kapsel pikkss banget
DESCRIPTION
kapsel, bpjsTRANSCRIPT
UNIVERSITAS PANCASILA
FAKULTAS FARMASI
KAPITA SELEKTA II
Pemantauan Terapi Obat Oleh Apoteker di Era Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) di Apotik Swasta
Disusun oleh:
Hafizh Arsyka, S.Farm (2014001228)
Hani Nurhanifah, S.Farm (2014001315)
Haryadi Prayoga, S.Farm (2014001230)
Hebie Widayati, S. Farm (2014001231)
Heryanto Matheos, S. Farm (2014001316)
I Gusti Agung Indira utami Masputri, S.Farm (2014001233)
Kelompok 14
Dosen Pembimbing : Dra. Lungguk Hutagaol, M.Pd., Apt
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
JAKARTA
2015
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan................................................................................................1
BAB II TINJAUAN POKOK............................................................................................1
2.1 Pelayanan Kefarmasian................................................................................................1
2.1.1 Standar Pekerjaan Kefarmasian............................................................................4
2.1.2 Standar Pelayanan Kefarmasian............................................................................4
2.1.3 Pelayanan Kefarmasian..................................................................................4
2.1.4 Tujuan Pelayanan Kefarmasian............................................................................5
2.2 Apotek..........................................................................................................................6
2.3 Sistem Jaminan Standar Nasional................................................................................7
2.3.1 Jaminan Kesehatan Nasional.................................................................................9
2.3.2 Manfaat Jaminan Standar Nasional (JKN)............................................................9
2.4 Pemantauan Terapi Obat......................................................................................10
2.4.1 Tatalaksana Pemantauan Terapi Obat..................................................................11
2.4.1.1 Seleksi Pasien...............................................................................................11
2.4.1.2 Pengumpulan Data Pasien............................................................................12
2.4.1.3 Identifikasi Masalah Terkait Obat................................................................12
2.4.1.4 Rekomendasi Terapi....................................................................................13
2.4.1.5 Rencana Pemantauan....................................................................................13
2.4.1.6 Tindak Lanjut...............................................................................................16
2.4.1.7 Dokumentasi................................................................................................17
BAB III PEMBAHASAN................................................................................................18
BAB IV PENUTUP.........................................................................................................21
5.1 Kesimpulan............................................................................................................21
i
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak dasar setiap orang. Seluruh warga negara
berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pancasila dan UUD Republik Indonesia Tahun 1945. Pada UUD
1945, perubahan pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah menjalankan
UUD 1945 tersebut dengan mengeluarkan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk memberikan jaminan sosial menyeluruh
bagi setiap orang dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak
menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.
Pelayanan kesehatan dasar harus terselenggara atau tersedia untuk
menjamin hak asasi semua orang untuk hidup sehat. Penyelenggaraan atau
penyediaan pelayanan kesehatan dasar ini harus secara nyata menunjukkan
keberpihakannya kepada kelompok masyarakat risiko tinggi termasuk didalamnya
kelompok masyarakat miskin.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau JamKesNas merupakan bagian
dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan
menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib
berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang
diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar
oleh pemerintah yang merupakan bentuk komitmen pemerintah terhadap
pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat Indonesia seluruhnya. Pada era JKN
ini untuk pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh semua Fasilitas Kesehatan
yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa Fasilitas Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Untuk ketentuan hal ini
diatur dalam PMK No.71/2013 pasal di tuliskan “Fasilitas kesehatan tingkat
1
2
pertama yang tidak memiliki sarana kefarmasian dan juga tidak dapat
menunjukkan bukti kerjasama dengan sarana kefarmasian tidak akan dapat
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan”.
Pelayanan farmasi di fasilitas kesehatan mulai bergerak dari fungsi
penyedia dan peracik menjadi fungsi yang lebih luas yaitu bertanggung jawab
melaksanakan pelayanan dengan konsep pharmaceutical care yaitu menyediakan
pelayanan yang optimal dalam terapi obat untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Tugas lain sebagai peran yang melekat adalah pencatatan dan pelaporan,
monitoring penggunaan obat rasional dan obat generik, adminsitrasi kesalahan
penggunaan obat (medication errors), Pemantauan Terapi Obat (PTO).
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Kegiatan tersebut mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara
pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD).
Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi
secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi
dapat diketahui. Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam
mencegah munculnya masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim
pelayanan kesehatan memiliki peran penting dalam PTO.
1.2 Maksud dan Tujuan
1. Untuk mengetahui fungsi dan tanggung jawab apoteker dalam Pemantauan
Terapi Obat(PTO) pada Era Jaminan Kesehatan Nasional(JKN)
2. Apoteker melaksanakan PTO dalam rangka peningkatan penerapan pelayanan
pada era JKN di Apotek Swasta.
BAB II TINJAUAN POKOK
2.1 Pelayanan Kefarmasian
International Pharmaceutical Federation mengidentifikasikan profesi
farmasis adalah kemauan individu farmasis untuk melakukan praktek
kefarmasian sesuai syarat legal minimum yang berlaku serta memenuhi
standar profesi dan kode etik kefarmasian.
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan
telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di indonesia sebagai apoteker
(Menkes RI, 2004). Terlaksananya praktek kefarmasian oleh apoteker yang
kompeten yakni apoteker yang memiliki kemampuan profesi yang baik
berdasarkan ketentuan peraturan perundangan, karena saat ini banyak apoteker
yang tidak mengikuti perkembangan IPTEK dan perubahan peraturan
perundang-undangan yang secara mendasar mempengaruhi paradigma dalam
pelayanan kefarmasian.
Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan
tradisional.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, tujuan pengaturan
pekerjaan kefarmasian adalah untuk:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam
memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian.
2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan
kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta peraturan perundangan-undangan.
Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.
3
2.1.1 Standar Pekerjaan Kefarmasian
Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, standar kefarmasian
adalah pedoman untuk melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas
produksi, distribusi,atau penyaluran, dan pelayanan kefarmasian.
Untuk bisa efektif sebagai anggota tim kesehatan, apoteker butuh
ketrampilan dan sikap untuk melakukan fungsi-fungsi yang berbeda-beda.
Konsep the seven-star pharmacist diperkenalkan oleh WHO dan diambil oleh
FIP pada tahun 2000 sebagai kebijaksanaan tentang praktek pendidikan
farmasi yang baik (Good Pharmacy Education Practice ). Adapun peran
farmasis yang di gariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah “ seven stars
pharmacist”.
2.1.2 Standar Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan Kefarmasian di apotik saat ini telah mempunyai standar
dengan diterbitkannya Surat Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia
No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek. Tujuan diterbitkan Surat Keputusan ini adalah sebagai pedoman
praktik apoteker dalam menjalankan profesi, melindungi masyarakat dari
pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi dalam praktik
kefarmasian di apotek sehingga diharapkan pelayanan kefarmasian yang dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.
2.1.3 Pelayanan Kefarmasian
Menurut PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, yang dimaksud
dengan pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kefarmasian, telah terjadi pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian dari
pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif
(pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat
namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian
informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional,
monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan
terjadinya kesalahan pengobatan (medication error).
2.1.4 Tujuan Pelayanan Kefarmasian
1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa
maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien
maupun fasilitas yang tersedia.
2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etik profesi.
3. Melaksanakan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat.
4. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
5. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan
evaluasi pelayanan.
6. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan
evaluasi pelayanan.
7. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metoda.
Pelayanan kefarmasian dalam hal memberikan perlindungan terhadap
pasien, berfungsi sebagai:
1. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan
lainnya, tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil
pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima
untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek
samping obat, dan menentukan metode penggunaan obat.
2. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan pemilihan obat yang tepat.
3. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang
berlawanan, keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk
memodifikasi pengobatan.
4. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan kepada
pasien.
5. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian pengobatan
bagi pasien penyakit kronis.
6. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat
darurat.
7. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat.
8. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan.
9. Menyediakan pendidikan mengenai obat-obatan untuk tenaga kesehatan
2.2 Apotek
Menurut PP No.51 tahun 2009, Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian
tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker.
Berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009, tugas dan fungsi apotek adalah:
1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan Apoteker.
2. Sarana yang digunakan untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian
3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan
farmasi antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan
kosmetika.
4. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu Sediaan Farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.
Pelayanan di Apotek menurut KepMenKes No. 1027, Tujuan Standar
Pelayanan Kefarmasian di apotek disusun :
1. Sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi.
2. Untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak professional
3. Melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian
Apotek BUMN merupakan perusahaan publik sekaligus Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang berkomitmen penuh untuk melaksanakan tata
kelola perusahaan yang baik sebagai suatu kebutuhan sekaligus kewajiban
sebagaimana diamanatkan Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang
BUMN. Salah satunya Apotek BUMN adalah Apotek Kimia Farma.
Apotek Swasta merupakan apotek yang di kelola oleh perusahaan
perorangan milik pribadi yang dari segi keuntungan, modal tidak terkait
secara langsung maupun tidak dengan pemerintah. Salah satu contoh dari
apotek swasta ialah Century.
2.3 Sistem Jaminan Standar Nasional
Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan
dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh
segenap bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu
tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang
Hak Asasi Manusia. Pasal 25 Ayat (1) Deklarasi menyatakan, setiap orang
berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan
dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan
perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas
jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda,
mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan
nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.
Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 juga
mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termasuk dalam UUD
45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian
diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009
ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga
mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah
bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan.
Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan
menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan,
diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero)
yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan
pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah
memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian,
skema-skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi- bagi. Biaya kesehatan
dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali.
Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini
mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS).
Untuk proses pembayaran fasilitas kesehatan BPJS Kesehatan akan
membayar kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan kapitasi. Untuk
fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS kesehatan membayar
dengan sistem paket INA CBG’s. Mengingat kondisi geografis Indonesia,
tidak semua fasilitas kesehatan dapat dijangkau dengan mudah. Maka, jika di
suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan kapitasi, BPJS
kesehatan diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme
lain yang lebih berhasil guna.
Semua fasilitas kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan
BPJS kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah
keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka
fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS kesehatan.
BPJS kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak
menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara
dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.
2.3.1 Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan
menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib
(mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah
membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah program nasional yang telah
diresmikan oleh pemerintah sejak tanggal 1 Januari 2014 yang lalu. Jaminan
kesehatan berdasarkan Peraturan mentreri kesehatan (PMK) nomor 71 tahun
2013 didefinisikan sebagai jaminan berupa perlindungan kesehatan agar
peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan
dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap
orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
Pada era JKN ini untuk pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh semua
Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa
Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat
lanjutan.
2.3.2 Manfaat Jaminan Standar Nasional (JKN)
Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terdiri atas 2 (dua) jenis,
yaitu manfaat medis berupa pelayanan kesehatan dan manfaat non medis
meliputi akomodasi dan ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk pasien
rujukan dari fasilitas kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh
BPJS kesehatan.
Manfaat JKN mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai
dengan kebutuhan medis.
Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif,
masih ada manfaat yang tidak dijamin meliputi:
1. Tidak sesuai prosedur
2. Pelayanan di luar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS;
3. Pelayanan bertujuan kosmetik;
4. General checkup, pengobatan alternatif;
5. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi;
6. Pelayanan kesehatan pada saat bencana ; dan
7. Pasien bunuh diri / penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk
menyiksa diri sendiri / bunuh diri / narkoba.
2.4 Pemantauan Terapi Obat
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional
bagi pasien. Kegiatan tersebut mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis,
cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki
(ROTD) dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pemantauan
terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi
secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan
terapi dapat diketahui.
Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah
munculnya masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim
pelayanan kesehatan memiliki peran penting dalam PTO. Pengetahuan
penunjang dalam melakukan PTO adalah patofisiologi penyakit;
farmakoterapi; serta interpretasi hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan
diagnostik.Selain itu, diperlukan keterampilan berkomunikasi, kemampuan
membina hubungan interpersonal, dan menganalisis masalah. Proses PTO
merupakan proses yang komprehensif mulai dari seleksi pasien,
pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi
terapi, rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut. Proses tersebut
harus dilakukan secara berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai.
2.4.1 Tatalaksana Pemantauan Terapi Obat
2.4.1.1 Seleksi Pasien
Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh
pasien. Mengingat terbatasnya jumlah apoteker dibandingkan dengan
jumlah pasien, maka perlu ditentukan prioritas pasien yang akan dipantau.
Seleksi dapat dilakukan berdasarkan:
Kondisi Pasien.
1. Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga
menerima polifarmasi.
2. Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
3. Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.
4. Pasien geriatri dan pediatri.
5. Pasien hamil dan menyusui.
6. Pasien dengan perawatan intensif.
Obat
o Jenis Obat
Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi seperti :
1. Obat dengan indeks terapi sempit (contoh: digoksin,fenitoin),
2. Obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan
hepatotoksik (contoh: oat),
3. Sitostatika (contoh: metotreksat),
4. Antikoagulan (contoh: warfarin, heparin),
5. Obat yang sering menimbulkan rotd (contoh: metoklopramid,
ains),
6. Obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).
o Kompleksitas regimen
1. Polifarmasi
2. Variasi rute pemberian
3. Variasi aturan pakai
4. Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)
2.4.1.2 Pengumpulan Data Pasien
Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data
tersebut dapat diperoleh dari:
1. Rekam medik,
Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai
pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang
dapat diperoleh dari rekam medik, antara lain: data demografi pasien,
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu,
riwayat penggunaan obat, riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan
fisik, laboratorium, diagnostik, diagnosis dan terapi. Data tersebut di
pelayanan komunitas dapat diperoleh melalui wawancara dengan pasien,
meskipun data yang diperoleh terbatas.
2. Profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat,
Profil pengobatan pasien di rumah sakit dapat diperoleh dari catatan
pemberian obat oleh perawat dan kartu/formulir penggunaan obat oleh
tenaga farmasi. Profil tersebut mencakup data penggunaan obat rutin, obat
p.r.n (obat jika perlu), obat dengan instruksi khusus (contoh: insulin).
3. Wawancara dengan pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan
lain.
Sering kali data yang diperoleh dari rekam medis dan profil pengobatan
pasien belum cukup untuk melakukan PTO, oleh karena itu perlu
dilengkapi dengan data yang diperoleh dari wawancara pasien, anggota
keluarga, dan tenaga kesehatan lain
2.4.1.3 Identifikasi Masalah Terkait Obat
Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya
masalah terkait obat. Masalah terkait obat menurut Hepler dan Strand
dapat dikategorikan sebagai berikut:
Ada indikasi tetapi tidak di terapi Pasien yang diagnosisnya telah
ditegakkan dan membutuhkan terapi obat tetapi tidak diresepkan. Perlu
diperhatikan bahwa tidak semua keluhan/gejala klinik harus diterapi
dengan obat.
Pemberian obat tanpa indikasi Pasien mendapatkan obat yang tidak
diperlukan.
Pemilihan obat yang tidak tepat. Pasien mendapatkan obat yang bukan
pilihan terbaik untuk kondisinya (bukan merupakan pilihan pertama,
obat yang tidak cost effective, kontra indikasi
Dosis terlalu tinggi
Dosis terlalu rendah
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
Interaksi obat
Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab
Beberapa penyebab pasien tidak menggunakan obat antara lain : masalah
ekonomi, obat tidak tersedia, ketidakpatuhan pasien, kelalaian petugas.
Apoteker perlu membuat prioritas masalah sesuai dengan kondisi pasien
dan menentukan masalah tersebut sudah terjadi atau berpotensi akan
terjadi. Masalah yang perlu penyelesaian segera harus diprioritaskan.
2.4.1.4 Rekomendasi Terapi
Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup
pasien, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
• Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)
• Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri)
• Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal)
• Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penetapan tujuan terapi antara
lain: derajat keparahan penyakit dan sifat penyakit (akut atau kronis).
Pilihan terapi dari berbagai alternatif yang ada ditetapkan berdasarkan:
efikasi, keamanan, biaya, regimen yang mudah dipatuhi.
2.4.1.5 Rencana Pemantauan
Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan
perencanaan pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek
terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Apoteker dalam
membuat rencana pemantauan perlu menetapkan langkah-langkah :
1. Menetapkan parameter farmakoterapi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih parameter
pemantauan, antara lain :
a. Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari allopurinol,
aminoglikosida). Obat dengan indeks terapi sempit yang harus
diukur kadarnya dalam darah (contoh: digoksin)
b. Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen
c. Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsi ginjal pada
pasien geriatri mencapai 40%)
d. Efisiensi pemeriksaan laboratorium
- Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaan kadar kalium dalam
darah untuk penggunaan furosemide dan digoxin secara bersamaan)
- Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yang tersedia)
- Biaya pemantauan.
2. Menetapkan sasaran terapi (end point)
Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal atau
yang disesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila menentukan
sasaran terapi yang diinginkan, apoteker harus mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut :
a. Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang bersamaan
diderita pasien (contoh: perbedaan kadar teofilin pada pasien
Penyakit Paru Obstruksi Kronis/PPOK dan asma)
b. Karakteristik obat Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara
pemberian akan mempengaruhi sasaran terapi yang diinginkan
(contoh: perbedaan penurunan kadar gula darah pada pemberian
insulin dan anti diabetes oral)
c. Efikasi dan toksisitas
3. Menetapkan frekuensi pemantauan
Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan penyakit
dan risiko yang berkaitan dengan terapi obat. Sebagai contoh pasien
yang menerima obat kanker harus dipantau lebih sering dan berkala
dibanding pasien yang menerima aspirin. Pasien dengan kondisi relatif
stabil tidak memerlukan pemantauan yang sering. Berbagai faktor
yang mempengaruhi frekuensi pemantauan antara lain :
a. Kebutuhan khusus dari pasien Contoh: penggunaan obat
nefrotoksik pada pasien gangguan fungsi ginjal.
b. Karakteristik obat pasien Contoh: pasien yang menerima warfarin
c. Biaya dan kepraktisan pemantauan
d. Permintaan tenaga kesehatan lain
Data pasien yang lengkap mutlak dibutuhkan dalam PTO, tetapi pada
kenyataannya data penting terukur sering tidak ditemukan sehingga
PTO tidak dapat dilakukan dengan baik. Hal tersebut menyebabkan
penggunaan data subyektif sebagai dasar PTO. Jika parameter
pemantauan tidak dapat digantikan dengan data subyektif maka harus
diupayakan adanya data tambahan.
Proses selanjutnya adalah menilai keberhasilan atau kegagalan
mencapai sasaran terapi. Keberhasilan dicapai ketika hasil pengukuran
parameter klinis sesuai dengan sasaran terapi yang telah ditetapkan.
Apabila hal tersebut tidak tercapai, maka dapat dikatakan mengalami
kegagalan mencapai sasaran terapi. Penyebab kegagalan tersebut antara
lain: kegagalan menerima terapi, perubahan fisiologis/kondisi pasien,
perubahan terapi pasien, dan gagal terapi.
Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah
Subjective Objective Assessment Planning (SOAP).
S : Subjective Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien.
Contoh : pusing, mual, nyeri, sesak nafas.
O : Objective Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga
kesehatan. Tanda-tanda obyektif mencakup tanda vital (tekanan darah,
suhu tubuh, denyut nadi, kecepatan pernafasan), hasil pemeriksaan
laboratorium dan diagnostik.
A : Assessment Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan
analisis untuk menilai keberhasilan terapi, meminimalkan efek yang tidak
dikehendaki dan kemungkinan adanya masalah baru terkait obat.
P : Plans Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah
menyusun rencana yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah.
Rekomendasi yang dapat diberikan :
• Memberikan alternatif terapi, menghentikan pemberian obat,
memodifikasi dosis atau interval pemberian, merubah rute pemberian.
• Mengedukasi pasien.
• Pemeriksaan laboratorium.
• Perubahan pola makan atau penggunaan nutrisi parenteral/enteral.
• Pemeriksaan parameter klinis lebih sering.
2.4.1.6 Tindak Lanjut
Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah
dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan
terkait. Kerjasama dengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk
mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi. Informasi dari dokter tentang
kondisi pasien yang menyeluruh diperlukan untuk menetapkan target
terapi yang optimal. Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan
lain harus selalu dilakukan untuk mencegah kemungkinan timbulnya
masalah baru.
Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidakpatuhan pasien
dan kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien harus
mendapatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat.
Informasi yang tepat sebaiknya :
1. tidak bertentangan/berbeda dengan informasi dari tenaga kesehatan
lain
2. tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat
3. dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat
2.4.1.7 Dokumentasi
Setiap langkah kegiatan pemantauan terapi obat yang dilakukan
harus didokumentasikan. Hal ini penting karena berkaitan dengan bukti
otentik pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang dapat di gunakan untuk
tujuan akuntabilitas/pertanggungjawaban, evaluasi pelayanan, pendidikan
dan penelitian.
Petunjuk praktis dalam pencatatan dokumentasi:
Dokumentasi dibuat dalam formulir khusus yang telah disepakati
Informasi sebaiknya ditulis singkat dan jelas (bentuk frase bukan
kalimat lengkap)
Informasi yang ditulis hanya berisi data untuk mendukung
assessment dan plans
Setiap masalah dan rekomendasinya dibuat secara sistematis
Singkatan yang lazim
Data dikategorikan dengan tepat (contoh: demam adalah data
subyektif, suhu tubuh 39°C adalah data obyektif)
Parameter yang digunakan sedapat mungkin terukur (contoh:
tekanan darah terkontrol 130/80mmHg) (contoh format terlampir)
BAB III PEMBAHASAN
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau JamKesNas merupakan bagian
dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan
menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib
berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang
diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar
oleh pemerintah yang merupakan bentuk komitmen pemerintah terhadap
pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat Indonesia seluruhnya. Pada era JKN
ini untuk pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh semua Fasilitas Kesehatan
yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa Fasilitas Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
Berdasarkan Permenkes No. 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan
Pada Jaminan Kesehatan Nasional. Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan harus menyelenggarakan pelayanan
kesehatan komprehensif berupa pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, pelayanan kebidanan, dan pelayanan kesehatan darurat medis,
termasuk pelayanan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium
sederhana dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan komprehensif
tersebut, bagi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang tidak memiliki sarana
penunjang wajib membangun jejaring sarana penunjang. Dalam hal ini, menurut
permenkes ini sarana kefarmasian seperti Apotek maupun UPT (Unit Pelaksana
Teknis). Instalasi Sediaan Farmasi atau lebih dikenal sebagai UPT. Gudang
Farmasi di posisikan sebagai jaringan dari Fasilitas Kesehatan tingkat pertama
yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, hal ini diatur dalam PMK No.71/2013
pasal di tuliskan “Fasilitas kesehatan tingkat pertama yang tidak memiliki sarana
kefarmasian dan juga tidak dapat menunjukkan bukti kerjasama dengan sarana
kefarmasian tidak akan dapat bekerjasama dengan BPJS Kesehatan”.
Pelayanan kefarmasian saat ini mengalami perkembangan yang pesat sesuai
dengan tuntutan zaman, baik dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
regulasi, dan tuntutan harapan masyarakat. Pelayanan farmasi di fasilitas
kesehatan mulai bergerak dari fungsi penyedia dan peracik menjadi fungsi yang
lebih luas yaitu bertanggung jawab melaksanakan pelayanan dengan konsep
pharmaceutical care yaitu menyediakan pelayanan yang optimal dalam terapi
obat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Dalam hal ini, apoteker ikut serta
dalam mendesain, mengimplementasikan dan memantau rencana terapetik
pasien dengan bekerjasama dengan profesi kesehatan lainnya dan pasien. Untuk
itu, apoteker harus terus mengikuti dan mengasah pengetahuannya sesuai
perkembangan ilmu terkini dalam menerapkan farmasi klinis. Berdasarkan
kebijakan yang telah dikeluakan oleh kementerian kesehatan, posisi atau
kedudukan Apoteker dalam sistem JKN adalah sebagai berikut:
1. Merupakan bagian dari fasilitas kesehatan tingkat pertama yang
melaksanakan kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Disini Apoteker
berkedudukan sebagai penanggungjawab ruang farmasi atau apoteker
pendamping pada puskesmas maupun Klinik pertama atau yang setara, dan
juga sebagai penaggung jawab instalasi farmasi atau Apoteker pendamping
pada Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara.
2. Merupakan bagian dari sarana penunjang fasilitas kesehatan tingkat pertama
yang melaksanakan kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Disini Apoteker
berkedudukan sebagai penanggungjawab Apotek atau Apoteker pendamping
pada Apotek yang bekerjasama dengan praktik dokter atau praktik dokter gigi
maupun puskesmas atau Klinik pertama yang tidak memiliki Apoteker.
Pelaksanaan pemantauan terapi obat merupakan kewajiban farmasis
komunitas yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor: Nomor 35
tahun 2014 Tentang Standar pelayanan kefarmasian di Apotek dimana pelayanan
ini wajib didasarkan pada kepentingan masyarakat. Dengan melaksanakan
kewajiban ini, farmasis komunitas mendapatkan keuntungan seperti membangun
kepercayaan pasien terhadap tenaga farmasi komunitas dan peningkatan
pemasukan, baik moral maupun material.
Melalui penerapan JKN saat ini apoteker diharapkan bukan hanya
berorientasi pada obat tetapi apoteker juga harus berorientasi pada kesejahteraan
pasien dan memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi Obat yang
efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi, meminimalkan efek
samping dan mencegah DRP serta ADR, sehingga apoteker memiliki kesempatan
yang besar untuk berkontribusi dalam keberlangsungan system JKN khususnya
dari kendali biaya dan kendali mutu.
BAB IV PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Fungsi dan tanggung jawab apoteker di apotek diharapkan bukan hanya
berorientasi pada obat tetapi apoteker juga harus berorientasi pada
kesejahteraan pasien dan memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan
terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi,
meminimalkan efek samping dan mencegah DRP serta ADR, sehingga
apoteker memiliki kesempatan yang besar untuk berkontribusi dalam
keberlangsungan system JKN khususnya dari kendali biaya dan kendali mutu.
2. Apoteker melaksanakan pemantauan terapi obat (PTO) dalam rangka
peningkatan penerapan pelayanan pada era JKN di Apotek Swasta adalah
mulai dari bergeraknya fungsi penyedia dan peracik menjadi fungsi yang
lebih luas yaitu bertanggung jawab melaksanakan pelayanan dengan konsep
pharmaceutical care yaitu menyediakan pelayanan yang optimal dalam terapi
obat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.