karya ilmiah hukum waris 2003
DESCRIPTION
hukum warisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Adat merupakan pencerminan dari pada kepribadian suatu bangsa
merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan
dari abad ke abad .Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga
yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan
mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang
lingkup kehidupan manusia.
Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan
peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa
meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus
menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan
hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh
hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara
penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari
pewaris kepada para warisnya.
Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa
atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem
garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku
bangsa atau kelompok-kelompok etnik.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang dibahas dalam Karya Tulis ini adalah:
1. Apakah hukum waris adat itu?
2. Bagaimana sifat dan sistem hukum waris adat di Indonesia?
3. Bagaimana kedudukan janda dan anak dalam hukum waris adat?
1
4. Harta waris mana yang dapat atau tidak dapat dibagi-bagi?
5. Bagaimana proses pewarisan menurut hukum waris adat?
6. Hukum yang mengatur mengenai hukum waris adat?
1.3 Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tugas ini dibuat sebagai wujud dari pertanggung jawab kami
atas t ugas yang d ibe r i kan o leh dosen sebaga i sya ra t un tuk
memenuh i aspek p enilaian mata kuliah Hukum Adat. Selain itu tugas ini
juga ditujukan untuk:
1. Memahami pengertian hukum adat waris yang ada di Republik
Indonesia.
2. Mengetahui dan menganalisis aspek apa saja yang ada di dalam
hukum adat waris.
3. Untuk mengetahui siapa saja yang terlibat di dalam permasalahan
hukum adat waris yang ada di Indonesia
1.4 Manfaat penulisan
Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu
dalam memproses ilmu pengetahuan.Secara operasional penelitian dapat
berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
menunjang pembangunan,mengembangkan sistem dan mengembangkan
kualitas manusia.
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu
hukum yang timbul. Oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu
penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Dengan melakukan
penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan
preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.19 Bertitik
tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, diharapkan dengan
penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis
dan praktis di bidang hukum yaitu sebagai berikut:
a. Secara teoritis
2
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
bentuk sumbang saran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal
maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas
yang berhubungan dengan harta pemberian yang diberikan orang tua
semasa hidup kepada anaknya menurut sistem hukum waris
b. Secara praktis
Memberi informasi yang dibutuhkan masyarakat di masa
mendatang apabila terjadi permasalahan terkait harta pemberian orang
tua semasa hidupnya kepada anak menurut sistem hukum waris adat.
Memberikan pengertian dan pemahaman yang dapat berguna serta
memberikan sumbangan pemikiran dan penjelasan bagi mereka yang
hendak mempelajari dan mengkaji harta pemberian orang tua semasa
hidupnya kepada anak menurut sistem hukum adat.
3
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Hukum Adat Waris
A. Ruang lingkup
Soepomo (1977: 81, 82), menyatakan bahwa hukum waris itu
adalah:
”...memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak
berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia
(generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang
tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang
tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu
peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak
mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta
benda dan harta bukan benda tersebut.”
Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh garis
keturunan yang berlaku di suatu masyarakat tertentu. Sistem garis
keturunan tersebut mungkin menggunakan prinsip patrilineal murni,
patrilineal beralih-alih (alternerend) matrilineal ataupun bilateral, ada pula
prinsip unilateral berganda (dubbel-unilateral).1Sistem-sistem tersebut
berpengaruh terutama terhadap penetapan ahli waris maupun bagian
harta peninggalan yang diwariskan, baik yang secara material maupun
immaterial.2
Hukum adat waris terdiri dari tiga sistem kewarisan:
a. Sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan yang para ahli
warisnya mewarisi secara perorangan;
b. Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem kewarisan yang para ahli
warisnya mewarisi secara bersama (kolektif);
c. Sistem kewarisan mayorat:
1Lihat Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008, hlm. 260.2Ibid.
4
1. Mayoret laki-laki, yaitu anak laki-laki tertua yang menjadi ahli
waris tunggal apabila pewarisnya meninggal.
2. Mayoret perempuan, yaitu anak perempuan tertua yang
menjadi ahli waris tunggal apabila pewarisnya meninggal.
Apabila sistem kewarisan dihubungkan dengan sistem garis
keturunan, maka (Hazairin: 19):
“Sifat individualataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan
tidak perlu langsung menunjuk kepada bentuk masyarakat di mana
hukum kewarisan itu berlaku, sebab sistem kewarisan yang individual
bukan saja dapat ditemui di dalam masyarakat yang bilateral, tetapi juga
dapat dijumpai dalam masyarakat yang patrilineal seperti di Tanah Batak,
malahan di Tanah Batak itu di sana sini mungkin pula dijumpai sistem
mayorat dan sistem kolektif yang terbatas; demikian sistem mayorat... itu,
selain dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih di Tanah Semendo
dijumpai pula pada masyarakat bilateral orang Dayak di Kalimantan Barat,
sedangkan sistem kolektif itu dalam batas-batas tertentu malahan dapat
pula dijumpai dalam masyarakat yang bilateral seperti di Minahasa,
Sulawesi Utara.”
Menilik kutipan di atas maka sistem kewarisan dalam hukum adat
khususnya sistem mayorat terdapat di daerah-daerah tertentu tidak
terbatas terhadap prinsip patrilineal, matrilineal, maupun parental/bilateral.
Dalam hukum waris adat, harta yang dapat dibagi yaitu harta
peninggalan yang telah dikurangi oleh biaya-biaya waktu pewaris
(almarhum) sakit dan biaya pemakaman serta hutang-hutang yang
ditinggalkan oleh pewaris3.
Selain itu, dalam hukum adat digunakan dua macam garis pokok
untuk menentukan siapa yang menjadi pewaris, yaitu:4
a. Garis pokok keutamaan, yaitu garis hukum yang menentukan
urutan-urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam
keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu
lebih diutamakan daripada golongan yang lainnya. Dengan
3Ibid, hlm. 261.4Ibid.
5
demikian, orang-orang yang mempunyai hubungan darah menurut
ketentuan ini dibagi menjadi golongan-golongan berikut:
1) Kelompok keutamaan I: keturunan pewaris.
2) Kelompok keutamaan II: orang tua pewaris.
3) Kelompok keutamaan III: saudara-saudara pewaris, dan
keturunannya.
4) Kelompok keutamaan IV: kakek dan nenek pewaris.
b. Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan
untuk menentukan siapa di antara orang-orang di dalam
kelompok keutamaan tertentu yang tampil sebagai ahli
waris.Yang benar-benar menjadi ahli waris adalah:
1. Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan peawris.
2. Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris.
Di dalam pelaksanaan penentuan ahli waris berdasarkan kedua
garis pokok tersebut maka perlu diperhatikan pula prinsip garis keturunan
yang dianut di dalam suatu masyarakat serta harus diperhatikan pula
kedudukan pewaris tersebut (misalnya: janda, duda, bujangan, dsb.).
Secara umum, yang menjadi pokok pembahasan hukum waris adat
adalah:
a. Subjek hukum waris;
b. Peristiwa hukum waris; dan
c. Objek hukum waris.
B. Subjek Hukum Waris
Subjek dari hukum waris sendiri adalah pewaris atau ahli waris.
Pewaris adalah orang yang meninggalkan warisan,sedangkan ahli waris
adalah seorang/kelompok yang menerima harta warisan.5 Biasanya,
orang yang menjadi ahli waris adalah orang yang sangat dekat dengan
pewarisnya, misalnya anak dari pewaris tersebut adalah ahli warisnya.
Dalam hukum adat, untuk menentukan subjek hukum sangat
dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut. Sebagai contoh, di
daerah Bali, yang menjadi ahli waris ketika akan mewarisi harta dari
5Ibid, hlm. 262.
6
pewarisnya adalah anak laki-laki saja karena daerah tersebut menganut
prinsip kekerabatan patrilineal. Namun, bukan berarti bahwa dalam suatu
sistem kekerabatan dalam menerima warisan tidak selalu sesuai dengan
ketentuan dari sistem kekerabatan tersebut. Biasanya ada ketentuan-
ketentuan tertentu yang harus dipenuhi oleh si pewaris. Seperti di daerah
Bali bahwa anak laki-laki yang berhak menjadi ahli waris adalah anak laki-
laki yang:
a. tidak melakukan perkawinan nyeburin; dan
b. melaksanakan dharmaning sebagai anak (misalnya tidak durhaka
kepada leluhur dan orang tua).6
Selain itu, beberapa yurisprudensi juga memengaruhi hukum adat
waris yang biasanya diatur oleh sistem kekerabatan yang dianutnya.
Seperti keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961, tanggal 23
Oktober1961 sebagai berikut:
“... berdasarkan selain rasa perikemanusiaan dan keadilan umum, juga
atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa
keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup
di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari
seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam
arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan perempuan. ...
berhubung dengan itu maka juga di tanah Karo, seorang anak perempuan
harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas
harta warisan dari orang tuanya.”
Juga keputusan Mahkamah Agung No. 100 K/Sip/1967 tanggal 14
Juni 1986 sebagai berikut:
“... karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju
ke arah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan
janda sebagai ahli waris telah merupakan yurisprudensi yang dianut oleh
Mahkamah Agung...”
Jadi, menurut keputusan Mahkamah Agung tersebut maka anak
perempuan dan janda dapat dinyatakan sebagai ahli waris di dalam hal
pewarisan yang menggunakan prinsip kekerabatan patrilineal khususnya
untuk wilayah Batak Karo. Namun, bagaimanakah kenyataannya di dalam
6Ibid.
7
masyarakat Bali karena adanya keputusan Mahakamah Agung No.
179/Sip/1961 tersebut? K. Ranghena Purba (1978) menulis di dalam
makalahnya bahwa:
“Di dalam praktik (kenyataan), hukum adat waris lama masih
dipertahankan, yaitu masih dipakainya ketentuan bahwa hanya anak laki-
laki saja yang memperoleh harta warisan dari orang tuanya. Tetapi dari
sudut lain, kita lihat bahwa masyarakat Karo sendiri sudah lebih
cenderung untuk menggunakan ketentuan dari Mahkamah Agung No.
179 K/Sip/1961 tersebut dalam mempertahankan haknya ataupun dalam
pembagian warisan, yaitu dapat kita lihat pada banyaknya perkara yang
masuk ke pengadilan mengenai masalah warisan...”
Sedangkan pada masyarakat Bali, anak perempuan dan janda
berhak menikmati bagian dari harta warisan walaupun mereka bukanlah
ahli waris selama haknya tidak terputus. Hal-hal yang menyebabkan anak
perempuan atau janda tersebut kehilangan hak untuk menikmati warisan
tersebut adalah:
a. kawin ke luar;
b. dipecat sebagai anak oleh orang tuanya (untuk anak perempuan);
c. bergendak (untuk janda); dan
d. kawin lagi (untuk janda).
Ada beberapa kasus yang menyebabkan Mahkamah Agung
mendukung ketentuan hukum adat melalui keputusannya. Contohnya
adalah keputusan Mahkamah Agung No. 358 K/Sip/1971, tanggal 14 Juli
1971, bahwa karena terbukti tergugat I sebagai nyeburin sentana pada Ni
Keneng (dalam perkawinannya dengan Ni Keneng, terggugat I berstatus
perempuan) dan telah terbbukti pula Ni Keneng meninggal dunia,
tergugat I kawin lagi tanpa persetujuan semua keluarga terdekat dari
almarhum Nang Runem, maka telah terbukti bahwa tergugat I menyaahi
darmanya sebagai janda (tergugat I menurut adat status perempuan.) dan
menurut adatnya tergugat I tidak boleh lagi tinggal di rumah almarhum
Nang Runem serta mewarisi harta peninggalan Nang Runem.
Jika di atas tadi adalah bentuk subjek dari prinsip patrilineal maka
lain lagi dengan prinsip bilateral. Dalam sistem bilateral, yang menjadi ahli
waris adalah anak laki-laki dan anak perempuan. Di daerah Jawa, antara
8
anak laki-laki dan anak perempuan memiliki hak yang sama dalam
menerima harta peninggalan orang tuanya. Hak sama (gelijk gerechtigd)
itu mengandung hak untuk diperlakukan sama (geligik gerechtigh) oleh
orang tuanya di dalam proses meneruskan dan mengoperasikan harta
benda keluarga.7 Anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli
waris dapat pula ditemui pada masyarakat yang menganut sistem
kekeluargaan bilateral lainnya, misalnya di Kalimantan yaitu pada suku
Dayak dan di Sulawesi yaitu pada masyarakat Tanah Toraja. (Soepomo,
1977: 83).
Namun, ada pula dalam prinsip bilateral yang memiliki hukum waris
yang spesifik, seperti dalam masyarakat Sawu bahwa anak laki-laki hanya
mewarisi harta peninggalan ayahnya sedangkan anak perempuan hanya
mewarisi harta peninggalan ibunya.
Ada pula yang menyimpang dari mayoritas hukum waris adat di
Indonesia yaitu masyarakat Tasifeto di Kabupaten Belu Timur (Nusa
Tenggara Timur). Pada masyarakat ini yang merupakan ahli waris utama
adalah keponakan tertua yaitu anak saudara kandung ayahnya (anak
paman). Sedangkan anak-anaknya sendiri tidak mendapatkan warisan,
jadi mereka bukan ahli waris (Hidayat Z. M., 1976: 182).
Dalam sistem matrilineal seperti di Minangkabau, anak-anaknya
termasuk ke dalam keturunan ibunya, maka menurut hukum warisnya
anak-anak tidak mungkin mewarisi harta peninggalan ayahnya, tetapi
hanya mewarisi harta ibunya. Selain anak kandung, kerabat juga bisa
sebagai ahli waris. Di dalam masyarakat ini harta peninggalan merupakan
harta pusaka yang tidak dapat dimiliki perorangan di dalam keluarganya,
tetapi hanya dapat dimiliki bersama oleh suatu keluarga tersebut. Harta
yang diwariskan pun diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke
generasi berikutnya. Harta pusaka ini biasa disebut dengan istilah harta
sako. Dalam penguasaanya, harta pusaka terdiri dari:
a. Harta pusaka tinggi, yang dikusai oleh keluarga besar atau kerbat
yang dipimpin oleh seorang penghulu andiko atau mamak kepala
waris; dan
7 Ibid.
9
b. Harta pusaka rendah, yang dikuasai oleh keluarga kecil yang terdiri
dari istri dan anak-anaknya, atau suami dengan saudara-saudara
kandungnya beserta keturunan saudara perempuan yang
sekandung.
Dalam masyarakat lain, terdapat pula golongan tertentu yang
menjadi ahli waris, tergantung dari situasi tertentu. Di Sumatera Selatan
misalnya, apbila anak laki-laki yang belum kawin meninggal dunia, maka
yang menjadi ahli warisnya adalah orang tua sedangkan apabila anak
laki-laki tersebut sudah kawin dan tidak memiliki keturunan, maka orang
yang menjadi ahli warisnya adalah orang tua dari pihak suami dan
isterinya. Apabila orang yang meninggal adalah seorang perempuan yang
belum kawin, maka yang menjadi ahli warisnya adalah orang tua dengan
kemungkinan saudara-saudaranya pun menjadi ahli waris. Apabila yang
meninggal itu adalah seorang isteri yang mempunyai keturunan, maka
yang menjadi ahli waris adalah keturunannya dan kemungkinan suami
pun dapat menjadi ahli waris.
Selain itu, seorang kakek dapat pula menjadi ahli waris. Seperti di
masyarakat Lampung. Namun, kedudukan ahli waris di dalam masyarakat
ini saling menutupi. Jika masih ada anak tertua laki-laki dari si pewaris,
maka kemungkinan bagi orang tua si suami (kakek) tidak dapat menjadi
ahli waris, demikian seterusnya. (Rizani Puspawidjaja, dkk., 1981: 43)
Lalu, bagaimanakah kedudukan untuk anak-anak yang bukan
kandung seperti anak tiridan anak di luar nikah? Menurut Soepomo, hidup
bersama dalam satu rumah tangga ini membawa hak-hak dan kewajiban
antara yang satu dengan anggota yang lainnya. Kadang-kadang pertalian
rumah tangga antara bapak tiri dan anak tiri yang hidup bersama dalam
suatu rumah tangga itu menjadi begitu eratnya shingga terjadi kenyataan
bahwa seseorang bapak tiri menghibahkan sebidang tanah sawah
kepada anak tirinya. (Soepomo, 1977: 105)
Berdasarkan konsep dari Soepomo tadi, maka anak tiri dari seorang
ibu kandung adalah bukan ahli waris, tetapi jika anak tiri tersebut memiliki
ibu tiri khususnya anak tersebut merupakan anak tertua laki-laki dari
orang tuanya laki-laki maka dia berhak untuk mewarisi (Rizani
puspawidjaja, dkk., 1981: 41). Sedangkan jika anak tiri tersebut
10
merupakan anak bawaan dari isteri, maka anak tersebut hanya berstatus
sebagai anak kandung biasa, tetapi pada dasarnya tidak memiliki hak
untuk mewarisi walaupun dia adalah anak tertua laki-laki, melainkan
hanya mendapatkan hak sebagai anak saja seperti anak tersebut harus
diberi pendidikan yang layak sebagaimana anak kandungnya. Demikian
ketentuan dari masyarakat Lampung (Papadon).
Jika tadi merupakan anak tiri, maka anak yang lahir di luar nikah
hanya menjadi ahli waris di dalam harta peninggalan ibunya saja beserta
kerabat dari pihak ibu. Soepomo (1977: 88) Itu menurut hukum waris di
masyarakat Jawa. Karena menurut hukum adat di Jawa bahwa setiap
anak yang lahir di luar nikah tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan
pihak ayah (Djojonegoro-Tirtawinata, 1940: 297).
Berbeda lagi di masyarakat Lampung, jika di Jawa anak di luar
nikah hanya menjadi ahli waris untuk pihak ibu, maka di dalam masyarkat
tersebut anak yang lahir di luar nikah tetapi ketika sebelumnya si ibu
menikah dahulu dan anak tersebut lahir kurang dari tujuh bulan terhitung
sejak pernikahannya yang sah dan apabila anak tersebut adalah anak
laki-laki tertua, maka anak tersebut berhak menjadi ahli waris bagi orang
tuanya. Anak tersebut dalam masyarakat Lampung biasa disebut dengan
anak kappang tubas. Hal tersebut akan berbeda jika anak yang lahir di
luar nikah tersebut lahir dan ibunya tidak menikah dengan laki-laki lain
atau tidak memiliki suami, maka anak tersebut tidak berhak menjadi ahli
waris dar orang tuanya walaupun dia adalah anak laki-laki tertua.
C. Peristiwa Hukum Waris
Menurut Soepomo, bahwa pada saat proses pengalihan barang
harta keluarga kepada anak-anaknya mungkin telah dimulai ketika orang
tua dari anak-anak tersebut masih hidup. Soepomo mengambil contoh
dari masyarakat Jawa, keluarga mana yang terdiri dari dua anak laki-laki
dan dua anak perempuan. Oleh karena anak laki-laki tertua telah dewasa
dan cakap bekerja atau “kuat gawe”, maka ayahnya memberikan
sebidang sawah, pemberian mana dilakukan dihadapan kepala desa.
Anak kedua yang adalah anak perempuan, pada saat dinikahkan, diberi
sebuah rumah. Maka pemberian tersebut bersifat mutlak, dan merupakan
11
pewarisan atau toescheiding. Perbuatan tersebut bukan merupakan jual-
beli, akan tetapi merupakan pengalihan harta benda di dalam lingkungan
keluarga sendiri (Soepomo, 1977: 84, 85).
Proses peralihan harta warisan tersebut cenderung terjadi di dalam
masyarakat-masyarakat yang menganut sistem kewarisan individual, dan
peristiwanya pun kadang-kadang sering terjadi maupun kadang-kadang
jarang terjadi, tergantung pada kepentingan masing-masing pihak.
Adapun pembagian harta warisan yang bersifat sementara seperti
misalnya di Bali, pemberian harta warisan kepada ahli waris semasa
pewaris masih hidup dapat berwujud “jiwa dana”, yaitu pemberian lepas
dari pewaris kepada ahli warisnya. Kecuali itu, maka pemberian tersebut
dapat berupa “pengupah jiwa” yang merupakan pemberian yang bersifat
sementara, hanya untuk dinikmati hasilnya oleh ahli waris. Namun, tidak
menutup kemungkinan bahwa di Bali pun terjadi peralihan harta waris dari
pewaris kepada ahli waris ketika si pewaris tersebut telah meninggal
dunia. Karena masyarakat di Bali menganut sistem kewarisan mayorat,
yaitu sistem kewarisan individual yang terbatas.
Berbeda dengan proses pewarisan secara hibah wasiat. Terkadang
seorang pewaris menyatakan bahwa bagian tertentu dari harta
peninggalannnya itu diperuntukkan bagi ahli waris tertentu kepada para
ahli warisnya. Seperti di Jawa disebut dengan istilah wekasan (welingen),
di Minangkabau disebut umanat, dan istilah-istilah lain sesuai dengan
penyebutan di daerah masing-masing. Pewarisan yang demikian ini
merupakan peristiwa hukum yang baru akan berlaku setelah orang tua
meninggal dunia.
Dasar dari pewarisan secara hibah wasiat ditujukan:
a. Untuk mewajibkan para ahli untuk membagi-bagi harta warisan
dengan cara yan layak menurut anggapan pewaris;
b. Untuk mencegah terjadinya perselisihan;
c. Dengan hibah wasiat, pewaris menyatakan secara mengikat sifat-
sifat dari barang-barang harta yang ditinggalkan, seperti barang-
barang pusaka, barang-barang yang dipegang dengan hak sende
(gadai), barang-barang yang disewa dan sebagainya.8
8 Ibid, hlm. 271
12
Terkadang hibah wasiat itu dibuat secara tertulis melalui
perantaraan seorang notaris (testament). Menurut Soepomo, meskipun
hibah wasiat itu berbentuk akte-notaris, sah atau tidaknya isi hibah wasiat
itu dikuasai oleh hukum adat. Misalnya, tidak akan sah suatu pemberian
sawah kasikepan kepada seorang waris yang bukan teman sedesa
(Soepomo 1977: 89).
Untuk bagian dari pembagian harta warisan pun bermacam-macam.
Dalam sistem parental seperti di Jawa, pada dasarnya antara anak laki-
laki dan anak perempuan mendapatkan bagian yang sama dalam hal
pembagian harta warisan, tetapi sebagian kecil di beberapa desa
terutama di Jawa Tengah, anak laki-laki memperoleh dua kali bagian dari
bagian anak perempuan.
Bagi masyarakat yang menganut sistem patrilineal seperti dalam
masyarakat Rote, Nusa Tenggara Timur, anak laki-laki tertualah yang
mendapatkan bagian terbesar dalam pembagian warisan. Hal ini
didasarkan karena anak laki-laki mengemban tanggung jawab yang besar
terhadap kelangsungan hidup keluarganya sebab anak tersebut
merupakan pengganti ayahnya.
Pada masyarakat pulau Andora, Nusa Tenggara Timur, anak
perempuan hanyalah memperoleh warisan berupa perhiasan dan benda-
benda lainnya, tetapi tanah dan kebun merupakan bagian dari anak laki-
laki saja (Hidayat Z. M., 1976: 175) dan seterusnya.
Dalam masyarakat matrilineal seperti di Minangkabau, pembagian
harta warisan tidak diadakan, melainkan yang menguasai harta warisan
tersebut adalah seluruh anggota keluarga dan seluruh kerabat yang
diwakili oelh mamak kepala waris.9
Berdasarkan keterangan di atas, maka di dalam hal pewarisan
masyarakat Indonesia terdapat harta pewarisan yang tidak dibagi-bagi
kepada ahli warisnya tetapi juga terdapat ketentuan yang membagi-
bagikan harta warisan itu kepada ahli warisnya. Namun, hal ini masih
dianggap umum karena dalam masyarakat yang menganut sistem yang
individual, baik terbatas maupun tidak, masih terdapat harta warisan yang
tidak dapat dibagi-bagikan oleh pewarisnya secara individual dan masih
9 Ibid, hlm. 273
13
terdapat harat warisan yang dikuasai secara bersama sebagai lambang
kesatuan dari keluarga itu.10 Seperti di daerah Sulawesi Selatan
khususnya dalam masyarakat Minahasa, barang kalakeran adalah milik
kerabat yang tidak dapat dibagi-bagikan, kecuali jika semua anggota yang
berhak mengehendaki serta menyetujui barang itu dibagi-bagikan. Lalu di
Jawa ditemukan pula harta peninggalan yang tidak dibagi-bagikan seperti
yang dinyatakan Ter Haar:
“Pemakaian dan pengurusan harta peninggalan tak terbagi-bagi itu
terkadang-kadang dilaksanakan bergiliran di tangan salah satu dari
keluarga yang berhak (Jawa: giliran), terkadang di tangan masing-masing
dari merek (secara sebagian), akan tetapi dapat juga di tangan salah satu
di antara mereka. Bilamana tidak ada kesepakatan, maka tidak ada
kewajiban untuk membagi atau menyerahkan hasil daripada harta itu, dan
sudah barang tentu di kemudian hari (bila diadakan pembagian harta)
tidak dapat dituntut oleh ahli waris bersama tentang penggantian daripada
hasil harta peninggalan yang sudah dipungut oleh ahli waris yang
memegangnya yang dipergunakan untuk dirinya sendiri itu, tuntutan
mana, seperti telah pernah terjadi, sekali tempo diajukan ke muka
Lanraad di Jawa.” (B. Ter Haar Bzn 1950: 207).
Peristiwa hukum adat waris pasti memiliki hak dan kewajiban.
Karena meninggalnya si pewaris dan meninggalkan harta warisan, maka
perlu ditinjau mengenai hak dan kewajiban dari ahli waris sehubungan
degan harta waris yang akan diterima. Beberapa masyarakat yang
menganut prinsip garis keturunan patrilineal dengan sistem kewarisan
mayorat, khususnya pada masyarakat Lampung. Rizani Puspawidjaja
dengan kawan-kawannya menyatakan bahwa ahli waris itu memiliki hak
unutuk menikmati harta warisan, terutama untuk kelangsungan hidup
keluarganya dan berkuasa untuk mengusahakan sebagai sumber
kehidupan, baik untuk pribadi bersama keluarga dan untuk adik-adiknya.
(Rizani Puspawidjaja, 1981)
Pada masyarakat di Minangkabau, dengan mengingat bahwa
sistem pewarisannya adalah kolektif, maka harta warisan itu merupakan
harta pusakan milik dari suatu keluarga. Barang-barang yang demikian itu
10 Ibid, hlm. 273, 274.
14
hanya dapat dipakai saja (genggem bauntiq) oleh segenap warga
keluarga itu secara individual. Jadi, anggota-anggotanya hanya
mempunyai hak pakai saja. Demikian halnya dengan masyarakat Hitu di
Ambon.11
Dalam masyarakat lainnya, pewarisan merupakan cara untuk
memperoleh hak milik, maka dengan dialihkannya harta warisan tersebut
kepada ahli waris, harta warisan tersebut menjadi milik ahli waris.
Di samping hak, ahli waris memiliki kewajiban yang harus dipenuhi.
Kewajiban utama dari ahli waris adalah menjaga dan memelihara
keutuhan harta warisan, mengusahakan harta warisan untuk memelihara
kelangsungan hidup dan memenuhi kebutuhan adik-adiknya dalam
berbagai kehidupan.
Di daerah-daerah seperti Tapanuli (suku Batak), Kalimantan (suku
Dayak), dan di Bali, para ahli waris berkewajiban membayar hutang
pewaris, asalkan penagih hutang tersebut memberitahukan terlebih
dahulu haknya kepada ahli waris tersebut. Selain dari kewajiban di atas,
terdapat kewajiban-kewajiban lain seperti menyelenggarakan upacara
atau selamatan (sedekahan) dalam memperingati hari meninggalnya
pewaris.
D. Objek Hukum Waris
Pada prinsipnya yang merupakan objek hukum waris itu adalah
harta keluarga.12 Harta keluarga itu dapat berupa:
a. Harta suami atau isteri yang merupakan hibah atau pemberian
kerabat yang dibawa ke dalam keluarga;
b. Usaha suami atau isteri yang diperoleh sebelum dan sesudah
perkawinan;
c. Harta yang merupakan hadiah kepada suami-isteri pada waktu
perkawinan; dan
d. Harta yang merupakan usaha suami-isteri dalam masa perkawinan.
Pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur, menurut Hidayat Z. M.
(1976: 56) harta yang dapat diwariskan adalah:
11 Ibid, hlm. 275.12 Ibid, hlm. 277
15
a. Harta milik sendiri dari ayah yang berupa pustaka;
b. Harta milik ibu, berupa:
1) milik sendiri,
2) milik “bua fua mua” (“milik bawaan”)
c. Harta Ue Malak (harta milik usaha bersama).
Sedangkan dalam masyarakat Bali, berdasarkan hasil diskusi
Kedudukan Wanita dalam Hukum Waris menurut Hukum Adat Bali, maka
warisan itu terdiri dari:
a. Harta Pusaka, yang terdiri dari:
Harta pusaka yang tidak dapat dibagi, ialah harta warisan yang
mempunyai nilai magis-religius, contohnya adalah tempat ibadah
(pemerjanan, sanggah), alat pemujaan (siwa krana),
harta pusaka yang dapat dibagi ialah harta warisan yang tidak
mempunyai nilai magis-religius, misalnya sawah, ladang, dan lain-
lain.
b. Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa baik oleh mempelai wanita
maupun pria ke dalam perkawinan, misalnya: jiwa dana, tatadan,
akskaya.
c. Harta perkawinan, yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan
(gunakarya).
d. Hak yang didapat dari masyarakat, misalnya: bersembahyang di
kahyangan Tiga, mempergunakan kuburan, melakukan upacara
pitra yadnya (I Gde Wayan Pangkat, dalam V. E. Korn, 1972: 47).
Dari sejumlah data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harta
warisan itu dapat berupa barang-barang berwujud benda maupun barang-
barang yang tidak berwujud benda (immateriale goderen) dan dapat
diwariskan kepada ahli warisnya. Termasuk juga hutang yang merupakan
barang yang tidak berwujud benda yang dibuat dan belum sempat
dilunasi oleh si pewaris.
2.2 Sifat Hukum Adat Waris
16
Kalau kita perhatikan sifat hukum waris adat, tampak jelas
menunjukkan corak-corak yang memang khas yang mencerminkan cara
berpikir maupun semangat dan jiwa dari pikiran tradisional Indonesia yang
didasarkan atas pikiran kolektif/komunal, kebersamaan serta kongkret
bangsa Indonesia. Rasa mementingkan serta mengutamakan keluarga,
kebersamaan, kegotongroyongan, musyawarah dan mufakat dalam
membagi warisan, benar-benar mewarnai dari hukum waris adat. Jarang
kita melihat sengketa-sengketa mengenai pembagian harta kekayaan
(warisan) dibawa ke tingkat pengadilan. Budaya bangsa Indonesia
menganggap tidak baik kalau sampai ada perselisihan antara sesama
keluarga hanya garagara soal warisan.
Proses peralihan harta kekayaan ini dapat dimulai sejak pewaris
itu sendiri masih hidup dan proses itu berjalan terus hingga keturunannya
itu masing-masing menjadi keluarga baru dan berdiri sendiri yang kelak
pada gilirannya juga akan meneruskan proses tersebut kepada generasi
berikutnya (keturunannya). Biasanya proses pewarisan dimulai sejak
harta kekayaan itu meninggal dunia. Hal yang terpenting dalam masalah
pembagian harta warisan ini adalah bahwa pengertian warisan itu
memperlihatkan adanya tiga unsur, yang masing-masing merupakan
unsur esensial (mutlak), yakni:
a. Seseorang atau beberapa orang ahli waris yang hendak menerima
kekayaan yang ditinggalkannya itu.
b. Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “inconcreto”
yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada ahli waris itu.
Masing-masing unsur ini pada proses penerusan serta
pengoperan kepada orang yang menerima kekayaan itu, akan selalu
menimbulkan persoalan sebagai berikut:13
Unsur pertama untuk menimbulkan persoalan, bagaimana dan
sampai di mana hubungan seorang peninggal warisan dengan harta
kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana
si peninggal warisan itu berada.
13 Soerojo Wignjodipoero. Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat. Cetakan 12. CV. Haji
Masagung. Jakarta. 1994
17
Unsur kedua menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai di
mana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli
waris.
Unsur ketiga menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai di
mana wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat
lingkungan kekeluargaan tempat si peninggal warisan dan si ahli
bersama-sama berada.
Kita harus mengadakan pemisahan yang jelas antara proses
penerusan dan pengoperasian harta kekayaan di masa pemil9iknya
masih hidup yang lazimnya disebut penghibahan dan proses pada waktu
pemiliknya meninggal dunia yang pada umumnya disebut warisan.
Hukum waris adat ini mempunyai corak dan sifat tersendiri yang
memiliki ciri khas bangsa Indonesia dan tentu saja hal ini
membedakannya dari hukum Islam maupun hukum waris perdata.
Perbedaan terutama terletak pada latar belakang alam pikiran bangsa
Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang ber-
Bhineka Tunggal Ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan
bersama yang bersifat kekeluargaan, saling tolong menolong guna
mewujudkan kerukunan, keselarasan, dan kedamaian di dalam hidup.
Alam pikiran bangsa Indonesia yang murni itu berasaskan
kekeluargaan. Kepentingan seluruh masyarakat Indonesia untuk hidup
rukun dan damai lebih diutamakan daripada sifat kebendaan dan
mementingkan diri sendiri. Jika pada beberapa tahun belakangan ini
sudah tampak kecendrungan masyarakat Indonesia yang lebih
mementingkan diri sendiri dan kebendaan disebabkan pengaruh budaya
asing yang masuk ke Indonesia dan telah menjajah alam pikiran bangsa
Indonesia.
Hukum waris adat menunjukkan corak-corak yang khas dari alam
pikiran tradisional bangsa Indonesia. Hukum waris adat ini bersendi atas
prinsip yang timbul dari alam pikiran komunal serta kongkret bangsa
Indonesia.
Menurut Soepomo yang menyatakan: Hukum waris adat,
menunjukkan sifat atau corak-corak yang khas bagi aliran
pikiran tradisional bangsa Indonesia, yang bersendi atas
18
prinsip-prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran komunal dan
kongkrit bangsa Indonesia.14
Aliran pikiran komunal yang dimaksud adalah bahwa manusia
yang satu dengan yang lainnya saling bergantung, sehingga dalam
kehidupannya selalu memikirkan masyarakat atau individu yang terikat di
dalam suatu masyarakat. Sifat komunal akan tampak pada peristiwa
ditangguhkannya pembagian harta peninggalan para waris yang antara
lain dikarenakan sebagai berikut:
a. Semua atau sebagian harta peninggalan masih tetapi dikuasai oleh
orang tua (duda/janda) yang masih hidup, sehingga pembagian harta
peninggalan ditangguhkan pembagiannya sampai duda/janda itu
wafat.
b. Kesatuan harta masih tetapi dipertaruhkan untuk biaya pemeliharaan
para waris yang belum dewasa atau yang belum mampu melakukan
perbuatan hukum (kesehatannya terganggu dan sebagainya).
c. Wujud, sifat dan fungsi bendanya belum dapat dilakukan pembagian
untuk mempertahankan kehormatan keluarga (harta pusaka tinggi).
d. Harta peninggalan terlalu sedikit tidak seimbang dengan para
warisnya sehingga harta peninggalan itu dititipkan pada salah satu
warisnya.
e. Adanya wasiat dari pewaris untuk menangguhkan pembagian
warisan.
f. Ada di antara para pewaris yang belum hadir dalam pertemuan yang
diadakan para waris dan belum diketahui alamatnya, sehingga
bagiannya dijadikan “gantungan” yang dititipkan kepada salah
seorang waris.
g. Adanya kesepakatan bersama para waris. Apabila ada alasan seperti
yang telah disebutkan di atas, maka penangguhan pembagian harta
peninggalan kepada ahli waris harus dilakukan meskipun salah satu
dari para waris menginginkan agar harta segera dibagi-bagi secara
individual.
Selain itu, aliran pikiran yang kongkret artinya alam pikiran tertentu
dalam pola pikiran, selalu diberi bentuk benda atau tandatanda yang
14 Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta, Pradya Paramita, 1987. hal. 34
19
kelihatan secara langsung ataupun tidak langsung. Hal ini tampak dalam
peristiwa misalnya pemberian tanah kepada anak lakilaki yang telah
dewasa sebelum si pewaris meninggal dunia atau pemberian perhiasan
kepada anak perempuan yang sudah mentas.
Sedangkan jika kita mengadakan perbandingan dengan hukum
waris menurut Hukum Islam maka akan ditemukan perbedaanperbedaan
prinsip, antara lain:
a. Harta peninggalan bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaan
pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya
sebagian yang dibagi-bagi.
b. Tidak ditentukan secara pasti bagian harta peninggalan bagi para
waris. Pembagiannya dilakukan secara bersama-sama dengan rukun
dan memperhatikan keadaan khusus.
c. Dikenal sistem penggantian waris artinya keturunan dari ahli waris
utama dapat menggantikan kedudukannya sebagai ahli waris apabila
waris utama ini meninggal dunia terlebih dahulu sebelum harta
warisan dibagikan.
d. Anak angkat berhak untuk mendapatkan harta peninggalan dari
orang tua angkat yang berupa harta dari orang tua angkat.
e. Tidak mengenal adanya hibah bagi waris yang sedianya akan
menerima bagian warisan.
f. Untuk anak perempuan tunggal khususnya di Jawa dapat mewaris
semua harta peninggalan sehingga dapat menutup hak untuk
mendapatkan harta peninggalan bagi kakek neneknya dan saudara-
saudara orang tuanya.
g. Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan,
melainkan wajib dipertahankan sifat/macam, asal dan kedudukan
hukum dari barang masing-masing yang terdapat dalam harta
peninggalan itu.
2.3 Sistem Hukum Waris
20
Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku
bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan
oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari
sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Dasar hukum
berlakunya hukum adat terdapat dalam pasal 131 I.S (Indische
Staatssregeling) ayat 2 b (Stb 1925 no .415 jo.577), termasuk juga
berlakunya hukum waris adat yaitu :
“Bagi golongan Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur Asing dan
bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan hukum
yang didasarkan atas agama dan kebiasaan mereka,…….”
Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tidak berwujud (Immatereriele Goederen) dari suatu
angkatan manusia (Generatie) kepada turunannya.
Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan
masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat
mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional
dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam
dalam tiga corak yaitu15 :
a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan
bapak dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada
kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias,
Lampung, Buru, Seram,Nusa tenggara, Irian).
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan
ibu dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada
kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano,
Timor).
c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua
orangtua, atau menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana
kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan
(Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi).
Di Indonesia faktor sistem kekerabatan mempengaruhi berlakunya
aneka hukum adat, termasuk hukum waris yang mempunyai corak
15 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat , hal.23
21
sendiri-sendiri berdasarkan masyarakat adatnya masing-masing,
demikian juga halnya hukum adat dalam masyarakat Batak Karo. Hal ini
sejalan dengan pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa “Hukum
waris adat mempunyai corak tersendiri ada didalam pikiran masyarakat
yang tradisional dengan bentuk kekerabatan sistem keturunan
keturunannya matrilineal, patrilineal, parental masih nampak
kebenarannya.”16
Dari hasil penelitian Panitia Kongres Kebudayaan Karo
dikemukakan bahwa masyarakat Batak Karo adalah termasuk
masyarakat yang masih sangat kental dan sangat menjunjung tinggi adat-
istiadatnya. Ketentuan itu semakin terlihat dari dalam mengatur sendi-
sendi kehidupan masyarakat seperti dalam hal proses perkawinan,
kelakuan dan juga dalam hal waris.
Seperti yang diketahui sejak dahulu sampai sekarang pada
masyarakat adat Batak Karo berlaku sistem keturunan dari pihak bapak
(Patrilineal) yaitu didasarkan atas dasar pertalian darah menurut garis
bapak.17 Sehingga hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena
anak perempuan dianggap telah keluar dari kerabat bapaknya, jika ia
telah kawin.
Dalam masyarakat Batak Karo, apabila seseorang anak
perempuan telah menikah maka dianggap tergolong kepada kerabat
suaminya. Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa yang meneruskan
garis keturunan dalam masyarakat Batak Karo adalah anak laki-laki saja,
sedangkan anak perempuan apabila ia telah kawin maka kekerabatannya
akan beralih kepada kerabat suaminya. Garis keturunan dalam masyakat
karo ditarik berdasarkan marga (dalam bahasa Batak Karo disebut
Merga) yang mengakibatkan timbulnya hubungan kekeluargaan yang
hidup dalam masyarakat.
Dalam hal ini masyarakat Batak karo mengenal lima jenis marga
utama yang biasa disebut dengan Merga Si Lima. Setiap anggota
masyarakat Batak karo termasuk kepada salah satu marga ini. Kelima
marga ini masing-masing mempunyai cabang atau submarga pula yaitu :
16 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat , hal.2417 Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada,2001,hal.240
22
a. Marga Karo-Karo
b. Marga Ginting
c. Marga Tarigan
d. Marga Sembiring
e. Marga Perangin-angin
Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Karo
tersebut diambil berdasarkan pertalian darah maupun dalam hubungan
perkawinan yang dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu Anak Beru,
Senina, dan Kalimbubu. Senina pada umumnya mereka yang bersaudara
karena mempunyai marga yang sama atau karena ibu mereka
bersaudara (Senina Sepemeren) atau karena isteri mereka bersaudara
(Senina Separibanen) atau karena suami mereka bersaudara (Senina
Secimbangen), Kalimbubu yaitu kelompok dari pihak yang anak
perempuannya dikawini, sedangkan Anak Beru adalah kelompok dari
pihak yang mengawini anak perempuan tersebut.
Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Batak Karo pada
umumnya melakukan proses pewarisan dengan cara memberikan harta
warisan kepada ahli waris setelah pemilik harta atau pewaris meninggal
dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu dapat terjadi
pada saat si pewaris masih hidup. Pemberian harta sesudah pewaris
meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum
waris, tetapi pemberian harta warisan sebelum pewaris meninggal dunia
(semasa hidup) adalah hal yang tidak biasa dalam hukum waris pada
umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan
dari salah satu asas atau prinsip pewarisan yaitu : “ menurut hukum adat,
harta warisan itu adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki
oleh si peninggal harta semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas
terhadap harta yang dimiliki pada saat ia mati”.
Harta pemberian merupakan harta warisan yang asalnya bukan
didapat karena jerih payah bekerja sendiri melainkan karena hubungan
cinta kasih, balas budi atau jasa atau karena sesuatu tujuan.
Bentuk-bentuk pemberian harta benda semasa hidup sebenarnya
masih banyak dilakukan di daerah-daerah adat khususnya terhadap
23
pemberian yang dilakukan oleh orang tua semasa hidupnya seperti di
daerah Tapanuli disebut Holong Ate, Indahan Arian, atau Pambaenan
yang merupakan suatu bentuk pemberian harta benda oleh orang tua
kepada anaknya. Pada masyarakat Lampung ada kemungkinan isteri
dalam perkawinan jujur mendapat pemberian barang tetap dari orang tua
atau kerabatnya disebut Tanoh Sesan atau Saba Bangunan18.
Di lingkungan masyarakat adat Daya-kendayan Kalimantan Barat
kemungkinan pemberian orang tua kepada anak, akan lebih banyak
diberikan kepada Anak Pangkalan yaitu anak yang menjamin memelihara
mengurus orang tua sampai wafatnya. Begitu pula di daerah Banten
pemberian orang tua biasanya dengan cara memberikan rumah kepada
anak wanita dan suami si wanita setelah perkawinan mengikuti si istri.
Pemberian harta benda semasa hidup tersebut tentunya
merupakan suatu bentuk fenomena sosial yang lazim terjadi di kalangan
masyarakat adat pada umumnya, khususnya dalam lingkungan
masyarakat patrilineal seperti pada masyarakat adat Batak Karo.
Dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah
hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya. Akan
tetapi anak laki-laki tidak dapat membantah pemberian harta yang
dilakukan orang tua semasa hidupnya kepada anak perempuan, demikian
juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada prinsip bahwa orang tua
(pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta benda kepada
anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang tua yang tidak
membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.
Salah satu bentuk pemberian semasa hidup ini adalah Pemere
yaitu pemberian atas tanah atau ladang dari harta pusaka. Biasanya
Pemere diberikan kepada anak yang sudah berumah tangga sebagai
harta untuk diusahainya dan sebaai tempat untuk mencari nafkah.
Pemberian harta benda semacam ini biasanya bertujuan sebagai bentuk
tanda kasih sayang dari orangtua kepada anaknya atau sebagai modal
18 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : Alumni,1977, hal.161
24
awal yang diberikan kepada si anak pada saat ingin menikah ataupun
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya19
Pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan
Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu. Kadang-kadang pemberian itu juga
dihadiri oleh penghulu (Kepala Desa) untuk menambah terangnya
pemberian tersebut.
Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan
suatu bentuk kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang
tua kepada anaknya. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak
menimbulkan permasalahan-permasalahan khususnya terhadap harta
pemberian semasa hidup tersebut. Pemberian harta yang dilakukan
semasa hidup oleh orang tua terkadang pada saat orang tua meninggal
dunia menjadi masalah diantara para ahliwarisnya khususnya bagi para
ahliwaris yang tidak mendapatkan harta pemberian dari orang tuanya.
Keadaan demikian itu tentunya tidak selaras dengan maksud dari
harta pemberian yang sesungguhnya dan juga mengakibatkan kesan
kurang baik. Tidak jarang masalah harta pemberian tersebut ditemukan
setelah orang tua meninggal dunia yang pada akhirnya menjadi sumber
sengketa diantara para ahli warisnya.
Prinsip kekerabatan masyarakat Minangkabau adalah matrilineal
descen yang mengatur hubungan kekerabatan melalui garis ibu. Dengan
prinsip ini, seorang anak akan mengambil suku ibunya. Garis turunan ini
juga mempunyai arti pada penerusan harta warisan, dimana seorang
anak akan memperoleh warisan menurut garis ibu. Warisan yang
dimaksud adalah berupa harta peninggalan yang sudah turun-temurun
menurut garis ibu. Secara lebih luas, harta warisan (pusaka) dapat
dikelompokkan dua macam, yaitu pusaka tinggi dan pusaka rendah.
Pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi dari ibu secara turun-temurun;
sedangkan pusaka rendah adalah warisan dari hasil usaha ibu dan bapak
selama mereka terikat perkawinan. Konsekwensi dari sistem pewarisan
pusaka tinggi, setiap warisan akan jatuh pada anak perempuan; anak laki-
19 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung: Refika Aditama,2005, hal.59
25
laki tidak mempunyai hak memiliki—hanya hak mengusahakan;
sedangkan anak perempuan mempunyai hak memiliki sampai diwariskan
pula kepada anaknya. Seorang laki-laki hanya boleh mengambil sebagian
dari hasil harta warisan sesuai dengan usahanya—sama sekali tidak
dapat mewariskan kepada anaknya. Kalau ia meninggal, maka harta itu
akan kembali kepada ibunya atau kepada adik perempuan dan
kemenakannya (Yunus, 1990: 39-40).
Dalam sistem kekerabatan matrilineal, satu rumah gadang dihuni
oleh satu keluarga. Rumah ini berfungsi untuk kegiatan-kegiatan adat dan
tempat tinggal. Keluarga yang mendiami rumah gadang adalah orang-
orang yang seketurunan yang dinamakan saparuik (dari satu perut) atau
setali darah menurut garis keturunan ibu. Ibu, anak laki-laki dan anak
perempuan dari ibu, saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu serta
anak-anaknya, atau cucu-cucu ibu dari anak perempuannya disebut
saparuik, karena semua mengikuti ibunya. Sedangkan ayah (suami ibu)
tidak termasuk keluarga di rumah gadang istrinya, akan tetapi menjadi
anggota keluarga dari paruik rumah gadang tempat ia dilahirkan (ibunya)
(Hajizar, 1988:46-47).
Menurut sistem matrilineal, perempuan memiliki hak penuh di
rumah gadang, dan kaum laki-laki hanya menumpang. Anak perempuan
yang berkeluarga atau kawin tinggal pada bilikbilik (kamar-kamar) rumah
gadang bersama suami mereka, sedangkan anak perempuan yang belum
dewasa tidur bersama saudara perempuan yang lain di ruang tengah.
Anak laki-laki yang sudah berumur 7 tahun disuruh belajar mengaji dan
menginap di surau. Pada dasarnya di Minangkabau, anak laki-laki sejak
kecil (usia sekolah) sudah sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang
tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok
di surausurau dan tidak lagi hidup di rumah gadang dengan ibunya (Amir,
MS, 1999:26).
Walaupun perempuan memunyai hak penuh di rumah gadang,
namun wewenang untuk memimpin dan membina, serta untuk
memelihara ketentraman hidup berumah tangga di dalam sebuah rumah
gadang dipegang oleh mamak rumah, yaitu salah seorang laki-laki dari
garis keturunan ibu saparuik yang dipilih untuk memimpin seluruh
26
keturunan saparuik tersebut. Mamak rumah itu disebut tungganai dengan
gelar Datuak sebagai gelar pusaka yang diterima dari paruiknya.
Dalam sistem matrilineal, yang berperan adalah mamak, yaitu
saudara ibu yang laki-laki. Ayah merupakan urang sumando atau orang
yang datang. Haknya atas anak sedikit karena mamak-nya yang lebih
berkuasa (Radjab, 1969:85). Perkawinan di Minangkabau tidaklah
menciptakan keluarga inti (nucleus family) yang baru. Suami atau istri
tetap menjadi anggota dari garis keturunannya masing-masing (Navis,
1984:20). Dalam kehidupan sehari-hari, orang Minangkabau sangat
terikat pada keluarga luas (exented family), terutama keluaga pihak ibu.
Keluarga pihak ayah disebut bako yang perannya sangat kecil dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, di Minangkabau tidak tampak apa
yang disebut keluarga batih yang menunjukan ayah lebih berperan,
mamak-lah yang lebih berperan. Ayah akan berperan pula sebagai
mamak terhadap kemenakannya di rumah keluarga ibunya dan saudara
perempuannya (Suwondo,1978:19-20).
Di atas telah dijelaskan mengenai sistem hukum waris
berdasarkan sistem kekerabatan, di indonesia kita dapat menjumpai tiga
sistem kewarisan dalam hukum adat, yaitu:
1. Sistem Kewarisan individual yaitu sistem kewarisan dengan
menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan
dengan cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagikan di antara para
ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di jawa, batak, sulawesi
dan lain-lain
2. Sistem kewarisan kolektif yaitu sistem kewarisan yang menentukan
bahwa para ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama-
sama (kolektif) sebab harta peninggalan yang diwarisi tersebut tidak
dapat di bagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris,
biasanya harta peninggalan tersebut berupa harta pusaka yang harta
peninggalan ini hanya boleh di bagi-bagikan pemakaiannya saja
kepada mereka (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti dalam
masyarakat matrilineal minangkabau dengan ”harta pusaka” dan
masyarakat patrilineal ambon dengan ”tanah dati”.
27
3. Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan
bahwa harta peninggalan pewaris keseluruhan atau sebagian besar
hanya diwarisi oleh seorang anak saja. Sistem mayorat ini ada dua
macam :
Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/suling atau
keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris,
misalnya terdapat di bali, lampung
Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua
merupakan ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya pada
masyarakat tanah semendo di sumsel diman terdapat hak
mayorat anak perempuan yang tertua.
Ketiga sistem kewarisan ini masing-masing tidak lantas merujuk
pada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu di mana
sistem kewarisan itu berlaku, sebab suatu sistem tersebut di
atas dapat diketemukan pula dalam berbagai bentuk susunan
masyarakat ataupun dalam satu bentuk susunan masyarakat
dapat pula di jumpai lebih dari satu sistem kewarisan dimaksud
diatas seperti pada contoh sistem kewarisan kolektif di atas.
2.4 Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Adat
Di dalam keluarga , lebih tepatnya dalam rumah tangga suami-
istri, jika suaminya telah meninggal dunia mempunyai kedudukan
istimewa , sebab jika misalkan anaknya telah tinggal terpisah semua , istri
sebagai janda tinggal sendri dalam rumah tangga yang ditinggalkan oleh
almarhum suami tersebut .
Kamar ke-III dari Raad Yustisi Jakarta memutuskan pada tanggal
26 Mei 1939 , bahwa janda tidak dapat dianggap sebagai pewaris
almarhum suaminya , akan tetapi ia berhak menerima penghasilan dari
28
harta peninggalan sang suami , yang apabila tidak dapat mencukupi ,
janda berhak untuk terus hidup sedapat-dapatnya seperti keadaan saat
perkawinan .
Harta benda keluarga , yaitu rumah tangga suami-istri , terdiri
dari : barang asal si suami , barang asal si istri dan barang gono-gini .
janda tidak akan menguasai bagian harta benda apabila suami-istri
mempunyai anak , segala harta benda akan dialihkan kepada anak ,
sedangkan anak itu wajb memelihara ibunya dengan sebaik-baiknya
Misalkan apabila anak-anak telah dewasa / mencar maka :
a. Harta peninggalan (barang asal dari pihak suami , barang asal dari
pihak istri dan barang gono-gini) di bagi-bagi antara semua anak . si
janda (ibu) berdiam pada salah seorang anaknya dan dipelihara oleh
semua anak atau cukup oleh anak yang ditumpanginya
b. Mungkin pula si janda mendapat sebagian dari harta peninggalan ,
misalnya sebuah rumah dan sebidang sawah , mungkin juga barang
yang dibagikan kepada janda itu masuk golongan barang asal
suami , sedangkan harta lainnya dibagikan ke anak-anak
c. Kemungkinan lain , ialah bahwa suami telah mewariskan sebidang
sawah yang masuk golongan barang asal suami sendiri , dan sebuah
rumah yang masuk golongan barang gono-gini kepada istri ,
sehingga setelah suami itu meninggal , sisa dari harta peninggalan
dibag-bagi antara anak-anak
Dalam ketiga macam pembagian tersebut , wujud hukum adat telah
tercapai karena janda telah terpelihara kehidupannya .
Dengan tepat Ter Haar menulis dalam bukunya : Beginselen ,
enz., halaman 210 , bahwa pangkal pikiran hukum adat ialah bahwa istri
sebagai ‘orang luar’ tidak mempunyai hak sebagai waris , akan tetapi
sebagai istri , ia berhak mendapat nafkah dari harta peninggalan , selama
ia memerlukannya . di Minangkabau misalnya yang sistem
29
kekerabatannya berdasar dari ibu (matrilineal) , istri tidak memerlukan
nafkah dari harta peninggalan suaminya
Kedudukan janda terhadap barang asal dari suaminya
Apabila barang gono-gini telah mencukupi nafkah janda , waris
dapat menuntut supaya barang asal dari eninggal harta diberikan kepada
mereka . waris itu mungkin terdiri dari anak-anak dari lain ibu , orangtua
suami yang meninggal dan sebagainya . mereka disebut juga waris
pancer .
Menurut putusan kamar ke-III dari Raad Yustisi Jakarta , tanggal
17 Mei 1940 , baran pusaka jatuh kepada silsilah ke bawah (rechte ,
nederlande linie) apabila peninggal harta tidak mempunyai anak , maka
barang pusaka kembali ke tangan silsilah famili , tempat asal barang itu .
namun jika harta gono-gini tidak mencukupi janda berhak menahan
pembagian barang asal suaminya , jikalau dan sekedar serta selama
barang asal itu sungguh diperlukan untuk mencari nafkah . hak janda
untuk menarik penghaslan dari harta peninggalan suaminya berlangsung
seumur hidup , kecuali jikalau janda itu kawin lagi . dengan perkawinan
baru itu janda melepas kedudukannya dalam rumah tangga suaminya
yang telah meninggal dunia , dan menjadi anggota rumah tangga baru .
Kedudukan janda lelaki
Di jawa kedudukan janda lelaki terhadap harta peninggalan pada
dasarnya sama dengan kedudukan janda perempuan , pada dasarnya
berlaku juga bagi kedudukan janda lelaki . ini sesuai dengan sistem
keluarga di jawa , yang berdasar turunan dari kedua belah pihak orangtua
. jadi janda lelaki juga berhak mendapat harta benda keluarga setelah
istrinya meninggal .
Dalam kenyataannya , janda lelaki pada umumnya tidak
mempunyai alasan-alasan yang begitu mendesak seperti halnya dengan
janda perempuan , untuk menahan pembagian harta peninggalan .
padaumumnya janda lelaki yang masih kat bekerja , mempunyai mata
pencaharian sendiri dan kehidupannya tidak terutama tergantung adari
30
harta peninggalan istrinya . apabila janda lelaki itu sungguh membutuhkan
nafkah dari harta peninggalan istrinya , maka ia dapat menuntut supaya
harta itu disediakan bagi kehidupannya . barang gono-gini yang tidak
dibagi-bagi , setelah salah satu dari suami-istri meninggal dunia , jadi
yang tetap dipegang oleh pihak yang masih hidup , apabila pihak tersebut
meninggal juga dan suami-istri tidak memiliki anak , jatah separuh atau
2/3 kepada famili pihak suami dan separuh atau 1/3 kepada famili pihak
istri
Kedudukan janda baik laki-laki maupun perempuan berbeda di
setiap daerah di indonesia , berikut dijabarkan beberapa contoh :
a. Kedudukan janda di daerah Jambi dan sistem pewarisannya
Pembagian warisan ini dilakukan oleh ninik mamak dari ahli waris
yang akan membagikan harta kekayaan pewaris. Pembagian warisan ini
menurut harta kekayaan tidak ada ketentuan waktu yang tepat, dapat 40
hari setelah pewaris wafat atau 100 harinya. Pembagian harta warisan ini
harus dalam keadan bersih, maksudnya bahwa harta-harta warisan ini
harus dikurangi dengan hutang-hutang pewaris yang ditinggalkannya. Bila
harta dalam keadaan bersih ini barulah dibagi-bagikan kepada ahli
warisnya. Pembagian harta warisan ini dalam masyarakat Sungai Manau
ini dipakai sistem pewarisan kombinasi antara sistem individual dengan
sistem kolektif, harta warisan yang dapat dibagi-bagikan kepada ahli
warisnya ini merupakan milik perorangan, sedangkan terhadap harta
warisan yang tak terbagi-bagikan ini merupakan milik bersama.
Mengenai pembagian warisan ini ada beberapa kemungkinan
terjadi :
1. Bila istri (ibu) yang wafat, maka pembagian warisannya adalah :
Bila suaminya kawin lagi dan tidak mempunyai anak maka suami
berhak setengah dari harta pencahariannya.
Bila suami kawin lagi dan mempunyai anak, maka suami hanya
membawa harta bawaannya sedangkan harta pencaharian
diwarisi kepada anaknya yang perempuan, maka anak
31
perempuan mewaris harta pencaharian orang tuanya dan harta
pusaka tinggi dari ibunya.
Pembagian ini dapat dilakukan diantara ahli waris bila :
Bila anak perempuan lebih dari 2 orang sedangkan anak laki-laki
hanya satu orang, maka anak laki-laki sebagai pengatur atau
mewarisi harta warisan ini terhadap ahli warisnya, maka semua
harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah (harta pencaharian)
ini diwarisi kepada kedua anak perempuannya. Pembagian
warisan ini harus adil menurut hukum adat, adil itu tidak menurut
perhitungan matematika.
Sebagai contoh : Pewaris meninggalkan harta pusaka
tinggi berupa sawah, ladang (kebun) dan harta pusaka rendah
(harta pencaharian) berupa rumah, pekarangan serta 3 ekor
ternak dan harta ringan lainnya. Pewaris meninggalkan anak 2
orang perempuan dan satu orang anak laki-laki maka harta
warisan ini diwarisi oleh kedua anak-anak perempuannya
sebagai berikut :
Harta pusaka tinggi ini, merupakan harta bersama yang
pemakaiannya secara bergantian atau bergiliran, sedangkan
harta pusaka rendah (harta pencaharian) ini dibagi-bagikan :
yang satu orang mendapat rumah dan 1 ½ ekor ternak, dan satu
orang lagi mendapat pekarangan rumah untuk mendirikan rumah
dan 1 ½ ekor ternak juga.
Sedangkan harta ringan lainnya dapat dibagikan sama
banyak dan anak laki-laki juga bisa mendapat harta warisan ini.
Sebagai pemegang hak pakai, anak perempuan ini harus
memelihara anak laki-laki, seperti kata pepatah adat mengatakan
: “Kok lapa dak dape makan, kok aus dak dape minum”,
maksudnya anak perempuan tidak menghormati anak laki-laki
(saudaranya) lagi. Bila hal ini terjadi maka anak laki-laki sebagai
pengatur dapat menarik harta warisan dan memberikan kepada
ahli waris lainnya atau anak laki-laki memanfaatkan semasa
hidupnya akan tetapi harta warisan ini tidak dapat diwarisi
kepada keturunannya.
32
Bila anak laki-laki lebih dari satu orang, maka disini timbul
persoalan, siapa yang berhak mengatur atau mengawasi harta
warisan tersebut. Sepeti pepatah adat mengatakan : “Tiap-tiap
anak berajo ke bapak, bapak berajo ke mamak, mamak berajo
ke ninik mamak, ninik mamak berajo kepada mufakat. Mufakat
berajo ke kebenaran, kebenaranlah sebenar-benarnya rajo,
karena itu rajo adil rajo disembah, rajo zalom, rajo disanggah,
menjanggah orang alim dengan kitabnya, menjanggah rajo
dengan undang-undangnya.
Ini pepatah untuk seorang pemimpin atau yang memegang
kekuasaan, arti pepatah tersebut adalah bila anak laki-laki lebih
dari satu orang maka sebagai pengatuir / penguasa harta
warisan ini adalah anak laki-laki yang benar dan adil menurut
keputusan ninik mamak.
2. Bila yang wafat suami (bapak) maka harta pembagian warisan
adalah:
a. Bila istri tidak mempunyai anak, maka harta pencaharian dibagi
dua.
b. Bila istri mempunyai anak, maka harta pencaharian ini diwarisi
kepada anak-anak yang perempuan.
c. Bila pewaris tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai cucu,
maka harta warisannya dapat diwarisi oleh ibunya, atau
saudara perempuan pewaris atau kemenakan perempuan
pewaris. Jika ibu, saudara perempuan dan kemenakan pewaris
ini masih hidup maka harta warisan ini dapat diwarisi oleh ahli
waris yang berdasarkan keputusan ninik mamak.
Sedangkan proses pewarisan ini dalam hukum waris adat
masyarakat Sungai Manau ini dapat terjadi dengan dua cara,
yaitu:
Sebelum Pewaris Wafat
Sebelum pewaris wafat, kadang-kadang pembagian warisan
itu dilakukan atau dilaksanakan sebelum pewaris wafat
dengan menunjukkan oleh pewaris kepada ahli warisnya,
33
misalnya seorang anak perempuan yang telah kawin diberikan
sawah perkarangan rumah dan beberapa perhiasan yang
dipakai sebelum melangsungkan perkawinannya dan harta ini
merupakan harta kekayaan istri, dalam hukum waris adat
masyarakat penghulu ini termasuk juga harta warisan.
Menurut Bapak Ramli (Gelaar Penghulu Sultan Bandaro) :
“Bahwa setiap anak atau keturunan pewaris pernah mendapat
harta warisan berupa barang atau benda dari pewaris
sebelum wafatnya, harta ini sebagai harta tepatan bagi istri
dan harta pembao bagi suami.
Sesudah Pewaris Wafat
Menurut hukum waris adat masyarakat Sungai Manau ini
pada dasarnya tidak ditentukan jangka waktu pembagian
harta warisan. Tetapi menurut kebijaksanaan ninik mamak
dengan para ahli waris, misalnya 40 hari atau 100 hari setelah
pewaris wafat.
Contoh Kasus :
Contoh kasus yang dimaksud dalam hal ini adalah kasus
pembagian harta warisan yang berlaku sekarang dalam
kenyataannya. Siti dan Abdullah sebagai pewaris dengan
meninggalkan empat orang anak dan harta warisan yang
berupa harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah (harta
pencaharian). Anak yang ditinggalkan itu adalah dua orang
anak perempuan dan dua orang anak laki-laki.
Setelah pewaris wafat maka harta yang ditinggalkan dibagi-
bagikan kepada ahli warisnya yaitu anaknya yang perempuan.
Harta yang ditinggalkan berupa harta pusaka tinggi, yaitu lima
petak sawah, harta pusaka rendah (harta pencaharian) ini
berupa : rumah dan pekarangannya, dua bidang kebun, lima
ekor ternak dan harta ringan lainnya.
Pembagian harta warisannya sebagai berikut :
Harta pusaka tinggi berupa sawah lima petak ini tidak
dibagi-bagikan, akan tetapi merupakan harta bersama yang
34
pemakaiannya secara bergiliran atau bergantian antara ahli
warisnya.
Sedangkan harta pusaka rendah (harta pencaharia) ini
dibagi sama banyak, dimana masing-masing ahli warisnya
mendapat : Si Upik mendapat : rumah, satu bidang kebun,
2½ ekor ternak dan harta ringan dibagi sama banyak.
Sedangkan si Minah mendapat : pekarangan rumah untuk
mendirikan rumah, satu bidang kebun, 21/2 ekor ternak
dan harta ringan lainnya.
Sedangkan anak laki-laki sebagai penguasa atau pengatur
harta warisan ini juga mendapat harta ringan dari
pewarisan seperti : pakaian atau perlengkapan ke sawah.
Sebagai penguasa atau pengatur ini dimusyawarahkan
oleh ninik mamak siapa yang berhak atas penguasaan atau
pengatur terhadap harta warisan tersebut.
b. Kedudukan janda dalam adat batak
Menurut hukum adat batak , janda bukanlah ahli waris dari
suaminya . hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa janda tidak memiliki
hubungan darah dengan suaminya , sehingga janda tidak mempunyai hak
untuk mewaris , karenayang menjadi ahli waris pada masyarakat batak
hanya anak laki-laki . anak laki-laki mempunyai kedudukan yang penting
dalam meneruskan keturunan keluarga , hal ini tentu saja dirasakan tidak
adil , karena di dalam suatu perkawinan hubungan lahir maupun bathin
antara suami dengan istrinya itu sudah sedemikian eratnya , bahkan jauh
melebihi hubungan antara suami dan para keluarga sedarahnya . oleh
karena itu kepada janda harus diberikan suatu kedudukan yang pantas
disamping kedudukan anak-anak keturunan si pewaris . didalam hukum
adat batak yang tradisional , menempatkan kedudukan suami lebih kuat
daripada istri didalam kehidupan rumah tangga
Di Indonesia terdapat 3 bentuk sistem kekerabatan , yang memberi
pengaruh terhadap kedudukan janda
35
a. Janda dalam sistem patrilineal
Masyarakat patrilineal di batak terikat pada sistem patrilineal
yang mutlak bersifat genealogis , yaitu menarik garis keturunan dari
pihak ayah . corak utama dari masyarakat patrilineal ini adalah
perkawinan dengan jujur , pemberian jujur ini oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan adalah sebagai lambang diputuskannya
hubungan kekeluargaan si istri dengan kerabatnya dan masuk ke
dalam kerabat suaminya . oleh sebab itu , sepanjang perkawinan
dengan jujur itu masih dianggapsebagai suatu peristiwa memutuskan
pertalian hubungan si istri dengan kerabatnya , maka
kedudukansetelah wafatnya suami , bahwa janda tetap merupakan
bagian dari kerabat suami , sehingga nasibnya tidak akan terlantar ,
serta tetap akan menikmati barang-barang peninggalan suaminya .
Bahkan sering terjadi janda tersebut menjadi istri dari saudara
laki-laki almarhum suaminya . di daerah lampung , jika janda tidak
memiliki keturunan , maka dapat memilih untuk kawin dengan salah
seorang saudara laki-laki dari suami atau anggota kerabat suami
yang lain sehingga tidak akan terlantar dan tetap dapat menikmati
barang-barang yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya .
b. Janda dalam sistem matrilineal
Sistem garis keturunan matrilineal adalah yang menghitung
hubungan kekerabatan melalui perempuan saja , dan hal itu
mengakibatkan tiap individu masuk dalam kerabat ibunya . di
indonesia , contoh dari masyarakat matrilineal adalah masyarakat
minangkabau . biasanya diadakan perbedaan antara harta pusaka
tinggi dan harta pusaka rendah . harta pusaka tersebut lazimnya
terbagi kedalam 4 kelas atau golongan yaitu :
harato pusako tambilang ruyuang atau harato pusako turun tamurun
harato pusako tambilang ameh
Harato pusako tambilang basi
harato pusako tambilang kaitan atau harato hibah
36
Terhadap masalah harta pusaka tinggi sudah jelas akan jatuh
kepada saudara laki-laki dan/ saudara perempuan beserta keturunan
saudara perempuan almarhum suami . sedangkan janda hanya
mendapat sebagian dari harta pusaka rendah (harta pencarian) ,
dengan ketentuan bahwa pembagian hanya dapat dilakukan setelah
dibayar terlebih dahulu hutang bersama . dalam hal ini , ada 4
kemungkinan mengenai kedudukan janda pada sistem matrilineal ini ,
yaitu :
1) Suami tidak mempunyai anak di rumah tempat ia berusaha dan
juga tidak mempunyai anak dan istri di tempat lain
2) Sehingga ahli warisnya adalah istrinya , karena harta yang
diwariskan bukan harta yang berasal dari kaum dan harta
tersebut tidak dapat dituntut olehkaum
3) Suami tidak mempunyai anak ditempat ia berusaha , tetapi
mempunyai anak dan istri di tempat lain . hal ini terjadi apabila
seorang laki-laki mempunyai 2 istri , yang tinggal di rumah
masing-masing . di salah satu rumah ia berusaha dengan istrinya
dan mempunyai anak , tetapi di rumah lain tidak . bila suami
meninggal , maka harta bersama dibagi 2 , sebagian adalah hak
bagi istri yg ikut berusaha dan sebagian lagi untuk ahli warisnya
yang dengan sendirinya diapat oleh anak-anak diluar lingkungan
tempat berusaha itu
4) Suami mempunyai anak di empat ia berusaha dan tidak
mempunyai anak atau istri di tempat lain . hal ini terjadi jika
suami anya hanya mempunyai seorang istri dan mempunyai
anak . janda berhak atas sebagian harta bersama , yang
sebagian untuk harta warisan .
c. Janda dalam sistem parental
Masyarakat jawa adalah masyarakat yang mempunyai sistem
kekerabatan parental/bilateral . yaitu setiap individu menarik garik
keturunannya keatas memlaui garis ayah dan ibu secara serentak
atau bersamaan . menurut hukum adat jawa , para ahli waris dapat
digolongkan dalam urutan sbb :
37
1. keturunan pewaris
2. orangtua pewarissaudara-saudara pewaris/keturunannya
3. orangtua dari orangtua pewaris
4. didalam urutan tersbut belum termasuk janda , walaupun pada
kenyataannya mereka adalah ahli waris uga . hal ini adalah
lanjutan dari sistem klewarisan bilateral yang menempatkan
kedudukan yang sama antara laki-laki dengan perempuan
sehingga memberi kedudukan yang sama pula terhadap janda
untuk mewarisi harta peninggalan almarhum suaminya
Jangkauan hak mewaris janda , tidak meliputi harta gowan ,
karna harta gowan akan jatuh pada anak-anak . jadi hak mearis janda
terbatas hak gono-gini yang diperoleh selama perkawinan antara
janda dengan almarhum suaminya . sehubungan dengan hak dan
kedudukan janda untuk mewaris terhadap harta bersama , hukum
adat telah menentukan tata cara penyelesaiannya , yaitu :
harta gawon kembali keasal , karna janda tidak berhak
mewarisinya , harta gono-gini , dikuasai sepenuhnya oleh janda
selama masih hidup atau selama janda belum kawin dengan laki-
laki lain . dalam hal initidak menjadi soal apakah harta gono-gini
itu kecil/besar jumlahnya . pokoknya harta gono-gini itu menjadi
hak mutlak janda untuk menguasai harta , selama dia masih
hidup atau belum kawin dengan laki-laki lain .
harta gawon kembali keasal dan harta gono-gini dibagi dua ,
sebagian menjadi hak mutlak janda , dan sebagian lagi jatuh
kepada ahli waris almarhum suami.
2.5 Kedudukan Anak dalam Hukum Waris Adat
1. Anak Kandung
Anak sah adalah anak yang dilahirkan dengan sah, artinya anak
yang lahir dari perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengertian anak kandung tidak lain adalah anak yang dikandung oleh
ibu akibat dari buah perkawinan yang sah dari ibu dan bapaknya sesuai
dengan undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974.
38
Terdapat suatu perbedaan antara suatu daerah dengan daerah
lainnya tentang para ahli waris secara umum menurut Hilman
Hadikusuma para waris ialah anak termasuk anak dalam kandungan
ibunya jika lahir hidup, tetapi tidak semua anak adalah ahli waris,
kemungkinan para waris lainnya seperti anak tiri, anak angkat, anak
piara, waris balu, waris kemenakan dan para waris pengganti seperti
cucu, ayah-ibu, kakek-kakek, waris anggota kerabat dan waris lainnya.20
Sedangkan Soerojo Wignyodipoero menyatakan bahwa anak-
anak dari sepeninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang
terpenting oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan satu-
satunya golongan ahli waris apabila si peninggal warisan meninggalkan
anak-anak.21 Namun berdasarkan sifat hukum waris adat yang unik
maka setidaknya tidak akan sama siapa-siapa yang menjadi ahli waris
dari harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris itu, dibawah ini sedikit
akan diuraikan pewaris menurut system kekerabatan:
a. Ahli waris atau para ahli waris dalam hukum waris di sistem kekerabatan
matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu,
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan
pria dalam pewarisan. Contohnya adalah minangkabau. Hukum Waris
menurut hukum adat Minangkabau merupakan masalah yang aktual
yang tidak henti-hentinya diperbincangkan dan dipersoalkan. Seperti kita
ketahui di Minangkabau sejak dahulu sampai sekarang berlaku sistem
keturunan dari pihak ibu (matrilineal), yaitu mereka berasal dari satu ibu
asal yang dihitung menurut garis ibu yakni saudara laki-laki dan saudara
perempuan, ibu dan saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun
perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun
perempuan. Dengan sendirinya, anak-anak itu hanya dapat menjadi ahli
waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi maupun untuk
harta pusaka rendah. Jika yang meninggal itu adalah seorang laki-laki
maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah ahli waris mengenai harta
pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya. Adat
Minangkabau sangat memperhatikan kaum wanita, karena kaum
20 Hilman hadikusuma, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 67. 21 Soerojo Wigbyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Mas Agung, Jakarta, 1990, hlm. 182.
39
wanitalah yang terlemah dibandingkan dengn kaum laki-laki. Sebab itu,
adat Minangkabau memberikan hak istimewa terhadap wanita, sehingga
di Minangkabau yang punya rumah gadang ialah wanita. Yang laki-laki,
mamak, bapak dan dunsanak, adalah mencari, dan semua pencarian itu
semuanya dikumpulkan pada anak kemenakan wanita. Buktinya di
Minangkabau ini kalau ada anak dua orang, satu lakilaki dan satu
perempuan, umpamanya yang perempuan namanya Fatimah dan yang
laki-laki namanya Buyung. Kalau ada di situ rumah gadang dan orang
bertanya: Itu rumah siapa? Lalu orang menjawab: bahwa itu rumah si
Fatimah. Tidak ada orang yang menyebut bahwa itu rumah si Buyung.
Kalau akan disebut juga nama laki-laki harus diberi tambahan,
umpamanya itu rumah gadang kemenakan Datuk Anu atau rumah
dunsanak si Buyung, dan sebagainya. Kalau disebut langsung nama
laki-laki, seperti itu rumah si Buyung, artinya soal lain, yaitu bahwa itu
rumah istrinya, bukan rumah adiknya. Begitulah adat Minangkabau yang
mengagungkan anak wanita.
b. Ahli waris atau para ahli waris dalam hukum waris di sistem kekerabatan
Patrilineal, taitu system keturunan yang ditarik mulai garis bapak dimana
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita
dalam pewarisan. Contohnya adalah batak. Pada masyarakat adat suku
Batak, anak perempuan tidak mewaris harta peninggalan orang tuanya,
dan harta diwaris atau jatuh kepada saudara kandung laki-laki pewaris.
Hal ini berarti bahwa nilai-nilai dan konsep budaya mengenai
perempuan dan laki-laki pada masyarakat Batak, yang mencerminkan
hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan,
menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, khususnya dalam
hal waris.
c. Ahli waris atau para ahli waris dalam hukum waris di sistem kekerabatan
Parental, yaitu system keturunan yang ditarik melalui garis orang tua
atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan
wanita tidak dibedakan dalam pewarisan. Contohnya di Jawa. Soepomo
mengatakan bahwa menurut hhukum adat tradisional di Jawa, maka
pada dasarnya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak sama
atas peninggalan orang tuanya. Hak sama itu mengandung hak untuk
40
diperlakukan sama oleh orang tuanya, didalam proses meneruskan dan
mengoprasikan harta benda keluarga.22 Artinya dimata orang tuanya
semua anak adalah ahli waris, hanya saja kemungkina jumlah bagian
antara laki-laki dan perempuan di beberapa daerah di jawa tengah tida
sama, ada juga yang memperikan bagian sama tapi ada juga yang lebih
banyak laki-laki daripada perempuan maupun sebaliknya. Ahli waris
yang pertama adalah semua anak, ditegaskan lagi oleh Soepomo dalam
bukunya, “Bab-bab tentang Hukum Adat, halaman 88,” Djojo Torto,
Jawa Tengah, hal 378, mengatakan bahwa seorang anak tidak boleh
kehilangan hak waris dalam arti bahwa ia tidak diberi bagian dari harta
benda orang tuanya, yang pantas untuk dijadikan dasar material guna
membentuk harta keluarga baru. Apa yang disebut pantas itu , harus
dipertimbangkan menurut tiap-tiap keadaan konkrit.(4
Menurut hukum waris jawa, bagian yang layak untuk anak laki-laki dan
anak wanita adalah merupakan hal yang patut dilaksanakan. Apakah
suatu warisan itu layak atau tidak maka perlu dipertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
Bahwa seorang anak, istri telah kawin dengan pantas (voordelig)
Seorang anak lain adalah insolide (cacat)
Seorang anak laki-laki yang pelajarannya telah diongkosi dan yang
diharap menyokong saudara-saudaranya
Anak yang tidak diberi apa-apa didalam pewarisan itu telah
menerima warisan dari keluarga lain.
2. Anak Tiri
Anak tiri adalah anak yang dibawa ibunya atau dibawa bapaknya
dalam perkawinan. Oleh karena itu, anak tiri tidak merupakan ahli waris
dari bapak tirinya, demikian pula anak tiri bukan ahli waris dari ibu
tirinya.
“anak tiri yang hidup bersama di satu rumah dengan ibu
kandungnya dan bapak tirinya adalah anggota rumah tangga pula.
Dalam hal demikian, ada kerja sama dan untung bersama yaitu hidup
bersama dalam rumah tangga yang membawa hak-hak dan kewajiban-
22 Soepomo, Bab-bab Hukum Adat, PT pradnya paramita, Jakarta 1989, hlm 80
41
kewajiban antara anggota yang satu dengan yang lainnya. Terhadap
ibunya atau bapaknya sendiri adalah ahli waris, sedangkan terhadap ibu
atau bapak tirinya anak itu bbukan ahli waris, akan tetapi teman
serumah tangga.23
Sekitar tahun 1937 yaitu sebelum kemerdekaan Landraad
Purworedjo yaitu tepatnya pada tanggal 14 agustus 1937, pernah
memutuskan sebagai berikut, “bahwa anak tiri tidak berhak atas warisan
bapak tirinya, ia ikut mendapat penghasilan dan bagian dari harta
peninggalan bapak tirinya yang diberikan kepada ibunya sebagai nafkah
janda.
Pada buku perdata adat jawa barat, Soepomo menulis: “di
hukum waris adat Jawa Barat, dapat dibenarkan menurut hukum, bapak
tiri memberikan sebidang tanah/sawah kepada anak tiri. Hal ini
menunjukan adanya pertalian rumah tangga (gezinsband) antara bapak
tiri dan anak tiri yang hidup bersama di satu rumah tangga.
Apa yang dikemukakan soepomo diatas memang dapat diterima
dan dimengerti karena telah merupakan budaya bangsa Indonesia,
gotong royong, tolong menolong, bantu membantu, telah membudaya.
Dapat juga anak tiri menjadi anak angkat,. Hal ini dapat terjadi apabila
anak itu diperlakukan sedemikian rupa oleh bapak atau ibu tirinya,
artinya secara lahir batin diperlakukan seolah-olah anak kandungnya
sendiri, disekolahkan, dikhitankan, dan mewakili bapak tiri maupun ibu
tirinya pada pertemuan-pertemuan reuni kekeluargaan maupun
pertemuan desa.
Mahkamah agung dalam keputusan tertanggal 10 november
1972 reg no. 637g/gip/1971, memutuskan; “anak tiri yang dikhitankan
oleh pewaris, mempunyai kedudukan sebagai anak angkat. Hilman
Hadikusuma dalam bukunya Hukum Waris Adat, menulis sebagai
berikut: di lingkungan masyarakat Lampung beradat pepaduan apabila
didalam perkawinan, dimana suami telah mempunyai anak laki-laki dan
anak perempuan, sedang istri belum mempunyai anak dan selama
perkawinan tidak dikaruniai anak, maka ada kemungkinan salah satu
dari anak suaminya dijadikan tegak-tegi dari keturunan istri dengan
23 Ibid hlm 101
42
suaminya yang telah wafat. Hal ini misalnya terjadi dalam bentuk
perkawinan levirat, dimana istri yang suaminya meninggal dikawin oleh
kakak atau adik dari suaminya yang wafat, anak laki-laki suami yang jika
dijadikan tegak-tegi dari suami yang wafat maka dengan sendirinya ia
berhak atas harta warisan suami pertama yang telah wafat dan berarti
pula berhak sebagai waris dari harta bawaan istri dan harta pencaharian
suami-istri pertama. Sebaliknya ada kemungkinan terjadi perkawinan
antara suami yang telah mempunyai istri tapi tidak punya anak dengan
istri kedua, tetapi istri kedua ini telah punya anak, sedang dengan
suaminya sekarang tidak dikaruniai anak. Dalam hal ini bisa terjadi,
salah satu anak dari istri kedua (anak bawaan), diangkat sebagai
penerus keturunan suami itu.
Dengan demikian terjadilan anak tiri menjadi ahli waris dari
bapak tiri dan ibu tiri dengan jalan pengangkatan anak atau pengakuan
anak dari bapak – ibu tiri yang bersangkutan. Dengan demikian apa
yang ditulis Hilman Hadikusuma diatas dapat dimengerti dann dipahami
karena pada masyarakat yang bersistem patrilineal seperti Lampung,
Bali, Batak, Ambon, dsb, istri karena perkawinannya masuk menjadi
keluarga suaminya, lepas dari keluarga asalnya . kalau suaminya
meningga, kemudian istri menjadi janda dan kemungkinan mempunyai
anak, adalah kewajiban dari keluarga suami untuk menjaga dan
memelihara kelangsungan hidup janda dan anak-anaknya. Kadang-
kadang dianjurkan untuk melangsungkan perkawinan levirate, artinya
saudara laki-laki almarhum suaminya apakah itu kakak atau adiknya dari
almarhum untuk bersedia mengawini jandadari almarhum saudaranya.
Hal ini tidak lain untuk mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan
janda dan anak-anaknya. Hanya saja ini merupakan anjuran bukan
keharusan.
Di Bali jarang sekali seorang wanita dalam perkawinan
membawa anak, sebab wanita tersebut akan menjadi anggota keluarga
suaminya, sedang anak yang dibawa bukan hasil dari perkawinannya
dengan suaminya yang baru. Biasanya anak tersebut dipelihara oleh
orang tua dari wanita itu. Jadi kalau janda akan menikah lagi, anaknya
daoat diserahkan pada keluarga bukan suaminya yang pertama,
43
melainkan orang tua dari wanita tersebut. Dengan demikian tidak lah
ada persoalan hukum yang terjadi antara anak tiri dengan keluarga baru
dari wanita tersebut karena sistem patrilineal di Bali nampaknya sangat
ketat dan tidak jarang urusan keluarga sering ikut campur keluarga lain.
Selain itu juga ada rasa malu kalau si janda kawin dengan membawa
anak. Sesuai dengan arti patrilineal itu sendiri, anak itu seharusnya
diserahkan pada keluarga bekas suaminy dahulu, karena anak tersebut
ada bertalian darah dengan keluarga bekas/almarhum suaminya. Di Bali
ini disebut garis kepuruse (garis kebapaan) sedang anak tiri di Bali
disebut dengan istilah “pianuk kawalan”
Di Bali tidak diperkenankan menurut hukum adatnya, yaitu perkawinan
antara;
Janda dengan anak atau tanpa anak dengan janda laki-laki
Janda perempuan dengan anak atau tanpa anak dengan jejaka
Yang diperkenankan adalah perkawinan antara:
Gadis dengan jejaka
Gadis dengan janda laki-laki
Perlu pula diingat, bahwa pada keluarga Bali pada umumnya perceraian
itu adala jarang sekali terjadi.
3. Anak Angkat
Pengertian anak angkat tak lain adalah anak orang lain yang
dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai
anak kandungnya sendiri. Dalam hukum adat dikenal adanya dua sistem
pengangkatan anak, yaitu:
a. Pengangkatan anak secara terang-terangan dan tunai, artinya
pengangkatan anak yang dilakukan secara terbuka dihadiri oleh
para anggota keluarga, pejabat desa maupun pemuka agama dan
seketika itu juga dilakukan pembayaran dengan uang adat selaku
simbol. Di Bali, selain pengangkatan anak dihadiri oleh sanak
keluarga dan pejabat desa, juga dilakukan upacara keagamaan,
44
dilakukan upacara pamit pada sunggah ( tempat persembahyangan
keluarga), pamit kepada roh para leluhur karena akan menjadi
keluarga baru dari orang yang mengangkatnya. Dengan
pengangkatan secara terang dan tunai ini, putuslah sudah hukum
kekeluargaan antara anak yang diangkat itu dengan keluarga
asalnya dan secara hukum pula anak angkat itu masuk menjadi
keluarga orang tua yang mengangkatnya. Di Bali, anak angkat
memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung, oleh karena
itu anak angkat di Bali mewarisi semua harta peninggalan orang tua
angkatnya, baik barang asal, barang barang hasil pencaharian
suami istri bahkan kalau belum ada hata pusakapun anak itu berhak
mewarisinya. Juga anak angkat itu sebagai penerus keturunan
orang tua yang mengangkatnya dan sampai saat ini di Bali yang
dapat diangkat anak adalah anak laki-laki saja.
b. Secara tidak terang dan tidak tunai. Artinya pengangkatan anak
yang dilakukan secara diam-diam, tanpa mengundang keluarga
seluruhnya, biasanya dipilih diantara keluarga orang-orang tertentu
saja yang termasuk sesepuh-sesepuh, tidak diundang pemuka
agama maupun pejabat desa dan tidak pula dengan pembayaran
uang adat. Hal ini biasanya bermotif hanya atas dasar
perikemanusiaan, ingin membantu suami istri yang dalam keadaan
ekonomi lemah dan banyak anak , meringankan biaya kehidupan
anak-anaknya dengan jalan diambil anak oleh pasangan suami istri
yang kebetulan punya perekonomian yang agak kuat. Oleh karena
itu pengangkatan anak semacam ini tidak memutuskan hubungan
hukum antara orang tua asal anak itu dengan anak yang diangkat
oleh orang lain.
Motif dari pengangkatan anak semacam ini hanyalah adanya belas
kasihan semata. Oleh karena antara anak angkat tersebut tidak
putus hubungan hukumnya dengan orang tua asalnya dan ada
hubungan hukum dengan orang tua yang mengangkatnya, maka
anak angkat tersebut dapat mewarisi dari orang tua angkatnya juga
tetap mewarisi dari orang tua asalnya, hanya saja barang-barang
45
atau benda yang dapat diwarisi dari orang tua angkatnya terbatas
pada harta pencaharian bersama (jawa, gono-gini)
Pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan tidak terang
dan tidak tunai pada perkembangan sekarang ini nampaknya
cenderung kearah pemutusan hubungan hukum antara anak angkat
dengan orang tua yang mengangkat.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh pengadilan negeri Banyumas
yang dilakukan pada tahun 1981, di kecamatan Sumbang
kabupaten Banyumas mengenai anak angkat ini adalah sebagai
berikut:
Di daerah ini dikenal adanya kebiasaan mengangkat anak. Kata-
kata yang lazim dipakai untuk menyebutkan anak angkat adalah
anak pupon.
Caranya mengangkat anak ini ialah dengan adanya persetujuan
kedua orang tua kandung anak maupun orang tua yang akan
mengangkat anak tersebut. Setelah itu baru ke Balai Desa untuk
disaksikan kepala desa, selanjutnya oleh kepala desa dibuatkan
surat pernyataan/perjanjian pengangkatan anak tersebut, yang
mana setelah itu disarankan agar supaya surat perjanjian
pengangkatan anak tersebut diserahkan oleh pengadilan negeri.
Mengenai pengesahan oleh pengadilan negeri untuk desa
karangturi sudah sejak 1965, untuk desa susukan sejak tahun 1960
Pada umumnya baik laki-laki maupun anak perempuan dapat
dijadikan anak angkat
Pada umumnya dapat mengangkat lebih dari seorang
Di daerah ini belum pernah terjadi orang yang belum kawin
mengangkat anak
Dalam hal pengangkatan anak, orang yang mau mengangkat anak
harus ada persetujuan dari orang tua si anak, tidak perlu meminta
dari keluarganya sendiri.
Anak yang diangkat biasanya umur 7 tahun kebawah. Di desa
susukan bahkan pernah terjadi anak yang dijadikan anak angkat
sudah berumah tangga, dimana surat perjanjian pengukuhan anak
46
tersebut disahkan oleh pengadilan negeri banyumas pada tahun
1970.
Alasan untuk mengangkat umumnya antara suami istri selama
dalam perkawinannya tidak mempunyai keturunan
Disini tidak dikenal anak pungut
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh pengadilan negeri
Banyumas tersebut, jelas kiranya dengan anjuran pengesahan surat
perjanjian pengangkatan anak ke pengadilan, sangat erat kaitanya
dengan kepastian status hukum dari anak angkat tersebut. Dalam
perkembangan masa sekarang ini memang hal ini sangant
diperlukan, karena sering timbulnya masalah untuk anak angkat
setelah orang tua yang mengangkatnya nantinya meninggal dunia,
khususnya yang berkaitan dengan kewarisan.
4. Anak di Luar Nikah
Anak adalah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita baik anak
sah maupun anak diluar perkawinan, hasil hubungannya dengan
seorang laki-laki baik itu sebagai suaminya atau tidak. Setelah dibahas
mengenai anak kandung, anak angkat dan anak tiri kali ini akan dibahas
mengenai anak yang lahir di luar pernikahan. Anak yang lahir di luar
pernikahan ialah anak yang lahir dari seorang wanita yang tidak
mempunyai suami atau anak yang mempunyai bapak dan ibu yang tidak
terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah. Tentang anak diluar
kawin itu ada 2 jenis yaitu:
a. Anak yang lahir dari ayah dan ibu antara orang-orang mana tidak
terdapat larangan untuk kawin.
b. Anak yang lahir dari ayah dan ibu yang dilarang untuk kawin karena
sebab-sebab yang ditentukan oleh undangundang atau jika salah
satu dari ayah ibu di dalam perkawinan dengan orang lain.
47
Proses terjadinya anak luar kawin dapat dikategorikan sebagai berikut:24
1. Anak dari hubungan ibu sebelum terjadinya pernikahan. Jika
dua orang dari 2 jenis kelamin yang berbeda, kedua-duanya
tidak terikat perkawinan dengan orang lain mengadakan
hubungan badan dan mengakibatkan seorang perempuan
hamil, kemudian melahirkan seorang anak dan ada sebagian
darah dari seorang anak laki-laki dan seorang perempuan
yang menghasilkan anak tersebut yang tercampur dalam diri
anak yang bersangkutan. Padahal antara keduanya belum
terikat tali perkawinan yang sah,maka anak tersebut adalah
anak luar kawin.
2. Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dari suaminya.
Apabila seorang wanita mengadakan hubungan badan
dengan bekas suaminya atau seorang laki-laki lain dan
mengakibatkan wanita itu hamil kemudian melahirkan seorang
anak, maka :
Kelahiran anak itu apabila terjadi belum lama dari masa
perceraian dengan suaminya maka anak tersebut masih
dianggap anak dari bekas suaminya itu, dan
Apabila Kelahiran anak tersebut lama setelah masa
perceraian ibunya dengan ayahnya, maka anak tersebut
dapat dinamakan anak luar kawin.
c. Anak dari kandungan ibu karena berbuat zina dengan orang lain.
Apabila seorang istri melahirkan seorang anak karena mengadakan
hubungan badan dengan seorang laki-laki lain bukan suaminya,
maka suaminya itu menjadi bapak dari anak yang dilahirkan
tersebut. Kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan yang
dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak, anak yang dilahirkan
oleh istrinya karena berbuat zina. Adapun alasannya ialah :
Suami tidak bisa menjalankan kewajibannya memenuhi kebutuhan
biologis istrinya, misalnya impotensi.
24 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 100
48
Dapat dibuktikan oleh suaminya baik karena pengakuan pria yang
melakukan zina dengan istrinya ataupun oleh istrinya sendiri atau
oleh masyarakat.
d. Anak dari kandungan ibu yang tidak diketahui siapa ayahnya.
Apabila seorang perempuan mengadakan hubungan badan dengan
lebih dari seorang laki-laki atau mengadakan hubungan badan
dengan berganti-ganti pasangan dan mengakibatkan seorang
perempuan itu hamil, kemudian melahirkan seorang anak, dan
jelaslah di sini bahwa anak tersebut tidak diketahui siapa ayahnya,
karena ibunya telah mengadakan hubungan badan dengan
berganti-ganti pasangan yang tidak terlibat tali perkawinan yang
sah.
e. Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan sah jika dua
orang dari 2 (dua) jenis kelamin yang berbeda, kedua-duanya tidak
terikat tali perkawinan dengan orang lain mengadakan hubungan
badan dan mengakibatkan seorang perempuan hamil kemudian
melahirkan seorang anak dan ada sebagian darah dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan yang hubungannya menghasilkan
anak tersebut, yang tercampur dalam diri anak yang bersangkutan.
Padahal antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
kedua-duanya tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain dan
kedua pasangan tersebut telah hidup didalam kehidupan rumah
tangga. Padahal antara keduanya belum terikat tali perkawinan
yang sah.
Pada umumnya menurut hukum adat anak yang lahir dari
perkawinan ayah dan ibunya yang tidak sah, maka tidak berhak sebagai
ahli waris dari orang tuanya. Anak yang tidak sah itu hanya mewaris dari
ibu atau kerabat ibunya.
Di daerah Jawa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah
adalah anak kowar, anak ini hanya dapat mewaris dari ibunya atau
keluarga ibunya. Walaupun demikian apabila kemudian ibunya setelah
anak itu lahir kawin dengan lelaki yang membenih anak tersebut dan
anak itu tinggal bersama ayah kandungnya itu, si anak tetap tidak dapat
49
mewaris dari bapaknya. Begitu pula anak yang lahir dari ayah ibunya
yang kemudian cerai kemudian rujuk kembali secara diam-diam tanpa
dilakukan di hadapan pejabat negara atau agama, ia tetap anak kowar
dan tidak bersah sebagai ahli waris. Anak Luar Kawin yang tidak layak
menjadi ahli waris apabila :25
Jika oleh hakim ia dihukum karena membunuh pewaris, jadi wajib
ada putusan hakim yang menghukumnya.
Jika ia secara paksa mencegah kemauan pewaris untuk membuat
wasiat.
Jika ia melenyapkan atau memalsu surat wasiat dari pewaris.
Melanggar ketentuan adat yang berlaku bagi pewaris.
Di beberapa daerah menganggap wanita yang melahirkan anak
itu sebagai ibu anak yang bersangkutan, jadi biasa seperti kejadian
normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinan yang sah.
Tetapi di beberapa daerah lain ada pendapat yang wajib mencela keras
si ibu yang tidak kawin beserta anaknya, bahkan mereka lazimnya
dibuang dari persekutuan. Untuk mencegah nasib si ibu dan anaknya
yang malang ini, terdapat suatu tindakan adat yang memaksa pria yang
bersangkutan untuk kawin dengan wanita yang telah melahirkan anak
itu. Di samping kawin paksa tersebut di atas, adat mengenal usaha yang
lain yaitu dengan cara mengawinkan wanita yang sedang hamil itu
dengan salah seorang laki-laki lain. Maksudnya supaya anak dapat lahir
dalam perkawinan yang sah. Cara ini banyak dijumpai di desa-desa
Jawa, disebut nikah tambelan. Tetapi meskipun telah dilakukan upaya-
upaya adat seperti tersebut di atas, semuanya itu toh tidak dapat
menghilangkan perasaan dan pandangan tidak baik terhadap anak yang
dilahirkan itu. Anak demikian ini di Jawa disebut “anak haram jadah”10.
Istilah anak haram jadah biasanya banyak digunakan dalam daerah-
daerah pedesaan seperti di desa Agung Mulyo, Kecamatan Juwana
Kabupaten Pati.
25 Oemarsalim, Dasar-dasar hukum waris di Indonesia,Rineka Cipta,1991,halaman 141.
50
2.6 Harta Waris
Harta Peninggalan yang Tidak Dapat Dibagi-bagi
Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini, berdasarkan
atas alasannya tidak dibagi-bagi, dapat dibeda-bedakan sebagai berikut:
a. Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk tidak dibagi-
bagi (misalnya barang-barang milik kerabat atau famili).
b. Karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu
tempat /jabatan tertentu (cntohnya barang-barang keramat kasepuhan
Cirebon seluruhnya tetap jatuh pada ahli waris yang menjadi sultan
sepuh serta barang-barang itu tetap dsimpan di keraton Kasepuhan).
c. Karena belum bebas dari kekuasaan persekutuan hukum yang
bersangkutan, seperti tanah kasikepan di daerah Cirebon
d. Karena pembagiannya untuk sementara ditunda, seperti banyak
dijumpai di daerah Cirebon, seperti banyak dijumpai di Jawa, misalnya
terdapat anak-anak yang ditinggalkan masih dewasa, maka demi
kepentingan janda beserta anak-anaknya supaya tetap mendapat
nafkah untuk hidup terus harta peninggalan tidak dibagi-bagi. Dan tiap
tuntutan untuk membagi-bagi dari ahli waris yang menurut hakim akan
mengakibatkan terlantarnya janda beserta anak-anak tersebut selalu
akan ditolak oleh hakim.
e. Karena hanya diwaris oleh seorang saja (sistem kewarisan
mayorat), sehingga tidak perlu dibagi-bagi
Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini di beberapa
lingkungan hukum adat disebabkan karena sifatnya memang tidak
memberi kemungkina untuk tidak memiliki barang itu bersama-sama,
dengan ahli waris lain-lainnya, sebab harta dimaksud merupakan
kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi atau barang itu merupakan
lambang persatuan serta kesatuan daripada keluarga yang
bersangkutan
Sebagai contoh daripada harta peninggalan semacam ini dapat disebut:
a. Harta pusaka
51
b. Tanah dati di semenanjung Hitu (Ambon).
Tiap anak yang lahir dalam keluarga itu turut serta menjadi pemilik,
sedangkan tiap-tiap suami atau istri yang meninggal dunia selalu
membiarkan saja barang-barang itu dalam keadaan yang semula. Harta
pusaka karena sifatnya tidak mungkin dibagi-bagi menimbulkan adanya
sistem kewarisan kolektif
Harta pusaka di Minangkabau
Sifat kekeluargaan di Minangkabau yang matriarchaal ini
memperlihatkan adanya barang-barang keluarga seprti tanah pertanian,
pekarangan dengan rumah dan ternak, perkebunan, keris, dan lain
sebagainya, yang merupakan harta pusaka milik suatu keluarga.
Barang-barang demikian ini hanya dapat dipakai saja “genggam
bauntuiq” oleh segenap warga keluarga yang bersangkutan, tetapi tidak
boleh dimiliki oleh mereka itu masing-masing. Oleh para anggota
keluarga tersebut hanya memiliki hak pakai saja, maka meninggalnya
seorang anggota tidak mempunyai akibat sedikitpun terhadap hubungan
hukum antara para anggota keluarga dimaksud yang masih hidup
dengan harta pusaka yang bersangkutan. Tetapi wafatnya seorang
anggota malahan menambah harta pusaka yang bersangkutan dengan
barang-barang yang diperoleh orang yang wafat itu (harta pencaharian)
setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang si wafat tersebut.
Misalnya di daerah Minangkabau ini ada seorang isteri yang mempunyai
milik perorangan sebidang sawah meninggal dunia, maka sawah ini
memjadi harta pusaka dari anak-anak kandungnya; harta pusaka ini
dinamakan “harta pusaka dalam generasi pertama” juga disebut harta
saka atau “harta pusaka rendah”.
Tetapi barang-barang pencarian seorang suami, yang di daerah Minang
ini tidak menjadi anggota keluarga isterinya, apabila ia wafat masuk
menjadi menjadi harta pusaka keluarga si suami itu sendiri, jadi
tegasnya menjadi harta pusaka saudara-saudaranya sekandung beserta
52
anak-anak keturunan dari saudara-saudara perempuan, serta
merupakan “harta pusaka rendah” mereka.
Disamping harta pusaka rendah ini dikenal juga adanya harta pusaka
tinggi, yaitu harta-harta yang telah turun temurun dalam beberapa
keturunan (generasi), semula milik nenek-nenek yang turut serta
membangun nagari yang bersangkutan. Harta pusaka yang tinggi ini
tetap menjadi milik kerabat serta dikuasai ole pengulu andiko atau
mamak kepada ahli waris.
Dengan demikian, maka harta pusaka itu mempunyai tingkatan yang
sesuai dengan tingkatan-tingkatan keluarga, artinya sebagai berikut:
a. Harta pusaka tinggi dikuasai oleh keluarga yang lebih besar atau
kerabat (Ter Haar menyebutnya familie) yang dipimpin oleh seorang
pengulu andiko
b. “harta pusaka rendah” dikuasai oleh keluarga yang lebih kecil,
yang terdiri atas isteri dan anak-anaknya, atau suami dengan saudara-
saudaranya sekandung beserta keturunan saudaranya perempuan yang
sekandung.
Ada kalanya suatu kerabat menjadi terlau besar jumlah anggotanya.
Dalam hal ini ada kemungkinan kerabat itu dipecah menjadi dua dan
dengan ini harta pusaka yang dimiliki kerabat itu dipecah juga menjadi
dua; peristiwa demikian ini disebut “gadang manyimpan.”
Sebaliknya dapat juga terjadi, yaitu suatu kerabat menjadi habis, punah
atau guntung (Minang) karena tidak terdapat lagi orang-orang
keturunannya. Dalam hal ini harta pusaka jatuh ke tangan famili yang
terdekat, artinya mempunyai hubungan kekeluargaan yang terdekat
dengan famili yang punah itu; kalau famili yang terdekat itu juga tidak
ada, maka harta pusaka menjadi milik persekutuan hukum yang
bersangkutan.
Tetapi juga di daerah Minangkabau ini nampak dengan jelas adanya
suatu perubahan dalam perkembangan sosialnya yang menunjukkan
gejala umum yang memperlihatkan hubungan kekeluargaan somah
(suami isteri dan anak-anak makin lama makin mendapatkan tempat
yang lebih penting sehingga kekuasaan serta pengaruh kerabat dengan
53
sendirinya makin hari makin menjadi kurang. Sudah barang tentu
pergeseran tersebut diatas membawa akibat dan pengaruh yang penting
sekali dalam kedudukan harta pencarian di daerah Minangkabau,
khususnya harta pencarian suami. Harta pencarian suami yang semula
menurut hukum adat tidak diwaris oelh anak-anaknya tetapi oleh
saudara-daudara sekandungnya sebagai harta pusaka, maka dengan
pergeseran tersebut diatas menjadi milik somah dan kemudian akan
diwaris oleh anak-anaknya sendiri.26
Pada umumnya pergeseran dimaksud membawa perubahan yang
prinsipal dalam hukum adat waris di daerah ini. Semula dapat dikatakan,
bahwa di daerah Minangkabau ini tidak ada hukum waris antara orang-
orang perorangan, antara individu dengan individu; yang ada ialah
hukum waris antara beberapa keluarga. Tetapi sekarang setelah ada
pergeseran dimaksud nampak timbulnya hukum waris perseorangan
terhadap harta pencaharian.27
Tanah-dati di semenanjung Hitu (Ambon)
Sifat kekeluaargaan di daerah ini adalah patriarchaal. Tanah-
tanah yang didapat seorang secara membeli atau membuka hutan,
lama-lama menjadi miliknya keluarga dan kemudian menjadi miliknya
famili keturunan pemilik semula. Jadi sepeninggalnya pemilik semula
tanah-tanah dengan tanamannya tetap tinggal tidak dibagi-bagi.28
Seperti halnya tanah pusaka di Minangkabau, maka tanah dati
ini, apabila dati (kerabat) yang menguasai tanah itu lenyap (habis
karena tiada keturunannya lagi), maka tanah itu jattuh ke tangan dati
yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang terdekat.29
Van Vollenhoven meragu-ragukan, apakah tanah dati ini
merupakan tanah milik kerabat, ataukah hanya pembagiannya diantara
para ahli waris saja yang ditangguhkan agak lama. Kalau hanya terjadi
26 “adatrechtbundel XI” hal 14727 Van vollenhoven dalam “het adatrecht van Ned. Indie” jilid I hal 26328 Mr. F.D. Holleman : “Adat Grondenrecht Ambon van Ned. Indie” jilid I hal 263.
29 Ter Haar: “beginselen........dan seterusnya” halaman 199.
54
pertangguhan saja dari pembagian tanah itu, maka sekiranya akan
mudahlah timbulnya di Ambon pula hukum waris perorangan terhadap
tanah.30
Selain dua contoh tersebut diatas, dalam masyarakat Indonesia
sesungguhnya memang lazim adanya harta peninggalan yang tetap
tinggal tidak dibagi-bagi.
Seperti di Minahasa, barang kelakeran adalah juga milik famili
yang juga tidak boleh dibagi-bagi, keciali jikalau semua anggota famili
yang berhak menghendaki serta menyetujui barang itu dibagi-bagi.
Di Minahasa terdapat juga suatu bidang tanah yang selalu
dipertahankan menjadi milik bersama famili, yaitu yang disebut tanah
wawakes un teranak. Tanah demikian ini menjadi fungsi sebagai tanda
pengikat yang riil terhadap tali kekeluargaan famili. Di samping itu tanah
demikian ini lazimnya merupakan sejengkal tanah yang kurang artinya
apabila akan dibagi-bagi merata diantara para ahli waris.
Penggunaan serta penguasaan tanah yang demikian ini kadang-
kadang dilakukan secara bergilir diantara para ahli waris, kadang-
kadang dipercayakan kepada salah seorang ahli waris.
Hasilnya, apabila tidak ada ketentuan yang ditetapkan bersama
olh para ahli waris, di pungut serta dipakai oelh waris yang memelihara
tanah tersebut; ahli waris ahli waris lainnya tidak berhak menuntut atas
bagiannya terhadap hasil tanah dimaksud.
Ad.b dan ad.c ini akan dibicarakan dalam masalah harta
kekayaan keluarga yang merupakan harta peninggalan. Perikasa no. 7
di bawah ini. Ad.d. karena pembagiannya memang sengaja untuk
sementara ditunda.
Ada pula harta peninggalan yang tidak dibagi-bagi bukan karena
harta itu tidak dapat dibagi-bagi, melainkan karena pembagiannya
memang untuk sementara ditangguhkan.
Hal yang demikian ini dapat dijumpai di daerah-daerah yang
memiliki sifat kekeluargaan parental, seperti misalnya di Jawa.
30 Van Vollenhoven: “het adatrecht” jilid I hal 413
55
Pertangguhan pembagian harta peninggalan disini pada
pokoknya berdasar atas kebutuhan menegakkan langsung hidupnya
atau somah yang terdiri atas suami-isteri dan anak-anak.
Kalau suami atau isteri meninggal dunia, maka dirasakan
keinginan agar keluarga sesomah ini dapat tetap hidup terus dari harta
kekayaan yang ada seperti halnya sebelum peristiwa kematian itu
terjadi. Jadi harta peninggalan tersebut menjadi dasar materiil bagi
kehidupan janda beserta anak-anaknya yang belum mentas, belum
dewasa, belum cukup umur. Selama dan sekedar harta tersebut masih
diperlukan guna kehidupan janda beserta anak-anaknya yang belum
dewasa yang masih tetap tinggal serumah dengannya, maka selama itu
pula pertangguhan pembagian harta peninggalan dibenarkan dan tiap
penuntutan untuk membagi-bagi harta tersebut aan ditolak.31
Ini menimbulkan sistem kewarisan mayorat, seperti yang
dijumpai di Bali, yaitu semua harta peninggalan jatuh kepada anak laki-
laki yang tertua dengan ketentuan, bahwa ia sebagai ganti bapaknya,
wajib memelihara saudara-saudaranya hingga ia mentas. Hal semacam
di dapat pula di Lampung dan anak laki-laki tersebut di daerah tersebut
disebut penyimbang. Kalau di daerah Sumatera selatan sistem
kewarisan mayrat juga, yang menerima sejumlah bagian pokok dari
harta peninggalan yang mencakup semua jenis barang yang ada pada
harta peninggalan, adalah anak perempuan yang tertua yang di daerah
ini disebut tunggu tubang.
Hanya disini seorang tungu tubang itu menguasai harta
peninggalan tadi di bawah pengawasan anak laki-laki yang tertua yang
di daerah ini disebut payung jurai
Fungsi dari harta peninggalan yang tidak dibagi-bagi ini adalah
semacam tempat perlindungan bagi semua anak.
Sama dengan kedudukan tunggu tubang di Sumatera selatan ini
adalah anak pangkalan pada suku Landa Dayak dan suku Tayan Dayak
di Kalimantan.
31 Ter Haar: “beginselen........dan seterusnya” halaman 202
56
HARTA KEKAYAAN KELUARGA YANG MERUPAKAN HARTA
PENINGGALAN
Harta peninggalan keluarga tidak merupakan suatu kumpulan ataupu
kesatuan harta benda yang semacam dan seasal.
Oleh karena itu maka pelaksanaan pembagiannya kepada para ahli
waris yang berkepentingan tidak dapat begitu saja dilakukan melainkan
wajib diperhatikan sepenuhnya sifat (macam), asal dan kedudukan
hukum daripada barang-barang itu masing-masing. Dan sekarang
tergantung daripada sifat (macam), asak dan kedudukan hukum dari
barang-barang yang ditinggalkan itu, apakah atau bagaimanakah
kekuasaan atas barang-barang itu akan beralih kepada para ahli waris
atau beberapa orang dari mereka.
Disamping perbedaan sifat tersebut diatas, menurut kedudukan
hukumnya d dalam harta peninggalan itu terdapat barang-barang yang
masih terikat oleh kerabat atau famili (barang asal); ada barang yang
termasuk barang pusaka yang keramat; ada barang somah atau
keluarga; barang-barang yang belum beres dari hak pertuanan ataupun
hak ulayat desa.
Barang-barang tersebut dikuasai oleh peraturan-peraturan tersendiri
yang mengatur cara pengoperannya. Peraturan tersendiri yang tentang
mengatur pengoperan itu, tidak hanya berhubungan dengan kedudukan
hukum daripada barang-barang itu saja, melainkan juga oleh karena
perbedaan wujudnya “feitelijke gesteldheid”.
Perlu kiranya diperhatikan juga, bahwasanya harta peninggalan itu tidak
selamanya terdiri atas bagian-bagian yang menguntungkan para ahli
waris saja, tetapi kadang-kadang terdapat pula bagian-bagian yang
merupakan beban kepada ahli waris, yaitu hutang-piutang dari yang
meninggal dunia yang masih belum dilunasi.
Barang-barang keramat atau barang-barang famili
Barang-barang ini biasanya dibawa ke dalam harta kekayaan
keluarga oleh isteri atau suami sebagai barang asal yang diperolehnya
57
secara warisan dari orang tuanya dan orang tuanya ini memperoleh
barang-barang itu dulu juga secara warisan dan begitu seterusnya;
pokoknya barang-barang itu sudah turun-temurun menjadi barang
warisan.
Apabila peninggal warisan tidak mempunyai anak, maka barang-
barang famili demikian, kembali lagi kepada famili yang bersangkutan,
artinya barang asal dari famili suami kembali kepada famili suami dan
barang asal dari famili isteri kembali kepada famili isteri.
Adapun maksud dari ketentuan ini adalah agar supaya barang-
barang itu tetap menjadi harta milik famili yang bersangkutan dan tidak
hilang, artinya berpindh menjadi milik famili lain.
Kalau ada anak, maka barang-barang dimaksud akan diwarisi
oleh anak-anak tersebut.
Barang-barang pusaka yang keramat
Barang-barang pusaka yang keramat seperti keris, tumbak,
rencong dan lain sebagainya yang dapat dianggap membawa
kebahagiaan kepada keluarga, tidak boleh disamakan dengan barang-
barang biasa rumah tangga lain-lainnya.
Barang-barang keramat ini kadang-kadang terikat kepada kualitas
yang memegangnya, misalnya barang-barang keramat dari keraton
kasepuhan di Cirebon akan tetap selalu diwaris oleh yang akan
mengganti jadi sultan sepuh.
Demikian juga halnya dengan nama, misalnya nama-nama
Hamengkubuwono, Paku Alam, Pakubuwono dan Mangkunegoro, tetap
selalu akan diwaris oleh yang kemudian akan dinobatkan dalam
kedudukan tersebut.
Barang-barang somah atau barang-barang keluarga
Hubungan kekeluargaan di dalam somah (suami-isteri dan anak-
anak) menyebabkan adanya perbedaan hak mewaris terhadap barang
58
barang somah bagi anak-anak dari perkawinan pertama, bagi anak-anak
dari perkawinan kedua,ketiga, dan seterusnya.
Anak-anak dari perkawinan pertama berhak mewariskan barang-
barang yang diperoleh dalam masa perkawinan pertama, sedangkan
anak-anak dari perkawinan kedua tidak mempunyai hak itu. Ketentuan
inilah yang menyebabkan orang-orang dari Sulawesi selatan (Muna)
berkata “barang-barang somah yang satu tidak boleh berpindah ke
somah yang lain”.
Di Jawa kesulitan-kesulitan yang timbul karena seseorang yang
kawin beberapa kali, lazimnya diatasi dengan jalan menghibahkan
barang-barang yang bersangkutan semasa hidupnya.
Apabila anak-anak dari perkawinan pertama sudah kawin dan
mencar, artinya sudah meninggalkan rumah orang tua dan berdiri
sendiri, sehingga tidak lagi merupakan warga somah yang kemudian
tersusun, karena perkawinan kedua, maka mereka tidak berhak lagi
untuk mendapat bagian dari barang-barang yang diperoleh semasa
perkawinan yang kedua asalkan mereka telah menerima bagiannya
menurut haknya atas barang-barang keluarga yang diperoleh semasa
perkawinan yang pertama. Tetapi mereka masih berhak atas barang
asal bapaknya.
Barang-barang yang belum bebas dari hak pertuanan, hak ulayat
desa
Seperti sawah “kasikepan” di yang tidak bebas dari hak
pertuanan itu, apabila pemegangnya meninggal dunia, maka sawah itu
tidak boleh jatuh kepada orang yang:
a. Bukan warga desa yang bersangkutan
b. Tidak bertempat tinggal di desa di dalam daerah mana sawah
kasikepan dimaksud terletak
c. Telah memiliki sawah kasikepan yang lain
Peninggal sawah kasikepan ini hanya diperbolehkan
mengoperkan sawah itu kepada anak yang tetap tinggal di desanya
dengan persetujuan rapat desa.
59
Barang-barang dengan wujud tertentu
Pengaturan sendiri yang mengatur tentang pengoperan barang
dengan wujud tertentu ini “feitelijke bepalde goederen” bukan peraturan
yang melarang atau mewajibkan, melainkan merupakan suatu ajuran
yang seberapa boleh supaya diturut.
Di Aceh misalnya, pekarangan yang menjadi tempat kediaman
orang tua, pada waktu mereka meninggal dunia, seberapa boleh
“bikworkeur” beralih kepada anak perempuan yang tertua, sedangkan di
Tapanuli pada suku Batak, seberapa boleh justru kepada anak laki-laki
yang tertua atau yang termuda.
Hutang-hutang
Terhadap peninggalan yang merupakan beban ini terdapat
kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut:
Di daerah-daerah Tapanuli (suku Batak), Kalimantan (Suku
Dayak), dan di pulau Bali misalnya, para ahli waris wajib membayar
utang pewaris, asal saja penagih hutang memberitahukan haknya
kepada para ahli waris tersebut dalam waktu 40 hari sesudah pewaris
meninggal atau pada waktu nyekah (di Bali), yaitu selamatan bagi si
mati.
Di daerah Gianyar di Pulau Bali rupa-rupanya hutang-hutnag
sepeninggal warisan hanya beralih dar orang tua kepada anak-anaknya
dan dari suami kepada isteri atau sebaliknnya dan tidak kepada lain-lain
warga keluarganya.32
Di jawa, orang menganggap bahwa hanya hrta peninggalan
pewaris dapat dipergunakan untuk membayar utangnya, sehingga harta
itu tidak boleh dibagi-bagi dulu, sebelum hutang pewaris di bayar dari
harta tersebut. Menurut adat apa yang pada hakikatnya beralih tangan
yang meninggla kepada para ahli warisnya itu ialah barang-barang
32 Dr VE Korn: “het adatrecht van Bali” halaman 519
60
tingglan atau keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan
pembayaran hutang-hutang dan pembayaran-pembayaran lain
(misalnya biaya kubur).
Dalam hukum adat pembagian warisan tidak selalu ditangguhkan
sampai semua hutang pewaris dibayar. Setelah para ahli waris
menerima bagiannya, mereka dapat ditegur oleh para kreditur untuk
membayar utang si peninggal warisan. Dan dikebanyakan daerah di
Indonesia terutama di Jawa, utang-utang ini harus dibayar oleh para ahli
waris sekedar mereka itu menerima bagian harta peninggalan serta
kewajiban mereka membayar itu adalah sepadan dengan jumlah yang
diterima oleh mereka masing-masing.33
Jikalau harta peninggalan itu tidak mencukupi maka para ahli waris tidak
dapat dituntut untuk membayar kekurangannya.34
Putusan Lanraad Purwerejo tgl 23 Maret 1938 di T. 148 halaman 320
berbunyi, bahwa ahli waris bertanggung jawab atas hutang pewaris,
sekedar harta warisannya mencukupi.
Menurut Djojodigueno-Tirtawinata khususnya di Jawa Tengah seringkali
para ahli waris membayar juga kekurangannya dengan maksud agar
supaya tidak memberatkan si mati di dunia akhirat.35
Biaya mengubur mayat (khusus untuk Bali = biaya membakar
mayat)
Biaya untuk menyelenggarakan upacara mayat serta
menguburnya (membakarnya, mengabeni mayat di Bali) memang bukan
termasuk bagian daripada harta peninggalan. Malahan harta yang
masuk menjadi harta peninggalan harus dipakai terutama sekali untuk
membiayai penyelenggaraan upacara mayat beserta penguburan atau
pembakarannya.36
33 Ter Haar : “beginselen en stelsel........dan seterusnya” hal 21734 prof. Soepomo “bab-bab tentang hukum adat” hal 8835 Djojodigueno Tirtawinata “adatprivatrecht van Middle Java” hal 401
36 prof Soepomo “adatprivatrecht van west java” hal 101
61
Kewajiban untuk menyelenggarakan upacara mayat serta
menguburnya itu adalah demikian pentingnya, sehingga seorang waris
dengan tanpa sepengetahuan waris-waris yang lain, boleh menjual
sesuatu bagian dari harta peninggalan untuk membiayai penguburan si
mati.37
Dengan sendirinya pengeluaran itu harus diselenggarakan dalam batas-
batas yang patut.
Pembayaran hutang untuk keperluan ongkos mayat harus didahulukan,
jika ditagih oleh kreditur. Sebelum harta peninggalan itu dibagi-bagi,
maka biaya mayat wajib dibayar lebih dahulu.
Kewajiban mengubur adalah demikian pentingnya sehingga, jika
seorang yang bukan waris yang mengerjakannya, maka ia berhak untuk
mengambil sebagian dari harta peninggalan si mati sebagai ganti biaya
yang dikeluarkannya.38
Harta peninggalan seoran g yang tidak mempunya ahli waris dapat
diberikan kepada orang yang menyelenggarakan penguburannya.39
Selamatan-selamatan untuk arwah yang meninggal pada umumnya
diselenggarakan oleh para ahli waris atas biaya sendiri yang tidak
diperhitungkan pada waktu pembagian harta peninggalan di kemudian
hari. Selamatan-selamatan yang demikian ini diadakan pada hari
meninggalnya pewaris surtanah dan seterusnya pada hari ke-3, ke-7,
ke-40, dan ke-100 sesudah meninggalnya si pewaris. Malahan di Jawa
Tengah dan Jawa Timur juga satu tahun, dua tahun dan seribu hari
sesudah pewaris meninggal dunia. Selamatan-selamatan ini disebut
wilujengan.
Hutang guna membiayai selamatan tersebut tidak bersifat hutang yang
harus dibayar lebih dahulu.40
37 putusan Lanraad purweredjo tanggal 5 April 1935 Indisch tidhrift van het recht 146 hal.
151
38 putusan Lanraad purweredjo tanggal 14 Juni 1937 T 146 hal 15139 Djojodigueno Tirtawinata “adatprivatrecht van Middle Java” hal 397-398
40 prof. Soepomo “bab-bab tentang hukum adat” hal 88
62
Ongkos-ongkos guna menyelenggarakan selamatan-selamatan ini tidak
termasuk biaya upacara mayat dan biaya penguburannya.
Penyelenggaraan selametan-selametan ini terserah kepada para ahli
waris sendiri, apakah akan diadakan secara besar atau lengkap rowa
atau secara seperlunya ringkes, sehingga dapat menekan ongkos-
ongkos pengeluarannya sampai sekecil-kecilnya. Apabila
diselenggarakan secara seperlunya, maka lazimnya upacara itu disebut
kenduren.41
Setelah semua hutang-hutang pewaris dilunasi dari harta peninggalan,
maka jika masih ada sisanya, biaya selamatan tersebut dapat pula
diambilkan dari sisa harta peninggalan itu.
2.7 PEWARISAN DAN HIBAH WASIAT
Mewariskan semasa hidup, yang berakibat pengalihan dengan
seketika barang-barang dari harta benda orang tua kepada waris (dalam
bahasa Jaw, disebut : marisake, di Sulawesi Tengah disebut:
papassang), adalah berlainan daripada wekasan, welingan atau hibat
wasiyat, yaitu pengalihan yang baru akan berlaku setelah orang tua
meninggal dunia.
Maksud hibat wasiat, ialah terutama untuk mewajibkan para waris
untuk membagi-bagi harta warisan dengan cara yang layak menurut
anggapan pewaris. Maksud kedua, ialah untuk mencegah perselisihan.
Selain daripada itu, dengan hibat wasiat itu pewaris menyatakan secara
mengikat (binded) sifat-sifat barang harta yang ditinggalkan, seperti:
barang pusaka, barang yang dipegang dengan hak sende (gadai),
barang yang disewa dan sebagainya
Kadang-kadang hibat wasiat itu ditulis oleh notaris dan disebut
testamen. Meskipun hibat wasiat itu berbentuk akta notaris, sah atau
tidaknya isi hibat wasiat itu dikuasai oleh hukum adat material. Misalnya
41 Djojodigueno Tirtawinata “adatprivatrecht van Middle Java” hal 399
63
tidak akan sah suatu pemberian sebuah sawah kasikepan kepada
seorang waris yang bukan teman sedesa.
Dengan jalan pewarisan atau hibat wasiat, pewaris dapat
menentukan bagaimana harta bendanya kelak akan dibagi-bagi diantara
anak-anaknya.
Pewarisan atau hibat wasiat dapat mengenai hanya sebagian atau
beberapa bagian yang tertentu dari harta peninggalan, misalnya
mengenai sawah ini dan sawah itu, dapat hanya untuk salah satu atau
beberapa anak atau untuk istri.
Pewarisan atau hibat yang hanya mengenai satu atau beberapa
barang dari harta benda dan yang hanya untuk satu atau beberapa anak
atau untuk istri, berarti bahwa bagaimanapun caranya harta peninggalan
kelak akan dibagi-bagi, barang –barang yang telah diwariskan atau
diwasiatkan itu akan tetap tinggal di tangan anak atau istri yang
menerimanya.42
Mungkin juga pewarisan atau hibat wasiat mengenai seluruh harta
benda orang tua. Hal itu berarti pembagian harta benda seluruhnya oleh
peninggal harta sendiri. Hal tersebut seringkali diperbuat oleh seorang
yang akan pergi naik haji.
Pewarisan dan hibat wasiat mempunyai dua corak:
a. Mereka yang menerima barang-barang harta itu adalah ahli waris,
yaitu istri dan anak-anak. Oleh sebab itu pewarisan atau hibat
wasiat hanya merupakan perpindahan (verschuiving) harta benda
di dalam lingkungan ahli waris.43
b. Orang tua yang mewariskan itu, meskipun terikat oleh peraturan,
bahwa semua anak harus mendapat bagian yang layak, sehingga
tidak diperbolehkan melenyapkan hak waris seorang anak, adalah
bebas di dalam menetapkan barang-barang manakah yang akan
diterimakan kepada anak A dan barang-barang mana kepada anak
42 Soepomo, Jawa Barat, hlm 11743 Teer Haar, Beginselen enz, hlm. 204
64
B, atau kepada istri. Lagi pula pewarisan atau hibat wasiat
mempunyai fungsi lain, yaitu:
c. Mengadakan koreksi, dimana perlu, terhadap hukum waris
abintestato menurut peraturan-peraturan trdisional atau agama,
yang dianggap tidak memuaskan lagi oleh pewaris.44
Di tanah batak misalnya, peraturan adat yang hanya memberikan
hak waris kepada anak-anak lelaki, dapat di “koreksi” dengan adanya
kebiasaan, bahwa seorang bapak mewariskan sawah atau kerbau
kepada anak perempuan yang kawin (saba bangunan, pauseang,
indahan arian). Di minangkabau, peraturan adat yang berbunyi, bahwa
harta peninggalan seseorang akan diwarisi oleh keturunan dari pihak
ibunya di dalam praktek di “koreksi” dengan adanya kebiasaan, bahwa
seorang bapak mewariskan sebagian atau seluruh harta pencariannya
kepada anak-anaknya. Di jawa terdapat kebiasaan, bahwa orang tua
mewariskan sebagian dari harta bendanya kepada anak angkat,
sehingga anak angkat itu terjamin bagiannya, jika di kemudian hari harta
peninggalan itu dibagi-bagi menurut hukum islam.3)
2.8 Proses Pembagian Warisan
A. Pendahuluan
Proses pembagian warisan di Indonesia tentu berbeda – beda di
setiap daerahnya, hal ini menyangkut adanya perbedaan diantara warga
nya baik itu di dalam hal budaya, suku, dan ras nya. Ini lah yang
menyebabkan semua proses pembagian warisan di indonesia pun ikut
berbeda dengan yang lainnya. Di sini kita akan membahas segala bentuk
proses pembagian warisan di indonesia yang seperti dikatakan tadi
sangat berbeda beda di setiap daerahnya.
44 Ibid hlm 205
65
Warisan di beberapa daerah di Indonesia juga masih terpengaruh
oleh proses pewarisan yang dilakukan oleh hukum islam, dikarenakan
mayoritas penduduk Indonesia yang memeluk agama islam. Tapi tentu
saja masih ada yang mempertahankan adatnya dalam hal apa pun
termasuk itu dalam hal pembagian warisannya. Oleh karena itu mari kita
perhatikan secara seksama hal ini.
B. Pembagian Warisan Menurut Islam
Hukum45 waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah
mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur
hubungan kekerabatannya, bahkan merombak sistem pemilikan
masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka.
Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak
diperkenankan memiliki harta benda --kecuali wanita dari kalangan elite--
bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.
Islam merinci dan menjelaskan --melalui Al-Qur'an Al-Karim--
bagian tiap-tiap ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam
masyarakat. Meskipun demikian, sampai kini persoalan pembagian harta
waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga.
Ternyata, disamping karena keserakahan dan ketamakan manusianya,
kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli waris akan
hakikat waris dan cara pembagiannya.
Kekurangpedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang
tidak kita pungkiri, bahkan Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya:
"Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid.
Atas dasar itulah kami terpacu untuk menerbitkan buku Pembagian
Waris menurut Islam. Mudah-mudahan apa yang kami persembahkan
kepada pembaca menjadi suatu amal kebajikan dan menjadi bukti
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ayat – Ayat Tentang Pewarisan
45 Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam bukunya yang berjudul “Pembagian Waris Menurut Islam” diterjemahkan oleh A.M.Basamalah.
66
Berikut ini merupakan ayat – ayat atau firman allah yang
menjelaskan tentang pembagian warisan dalam islam :
ALLAH SWT berfirman
"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.
Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal
itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa':
11)
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
67
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun." (an-Nisa': 12)
Dua firman Ini menjadi Penjelasan dalam proses pewarisan yang
menjadi patokkan atau dapat diikuti oleh para kaum muslim di seluruh
dunia baik yang berada di Indonesia juga.
Waris Menurut Pandangan Islam
Syariat46 Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang
sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta
bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang
legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan
seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh
kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum
yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang
pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan
nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami,
kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah
atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan
penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan
yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat
sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit
sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci,
kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan
salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di
samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi
individu maupun kelompok masyarakat.
46 Muhammad Ali Ash-Shabuni Dalam Bukunya “Proses Pembagian Warisan dalam Islam”
68
Bentuk – Bentuk Waris di Dalam Islam
1. Hak waris secara faradh (yang telah ditentukan bagiannya).
2. Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
3. Hak waris secara tambahan.
4. Hak waris secara pertalian rahim.
Sebab - sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua,
anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i)
antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau
tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi
sebab untuk mendapatkan hak waris.
3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga
wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah
kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka
dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan
berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang
yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan
kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu
Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap
budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris
yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena
adanya tali pernikahan.
Rukun Waris:
Rukun waris ada tiga:
69
1) Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya
berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
2) Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau
menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan
kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3) Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
a) Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun
secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
b) Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris
meninggal dunia.
c) Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian
masing-masing.
Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki
ataupun secara hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan
diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau
vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui
lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang
keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim
memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.
Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun
keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk
mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak
dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia meninggal.
70
Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada
ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang
yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak
saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan
yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu
meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta
yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan
fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam
suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para
fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat
saling mewarisi.
Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti,
misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi
mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada
masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan
jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang
adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia
sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu.
Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak
menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena
'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan
(mahjub), serta ada yang tidak terhalang
71
C. Proses Pembagian Warisan Adat
Pembagian dalam Hukum Waris Adat pada sistem Patrilineal yang
mencari nafkah adalah istri sendiri, sementara yang berhak atas harta itu
adalah suami. Dimanakah letak keadilannya? Padahal tujuan hukum
adalah untuk menciptakan keadilan.
Sistem patrilineal merupakan sistem keturunan yang ditarik dari
garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan wanita didalam pewarisan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa
tidak adil untuk pembagian harta pencaharian hasil istri sendiri, karna
pada dasarnya bagi masyarakat adat yang menganut sistem patrilineal ini
hal tersebut sudah dikatakan adil. Disini hukum tidak mempersulit
masyarakatnya, apabila dengan hukum adat ada keluarga yang merasa
tidak adil tentunya dapat dimusyawarahkan dengan anggota keluarga
yang lain karna bisa digunakan juga hukum waris barat atau dengan
hukum waris Islam untuk masyarakat yang beragama Islam.
Janda bukan merupakan ahli waris dalam hukum adat
Pada umumnya di Indonesia apabila pewaris wafat meninggalkan
istri dan anak-anak, maka harta warisan, terutama harta bersama suami
istri yang didapat sebagai harta pencaharian selama perkawinan dapat
dikuasai oleh janda almarhum pewaris untuk kepentingan berkelanjutan
hidup anak-anak dan janda yang ditinggalkan.
Pada intinya dimasyarakat patrilineal, matrilineal, maupun parental
ini hampir sama, yaitu janda bisa menjadi penguasa harta warisan
suaminya yang telah wafat. Disini janda memang bukan merupakan ahli
waris, karna sudah ada pembagian yang sudah diatur dalam sistem
tersebut. Janda hanya memiliki hak untuk menguasai dan menikmati harta
warisan selama hidupnya. Akan tetapi, apabila janda tersebut sudah tua
dan anak-anaknya sudah dewasa dan sudah berumah tangga, maka harta
tersebut akan dialihkan kepada anak-anaknya.
Dalam hukum waris adat tidak mengenal asaz Legitieme Portie,
lalu bagaimana pembagiannya?
72
Pembagian hukum waris adat dengan hukum waris barat berbeda.
Disini hukum waris barart mengenal adanya azas Legitieme Portie, yaitu
bagian minimum dari warisan yang dijamin oleh undang-undang sebagai
ahli waris tertentu.
Sedangkan untuk pembagian dalam hukum waris adat tidak
mengenal azas Legitieme Portie. Pembagiannya sebagai berikut:
1) Sistem Patrilineal
Istri sebagai pewaris: tidak ada ahli waris
Suami sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki, tetapi pada
daerah tertentu yang ahli warisnya adalah anak tertua (Bali,
Lampung yang beradat kepadaan, Teluk Yosudarso, dan
Jayapura).
2) Sistem Matrilineal
Istri sebagai pewaris: ahli warisnya anak perempuan
Suami sebagai pewaris: ahli warisnya saudara perempuan
suami.
3) Sistem Parental atau Bilateral
Istri sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki dan anak
perempuan
Suami sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki dan anak
perempuan
Pengkhususan
73
Untuk daerah Gresik, Madura, Tuban apabila yang menjadi
pewaris istri atau suami, maka ahli warisnya anak laki-laki : anak
perempuan= 2 : 1
Untuk daerah Sidoarjo dan Malang, ahli warisnya anak laki-laki :
anak perempuan= 1 : 1
Untuk daerah Jawa apabila yang menjadi pewaris suami, maka
yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, dan apabila yang
menjadi ahli waris istri, maka yang menjadi ahli waris adalah anak
perempuan.
Contoh konkrit tentang hak kebendaan
Hak kebendaan merupakan harta warisan, apabila pewaris
tidak meninggalkan harta warisan bewujud benda, tetapi
kemungkinan harta warisan tidak berwujud benda. Disini biasanya
berupa hak-hak kebendaan, seperti hak pakai, hak tagihan (hutang
piutang) dan atau hak-hak lainnya. Sesuai dengan sistem yang
ada, hak-hak kebendaan yang terbagi-bagi pewarisnya dan ada
yang tidak terbagi-bagi. Hak pakai dimungkinkan terhadap harta
warisan yang seharusnya dibagi-bagi kepada waris tetapi karna
keadaannya tidak atau belum terbagi.
Apabila terjadi perkawinan antara sistem keturunan yang
satu dan yang lain dapat berlaku campuran atau berganti-ganti
diantara sistem patrilineal dan matrilineal alternerend. Akan tetapi,
sebenarnya hal tersebut dapat dilakukan secara musyawarah
dalam keluarga karna pada dasarnya pembagian warisan tidak
hanya dapat ditempuh dengan hukum waris adat
Proses pewarisan menurut hukum waris adat, dikala pewaris masih
74
hidup dapat berjalan dengan cara penerusan atau pengalihan,
penunjukan dan atau dengan cara berpesan, berwasiat,
beramanat. Ketika pewaris telah wafat berlaku penguasaan yang
dilakukan oleh anak tertentu, oleh anggota keluarga atau kepala
kerabat, sedangkan cara pembagian dapat berlaku pembagian
ditangguhkan. Hukum waris adat tidak mengenal cara pembagian
dengan perhitungan matematika, tetapi didasarkan atas
pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan waris
bersangkutan.
Agama Islam menggariskan maksud dan tujuan pewarisan tidak
saja untuk kepentingan kehidupan individual para ahli waris tetapi
juga berfungsi sosial untuk memperhatikan kepentingan anggota
kerabat, tetangga yang yatim dan miskin. Proses pewarisan dalam
hukum Islam sudah ditentukan dalam Al-Quran dan juga telah
dicantumkan dalam kompilasi hukum Islam. Jadi proses pewarisan
dalam hukum islam dapat dilakuakn berdasarkan ketentuan Al-
Quran dan kompilasi hukum Islam atau dengan wasiat secara
tertulis ataupun lisan.
Dalam hukum waris barat/BW cara pewarisan berdasarkan
ab intetato dan testament, cara mewaris dalam ab intestato
bedasarkan undang-undang, yaitu mewaris karna haknya,
kedudukannya sendiri dan karna penggantian tempat. Sedangkan
pewaris yang berdasarkan testament, yaitu pewarisan berdasarkan
suatu akta yang memuat pernyuataan seseorang tentang apa yang
dikhendaki agar terjadi setelah ia meninggal dunia, dan olehnya
dapat dicabut kembali. Jadi proses pewarisan dalam hukum waris
barat atau BW dapat didasarkan pada ketentuan yang telah diatur
dalam BW atau dengan wasiat yang dituangkan dalam surat
wasiat.
D. Pembagian Warisan Menurut Adat Batak
75
Bangsa Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya. Letak
geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan perbedaan
kebudayaan yang mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku masyarakat.
Kita dapat melihat hal ini pada suku-suku yang terdapat di Indonesia.
Salah satu contohnya adalah suku Batak. Suku batak terbagi lagi menjadi
beberapa bagian yaitu batak toba, batak simalungun, batak karo, batak
pakpak dan batak mandailing. Dalam hal ini Saya mengambil pembahasan
tentang batak toba.
Masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah dataran tinggi
Batak bagian Utara merupakan suatu suku yang terdapat di provinsi
Sumatera Utara. Dalam masyarakat Batak Toba, dibagi lagi dalam suatu
komunitas seperti sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang
didiami. Seperti wilayah Silindung yang di dalamnya masuk daerah di
lembah Silindung yaitu Tarutung, Sipahutar, Pangaribuan, Garoga dan
Pahae. Daerah Humbang diantaranya Dolok Sanggul, Onan Ganjang,
Lintong Ni huta, Pakkat dan sekitarnya. Sementara Toba meliputi Balige,
Porsea, Samosir, Parsoburan dan Huta Julu.
Dari ketiga daerah Batak Toba tersebut, juga memiliki perbedaan
dalam hal adat – istiadat juga, diantaranya perbedaan dalam tata adat
perkawinan, pemakaman juga dalam pembagian warisan. Dan dalam adat
– istiadat juga ada beberapa daerah yang sangat patuh terhadap dalam
adat atau dengan kata lain adat – istiadat nya sangat kuat, itu dikarenakan
daerah dan keadaan daerah yang masih menjunjung tinggi sistem adat-
istiadat. Daerah yang sangat menjunjung tinggi adat – istiadat tersebut
adalah masyarakat daerah Humbang dan daerah Toba. Masyarakat ini
biasanya selalu mempertahankan kehidupan dari budaya dan adat –
istiadat mereka.
Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang
Patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga
yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat
dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau
laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum
76
wanita. Namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah. Apalagi
pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita
dan pria terutama dalam hal pendidikan.
Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan
adalah anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian
dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan
mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk
anak laki – laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan
tersebut ada kekhususan yaitu anak laki – laki yang paling kecil atau
dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan warisan
yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian
harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan
dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional
kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan
proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada
anak – anak nya dalam pembagian harta warisan.
Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur
dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun
besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat
bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam
keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang
lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian
warisannya.
Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak
anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat,
harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang
tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang
mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak
dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun –
temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-
temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan.
77
Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di
sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal
pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh:
Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari
Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat
Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat – istiadatnya lebih
terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak
perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam
mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu
berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua
dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua anak laki – laki nya. Anak
siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampong halaman
nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus
ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka
itu Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan)
Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka
hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak
perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam
hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan
tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si
pewaris sampai mereka berkeluarga.
Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak
lagi banyak dilakukan oleh masyarakat batak. Khususnya yang sudah
merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata
nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya
persamaan gender dan persamaan hak antara laki – laki dan perempuan
maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini
sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan.
Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau
daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti di atas. Beberapa
hal positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku
Batak Toba yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya,
78
hubungan kekerabatan dalam suku batak tidak akan pernah putus karena
adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan keluarga
tersebut. Dimana pun orang batak berada adat istiadat (partuturan) tidak
akan pernah hilang. Bagi orang tua dalam suku batak anak sangatlah
penting untuk diperjuangkan terutama dalam hal Pendidikan. Karena Ilmu
pengetahuan adalah harta warisan yang tidak bisa di hilangkan atau
ditiadakan. Dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan maka seseorang
akan mendapat harta yang melimpah dan mendapat kedudukan yang
lebih baik dikehidupan nya nanti.
E. Adat Istiadat Ranah Minang
Dalam adat istiadat dan khazanah Ranahminang yang memiliki
filosofi Adat basandi Syarat dan Syarak basandi Kitabullah hasil dari
konsensus di Puncak Pato di Daerah Lintau antra kaum adat dan agama.
Menyatakan secara jelas dan gamblang bahwa Adat minangkabau yang
melanggar aturan harus tunduk dan patuh. Maka pada saat itu dimulailah
proses penghilangan adat istiadat yang bertentangan dengan sengenap
Ajaran Islam secara doktrin, ajaran dan bukan budaya hidup orang Arab.
Dalam adat istiadat Ranahminang dibagi dua jenis Pusaka atau
harta kaum (suku) ranah minang. Pertama Pusaka tinggi dan pusaka
rendah. Pusaka tinggi adalah harta yang pengelolaannya diwariskan
secara turun temurun kepada wanita atau bundo kanduang. Sedangkan
harta pusaka rendah, diwariskan sebagai hak suku yang pengelolaannya
oleh warga suku sepengetahuan datuak atau niniak mamak. Jika ada
kelasahan mohon diluruskan.
Pusaka tinggi dalam adat minangkabau berupa, ada mata air,
kolam, sawah, parak (kebun) dan juga pandam pekuburan dan juga
sebuah rumah gadang. Perolehan harta ini berawal dari pembukaan lahan
oleh suatu suku di sebuah perkampungan baru untuk di didiami anak
keturunan. Sedangkan harta pusaka rendah adalah tanah suku yang
merupakan tempat berladang bagi anggota kaum yang memiliki batas-
batas tertentu.
79
Ketentuan pembagian harta pusaka tinggi dan pusaka rendah tidak
boleh dilakukan jual beli, namun boleh digadaikan dengan alasan,
Pertama. Seorang gadis yang tidak laku (atau telah perawan tua) dan
belum memiliki suami, maka sebagian dari harta pusaka boleh di gadaikan
untuk keperluan menikahkan sang gadis. Kedua. Ketika mait (orang
meninggal) terletak dirumah dan tidak ada biaya untuk
menyelenggarakannya.
Hal ini berdasarkan kepada:
Harta tersebut adalah harta bersama yang awalnya telah diberikan
sebagai harta bersama untuk anak keturunan yang diwarikan
berdasarkan anak perempuan dan sebagai harta wak kelola, dan
bukan harta kepemilikan pribadi. Harta kepemilikan bersama atas
nama satu kaum dan orang banyak tidak dapat dibagi secara
hukum Islam. Pembagian waris hanya dapat dilakukan untuk harta
milik perorangan dari pencarian halal dan benar secara Islam.
Harta pusaka tinggi adalah harta yang memiliki hukum qiyas
wakaf yang peruntukannya telah ditentukan oleh oleh beberapa
generasi sebelumnya. Kepemilikan tidak ada pada orang
perorang, namun hak pengelolaannya telah ditentukan.
Harta pusaka tinggi, bukanlah pencarian dari Ayah dan Ibu atau
kakek dan nenek. Maka tiada hukum waris berlaku atas hal
tersebut. Secara ushul fiqih ini masuk dalam ihtihsan dan urf.
Dimana di dalamnya terdapat kebaikan dan adat istiadat yang
tidak bertentangan dengan Islam.
Manfaat dari belakukanya Pusaka Tinggi di ranah minang adalah:
Terpeliharanya kaum suku minangkabau, khusus perempuan
dari terbuang dari kampungnya sendiri. Ketika ia cerai dengan
suami, atau tidak memiliki kekuatan ekonomi maka tanah
pusaka dapat menopang ekonomi dan tidak menjadikan hina.
80
Terpeliharanya tanah kaum muslimin, hal ini tidak beralih
kepada selain muslim. Tiada penguasaan mutlak atas
seseorang dengan luas tanah yang berjuta hektar. Hal ini
menghilangkan monopoli sumber ekonomi utama yakni tanah.
Hal ini mengacu pada ijtihat Umar bin Khattab dalam
mengembalikan tanah rampasan perang di Irak dan Iran
kepada penduduk dan mewajibkan membayar Kharaj dan
Jizyah atas jaminan keamanan.
Terpelihara sistem kekerabatan dan juga silaturrahmi diantara
kaum suku di ranahminang. Dimana setiap peralihan dan juga
alih fungsi memerlukan musyawarah bersama antara Datuak
(kepala kaum) niniak mamak dan juga bundo kanduang (pihak
ibu)
2.9 Fakta Indonesia Belum Memiliki Undang-undang Nasional Hukum
Waris Adat
Berbicara mengenai Hukum Waris Adat, ada baiknya terlebih
dahulu memahami pengertiannya sebagai pegangan / pedoman untuk
dapat melangkah kepada pembahasan selanjutnya. Hukum Waris Adat
81
yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum
waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana
harta warisan itu dialihkan pengusaha dan pemiliknya dari pewaris
kepada waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan
harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Ter Haar ,
1950 ; 197 menyatakan : “ Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum
yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusab dan
peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari
generasi pada generasi “.
Supomo , 1967 ; 72 menyatakan : “ Hukum adat waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengopor
barang-barang harta benda dan barangbarang yang tidak berwujud
benda ( Immateriele Geoderen ) dari suatu angkatan manusia ( Generatio
) kepada turunannya “. Dengan demikian hukum waris itu menurut
ketentuan-ketentuan yang mengatur cara meneruskan dan pearlihan cara
kekayaan ( berwujud atau tidak berwujud ) dari pewaris kepada ahli
warisnya. Cara penerusan dan peralihana harta kekayaan ini dapat
berlaku sejak pewaris maish hidup atau setelah meninggal dunia. Hal
inilah yang membedakan antara hukum waris barat ( KUH Perdata ) .
Tata cara pengalihan atau penerusan harta kekayaan pewaris kepada ahli
waris menurut hukum adat dapat terjadi penunjukan, penyerahan
kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris
kepada ahli waris. Kemudian didalam hukum waris adat dikenal beberapa
prinsip ( azas umum ) , diantaranya adalah sebagai berikut : “ Jika
pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun , maka warisan ini
dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris
ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka .
kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun , maka warisan itu
jatuh pada ayah , nenek dan seterusnya keatas . Kalau ini juga tidak ada
yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan
mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping , dengan
pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang
jauh”.
82
“ Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan
seseorang itu langsung dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris
meninggal dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya
ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak
tetap merukan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya “ .
“ Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat ( Plaats
Vervulling ). Artinya seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka
tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia
tadi ( cucu dari sipeninggal harta ) Dan bagaimana dari cucu ini adalah
sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang
diterimanya “ .
“ Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak ( adopsi ), dimana
hak da kedudukan juga bisa seperti anak sendiri ( Kandung ) “. ( Datuk
Usman, 1992: 157-160)
Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut
hukum adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan waktu harta
warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu
pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya . Menurut adat
kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan
setelah upacara sedekeh atau selamatan yang disebut tujuh hari , empat
puluh hari , seratus hari , atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab
pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul. Kalau harta
warisan akan dibagi , maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan
antara lain :
“Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari pewaris ) atau Anak
laki-laki tertua atau perempuan
“Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur , adil dan bijaksana
“Anggota kerabat tetangga , pemuka masyarakat adat atau
pemukaagama yang minta , ditunjuk dan dipilih oleh para ahli waris “.
( Hilman Hadikusuma, 1993: 104 –105)
Apabila terjadi konflik ( perselisihan ) , setelah orang tua yang
maish hidup , anak lelaki atau perempuan tertua , serta anggota keluarga
tidak dapat menyelesaikannya walaupun telah dilakukan secara
musyawarah / mufakat maka masalah ini baru diminta bantuan dan
83
campur tangan pengetua adat atau pemuka agama. Hukum adat tidak
mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika ( angka ) ,
tetapi selalu didasarkan atau pertimbangan mengingat wujud banda dan
kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi walau hukum waris adat
mengenal azas kesamaan hak, tidak berarti bahwa setiap ahli waris akan
mendapat bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga
yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah ditentukan.
Tatacara pembagian itu ada 2 ( dua ) kemungkinan yaitu :
1. Dengan cara segendong sepikul Artinya bagian anak lelaki dua kali
lipat bagian anak perempuan. Atau
2. Dengan cara Dum Dum kupat Artinya dengan anak lelaki dan bagian
anak perempuan seimbang (sama) “. ( Ibid, Halaman, 106 )
Kebanyakan yang berlaku adalah yang pembagian berimbang
sama diantara semua anak. Demikianlah corak dan sifat-sifat tersendiri
yang khas Indonesia yang berbeda dengan Hukum Islam . Ini semua
setelah dari latar belakang alam fikiran bangsa indonesia yang
berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhinika Tunggal Ika ,
yang didasarkan pada kehidupan bersama , bersifar tolong menolong
guna mewujudkan kerukunan , keselarasan dan kedamaian. Untuk
membandungkan antara hukum waris adat dengan hukum kewarisan
Islam : Dibawah ini dapat dilihat beberapa perbedaan antara lain :
a. Harta warisan menurut hukum waris adat yang tidak merupakan
kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan
yang tidak dibagi atau dapat dibagi menurut jenis dan macamnya dan
kepentingan para ahli waris. Harta warisa adat tidak boleh dijual
segabai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada
ahli waris menurut ketentuan yang berlaku
b. Didalam hukum waris Islam , harta peninggalan pewaris langsung
dibagibagi
kepada sesama ahli waris yang tidak berhak berdasarkan
hukum faraidh.
c. Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan
penguasaan dan pemiliknya kepada para ahli waris dan ada yang
84
dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para
ahli waris , tidak boleh dimiliki secara perorangan, tetapi dapat
dipakai dan dinikmati . Kemudian dia dapat digadaikan jika keadaan
sangat mendesak berdasarkan persetujuan para pengetua adat dan
para anggota kerabat bersangkutan . Bahkan harta warisan yang
terbagi , kalau akan dialihkan ( dijual oleh para ahli waris kepada
orang lain harus dimintakan pendapat antara para anggota kerabat,
agar tidak melanggar hak ketetanggaan dala kerukunan kekerabatan.
d. Hukum waris adat tidak mengenal azas “ Legitieme Portie “ atau
bagian mutlak
e. Hukum kewarisan Islam telah menetapkan hak-hak dan bagian para
ahli waris atas harta peninggalan pewaris sebagaimana yang telah
dtentukan Al – Qur ‘ an Surah Annisa
f. Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk
sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada ahli
waris . Jika ahli waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan ,
sedangkan ia berhak mendapat warisan , maka ia dapat saja
mengajukan permintaan untuk dapat cara bermusyawarah dan
mufakat para ahli waris lainnya.
Hukum Waris Barat
Berbicara mengenai hukum waris barat yang dimaksud adalah
sebagaimana diatur dalam KUH Perdata ( BW ) yang menganut sistem
individual , dimana harta peninggalan pewaris yang telah wafat diadakan
pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku kepada warga negara Indonesia
keturunan asing seperti eropah, cina , bahkan keturunan arab & lainnya
yang tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya.
Sampai saat ini , aturan tentang hukum waris barat tetap
dipertahankan , walaupun beberapa peraturan yang terdapat di dalam
KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi , seperti hukum perkawainan
menurut BW telah dicabut dengan berlakunya UU No. 1 / 1974 , tentang
perkawinan yang secara unifikasi berlaku bagi semua warga negara. Hal
ini dapat dilihat pada bab XIV ketentuan penutup pasal 66 UU No. 1 /
1974 yang menyatakan : Untuk perkawinan & segala sesuatu yang
85
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas UU ini, maka dengan
berlakunya UU ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-
undang hukum perdata ( BW ), ordomensi perkawinan indonesia kristen
( Hoci S. 1993 No. 74 ) , peraturan perkawinan campuran ( Regeling op
de gemengde Huwelijken, S . 1898 No. 158 ) & peraturan-peraturan lain
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-
undang ini , dinyatakan tidak berlaku. Pokok hukum waris barat dapat
dilihat pada pasal 1066 KUH Perdata yang menyatakan :
1. Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan
harta benda , seorang itu tidak dipaksa mambiarkan harta bendanya
itu tetap di bagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama
berhak atasnya
2. Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu
perjanjian yang bertentangan dengan itu
3. Dapat diperjanjikan , bahwa pembagian harta benda itu
dipertangguhkan selama waktu tertentu
4. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun
tetapi dapat diadakan lagi , kalau tenggang lima tahun itu telah lau “.
( Wirjono Prodjodikoro, 1976 : 14 )
Jadi hukum waris barat menganut sistem begitu pewaris wafat ,
harta warisan langsung dibagi-bagi kan kepada para ahli waris . Setiap
ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan ( pusaka ) yang belum
dibagi segera dibagikan , walaupun ada perjanjian yang bertentang
dengan itu , kemungkinan untuk menahan atau menangguhkan
pembagian harta warisan itu disebabkan satu & lain hal dapat berlaku
atas kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima
tahun kecuali dalam keadaan luar biasa waktu lima tahun dapat
diperpanjang dengan suatu perpanjangan baru . Sedangkan ahli waris
hanya terdiri dari dua jenis yaitu :
Ahli waris menurut UU disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris
ab intestato. Yang termasuk dalam golongan ini ialah
1. Suami atau isteri (duda atau janda) dari sipewaris (simati)
3. Keluarga sedarah yang sah dari sipewaris
86
4. Keluarga sedarah alami dari sipewaris
Ahli waris menurut surat wasiat ( ahli waris testamentair ) Yang termasuk
kedala keadaan golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris
diangkat dengan surat wasiat untuk menjadi ahliwarisnya.
Pada dasarnya untuk dapat mengerti & memahami hukum waris
ini , cukup layak bidang-bidang yang ahrus dibahas diantaranya
pengertian keluarga sedarah & semenda , status hukum anak-anak
tentang hak warisan ab intestato keluarga sedarah , dan lain sebagainya.
Untuk itu dalam tulisan ini diambil saja bagian yang dianggap mampunyai
hubungan dengan penjelasan terdahulu yakni mengenai hukum
kewarisan islam & hukum waris adat.
Legitine Portie Anak – Anak & Keturunan
Besarnya bagian mutlak ini ditentukan berdasarkan besarnya
bagian ab intestato dari legitimaris yang bersangkutan dengan perkatan
lain legitine portie adalah merupakan pecahan dari bagian ab intestato.
Untuk mengetahui besarnya bagian mutlak anak-anak & keturunanya
terlebih dahulu harus dilihat dari jumlah anak yang ditinggalkan oleh
pewaris. Untuk lebih jelas hal ini dapat diketahui dari bunyi pasa 914 KUH
Perdata yang pada pokoknya menyebutkan adalah sebagai berikut :
a) Jika yang ditinggalkan hanya seorang anak , maka legitine portie anak itu
adalah ½ dari harta peninggalan.
b) Jika yang ditinggalkan dua orang anak , maka legitine portie masing-
masing anak adalah 2/ 3 dari bagian ab intestato masing-masing anak itu
c) Jika yang ditinggalkan tiga orang anak atau lebih , maka bagian
amsingmasing anak adalah 3/ 4 dari bagian ab intestato masing-masing
anak itu“ .
( Ibid , : 68) .
Jadi yang dimaksud dengan tiga orang anak atau lebih adalah
termasuk pula semua keturunannya , akan tetapi sebagai pengganti.
Demikianlah corak hukum waris di Indonesia saat ini , yang masing-
masing mempunyai warna & karakteristik tersendiri , memiliki kelebihan &
kekurangan sesuai dengan alam pikiran & jiwa pembentukannya , yang
masing-masing hukum waris mempunyai latar belakang sejarah serta
87
pendangan hidup & keyakinan yang berbeda-beda pula & mengakibatkan
terdajinya pluralisme hukum waris di Indonesia.
Kesimpulan
Dari uraian terdahulu tentang pluralisme hukum waris di Indonesia,
dapatlah dirangkum seperti tersebut dibawah ini :
Bahwa pengertian hukum waris belum terdapat keseragaman sebagai
suatu pedoman atau standar hukum , dimana tiap-tiap golongan
penduduk memberi arti & definisi sendiri-sendiri , seperti terlihat pada
sistem hukum kewarisan Islam , hukum waris barat & hukum waris adat .
Namun demikian berbicara mengenai hukum waris, ketiga sistem hukum
waris itu sepakat bahwa didalamnya terdapat tiga unsur penting yakni,
adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut
warisan, adanya pewaris & adanya ahli waris.
Bahwa tipis sekali kemungkinan ataupun mustahil untuk dapat
menciptakan unifikasi dan kodifikasi hukum waris, mengingat kebutuhan
hukum anggota masyaraka tentang lapangan hukum bersangkutan
adalah beraneka ragam dan sering berbeda satu dengan lainnya
sedemikian rupa sehingga perbedaan tersebut tidak mungkin disamakan.
Disamping itu terkait pula dengan hubungan & didomonasi ole perasaan,
kesadaran, kepercayaan & agama, dengan kata lain bertalian erat denga
pandangan hidup seseorang.
Bahwa dibeberapa daerah sistem pewarisan telah mengarah kepada
susunan kekeluargaan parental & sistem pewarisan individual , walaupun
disana sini masih nampak adanya pengaruh kedudukan anak tertua lelaki
sebagai penggant kedudukan ayah , keluarga-keluarga indonesia
cendrung untuk tidak lag mempertahankan sistem kekerabatan patritineal
atau matrilineal dengan siste pewarisan kolektif atau mayorat. Artinya
didalam kehidupan masyarakat luas, tidak lagi mempertahankan hukum
adatnya yang lama, akan tetapi disesuaikan dengan perkembangan
zaman.
Perlu Tidaknya Dibuat UU Nasional Hukum Waris Adat
Pembangunan di bidang hukum Indonesia diarahkan kepada:
88
…peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional
dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat
mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
menempatkan supremasi hukum dalam tatanan bernegara dan
bermasyarakat.
Upaya pembangunan hukum tersebut sesungguhnya bermaksud
mengganti tata hukum yang kini berlaku yang dibuat oleh pemerintahan
kolonial dengan tata hukum yang benar-benar mencerminkan kesadaran
hukum masyarakat Indonesia.
Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting
dalam rangka pembangunan hukum nasional yang menuju ke arah
peraturan perundang-undangan. Unsur-unsur kejiwaan hukum adat
yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu dimasukkan ke
dalam peraturan hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai dengan
dasar keadilan dan perasaan hukum masyarakat Indonesia.
Salah satu inti dari unsur-unsur hukum adat guna pembinaan
hukum waris nasional adalah hukum waris adat. Untuk menemukan
unsur-unsur dari hukum waris adat tersebut salah satunya dengan cara
melakukan penelitian, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian
lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui persamaan dari
berbagai sistem dan asas hukum waris adat yang terdapat di seluruh
Nusantara ini yang dapat dijadikan titik temu dan kesamaannya dengan
kesadaran hukum nasional sehingga apa yang dicita-citakan di dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara bahwa untuk seluruh wilayah Republik
Indoinesia hanya ada satu sistem hukum nasional yang mengabdi
kepada kepentingan nasional.
Hukum waris yang berlaku di kalangan masyarakat Indonesia
sampai sekarang masih bersifat pluralistis, yaitu ada yang tunduk
kepada hukum waris dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat. Masyarakat Indonesia
berbhineka yang terdiri dari beragam suku bangsa memiliki adat istiadat
dan hukum adat yang beragam antara yang satu dengan yang lainnya
berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri yang menjadikan hukum
adat termasuk di dalamnya hukum waris menjadi pluralistis pula.
89
Permasalahan diatas merupakan beberapa contoh pembaharuan
hukum waris islam di Indonesia yang secara langsung atau tidak
langsung telah dipengaruhi oleh keadaan realita masyarakat Indonesia
dengan hukum waris adatnya. Sehingga dengan memperhatikan
keadaan masyarakat Indonesia ( adat ), hukum waris islam di Indonesia
dapat dilaksannakan dengan semestinya dengan tidak adanya
penyimpangan-penyimpangan terhadap hukum waris baik secara
langsung ataupun tidak langsung. Tentunya semua itu masih dalam
koredor syari?ah dan masih berlandaskan semangat al-qur?an yang
humanis, berkeadilan dan universal.
2.10 Hukum Waris Adat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Tentang Sistem Kekerabatan Patrineal, Matrilineal, dan Parental47
1. CONTOH YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG SISTEM
KEKERABATAN PATRILINEAL
P U T U S A N
No. 461 PK/Pdt/2007
DEMI KEADILAN
47 Prof. Dr. H. R. Otje Salman Soemadinigrat, S. H., Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Penerbit: PT Alumni, Bandung; 2002, hlm. 46
90
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
Memeriksa perkara perdata dalam peninjauan kembali telah
memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
I. NENGAH GINA, bertempat tinggal di Desa Lembean, Kecamatan
Kintanami, Kabupaten Bangli, dalam hal ini memberi kuasa kepada
Ngakan Kompiang Dirga, S. H., Advokat, berkantor di jalan Saandat II
No. Denpasar;
Pemohon peninjauan kembali dahulu Pemohon
Kasasi-Penggugat/Pembanding;
Melawan:
1. I MADE MARSE;
2. I WAYAN WARNA;
3. I WAYAN RANEM;
4. I MADE WINDA, Kesemuanya bertempat tinggal di Desa
Lembean, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli;
Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu para Termohon Kasasi-
Para Tergugat/Terbanding;
Putusan Nomor: 461 PK/Pdt/2007 Tanggal 12 Desember 2007
Analisis Kasus:
Bahwa Putusan ini adalah mengenai sengketa tanah waris di daerah
Bangli, Denpasar, Bali;
Sistem Patrilineal (Patrilineal/agnatic descent) adalah sistem
penarikan garis keturunan atau penarikan hubungan kekerabatan
melalui garis keturunan pihak laki-laki (ayah). Dalam hal hukum
pewarisan, sitem pewarisan patrilineal hanya mengenal ank laki-laki
sebagai ahli waris, seperti masyarakat Batak dan Bali.
Bahwa Putusan Pengadilan Negeri Bangli mengabulkan gugatan
Penggugatan sekarang Pemohon Peninjauan Kembali sebagian yaitu
91
menyatakan Penggugat sebagai ahli waris dari mendiang I Tedun
alias Nang Digdig dan I Mara alias Nang Gantra dan menolak
selebihnya; (461 PK/Pdt/2007 Tanggal 12 Desember 2007, hlm. 7)
Bahwa Pengadilan Tinggi Denpasar menguatkan Putusan PN Bangli,
dan Mahkamah Agung menolak kasasi Permohonan Kasasi sekarang
Permohonan Peninjauan Kembali;
Bahwa Mahkamah Agung Mmenolak Permohonan Peninjauan
Kembali dalam pertimbangannya, “Menimbang, bahwa oleh karena
itu sesuai dengan Pasal 68, 69, 71,dan 72 Undang-undang No. 14
Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang
No. 5 Tahun 2004, permohonan peninjauan kembali a quo beserta
alasan-alasannya yang diajukan dalam tenggang waktu dan dengan
cara yang ditentukan oleh undang-undang formal dapat diterima”;
Bahwa menurut Prof. Dr. H. R. Otje Salman Soemadiningrat, S. H.,
Pengadilan Negeri menggunakan penerapa hukum positif pada
pertimbangan putusannya yaitu pada halaman enam putusan ini,
sehingga tidak mempertimbangkan lagi pertimbangan hukum adat
yang disampaikan oleh penggugat adat atau Pemohon Peninjauan
Kembali.
2. CONTOH YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG SISTEM
KEKERABATAN MATRILINEAL
P U T U S A N
No. 2258 K/Pdt/2006
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
Memeriksa perkara perdata dalam tingkat Kasasi telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara:
92
1. BABADAN DT. PITO ALAM;
2. NALAN Gir. MALIN MALANO, keduanya bertempat tinggal di
Tabu, Kelurahan KTK, Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok,
dalam hal ini memberi kuasa kepada SYAMSYURDI NOFRIZAL,
S. H., Advokat, berkantor di KS. Tubun Nomor 119, Kota Solok,
para pemohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Pembanding;
M e l a w a n :
1. YASMI, bertempat tinggal di Tabu, Kelurahan IX Korong,
Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok;
2. USMAN DT. NAN BAKUPIAH, bertempat tinggal di Kelurahan
Sinapa Pilang, Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok;
3. MARAMIS DT. ANDARO MULIA Pgl. BUYA, bertempat tinggal
di Sawah Piai, Kelurahan Tanah Garam, Kecamatan Lubuk
Sikarah, Kota Solok;
4. GUSMARNI;
5. MARISON DT. MALINTANG SUTAN, nomor 4 dan 5 bertempat
tinggal di Jl. Prof. Dr. Hamka Kelurahan IX, Korong Kecamatan
Lubuk Sikarah, Kota solok;
6. MARNIS, bertempat tinggal di Jl. Adi Negoro By pass, Kelurahan
KTK, Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok, dalam hal ini
memberi kuasa kepada YUSMANITA, S. H., Advokat berkantor
di Jl. Pemda II No. 34, Kelurahan IX Korong, Kota Solok;
7. KEPALA KANTOR BADAN PERTANAHAN KOTASOLOK,
berkedudukan di Jl. Lubuk Sikarah, Kota Solok;
8. NURLENA;
9. APJUNELIFA;
10. BAMBANG;
93
11. PIMPINAN BENGKEL VULKANISIR BAN AGUNG JAYA
PERKASA CABANG SOLOK, No. 8, 9, 10, 11, dan 12
kelimanya bertempat tinggal di Jl. By pass RT 01/RW 02,
Kampung Tabu, Kelurahan KTK, Kecamatan Lubuk Sikarah,
Kota Solok; para Termohon Kasasi dahulu sebagai para
Tergugat/para Terbanding;
Tempat: Pengadila Negeri Solok.
Putusan Nomor: 2258 K/Pdt/2006 Tanggal 25 Juli 2007
Analisis Kasus:
Berdasarkan Putusan tersebut, perkara tersebut berasal dari daerah
Solok, Sumatera Barat yang menggunakan sistem kekerabatan
Matrilineal;
Sistem Matrilineal (matrilineal descent) adalah sistem penarika garis
keturunan atau hubungan kekerabatan hanya dari pihak ibu yang
masuk dalam hubungan kekerabatan, sedangkan semua keluarga
yang berasal dari pihak ayah berada di luar kekerabatan. Dalam
sistem ini hanya anak perempua yang memiliki hak waris. Suku
Minangkabau adalah salah satu suku yang menganut sistem ini
Perkara ini merupakan perkara waris pusoko tinggi;
Dalam putusannya, Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi
para Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/Pembanding;
Dalam pertimbangan hukumnya di halaman 9 putusan ini, Mahkamah
Agung berpendapat bahwa alasan-alasan ini tidak dapat dibenarkan
oleh karena judex factie tidak salah dalam menerapkan hukum, lagi
pula hal ini mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan tidak
dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan hukum atau
pelanggaran hukum yang berlaku, sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana
94
yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula
ternyata bahwa putusan judex facti dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi:
BABADAN DT. PITO ALAM dan kawan-kawan tersebut harus
ditolak;
3. CONTOH YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG SISTEM
KEKERABATAN PARENTAL
P U T U S A N
No. 2500 K/Pdt/2003
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
Memeriksa perkara perdata dalam tingkat Kasasi telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara:
1. RODIAH binti OESOEP, bertempat tinggal di Desa Dawung,
Ringinrejo, Kabupaten Kediri;
2. MUJIB, bertempat tinggal di Desa Karang Gaam, Kecamatan
Srengat, Kabupaten Blitar;
95
3. MUDAWARI, bertempat tinggal di Desa Bakung, Kecamatan
Undanawu, Kabupaten Blitar, dalam hali ini memberi kuasa
kepada: MUKIBIN, bertempat tinggal di Desa Dawung,
Kecamatan Ringinrejo, Kabupaten Kediri, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tanggal 28 Februari 2003, Para Pemohon Kasasi,
dahulu Para Tergugat/Pembanding;
M e l a w a n :
1. MAHMUD bin OESOEP, bertempat tinggal di Desa Bakung,
Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar;
2. KATEMI binti OESOEP, bertempat tinggal di Desa Bakung,
Kecamatan Udanawu,Kabupaten Blitar, Para Termohon Kasasi,
dahulu Para Penggugat-Terbanding;
d a n
1. SUPERLIN binti OESOEP, bertempat tinggal di Desa Waktu
Tempeh, Lumajang;
2. SUNDAYAH binti OESOEP, bertempat tinggal di Desa
Dawuhan, Mojosari, Kras Kediri, Turut Termohon Kasasi, dahulu
Turut Tergugat-Pembanding;
Putusan Nomor: 2500 K/Pdt/2003 Tanggal 12 April 2005
Analisis Kasus:
Perkara ini merupakan gugatan harta waris yang terjadi di daerah
Blitar, Jawa Timur;
Di daerah Blitar menganut sistem kekerabatan Parental/Liberal
(parental/bilateral descent), yaitu sistem penarikan garis keturunan
atau hubungan kekerabatan dari pihak laki-laki dan pihak perempuan
(Prof. Dr. H. R. Otje Salman Soemadinigrat, S. H., Rekonseptualisasi Hukum
96
Adat Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum
yang Hidup dalam Masyarakat, Penerbit: PT Alumni, Bandung; 2002, hlm.
46)
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian mengenai hukum waris adat di Indonesia, dapatlah dirangkum
seperti tersebut dibawah ini :
Bahwa pengertian hukum waris belum terdapat keseragaman sebagai
suatu pedoman atau standar hukum , dimana tiap-tiap golongan
penduduk memberi arti & definisi sendiri. Namun demikian berbicar
mengenai hukum waris, ketiga sistem hukum waris itu sepakat bahwa
didalamnya terdapat tiga unsur penting yakni, adanya harta peninggalan
atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan adanya pewaris &
adanya ahli waris.
Bahwa tipis sekali kemungkinan ataupun mustahil untuk dapat
menciptakan unifikasi dan kodifikasi hukum waris, mengingat kebutuhan
hukum anggota masyarakat tentang lapangan hukum bersangkutan
adalah beraneka ragam dan sering berbeda satu dengan lainnya
97
sedemikian rupa sehingga perbedaan tersebut tidak mungkin disamakan.
Disamping itu terkait pula dengan hubungan & didomonasi oleh perasaan,
kesadaran, kepercayaan & agama, dengan kata lain bertalian erat
dengan pandangan hidup seseorang.
Bahwa dibeberapa daerah sistem pewarisan telah mengarah kepada
susunan kekeluargaan parental & sistem pewarisan individual walaupun
disana sini masih nampak adanya pengaruh kedudukan anak tertua lelaki
sebagai pengganti kedudukan ayah , keluarga-keluarga indonesia
cendrung untuk tidak lagi mempertahankan sistem kekerabatan patritineal
atau matrilineal dengan sistem pewarisa kolektif atau mayorat. Artinya
didalam kehidupan masyarakat luas, tidak lagi mempertahankan hukum
adatnya yang lama, akan tetapi disesuaikan dengan perkembangan
zaman.
3.2 Saran
98
Daftar Pustaka
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Bandung : Alumni,1977
_________________, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1993
Holleman, F.D : “Adat Grondenrecht Ambon van Ned. Indie” jilid I
Oemarsalim, Dasar-dasar hukum waris di Indonesia,Rineka Cipta,1991
Soemadinigrat, Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer:
Telaah Kritis terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum yang Hidup dalam
Masyarakat, Penerbit: PT Alumni, Bandung; 2002, hlm. 46
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008
Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta, Pradya Paramita, 1987
99
Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan
BW, Bandung: Refika Aditama,2005
Vollenhoven, Van, het adatrecht jilid I
Wigbyodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Mas Agung,
Jakarta, 1990
100
101