kasus mortalitas
DESCRIPTION
kasus mortalitasTRANSCRIPT
ANALISIS KEPENDUDUKAN
PENURUNAN AKI DAN AKB MELALUI KB UNTUK
MENCAPAI MDGs
Disusun oleh :
HANIFAH DYAH PUSPARINI 25010114120008
WILUJENG GINANJARWATI 25010114120033
ANIS FAIZAH 25010114120036
NANDA LISTYA SUKMAWATI 25010114120046
ZALFFARONNA JIHANTAMA 25010114120053
KELAS A 2014
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
Mengutip teori Lawrence Green yang menyatakan ada dua faktor
pokok yang mempengaruhi kesehatan individu atau masyarakat. Dua
faktor pokok tersebut yaitu behavior causes atau faktor perilaku dan non
behavior causes ataufaktor di luar perilaku. Kelompok faktor perilaku
ditentukan oleh :
a) Faktor predisposisi yaitu mempermudah dan mendasari terjadinya
perilaku tertentu. Bentuk dan perwujudannya yaitu pengetahuan
dari pendidikan formal, nilai-nilai, budaya serta beberapa
karakteristik individu, sikap, keyakinan.
b) Faktor pemungkin (Enabling factor) yakni berbagai hal
memungkinkan untuk terjadinya perilaku tertentu terbentuk dan
berwujud dalam lingkungan fisikdan ketersediaan fasilitas dan
sarana kesehatan yaitu ketersediaan, tercapainya fasilitas serta
keterampilan yang berhubungan dengan kesehatan.
c) Faktor memperkuat (Reinforcing factor) yaitu faktor yang
memperkuat terjadinya perilaku tersebut seperti dukungan dari
keluarga, kerabat, teman, petugas kesehatan dan lain-lain
sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
1. Faktor Predisposisi
Perilaku yang menguntungkan atau merugikan kesehatan di
masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor sosial budaya. Kebudayaan
mempunyai peranyang sangat mendasar dalam membentuk, mengatur
dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu
kelompok sosial kesehatan masyarakat untuk memenuhi berbagai
kebutuhan kesehatan. Masyarakat pada awalnya dalam
praktek/perilaku memang tidak semua sesuai dengan praktek ketentuan
medis untuk menjaga kesehatan dirinya (Jahidin et al., 2012).
Lebih lanjut dikatakan oleh hasil penelitian Rao et al., (2008),
salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah pendidikan.
Pendidikan kesehatan membawa perubahan pada pengetahuan.
Kognitif atau pengetahuan merupakan domain yang sangat penting
dalam pembentukan sikap, dan dari sikap seseorang akan terwujud
dalam bentuk tindakan (Over Behavior). Perilaku yang tidak didasari
pengetahuan tidak akan langgeng (berlangsung lama) dibandingkan
perilaku yang didasari oleh pengetahuan. Hal ini telah dibuktikan
berdasarkan pengalaman dan penelitian.
Tingkat pendidikan ibu bersalin dapat menunjukkan kualitas
pengetahuan yang di miliki oleh ibu bersalin tersebut. Pendidikan
ternyata memberikan perubahan terhadap perilaku seseorang yaitu baik
pengetahuan atau sikap seseorang. Seseorang yang berpendidikan akan
mempunyai respek terhadap penjelasan yang rasional, misalnya
tentang proses persalinan normal.
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap petugas kesehatan
dibeberapa wilayah masih rendah. Masyarakat di pedesaan masih
percaya dan lebih memilih ke dukun dalam berobat dan meminta
pertolongan persalinan dirumah karena kharismatik dukun yang
sedemikian tinggi (Jahidin et al.,2012).
2. Faktor Pemungkin
Di tingkat lapangan program ini didukung dalam bentuk
pelaksanaan Kelas Ibu Hamil di Puskesmas. Pada kegiatan tersebut ibu
hamil bertemu dan belajar bersama secara kelompok tentang kesehatan
bagi ibu hamil. Pengetahuan dan keterampilan ditingkatkan untuk
merubah perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) ibu hamil dan
keluarganya tentang berbagai hal yang menyangkut kehamilan dan
perubahan tubuh, bagaimana perawatan pada masa hamil, persalinan,
perawatan pada masa nifas, merawat bayi, dan lain-lain, atau dengan
kata lain memberikan asuhan persalinan bagi ibu dan keluarganya
(Depkes RI,2009).
Upaya lain yang dilakukan dan merupakan program Nasional yaitu
Jampersal (Jaminan Persalinan). Program ini memberikan pelayanan
persalinan gratis bagi ibu hamil yang melahirkan di sarana pelayanan
kesehatan pemerintah,periksa kehamilan, pelayanan pada masa nifas
baik untuk pemasangan KB setelahbersalin dan pemberian pelayanan
bagi bayi baru lahir (Kemenkes, 2011b).
Program lain yang sejalan dan sangat menunjang gerakan AKINO
(AngkaKematian Ibu Menuju Nol) adalah Pengembangan Desa Siaga
dengan KeputusanMenteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 564/
Menkes/ SK/ VII/ 2006tanggal 2 Agustus 2006 tentang pengembangan
Desa Siaga, dimana didalamnya terdapat bidan siaga. Bidan siaga yaitu
bidan desa yang oleh pemerintah/Negara diberi kepercayaan yang
lebih dan mampu untuk membantu masyarakat dalam memberi
konseling, penyuluhan dan pelatihan (Kemenkes, 2006).
Pelaksanaan program-program tersebut secara intensif dan
terintegrasi diterapkan sejak tahun 2010. Pada tahun-tahun berikutnya
yakni sejak akhir tahun2011 seharusnya semua persalinan ditolong
oleh tenaga kesehatan. Namun kenyataannya hal tersebut masih ada
persalinan oleh tenaga non kesehatan.
3. Faktor Memperkuat
Dari beberapa studi, ternyata masih terbatas pada mencari
hubungan langsung dari berbagai faktor terhadap penolong persalinan.
Pada kenyataan di lapangan berbagai faktor tersebut keterkaitan satu
dengan yang lainnya dan belum tentu berpengaruh secara langsung
terhadap keputusan memilih penolong persalinannya. Sebagai contoh
”pengetahuan” akan diperoleh melalui ”pendidikan”, baik pendidikan
formal, pendidikan non formal(kursus,pelatihan, dan lain sebagainya).
Contoh lainnya bahwa ”pengetahuan”akan terlebih dahulu membentuk
”sikap” dan baru akan membentuk ”tindakan”berupa keputusan
memilih penolong persalinan. Dari sisi lain studi-studi terdahulu
hampir seluruhnya terfokus mencari adanya hubungan yang bermakna
antar variabel dependen dengan variabel independen secara hubungan
langsung dan mengukur faktor risiko nya (berupa besaran nilai Odd-
Ratio, atau Ratio-Prevalensi) dan belum mencari keterkaitan dan
pengaruh langsung dan tidak langsung antar variabel. Oleh karena itu,
pada penelitian ini peneliti berkeinginan untuk tidak saja mencari
adanya kemaknaan hubungan saja, tapi lebih jauh yakni mengukur
besar pengaruh faktor tersebut, baik secara langsung maupun tidak
langsung berbagai prediktor terhadap tindakan pengambilan keputusan
memilih penolong persalinannya.
B. Kerangka Analisis
FAKTOR PREDISPOSISI :PengetahuanSikapKepercayaanKeyakinanNilai-nilai
FAKTOR PENDUKUNG :LingkunganSarana dan PrasaranaFasilitas Kesehatan
FAKTOR PENDORONG :Sikap dan Perilaku Petugas KesehatanPengaruh dari masyarakat jaman dulu
Tingginya AKI & AKB di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
Tercatat pada tahun 2010 jumlah AKI 390 per 100.000 (KH) dan AKB
sebesar 69 per 1000 (KH) untuk mencapai target MDGs pada tahun 2015 AKI
harus mencapai 118 per 100.000 (KH) dan AKB 23 per 1000 (KH). (Depkes RI,
2010)
Kematian ibu dan bayi masih banyak terjadi di negara berkembang sebesar
99%. AKI dan AKB di Indonesia sampai saat ini masih cukup tinggi, menurut
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) diperoleh AKI tahun 2007 sebesar 307 per
100.000 (KH), dan AKB sebesar 34 per 1000 (KH). Mengalami penurunan pada
tahun 2009 jumlah AKI sebesar 228 per 100.000 (KH) dan AKB sebesar 25 per
1.000 (KH), di tahun 2010 AKI mengalami peningkatan lagi sebesar 277 per
100.000 (KH) dan AKB sebesar 32 per 1000 (KH). Jumlah AKI dan AKB masih
jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 yaitu AKI sebesar
102 per 100.000 (KH) dan AKB sebesar 17 per 1000 (KH), sehingga masih
memerlukan kerja keras dari semua komponen untuk mencapai target tersebut
(Depkes RI, 2010). 2 Berdasarkan data profil kesehatan Jawa Tengah pada tahun
2008 AKI sebesar 114,42 per 100.000 (KH) dan AKB sebesar 9,17 per 1.000
(KH), sedangkan pada tahun 2009, AKI naik menjadi 117,17 kematian per
100.000 (KH) dan AKB sebesar 10,25 per 1.000 KH. Pada tahun 2010 AKI
mengalami kenaikan lagi sebesar 161,1 kematian per 100.000 (KH) dan AKB
sebesar 11,86 per 1000 (KH). Hal ini membuat perhatian untuk lebih
meningkatkan pelayanan fasilitas kesehatan bagi Dinas Kesehatan Jawa Tengah
terhadap angka kematian ibu yang meningkat (Dinkes Kesehatan Jawa Tengah,
2011).
AKI adalah indikator dampak dari berbagai upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan derajat Kesehatan Ibu. Kematian ibu tidak akan terjadi tanpa
adanya kehamilan. Oleh karena itu kehamilan merupakan determinan proksi dari
kematian ibu, di samping komplikasi kehamilan dan persalinan. Untuk
menurunkan kejadian kematian ibu, kehamilan perlu diatur sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi pada kondisi yang berisiko tinggi untuk mengalami
komplikasi. Kehamilan, misalnya, seharusnya tidak terjadi pada kondisi “4
Terlalu”, yaitu terlalu muda, terlalu sering, terlalu banyak dan terlalu tua. Dalam
konteks inilah Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (Program KKB)
dan khususnya Pelayanan Keluarga Berencana memiliki peran penting. Dari 6
indikator Kesehatan Ibu yang menjadi target RPJMN Tahun 2010-2014 maupun
MDGs Tahun 2015, dua diantaranya berkaitan dengan Pelayanan KB, yaitu CPR
dan unmet need. Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa pencapaian kedua
indikator tersebut juga masih jauh dari yang diharapkan.
KB adalah salah satu usaha untuk mencapai kesejahteraan dengan jalan
memberikan nasehat perkawinan,pengobatan kemandulan dan penjarangan
kelahiran (Depkes RI, 1999; ). KB adalah tindakan yang membantu individu atau
pasangan suami istri untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan,
mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan, mengatur interval diantara
kelahiran (Hartanto, 2004; 27). KB adalah proses yang disadari oleh pasangan
untuk memutuskan jumlah dan jarak anak serta waktu kelahiran (Stright, 2004;
78).
Tujuan Keluarga Berencana
a. Meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga
kecil yang bahagia dan sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan
pengendalian pertumbuhan penduduk Indonesia.
b. Terciptanya penduduk yang berkualitas, sumber daya manusia yang
bermutu dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Manfaat
Peningkatan dan perluasan pelayanan KB merupakan salah satu usaha
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang semakin tinggi akibat
kehamilan yang dialami wanita.
UPAYA STRATEGIS MENURUNKAN AKI DAN AKB
1. Membatasi Usia Perkawinan
Di sadari atau tidak, masih banyak perempuan yang menikah di
bawah usia 20 tahun, yang notabene hamil dan melahirkan pada usia
berisiko tinggi itu. Namun jika melihat kondisi sosial dan ekonomi bangsa
kita, presentase yang menikah di bawah 20 tahun lebih besar dari pada
menikah di usia di atas 20 tahun. Kondisi tersebut di dukung batasan usia
menikah yang hingga kini masih mengacu pada Pasal 7 UU No. 1/1974
tentang perkawinan yang mengizinkan perempuan menikah jika suda
mencapai usia 16 tahun.
Persoalan menikah muda bagi perempuan di pedesaan memang
suatu yang kompleks. Selain tuntutan kultural, rendahnya pendidikan,
ekonomi keluarga, tidak adana peluang kerja, juga menjadi faktor-faktor
penyebab “ percepatan “ menikahnya perempuan. Bagi keluarga yang
memiliki anak perempuan, relatif cepatnya menikah di lain pihak
mengandung arti penguranggan beban ekonomi mereka. Bahkan ada
kultur masyarakat yang menganggap bahwa memiliki anak perempuan
jauh lebih “ menguntungkan “ ketimbang anak laki-laki. Dalam kultur ini
perkawinan di nilai akan cepat memberi “ keuntungan “ bagi keluarga
perempuan karena mendapatkan “ ganti rugi “ berwujud materi sebagai “
pengganti “ anak perempuannya yang diambil.
Tidak mudah memang untuk mengatasinya, apalagi itu
menyangkut budaya. Pendidikan di masyarakat perlu ditingkatkan untuk
secara perlahan mengubah budaya tersebut. Di pihak lain, pembuat
undang-undang di negeri ini juga sudah saatnya mengatur kembali UU No.
1/1974 tentang perkawinan. Di perlukan pengaturan baru tentang batasan
usia menkah terutama bagi perempuan, yang relevan dengan situasi
masyarakat terkini dan sesuai dengan konsep kesehatan reproduksi.
Batasan usia menikah yang tertera pada undang-undang tersebut jelas tidak
mendukung bagi upaya menekan AKI.
2. Partisipasi dan Pemberdayaan
Dalam prose pembangunan apapun, peran aktif masyarakat
menjadi kunci keberhasilan pembangunan. Upaya pembangunan kesehatan
menitikbrtkan pada aspek preventid, promotif,kuratif dan rehabilitatif.
Salah satu upaya membangun partisipasi masyarakat adlah mendidik
masyarakat melalui pendidikan non-formal semacam penyuluhan.
Pembangunan kesehatan untuk mengatasi AKI juga tidak dapat di lakukan
sendiri oleh Pemerintah. Demikian juga upaya mengatasi AKB di mana
Indonesia hingga kini masih berada di urutan atas antara negara-negara
anggota South East Asia Medical Information Center ( SEAMIC ).
Pengadaan sarana pelayanan kesehatan beserta fasilitasnya harus secara
simultan di lakukan dengan aktivitas mendidik masyarakat secara
berkelanjutan, sehingga masyarakat secara mandiri dapat menolong
dirinya ( help themselves ) dalam menghadapi masalahnya.
Kegiatan-kegiatan yang memberdayakan masyarakat dengan tujuan
meningkatkan partisipasi masyarakat masih belum banyak diakukan.
Posyandu sebagai salah satu fasilitas kesehatan yang dekat dengan
masyarakat, yang seyogyanya dapat di gunakan sebagai sarana untuk
memberdayakan masyarakat dalam upaya mengurangi AKI saat ini
akitifitasnya lebih banyak pada penimbangan dan pemberian vitamin A
pada anak balita. Menurut statistik potensi desa Indonesia yang di
keluarkan BPS ( 2003 ) DARI 68.816 desa yang ada, sebanyak 90,4% di
antarana mempunyai posyandu.
3. Bidan Desa
Untuk meningkatkan upaya penurunan AKI dan AKB dibutuhkan
sumber daya yang dapat meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan
kesehatan sesuai dengan wilayah kerjanya, maka pemerintah mulai tahun
1989/1990 berdasarkan surat edaran Direktur Jenderal Binkesmas
No.429/Binkesmas/DJ/II/89 diharapkan seluruh desa di Indonesia telah
memiliki bidan desa. Surat edaran tersebut menyatakan tujuan penempatan
Bidan Desa adalah untuk meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan
kesehatan ibu dan anak serta KB.
Tugas pokok bidan di desa adalah melaksanakan pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), khususnya dalam mendukung pelayanan
kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas, pelayanan kesehatan bayi dan
anak balita, serta pelayanan KB. Dalam memberikan pelayanan kesehatan
ibu dan anak, bidan dituntut mengupayakan kelangsungan hidup untuk
mencapai derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui
berbagai upaya yang terintegrasi dan lengkap serta intervensi minimal,
sehingga prinsip keamanan dan kualitas pelayanan dapat terjaga pada
tingkat yang optimal. Pelayanan KIA saat ini diutamakan pada
peningkatan pelayanan antenatal atau ANC (Antenatal Care) pada ibu
hamil disemua fasilitas kesehatan, peningkatan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan yang kompeten, peningkatan pelayanan bagi ibu
nifas, bayi, balita, dan Pelayanan KB sesuai standar. Pemerintah daerah
Kabupaten Batubara melalui Dinas Kesehatan telah melaksanakan upaya
penanggulangan AKI dan AKB dengan upaya pemenuhan kualitas dan
kuantitas bidan dengan menempatkan bidan desa di 100 desa yang
berjumlah 304 orang bidan. Namun upaya ini masih belum menunjukkan
hasil yang optimal, hal ini dapat dilihat dari angka AKI dan AKB yang
masih tinggi dalam 2 tahun terakhir, dimana dari 8.153 kelahiran hidup
pada tahun 2009 terdapat 19 kematian ibu dan 74 kematian bayi, setelah
dikonversi diperoleh angka AKI sebesar 233/ 100.000 kelahiran hidup dan
AKB sebesar 9/1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2010 dari 8.315
kelahiran hidup terdapat 13 kematian ibu dan 37 kematian bayi, setelah
dikonversi diperoleh angka AKI sebesar 156/ 100.000 kelahiran hidup dan
AKB sebesar 4/1.000 kelahiran hidup. Dibandingkan pencapaian
pertolongan persalinan yang 100% dibantu oleh bidan dan pencapaian
pemeriksaan kehamilan dengan kunjungan pertama ibu hamil (K1)
mencapai 96,90% dan kunjungan keempat ibu hamil (K4) mencapai
91,81%, maka tingkat kematian ibu maupun bayi seharusnya masih dapat
diturunkan.
4. Biaya Bersalin
Di sisi lain, karena biaya pesalinan memiliki pengaruh yang kuat
dalam perilaku persalinan di masyarakat, perlu juga dipikirkan upaya
untuk memfasilitasi persalinan bagi masyarakat yang kurang mampu,
misalnya dengan memberi subsidi yang besar. Dengan cara ini dalam
jangka pendek, AKI di harapkan dapat turun, karena menurut hasil
penelitian perilaku menggunakan tenaga dukun beranak dalam persalinan
lebih bermotifkan biaya yang relatif murah di banding tarif bidan.
5. Kerjasama dengan masyarakat Internasional
Pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan masyarakat
internasional dengan prinsip kerja sama kemitraan, untuk mendukung
upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi. Kerja sama
dengan berbagai development partners dalam bidang kesehatan ibu dan
anak telah berlangsung lama, beberapa kemitraan tersebut adalah :
1) AIP MNH (Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal
Health), bekerja sama dengan Pemerintah Australia di 14 Kabupaten
di Provinsi NTT sejak 2008, bertujuan menurunkan angka kematian
ibu dan bayi melalui Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak. Program ini
bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan dan masyarakat,
penigkatan kualitas pelayanan KIA di tingkat puskesmas dan RS serta
peningkatan tata kelola di tingkat kabupaten. Pengalaman menarik
dari program ini adalah pengalaman kemitraan antara RS besar dan
maju dengan RS kabupaten di NTT yaitu kegiatan sister hospital.
2) GAVI (Global Alliance for Vaccine & Immunization) bekerja
beberapa kabupaten di 5 provinsi (Banten, Jabar, Sulsel, Papua Barat
dan Papua), bertujuan meningkatkan cakupan imunisasi dan KIA
melalui berbagai kegiatan peningkatan partisipasi kader dan
masyarakat, memperkuat manajemen puskesmas dan kabupaten/kota.
3) MCHIP (Maternal & Child Integrated Program) bekerjasama dengan
USAID di 3 kabupaten (Bireuen, Aceh, Serang-Banten dan Kab.Kutai
Timur- Kalimantan Timur)
4) Pengembangan buku KIA oleh JICA walaupun kerjasama project
telah berakhir namun buku KIA telah diterapan di seluruh Indonesia.
5) UNICEF melalui beberapa kabupaten di wilayah kerjanya seperti
ACEH, Jawa Tengah, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur
(kerjasama dengan Child Fund) serta Papua meningkatkan
pemberdayaan keluarga dan masyarakat terkait kesehatan ibu dan
anak dan peningkatan kualitas pelayanan anak melalui manajemen
terpadu balita sakit (MTBS).
6) Tidak terkecuali WHO memfasilitasi peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan ibu dan anak baik dalam dukungan penyusunan standar
pelayanan maupun capasity building.
Pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan RI meluncurkan program EMAS
(Expanding Maternal and Neonatal Survival, bekerja sama dengan USAID dengan
kurun waktu 2012 – 2016, yang diluncurkan 26 Januari 2012 sebagai salah satu
bentuk kerjasama Pemerintah Indonesia dengan USAID dalam rangka percepatan
penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir di 6 provinsi terpilih yaitu Sumatera
Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan JawaTimur yang
menyumbangkan kurang lebih 50 persen dari kematian ibu dan bayi di Indonesia.
Dalam program ini Kementerian Kesehatan RI bekerjasama dengan JHPIEGO,
serta mitra-mitra lainnya seperti Save the Children, Research Triangle
Internasional, Muhammadiyah dan Rumah Sakit Budi Kemuliaan
Upaya yang akan dilaksanakan adalah dengan peningkatan kualitas
pelayanan emergensi obstetri dan neonatal dengan cara memastikan intervensi
medis prioritas yang mempunyai dampak besar pada penurunan kematian dan tata
kelola klinis (clinical governance) diterapkan di RS dan Puskesmas. Upaya lain
dalam program EMAS ini dengan memperkuat sistem rujukan yang efisien dan
efektif mulai dari fasilitas pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas sampai ke RS
rujukan di tingkat kabupaten/kota. Masyarakat pun dilibatkan dalam menjamin
akuntabilitas dan kualitas fasilitas kesehatan ini. Untuk itu, program ini juga akan
mengembangkan mekanisme umpan balik dari masyarakat ke pemerintah daerah
menggunakan teknologi informasi seperti media sosial dan SMS gateway, dan
memperkuat forum masyarakat agar dapat menuntut pelayanan yang lebih efektif
dan efisien melalui maklumat pelayanan (service charter) dan Citizen Report
Card. Tekad dan tujuan Kementerian Kesehatan untuk mencapai Masyarakat
Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan dapat diraih dengan dukungan berbagai
pihak, demi kesejahteraan masyarakat umumnya dan kesehatan ibu dan anak
khususnya. Tak ada harapan yang tak dapat diraih dengan karya nyata melalui
kerja keras dan kerja cerdas.
Dampak-dampak dari KB terhadap Kependudukan
1. Dampak Kesehatan
KB Suntik merupakan salah satu pilihan dari berbagai aneka alat
pencegah kehamilan yang ditawarkan kepada masyarakat. Biar
bagaimanapun, setiap alat tersebut, masing-masing mempunyai dampak
positif dan negatif bagi penggunanya. Namun, ada satu dampak yang
berlaku untuk semua, yaitu perubahan hormon. Perubahan hormon
tersebut menyebabkan perubahan siklus haid, ada yang tidak teratur dan
bahkan, ada yang mundur beberapa bulan dari sebelum menggunakan alat
KB. Seperti diketahui, bahwa haid terjadi karena adanya hormon estrogen
dan progresteron yang secara simultan merangsang pembentukan lapisan
endometrium (lapisan di dalam rahim.
Pembentukan hormon-hormon tersebut dilakukan oleh dua indung
telur yang di dalamnya mengandung cukup calon sel telur (folikel).
Perangsangan dari terbentuknya hormon tersebut adalah adanya hormon
FSH (Follicel stimulating hormone) dan LH (Luteinizing hormone) yang
dibentuk oleh otak.
Bila wanita mengalami ketidakberaturan siklus haid atau siklus
haidnya mundur, berarti telah terjadi ketidakseimbangan hormon, di mana
hormon estrogennya sangat rendah sementara hormon FSH-nya sangat
tinggi. Sehingga menyebabkan tidak tercukupinya jumlah yang ideal
dalam pembentukan hormon estrogen dan calon sel telur untuk dapat
menekan pengeluaran hormon FSH, akibatnya haid pun tidak terjadi.
Pengaruh negatif dari KB suntik adalah perubahan hormon yang
begitu drastis, terutama sangat mempengaruhi siklus haid seperti yang
dialami isteri anda. Pengaruh positif, menurunkan risiko terkena gangguan
pada sel telur seperti kista dan kanker. Karena kanker ovarium terjadi
kalau ovariumnya aktif, mengalami pertumbuhan folikel. Tapi dengan
menggunakan kontrasepsi hormonal, terutama pil dan suntik KB, proses
itu pada ovarium ditekan, sehingga risikonya terjadi keganasan pada
ovarium akan menurun.
Hal ini disebabkan oleh peningkatan dosis obat yang digunakan
pada KB suntik sehingga menyebabkan perubahan hormon yang berakibat
pada mundurnya siklus haid isteri anda. Jika anda ingin melakukan
progam KB secara alami dan isteri anda tidak dalam kondisi menyusui,
isteri anda bisa mengonsumsi Teh Herba. Caranya, ambil 3 uncang Teh
Herba, diseduh di cangkir, ditutup sebentar, lalu diminum setiap pagi dan
malam hari. Pada pagi hari, minum 30 menit sebelum makan dan malam
hari 2 jam setelah makan.
a. Untuk ibu
Dengan tujuan mengatur jumlah kelahiran, ibu mendapat manfaat
berupa :
Perbaikan kesehatan badan karena tercegahnya kehamilan yang
berulangkali dalam jangka waktu yang terlalu pendek.
Peningkatan kesehatan mental dan sosial yang dimungkinkan
oleh adanya waktu yang cukup untuk mengasuh anak-anak
untuk beristirahat dan menikmati waktu terluang serta
melakukan kegiatan-kegiatan lainnya.
b. Untuk anak-anak lain :
Memberikan kesempatan kepada mereka agar perkembangan
fisiknya lebih baik karena setiap anak memperoleh makanan yang
cukup dari sumber yang tersedia dalam keluarga.
Perkembangan mental dan sosialnya lebih sempurna karena
pemeliharaan yang lebih baik dan lebih banyak waktu yang dapat
diberikan oleh ibu untuk setiap anak.
Perencanaan kesempatan pendidikan yang lebih baik
karena sumber-sumber pendapatan keluarga tidak habis untuk
mempertahankan hidup semata-mata.
c. Untuk ayah :
Untuk memberikan kesempatan kepadanya agar dapat :
memperbaiki kesehatan mental dan sosial karena kesemasan
berkurang serta lebih banyak waktu yang tertuang untuk keluarganya.
Pengaruh Keluarga Berencana dari sudut kesehatan terutama terjadi
akibat-akibat berikut ini terhadap reproduksi manusia :
Pencegahan dari kehamilan dan kelahiran yang tak diinginkan,
dan terjadinya kehamilan yang diinginkan yang dengan cara lain
tak mungkin terjadi.
Perubahan dari jumlah anak yang bisa dilahirkan seorang ibu.
Variasi jarak waktu antara kehamilan.
Perubahan saat terjadinya kelahiran terutama kelahiran yang
pertama dan yang terakhir, sehubungan usia orang tua terutama si
ibu.
2. Dampak sosial
Dampak sosial nya antara lain :
Hilangnya hasrat masyarakat untuk memiliki anak banyak.
Dari segi agama menentang ajaran agama karena melangkahi takdir
tuhan.
Berkurangnya angka fertilitas karena semakin sedikit yang berminat
melahirkan dan punya anak.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
AKI adalah indikator dampak dari berbagai upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan derajat Kesehatan Ibu. KB adalah salah satu usaha
untuk mencapai kesejahteraan dengan jalan memberikan nasehat
perkawinan,pengobatan kemandulan dan penjarangan kelahiran. Upaya
strategis menurunkan AKI dan AKB adalah membatasi usia perkawinan,
partisipasi dan perberdayaan, bidan desa, biaya bersalin, serta kerjasama
dengan masyarakat internasional. Ada 2 dampak KB terhadap
kependudukan, yaitu dampak kesehatan dan dampak sosial.
B. SARAN
- Pemerintah harus lebih giat mencanangkan dan menjalan kan program
KB.
- Perlu peran stakeholder untuk melakukan program-program
memberdayakan masyarakat khususnya untuk member pemahaman
tentang kesehatan reproduksi, sehingga diharapkan dapat menurunkan
AKI.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat
2010. Jakarta
Depkes RI. 2009. Prinsip Pengelolaan Progam KIA. Jakarta : Depkes RI
Dinkes Jateng. 2011. Profil Kesehatan Jawa Tengah. Semarang : Depkes Jateng
Hartanto, Hanafi. 2004, Keluarga Berencana dan Kontrasepsi, PUSTAKA
SINAR HARAPAN, Jakarta
Jahidin, A. Buraerah H. Abd Hakim, Burhanuddin Bahar. 2012. Faktor
Determinan Yang Mempengaruhi Alternative Pemilihan Persalinan
Dukun Beranak di Kecamatan Limboro Kabupaten Polewali Mandar.
Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta.
Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka
Cipta
Stright, Barbara. 2004. Keperawatan ibu-bayi baru lahir. EGC, Jakarta.