kajian teoritik dualisme dasar hukum penghadiran/kajian-teoritik-dualisme... ·...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN
KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Irvan Adi Sasmito
NIM.E0007268
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN
KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Oleh
Irvan Adi Sasmito
NIM.E0007268
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Mei 2012
Pembimbing I Pembimbing II
EDY HERDYANTO , S.H,M.Hum. M. RUSTAMAJI,S.H.,M.H.
NIP. 195706291985031002 NIP. 198210082005011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN
KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Irvan Adi Sasmito
NIM.E0007268
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari :
Tanggal :
DEWAN PENGUJI
1. : .............................................................
NIP.
Ketua
2. : .............................................................
NIP.
Sekretaris
3. : .............................................................
NIP.
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H, M.Hum
NIP. 195702031985032001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Irvan Adi Sasmito
NIM : E0007268
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN
KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila
di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 20 Mei 2012
yang membuat pernyataan
Irvan Adi Sasmito
NIM.E0007268
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Irvan Adi Sasmito, E.0007268. 2011. KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR
HUKUM PENGHADIRAN KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG
HUKUM ACARA PIDANA.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perihal dualisme dasar hukum
penghadiran kroongetuige serta mengetahui kekuatan pembuktian kroongetuige
menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal yang bersifat preskriptif,
mengkaji mengenai dualisme dasar hukum penghadiran kroongetuige serta nilai
pembuktiannya berdasar KUHAP. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan. Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data
sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dualisme dasar hukum penghadiran
kroongetuige terdapat pada Yurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.
Yurisprudensi Mahkamah Agung yang dimaksud tersebut adalah Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1986/K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 yang menjelaskan bahwa
Mahkamah Agung tidak melarang apabila Penuntut Umum mengajukan saksi
mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai
terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan
kesaksian. Sebaliknya Mahkamah Agung juga mengeluarkan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor
1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 yang menjelaskan bahwa pemecahan terdakwa
sebagai saksi mahkota terhadap terdakwa lainnya secara yuridis adalah bertentangan
dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi
Manusia. Saksi mahkota juga merupakan seorang saksi, dimana kepadanya melekat
syarat-syarat sebagai saksi. Yang pertama, saksi adalah orang yang melihat,
mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa tersebut. Yang kedua adalah bahwa
saksi tersebut telah disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Yang ketiga, bahwa saksi tidak memiliki hubungan sedarah, semenda, maupun
pekerjaan dengan terdakwa. Kalau syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka saksi
dan keterangannya dianggap sah dihadapan hukum. Oleh karena itu, saksi mahkota
memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sama dengan keterangan saksi.
Kata Kunci : Dualisme, Saksi Mahkota, Pembuktian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Irvan Adi Sasmito, E.0007268. 2011. A THEORETICAL STUDY ON LEGAL
FOUNDATION DUALISM OF KROONGETUIGE PRESENCE AND THE
AUTHENTICATION VALUE BASED ON THE ACT NUMBER 8 OF 1981
ABOUT THE CRIMINAL PROCEDURE.
The objective of research to find out the problem of legal foundation dualism
of Kroongetuige presence and the authentication value based on the Act Number 8 of
1981 about the Criminal Procedure.
This study belongs to a doctrinal law research that is prescriptive in nature, to
study the legal foundation dualism of Kroongetuige presence and its authentication
value based on the Code of Criminal Procedure. This research employed a statute
approach. The type of data used consisted of primary and secondary data. Technique
of collecting data used was library study. Technique of analyzing data used in this
research was a qualitative analysis.
The result of research shows that the legal foundation dualism of
Kroongetuige presence lies in the Jurisprudence issued by the Supreme Court. The
intended Supreme Court’s jurisprudence is the Supreme Court’s Decree Number
1986/K/Pid/1989 on March 21, 1990 explaining that the Supreme Court does not
prohibit the Public Prosecutor from presenting the crown witness in the trial with the
condition that this witness in his/her position as the defendant is not included in a
case document with the defendant he/she gives testimony. On the contrary, the
Supreme Court also issued the Supreme Court’s Decree Number 1174/K/Pid/1994 on
May 3 1995, Decree Number 1590/K/Pid/1995 on May 3 1995, and Decree Number
1592/K/Pid/1995 on May 3 1995, explaining that the designation of defendant as the
main witness against the other defendant in juridical way is in contradiction with the
Criminal Procedure upholding the principles of basic human rights. The crown
witness is also a witness, to whom the conditions as the witness are attached. Firstly,
the witness is the one who sees, hears, and experiences by him/herself the event.
Secondly, that the witness has been taken for his/her oath consistent with his/her own
religion and belief. Thirdly, that the witness does not have either blood, kinship, or
work relationship with the defendant. When these conditions have been met, the
witness and his/her information are considered as valid before the law. Therefore, the
crown witness has the authentication power value equal to the witness’ information.
Keywords: Dualism, Crown Witness, Authentications
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.
Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepadaNya lah aku kembali”
(Q.S. Hud:88)
“Hadapilah problem hidup diri kamu dan akuilah keberadaanya, tetapi jangan biarkan
diri kamu dikuasainya. Biarkanlah diri kamu menyadari adanya pendidikan situasi
berupa kesabaran, kebahagiaan dan pemahaman makna”
(Hellen Keller)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Penulisan hukum ini penulis persembahkan untuk:
Allah SWT
Thank you for every blessed that You’ve given to me
Orang tua tercinta
Thank you for never ending love, care and pray
Kedua pembimbing skripsiku
Anita Budi S
If better is possible good is not enough
Sahabat serta teman-teman seperjuanganku
Thank you for every moment in my life
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahNya
sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum yang
berjudul “KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM
PENGHADIRAN KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 ENTANG
HUKUM ACARA PIDANA” dengan baik dan tepat pada waktunya. Shalawat dan
salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulisan hukum ini mengkaji megenai dualism dasar hukum penghadiran
kroongetuige dan nilai pembuktian berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pembahasan mengenai kroongetuige ini penting
dilakukan untuk memperjelas sah atau tidaknya penggunaan kroongetuige dalam
proses beracara di pegadilan.
Penulis menyadari bahwa dalam setiap proses penyelesaian penulisan hukum
(skripsi) ini tidak akan terlaksana dengan lancar tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Edy Hardyanto, S.H, M.Hum., selaku Pembimbing I Penulisan Hukum
yang telah bersedia memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi
penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.
3. Bapak M. Rustamaji, S.H, M.H., selaku Pembimbing II Penulisan Hukum
yang telah dengan sabar menyediakan waktu dan pikiran untuk berbagi ilmu
dengan penulis, memberikan motivasi, saran, dan kritik sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum ini tepat waktu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
4. Bapak Bambang Santoso, S.H, M.Hum., selaku pembimbing akademis, atas
nasehat dan motivasinya yang sangat berguna selama Penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Hukum UNS.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan
hukum ini.
6. Ketua Bagian PPH Bapak Lego Karjoko S.H., M.Hum., dan Mas Wawan
anggota PPH yang banyak membantu dalam penulisan hukum ini.
7. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Hukum UNS, yang telah membantu
menyediakan bahan referensi yang berkaitan dengan topik penulisan hukum.
8. Bapak, Ibu dan saudara-saudaraku, atas cinta dan kasih sayang, doa,
dukungan, semangat dan segala yang telah diberikan yang tidak ternilai
harganya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.
9. Especially for Anita Budi Sulistyarini atas dukungan, waktu dan ide-idenya,
atas kesabarannya dalam mendampingi penulis dan menemani penulis
mengumpulkan bahan serta menyelesaikan setiap detail penulisan hukum ini.
10. Teman-teman seperjuanganku, Wisnu, Hamed, Syaifudin, Andang, atas
waktu, motivasi, dan diskusinya, semua teman-teman yang telah membantu
penulis dalam penulisan hukum ini.
11. Semua pihak yang ikut dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak, baik untuk akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.
Surakarta, Mei 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN..................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
ABSTRACT ................................................................................................ vi
HALAMAN MOTTO.................................................................................. vii
HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................. viii
KATA PENGANTAR ............................................................................. ... ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah.................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 5
E. Metode Penelitian .................................................................. 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1.Tinjauan Umum mengenai Kroongetuige atau Saksi Mahkota
atau Crown Witness
a. Pengertian Saksi ......................................................... 11
b. Pengertian Kroongetuige atau Saksi Mahkota atau
Crown Witness ........................................................... 12
c. Pengaturan Mengenai Saksi Mahkota ........................ 14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
2.Tinjauan Umum mengenai Pembuktian
a. Pengertian Pembuktian............................................... 16
b. Sistem Pembuktian ..................................................... 17
c. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya .................. 19
3.Tinjauan Umum mengenai Penelitian Sejenis
a. Penggunaan Saksi Mahkota (Kroongetuige) Dalam
Pembuktian Tindak Pidana Di Persidangan (Studi
Kasus Pencurian Dengan Kekerasan di Pengadilan
Negeri Purwokerto) .................................................... 25
b. Kedudukan Saksi Mahkota Dalam Sistem
Pembuktian Hukum Pidana ........................................ 27
B. Kerangka Pemikiran ............................................................... 29
BAB III PEMBAHASAN
A. Analisis Dualisme Dasar Hukum Kroongetuige Dalam
Pengaturan Hukum Acara Pidana Indonesia
1. Pendapat Yang Pro Terhadap Pemanfaatan Saksi
Mahkota
a. Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1 angka 27 KUHAP
Dibandingkan dengan Tujuan Hukum Acara Pidana ...... 32
b. Putusan Mahkamah Agung ........................................ 33
c. Pemisahan Berkas Perkara (Splitsing) ........................ 35
2. Pandangan Kontra Terhadap Pemanfaatan Saksi
Mahkota
a. Asas Praduga Tidak Bersalah ................................... 36
b. Hak Ingkar ................................................................. 36
c. Putusan Mahkamah Agung ....................................... 37
d. Beban Pembuktian………………………………… 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
B. Analisis Nilai Kekuatan Pembuktian Dari Kroongetuige
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana……………………….. ....................... 39
1. Keterangan Saksi Yang Diberikan Tanpa Sumpah........... 42
2. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Yang
Disumpah ........................................................................ 45
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................ 47
B. Saran ....................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ................................................................ 29
Gambar 2. Skematik Analisis Penelitian ................................................... 31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mencermati beberapa kasus besar seperti upaya pengungkapan korupsi
maupun penggelapan pajak oleh Gayus Halomoan Tambunan, dapat kita
cermati ada beberapa hal yang menarik dalam proses persidangannya. Salah
satu hal yang menarik tersebut adalah digunakanya keterangan saksi yang
merupakan terdakwa terhadap terdakwa lain dalam pemberkasan yang
berbeda, fenomena seperti ini sering disebut sebagai fenomena pemanfaatan
kroongetuige atau saksi mahkota.
Istilah saksi mahkota tidak terdapat dalam KUHAP. Walaupun dalam
KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai saksi mahkota (kroongetuige),
namun dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu
ada. Di sini yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah saksi yang berasal
dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya
yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada
saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada
saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan
penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat
ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas
kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut. Dan saksi mahkota ini hanya
ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan
(http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/saksimahkota. html). Muncul dan
digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana didasarkan pada alasan
karena kurangnya alat bukti yang ada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Pada perkembangannya, muncul berbagai pendapat mengenai penggunaan
saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana.
Sebagian pihak berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota dibolehkan
karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik. Namun sebagian
yang lain berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota tidak dibolehkan
karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan rasa keadilan terdakwa.
Bahkan perbedaan persepsi tentang penggunaan saksi mahkota ini juga
muncul dalam berbagai yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Yurisprudensi Mahkamah Agung yang dimaksud tersebut adalah Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1986/K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 yang
menjelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila Penuntut
Umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi
ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas
perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Akan tetapi tarik ulur dan
pergulatan antara undang-undang versus yurisprudensi mengenai
permasalahan saksi mahkota ini semakin rumit dengan munculnya Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995
yang menjelaskan bahwa pemecahan terdakwa sebagai saksi mahkota
terhadap terdakwa lainnya secara yuridis adalah bertentangan dengan Hukum
Acara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia
(HAM). Kondisi saksi mahkota yang berperan ganda sebagai saksi di satu sisi
dan sebagai terdakwa di sisi yang lain, berkonsekuensi yuridis terhadap hak
dan kewajibannya akan sumpah, dan beban pembuktian (Muhammad
Rustamaji dan Dewi Gunawati, 2011: 94).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Sebagaimana diketahui salah satu wujud dari implementasi asas praduga
tidak bersalah (presumption of innocence) diatur dalam Pasal 66 KUHAP,
yang berbunyi bahwa “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian”. Dalam hal ini yang memiliki beban untuk membuktikan adalah
Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dengan demikian secara normatif penggunaan
saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
peradilan yang adil dan tidak memihak (fair and imparsial trial) dan juga
merupakan pelanggaran kaidah Hak Asasi Manusia secara universal
sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, khususnya hak ingkar yang dimiliki
terdakwa dan hak terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian
(vide pasal 66 KUHAP). Di samping itu sementara pihak berpandangan
bahwa penggunaan saksi mahkota oleh Penuntut Umum selama ini jelas
melanggar instrumen hak asasi manusia secara internasional (International
Covenant on Civil and Political Right) (http://sofyanlubis.blogspot.com/
2008/07/saksi-mahkota.html).
Bertolak dari pemaparan di atas, penulis tertarik untuk menyusun dan
mengkaji lebih mendalam mengenai dualisme dasar hukum penghadiran
kroongetuige dan nilai pembuktiannya melalui penelitian hukum yang
berjudul: “Kajian Teoritik Dualisme Dasar Hukum Penghadiran
Kroongetuige dan Nilai Pembuktian Berdasarkan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
A. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas agar permasalahan yang ada nanti dapat dibahas
dengan lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka
penulis telah merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana dualisme landasan hukum kroongetuige dalam pengaturan
hukum acara pidana?
2. Bagaimana nilai kekuatan pembuktian dari kroongetuige berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu:
tujuan obyektif dan tujuan subyektif, dimana tujuan obyektif merupakan
tujuan yang berasal dari tujuan penelitian itu sendiri, sedangkan tujuan
subyektif berasal dari peneliti. Tujuan obyektif dan subyektif dalam penelitian
ini adalah:
1. Tujuan Obyektif
Tujuan Obyektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum yang
mendasari penulis dalam melakukan penelitian. Tujuan obyektif dari
penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui perihal dualisme dasar hukum penghadiran
kroongetuige.
b. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian kroongetuige menurut
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
2. Tujuan Subyektif
Tujuan Subyektif adalah tujuan penulisan dilihat dari tujuan pribadi
penulis yang mendasari penulis dalam melakukan penulisan. Tujuan
subyektif penulis adalah:
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis di bidang
ilmu hukum khususnya dalam lingkup hukum acara pidana.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di
bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
c. Untuk mengasah dan menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang
telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri
serta menberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang hukum.
C. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian yang berhasil adalah penelitian yang dapat memberi
manfaat atau faedah, baik secara teoritis maupun praktis, yang meliputi:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan
dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari penulisan ini
adalah sebagai berikut:
a. Penulisan hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya serta Hukum
Acara Pidana pada khususnya.
b. Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memperkaya
referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan mengenai dualisme
dasar hukum penghadiran kroongetuige dan kekuatan pembuktiannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, serta dapat digunakan sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan
dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari penulisan ini sebagai
berikut:
a. Menjadi wahana bagi penulisan untuk mengembangkan penalaran
dan pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat membantu
memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan
pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat
dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya
mempelajari dan memahami ilmu hukum khususnya Hukum Acara
Pidana.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan dipergunakan penulis dalam penelitian
hukum ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 35).
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian doktrinal. Menurut Hutchinson, doctrinal research: research
which provides a systematic exposition of the rules governing a particular
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
legal category, analyses the relationship between rules, explain areas of
difficulty and, perhaps, predicts future development (Peter Mahmud
Marzuki, 2008: 32).
2. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah bersifat
preskriptif. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang
bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-
norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 22).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang akan digunakan penulis adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-
undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang terpaut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud
Marzuki, 2008: 93).
4. Jenis dan Sumber Penelitian
Untuk memecahkan isu hukum diperlukan sumber-sumber penelitian.
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan
bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki otoritas, misalnya
perundang-undangan. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen
resmi. Publikasi tentang hukum ini meliputi buku-buku, teks, kamus-
kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, komentar-komentar atas putusan
pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 141).
a. Bahan hukum primer yang akan dipergunakan penulis, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 42/PUU-VIII/2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
3) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1986 K/Pid/1989
4) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1174/K/Pid/1994
5) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1590/K/Pid/1995
6) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1592/K/Pid/1995
7) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2475 K/Pid/2007
b. Bahan hukum sekunder yang akan dipergunakan penulis adalah
buku-buku, kamus, jurnal, dan teks mengenai Hukum Acara,
khususnya terkait dengan Hukum Acara Pidana, yaitu megenai
saksi mahkota atau kroongetuige.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Begitu isu hukum ditetapkan, peneliti melakkan penelusuran untuk
mancari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah menggunakan teknik studi pustaka. Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), yang harus dilakukan adalah mencari peraturan perundang-
undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut. Perundang-
undangan dalam hal ini meliputi baik yang berupa legislation maupun
regulation bahkan juga delegated legislation dan delegated regulation
(Peter Mahmud Marzuki, 2008: 194).
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis dalam penelitian hukum ini adalah teknik kualitatif,
yaitu penelitian ini dilakukan untuk memahami suatu peristiwa yang
kemudian dikaitkan dengan bahan hukum yang diperoleh selama
penelitian, yaitu bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan
penelitian. Teknik analisis ini menggunakan metode penalaran deduktif,
yaitu cara berpikir yang berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian
peneliti menghadirkan objek yang akan diteliti yang digunakan untuk
menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus. Cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi (Johny Ibrahim, 2006: 393).
E. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi,
penulisan hukum ini dibagi menjadi empat bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan pendahuluan yang terdiri dari latar
balakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memaparkan bahan hukum yang penulis kumpulkan
sebagai dasar untuk menganalisis permasalahan yang penulis
kemukakan. Bab ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: kerangka teori
dan kerangka pemikiran. Kerangka teori berisi antara lain, tinjauan
umum mengenai kroongetuige atau saksi mahkota atau crown witness,
tinjauan umum mengenai pembuktian, tinjauan umum mengenai
penelitian sejenis.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan hasil dari penelitian yang diperoleh dari
hasil penelitian yang penulis lakukan. Berdasarkan rumusan masalah
ada dua pokok bahasan yaitu mengenai dualisme dasar hukum
penghadiran kroongetuige dalam pengaturan hukum acara pidana, serta
mengenai kekuatan pembuktian dari kroongetuige berdasarkan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian dan penulis
menguraikan kesimpulan-kesimpulan yang didapat dan diambil dari
penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi berbagai sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan
hukum ini.
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Mengenai Kroongetuige atau Saksi Mahkota atau
Crown Witness
a. Pengertian Saksi
Saksi memiliki arti a) orang yang melihat atau mengetahui
sendiri suatu peristiwa (kejadian): siapa -- nya bahwa saya berbuat
begitu; langit dan bumi yg menjadi --; b) orang yang dimintai hadir
pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tersebut
agar pada suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan
keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-
sungguh terjadi: dua orang itu ikut menandatangani kontrak sbg --;
c) orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk
kepentingan pendakwa atau terdakwa: -- yang kedua itu oleh
hakim dianggap tidak sah; d) keterangan (bukti pernyataan) yang
diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui; e) bukti
kebenaran: ia berani memberi -- dengan sumpah; f) orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri; (Hasan Alwi,
2007: 981).
Menurut Black’s Law Dictionary,” witness is in general,
one who, being present, personally sees or perceives a thing; a
beholder, spectator, or eyewitness. One who festifies to what he
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
has seen, heard, or otherwise observed” (Henry Campbell Black,
1979: 1438).
Dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi ialah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang perkar pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sediri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengetahuannya itu. Sedangkan keterangan saksi ialah salah
satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya (Pasal 1 angka 27 KUHAP) (Adami Chazawi,
2008: 37-38).
b. Pengertian Kroongetuige atau Saksi Mahkota atau Crown
Witness
Asal kata kroon’ atinya a) mahkota; tanda kedudukan;
raja/ratu; b) nama mata uang; c) karangan bunga dan daun-daunan
sebagai tanda penghormatan; (S. Wojowasito, 1995: 353). Getuige
artinya saksi (S. Wojowasito, 1995: 226). Jadi kroongetuige dapat
diartikan sebagai saksi utama (S. Wojowasito, 1995: 353).
Saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan atau diambil
dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya
yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana. Untuk istilah
"mahkota" yang diberikan kepada saksi yang berstatus
terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakannya
penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan
yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke
pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang dilakukan saksi
tersebut (www.Kompas.com).
Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, SH, MH, dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah kesaksian
sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
penyertaan (http://mmsconsulting.wordpress.com/2008/07/31/
eksistensi-saksi-mahkota-sebagai-alat-bukti-dalam-perkara
pidana/).
Sedangkan menurut Andi Hamzah, saksi mahkota atau
kroongetuige atau crown witness adalah terdakwa yang dijadikan
saksi karena bersedia membongkar peran temannya (Andi
Hamzah, 2008: 38).
Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1986
K/Pid/1989, disebutkan bahwa saksi mahkota adalah teman
terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama, diajukan
sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang
perkara diantaranya dipisah karena kurangnya alat bukti.
Pada asasnya saksi mahkota itu mempunyai dimensi
sebagai berikut:
1) Bahwa saksi mahkota adalah juga seorang saksi
Dalam konteks ini berarti saksi mahkota orang yang dapat
memberi keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan perdilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26
KUHAP);
2) Bahwa saksi mahkota diambil dari salah seorang tersangka
terdakwa
Dengan demikian, seorang yang karena perbuatan ata
keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14
KUHAP) atau terdakwa yaitu tersangka yang dituntut,
diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15
KUHAP). Hal ini mengandung pengertian bahwa saksi
mahkota hanya ada pada satu tindak pidana yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
pelakunya/tersangkanya atau terdakwanya lebih dari seorang
dan saksi itu adalah salah seorang diantara tersangka/terdakwa
yang peranannya paling kecil artinya bukan pelaku utama;
3) Bahwa saksi tersebut kemudian diberikan mahkota
Dalam konteks ini berarti bahwa saksi diberikan
kehormatan berupa perlakuan istimewa yaitu tidak dituntut atas
tindak pidana yang ia sebenarnya merupakan salah satu
pelakunya atau ia dimaafkan atas kesalahannya (Lilik Muyadi,
2007: 179-180).
Dalam praktik peradilan, secara substansial dikenal ada 2
macam gradasi saksi mahkota, yaitu: pertama, saksi mahkota
adalah seorang petugas yang sengaja menjalankan perintah
atasannya untuk melakukan tindak pidana; dan kedua, saksi
mahkota adalah orang yang betul-betul sebagai pelaku tindak
pidana. Apabila saksi mahkota adalah seorang petugas yang
sengaja, dasar pemberian mahkotanya merujuk pada ketentuan
Pasal 51 ayat (1) KUHP sebaai alasan pemaaf karena petugas
tersebut melakukan perintah jabatan, sedangkan untuk saksi
mahkota pelaku tindak pidana, pemberian mahkotanya berupa
pembebasan dari tuntutan berdasarkan asas oportunitas sehingga
secara fundamental seharusnya penyidik dan penuntut umum
tidaklah mudah untuk mengajukan saksi mahkota ke depan
persidangan karena harus seizin Jaksa Agung untuk mendeponir
perkaranya (Lilik Mulyadi, 2007: 180-181).
c. Pengaturan Mengenai Saksi Mahkota
Saksi mahkota disalah artikan di Indonesia. Seakan-akan
para terdakwa dalam hal ikut serta (medeplegen) perkaranya
dipisah dan kemudian bergantian menjadi saksi, disebut saksi
mahkota. Ini merupakan kekeliruan besar. Terdakwa bergantian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
menjadi saksi atas perkara yang dia sendiri ikut serta didalamnya.
Sebenarnya bertentangan dengan larangan selfincrimination
(mendakwa diri sendiri), karena dia sebagai saksi akan disumpah
dan dia sendiri juga menjadi terdakwa atas perkara itu. Terdakwa
tidak disumpah, berarti jika dia berbohong tidak melakukan delik
sumpah palsu. Jika saksi berbohong dapat dikenai sumpah palsu.
Jadi, bergantian menjadi saksi dari terdakwa berarti mereka
didorong untuk bersumpah palsu, karena pasti akan meringankan
temannya, karena dia sendiri juga ikut melakukan delik itu, atau
cuci tangan dan memberatkan terdakwa.
Pengaturan mengenai saksi mahkota ini pada awalnya
diatur di dalam Pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan
bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat
didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai
saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan
pemahaman tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam
perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.
Dalam Yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah
Agung RI tidak melarang apabila Jaksa Penuntut Umum
mengajukan saksi dengan syarat bahwa saksi ini dalam
kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas
perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian.
Jadi disini penggunaan saksi mahkota dibenarkan
didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu:
1) dalam perkara delik penyertaan;
2) terdapat kekurangan alat bukti; dan
3) diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Adapun dalam perkembangannya Mahkamah Agung RI
memperbaiki kekeliruannya dengan mengeluarkan pendapat
terbaru tentang penggunaan saksi mahkota dalam suatu perkara
pidana, dalam hal mana Mahkamah Agung RI kembali
menjelaskan bahwa penggunaan saksi mahkota adalah
bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung
Nomor: 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah
Agung Nomor: 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, dan Putusan
Mahkamah Agung Nomor: 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995
(http://sofyanlubis .blogspot.com/2008/07/saksi-mahkota.html).
2. Tinjauan Umum mengenai Pembuktian
a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa. Pembukian juga merupakan ketentuan yang mengatur
alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh
dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan
(Yahya Harahap, 2010: 273).
Ada perbedaan antara pembuktian dalam proses sebelum
penuntutan dan dalam proses penuntutan/pemeriksaan di sidang
pengadilan. Pembuktian dalam proses sebelum penuntutan in casu
penyidikan terfokus pada kegiatan mengumpulkan bukti in casu
dari alat-alat bukti, yang pada dasarnya adalah kegiatan
mencari/mengumpulkan bukti, dan kemudian mengurai,
menganalisis, menilai dan menyimpulkannya, dalam suatu surat
yang disebut dengan Resume. Bukti yang sah, dalam arti bukti
yang dapat dinilai dan dipertimbangkan hakim dalam rangka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
membenuk keyakinannya untuk tujuan satu-satunya membuat
putusan perkara pidana, adalah bukti yang didapat dari alat bukti
yang diajukan dan diperiksa dalam persidangan, dan bukan bukti
yang didapat dari hasil penyidikan. Kegiatan pembuktian dalam
sidang pengadilan, tidak terfokus lagi pada pencarian alat-alat
bukti dan mengurai bukti-bukti, akan tetapi memeriksa alat-alat
bukti yang sudah terlebih dahulu disiapkan oleh penyidik,dan
diajukan JPU dalam sidang untuk diperiksa bersama tiga pihak tadi
(Adami Chazawi, 2008: 15-16).
b. Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu
kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal
kegiatan pembuktian yang saling kait mengait dan
berhubungan satu dengan yang lain yang tidak terpisahkan dan
menjadi suatu kesatuan yang utuh. Adapun isinya sistem
pembuktian terutama tentang alat-alat buki apa yang boleh
digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti itu
boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-aat bukti
tersebut serta standar/kriteria yang menjadi ukuran dalam
mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu (objek)
yang dibuktikan (Adami Chazawi, 2008: 24).
Beberapa teori sistem pembuktian antara lain:
1) Conviction-in Time
Sistem pembuktian Convictio-in Time menentukan
salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh
penilaian keyakinan hakim. Keyakinan boleh diambil dan
disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya
dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat
buki itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan
dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
Sistem ini mengandung kelemahan yang besar.
Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti
tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara
hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Disamping itu,
pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi
praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan
bertumpu pada alasan hakim telah yakin (Adami Chazawi,
2008: 25).
2) Conviction-Raisonee
Pada sistem ini keyakinan hakim harus didukung
dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan
dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya keyakinan
hakim dalam sistem Conviction-Raisonee, harus dilandasi
reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus
reasonable yakni berdasar alasan yang dapat diterima.
3) Pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian
dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk
membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata
digantungkan pada alat-lat bukti yang sah.
Sistem pembuktian demikian pada saat ini sudah tidak
ada penganut lagi, karena bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia, yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan
dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara.
Juga karena sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan
nurani hakim. Hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperi
robot yang tingkat lakunya sudah diprogram melalui undang-
undang (Adami Chazawi, 2008: 28).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
4) Pembuktian menurut Undang-Undang secara Negatif (Negatief
Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian undang-undang secara negatif
merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-
undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut
keyakinan atau conviction-in time. Untuk menentukan salah
atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian
undang-undang secara negatif terdapat dua komponen:
a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang; dan
b) Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Untuk mengetahui sistem pembuktian yang dianut oleh
KUHAP, maka kita harus mencermati bunyi Pasal 183 KUHAP,
yaitu “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui bahwa
KUHAP mengatur sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif (Yahya Harahap, 2010: 277-280).
c. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya
Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah:
1) Keterangan saksi
Saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan
ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya
itu (Pasal 1 angka 26 KUHAP). Sedangkan keterangan saksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya (Pasal 1 angka 27
KUHAP) (Adami Chazawi, 2008: 37-38).
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang
paling utama dalam perkara pidana. Agar keterangan seorang
saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai
kekuatan pembuktian, harus memenuhi syarat sah sebagai
berikut:
a) Harus mengucapkan sumpah atau janji.
b) Keterangan yang diberikan saksi dilihat, didengar, dan
dialami sendiri serta menyebut alasan dari pengetahuannya
itu. Keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil
pendengaran dari orang lain (testimonium de auditu), tidak
mempunyai nilai sebagai alat bukti (Syaiful Bakhri,
2009:48).
c) Keterangan saksi harus diberkan di sidang pengadilan.
d) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
e) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri (Yahya
Harahap, 2010: 286-289).
Nilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi antara
lain:
(1) Keterangan yang diberikan tanpa sumpah: dinilai bukan
merupakan alat bukti yang sah, tidak mempunyai nilai
kekuatan pembuktian, akan tetapi dapat dipergunakan
sebagai tambahan alat bukti yang sah (menguatkan
keyakinan hakim dan sebagai petunjuk).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
(2) Keterangan yang diberikan dengan sumpah: bersifat bebas,
tidak sempurna, dan tidak mengikat. Nilai kekuatan
pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim.
(3) Keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri: sebagai alat
bukti yang sah jika keterangan tersebut ada hubungan satu
sama lain yang membenarkan suatu kejadian.
Dalam menilai keterangan saksi, disamping harus
memperhatikan tentang syarat sah dan berharganya keterangan
saksi sebagaimana yang telah dibicarakan di atas, juga harus
memperhatikan standar penilaian keterangan saksi. Hal-hal
yang harus diperhatikan sebagaimana yang ditentukan Pasal
185 ayat (6), ialah:
(a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi
lainnya;
Dalam doktrin dikenal dengan istilah unus testis
nullus testis yang artinya satu saksi bukanlah saksi. Oleh
karena itu, agar keterangan seorang saksi dapat berharga
haruslah bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain
atau alat bukti yang lain. Bisa jadi ada banyak saksi yang
dihadapkan dan diperiksa di sidang pengadilan. Ada satu
saja saksi yang menerangkan tentang suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak bersesuaian atau berlainan dengan
beberapa saksi yang lain atau alat bukti lain, maka
keterangan satu saksi ini harus diabaikan (Adami
Chazawi, 2008: 55-56).
(b) Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain;
(c) Alasan saksi memberikan keterangan tertentu;
Maksudnya adalah berupa alasan yang terselubung
yang tidak perlu diucapkan secara tegas di muka sidang,
tetapi merupakan hasil dari pemkiran atau analisis atas
fakta-fakta yang terungkap dalam sidang, hal ini tertuang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
dalam Pasal 185 ayat (6) huruf c (Adami Chazawi, 2008:
57).
(d) Cara hidup dan kesusilaan saksi;
Dari rumusan Pasal 185 ayat (6) huruf d dapat
disimpulkan bahwa ada 3 (tiga) keadaan yang dapat
mempengaruhi tentang kebenaran keterangan saksi, yaitu:
i. Cara hidup saksi;
ii. Kehidupan kesusilaan saksi;
iii. Segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi kebenaran keterangan saksi (Adami
Chazawi, 2008: 58).
Disamping keempat hal tersebut, ada hal lain yang juga
perlu diperhatikan dalam menilai keterangan saksi, ialah:
(a) Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi;
Pasal 164 ayat (1) merumuskan bahwa: “setiap kali
seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua
sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana
pendapatnya tentang keterangan tersebut” (Adami
Chazawi, 2008: 59-60).
(b) Persesuaian keterangan saksi di persidangan dengan
keterangannya di tingkat penyidikan (Pasal 163);
Pasal 163 memerintahkan kepada hakim untuk
mengingatkan saksi jika keterangannya di sidang berbeda
dengan keterangannya di tingkat penyidikan. Maksudnya
tiada lain agar hakm dalam menilai keterangan saksi perlu
memperhatikan bagaimana keterangan saksi di tingkat
penyidikan. Tentulah dalam memperhatikan dan
menimbang tentang perbedaan itu, hakim perlu
memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (1), artinya lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
condong pada keterangan di sidang pengadilan dengan
mengabaikan keterangan saksi di tingkat penyidikan
(Adami Chazawi, 2008: 60-61).
Kita semua tahu bahwa stres dapat berpengaruh kepada
cara pandang saksi dalam mematuhi instruksi polisi dan
mengingat suatu kejadian atau peristiwa. Sebagai contoh,
ketika saksi ditunjukkan gambar oleh polisi, mereka akan
bekerja keras untuk mengidentifiksi seseorang dalam gambar
tersebut hanya untuk menyenangkan polisi. Ketika saksi tidak
melihat seorangpun yang sesuai dengan ingatannya, ereka
biasanya mengandalkan dugaan terbaikknya, ini biasa disebut
penghakiman relatif (Krista D. Forrest, 2002: 29).
2) Keterangan ahli
Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh
seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
dperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan. Dua bentuk keterangan ahli, yaitu:
a) Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau
visum et repertum.
b) Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk keterangan
langsung secara lisan di sidang pengadilan yang dituangkan
dalam catatan berita acara persidangan.
Adapun jenis-jenis ahli antara lain:
(1) Ahli (deskundige).
(2) Saksi ahli (getnige deskundige).
(3) Zaakkundige.
Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan
menentukan. Seorang saksi ahli dapat menerangkan sesuatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
yang berat sebelah. Ini dapat dilihat dari hubungan personal
maupun sosial dengan pengacara yang ditunjuk. Pernyataan
yang berat sebelah dapat diselidiki dengan melihat berapa
banyak kasus dimana ahli bersaksi untuk pengacara tertentu,
sepanjang apakah ahli tersebut hanya membela atau menuntut
saja (Donald A. Eisner, 2010: 48). Dengan demikian nilai
kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai
kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan
saksi.
3) Surat
Surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah
menurut undang-undang adalah:
a) Surat yang dibuat atas sumpah jabatan.
b) Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.
Nilai kekuatan pembuktian pembuktian surat ialah:
(1) Dalam hukum acara perdata: surat otentik merupakan alat
bukti yang sempurna, sepanjang tidak dilumpuhkan oleh
alat bukti lawan.
(2) Dalam hukum acara pidana:
(a) Dilihat dari segi formil merupakan alat bukti yang
sempurna, artinya sudah benar kecuali dapat
dilumpuhkan dengan alat bukti lain, semua pihak tidak
dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan
pembuatannya.
(b) Dilihat dari segi materiil mempunyai kekuatan
mengikat dan bersifat bebas. Hal ini didasarkan pada
beberapa asas, yaitu asas tujuan hukum acara pidana,
asas keyakinan hukum, asas batas minimum
pembuktian (Yahya Harahap, 2010: 309-310).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
4) Petunjuk
Petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP adalah
“perbuatan, kejadian atau keadaan karena persesuaiannya baik
antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak
pidana dan siapa pelakunya”.
Nilai kekuatan pembuktiannya adalah bersifat bebas,
hakim tidak terikat oleh petunjuk tersebut, hakim bebas
menilai dan mempergunakannya.
5) Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan
terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau
ketahui atau alami sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah, harus disertai
alat bukti yang lain.
Jika dibandingkan dengan alat bukti yang terdapat HIR,
maka ada penmbahan alat bukti baru, yaitu keterangan ahli.
Selain daripada itu ada perubahan nama alat bukti yang dengan
sendirinya maknanya menjadi lain, yaitu pengakuan terdakwa
menjadi keterangan terdakwa (Andi Hamzah, 2009: 259).
3. Tinjauan Umum mengenai Penelitian Sejenis
a. Penggunaan Saksi Mahkota (Kroon Getuige) Dalam Pembuktian
Tindak Pidana Di Persidangan (Studi Kasus Pencurian Dengan
Kekerasan Di Pengadilan Negeri Purwokerto)
Penelitian ini berupa penulisan hukum (skripsi) yang ditulis oleh
Feri Irina Rachmani, mahasiswi Fakultas Hukum UNS angkatan 2004.
Rumusan masalah dari penulisan hukum ini adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
1) Bagaimana penggunaan saksi mahkota (kroon getuige) dalam
proses pembuktian tindak pidana pencurian dengan kekerasan di
pengadilan negeri Purwkerto?
2) Bagaimana kekuatan saksi mahkota (kroon getuige) sebagai alat
bukti dalam pembuktian perkara pencurian dengan kekerasan di
persidangan?
Dalam penelitian ini, dibahas mengenai dihadirkannya saksi
mahkota yang juga merupakan terdakwa dalam tindak pidana
pencurian dengan kekerasan. Di sini dibahas mengenai sisi positif dan
negatif dari dihadirkannya saksi mahkota. Sisi positifnya adalah JPU
dapat dengan mudah melakukan pembuktian dalam memaparkan
kronologis kejadian tindak pidanan pencurian dengan kekerasan ini.
Sedangkan sisi negatifnya adalah ada kekhawatiran bahwa saksi
mahkota dan terdakwa yang notabene saling kenal telah berkompromi
untuk saling menutupi kesalahan masing-masing. Sedangkan untuk
kekuatan pembuktian saksi mahkota tersebut harus dilihat dari
terpenuhi tidaknya syarat sah sebagai saksi. Dalam penelitian ini,
kesaksian dari saksi mahkota dianggap telah memenuhi syarat sah
sebagai saksi sehingga saksi mahkota ini mempunyai kekuatan
pembuktian yang sah.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis dapat dilihat dari judul maupun rumusan masalahnya. Dalam
penelitian ini, yang dibahas adalah mengenai penggunaan saksi
mahkota dalam persidangan tindak pidana pencurian disertai dengan
kekerasan. Sehingga penelitian ini memiliki cakupan yang lebih
sempit, yaitu hanya penggunaan saksi mahkota dalam persidangan
tindak pidana pencurian dengan kekerasan saja. Sedangkan penelitian
yang dibuat oleh penulis, memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu
tidak terbatas pada kasus tertentu saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Selain itu, penulis membahas pula mengenai dualisme dasar
hukum penghadiran kroongetuige. Dimana penulis ingin membahas
lebih jauh mengenai putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain.
b. Kedudukan Saksi Mahkota dalam Sistem Pembuktian Hukum
Pidana
Penelitian lain yang hampir serupa dengan penelitian yang dibuat
oleh penulis adalah tesis yang dibuat oleh seorang mahasiswa Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Tesis ini dibuat pada
tahun 2005 oleh Zulfan (NIM. 037005029). Adapun rumusan masalah
dari tesis ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah urgensi dan akibat hukum saksi mahkota dalam
pembuktian perkara pidana?
2) Bagaimanakah kedudukan dan kriteria keterangan saksi mahkota
sebagai alat bukti menurut KUHAP?
3) Bagaimanakah keberadaan hak-hak asasi manusia apabila
ditempatkan sebagai saksi mahkota dalam pembuktian perkara
pidana?
Hasil penelitian tesis ini menunjukkan peran saksi mahkota
dibutuhkan terhadap kasus-kasus yang tidak mungkin mendapatkan
saksi karena kuatnya pelaku menjaga kerahasiaannya. Konsekuensi
penolakan kewajiban menjadi saksi tanpa alasan yang sah, diancam
pidana Pasal 224 KUHP, kesaksian palsu diancam pidana Pasal 242
KUHP. Hasil penelitian dari rumusan masalah kedua adalah bahwa
keterangan saksi mahkota yang diberikan di bawah sumpah bernilai
alat bukti. Sedangkan kalau tidak disumpah, tidak merupakan alat
bukti, namun apabila keterangannya sesuai dengan keterangan saksi
lain yang disumpah, maka dapat digunakan sebagai tambahan dua alat
bukti yang sah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Keberadaan saksi mahkota dalam pembuktian pidana
bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Terdakwa yang diminta menjadi saksi mahkota membebani
dirinya dalam upaya membela diri pada posisi terdakwa. Membebani
seorang saksi untuk membuktikan kesalahannya sendiri merupakan
tindakan yang melanggar hak asasi manusia.
Tesis ini sebenarnya memiliki beberapa persamaan dengan
penelitian yang dibuat oleh penulis. Persamaan ini dapat dilihat pada
rumusan masalah kedua tesis ini dimana yang dibahas adalah
mengenai kedudukan dan kriteria keterangan saksi mahkota sebagai
alat bukti menurut KUHAP dengan rumusan masalah kedua penulis
yang membahas mengenai nilai kekuatan pembuktian saksi mahkota
berdasarkan KUHAP. Di sini sama-sama dibahas mengenai nilai dari
keterangan yang diberikan oleh saksi mahkota jika dilihat dari
kacamata KUHAP.
Meskipun ada beberpa kesamaan, tetapi ada juga perbedaan
antara kedua penelitian ini. Perbedaan tersebut antara lain, penulis juga
menitikberatkan pembahasannya pada adanya dualisme dasar hukum
penghadiran saksi mahkota, dimana di sni terdapat pro dan kontra.
Sedangkan dalam tesis tidak dibahas mengenai hal tersebut. Perbedaan
lain adalah dalam rumusan masalah ketiga tesis ini dibahas mengenai
keberadaan hak asasi manusia apabila seseorang ditempatkan sebagai
saksi mahkota dalam pembuktian suatu perkara pidana. Dalam
penelitian yang dibuat oleh penulis, hak-hak asasi manusia seseorang
sebagai saksi mahkota tidak dibahas secara mendalam dalam rumusan
masalah yang berbeda. Meskipun demikian, penulis akan tetap
membahas mengenai hak-hak asasi manusia bagi saksi mahkota.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
B. Kerangka Pemikiran
C.
D.
E.
F.
Gambar 1: Kerangka Pemikiran
Kroongetuige
Putusan MA KUHAP
Pro Penggunaan
Saksi Mahkota
PMA Nomor:
1986 K/Pid/1989
Kontra
Digunakannya
Saksi Mahkota
1.PMA Nomor:
1174/K/Pid/1994
2.PMA Nomor:
1590/K/Pid/1995
3.PMA Nomor:
1592/K/Pid/1995
Kekuatan
pembuktian?
Pengaturan saksi
mahkota Saksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Keterangan:
Dari gambar kerangka pemikiran di atas, penulis mencoba untuk
menjelaskan mengenai kroongetuige dilihat dari sudut pandang KUHAP dan
Putusan Mahkamah Agung. Dalam hal ini kroongetuige tidak diatur secara
tegas dalam KUHAP, akan tetapi dalam Putusan Mahkamah Agung terjadi
dualisme dasar hukum penghadiran kroongetuige atau saksi mahkota. Dapat
dilihat bahwa ada putusan yang memperbolehkan penghadiran kroongetuige
dalam suatu persidangan, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1986
K/Pid/1989. Dan ada pula putusan yang menolak penghadiran kroongetuige
dalam proses persidangan, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor:
1174/K/Pid/1994, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1590/K/Pid/1995, dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1592/K/Pid/1995.
Dua putusan yang saling bertolak belakang ini menimbulkan
kontroversi, karena belum ada pengaturan yang jelas terkait boleh atau
tidaknya menggunakan kroongetuige sebagai saksi di persidangan. Tetapi
pada kenyataannya masih banyak persidangan yang menggunakan
kroongetuige, misalnya saja pada persidangan kasus pembunuhan Nasrudin
Zulkarnaen maupun kasus Gayus Halomoan Tambunan yang menjadi saksi
mahkota bagi terdakwa Susno Duadji.
Selain itu, penulis juga ingin meneliti terkait dengan kekuatan
pembuktian dari kroongetuige berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dari hal-hal yang sudah disebutkan
tersebut, akan diambil sebuah kesimpulan mengenai pengaturan dari
kroongetuige, apakah diperbolehkan ataukah tidak sesuai dengan
yurisprudensi yang ada serta pengaturan mengenai kekuatan pembuktiannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
BAB III
PEMBAHASAN
A. Analisis Dualisme Dasar Hukum Kroongetuige dalam Pengaturan
Hukum Acara Pidana Indonesia
Pada sub bab pembahasan yang pertama ini peneliti akan mengkaji
mengenai dualisme pandangan terhadap pemanfaatan kroongetuige atau saksi
mahkota dalam perspektif hukum acara pidana. Kedua pandangan ini ternyata
memberikan arah yang berlawanan disatu sisi memperbolehkan disisi yang
lain melarang keras. Secara skematik dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Skematik Analisis Penelitian
Kroongetuige Pro Kontra
KUHAP:
1. Pasal 1 angka 26: tentang
pengertian saksi
2. Pasal 1 angka 27: tentang
pengeertian keterangan saksi
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG:
PMA Nomor: 1986 K/Pid/1989
tentang suatu delik pembunuhan
berencana. Dimana putusan tersebut
mengakui keberadaan saksi
mahkota.
KUHAP:
1. Pasal 52: tentang hak terdakwa untuk
memberikan keterangan secara bebas.
2. Butir 3 huruf c Penjelasan Umum
KUHAP: tentang asas praduga tidak
bersalah. Yang diwujudkan dalam
Pasal 66 KUHAP tentang beban
pmbuktian.
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG:
a. PMA Nomor: 1174/K/Pid/1994
b. PMA Nomor: 1590/K/Pid/1995
c. PMA Nomor: 1592/K/Pid/1995
Tentang penggunaan saksi mahkota
yang melanggar Hak Asasi Manusia.
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Berdasarkan skematik di atas dapat dilihat ada dua pandangan yang saling
bertentangan tentang saksi mahkota. Adapun untuk lebih jelasnya dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Pendapat yang Pro Terhadap Pemanfaatan Saksi Mahkota
a. Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1 angka 27 KUHAP dibandingkan dengan
tujuan hukum acara pidana.
1) Pasal 1 angka 26:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri”.
2) Pasal 1 angka 27:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri
dengan menyabut alasan dari pengetahuanya itu”.
Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,
ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan
tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan (Lilik Mulyadi, 2007: 10-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
12). Untuk mencapai tujuan hukum acara pidana tersebut maka
diperlukan pembuktian dalam perkara pidana. Salah satu bentuk
pembuktian adalah berupa keterangan saksi yang dalam Pasal 1 angka
27 KUHAP disebutkan bahwa “keterangan saksi adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu”.
Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1986 K/Pid/1989,
disebutkan bahwa saksi mahkota adalah teman terdakwa yang
melakukan tindak pidana bersama-sama, diajukan sebagai saksi untuk
membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya
dipisah karena kurangnya alat bukti. Dengan demikian dapat kita
katakana bahwa saksi mahkota juga merupakan saksi dimana saksi
menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah “orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Dengan demikian melihat bahwa
saksi mahkota memiliki unsur-unsur yang sama dengan saksi, yaitu ia
mendengar sendiri, melihat sendiri dan juga mengalami sendiri, maka
dapat dikatakan bahwa saksi mahkota juga merupakan saksi yang
secara sah dapat memberikan keterangannya di muka persidangan.
b. Putusan Mahkamah Agung
1) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986/K/Pid/1986 tentang suatu
delik pembunuhan berencana.
Putusan Mahkamah Agung yang pro terhadah saksi mahkota
adalah PMA Nomor: 1986 K/Pid/1989. Dalam Putusan Mahkamah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Agung ini dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang
apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di
persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya
sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan
terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu dalam yurisprudensi
tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota
yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-
sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan
penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah karena
kurangnya alat bukti.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota
sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-
kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam
bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk
penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan, serta
apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih
terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal
ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari
pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana
(Setiyono, 2007: 33).
Dari sini dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya ada
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi ketika jaksa penuntut
umum akan menghadirkan saksi mahkota, antara lain adanya
pemisahan berkas perkara, adanya kurangya alat bukti, perbuatan
pidananya dalam bentuk penyertaan. Saksi mahkota dihadirkan
untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, dimana jika suatu
perkara pidana terdapat kekurangan alat bukti maka bisa saja para
terdakwanya akan dibebaskan, tetapi ketika terdakwa dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
dihadirkan juga sebagai saksi mahkota untk persidangan terdakwa
lain, maka mereka tetap dapat diminta untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
c. Pemisahan Bekas Perkara (Splitsing)
Pemecahan berkas perkara diatur dalam Pasal 142 KUHAP yang
berbunyi “dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara
yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa
orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141,
penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masng
terdakwa secara terpisah”. Splitsing dilakukan karena kurangya saksi
yang menguatkan dakwaan penuntut umum, sehingga diperlukan
penambahan pemeriksaan saksi dari tersangka yang lain (Syaiful
Bakhri, 2009: 215).
Pada prinsipnya, menurut hukum acara pidana splitsing merupakan
hak jaksa. Pemisahan itu dapat dilakukan jika jaksa menerima satu
berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Kejahatan itu
juga melibatkan beberapa orang tersangka. Meskipun berkas dipisah,
kalau perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan orang lain, jaksa
di pengadilan tetap menjerat para pelaku dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1
tentang penyertaan. Splitsing atau pemecahan berkas perkara
diperlukan untuk memisahkan berkas perkara antara terdakwa dalam
perkaranya sendiri dengan terdakwa ketika menjadi saksi mahkota
untuk perkara terdakwa lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
2. Pandangan Kontra Terhadap Pemanfaatan Saksi Mahkota
a. Asas Praduga Tidak Bersalah
Asas praduga tidak bersalah diatur dalam Butir 3 huruf c
Penjelasan Umum KUHAP, yaitu setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Perwujudan dari asas ini adalah Pasal 66 KUHAP yang
berbunyi, “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian”.
Pemanfaatan saksi mahkota dalam proses pembuktian perkara
pidana di persidangan menurut penulis telah melanggar asas praduga
tidak bersalah. Karena dalam hal ini terdakwa dibebani kewajiban
untuk melakukan pembuktian, dimana seharusnya pembuktian
menjadi beban jaksa penuntut umum. Selain itu ketika terdakwa
menjadi saksi mahkota hal itu bertentangan juga dengan asas non self
incrimination atau larangan untuk mendakwa dirinya sendiri. Seorang
terdakwa yag menjadi saksi mahkota secara tidak langsung akan
menceritakan keterlibatannya dalam perkara pidana yang juga
didakwakan kepadanya.
b. Hak Ingkar
Hak ingkar yaitu hak untuk membantah dakwaan, menyanggah
keterangan para saksi dan bukti-bukti yang diajukan di depan
persidangan. Hak ingkar diatur dalam Pasal 52 KUHAP yang
berbunyi, “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”. Penggunaan
saksi mahkota dianggap melanggar hak ingkar bagi terdakwa yang
juga dihadapkan sebagai saksi dimana ia harus memberikan
keterangan dengan sebenar-benarnya karena terikat sumpah. Ia terikat
sumpah karena tidak memiliki hubungan darah, keluarga ataupun
pekerjaan dengan terdakwa, sedangkan jika ia memiliki hubungan
tersebut maka ia berhak menolak untuk diambil sumpahnya. Ini sesuai
dengan isi dari Pasal 168 KUHAP. Jika seorang saksi diketahui telah
telah mengatakan sesuatu yang tidak benar dan melanggar sumpah
maka dapat diancam dengan pidana sumpah palsu dan keterangan
palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP.
Dengan status tersebut, seorang terdakwa yang diminta menjadi saksi
mahkota akan mengalami tekanan atau setidak-tidaknya tekanan
secara psikis sehingga keterangannya dapat diragukan sehingga bisa
saja hakim tidak memperoleh kebenaran seperti apa yang diinginkan.
c. Putusan Mahkamah Agung
Beberapa putusan Mahkamah Agung yang kontra terhadap
pemanfaatan saksi mahkota dalam proses pembuktian di muka
persidangan antara lain:
1) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei
1995;
2) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei
1995; dan
3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei
1995.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Ketiga putusan ini menjelaskan bahwa pemanfaatan terdakwa
sebagai saksi mahkota terhadap terdakwa lainnya secara yuridis adalah
bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi
prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Kondisi saksi mahkota yang
berperan ganda sebagai saksi di satu sisi dan sebagai terdakwa di sisi
yang lain, memiliki konsekuensi yuridis terhadap hak dan
kewajibannya akan sumpah, dan beban pembuktian.
Sebagaimana kita ketahui bahwa terdakwa tidak dibebani
kewajiban dalam pembuktian dan juga tidak diambil sumpahnya
ketika akan dimintai keterangan. Hal ini telah secara jelas diatur dalam
KUHAP. Oleh karena itu ketika seorang terdakwa dimanfaatkan
sebagai saksi mahkota dalam perkara pidana maka hal tersebut jelas
telah melanggar hak asasi terdakwa yang bersangkutan. Dimana
terdakwa tersebut dibebani kewajiban untuk disumpah yang
menyebabkan terdakwa tersebut kehilangan hak ingkarnya dan juga
terdakwa tersebut dibebani kewajiban pembuktian yang seharusnya
menjadi kewajiban jaksa penuntut umum. Selain itu, pemanfaatan
terdakwa sebagai saksi mahkota juga bertentangan dengan beberapa
asas dalam hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP, misalnya
asas non self incrimination dan asas praduga tidak bersalah.
d. Beban Pembuktian
Seperti yang diatur dalam Pasal 66 KUHAP yang berbunyi
“tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”,
maka seorang terdakwa yang dimanfaatkan sebagai saksi mahkota
dalam proses pembuktian di persidangan telah melanggar pasal ini.
Hal ini dikarenakan terdakwa tersebut diminta untuk membeberkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
dan menceritakan semua hal yang dia ketahui terkait perkara pidana
yang melibatkan dirinya dan juga temanya yang juga seorang
terdakwa. Hal ini jelas merugikan terdakwa, karena secara tidak
langsung dia telah mengakui perbuatan dan keterlibatannya dalam
perkara pidana tersebut.
Seharusnya pembuktian menjadi kewajiban bagi jaksa penuntut
umum. Dimana diperbolehkannya seorang terdakwa menjadi saksi
mahkota dapat disalahgunakan oleh jaksa penuntut umum yang ingin
segera menyelesaikan perkaranya dengan cara yang mudah. Hal ini
berarti telah melanggar hak asasi dari terdakwa yang bersangkutan.
B. Analisis Nilai Kekuatan Pembuktian Dari Kroongetuige Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan di atas, bahwa
peggunaan saksi mahkota dalam proses pembuktian di persidangan tidak
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), sehingga dapat dipastikan bahwa nilai kekuatan
pembuktian dari saksi mahkota atau kroongetuige juga tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Meskipun demikian, penulis telah menguraikan beberapa
persamaan antara saksi mahkota dengan keteragan saksi yang telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 adalah “salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan saksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
mahkota menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986 K/Pid/1989,
disebutkan bahwa saksi mahkota adalah teman terdakwa yang melakukan
tindak pidana bersama-sama, diajukan sebagai saksi untuk membuktikan
dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah karena
kurangnya alat bukti.
Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa saksi adalah orang yang
harus mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri perkara
pidana tersebut. Seorang saksi mahkota yang notabene adalah juga seorang
terdakwa sudah pasti berada di tempat kejadian ketika suatu perkara pidana
sedang berlangsung, sehingga saksi mahkota tersebut merupakan orang
yang pasti mendengar, melihat dan mengalami sendiri. Oleh karena itu
saksi mahkota memenuhi salah satu unsur saksi, sehingga dapat dikatakan
bahwa saksi mahkota dianggap sah sebagai saksi. Meskipun demikian,
saksi mahkota merupakan saksi yang mendapat perlakuan istimewa atau
saksi yang diberi mahkota. Mahkota tersebut berupa perlakuan istimewa
yaitu tidak dituntut atas tindak pidana yang ia sebenarnya merupakan salah
satu pelakunya atau dengan kata lain ia dimaafkan atas kesalahannya.
Selain itu dikenal juga adanya asas unus testis nullus testis, maksudnya
adalah bahwa harus dihindari adanya keterangan seorang saksi saja, karena
aspek ini tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
karena perbuatan yang didakwakan kepadanya. Ini sesuai dengan Pasal 185
ayat (2) yang berbunyi, “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya”. Harus ada lebih dari satu saksi yang memberikan
keterangannya di muka persidangan, hal ini penting dilakukan untuk
menilai kebenaran dari keterangan seorang saksi, apakah keterangan saksi
tersebut sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh saksi lainnya. Ini
sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 185 ayat (6), yaitu “dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-
sungguh memperhatikan:
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu;
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya”.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika saksi mahkota adalah
merupakan satu-satunya saksi yang dihadirkan di muka persidangan, maka
keterangan yang diberikan oleh saksi mahkota tersebut dianggap tidak sah.
Tetapi jika ada saksi lain yang dihadirkan, maka keterangan yang diberikan
oleh saksi mahkota dapat dianggap sah meskipun tetap harus
memperhatikan persesuaian keterangan saksi mahkota itu dengan saksi lain
yang dihadirkan.
Syarat lain yang harus dipenuhi untuk melihat sah atau tidaknya
keterangan yang diberikan oleh saksi adalah bahwa saksi tersebut telah
disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing dan ketika
memberikan sumpah saksi tersebut tidak berada di bawah tekanan, dalam
arti saksi tersebut dalam keadaan bebas dan sadar. Ini sesuai dengan bunyi
Pasal 160 ayat (3) KUHAP, yaitu “sebelum memberi keterangan, saksi
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-
masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak
lain dari pada yang sebenarnya”. Keterangan seorang saksi yang diberikan
tanpa sumpah meskipun sesuai dengan keterangan saksi-saksi lain
bukanlah merupakan suatu alat bukti, hal ini telah jelas diatur dalam Pasal
185 ayat (7) KUHAP. Oleh karena itu jika saksi mahkota yang dihadirkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
di muka persidangan memberikan kesaksiannya dibawah sumpah maka
keterangan yang ia berikan dianggap sah dan dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan oleh hakim untuk menyusun putusan.
Dari penjabaran di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa saksi
mahkota juga merupakan seorang saksi yang keterangannya dianggap sah
di muka persidangan sepanjang saksi mahkota tersebut memenuhi syarat
sah bagi seorang saksi, baik memenuhi syarat formal maupun syarat
materialnya. Adapun nilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah.
Mengenai keterangan saksi yang tidak disumpah bisa terjadi:
a. Karena saksi menolak disumpah,
Mengenai saksi yang menolak untuk disumpah telah diatur
dalam Pasal 161. Keterangan yang diberikan tanpa disumpah karena
saksi menolak untuk mengucap sumpah atau janji, bukan
merupakan alat bukti. Namun, Pasal 161 ayat (2) menilai kekuatan
pembuktian keterangan tersebut dapat menguatkan keyakinan
hakim apabila pembuktian yang telah ada telah memenuhi batas
minimum pembuktian.
b. Keterangan yang diberikan tanpa sumpah,
Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP,
Saksi yang telah memberikan keterangan dala pemeriksaan
penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata “tidak dapat hadir”
dalam pemriksaan di sidang pengadilan. Namun demikian, kalau
bertitik tolak dari ketentuan Pasal 161 ayat (2) dihubungkan
dengan Pasal 185 ayat (7), nilai kekuatan pembuktian yang melekat
pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan,
sekurang-kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
yang diberikan di persidangan tanpa sumpah. Jadi, sifatnya tetap
tidak merupakan alat bukti tetapi nilai pembuktiannya yang melekat
padanya:
1) Dapat dipergunakan “menguatkan” keyakinan hakim.
2) Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai “tambahan alat
bukti” yang sah lainya, sepanjang keterangan saksi yang
dibacakan mempunyai “saling persesuaian” dengan alat bukti
yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi
batas minimum pembuktian.
c. Karena hubungan kekeluargaan,
Seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga tertentu
dengan terdakwa tidak dapat memberi keterangan dengan sumpah.
Kecuali mereka menghendakinya, dan kehendakya itu disetujui
secara tegas oleh penuntut umum dan terdakwa. Akan tetapi
undang-undang tidak menyebut secara tegas nilai kekuatan
pembuktian yang melekat pada keterangan seperti ini. Untuk
mengetahui nilai keterangan mereka yang tergolong pada Pasal 168
KUHAP, harus kembali menoleh pada Pasal 161 ayat (2) KUHAP
dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP:
1) Keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti,
2) Tetapi dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim,
3) Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan
menguatkan alat bukti yang sah lainya sepanjang keterangan
tersebut mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah
lainya, dan alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas
minimum pembuktian.
d. Saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171 KUHAP,
Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin atau orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
kadang-kadang baik kembali, boleh diperiksa memberi keterangan
tanpa sumpah di sidang pengadilan. Nilai keterangan merekan
dinilai bukan merupaka alat bukti yang sah akan tetapi penjelasan
Pasal 171 KUHAP telah menentukan nilai pembuktian yang
melekat pada keterangan itu dapat dipakai sebagai petunjuk. Titik
tolak untuk mengambil kesimpulan umum dalam hal ini ialah Pasal
185 ayat (7) KUHAP tanpa mengurai ketentuan lain yang diatur
dalam Pasal 161 ayat(2) KUHAP maupun Pasal 169 ayat (2)
KUHAP dan penjelasan Pasal 171 KUHAP. Bertitik tolak dari
ketentuan-ketentuan tersebut, secara umum dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1) Semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dinilai
bukan merupakan alat bukti yang sah. Walaupun keterangan
yang diberikan tanpa sumpah iu saling bersesuaian dengan
yang lain, sifatnya tetap bukan merupakan alat bukti.
2) Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian, karena sifatnya
saja bukan merupakan alat bukti yang sah maka dengan
sendirinya tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
3) Akan tetapi dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti
yang sah. Sekalipun keterangan tanpa sumpah bukan
merupakan alat bukti yang sah, dan juga tidak memiliki
kekuatan pembuktian, pada umumnya keterangan itu dapat
dipergunakan sebagai tambahan untuk menyempurnakan
kekuatan pembuktian alat bukti yang sah, yaitu data
menguatkan keyakinan hakim seperti yang disebut pada Pasal
161 ayat (2) KUHAP dan juga dapat dipakai sebagai petunjuk
seperti yang disebut dalam penjelasan pasal 171 KUHAP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Untuk mempergunakan keterangan tanpa sumpah baik sebagai
tambahan alat bukti yang sah maupun untuk menguatkan keyakinan
hakim atau sebagai petunjuk harus dibarengi dengan syarat:
a) Harus lebih dulu telah ada alat bukti yang sah.
b) Alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum
pembuktian yakni telah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah.
c) Kemudian antara keterangan tanpa sumpah itu dengan alat
bukti yang sah dapat saling bersesuaian.
2. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah.
Bukan hanya unsur sumpah yang harus melekat pada keterangan
saksi agar keterangan itu bersifat sebagai alat bukti yang sah, tetapi
harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan undang-undang
yakni:
a. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa ia akan
menerangkan yang sebenarnya dan tiada lain daripada yang
sebenarnya.
b. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang
saksi dengar sendiri, lihat sendiri atau alami sendiri dengan
menyebut secara jelas sumber pengetahuanya.
c. Keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan.
d. Keterangan saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah, karena
itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian yang diatur dalam
Pasal 183 KUHAP.
Kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah
antara lain:
1) Mempunyai kekuatan pembukian bebas, tidak melekat sifat
pembuktian yang sempurna dan juga tidak melekat di dalamnya
sifat kekuatan pembuktianyang mengikat dan menentukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
2) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim,
alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak
mempunyai nilai kekuatan oembuktian yang sempurna dan tidak
menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk
menilai kesempurnaan dan kebenaranya.
Untuk mengakhiri uraian kekuatan pembuktan keterangan saksi
sebagai alat bukti yang sah, dapat disimpulkan:
a) Tidak mempunya nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan
mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya,
b) Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nlai
kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa
dengan alat bukti yang lain berupa saksi a decharge maupun
dengan keterangan ahli atau alibi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
BAB III
PEMBAHASAN
A. Analisis Dualisme Dasar Hukum Kroongetuige dalam Pengaturan
Hukum Acara Pidana Indonesia
Pada sub bab pembahasan yang pertama ini peneliti akan mengkaji
mengenai dualisme pandangan terhadap pemanfaatan kroongetuige atau saksi
mahkota dalam perspektif hukum acara pidana. Kedua pandangan ini ternyata
memberikan arah yang berlawanan disatu sisi memperbolehkan disisi yang
lain melarang keras. Secara skematik dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Skematik Analisis Penelitian
Kroongetuige Pro Kontra
KUHAP:
1. Pasal 1 angka 26: tentang
pengertian saksi
2. Pasal 1 angka 27: tentang
pengeertian keterangan saksi
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG:
PMA Nomor: 1986
K/Pid/1989 tentang suatu delik
pembunuhan berencana. Putusan
tersebut mengakui keberadaan saksi
mahkota.
KUHAP:
1. Pasal 52: tentang hak terdakwa untuk
memberikan keterangan secara bebas.
2. Butir 3 huruf c Penjelasan Umum
KUHAP: tentang asas praduga tidak
bersalah. Yang diwujudkan dalam
Pasal 66 KUHAP tentang beban
pmbuktian.
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG:
a. PMA Nomor: 1174/K/Pid/1994
b. PMA Nomor: 1590/K/Pid/1995
c. PMA Nomor: 1592/K/Pid/1995
Tentang penggunaan saksi mahkota
yang melanggar Hak Asasi Manusia.
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Berdasarkan skematik di atas dapat dilihat ada dua pandangan yang saling
bertentangan tentang saksi mahkota. Adapun untuk lebih jelasnya dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Pendapat yang Pro Terhadap Pemanfaatan Saksi Mahkota
a. Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1 angka 27 KUHAP dibandingkan dengan
tujuan hukum acara pidana.
1) Pasal 1 angka 26:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri”.
2) Pasal 1 angka 27:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri
dengan menyabut alasan dari pengetahuanya itu”.
Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,
ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan
tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan (Lilik Mulyadi, 2007: 10-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
12). Untuk mencapai tujuan hukum acara pidana tersebut maka
diperlukan pembuktian dalam perkara pidana. Salah satu bentuk
pembuktian adalah berupa keterangan saksi yang dalam Pasal 1 angka
27 KUHAP disebutkan bahwa “keterangan saksi adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu”.
Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1986 K/Pid/1989,
disebutkan bahwa saksi mahkota adalah teman terdakwa yang
melakukan tindak pidana bersama-sama, diajukan sebagai saksi untuk
membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya
dipisah karena kurangnya alat bukti. Dengan demikian dapat kita
katakana bahwa saksi mahkota juga merupakan saksi dimana saksi
menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah “orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Dengan demikian melihat bahwa
saksi mahkota memiliki unsur-unsur yang sama dengan saksi, yaitu ia
mendengar sendiri, melihat sendiri dan juga mengalami sendiri, maka
dapat dikatakan bahwa saksi mahkota juga merupakan saksi yang
secara sah dapat memberikan keterangannya di muka persidangan.
b. Putusan Mahkamah Agung
1) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986/K/Pid/1986 tentang suatu
delik pembunuhan berencana.
Putusan Mahkamah Agung yang pro terhadah saksi mahkota
adalah PMA Nomor: 1986 K/Pid/1989. Dalam Putusan Mahkamah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Agung ini dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang
apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di
persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya
sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan
terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu dalam yurisprudensi
tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota
yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-
sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan
penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah karena
kurangnya alat bukti.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota
sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-
kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam
bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk
penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan, serta
apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih
terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal
ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari
pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana
(Setiyono, 2007: 33).
Dari sini dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya ada
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi ketika jaksa penuntut
umum akan menghadirkan saksi mahkota, antara lain adanya
pemisahan berkas perkara, adanya kurangya alat bukti, perbuatan
pidananya dalam bentuk penyertaan. Saksi mahkota dihadirkan
untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, dimana jika suatu
perkara pidana terdapat kekurangan alat bukti maka bisa saja para
terdakwanya akan dibebaskan, tetapi ketika terdakwa dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
dihadirkan juga sebagai saksi mahkota untk persidangan terdakwa
lain, maka mereka tetap dapat diminta untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
c. Pemisahan Bekas Perkara (Splitsing)
Pemecahan berkas perkara diatur dalam Pasal 142 KUHAP yang
berbunyi “dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara
yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa
orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141,
penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masng
terdakwa secara terpisah”. Splitsing dilakukan karena kurangya saksi
yang menguatkan dakwaan penuntut umum, sehingga diperlukan
penambahan pemeriksaan saksi dari tersangka yang lain (Syaiful
Bakhri, 2009: 215).
Pada prinsipnya, menurut hukum acara pidana splitsing merupakan
hak jaksa. Pemisahan itu dapat dilakukan jika jaksa menerima satu
berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Kejahatan itu
juga melibatkan beberapa orang tersangka. Meskipun berkas dipisah,
kalau perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan orang lain, jaksa
di pengadilan tetap menjerat para pelaku dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1
tentang penyertaan. Splitsing atau pemecahan berkas perkara
diperlukan untuk memisahkan berkas perkara antara terdakwa dalam
perkaranya sendiri dengan terdakwa ketika menjadi saksi mahkota
untuk perkara terdakwa lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
2. Pandangan Kontra Terhadap Pemanfaatan Saksi Mahkota
a. Asas Praduga Tidak Bersalah
Asas praduga tidak bersalah diatur dalam Butir 3 huruf c
Penjelasan Umum KUHAP, yaitu setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Perwujudan dari asas ini adalah Pasal 66 KUHAP yang
berbunyi, “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian”.
Pemanfaatan saksi mahkota dalam proses pembuktian perkara
pidana di persidangan menurut penulis telah melanggar asas praduga
tidak bersalah. Karena dalam hal ini terdakwa dibebani kewajiban
untuk melakukan pembuktian, dimana seharusnya pembuktian
menjadi beban jaksa penuntut umum. Selain itu ketika terdakwa
menjadi saksi mahkota hal itu bertentangan juga dengan asas non self
incrimination atau larangan untuk mendakwa dirinya sendiri. Seorang
terdakwa yag menjadi saksi mahkota secara tidak langsung akan
menceritakan keterlibatannya dalam perkara pidana yang juga
didakwakan kepadanya.
b. Hak Ingkar
Hak ingkar yaitu hak untuk membantah dakwaan, menyanggah
keterangan para saksi dan bukti-bukti yang diajukan di depan
persidangan. Hak ingkar diatur dalam Pasal 52 KUHAP yang
berbunyi, “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”. Penggunaan
saksi mahkota dianggap melanggar hak ingkar bagi terdakwa yang
juga dihadapkan sebagai saksi dimana ia harus memberikan
keterangan dengan sebenar-benarnya karena terikat sumpah. Ia terikat
sumpah karena tidak memiliki hubungan darah, keluarga ataupun
pekerjaan dengan terdakwa, sedangkan jika ia memiliki hubungan
tersebut maka ia berhak menolak untuk diambil sumpahnya. Ini sesuai
dengan isi dari Pasal 168 KUHAP. Jika seorang saksi diketahui telah
telah mengatakan sesuatu yang tidak benar dan melanggar sumpah
maka dapat diancam dengan pidana sumpah palsu dan keterangan
palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP.
Dengan status tersebut, seorang terdakwa yang diminta menjadi saksi
mahkota akan mengalami tekanan atau setidak-tidaknya tekanan
secara psikis sehingga keterangannya dapat diragukan sehingga bisa
saja hakim tidak memperoleh kebenaran seperti apa yang diinginkan.
c. Putusan Mahkamah Agung
Beberapa putusan Mahkamah Agung yang kontra terhadap
pemanfaatan saksi mahkota dalam proses pembuktian di muka
persidangan antara lain:
1) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei
1995;
2) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei
1995; dan
3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei
1995.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Ketiga putusan ini menjelaskan bahwa pemanfaatan terdakwa
sebagai saksi mahkota terhadap terdakwa lainnya secara yuridis adalah
bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi
prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Kondisi saksi mahkota yang
berperan ganda sebagai saksi di satu sisi dan sebagai terdakwa di sisi
yang lain, memiliki konsekuensi yuridis terhadap hak dan
kewajibannya akan sumpah, dan beban pembuktian.
Sebagaimana kita ketahui bahwa terdakwa tidak dibebani
kewajiban dalam pembuktian dan juga tidak diambil sumpahnya
ketika akan dimintai keterangan. Hal ini telah secara jelas diatur dalam
KUHAP. Oleh karena itu ketika seorang terdakwa dimanfaatkan
sebagai saksi mahkota dalam perkara pidana maka hal tersebut jelas
telah melanggar hak asasi terdakwa yang bersangkutan. Dimana
terdakwa tersebut dibebani kewajiban untuk disumpah yang
menyebabkan terdakwa tersebut kehilangan hak ingkarnya dan juga
terdakwa tersebut dibebani kewajiban pembuktian yang seharusnya
menjadi kewajiban jaksa penuntut umum. Selain itu, pemanfaatan
terdakwa sebagai saksi mahkota juga bertentangan dengan beberapa
asas dalam hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP, misalnya
asas non self incrimination dan asas praduga tidak bersalah.
d. Beban Pembuktian
Seperti yang diatur dalam Pasal 66 KUHAP yang berbunyi
“tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”,
maka seorang terdakwa yang dimanfaatkan sebagai saksi mahkota
dalam proses pembuktian di persidangan telah melanggar pasal ini.
Hal ini dikarenakan terdakwa tersebut diminta untuk membeberkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
dan menceritakan semua hal yang dia ketahui terkait perkara pidana
yang melibatkan dirinya dan juga temanya yang juga seorang
terdakwa. Hal ini jelas merugikan terdakwa, karena secara tidak
langsung dia telah mengakui perbuatan dan keterlibatannya dalam
perkara pidana tersebut.
Seharusnya pembuktian menjadi kewajiban bagi jaksa penuntut
umum. Dimana diperbolehkannya seorang terdakwa menjadi saksi
mahkota dapat disalahgunakan oleh jaksa penuntut umum yang ingin
segera menyelesaikan perkaranya dengan cara yang mudah. Hal ini
berarti telah melanggar hak asasi dari terdakwa yang bersangkutan.
B. Analisis Nilai Kekuatan Pembuktian Dari Kroongetuige Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan di atas, bahwa
peggunaan saksi mahkota dalam proses pembuktian di persidangan tidak
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), sehingga dapat dipastikan bahwa nilai kekuatan
pembuktian dari saksi mahkota atau kroongetuige juga tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Meskipun demikian, penulis telah menguraikan beberapa
persamaan antara saksi mahkota dengan keteragan saksi yang telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 adalah “salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan saksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
mahkota menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986 K/Pid/1989,
disebutkan bahwa saksi mahkota adalah teman terdakwa yang melakukan
tindak pidana bersama-sama, diajukan sebagai saksi untuk membuktikan
dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah karena
kurangnya alat bukti.
Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa saksi adalah orang yang
harus mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri perkara
pidana tersebut. Seorang saksi mahkota yang notabene adalah juga seorang
terdakwa sudah pasti berada di tempat kejadian ketika suatu perkara pidana
sedang berlangsung, sehingga saksi mahkota tersebut merupakan orang
yang pasti mendengar, melihat dan mengalami sendiri. Oleh karena itu
saksi mahkota memenuhi salah satu unsur saksi, sehingga dapat dikatakan
bahwa saksi mahkota dianggap sah sebagai saksi. Meskipun demikian,
saksi mahkota merupakan saksi yang mendapat perlakuan istimewa atau
saksi yang diberi mahkota. Mahkota tersebut berupa perlakuan istimewa
yaitu tidak dituntut atas tindak pidana yang ia sebenarnya merupakan salah
satu pelakunya atau dengan kata lain ia dimaafkan atas kesalahannya.
Selain itu dikenal juga adanya asas unus testis nullus testis, maksudnya
adalah bahwa harus dihindari adanya keterangan seorang saksi saja, karena
aspek ini tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
karena perbuatan yang didakwakan kepadanya. Ini sesuai dengan Pasal 185
ayat (2) yang berbunyi, “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya”. Harus ada lebih dari satu saksi yang memberikan
keterangannya di muka persidangan, hal ini penting dilakukan untuk
menilai kebenaran dari keterangan seorang saksi, apakah keterangan saksi
tersebut sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh saksi lainnya. Ini
sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 185 ayat (6), yaitu “dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-
sungguh memperhatikan:
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu;
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya”.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika saksi mahkota adalah
merupakan satu-satunya saksi yang dihadirkan di muka persidangan, maka
keterangan yang diberikan oleh saksi mahkota tersebut dianggap tidak sah.
Tetapi jika ada saksi lain yang dihadirkan, maka keterangan yang diberikan
oleh saksi mahkota dapat dianggap sah meskipun tetap harus
memperhatikan persesuaian keterangan saksi mahkota itu dengan saksi lain
yang dihadirkan.
Syarat lain yang harus dipenuhi untuk melihat sah atau tidaknya
keterangan yang diberikan oleh saksi adalah bahwa saksi tersebut telah
disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing dan ketika
memberikan sumpah saksi tersebut tidak berada di bawah tekanan, dalam
arti saksi tersebut dalam keadaan bebas dan sadar. Ini sesuai dengan bunyi
Pasal 160 ayat (3) KUHAP, yaitu “sebelum memberi keterangan, saksi
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-
masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak
lain dari pada yang sebenarnya”. Keterangan seorang saksi yang diberikan
tanpa sumpah meskipun sesuai dengan keterangan saksi-saksi lain
bukanlah merupakan suatu alat bukti, hal ini telah jelas diatur dalam Pasal
185 ayat (7) KUHAP. Oleh karena itu jika saksi mahkota yang dihadirkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
di muka persidangan memberikan kesaksiannya dibawah sumpah maka
keterangan yang ia berikan dianggap sah dan dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan oleh hakim untuk menyusun putusan.
Dari penjabaran di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa saksi
mahkota juga merupakan seorang saksi yang keterangannya dianggap sah
di muka persidangan sepanjang saksi mahkota tersebut memenuhi syarat
sah bagi seorang saksi, baik memenuhi syarat formal maupun syarat
materialnya. Adapun nilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah.
Mengenai keterangan saksi yang tidak disumpah bisa terjadi:
a. Karena saksi menolak disumpah,
Mengenai saksi yang menolak untuk disumpah telah diatur
dalam Pasal 161. Keterangan yang diberikan tanpa disumpah karena
saksi menolak untuk mengucap sumpah atau janji, bukan
merupakan alat bukti. Namun, Pasal 161 ayat (2) menilai kekuatan
pembuktian keterangan tersebut dapat menguatkan keyakinan
hakim apabila pembuktian yang telah ada telah memenuhi batas
minimum pembuktian.
b. Keterangan yang diberikan tanpa sumpah,
Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP,
Saksi yang telah memberikan keterangan dala pemeriksaan
penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata “tidak dapat hadir”
dalam pemriksaan di sidang pengadilan. Namun demikian, kalau
bertitik tolak dari ketentuan Pasal 161 ayat (2) dihubungkan
dengan Pasal 185 ayat (7), nilai kekuatan pembuktian yang melekat
pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan,
sekurang-kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
yang diberikan di persidangan tanpa sumpah. Jadi, sifatnya tetap
tidak merupakan alat bukti tetapi nilai pembuktiannya yang melekat
padanya:
1) Dapat dipergunakan “menguatkan” keyakinan hakim.
2) Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai “tambahan alat
bukti” yang sah lainya, sepanjang keterangan saksi yang
dibacakan mempunyai “saling persesuaian” dengan alat bukti
yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi
batas minimum pembuktian.
c. Karena hubungan kekeluargaan,
Seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga tertentu
dengan terdakwa tidak dapat memberi keterangan dengan sumpah.
Kecuali mereka menghendakinya, dan kehendakya itu disetujui
secara tegas oleh penuntut umum dan terdakwa. Akan tetapi
undang-undang tidak menyebut secara tegas nilai kekuatan
pembuktian yang melekat pada keterangan seperti ini. Untuk
mengetahui nilai keterangan mereka yang tergolong pada Pasal 168
KUHAP, harus kembali menoleh pada Pasal 161 ayat (2) KUHAP
dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP:
1) Keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti,
2) Tetapi dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim,
3) Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan
menguatkan alat bukti yang sah lainya sepanjang keterangan
tersebut mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah
lainya, dan alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas
minimum pembuktian.
d. Saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171 KUHAP,
Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin atau orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
kadang-kadang baik kembali, boleh diperiksa memberi keterangan
tanpa sumpah di sidang pengadilan. Nilai keterangan merekan
dinilai bukan merupaka alat bukti yang sah akan tetapi penjelasan
Pasal 171 KUHAP telah menentukan nilai pembuktian yang
melekat pada keterangan itu dapat dipakai sebagai petunjuk. Titik
tolak untuk mengambil kesimpulan umum dalam hal ini ialah Pasal
185 ayat (7) KUHAP tanpa mengurai ketentuan lain yang diatur
dalam Pasal 161 ayat(2) KUHAP maupun Pasal 169 ayat (2)
KUHAP dan penjelasan Pasal 171 KUHAP. Bertitik tolak dari
ketentuan-ketentuan tersebut, secara umum dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1) Semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dinilai
bukan merupakan alat bukti yang sah. Walaupun keterangan
yang diberikan tanpa sumpah iu saling bersesuaian dengan
yang lain, sifatnya tetap bukan merupakan alat bukti.
2) Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian, karena sifatnya
saja bukan merupakan alat bukti yang sah maka dengan
sendirinya tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
3) Akan tetapi dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti
yang sah. Sekalipun keterangan tanpa sumpah bukan
merupakan alat bukti yang sah, dan juga tidak memiliki
kekuatan pembuktian, pada umumnya keterangan itu dapat
dipergunakan sebagai tambahan untuk menyempurnakan
kekuatan pembuktian alat bukti yang sah, yaitu data
menguatkan keyakinan hakim seperti yang disebut pada Pasal
161 ayat (2) KUHAP dan juga dapat dipakai sebagai petunjuk
seperti yang disebut dalam penjelasan pasal 171 KUHAP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Untuk mempergunakan keterangan tanpa sumpah baik sebagai
tambahan alat bukti yang sah maupun untuk menguatkan keyakinan
hakim atau sebagai petunjuk harus dibarengi dengan syarat:
a) Harus lebih dulu telah ada alat bukti yang sah.
b) Alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum
pembuktian yakni telah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah.
c) Kemudian antara keterangan tanpa sumpah itu dengan alat
bukti yang sah dapat saling bersesuaian.
2. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah.
Bukan hanya unsur sumpah yang harus melekat pada keterangan
saksi agar keterangan itu bersifat sebagai alat bukti yang sah, tetapi
harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan undang-undang
yakni:
a. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa ia akan
menerangkan yang sebenarnya dan tiada lain daripada yang
sebenarnya.
b. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang
saksi dengar sendiri, lihat sendiri atau alami sendiri dengan
menyebut secara jelas sumber pengetahuanya.
c. Keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan.
d. Keterangan saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah, karena
itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian yang diatur dalam
Pasal 183 KUHAP.
Kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah
antara lain:
1) Mempunyai kekuatan pembukian bebas, tidak melekat sifat
pembuktian yang sempurna dan juga tidak melekat di dalamnya
sifat kekuatan pembuktianyang mengikat dan menentukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
2) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim,
alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak
mempunyai nilai kekuatan oembuktian yang sempurna dan tidak
menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk
menilai kesempurnaan dan kebenaranya.
Untuk mengakhiri uraian kekuatan pembuktan keterangan saksi
sebagai alat bukti yang sah, dapat disimpulkan:
a) Tidak mempunya nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan
mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya,
b) Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nlai
kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa
dengan alat bukti yang lain berupa saksi a decharge maupun
dengan keterangan ahli atau alibi.