katajiwa edisi kamar gelap
DESCRIPTION
katajiwa Majalah Kebudayaan adalah salah satu produk Komunitas Langit Sastra. Edisi kamar gelap adalah edisi ketiga katajiwa.TRANSCRIPT
katajiwa majalah kebudayaan
Semua manusia adalah kamar gelap bagi yang
lain. Tak ada yang bisa kita gapai dari seseorang kecuali orang tersebut membiarkan kita masuk ke sana. (dan) Satu satunya cara
untuk masuk ke kamar gelap itu hanyalah kata. Kata ibarat untai yang menjembatani satu kamar gelap yang satu dengan kamar
gelap yang lain. Ironis sebenarnya mengambil kamar gelap
sebagai metafor diri kita. Lihat saja dunia kita memang dunia yang begitu memuja cahaya.
Indra yang paling membuat kita menderita jika hilang fungsinya (paling tidak jika kita
berandai andai) adalah indra penglihatan. Lebih dari itu pengetahuan selalu dianggap
sebagai suluh, obor, cahaya, atau apapun itu yang berhubungan dengan penglihatan.
Jarang, bahkan boleh jadi tidak pernah hal ini disubstitusi dengan cecap, aroma, riak, suara,
dan sebagainya. Padahal jika kita mengulik sejarah peradaban kita betapa banyak
(maha)karya (yang masih membuat kita terpukau detik ini) lahir dari rahim kamar gelap, penjara, pembuangan, dan tempat
sunyi, suram, pengap lainnya. Teringat eksperimentasi Al Hazen (Ibn Haytam) tentang prototipe kamera, yang dikenal sebagai
pinhole camera, beliau membutuhkan kamar gelap untuk bisa menangkap citra. Menariknya
hal ini tetap berlaku untuk kamera di masa modern. Jangan-jangan, memang kita butuh
kamar gelap, untuk melihat citra, melihat ide, dan bahkan melontarkan cerita-cerita yang
abadi di masa nanti. Terakhir, kamar gelap, adalah metafor, untuk kita menggelapkan sekitar, kemudian biarkan buah pikir kita, kata-kata kita berpijar sedikit
demi sedikit membuatnya kembali bercaya, memancarkan jembatan sehingga manusia lain
tahu siapa kita, agar masa depan tahu apa yang terpikir di saat ini. Bolehlah sesekali
karya-karya dikerjakan dalam kamar gelap untuk mendapat sentimen yang kurang lebih
sama. Selamat menikmati kamar gelap masing
masing.
Koordinator Komunitas: Muhammad Akhyar Pemimpin Redaksi: Kawako Tami Sekretaris Redaksi: Novika Grasiaswaty Editor: Nila Rahma, Johan Rio Pamungkas, Tery Marlita Marketing: Alfi Syahriyani Layout: Indra Eka Widya Jaya, Vita Wahyu Hidayat
Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 Catatan Kebudayaan~ 2 Kepada yang Tak Pernah Terbebaskan Kawako Tami Puisi~ Ahmad Fauzi 3 Jangan-Jangan Zakiyus Shadicky 5 Bolehkah Aku Masuk? 7 Malumu Pasang Indra Eka Widya Jaya 9 Perginya Marbotku 11 Penyair Tolol 12 Dialog dengan Krishna Kawako Tami 13 Topeng 14 Sajak yang Terperangkap Opini~ 15 Kegelapan, Cahaya, Tuhan Mulyadi Syamsuri Cerita Pendek~ 19 Kamida Fina Febriani 26 Cerita Sebelum Lelap Taufik Akbar 28 Kenangan Musim Gugur Alfi Syahriyani Kritik~ 35 The Shawshank Redemption: Mengapa Menjadi Film No 1*? Johan Rio Pamungkas Resensi~ 38 Don’t be Afraid of the Dark Rizqan Adhima Pantau~ 40 Karna dalam Empat Monolog Tery Marlita Her Voice~ 43 Prison of the Authors Alfi Syahriyani Bidik~ 44 Perjalanan Mengunduh Bayangan Muhammad Akhyar
katajiwa adalah salah satu produk dari
Komunitas Langit Sastra
email: [email protected]
twitter: @katajiwa
Catatan Kebudayaan~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 2
Kepada yang Tak Pernah Terbebaskan
Kawako Tami
Kau ingin menjadi simbol dari kemerdekaan kata. Menjadi bentuk yang tak terjamah
aturan. Kau berontak pada setiap cengkraman. Padamu teriak akan tirani tiada berguna.
Bukan jiwaku di bawah terang dan terik memanggang, aku setan di malam kelam. Tukasmu
ditanya, mengapa kau diam.
Kau selalu bersembunyi dalam kamar sewaan. Teman-teman menjadi lantang
berdendang mars perjuangan. Kau menyeret langkahmu pada ruang-ruang sepi di balik
tembok ratapan. Adakah sekeping dua logamnya membasuh kerongkongan kering sang nenek
yang tak putus melantun Quran di pinggir gang? Adakah jika ditelannya perut itu akan
berhenti di balik ketiga keroncongannya?
Lalu malam itu kau duduk di trotoar ibukota. Kau tak pernah sebebas malam itu. Tak
ada siapapun hanya dirimu. Tak ada tembok, tak ada belenggu, tak ada aturan. Kau seperti
burung yang bertahun tak menghirup udara bebas. Bukankah selama ini kau terpenjara?
Terbungkam oleh takutmu, di rantai dogma dan aturan dalam otak dan jiwamu. Soekarno,
Tan Malaka, Sayyid Qutb, Ibnu Taimiyyah, Pram dan banyak raga yang terpenjara, tapi jiwa
mereka bebas merdeka.
Kau merasa bertemu dengan kebebasan malam itu. Mengambil helai kertas pada esok
harinya. Berusaha mengenang indahnya kebebasanmu malam itu. Lalu kau mengambil pena
dan berusaha menggores sebuah kata. Ah, kenapa terasa sulit? Mengapa tak satu kata yang
keluar? Apa yang sungguhnya ingin kau tulis? Puisikah? Prosa liris kah? Cerpen? Tanpa kau
sadar kau menulis tak tentu arah, hingga jatuh kembali kepada penjaramu. Baiklah kau
mungkin tak pernah bebas. Tapi dalam kamar tahanan baru ini akankah kau menjadi terang?
Atau kah Cuma setan yang tak pernah mencerahkan?
Depok 09, Desember 2011
Puisi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 3
Ahmad Fauzi
Jangan-Jangan
segarang-garang matahari, ia tak pernah membangkang
Mangkir, atau terlambat pulang
Seburuk-buruk rembulan, ia tahu malu
Menutup borok, menggalang cahaya
Jangan-jangan kamar kita, adalah musuh kita selama ini
Jika memang kita sudah lelah menangis
sepulang dari dosa
lalu tidur membelakangi malam
mengecoh pagi, berbohong pada semua hidung, lalu
bersiap berangkat mengulang kebodohan yang sama
dari zaman alif sampai zaman ya
Puisi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 4
Dari jendela yang kita buka lebar-lebar
Di sana biasanya kita melihat keluar
Dari jendela yang kita buka lebar-lebar
Di sana tak biasa kita melihat ke dalam
Semua musuh adalah musuh
Namun semua teman belum pasti teman semua
Oleh karena kita, sudah lakukan semuanya
Jangan-jangan kamar kita,
Adalah musuh kita selama ini.
Puisi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 5
Zakiyus Shadicky
Bolehkah Aku Masuk?
perlu untuk kau ketahui, saat ini sedang kucoba teguhkan hati sekuat-kuatnya...
sambil berharap bahwa suara ini tidak milik segelintir mereka saja...
mereka yang dianggap terlalu anak-anak dan tak nyata...lucu!
kueratkan perjuangan yang masih tersisa ini, demi meyakinkan diri ini bahwa masih ada
harapan di sudut hatimu...
ku ketuk...
tak ada jawaban...
ketika kusingkapkan kain itu, kulihat kau sedang tertidur...
aku ingin membangunkanmu; tapi tak tahu caranya...
aku rindu kau... aku rindu rangkulan tangan kita, yang setiap tinjunya kita arahkan menantang
langit, demi sekadar berkata, "ku 'kan meraihmu!"
aku ingin kita bermain bersama lagi. bercengkerama ikhlas dan tulus...
aku rindu kebanggaan yang terukir bersama, dan jiwa ini maupun jiwa mu juga menjadi
bangga karenanya...
tapi kini, kerinduan itu hanya nostalgia belaka. bahkan aku hampir lupa rasanya rindu itu...
maukah kau mengingatkanku?
aku takut sendiri...
aku takut semua ini sia-sia. apa yang telah kita lalui hanya simbol belaka!
hanya karena kita, kau, ataupun aku terlalu takut dikatakan orang lain berkhianat; karena kau
awalnya tak mau sendiri! dan ketika kau dapatkan sinarnya, kau tinggalkan aku...
kumohon dengarkanlah...hanya karena aku yang redup ini, ingin dapatkan sedikit gapaianmu.
agar ku tetap bersinar, menerangi mereka yang lain yang juga sedang menunggu...
cukup mereka, tak perlu aku...
Puisi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 6
dulu kita memang polos...
masih terlalu kecil untuk menatap dunia ini...
sekarang pun, kita masih polos, namun bernoda...
huft!
kucoba lagi, kembali ku ketuk...
pintumu bergeser...
ku masuk menghampirimu...
kau masih tertidur, menggigil rupanya...
kuselimuti tubuhmu agar kau tak kedinginan lagi...
owh, tidurmu semakin pulas...
ya sudah, tak apa...
aku tak mau menganggumu...
aku tunggu di luar saja...
semoga kau mimpi indah di dunia mu yang lain, dan kau terbangun dengan gembira...
sehingga kau mau bermain bersama lagi...
bersama mereka jua tentunya...
Puisi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 7
Zakiyus Shadicky
Malumu Pasang
terdesak hari ini,
selepas bumi yang lembab karena air mata langit
sebagian ada yang mengumpat, dicercanya hujan karena ia jadi terkurung.
dia hina berkah Tuhan!
bila awan mulai putih kembali
menyingkirkan tabir hitam yang turut memutih
mereka cekikikan bersama pelangi.
katanya, pelangi malu menapak di bumi.
tapi sayang, tak kutemukan rasa semacam itu saat padamu kini.
tidak puas. tidak pula gembira.
ku lekatkan mataku pada lekukan mukamu.
kerut. letih. sendiri.
tak ada yang lain.
kau redup.
hilang cerita tentang hujan dan pelangi.
kau kenapa?
Puisi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 8
aku tahu kau petualang.
kau hantam beringin-beringin tinggi di hutan.
kau rakiti sungai lebar dan panjang.
kau kalahkan naga-naga ganas dalam pikiranmu.
tapi aku pun tahu, kekuatanmu lompati tubuhmu.
dalam takutmu, kau selimuti mereka dengan nyalanya matamu
kau gertak hantu penunggu hati pengikut hidupmu
padahal kau sembunyikan gemetar gentar hati kecilmu dalam larian.
kau lingkarkan lengan pada kaki di sudut. menunduk.
tak kuat hatimu melangkah, kau tak berdaya kini berpura-pura
kau merana kesakitan
lebih memilih tinggalkan dunia, malam bahkan siangnya.
yang terpendam dalam kungkungan palsumu
mulai menyemburat.
bukannya menyurut
bahkan kini aku tahu kau juga punya malu
Puisi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 9
Indra Eka Widya Jaya
Perginya Marbotku
Kelam siang itu gelap beserta guntur
Mihrab sepi tanpa suara
hanya ada cahaya berbisik dari balik jendela
kelam makin kelam siang beranjak malam
Miharab masih sepi tanpa suara
jamaah tertunduk bisu
mata mata mereka tak jalang dan tak liar
Surauku sepi
lebih sepi dari malam
seolah hilang cahayanya
tiada lagi suara parau
membangunkan kami
tiada lagi senandung....
Puisi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 10
Ilaahi lastu lilfirdausi ahlan
walaa aqwaa 'alannaaril jahimi
fahabli taubatan waghfir dzunuubi
fa innaka ghoofiruddzambil 'adziimi
Dzunuubi mitslu a'daadir rimaali
fahablii taubatan yaa dzaljalaali
wa'umrii naaqishun fiikulliyaumi
wa dzambii zaa-idum kaifahtimali
Ilaahi 'abdukal 'aashi ataaka
muqirron biddzunuubi waqod da'aaka
fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun
wa in tadrud faman narjuu siwaaka
tiada yang ingatkan kami
akan azab neraka ketika kami dibelai seprei surga
yang tersisa
hanya wangi kamboja...
Puisi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 11
Indra Eka Widya Jaya
Penyair Tolol
Aku tak punya dukungan
langkahku adalah sebuah kemalangan
aku bertindak atas desah nestapa yang ada
oh ya?
Aku hanya punya sebuah kepala
yang berisi dunia Utopia dalam kata-kata
kau tahu?
Langitnya terdiri dari jutaan kata
jalan-jalannya diperkeras dengan idealisme banci
rerumputannya terdiridari nyali-nyali kelas teri
dan lorong gelapnya diterangi dengan pikiran cabul
lalu apa?
Sepanjang siang aku hanya bersemadi di mihrab ku
yang kubiarkan remang dalam bilik-bilik bambu
karena cahaya terang hanya akan menggelapkan yang remang
karena kegelapan akan menerangi yang remang
dan?
Berlabuhlah pada seprei yang berbau sperma!
Puisi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 12
Indra Eka Widya Jaya
Dialog dengan Krishna
Chandra tak pernah tertawa sebengis ini...
matamu kelam membiru dari tubuhmu yang tua dan renta itu!
apa kau lihat anak muda!
aku pernah menjadi Kali
aku pernah kalahkan Siwa dan Indra!
apa yang kau tatap!
kau hanya memliki seribu tangan!
tapi aku seribu nyali!
kelam hidup tak membuat persadaku kelam!
Bana!
Krishna!
kau adalah Dia
Gita Mu menyesakkan semesta
Kasih Mu menyejukkan para Gopi di Vrindavarna!
Kau punya Kisah dengan Radha!
tapi kau
bahkan kau menjegal Smara ku untuk cucumu!
Bana!
Bukan aku!
Tapi naiklah dulu ke Pundak Nand
Puisi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 13
Kawako Tami
Topeng
aku di sudut. pada tegak lurusku adalah tiga badut pada tiga wajah. sorang bertopeng secerah
pasar dihari jumat lengkap dengan para tukang obat yang menjaja batu merah pekat tuk obat
kuat, agar pria tak tumbang sekali sebat, pun bagi yang teruk kan syahwat.
seorang lagi bermuka masam. kacau beliau dah rupa kapal karam. beserak segala rupa segala
macam. tak ubah mambang mnggganyang malam. siapa memandang pastikan enggan
berbalik badan. tiada suka bukan pun segan. hilang segala jika berjumpa tatapan.
lain si riang, lain si muka suram, lainpun si muka garang. menekuk kening berlipat tujuh.
mata menyalang semerah saga. mukanya padam nyaris menghitam. taring mencuat tak ubah
pedang. takut menyebar sekali pandang. tak dapat kutahan untuk menghindar, kututup wajah
mangalih pandang. kala reda, mataku terkesiap.tak ada siapa hanya cermin mentang.
Depok, 15/11/11
Puisi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 14
Kawako Tami
Sajak yang Terperangkap
Di dunia misterius itu,
ada seekor sajak yang terperangkap
Ya.. terperangkap dalam ruang kosong
di lingkaran pokok-pokok hutan kehampaan
Pokok-pokok imajinasi meninggi,
hingga sayap-sayap katanya tak sanggup mengepak
menembus langit bebas
Sebuah rantai makna mengikat kakinya
Rantai yang hulunya menancap dalam
lapisan rambut yang hampir botak
menghujam sel-sel kelabu hingga batang otak
Seekor sajak mulai sekarat
di hutan kehampaan, terantai makna
di pokok imajinasi
Hingga kumengerti, kehampaan
itu adalah senyummu
Dunia itu adalah dirimu
Dan sajak itu adalah.. aku
Depok 27/10/11
Opini~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 15
Kegelapan, Cahaya, Tuhan
Mulyadi Syamsuri
Seorang teman pernah mengajukan pertanyaan dalam salah satu note-nya di
Facebook: mengapa Tuhan menciptakan kejahatan? Setelah bertanya, ia sendiri kemudian
yang memberikan jawaban kenapa kira-kira Tuhan yang dikenal Mahabaik itu menciptakan
kejahatan di dunia ini: agar orang-orang baik bisa mendapatkan pahala dari adanya
kejahatan –entah dengan bersabar menghadapi kejahatan, atau dengan mencegah terjadinya
kejahatan atau pula dengan membawa orang-orang yang melakukan kejahatan kembali ke
jalan kebaikan.
Terlepas dari jawaban yang teman penulis berikan, yang semoga dapat kita diskusikan
di lain kesempatan, penulis merasa tertarik untuk menelaah petanyaan yang dia ajukan.
Menurut penulis, pertanyaan ‘mengapa Tuhan menciptakan kejahatan?’ adalah pertanyaan
yang penting namun ia bukanlah pertanyaan tingkat dasar yang mendesak untuk dijawab
dengan segera. Ia merupakan pertanyaan tingkat lanjut –dalam artian; sebelum pertanyaan
‘mengapa Tuhan menciptakan kejahatan?’ ini muncul, seharusnya ada pertanyaan lain yang
mendahuluinya, yang sifatnya lebih mendasar (fondasional) dan lebih mendesak untuk
dijawab. Pertanyaan fondasional itu adalah: apakah iya Tuhan menciptakan kejahatan?
Pertanyaan fondasional ini penting untuk diajukan dan dijawab terlebih dahulu karena
bila ternyata Tuhan tidak menciptakan kejahatan, maka pertanyaan ‘mengapa Tuhan
menciptakan kejahatan?’ adalah pertanyaan yang nyata-nyatanya tidak urgent lagi untuk kita
pertanyakan. Sebaliknya, bila ternyata Tuhan memang menciptakan kejahatan, maka jawaban
pertanyaan ini akan menjadi landasan yang kuat bagi kita untuk mempertanyakan ‘mengapa
Tuhan menciptakan kejahatan?’. Jadi, demi sistematisasi pemikiran, pertanyaan ‘apakah
Tuhan menciptakan kejahatan?’ mutlak untuk dipertanyakan terlebih dahulu. Sehingga, bila
diurut-urutkan, urutan pertanyaan yang seharusnya teman penulis ajukan adalah seperti ini (1)
apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Jika jawabannya adalah ‘iya’, baru kita beranjak
menuju pertanyaan (2) mengapa Tuhan menciptakan kejahatan? Jika jawabannya adalah
‘tidak’, kita masih bisa mengajukan pertanyaan (3) mengapa Tuhan hanya menciptakan
kebaikan dan tidak menciptakan kejahatan? atau menganggap masalah ini telah selesai.
Opini~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 16
Kejahatan sebagai ‘predikat-kondisi’ bukan ‘objek-eksistensi’
Mari kita analogikan kejahatan sebagai ‘gelap’ atau ‘kegelapan’. Apakah sebenarnya
gelap itu? Jawaban pertama yang paling mudah dan paling sering kita dengar dari kalangan
awam adalah ‘gelap merupakan lawan dari terang’. Terang dan gelap adalah dua objek yang
eksis dan meniadakan satu sama lain; terang tidak mungkin gelap, begitu pula gelap tidak
mungkin terang. Adapun jawaban yang lain mengatakan bahwa ‘gelap adalah kondisi tanpa
cahaya’. Mendengar jawaban yang kedua ini, mungkin kita jadi teringat sebuah video
mengenai seorang siswa SD yang berani membantah pernyataan seorang guru yang menuduh
Tuhan sebagai pencipta kejahatan. Dalam argumentasinya, siswa SD tersebut mengajukan
tiga pertanyaan dan tiga bantahan kepada sang guru. Ketika sang guru memberikan jawaban
‘iya’ terhadap pertanyaan kedua ‘apakah gelap itu ada?’ siswa SD itu menjawab: Sir, dark is
not exists. In reality, dark is the absent of the light. Siswa SD tersebut adalah Albert Einstein [1].
Menurut Einstein, ‘gelap’ bukanlah suatu eksistensi seperti benda-benda, ia hanyalah
suatu kondisi ketika cahaya tidak ada. Jawaban Einstein tersebut sangat brilian dan mampu
mengagetkan orang-orang yang selama ini menganggap ‘gelap’ sebagai sebuah-objek-yang-
eksis. Meskipun demikian, pandangan mengenai ‘gelap sebagai kondisi tanpa cahaya’
sebenarnya telah lebih dulu diutarakan oleh pemikir asal Persia bernama Suhrawardi (1153-
1191) dengan konsep iluminasinya. Suhrawardi menyatakan bahwa cahaya memberikan
penyinaran kepada objek-objek di sekelilingnya. Dalam penyinaran ini, tiap objek
mendapatkan limpahan pancaran sinar yang berbeda-beda tergantung dari jarak objek
tersebut terhadap sumber cahaya. Gradasi cahaya (perbedaan intensitas pancaran cahaya) ini
akan menimbulkan perbedaan kualitas pada objek: ada objek yang sangat dekat dengan
sumber cahaya sehingga ia tampak sangat terang karena mendapatkan intensitas pancaran
yang sangat kuat, ada juga objek yang agak jauh dari sumber cahaya sehingga tampak ‘terang
biasa‘ karena mendapatkan intensitas pancaran cahaya yang sedang-sedang saja, semakin
jauh dari sumber cahaya, intensitas pancaran cahaya menjadi semakin lemah sehingga
menghasilkan objek-objek yang tampak redup, lalu terus menjauh hingga memasuki kondisi
gelap total dimana cahaya sama sekali tidak ada sehingga objek tidak terlihat [2].
Opini~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 17
Konsep iluminasi Suhrawardi ini bisa jadi merupakan sebuah counter terhadap ajaran
Zoroaster yang sangat masyhur di Persia. Ajaran Zoroaster mengenal dua Tuhan:
Ahuramazda sebagai Tuhan kebaikan dan Ahriman sebagai Tuhan kejahatan, yang
disimbolkan sebagai ‘terang’ dan ‘gelap’ yang selalu berperang dalam dunia ini dan juga
dalam diri manusia. Kebaikan dan keburukan itu kedua-duanya eksis, ada, sebagai sebuah
pertentangan yang abadi dan tak terjembatani sehingga manusia harus memilih salah satu di
antara keduanya. Suhrawardi dengan konsep iluminasinya beranggapan lain: yang eksis, ada,
adalah cahaya, sedangkan terang atau gelap hanyalah predikat atau keterangan atau suatu
penjelas mengenai objek yang eksis. ‘Terang’ bukanlah objek, ia adalah kondisi dimana
suatu benda atau ruang dekat dengan cahaya. ‘Gelap’ juga bukan sebuah objek, ia adalah
kondisi dimana suatu benda atau ruang berada jauh dari cahaya. Jadi, yang ada adalah
cahaya. Ketika cahaya ada, terang muncul. Ketika cahaya tidak ada, kegelapan yang muncul.
Bila kita kembalikan analogi ‘gelap’ kepada ‘kejahatan’, adakah perbedaan ketika kita
mengatakan ‘kejahatan sebagai predikat-kondisi’ dengan ketika kita mengatakan ‘kejahatan
sebagai objek-yang-eksis’? Menurut penulis, ada. Bila kita mengatakan kejahatan sebagai
objek-yang-eksis, itu artinya kita mengakui bahwa Tuhan menciptakan objek (makhluk)
bernama kejahatan di samping kebaikan. Tapi bila kita mengatakan kejahatan sebagai
predikat-kondisi –dalam hal ini: kondisi ketika seseorang jauh dari Tuhan— maka Tuhan
tidak bisa dipersalahkan atas munculnya kejahatan di dunia ini karena Dia tidak menciptakan
kejahatan itu sama sekali. Kebaikan dan kejahatan adalah kondisi yang bisa manusia
manipulasi –berkat kehendak bebas yang telah Tuhan anugerahkan kepada mereka—seperti
halnya mereka bisa memanipulasi kondisi terang atau gelap. Bila seseorang menginginkan
kondisi terang, ia harus mendekati sumber cahaya –ia dapat keluar dari rumahnya, lalu berdiri
di sebuah tempat yang dilimpahi sinar cahaya. Bila seseorang menginginkan kondisi gelap, ia
harus menjauhi sumber cahaya –ia dapat masuk ke dalam rumahnya, lalu masuk ke dalam
ruang bawah tanah yang tersembunyi di bawah lantai rumahnya.
Terang muncul ketika ada cahaya dan gelap muncul ketika cahaya tidak ada. Dalam
masalah kebaikan dan kejahatan, ‘cahaya’ itu adalah Tuhan. Tidak ada makhluk Tuhan atau
objek bernama kebaikan dan kejahatan. Yang ada adalah manusia yang dekat dengan Tuhan
sehingga ia menjadi baik, dan manusia yang jauh dari Tuhan sehingga ia menjadi jahat.
Kebaikan adalah kondisi ketika manusia dengan kehendak bebasnya bergerak mendekati
Tuhan, sedangkan kejahatan adalah kondisi ketika manusia dengan kehendak bebasnya
bergerak menjauh dan melarikan diri dari Tuhan.
Opini~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 18
Jadi, sekali lagi: apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Menurut penulis, jawabannya
adalah tidak –akan tetapi manusia-lah yang menjerumuskan dirinya sendiri dalam kegelapan,
kejahatan dan kezaliman. Seandainya saja manusia yang terjebak dalam kondisi kejahatan
mau beranjak, niscaya ia akan terbebas dari kejahatan tersebut.
Berdiam diri dalam gelap? Lebih baik beranjak mencari cahaya! Terjebak dalam
kejahatan? Lebih baik beranjak mencari Tuhan! (*)
Catatan:
[1] dapat dilihat di youtube.com dengan kata kunci “Does God Exist? Albert Einstein”
[2] apakah kondisi kegelapan total, yang sama sekali tidak dimasuki unsur cahaya sedikitpun itu ada? Kita perlu merujuk kepada penelitian di bidang Fisika.
[3] masih terdapat banyak kekurangan dari tulisan ini.
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 19
Fina Febriani
Kamida
Seandainya bisa memilih, ingin rasanya aku memilih untuk tidak dilahirkan di zaman ini...
Suatu hari di Januari 1944, pukul 07.00 pagi
Aku terbangun dan mendapati diriku terbaring di sebuah gubuk bambu. Gelap. Butuh
waktu lama bagiku untuk mengenali keadaan.
Di mana aku ?
Belum sempat kutemukan jawaban, sebuah suara muncul dari balik pintu,
“Kau jugun ianfu-kah?”
Serta merta dadaku berdegup kencang. Kurapatkan tubuh ke dinding. Kuremas bantal
lusuh di samping.
Siapa itu?
“Aku bukan Jepang. Tenanglah.”
Suara itu kian nyata dengan munculnya sang pemilik, seorang lelaki tua berwajah
bijaksana. Disusul seorang wanita sebayanya yang tersenyum menenangkan. Keduanya
mendekat dan duduk di samping dipan.
“Makanlah, Nak.” Wanita itu menyodorkan dua potong ubi.
Kugerakkan tangan ke arah piring. Sakit. Kuperhatikan lenganku. Memar di setiap
sisinya.
“Bapak akan mencari dedaunan untuk obati lukamu. Makanlah dulu.” Kata sang
Bapak sambil berdiri.
***
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 20
10 hari sebelumnya, pukul 20.00
Empat tangan mendorongku dengan kasar. Aku tersungkur dengan siku sebagai
tumpuan. Sakit luar biasa. Belum sempat aku berdiri,
“Blammm!” pintu di belakangku tertutup.
“Klik.” Terkunci.
Setelah beberapa saat, baru kusadari aku berada dalam sebuah ruangan beratap
dengan tembok tinggi di keempat sisinya. Di dalamnya hanya ada sebuah tempat tidur dan...
Ya Tuhan! Aku memekik dalam hati.
Di hadapanku rupanya sudah berdiri sosok tinggi berseragam bermata sipit.
Senyumnya tersungging. Matanya hanya mengisyaratkan satu hal: ia siap menerkamku
dengan nafsu buasnya.
Refleks, aku berdiri dan melangkah mundur. Kutatap sekeliling, mencari peluang
untuk meloloskan diri. Tapi jendela berjeruji dan pintu yang terkunci memberiku jawaban
jelas atas semua itu.
Sulit. Tidak, tepatnya tidak mungkin.
Sosok itu seolah tidak peduli betapa takutnya aku. Ia tetap melangkah maju. Satu per
satu pakaiannya ia buka di hadapanku.
Aku terus mundur. Aku tahu dengan cepat aku akan tersusul. Kucoba berteriak, tapi
suaraku hilang ditelan angin.
“Tolong….” aku merintih, bahkan jangkrik pun tak akan mendengar.
Pria itu mendekat. Semakin dekat. Nafasnya terdengar jelas olehku. Aku
memejamkan mata. Menangis. Aku tak mampu mengelak dari derita yang menyiksa itu.
***
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 21
Enam jam kemudian
Aku terbangun dengan menahan rasa sakit yang sangat. Tidak hanya pada tubuhku,
tapi juga hatiku. Aku sadar sepenuhnya apa yang telah terjadi. Juga sadar sepenuhnya tempat
macam apa ini.
Di tengah aliran air mata yang menderas, terngiang lagi percakapan hari itu,
“Pokoknya, Mbak Yu, di sana dia pasti akan jadi pemain opera yang sukses.” Pakde
Kusno, tetangga kami, masih berusaha meyakinkan Ibu.
“Tapi, …”
“Yang penting sekarang dia berangkat dulu. Biar saya yang antar.”
Ibu menatapku dari jauh. Aku mengangguk.
‘Jika ini untuk hidup Ibu yang lebih baik, biarlah.’ batinku.
Wanita terkasih itu masih diam. Hatinya tak mengiyakan, tapi bibirnya tak melarang.
Diam terlalu identik dengan kata sepakat. Berangkatlah aku bersama Pakde Kusno
menuju kota yang katanya bernama Jakarta. Tanpa prasangka.
Belum terhapus juga dari ingatanku awal mula petaka itu,
Setelah tiga hari, tempat tujuan tampak juga di hadapan. Pakde Kusno hanya
mengantarku sampai pelataran. Aku disambut empat lelaki.
“Siapa nama kamu?” tanya salah satu dari mereka dengan logat asing yang kental.
“Karsiah.” Jawabku.
“Mulai sekarang, nama kamu Kamida. Paham?”
Tanpa menunggu jawabanku, dua orang lainnya mencengkeram kedua lenganku.
Menyeretku paksa ke hadapan sebuah pintu. Masih sempat terbaca angka yang tertulis di
depannya: “Kamar No. 11.”
Kini, di kamar inilah aku dipaksa menghabiskan waktu. Mungkin, seumur hidupku.
Ibu. Kembali aku menunduk. Tergugu.
***
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 22
“Tok tok tok.” Sebuah ketukan mendarat di pintu kamarku.
“Kamida-san.”
Ini hari kelima. Kebencianku akan nama itu semakin bertambah saja. Kubuka pintu.
Seorang pelayan membawa pesan.
“Anda diminta bersiap. Lima menit lagi akan ada yang datang.”
Aku menatapnya tanpa senyum sedikitpun. Ingin sekali kuludahi wajahnya, sebesar
keinginanku membunuh para majikannya.
Kututup kembali pintu tanpa kata.
Aku tahu, aku bukan yang pertama. Ratusan pendahuluku telah mengalami
penderitaan sama.
“Tok tok tok.”
Haruskah aku berakhir seperti mereka? Mati perlahan di lumpur kenistaan tanpa
sedikit pun perlawanan?
“Tok tok tok.” Masih tak kugubris.
“Dug dug dug!”
Jika aku bertahan, pintu ini akan terbuka dengan paksa.
Aku menyerah. Bangkit. Membuka pintu. Sosok yang dimaksud sang pelayan muncul
di hadapan.
Tuhan. Aku lelah lahir dan batin. Tak mengerti apa yang harus kuperbuat.
Aku tahu, selalu ada pilihan untuk menolak dan berontak. Selalu ada lebam dan luka
yang tersisa setiap kali aku memutuskan untuk memilihnya
Kubiarkan ia masuk. Semua terasa semakin gelap.
***
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 23
“Tolong. Tolong.”
Aku terbangun dari tidurku di tengah malam. Ini malam kedelapan.
Suara siapa itu? Hantukah?
“Tolong.”
Terdengar lagi. Ini suara manusia. Ia datang dari kamar sebelah. Kamar nomor
sepuluh.
Aku bergegas keluar. Melihat keadaan. Kamar itu tak terkunci. Dengan mudah aku
menerobos masuk.
Seorang wanita jatuh terduduk. Kukenali ia sebagai Mbak Yu Parmi alias Fumiko,
penghuni senior di tempat ini. Ia telah berada di sini jauh sebelum aku datang. Usianya
sekitar 45 tahun.
“Ada apa dengan Anda?” tanyaku.
“Darah. Darah.”
Ya Tuhan! Baru kusadari ia duduk di tengah genangan darah. Kudekati ia. Cairan itu
keluar dari kemaluannya.
Kubantu ia berbaring di tempat tidur. Kuberi segelas air minum.
“Biar kupanggilkan dokter.” Kataku setelah ia lebih tenang.
“Jangan.” cegahnya.
“Mengapa?”
“Dik, aku tidak akan tertolong. Sudah lama penyakit terkutuk ini aku derita. Lebih
baik aku pergi agar tak lagi merana.”
Aku terdiam.
“Dengarkan aku. Pergilah dari sini. Secepatnya. Sejauh-jauhnya.”
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 24
“Tapi, ….”
“Jika tidak, kau hanya punya dua pilihan: mati dengan kondisi seperti ini atau
terbunuh dengan cara yang lebih buruk lagi. Pergilah….”
Nafas terakhirnya terhembus. Aku terisak.
***
Suatu hari di Januari 2005, pukul 12.00
“Menurut Bapak dan Ibu, malam itu, saya mengetuk pintu gubuk mereka dan muncul
dalam kondisi terluka.”
Aku terdiam. Mengambil jeda. Berlanjut,
“Bapak mengatakan, sebelum jatuh tak sadarkan diri, saya sempat menyebutkan nama
sebuah tempat. Dari sanalah Bapak mulai menduga bahwa saya seorang jugun ianfu.”
“Bagaimana Anda bisa mencapai gubuk itu?”
Aku mengangkat bahu dan menggeleng.
“Saya tetap tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelah kematian Mbak Yu Parmi.
Saya hanya ingat bahwa saya terus berlari, berlari, dan berlari. Saya bahkan lupa bagaimana
tembok tinggi berkawat duri itu bisa saya lewati. Saya heran bagaimana barisan anjing
penjaga itu bisa saya kelabui. Saya tak mengerti kekuatan apa yang membuat saya, hanya
dalam semalam, bisa mencapai gubuk itu, dua puluh lima kilometer dari rumah bordil milik
Jepang tempatku dieksploitasi. Yang saya tahu, saya hanya tidak ingin berakhir seperti para
pendahulu saya. Hanya itu.” paparku sambil tersenyum.
Wartawan wanita di hadapanku terpana.
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 25
Catatan:
Jugun ianfu (comfort woman) adalah sebutan untuk para perempuan yang dipaksa menjadi
budak seks oleh militer Jepang. Pada masa penjajahan, Jepang membuat rumah-rumah bordil dan
merampas gadis-gadis remaja untuk dijadikan wanita penghibur bagi tentara Jepang. Konon, mereka
meyakini, dengan disediakannya wanita penghibur tersebut, tentara Jepang akan semakin termotivasi
dalam bekerja.
Jugun ianfu di Indonesia mencapai angka sekitar 1500 jiwa. Sebagian besar dari mereka
menderita penyakit kelamin menular karena dipaksa melayani ratusan tentara Jepang selama
bertahun-tahun. Jika menolak melayani, tentara-tentara itu tidak segan melakukan kekerasan fisik.
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 26
Taufik Akbar
Cerita Sebelum Lelap
“Karena gelap melindungi diri kita dari kelelahan…”
(Eross Chandra: Jangan Takut Gelap)
Kudampingi tidurmu malam ini, sekali lagi. Seperti malam-malam sebelumnya, ketika kau terlelap, menguapkan kelelahan sepenuh waktu menghadapi dunia yang baru dan semakin mengherankan. Setelah itu aku mengusap-usap, mengembus-hembuskan keningmu yang menghangat lalu berjingkat pelan-pelan memadamkan lampu. Hingga tiada cahaya lagi.
Kau selalu merengek, merayu dengan cara yang biasa kau ucapkan. Setengah dibuat-buat memang, “Jangan matikan lampu, aku takut gelap…” Ujarmu memandangku manis. Tapi kau akhirnya akan menyerah jua dan lupa karena rasa kantuk telah menyergap.
Kau takut gelap bukan karena hehantuankan ? Iya, sejenis badut yang sering tampil di kotak penerang malam ataupun di panggung tirai-tirai raksasa.
Hantu oh hantu. Mengapa kau harus takut padanya. Percaya padaku, ia tak pernah ada dalam wujud nyata.
Hantu merupakan wujud ketakutan yang tertanam dalam alam bawah sadar insan yang bernyawa karena sejarah peradaban bangsanya.
Bangsa Eropa sering menggambarkan hantunya dengan simbol-simbol kekuasaan karena sejarah Eropa, sejarah yang dipenuhi dengan drama kekuasaan dan penderitaan rakyat.
Layaknya vampir dengan jubah dan kebiasaan menghisap darah. Ah, jubah dan menghisap darah merupakan ejawantah ketakutan akan penguasa yang senang memeras rakyatnya.
Di tanah kita ini, hehantuan lebih mengenaskan, kuntilanak. Kau tahukan, sejenis wanita yang berjubah putih berkeliaran malam-malam senang tertawa tak jelas arah.
Bah, ini tentunya ejawantah ketakutan kaum pria yang tak senang dengan kaum hawa yang bebas mengekspresikan dirinya di dunia ini tanpa kekangan yang melanggar rambu rasionalitas.
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 27
Lain lagi dengan pocong, badan terikat dan hanya melompat-lombat menggunakan pembungkus tubuh yang itu-itu saja. Ini cerita tentang gambaran ketakutan akan kemiskinan yang menjerat tubuh, tak bisa bergerak utuh, menggunakan pakaian yang tak berganti setiap hari.
Seru bukan ? Nah, jadi kenapa kau harus takut. Kalaupun nanti ada orang yang ingin menakut-nakutimu dengan cerita bualan. Katakan saja kuntilanak dan pocong perlu dikasihani. Mengapa kuntilanak harus tertawa sendirian dan pocong mengapa harus terus melompat? Mereka pasti kelelahan tentunya.
Seharusnya ini bisa jadi bahan lelucuan kita berdua. Sttt, tapi ini untuk kita berdua saja ya. Janji?
Bayangkan, mengapa kuntilanak terus tertawa dan pocong senantiasa melompat-lompat? Oh begini, kutilanak terus tertawa karena geli melihat pocong terus melompat-lompat saja kerjanya. Pocong terus melompat-lompat bukan karena tak bisa membuka ikatan tubuhnya namun ia akan telanjang jika membuka ikatan tubuhnya.
Jika ia telanjang tentulah akan makin meledak tawa kuntilanak. “Sudah hantu telanjang pula..” mungkin itu olok-olokan yang akan kuntilanak katakan. Ha ha ha
Sudah tak ada yang perlu ditakutkan bukan? Ehm, kau sudah kelelahan tampaknya. Kini, sudah saatnya kau untuk mengalun mimpi. Besok malam kita lanjutkan lagi hikayat sebelum lelap ini.
****
Kudampingi tidurmu malam ini, sekali lagi. Seperti malam-malam sebelumnya. Ketika kau terlelap, menguapkan kelelahan sepenuh waktu menghadapi dunia yang baru dan semakin mengherankan. Setelah itu aku mengusap-usap, mengembus-hembuskan keningmu yang menghangat lalu berjingkat pelan-pelan memadamkan lampu. Hingga tiada cahaya lagi.
Kudampingi tidurmu malam ini, sekali lagi. Seperti malam-malam sebelumnya. Hingga subuh menjelang, Kau akan diam-diam masuk ke kamarku, berjingkrakan di atas tubuhku. Akupun akan terkaget-kaget lalu menatapmu heran. Sayangnya kau hanya akan berceloteh seringan kapas dan sebening embun pagi,
“Ayah, setelah sholat subuh kita akan main kemana hari ini ?”
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 28
Alfi Syahriyani
Kenangan Musim Gugur
November 23, 2011
Aku mematut diri di depan cermin. Alih-alih mengenakan kaus dan jeans, hari ini aku
mulai mengenakan sweater yang ternyata tak cukup ampuh untuk menghangatkan tubuhku
yang terbiasa dengan iklim tropis. Musim gugur akhirnya datang, setelah beberapa hari yang
lalu aku masih bisa menikmati cuaca cerah dan hangat, kini bahkan matahari hanya
mengintip sedikit dengan langit lebih kelabu. Kugesekkan kedua telapak tanganku untuk
menghalau hawa dingin. Pemanas ruangan baru saja dinyalakan pagi ini hingga sensasi
breeze masih terasa dominan di dalam rumah. Lalu kulirik jendela kamar. Di luar tampak
seorang perempuan sedang menyalakan mobil.
“Andin…! hurry up!” panggilan seperti biasanya. Cepat-cepat aku meninggalkan
kamar, berlari menuju teras rumah. Sapaan “how was your sleep?” tidak pernah terlewat
setiap pagi.
Perempuan itu kupanggil dengan sebutan ‘mom’ , tapi sesungguhnya ia bukan ibu
kandungku. Sudah empat bulan lebih aku ‘menumpang hidup’ bersamanya sebagai pelajar
asing. Terkadang masih canggung untuk memulai percakapan. Apalagi bukan dalam bahasa
ibu. Tetapi tetap saja menurutku mom terlalu baik untuk didiamkan. Terlalu ramah untuk
dicueki. Terlalu, well…?
“Terlalu cepatkah kita berangkat?” tanyanya sambil menoleh ke arahku yang sedang
melompat naik dan duduk di sebelahnya.
Aku setengah tersenyum, entah harus membalas dengan cara apa lagi. Sudah ke-
sekian kalinya ia mengatakan hal serupa, walau dengan struktur kalimat yang berbeda. Isinya
sama, segalanya harus tepat waktu. Mom memang selalu seperti itu setiap kali berangkat.
Selalu paling pagi, selalu in time, selalu membuat aku, sebagai orang Indonesia yang dikenal
santai, kepayahan.
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 29
Mom kembali sekilas melirik ke arahku saat mobil sudah mulai meluncur menuju
main street, “Nanti aku akan persiapkan mantel untukmu. Yang kaubawa dari Indonesia itu
tidak cukup tebal,” lanjut mom sambil memainkan setir mobil dengan lihai tanpa harus
menunggu jawabanku atas pertanyaan pertamanya tadi.
Ah, ini lagi… Mom adalah orang yang sangat peka, ia sangat peduli dengan
kebutuhan-kebutuhanku bahkan ketika aku sendiri pun tidak begitu sadar. Kurasa setiap
musimnya mom akan membelikanku pakaian yang berbeda-beda. Saat musim gugur saja aku
sudah merasa sedikit menggigil, tak dapat kubayangkan bagaimana lebih menggigilnya aku
nanti ketika musim dingin.
Aku sebenarnya tidak tahu akan dibawa mom ke mana. Bulan lalu, ia berbaik hati
mengantarku ke sebuah komunitas Muslim di Minneapolis. Di sana banyak terdapat imigran
Somalia yang beragama muslim. Aku surprised dengan dinamika muslim di sana. Walaupun
banyak terdapat perbedaan, kurasa mereka orang yang mau terbuka. Pernah juga suatu kali
aku diajak mom ke sebuah gereja. Ia memintaku berdiri saat acara kebaktian selesai, untuk
diperkenalkan kepada hadirin lain. Awalnya aku sempat takut, tapi ternyata itu hanya pikiran
negatifku saja. Kurasa dunia ini begitu sempit untuk dilihat hanya dari satu sudut pandang.
Sebenarnya, ini juga momen yang aneh. Besok hari Thanksgiving, mom bilang
keluarga besar akan datang berkunjung ke rumahnya. Ia memang orang yang dituakan.
Seharusnya hari ini mom mempersiapkan acara tersebut di rumah. Mom memang telah
memasak thanksgiving turkey[2] semalam, tapi bukan dalam porsi besar.
“Look!” mom menoleh ke arah kiri. Ada yang berbeda di sepanjang jalan,
“yellowish…” bisik mom, ”Beautiful, isn’t it?"
Aku takjub melihat boulevard [1] yang kulewati. Pohon maple berguguran sepanjang
jalan. Warna daunnya hijau dan jingga. Perpaduan warna yang indah ini seringkali disebut
dengan yellowish. Bentuk daun maple seperti jari, lebih tepatnya seperti daun pohon pepaya,
tapi berukuran kecil. Yellowish selalu ditunggu-tunggu setiap musim gugur tiba, terutama saat
berjalan-jalan di taman kota. Indah sekali. Kalau saja aku bisa turun dan berjalan-jalan di
taman itu.
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 30
Aku sempat menarik ujung kemeja mom, seolah-olah bilang kepadanya, Mom,
tunggu, aku ingin main ke boulevard, biarkan aku menikmati ini dulu!
Seperti bisa membaca pikiranku, mom tersenyum lalu berkata, “Setelah dari sini kita
akan ke North Shore of Lake Superior, tempat yang bagus untuk menikmati musim gugur,
kau akan suka dan kita akan mengambil beberapa gambar untuk bisa kau bawa pulang,
kenang-kenangan setelah pulang ke Indonesia nanti...”
Aku mengangguk antusias, “but—where we are we going now?” Akhirnya
kutanyakan juga hal tersebut pada mom, meski perlu beberapa detik mengganti subtitle alami
dalam otakku. Walau sudah berbulan-bulan aku tinggal dan membaur bersama native
Americans, aku tetap saja harus mendengar ekstra keras untuk mengimbangi gaya bicara
mereka yang cepat. Kadang juga aku harus berkerut-kerut menautkan kedua alis dan
mendekatkan telingaku agar bisa lebih mengerti apa yang dikatakan. Untung saja mom cukup
paham dengan kondisiku ini. Ia tak segan mengulang berkali-kali jika menangkap ekspresiku
yang kebingungan.
“Kita akan ke sebuah tempat yang juga menyimpan kenangan di masa lalu,”
pandangan mom lurus ke depan. Tangannya menarik gigi mobil lagi.
“What? A memory?”
“You’ll see it later darling…” Mom tersenyum penuh rahasia, pandangannya sekilas
nampak menghangat, aku tak berani menebak mengapa. Bagus, ia berhasil membuatku
penasaran.
Mom orang yang senang bercerita. Tapi tidak untuk kehidupan pribadinya, kurasa.
Pernah suatu kali, Josh, anak yang tinggal bersamanya bercakap-cakap denganku. Ia bilang
kalau dirinya bukan anak kandung mom. Josh bahkan bilang ia adalah cucu mom, hasil
hubungan gelap antara anak mom dan seorang pria “yang tidak bertanggung jawab.” O well,
baiklah, ini istilah buat anak Indonesia sepertiku. Tapi untuk orang Amerika, aku tidak tahu.
“You’re such a liar! Nggak mungkin kalau kamu bukan anak mom,” kataku suatu hari
kepada Josh.
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 31
“Cek aja. Nih, aku telepon mom yah,” katanya, lalu ia tekan tombol loud speaker. Ia
pura-pura bertanya tentang kabar ibu kandungnya.
Kudengar dengan jelas jawaban mom tentang kabar Ashley, ibu kandung Josh. Ashley
pernah kutemui saat kali pertama aku sampai di rumah mom. Ia tipikal orang yang tak banyak
bicara. Mom bilang Ashley bekerja di Ohio, hanya pulang pada momen tertentu.
“Nah, Andin, kamu percaya kan sekarang aku anak Ashley, bukan mom?” Josh
tertawa-tawa di depanku.
Sementara HP lupa ia matikan. Dari seberang kudengar mom marah-marah.
“Andin’s there? Hey, what did you do, Josh?!! She’s Asian, Josh! Wait until I arrive
back home! Josh! Josh, I will….” Lalu Josh mematikan telepon genggamnya karena panik.
Tidak perlu kuceritakan kejadian selanjutnya seperti apa. Sedang aku? Ya ya ya,
baiklah! Aku sangat terkejut dengan kenyataan itu. Dasar anak tidak tahu diri. Bangga sekali
menjadi anak hasil hubungan gelap. Baiklah, ini masih istilah orang Indonesia. Diam-diam
aku bercerita kepada mom suatu hari dan ujung-ujungnya Josh dimarahi habis-habisan. Butuh
berminggu-minggu untuk meluruhkan dendam Josh padaku. Lalu kami baikan lagi. Aneh
bukan?
Kalau saja waktu itu aku tidak mengobrol dengan Josh, barangkali mom tidak akan
menceritakan kehidupan Ashley kepadaku. Mom bilang Ashley mengandung Josh saat masih
duduk di bangku SMP. Ia sempat terkejut mengetahui kenyataan itu. Namun sampai
sekarang, Ashley enggan bercerita siapa ayah Josh. Ia memilih diam, lalu meneruskan
kehidupannya secara normal.
Sejak mendengar cerita itu, aku seringkali bergidik ketika melihat beberapa kawanku
berjalan di koridor sekolah dengan perut yang terisi. Di sekolah-sekolah Amerika
pemandangan demikian sepertinya sudah lazim. Tapi tentu tak semua orang seperti itu, ada
juga yang merasa bahwa keperawanan adalah hal yang sangat penting, dan institusi
pernikahan adalah hal yang sangat sakral.
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 32
“Ok, here we are…” mom kembali menarik gigi mobil. Aku tersentak, tak terasa
sudah satu jam perjalanan aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Hanya sedikit percakapan
yang kami lakukan sepanjang perjalanan tadi. Mom memarkirkan mobilnya di halaman
kompleks perumahan khusus dengan area yang luas dan lebar, tempat itu nampaknya
nyaman, hanya ada sebuah papan penanda yang bertuliskan ‘Sterling House Brookdale
Senior Living.’
Kami kemudian masuk ke dalam bangunan bernuansa putih bersih itu. Di sana banyak
terdapat kamar. Ada sebuah ruangan untuk menonton televisi bersama-sama. Dan juga
beberapa ruangan lainnya, dari suatu ruangan suara denting piano terdengar, beberapa lansia
nampak berkumpul dan bercakap-cakap dengan pelan. Kondisinya tenang, bersih, rapi,
tapi…..menyedihkan atau malah suram?
“Mrs. Pearsly…!” seorang perempuan berseragam hijau lumut dengan logo Sterling
House menyambut kami dengan senyuman ramah, ia nampak sebaya mom dengan rambut
cokelat bergelombang yang diikat praktis ke belakang,
“Oh, hi Laura…”
Ia menyapa mom dengan akrab, “so, what do you bring for your husband this time?”
Deg! Jantungku seketika berdetak. Semoga saja telingaku betul-betul telinga orang
Indonesia, yang masih sering salah dengar bahasa native. Husband?
“A Turkey,” mom memamerkan kotak Tupperware-nya,
“As usual huh?” Laura mengintip kotak yang dibawa mom,
“Hmm, smells good! Alright Mrs. Pearsly, this way…”
Aku mengikuti mom dan staf berseragam tersebut melintasi lorong menuju sebuah
ruangan yang lebih mirip seperti kamar perawatan di rumah sakit. Seorang lelaki berusia 60-
an nampak sedang duduk di sebuah sofa menghadap ke jendela besar yang memiliki akses
pemandangan langsung ke taman. Lelaki tua itu nampak pucat dengan rambut abu-abu tipis.
Kemeja yang ia kenakan rapi dan bersih tetapi nampak kebesaran menutupi tubuh tipisnya
yang rapuh.
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 33
Mom menghampiri lelaki itu, Ia menatap mom dengan ekspresinya yang datar.
Sekalipun kepalanya dielus-elus, tak ada gerakan yang berarti. Diam seribu bahasa. Pelan-
pelan mom menyuapi lelaki tua itu dengan masakannya sendiri. Awalnya ia tak mau, tapi
Laura membantu mom dengan sabar. Samar-samar kudengar mereka mengobrol tapi tidak
begitu kupedulikan karena otakku sedang sibuk berpikir tentang banyak hal. Tentang
status mom yang single parent, tentang Josh, tentang Ashley, tentang banyak hal.
Setelah tiga puluh menit menghabiskan waktu bersama lelaki yang ternyata suami
mom itu, kami keluar gedung dengan saling terdiam. Aku bingung bagaimana memulai
percakapan. Mom juga sepertinya sibuk dengan pikirannya sendiri hingga mobil melaju
menuju North Shore of Lake Superior seperti yang mom janjikan.
***
“Kami dulu bertemu di sini” tiba-tiba saja mom bersuara saat kami berjalan berdua,
menikmati pemandangan musim gugur di North Shore of Lake Superior,
“Saat musim panas tiba, dad sering jogging pagi-pagi di daerah ini. Ia pernah menjadi
seorang atlet marathon sambil terus studi menyelesaikan PhD-nya. Jika musim gugur
tiba, dad sering menyendiri di taman ini, menulis puisi tentang maple”
“Lalu?” tanyaku, dengan wajah tenang, walau dalam hati aku siap melompat.
“Lima tahun yang lalu ia terserang Alzheimer[3]. Kupikir tubuh dia sehat walaupun
sudah tua, tapi entah mengapa penyakit itu tiba-tiba saja terjadi, sejak saat itu aku selalu
menengoknya satu minggu sekali di akhir pekan”
“Menengok rutin? Tetapi ia kan diam saja, Mom. Buat apa?”
Mom tersenyum, “Kalau saja di setiap musim gugur Maple tidak seindah ini",
jawabnya. Tiba-tiba saja aku menyesal mengatakan pertanyaan bodoh itu.
Sebenarnya dalam hati yang terdalam aku ingin sekali bilang, “memang ada apa
dengan pohon maple sih?” Tapi aku tidak ingin memperpanjang perkara.
Kubiarkan mom berjalan sendiri, sedikit mendahului langkahku. Yellowish kali ini bisa
sedikit kunikmati dengan lebih santai.
Cerita Pendek~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 34
Lagi-lagi seperti bisa membaca pikiranku mom berujar, “beberapa orang menganggap
pohon maple sebagai simbol janji. Tapi entah mengapa, ia tampak lebih cantik saat daunnya
berguguran. Walaupun Dad sudah sama sekali tak bisa ingat apa-apa, kenangan saat kami
bersama akan selalu ada selama pohon maple tumbuh dan berwarna indah di tiap musim
gugur...”
Aku mengerutkan kening, berpikir lama sambil menginjak satu demi satu daun yang
bertebaran di jalanan.
“So, Andin, let me take your picture here…” Suara ceria mom memecah keheningan
sementara kami, kulihat mom tersenyum lebar seraya bersiap mengambil fotoku dengan
kamera. Cuaca terasa semakin dingin, namun entah mengapa ada sesuatu lain yang mendadak
menghangat—
-inspired by true story and a small research done-
Keterangan:
[1]Taman kota
[2]Makanan khas perayaan Thanksgiving di Amerika, berupa sajian kalkun panggang untuk makan bersama keluarga besar. Perayaan Thanksgiving di Amerika disebut juga dengan ‘Hari Kalkun’. Biasanya semua orang berkumpul bersama keluarga besar. Awalnya perayaan Thanksgiving adalah bentuk syukur atas panen yang berhasil, namun sejak 1983 diperingati sebagai hari raya nasional.
[3]Sebuah penyakit yang didasarkan pada penurunan kemampuan mengingat yang progresif. Serangan penyakit Alzheimer ditandai dengan kehilangan daya pikir secara bertahap dan akhirnya dapat menjadi cacat mental total.
Kritik~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 35
The Shawshank Redemption: Mengapa Menjadi Film No 1*?
Johan Rio Pamungkas
“Fear can hold you prisoner. Hope can set you free”
Penjara adalah tempat gelap. Tempat yang manusia mana pun tidak mau masuk ke dalamnya. Tempat di mana harapan menjadi berbahaya seiring dengan lamanya manusia tertahan di sana. Mungkin selain orang-orang yang memang bersalah atas tindak pidananya maupun yang sebenarnya tidak bersalah tapi kemudian tetap dijebloskan ke penjara serta petugas penjara itu sendiri, hanya manusia-manusia “ingin tahu” yang mau berada di penjara. Mereka melakukan riset, penelitian atau hanya sekadar mencari berita. Namun, tempat pembersihan kesalahan ini juga menyimpan serakan renungan pemikiran. Banyaknya cerita dari penjara yang bisa digali membuat orang-orang yang berotak kreatif menulis buku atau menjadikannya kisah bergambar di layar lebar. The Shawshank Redemption adalah salah satunya.
The Shawshank Redemption adalah film yang diadaptasi dari novelet Maha Karya Stephen King. Judul lengkap noveletnya adalah Rita Hayworth and Shawshank Redemption. Kata-kata “Rita Hayworth” kemudian dihilangkan agar menghilangkan kesan film tersebut menceritakan tentang Rita Hayworth, padahal inti ceritanya adalah tentang orang-orang di Penjara Negara Shawshank, Maine, Amerika Serikat.
Film ini menjadi menarik untuk dikaji karena menduduki posisi teratas Top 250 versi Internet Movie Database (IMDb). IMDb merupakan situs film terpopuler yang pasti dijadikan referensi baik para penggemar film biasa maupun para pakar film. IMDb menggunakan rumus formula Perkiraan Bayesian untuk menentukan rating sebuah film[i]. Maka, film ini sudah tentu bukan film picisan sembarangan kalau sudah mendapatkan rating senilai 9.2 mengalahkan film-film beken nan keren macam The Godfather, 12 Angry Men, Star Wars, bahkan termasuk mengalahkan rating film pemenang Piala Oscar tahun 1995 : Forrest Gump, yang “hanya” meraih rating senilai 8,6. Banyak kritikus film mengatakan, andai kata The Shawshank Redemptiondiproduksi tidak bersamaan tahun dengan Forrest Gump, dapat dipastikan pemenang Oscar-nya adalah The Shawshank Redemption.
The Shawshank Redemption termasuk film Genre Induk Primer yakni ; Drama. Satu yang menarik adalah jika merujuk makna dari genre noir [:noa] yang bermakna “gelap” atau “suram” film ini juga bisa masuk ke dalam genre ini seharusnya, namun ternyata film ini tetap digolongkan ke dalam film drama. Apa sebab ? Karena secara lebih detail, noir melakukan pendekatan sinematik dan tema yang unik, sedangkan The Shawshank Redemption tidak menggunakan sinematik yang luar biasa seperti filmnoir populer macam L.A Confidential, The Usual Suspect atau film yang hanya mendapatkan pengaruh noir seperti The Matrix yang menggunakan slow motion sinematik.
Kritik~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 36
Setiap cerita apapun bentuknya dan seberapa pun pendeknya pasti mengandung unsur naratif. Begitu pula dengan film ini. Unsur naratif inilah sepertinya yang menjadikan film ini mendapatkan hati para penggemar film dan para kritikus film yang memberikan penilaian mereka lewat IMDb. Padahal, jika sebuah novel diadaptasi menjadi sebuah film, maka tidak semua isi (cerita) novel tersebut akan muncul dalam filmnya. Dalam sebuah novel, suasana pagi yang cerah dapat dideskripsikan begitu detil hingga beberapa ratus kata, namun dalam film bisa hanya disajikan dalam sebuah shot saja. Contohnya ketika Andrew "Andy" Dufresne (Tim Robbins) merangkak dalam saluran pipa kotoran untuk bebas, di noveletnya terjelaskan secara detil berapa panjang pipa tersebut; yakni 5600 yard[ii] namun di film hanya memperlihatkan Andy Dufresne yang merangkak di pipa sungai penuh kotoran. Atau contoh lain, tempat hukuman para narapidana khusus yang melawan peraturan penjara yang disebut “The Hole” dalam noveletnya deskripsinya sangat jelas, sedangkan dalam film diperlihatkan hanya setengah dari ruangan “The Hole”tersebut.
Namun, hal-hal tersebut yang tidak dijelaskan secara detil di film tidak mengurangi tingginya nilai struktur naratif dalam film ini. Penggunaan narator yang dibawakan sangat apik oleh Ellis Boyd “Red” Redding (Morgan Freeman), elemen pokok naratif yang semuanya ada dan bernilai sangat tinggi dari mulai pelaku cerita, permasalahan dan konflik serta tujuan cita-cita dari pelaku cerita membuat yang sudah pernah menonton film ini ingin lagi dan lagi menonton film ini. Pesan film ini juga sangat kuat dari mulai kenyataan bahwa ada sesuatu yang salah dengan sistem hukuman penjara di dunia sampai pesan positif yang nampaknya menjadi trend saat ini yakni, "Jangan pernah berputus asa !" atau tentang harapan-harapan di masa depan yang berusaha diwujudkan.
Mise-en-scene yang terdiri dari empat unsur pembentuk utama, yakni : setting, make-up, lighting dan akting, bisa dikatakan hanya akting para pemainnya saja yang membuat aspek Mise-en-scene The Shawshank Redemption bernilai tinggi. Akting Tim Robbins yang memerankan narapidana mantan bankir yang dituduh membunuh istri dan selingkuhan istrinya patut diberikan kedua jempol tangan. Tim Robbins dapat menunjukkan secara jelas karakter Andy Dufresne yang pendiam tapi penuh perhitungan. Kemudian, nama Morgan Freeman sendiri adalah sebuah jaminan tentang kualitas peran. Morgan Freeman yang memang merupakan aktor watak sekali lagi memperlihatkan kepiawaiannya bermain dengan karakter orang tua bijak sekaligus narator cerita yang membawa kisah serta pesan. Latar film hanya biasa saja, penjara di Amerika Serikat dekade 1940-an. Kostum pun begitu, hanya menampilkan kostum-kostum yang memang biasa dipakai para narapidana dan sipir penjara sama persis juga dengan film Lock Up-nya Sylvester Stallone. Pencahayaan rada lumayan karena bisa memakai teknik manipulasi cahaya untuk ruangan “The Hole”. Kebanyakan pencahayaan yang dipakai dalam film ini adalah tata cahaya kontras antara area gelap dan terang (low-key lighting).
Terakhir yang sekarang pasti selalu ada dalam film, yang coba dinilai, adalah suara. Karena sekarang bukan zamannya lagi film bisu, maka, mutlak suara adalah aspek penting dalam sebuah film. Untuk aspek suara ini para penikmat film khususnya yang juga penikmat suara-suara jernih nampaknya harus berterima kasih kepada film ini karena berkat film inilah Hollywood’s Best Film Scoring, Thomas Newman lahir. Thomas Newman juga secara
Kritik~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 37
cerdas memasukkan musik dalam diegetic sound[iii]film ini, yakni ketika Andy Dufresne memutar piringan hitam buah hasil permintaannya ke Senat Daerah Maine. Terlantunlah suara sopran wanita Italia yang sangat indah membuat para narapidana di sana seperti tersihir dan Red (Morgan Freeman), sang narator, hanya berkata :
“I have no idea to this day what those two Italian ladies were singing about. Truth is, I don't want to know. Some things are best left unsaid. I'd like to think they were singing about something so beautiful, it can't be expressed in words, and makes your heart ache because of it. I tell you, those voices soared higher and farther than anybody in a gray place dares to dream. It was like some beautiful bird flapped into our drab little cage and made those walls dissolve away, and for the briefest of moments, every last man in Shawshank felt free”
Keterangan:
*Versi Internet Movie Database (IMDb)
**Tambahan informasi : Film ini menjadi Trending Topic Twitter Worldwide selama tiga hari, tanggal 26-29 November 2011, ketika jaringan televisi berbayar HBO, menayangkannya di tiga hari itu.
[i] weighted rating (WR) = (v ÷ (v+m)) × R + (m ÷ (v+m)) × C
dengan:
R = average for the movie (mean) = (Rating)
v = number of votes for the movie = (votes)
m = minimum votes required to be listed in the Top 250 (currently 3000)
C = the mean vote across the whole report (currently 6.9) for the Top 250, only votes from regular voters are considered.
(perlu diketahui bahwa regular voters juga terdiri dari para kritikus film terkenal seperti Owen Glebeirman(E! Entertainment Weekly) dan Roger Erbert (Chicago Sun Times/ Pulitzer Winner for Criticism)
[ii] Sekitar 5,1 Kilometer
[iii] Semua suara yang berasal dari dalam dunia cerita filmnya.
Resensi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011
38
Don’t be Afraid of the Dark
Rizqan Adhima
Pemain : Bailee Madison (Sally), Katie Holmes (Kim), Guy Pearce (Alex)
Sutradara : Troy Nixey Produser : Guillermo Del Toro Produksi : Miramax
Duras : 99 Menit
Film apa yang kira-kira layak ditonton di kamar
gelap? Setelah Paranormal Activity dan Insidious berhasil
membuat saya ketar-ketir dan serak karena teriak sepanjang
film, judul Don’t be Afraid of the Dark cukup menggoda
apalagi dengan adanya nama Guillermo Del Toro dan Katie
Holmes dalam karya film horor ini.
Cerita dimulai dengan adegan “pengrusakkan gigi”
seorang wanita oleh Mr.Blackwood untuk menyelamatkan
anaknya yang diculik gnemon (peri gigi dengan wajah
mengerikan) di Abad ke-19, adegan awal yang cukup
berdarah-darah terhenti menyisakan misteri untuk awalan
cerita masa kini. Lewat dua abad, rumah itu kini dihuni oleh
pasangan arsitek Alex (Guy Pearce) dan Kim (Katie Holmes) yang gemar merenovasi rumah-
rumah tua sebagai investasi.
Alex memiliki anak dari pernikahan sebelumnya, Sally (Bailee Madison) yang
bertampang depresi karena harus tinggal dengan ayah dan calon ibu tirinya. Di rumah yang
sangat besar itu, Sally menemukan ruang bawah tanah dimana dulu Mr. Blackwood
kehilangan anak dan meninggal pula di lokus tersebut. Bisik-bisik setan mulai bermunculan
yang ditenggarai berasal dari makhluk gnemon yang mirip tikus keriput bertaring, mereka
mengajak Sally bermain padahal memiliki niat busuk untuk memakan gigi serta seluruh
tubuh anak kecil itu.
Resensi~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011
39
Film ini mendapat banyak kritik karena memang klise dan tidak masuk diakal. Sally
adalah anak depresi yang banyak ditinggal di rumah sendirian; tidak disekolahkan bahkan
tidak didorong untuk berteman dengan siapa pun sehingga gnemon leluasa menyerang kapan
saja. Adapun Alex dan Kim sama sekali tidak percaya dengan pengakuan-pengakuan Sally
yang mereka anggap anak depresi. Belum lagi ketika ada tukang kebun yang juga celaka
karena diserang gnemon –dengan luka-luka pecahan kaca dan sebagainya- si orang tua tetap
tidak percaya atas keberadaan gnemon-gnemon ini.
Dinamika film jadi agak membosankan, apalagi saat masuk adegan Kim yang merasa
gagal sebagai Ibu tiri versus Alex yang mengabaikan Sally versus Sally yang terus depresi.
Bahkan adegan Sally depresi lebih banyak ketimbang kemunculan gnemon. Alih-alih Don’t
be Afraid of the Dark, saya merasa film ini lebih seperti “Don’t Forget to Send Your Kid to
School – so They Have Enough Activity and Stay Away from Gnemon.”
Sisi baiknya adalah setting rumah tua cukup detail serta penampakan gnemon yang
lebih gaul dari Smeagol atau Dolby. Kalian yang mencintai Hell Boy atau Pan’s Labyrinth
tidak akan menemukan tangan emas Del Toro dalam film ini, kalau boleh menunjuk kambing
hitam mungkin kesalahannya terletak pada sang sutradara debutan, Troy Nixey.
Jadi tidak usah bersiap-siap dengan alkitab atau segala macam alat yang bisa
mengusir setan ketika akan menonton film ini sendirian di kamar gelap. Alih-alih ketakutan
kalian lebih mungkin akan melongo kebingungan dan terkekeh di beberapa adegan. Pun ada
mantra paling ampuh untuk menangani gnemon-gnemon annoying ini: nyalakan saja lampu
kamarmu, kamar tak lagi gelap dan gnemon lenyap.
Pantau~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 40
Karna dalam Empat Monolog
Tery Marlita
Komunitas Salihara kembali menggelar pertunjukkan teater dalam program
November—Desember mereka. Teater ini berlangsung dari tanggal 17-20 November 2011
setiap pukul 20.00 WIB.
Kali ini, lakon yang
dibawakan adalah Karna,
berwujud dalam empat monolog
dengan Goenawan Mohammad
sebagai penulis naskah sekaligus
sutradara. Karna dalam Empat
monolog merupakan sebuah
penafsiran kembali satu bagian
dari Bharatayudha, perang saudara
habis-habisan antara Kurawa dan
lima pangeran Pandhawa. Kisah
Karna dilepaskan dari dongeng
tentang dewa, ia digambarkan sebagai orang yang tersisih dari kasta-kasta yang ada. Seorang
yang selamanya ‘lain’ yang menemukan harkatnya dari perang dan kematian.
Dibangun dari ingatan-ingatan tentang Karna sajian teater empat monolog ini
membawa empat lakon, Karna sebagai yang diingar Radha, perempuan yang menemukan
bayi di sungai. Karna sebagai yang diingat Parashurama, sebagai seorang Brahmana
pembunuh yang ikut dalam pertikaian antar-kasta. Karna sebagai yang diingat Kunthi, yang
pertama kali melihatnya di paruh pertama bulan Chaitra, dan Karna sebagai yang berbicara
kepada Surtikanti, dalam sepucuk surat terakhirnya sebelum pertempuran.
Nama-nama besar mengisi panggung teater Karna. Sejumlah pemain yang mengisi
lakon empat monolog ini adalah Niniek L. Karim (Kunthi) peraih Piala Citra tahun 1986,
Putri Ayudya (Surtikanti), pernah berduet bersama Philippe Bizot, aktor pantomim asal
Prancis dalam You and Me tahun 2009. Sita Nursanti (Radha), lebih dikenal sebagai Sita RSD
Pantau~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 41
memiliki debut dalam drama musikal Madame Dasima (2001). Sitok Srengenge (Karna),
penyair sekaligus kurator teater di Komunitas Salihara, serta Whani Darmawan
(Parashurama), seorang aktor dan juga penulis monolog Metaniezsche-Boneka Sang Pertapa
(2001—2004). Tak ketinggalan, Jay Subyakto yang dikenal sebagai sutradara konser-konser
musik penyanyi papan atas Indonesia seperti Anggun, Chrisye, Tiga Diva juga turun andil
sebagai penata artistik dalam pementasan teater empat monolog ini.
Putri Ayudya, ketika ditanyai mengenai kesannya ketika bekerja sama dalam
pementasan teater Karna ini mengungkapkan, “ini pesta! Dengan all-star team, saya merasa
diberikan kesempatan untuk seolah membaca semua buku seenaknya dari satu perpustakaan
lengkap. Orang-orang besar ini, teruma Goenawan Mohamad sendiri, sangat down to earth.
Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu Lampung, membuka mata saya akan berbagai teknik
latihan dan cara mendalami suatu peran. Mas Toto (Toto Arto) juga sabar sekali menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya tentang produksi teater. Dan diantara orang-orang besar itu, saya
berlari mengajar langkah-langkah panjang mereka. Saat itu saya merasa, lengkap, jadi
manusia seutuhnya.”
Kostum yang dikenakan dalam pementasan teater empat monolog ini tergolong
menarik, meski kisah yang diangkat merupakan penafsiran dari salah satu kisah pewayangan,
pakaian yang dikenakan oleh pemain dirancang berdasarkan pakaian tradisi Tanibar, Maluku.
Dalam situs, ANTARA News menyebutkan pertunjukkan Teater Karna juga ditonton
oleh Wakil Presiden Boediono hingga melewatkan acara pertandingan final sepak bola SEA
Games XXVI antara Indonesia melawan Malaysia di Gelora Bung Karno,Jakarta.
Saat ditanyakan hal tersebut, Yopie mengatakan Wapres menonton acara tersebut
untuk memenuhi undangan dari Goenawan Mohammad. "Ada undangan dari Mas Goenawan.
Bola kan sudah, malam ini giliran seni budaya. Semua harus kebagian kan."
Her Voice~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 42
Prison of the Authors
Alfi Syahriyani
Living in prison could be a consequence for those who struggle for a better change of
life. That is what history recorded. A lot of literary works were born from the musty and dark
prison. They thrived from the nature of revolution. A number of famous world leaders have
proved that dark and small place can’t restrict their thought and limit their space of freedom.
Although their physics were isolated, their soul and thought were free. They lived for their
people. They tried to survive to share their idea. They gave hope. They were there—to battle.
We have Soekarno, our former president, who wrote Indonesia Menggugat. He was
put into the jail for his sharpness of tongue toward the Dutch colonizers. We also have
Pramoedya Ananta Toer, from his phenomenal tetralogy, Tetralogi Pulau Buru. He was in
prison for his sharp criticism in his novels. He didn’t stay silent looking at his country lead
by tyranny regime. In other side of the world, we know Ibnu Taimiyah, a Muslim leader
figure whose words are eternally recorded in history. Damascus city was the witness of his
hard struggle. In that period, the king forbade him to have pens, papers, and ink since the
people knew that the words born from his fingers were like a sharp sword that could kill the
dictatorship. Consequently, he had his students throw the charcoal—instead of a pen—into
the prison, so he can keep his hand moving. The same tragic but awesome story experienced
by Sayyid Quthb, a scientist, a poet, and an Islamic thinker from Egypt. Prison encouraged
him to write beautiful pieces of his life experiences with the Koran. What the leaders did was
nothing but one purpose: they fight against the unpleasant condition due to the occupation,
from the unpleasant place due to the imprisonment.
“From darkness for the darkness”, it might be the right expression to describe the
authors. They wrote their best from the narrow and dark prison to overcome the darkness of
their people’s life, the life surrounded by the imperialists, the life that was full of misery, the
life that forced them to fight for independence. They gave their opinion to enlighten people
outside. Never think that darkness is only about the place that has no light, rather, it’s the
condition where the tyranny exists, it’s the condition where we can’t claim our right to have a
proper life. Poverty, ignorance, stupidity, and tyranny are the darkness that we should
eradicate.
Her Voice~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 43
Then, a big question might appear, “Should we be in prison first to show our best
work?” Off course not. Writing shouldn’t be started from the dark place like prison. When we
see something wrong with our environment, we might say that it is part of the darkness that
we should eliminate. However, in some cases, history records that somehow sword can’t
answer the restlessness of the people. “The pen is mightier than the sword”, a metonymic
adage coined by an English author, Edward Bulwer Lytton, in 1839 for his play Richelieu; Or
the Conspiracy, is relevant with our current condition.
True, This! —
Beneath the rule of men entirely great,
The pen is mightier than the sword. Behold
The arch-enchanters wand! — itself a nothing! —
But taking sorcery from the master-hand
To paralyze the Cæsars, and to strike
The loud earth breathless! — Take away the sword —
States can be saved without it!
See how the authors in prison can inspire millions of people outside. See how the
works created in a dark place can give enlightenment. And see, how the words can ruin the
tyranny. (*)
Bidik~
Katajiwa Tahun I, no.3/2011, Desember 2011 44
Perjalanan Mengunduh Bayangan
Muhammad Akhyar
Perjalanan selalu menjadi fakta yang menyenangkan sekaligus dirindukan. Ia selalu punya hal-hal baru untuk diambil, dipelajari, atau sekadar dinikmati. Muka baru, rasa baru, aroma baru, teman baru, ide baru, apapun. Selain itu, boleh jadi yang kita temukan adalah hal-hal lama. Tentu
saja dengan pemaknaan yang relatif beda. Ringkasnya, dari perjalanan selalu dapat kita tarik sesuatu, sesuai kemampuan dan kemauan kita. Sebagaimana bayangan yang selalu berbeda dari
nyatanya, bisa lebih hablur, lebih pendek, atau malah lebih pekat, lebih jelas. Selamat mengunduh bayangan dari perjalanan kalian.