karakteristik chief executive officer (ceo) dan kualitas
TRANSCRIPT
1
Jurnal Akuntansi dan Governance Andalas 3 (1): 1-29
Karakteristik Chief Executive Officer (CEO) dan
Kualitas Akrual: Bukti Empiris dari Indonesia
Poppy Nurmayanti Ma
aJurusan Akuntansi Universitas Riau, [email protected] .
INFORMASI ARTIKEL ABSTRAK
Sejarah artikel:
Diterima: 6 Mei 2020
Diterima revisian: 24 Juni 2020
Diterima publikasi: 1 Juli 2020
This study investigates the relationship between CEO
characteristics and earning quality from public firms
listed in Indonesia Stock Exchange between 2010 and
2017. This study used four accruals quality measures; a)
absolute abnormal accruals by using the modified Jones
model (Dechow et al. 1995), b) performance matched
abnormal accruals by using Kothari et al. (2005), c)
accrual estimation error from Dechow and Dichev model
(DD, 2002), and d) accrual estimation error the
augmented specification of Dechow and Dichev model
(2002) as suggested by McNichols (2002). The empirical
findings that several CEO characteristics (i.e., CEO
female, financial work experience, business skill, tenure,
and CEO founding) is significantly associated with
accrual quality; these in turn, may affect the quality of the
firm’s reporting. These results are consistent with the
prediction of the upper echelons theory and have
implication in corporate financial reporting.
Kata Kunci:
CEO characteristics, accrual
quality, upper echelon theory.
1. PENDAHULUAN
Penelitian ini menguji pengaruh karakteristik chief executif officer (selanjutnya
disingkat dengan CEO) terhadap kualitas akrual. CEO di dalam laporan tahunan perusahaan
publik disebut juga dengan Presiden Direktur atau Direktur Utama yang menunjukkan
pimpinan puncak perusahaan publik. CEO merupakan bagian penting dalam implementasi tata
kelola perusahaan yang baik. CEO berperan dan bertanggung jawab dalam menentukan pilihan
JURNAL
AKUNTANSI DAN GOVERNANCE ANDALAS
Laman Jurnal : www.jaga.unand.ac.id
Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas
ISSN (Print) 2442-2363 | ISSN (Online) .......
2
strategis dan kinerja organisasi yang tepat dalam menghadapi berbagai tekanan dan ancaman di
setiap tahap pertumbuhan dan perkembangannya (Zahra dan Pearce 1989). Cheng dan Lo
(2006) menyatakan bahwa CEO adalah seseorang yang paling mempunyai power dalam
membuat keputusan yang terkait dengan strategi dan kinerja organisasional. Bahkan CEO
sering menentukan apa dan kapan suatu informasi seharusnya diungkapkan, termasuk
pengungkapan pelaporan keuangan.
Teori eselon atas (upper echelon theory) yang dikembangkan oleh Hambrick dan
Mason (1984) menyatakan bahwa kognisi, nilai-nilai, dan persepsi manajemen puncak
memiliki pengaruh signifikan terhadap pilihan dan outcome perusahaan. Hal ini berarti bahwa
manusia membuat keputusan yang mana keputusan itu dibentuk oleh keterlibatan personalitas.
Karena sulit untuk memperoleh data psikometrik manajemen puncak, dalam hal ini adalah
CEO, Hambrick dan Mason (1984) dan Hambrick (2007) berpendapat bahwa ketika
memprediksi tindakan strategis manajemen puncak, peneliti dapat menggunakan karakteristik
manajemen puncak yang dapat diamati. Karakteristik manajemen puncak yang dapat diamati
meliputi umur, gender, pengalaman, dan pendidikan digunakan untuk mencerminkan
perbedaan kognitif manajemen puncak.
Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan karena beberapa alasan. Pertama,
Hambrick (2007) menyarankan bahwa penelitian dengan menggunakan teori upper echelon
penting dilakukan di negara selain Amerika Serikat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
pemahaman tentang kompleksitas yang berbeda dan memperkuat teori upper echelon.
Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda dengan Amerika Serikat dalam hal kultur,
sistem sosial-ekonomi, struktur kepemilikan saham, struktur tata kelola, dan lain-lain. Konteks
sosial ekonomi yang berbeda di setiap negara memotivasi peneliti untuk menginvestigasi
pengaruh karakteristik CEO terhadap kualitas laba di setiap tahap siklus hidup perusahaan
manufaktur Indonesia.
Kedua, atribut personal eksekutif penting untuk diinvestigasi lebih lanjut karena terkait
dengan adanya perilaku eksekutif yang (diduga) tidak etis untuk mencapai tujuannya. Perilaku
tidak etis ini tercermin dari upaya eksekutif untuk menyajikan laporan keuangan yang
memberikan informasi laba yang tinggi. Keempat, studi ini memperluas temuan terdahulu
yaitu menginvestigasi pengaruh karakteristik eksekutif terhadap kualitas pelaporan keuangan
dari sisi kualitas akrual dengan menggunakan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia. Karakteristik CEO yang menjadi fokus studi ini adalah karakteristik demografis
yang meliputi jenis kelamin, pengalaman kerja keuangan, kecakapan bisnis, tenur, dan CEO
3
pendiri. Karakteristik ini merupakan perluasan dari karakteristik yang dikembangkan teori
upper echelon (Hambrick dan Mason 1984).
Studi ini menggunakan karakteristik demografis CEO karena karakteristik ini
merupakan karakteristik yang lebih dapat diobservasi dan mempunyai pengukuran yang lebih
dapat diandalkan (Baatwah et al. 2015; Bamber et al. 2010; Hambrick dan Mason 1984)
dibandingkan karakteristik psikologikal yang sulit diobservasi dan belum mempunyai
pengukuran yang akurat (Qi et al. 2018). Peneliti menguji hipotesis dengan menggunakan dua
pendekatan. Pertama, peneliti menggunakan nilai absolut dari performance-matched abnormal
total accruals dan akrual berjalan abnormal dari metode yang digunakan oleh Kothari et al.
(2005). Kedua, peneliti menggunakan ukuran kualitas akrual dari model Dechow dan Dichev
(2002) dan perluasan model Dechow dan Dichev (2002) yang diimplementasikan dalam
penelitian Barua et al. (2010). Variabel kontrol yang dipertimbangkan dalam penelitian ini
meliputi ukuran perusahaan (FIRMSIZE), ROA, leverage, kondisi keuangan perusahaan
(LOSS), dan umur perusahaan (FIRMAGE). Peneliti juga mempertimbangkan efek tahun
observasi, dan efek industri (Wang 2004; Francis et al. 2008; Li 2014) sebagai faktor
determinan kualitas akrual.
Penelitian ini menggunakan sebanyak 880 observasi (110 perusahaan) dengan periode
amatan dari tahun 2010 hingga 2017 dari perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) dengan mengeluarkan perusahaan yang berasal dari sektor keuangan. Data
profil CEO diperoleh dari dari annual report yang diterbitkan oleh BEI dikumpulkan dengan
hand-collected, sementara data keuangan untuk mengestimasi kualitas akrual dan variabel
kontrol diperoleh dari database Bloomberg. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa
perusahaan yang dipimpin oleh CEO pendiri, CEO perempuan, dan tenur yang lebih panjang
cenderung melaporkan akrual abnormal dan kesalahan estimasi akrual yang lebih rendah.
Sementara, CEO yang mantan CFO ternyata memiliki pengaruh parsial terhadap kualitas
akrual. Secara spesifik, perusahaan yang dipimpin oleh CEO pendiri, CEO perempuan, dan
tenur yang lebih panjang cenderung melaporkan kualitas akrual yang lebih baik dibandingkan
dengan perusahaan yang dipimpin oleh CEO nonpendiri dan CEO laki-laki. Sementara,CEO
yang memiliki kecakapan bisnis cenderung melaporkan kualitas akrual yang lebih rendah
dibandingkan dengan CEO yang tidak memiliki kecakapan bisnis. Hal ini karena CEO dengan
kecakapan bisnis lebih berani membuat keputusan yang berisiko sehingga mendorong CEO
untuk melaporkan laba yang lebih agresif.
Penelitian ini memberikan kontribusi untuk literatur akuntansi dan eleson atas. Pertama,
berbeda dengan penelitian terdahulu yang berfokus pada salah satu atau beberapa karakteristik
4
CEO/CFO (misalnya Barua et al. 2010; Huang et al. 2012; Peni dan Vahamaa 2010; Ali dan
Zhang 2015), penelitian ini melaporkan beberapa karakteristik CEO. Temuan ini memberikan
bukti bahwa kualitas akrual yang lebih baik cenderung dilaporkan oleh CEO pendiri dan CEO
perempuan. Kedua, Qi et al. (2018) dan Carpenter et al. (2004) menyarankan bahwa proses
pembuatan keputusan manajemen puncak lebih cenderung dikonfigurasi dari karakteristik
manajemen puncak-terutama CEO-yang banyak dibandingkan dengan satu karakteristik
tertentu. Penelitian ini menguji sejumlah karakteristik CEO yang dapat memengaruhi kualitas
pelaporan keuangan. Penelitian ini memberikan bukti adanya hubungan antara karakteristik
CEO yang dapat diamati dengan menggunakan akrual abnormal dan kesalahan estimasi akrual.
Terakhir, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mayoritas penelitian upper echelon di
literatur manajemen dan di akuntansi menggunakan data Amerika Serikat, yang dapat
memberikan hasil yang bias (Hambrick 2007). Penelitian ini menggunakan data perusahaan
manufaktur Indonesia yang memiliki sosial ekonomi berbeda dengan Amerika Serikat.
Penelitian ini menemukan bukti ada pengaruh karakteristik CEO terhadap kualitas akrual,
hasilnya konsisten dengan prediksi teori upper echelon dengan menggunakan setting
nonAmerika Serikat.
Temuan penelitian ini memiliki implikasi untuk berbagai pemangku kepentingan dalam
pelaporan keuangan korporat. Pertama, regulator perlu menelaah bahwa karakteristik CEO
yang memimpin perusahaan memiliki pengaruh dalam kualitas pelaporan keuangan.
Peningkatan kualitas pelaporan laba menjadi lebih penting di Indonesia. Hal ini karena laporan
keuangan perusahaan publik Indonesia secara umum masih belum transparan, pasar modal
Indonesia yang belum efisien, yang berimplikasi pada kos transaksi yang lebih tinggi. Kedua,
temuan ini memberikan rekomendasi kepada pemegang saham untuk memilih dan mengangkat
CEO dengan mempertimbangkan karakteristik CEO. Temuan penelitian ini menunjukkan
bahwa perusahaan yang dipimpin oleh CEO perempuan dan CEO pendiri cenderung
melaporkan kualitas akrual yang lebih baik. Perusahaan akan memperoleh manfaat yang lebih
baik dengan mempekerjakan CEO yang memiliki karakteristik tersebut karena karakteristik
tersebut melaporkan kualitas akrual yang lebih baik, yang berkonsekuensi menghasilkan cost of
capital yang lebih rendah (Francis et al. 2004).
Sistematika penulisan penelitian ini dijelaskan berikut. Bagian berikut akan
memaparkan tinjauan literatur dan pengembangan hipotesis. Selanjutnya membahas metode
penelitian termasuk sampel, data, pengukuran variabel, uji hipotesis, dan uji tambahan. Bagian
berikutnya membahas hasil analisis dan diskusi. Bagian terakhir dari penelitian ini merupakan
5
penutup yang membahas kesimpulan, keterbatasan penelitian, dan saran untuk penelitian
mendatang.
2. Telaah Literatur dan Pengembangan Hipotesis
2.1 Telaah Literatur
Penelitian terkini untuk memahami bagaimana manajemen puncak memengaruhi
strategi organisasi dan kinerja sebagian besar didasarkan pada teori upper echelon yang
dikembangkan oleh Hambrick dan Mason (1984). Inti dari teori upper echelon adalah ide
bahwa manajemen puncak bertindak atas dasar penafsiran situasi yang mereka hadapi dan
penafsiran pribadi manajemen puncak ini adalah fungsi dari kognisi, nilai-nilai dan
persepsinya. Teori upper echelon berdasarkan premis rasionalitas terbatas (Hambrick 2007).
Namun, karena konstruk psikologi manajemen puncak sulit untuk diukur, Hambrick dan
Mason (1984) kemudian mengembangkan teori upper echelon. Teori upper echelon
menyatakan bahwa karakteristik manajemen puncak yang dapat diamati (seperti usia, gender,
pengalaman kerja, dan pendidikan) adalah proksi yang masuk akal untuk mencerminkan
perbedaan dari atribut psikologi manajemen puncak. Pada gilirannya, karakteristik manajemen
puncak yang dapat diamati ini merupakan manifestasi dalam pilihan strategis dan outcome
perusahaan. Dengan demikian, untuk memahami mengapa perusahaan melakukan suatu hal,
dan bagaimana perusahaan melakukannya, peneliti harus mempertimbangkan bingkai kognitif
manajemen puncak, yang diproksikan dengan karakteristik manajemen puncak yang dapat
diamati.
Sejumlah penelitian terdahulu telah banyak menggunakan teori upper echelon terutama
di perusahaan publik yang berorientasi laba (Waterman 2013), baik dengan
mempertimbangkan karakteristik individu eksekutif puncak maupun karakteristik tim eksekutif
puncak. Contohnya, penelitian yang dilakukan oleh Davis et al. (2015) menemukan bahwa
eksekutif yang memimpin organisasi profit lebih berorientasi pada pasar daripada eksekutif
nonprofit. Bamber et al. (2010) menemukan bahwa eksekutif puncak (CEO dan CFO)
memengaruhi gaya pengungkapan sukarela perusahaan dari perusahaan S&P1500. Ge et al.
(2011) menemukan bahwa CFO memiliki pengaruh terhadap keputusan akuntansi dari
perusahaan publik di Amerika Serikat. Qi et al. (2018) menemukan bahwa karakteristik
eksekutif puncak dari perusahaan yang terdaftar di bursa saham China (seperti umur yang lebih
tua, tingkat pendidikan yang lebih tinggi, eksekutif perempuan, dan memiliki keahlian
keuangan) melaporkan manajemen laba yang lebih rendah.
6
Penelitian yang menggunakan teori upper echelon juga relevan dilakukan untuk sektor
nirlaba. Contohnya, Musteen et al. (2006) menerapkan teori upper echelon untuk menunjukkan
bahwa karakteristik CEO memengaruhi pilihan strategi (yang meliputi strategi perubahan dan
inovasi) yang diambil CEO dalam organisasi nirlaba. Karakteristik CEO yang menjadi fokus
penelitian ini adalah keberagaman pengalaman, gender, latar belakang fungsional, dan tenur
CEO. Bobe dan Taylor (2010) menggunakan teori upper echelon untuk menganalisis reformasi
pendidikan tinggi di sektor publik. Banyak peran eksekutif puncak dari organisasi profit dan
nonprofit yang sama, sehingga teori upper echelon sebagai rerangka teoritis dapat diterapkan
untuk memahami atribut eksekutif puncak pada kedua sektor tersebut.
Lingkup penelitian ini adalah karakteristik individu eksekutif puncak (CEO) dari
perusahaan manufaktur yang terdaftar di pasar modal Indonesia terhadap kualitas akrual.
Penelitian ini dilakukan dalam konteks sosio-ekonomi yang berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang mayoritas dilakukan di perusahaan atau organisasi di Amerika Serikat dan
China. Saat ini studi akuntansi yang menginvestigasi hubungan antara karakteristik manajemen
puncak dan kualitas akrual masih sedikit (Barua et al. 2010) dengan hasil yang masih beragam.
Penelitian terdahulu masih memberikan bukti yang terbatas mengenai isu yang akan
didiskusikan berikut ini.
Kualitas Pelaporan Keuangan
Definisi kualitas pelaporan keuangan yang menjadi fokus penelitian ini adalah kualitas
pelaporan keuangan berkaitan dengan kinerja keseluruhan perusahaan yang direfleksikan
dalam laba perusahaan. Maksudnya, laba yang berkualitas tinggi akan tercermin pada laba
yang berkesinambungan untuk suatu periode yang panjang. Hal ini terkait dengan atribut
informasi laba yang berbasis akuntansi (Francis et al. 2004; Pagalung 2006; Francis et al.
2008). Sejumlah penelitian terdahulu telah berupaya untuk menggunakan berbagai macam
ukuran untuk menentukan seberapa tepat kualitas pelaporan keuangan perusahaan (Dechow et
al. 2010; Francis et al. 2004). Namun, dari hasil penelitian Francis et al. (2004; 2008; 2010)
dan Dechow et al. (2010) kualitas akrual merupakan proksi kualitas pelaporan keuangan dari
atribut akuntansi yang terkait dengan diskresi atau pertimbangan manajemen.
Adanya diskresi atau pertimbangan manajemen dalam pelaporan keuangan dan
penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan untuk memanipulasi
magnituda laba kepada pemangku kepentingan yang mempengaruhi kinerja perusahaan atau
untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angka-angka akuntansi
ini dikenal dengan istilah manajemen laba (Healy dan Wahlen 1999). Dalam pembuatan dan
7
penyusunan laporan akuntansi, peran manajemen puncak sangat krusial karena terkait dengan
pertimbangan atau kebijakan yang akan diambil oleh manajemen puncak seperti CEO dan
CFO.
Ukuran Akrual
Francis et al. (2005) menyatakan bahwa ketidakpastian dalam akrual ditangkap dengan
ukuran kualitas akrual yang dikembangkan oleh Dechow dan Dichev (2002). Dalam model
Dechow dan Dichev (2002) ini, akrual diukur dari sejauhmana pemetaan akrual modal kerja ke
dalam realisasi aliran kas operasi. Model ini didasarkan pada gagasan bahwa kualitas akrual
dipengaruhi oleh pengukuran kesalahan dalam akrual. Kesalahan estimasi meliputi kesalahan
estimasi yang disengaja yang timbul dari insentif untuk mengelola laba, dan kesalahan yang
estimasi yang tidak disengaja yang timbul dari penyimpangan manajemen dan ketidakpastian
lingkungan.
Pendekatan yang dikembangkan oleh Dechow dan Dichev (2002) merevisi akrual
modal kerja atas kas dari operasi pada periode saat ini, periode sebelumnya, dan periode
mendatang. Porsi variasi yang tidak dijelaskan dalam akrual modal kerja merupakan ukuran
kebalikan dari kualitas akrual (porsi yang lebih besar yang tidak dijelaskan menunjukkan
kualitas yang lebih buruk) (Francis et al. 2005).
Pendekatan Dechow dan Dichev (2002) terbatas pada akrual saat ini. Sementara
menerapkan model Dechow dan Dichev (200) untuk total akrual, pada prinsipnya
menghasilkan metrik kualitas akrual yang secara komprehensif mengukur ketidakpastian
akrual. Lag yang panjang antara akrual tidak lancar dan realisasi aliran kas menghalangi
perpanjangan ini. Untuk mengatasi hal ini, McNichols (2002) dan Francis et al. (2008)
mempertimbangkan proksi untuk kualitas akrual yang didasarkan pada nilai absolut akrual
abnormal. Akrual abnormal diestimasi dengan menggunakan model Jones (1991) yang
kemudian dimodifikasi oleh Dechow et al. (1995). Model Jones yang dimodifikasi ini
mengidentifikasi akrual sebagai abnormal jika tidak dijelaskan oleh serangkaian fundamental
terbatas (property, plant, dan equipment atau PPE dan perubahan pendapatan). Akrual
abnormal tersebut mengandung sejumlah besar ketidakpastian, sehingga hubungan risiko
informasi adalah tidak langsung dibandingkan dengan pendekatan Dechow dan Dichev (2002)
(Francis et al. 2008). Penelitian ini menggunakan kedua pendekatan ini sebagai proksi dari
kualitas akrual.
8
Performance Matched Abnormal Accruals
Ukuran kualitas akrual yang pertama penelitian ini adalah nilai absolut dari akrual
abnormal yang diestimasi dengan menggunakan model Jones Modifikasian (Dechow et al.
1995) seperti yang digunakan oleh Kothari et al. (2005). Peneliti mengestimasi persamaan
berikut secara cross-section berdasarkan sektor industri dan tahun:
(1)
adalah total akrual untuk perusahaan i untuk tahun t, diukur dari selisih antara net income
before extraordinary items dan aliran kas operasi, Ait-1 = total aset untuk perusahaan i untuk
tahun sebelumnya, adalah selisih pendapatan tahun ini dengan sebelumnya, adalah
selisih piutang tahun ini dengan sebelumnya, dan PPE adalah nilai gross property, plant, and
equipment, dan adalah error. Peneliti mengestimasi persamaan (1) per industri-per tahun
paling sedikit 10 observasi dengan menggunakan seluruh observasi yang tersedia. Residual
dari persamaan (1) adalah ukuran dari total abnormal akrual (TAAit).
Selanjutnya, peneliti menyesuaikan TAAit untuk pencocokan kinerja mengikuti
pendekatan yang digunakan dalam Francis et al. (2005). Peneliti membentuk kelompok
berdasarkan kinerja perusahaan berjalan (ROA yang ditentukan dari net income before
extraordinary items dibagi dengan total aset awal tahun). Akrual total abnormal yang cocok
dengan kinerja (AC) diestimasi dari selisih antara TAAit dan median TAA untuk ROA
perusahaan i, nilai median dihitung dengan mengeluarkan perusahaan i. Nilai AC yang besar
mencerminkan kualitas akrual yang rendah. Peneliti menggunakan nilai absolut dari total
akrual yang cocok dengan kinerja (ABS_AC) sebagai ukuran pertama kualitas akrual.
Beberapa studi terdahulu (antara lain Teoh et al. 1998; Barua et al. 2010) berpendapat
bahwa perusahaan memiliki fleksibelitas dalam memanipulasi laba dengan akrual berjalan
dibandingkan dengan akrual jangka panjang. Oleh sebab itu, peneliti juga menggunakan akrual
berjalan abnormal. Peneliti mengestimasi model akrual berjalan abnormal dengan menghapus
PPEit dari persamaan (1) dan mengestimasi berdasarkan per industri dan per tahun.
(2)
adalah total current accrual (total akrual berjalan) dari perusahaan i pada tahun t yang
diestimasi dari t = − − + yang mana = selisih antara
aset lancar perusahaan i dari tahun sebelumnye ke tahun sekarang, = selisih antara
liabilitas lancar perusahaan i dari tahun sebelumnya ke tahun sekarang, = selisih antara
9
kas dan investasi jangka pendek perusahaan i dari tahun sebelumnya ke tahun sekarang, dan
= selisih antara porsi liabilitas jangka panjang perusahaan i dari tahun sebelumnyua
ke tahun sekarang. Seluruh variabel lainnya dideskripsikan dalam persamaan (1). Residual dari
regresi per industri dan per tahun dengan menggunakan persamaan (2) merupakan ukuran dari
akrual berjalan abnormal (ABA).
Akrual berjalan abnormal dari pencocokan kinerja (ACC) diperoleh setelah
menyesuaikan ABAi dengan median ABA untuk kelompok industri ROA yang dideskripsikan
sebelumnya. Peneliti menggunakan nilai absolut dari akrual berjalan pencocokan kinerja
(ABS_ACC) sebagai ukuran kualitas akrual yang kedua.
Kesalahan Estimasi Akrual
Ukuran kualitas akrual yang kedua didasarkan pada kesalahan estimasi akrual dari
model Dechow dan Dichev (2002) yang diestimasi secara cross-section seperti penelitian
sebelumnya (Barua et al. 2010; Francis et al. 2008). Peneliti menggunakan model berikut ini.
(3)
adalah total current accruals yang dihitung dari laba bersih dikurangi dengan arus kas
operasi, adalah aliran kas operasi pada tahun sebelumnya, adalah aliran kas
operasi tahun sekarang, dan adalah aliran kas operasi pada setelah tahun sekarang.
Semua variabel dibagi dengan rata-rata total aset. Penelitian ini mengikuti Barua et al. (2010),
peneliti mengestimasi persamaan (3) secara cross-section per tahun dan per industri untuk
seluruh data observasi. Nilai absolut residual dari persamaan (3) merupakan ukuran kualitas
akural yang ketiga penelitian ini (ABS_DD).
Peneliti kemudian memperluas model Dechow dan Dichev (2002) seperti yang
disarankan oleh McNichols (2002). Model ini juga diimplementasikan dalam penelitian
terdahulu (Barua et al. 2010; Gounopoulos et al. 2018)
(4)
Seluruh variabel didefinisikan sama seperti persamaan di atas. Peneliti menggunakan
persamaan (4) secara cross-sectional per tahun dan per industri untuk seluruh observasi
penelitian. Nilai absolut residual dari persamaan (4) adalah ukuran keempat dari kualitas akrual
(ABS_MDD). Konsisten dengan studi terdahulu, penelitian ini juga mewinsorize seluruh nilai
ekstrem dengan distribusi 1 dan 99 percentile (Francis et al. 2005).
10
2.2 Pengembangan Hipotesis
Penelitian ini dibangun dengan menggunakan teori upper echelon, argumentasi dasar
dari penelitian ini adalah (1) kualitas pelaporan keuangan perusahaan mencerminkan kognisi,
nilai-nilai, dan persepsi dari manajemen puncaknya; (2) kognisi, nilai-nilai, dan persepsi
manajemen puncak merupakan fungsi dari karakteristik manajemen puncak yang dapat
diamati; dan (3) akibatnya, perilaku manajemen puncak dalam menyajikan kualitas pelaporan
keuangan yang ditentukan dari kualitas akrual berkaitan dengan karakteristik manajemen
puncak yang dapat diamati. Fokus penelitian ini adalah untuk menginvestigasi hubungan antara
karakteristik manajemen puncak (baik sebagai individu seperti CEO dan CFO maupun sebagai
tim manajemen puncak) dan kualitas akrual. Karakteristik manajemen puncak yang menjadi
fokus penelitian ini adalah karakteristik personal (jenis kelamin) dan atribut yang diperoleh
(pengalaman kerja, latar belakang pendidikan, dan CEO pendiri).
Jenis Kelamin Eksekutif
Isu diversitas gender1 telah menarik perhatian studi di area keuangan dan tata kelola
korporat beberapa waktu terakhir ini. Studi terdahulu memberikan temuan bahwa terdapat
perbedaan gender yang signifikan dalam hal keengganan mengambil risiko, konservatisme, dan
perilaku etis (Croson dan Gneezy 2009; Schubert 2006; Qi et al. 2018).
Beberapa studi mengenai gender berfokus pada pengaruh bahwa eksekutif dan direktur
perempuan terhadap kinerja keuangan perusahaan, nilai pasar, dan kualitas informasi akuntansi
(Peni dan Vahamaa, 2010). Temuan studi Peni dan Vahamaa (2010) ini berimplikasi bahwa
CFO perempuan lebih konservatif dalam strategi pelaporan keuangan dibandingkan dengan
CFO laki-laki. Temuan ini konsisten dengan literatur keuangan korporat yang menyatakan
bahwa perbedaan gender eksekutif mempengaruhi perilaku manajerial dalam hal konservatif,
menolak risiko, dan perilaku etis.
Heminway (2007) berpendapat bahwa perempuan cenderung kurang melakukan
manipulasi laba dan pengungkapan lainnya, karena perempuan memiliki level etis yang lebih
tinggi dan lebih dipercaya dibandingkan laki-laki. Barua et al. (2010) menemukan bahwa
terdapat hubungan negatif antara gender CFO dan kualitas akrual. Secara spesifik, temuan ini
menjelaskan bahwa CFO perempuan menghasilkan performance matched abnormal accrual
dan kesalahan estimasi akrual yang lebih rendah dibandingkan CFO laki-laki. Dengan kata
1 Studi terdahulu menggunakan istilah “gender” untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Namun dalam studi
ini, peneliti lebih menggunakan istilah “jenis kelamin”. Istilah jenis kelamin dianggap lebih tepat daripada
menggunakan istilah “gender” dalam studi ini.
11
lain, kualitas laba yang dihasilkan oleh CFO perempuan lebih tinggi dibandingkan kualitas laba
yang dihasilkan oleh CFO laki-laki. Peni dan Vahamaa (2010) menemukan bahwa CFO
perempuan cenderung kurang melakukan manipulasi laba dibandingkan CFO laki-laki. Namun,
Ge et al. (2011) tidak menemukan pengaruh yang signifikan gender CFO terhadap manajemen
laba. Cullinan et al. (2008) menemukan bahwa perempuan cenderung kurang melakukan
perilaku etis dibandingkan laki-laki. Secara keseluruhan, bukti empiris menunjukkan bahwa
perbedaan perilaku di antara gender memiliki implikasi penting untuk kualitas pelaporan
keuangan.
Hipotesis pertama yang dirumuskan berdasarkan penjelasan di atas adalah:
H1: Perusahaan yang dipimpin CEO perempuan cenderung melaporkan kualitas akrual
yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang dipimpin CEO laki-laki.
Pengalaman Kerja Keuangan
Teori upper echelon menyatakan bahwa individu yang memiliki pengalaman dan
keahlian yang berbeda akan memengaruhi keputusan yang dibuatnya. Individu dengan latar
belakang fungsionalnya sebagai CFO, akuntan, atau treasurer menggunakan pengalaman dan
keahliannya untuk memengaruhi kebijakan akuntansi perusahaan (Hambrick dan Mason 1984;
Custodio dan Metzger 2014), termasuk memengaruhi kualitas pelaporan keuangan. Latar
belakang karir CEO memainkan peran penting dalam menentukan kualitas pelaporan
keuangan. Keterampilan dan pengalaman keuangan yang diakumulasikan oleh CEO dalam
karirnya melengkapi pemahaman yang lebih mendalam tentang keuangan dan akuntansi. Pada
gilirannya, keterampilan dan pengalaman keuangan CEO ini berguna untuk membuat
keputusan akuntansi yang tepat dan meningkatkan proses pelaporan keuangan. Selain itu, CEO
yang memiliki keahlian keuangan sangat menyadari jenis informasi yang diminta oleh investor
dan menghargai pentingnya informasi akuntansi dalam memengaruhi evaluasi investor
(Custodio dan Metzger 2014).
Peneliti berargumen bahwa manajemen puncak dengan pengalaman kerja keuangan
lebih familiar dengan proses pelaporan keuangan dan mengetahui lebih baik bagaimana
menggunakan fleksibilitas standar akuntansi untuk melakukan manipulasi laporan keuangan
untuk mencapai target laba tertentu. Sejumlah studi terdahulu memberikan temuan bahwa
pengalaman kerja manajemen puncak memengaruhi kualitas pelaporan keuangan. Aier et al.
(2005) menemukan bahwa CFO yang memiliki pengalaman kerja sebagai CFO, latar belakang
pendidikan yang lebih tinggi (bergelar MBA), dan memiliki sertifikasi akuntan publik tidak
melaporkan accounting restatement. Dengan kata lain, CFO yang memiliki keahlian keuangan
12
melaporkan kualitas laba yang lebih tinggi. Matsunaga et al. (2013) menemukan bahwa CEO
yang pernah menjadi CFO dan memperoleh pelatihan teknis akuntansi dan keuangan, memiliki
pemahaman akuntansi dan keuangan yang lebih baik untuk mengkomunikasikan informasi
keuangan ke pihak lain. Gounopoulos dan Pham (2018) menemukan bahwa CEO yang
memiliki keahlian keuangan melaporkan manajemen laba dari aktivitas riil dan manajemen
laba akrual yang lebih rendah dibandingkan dengan CEO yang tidak memiliki keahlian
keuangan pada saat penawaran perdana. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kualitas
laba yang tinggi diperoleh dari CEO yang memiliki keahlian keuangan. Namun, hasil
penelitian Qi et al. (2018) menemukan bahwa eksekutif yang memiliki pengalaman dan
keahlian keuangan lebih terlibat melakukan manajemen laba riil dibandingkan eksekutif yang
tidak memiliki pengalaman keuangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis kedua yang diajukan adalah berikut ini.
H2: Perusahaan yang dipimpin oleh CEO yang memiliki pengalaman kerja keuangan
cenderung melaporkan kualitas akrual yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perusahaan yang dipimpin oleh CEO yang tidak memiliki pengalaman kerja keuangan.
Kecakapan Bisnis
Teori upper echelon memprediksi bahwa CEO yang memiliki gelar MBA dan memiliki
pengetahuan di bidang bisnis mengembangkan gaya yang berbeda dari CEO yang tidak
memiliki latar belakang MBA dan bisnis. Teknik analitik yang dipelajari CEO dalam program
MBA diarahkan untuk menghindari kerugian besar atau kesalahan. Latar belakang pendidikan
bisnis yang dimiliki oleh direktur utama mendorong direktur utama melaporkan laba yang lebih
agresif. Rekam jejak karir profesional manajer puncak telah tersosialisasikan dalam pola pikir
manajer puncak sehingga manajer puncak memusatkan perhatiannya pada solusi bisnis yang
bersifat umum (Bamber et al. 2010).
Aier et al. (2005) memberikan bukti empiris bahwa keahlian keuangan CFO
berpengaruh negatif terhadap kesalahan akuntansi (yang diproksikan dengan restatement laba).
CFO yang memiliki pendidikan yang tinggi (mempunyai gelar sarjana) melakukan restatement
laba yang sedikit ketimbang CFO yang tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Dengan kata
lain, semakin tinggi level keahlian keuangan (yang diproksikan dari level pendidikan) CFO,
maka restatement laba perusahaan akan semakin rendah, terutama pada perusahaan yang
memiliki CFO dengan pengalaman sebelumnya juga dibagian keuangan (CFO), dan
mempunyai tingkat pendidikan MBA. Ini berarti kualitas laba yang dihasilkan perusahaan juga
semakin tinggi. Graham et al. (2005) juga memberikan bukti empiris yang didasarkan pada
13
survei yang dilakukannya bahwa CFO yang berlatar belakang pendidikan MBA akan
memberikan teknik penilaian yang lebih sophisticated dibandingkan dengan CFO yang tidak
bergelar MBA.
Namun, temuan tersebut berbeda dengan hasil studi Bhagat et al. (2010). Bhagat et al.
(2010) meneliti hubungan antara pendidikan CEO, pergantian CEO, dan kinerja perusahaan
dari 1.800 CEO perusahaan yang termasuk dalam Standard & Poor’s Composite. Hasilnya
CEO yang menyandang level pendidikan yang lebih tinggi ternyata tidak menjamin akan
mampu meningkatkan kinerja perusahaan menjadi lebih baik. Hal terpenting yang perlu
dipertimbangkan pada saat perekrutan CEO adalah kemampuan interpersonal, kepemimpinan,
dan visi strategis. Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis yang diajukan terkait dengan gelar
MBA CEO adalah:
H3: Perusahaan yang dipimpin oleh CEO yang memiliki kecakapan dalam bisnis cenderung
melaporkan kualitas akrual yang rendah dibandingkan dengan perusahaan yang
dipimpin oleh CEO yang tidak memiliki kecakapan dalam bisnis.
Tenur
Teori upper echelon menjelaskan bagaimana tenur CEO memengaruhi keputusan
strategi yang dibuat CEO (Hambrick dan Mason 1984). Pada awal tenurnya, CEO lebih
cenderung menolak risiko dan lebih memilih strategi yang berisiko rendah. Hal ini karena CEO
memiliki pengetahuan dan power yang sangat terbatas, sehingga strategi yang berisiko dapat
membahayakan posisi mereka sebagai CEO (Hambrick dan Fukutomi 1991; Gibbons dan
Murphy 1992; Xie 2014). Tenur adalah karakteristik personal eksekutif yang paling banyak
mendapatkan perhatian secara teoritis dan empiris (Finkelsten dan Hambrick 1990; Wiersema
dan Bantel 1992; Datta dan Guthrie 1994; Kim dan Yang 2014; Santoso 2013; Ali dan Zhang
2015).
Zhang (2009) menemukan bahwa CEO dengan tenur yang lama melaporkan laba
kurang agresif dibandingkan CEO dengan tenur yang pendek, baik dalam hal mengakui
kerugian secara lebih tepat waktu maupun melaporkan akrual diskresioner yang rendah. Hasil
studi Kim dan Yang (2014) memberikan bukti bahwa dewan komisaris dengan tenur yang lebih
panjang mempunyai pengaruh positif terhadap kualitas pelaporan keuangan. Secara spesifik,
temuan ini menyimpulkan bahwa dewan komisaris dengan tenur yang lebih panjang
melaporkan akrual diskresioneri yang lebih rendah.
14
Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis keempat dirumuskan sebagai berikut:
H4: Perusahaan yang dipimpin oleh CEO yang memiliki tenur yang lebih panjang
cenderung melaporkan kualitas akrual yang tinggi dibandingkan dengan perusahaan
yang dipimpin oleh CEO yang memiliki tenur yang pendek.
CEO Pendiri
Pendiri perusahaan sebagai kreator perusahaan merupakan arsitek pertama struktur dan
strategi perusahaan (Nelson 2003). CEO pendiri berbeda dari CEO pengganti dalam beberapa
aspek (Fahlenbrach 2009). CEO pendiri cenderung tidak ditunjuk oleh pemangku kepentingan,
berbeda dengan CEO pengganti yang ditunjuk oleh pemangku kepentingan, atau dikenal pula
dengan istilah CEO profesional. CEO pendiri sering menganggap perusahaan sebagai
pencapaian hidup. Hal ini mendorong para CEO pendiri untuk lebih berfokus pada strategi
jangka panjang yaitu untuk memaksimalkan nilai pemegang saham dibandingkan berfokus
pada strategi jangka pendek atau “menikmati kehidupan yang tenang.” CEO pendiri memiliki
banyak keahlian khusus organisasi. CEO pendiri memiliki perilaku wirausaha yang tinggi serta
memiliki pengaruh dan power yang lebih untuk pembuatan keputusan (Fahlenbrach 2009),
termasuk keputusan yang terkait dengan kebijakan keuangan perusahaan (Custodio dan
Metzger 2014).
Hitt et al. (1996) memberikan bukti empiris yang menunjukkan bahwa karena CEO
merupakan aktor yang paling powerful dalam pembuatan keputusan perusahaan. Dengan power
yang dimilikinya, CEO agak mengabaikan sistem pengendalian internal. Dalam situasi ini,
CEO menjadi lebih berani untuk memanipulasi laba perusahaan.
CEO pendiri dituntut untuk memiliki keterampilan, pengetahuan, pengalaman, dan
jejaring sosial yang baik (Pae 2007). CEO pendiri lebih memprioritaskan untuk menjaga
reputasi perusahaan, kekayaan perusahaan, dan kinerja perusahaan jangka panjang (Wang
2006) agar menghasilkan pelaporan keuangan yang berkualitas. CEO pendiri cenderung tidak
melakukan manajemen laba secara agresif. Peneliti memprediksi bahwa CEO pendiri akan
melaporkan kualitas pelaporan keuangan yang tinggi dibandingkan dengan CEO yang bukan
pendiri (profesional).
Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis kelima yang diajukan adalah berikut ini.
H5: Perusahaan yang dipimpin oleh CEO pendiri cenderung melaporkan kualitas akrual
yang tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang dipimpin oleh CEO bukan pendiri
15
3. DATA DAN METODE PENELITIAN
Data
Penelitian ini menggunakan 110 perusahaan manufaktur Indonesia dari tahun 2010
sampai tahun 2017. Dari 110 perusahaan manufaktur tersebut diperoleh 880 observasi pertahun
dan perperusahaan. Peneliti menggunakan data profil CEO untuk memperoleh informasi
mengenai karakteristik CFO. Karakteristik CFO yang menjadi fokus penelitian ini adalah
karakteristik personal (jenis kelamin) dan atribut CFO (pengalaman kerja, latar belakang
pendidikan, dan CEO pendiri). Data profil CFO dikumpulkan secara hand-collected dari
laporan tahunan perusahaan manufaktur Indonesia melalui www.idx.co.id. Jika data profil
CEO tidak tersedia di dalam laporan tahunan, peneliti menelusurinya ke website perusahaan
yang bersangkutan. Data keuangan untuk mengestimasi kualitas akrual dan variabel kontrol
diperoleh dari database Bloomberg yang disediakan oleh FEB Universitas Gadjah Mada. Tabel
1 berikut menyajikan proses seleksi sampel penelitian ini.
Tabel 1. Seleksi Sampel
Disain Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua proksi kesalahan estimasi akrual dalam menentukan
kualitas pelaporan keuangan. Pertama, menggunakan performance matched abnormal accruals
yang dikembangkan oleh Kothari et al. (2005) yang memodifikasi nilai absolut akrual
abnormal dari model Jones Modifikasian (Dechow et al. 1995). Model ini diestimasi dengan
persamaan (1) di atas. Kedua, peneliti mengikuti pendekatan untuk mengestimasi abnormal
Jumlah
Perusahaan-
Tahun
1122
Dikurangi:
perusahaan manufaktur yang delisted 6
19
profil CEO tidak lengkap 135
data keuangan tidak lengkap 82
880
Total perusahaan manufaktur Indonesia dari
tahun 2010 hingga 2017
perusahaan manufaktur yang baru listed
pada tiap tahun sampel
Proses Seleksi Sampel
Total sampel final yang digunakan dalam
penelitian ini
16
total akrual dari model yang juga digunakan dalam penelitian terdahulu (antara lain Teoh et al.
1998; Barua et al. 2010). Model ini diestimasi pada persamaan (2) di atas. Selanjutnya, proksi
ketiga dari kualitas akrual adalah kesalahan estimasi akrual dari model yang dikemukakan oleh
Dechow dan Dichev (2002) yang diestimasi pada persamaan (3) di atas. Proksi keempat dari
kualitas akrual merupakan perluasan dari model Dechow dan Dichev (2002) seperti yang
disarankan oleh McNichols (2002). Proksi keempat dari kualitas akrual disajikan dalam
persamaan (4) di atas.
Model Regresi
Untuk menguji hipotesis, penelitian ini mengembangkan model untuk menginvestigasi
pengaruh karakteristik CEO terhadap kualitas akrual dengan model regresi sebagai berikut.
Variabel tersebut didefinisikan berikut ini:
= ukuran kualitas akrual
(ABS_AC, ABS_ACC, ABS_DD, ABS_MDD) yang diestimasi dalam
persamaan sebelumnya;
CEOPerempuan = jenis kelamin CEO, variabel dummy, 1 jika CEO perempuan, 0 jika
sebaliknya;
ExCFO = CEO memiliki pengalaman kerja sebagai CFO sebelumnya, 1 jika CEO
mantan CFO, 0 jika sebaliknya;
BISNISCEO = CEO memiliki pengalaman dan pendidikan bisnis, variabel dummy, 1 jika
berpengalaman dan berpendidikan bisnis, 0 jika sebaliknya;
TENURCEO = tenur CEO, variabel dummy, 1 jika tenur CEO > median tenur, 0 jika
sebaliknya;
CEOPENDIRI = CEO yang juga pendiri perusahaan, variabel dummy, 1 jika CEO pendiri, 0
jika sebaliknya;
= ukuran perusahaan i pada periode t, yang diukur dari logaritma natural
aset;
= return on asset perusahaan i pada periode t, yang diukur dari net income
dibagi total aset sebelumnya.
= leverage perusahaan i pada periode t, yang diukur dari total liabilitas
dibagi dengan total aset sebelumnya;
= umur perusahaan i pada periode t, yang diukur dari tahun listing
perusahaan hingga tahun amatan penelitian;
= kondisi keuangan perusahaan i pada periode t, variabel dummy, 1 jika laba
yang ditunjukkan perusahaan pada akhir tahun negatif, 0 jika sebaliknya.
17
Peneliti memprediksi bahwa koefisien jenis kelamin, CEO yang mantan CFO, tenur,
dan CEO pendiri akan menjadi negatif dalam model kualitas akrual di atas, karena variabel
dependen merupakan ukuran kebalikan dari kualitas akrual. Sementara CEO yang memiliki
pengalaman bisnis dan keuangan diprediksi memiliki pengaruh positif terhadap keempat model
akrual di atas.
Ukuran perusahaan digunakan sebagai proksi untuk berbagai konstruksi dalam
penelitain akuntansi. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa manajemen di perusahaan
besar menghadapi lebih banyak tekanan untuk melaporkan laba yang dapat diprediksi (Barua et
al. 2010). Hal ini menyebabkan manajer menggunakan income-increasing atau income-
decreasing akrual abnormal. Dechow dan Dichev (2002) menunjukkan bahwa perusahaan yang
berukuran kecil berkaitan dengan kualitas akrual yang rendah. Peneliti memprediksi koefisien
negatif untuk .
Dechow et al. (1995) menunjukkan bahwa ukuran akrual abnormal yang dari model
Jones (1991) sensitif terhadap kinerja perusahaan. Peneliti mengontrol kinerja perusahaan
dalam industri dengan mengestimasi akrual abnormal yang cocok dengan kinerja. Kinerja
perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ROA. Dechow dan Dichev (2002) dan
Barua et al. (2010) menemukan bahwa kinerja yang buruk berhubungan dengan kualitas laba
yang rendah. Kothari et al. (2005) menunjukkan bahwa ketika kinerja perusahaan rendah,
perusahaan cenderung berinsentif untuk melakukan manajemen laba menjadi tinggi. Karena
masih beragamnya temuan dari penelitian terdahulu, menyebabkan peneliti tidak menentukan
arah dalam menguji pengaruh ROA terhadap kualitas akrual.
Kondisi finansial perusahaan dikontrol dengan menggunakan leverage. Sweeney (1994)
menemukan bahwa semakin besar rasio utang terhadap modal perusahaan, semakin besar
kemungkinan perusahaan untuk memilih prosedur akuntansi income increasing. Perusahaan
yang mempunyai masalah debt covenant mempunyai insentif untuk mengelola laba (Aier et al.
2005). Press dan Weintrop (1990) menemukan bahwa terdapat hubungan positif tingkat utang
perusahaan dengan akrual. Semakin tinggi aset yang dibiayai dengan liabilitasnya, semakin
kuat pula insentif manajemen untuk melaporkan akrual diskresioner yang lebih tinggi. DeFond
dan Jiambalvo (1994) menunjukkan bahwa CEO dari perusahaan yang tingkat leverage tinggi
melakukan akrual diskresioneri income-increasing untuk menghindari pelanggaran kontrak
utang. Temuan ini melaporkan bahwa perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi
memiliki manajemen laba yang rendah, yang pada gilirannya memengaruhi kualitas laba
perusahaan. Peneliti tidak menentukan tanda (arah) dari koefisien LEV, karena masih
beragamnya hasil penelitian terdahulu.
18
Umur perusahaan (FIRMAGE) merupakan salah satu variabel kontrol dalam penelitian
ini. Perusahaan yang berusia lebih tua dapat meningkatkan praktik pelaporan keuangan
sepanjang waktu (Alsaeed 2006) dan meningkat reputasi serta citranya di pasar (Akhtaruddin
2005). Perusahaan yang berusia lebih tua cenderung menunjukkan praktik manajemen laba
yang lebih rendah dibandingkan perusahaan yang baru berdiri (Bassiouny 2016). Perusahaan
yang lebih mudah terlihat lebih memperoleh laba yang volatile dan sistem akuntansi yang
belum solid, manajer cenderung lebih memiliki insentif untuk memanipulasi laba
(Gounopolous dan Pham 2018). Liu et al. (2016) menemukan adanya hubungan negatif antara
umur perusahaan dan manajemen laba. Berdasarkan temuan terdahulu, peneliti memprediksi
adanya pengaruh negatif dari umur perusahaan terhadap kualitas akrual.
Kondisi finansial perusahaan yang juga dikontrol dengan LOSS. LOSS mengisyaratkan
kondisi finansial perusahaan yang buruk. Peni dan Vahamaa (2010) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif LOSS dan akrual diskresioner. Peneliti memprediksi bahwa semakin
tinggi laba negatif, semakin rendah kualitas akrual. Peneliti menentukan tanda negatif untuk
koefisien proksi ini.
4. HASIL
4.1 Statistik Deskriptif
Tabel 2 menyajikan statistik deskriptif untuk seluruh sampel penelitian. Peneliti
melakukan winsorize untuk seluruh variabel pada tingkat 1 dan 99 persentil untuk mengurangi
isu outlier. Panel A Tabel 2 menunjukkan statistik deskriptif dari karakteristik CEO. Dari 880
observasi per perusahaan dan per tahun ditemukan sebank 5,45% perusahaan manufaktur
Indonesia dipimpin oleh CEO perempuan. Ini menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan
manufaktur
Indonesia dipimpin oleh CEO laki-laki. Sebanyak 16,38% CEO memiliki pengalaman kerja
sebagai CFO dan 37,84% CEO yang memiliki pengalaman dan keahlian mengelola bisnis
perusahaan. Temuan ini mengisyaratkan bahwa relatif masih sedikit CEO perusahaan
manufaktur yang memiliki pengalaman di bidang keuangan dan bisnis. Selanjutnya, CEO yang
juga berperan sebagai pendiri perusahaan sebesar 19,09% dan 46,25% CEO memiliki tenur
yang lebih panjang dalam memimpin perusahaan manufaktur Indonesia.
Panel B Tabel 2 mengilustrasikan karakteristik perusahaan yang dilihat dari ukuran
perusahaan, kinerja perusahaan (ROA, LEV, dan LOSS), dan umur perusahaan. Panel B juga
menyajikan statistik deskriptif untuk keempat proksi kualitas akrual. Ukuran perusahaan
(FIRMSIZE) manufaktur Indonesia yang ditentukan dari total aset yang dimiliki rata-ratanya
19
adalah Rp. 7,720 milyar dengan usia perusahaan rata-rata 20 tahun. Selanjutnya, rata-rata
kinerja perusahaan yang diproksi dengan ROA (LEV) selama periode amatan adalah memiliki
rasio 0,062 (1,118). Temuan ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbahan kinerja perusahaan
yang diproksikan dari ROA (LEV) masih relatif rendah (tinggi). Hal ini kemungkinan karena
masih banyaknya perusahaan manufaktur Indonesia yang memiliki laba negatif (dalam kondisi
merugi atau LOSS) selama periode amatan, 0,201.
Panel B juga mendeskripsikan keempat proksi kualitas akrual. Sehubungan dengan
proksi kualitas akrual, peneliti mengandalkan nilai median untuk membuat kesimpulan
statistik. Karena, nilai median lebih kecil kemungkinannya dipengaruhi oleh pengamatan
ekstrem (Gounopoulos dan Pham 2018). Rata-rata (median) nilai absolut dari kinerja yang
dicocokkan dengan akrual total abnormal (ABS_AC) dan akrual berjalan (ABS_ACC) adalah
adalah 0,043 (0,020) dan 0,092 (0,054). Sementara kualitas akrual yang diestimasi dengan
kesalahan estimasi akrual menunjukan rata-rata (median) masing-masing ABS_DD dan
ABS_MDD adalah 0,057 (0,035) dan 0,069 (0,035).
20
Tabel 2. Statistik Deskriptif Panel A: Karakteristik CEO
N
CEOPerempuan 880 48 5.45% 832 94.55%
ExCFO 880 145 16.48% 735 83.52%
BISNISCEO 880 333 37.84% 547 62.16%
CEOPendiri 880 168 19.09% 712 80.91%
TENURCEO 880 407 46.25% 473 53.75%
Panel B: Karakteristik Perusahaan
N Mean Median Max Min Stdev
FIRMSIZE(milyar rupiah) 880 7.7200 1.4800 261.8800 0.0005 1.5987
ROA 880 0.0619 0.0365 0.3755 0.1039 0.1041
LEV 880 1.1176 0.8207 5.2088 -1.4595 1.3591
FIRMAGE (tahun) 880 20.3375 21.0000 47 1 6.7809
LOSS 880 0.2009 0.0000 1 0 0.4002
Proksi Kualitas Akrual
ABS_AC 880 0.0431 0.0197 0.9490 0.0005 0.0822
ABS_ACC 880 0.0920 0.0539 1.0100 0.0005 0.1857
ABS_DD 880 0.0565 0.0349 0.2269 0.0005 0.0540
ABS_MDD 880 0.0687 0.0348 1.2600 0.0005 0.1164
Panel C: Matriks Korelasi
CEOPerempuan ExCFO BISNISCEO CEOPendiri TENURCEO FIRMSIZE ROA LEV FIRMAGE LOSS
CEOPerempuan 1
ExCFO -0.0377 1
BISNISCEO 0.0233 0.0199 1
CEOPendiri 0.0391 -0.1166 -0.0687 1
TENURCEO -0.0407 -0.1531 -0.1498 0.5007 1
FIRMSIZE -0.0316 -0.0444 -0.0544 -0.1234 -0.1028 1
ROA 0.0283 -0.0241 0.0818 -0.0901 0.0030 0.1420 1
LEV -0.0936 -0.0695 -0.1786 0.0080 0.1434 0.0981 -0.1595 1
FIRMAGE 0.0824 -0.1340 -0.0015 -0.0701 -0.0698 0.1640 0.1504 0.0275 1
LOSS -0.0461 -0.0240 0.0583 -0.0190 -0.0704 -0.0577 -0.5390 0.0340 -0.1088 1
Definisi dan pengukuran variabel telah disajikan dalam penjelasan sebelumnya.
Value 1 Value 0
21
Secara keseluruhan, hasil univariat awal dari penelitian ini menunjukkan bahwa
perusahaan manufaktur Indonesia yang dipimpin oleh CEO perempuan, memiliki pengalaman
kerja keuangan, pengalaman bisnis, tenur yang lebih lama, dan CEO pendiri menunjukkan
level abnormal akrual total abnormal, akrual berjalan abnormal, dan kesalahan estimasi akrual
dari model Dechow dan Dichev (2002) dan model McNichol (2002) yang rendah. Untuk
menyediakan bukti empiris yang lebih konkrit, peneliti melakukan analisis multivariat dri
hubungan antara karakteristik CEO tersebut dan keempat proksi kualitas akrual. Panel C Tabel
2 menyajikan matriks korelasi variabel yang digunakan dalam analisis penelitian ini. Hasilnya
tidak ditemukan adanya multikolinearitas antar variabel independen.
4.2 Hasil Empiris
Performance-Matched Abnormal Accruals
Peneliti mengestimasi persamaan (1) dengan menggunakan seluruh observasi dengan
data tersedia dengan menggunakan dua ukuran sebagai variabel dependen, yaitu absolute
performance-matched abnormal total accruals (ABS_AC) dan current accrual (ABS_ACC).
Hasil regresi disajikan dalam Tabel 3 berikut.
Tabel 3 Hasil Regresi dari Nilai Absolut Performance-Matched Abnormal Accruals
Secara keseluruhan, hasil uji regresi untuk kedua proksi kualitas akrual pertama
(ABS_AC dan ABS_ACC) menunjukkan bahwa nilai Adj R square yang tertinggi adalah
Tanda
Variabel Prediksi Koefisien t-stat Koefisien t-stat
Intercept ? 0.0842 9.4597 *** 0.0805 3.8701 ***
CEOPEREMPUAN - -0.0100 -2.6519 *** -0.0136 -2.0145 **
EXCFO - 0.0020 0.8247 0.0000 0.9944
BISNISCEO + 0.0034 1.8487 * -0.0024 -0.5901
TENURCEO - -0.0070 -3.5130 *** -0.0057 -1.2715
CEOPENDIRI - -0.0134 -5.0877 *** -0.0130 -2.1160 **
FIRMSIZE - -0.0038 -6.3472 *** -0.0017 -1.1706
ROA ? 0.0100 0.9764 -0.0022 -0.0878
LEV ? -0.0004 -0.6745 -0.0024 -1.5288
LOSS + 0.0051 1.9616 ** 0.0004 0.0569
FIRMAGE - -0.0010 -1.0301 -0.0010 -3.6930 ***
Industry Fixed Effects Ya Ya
Year Fixed Effects Ya Ya
Adj R squared 0.1010 0.0131
F-statistic 9.8728 *** 2.1681 **
Jumlah observasi 880 880
***, **, * mengindikasikan signifikansi pada tingkat 1%, 5%, dan 10%.
Definisi dan pengukuran variabel telah disajikan dalam penjelasan sebelumnya.
ABS_AC ABS_ACC
22
10,10% ditunjukkan oleh pengaruh karakteristik CEO terhadap ABS_AC. Ini mengisyaratkan
bahwa kualitas akrual ABS_AC lebih dapat menangkap fenomena yang menjelaskan faktor
penentukan kualitas akrual dari karakteristik CEO dibandingkan ABS_ACC. Karakteristik CEO
yang memiliki pengaruh signifikan terhadap ABS_AC adalah CEOPEREMPUAN, BISNISCEO,
TENURCEO, dan CEO PENDIRI. Hanya BISNISCEO yang tidak memiliki pengaruh
signifikan terhadap ABS_AC. Ini berarti H1, H3, H4, dan H5 didukung.
Koefisien CEOPEREMPUAN menunjukkan tanda negatif dan signifikan pada tingkat
1% (5%) untuk kualitas akrual ABS_AC (ABS_ACC). Nilai koefisien (t-statistik) yang
dihasilkan untuk ABS_AC adalah -0,010 (-2,6520) dan ABS_ACC adalah -0,014 (-2,014) ini
mendukung H1. Hasil ini mengisyaratkan bahwa perusahaan yang dipimpin oleh CEO
perempuan cenderung melaporkan nilai absolut performance-matched abnormal accruals yang
lebih rendah dibandingkan CEO laki-laki. Dengan kata lain, CEO perempuan terlihat lebih
konservatif dan etis dibandingkan perusahaan yang dipimpin oleh CEO laki-laki. Hal ini
ditunjukkan dari kualitas akrual yang lebih tinggi dilaporkan oleh CEO perempuan daripada
CEO laki-laki.
Perusahaan yang dipimpin oleh CEO yang memiliki pengalaman kerja keuangan yang
diproksikan dengan CEO yang mantan CFO tidak memiliki pengaruh terhadap ABS_AC dan
ABS_ACC, H2 tidak didukung. Temuan ini mengisyaratkan bahwa kualitas akrual tidak
ditentukan oleh pengalaman kerja keuangan CEO sebelumnya.
Koefisien untuk CEO yang memiliki pengalaman bisnis (CEOBISNIS) adalah positif
dan signifikan, dengan nilai koefisien 0,003 dan t-statistik 1,849 dengan tingkat signifikansi
10% untuk ABS_AC. Hasilnya mengindikasikan bahwa ABS_AC yang tinggi cenderung lebih
ditentukan dari CEO yang berpengalaman bisnis dibandingkan dengan CEO yang tidak
berpengalaman bisnis. Dengan demikian H3 didukung. Temuan ini mengindikasikan bahwa
CEO yang berpengalaman bisnis cenderung menggunakan kemampuan manajerialnya untuk
memberikan performa yang lebih baik. Kecakapan bisnis yang dimiliki CEO mendorong CEO
untuk cenderung menggunakan strategi agresif dengan melaporkan kualitas akrual yang
rendah. Sementara, tidak ditemukan pengaruh positif signifikan dari CEOBISNIS terhadap
ABS_ACC.
Selanjutnya, koefisien untuk CEO yang memiliki tenur panjang adalah negatif dan
signifikan. Nilai koefisien dan t-statistik yang dihasilkan adalah -0,007 dan -3,513 dengan
tingkat signifikan 1% untuk ABS_AC, ini mendukung H4. Temuan ini menunjukkan bahwa
CEO yang memiliki tenur lebih panjang melaporkan ABS_AC yang lebih rendah dibandingkan
CEO yang memiliki tenur yang lebih pendek. Temuan ini mengisyaratkan bahwa perusahaan
23
yang dipimpin oleh CEO dengan tenur yang lebih panjang cenderung melaporkan kualitas
akrual yang tinggi. CEO dengan tenur yang lebih panjang lebih berperilaku etis dan
menggunakan pengalamannya sebagai CEO untuk melaporkan kualitas akrual yang lebih baik
dibandingkan dengan CEO bertenur yang pendek.
Koefisien dari CEOPENDIRI adalah negatif dan signifikan untuk ABS_AC dan
ABS_ACC. Nilai koefisien yang dihasilkan masing-masing untuk ABS_AC (ABS_ACC) adalah
-0,013 (-0,0013) dan t-statistik ABS_AC (ABS_ACC) adalah -5,088 (-2,116) dengan tingkat
signifikansi masing-masing 1% dan 5%. Hasil pengujian ini mendukung H5. Temuan ini
menunjukkan bahwa perusahaan yang dipimpin oleh CEO pendiri cenderung melaporkan
kualitas akrual yang tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak dipimpin oleh CEO
pendiri. CEO pendiri cenderung lebih berhati-hati, berperilaku etis, dan lebih cenderung
mempertahankan reputasi dan keamanannya dengan melaporkan kualitas akrual yang lebih
baik.
Hasil pengujian regresi untuk variabel kontrol menunjukkan hasil yang konsisten
dengan studi terdahulu (antara lain Dechow dan Dichev 2002; Francis et al. 2008; Barua et al.
2010), terutama untuk variabel FIRMSIZE dan FIRMAGE yaitu signifikan negatif (tingkat
signifikansi pada 1% dan 5%). Temuan ini mengisyaratkan bahwa perusahaan yang berukuran
besar dan yang berusia lebih tua melaporkan kualitas akrual yang lebih baik dibandingkan
perusahaan yang berukuran kecil dan perusahaan yang masih muda. Perusahaan yang
berkinerja rendah yang ditunjukkan dari laba yang rendah (LOSS) cenderung melaporkan
kualitas akrual yang rendah pula. Temuan ini telah konsisten dengan temuan studi terdahulu
(Peni dan Vahamaa 2010). Namun variabel kontrol untuk ROA dan LEV tidak ditemukan
pengaruh yang signifikan terhadap kualitas akrual.
Kesalahan Estimasi Akrual
Tabel 4 menyajikan hasil dari estimasi persamaan (5) dengan menggunakan ukuran
berbasis kesalahan estimasi akrual dengan variabel dependen: ABS_DD dan ABS_MDD. Secara
keseluruhan, hasil uji regresi untuk kedua proksi kualitas akrual kedua (ABS_DD dan
ABS_MDD menunjukkan bahwa nilai adjusted R square yang tertinggi adalah 9,9%
ditunjukkan oleh pengaruh karakteristik CEO terhadap ABS_DD. Sementara, nilai Adj R
Square untuk ABS_MDD adalah 8,6%. Ini mengisyaratkan bahwa kualitas akrual ABS_DD
lebih dapat menangkap fenomena yang menjelaskan faktor penentukan kualitas akrual dari
karakteristik CEO dibandingkan ABS_MDD. Penelitian ini tidak bertujuan untuk memperoleh
24
nilai R-square yang tinggi, tetapi untuk memperoleh nilai koefisien yang diestimasi dari model
penelitian yang dikembangkan.
Secara umum, seluruh hipotesis yang diajukan didukung. Hasil penelitian ini
memberikan bukti bahwa karakteristik CEO memengaruhi kualitas akrual yang diproksikan
dengan ABS_MDD. Secara spesifik, koefisien dari CEOPEREMPUAN adalah telah
menunjukkan arah yang sesuai dengan prediksi untuk kedua proksi kualitas akrual ABD_DD
dan ABS_MDD. Nilai koefisien (t-statistik) dan tingkat signifikansi utuk ABS_DD adalah -
0,0152 (-4,2538) pada tingkat signifikansi 1%, dan ABS_MDD adalah -0,0272 (-2,4443) pada
tingkat signifikansi 5%. Hasil pengujian mendukung H1. Temuan ini mengisyaratkan bahwa
perusahaan yang dipimpin oleh CEO perempuan cenderung melaporkan nilai absolut
kesalahan estimasi akrual yang rendah dibandingkan CEO laki-laki. Dengan demikian, CEO
perempuan melaporkan kualitas akrual yang lebih tinggi oleh CEO perempuan daripada CEO
laki-laki.
Tabel 4 Hasil Regresi dari Nilai Absolut Kesalahan Estimasi Akrual
Koefisien untuk CEO yang berpengalaman kerja keuangan telah sesuai dengan yang
arah yang diprediksi untuk ABS_MDD pada tingkat signifikansi 10%. Nilai koefisien dan t-
statistik dari EXCFO adalah -0,0154 dan -1,8194 untuk ABS_MDD, mendukung H2. Temuan
ini menunjukkan bahwa perusahaan yang dipimpin oleh CEO yang mantan CFO cenderung
melaporkan kualitas akrual (ABS_MDD) yang lebih tinggi, namun CEO yang mantan CFO ini
Tanda
Variabel Prediksi Koefisien t-stat Koefisien t-stat
Intercept ? 0.1451 9.3599 *** 0.0741 2.2594 **
CEOPEREMPUAN - -0.0152 -4.2538 *** -0.0272 -2.4443 **
EXCFO - 0.0051 1.2999 -0.0154 -1.8194 *
BISNISCEO + 0.0049 1.7720 * 0.0412 4.1762 ***
TENURCEO - -0.0070 -2.1830 ** -0.0380 -3.5410 ***
CEOPENDIRI - -0.0175 -4.6161 *** -0.0554 -4.9948 ***
FIRMSIZE - -0.0063 -5.7966 *** 0.0029 1.0683
ROA ? 0.0119 0.7426 -0.0263 -0.6070
LEV ? -0.0005 -0.4855 -0.0006 -0.2977
LOSS + 0.0048 1.1941 -0.0132 -1.0995
FIRMAGE ? -0.0004 -1.7304 * -0.0030 -3.2491 ***
Industry Fixed Effects Ya Ya
Year Fixed Effects Ya Ya
Adj R squared 0.0989 0.0864
F-statistic 9.6674 *** 9.3031 ***
Jumlah observasi 880 880
***, **, * mengindikasikan signifikansi pada tingkat 1%, 5%, dan 10%.
Definisi dan pengukuran variabel telah disajikan dalam penjelasan sebelumnya.
ABS_DD ABS_MDD
25
tidak memengaruhi ABS_DD. Hasil pengujian ini mengindikasikan bahwa CEO yang memiliki
pengalaman kerja keuangan cenderung tidak memengaruhi kualitas akrual yang diproksikan
dengan ABS_DD.
Koefisien untuk CEO yang memiliki pengalaman bisnis (CEOBISNIS) telah
menunjukkan arah yang diprediksi, yaitu berarah positif dan signifikan. Nilai koefisien dan t-
statistik yang diperoleh untuk ABS_DD (ABS_MDD) adalah 0,0049 (0,0412) dan 1,7720
(4,1762) dengan tingkat signifikansi 10% (1%). Ini berarti H3 didukung. Hasil pengujian
mengisyaratkan bahwa kualitas akrual yang rendah cenderung dilaporkan oleh CEO yang
memiliki pengetahuan bisnis.
Lebih lanjut, koefisien untuk variabel TENURCEO telah menunjukkan arah yang
sesuai dengan prediksi, yaitu negatif dan signifikan untuk kedua proksi kesalahan estimasi
akrual. Nilai koefisien dan t-statistik yang diperoleh untuk ABS_DD adalah -0,0070 dan -
2,1830 pada tingkat signifikansi 10%. Nilai koefisien dan statistik untuk ABS_MDD adalah -
0,0380 dan -3,5410 pada tingkat signifikansi 1%. Ini menunjukkan H4 didukung. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaan yang dipimpin oleh CEO dengan tenur yang
lebih panjang cenderung melaporkan kualitas akrual yang tinggidibandingkan dengan
perusahaan yang dipimpin oleh CEO bertenur yang pendek.
Koefisien dari CEOPENDIRI adalah negatif dan signifikan untuk ABS_DD dan
ABS_MDD. Nilai koefisien yang dihasilkan untuk ABS_DD (ABS_MDD) adalah -0,0175 (-
0,0380) dan t-statistik ABS_DD (ABS_MDD) adalah -4,6161 (-4,9948) dengan tingkat
signifikansi 1%. Hasil pengujian ini mendukung H5. Temuan ini menunjukkan bahwa
perusahaan yang dipimpin oleh CEO pendiri cenderung melaporkan kualitas akrual yang tinggi
dibandingkan dengan perusahaan yang tidak dipimpin oleh CEO pendiri. Temuan ini konsisten
dengan pengujian ABS_AC dan ABS_ACC sebelumnya.
Hasil pengujian regresi untuk variabel kontrol telah konsisten dengan temuan
sebelumnya. FIRMSIZE dan FIRMAGE menunjukkan koefisien negatif dan signifikan (tingkat
signifikansi pada 1% dan 10%). Temuan ini mengisyaratkan bahwa perusahaan yang berukuran
besar dan yang berusia lebih tua melaporkan kualitas akrual yang lebih baik dibandingkan
perusahaan yang berukuran kecil dan perusahaan yang masih muda. Sementara untuk ROA,
LEV, dan LOSS tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan untuk ABS_DD dan
ABS_MDD.
26
5. KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, peneliti menginvestigasi pengaruh karakteristik CEO terhadap kualitas
akrual yang diestimasi dengan performance-matched abnormal accruals dan kesalahan
estimasi akrual untuk perusahaan manufaktur di Indonesia. CEO memiliki peran krusial dalam
menentukan kualitas pelaporan keuangan dan kinerja perusahaan yang telah lama digunakan
dalam studi terdahulu, khususnya penelitian yang dibangun dengan teori upper echelon.
Namun demikian, penelitian yang berfokus pada hubungan karakteristik CEO dan kualitas
akrual masih terbatas dan masih memberikan temuan yang beragam.
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang dipimpin oleh CEO
perempuan, CEO dengan tenur yang lebih panjang, dan CEO pendiri cenderung melaporkan
kualitas akrual yang tinggi. Sebaliknya, perusahaan yang dipimpin oleh CEO yang memiliki
pengetahuan bisnis cenderung melaporkan kualitas akrual yang rendah. Peneliti menemukan
hasil yang masih belum konsisten untuk kedua proksi kualitas akrual. Hasilnya menunjukkan
bahwa perusahaan dipimpin oleh CEO yang memiliki pengalaman keuangan cenderung
melaporkan kualitas akrual yang tinggi ketika menggunakan proksi kesalahan etimasi akrual.
Namun, tidak ditemukan adanya pengaruh yang signifikan dari pengalaman kerja keuangan
CEO terhadap akrual abnormal (performance-matched abnormal accruals). Secara umum,
hasil penelitian ini mendukung prediksi teori upper echelon terkait dengan pengaruh
karakteristik CEO dalam pilihan dan outcome organisasi.
Penelitian ini memberikan kontribusi penting untuk literatur akuntansi dan upper
echelon dengan memberikan bukti bahwa karakteristik CEO memengaruhi pelaporan kualitas
akrual terutama untuk perusahaan manufaktur Indonesia. Karakteristik CEO tersebut
ditentukan dari jenis kelamin, tenur, pengalaman kerja keuangan CEO, pengetahuan bisnis, dan
CEO pendiri. Hasil penelitian ini memberikan implikasi untuk beragam pemangku kepentingan
dalam pelaporan keuangan perusahaan yang berkualitas, regulator dalam meningkatkan kualias
pelaporan keuangan, auditor eksternal danlam menilai risiko salah saji material, pengguna
laporan keuangan dalam menilai kualitas laba yang dilaporkan, dan memberikan rekomendasi
kepada regulator untuk meningkatkan proporsi CEO perempuan dalam memimpin perusahaan.
Penelitian masa depan diharapkan dapat menguji karakteristik tim manajemen puncak
lainnya dan atribut personal tim manajemen puncak yang akan memengaruhi cara pikir dan
pembuatan keputusan manajer, yang pada gilirannya akan memengaruhi pilihan pelaporan
keuangan yang berkualitas. Penelitian ini memiliki beberapa bukti keterbatasan bahwa
penelitian ini hanya berfokus pada karakteristik CEO yang dapat diamati (karakteristik
27
demografis) dan tidak berfokus pada karakteristik psikologikal (karakteristik yang tidak dapat
diamati).
REFERENSI
Aier, J. K., J. Comprix, M. T. Gunlock, dan D. Lee. 2005. The financial expertise of CFOs and
Accounting Restatements. Accounting Horizons 19 (3):123-135.
Ali, A., dan W. Zhang. 2015a. CEO tenure and earnings management. Journal of Accounting
and Economics 59 (1):1-18.
Akhtaruddin, M. (2005). Corporate mandatory disclosure practices in Bangladesh. The
International Journal of Accounting, 40 (4), 399-422.
Alsaeed, K. (2006). The association between firm-specific characteristics and disclosure: The
case of Saudi Arabia. Managerial Auditing Journal, 21 (5), 476-496.
Baatwah, S. R., Salleh, Z., dan Ahmad, N. (2015). CEO characteristics and audit report
timeliness: do CEO tenure and financial expertise matter? . Managerial Auditing
Journal, 30(8/9), 998-1022.
Bamber, L. S., Jiang, J. X., dan Wang, I. Y. (2010). What's my style? The influence of top
managers on voluntary corporate financial disclosure. The Accounting Review, 85(4),
1131-1162.
Bhagat, S., B. Bolton, dan A. Subramanian. 2010. CEO education, CEO turnover, and firm
performance. Working paper:1-50
Cheng, Q., dan Lo, K. (2006). Insider trading and voluntary disclosures. Journal of
Accounting Research, 44(5), 815-848.
Croson, R., dan Gneezy, U. 2009. Gender differences in preferences. Journal of Economic
Literature, 47 (2), 448-474.
Cullinan, C., Bline, D., Farrar, R., dan Lowe, D. 2008. Organization-harm vs. organization-
gain ethical issues: An exploratory examination of the effects of organizational
commitment. Journal of Business Ethics 80 (2), 225-235.
Custodio, C., dan D. Metzger. 2014. Financial expert CEOs: CEO's work experience and
firm's financial policies Journal of Financial Economics 114:125-154.
Datta, D. K., dan J. P. Guthrie. 1994. Executive Succession: Organizational Antecedents of
CEO Characteristics. Strategic Management Journal 15 (7): 569 – 577.
Dechow, P. M., dan Dichev, I. D. (2002). The quality of accruals and earnings: The role of
accrual estimation errors The Accounting Review, 77, 35-59.
Dechow, P. M., Sloan, R. G., dan Sweeney, A. P. (1995). Detecting earnings management. The
Accounting Review, 70(2), 193-225.
DeFond, M. I., dan J. Jiambalvo. 1994. Debt covenant violation and manipulation of accruals.
Journal of Accounting and Economics 17:145-176.
Fahlenbrach, R. 2009. Founder-CEOs, Investment Decisions, and Stock Market Performance.
The Journal of Financial and Quantitative Analysis 44 (2):439-466.
Finkelstein, S., dan Hambrick, D. C. 1990. Top-management-team tenure and organizational
outcomes: The moderating role of managerial discretion. Administrative Science
Quarterly 35: 484 – 503.
Gavious, I., E. Segev, dan R. Yosev. 2012. Female directors and earnings management in
high-technology firms. Pacific Accounting Review 24 (1):4-32.
Ge, W., D. Matsumoto, dan J. L. Zhag. 2011. Do CFOs have style? An empirical investigation
of the effect of individual CFOs on accounting practices. Contemporary Accounting
Research 28 (4):1141-1179.
28
Gibbons, R., dan K. J. Murphy. 1992. Optimal incentive contracts in the presence of career
concern: theory and evidence. Working Paper National Bureau of Economic Research,
Cambridge:1-52.
Gounopoulos, D., dan H. Pham. 2018. Financial expert CEOs and earnings management
around initial public offerings. International Journal of Accounting 53:102-117.
Graham, J. R., C. R. Harvey, dan S. Rajgopal. 2005. The economic implications of corporate
financial reporting. Journal of Accounting and Economics 40:3-73.
Hambrick, D. C. (2007). Upper echelon theory: an update. Academy of Management Review,
32(2), 334-343.
Hambrick, D., dan G. D. S. Fukutomi. 1991. The seasons of a CEO's tenure. Academy of
Management Review 16 (4):719-744.
Hambrick, D. C., dan Mason, P. A. (1984). Upper Echelons: The organization as reflection of
its top managers. The Academy of Management Review, 9(2), 193-206.
Heminway, J. M. 2007. Sex, trust, and corporate boards. Hastings Women's Law Journal 18,
173-193.
Hitt, M. A., R. E. Hoskisson, R. A. Johnson, dan D. D. Moesel. 1996. The market for
corporate control and firm innovation. Academy of Management Journal 39 (5):1084-
1119.
Huang, H. W., E. R. Green, dan C. C. Lee. 2012. CEO age and financial reporting quality.
Accounting Horizons 26 (4):725 - 740.
Kim, K., dan J. S. Yang. 2014. Director tenure and financial reporting quality: Evidence from
Korea. Review of Integrative Business & Economics Research 3 (1): 2237 – 256.
Kothari, S. P., Leone, A. J., & Wasley, C. E. (2005). Performance matched discretionary
accrual measures. Journal of Accounting and Economics, 39(1), 163-197.
Li, H. 2014. Top executives’ ability and earnings quality: evidence from the Chinese capital
markets. International Journal of Financial Research 5 (2): 79 – 86.
Liu, C., Tseng, Y., dan Chen, T. K. 2016. Top management team expertise and corporate real
earnings management activities. Advances in Accounting, incorporating Advances in
International Accounting 34, 117-132.
Matsunaga, S. R., S. Wang, dan P. E. Yeung. 2013. Does apointing a former CFO as CEO
influence a firm's accounting policies? Working paper.
McNichols, M. (2002). Discussion of the quality of accruals and earnings: the role of accrual
estimation errors. The Accounting Review, 77(s-1), 61-69.
Nelson, T. 2003. The persistence of founder influence: management, ownership, and
performance effects at initial public offering. Strategic Management Journal 24
(8):707-724.
Pae, J. 2007. Unexpected Accruals and Conditional Accounting Conservatism. Journal of
Business Finance and Accounting 34 (5 & 6):681-704.
Peni, E., dan Vahamaa, S. 2010. Female executives and earnings management. Managerial
Finance, 36 (7), 629-645.
Press, E. G., dan J. B. Weintrop. 1990. Accounting-based constraints in public and private
debt agreements. Journal of Accounting and Economics 12:65-95.
Qi, B., Lin, J. W., Tian, G., dan Lewis, H. C. X. (2018). The impact of top management team
characteristics on the choice of earnings management strategies: Evidence from China.
Accounting Horizons, 32(1), 143-164.
Santoso, R. D. 2013. CEO characteristics and earnings management. Skripsi: Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
Schubert, R. 2006. Analyzing and managing risks on the importance of gender difference in
risk attitudes, Managerial Finance, 32 (9), 706-715.
29
Teoh, S. H., I. Welch, and T. J. Wong. 1998. Earnings management and the underperformance
of seasoned equity offerings. Journal of Financial Economics 50: 63–99.
Wang, D. (2004). Founding family ownership and accounting earnings quality. (Doctor of
Philosophy Dissertation), University of Missouri-Columbia. (UMI Number 3144465).
Wierserma, M. F., dan Bantel, K. A. 1992. Top management team demography and corporate
strategic change. Academy of Management Journal 35: 91 – 121.
Zahra, S. A., dan Pearce, J. A. (1989). Boards of directors and corporate financial performance:
a review and integrative model. Journal of Management, 15(2), 291-334.
Zhang, W. 2009. CEO tenure and earnings quality. In Working paper.
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download;jsessionid=E06D8ECE9E28A8007B528
603208F8593?doi=10.1.1.181.287&rep=rep1&type=pdf