karya ilmiah3
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Problem Pendidikan Kita : Terabaikannya Perbedaan Individu
Sebagai Landasan Pengembangan Potensi Siswa
Disusun Oleh Nama : Supriyadi N I P : 13165024
SMA NEGERI 1 PURWAREJA-KLAMPOK
KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH JL RAYA PURWAREJA-KLAMPOK Telp. (0286) 479092
BANJARNEGARA 53474
Problema Pendidikan Kita : Terabaikannya Perbedaan Individu
Sebagai Landasan Pengembangan Potensi Siswa
Supriyadi1
Abstrak. Perbedaan individu siswa sangat penting untuk diketahui oleh para pendidik karena dengan memiliki pengetahuan tersebut memudahkan guru dalam memfasilitasi siswa untuk berkembang secara maksimal. Bahkan dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional yang baru juga menegaskan pentingnya memahami siswa sebagai individu agar pendidik bisa melayani dengan baik. Namun benarkah sekolah sebagai institusi yang berkompeten tentang pendidikan sudah dirancang untuk mewadahi siswa dengan perbedaan individu, mengembangkan bakat, minat dan kemampuannya. Banyak pihak-pihak yang mengkritisi terhadap kondisi sekolah yang ada, karena dianggap tidak mempunyai visi yang jelas tehadap siswa. Banyak permasalahan timbul karena kebijakan pendidikan yang tidak memperhatikan siswa sebagai individu, sehingga yang terjadi siswa mendapat perlakuan yang bisa menghambat perkembangan potensinya. Perlakuan demikian ditunjukkan oleh adanya : (1) kelas yang terlalu padat, (2) sistem penilaian, (3) beban siswa yang besar, (4) sistem tidak naik kelas, (5) dikotomi siswa bodoh dan siswa pintar, (6) Lingkungan sekolah yang tidak memadai. Sekolah sebagai Unit Pelaksana Teknis tidak seluruhnya memberikan kontribusi atas kondisi tersebut namun banyak pihak yang terlibat.
Kata kunci : perbedaan individu, kelas padat, sistem penilaian,
beban siswa, sistem tidak naik kelas, dikotomi, lingkungan sekolah.
PENDAHULUAN
Kita ketahui bersama bahwa manusia secara individu adalah berbeda, baik
secara biologis, intelegensi, dan Psikologis. Namun yang perlu mendapat perhatian
apakah perbedaan tersebut sudah digunakan sebagai landasan pendidikan secara utuh.
1. Supriyadi, Guru SMA Negeri 1 Purwareja Klampok, Banjarnegara.
Sehingga setiap siswa mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai sesuai
dengan potensi dirinya.
Di dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
pasal 12 dinyatakan bahwa setiap peserta didik mendapatkan pelayanan sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuan. Hal ini mengandung maksud bahwa tugas dari
institusi kependidikan adalah memberikan pelayanan kepada siswa agar dapat
mengaktualisasikan dirinya untuk tumbuh dan berkembang sehingga bisa
membentuk manusia sebagaimana yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional. Implementasi di sekolah diharapkan dominasi peranan guru dalam proses
pembelajaran, paradigmanya sebagai teachers center harus diubah. Bila konsep
layanan yang dikedepankan maka proses pembelajaran harus mengacu pada students
center dengan students learning-nya bukan masalah techers teaching.
Menurut Philip R.E Verson, pada hakikatnya perbedaan-perbedaan individu
adalah perbedaan dalam kesiapan belajar (Hamalik, 2002: 17). Dengan demikian
perbedaan tersebut membawa pengaruh pada pendekatan pengelolaan pendidikan. Ini
maksudnya, sistem pendidikan kita harus mampu mengakomodir kepentingan siswa
dengan baik. Tetapi praktek di sekolah siswa mendapatkan perlakuan yang sangat
buruk, secara pesimis Everet Reiner mengatakan ; “school is dead” Demikian juga
Iwan Illich yang membongkar kebobrokan sekolah dengan “deschooling society”-
nya. Pernyataan keras tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa fungsi sekolah
tidak berfungsi sebagai tempat yang layak untuk belajar, sehingga siswa secara
optimal bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Sarwono Kusuatmaja (K.R.,
8 Mei 1993) mengatakan sistem pendidikan kita mematikan kreativitas.
Dalam atikel ini penulis, pada sisi lain, mencoba mengangkat permasalahan
yang timbul di sekolah sehubungan dengan perbedaan individu. Pembahasan tersebut
diantaranya meliputi : (1) jumlah siswa dalam kelas, (2) sistem penilaian, (3) Beban
siswa yang terlalu besar, (4) sistem tidak naik kelas, (5) dikotomi siswa bodoh dan
siswa pintar, (6) lingkungan sekolah yang tidak memadai.
Tujuan penulisan artkel ini, penulis berharap bisa memberikan masukan
kepada pengambil keputusan untuk menjadikan bahan pertimbangan dalam
menentukan kebijakan. Dan untuk para guru untuk bisa lebih arif memahami
siswanya sehubungan dengan perbedaan individu.
LATAR TEORITIS
Meskipun usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan telah terus menerus
diupayakan namun kenyataannya sampai sekarang belum banyak membuahkan hasil
yang memuaskan. Diakui bahwa banyak faktor yang mempengaruhi ketidak-
berhasilan tersebut. Salah satu faktor yang ikut memberikan kontribusi kegagalan
pendidikan adalah kurang diperhatikannya perbedaan individu siswa.
Secara formal sistem pengajaran di Indonesia menggunakan sistem klasikal,
dimana seorang guru dengan minimal 40 siswa. Sudah bisa dipastikan bahwa proses
pengajaran yang sama dengan penilaian yang sama tidak akan membuahkan hasil
yang sama. Sangat disadari oleh guru bahwa siswa merupakan individu-individu yang
berbeda, namun pembelajaran di kelas siswa diperlakukan sama oleh guru. Keadaan
ini terus berlangsung sampai sekarang, akibatnya mutu pendidikan tidak pernah
beranjak naik. Bagaimana mungkin seorang guru melayani individu yang berbeda
sebanyak itu bisa menghasilkan out put yang bermutu.
Individu adalah suatu kesatuan yang masing-masing memiliki ciri khasnya,
dan karena itu tidak ada dua individu yang sama. Perbedaan tersebut meliputi :
pertama segi horizontal : tingkat kecerdasan, abilitas, minat, ingatan, emosi, kemauan
dll, kedua segi vertikal mencakup : bentuk ukuran, kekuatan, dan daya tahan tubuh.
(Hamalik, 2001 : 180)
Untuk mengetahui lebih jauh tentang individu, ada 4 pendekatan konsep diri
yaitu : Individualistik, sosiologis, korporatif dan teistik. ( O’neil, 1981 : 91).
1. Pendekatan Individualistik.
Pendekatan ini memandang diri sebagai sebuah unit psikologis yang relatif punya
ciri-ciri tersendiri, memandang perwujudan “diri” dalam peristilahan yang pada
pokoknya bersifat Aristotelian tradisional.
Pernyataan tersebut di atas tampak tidak jauh berbeda dengan pernyataan
Hamalik. Yang jelas bahwa individu itu mempunyai potensi.yang terus menerus
membuka dan berinteraksi dalam menanggapi kondisi-kondisi yang selalu
berubah. Hal demikian menyebabkan perilaku individu juga berbeda.
2. Pendekatan Sosiologis
Konsep “diri” dipandang bukan sebuah unit psikologis terpisah, melain sebuah
bagian dari fungsi keseluruhan lapangan kekuatan-kekuatan budaya dari mana
“diri” itu dilahirkan.
Hal tersebut sangat berbeda dengan pendekatan individualistik, pendekatan
sosiologis menempatkan indivividu dalam batasan-batasan konsep perwujudan
diri pada tata nilai yang berkembang di masyarakat. Yang demikian perwujudan
diri bukan berarti melenyapkan ia sebagai dirinya, tetapi mencerminkan bahwa
perilaku individu sangatlah besar dipengaruhi oleh budaya di masyarakat.
Sehingga perwujudan diri bukan merupakan hal yang menjadi tujuan utama
tetapi merupakan bagian dari kepentingan yang lebih besar yaitu masyarakat.
3. Pendekatan Korporatif
Sebagaimana di kemukakan oleh Hegel dan Durkheim bahwa kedirian adalah
fenomena suprapersonal , yang terletak pada kesadaran historis segenap budaya
atau bangsa.
Sebagai akibat dari pandangan tersebut perwujudan individu lebur karena
kolektivitas sehingga ciri yang muncul sebagai kekhasan dalam skala kecil
adalah “diri” kelompok, tetapi sebaliknya “diri sejati” sebagai karakter bangsa.
Dengan demikian individu dipandang sebagai bagian dari fungsi kelompok.
4. Pendekatan Teistik
Konsep perwujudan diri teistik menerima kenyataan mendasar tentang adanya
“diri” psikiologis dan “diri” sosiologi. Namun ia mengganggap “diri” yang
pertama dan terutama sebagai sebuah entitas rohaniah yang menemukan
perwujudan penuh dalam subordinasi sukarela ke bawah diri Tuhan yang
personal.
Dalam pepatah jawa : mung sadermo nglampahi tampaknya tepat untuk
mengambarkan pandangan tersebut diatas. Konsep individu sebagai jati diri tidak
ada karena hanya sebagai mata wayang, ada yang menjalankan yaitu Tuhan yang
Maha Besar. Sedangkan puncak dari perwujudan diri ada pada persekutuan
dengan “Diri” yang Mahabesar. Sehingga kesempurnaan yang sejati hanya ada
pada keseluruhan apa yang telah diwahyukan oleh Tuhan yang mempunyai
tujuan-tujuan-Nya tersendiri.
Konsekuensi dari konsep perwujudan diri tersebut tentu mempengaruhi tiap-
tiap individu dalam berperilaku, dan tentu juga dalam memperlakukannya. Pola pikir
masyarakat di negara barat tentu akan berbeda dari masyarakat yang berada di
negara-negara eropa timur yang sosialis. Demikian juga masyarakat dari negara Rusia
yang menganut kolektivitas akan berbeda dari masyarakat Indonesia yang katanya
sosialis-religius. Pandangan masyarakat tentang individu berpengaruh besar terhadap
konsep, paradigma dan sistem pendidikan yang berlaku dimana masyarakat tersebut
berada.
Ada 3 aspek perbedaan individu dalam pendidikan : (1) aspek Biologis,
aspek perbedaan intelektual (kognitif), dan aspek perbedaan individu psikologis
(Madhakomala, makalah)
1. Aspek Biologis.
Perilaku manusia itu merupakan hasil belajar, dan faktor penting yang
mempengaruhi perilaku diantaranya adalah motivasi. Menurut Maslow (Djaali,
2000 : 131) kebutuhan yang paling mendasar adalah kebutuhan fisiologis. Apabila
kebutuhan tersebut sudah terpenuhi kebutuhan berikutnya akan muncul dan
merupakan pendorong yang kuat bagi individu dalam berperilaku. Kebutuhan
fisiologis meliputi pangan, sandang dan papan. Aspek kebutuhan fisik merupakan
kebutuhan mutlak yang tidak bisa dihindari, oleh sebab itu aspek fisik harus
menjadi pertimbangan utama dalam kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan kebutuhan tersebut ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan untuk menunjang kebutuhan fisik siswa dalam kegiatan belajar
mengajar di sekolah, diantaranya adalah :
a. Fasilitas sarana dan Prasarana sekolah
Tersedianya fasilitas yang berupa sarana dan prasarana sekolah yang mampu
memfasilitasi potensi siswa untuk mengembangkannya secara maksimal.
Keadaan yang memadai untuk ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, kamar
kecil, dan kantin. Serta yang tak kalah pentingnya adalah sarana-sarana
kegiatan ekstra kurikuler, seperti : pramuka, seni musik, tari, olah raga dll.
b. Lingkungan Fisik sekolah
Kemudian masalah lingkungan fisik sekolah yang nyaman yang
memungkinkan fungsi psikomorik berkembang dengan baik. Desain, letak dan
kondisi bangunan mendukung perkembangan siswa. Ada play ground yang
nyaman dan aman untuk bermain siswa
c. Pengaturan kelompok
Pengelompokan siswa sesuai dengan perbedaan pengelompokan individu serta
memperhatikan jumlah siswa yang ideal untuk pengajaran klasikal. Dengan
demikian sekolah bisa memberikan pelayan secara maksimal kepada siswa
sesuai potensi yang dimiliki.
2. Aspek perbedaan intelektual ( kognitif)
Untuk mengenali dan mendeskripsikan kemampuan intelektual ada beberapa
teori yang diantaranya adalah :
a. Multiple Intelegence
Gardner seorang profesor pendidikan Harvard menyatakan bahwa ternyata
manusia itu mempunyai kecerdasan jamak yang terdiri dari beberapa dimensi
yaitu kecerdasan logis matematis, kecerdasan linguistik verbal, kecerdasan
visual-spatial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinesthetic, kecerdasan
emosional ( intrapersonal dan interpersonal), kecerdasan naturalis, kecerdasan
intuisi, kecerdasan moral, kecerdasan eksistensial, kecerdasan spiritual, dan
lain-lain. (Nggermanto, 2003 : 49)
b. Teori Guilford
Guilford menggambarkan suatu intelegensi manusia dalam suatu bentuk
kubus dengan tiga dimensi, yaitu konten, produk dan operasi. Guilford
membedakan empat kategori konten, yaitu : figural, simbolik, semantic, dan
perilaku; enam kategori produk, yaitu : unit, kelas, hubungan, system,
trasformasi dan implikasi; dan lima kategori operasi, yaitu : kognisi, ingatan,
berpikir divergen, berpikir konvergen, dan evaluasi. Titik perhatian disini
adalah matra operasi karena berkaitan dengan proses belajar-mengajar.
(Munandar, 1999 : 240-241)
3. Aspek Perbedaan Individu Psikologis
Ada dua komponen dasar yaitu minat dan kemandirian seseorang. Minat
dalam proses pembelajaran berkaitan dengan bahan ajar, alat didik, serta kondisi
dan situasi pendidik. Sedangkan kemandirian seseorang tergantung dari upaya
bagaimana membebaskan diri dari belenggu bantuan dan menumbuhkan
keberanian serta percaya diri.( Madhakomala, Makalah.)
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa faktor perbedaan
individu menjadi sangat penting untuk diperhatikan demi keberhasilan pendidikan.
Ke depan paradigma pendidikan yang berorientasi pemerataan dan kuantitas haruslah
diubah menjadi pemerataan dan kualitas. Untuk menuju pada peningkatan mutu
pendidikan, fungsi sekolah sebagai pusat layanan siswa dengan perbedaan
individunya perlu dirumuskan yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan
potensinya secara maksimal. Untuk mendukung hal tersebut sekolah hendaknya
mempertimbangkan 1) jumlah siswa di dalam kelas, 2) sistem penilaian yang
digunakan, 3) beban mata pelajaran yang dipelajari, 4) sistem naik kelas, 5) remedial
learning, dan 6) lingkungan sekolah yang kondusif.
PEMBAHASAN
1. Jumlah Siswa dalam Kelas Terlalu Padat
Sebagai bahan perbandingan, di Quensland, jumlah siswa di dalam kelas
maksimal adalah 30 siswa, dan semakin tingggi levelnya jumlahnya siswa bisa
semakin mengecil. Hal tersebut terjadi karena adanya program pilihan yang diambil
berbeda-beda. Serta ada juga pelaksanaan pembelajaran dengan peserta yang berbeda
untuk setiap mata pelajaran sehingga teman kelasnya berubah-ubah. Keadaan
demikian memungkinkan potensi siswa secara individu, dan minat bisa tersalurkan
sehingga dapat berkembang secara optimal.
Keadaan tersebut di atas, kalau dibandingkan dengan keadaan di Indonesia
terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Sebagai acuan pada pengelolaan kelas
dalam Pedoman Standar Pelayanan Minimal jumlah siswa per kelas maksimal 48
siswa (Diknas, 2003 :63), padahal maksimal 40 siswa saja per-kelasnya sudah dirasa
berat bagi guru dalam mengelolanya. Berdasarkan aturan tersebut, sekolah
cenderung menerima siswa lebih banyak dari 40. Ada 2 hal yang mendasari mengapa
sekolah mengambil keputusan seperti itu, karena (1) angka drop out siswa masih
cukup tinggi terutama untuk siswa-siswa dari pedesaan, (2) semakin besar jumlah
siswa berarti pemasukan dana dari siswa juga semakin besar. Artinya proses KBM di
sekolah bisa dijamin berlangsung lancar, karena sebagian besar dana yang digunakan
oleh sekolah berasal dari masyarakat.
Secara pedagogis, jumlah siswa yang relatif besar tidak menguntungkan bagi
terjadinya proses pembelajaran yang kondusif. Hal yang demikian ini disebabkan
karena :
1. Siswa tidak mendapat pelayanan secara maksimal
Besarnya jumlah siswa di dalam kelas, juga menunjukkan besarnya
potensi siswa yang dimilliki, serta besarnya permasalahan yang muncul di dalam
kelas. Potensi siswa adalah beragam, dengan kesiapan untuk berkembang juga
beragam. Bagaimana mungkin seorang guru dalam keadaan terbatas mampu
memberikan pelayanan secara maksimal kepada sejumlah besar siswanya.
Demikian juga untuk permasalahan yang dihadapi oleh sejumlah siswa tidak bisa
dituntaskan, kecuali hanya sebagian kecil saja.
2. Siswa tidak mendapat bimbingan secara merata
Konsekuensi dari jumlah kelas yang besar adalah gaduh dan bising.
Keadaan ini bisa dipahami secara psikologis bahwa kodrat siswa adalah suka
bermain. Siswa yang aktif ini menjadi tidak terarah karena kelas yang besar
hanya dengan seorang guru, ia mengalami kesulitan untuk mengelolanya. Di
dalam standar pelayanan minimal disebutkan bahwa rasio guru dan murid adalah
1:23 (Diknas, 2003 : 75). Akibat dari kelas yang besar adalah hanya sebagian
kecil saja yang mendapatkan bimbingan untuk mengembangkan potensi yang ada
pada diri siswa.
Uraian di atas juga mengandung pengertian bahwa pembelajaran yang
dilakukan dengan sukses hanya untuk sebagian siswa saja. Sedangkan untuk
sebagian besar siswa yang lain terpaksa diabaikan. Alasannya adalah :
a. Tidak memungkinkan guru bisa meng-cover seluruh siswa yang mengalami
kesulitan belajar, mengingat tenaganya terbatas.
b. Guru dibebani oleh target kurikulum, bahwa dalam waktu tertentu ia harus
bisa menyelesaian sampai pembelajaran tertentu.
2. Sistem Penilaian
Di dalam pedoman standar pelayanan minimal disebutkan bahwa : untuk
mengetahui tingkat kemajuan dan keberhasilan belajar siswa dilakukan penilaian
hasil belajar secara berkelanjutan melalui ulangan/ujian harian dan tugas-tugas
mingguan, bulanan, maupun penilaian akhir tahun pelajaran.
Rumus penilaian pada kurikulum 94 untuk nilai pada buku laporan
pendidikan, yang sekarang masih digunakan pada kelas II dan III SMA, adalah :
NR = 2NU + 1RUH . Sedang penilaian pada kurikulum 2004 sudah ada perbaikan 3 tetapi tidak dibahas dalam penulisan ini.
NR = Nilai Rapot
NU = Nilai Ulangan Umum
RUH = Nilai Rata-Rata Ulangan Harian = (3UH) + (1RNT)
4 RNT = Nilai Rata-Rata Tugas
Catatan : Nilai dibulatkan
Sedangkan nilai pembulatan memberikan informasi yang menyesatkan
bagi para orang tua. Misalnya nilai 5.5 dan 6.4, selisih angka tersebut cukup
besar yaitu 0.9 tetapi karena pembulatan kedua nilai tersebut menjadi sama yaitu
6. Jadi Kedua siswa dengan nilai tersebut dianggap mempunyai kemampuan
yang sama, tidak ada bedanya. Namun untuk siswa yang mendapat nilai 5.4 dan
5.5 meskipun selisihnya cuma 0.1 mendapat perlakuan yang sangat tajam karena
nilai berubah menjadi 5 dan 6. Sedangkan nilai 5 menjadi bahan pertimbangan
dalam kenaikan kelas, dan angka 6 menjadi kabur maknanya. Dari contoh
tersebut, nilai rapor dengan pembulatan mengandung kelemahan yang sangat
signifikan.
Rumus penilaian tersebut di atas mencerminkan lebih menekankan pada
pengembangan aspek kognitif. Simpulannya pembelajaran di kelas baru sebatas
transfer pengetahuan. Hal tersebut yang menjadi dasar bagi Sarwono Kusuma
Atmadja untuk mengatakan bahwa sistem pendidikan formal kita tidak dengan
sendirinya akan memacu kreativitas. (KR, 8 Mei 1993)
Pendidikan dan alat evaluasi yang bertujuan untuk mengembangkan
aspek kognitif tidak relevan dan tidak aplikatif dengan kehidupan masyarakat.
Karena transformasi pendidikan salah satunya bertumpu pada reformasi aspek
regulatori pendidikan yang menekankan bahwa tujuan pendidikan itu merupakan
proses pembudayaan yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan inte-
lektual, personal dan sosial peserta didik secara utuh (Zamroni, 2003 : 127-128)
Namun ironisnya kriteria kelulusan untuk siswa SMA untuk tahun ajaran
2003/2004 tidak mengakomodasi konsep pendidikan yang ditunjukkan oleh
Zamroni sebagai seorang birokrat pendidikan. Karena salah satu kriterianya
menyatakan bahwa untuk bisa lulus ujian, siswa cukup mendapat nilai minimal
4,01 untuk seluruh mata pelajaran. Kalau dilihat sepintas tampak seperti ada
kenaikan dari kriteria tahun sebelumnya yang hanya 3,01. Bila ditelusuri lebih
mendalam kriteria kelulusan tahun 2003/2004 bisa diprediksikan berdampak
pada tujuan pendidikan akan menjadi bias, dan terjadi penurunan kualitas.
Pertama, kriteria kelulusan tahun ajaran 2002/2003 masih memper-
timbangkan penilaian pada mata pelajaran Agama dan PPKn sebagai pendidikan
mental spiritual bukan aspek kognitif belaka. Karena dalam mata pelajaran
tersebut lebih banyak ditanamkan nilai atau value yang dijunjung tinggi oleh
bangsa Indonesia sehingga perolehan nilainya tidak boleh kurang dari 6,0. Untuk
kriteria kelulusan tahun sekarang minimal cukup dengan 4,01, artinya agama dan
PPKn tidak dipandang secara utuh namun sudah dianggap sebagai pengetahuan
saja.
Kedua, kriteria kelulusan tahun 2002/2003 masih mempetimbangkan nilai
rata-rata dari seluruh mata pelajaran, berarti bisa ditafsirkan bahwa mata
pelajaran lain terutama bidang science seperti Fisika, Kimia dan Biologi tetap
dianggap penting. Kelemahannya adalah terjadi pengkatrolan nilai pada mata
pelajaran tersebut karena kawatir nilai siswa tidak mencapai rata-rata 6.0, dengan
asumsi bila ada siswa yang mendapatkan nilai 3,01 dari tiga mata pelajaran ujian
nasional yang soalnya dibuat oleh Pusat. Untuk tahun ajaran 2003/2004 dengan
standar 4,01 dipandang cukup berat oleh sekolah berdasarkan pertimbangan data
perolehan nilai kelulusan siswa pada tahun sebelumnya. Keadaan tersebut sangat
mencemaskan terhadap semua pihak.Maka diambillah jalan pintas yang dianggap
tepat sebagai solusi untuk menghindari banyaknya siswa yang tidak lulus, yaitu
sekolah cukup memfokuskan kepada ketiga mata pelajaran ujian nasional yang
soalnya dibuat oleh Pusat. Begitu cemasnya, sehingga mata pelajaran yang lain
diabaikan karena nilainya bisa “dikelola” sendiri. Konsekuensinya
pengembangan intelektual siswa dalam bidang science tidak mendapatkan porsi
yang memadai, dan disinilah letak kebiasan pendidikan di sekolah.
3. Beban belajar siswa yang terlalu besar
Di dalam Human Right for Peace (Mayor, 1997 : 9) disebutkan bahwa
untuk menghadapi bahaya globalisasi maka kita hendaklah memberi tekanan
pada bentuk-bentuk belajar dan berpikir kritis yang memungkinkan individu
memahami perubahan lingkungan, menciptakan pengetahuan baru, dan
membentuk nasib mereka sendiri.
Dalam pengertian tersebut guru dituntut untuk lebih kreatif dalam
kegiatan pembelajaran sehingga memungkinkan siswa bisa berpikir secara kritis
sebagai dasar pembentukan nasib mereka sendiri. Kalau kita membicarakan
tentang nasib siswa, sesuatu yang besar ikut memberikan andil adalah potensi
diri siswa itu sendiri Kita ketahui bersama bahwa siswa mempunyai potensi
yang berbeda-beda. Potensi dalam diri siswa akan bisa berkembang msiswaala
siswa sudah terfokus pada mata pelajaran yang sesuai dengan minat dan
bakatnya. Dengan demikian akan terjadi ada mata pelajaran yang tidak relevan
dengan pengembangan potensi siswa.
Di dalam ruang kelas siswa belajar dengan banyak mata pelajaran, serta
harus dikuasai semuanya dengan baik. Dibawah ini saya kutipkan susunan
program pengajaran untuk kelas I dan II di SMA.(Kurikulum 94)
(1) Pendidikan Pancasila dan kewargenegaraan;
(2) Pendidikan agama;
(3) Bahasa dan Sastra Indonesia;
(4) Sejarah Nasional dan Sejarah Umum;
(5) Bahasa Inggris;
(6) Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
(7) Matematika
(8) IPA, terdiri dari : Fisika, Biologi, dan Kimia;
(9) IPS, terdiri dari : Ekonomi, Sosiologi dan Geografi
(10) Pendidikan Seni
Siswa sangat menyadari bahwa ia harus belajar sebanyak 14 mata
pelajaran tersebut dengan baik bila tidak ingin dikatakan gagal. Kondisi ini tentu
memaksa siswa menyebarkan perhatiannya. Seluruh mata pelajaran mendapatkan
porsi yang sama dalam belajar sehingga terjadi pembuangan energi untuk mata
pelajaran tertentu yang tidak mendukung potensi siswa untuk berkembang. Dan
bila siswa hanya memfokuskan pada mata pelajaran tertentu saja, siswa dianggap
mempunyai perilaku yang menyimpang.
Sistem pendidikan kita tidak memperkenankan siswa untuk memilih
sesuai dengan potensi, bakat dan minatnya untuk belajar secara intensif. Seorang
siswa yang mempunyai minat pada bidang kedokteran misalnya dengan suka rela
harus juga belajar ekonomi, atau seorang ingin jadi ekonom harus belajar biologi.
Hal demikian merupakan beban ekstra yang harus dipikul oleh siswa.
4. Sistem tidak naik kelas
Siswa dikatakan berhasil dalam menempuh pembelajarannya, pada
kurikulum 94, bila siswa tersebut menguasai seluruh mata pelajaran yang harus
ditempuh dengan kriteria sebagai berikut :
1) Tidak ada nilai 5 untuk mata pelajaran : PPKn, Agama, Bahasa Indonesia.
2) Nilai rata-rata untuk seluruh mata pelajaran minimal 6.0
3) Nilai kurangnya tidak boleh lebih dari 5
4) Tidak ada nilai 3
Kriteria tersebut masih tetap digunakan meskipun kriteria kelulusan untuk
tahun pelajaran 2002/2003 lebih rendah . Untuk mata pelajaran bahasa Indonesia
dalam kriteria kelulusan, siswa bisa lulus bila mendapat nilai minimal 3.01.
Disini tampak ada kontradiksi yang mencolok yaitu untuk naik kelas siswa harus
mendapat nilai minimal 6, tetapi untuk lulus cukup dengan nilai 3,01.
Kejadian yang mengherankan bahwa meskipun siswa mendapat beban
yang berat harus mempelajari 14 mata pelajaran, dan model sitem penilaian yang
timpang karena lebih condong pada segi kognitifnya, secara keseluruhan untuk
ketiga mata pelajaran tersebut tidak ada siswa yang mendapatkan nilai kurang
dari 6.0. Hal demikian sudah menjadi doktrin dari bapak/ibu guru bahwa ketiga
pelajaran tersebut hukumnya “wajib” dan terpenting untuk dipelajari siswa dari
SD sampai dengan SMA. Sedangkan mata pelajaran yang lain merupakan
“sunah” dalam batas tertentu. Disini terjadi pergeseran arah pendidikan di
sekolah.
Meskipun kriteria kenaikan kelas yang cukup berat bagi siswa, pada
kenyataannya hampir semua siswa naik kelas. Keadaan ini menarik untuk dikaji,
apa yang menyebabkan mereka tampak menjadi siswa-siswa pintar. Ada
beberapa kemungkinan yang menyebabkan hampir semua siswa naik kelas :
1). Adanya kepentingan sekolah : Ada anggapan bahwa sekolah dengan jumlah
siswa yang tidak naik cukup banyak pada masa sekarang sekolahnya
dianggap kurang bermutu.
2). Ada aturan secara tidak tertulis mengenai kepatutan jumlah siswa yang tidak
naik kelas, dengan kritetria prosentase tergantung pada sekolah masing-
masing.
3). Adanya kerawanan terhadap keamanan sekolah, bila jumlah yang tidak naik
cukup besar. Fakta dilapangan membuktikan beberapa siswa mengamuk
tidak puas karena tidak naik kelas
Dampak dari ketiga alasan tersebut terjadilah “manajemen nilai” sehingga
bisa dipastikan hampir 99 % naik kelas. Kemudian yang terlihat di dalam buku
laporan pendidikan kemampuan mereka tampak merata. Dan orang tua pun
senang meskipun secara legal dibohongi laporannya.
Dari uraian diatas sistem tidak naik kelas merupakan tekanan kepada
siswa untuk belajar seluruh mata pelajaran secara merata, mereka harus
menyebarkan perhatiannya untuk seluruh mata pelajaran baik suka atau tidak
suka, penting atau tidak untuk kehidupan kelak. Siswa tidak punya pilihan untuk
belajar yang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Dan hasilnya siswa menjadi
generalis yang canggung, bukan spesialis yang profesional. Oleh karena itu
sistem tidak naik kelas merupakan hambatan bagi siswa untuk berkembang
sesuai dengan potensi yang dimiliki.
5. Dikotomi siswa bodoh dan siswa pintar
Albert Einstein oleh gurunya dikatakan tidak akan pernah berhasil di
bidang apapun. Winston Churchill sangat lemah dalam pekerjaan rumah. Thomas
Alva Edison sering dihukum oleh gurunya hanya karena seringnya dia bertanya.
Einstein, Churchill, dan Edison memiliki gaya belajar khas yang tidak sesuai
dengan gaya sekolah mereka. Namun, kebanyakan sekolah kita diselenggarakan
dengan asumsi setiap orang itu identik. (Driden dan Vos, Terjemahan Baiquni,
2002 : 341) . Dengan demikian masalah krusial yang dihadapi guru adalah
bagaimana guru dapat memahami dan melayani siswa serta memperlakukannya
secara tepat sesuai perbedaan individunya.
Mengenai penjelasan bagaimana guru dapat melayani serta
memperlakukan siswanya adalah masih bersifat kabur, apakah siswa yang punya
minat besar pada fisika mendapat toleransi bila tidak tertarik pada sejarah; atau
perbedaan individu siswa sebagai landasan pengelompokan dalam belajar, atau
juga dengan perbedaan individu merupakan landasan bagi guru dalam mendesain
pembelajarannya. Tetapi apa yang terjadi di kelas, siswa mendapat perlakuan
yang sama yaitu mereka dipaksa oleh setiap guru mata pelajaran untuk belajar
sekuat tenaga. Akibatnya bisa dibayangkan kalau mereka yang berkemampuan
beda mempelajari 14 mata pelajaran, sebagian tentu akan kehabisan energi, dan
bagi yang tidak berpotensi akhirnya mendapat stempel “siswa bodoh”.
Individu mungkin bisa diibaratkan sebuah bateri dengan banyak sel, yang
masing-masing sel mempunyai potensi yang berbeda, ada yang tinggi dan ada
yang rendah. Dengan demikian tentu rasanya tidak bijak hanya karena belum
siap untuk belajar Biologi dan Kimia, seorang siswa mendapatkan julukan siswa
bodoh. Kondisi ini malah menjadikan masalah baru bagi si siswa, karena secara
psikologis terbebani sehingga menghambat perkembangan jiwanya.
6. Lingkungan Sekolah yang Tidak Memadai
Secara sederhana sekolah adalah suatu wadah dimana siswa dapat belajar
untuk mengaktualisasi diri sehingga potensinya berkembang secara optimal. Ini
berarti sekolah merupakan fasilitas bagi siswa. Sehingga konsep pedagogis
mengenai letak dan bangunan sekolah selalu mendapat pertimbangan yang
mendalam.
Kondisi sekolah yang nyaman, sejuk, higienis dan memberikan keluasaan
bergerak, dan bebas dari kekerasan adalah kondisi yang sangat diidamkan.
Namun karena perkembangan jaman nilai tentang tempat belajarpun juga
berubah. Hal demikian tampak dengan berdirinya gedung-gedung megah
bertingkat memenuhi lokasi sekolah baik untuk SMA, SMP bahkan SD, yang
secara fisik hendak menunjukkan bahwa disini (pada sekolah tersebut) siswa
mendapatkan sekolah dengan sarana yang sangat megah, padahal sesungguhnya
siswa tidak mendapat manfaat dari kemegahan kecuali pelayanan yang memadai
sesuai dengan perkembangan jiwa siswa.
Dalam pendidikan, segala aspek yang berkaitan dengan mendidik dan
mengajar tentu tidak terlepas dari umur perkembangan siswa. Tidak bisa
diabaikan bahwa aktivitas siswa di sekolah sangat dinamis, dan hal tersebut
sangat bermanfaat bagi perkembangan fisiknya . Hal demikian relevan untuk
siswa SD bahkan siswa SMA. Bila siswa mengikuti alur dan tempo
perkembangan fisik yang normal, guru hendaknya memikirkan untuk
mempersiapkan lingkungan yang nyaman untuk siswa, bermain dengan mereka
dalam perilaku yang normal, dan berfikir sedikit tentang apa yang sesungguhnya
terjadi pada yang menjadi dasar harian untuk meneruskan pertumbuhan dan
perkembangan. (Miller, 1996 : 2009).
Banyak dijumpai, kondisi yang ada kontradiksi dengan kepentingan
pendidikan siswa karena tidak memberikan ruang gerak serta sarana yang
memadai. Sekolah tidak memiliki playground yang cukup aman untuk bermain,
karena betonisasi. Konsep tentang pelayanan terhadap siswa menjadi
menyimpang karena prioritas berubah untuk mempermak perwajahan sekolah
untuk jual tampang, sehingga mengabaikan substansinya. Menjadi fakta bahwa
keadaan yang tampak dari luar tidak bisa dianggap sebagai cermin keadaan di
dalam. Hal tersebut terjadi karena wawasan kepala sekolah dan atau warga
sekolah tidak memahami fungsi sekolah secara komprehensif.
PENUTUP
A. Simpulan
Fungsi sekolah yang menyimpang dari substansinya sebagai pusat pelayanan
pendidikan siswa telah berlangsung cukup lama. Konsekuensi dari kemerosotan
pendidikan tersebut produknya adalah sumber daya manusia yang rendah. Akar
permasalahanya beragam yang diantaranya :
1. Potensi siswa tidak bisa berkembang maksimal dengan jumlah siswa yang terlalu
padat karena bantuan layanan terbatas. Siswa dengan perbedaan individunya
memerlukan treatment yang berbeda dalam mensikapinya. Karena kultur sekolah
dan kepentingan luas, keadaan tersebut sulit diubah.
2. Adanya rumusan penilaian yang lebih menekankan aspek kognitif akibatnya
pendidikan di sekolah baru sebatas transfer pengetahuan yang jauh dari
pendidikan nilai (Value). Produk yang dihasilkan adalah siswa bisa menjadi
pintar namun kering nuraninya .
3. Jumlah mata pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa terlalu banyak, tentu akan
sangat menguras energi. Siswa merasa terpaksa belajar karena memang dituntut
oleh aturan, dan bisa diprediksikan mereka tentu tidak maksimal belajar. Oleh
karena itu siswa menjadi siswa generalis yang canggung karena tidak menguasai
ilmu pengetahuan secara mendalam tetapi hanya pada bagian luarnya saja.
Padahal tuntutan kehidupan ke depan yang dibutuhkan adalah spesialis yang
profesional, menguasai pengetahuan secara mendalam dan luas.
4. Siswa berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki dan menentukan pilihan
hidup sesuai dengan minatnya. Tetapi sekolah kita tidak memberikan tempat pada
siswa untuk memilih, semua mata pelajaran wajib dipelajari dan semuanya
penting bagi siswa. Hal demikian tentu kontradiksi dengan potensi dan minat
siswa yang beragam. Mata pelajaran yang sesuai dengan potensi dan minatnya
tentu akan mendapat porsi yang lebih banyak untuk dipelajari sehingga yang lain
bisa diabaikan karena tidak ada sangkut paut dengan kehidupannya, oleh karena
itu dimungkinkan siswa tidak menguasai mata pelajaran tertentu yang
mengakibatkan siswa tidak naik kelas. Sistem tidak naik kelas bisa dianggap
menghambat karier hidup siswa, tidak memungkinkan siswa mendapat peluang
untuk menguasai mata pelajaran tertentu secara luas dan mendalam.
5. Perbedaan individu di dalam kelas adalah perbedaan kesiapan untuk menerima
pelajaran. Dari konsep tersebut bisa dipahami bahwa siswa punya potensi yang
berbeda-beda dalam masalah waktu. Dengan demikian perkembangan siswa
berbeda menurut kesiapannya, sehingga tidak bisa ditarik kesimpulan bahwa
seseorang adalah bodoh atau pintar tetapi membutuhkan waktu.
6. Pemahaman sekolah sebagai wahana pendidikan belum sepenuhnya dipahami
secara komprehensif karena sering terjadi pengembangan sekolah kurang
memperhatikan aspek edukatifnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan ketiadaan
master plan di sekolah. Perencanaan yang lemah dan kurangnya wawasan kepala
sekolah dan warga sekolah menyebabkan pengelolaan lingkungan yang asal-
asalan.
B. Saran-saran
Kemerosotan pendidikan yang disebabkan oleh tidak berfungsinya sekolah
secara maksimal memberikan andil yang besar terhadap rendahnya sumber daya
manusia. Meskipun diketahui bahwa banyak faktor yang ikut menentukan kualitas
pendidikan, keberadaan sekolah sebagai lembaga formal adalah faktor kunci yang
harus mendapat perhatian serius. Fungsi sekolah harus dikembalikan sebagai pusat
layanan kepada siswa, yang diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Jumlah siswa tiap ruang dibatasi maksimal 30 siswa. Namun hal tersebut
membawa konsekuensi terhadap pemasukan keuangan sekolah. Untuk
mengantasipasi masalah pembiayaan, agar sekolah tidak kolep maka harus ada
perhitungan education cost standard tiap siswa Dengan demikian bisa diketahui
berapa besar kekurangannya. Hal demikian merupakan masukan bagi para
pengambil kebijakan untuk mengelola pendidikan agar pendidikan itu meningkat
kualitasnya.
2. Orientasi pembelajaran yang lebih menekankan pada teaching sentries harus
segera digantikan dengan learning sentries. Kebiasaan yang sudah mapan
dilakukan oleh guru akan sangat sulit untuk merubahnya, terlebih bagi guru
senior. Keuntungan dari perubahan tersebut akan bisa meminimalkan adanya
menejemen nilai. Campur tangan kepala sekolah yang kuat diperlukan untuk
membangun iklim keterbukaan agar bisa menerima sesuatu yang baru menjadi
budaya sekolah.
3. Pada kurikulum 1994 sistem evaluasi lebih menekankan pada aspek kognitif.
Faktanya bisa ditelusuri melalui format-format penilaian dengan tidak ada ruang
untuk aspek psikomotor dan afektif. Khusus untuk mata pelajaran Agama, PPKn
dan Bahasa muncul ketimpangan karena tidak memperhatikan aspek nilai (value)
yang didalamnya termasuk etika dan estetika. Kelemahan lain dari penilaian yang
berlangsung sangat lama adalah adanya pembulatan pada nilai 5,5 menjadi nilai
6, sehingga nilai tersebut kabur maknanya. Sistem tidak naik kelas lebih banyak
merugikan siswa karena campur tangan sekolah begitu besar dalam urusan
menejemen nilai.
4. Jumlah mata pelajaran yang harus dipelajari sebaiknya dikurangi untuk tiap level
kelas namun bisa diberi alternatif mata pelajaran pilihan. Sehingga siswa bisa
mengembangkan potensinya sesuai bakat dan minat. Karena perhatian siswa
terfokus pada bidang yang digeluti sesuai dengan pilihan yang menunjang pilihan
hidupnya kelak.
5. Kemerdekaan untuk memilih pilihan hidup hendaknya dihargai. Tentu dari sekian
mata pelajaran ada yang tidak disukai oleh siswa konsekuensinya siswa kurang
bersemangat untuk mempelajarinya. Bila hal tersebut terjadi pada salah satu mata
pelajaran yang menurut kriteria kenaikan kelas tidak naik kelas akan menghambat
pengembangan potensi sesuai dengan pilihannya. Disini hendaknya nilai yang ada
dalam buku laporan ditulis apa adanya sehingga orang tua siswa mendapat
informasi yang sebenarnya dan tidak perlu ada siswa yang tinggal kelas.
6. Bahwa perbedaan individu adalah masalah kesiapan siswa, pada dasarnya siswa
mempunyai potensi. Permasalahan munculnya potensi siswa tergantung masalah
waktu. Akibatnya terjadi perbedaan penguasaan materi antara siswa satu dengan
lainnya. Dengan demikian remedial learning, bukan remedial test, menjadi sangat
penting dalam pembelajaran.
7. Pendidik hendaknya menyadari dengan perbedaan individu siswa. Karena
perbedaan potensi tersebut akan menjadi bahan pertimbangan pada kegiatan
belajar mengajar dan evaluasi belajar. Dan diharapkan dengan memahami
perbedaan individu bisa diterima oleh guru sebagai mana adanya untuk dijadikan
landasan dalam merancang pembelajaran yang efektif.
8. Konsep lingkungan sekolah yang luas dan nyaman perlu direncanakan sejak awal.
Kenyamanan sekolah tidak terletak pada bangunan yang kelihatan megah dari
luar namun terletak pada fungsi bagi terpenuhinya kebutuhan siswa. Udara yang
sejuk karena pepohonan, WC dan ruang kelas yang bersih, kantin yang higienis,
playgound yang memadai adalah sebagaian yang dibutuhkan oleh siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Pedoman Penyusunan standar pelayanan minimal penyelengaraan persekolahan Bidang Pendidilan dasar dan menengah, Jakarta : Direktorat Dikdasmen.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Biro Hukum dan Organisasi Sekretaris Jendral Depdiknas.
Djaali, H. 2000. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Program Pascasarjana, UNJ. Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung : Sinar Baru
Algensindo. Hamalik, Oemar.2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : PT Bumi Aksara. Madhakomala. Mengenal Perbedaan Individusebagai landasan penyelenggaraan
Pendidikan. Makalah Kuliah Pascasarjana. Mayor, Fedrico.The Human Right to Peace : Declaration by the Director-General,
terjemahan oleh W.P. Napitupulu. Jakarta : Kantor UNESCO Miller, Regina. 1996. The Developmentally Appropriate Inclusive Classroom in early
Education. USA : Delmar Publishers Inc. Munandar, Utami. 1999. Kreativitas dan Keberbakatan : Strategi mewujudkan
Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama . Nggermanto, Agus. 2003. Quantum Quotient. Bandung : Nuansa. O’neil, Williaam F. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Terjemahan Omi Intan
Naomi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Surakhmad, Winarno.2003. Pendidikan untuk besok, Hari ini dalam Pendidikan
Nasional dalam Perspektif Global . Editor Suyatno Dkk. Jakarta : UHAMKA Pres.
Zamroni. 2003. Pendidikan untuk Demokrasi : Tantangan menuju civil society.
Yogyakarta : Bigraf Publishing.