaan mereka,
maim hal fit telah memenuhi
persyaratan ketiga ini.
Syarat Keempat adalah adanya
cause yang halal. Adanya syarat ini
adalah sesuai dengan pasa129 ayat 2 UU
No.1I1974 yang menyatakan bahwa
suatu perjanjian kawin tidak dapat
disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan.
Mengenai isi dari perjanjian kawin,
maka perlu dipahami bahwa tujuan dari
perjanjian kawin dibuat adalah untuk
o
65
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
menyimpangi aturan kebersamaan harta
kekayaan secara terbatas. Arti dari kata
terbatas disini maksudnya, bahwa
meskipun UU No.1I1974 Pasal 35
menyatakan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama, namun pada ayat 2 nya
ketentuan tersebut dibatasi dengan
ketentuan bahwa harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah
dibawahpenguasaanmasing-
masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain. Sehingga apabila
seseorang ingin membuat perjanjian
kawin maka pilihannya hanya mencakup
3 unsur yaitu :
- Kebersamaan harta secara
menyeluruh/bulat (algehele
gemeenschap van goederen), artinya
menyimpangi ayat 2 Pasal 35 UU
No.111974, sehingga harta bawaan
dari masing-masing suarni dan istri
dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah termasuk dalam harta
bersama.
- Peniadaan setiap kebersamaan harta,
sehingga dalam hal ini baik harta
bawaan dari masing-masing suami
d.an istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan maupun harta
benda yang diperoleh selama
perkawinan adalah masing-masing
milik suarni atau istri yang
bersangkutan.
- Adanya persatuan untung dan rugr
yaitu segala keuntungan yang
diperoleh selama perkawinan dibagi
dua, demikian juga kerugian yang
diderita.
- Adanya persatuan pendapatan dan
penghasilan atas ketentuan peraturan
ini, maka suatu perjanjian kawin
yang hanya mengatur tentang
kewajiban suarm istri diluar
pengaturan harta kekayaan mereka
adalah tidak dibenarkan jika ditinjau
dari maksud pembuat undang-undang
mengatur tentang adanya suatu
perjanjian kawin.
Ditinjau dari ismya maka
.menurut KUH Perdata, asas yang
dikenal dalam pembuatan perjanjian
kawin adalah asas kebebasan yaitu calon
suami istri bebas untuk menentukan isi
perjanjian kawin yang mereka
kehendaki, namun kebebasan tersebut
bukannya tanpa batasan, karena pada
dasamya suatu perjanjian kawin harus
66
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
memperhatikan
sebagai berikut :
larangan-larangan
I. Perjanjian yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum, batas-batas hukum dan
agama (pasa129 ayat 2 UU No.111974).
2. Tidak dapat dibuat janji-janji yang
menyimpang dati :
a) Hak-hak yang timbul dati kekuasaan
SUamI sebagai kepala perkawinan
(pasal 140 ayat 1), misalnya hak
suarru untuk menentukan tempat
kediaman atau untuk mengurus
kebersamaan harta (pasal 124 KUH
Perdata).
b) Hak-hak yang timbul dari kekuasaan
orang tua (ouder lijke macht),
misalnya hak untuk mengurus harta
kekayaan anak-anak dan mengambil
keputusan-keputusan mengenai
pendidikan atau mengambil
keputusan-keputusan memengenai
pendidikan atau mengasuh anak-anak
(isi kekuasaan orang tua ditentukan
dalam pasal 298 dan seterusnya).
c) Hak-hak yang ditentukan undang-
undang bagi mempelai yang hidup
terlama (langstlevende) misalnya,
untuk menjadi wali dan berwenang
untuk menunjuk seorang wali dengan
testamen (butir 2 a,b,c diatur dalarn
pasal 140KUH Perdata.
3. Tidak dibuat perjanjian yang
mengandungpelepasan hak atas harta
peninggalan orang-orang yang
menurunkannya. Hal ini (pasal 141
KUH Perdata) dirasakan berlebihan
(overbodig) oleh karena pasal 1063
KUH Perdata telah mengatur pula
larangan untuk melepaskan hak
mewans dati. orang yang masih
hidup. Disamping itu masih ada
ketentuan lain yaitu pasal1334 ayat 2
KUH Perdata yang melarang untuk
melepaskan warisan yang belum
terbuka (jatuh me1uang atau sarna
dengan de nog niet opengevallen
erfenis), meskipun dengan
kesepakatan orang yang
bersangkutan sendiri.
4. Tidak dibuat perjanjian bahwa salah
satu pihak akan memikul hutang
yang lebih besar dari baginya dalam
aktiva.
5. Calon suami istri tidak boleh
membuat perjanjian (beding)
67
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
dengan kata-kata umum (in
algemene bewoordingen) bahwa
hukum harta perkawinan mereka
akan diatur oleh undang-undang
Negara Asing atau oleh adat
kebiasaan, undang-undang, kitab
undang-undang atau peraturan-
peraturan setempat yang berlaku di
Indonesia. Hal ini dikarenakan
untuk mencegah adanya
ketidakpastianhukum.
6. Dilarangmembuat perjanjian kawin
dengan syarat misalnya perjanjian
kawin yang dibuat barn akan
berlaku jika sudah dikaruniai
seorang anak sehingga apabila isi
perjanjian kawin melanggar hal-hal
tersebut diatas maka perjanjian
kawin tersebut tidak memenuhi
persyaratan dari segi cause yang
halal yaitu bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum
dan kesusilaan.
b. Memenuhi syarat tentang bentuk
dan waktu pembuatan akta perjanjian
kawin.
Mengenai syarat bentuknya
perjanjian kawin maka ada perbedaan
yang perlu dipahami antara ketentuan
dalarn KUH Perdata dengan UU
No.1/1974. Menurut KUH Perdata yaitu
pasal 147 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa atas ancarnan
kebatalan setiap perjanjian perkawinan
harus dibuat dengan akta notaries
sebelum perkawinan berlangsung,
sedangkan pasal 29 ayat 1 UU
No.111974 menyatakan bahwa padawaktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua pihak atas
perjanjian bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan,
setelah mana isinya berlaku Juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut, sehinggadalam hal ini
ada 2 pendapat yang saling bertentangan
satu sarna lain dan perlu untuk ditelaah
secara kritis mengingat dalam praktek
dijumpai kecenderungan para penegak
hukum dan praktisi hukum untuk
menganut ketentuan dalam KUH
Perdata ini.
Pertama, pilihan hukum yang
dipilih untuk menentukan ketentuan
mana yang akan dijadikan sebagai dasar
acuan adalah dengan melihat pada
keberlakuan KUH Perdata dan UU
No.111974 sebagaimana telah dijelaskan
sebe1umnya. Singkatnya pasal 66
68
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
tentang ketentuan penutup UU
No.1/1974 menyatakan bahwa untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas undang-undang ini,
maka dengan berlakunya undang-
undang ini, ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam kitam undang-undang
Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek),
Ordonasi perkawinan Indonesia Kristen
(Huwlijks ordonantie christen
indonesiers S.1933 No.74), Peraturan
perkawinan campuran (Regeling op de
gemengde huwelijken s.1898 No.158)
dan peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam undang-undang 101
dinyatakantidak berlaku.
Hal ini sesuai dengan asas-asas
hukum yang berlaku di Indonesia yaitu
asas lex superiori derogate legi inferiori
dan lex posteriori derogate legi priori.
Asas lex superiori derogat legi inferiori
artinya peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan peraturan yang lebih
rendah, dalam hal ini antara UU
No.1/1974 dengan KUH Perdata maka
undang-undang adalah peraturan yang
mempunyai derajat lebih tinggi daripada
KUH Perdata. Asas lex posteriori
derogat legi priori artinya peraturan
yang terbaru mengesampingkan
peraturan yang sebelumnya sehingga
dalamhal ini UU No.1/1974 merupakan
peraturan yang terbaru
mengesampingkan KUH Perdata.
Dengan memperhatikan argumentasi
tersebut diatas maka apabila dalam
praktek dijumpai ada suatu perjanjian
kawin yang dibuat secara dibawah
tangan maka adalah suatu alasan yang
tidak berdasar hukum jika perjanjian
tersebut dinyatakan tidak sah dilihat dari
bentuknya, meskipun untuk mendalilkan
sahnya perjanjian kawin tersebut kita
tidak boleh hanya mendasarkan pada
bentuknya saja dan memang diakui
bahwa dalam prakteknya kekuatan dan
kepastian hukumnya akan lebih terjarnin
apabila dibuat dengan menggunakan
akta notaris.
Mengenai waktu pembuatan
perjanjian perkawinan tersebut, maka
disini ada perbedaan antara ketentuan
dalam KUH Perdata dengan UU
No.1/1974. Pasal 147 KUH Perdata
menyatakan bahwa atas ancaman
kebatalan setiap perjanjian perkawinan
harus dibuat dengan akta notaries
sebelum perkawinan dilangsungkan,
sedangkan dalam pasal 29 UU
No.1/1974 menyatakan bahwa pada
69
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
intinya perjanjian perkawinan dapat
dibuat pada waktu atau sebelum
perkawinandilangsungkan.
Atas beberapa persyaratan
sahnya petjanjian kawin tersebut diatas,
jika kita cermati pada pasal 29 (1) UU
No.111974, maka syarat sahnya
perjanjian kawin tersebut selain dari
unsur-unsur yang telah disebutkan
diatas, hams memenuhi syarat sebagai
berikut
1. Dibuat pada waktu atau sebelum
melangsungkanperkawinan.
2. Dibuat secara tertulis oleh kedua belah
pihak berdasarkanperjanjianbersama.
3. Perjanjian itu hams disahkan oleh
pegawaipencatat perkawinan.
Ketiga syarat tersebut hams
dipenuhi secara mutlak sehingga bam
dapat dikatakan bahwa perjanjian kawin
tersebut adalah sah, dengan kata lain
petjanjian kawin baru dikatakan sah
apabila telah disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, alasan penulis
adalahkarena :
1. Penempatan ketentuan tersebut
diletakan dalam satu ayat dan tidak
terpisahke ayat lain.
2. Berdasarkan penafsiran gramatikal
dari kata-kata ".....perjanjian tertulis
yang disahkanoleh pegawai..... ".
3. Berdasarkan penafsiran secara
sistematis berdasarkan tata letak
penempatan ayat-ayat dalam pasal-
pasal tersebut, yaitu jika
diperbandingankan antara ketentuan
dalam KUH Perdata dan UU
No.1I1974.
Ketentuan dalam pasal 147 dan pasal
152KUH Perdata :
Pasal 147 KUH Perdata : "Atas
ancaman kebatalan setiap petjanjian
perkawinan hams dibuat dengan akta
notaries sebelum perkawinan
berlangsung. Perjanjian mulai berlaku
semenjak saat perkawinan
dilangsungkan, lain saat untuk itn tak
boleh ditetapkan.
Pasal 152 KUH Perdata :
"Ketentuan tercantum dalam petjanjian
perkawinan, yang mengandung
penyunpangan dari persatuan menurut
undang-undang seluruhnya atau untuk
sebagian, tak akan berlaku terhadap
pihak ketiga, sebe1um hari ketentuan-
ketentuan itu dibukukan dalam suatu
register um!ill1 yang hams
diselenggarakanuntuk
itu di kepaniteraan pada pengadilan
Negeri, yang mana dalam daerah
hukumnya perkawinan itu telab
dilangsungkan.... ", secara penafsiran
70
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
sistematis, penempatan ayat ini berarti
setelah akta perjanjian kawin tersebut
dinyatakan sah clan berlaku, maka
keberlakuannya pada pihak Ketiga barn
setelah didaftarkan, sehingga sebelum
didaftarkan maka perjanjian kawin
tersebut tetap sah namun hanya berlaku
secara intern yaitu antara pasangan
suarni istri tersebut. Sedangkan dalarn
UU No.111974 ketentuan tentang
keabsahan dan keberlakuan terhadap
pihak Ketiga dinyatakan dalarn 1 (satu)
ayat.
4. Denganmenjadikanmanfaat pengesahan
oleh pegawai pencatat perkawinan
tersebut sebagai dasar alasan yaitu :
- Sebelummemberikanpengesahannya
pegawai tersebut akan melakukan
pemeriksaan terhadap keabsahan
perjanjian kawin tersebut apakah
melanggar syarat sahnya suatu
perjanjian kawin sehingga setelah
pengesahan oleh pergawai tersebut
akan tercipta suatu legalitas formal
perjanjian kawin tersebut dihadapanhukum.
- Dengan terciptanya legalitas tersebut,
maka akan tercipta suatu kepastian
hukum baik bagi suarni istri tersebut
dan pihak ketiga, yang memudahkan
.urusan perbuatan hukum lain yang
terkait dengan perjanjian kawin
tersebut. Misalnya seorang kreditor
akan lebih merasa terjarnin ketika
keabsahan perjanjian kawin tersebut
mendapat jarninan dari pegawai
pencatat perkawinan.
Dalam hal lID fungsi pegawai
pencatat perkawinan memegang
peranan penting karena pegawai
inilah yang bertugas untuk mencatat
segala peristiwa yang antara lain
berkaitan dengan perkawinan dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan
perkawinan.
5. Pasal 29 ayat 1 UU No.1/1974
yang menyatak.an bahwa perjanjian
kawin dapat dibuat dengan perjanjian
tertulis maka berdasarkan system
penafsiran secara ekstensif bentuk
tertulis ini juga termasuk didalamnya
bentuk dibawah tangan saja, sehingga
pengesahan oleh pegawai pencatat
perkawinan itu mutlak diperlukan
sedangkan apabila perjanjian kawin
tersebut telah dibuat secara otentik
akan lebih memberikan rasa
kepastian apabila ditegaskan kembali
oleh pegawai pencatat perkawinan.
Hal ini perlu ditekankan mengingat
adanya keragu-raguan mengenai
pennasalahan kapan suatu perjanjian
71
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
kawin dianggap s~ apakah saat
perjanjian itu dibuat ataukah waktu
disahkan oleh pegawai peneatat
perkawinan. Hal ini dikarenakan dalam
prakteknya seringkali dijumpai antara
pembuat akta perjanjian kawin dengan
pengesahannya oleh pegawai peneatat
perkawinan ada jeda waktu/tidak
bersamaan dan
seringkali pendapat atas perrnasalahan
kapan perjanjian kawin itu dianggap sah
adalah dengan mendasarkan pada
ketentuan dalam KUH Perdata yaitu
sejak dibuatnya perjanjian kawin
tersebut, namun hanya berlaku seeara
intern saja namun dengan adanya
pemikiran seeara eerrnat pada pasal 29
ayat 1 tersebut maka sahnya perjanjian
kawin tersebut adalah sejak disahkan
oleh pegawai peneatat perkawinan
tersebut.
Pegawai peneatat perkawinan
berdasarkan undang-undang Nomor 22
Tahun 1946 disebut dengan pegawai
peneatat nikah yang bertugas meneatat
peristiwa nikah, talak dan rujuk bagi
pernikahan yang dilaksanakan seeara
agama Islam, sedangkan UU
No.1I1974 pasal 2 ayat 2 jo Peraturan
Pemerintah No.911975 tentang
pelaksanaan UU Perkawinan Pasal 2
ayat 2 menunjuk pegawai peneatat
perkawinan pada Kantor Catatan Sipil
untuk meneatat perkawinan dari mereka
yang beragama selain Islam.
2. Akibat hukum bagi akta
perjanjian kawin yang
dinyatakan tidak sah.
Untuk mengetahui akibat
hukumnya akta perjanjian kawin yang
dinyatakan tidak sah adalah tegantung
dati syarat-syarat sah mana yang
dilanggar.
Apabila menyangkut ketentuan
Pasal 1320 KUH Perdata maka apabila
yang dilanggar adalah persyaratan yang
berkaitan dengan subyekyang membuat
perjanjian
Kawintersebut yaitu mengenai
kesepakatan dan keeakapan, maka akta
perjanjian kawin tersebut dapat
dibatalkan artinya pembatalannya
dimintakan kepada hakim terlebih
dahulu sedangkan apabila menyangkut
obyek yaitu mengenai adanya hal
tertentu dan syarat kausa yang halal,
maka akta perjanjian kawin tersebut
batal demi hukum artinya batal dengan
sendirinya tanpa melalui perantara
hakim pengadilan dan untuk kedua
72
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
akibat hukum itu sama-sama
menimbulkan konsekuensi bahwa
perjanjian tersebut dianggap tidak
pemah ada dan para pihaknya hams
mengembalikankeadaan seperti semula.
Sedangkan apabila tidak sahnya
perjanjian kawin tersebut berkaitan
dengan bentuk dan waktu
pembuatannya, UU No.1I1974 memang
tidak mengatur aturan hanya didapatkan
di Pasal 147 KUH Perdata, yang
memberikan ancaman kebatalan apabila
akta perjanjian kawin tidak dibuat secara
notaries dan tidak dibuat sebelum
perkawinan dilangsungkan. Namun
sanksi mengenai bentuk akta notaries
menjadi tidak berlaku dengan adanya
Pasal29 ayat 1UU No.111974.
Demikian juga dengan waktu maka UU
NO.l/1974 memberikan keleluasaan
bahwa perjanjian kawin tersebut dapat
dibuat pada waktu atau sebelum
melangsungkan perkawinan dan sanksi
kebatalan menurut Pasal 147 KUH
Perdata dalam hal ini juga berlaku
apabila perjanjian kawin tersebut barn
dibuat setelah tanggal perkawinan
dilangsungkan mengingat untuk aturan
sanksi apabila perjanjian kawin tersebut
tidak dibuat pada waktu atau sebe1um
perkawinan adalah belum diatur oleh
UU No.1/1974.
3. Perjanjian kawin sebagai solusi
untuk memperoleh property di
Indonesia bagi Warga Negara
Indonesia yang menikah dengan
Warga Negara Asing.
Seorang wanita Warga Negara
Indonesia (WNI) yang menikah dengan
seorang pria Warga Negara Aisng
(WNA) yang dilangsungkan di
Indonesia ingin membeli sebuah
rumah dengan status tanah hak milik
yang ada di Indonesia maka tanpa
adanya perjanjian kawin wanita WNI
tersebut tidak dapat memperoleh rumah
tersebut mengingat dalam hal lID
terdapat unsur asingnya. Terdapat unsur
asmg karena dengan menikahnya
dengan suanu WNA akanterdapat
pencarnpuran hartasesuai dengan pasal
35UU No.1/1974sehingga setengah dari
bagian pemilikan atas rurnah tersebut
akan menjadi milik asing meskipunyang
tertera di sertifikat adalah atas nama
wanita WNI tersebut. Apabila setengah
bagian kepemilikan atas rumah itu
menjadi milik asing maka yang berlaku
disini adalah ketentuan pasal 21 ayat 3
73
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
undang-undang No.5/1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
yang menyatakan bahwa pada orang
asing yang sesudah berlakunya undang-
undang ini memperoleh hak milik
misalnya karena pencampuran harta
akibat adanya perkawinan maka wajib
melepaskan hak itu dalam jangka waktu
1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak
tersebut, jika tidak dialihkan maka hak
tersebut hapus karena hukum dan
tanahnyajatuh pada Negara.
Penyeludupan hukum yang
seringkali terjadi dalam praktek tidak
terlepas pula dari adanya sanksi hukum
yang diberikan oleh UU No.5/1960.
Misalnya perjanjian kawin telah
diadakan antara seorang wanita WNI
dan seorang pria WN A dan waktu
membeli sebuah rumah di Indonesia
diatasnamakan wanita WNI tersebut,
namun dalam perjalanan waktu selama
pernikahan berlangsung wanita WNI
tersebut mengalihkan kembali kepada
suaminya yang WNA tersebut sehingga
perbuatan yang bermaksud untuk
memindahkan hak milik tersebut kepada
orang asing adalah batal demi hukum,
hal ini sesuai dengan Pasal 26 (2) UU
No.5/1960. Dengan tidak adanya
pencampuran harta maka seorang WNl
tersebut berhak untuk merniliki rumah
tersebut tanpa adanya kekhawatiran
berlaku ketentuan harus dialihkan
ataukah ancaman akan hapusnya
kepemilikan atas rumah tersebut dan
jatuh pada Negara. Perjanjian Kawin
yang dibuat ini harnslah sesuai dengan
syarat-syarat sahnya perjanjian kawin
sebagaimana tersebut diatas dan isi dari
perjanjian kawin ini sebaiknya tentang
pemisahan harta secara keseluruhan
tidak ada pencampuran harta dalam
bentuk apapun hal ini dikemudian hari
untuk melindungi kepentingan pihak
Ketiga, apabila suatu saat rumah yang
dibeli tersebut akan menjadi jaminan
untuk pihak kreditor sehingga bagi para
praktisi hukum disini harus meneliti
dengan cermat isi dari perjanjian kawin
yang dibuat antara pihak yang salah
satunya adalah warga Negara Asing.
Dan atas ketentuan perjanjian
kawin apabila masih ditemukan adanya
keragu-raguan apakah dengan
perkawinancampuran tersebut tetap
tunduk pada ketentuan
perjanjian kawin sebagaimana dimaksud
dalam UU No.1I1974, maka Pasal 59
ayat 2 UU No.1I1974 dianggap telah
menjawah pertanyaan uu melalui
ketentuannya yaitu perkawinan
74
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
campuran yang dilangsungkan di
Indonesia dilakukan menurut undang-
undang perkawinan ini (UU No. 111974).
Namun yang perlu diperhatikan
kembali adalah unsur kewarganegaraan
dalam perkawinan campuran tersebut
yang pada akhirnya akan membawa
akibat pada pemilikan rurnah tersebut di
Indonesia.
Pennasalahan yang hams mendapat
analisa hukurn secara kritis adalah
setelah perkawinan campuran tersebut
apakah seorang WNI tersebut akan
berpindah menjadi WNA.
Dasar hukum yang dapat
dipakai disini adalah :
- Pasal 58 UU No. 111974, menyatakan
bahwa bagi orang-orang yang
berlainan kewarganegaraan yang
melakukan perkawinan campuran
dapat memperoleh kewarganegaraan
dari suami/istrinya dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraannya,
menurut cara-cara yang telah
ditentukan dalam undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia
yang berlaku .
- Pasal 26 (I)
No. 12/2006
kewarganegaraan
undang -undang
tentang
Republik
Indonesia, "Perempuan Warga
Negara Indonesia yang kawin dengan
laki-laki Warga Negara Asing
kehilangan Kewarganegaraan
Republik Indonesia jika menurut
hukum Negara asal suammya
kewarganegaraan istri mengikuti
kewarganegaraan suarni sebagai
akibat perkawinan tersebut".
- Pasal 26 (2) nya : "Laki-laki Warga
Negara Indonesia yang kawin dengan
perempuan Warga Negara Asing
kehilangan Kewarganegaraan
Republik Indonesia jika menurut
hukum Negara asal istrinya,
kewarganegaraan suarni mengikuti
kewarganegaraan istri sebagai akibat
perkawinan tersebut".
- Pasal 26 (3) nya : "Perempuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atau laki-laki sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi
Warga Negara Indonesia dapat
mengajukan surat pemyataan
mengenai keinginannya kepada
pejabat atau Perwakilan Republik
Indonesia ... ".
Penentuan kewarganegaraan salah
satunya adalah berdasarkan
perkawinan dan dalam aspek
perkawinan ini dikenal adanya asas
75
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
kesatuan hukum dan persamaan
derajat. Berdasarkan asas kesatuan
hukum Istri mengikuti status suami
baik pada waktu perkawinan
dilangsungkan maupun kemudian
setelah perkawinan berjalan.
Negara penganut asas ini adalah
Belanda, Belgia, Prancis, Yunani,
Italia, Libanon.
Sedangkan berdasarkan
asas persamaan derajat, suatu
perkawinan tidak menyebabkan
perubahan status kewarganegaraan
masing-masing pihak (suami/istri)
baik suamilistri tetap
berkewarganegaraan asal atau dengan
kata lain meskipun sudah menjadi
suami istri mereka tetap memiliki
status kewarganegaraan sendiri, sarna
halnya ketika mereka belum
diikatkan menjadi suami istri.
Negara penganut asas ini adalah
Australia, Canada, Denmark, Inggris,
Jerman, Israel, Swedia, Birma dan
lainnya.
D. PENUTUP.
Pemahaman atas ketentuan-
ketentuan yang mengatur tentang
perjanjian kawin ini sangat diharuskan
terutama bagi praktisi hukum dan para
penegak hukum lainnya, mengingat pada
masa sekarang sangat marak digunakan
perjanjian kawin ini disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan yang ada karena
sifat dan tujuan perjanjian kawin ini
antara lain adalah untuk melakukan
penyimpangan terhadap ketentuan
pencampuran harta menurut undang-
undang. Pengetahuan dan pemahaman
ini bagi para praktisi hukum ini seperti
Notaris dan pejabat pembuat Akta tanah
dapat memberikan jaminan kepastian
hukum dan mencegah adanya kerugian
bagi pihak Ketiga yang seringkali dalarn
melakukan transaksi bisnis seringkali
menggunakan akta perjanjian kawin.
Narnun pada kenyataannya
masih diperlukan adanya koreksi atas
beberapa kesalahpahaman yang terjadi
dalam praktek pada umumnya yaitu
seringkali pemaharnan akan perjanjian
kawin sering diarahkan kepada pasal-
pasal dalam KUH Perdata, antara lain
dan merupakan hal yang sangat berdasar
adalah Pasal 84 yang menyatakan bahwa
ketentuan yang tercantum dalam
perjanjIan perkawinan, yang
mengandung penyimpangan dari
peraturan menurut undang-undang
76
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
seluruhnya atau untuk sebagian, tak
akan berlaku terhadap pihak Ketiga,
sebelum hari ketentuan-ketentuan itu
dibukukan dalam suatu register umum
yang harus diselenggarakan untuk itu di
Kepaniteraan pada Pengadilan Negeri,
yang mana dalam daerah hukumnya
perkawinan itu telah dilangsungkan di
Kepaniteraan dimana akta perkawinan
dibukukannya.
Hal ini sesungguhnya berten-
tangan dengan ketentuan dalam Pasal 29
ayat 1 UU No.l/1974 yang menyatakan
bahwa pengesahannya dilakukan oleh
pegawai pencatat perkawinan.
Dengan adanya beberapa
penjabaran ketentuan dalam UU
NO.l/1974 tersebut diatas, diharapkan
setiap orang yang membaca tulisan ini
akan mempunyai sudut pandang yang
berbeda dengan tetap mengacu pada UUNo.1/1974 untuk memahami akta
perjanjian kawin.
Ketentuan tentang perjanjian
kawin dalam UU No.l/1974 adalah
sangat terbatas pengaturannya
sedangkan peraturan pelaksanaannya
yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor.9/1975 juga tidak memberikan
pengaturannya mengakibatkan adanya
kecenderungan untuk mencari solusi
permasalahan pada ketentuan yang
terdapat dalam KUH Perdata, sehingga
agar tercipta suatu kepastian hukum dan
mencegah adanya suatu penafsiran
hukum yang berbeda-beda diharapkan
adanya ketentuan yang jelas tentang
perjanjian kawin dalam peraturan
pelaksanaannya.
DAFAR PUSTAKA
Satrio, J. Hukum Perikatan, perikatan
Yang Lahir dari Undang-Undang,
Buku II, Cetakan Pertama, Pt
Citra Aditya Bakt., Bandung,
1994
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
Penerbit Intermasa, Jakarta,
1978
Hukum perjanjian, cetakan kedelapan,
PT Intermasa, 1984 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata,
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946
Tentang Pencatatan Nikah
Undang-undang No 5 tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-
PokokAgraria
Undang-undang No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
77
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang jabatan notariesUndang-undang Nomor 12 tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia
i J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian,
78
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta