karakteristik karkas sapi bali betina dan jantan yang … · menurut hunsley et al. (1978), pada...
TRANSCRIPT
The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011 39
KARAKTERISTIK KARKAS SAPI BALI BETINA DAN JANTAN YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG UMUM PESANGGARAN, DENPASAR
I Ketut Saka, I.B. Mantra, I N. Tirta Ariana, A.A. Oka, Ni L. P. Sriyani, Sentana Putra
Fakultas Peternakan,Universitas Udayana
ABSTRACT
A number of 219 Bali cattle consisted of 170 entire males (bulls) and 49 female cattle (mostly cows) of various age (based on number of permanent incisors erupted) were observed at Pesanggaran abattoir, Denpasar.
Design used in in this study was completely randomized design. The study was conducted at public abattoir of Pesanggaran Denpasar for about fi ve months.The study was designed in order to identify the affects of sex on carcass yield and some others carcass characteristics of Bali cattle slaughtered at the abattoir. Data recorded in the study were analyzed using analysis of variance to determine the affects of sex on carcass characteristics measured in the study by comparing between the two treatment means (Sokal and Rohlf, 1969 and Chang, 1972).
Results of the study indicated that the entire males were very signifi cant (P<0,01) or very highly signifi cant (P<0.001) had higher fl eshing index (FI), hot carcass weight, eye muscle area than those of the female cattle. Backfat thickness, scores for carcass fatness and carcass meat colour of the female cattle were very signifi cant or very highly signifi cant higher than those of the bulls.Their carcass length, meat pHU and meat colour scores, however, did not signifi cantly different (P>0,05) between the female and entire male cattle. It was concluded that the Bali cattle, particularly the bulls slaughtered at Pesanggaran abattoir had poor carcass conformation and the entire male cattle had more acceptable carcasses than those of the female cattle in terms of criteria for commercial carcass grading.
Keywords: Bali cattle, carcass characteristics, sex affects.
PENDAHULUAN
Penilaian terhadap ukuran-ukuran atau karakteristik-karakteristik karkas, baik secara subyektif maupu obyektif atau pemberian peringkat (grading) komersial untuk karkas yang akan diperdagangkan, telah umum dilakukan di negara-negara yang telah maju usaha peternakannya. Ini adalah penting pada semua tingkat rantai pemasaran daging mulai dari tempat pemeliharaan ternak (farm) sampai ke pasar-pasar eceran. Pengusaha-pengusaha daging olahan atau pengecer daging harus memenuhi
persyaratan-persyaratan yang diminta konsumen dalam hal besarnya potongan karkas, daya tarik dan komposisi potongan karkas atau produk yang ditawarkan untuk dijual dan harus memperkirakan jumlah daging yang dapat dijual dari tiap karkas (Kempster et al., 1982).
Indeks perototan atau fl eshing index (FI) adalah salah satu karakteristik karkas atau kriteria penilaian karkas obyektif yang merupakan pilihan untuk mengganti penilaian konformasi karkas secara visual yang subyektif. Berat (kg) per satuan panjang (cm) atau fl eshing index atau indeks perototan karkas digunakan sebagai ukuran konformasi karkas secara obyektif telah banyak dianjurkan karena diyakini ada hubungan yang positif dengan peruratdagingan karkas atau jumlah daging yang dapat dijual yang diperoleh pada sebuah karkas. Jadi makin tinggi nilai FI suatu karkas atau makin tinggi berat karkas per satuan panjangnya maka makin baik atau makin diinginkan konformasi karkas tersebut, asalkan karkas itu tidak terlalu gemuk (skor kegemukan karkasnya tidak lebih daripada 3 atau sedang).Suatu konformasi karkas sapi daging yang diinginkan adalah karkas tersebut tebal, banyak daging dan perototannya berat di seluruh bagian karkas dengan suatu perimbangan tinggi dari beratnya dalam potongan-potongan karkas yang berharga tinggi seperti round, loin, rib, dan chuck (Hunsley et al., 1978; Kepster et al., 1982).Karakteristik-karakteristik karkas lainnya selain konformasi, berat dan panjang karkas yang sering dinilai dalam suatu sistem pemberian peringkat (grading) komersial adalah kedewasaan (maturity) atau umur fi siologi, warna daging dan lemak, tekstur daging dan lemak, kekerasan (fi rmness) daging dan lemak, marbling, tebal lemak punggung, luas urat dagiung mata rusuk (UDMR)(eye muscle area), dan persentase lemak ginjal dan pelvis, dan lemak jantung yang dapat digunakan sebagai dasar penilaian guna memperkirakan komposisi atau jumlah daging yang dapat diperoleh atau dijual serta memperkirakan eating quality (citarasa, keempukan dan juiceness daging) dari suatu karkas.
FI adalah nisbah antara berat karkas dengan panjang karkas dan Yeates (1952)(dikutip oleh Kempster et al., 1982) mendapatkan bahwa FI berhubungan dengan penilaian konformasi karkas secara subyektif. Dia menggunakan regresi linear sederhana untuk mengukur FI. Besarnya FI dikatakan positif bila satuan-satuan berat karkas lebih berat daripada rata-rata untuk panjangnya (plotting data-data hubungan antara berat
The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011 40
dan panjang karkas berada di atas garis regresinya pada grafi k), negatif bila satuan-satuan berat karkas lebih ringan daripada rata-rata dan nol (zero index) jika tepat sama dengan hubungan rata-rata dengan panjangnya.
Suatu penelitian yang dilakukan terhadap beberapa ribu karkas sapi daging yang mewakili suatu rentangan yang besar dari sapi daging rata-rata sampai kualitas unggul mendapatkan bahwa karkas-karkas yang konformasinya baik semuanya lebih berat daripada rata-rata untuk panjangnya (plotting data-datanya berada di atas garis regresi linearnya); yang konformasinya jelek lebih ringan daripada rata-rata untuk panjangnya (plotting data-datanya berada di bawah garis regresi linear sederhanya)(Yeates et al., 1975)..
Thwaites, Yeates dan Pogue (1964)(dikutip oleh Yeates et al., 1975) mendapatkan bahwa koefi sien korelasi
( r ) antara panjang karkas (X) dan berat karkas (Y) pada domba adalah 0,8274 dengan persamaan regresi : Y=1,963X–78,995. Nilai FI memberi gambaran tentang jumlah daging (otot dan lemak) yang dikandung pada sebuah karkas, Tetapi jelaslah FI tidaklah membeda-bedakan antara perkembangan relatif otot dan lemak. Perkembangan otot adalah diinginkan sedangkan kegemukan karkas yang berlebihan atau kurang dikenakan penalti (pengurangan nilai skor) selama penilaian karkas.
Di Afrika Selatan, nisbah berat dengan panjang karkas digunakan untuk menentukan tingkatan-tingkatan konformasi dalam menentukan peringkat komersial karkas-karkas sapi yang akan diperdagangkan seperti disajikan dalam Tabel 1 di bawah ini.
Karakteristik-karakteristik karkas yang sering
diukur dalam suatu grading (pemberian peringkat)
komersial karkas adalah karakteristik-karakteristik
yang penting secara komersial. Karakteristik-
karakteristik ini mungkin digambarkan sebagai
karakteristik yang merupakan petunjuk hasil daging
yang dapat dijual dan karakteristik yang menyebabkan
karkas menarik bagi pembeli. Grading ada dua macam
yaitu yield grade (YG) atau peringkat hasil, dan quality grade (QG) atau peringkat mutu. YG dilakukan
berdasarka n jumlah daging yang dapat dijual yang
dapat diperoleh dari sebuah karkas dan didefi nisikan
sebagai persentase dari berat karkas tetelan-tetelan
daging eceran tanpa tulang yang telah diiris lemaknya
secara ketat yang berasal dari empat potongan utama
karkas: round, loin, rib dan chuck yang merupakan 80%
Tabel 1. Deskripsi Konformasi Karkas dan Nisbah-nisbah Berat dengan Panjang Karkas Masing-masing pada Sapi
Karakteristi k Kode / Skor Deskripsi Petunjuk
1
2
3
4
5
Sangat kurus
Kurus
Menengah
Bundar
Amat bundar
Kurang daripada 1,30 kg ti ap cm panjang karkas.
1,30 – 1,55 kg ti ap cm panjang karkas.
1,56 – 1,80 kg ti ap cm panjang karkas.
1,81 – 2,05 kg ti ap cm panjang karkas.
Lebih daripada 2,05 kg ti ap cm panjang karkas
dari nilai suatu karkas sapi.
Hasil daging eceran amat penting dalam
menentukan nilai akhir dari suatu karkas sapi daging.
Nilai hasil ini, juga disebut sebagai “cutability”, amat
dipengaruhi jumlah relatif daging (lean) dan lemak
yang tidak bermanfaat (waste fat) pada karkas tersebut.
Faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan
peringkat eceran (Tabel 2) dari sebuah karkas adalah
(1) perototan (luas UDMR), (2) tebal lemak punggung
karkas, (3) berat lemak ginjal dan (4) berat karkas.
Faktor-faktor ini bisa digunakan dalam menentukan
katagori karkas berkenaan dengan hasil daging eceran
yang mungkin diharapkan/diperkirakan.
Konformasi
Sumber: Kempster et al. (1982).
The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011 41
Sumber: Hunsley et al. (1978).
Tabel 2. Persentase daging eceran tanpa tulang dari berat karkas yang lemak karkasnya teriris ketat yang berasal dari round, loin, rib dan chuck untukperingkat-peringkat hasil yang bersesuaian
Untuk sapi-sapi Bali jantan Nusa Penida yang berumur 1-3 tahun (I
1, I
2, dan I
3) yang dipotong di RPU
Pesanggaran, capaian rataan (± SD) hasil daging dari 4 potongan karkasnya dan peringkat hasil karkasnya (YG) masih amat rendah, masing-masing 44,0 ± 3,457 persen dan 5 (Tabel 2). Sesuai dengan ini, FI-nya juga amat rendah, dengan rataan (± SD) 1,19 ± 0,086. Jadi skor konformasi karkasnya amat rendah, yaitu 1 (Tabel 1) (Saka et al., 2005) Demikian pula sapi-sapi Bali jantan dari berbagai umur (I
0 – I
4) yang berasal dari pulau Bali
yang dipotong di RPU Pesanggaran mencapai rataan (± SE) FI, 1,44 ± 0,041 atau skor konformasinya 2 (Tabel 1)(Saka et al., 1992).
Menurut Hunsley et al. (1978), pada sapi daging, istilah “mutu” mengacu terutama kepada kedewasaan (maturity) dan kepada marbling (jumlah lemak intramuskuler), warna (daging dan lemak karkas), tekstur (daging dan lemak) dan kekerasan/fi rmness daging (lean). Sifat-sifat mutu karkas sapi daging, kecuali kedewasaan, diamati pada UDMR dari karkas yang sudah dipotong-potong. UDMR sebuah karkas sapi daging yang bermutu tinggi berwarna merah cherry cemerlang, keras terhadap sentuhan dan bertekstur halus. UDMR tersebut mempunyai marbling yang banyak dan halus dengan lemak yang berwarna putih. Marbling ada hubungannya dengan palatabilitas (rasa enak); kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa marbling menyebabkan/bertanggung jawab kira-kira 12 persen dari variabilitas dalam keempukan dan agaknya lebih banyak untuk tingkat sari minyak/juiceness. Untuk menentukan peringkat karkas USDA (United State Department of Agriculture), ditetapkan 10 tingkatan marbling sebagai berikut: (1) Abundant,
Peringkat Hasil
Hasil Tetelan Daging dari Empat Potongan Utama Karkas (Round, Loin, Rib, dan Chuck) Sebagai Persentase dari Berat Karkas
1,0 – 1,9
2,0 – 2,9
3,0 – 3,9
4,0 – 4,9
5,0 – 5,9
54,6 – 52,6
52,3 – 50,3
50,0 – 48,0
47,7 – 45,7
45,4 – 43,3
(2) Moderately abundant, (3) Slightly abundant, (4) Moderate, (5) Modest, (6) Small, (7) Slight, (8) Traces, (9) Practically devoid dan (10) Devoid.
Umur hewan waktu pemotongan erat hubungannya dengan eating quality, khususnya keempukan, kedewasaan dinilai pada waktu melakukan penilikan sapi daging hidup. Hal-hal yang berikut ini adalah karakteristik-karakteristik kedewasaan hewan-hewan muda: (1) ruas-ruas tulang belakang (vertebrae) lembek, porus dan berwarna merah; (2) tulang-tulang rawan taju tegak (buttons) besar, putih, lembek; dan (3) tulang-tulang rusuk relatif sempit, berwrna merah. Hal-hal berikut ini adalah karakteristik-karakteristik dari hewan-hewan dewasa: (1) vertebrae keras, putih, membatu; (2) tulang-tulang rawan taju tegak (buttons) mengalami osifi kasi (menjadi tulang); dan (3) tulang-tulang rusuk lebar, berwarna putih.
Peringkat mutu (QG) dirancang untuk menggolong-golongkan rupa dan eating quality (citarasa, keempukan dan tingat sari minyak/juiceness) daging suatu karkas sapi.Meskipun rupa daging bukanlah merupakan petunjuk yang tepat terhadap eating quality, suatu rupa daging yang abnormal akan menurunkan kemungkinan penjualan, teristimewa dalam suatu situasi swalayan. Oleh karena itu faktor ini tidak dapat diabaikan begitu saja sebagai hal yang tidak penting. Salah satu penentu rupa daging adalah daging babi yang rupanya pucat (pale), lembek (soft) dan berair/sembab (exudative) atau dikenal dengan PSE meat/pork dan daging sapi yang berwarna merah gelap/hitan (dark), keras (fi rm), dan kering (dry) yang terkenal dengan istilah DFD beef/cut atau black beef. Fenomena DFD cut sering terjadi pada sapi (bovine muscle), domba dan kambing (ovine muscle)
The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011 42
karena hewan-hewan tersebut mengalami cekaman (stress) yang kronis beberapa saat sebelum pemotongan baik selama pengangkutan, maupun selama ditaruh di rumah potong hewan atau di pasar hewan. Cekaman emosional yang kronis sering terjadi pada sapi-sapi jantan terutama jika sapi-sapi jantan muda yang berasal dari farm (asal tempat pemeliharaan) yang berbeda-beda dikumpulkan bersama-sama dalam satu pen (kandang), sehingga merasa asing satu sama lainnya. Ini disebabkan oleh pengaruh hormon testosterone yang menyebabkan sapi-sapi jantan mempunyai temperamen excited (mudah terangsang). Cekaman berakibat menurunnya cadangan glikogen otot karena keperluan energi untuk melawan cekaman sehingga kadar glikogen otot menurun. Jika kadarnya turun hingga 0,65% (kadar glikogen otot yang normal adalah 1%) atau lebih rendah maka proses glikolisis (anaerobe) dalam pascamati otot akan amat lambat dan kadar asam laktat yang terbentuk akan rendah. Karena itu maka pH akhir (kira-kira 24 jam setelah pemotongan dalam ruang pelayuan) daging menjadi tinggi (lebih tinggi daripada 6,0). Ini menyebabkan terjadinya DFD beef, keempukan daging dan citarasanya menurun. Lagi pula daya ikat air daging (WHC, water holding capacity) menjadi tinggi dan pembusukan daging oleh bakteri menjadi lebih mudah. Organisme pembusuk daging biasa, Pseudomonas sp. tumbuh paling baik pada nilai pH mendekati 7,0 atau sedikit basa, pertumbuhannya berkurang bila pH daging adalah 6,0 atau lebih rendah (Lawrie, 1979; Aberle et al., 2001).
Otot yang berasal dari sapi yang sehat, diberi ransum dengan baik dan bendapat istirahat cukup mempunyai kadar glikogen otot yang cukup (kira-kira 1% dari berat otot segar), yang akan dirubah menjadi asam laktat setelah mati/pemotongan. Perubahan anaerobe glikogen menjadi asam laktat setelah 24 jam mengakibatkan penurunan pH oto dari 7,2 (segera setelah sapi disembelih) menjadi kira-kira 5,5 (5,4 – 5,6).Nilai pH akhir otot yang dicapai ketika produksi asam laktat pascamati telah berhenti disebut sebagai pH akhir (pHU). Nilai pHU daging karkas sapi dicapai kira-kira 24 jam pascamati (PM) dan perkembamgan rigor mortis (rm) sebenarnya telah selesai 24 jam PM. Karena itu maka nilai pHU yang tercapai ditentukan oleh kadar glikogen dalam otot pada waktu pemotongan. Nilai pHU ini mempengaruhi hampir semua aspek mutu daging seperti keempukan, warna, citarasa dan daya simpan daging (Lawrie, 1979).
Berkenaan dengan pengaruh jenis atau status kelamin terhadap pertumbuhan dan perkembangan ternak dinyatakan bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap umur fi siologi ternak. Sapi-sapi jantan mempunyai pertumbuhan yang lebih besar, jadi lebih berat, lebih lean (kandungan lemak karkas sedikit) atau secara fi siologi kurang dewasa daripada sapi-sapi
betina atau sapi jantan kastrasi pada umur yang sama. Sapi-sapi betina mencapai dewasa lebih dini dan pada berat badan yang lebih kecil atau umur kronologi yang lebih muda; sapi-sapi jantan kebirian adalah menengah antara sapi-sapi jantan dan betina mengenai umur hewan itu mencapai dewasa fi siologi. Pada setiap umur kronologi yang tersedia sapi-sapi jantan lebih berat, lebih lean dan mempunyai lemak lebih sedikit daripada sapi-sapi betina maupun jantan kebirian. Sapi-sapi jantan juga mempunyai peringkat/grade mutu yang lebih rendah karena jumlah marbling, keempukan, tekstur, warna dan citarasa dagingnya. yang kurang memenuhi standar untuk grade mutu yang yang tinggi. Karena pencapaian umur dewasa yang lebih dini pada sapi-sapi betina maka sapi-sapi betina akan lebih gemuk dan mempunyai peringkat mutu yang lebih tinggi pada setiap umur kronologi atau pada berat yang sama atau tersedia daripada sapi-sapi jantan (Boggs dan Merkel, 1979).
Dalam keadaan-keadaan pakan yang baik sapi-sapi jantan tumbuh lebih cepat daripada sapi-sapi jantan kebirian dan sapi-sapi jantan kebirian lebih cepat daripada sapi-sapi dara (Price dan Yeates, 1969, dikutip oleh Berg dan Butterfi eld, 1976). Tetapi, dalam keadaan-keadaan pakan yang jelek keunggulan sapi-sapi jantan tidak tampak dibandingkan dengan sapi-sapi dari jenis kelamin lainnya. Hasil-hasil penelitian dari peneliti terakhir ini menunjukkan bahwa mulai dari berat karkas 200 kg sampai 320 kg secara nyata sapi-sapi betina dara lebih tinggi jumlah lemaknya daripada sapi-sapi jantan kebirian dan sapi-sapi jantan kebirian lebih tinggi daripada sapi-sapi jantan.
Bagaimana FI sebaga ukuran konformasi karkas dan karakteristik-karakteristik karkas lain pada sapi Bali tersebut dalam berbagai status kelamin, sampai sekarang belum banyak dipublikasikan. Mengingat demikian pentingnya FI dan karakteristik-karakteristik karkas tersebut di atas maka dipandang perlu untuk melakukan suatu penelitian pada sapi Bali pada berbagai status kelamin untuk dapat menentukan FI atau konformasi karkas dan karakteristik-karakteristik karkas sapi-sapi Bali yang dipelihara secara tradisional dan dipotong di RPU Pesanggaran, Denpasar.
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Lama Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RPU Pesanggaran, Paberik Pengalengan Daging PT. C.I.P. Denpasar, dan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana selama kira-kira lima bulan. RPU Pesanggaran adalah RPU terbesar di Bali, dan sapi-sapi yang dipotong di sini berasal dari seluruh kabupaten di Bali dan sebagian besar dari sapi-sapi yang dipotong di sini dibeli dari Pasar Hewan Beringkit
The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011 43
yang merupakan Pasar Hewan terbesar di Bali. Pasar Hewan ini terletak kira-kira 20 km di sebelah Barat kota Denpasar, Kabupaten Badung. Sapi-sapi peneltian ini yang dibeli oleh para jagal pagi hari pada tiap hari pasaran (Rabu dan Minggu) dan setelah terjadi transaksi, sapi-sapi diangkut ke RPU Pesanggaran pada sore hari pada hari itu juga.
Materi
Sapi-sapi Bali jantan dan betian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi-sapi milik para jagal yang memotong sapi-sapi itu di RPU Pesanggaran dan sebagian besar dibeli dari Pasar Hewan Beringkit, Badung serta menjual karkas-karkas sapi tersebut kepada PT. C.I.P. Denpasar.
Tabel 3. Deskripsi, tebal lemak subkutan dan skor-skor yang bersangkutan
SkorLemak
DeskripsiPengukuran (perkiraan) tebal lemak
punggung antara rusuk 9 dan 10 (mm)
1
2
3
4
5
Vey lean (amat ramping)
Lean (ramping)
Medium (menengah)
Fat (gemuk)
Very fat
1 atau kurang
2 sampai 4
5 sampai 7
8 sampai 11
12 atau lebih
Alat-alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) timbangan duduk kapasitas 500 kg dengan ketelitian pembacaan 0,1 kg; (2) metal ruler dari Rabone Chesterman No. 64FR, berskala 0 – 150 mm, dengan ketelitian pembacaan sampai 0,5 mm; (3) kisi-kisi dengan ukuran tiap kisi, 0,3 x 0,3 cm; (4) pita meteran metal fl eksibel, panjang 2,5 m dengan ketelitian pembacaan sampai seteliti 0,1 cm; (5) Activon pH meter, Model 209/Temp/mV meter; (6) photographic colour standard for beef and fat samples, made availaqble by Mr. Frapple and Mr. Bond (Western Australian Department of Agriculture, unpublished); (7) Point Scale of Fat Score, berupa suatu Tabel untuk pedoman melakukan pemberian skor kegemukan karkas (carcass fatness) seperti disajikan pada Tabel 3.(McIntyre dan Ryan (1980).
Metode
Setiap pemotongan sejumlah sapi yang akan dipotong yang karkasnya akan dijual kepada PT. C.I.P. Denpasar, dialokasikan ke dalam kelompok-kelompok jantan dan betina. Tiap individu sapi diperkirakan umur kronologinya dengan cara membuka mulutnya dan mengamati jumlah gigi-gigi depan tetapnya. Sapi-sapi betina dan jantan yang dipotong bergigi depan dari 0, 2, 4, 6, dan 8 (I0, I1, I2, I3, dan I4).
Prosedur dan proses pemotongan dilakukan sesuai dengan praktik pemoto-ngan yang dilakukan sehari-hari di RPU Pesanggaran. Setelah penyembelihan lalu dilakukan pengulitan, pemotongan ekor, kaki-kaki bawah depan dan belakang maka dilakukan pengeluaran semua organ dalam (viscera), termasuk ginjal, lemak ginjal dan pelvis. Setelah pengerjaan karkas selesai maka segera dilakukan pembelahan karkas secara simetris menjadi separuh bagian kanan dan kiri melalui sepanjang ruas-ruas tulang belakang mulai dari symphysis pelvis sampai berakhir pada tulang atlas.Tiap separuh karkas kemudian dibagi dua pada
Sumber : McIntyre dan Ryan (1980).
sela di antara tulang-tulang rusuk 10 dan 11 menjadi perempatan depan (forequarter) dan perempatan belakang (hindquarter). Segera kemudian semua karkas diangkut ke paberik pengalengan daging PT. C.I.P. Denpasar yang berjarak kira-kira 6 km dari RPU Pesanggaran.
Pengukuran-pengukuran yang dilakukan di RPU Pesanggaran adalah (1) skor kegemukan karkas; (2) skor-warna lemak karkas; (3) panjang karkas; dan (4) gambar lacakan (tracing) urat daging mata rusuk (UDMR). Penimbangan berat karkas dan pengambilan sampel UDMR dilakukan di PT. C.I.P. Denpasar. Pengukuran-pengukuran pHU, dan skor warna daging dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fapet Unud.
Skor kegemukan karkas dinilai berdasarkan metode yang dideskripsikan oleh McIntyre dan Ryan (1980) seperti disajikan pada Tabel 3 di atas.
Untuk skor-skor warna lemak dan daging, penilaian dilakukan dengan cara membandingkan warna lemak karkas yang diamati dengan Standar Warna Foto dari
The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011 44
sampel-sampel daging dan lemak karkas sapi daging yang dibuat oleh Mr. Frapple dan Mr. Bond (Western Australian Department of Agriculture). Ada 6 skor warna lemak berkisar dari 1 (putih kekreman) sampai 6 (amat kuning). Skor-skor daging sapi juga berkisar dari 1 (amat merah pucat- hampir ungu) hingga 6 (amat mearh gelap – merah keunguan).
Panjang karkas diukur dengan menggunakan pita ukur logam fl exible mengikuti metode yang dideskripsikan oleh Yeates et al (1975). Separuh karkas segar digantung pada tendo Achilles, lalu pengukuran dilakukan dari pihak sisi dalam karkas mulai dari tepi depan Os pubis vertikal lurus ke bawah sampai ke tepi depan dari tulang rusuk pertama.
Untuk mengukur luas UDMR maka terlebih dahulu dibuat gambar lacakan penampang lintang UDMR di atas plastik tranparan dengan spidol permanen, dan setelah itu gambar outline ini diukur luasnya dengan menggunakan kisi-kisi berukuran 0,3 x 0,3 cm seperti
No. Jumlah sapi dan karakteristi k-karakteristi k karkas
Jenis kelamin Simpangan
Baku (SE)
Signifi -
kansiJantan Beti na
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Jmlah sapi (ekor)
Berat karkas segar (kg)
Panjang karkas (cm)
Fleshing index (kg/cm)
Luas UDMR (cm2) **)
Tebal lemak punggung (¾)(mm)
Skor kegemukan karkas
Skor warna lemak
Skor warna daging
Nilai pHU daging
170
170,2a
117,6a
1,44a
62,2a
10,7a
2,4a
2,8a
4,1a
5,53a
49
146,2b
116,0a
1,25b
55,6b
14,7b
2,8b
3,9b
4,1a
5,50a
6,166*)
1,317
0,041
2,242
1,023
0,127.
0,156
0,174
0,030
P<0,001
P>0,05
P<0,001
P<0,01.
P<0,001
P<0,01
P,0,001
P>0,05
P>0,05
ditunjukkan oleh Hunsley et al (1978).
Analysis Statistika
Data-data mengenai semua peubah yang diamati yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan Sidik Ragam untuk membanding rata-rata antar dua perlakuan jenis kelamin betina dan jantan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sapi-sapi jantan amat nyata (P<0,01) atau amat sangat nyata (P<0,001) mempunyai berat karkas segar (BKS), FI, dan luas UDMR yang lebih tinggi daripada sapi-sapi betina.Tetapi, sapi-sapi jantan amat nyata atau amat sangat nyata mempunyai tebal lemak punggung, skor warna lemak dan skor kegemukan karkas lebih kecil daripada sapi-sapi betina; sedangakan untuk peubah-peubah panjang karkas, skor warna daging dan nilai pHU tidak berbeda nyata antara sapi-sapi dari kedua jenis kelamin tersebut (Tabel 4).
Karkas-karkas sapi jantan amat sangat nyata
(P<0,001) 16,4% lebih berat daripada sapi-sapi betina
(Tabel 4). Ini mendukung hasil-hasil penelitian
sebelumnya bahwa karkas sapi-sapi jantan amat
sangat nyata (P<0,001) 29,4% lebih tinggi daripada
Tabel 4. Efek Jenis Kelamin terhadap Karakteristik-karakteristik Karkas Sapi-sapi Bali yang Dipotong di Rumah Potong Umum Pesanggaran.
Keterangan: *) Nilai rataan yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda amat nyata (P<0,01) atau berbeda amat sangat nyata (P<0,001). **) Urat daging mata rusuk.
berat karkas sapi-sapi betina(Saka et al., 1992). Adanya
hormon testosterone atau androgen yang memberi
pengaruh meningkatnya retensi nitrogen atau sintesis
protein atau otot di dalam tubuh sehingga memacu
laju pertumbuhan sapi-sapi jantan menjadi lebih
The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011 45
tinggi daripada sapi-sapi betina..Karena itu maka pada
umur fi siologi atau kronologi yang sama maka berat
badan dan berat karkas sapi-sapi jantan selalu lebih
tinggi daripada sapi-sapi betina (Bogs dan Merkel,
1979; Kempster et al., 1982). Hasil-hasil yang sama juga
dilaporkan oleh Saka et al. (1991), bahwa karkas sapi-
sapi jantan amat sangat nyata (P<0,001) 12,9% lebih
berat daripada berat karkas sapi-sapi betina pada
kisaran umur kronologi yang sama.
Sejalan dengan berat karkas, sapi-sapi jantan
mempunyai luas UDMR amat nyata (P<0,01) 11,87%
lebih besar dan amat sangat nyata (P<0,001) mempunyai
FI 15,20% lebih besar daripada sapi-sapi betina. Hal
ini adalah karena seperti telah dikemukakan di atas
bahwa sapi-sapi jantan mempunyai laju pertumbuhan
otot yang lebih tinggi, jadi juga mempunyai konformasi
karkas atau FI dan juga luas UDMR masing-masing
amat sangat nyata (P<0,001) atau amat nyata (P<0,01)
yang lebih tinggi daripada sapi-sapi betina. Penggunaan
FI dalam penelitian ini sebagai ukuran konformasi
karkas adalah sudah tepat oleh karena skor kegemukan
karkas pada sapi-sapi jantan dan betina adalah masing-
masing 2,4 atau dibulatkan menjadi 2 (lean) dan 2,8 atau
dibulatkan menjadi 3 (medium) (Tabel 3). Dari angka FI
ini yang masih amat rendah ini, terutama untuk sapi-sapi
jantan menunjukkan bahwa tingkat perototan sapi-sapi
jantan hasil pemeliharaan tradisional yang dipotong di
RPU Pesanggaran adalah masih amat rendah. Karena
itu maka perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan
jumlah dan mutu ransum, terutama berbagai macam
daun-daunan dan rumput yang merupakan sumber
protein untuk meningkatkan pertumbuhan ototnya.
Juga harus dibarengi pula dengan upaya-upaya seleksi
oleh karena luas UDMR merupakan sifat produktif
(pruductive trait) yang heritabilitas (h2) atau angka
pewarisan sifatnya adalah tinggi, 0,7 (70%)(Dalton,
1980). Ini berarti bahwa seleksi untuk sifat ini akan
memberi tanggapan relatif singkat.
Rataan tebal lemak subkutan sapi-sapi betina amat
sangat nyata (P<0,001) 37,4% lebih tinggi daripada
sapi-sapi jantan. Ini mendukung teori petumbuhan
dan perkembangan bahwa sapi-sapi betina mencapai
dewasa fi siologi lebih dini daripada sapi-sapi jantan
atau jantan kebirian. Karena itu maka deposisi lemak
karkas dan lemak internal pada sapi-sapi betina dimulai
lebih dini sehingga pada umur kronologi atau berat
badan yang sama, sapi-sapi betina mempunyai depo
lemak yang lebih tinggi. Ini didukung pula oleh skor
kegemukan karkas sapi-sapi betina yang amat nyata
(P<0,01) 16,7% lebih tinggi daripada sapi-sapi jantan.
Hasil-hasil penelitian sebelumnya mendukung data-
data ini (Tabel 4) bahwa sapi-sapi betina amat nyata
mempunyai tebal lemak dan skor kegemukan karkas
lebih tinggi daripada sapi-sapi jantan (Alam, 1986; Saka
et al., 1989; dan Saka et al., 1991).
Baik skor warna daging sapi-sapi jantan maupun
betina adalah sangat memuaskan, yakni dengan rataan
skor 4 (4,1 ± 0,174) dengan deskripsi merah padam
(cherry red) yang merupakan warna daging sapi (beef) yang paling diinginkan oleh kebanyakan konsumen.
Ini disebabkan oleh rataan nilai pHU dari daging karkas
dari kedua jenis kelamin, jantan dan betina adalah
dalam kisaran sangat normal, masing-masing (± SE)
adalah 5,53 ± 0,030 dan 5,50 ± 0,030 pada sapi-sapi
jantan dan betina.Karena itu maka kadar oksimioglobin
yang terbentuk sebagai hasil dari proses kombinasi
pigmen daging mioglobin dengan oksigen dari atmosfi r
adalah tinggi sehingga warna daging sapi tersebut
adalah merah padam/cemerlang. Hasil-hasil penelitian
ini lebih menegaskan lagi hasil-hasil penelitian Alam
(1986) di Rumah Potong Sapi Paberik Pengalengan
Daging PT. C.I.P. bahwa tidak ada perbedaan nyata
antara skor-skor warna daging karkas sapi-sapi Bali
jantan dan betina.
Berkenaan dengan skor warna lemak, pada penelitian
ini, sapi-sapi betina mempunyai skor warna lemak
karkas amat sangat nyata (P<0,001) 39,3% lebih tinggi
daripada sapi-sapi jantan. Hal ini bukanlah karena
pengaruh seks seperti dinyatakan oleh Preston dan
Willis (1974), akan tetapi karena manajemen sapi-sapi
betina selama masa kebuntingan. Pada pemeliharaan
tradisional, tidak ada perbedaan dalam jumlah dan
mutu ransum yang diberikan antara sapi-sapi betina
bunting dan tidak; sedangkan selama kebuntingan,
terutama pada masa sepertiga akhir dari total umur/
masa kebuntingan kebutuhan nutrien, terutama energi
The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011 46
dan protein dari ransum amat meningkat karena terjadi
pertumbuhan janin yang amat besar dan progresif
dan peningkatan depo-depo lemak di bagian-bagian
tertentu dari tubuh dan organ dalam untuk cadangan
energi ketika induk yang bersangkutan berproduksi
susu/laktasi untuk anaknya. Pada masa laktasi terjadi
katabolisme lemak yang besar untuk kebutuhan energi
untuk produksi susu, tetapi karoten (ß-carotene, bahan
dasar vitamin A) yang berasal dari pakan yang dimakan
dan disimpan di dalam depo-depo lemak (asam lemak
palmitin suatu triglisirida pelarut karoten) tetap tinggal
di dalam depo-depo lemak, tidak ikut terkatabolis.
Karena itu maka konsentrasi karoten di dalam depo-
depo lemak tubuh sapi betina tersebut akan semakin
tinggi, semakin sering sapi-sapi induk tersebut
melahirkan anak dan tidak mendapat tambahan ransum
selama masa kebuntingan seperti terjadi pada sapi-sapi
Bali hasil pemeliharaan tradisional oleh para petani di
Bali ataupun di tempat lainnya di luar Bali. Hasil-hasil
yang sama juga ditunjukkan oleh Alam (1986) dan Saka
et al. (1989) pada penelitiannya yang dilakukan masing-
masing di RPH PT. C.I.P. dan RPU Pesanggaran,
Denpasar. Demikian pula Tulloh (1978) menunjukkan
bahwa fenomena lemak karkas yang berwarna kuning
ini juga terjadi pada sapi-sapi yang dipelihara di daerah
kering Australia Utara (Northern Territory) karena
sapi-sapi mengalami intermittent growth yakni silih
berganti sapi-sapi mengalami susut berat badan dan
peningkatan berat badan masing-masing pada waktu-
waktu musim kering dan hujan. Karena kekurangan
asupan pakan pada waktu musim kering maka terjadi
katabolisme lemak yang cukup besar untuk memenuhi
kebutuhan energi. Demikianlah hal ini terjadi secara
periodik dan berulang sehingga warna lemak karkas
sapi-sapi yang telah mengalami katabolisme lemak
berulang kali setiap musim kering akan sangat kuning
karena bertimbunnya karoten dalam konsentasi tinggi
di dalam depo-depo lemak tubuh..
Walaupun warna lemak karkas bukanlah merupakan
faktor mutu, suatu lemak karkas yang kekuning-
kuningan tidak disenangi di dalam perdagangan, tetapi
semata-mata merupakan faktor estetika/selera. Lemak
karkas yang berwarna kuning biasanya dihubungkan
dengan hewan-hewan tipe tua (Levie, 1963).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian ini
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Sapi-sapi jantan mempunyai konformasi karkas
amat sagat nyata lebih baik atau tingkat perototan
karkas yang amat sangat nyata lebih tinggi yang
tercermin dari indeks perototannya (FI) yang amat
sangat nyata lebih tinggi daripada sapi-sapi betina.
Sapi-sapi jantan lebih unggul dalam beberapa
karakteristik karkas lainnya seperti berat karkas lebih
tinggi, karkasnya lebih lean (sedikit mengandung
lemak), dan skor wana lemaknya lebih rendah/
diinginkan.
Saran
Untuk meningkatkan peringkat hasil dan peringkat
mutu sapi-sapi jantan maka mesti dilakukan perbaikan
jumlah dan mutu pakan yang dibarengi dengan upaya
seleksi untuk laju pertumbuhan yang tinggi, perototan
dan marbling.
Sapi-sapi betina yang steril atau tidak produktif
untuk berproduksi anak agar digemukkan untuk
produksi daging untuk meningkatkan hasil dan mutu
daging karkasnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada Bapak Rektor dan Kepala Pusat
Penelitian Universitas Udayana atas persetujuan
bantuan dana yang diberikan untuk pelaksanaan
penelitian ini. Juga kepada Bapak Dekan Fapet Unud,
Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Badung,Bapak
Kepala RPU Pesanggaran, Bapak Direktur PT. C.I.P.
Denpasar atas persetujuan, ijin penelitian atau fasilitas
yang telah diberikan kepada kami sehingga penelitian
ini dapat berlang-sung lancar dan diselesaikan dan
berhasil dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, E.D., J.C. Forrest, D.E. Gerrard, dan E.W. Mills.
2001. Princples of Meat Science. Kendall/Hunt
Publishing Company. U.S.A.
The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011 47
Alam, J.H.P.L. 1986. Kualitas sapi jantan dan betina
yang dipotong di rumah potong hewan PT. C.I.P.
Denpasar. Skripsi Sarjana, Fakultas Peternakan,
Universitas Udayana, Denpasar.
Berg, R.T. and R.M. Butterfi eld. 1976. New Conceps of
Cattle Growth. Sydney University Press, Sydney,
Australia.
Boggs, D.L. and R.A. Merkel. 1979. Live Animal Carcass
Evaluation. Hunt Publishing Company, U.S.A.
Chang, Lu-Chih. 1972. The concep of statistics in
connecting with experimentation. F\ood and
Fertilizer Technology Center, China. Ext. Bull. No.
13, pp. 1-132.
Dalton, D.C. 1980. An Introduction to Practical Animal
Breeding. Granada Publishing Ltd., Printed in Great
Britain by W,& J. Mackay Ltd., Catham, Kent.
Hunsley, R.E., W.M. Beeson, and J.E. Nordby. 1978.
Livestock, Judging, Selection and Evaluation. 2nd
edn. The Interstate Printers & Publishers, Inc.
Danville, Illinois, USA.
Kempster, T., A. Cuthbertson and G. Harrington.
1982. Carcass Evaluation in Livestock Breeding,
Production and Marketing. 1st Publication. Granada
Publishing Ltd., Grt. Brit.
Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. 3rd edn. Pergamon
Press. Oxford; New York; Toronto; Sydney; Paris;
Frankfurt.
Levie, A. 1963. The Meat Handbook. The Avi Publishing
Co. Westport, Connecticut, USA.
Mc.Intyre, B.L. and W.J. Ryan. 1980. A guide to
bying bulk beef. A Farmnote. Western Australian
Department of Agriculture. No. 112/80. Agdex
427/070.
Preston, T.R. and M.B. Willis. 1974. Intensive Beef
Production. 2nd edn., Pergamon Press, Oxford, New
York; Toronto and Sydney.
Saka, I K., I M. Suarna, I G.W. Rudolf dan I G.N.R.
Haryana. 1989. Karakteristik-karakteristik karkas.
karkas sapi Bali jantan dan betina yang dipotong
di rumah potong hewan Pesanggaran, Denpasar.
Laporan Penelitian DIP. Suplemen, Fakultas
Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
Saka, I K., I M. Mastika, I G. N. Bhinawa, dan I G.
Suranjaya. 1991. Efek jenis kelamin terhadap
susut berat badan dan beberapa ciri karkas sapi
Bali di rumah potong umum. Laporan Penelitian
DPP , Fakultas Peternakan, Universitas Udayana,
Denpasar, Bali.
Saka, I K., I.B. Djagra, dan I N. Simbung. 1992. Pengaruh
umur dan jenis kelamin terhadap hasil dan kualitas
karkas sapi Bali yang dipotong umum Pesanggaran,
Denpasar. Laporan Penelitian OPF, Fakultas
Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
Saka, I K., Sentana Putra, Ni M. A. Rasna, I N. Ardika,
N.M. Astawa, I G.N. Kayana, I K. M. Budiasa, dan
I N. Tirta Ariana. 2005. Laporan Pelaksanaan
Kegiatan Study Pusat Perbibitan Sapi Bali (PPSB)
di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Fakultas
Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.
Sokal, R.R. and F.J. Rohlf. 1969. Biometry. The Principles
and Practice of Statistics in Biological Research.
W.H. Freeman and Company, San Fransisco, U.S.A,.
Tulloh, N.M. 1978. Growth, development, body
composition, breeding and manage-ment. In: A
Course Manual in Beef Cattle Management and
Economics. Part 2 (Editor: N.M. Tulloh). Aust.
Vice Chancellors Committee. Acad. Press. Pty. Ltd.
Brisbane, Australia.
Yeates, N.T.M. , T.N. Edey and M.K. Hill. 1975. Animal
Science. Reproduction, Climate, Meat, Wool. 1st
Published. Pergamon Press., N.S.W. Australia.