kasus sdh tasya
TRANSCRIPT
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
1/23
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Tn. Sudarsono
Umur 70 tahun
Jenis kelamin Laki-laki
Alamat Lubang Buaya
Agama Islam
Status perkawinan Menikah
Pekerjaan AURI (pensiunan)
Tanggal Masuk RS 02 September 2013
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis di bangsal merpati RSAU Dr. Esnawan Antariksa pada tanggal 2
September 2013.
Keluhan Utama
Jatuh tiba tiba 4 jam yang lalu.
Keluhan Tambahan
Badan lemas.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien tiba tiba terjatuh 4 jam yang lalu. Pasien jatuh dengan posisi kepala membentur lantai sampai
benjol. Sebelum jatuh, pasien sadar dan bisa mengingat kejadiannya. Pasien merasa tiba tiba
tubuhnya lemas lalu terjatuh. Pasien masih dapat berkomunikasi walaupun berbicaranya menjadi
agak pelo. Pasien mengeluhkan bahwa tubuhnya sering terasa lemas selama 1 tahun ini.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah lemas dan kemudian pingsan 1 kali pada saat lebaran. Pasien memiliki riwayat
kencing manis sudah 5 tahun, rutin minum obat tetapi tanpa petunjuk dokter.
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak pernah merokok dan mengkonsumsi alkohol.
Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama, riwayat hipertensi, DM, dan
alergi dalam keluarga disangkal oleh keluarga pasien.
1
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
2/23
III. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal : 2 Septenber 2013)
A. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5 = 15
Tanda Vital : Tekanan darah 120/60 mmHg
Denyut nadi 84x/mnt
Suhu 36.4 C
Pernapasan 20x/mnt
Kepala : Normocephali, hematom (+), tampak tanda traumaMata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik
Hidung : Septum deviasi(-), sekret(-)
Telinga : Normotia, serumen -/-
Mulut : Mukosa tidak hiperemis, pucat (-), sianosis (-),
Oral hygiene baik
Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar
Thorax : Jantung BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
: Paru Suara nafas vesikuler, Ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada oedem
B. STATUS NEUROLOGIK
GCS : E4 M6 V5 = 15
Tanda Rangsang meningeal : Kaku kuduk (-)
1. SARAF KRANIAL
i. N. I (Olfactorius )
Tidak dilakukan
ii. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan
Lapang pandang
Pengenalan warna
Normal
Normal
Normal Normal Normal
Normal
Tidak dilakukan
2
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
3/23
iii. N.III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis
Pupil
Bentuk
Ukuran
Gerak bola mata
Refleks pupil
Langsung
Tidak langsung
(-)
Bulat
3 mm
(+)
(+)
(+)
(-)
Bulat
3 mm
(+)
(+)
(+)
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
iv. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata (+) (+) Normal
v. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Sensibilitas
Refleks kornea
Terasa lemah
Terasa baal
Tidak dilakukan
vi. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata
Strabismus
Deviasi
(+)
(-)
(-)
(+)
(-)
(-)
Normal
Normal
Normal
vii. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik:
- sudut mulut
- mengerutkan dahi
- mengangkat alis
- lipatan nasolabial
- meringis
Terlihat lebih turun
dbn
dbn
Terlihat lebih turun
Terlihat lebih turun
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
viii. N. VIII (Akustikus)
Kanan Kiri KeteranganPendengaran Tidak dilakukan
3
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
4/23
ix. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings
Daya perasa
Refleks muntah
SDN
SDN
SDN
SDN
SDN
SDN
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
x. N. X (Vagus)
Keterangan
Bicara
Menelan
terganggu
terganggu
xi. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Mengangkat bahu
Memalingkan kepala
SDN
(+)
SDN
(+) Normal
xii. N. XII (Hipoglossus)
Kanan Kiri Keterangan
Pergerakan lidah
Artikulasi
Sulit dinilai
Bicara pelo
2. SISTEM MOTORIK
Motorik Tonus hipotoni pada lengan kiri dan tungkai kiri
Kekuatan 5 3
5 3
3. SISTEM SENSORIK
Kanan Kiri Keterangan
Raba
Nyeri
Suhu
Propioseptif
SDN
SDN
SDN
SDN
Terasa baal
Tidak terasa nyeri
SDN
SDN
4
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
5/23
4. REFLEKS
Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps
Triseps
KPR
APR
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
Normal
Normal
Normal
Normal
Patologis
Babinski
Chaddock
HoffmanTromer
schaefer
Oppenheim
Gordon
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
5. FUNGSI KORDINASI
Kanan Kiri Keterangan
Test telunjuk hidung
Test tumit lutut
Gait
Tandem
Romberg
Tidak dapat dilakukan
Tidak dapat dilakukan
Tidak Dapat Dilakukan
Tidak Dapat Dilakukan
Tidak Dapat Dilakukan
Tidak Dapat Dilakukan
6. SISTEM OTONOM
Miksi : Menggunakan kateter
Defekasi : (-), sejak dirawat di RS
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab
02/09/13
Pemeriksaan Nilai Normal Hasil Pemeriksaan
Ureum 10-50 mg/dl 22 mg/dl
Creatinin 0,9-1,3 mg/dl 0,81 mg/dl
Gula Darah sewaktu 80-100 172
Hb 13.2-17.3 g/dl 11.4 g/dl
Leukosit 3800-10.600/mm3 15.600/mm3
Trombosit 150-440 ribu/mm3 568.000 ribu/mm3
5
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
6/23
03/09/13
Pemeriksaan Nilai Normal Hasil Pemeriksaan
Cholesterol
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
7/23
7
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
8/23
V. THERAPY
1) IVFD Assering 200 cc/hari
2) Ketorolac Inj 3x30 mg
3) Ondansentron 3x4 mg
4) Citicolin 3x1 inj
5) Ceftrizoxim 3x5
6) Novorapid 4-4-4
7) Cek GD 2X/hari pagi-ore
8) CT-Scan Kepala Ulang
9) Craniotomy
VI. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanasionam : dubia ad malam
8
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
9/23
Ad fungsionam : dubia ad bonam
VII. FOLLOW UP
02/09/13 S O A P
Lengan kiri dan
tungkai kiri terasa
lemah
5/4
5/3
SDH Glucodex
Gludepatic 1-1-1
Glucobay
03/09/13 O A p
Mengantuk,tidak
bisa menelan
KU:TSS
Kes:CM
TD : 100/70
N:78X/menit
S:36.5
RR:70X/menit
SDH
DM Type II
Hipertensi
CT-SCAN
Pindah HCU
Konsul Bedah Saraf
-Pro
Kraniotomi,Evakuasi
9
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
10/23
Pupil : Isokor,RCL +/
+,RCTL +/+
Motorik : 5/3
5/3
Hematom
-Co Jantung,PD,Paru
minta toleransi operasi
-Periksa PT/APTT
Transamin 3x1 ampul
VIT K 2X1 ampul
04/09/13 S O A P
Kesadaran
menurun
GCS 10
TD : 143/85
N: 121 X/menit
RR : 18X
S: 36,7
SDH Transamin 3x500
Vit K 2X1 ampul
Cito Operasi
Kraniotomi
Intruksi Pasca Operasi Craniotomi :
1. Awasi Tanda-tanda Vital
2. Catat Pemeriksaan Darah
3. Therapy : Ceftrizoxim 3x1 inj
Citicolin 3x1 inj
4.Cek Hb post Operai
5.IVFD Manitol
4/9/13 S O A P
- GCS:
E3M2V5=10
KU:TSB
TD:143/83
mmHg
N: 121 X/menit
Pro Op
Craniotomi ec
SDH
Cito Operasi
Craniotomy hari
ini
Therapi sesuai
instruksi
10
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
11/23
RR: 18X/menit
S:36,7 C
5/9/13 S O A P
- GCS 8
TD:130/84
N: 150 X/menit
SO2 98%
Post Craniotomy ec
SDH
ETT tetap
dipertahankan,bila
keadaan memburuk
bagging atau pro
ventilator
O1 5 L/menit
Hb 10,5
Ht 33
Leukosit 16400
Trombo 440,000
Ur/Cr 23/1,20
GDS 195
K 3,9
Na 132
Cl 99
Lapor dr Indraka :
Semua obat DM di stop
Apabila OS sudah bisa
makan,diberi
Gludepatic
1 tab setiap pagi per
NGT
10.35
Acc Extubasi
Kalmethason IV 4X
sebelum extubasi
Monitor Gas Darah
11
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
12/23
6/9/13 S O A P
OS
mengamuk.mencabu
t infus dan minta
pulang
GCS 15
TD 117/86
N 69 X/menit
Drain +/+ 20 cc
Pupi bulat,isokor
Rh-/-,wh -/-
Post Craniotomy ec
SDH
Pindah Ruang Merak
CT-Scan kepala
Mobilisasi duduk
Boleh mika miki
belakang
Haloperidol 1/ ampul
IM
Jika masih gelisah lagi
berikan ampul lagi
Lapor hasil CT Scan
post op
7/09/13 S O A P
Post Op Craniotomy ecSDH
Novorapid 4-4-4
8/09/13 S O A P
OS tidak bisa
tidur,OS marah
KU: TSS
Kes:CM
TD 160/90 mmHg
Nadi 92x/menit
S 36 C
Post Op Craniotomy ec
SDH
Therapi sesuai
konsulen
9/09/13 S O A P
Tidur malam
gelisah,batuk
KU : TSS
Kes:CM
TD
Post Op Craniotomy ec
SDH
GD 2X/hari
Valsartan 80 mg 2x1
Novorapid 4-4-4
Flumicil cap 3x1
12
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
13/23
LAPORAN OPERASI CRANIOTOMY :
Operasi dilakukan pada pukul 11:30 14:45 WIB.
1. Pasien telentang diatas meja operasi dengan general anestesi
2. Asepsis & antisepsis daerah operasi & seekitarnya
3. Insisi kuit parietal kiri dan kanan dianjutkan dengan mengeluarkan bekuan darah kemudian
spooling sampai jernih,pasang drain kiri dan kanan
4. Luka operasi dijahit kembali
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Cedera otak yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah cedera akibat rudapaksa kepala
(trauma kapitis). Di negara maju, kecelakan lalu lintas merupakan penyebab kematian utama pada umur
antara 2 44 tahun, dimana 70% diantaranya mengalami rudapaksa kepala.
Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri. Pada komosio serebri
kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio serebri terdapat
kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater.
Pembagian lain menyebutkan bahwa pada komosio serebri, penurunan kesadaran kurang dari 15 menit
dan post traumatic amnesia kurang dari 1 jam. Bila penurunan kesadaran melebihi 1 jam dan post traumaticamnesia melebihi 24 jam berarti telah terjadi kontusio serebri. Perlu ditambahkan juga ada atau tidaknya
gejala cedera otak fokal yang dini, dan hasil rekaman EEG.
Pembagian seperti di atas ternyata tidak memuaskan karena batas antara kontusio dan komosio
serebri sering kali sulit dipastikan.
MEKANISME
Rudapaksa kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan
rotasidari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi,
gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini
13
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
14/23
mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol
atau dengan sekat-sekat duramater. Bita terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak
masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti.
Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini
menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan, peregangan maupun penggelinciran
suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau
berturutan. Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang
berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan
(sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini
terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan se-ring kali negatif hingga timbul kavitasi dengan robekan
jaringan.
Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab utama
terjadinya countre coup, akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan
pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah
daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.
PATOFISIOLOGI
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer ini dapat
dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-
pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak.
Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi
maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala menunjukkan bahwa hanya 18%
penderita yang mengalami fraktur tengkorak.Fraktur tanpa kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak
berarti.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria
meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan aneurisma
a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai laminakribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal
lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga menimbulkan
herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung menyebabkan kerusakan pada meningen
dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan
yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan
robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya
perdarahan subdural dan intra serebral yang akut.
14
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
15/23
Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena
adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya
terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan di
batang otak.
Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada batang otak, ataupun
sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial. Kerusakan pada saraf otak kebanyakan
disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah
oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Dinyatakan bahwa 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini. Gangguan pada saraf otak
II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja(terutama pada anak-
anak), dan tidak banyak yangmengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum.
Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar
tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari
akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya negatif sering
kali diakibatkan hernia tentoriiGangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi
sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan.
Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang
timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah edema Kerusakannya
terjadi di kanalis fasialis, dan sering kali disertai perdarahan lewat lubang telinga. Banyak didapatkan
gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema
juga merupakan salah satu penyebab gangguan.
Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya
meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf- saraf tersebut. Akibat dari trauma
pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan atau tarikan,
dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma. Ini sering
terjadipada arteri karotis interna pada tempat masuknya di dasar tengkorak. Aneurisma arteri karotis interim
ini suatu saat dapat pecah dan timbul fistula karotiko kavernosa.Aneurisma pasca traumatik ini bisa terdapat di semua arteri, dan potensial untuk nantinya
menimbulkan perdarahan subaraknoid. Robekan langsung pembuluh darah akibat gaya geseran antar
jaringan di otak sewaktu trauma akan menyebabkan perdarahan subaraknoid, maupun intra serebral.
Robekan pada vena-vena yang menyilang dari korteks ke sinus venosus (bridging veins)akan menyebabkan
suatu subdural hematoma.
Subdural Hematom
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas lapisan
arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena. Kelompok
15
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
16/23
lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai frekuensi jatuh yang tinggi serta
derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan vena yang menimbulkan permukaan otak
dibawah tekanan lebih besar.
a) Hematoma Subdural Akut
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam ruang
subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang
otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan
darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat dengan
arteriogram karotis dan ekoensefalogram / CT Scan. Pengobatan terutama tindakan bedah.
Lebih dari sepertiga pasien mempunyai lucid interval yang berakhir dalam menit atau hitungan jam
sebelum koma, tetapi kebanyakan komatose didapatkan dari saat kejadian. Trauma cranial langsung dapat
minor dan tidak dibutuhkan perdarahan subdural akut untuk timbul, terutama pada orang tua dan mereka
yang menggunakan medikasi antikoagulan. Tahanan Akselerasi sendiri, dari kejadian, terkadang cukup
untuk menimbulkan suatu perdarahan subdural. Nyeri kepala sebelah dan pembesaran pupil pada sisi yang
sama adalah lebih sering tetapi tidak tampak seringnya. Stupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran
pupil merupakan tanda dari hematoma yang besar. Pada pasien deteriorisasi akut, burr holes atau pada
craniotomy dibutuhkan. Hematoma subdural kecil dapat menjadi asimptomatik dan biasanya tidak
membutuhkan evakuasi.
b) Hematoma Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48
jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus /
sentral dan melengkapi tanda tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan
pengangkatan bekuan darah. Sindrom yang melibatkan sub akut akibat sindroma hematom subdural timbul
berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau hemiparesis ringan; hal ini biasanya meningkat pada
alkoholik dan pada orang tua, seringkali setelah trauma minor
Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik melewati konveksitas pada satu atau keduahemisfer, tetapi lebih sering pada wilayah frontotemporal, dan sedikit sering pada fosa mid inferior atau
melalui oksipital. Interhemispheric, posterior fossa, atau bilateral convexity hematomas sedikit lebih sering
dan sulit untuk didiagnosa secara klinis, meskipun tanda yang diharapkan pada setiap kerusakan wilayah
biasanya dapat dideteksi. Perdarahan yang dapat menyebabkan hematoma yang besar aslinya merupakan
vena, meskipun perdarahan arterial tambahan ditempat terkadang ditemukan pada saat operasi dan beberapa
hematoma yang besar memang berasal dari arteri.
c) Hematoma subdural Kronik
16
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
17/23
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan tahun setelah cedera
pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala,
letargi, kacau mental, kejang, dan kadang kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada
klien dengan hematoma kecil tanpa tandatanda neurologik, maka tindakan pengobatan yang terbaik adalah
melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala
kelemahan, cara pengobatan yang terbaik adalah pembedahan
Observasi klinis yang digandakan dengan imaging serial merupakan pendekatan yang berasan
dengan beberapa gejala dan koleksi subdural kronik yang sedikit. Terapi dengan glukokortikoid sendiri
cukup untuk beberapa hematoma, tetapi evakuasi pembedahan lebih sering berhasil. Membrane fibrous yang
tumbuh dari dura dan pengumpulan yang tidak berkapsul membutuhka n pemindahan untuk mencugah
akumulasi cairan berulang. Hematoma kecil diabsorbsi, sisa yang tinggal hanyalah membrane yang
terorganisasi. Pada studi imaging hematoma subdural kronik dapat sulit untuk dibedakan dengan higroma,
dimana pengumpulan CSF didapatkan dari membrane arachnoid. Sebagaimana disebutkan, kerusakan
korteks dengan penyebab mendasar hematoma kronik dapat timbul sebagai focus kejang kemudian.
Karena pembagian di atas sukar diterapkan di klinis terutama dalam rangka triage maka lebih realistis
bila pembagian berdasarkan tingkat kesadaran meskipun terdapat beberapa kekurangan yaitu :
1. Cedera Kepala Berat (GCS : 3-8)
2. Cedera Kepala Sedang (GCS : 9-12)
3. Cedera Kepala Ringan (GCS : 13-15)
4. Perdarahan Intrakranial dengan GCS : Cedera Ringan/sedang dianggap sebagai cedera kepala berat.
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang
dihasilkan di dalam selsel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah
ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa
sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma.Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses
metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolik asidosis. Dalam keadaan normal
aliran darah serebral (CBF) adalah 50 60 ml/menit/gr jaringan otak, yang merupakan 15 % dari curah
jantung. (CO).
Oedema otak disebabkan karena adanya penumpukkan cairan yang berlebihan pada jaringan otak.
Pada klien dengan cedera akibat contusio cerebri, pembuluh kapiler sobek, cairan traumatik mengandung
17
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
18/23
protein eksudat yang berisi albumin dan cairan interstitial. Otak pada kondisi normal tidak mengalami
oedema otak sehingga bila terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya akan
menimbulkan kematian jaringan otak, oedema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra
kranial yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak.
Dampak cedera kepala
a. Faktor pernafasan
Hypertensi setelah cedera kepala terjadi karena pengaruh vasokonstriksi paru, hypertensi paru, dan
oedema paru. Hal ini menyebabkan hypercapnea dan bronkokonstriksi. Sensitifitas yang meningkat pada
mekanisme pernafasan terhadap karbondioksida dan periode setelah hyperventilasi akan menyebabkan
pernafasan chynestoke.
b. Faktor kardiovaskuler
Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup aktivitas atycikal
myocardinal, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel / perubahan
gelombang T, gelombang P tinggi dan disritmia, vibrilasi atrium dan ventrikel tachycardia. Perubahan
aktivitas myokardial mencakup peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work, CVP abnormal.
Dengan tidak adanya endogenous stimulus saraf simpatis, maka akan mempengaruhi penurunan
kontraktilitas ventrikel. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan CO2 dan peningkatan tekanan atrium
kiri sehingga terjadi oedema paru.
c. Faktor gastrointestinal
Setelah cedera kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan, tetapi setelah 3
hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan merangsang aktivitas hypthalamus dan stimulus vagus
yang dapat menyebabkan langsung hiperacidium. Hypothalamus merangsang anterior hypofise untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini merupakan kompensasi tubuh dalam mengeluarkan kortikosteroid
dalam menangani oedema cerebral. Hyperacidium terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran
katekolamin dalam menangani stres yang mempengaruhi produksi asam lambung.
d. Faktor metabolisme.
Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada trauma tubuh lainnya,yaitu kecendrungan retensi sodium / natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium
disebabkan karena adanya rangsangan terhadap hypothalamus yang dapat menyebabkan pelepasan ACTH
dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi
natrium. Kemudian natrium keluar bersama urine, hal ini mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan
adanya retensi natrium. Pada pasca hypotermia hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respon
metabolik terhadap cedera, karena adanya cedera tubuh maka diperlukan energi untuk menangani perubahan
seluruh sistem, tetapi makanan yang masuk kurang sehingga terjadi penghancuran protein otot sebagai
sumber nitrogen utama, demikian pula respon hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi sekresi
18
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
19/23
kortisol, hormon pertumbuhan dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi asidosis metabolik
karena adanya metabolisme anaerob glukosa
Terapi
Perawatan Medis
Meskipun SDH secara signifikan membutuhkan terapi pembedahan, maneuver medis sewaktu dapat
digunakan preoperative untuk menurunkan tekanan intracranial yang meningkat. Pengukuran ini merupakan
pintu untuk setiap lesi massa akut dan telah distandardisasi oleh komunitas bedah saraf. Sebagaimana
dengan pasien trauma lain, resusitasi dimulai dengan ABCs (airway, breathing, circulation). Semua pasien
dengan skor GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi untuk perlindungan jalan nafas.
Setelah menstabilkan fungsi jalan nafas, lakukan pemeriksaan neurologis. Respirasi yang adekuat
sebaiknya dilakukan dan dijaga untuk menghindari hipoksia. Hiperventilasi dapat digunakan jika sindrom
herniasi tampak. Tekanan darah pasien harus dijaga pada kadar normal atau tinggi dengan menggunakan
salin isotonic, penekan, atau keduanya. Hipoksia dan hipotensi, dimana penting pada pasien dengan trauma
kepala, merupakan predictor yang independen untuk hasil yang buruk. Sedatif kerja singkat dan paralitik
digunakan hanya ketika diperlukan untuk memfasilitasi ventilasi adekuat atau ketika peningkatan tekanan
intracranial dicurigai. Jika pasien menampakkan tanda sindrom herniasi, berikan manitol 1grkg dengan
cepat melalui intravena.
Pasien juga sebaiknya dihiperventilasikan ringan (pCO2 ~30-35 mm Hg). Pemberian antikonvulsan
untuk mencegah kejang yang disebabkan iskemia dan selanjutnya jaga tekanan intracranial. Jangan
memberikan steroid, sebagaimana mereka telah ditemukan tidak efektif pada pasien dengan trauma kepala.
Perawatan Pembedahan
Tindakan bedah darurat.
Dari segi bedah saraf sangat penting adalah komplikasi intrakranial, lesi massa, khususnya
hematoma intrakranial
Hematoma subduralYang terpenting dalam hal gawat darurat adalah hematoma subdural akut (yang terjadi dalam waktu
72 jam sesudah trauma). Hematoma subdural, khususnya yang berkomplikasi, gejalanya tak dapat
dipisahkan dari kerusakan jaringan otak yang menyertainya; yang berupa gangguan kesadaran yang
berkelanjutan sejak trauma (tanpa lusid interval) yang sering bersamaan dengan gejala-gejala lesi massa,
yaitu hemiparesis, deserebrasi satu sisi, atau pelebaran pupil.
Dalam hal hematoma subdural yang simple dapat terjadi lusid interval bahkan dapat tanpa gangguan
kesadaran. Sering terdapat lesi multiple. Maka, tindakan CT Scan adalah ideal, karena juga menetapkan
apakah lesi multiple atausingle. Angiografi karotis cukup bila hanya hematoma subdural yang didapatkan.
19
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
20/23
Bila kedua hal tersebut tak mungkin dikerjakan, sedang gejala dan perjalanan penyakit mengarah
pada timbulnya lesi massa intrakranial, maka dipilih tindakan pembedahan. Tindakan
eksploratif burrhole dilanjutkan tindakan kraniotomi, pembukaan dura, evakuasi hematoma dengan irigasi
memakai cairan garam fisiologis. Sering tampak jaringan otak edematous.
Disini dura dibiarkan terbuka, namun tetap diperlukan penutupan ruang likuor hingga kedap air. Ini
dijalankan dengan bantuan periost. Perawatan pascabedah ditujukan pada faktor-faktor sistemik yang
memungkinkan lesi otak sekunder.
Fraktur impresi.
Fraktur impresi terbuka (compound depressed fracture). Indikasi operasi terutama
adalah debridement, mencegah infeksi. Operasi secepatnya dikerjakan. Dianjurkan sebelum lewat 24 jam
pertama. Pada impresi tertutup, indikasi operasi tidak mutlak kecuali bila terdapat kemungkinan lesi massa
dibawah fraktur atau penekanan daerah motorik (hemiparesis dan lain-lain).
Indikasi yang lain (lebih lemah), ialah kosmetik dan kemungkinan robekan dura. Diagnosis dengan
x foto kepala 2 proyeksi, kalau perlu dengan proyeksi tangensial. Impresi lebih dari tebal tulang kepala pada
x foto tangensial, mempertinggi kemungkinan robekan dura. X foto juga diperlukan untuk menentukan letak
fragmen-fragmen dan perluasan garis fraktur; dengan ini ditentukan pula apakah fraktur menyilang sinus
venosus. Impresi fraktur tertutup yang menyilang garis tengah merupakan kontra indikasi relatif untuk
operasi, dalam arti sebaiknya tidak diangkat bila tidak terdapat gejalayang mengarah pada kemungkinan lesi
massa atau penekanan otak.
Dalam hal fraktur impresi terbuka yang menyilang sinus venosus maka persyaratan untuk operasi
bertambah dengan :
bila luka sangat kotor.
bila angulasi besar.
bila terdapat persediaan darah cukup.
bila terdapat ketrampilan (skill)dan peralatan yang cukup.
Indikasi dari dekompresi mendesak untuk subdural hematoma akut telah dilakukan sebelumnya, danmanagemen operasi didiskusikan dengan ringkas.
Standar kebalikan pertanyaan menandakan insisi untuk memberikan akses yang besar terhadap
wilayah frontal, temporal dan parietal. Pasien diposisikan supine dengan kepala menghadap sisi yang perlu.
Penahan bahu ditempatkan untuk mencegah vena jugularis. Alat Fiksasi kepala 3 titik digunakan pada
pasien dengan fraktur medulla spinalis yang tidak stabil. Seluruh kepala dicukur duntuk memfasilitasi
penempatan monitor tekanan intracranial pada sisi kontralateral, jika diinginkan.
Pelubangan eksplorasi jarang diindikasikan tetapi terkadang digunakan sebagai pengukuran untuk
keselamatan hidup. Pasien dengan trauma kepala dapat secara cepat ditriasekan dan dievakuasi dengan pusat
trauma melalui CT Scan, membuat perlubangan eksplorasi manjadi ketinggalan. Bagaimanapun,
20
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
21/23
perlubangan kepala dapat digunakan untuk dekompresi mendesak pada apsien yang menunjukkan herniasi
cepat jika akses untuk studi radiografi tidak ada.
SDH seringkali dikaitkan dengan pembengkakan otak akut. Secara ironis, dekompresi cepat
subdural hematom melalui craniotomy pada pasien ini dapat menyebabkan kerusakan terhadap otak dengan
menjadi herniasi melalui defek kraniotomi. Metode novel untuk dekompresi dianjurkan untuk mencegah
otak dari kerusakan melalui defek kiraniotomi. Sumbatan dapat dipindahkan melalui pembukaan dura yang
kecil.
PROGNOSIS
Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis : Usia dan lamanya koma pasca traumatik,
makin muda usia, makin berkurang pengaruh lamanya koma terhadap restitusi mental. Tekanan darah pasca
trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis. Pupil lebar dengan fefleks cahaya negatif,
prognosis jelek. Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan tidak
sempurna.
Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus ke arah hidup vegetative Apnea,
pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun merupakan tanda-
tanda brain death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik.
RINGKASAN
Dibicarakan mengenai cedera otak dan dasar-dasar pengelolaannya, sehubungan dengan makin
meningkatnya korban kecelakaan lalu lintas dimana banyak diantaranya mengalami cedera otak. Akibat
benturan kepala, terjadi cedera pada otak dan jaringan sekitarnya yang disebut dengan lesi primer. Bila
korban dapat tetap bertahan, terjadi proses lebih lanjut yang dipengaruhi oleh faktor-faktor intrakranial
maupun sistemik. Proses ini akan menghasilkan kerusakan-kerusakan yang disebut lesi sekunder.
Mekanisme terjadinya cedera akibat benturan kepala dan patofisiologik proses selanjutnya telah
dibicarakan; juga kerusakan-kerusakan pada jaringan sekitar otak. Pengelolaan meliputi pemeriksaan,
observasi dan pengobatan penderita baik secara konservatif maupun yang memerlukan tindakan operasidarurat. Dengan pengelolaan yang cepat, terutama pada saat proses terjadinya lesi-lesi sekunder, diharapkan
dapat diperoleh hasil yang sebaik-baiknya bagi penderita
21
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
22/23
DAFTAR PUSTAKA
1. Brain Trauma Foundation, AANS, Joint Section of Neurotrauma and Critical Care. Guidelines for the
management of severe head injury. J Neurotrauma. Nov 1996;13(11):641-734.
2. Brown CV, Weng J, Oh D, et al. Does routine serial computed tomography of the head influence
management of traumatic brain injury? A prospective evaluation. J Trauma. Nov 2004;57(5):939-43.
3. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, et al. Surgical management of acute subdural
hematomas. Neurosurgery. Mar 2006;58(3 Suppl):S16-24; discussion Si-iv.
4. Camel M, Grubb RL Jr. Treatment of chronic subdural hematoma by twist-drill craniotomy with
continuous catheter drainage. J Neurosurg. Aug 1986;65(2):183-7.5. Cameron MM. Chronic subdural haematoma: a review of 114 cases. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. Sep 1978;41(9):834-9.
6. Chesnut RM, Marshall LF, Klauber MR, et al. The role of secondary brain injury in determining outcome
from severe head injury. J Trauma. Feb 1993;34(2):216-22.
7. Chesnut RM, Gautille T, Blunt BA, et al. The localizing value of asymmetry in pupillary size in severe
head injury: relation to lesion type and location. Neurosurgery. May 1994;34(5):840-5; discussion 845-6.
8. Foelholm R, Waltimo O. Epidemiology of chronic subdural haematoma. Acta Neurochir
(Wien). 1975;32(3-4):247-50.
22
-
7/29/2019 Kasus SDH Tasya
23/23
9. Gennarelli TA, Thibault LE. Biomechanics of acute subdural hematoma. J Trauma. Aug 1982;22(8):680-
6.
10. Guilburd JN, Sviri GE. Role of dural fenestrations in acute subdural hematoma. J
Neurosurg. Aug 2001;95(2):263-7.
11. Hamilton MG, Frizzell JB, Tranmer BI. Chronic subdural hematoma: the role for craniotomy
reevaluated. Neurosurgery. Jul 1993;33(1):67-72.
12. Hesselbrock R, Sawaya R, Means ED. Acute spontaneous subdural hematoma. Surg
Neurol. Apr 1984;21(4):363-6.
13. Hlatky R, Valadka AB, Goodman JC, Robertson CS. Evolution of brain tissue injury after evacuation of
acute traumatic subdural hematomas. Neurosurgery. Dec 2004;55(6):1318-23; discussion 1324.
23