kajian tentang aspek hukum bisnis dan …
TRANSCRIPT
aaddbbiiss JJuurrnnaall AAddmmiinniissttrraassii ddaann BBiissnniiss, Volume: 10, Nomor:1 , Juni 2016, ISSN 1978-726X
___________________________________________
*) Shohib Muslim dan Farida Akbarina, adalah dosen Politeknik Negeri Malang
10
KAJIAN TENTANG ASPEK HUKUM BISNIS DAN PERLINDUNGAN
KONSUMEN DALAM E-COMMERCE
Oleh: Shohib Muslim dan Farida Akbarina*)
Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan tindakan bisnis e-commerce yang ditinjau
dari hukum perjanjian di Indonesia khususnya Buku Ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), dan perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi e-commerce.
Hasil kajian ini bahwa kontrak dalam perdagangan melalui internet (e-commerce) telah memenuhi
beberapa aspek hukum perjanjian dalam Buku Ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengenai syarat sahnya perjanjian. meskipun pemenuhan terhadap unsur kedewasaan sebagai syarat
kecakapan tidak dapat terpenuhi, kontrak dalam e-commerce tetap sah dan mengikat sepanjang para
pihak tidak mempermasalahkannya. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) telah mampu memberikan
perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen dalam melakukan transaksi melalui e-
commerce, perlindungan hukum tersebut terlihat dalam ketentuan-ketentuan UUPK dan UUITE
dimana kedua peraturan tersebut telah mengatur mengenai penggunaan data pribadi konsumen,
syarat sahnya suatu transaksi e-commerce, penggunaan CA (Certification Authority), dan mengatur
mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam memasarkan dan memproduksi barang
dan jasa.
Kata-kata kunci: hokum bisnis, Perlindungan konsumen, e-commerce
Abstract
This paper aims to determine the validity of the e-commerce business action viewed from
the agreement laws in Indonesia, especially Book III of Civil Code and consumer legal protection
laws in the commercial transaction.
The results concludes that the contract in internet trading (e-commerce) has fulfilled some aspects of
contract law in Book III of Civil Code regarding the validity of the agreement terms despite
fulfillment of the elements of maturity as prerequisite skills can’t be met, the contract in the e-
commerce continue to be valid and binding on all the parties as long as they are not put into dispute.
Consumers Protection Law(UUPK)and Information and Electronic Transactions Law (UUITE) have
been able to give adequate protection for the consumers in conducting transactions through e-
commerce.
The legal protection is reflected in the provisions of UUPK and UUITE, inwhich both rules regulate
the use of consumers personal data, the validity requirements of e-commerce transactions, the use of
CA (Certification Authority) and also regulate the actions that are prohibited for business to market
and produce good and services
Keywords: business law, consumers protection, e-commerce
.
1. Pendahuluan
Penggunaan media internet sebagai jalur
perdagangan baru merupakan jawaban atas
majunya perdagangan nasional maupun
internasional. Electronic commerce transaction
adalah transaksi dagang antara penjual dan pembeli
dalam rangka penyediaan barang atu jasa termasuk
melelangkan barang atau jasa, dan atau
mengalihkan hak dengan menggunakan media
elektronik computer maupun internet. Sementara
itu Kalakota dan Wiston mendefinisikan e-
commerce dari berbagai perspektif yaitu 1) dari
perspektif komonikasi, e-commerce adalah
pengiriman informasi, produk atau jasa, atau
Muslim, Kajian Tentang Aspek Hukum Bisnis, Hal :10-24
11
pembayaran melalui jaringan telepon, atau jalur
komunikasi lainnya; 2) dari perspektif proses
bisnis, e-commerce adalah aplikasi teknologi
menuju otomatisasi transaksi bisnis dan work flow;
3) dari perspektif pelayanan, e-commerce adalah
alat yang digunakan untuk mengurangi biaya
dalam pemesanan dan pengiriman barang; 4) dari
perspektif online, e-commerce menyedia kan
kemampuan untuk menjual dan membeli produk
dan jasa informasi melalui internet dan jasa online
lainnya.(Rowzkoski.1989).
Tingginya pengguna internet memicu
pelaku usaha untuk menempatkan produk mereka
dalam layanan-layanan online berbasis web atau
yang kemudian dengan istilah perdagangan
elektronik (e-commerce). Kejelian pelaku usaha
untuk memanfatkan internet sebagai sarana
promosi, transaksi, toko online, maupun sarana
bisnis lainnya tidak dibarengi dengan lahirnya
perangkat perundang-undangan yang mengatur hal
tersebut. Akibatnya banyak pihak yang dirugikan
akibat kekosongan hukum dalam cyberspace. Baru
pada tahun 2008, pemerintah Indonesia yang
diprakarsai oleh Depkominfo membidangi lahirnya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE).
Meskipun aturan tentang transaksi electronic
commerce tidak di atur secara khusus dalam
undang-undang tersebut, transaksi electronic
commerce di Indonesia tetap tunduk pada
ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undng
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK).
Permasalahannya adalah bagaimana jika
pelaku usaha dalam e-commerce tersebut tidak
berada pada wilayah domisili yuridiksi Indonesia.
Inilah yang kemudian disebut sebagai salah satu
kelemahan penggunaan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dalam transaksi e-
commerce. Dimana Undang-Undang Perlindungan
Konsumen secara tegas menekankan bahwa aturan
tersebut hanya dapat diberlakukan kepada pelaku
usaha yang bergerak didalam wilayah hukum
Republik Indonesia (Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999) . jika kembali pada Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UUITE) secara jelas menyebutkan bahwa prinsip
utama transaksi elektronik adalah kesepakatan atau
dengan cara-cara yang disepakati oleh kedua belah
pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen).
Transaksi elektronik mengikat para pihak yang
bersepakat (Pasal 18 UUITE) sehingga dari sudut
pandang hukum perlindungan konsu men,
konsumen yang melakukan transaksi elektronik
dianggap menyepakati seluruh syarat dan
ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut.
1.1. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diajukan adalah:
1. Bagaimana perjanjian perdagangan melalui
internet (e-commerce) ditinjau dari hukum
perjanjian di Indonesia ?
2. Apakah konsumen sudah mendapatkan
perlindungan hukum dalam transaksi melalui
e-commerce berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang ada?
2.Pembahasan
1. Keabsahan Perjanjian Dalam Transaksi E-
Commerce Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Di
Indonesia Khususnya Buku Ke III KUHPerdata
aaddbbiiss JJuurrnnaall AAddmmiinniissttrraassii ddaann BBiissnniiss, Volume:10, Nomor:1, Juni 2016, ISSN 1978-726X
12
Pemenuhan Terhadap Syarat Sahnya Suatu
Perjanjian Berbicara mengenai transaksi
perdagangan secara elektronik, tidak terlepas dari
konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana
termuat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) Ketentuan yang
mengatur tentang perjanjian yang terdapat dalam
Buku III KUHPerdata yaitu memiliki sifat terbuka
artinya ketentuan-ketentuannya dapat
dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi
mengatur saja. Perdagangan melalui internet pada
dasarnya sama dengan perdagangan pada
umumnya, dimana suatu perdagangan terjadi
ketika ada kesepakatan mengenai barang atau jasa
yang diperdagangkan serta harga atas barang atau
jasa tersebut, yang membedakan hanya pada media
yang digunakan, jika pada perdagangan
konvensional para pihak harus bertemu langsung di
suatu tempat guna menyepakati mengenai apa yang
akan diperdagangkan serta berapa harga atas
barang atau jasa tersebut.
Sedangkan dalam e-commerce, proses
transaksi yang terjadi memerlukan suatu media
internet sebagai media utamanya, sehingga proses
transaksi perdagangan terjadi tanpa perlu adanya
pertemuan langsung antar para pihak. E-commerce
sebagai dampak dari perkembangan teknologi
memberikan implika si pada berbagai sektor,
implikasi tersebut salah satunya berdampak pada
sektor hukum. Pengaturan terhadap e-commerce di
Indonesia belum ada aturan yang secara khusus
mengatur mengenai masalah tersebut, yang umum
dilakukan pengaturan mengenai e-commerce masih
menggunakan aturan dalam Buku III KUHPerdata
khususnya pengaturan mengenai masalah
perjanjian. Perjanjian dalam e-commerce terjadi
antara kedua belah pihak yang mana salah satu
pihak berjanji kepada pihak yang lain untuk
melakukan sesuatu. Dimana perjanjian yang terjadi
dalam e-commerce dapat menggunakan dasar Pasal
1313 KUHPerdata sebagai pengaturannya.
Sehingga apa yang menjadi syarat sahnya suatu
perjanjian yang termuat dalam KUHPerdata harus
diperhatikan agar pengenaan atas aturan perjanjian
di Indonesia yang secara umum menggunakan
KUHPerdata dapat diterapkan, serta perjanjian
dalam e-commerce dapat diakui keabsahaanya.
Syarat sahnya suatu perjanjian yang tercantum
dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya
Terhadap syarat yang pertama ini maka segala
perjanjian haruslah merupakan suatu hasil
kesepakatan antara kedua belah pihak, dimana
sepakat itu dilakukan tanpa ada unsur pakasaan,
kekhilapan, dan penipuan (dwang, dwaling,
bedrog). Kata sepakat di dalam perjanjian pada
dasarnya adalah persesuaian kehendak antara para
pihak yang melakukan suatu perjanjian. Seseorang
dikatakan member kan persetujuannya dan
kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa
yang disepakati. Hal ini sesuai dengan asas
konsensualisme dalam suatu perjanjian bahwa
suatu kontrak yang telah dibuat maka telah sah dan
mengikat secara penuh bagi para pihak yang
membuatnya. perjanjian yang ada dalam transaksi
e-commerce muncul karena adanya kesadaran dari
para pihak untuk saling mengikatkan diri. Pihak
pembeli menyetujui atau menyepakati klausul
kontrak yang telah disediakan oleh penjual. apabila
dikaitkan dengan teori dalam perjanjian (Fuady
Muslim, Kajian Tentang Aspek Hukum Bisnis, Hal :10-24
13
1999), untuk menentukan kapan suatu kesepakatan
kehendak terjadi dapat digunakan sebagai suatu
patokan untuk menentukan keterikatan seseorang
pada perjanjian tertutup sehingga perjanjian
dianggap telah mulai berlaku, teori tersebut yaitu:
1. Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and
acceptance) Kesepakatan kehendak pada
prinsipnya baru terjadi setelah adanya penawaran
(offer) dari salah satu pihak yang kemudian diikuti
dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh
pihak lain dalam perjanjian tersebut.
2. Teori Pernyataan (verklarings theorie) Menurut
teori pernyataan, apabila ada kontroversi antara
apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan,
maka apa yang dinyatakan tersebutlah yang
berlaku, karena masyarakat pada umumnya
menghendaki bahwa apa yang dinyatakan dapat
dipegang. Berdasarkan teori ini, apa yang
dinyatakan oleh customer dengan cara mengisi
order form, maka itulah yang dianggap berlaku,
bukan lagi apa yang dikehendakinya. Demikian
juga dengan apa yang dinyatakan oleh merchant
yang berkaitan dengan persetujuan proses transaksi
yang berlaku itulah yang berlaku meskipun dalam
proses tersebut masih ada kemungkinan customer
memberikan data yang tidak benar, sedangkan
merchant melalui perangkat software yang
digunakan telah menyetujui transaksi tersebut.
3. Teori Konfirmasi, Teori ini menjelaskan bahwa
suatu kata sepakat telah ada atau dianggap telah
terjadi ketika pihak yang melakukan penawaran
mendapat jawaban atau konfirmasi jawaban dari
pihak yang menerima tawaran.(Subekti, 2002)
Jika dikaitkan dengan proses terjadinya, kontrak e-
commerce menurut Santiago Cavanilas dan A.
Martines Nadal yang dikutip (Sjahdeni,2001) maka
kesepakatan para pihak dapat terjadi melalui cara:
1. Kontrak melalui chatting dan video conference
merupakan alat komunikasi yang disediakan
internet yang biasa digunakan untuk dialog
interaktif secara langsung, kontrak melalui media
Selain itu dengan model ini khususnya video
conference maka dapat dibuktikan apakah para
pihak cakap untuk membuat suatu perikatan atau
tidak.
2. Kontrak melalui e-mail Kontrak melaui e-mail
dapat berupa kontrak e-mail murni, Dengan model
ini kesepakatan terjadi ketika seseorang yang
menerima e-mail penawaran mengirimkan e-mail
balasan bahwa ia menerima penawaran tersebut
.3. Kontrak melalui web (situs) Kontrak memalui
web biasanya kompleks, karena melibatkan pihak-
pihak di luar yang mengada kan kontrak. Pihak-
pihak yang terkait diantaranya adalah pihak-pihak
otentifikiasi (penyedia sertifikat digital),
Berdasarkan uraian tersebut maka pemenuhan
syarat kesepakatan para pihak dalam membuat
perjanjian atau kontrak dalam e-commerce dapat
dipenuhi, sehingga perjanjian tersebut dari sudut
pandang kesepakatan dianggap sah dan dan
mengikat para pihaknya.
b. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan
Perkembangan internet menyebabkan terben
tuknya suatu arena baru yang lazim disebut dengan
dunia maya (cyberspace), dimana setiap individu
mempunya hak dan kemampuan untuk
berhubungan dengan individu lain tanpa batasan
apapun yang menghalanginya. Sehingga dengan
adanya kebebasan untuk melakukan hubungan atau
melakukan sesuatu maka tidak menutup
aaddbbiiss JJuurrnnaall AAddmmiinniissttrraassii ddaann BBiissnniiss, Volume:10, Nomor:1, Juni 2016, ISSN 1978-726X
14
kemungkinan bahwa setiap individu juga
mempunyai kebebasan untuk mengadakan suatu
kesepakatan atau perjanjian dengan individu
lainnya. Demikian juga dalam e-commerce, setiap
orang pun berhak mengadakan suatu perikatan.
Untuk membuat suatu perjanjian diperlukan peme
nuhan terhadap syarat sahnya suatu perjanjian,
syarat yang kedua adalah kecakapan untuk
membuat suatu perikatan. Pada dasarnya, setiap
orang yang telah dewasa atau akilbaliq dan sehat
pikirannnya adalah cakap untuk membuat
perikatan, dimana hal ini disebutkan dalam Pasal
1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) yaitu: “Setiap orang adalah cakap
untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh
undang-undang tidak dinyatakan tak cakap” Syarat
atau tolok ukur untuk menentukan cakap tidaknya
seseorang untuk mengadakan suatu perjanjian
dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu
mereka yang tidak cakap dalam melakukan
perjanjian adalah : 1. Orang-orang yang belum
dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah
pengampuan 3. Orang-orang perempuan (yang
kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
No. 3/1963) Syarat seseorang dikatakan belum
dewasa menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah
belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak
lebih dahulu telah kawin atau menikah.
Pasal 1320 KUHPerdata tidak dapat terpenuhi
dalam kontrak e-commerce, hal ini dikarenakan
Pasal 1320 yang mengatur mengenai syarat sahnya
perjanjian mempunyai sifat memaksa sehingga
tidak dapat dikesampingkan meskipun Buku III
KUHPerdata mempunyai sifat aanvulend recht
atau hanya sebagai pelengkap saja. Meskipun
syarat kedewasaan menurut KUHPerdata tidak
dapat terpenuhi dalam kontrak e-commerce, hal ini
tidak menyebabkan kontrak tersebut menjadi tidak
sah, tetapi hanya memberikan akibat terhadap
perjanjian atau kontrak tersebut dapat dimintakan
pembatalan oleh salah satu pihak, dikarenakan
kecakapan untuk membuat suatu perikatan
termasuk ke dalam syarat subyektif, sehingga
berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik
disimpulkan bahwa kontrak dalam perdagangan
melalui internet (e-commerce) tetap sah sehingga
mengikat dan menjadi undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya sepanjang para pihak
tersebut tidak mempermasalahkan mengenai tidak
terpenuhinya salah satu syarat sahnya perjanjian
menurut pasal 1320 KUHPerdata serta para pihak
tetap melaksanakan perjanjian yang telah
dibuatnya.
c. Suatu Hal Tertentu, Suatu hal tertentu
berhubungan dengan objek perjanjian, maksudnya
bahwa objek perjanjian itu harus jelas, dapat
ditentukan dan diperhitungkan jenis dan
jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang
serta mungkin untuk dilakukan para pihak.
Transaksi dalam e-commerce meskipun berbeda
dengan transaksi konvensional yang mengandalkan
suatu wujud yang nyata yang bisa disentuh, adanya
distribusi fisik dan terdapat tempat transaksi pada
dasarnya tidaklah berbeda sangat jauh.
Dalam e-commerce juga terjadi hal tersebut tetapi
produk yang akan diperjualbelikan tidak nampak
secara fisik tetapi berupa informasi mengenai
produk tersebut, selain itu dalam e-commerce
terjadi suatu pendistribusian bahasa atau kode-
Muslim, Kajian Tentang Aspek Hukum Bisnis, Hal :10-24
15
kode instruksi yang pada akhirnya akan
memunculkan suatu informasi atas produk yang
akan ditawarakan dan bagaimana cara untuk
melakukan transaksi. Sehingga keduanya
mempunyai persamaan bahwa untuk syarat sahnya
perjanjian atatu kontrak yang ditimbulkan dari
kegiatan e-commerce haruslah memenuhi syarat
adanya suatu hal tertentu sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, sehingga apa yang
diperjanjikan harus mempunyai barang beserta
jumlah maupun jenisnya sebagi pokok dari
perjanjian yang telah dibuat. Suatu hal tertentu
dalam perjanjian adalah obyek prestasi perjanjian.
Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling
sedikit dapat ditentukan, sehingga berdasar definisi
tersebut maka, suatu kontrak e-commerce haruslah
menyebutkan mengenai obyek dari kontrak
tersebut baik Setelah melakukan penelitian
terhadap webstore diketahui bahwa dalam
webstore tersebut menawarkan berbagai macam
produk, dimana produk yang ditawarkan
diantaranya yaitu buku, barang elektronik,
software, serta ada juga yang menawarkan jasa
dibidang pembuatan suatu webstore. Selain
menampil kan produk tersebut dalam bentuk
gambar, juga ada deskripsi penjelasan terhadap
produk yang ditawarkan mengenai informasi,
spesifikasi, harga dari produk tersebut.
Sesuatu hal tertentu dalam hal ini yaitu adanya
suatu benda yang dijadikan obyek dalam suatu
perjanjian, jika dihubungkan dengan apa yang ada
dalam e-commerce yang menyediakan berbagai
macam benda atau produk yang ditawarkan dan
costomer bebas memilih terhadap salah satu atau
beberapa jenis benda atau produk yang
dinginkannya, berdasar hasil penelitian ditemukan
bahwa setelah customer melakukan pemilihan
produk, diakhir proses transaksi merchant akan
menampilkan informasi mengenai barang beserta
harganya atas apa yang dipilih apakah benar atau
tidak, sehingga apa yang dipilih customer menjadi
obyek dalam perjanjian tersebut. Berdasar uraian
tersebut maka di dalam e-commerce juga ada suatu
hal tertentu yang menjadi obyek dalam perjanjian
atau kontrak sebagaimana yang disyaratkan dalam
Pasal 1320 jo 1333 KUHPerdata terhadap
perjanjian pada umumnya.
d. Suatu Sebab yang Halal, Keberadaan klausul
kontrak dalam perjanjian e-commerce secara
langsung dapat menjadi suatu bukti bahwa
perjanjian atau kontrak tersebut tidaklah berbeda
dengan kontrak atau perjanjian pada umumnya.
Demikian juga halnya dengan adanya syarat
keabsahan suatu perjanjian dalam perjanjian atau
kontrak e-commerce. Perjanjian atau kontrak
dalam e-commerce yang disodorkan oleh merchant
haruslah memenuhi syarat suatu sebab yang halal
agar sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata,
sehingga ketika costumer yang akan melakukan
kesepakatan dapat membaca dan memahami isi
dari kontrak atau perjanjian tersebut apakah benar
dan tidak menyimpang dari kaedah yang ada atau
tidak. Suatu sebab yang halal, berarti perjanjian
termaksud harus dilakukan berdasarkan itikad baik
dari pihak merchant terhadap barang yang
diperjanjikan tidak bertentangan atau tidak
menyimpang dari kaedah-kaedah yang ada.
Pasal 1335 KUHPerdata yang berbunyi: “Suatu
perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat
aaddbbiiss JJuurrnnaall AAddmmiinniissttrraassii ddaann BBiissnniiss, Volume:10, Nomor:1, Juni 2016, ISSN 1978-726X
16
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang,
tidak mempunyai kekuatan”
Sebab dalam hal ini adalah tujuan dibuatnya
sebuah perjanjian. Tujuan dari perjanjian berarti isi
perjanjian itu sendiri yang dibuat oleh kedua belah
pihak, sedangkan isi perjanjian adalah yang
dinyatakan tegas oleh kedua belah pihak mengenai
hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari
hubungan hukum (perjanjian) yang dibuat oleh
kedua belah pihak tersebut. Kemudian
ditambahkan dalam Pasal 1336 KUHPerdata yang
berbunyi: “jika tidak dinyatakan sesuatu sebab,
tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun jika
suatu sebab yang lain, daripada yang dinyatakan
persetujuan namun demikian adalah sah”.
Pasal 1336 KUHPerdata menegaskan bahwa
adanya kausa itu menunjukkan adanya kejadian
yang menyebabkan terjadinya suatu utang, begitu
pula walaupun tidak dinyatakan suatu sebab, maka
perjanjian itu adalah sah. Sebab yang halal adalah
mutlak untuk dipenuhi dalam mengadakan suatu
perjanjian, pembuatan perjanjian tersebut haruslah
didasari dengan itikad baik untuk mengadakan
suatu pejanjian atau kontrak, dalam Pasal 1337
KUHPerdata disebutkan bahwa:“suatu sebab
adalah terlarang apabila dilarang oleh
undangundang, atau bertentangan dengan
kesusilaan baik, atau ketertiban umum”. Penjelasan
dari suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang dalam hukum positif adalah jika dalam
undang-undang tidak memperbolehkan adanya
perbuatan itu dan apabila dilanggar maka
perbuatan itu akan mendapatkan sanksi yang tegas,
sebagai contoh adalah tindak kejahatan seperti
jual-beli narkoba, jual-beli barang curian, dan lain
sebagainya. Kesusilaan merupakan norma yang
hidup dalam lingkungan masyarakat. Norma
termasuk hukum tidak tertulis yang didalamnya
berisi perbuatan-perbuatan yang patut dilakukan
dan perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Sehingga segala perjanjian atau kontrak yang
dibuat haruslah memenuhi norma kesusilaan,
pelanggaran atas norma ini adalah sanksi sosial
dari masyarakat mengingat kesusilaan adalah
hukum tidak tertulis dalam kehidupan masyarakat.
(Shohib,2016)
2. Pemenuhan Terhadap Asas-Asas Hukum
Perjanjian, Kontrak dalam e-commerce jika
ditinjau dengan Hukum Perjanjian di Indonesia
yang bersumber pada KUHPerdata adalah sah
karena telah memenuhi syarat yang diharuskan
baik syarat obyektif maupun syarat subyektif,
maka sebagaimana halnya kontrak pada umumnya
(konvensional) kontrak dalam e-commerce secara
tidak langsung haruslah memenuhi berbagai asas-
asas kontrak dalam KUH Perdata. Pemenuhan
tersebut dapat dilihat dalam penjelasan sebagai
berikut: a. Asas Kebebasan Berkontrak Hukum
Perdata yang berlaku di Indonesia mengakui
adanya kebebasan berkontrak, hal ini dapat
disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua
kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Sumber dari kebebasan berkontrak
adalah kebebasan individu, sehingga yang
merupakan titik tolaknya adalah kepentingan
individu pula. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya
kebebasan untuk berkontrak.
Muslim, Kajian Tentang Aspek Hukum Bisnis, Hal :10-24
17
Kontrak yang terjadi dalam e-commerce
merupakan suatu bentuk kesepakatan antara kedua
belah pihak terhadap suatu perjanjian yang telah
ada, dimana kesepakatan terhadap kontrak tersebut
menimbulkan keterikatan antar para pihaknya yang
dalam hal ini antara merchant dan customer.
Sehingga dengan hal tersebut, maka asas
kebebasan berkontrak sangat tampak dalam
kontrak e-commerce.
Kontrak dalam e-commerce merupakan suatu hasil
dari kesepakatan antara para pihak yang terlibat
didalamnya, meskipun dalam kenyataannya
kontrak tersebut bukanlah merupakan hasil
negosiasi yang berimbang antara kedua belah
pihak, namun suatu bentuk kontrak yang dapat
dikategorikan sebagai kontrak baku dimana
kontrak telah ada sebelum ada suatu kesepakatan,
yang mana pihak salah satu pihak menyodorkan
kepada pihak yang lainnya yang kemudian pihak
yang lain cukup menyetujui kontrak tersebut,
sehingga berlakunya asas konsensualisme menurut
hukum perjianjian Indonesia meman tapkan
adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat
dari salah satu pihak yang membuat perjanjian.
Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat
dibatalkan. Seseorang tidak dapat dipaksa untuk
memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan
dengan paksa adalah Contradictio interminis.
Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya
sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain
adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu
untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang
dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada
perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan
tidak terlaksana (take it or leave it). Asas
kebebasan berkontrak (contractvrijheid)
berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu
kebebasan menen tukan “apa” dan “dengan siapa”
perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat
sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini
mempunyai kekuatan mengikat, sehingga dengan
adanya asas kebebasan berkontrak serta sifat
terbuka dari Buku III KUHPerdata, maka para
pihak dalam e-commerce bebas untuk menentukan
isi dari kontrak yang disepakati yang pada
akhirnya akan mengikat bagi kedua belah pihak.
b. Asas Konsensualisme (persesuaian kehendak)
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan
Pasal 1338 Kitab Hukum Undang-Undang Hukum
Perdata, dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan
istilah “semua” yang menunjukan bahwa setiap
orang diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk
menciptakan perjanjian. Konsensual artinya
perjanjian itu terjadi atau ada sejak terjadinya kata
sepakat antara para pihak, dapat diartikan bahwa
perjanjian tersebut sah dan mempunyai akibat
hukum sejak terjadinya kesepakatan antara para
pihak mengenai isi dari perjanjian yang
dimaksudkan. Pasal 1320 KUHPerdata
menyebutkan kata sepakat merupakan salah satu
syarat sahnya suatu perjanjian, sehingga antara
para pihak haruslah sepakat melakukan suatu
perjanjian.
Kesepakatan dalam suatu perjanjian akan
menimbulkan adanya akibat hukum berupa hak
dan kewajiban antara para pihak, kata sepakat ini
dapat terjadi secara lisan saja, sehingga dapat
disimpulkan bahwa dengan kesepakatan secara
lisan maka perbuatan tersebut diakui oleh
aaddbbiiss JJuurrnnaall AAddmmiinniissttrraassii ddaann BBiissnniiss, Volume:10, Nomor:1, Juni 2016, ISSN 1978-726X
18
KUHPerdata dan dapat dituangkan dalam bentuk
tulisan baik berupa akta atau perjanjian tertulis
sesuai yang dikehendaki oleh para pihak yang
dapat dijadikan sebagai alat bukti.
Dalam e-commerce kontrak yang terjadi
antara merchant dengan customer bukan hanya
sekedar kontrak yang diucapkan secara lisan,
namun suatu kontrak yang tertulis, dimana kontrak
tertulis dalam e-commerce tidak seperti kontrak
konvensioanal yang menggunakan kertas,
melainkan suatu bentuk tertulis yang menggunakan
data digital atau digital message atau kontrak
paperless, yang mana kehendak untuk
mengikatkan diri dari para pihak ditimbulkan
karena adanya persamaan kehendak, kontrak dalam
e-commerce terjadi ketika merchant menyodor kan
form yang berisi mengenai kontrak dan customer
melakukan persetujuan terhadap isi kontrak
tersebut dengan memberikan check atau menekan
tombol accept sebagai tanda persetujuan. Sehingga
hal tersebut menunjuk kan adanya persamaan
kehendak antara merchant dengan customer.
e. Asas Kekuatan Mengikat (Asas Pucta Sunt
Servanda) Terikatnya para pihak pada perjanjian
itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang
diperjanjikan, akan tetapi juga beberapa unsur lain
sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan
kepatutan serta moral. Asas Kekuatan Mengikat
(Asas Pucta Sunt Servanda) dapat ditemukan di
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu:
“setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Isi pasal tersebut dapat menjelaskan
bahwa perjanjian yang dibuat mengikat para pihak
yang membuat perjanjian saja bukan pihak lain
yang tidak terkait dalam perjanjian tersebut,
dengan adanya perjanjian yang telah disepakati
maka tidak ada alasan para pihak untuk tidak
melakukan prestasi. Jika salah satu pihak atau
kedua belah pihak tidak melakukan kewajibannya,
maka dapat menimbulkan kerugian di pihak lain
dan hal tersebut disebut wanprestasi. Pihak yang
dirugikan dalam wanprestasi dapat menuntut ganti
kerugian atas tidak terlaksana prestasi. Kontrak e-
commerce terjadi karena adanya kesepakatan
antara merchant dengan customer mengenai apa
yang disepakati, yang berarti bahwakesepakatan
tersebut akan menimbulkan kewajiban hukum
yang tidak bisa dielakkan oleh para pihak.
Kewajiban tersebut mengikat para pihak untuk
melakukan prestasinya, dengan adanya kontrak
yang telah disepakati oleh pihak customer dengan
pihak merchant maka kontrak tersebut mengikat
bagi kedua belah pihak, dan berlaku sebagai
undang-undang bagi keduanya.
f. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur
hukum harus mengandung hukum. Kepastian ini
terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu
yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
Kepastian hukum merupakan konsekuensi dari
adanya asas yang lain. Adanya asas Pucta Sunt
Servanda dimana akan menciptakan kekuatan
mengikat antara pihak yang melakukan perjanjian
yang melakukan perbuatan hukum berdasarkan
atas KUHPerdata, maka perjanjian yang mereka
buat akan menjadi undang-undang bagi kedua
belah pihak. Mengenai masalah kepastian hukum,
pihak Merchant telah menegaskan pada Your User
Agreement bagian Resolution of Disputes bahwa
untuk penyelesaian apabila terjadi sengketa di
Muslim, Kajian Tentang Aspek Hukum Bisnis, Hal :10-24
19
kemudian hari dapat ditempuh dengan cara yaitu,
Pertama, Law and Forum for Disputes, dimana jika
mengguna kan cara ini maka penyelesaian
sengketa menggunakan hukum negara bagian
Califor nia, Amerika Serikat. Kedua, Arbitration
Option, jika dengan pilihan ini maka penyelesaian
sengketa menggunakan jalur arbitrase (alternative
dispute resolution), dengan adanya pilihan hukum
ini tentu saja memberikan kepastian hukum
terhadap para pihak dalam e-commerce
g. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki
kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian yaitu melaksanakan kewajiban
masingmasing untuk memperoleh hak sebagai
konsekuensinya. Pihak pertama akan melakukan
prestasi untuk pihak kedua, dan pihak pertama
akan mendapatkan hak dari pihak kedua, demikian
sebaliknya. Dalam e-commerce pihak customer
diharuskan memenuhi persyaratan yang
disyaratkan oleh pihak merchant, ketika hal
tersebut telah dilaksankan maka pihak merchant
pun akan melaksanakan kewajibannya melayani
keinginan customer sepanjang sesuai dengan apa
yang disyaratkan, hal ini tentu saja menunjukan
adanya keseimbangan.
2.1.Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Dalam Transaksi E-Commerce
Konsumen dalam transaksi e-commerce
memiliki resiko yang lebih besar daripada penjual
atau merchant-nya. Atau dengan kata lain hak-hak
konsumen dalam transaksi e-commerce lebih
rentan untuk dilanggar. Hal ini disebabkan karena
karakteristik dari transaksi e-commerce itu sendiri,
yakni dalam transaksi e-commerce tidak terjadi
pertemuan secara fisik antara konsumen dengan
penjualnya yang kemudian dapat menimbulkan
berbagai permasalahan.
Berikut akan dijelaskankan berbagai permasa lahan
yang penting seputar transaksi e-commerce dan
pengaturan permasalahannya. Permasalahan
tersebut sebagai berikut (Onno,2000).
1. Privasi
Pengertian privasi tidak sama dengan kerahasiaan
(Confidentiality), privasi merupakan konsep yang
lebih luas dari sekedar kerahasiaan yang meliputi
hak untuk bebas dari gangguan, hak untuk tetap
mandiri, hak untuk dibiarkan sendiri, hak untuk
mengontrol peredaran dari informasi tentang
seseorang dan dalam hal apa saja informasi
tersebut harus diperoleh dan digunakan. Pada
umumnya ada tiga aspek dari privasi, yaitu privasi
mengenai pribadi seseorang, privasi dari data
seseorang dan privasi atas komunikasi seseorang.
Permasalahan yang muncul dalam transaksi e-
commerce adalah pelanggaran terhadap privasi dari
data tentang seseorang atau dengan kata lain
disebut data pribadi, pelanggaran ini biasanya
dalam bentuk penyalahgunaan informasi-informasi
yang dikumpulkan atas anggota-anggota suatu
organisasi/lembaga atau atas pelanggan-pelanggan
dari suatu perusahaan.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UUITE) sudah memberikan
perlindungan terhadap data pribadi seseorang, hal
ini diatur dalam pasal 26 disebutkan bahwa:
1 Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan
Perundang-undangan, penggunaan setiap
informasi melalui media elektronik yang
menyangkut data pribadi seseorang harus
aaddbbiiss JJuurrnnaall AAddmmiinniissttrraassii ddaann BBiissnniiss, Volume:10, Nomor:1, Juni 2016, ISSN 1978-726X
20
dilakukan atas persetujuan Orang yang
bersangkutan.
2 Setiap Orang yang dilanggar haknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengajukan gugatan atas kerugian yang
ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
Cakupan dari pengertian data pribadi yang
dianut oleh Pasal 26 ayat 1 dapat ditemui
dalam penjelasannya, yakni:
a. Hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan
bebas dari segala macam gangguan.
b.Hak untuk berkomunkasi dengan orang lain
tanpa tindakan memata-matai.
c. Hak untuk mengawasi akses informasi tentang
kehidupan pribadi dan data seseorang.
Perlindungan hukum terhadap data pribadi
oleh Pasal 26 UUITE sudah cukup memadai,
selain karena cakupan pengertian data pribadi
yang dianut cukup luas, juga memberikan hak
mengajukan gugatan kepada orang yang
dirugikan atas penggunaan data pribadi orang
yang bersangkutan (UU ITE Pasal 26 ayat 2).
2. Otensitas Subyek Hukum Otensitas sama artinya
dengan autentik, autentik menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia artinya dapat
dipercaya, asli atau sah. Masalah otensitas para
subyek hukum dalam transaksi e-commerce
sangat penting karena menyangkut keabsahan
perjanjian yang dibuat melalui e-commerce.
Pasal 1 angka 11 lembaga independen
yang dibentuk oleh profesional yang diakui,
disahkan dan diawasi oleh pemerintah dengan
kewenangan mengaudit dan mengeluarkan
sertifikat keandalan dalam transaksi elektronik.
Salah satu tugas CA adalah melakukan verifikasi,
pemeriksaan dan pembuktian identitas pengguna
dan pelanggan atau dengan kata lain CA bertugas
untuk memastikan dan menjamin kebenaran
keberadaan pengguna dan pelanggan sehingga
terjamin otentisitasnya. Yang dimaksud dengan
pengguna dan pelanggan adalah para pihak yang
terlibat dalam transaksi e-commerce.
Transaksi jual beli secara elektronik
merupakan hubungan hukum yang dilakukan
dengan memadukan jaringan (network) dari sistem
yang informasi berbasis computer dengan sistem
komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa
tekomunikasi. Hubungan hukum yang terjadi
dalam transaksi jual beli secara elektronik tidak
hanya terjadi antara pengusaha dengan konsumen
saja, tetapi juga terjadi pada pihak-pihak dibawah
ini:
1. Business to business, merupakan transaksi yang
terjadi antar perusahaan dalam hal ini, baik
pembeli maupun penjual adalah sebuah
perusahaan dan bukan perorangan. Biasanya
transaksi ini dilakukan karena mereka telah
saling mengetahui satu sama lain dan transaksi
jual beli tersebut dilakukan untuk menjalin
kerja sama antara perusahaan itu.
2. Costumer to costumer, merupakan transaksi jual
beli yang terjadi antar individu dengan
individu yang akan saling menjual barang.
3. Custumer to business, merupakan transaksi jual
beli yang terjadi antar individu sebagai penjual
dengan sebuah perusahaan sebagai
pembelinya.
4. Consumer To Consumer (C2C),
merupakan transaksi dimana konsumen menjual
produk secara langsung kepada konsumen lainnya.
Muslim, Kajian Tentang Aspek Hukum Bisnis, Hal :10-24
21
Dan juga seorang individu yang mengiklankan
produk barang atau jasa, pengetahuan, maupun
keahliannya disalah satu situs lelang.
5. Costumer to goverment, merupakan
transaksi jual beli yang dilakukan antar individu
dengan pemerintah, misalnya, dalam pembayaran
pajak.(Yahya,1986).
Dengan demikian, pihak-pihak yang dapat
terlibat dalam satu transaksi jual beli secara
elektronik, tidak hanya antara individu dengan
individu tetapi juga dengan sebuah perusahaan,
perusahaan dengan perusahaan atau bahkan antara
individu dengan pemerintah, dengan syarat bahwa
para pihak termasuk secara perdata telah
memenuhi persyaratan untuk dapat melakukan
suatu perbuatan hukum dalam hal ini hubungan
hukum jual beli.
Pada dasarnya proses transaksi jual beli
secara elektronik tidak jauh berbeda dengan jual
beli biasa, sebagai berikut:
1. Penawaran, yang dilakukan oleh penjual
atau pelaku usaha melalui webs ite pada Internet.
Penjual atau pelaku usaha menyediakanstrorefront
yang berisi catalog produk dan pelayanan yang
akan diberikan. Masyarakat yang memasuki
website pelaku usaha tersebut dapat melihat barang
yang ditawarkan oleh penjual. Salah satu
keuntungan jual beli melalui took online ini adalah
bahwa pembeli dapat berbelanja kapan saja dan
dimana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Penawaran dalam sebuahwebsite biasanya
menampikan barang-barang yang ditawarkan,
harga, nilairating ataupoll otomatis tentang barang
yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi
barang termasuk menu produk lain yang
berhubungan. Penawaran melalui Internet terjadi
apabila pihak lain yang mengunakan media
Internet memasuki situs milik penjual atau pelaku
usaha yang melakukan penawaran, oleh karena itu
apabila seseorang tidak menggunakan media
Internet dan memasuki situs milik pelaku usaha
yang menawarkan sebuah produk maka tidak dapat
dikatakan ada penawaran. Dengan demikian,
penawaran melalui media Internet hanya dapat
terjadi apabila seseorang membuka situs yang
menampikan sebuah tawaran melalui internet
tersebut.
2. Penerimaan, dapat dilakukan tergantung
penawaran yang terjadi. Apabila penawaran
dilakukan melalui e-mail address, maka penerima
dilakukan melaluie-m ail, karena penawaran hanya
ditujukan sebuahe-m ail tersebut yang ditujukan
untuk seluruh rakyat yang membukawebsite yang
berisikan penawaran atas suatu barang yang
ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha. Setiap
orang yang berminat untuk membeli barang yang
ditawarkan itu dapat membuat kesepakatan dengan
penjual atau pelaku usaha yang menawarkan
barang tersebut. Pada transaksi jual beli secara
elektronik khususnya melalui website, biasanya
calon pembeli akan memilih barang tertentu yang
ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha dan jika
calon pembeli atau konsumen itu tertarik untuk
membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka
barang itu akan disimpan terlebih dahulu sampai
calon pembeli/konsumen merasa yakin akan
pilihannya, selanjutnya pembeli/konsumen akan
memasuki tahap pembayaran.
3. Pembayaran dapat dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui
aaddbbiiss JJuurrnnaall AAddmmiinniissttrraassii ddaann BBiissnniiss, Volume:10, Nomor:1, Juni 2016, ISSN 1978-726X
22
fasilitas Internet namun tetap bertumpu pada
sistem keuangan nasional, yang mengacu pada
sistem keuangan lokal. Klasifikasi cara
pembayaran adalah sebagai berikut:
a. Transaksi model ATM, sebagai
transaksi yang hanya melibatkan intitusi finansial
dan pemegang account yang akan melakukan
pengambilan atau deposit uangnya dari account
masing-masing.
b. Pembayaran dua pihak tanpa perantara,
yang dapat dilakukan langsung antar kedua pihak
tanpa perantaraan mengunakan uang nasionalnya.
c. Pembayaran dengan perantaraan pihak
ketiga, umumnya merupakan proses pembayaran
yang menyangkut debet, kredit ataupun cek masuk.
Metode pembayaran yang dapat digunakan antara
lain: sistem pembayaran melalui kartu kreditonline
serta sistem pembayaran check in line. Apabila
kedudukan penjual dengan pembeli berbeda, maka
pembayaran dapat dilakukan melalui cash account
to account atau pengalihan dari rekening pembeli
pada rekening penjual.(Mariam,1983).
Berdasarkan kemajuan teknologi,
pembayaran dapat dilakukan melalui kartu kredit
pada formulir yang disediakan oleh penjual dalam
penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual
beli secara elektronik ini sulit untuk dilakukan
secara langsung, karena adanya perbedaan lokasi
antar penjual dengan pembeli, dimungkinkan untuk
dilakukan.
4. Pengiriman, merupakan suatu proses
yang dilakukan setelah pembayaran atas barang
yang telah ditawarkan oleh penjual kepada
pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas
penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya
barang yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan
oleh penjual kepada pembeli dengan biaya
pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antar
penjual dan pembeli. Berdasarkan proses transaksi
secara elektronik yang telah diuraikan di atas yang
telah menggambarkan bahwa ternyata jual beli
tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional,
dimana antara penjual dengan pembeli saling
bertemu secara lansung, namun dapat juga hanya
melalui media Internet, sehingga orang yang saling
berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda
tetap dapat melakukan transaksi jual beli tanpa
harus bersusah payah untuk saling bertemu secara
langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan
efisiensi waktu serta biaya baik bagi pihak penjual
maupun pembeli.
Pasal 15 Undang-Undang Informasi dan
Transaksi elektronik (UUITE) menjelaskan bahwa
sistem penyelenggaraan informasi dan transaksi
elektronik harus dilakukan secara aman, andal dan
dapat beroperasi sebagaimana mestinya.
penyelenggaraan sistem elektronik bertanggung
jawab atas sistem yang diselenggarakannya. Pasal
16 UUITE menjelaskan bahwa sepanjang tidak
ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri,
setiap penyelenggaraan system elektronik wajib
mengoperasikan sistem elektronik secara
minimum, yang harus dapat dilakukan oleh
penyelenggara sistem elektronik adalah:
1. Dapat menampilkan kembali informasi
elektronik yang berkaitan dengan penyelenggaraan
sistem elektronik yang telah berlangsung;
2. Dapat melindungi otentifikasi,
integritas, rahasia, ketersediaan, dan akses dari
Muslim, Kajian Tentang Aspek Hukum Bisnis, Hal :10-24
23
informasi elektronik dalam penyelenggaraan
sistem elektronik tersebut;
3. Dapat beroperasi sesuai dengan
prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan
sistem elektronik tersebut;
4. Dilengkapi dengan prosedur atau
petunjuk dengan bahasa, informasi, atau simbol
yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan penyelenggaraan sistem elektronik
tersebut; dan
5. Memiliki fitur untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan pertanggungjawaban prosedur atau
petunjuk tersebut secara berkelanjutan
(Halim,2005).
Dalam Pasal 9 UUITE dijelaskan bahwa
pelaku usaha yang menawarkan produk melalui
sistem elekronik harus menyediakan informasi
yang dilengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
Dalam Pasal 10 ayat (1) UUITE dijelaskan bahwa
setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan
Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh
lembaga Sertifikasi keandalan. Dalam Pasal 10
ayat (2) UUITE menyebutkan “ketentuan
mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi
keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan pemerintah. Terkait
dengan tanggung jawab seseorang mengenai tanda
tangan elektronik maka dalam Pasal 12 ayat (1)
UU ITE disebutkan bahwa “setiap orang yang
terlibat dalam tanda tangan elektronik
berkewajiban memberikan pengamanan atas tanda
tangan elektronik yang digunakannya”.
Pasal 12 ayat (3) UUITE juga menjelaskan
bahwa “setiap orang yang melakukan pelanggaran
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bertanggung jawab atas segala kerugian dan
konsekuensi hukum yang timbul. Artinya setiap
orang bertanggung jawab atas segala kerugian
yang timbul akibat pelanggaran yang dilakukan
terhadap pemberian pengamanan atas tanda tangan
elektronik tersebut.
3. Simpulan dan Saran
3.1.Simpulan
Berdasarkan paran diatas, dapat
disimpulkan:
1. Kontrak dalam perdagangan melalui internet (e-
commerce) belum diatur di dalam Buku III
KUHPerdata, pengaturan terhadap kontrak
perjanjian dala e-commerce dapat digunakan
aturan yang berlaku secara umum. Syarat
kecakapan termasuk dalam syarat subyektif
dimana suatu syarat meskipun tidak terpenuhi
dalam perjanjian tidak menyebabkan perjanjian
atau kontrak menjadi tidak sah, namun perjanjian
atau kontrak tersebut dapat dimintakan
pembatalan. Selain itu kontrak dalam e-commerce
juga telah memenuhi asas-asas dalam perjanjian
sehingga dengan adanya pemenuhan terhadap
syarat sahnya perjanjian menurut KUHPerdata dan
asas-asas perjanjian maka Kontrak dalam e-
commerce adalah sah dan dapat dikenakan aturan
KUHPerdata sebagai pengaturnya.
2. Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) dan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UUITE) telah mampu
memberikan perlindungan hukum yang memadai
bagi konsumen dalam melakukan transaksi melalui
e-commerce, perlindungan hukum tersebut terlihat
aaddbbiiss JJuurrnnaall AAddmmiinniissttrraassii ddaann BBiissnniiss, Volume:10, Nomor:1, Juni 2016, ISSN 1978-726X
24
dalam ketentuan-ketentuan UUPK dan UUITE
dimana kedua peraturan tersebut telah mengatur
mengenai penggunaan data pribadi konsumen,
syarat sahnya suatu transaksi e-commerce,
penggunaan CA (Certification Authority), dan
mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha dalam memasarkan dan
memproduksi barang dan jasa yang dapat dijadikan
acuan bagi obyek dalam transaksi e-commerce.
Walaupun UUPK memiliki kelemahan yaitu hanya
menjangkau pelaku usaha yang berkedudukan di
Indonesia saja, namun kelemahan ini sudah
ditutupi oleh UUITE dan berbagai ketentuan
perundang-undangan lainnya.
3.2. Saran
Saran yang dapat disampaikan adalah:
1. Lembaga yang berwenang membentuk undang-
undang hendaknya memperhatikan kebiasaan yang
terjadi pada kontrak dalam dunia maya, yaitu
mengenai batas umur kedewasaan untuk dapat
melakukan transaksi bisnis dalam ecommerce.
2. Pelaku usaha atau merchant perlu meningkatan
keamanan webstore yang dimiliki termasuk juga
keamanan terhadap jaringan internet yang
digunakan sebagai antisipasi terhadap
meningkatnya transaksi e-commerce serta terhadap
ancaman kejahatan yang mengancam e-commerce
itu sendiri.
3. Konsumen diharapkan berhati-hati dalam
melakukan transaksi dalam e-commerce serta
memeperhatikan keamanan yang kelak dapat
dijadikan sebagai alat bukti.
4. Daftar Rujukan
Muhammad Abdulkadir. 1986. Hukum Perjanjian.
Penerbit Alumni. Bandung.
Abdul Halim Barakatullah dan Teguh Prasetyo,
2005, Bisnis E- Commerce Studi Sistem
Keamanan Dan Sistem Hukum di Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum
Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung.
Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Hukum
Perdata Buku III dengan Penjelasan,
Penerbit Alumni, Bandung.
Sutan Remy Sjahdeini 2001, Kompilasi Hukum
Perikatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Munir Fuady, 1999, Hukum Kontrak Dari Sudut
Hukum Bisnis, PTCitra Aditya Bakti,
Bandung
Onno W. Purbo, 2000, Mengenal E-Commerce, PT
Elek Media Komputindo, Jakarta.
Rowzkoski. M.E. 1989. Busines Law, Case and
Policy. Edisi II. Illnois:Scott Foresman and
Company
Subekti. 2002. Pokok-Pokok Hukum Perdata.
Intermasa, Jakarta.
Shohib. Muslim. 2016. Aspek Hukum Dalam
Bisnis. Aditya Media Publishing;Malang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetbook).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik.
.