kasus tembakau bremen 1959 ( the bremen tobacco case 1959)

23
THE BREMEN TOBACCO CASE 1959 (KASUS TEMBAKAU BREMEN 1959) Tugas Makalah UKD 3 Hukum Internasional Kelas D Dosen Pengampu: Siti Muslimah, SH Disusun Oleh: Dio Dera Darmawan E0009111 Fakultas Hukum 1

Upload: dio-darmawan

Post on 27-Jun-2015

4.017 views

Category:

Documents


29 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

THE BREMEN TOBACCO CASE 1959

(KASUS TEMBAKAU BREMEN 1959)

Tugas Makalah UKD 3 Hukum Internasional Kelas D

Dosen Pengampu: Siti Muslimah, SH

Disusun Oleh:

Dio Dera Darmawan E0009111

Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret

2010

1

Page 2: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah yang up to date karena menyangkut rasa nasionalisme bangsa indonesia

adalah masalah divestasi. Dalam sejarah bangsa Indonesia merdeka, pernah dua kali

melakukan divestasi atau nasionalisasi yaitu ketika pada tahun 1958, terkait dengan

pengambila alihan perusahaan-perusahaan Belanda, dan pada tahun 1962, terkait

konfrontasi dengan Malaisya, pada waktu itu Indonesia berusaha mengambil alih

perusahaan milik Inggris dan Amerika, karena Indonesia menganggap kedua negara

tersebut adalah pendukung Malaisya. Namun pada makalah ini, akan membahas

mengenai kasus nasionalisasi pada 1958, atau yang lebih dikenal dengan Kasus

Tembakau Bremen ( The Bremen Tobacco Case).

Pemerintah mengambil alih perusahaaan-perusahaan Belanda pada tahun 1958,

berkaitan dengan perjuangan mengembalikan Irian Barat atau Papua, dari pendudukan

Belanda. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi kekeuatan Belanda yang ada di

Indonesia atau dengan kata lain, Indonesia berusaha untuk mengurangi eksistensi

Belanda di dunia Internasional. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia semakin mendapat

tempat di dunia internasional. Karena itulah Indonesia berusaha keras untuk

memenangkan kasus ini, dan pada akhirnya, keinginan bangsa Indonesia ini terwujud.

B. Rumusan Masalah

Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan, maka disusun beberapa rumusan

masalah terkait dengan kasus ini, yaitu:

a. Bagaimanakah awal mula Kasus Tembakau Bremen?

b. Seperti apakah masalah hukum yang timbul & Bagaimanakah penyelesaian

Kasus Tembakau Bremen?

2

Page 3: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

c. Penyelesaian Sengketa seperti apa yang dapat digunakan untuk

menyelesaikan kasus tersebut?

d. Bagaimanakah paradigma hukum internasional yang timbul akibat kasus-

kasus sengketa internasional?

C. Tinjauan Pustaka

Sengketa internasional, menurut pengertian dari Mahkamah Internasional, adalah

suatu situasi dimana dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai

dilaksanakan atau tidak dilaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada pada suatu

perjanjian. Selengkapnya Mahkamah ini menyatakan: "...whether there exists an

international dispute is matter for objective determination. The mere denial of the

existence of a dispute does not prove its non-existence ... There has thus arisen a

situation in which the two sides hold clearly opposive views concerning the questions of

the performance or non performance of treaty obligations. Confronted with such a

situation, the Court must conclude that intrnational dispute has arisen.”1

Dalam studi hukum internasional publik, dikenal ada dua macam sengketa

internasional: sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik (political

or non-justiciable disputes). Sebetulnya tidak ada kriteria yang jelas dan diterima secara

umum mengenai pengertian kedua istilah tersebut. Yang kerapkali dipakai menjadi

ukuran suatu sengketa sebagai sengketa hukum yakni manakala sengketa tersebut bisa

atau dapat diserahkan dan diselesaikan oleh pengadilan internasional. Namun

pandangan demikian sulit diterima. Sengketa-sengketa internasional, secara teoritis pada

pokoknya selalu dapat diselesaikan oleh pengadilan internasional. Sesulit apapun suatu

sengketa, meskipun tidak ada pengaturannya sekalipun, suatu pengadilan internasional

tampaknya bisa memutuskannya dengan bergantung kepada prinsip kepatutan dan

kelayakan (ex aequo et bono).

Pada pokoknya, ada banyak sengketa yang bisa diserahkan dan kemungkinan besar

bisa diselesaikan oleh pengadilan internasional. Tetapi karena salah satu atau kedua

negara enggan menyerahkannya kepada pengadilan, pengadilan menjadi tidak

1 Martin Dixon and Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law, London: Blackstone Press Ltd., 1991, hlm. 511.

3

Page 4: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

berwenang mengadilinya. Dalam hal ini yang menjadi dasar hukum bagi pengadilan

untuk melaksanakan jurisdiksinya adalah kesepakatan para pihak yang bersengketa.

Meskipun sulit untuk membuat perbedaan tegas antara istilah sengketa hukum dan

sengketa politik, namun ada tiga golongan pendapat atau teori penting yang berkembang

dalam hukum internasional.

Pendapat Friedmann.

Pendapat pertama adalah pendapat yang dikemukakan oleh golongan sarjana

hukum internasional Amerika Serikat dengan pemukanya Professor Wolfgang

Friedmann. Menurut beliau, meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian

tersebut, namun pembedaannya dapat tampak pada konsepsi sengketanya. Konsepsi

sengketa hukum memuat hal-hal berikut:

o sengketa hukum adalah perselisihan-perselisihan antara negara

yang mampu diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan-

aturan hukum yang ada atau yang sudah pasti;

o sengketa hukum adalah sengketa-sengketa yang sifatnya

mempengaruhi kepentingan vital negara, seperti integritas wilayah dan

kehormatan atau kepentingan-kepentingan penting lainnya dari suatu

negara;

o sengketa hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum

internasional yang ada cukup untuk menghasilkan suatu putusan yang

sesuai dengan keadilan antara negara dengan perkembangan progresif

hubungan-hubungan internasional;

o sengketa hukum adalah sengketa-sengketa yang berkaitan dengan

persengketaan hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutantuntutan

yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada.

Pendapat Waldock.

Pendapat kedua dikemukakan oleh para sarjana dan ahli hukum internasional dari

Inggris yang membentuk suatu kelompok studi mengenai penyelesaian sengketa tahun

1963. Kelompok studi ini yang diketuai oleh Sir Humprey Waldock menerbitkan

laporannya yang sampai sekarang masih dipakai sebagai sumber penting untuk studi

4

Page 5: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

tentang penyelesaian sengketa internasional. Menurut kelompok studi ini penentuan

suatu sengketa sebagai suatu sengketa hukum atau politik bergantung sepenuhnya

kepada para pihak yang bersangkutan. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai

sengketa hukum, maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya, jika

sengketa tersebut menurut para pihak membutuhkan patokan-patokan tertentu yang

tidak ada dalam hukum internasional, misalnya soal perlucutan senjata, maka sengketa

tersebut adalah sengketa politik. Pendapatnya ini dirumuskan sebagai berikut:

'the legal or political character of a dispute is ultimately determined by

the objective aimed at or the position adopted by each party in the dispute. If

both parties are demanding what they conceive to be their existing legal rights. If

both are demanding the application of standards or factors not rooted in the

existing rules of international law - as, for example, in a dispute regarding

disarmament - the dispute is evidently political.'

Tampaknya pendekatan yang diambil oleh kelompok studi ini "lebih tepat".

Sengketa yang timbul antara dua neqara, bentuk atau jenis sengketa yang bersangkutan

ditentukan sepenuhnya oleh para pihak. Suatu sengketa hukum, misalnya penetapan

garis batas wilayah, pelanggaran hak-hak istimewa diplomatik, sengketa hak-hak dan

kewajiban dalam perdagangan, dll., yang pasti, sengketa demikian sedikit banyak

mempengaruhi hubungan (baik) kedua negara. Bagaimana kedua negara memandang

sengketa tersebut adalah faktor penentu untuk menentukan apakah sengketa yang

bersangkutan sengketa hukum hukum atau politik.

Dalam hubungan internasional hal seperti itu acapkal terjadi, misalnya saja

pelanggaran hak-hak istimewa diplomatik, khususnya sewaktu berlangsunanya perang

dingin antara blok Barat (AS dan sekutunya) dan Timur (Uni Sovyet dan sekutunya).

Contoh aktual adalah pertikaian perdagangan, misalnya tuduhan pelanggaran ketentuan

kuota ekspor antara Amerika Serikat dengan Jepang atau antara Masyarakat Eropa

dengan Jepang atau masalah tuduhan dumping perdagangan (internasional). Sengketa-

sengketa tersebut adalah sengketa hukum murni. Karena salah satu negara menuduh

pihak lainnya melanggar ketentuan kuota ekspor atau ketentuan perdagangan

internasional yang telah disepakati. Namun dalam menyelesaikan sengketa itu, para

pihak jarang menyerahkannya ke badan-badan pengadilan. Sebaliknya para plhak

tampaknya menganggap pertikaian itu sebagai suatu persoalan atau pertikaian politik

5

Page 6: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

dan penyelesaiannya pun acapkali dilakukan melalui saluran politik, seperti negosiasi

atau manakala saluran penyelesaian sengketa secara politik demikian buntu, baru

penyelesaian sengketa secara hukum ditempuh.

Pendapat Jalan Tengah (Oppenheim-Kelsen)

Pendapat ketiga adalah golongan yang penulis sebut sebagai pendapat jalan tengah.

Mereka adalah sekelompok sarjana yang merupakan gabungan sarjana Eropa (seperti de

Visscher, Geamanu,Oppenheim) dan Amerika Serikat (seperti Hans Kelsen). Menurut

Oppenheim dan Kelsen, pembedaan antara sengketa politis dan hukum tidak ada

pembenaran ilmiah serta tidak ada dasar kriteria obyektif yang mendasarinya. Menurut

mereka setiap sengketa memiliki aspek-aspek politis dan hukumnya. Sengketa-sengketa

tersebut biasanya terkait antar negara yang berdaulat. Sengketa-sengketa yang dianggap

sebagai sengketa hukum mungkin saja tersangkut di dalamnya kepentingan poliitis yang

tinggi dari negara-negara yang bersangkutan. Begitu pula sebaliknya. Sengketa-

sengketa yang dianggap memiliki sifat politis, mungkin saja di dalamnya sebenarnya

penerapan prinsipprinsip atau aturan-aturan hukum internasional dimungkinkan. Di

samping istilah sengketa hukum dan Politik, ada pula istilah lain yang sama-sama

tunduk pada penyelesaian sengketa secara damai. Istilah tersebut adalah ‘situasi’

(situation).

Selain itu, terdapat cara penyelesaian sengketa internasional dengan jalan

kekerasan. Cara ini baiasanya digunakan jika memang sudah tidak mungkin tercapai

kesepakatan antara pihak yang bersengketa. Misalnya dengan perang, boikot damai,

reprisal, retorsi, embargo, dan lain sebagainya.

Dalam membahas kasus ini, penulis berpedoman pada keputusan dari

oberlandesgericht Bremen tanggal 21 Agustus 1959, serta pada teori-teori penyelesaian

sengketa internasional yang biasa digunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus atau

sengketa – sengketa internasional.

6

Page 7: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Awal Mula Kasus Tembakau Bremen

Kasus ini berawal dari terbitnya Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan

Belanda. Sebagai pelaksanaan dari UU tersebut, perusahaan-perusahaan milik Belanda

yang ada di Indonesia dinasionalisasi dan dinyatakan sebagai milik penuh dan bebas

Negara Republik Indonesia. Perkebunan tembakau milik Perusahaan Belanda, yaitu NV

Verenigde Deli-Maatschappijen dan NV Senembah-Maatschappi, ikut dinasionalisasi

dengan ganti kerugian yang akan ditetapkan kemudian. Sebagai gantinya Indonesia

mendirikan Pusat Perkebunan Negara (PPN) Baru.2

Pemerintah kemudian menetapkan Bremen sebagai kota untuk memperdagangkan

tembakau, dan membentuk Deutsch-Indonesische Tabakhandels GmbH, suatu

perusahaan patungan PPN Baru dengan sejumlah pedagang tembakau asal Bremen.

Pihak Deli-Senembah (Belanda) menilai tindakan nasionalisasi tersebut sebagai suatu

tindakan barbar dan merupakan suatu bentuk tekanan politik terkait dengan masalah

Irian Barat. Oleh karena itu, ketika tembakau hendak diperdagangkan di Bremen,

mereka mengajukan klaim kepemilikan, karena menurut mereka Indonesia tidak benar-

benar akan memberikan ganti kerugian atau kompensasi, sehingga yang terjadi bukan

nasionalisasi melainkan ekspropriasi3.

Kasus ini kemudian disidangkan di Landgericht, Bremen. Isu-isu hukum dalam

sengketa ini menyita perhatian dunia internasional. Di bidang hukum internasional

(publik) salah satu isu hukum krusial adalah apakah kompensasi bagi Deli- Senembah

( Belanda) harus bersifat adequate, prompt, dan effective? Apakah nasionalisasi tersebut

2 Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda diIndonesia, Lembaran Negara No. 162 Tahun 19583 Ekspropriasi (expropriation) adalah proses penggunaan kontrol untuk memaksimumkan kesejahteraan sendiri

dengan distribusi kekayaan dari pihak lain , http://joernalakuntansi.wordpress.com

7

Page 8: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh negara-negara

(general principles of law as recognized by civilized nations)?

Di bidang Hukum Internasional, isu hukum krusial dari nasionalisasi tersebut

adalah ketertiban umum (ordre public) dan doktrin tindakan negara (act of state

doctrine). Kasus ini termasuk sengketa hukum, walaupun terdapat muatan politik

didalamnya. Penyelesaian sengketa yang digunakan adalah melalui jalur litigasi atau

pengadilan. Pihak Deli-Senembah (Belanda) diperkuat dengan dukungan sebelas orang

Guru Besar, yang antara lain adalah Prof. Logemann, Prof. Lemaire, dan Prof.

Kollewijn dari Universitas Leiden. Mereka bertiga pernah menjabat Guru Besar di

Rechtshogeschool (yang kemudian menjelma menjadi FH UI). Prof. Logemann untuk

Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Prof. Kollewijn untuk Pengantar

Ilmu Hukum dan kemudian Hukum Intergentiel, dan Prof. Lemaire menggantikan Prof.

Kollewijn untuk mata kuliah-mata kuliah yang sama4. Pihak Indonesia diperkuat oleh

lima orang Guru Besar, yakni Prof. Dölle dan Prof. Zweigert, dan Prof. Ipsen dari

Universitas Hamburg, Prof. Mr. Dr. Soekanto dan Prof. Gautama dari Universitas

Indonesia. Gautama muda adalah murid Prof. Lemaire di UI. Maka terjadilah

pertarungan antara guru dan murid.

B. Masalah Hukum yang Timbul & Penyelesaian Kasus Tembakau Bremen

Pihak Indonesia dengan Maskapai Tembakau Jerman-Indonesia digugat oleh pihak

Belanda di pengadilan negeri Bremen. Dalam keputusan di pengadilan negeri Bremen,

yang secara tidak langsung membenarkan nasionalisasi perusahaan dan perkebunan

milik Belanda oleh pemerintah Indonesia.

Pihak Belanda (Verenigde Deli Maatschapijen) mengajukan banding dan

mendalilkan bahwa tindakan Indonesia dalam menasionalisasi bekas perusahaan

Belanda tidak sah karena ganti rugi yang di tawarkan tidak memenuhi apa yang oleh

pihak Belanda dianggap sebagai dalil hukum internasional yaitu bahwa ganti rugi itu

harus Prompt, effective dan adequate. Pihak perusahaan tembakau Jerman-Indonesia

dan pemerintah Indonesia membantah dalil Belanda yang dikemukakan di atas dengan

mengatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah

4 Informasi ini dikutip dari “In Memoriam Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama” oleh Yu Unn Opposungu

8

Page 9: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

usaha untuk mengubah struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial ke ekonomi

yang bersifat nasional secara radikal. Menurut pihak tergugat nasionalisasi tersebut

perlu dilakukan dalam rangka perubahan struktur ekonomi tersebut.

Sengketa ini akhirnya diselesaikan melalui keputusan pengadilan banding,

Oberlandesgericht, Bremen, pada tanggal 21 Agustus 1959, yang menguatkan putusan

Landgericht tanggal 21 April 1959 dan 16 Juni 1959, yakni menolak gugatan pihak

Deli-Senembah. Pengadilan Jerman menerima argumentasi Indonesia, yang antara lain

adalah bahwa kompensasi yang bersifat adequate, prompt, dan effective tidak bisa

diterapkan secara kaku. Jika diterapkan secara kaku, maka cita-cita luhur kemerdekaan

yang antara lain memperbaiki perekonomian yang terpuruk pasca-kolonialisme hanya

akan sia-sia akibat terkurasnya kas negara untuk membayar kompensasi sekaligus

kepada pihak Belanda. Oleh karena itu, kompensasi yang wajib dibayarkan harus

memperhatikan kondisi perekonomian dan kemampuan Indonesia. Dengan demikian

nasionalisasi yang dilakukan Indonesia adalah sah!

Mengenai ganti rugi, Indonesia sudah menyediakan ganti kerugian yang dengan

Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1959 ditentukan bahwa dari hasil penjualan hasil

perkebunan tembakau dan perkebunan lainnya akan disisihkan suatu presentasi tertentu

untuk disediakan pembayaran ganti rugi.

Sebenarnya pasca pengambilalihan kebun tembakau dari tangan Belanda sempat

menyisakan masalah besar. Pasalnya Belanda sempat mempersoalkan serta mengklaim

bahwa ribuan bal tembakau yang sedang dalam pelayaran dari Indonesia ke Rotterdam

termasuk tembakau deli yang sedang dalam proses produksi di Indonesia adalah tetap

menjadi miliknya. Klaim pihak Belanda tersebut direspon pihak Indonesia dengan

mengajukan keberatan melalui jalur hukum internasional. Kemudian pada tahun 1967

setelah melalui perjuangan yang gigih akhirnya pihak Indonesia berada dalam pihak

yang menang.

Pasca kemenangan tersebut berdampak timbulnya perasaan tidak enak bagi

Belanda, sehingga mereka menutup pasar Rotterdam, tempat dimana sebelumnya

tembakau dipasarkan. namun para pedagang tembakau dari Jerman didukung

pemerintahan kota Bremen segera mengambilalih tempat pelelangan dengan

memindahkan ke Bremen, walaupun awalnya dalam keadaan darurat. Sejak saat itulah

9

Page 10: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

hasil produksi tembakau tahun 1967 dilelang tahun 1968 di Bremen untuk pertama

kalinya.5

Keputusan Pengadilan Negeri Bremen yakni bahwa pengadilan tidak mencampuri

sah tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi pemerintah Indonesia itu, secara

tidak langsung dapat diartikan sebagai membenarkan tindakan terhadap perusahaan dan

perkebunan milik Belanda tersebut (keputusan Landsgericht Bremen tanggal 21 April

1959). Banding dari Pihak Belanda akhirnya diputuskan oleh Pengadilan Tinggi

Bremen (oberlandesgericht Bremen) yang menetapkan bahwa pengadilan tidak

mempersoalkan keabsahan tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia yang secara

tidak langsung menyatakan bahwa tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia atas

perkebunan Belanda adalah sah (keputusan oberlandesgericht Bremen, tanggal 21

Agustus 1959)

C. Proses Penyelesaian Sengketa yang Dapat Digunakan

Jika dikaji lebih mendalam, Kasus Tembakau Bremen ( The Bremen Tobacco Case)

tidak hanya terkait permasalahan politik antara Indonesia-Belanda saja, namun juga

terkait permasalahan yang menyangkut kepentingan ekonomi ( Bisnis) antar dua negara

tersebut. Indonesia, sebagai negara yang baru merdeka, dengan perekonomian yang

belum stabil, tentu tidak ingin kehilangan aset ekonomi yang berharga, yaitu

perusahaan-perusahaan tembakau milik Belanda yang dinasionalisasi tersebut.

Sebaliknya, Belanda pun tidak ingin kehilangan aset perekonomianya yang sangat

penting, mengingat pada saat itu, tembakau merupakan salah satu primadona dalam

pasar eropa. Terlebih lagi tembakau asal Jawa dan Sumatra( Deli) sangat digemari oleh

orang eropa.

Dalam masyarakat bisnis, dikenal dua pendekatan umum yang digunakan dalam

penyelesaian sengketa. Pendekatan pertama, yaitu dengan menggunakan paradigma

penyelesaian sengketa litigasi. Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan untuk

mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan ( the adversary system) dan

5 http://kumpulanspasi.wordpress.com, berkaitan dengan hal tersebut, dalam UU no.1 tahun 1967, disebutkan bahwa Penanaman modal asing menurut UU No. 1 tahun 1967 yang dalam pelaksanaannya diperkuat oleh Undang-undang No. 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing juga memberikan batasan terhadap bidang-bidang yang tertutup bagi penanaman modal asing yaitu pada bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak Terkait ketentuan mengenai penyelesaian sengketa yang sesungguhnya merupakan muatan yang menjadi pilihan-pilihan bagi para pihak untuk menentukan pilihan hukum apa yang akan digunakan jika terjadi sengketa dalam realisasi kontrak karya.

10

Page 11: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

menggunakan paksaan ( coercion ) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu

keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan pendekatan

kedua adalah dengan menggunakan paradigma penyelesaian sengketa non-litigasi.

Paradigma ini dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan ‘konsensus’

dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak yang bersengketa untuk menghasilkan

suatu keputusan win-win solution6.

Terkait kasus diatas, penyelesaian sengketa yang digunakan adalah dengan

menggunakan paradigma penyelesaian sengketa litigasi. Keputusan yang didapat adalah

keputusan yang win-lose solution. Yaitu dengan penyelesaian melalui Pengadilan

Negeri Bremen, yang menghasilkan keputusan oberlandesgericht Bremen, tanggal 21

Agustus 1959, dimana dihasilkan keputusan bahwa pengadilan tidak mencampuri sah

tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi pemerintah Indonesia itu, secara tidak

langsung dapat diartikan sebagai membenarkan tindakan terhadap perusahaan dan

perkebunan milik Belanda tersebut.

Pengadilan tidak mempersoalkan keabsahan tindakan nasionalisasi pemerintah

Indonesia yang secara tidak langsung menyatakan bahwa tindakan nasionalisasi

pemerintah Indonesia atas perkebunan Belanda adalah sah.

Sarana atau alternatif lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan

Negoisasi atau Altrnatif sengketa ( ADR). Negoisasi atau ADR adalah penyelesaian

sengketa yang paling banyak digunakan saat ini. Lebih dari 80% sengketa di bidang

ekonomi ( Bisnis ) terselesaikan dengan menggunakan pendekatan ini. Penyelesainya

atau keputusan yang dihasilkan, tidak win-lose solution, tetapi win-win solution. Cara

penyelesaian ini dapat memuaskan pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian

sengketa dengan cara negoisasi atau ADR, merupakan salah satu alternatif penyelesaian

sengketa dalam paradigma atau pendekatan non-litigasi

Ada lagi alternatif penyelesaian sengketa lain, yaitu melalu Arbitrase, dalam hal ini

adalah Arbitrase Internasional. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata diluar

pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak

yang bersengketa7. Arbitrase internasional bertujuan untuk menyelesaikan sengketa

6 Adi Sulistiyono,Mengembangkan Paradigma non-litigasi di Indonesia, hal.abstrak7 UU No. 30 tahun 1999, pasal 1 ayat 1

11

Page 12: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

antar negara oleh hakim-hakim pilihan mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan

hukum. Penyelesaian melalui arbitrase ini berarti bahwa negara-negara yang

bersangkutan harus mempunyai itikad baik. Arbitrase sama dengan pengadilan, artinya

mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan sengketa

dengan pendekatan adversial, dengan hasil keputusan win-win solution. Karenanya,

walaupun menghasilkan suatu keputusan dengan hasil win-win, namun arbitrase masuk

dalam penyelesaian sengketa dalam pendekatan atau paradigma litigasi.

Terkait dengan kasus diatas, Indonesia lebih memilih menggunakan pendekatan

atau paradigma litigasi untuk menyelesaikan kasus diatas. Alasanya, karena melalui

paradigma atau pendekatan tersebut, dapat diperoleh kepastian hukum yang lebih jelas

dan terjamin. Faktor lain adalah melihat kondisi kejiwaan bangsa Indonesia. Setelah

dijajah selama 350 tahun, sangatlah mustahil jika pihak Indonesia mau bernegosiasi

dengan Belanda untuk menyelesaikan kasus tersebut. Tentunya , Indonesia tidak mau

rugi lebih banyak lagi jika kasus tersebut selesai dengan cara negosiasi. Penggunaan

arbitrase pun tidak dilirik karena alasan yang sama. Selain itu, padda saat itu, arbitrase

belum begitu populer sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa

D. Paradigma Penyelesaian Sengketa Internasional

Sengketa internasional terbagi menjadi dua, yaitu Justisiabel dan Non yustisiabel.

Justisiabel maksudnya bahwa sengketa tersebut dapat diajukan ICJ ( International Court

Of Justice ), merupakan sengketa hukum yang timbul dari Hukum Internasional dan

deselesaikan pula berdasar Hukum Internasional melalui pengadilan maupun non-

pengadilan. Sedangkan non-yustisiabel maksudnya bahwa sengketa tersebut bukan

merupakan sasaran dari Pengadilan Internasional, lebih merupakan sengketa politik

semata yang penyelesaianya menekankan pada proses dan kemahiran diplomasi tiap

negara yang bersangkutan.

Penyelesaian sengketa internasional ada dua cara, yaitu dengan cara damai dan cara

kekerasan. Dengan cara damai dibedakan menjadi dua lagi, yakni melalui Pengadila

(litigasi) dan di luar pengadilan (non-litigasi). Melalu pengadilan misalnya adalah

melalui Arbitrase Internasional dan Pengadilan Internasional ( Mahkamah Internasional

12

Page 13: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

& Mahkamah Pidana Internasional ). Sedangkan dengan cara kekerasan misalnya

dengan perang, retorsi, reprisal, blokade damai, embargo, dan lain sebagainya.

Dewasa ini paradigma yang berkembang dalam penyelesaian sengketa internasional

adalah dengan cara damai. Seperti yang tertuang dalam pasal 2 ayat 3 piagam PBB

bahwa “ Semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian

rupa agar perdamaian , keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”.

Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa internasional adalah:

a. Prinsip itikad baik (good faith)

b. Larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa

c. Non intervensi urusan dalam negeri suati negara

d. Persamaan hak & menentukan nasib sendiri

e. Persamaan kedaulatan, kemerdekaan & integritas Wilayah

f. Kesepakatan Para Pihak

g. Kebebasan memilih cara &hukum yang diterapkan

h. Prinsip Exhaustion of local remedies

Selain itu kesuksesan Indonesia dalam sengketa internasional, menunjukan bahwa

sistem hukum nasional dapat memberikan konstribusi dalam pengembangan hukum

internasional. Mochtar Kusumaatmadja misalnya yang berhasil membongkar konsep

pembayaran ganti rugi dalam hukum internasional yang menganut prinsip prompt, 

adequate, and effective (Hull Formula). Beliau menyatakan bahwa ganti rugi dibayarkan

sesuai dengan kemampuan negara bekas jajahan sebab para kolonial telah merampas

kekayaan negeri yang tidak sebanding. Argumen itulah yang memenangkan Indonesia

dalam kasus Tembakau Bremen tahun 19598.

Dengan demikian, hukum internasional yang diajarkan di Indonesia sudah

sepatutnya harus memiliki sebuah paradigma atau kerangka keyakinan yang bersumber

dari lokalitas, praktik-praktik, serta kepentingan nasional sehingga kita dapat selalu

kritis atas semua konsep dalam hukum internasioal yang hadir dihadapan kita. Akan

tetapi, paradigma tersebut tidak akan membuat Indonesia menjadi negara yang menutup

diri karena jika itu dilakukan sama saja dengan bunuh diri.

8 http://senandikahukum.wordpress.com

13

Page 14: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan masalah diatas, dapat disimpulkan mengenai beberapa

hal. Pertama, kasus ini berawal dari Undang-Undang nasionalisasi perusahaan Belanda.

Kemudian, dua perusahaan Belanda, tepatnya perusahaan tembakau, yaitu NV

Verenigde Deli-Maatschappijen dan NV Senembah-Maatschappij. Belanda tetap

mengajukan klaim kepemilikan, karena merasa Indonesia tidak akan memberikan

kompensasi. Kasus ini kemudian disidangkan di Landgericht, Bremen dengan

kemenangan di pihak Indonesia (21 april 1959 dan 16 juni 1959). Kemudian Belanda

mengajukan banding, melalui pengadilan Oberlandesgericht, dengan keputusan yang

memnguatkan keputusan Landgericht, yakni menolak gugatan pihak Belanda. Kedua,

selain jalur pengadilan atau secara litigasi, kasus ini sebenarnya dapat diselesaikan

dengan cara lain diluar pengadilan ( non- litigasi ), misalnya dengan negoisasi, mediasi,

Arbitrase Internasional, ADR, dan lain sebagainya. Ketiga,berdasarkan paradigma yang

berkembang dalam kajian Hukum Internasional, terdapat cara penyelesaian sengketa

internasional ada dua cara, yaitu secara damai,dan cara kekerasan. Dengan cara damai

ada dua jalur, yaitu cara litigasi (melalui pengadilan) maupun non-litigasi, misalnya

dengan negoisasi, mediasi, arbitrase internasional, maupun ADR. Dengan cara

kekerasan yaitu dengan perang, boikot damai, reprisal, retorsi, embargo, dan lain

sebagainya. Cara-cara tersebut biasanya dipakai dalam menyelesaikan sengketa hukum.

Sedangkan sengketa politik, lebih menekankan pada proses dan kemahiran diplomasi

tiap negara yang bersangkutan.

B. Saran

Dalam perkembangan hukum internasional dewasa ini, paradigma penyelesaian

sengketa baik internasional maupun nasional, sengketa hukum maupun politik, adalah

melalui jalur non-litigasi. Keputusan yang dihasilkan merupakan keputusan win-win

solution, sehingga banyak dipakai dalam berbagai sengketa internasional. Misalnya

dengan cara arbitrase internasional. Mekanisme yang menguntungkan semua pihak, dan

14

Page 15: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

segala sesuatunya yang berdasarkan kesepakatan semua pihak yang bersengketa

menjadi daya tarik dalam menyelesaikan sengketa internasional. Selain itu,

pengembangan hukum internasional di Indonesia, sepatutnya harus memiliki sebuah

paradigma atau kerangka keyakinan yang bersumber dari lokalitas, praktik-praktik, serta

kepentingan nasional, sehingga kita dpat selalu kritis terhadap isu-isu internasional yang

telah, sedang, dan yang kemungkinan akan terjadi di masa depan.

15

Page 16: Kasus Tembakau Bremen 1959 ( The Bremen Tobacco Case 1959)

16