karakteristik kimia kulit buah kapuk randu … · karbon terikat, dan nilai kalor ... akan tetapi...
TRANSCRIPT
KARAKTERISTIK KIMIA
KULIT BUAH KAPUK RANDU SEBAGAI BAHAN ENERGI
BIOMASSA
INDRA TRI PUTRA
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Kimia
Kulit Buah Kapuk Randu sebagai Bahan Energi Biomassa adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Indra Tri Putra
NIM E24100084
ABSTRAK
INDRA TRI PUTRA. Karakteristik Kimia Kulit Buah Kapuk Randu sebagai
Bahan Energi Biomassa. Dibimbing oleh DEDED SARIP NAWAWI.
Kulit buah kapuk merupakan salah satu jenis biomassa yang berpotensi
sebagai sumber energi alternatif terbarukan. Penelitian ini bertujuan untuk
menguji karakteristik buah kapuk sebagai bahan energi berdasarkan analisis kadar
komponen kimianya (holoselulosa, α-selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat
ekstraktif) dan analisis proksimat (kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, kadar
karbon terikat, dan nilai kalor). Sampel kulit buah kapuk berasal dari Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Nilai kalor kulit buah kapuk berkorelasi positif
dengan kadar lignin, zat ekstraktif, dan karbon terikat, tetapi berkorelasi negatif
dengan kadar holoselulosa, hemiselulosa, abu, dan zat terbang. Walaupun secara
umum kulit buah kapuk berpotensi menjadi bahan energi biomassa yang baik,
akan tetapi berdasarkan karakter kimia dan nilai kalornya, kulit buah kapuk asal
Jawa Barat memiliki karakteristik lebih baik dibandingkan dengan kulit buah
kapuk asal Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kata kunci: kulit buah kapuk, energi biomassa, nilai kalor, komponen kimia,
analisis proksimat.
ABSTRACT
INDRA TRI PUTRA. Chemical Characteristics of Kapuk Randu Fruit’s Hull as
Biomass Energy Resources. Supervised by DEDED SARIP NAWAWI
Kapuk fruit’s hull is one of the potential biomass as an alternative
renewable energy. The aims of this research is to characterize kapuk fruit’s hull
for biomass energy resources based on the analysis of its chemical components
(holocellulose, α-cellulose, hemicellulose, lignin, and extractives contents) and
proximate analysis (moisture content, volatile matter, ash, fixed carbon, and
calorific value). Kapuk fruit’s hulls samples were taken from West, Central, and
East Java. Calorific value of kapuk fruit’s hull positively correlated with lignin,
extractives, and fixed carbon, however it negatively correlated with holocellulose,
hemicelluloses, ash and volatile matter. Generally, kapuk fruit’s hull has good
characteristics for biomass energy. Based on the chemical characteristics and
calorific value, kapuk fruit’s hull from West Java is better than that from Central
and East Java.
Keywords: kapuk fruit’s hull, biomass energy, calorific value, chemicals
component, proxymate analysis.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Hasil Hutan
INDRA TRI PUTRA
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
Judul Skripsi : Karakteristik Kimia Kulit Buah Kapuk Randu sebagai Bahan
Energi Biomassa
Nama : Indra Tri Putra
NIM : E24100084
Disetujui oleh
Ir Deded Sarip Nawawi, MSc
Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir I Fauzi Febrianto, MS.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Terima kasih
penulis ucapkan kepada Bapak Ir Deded Sarip Nawawi, M.Sc selaku pembimbing
yang telah banyak memberi bimbingan, saran, dan arahan selama penelitian dan
penyusunan skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis disampaikan kepada
Bapak Supriatin dan Bapak Gunawan dari Laboratorium Kimia Hasil Hutan yang
telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada orangtua, kakak, dan adik serta seluruh keluarga besar, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2014
Indra Tri Putra
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
ABSTRAK ii
PENDAHULUAN 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 1
METODE 2
Waktu dan Lokasi 2
Bahan dan Alat 2
Prosedur Penelitian 2
Persiapan Bahan Baku 2
Penentuan Komponen Kimia 2
Analisis Proksimat 5
Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Kadar Komponen Kimia 6
Klasifikasi Biomassa Berdasarkan Nisbah Komponen Kimia 9
Karakteristik Kulit Buah Kapuk sebagai Bahan Energi 10
Hubungan Karakteristik Kimia Kulit Buah Kapuk dengan Nilai Kalor 14
Hubungan Parameter Proksimat dengan Nilai Kalor 16
SIMPULAN DAN SARAN 17
Simpulan 17
Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
RIWAYAT HIDUP 20
DAFTAR TABEL
1 Klasifikasi komponen kimia kayu daun lebar 4
DAFTAR GAMBAR
1 Kadar ekstraktif kulit buah kapuk 6
2 Kadar holoselulosa dan selulosa kulit buah kapuk 7 3 Kadar hemiselulosa kulit buah kapuk 8 4 Kadar lignin klason kulit buah kapuk 9
5 Klasifikasi biomassa berdasarkan nisbah komponen kimia 10 6 Kadar air kulit buah kapuk 11
7 Kadar zat terbang kulit buah kapuk 11 8 Kadar abu kulit buah kapuk 12
9 Kadar karbon terikat kulit buah kapuk 13 10 Nilai kalor kulit buah kapuk 13
11 Pengaruh zat ekstraktif terhadap nilai kalor 14 12 Pengaruh polisakarida terhadap nilai kalor 15
13 Pengaruh lignin terhadap nilai kalor 15 14 Pengaruh parameter proksimat terhadap nilai kalor 16
1
PENDAHULUAN
Meningkatnya permintaan energi disertai dengan semakin terbatasnya
sumber energi fosil serta masalah lingkungan telah membawa perhatian pada
pencarian dan pengembangan sumber energi alternatif terbarukan salah satunya
biomassa. Keuntungan biomassa sebagai sumber energi antara lain terbarukan,
rendah emisi karbon dan sulfur. Potensi sumber energi biomassa antara lain
berasal dari limbah kehutanan, limbah pertanian, limbah industri dan rumah
tangga, dan tanaman untuk tujuan penggunaan energi (Basu 2010, McKendry
2002). Salah satu limbah pertanian di Indonesia yang berpotensi sebagai sumber
energi biomassa adalah kulit buah kapuk randu yang merupakan limbah
pengolahan serat kapuk.
Kapuk randu (Ceiba pentandra) merupakan tanaman tropis dan banyak
dijumpai di Indonesia terutama di daerah Jawa (Ningrum dan Kusuma 2013).
Areal tanaman kapuk di Indonesia mencapai 250500 ha, dengan sentra
pengembangan terutama di Jawa Tengah (95107 ha) dan Jawa Timur (77449 ha)
(Badan Pusat Statistika 2012). Satu pohon kapuk menghasilkan 4000-5000 buah
dan menghasilkan sekitar 15-20 kg serat kapuk bersih dan 24-32 kg kulit buah
kapuk (Barani 2006).
Selama ini buah kapuk randu yang telah dimanfaatkan secara intensif adalah
seratnya, terutama untuk pengisi kasur, bantal, dan isolator suara. Selain itu,
beberapa penelitian berupaya untuk meningkatkan kegunaan kulit buah randu,
antara lain sebagai sumber mineral untuk pembuatan sabun (Ningrum dan
Kusuma 2013) atau sebagai sumber serat selulosa (Astika 2010; Handayani et al.
2012). Sementara itu, pemanfaatan kulit buah kapuk sebagai bahan energi
biomassa belum berkembang, hanya terbatas sebagai pengganti kayu bakar. Untuk
pengembangan kulit buah kapuk sebagai sumber energi baru terbarukan
diperlukan penelitian karakteristiknya sebagai dasar pemanfaatan yang lebih baik,
seperti untuk bahan pembuatan pellet kayu, pirolisis, dan gasifikasi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kadar komponen kimia kulit buah
kapuk yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Karakteristik
bahan baku energi biomassa diukur dengan analisis proksimat meliputi kadar air,
kadar zat terbang, kadar abu, karbon terikat, dan nilai kalor. Karakteristik kimia
yang diukur meliputi holoselulosa, α-selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat
ekstraktif.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi langkah awal untuk pemanfaatan
limbah kulit buah kapuk sebagai sumber energi alternatif. Informasi kadar
komponen kimia dan proksimatnya merupakan data dasar untuk pengolahan dan
pengembangan produk energi biomassa berbahan kulit buah kapuk.
2
METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilakukan sejak bulan Januari sampai dengan April 2014 di
Laboratorium Kimia Hasil Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Nilai kalor kulit buah kapuk diukur di Pustekolah Badan Litbang
Kehutanan Bogor.
Bahan dan Alat
Buah kapuk diambil dari daerah Bogor Jawa Barat, Kabupaten Pati Jawa
Tengah, dan Sampang Madura, Jawa Timur. Contoh kulit buah diambil dari buah
kapuk matang, kering dan berwarna coklat. Bagian kulit dipisahkan dari bagian
serat dan biji. Alat yang digunakan antara lain Willey mill, saringan bertingkat,
timbangan analitik, oven, desikator, cawan porselin, tanur listrik, dan bomb
calorimeter, penangas air, aluminium foil, kertas saring, soxhlet, dan peralatan
gelas laboratorium.
Prosedur Penelitian
Persiapan Bahan Baku (TAPPI T 257 om-85)
Sampel kulit buah kapuk dipotong menjadi ukuran-ukuran kecil dan
dikeringudarakan. Potongan kecil kulit buah kapuk digiling dengan alat willey
mill dan partikel disaring dengan saringan bertingkat. Serbuk kulit buah kapuk
yang digunakan untuk analisis kimia dan proksimat adalah serbuk yang lolos
saringan 40 mesh dan tertahan pada saringan 60 mesh. Serbuk disimpan dalam
wadah tertutup untuk menghindari perubahan kadar air.
Penentuan Komponen Kimia
Kadar Zat Ekstraktif Terlarut dalam Etanol-Benzena (1:2) (TAPPI T 204
om-88)
Serbuk sebanyak 10 g diekstraksi dengan campuran pelarut etanol-benzena
(1:2 v/v) selama 8 jam. Sampel dibilas dengan etanol, direndam selama satu
malam dan setelah kering udara kemudian dioven pada suhu 103±2 ºC sampai
beratnya konstan. Untuk penyiapan sampel bebas zat ekstraktif, ekstraksi
dilanjutkan dengan air panas selama 3 jam. Kadar zat ekstraktif yang terlarut
dalam etanol-benzena (1:2), dihitung dengan rumus:
Kadar zat ekstraktif % = BKTA− BKTB
BKTA× 100%
dengan BKTA= berat serbuk kering sebelum ekstraksi (g), dan BKTB= berat
serbuk kering setelah ekstraksi (g)
3
Kadar Zat Ektraktif Terlarut dalam Air Panas (TAPPI T 207 0m-93)
Serbuk sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml, lalu
ditambahkan 100 ml air destilata panas dan diekstraksi dalam penangas air selama
3 jam. Sampel disaring dan dibilas dengan air panas, lalu dioven pada suhu 103±2
ºC sampai beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas
dihitung dengan rumus:
Kadar zat ekstraktif % = BKTA− BKTB
BKTA× 100%
dengan BKTA= berat serbuk kering sebelum ekstraksi (g), BKTB= berat serbuk
kering setelah ekstraksi (g).
Kadar Zat Ektraktif Terlarut dalam Air Dingin (TAPPI T 207 0m-93)
Serbuk sebanyak 2 g diekstraksi dengan 300 ml air destilata dalam gelas
piala 400 ml selama 48 jam pada suhu kamar. Sampel disaring dan dibilas dengan
200 ml air destilata, lalu dioven pada suhu 103±2º C sampai beratnya konstan.
Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin dihitung dengan rumus:
Kadar zat ekstraktif % = BKTA− BKTB
BKTA× 100%
dengan BKTA= berat serbuk kering sebelum ekstraksi (g), BKTB= berat serbuk
kering setelah ekstraksi (g).
Kadar Zat Ektraktif Terlarut dalam NaOH 1% (TAPPI T 212 om-93)
Serbuk sebanyak 2 g diekstraksi dengan 100 ml larutan NaOH 1% dalam
gelas piala 200 ml. Sampel dipanaskan dalam penangas air pada suhu 100 ºC
selama 1 jam. Larutan diaduk setelah pemanasan 10, 15, dan 25 menit. Sampel
disaring dan dicuci dengan 100 ml air panas, kemudian ditambahkan 25 ml asam
asetat 10% sebanyak 2 kali. Sampel dicuci dengan air panas hingga bebas asam.
Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 103±2 ºC sampai beratnya konstan.
Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam NaOH 1% dihitung dengan rumus:
Kadar zat ekstraktif % = BKTA− BKTB
BKTA× 100%
dengan BKTA= berat serbuk kering sebelum ekstraksi (g), BKTB= berat serbuk
kering setelah ekstraksi (g).
Kadar Holoselulosa (Browning 1967)
Serbuk bebas ekstraktif sebanyak 2 g dimasukkan dalam Erlenmeyer 250 ml
dan ditambahkan 80 ml air destilata, 3 ml sodium klorit, dan 0.5 ml asam asetat
glasial. Sampel dipanaskan dalam penangas air pada suhu 70 ºC dan ditambahkan
3 ml sodium klorit, dan 0.5 ml asam asetat glasial setiap interval pemanasan 1 jam
sampai penambahan sebanyak empat kali. Sampel disaring dan dibilas dengan air
panas sampai filtrat bening, kemudian dicuci dengan 25 ml asam asetat 10%, dan
dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Sampel dioven pada suhu 103±2 ºC
sampai beratnya konstan.Kadar holoselulosa dihitung dengan rumus:
4
Holoselulosa % = Berat holoselulosa (g)
Berat serbuk bebas ekstraktif (g)× 100%
Kadar α-selulosa (Browning 1967)
Holoselulosa sebanyak 2 g dimasukkan dalam gelas piala 250 ml dan
ditambahkan 10 ml larutan NaOH 17.5% pada suhu 20 ºC dan diaduk. Setelah itu,
pada 5, 10, dan 15 menit pertama ditambahkan 5 ml larutan NaOH 17.5%, lalu
sampel dibiarkan selama 45 menit. Ke dalam sampel ditambahkan 33 ml air
destilata, diaduk dan dibiarkan selama 1 jam pada suhu 20 °C. Sampel disaring
dan dibilas dengan 100 ml NaOH 8.3% dan dibilas dengan air destilata. Sampel
ditambah dengan asam asetat 10% dan dibilas dengan air destilata sampai bebas
asam. Sampel dioven pada suhu 103±2 ºC sampai beratnya konstan. Kadar α-
selulosa dihitung dengan rumus:
α − selulosa % = Berat α − selulosa (g)
Berat serbuk kering bebas zat ekstraktif (g)× 100%
Kadar Hemiselulosa
Kadar hemiselulosa diperoleh dengan mengurangi kadar holoselulosa
dengan kadar selulosa. Kadar hemiselulosa dihitung dengan rumus:
Hemiselulosa % = Holoselulosa % – α-Selulosa (%)
Kadar Lignin Klason (TAPPI T 222 m 88 dengan modifikasi)
Serbuk bebas zat ekstraktif sebanyak 0.5 g dimasukkan ke dalam gelas piala
50 ml dan ditambahkan 5 ml asam sulfat 72% sambil diaduk setiap 15 menit
dengan suhu dijaga tetap 20 °C selama 3 jam. Sampel diencerkan hingga
mencapai konsentrasi asam sulfat 3%. Larutan direaksikan pada suhu 121 °C
selama 30 menit dengan alat autoclave. Lignin diendapkan, disaring dengan kertas
saring dan dicuci dengan air destilata sampai bebas asam, lalu sampel dioven pada
suhu 103±2 ºC sampai beratnya konstan. Kadar lignin dihitung dengan rumus:
Lignin % = Berat lignin (g)
Berat serbuk kering bebas zat ekstraktif (g) × 100%
Komponen kimia biomassa tumbuhan terdiri atas komponen penyusun
dinding sel (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) dan zat ekstraktif. Kadar
komponen kimia kayu daun lebar diklasifikasikan ke dalam kelas rendah, sedang,
dan tinggi (Tabel 1).
Tabel 1 Klasifikasi komponen kimia kayu daun lebar
Komponen kimia Kelas komponen
(%) Tinggi Sedang Rendah
Selulosa*)
>44 40-44 <40
Hemiselulosa*)
>30 20-30 <20
Lignin*)
>25 18-25 <18
Zat ekstraktif**)
>4 2-4 <2
Keterangan : Zat ekstraktif dinyatakan sebagai kelarutan dalam etanol:benzena.
Sumber : *) Basu (2010) dan **) Departemen Pertanian (1976) dalam Pari et al. (2005).
5
Analisis Proksimat
Kadar Air (ASTM E-871)
Sampel serbuk kulit buah kapuk ditimbang sebanyak 1 g kemudian
dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 103±2 °C. Sampel didinginkan
dalam desikator dan ditimbang hingga berat konstan. Kadar air dihitung dengan
rumus:
Kadar air (%) =Berat serbuk awal − Berat serbuk kering tanur
Berat serbuk kering tanur× 100%
Kadar Zat Terbang (ASTM E-872)
Serbuk sebanyak 1 g dimasukan ke dalam cawan porselin yang bobotnya
sudah diketahui. Sampel dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu 950 °C
selama 7 menit. Sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar zat
terbang dihitung dengan rumus:
Kadar zat terbang % =Kehilangan berat sampel
Berat kering serbuk awal× 100%
Kadar Abu (ASTM D-1102)
Serbuk sebanyak 2 g ditempatkan dalam cawan porselen kemudian
dimasukkan ke dalam tanur listrik bersuhu 600 °C selama 6 jam. Sampel
didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya sampai konstan.
Kadar abu % =Berat abu
Berat kering serbuk awal× 100%
Kadar Karbon Terikat
Kadar karbon terikat merupakan hasil pengurangan 100% terhadap kadar zat
terbang dan kadar abu. Kadar karbon terikat dihitung dengan rumus:
Karbon terikat % = 100% − Kadar zat terbang % − Kadar abu (%)
Nilai Kalor Kayu
Pengujian nilai kalor dilakukan di Pustekolah Badan Litbang Kehutanan
Bogor. Nilai kalor diukur menggunakan Bomb Calorimeter dan nilainya
dinyatakan dalam (kkal/kg).
Analisis Data
Pengolahan data sederhana dilakukan dengan program Microsoft Excel
2007 ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Pengaruh karakteristik kimia
terhadap nilai kalor diduga dengan analisis regresi sederhana.
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Komponen Kimia
Komponen kimia diklasifikasikan menjadi komponen struktural dan
komponen non struktural. Komponen struktural tersebut terdiri atas selulosa,
hemiselulosa, dan lignin, sedangkan komponen non struktural terdiri atas
komponen zat ekstraktif dan abu (Barnett dan Jeronimidis 2003). Pohon memiliki
kandungan dan komposisi kimia yang beragam bergantung pada kondisi tempat
tumbuh yang dipengaruhi oleh jenis tanah, curah hujan, unsur hara, dan
ketinggian tempat (McKendry 2002).
Kadar Zat Ekstraktif
Zat ekstraktif terutama berada dalam rongga sel dan sebagian kecil terdapat
di dalam dinding sel. Zat ekstraktif meliputi banyak jenis senyawa yang dapat
diekstraksi dengan menggunakan pelarut polar dan nonpolar.
Gambar 1 Kadar zat ekstraktif pada kulit buah kapuk
Gambar 1 menunjukkan kadar zat ekstraktif kulit buah kapuk beragam
bergantung pada asal sampel uji dan jenis pelarut yang digunakan. Secara umum,
kulit buah kapuk asal Jawa Barat memiliki kadar zat ekstraktif lebih tinggi
dibandingkan dengan kulit buah kapuk asal Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kadar zat ekstraktif kulit buah kapuk terlarut dalam etanol-benzena (1:2)
berkisar 3.68-4.92%. Zat ekstraktif akan larut sesuai dengan sifat pelarut yang
digunakan. Kelompok zat ekstraktif yang larut dalam etanol adalah pati dan tanin.
Kelompok zat ekstraktif yang larut dalam benzena adalah lilin, lemak, dan terpen
(Sjostrom 1981).
Kadar zat ekstraktif terlarut dalam air panas berkisar 11.36-12.86%, dan
dalam air dingin berkisar 8.96-10.23%. Kelarutan dalam air panas lebih tinggi
dibandingkan dalam air dingin karena air panas memiliki kemampuan selain
4.92
12.86
10.23
37.68
4.39
12.18
9.52
34.61
3.68
11.368.96
30.20
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Larut dalam
Etanol-Benzena
(1:2)
Larut dalam Air
Panas
Larut dalam Air
Dingin
Larut dalam
NaOH 1%
Kad
arza
tek
stra
kti
f (%
)
Parameter pengujian
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
7
melarutkan bahan yang terlarut dalam air dingin juga dapat mengekstrak pati. Zat
ekstraktif yang larut dalam air panas antara lain tanin, pati, zat warna dan
flavonoid (Fengel dan Wegener 1984).
Kelarutan kulit buah kapuk dalam NaOH 1% berkisar 30.20-37.68%.
Tingginya kelarutan dalam NaOH 1% dibandingkan jenis pelarut lainnya diduga
karena tingginya fraksi polisakarida berbobot molekul rendah seperti pati dan
hemiselulosa. Hemiselulosa merupakan polisakarida berderajat polimer lebih
rendah dan polimer bercabang sehingga lebih rentan terdegradasi dan terlarut
dibandingkan dengan selulosa (Sjostrom 1981).
Berdasarkan klasifikasi kadar komponen kimia kayu (Tabel 1), kadar zat
ekstraktif kulit buah kapuk dari ketiga tempat asal termasuk kelas tinggi.
Haygreen dan Bowyer (1996) dan Richardson et al. (2002) menyatakan bahwa zat
ekstraktif yang tinggi pada kayu mempengaruhi nilai kalor yang semakin tinggi.
Richardson et al. (2002) menyatakan bahwa kelompok zat ekstraktif resin, terpen,
lilin, dan fenolik mempengaruhi tingginya nilai kalor biomassa energi. Kulit buah
kapuk diketahui mengandung lilin (Barani 2006) dan terpen (Gaur dan Reed
1995).
Kadar Holoselulosa dan Selulosa
Holoselulosa merupakan fraksi polisakarida total penyusun dinding sel
tumbuhan yang terdiri atas selulosa dan hemiselulosa (Rowell et al. 2005,
Sjostrom 1981). Bagian selulosa yang tahan dan tidak terlarut dalam NaOH
17.5% disebut alpha-selulosa dan sering dinyatakan sebagai selulosa murni
(Fengel dan Wegener 1989). Selulosa merupakan komponen utama struktural
dinding sel biomassa, memliki derajat polimerisasi yang tinggi, berat molekul
yang tinggi, dan mempunyai struktur kristalin yang dibangun oleh molekul
glukosa (Sjostrom 1981).
Gambar 2 Kadar holoselulosa dan α-selulosa kulit buah kapuk
Kadar holoselulosa kulit buah kapuk berkisar 50.94-69.55% dan kadar alfa-
selulosa berkisar 23.82-36.3% (Gambar 2). Kadar holoselulosa dan alfa-selulosa
tertinggi terdapat pada kulit buah kapuk asal Jawa Timur dan diikuti oleh kulit
buah kapuk asal Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kadar holoselulosa kulit buah
kapuk lebih rendah dibandingkan dengan kadar holoselulosa kayu yaitu sekitar
75% (Fengel dan Wegener 1984), dan kadar selulosa kulit buah kapuk tergolong
rendah (Tabel 1). Khristova dan Khalifa (1993) dan Richardson et al. (2002)
50.94
63.0569.55
23.8231.89
36.30
0
20
40
60
80
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Kad
ar h
olo
selu
losa
dan
αse
lulo
sa(%
)
Asal bahan baku
Holoselulosa (%)
α selulosa (%)
8
menyatakan bahwa kontribusi selulosa terhadap nilai kalor lebih rendah
dibandingkan dengan lignin, oleh sebab itu walaupun kadar selulosa suatu
biomassa rendah tetapi jika kadar ligninnya tinggi maka secara keseluruhan akan
memiliki nilai kalor tinggi.
Kadar Hemiselulosa
Menurut Bowyer et al. (2007), kadar hemiselulosa kayu dapat diduga dari
selisih kadar holoselulosa dengan α-selulosa. Hal ini karena hemiselulosa dapat
terlarut dalam larutan alkali 17.5%. Hemiselulosa memiliki rantai polimerisasi
yang lebih rendah dibandingkan selulosa, struktur yang amorf, dan memiliki
struktur rantai yang bercabang.
Gambar 3 menunjukkan bahwa kadar hemiselulosa kulit buah kapuk
berkisar 27.12-33.25%. Kadar hemiselulosa tertinggi dimiliki oleh kulit buah
kapuk asal Jawa Timur sedangkan terendah asal Jawa Barat. Kadar hemiselulosa
sering dianggap berkontribusi kecil terhadap nilai kalor biomasa karena tingginya
kadar oksigen dalam hemiselulosa. Hal tersebut menyebabkan tingginya zat
menguap pada saat proses pembakaran atau pirolisis. Kadar zat menguap tinggi
akan menghasilkan nilai kalor kayu yang rendah (Basu 2010). White (1987)
menyatakan bahwa hemiselulosa memiliki jumlah atom karbon yang rendah
sehingga berpengaruh pada nilai kalor yang rendah pula. Berdasarkan Tabel 1,
hemiselulosa kulit buah kapuk semua sampel yang diuji tergolong sangat tinggi.
Walaupun kulit buah kapuk asal Jawa Timur dan Jawa Tengah memiliki kadar
holoselulosa cukup tinggi tetapi disusun oleh fraksi hemiselulosa yang tinggi pula,
sehingga diduga kontribusinya terhadar nilai kalor lebih kecil.
Kadar Lignin Klason
Sjostrom (1981) menyatakan bahwa lignin merupakan polimer bercabang
fenilpropana yang kompleks berbentuk tiga dimensi. Unit monomer yang
dominan dalam polimer adalah cincin benzena yang berfungsi sebagai agen untuk
merekatkan serat selulosa yang saling berdekatan.
Gambar 3 Kadar hemiselulosa kulit buah kapuk
27.1231.17 33.25
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Kad
ar h
emis
elulo
sa(%
)
Asal bahan baku
9
Kadar lignin kulit buah kapuk yang berasal dari tiga daerah berbeda berkisar
10.54-26.02%. Kadar lignin tertinggi dimiliki oleh kulit buah kapuk asal Jawa
Barat sedangkan terendah dimiliki kulit buah kapuk asal Jawa Timur (Gambar 4).
Berdasarkan Tabel 1, kadar lignin kulit buah kapuk asal Jawa Tengah dan Jawa
Timur tergolong rendah, sedangkan kadar lignin kulit buah kapuk asal Jawa Barat
tergolong tinggi. Kadar lignin dalam biomassa sering dijadikan parameter kimia
penting dalam kaitannya dengan nilai kalor. Hal ini karena lignin memiliki nilai
kalor yang lebih tinggi dibandingkan dengan selulosa dan hemiselulosa (White
1987). Oleh sebab itu, kulit buah kapuk asal Jawa Barat diduga memiliki nilai
kalor tinggi sehingga baik digunakan untuk bahan energi, misalnya digunakan
untuk briket arang (Pari et al. 2005).
Lignin memiliki kadar atom karbon yang lebih banyak dibandingkan dengan
selulosa dan hemiselulosa. Jumlah atom karbon mempengaruhi kadar karbon
terikat pada bahan, semakin tinggi kadar karbon terikat semakin tinggi pula nilai
kalornya (Bhavanam dan Sastry 2011; White 1987; Richardson et al. 2002).
Tingginya lignin dalam kulit buah kapuk asal Jawa Barat baik untuk pirolisis
lambat karena prosesnya memerlukan atom karbon tinggi untuk menghasilkan
produk arang padat (Bhavanam dan Sastry 2011). Sementara itu, rendahnya lignin
Jawa Tengah dan Jawa Timur baik untuk pirolisis cepat karena prosesnya
memerlukan atom karbon rendah untuk menghasilkan produk bio oil (Titiloye et
al. 2013).
Klasifikasi Biomassa Kulit Buah Kapuk Berdasarkan Nisbah Komponen
Kimia
Basu (2010) mengklasifikasikan bahan energi biomassa berdasarkan nisbah
komponen kimianya. Klasifikasi ini digunakan untuk menduga sifat-sifat bahan
bakar yang paling potensial yang dapat dipertimbangkan untuk densifikasi,
pirolisis, dan gasifikasi.
Gambar 4 Kadar lignin klason kulit buah kapuk
24.18
13.909.85
0
5
10
15
20
25
30
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Kad
ar lig
nin
(%
)
Asal bahan baku
10
Gambar 5 Klasifikasi biomassa kulit buah kapuk berdasarkan nisbah
komponen kimia menurut Basu (2010)
Gambar 5 menunjukkan posisi kulit buah kapuk sebagai bahan energi
dibandingkan dengan biomassa lainnya. Berdasarkan nisbah komponen kimianya,
terlihat bahwa terdapat perbedaan diantara ketiga sampel. Kulit buah kapuk asal
Jawa Barat berpotensi menghasilkan nilai kalor tinggi karena nisbah polisakarida
terhadap ligninya rendah. Sementara itu, kulit buah kapuk asal Jawa Timur
kemungkinan memiliki nilai kalor yang lebih rendah dibandingkan dengan kulit
buah kapuk asal Jawa Barat. Hal ini disebabkan tingginya fraksi menguap karena
tingginya nisbah polisakarida terhadap lignin. Kulit buah kapuk Jawa Barat dan
Jawa Tengah termasuk dalam kelompok biomassa setara biomassa kayu sehingga
diduga akan menghasilkan nilai kalor yang tinggi.
Karakteristik Kulit Buah Kapuk sebagai Bahan Energi
Karakteristik biomassa untuk bahan energi, selain dapat diduga dari nisbah
komponen kimianya, dapat juga diduga dengan analisis proksimat yang
menunjukkan karakter biomassa pada kondisi pembakaran suhu tinggi. Analisis
proksimat mengukur karakteristik biomassa untuk bahan energi meliputi kadar air,
zat terbang, abu, karbon terikat, dan nilai kalor. Analisis proksimat merupakan
indikator yang baik untuk menentukan kualitas biomassa sebagai bahan energi
biomassa (Capareda 2011).
Kadar Air
Kadar air berpengaruh besar terhadap sifat biomassa yang akan dijadikan
sebagai sumber energi terutama pengaruhnya terhadap nilai kalor yang dihasilkan.
Semakin tinggi kadar air mengakibatkan semakin rendahnya nilai kalor biomassa.
Hal ini disebabkan lebih banyak kalor yang dibutuhkan untuk mengeluarkan air
dalam biomassa tersebut menjadi uap sehingga energi yang tersisa dalam bahan
bakar menjadi lebih kecil (Haygreen dan Bowyer 1996). Biomassa yang baik
untuk bahan energi adalah yang memiliki kadar air yang rendah karena tidak
banyak mengeluarkan asap pada saat pembakaran (Hendra dan Wirnani 2003).
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0
Hem
iselu
losa
/Lig
nin
Selulosa/Lignin
Kulit Buah Kapuk
Jawa BaratKulit Buah Kapuk
Jawa tengahKulit Buah Kapuk
Jawa TimurBiomassa lainnya
(Basu 2010)Biomassa Kayu (Basu
2010)Biomassa Tumbuhan
Bawah (Basu 2010)
11
Gambar 6 Kadar air kulit buah kapuk
Kadar air kulit buah kapuk kondisi kering udara bervariasi berkisar 9.54-
14.04% (Gambar 6). Cahyono et al. (2008) menyatakan bahwa kadar air kondisi
kering udara dari kayu sebagai bahan energi biomassa sebaiknya 12%, maka
kadar air kulit buah kapuk semua tempat tumbuh tergolong baik.
Kadar Zat Terbang
Zat terbang adalah fraksi menguap dari bahan biomassa pada saat bahan
bakar dipanaskan (Basu 2010). Zat-zat yang menguap diantaranya metana,
hidrokarbon, hidrogen, karbon monoksida dan karbon dioksida (Ragland dan
Aerts 1991; Capareda 2011).
Gambar 7 Kadar zat terbang kulit buah kapuk
Kadar zat terbang kulit buah kapuk yang diteliti berkisar 71.62-74.17%.
Kadar zat menguap tertinggi dimiliki oleh kulit buah Jawa Timur sedangkan yang
terendah adalah Jawa Barat (Gambar 7). Tingginya kadar zat terbang kulit buah
kapuk asal Jawa Timur diduga karena banyaknya zat volatil yang berasal dari
selulosa amorf dan hemiselulosa yang dapat terdegradasi saat karbonisasi
berlangsung. Hal ini, sejalan dengan tingginya kadar holoselulosa dan
hemiselulosa pada kulit buah kapuk asal Jawa Timur. Stahl et al. (2004)
menyatakan bahwa kadar zat terbang untuk biomassa kayu energi sekitar 84%,
maka kadar zat terbang kulit buah kapuk semua tempat tumbuh termasuk rendah.
Penelitian Fauziah (2009) menunjukkan kadar zat terbang berbanding terbalik
14.0412.44
9.54
0
5
10
15
20
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Kad
ar a
ir (
%)
Asal bahan baku
71.56 72.11 74.11
0
20
40
60
80
100
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Kad
ar z
at t
erban
g (
%)
Asal bahan baku
12
dengan karbon terikat, semakin rendah zat terbang maka semakin tinggi karbon
terikatnya, maka biomassa kulit buah kapuk semakin baik untuk sumber energi.
Kadar Abu
Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari sisa pembakaran dan
gasifikasi (Basu 2010). Kandungan abu yang terdapat dalam biomassa umumnya
kalsium, potassium, magnesium, dan silika (Ragland dan Aerts 1991).
Gambar 8 menunjukkan bahwa kadar abu kulit buah kapuk ketiga sampel
berkisar 5.25-6.08%. Titiloye et al. (2013) menyatakan bahwa kadar abu pada
biomassa yang berbeda, dipengaruhi oleh tanah di tempat tumbuh yang berbeda
pula. Kulit buah kapuk asal Jawa Tengah memiliki kadar abu yang paling tinggi
sedangkan yang paling rendah adalah kulit buah kapuk asal Jawa Barat. Kadar abu
dari semua sampel termasuk tinggi dibandingkan dengan biomassa kayu yang
dapat mencapai 5% (Fengel dan Wegener 1984). Menurut Haygreen dan Bowyer
(1996), mineral-mineral cenderung terkonsenstrasi dalam jaringan bagian luar
termasuk kulit buah karena kandungannya sangat penting untuk fungsi fisiologis
pohon. Berdasarkan kadar abunya, kulit buah kapuk yang diteliti termasuk
kelompok bahan energi berpotensi slagging pada proses gasifikasi, yaitu bahan
energi biomassa yang dapat menyebabkan pembentukan kerak metal (Rajvanshi
1986). Kandungan abu tinggi terutama silika pengaruhnya kurang baik terhadap
energi biomassa, karena nilai kalor yang dihasilkan semakin rendah (Satmoko
2013).
Kadar Karbon Terikat
Kadar karbon terikat adalah fraksi karbon padat yang tertinggal dalam
biomassa setelah proses pirolisis (Basu 2010). Kadar karbon terikat kulit buah
kapuk berkisar 20.10-23.14%. Kadar karbon terikat yang paling tinggi dimiliki
oleh kulit buah kapuk asal Jawa Barat sedangkan yang paling rendah asal Jawa
Timur (Gambar 9). Kadar karbon terikat semua sampel termasuk kategori tinggi
dibandingkan dengan kadar karbon terikat biomassa kayu sebesar 16-18% (Stahl
et al. 2004). Tingginya kadar karbon terikat akan semakin meningkatkan nilai
kalor sehingga baik digunakan sebagai sumber energi.
Gambar 8 Kadar abu kulit buah kapuk
5.246.06 5.75
0
2
4
6
8
10
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Kad
ar a
bu (
%)
Asal bahan baku
13
Gambar 9 Kadar karbon terikat kulit buah kapuk
Nilai Kalor
Nilai kalor merupakan jumlah panas yang dihasilkan oleh 1 g atau 1 kg
biomassa yang terbakar habis. Nilai kalor merupakan parameter penting karena
mempengaruhi efisiensi bahan bakar (Basu 2010).
Gambar 10 Nilai kalor kulit buah kapuk
Nilai kalor kulit buah kapuk berkisar 4126-4493 kkal/kg (Gambar 10). Nilai
kalor kulit buah kapuk asal Jawa Barat termasuk tinggi tetapi asal Jawa Tengah
dan Jawa Timur termasuk rendah dibandingkan dengan nilai kalor biomassa kayu
sekitar 4400 kkl/kg (Stahl et al. 2004). Titiloye et al. (2013) menyatakan bahwa
semakin tinggi nilai kalor semakin potensial digunakan sebagai sumber energi
biomassa. Jamilatun (2011) menyatakan bahwa nilai kalor yang tinggi akan
menghasilkan pembakaran yang efisien dan menghemat kebutuhan biomassa.
Tiruno dan Sabit (2011) menyatakan bahwa tingginya nilai kalor menyebabkan
laju pembakaran semakin lambat. Tingginya nilai kalor kulit buah kapuk asal
Jawa Barat berkorelasi dengan tingginya kadar lignin dan rendahnya kadar
hemiselulosa. Tingginya kadar lignin tersebut berkorelasi juga dengan tingginya
kadar karbon terikat. Hal ini didukung oleh White (1987) bahwa adanya hubungan
linier antara nilai kalor tinggi dengan tingginya atom karbon yang terkandung
dalam lignin.
23.20 21.8220.14
0
5
10
15
20
25
30
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Kad
ar k
arbo
n t
erik
at (
%)
Asal bahan baku
4493 4212 4126
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Nilai
kal
or
(Kkal
/kg)
Asal bahan baku
14
Hubungan Karakteristik Kimia Kulit Buah Kapuk dengan Nilai Kalor
Pengaruh Zat Ekstraktif terhadap Nilai Kalor
Zat ekstraktif merupakan komponen kimia minor dalam biomasaa, tetapi
dapat berkontribusi terhadap nilai kalor. Hal ini disebabkan oleh tingginya nilai
kalor zat ekstraktif, yaitu sekitar 7764 kkal/kg (Gaur et al. 1998). Hasil penelitian
ini menunjukkan pula kontribusi positif zat ekstraktif terhadap nilai kalor dalam
kulit buah kapuk. Zat ekstraktif terlarut dalam air panas antara lain pati, zat warna,
dan tanin, sedangkan zat ekstraktif terlarut etanol benzena terutama dari kelompok
terpen, minyak dan lemak (Fengel dan Wegener 1984). Kedua kelompok zat
ekstraktif tersebut berkorelasi positif dengan nilai kalor (Gambar 11).
Hasil analisis regresi linier sederhana menunjukkan adanya korelasi positif
antara nilai kalor dengan kadar zat ekstraktif terlarut dalam air panas dan dalam
etanol benzena dengan koefisien korelasi (r) masing-masing sebesar 0.806 dan
0.775. Hal yang sama disampaikan oleh White (1987) bahwa kadar zat ekstraktif
larut dalam etanol-benzena berkorelasi positif dengan nilai kalor kayu. Richardson
et al. (2002) menyatakan bahwa zat ekstraktif kelompok terpen, resin, lilin, dan
fenolik adalah kelompok zat ekstraktif yang mempengaruhi tingginya nilai kalor
biomassa.
a b
Gambar Gambar 11 Pengaruh zat ekstraktif terhadap nilai kalor; a. air panas dan b.
etanol- benzena (1:2).
Pengaruh Kadar Polisakarida Dinding Sel terhadap Nilai Kalor
Holoselulosa adalah polisakarida penyusun dinding sel tumbuhan. Fraksi
polisakarida ini terdiri atas selulosa dan hemiselulosa. Berdasarkan Gambar 12,
terdapat korelasi negatif antara kadar holoselulosa dengan nilai kalor pada kulit
buah kapuk. Hal ini diduga karena tingginya proporsi kadar hemiselulosa dalam
holoselulosa sehingga menyebabkan tingginya fraksi menguap pada saat
pembakaran. Hemiselulosa adalah polimer karbohidrat bersifat amorf dengan
derajat polimerisasi rendah dan bercabang. Sifat kimia hemiselulosa seperti itu
menyebabkan mudah terdegradasi pada suhu tinggi menghasilkan zat menguap.
Basu (2010) menyatakan bahwa biomassa dengan kadar zat menguap tinggi akan
menghasilkan nilai kalor kayu yang rendah.
Hasil analisis regresi menunjukkan kadar holoselulosa dan hemiselulosa
berkorelasi negatif dengan nilai kalor dengan koefisien korelasi (r) masing-masing
y = 192.2x + 1944.
R² = 0.649
4000
4100
4200
4300
4400
4500
4600
10 12 14
Nil
ai k
alor
(kk
al/k
g)
Kelarutan dalam air panas (%)
y = 212.1x + 3358.
R² = 0.601
4000
4100
4200
4300
4400
4500
4600
2 4 6
Nil
ai k
alor
(kk
al/k
g)
Kelarutan dalam etanol-benzena (1:2) (%)
15
sebesar 0.962 dan 0.937 (Gambar 12). Hal ini sejalan dengan penelitian Khristova
dan Khalifa (1993) bahwa ditemukan korelasi negatif yang tinggi antara nilai
kalor dengan holoselulosa. Semakin tinggi kadar holoselulosa, semakin rendah
nilai kalor biomassa tersebut. Rendahnya nilai kalor holoselulosa diakibatkan oleh
rendahnya atom karbon yang menyusun selulosa dan hemiselulosa (White 1987).
a b
Gambar 12 Pengaruh polisakarida; a. holoselulosa, b. hemiselulosa terhadap nilai
kalor
Pengaruh Lignin terhadap Nilai Kalor
Lignin adalah polimer berbobot molekul tinggi yang dibangun oleh unit-unit
fenilpropana (Bowyer et al. 2007). Berdasarkan Gambar 13, terdapat korelasi
positif antara kadar lignin dengan nilai kalor kulit buah kapuk. Hal ini karena
kadar lignin tinggi menyebabkan kadar karbon terikat tinggi. Lignin merupakan
makromolekul yang dibentuk oleh polimerisasi dari tiga monomer fenilpropana
yaitu p-koumaril alkohol, koniferil alkohol, dan sinapil alkohol (Barnett dan
Jeronimidis 2003). Struktur lignin stabil pada suhu tinggi pembakaran karena
disusun oleh atom karbon yang tinggi. Pada tahap akhir pembakaran proporsi
atom karbon yang berasal dari lignin akan lebih banyak menjadi karbon terikat.
Tingginya atom karbon lignin menyebabkan semakin tinggi kadar karbon terikat
(Basu 2010). Tingginya kadar karbon terikat akan semakin meningkatkan nilai
kalor (Hindi et al. 2012).
Gambar 13 Pengaruh kadar lignin terhadap nilai kalor
Nilai kalor kulit buah kapuk berkorelasi positif dengan kadar ligninnya
dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.945 (Gambar 13). Hal ini karena tingginya
y = -19.85x + 5492.
R² = 0.926
4000
4100
4200
4300
4400
4500
4600
40 60 80
Nilai
kal
or
(kkal
/kg)
Holoselulosa (%)
y = -57.29x + 6025.
R² = 0.878
4000
4100
4200
4300
4400
4500
4600
25 30 35
Nilai
kal
or
(kkal
/kg)
Hemiselulosa (%)
y = 22.85x + 3885.
R² = 0.921
4000
4100
4200
4300
4400
4500
4600
0 10 20 30
Nilai
kal
or
(kkal
/kg)
Lignin (%)
16
kontribusi lignin pada kadar karbon terikat sehingga nilai kalor juga tinggi (White
1987). Richardson et al. (2002) bahwa ada korelasi positif antara nilai kalor
dengan kadar lignin.
Hubungan Parameter Proksimat dengan Nilai Kalor
Kadar zat terbang, kadar abu, dan kadar karbon terikat merupakan parameter
yang berpengaruh terhadap nilai kalor biomassa (Richardson et al. 2002).
Berdasarkan Gambar 14, kadar abu berpengaruh negatif terhadap nilai kalor kulit
buah kapuk. Hal ini diduga karena kadar abu kulit buah kapuk tinggi
menyebabkan mineral-mineral lebih banyak menyerap panas tanpa menambahkan
nilai panas pada saat pembakaran.
a
b
c
Gambar 14 Pengaruh parameter proksimat; a. kadar zat terbang, b. kadar abu, dan
c. kadar karbon terikat terhadap nilai kalor
y = -110.3x + 12288
R² = 0.606
4000410042004300440045004600
71 72 73 74 75
Nilai
kal
or
(kkal
/kg)
Kadar zat terbang (%)
y = -344.3x + 6235.
R² = 0.552
4000
4100
4200
4300
4400
4500
4600
0 2 4 6 8
Nilai
kal
or
(kkal
/kg)
Kadar abu (%)
y = 115.5x + 1768.
R² = 0.821
4000
4100
4200
4300
4400
4500
4600
19 20 21 22 23 24
Nilai
Kal
or
(kkal
/kg)
Kadar karbon terikat (%)
17
Kadar zat terbang juga berkontribusi negatif terhadap nilai kalor dan
berbanding terbalik dengan kadar karbon terikat yang berkontribusi positif
terhadap nilai kalor. Zat terbang merupakan fraksi dalam biomassa yang menguap
selama proses pembakaran dan tidak berkontribusi terhadap nilai kalor. Sementara
itu, karbon terikat merupakan komponen yang paling menentukan pada nilai kalor
pembakaran (Hindi et al. 2012).
Nilai kalor kulit buah kapuk berkorelasi negatif dengan kadar zat terbang
dan kadar abu dengan koefisien korelasi (r) masing-masing sebesar 0.778 dan
0.743. Korelasi positif ditunjukkan oleh kadar karbon terikat dengan nilai kalor
dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.906. Hal yang sama ditemukan pula pada
biomassa lainnya, yang menunjukkan adanya korelasi negatif antara nilai kalor
dengan kadar abu (Khristova dan Khalifa 1993) dan kadar zat terbang (Hindi et al.
2012), serta adanya korelasi positif antara nilai kalor dengan kadar karbon terikat
(Hindi et al. 2012).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kadar komponen kimia kulit buah kapuk bervariasi menurut asal tempat
bahan baku, meliputi kadar zat ekstraktif terlarut etanol-benzena (1:2) 3.68-
4.92%, air dingin 8.96-10.23%, air panas 11.36-12.18%, dan terlarut NaOH 1%
30.20%-37.68%, kadar holoselulosa berkisar 50.94-69.55%, alfa-selulosa 23.82-
36.3%, hemiselulosa 27.12-33.25%, dan lignin 10.54-26.02%. Sebagai bahan
baku energi, kulit buah kapuk memiliki kadar air berkisar 9.54-14.04%, kadar zat
terbang 71.62-74.17%, kadar abu 5.25-6.08%, kadar karbon terikat 20.10-23.14%,
dan nilai kalor 4126-4493 kkal/kg. Secara umum, kulit buah kapuk dari ketiga
daerah memiliki nilai kalor yang tinggi sehingga baik untuk bahan energi
biomassa. Kulit buah kapuk asal Jawa Barat memiliki karakteristik bahan energi
biomassa lebih baik dibandingan dengan kulit buah kapuk asal Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Saran
Salah satu kekurangan kulit buah kapuk sebagai bahan energi biomassa
adalah kerapatannya curahnya yang rendah sehingga bersifat bulky. Untuk
meningkatkan kegunaannya perlu dilakukan aplikasi teknologi seperti pirolisis
dan briket arang atau dibuat biopelet energi.
18
DAFTAR PUSTAKA
Astika IMJ. 2010. Eksplorasi α-selulosa buah kapuk sebagai bahan baku
pembuatan propelan [disertasi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya.
[ASTM] American Society for Testing Material. 2013. ASTM D-1102. Test
Method for Ash in Wood. West Conshohocken (US): ASTM International.
________________________________________. 2013. ASTM E-871. Test
Method for Moisture in the Analysis of Particulate Wood Fuels. West
Conshohocken (US): ASTM International.
________________________________________. 2013. ASTM E-872. Test
Method for Volatile Matter in the Analysis of Particulate Wood Fuels. West
Conshohocken (US): ASTM International.
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi. 2012. Luas Perkebunan Kapuk/Randu
2005-2012. Surabaya (ID): BPS Provinisi Jawa Timur.
Barani AM. 2006. Pedoman Budidaya Kapuk. Jakarta (ID): Direktorat Budidaya
Tanaman Tahunan, Dirjen Perkebunan.
Barnett J, Jeronimidis. 2003. Wood Qualtiy and its Biological Basis. Oxford
(UK): Blackwell Publishing Ltd, CRC press.
Basu P. 2010. Biomass Gasification and Pyrolysis: Practical Design and Theory.
Burlington (US): Academic Pr.
Bhavanaman A, Sastry RC. 2011. Biomass gasification processes in downdraft
fixed bed reactors: a review. IJCEA. 2 (6): 1-9.
Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2007. Forest Products and Wood Science
an Introduction-Fifth Edition. Iowa (US): Blackwell Publishing.
Cahyono D, Coto Z, Febrianto F. 2008. Aspek thermofisis pemanfaatan kayu
sebagai bahan bakar substitusi di pabrik semen. J. Ilmu Teknologi Hasil Hutan
1(1): 45-53.
Capareda SC. 2011. Biomass energy conversion. Sustain. Growth Apll. Renew.
Energy Sources.10: 210-226.
Fauziah N. 2009. Pembuatan arang aktif secara langsung dari kulit acacia
mangium dengan aktivasi fisika dan aplikasinya sebagai adsorben [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fengel D, Wegener G. 1984. Wood: Chemistry Ultrastructure and Reactions.
Berlin (DE): Walter de Guyter & Co.
Gaur S, Reed T, Dekker M. 1998. Thermal data for natural and synthetic fuels -
proximate and ultimate analyses. Biomass Energy Foundation. 1 (1):1-4.
Gaur S, Reed T. 1995. An Atlas of Thermal Data for Biomass and other Fuels.
Colorado (US): NREL Pr.
Handayani P, Tanuwijaya J, Karsono. 2012.Pengaruh selulosa mikrokristal kulit
buah kapuk terhadap laju disolusi tablet. J. Farmasi Farmakologi. 1 (1): 55–62.
Haygreen JG, Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar.
Hadikusumo SA, Penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.
Terjemahan dari: Forest Products and Wood Science: an Introduction.
Hendra D, Wirnarni I. 2003. Sifat fisis dan kimia briket arang campuran limbah
kayu gergajian dan sebetan kayu. Bull. Penelitian Hasil Hutan 18:1-9.
Hindi SS, Rahman GM, Qubaie AI. 2012. Gross heat of combustion for some
Saudihardwoods. Int. J. Eng. Sci. 1(5): 10-14.
19
Jamilatun S. 2011. Kualitas sifat-sifat penyalaan dari pembakaran briket biomassa,
briket batu bara dan arang kayu. J. Rekayasa Proses. 2 (2): 37-40.
Khristova P, Khalifa AW. 1993. Carbonization of some fast-growing species in
Sudan. Appl Energy. 45 (4): 347-354.
McKendry P. 2002. Energy production from biomass (part 1): overview of
biomass. Biores. Technol. 83: 37-46.
Ningrum NP, Kusuma MA. 2013. Pemanfaatan minyak goreng bekas dan abu
kulit buah kapuk randu sebagai bahan pembuatan sabun mandi organik
berbasis teknologi ramah lingkungan. J. Teknologi Kimia Industri. 2: 275-285.
Pari G, Roliadi H, Setiawan D. 2005. Komponen kimia sepuluh jenis kayu
tanaman dari jawa barat. J. Penelitian Hasil Hutan. 1: 1-21.
Ragland KW, Aerts DJ. 1991. Properties of Wood for Combustions Anlaysis.
Wisconsin (US): University of Wisconsin-Madison Pr.
Rajvanshi AK. 1986. Biomass gasification. NARI. 1: 1-21
Richardson J, Bjorheden R, Hakkila P, Lowe AT, Smith CT. 2002. Bioenergy
from Sustainable Forestry. Boston (US): Kluwer Academic Pr.
Satmoko ME. 2013. Karakteristik briket dari limbah pengolahan kayu sengon
dengan metode cetak panas. J. Mech Eng Learn. 2 (1): 1-8.
Sjostrom E. 1981. Wood Chemistry: Fundamental and Application. London (UK):
Academic Press.
Sthal R, Henrich E, Gehrmann HJ, Vodegel S, Koch M. 2004. Definition of
Standard Biomass.Germany (DE): Forschungszentrum Karlsruhe.
[TAPPI] Technical Association of Pulp and Paper Industry. 1996. TAPPI Test
Methods. Atlanta (US): TAPPI Press.
Tiruno, Sabit. 2011. Efek suhu pada proses pengarangan terhadap nilai kalor
arang tempurung kelapa (Coconut Shell Charcoal). J. Neutrino. 3 (2): 149-151.
Titiloye JO, Bakar MSA, Odetoye TE. 2013. Thermochemical characterization of
agricultural wastes from west Africa. Industrial Crops Prod. 47: 199-203.
White RH. 1987. Effect of lignin content and extractives on the higher heating
value of wood. J. Wood Fiber Sci. 19 (4): 446-452.
20
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 28 Juli 1991 yang merupakan putra
ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Abdul Manan dan Ibu Kusniati.
Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Babakan Cirebon pada tahun 2010 dan pada
tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis diterima di Mayor
Teknologi Hasil hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Pada tahun
2013 penulis memilih Bagian Kimia Hasil Hutan sebagai bidang minat studi tugas
akhir.
Penulis pernah mengikuti Praktek Pengenalan ekosistem Hutan (PPEH) di
Pangandaran dan Gunung Sawal, Jawa Barat dan Praktek Pengelolaan Hutan
(PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di
PGT. Paninggaran Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Penulis juga pernah
mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) yang didanai oleh DIKTI pada
tahun 2013.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari
Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dan menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Karakteristik Kimia Kulit Buah Kapuk Randu sebagai
Bahan Energi Biomassa” dibawah bimbingan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc.