kajian tasawuf al-harits ibn asad al-muhasibi studi...
TRANSCRIPT
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 41
3
KAJIAN TASAWUF
AL-HARITS IBN ASAD AL-MUHASIBI
STUDI KITAB AL-RI`AYAH LI HUQUQ ALLAH
Abdul Moqsith
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Di lingkungan umat Islam, nama al-Muhasibi tidak
cukup masyhur. Popularitasnya kalah dengan para
yuniornya seperti al-Ghazali, Junaid al-Bagdadi, Abi al-
Hasan al-Syadzili, dan Abdul Qadir al-Jilani. Bahkan,
tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi sudah
menjadi madzhab tasawuf resmi organisasi keulamaan
seperti Nahdlatul Ulama. Sementara al-Syadzili dan al-
Jilani cukup terkenal di dunia tarekat terutama di
kalangan para pengikut tarekat Syadziliyah dan tarekat
Qadiriyah.
Namun, di kalangan para pengkaji tasawuf, nama al-
Muhasibi bukan nama asing. Buku-buku al-Muhasibi
bahkan telah lama menjadi rujukan utama para sufi
seperti al-Ghazali. Dengan terus-terang dalam al-Munqid
min al-Dhalal Imam al-Ghazali mengakui
keterpengaruhannya pada al-Muhasibi. Sedangkan
Junaid al-Baghdadi adalah murid langsung dari al-
Muhasibi. Junaid pun mengakui bahwa pilihan hidup
dan kesukannya pada tasawuf sangat dipengaruhi al-
Muhasibi. Begitu juga dengan sufi-sufi lain yang banyak
mengutip tasawuf al-Muhasibi seperti al-Qusyairi, al-
Sarraj, al-Hujwiri, dan lain-lain.
Perujukan pada tasawuf al-Muhasibi tersebut bisa
dimaklumi karena al-Muhasibi merupakan salah satu
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
42 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
ulama yang meletakkan dasar-dasar tasawuf. Ia tak
hanya mendidik para murid melainkan juga menulis
buku. Di antara karyanya yang cukup monumental
adalah al-Ri`ayah li huquq Allah,1 dan al-Washaya.2 Namun,
al-Ri`ayah li Huquq Allah merupakan karya al-Muhasibi
yang paling banyak dirujuk para ulama sufi pasca al-
Muhasibi. Karena itu, membedah kitab tersebut adalah
cukup penting. Namun, sebelum artikel ini menelaah
kitab tersebut, penting kiranya dikemukakan biografi
sosial intelektual al-Muhasibi. Sebab, dengan cara itu
akan diketahui bagaimana pola pembentukan tasawuf al-
Muhasibi, bagaimana konteks sosial yang ikut
mempengaruhi tasawuf al-Muhasibi.
Biografi Singkat Al-Harits ibn Asad al-Muhsibi
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Harits ibn
Asad al-Muhsibi al-Bashri. Ia dilahirkan di Bashrah, Iraq.
Tentang tahun kelahirannya, Abdul Halim Mahmud tidak bisa
memastikan. Buku-buku sejarah yang mengupas tentang
riwayat hidupnya tidak menyebutkan tahun kelahirannya.
Mereka hanya memperkirakan bahwa al-Muhsibi lahir pada
tahun 165 H. dan wafat tahun 243 H.3
1 Bedakan dengan kitab dengan judul yang hampir mirip, yaitu al-
Ri`yah bi Huquq Allah karya Muhammad ibn Hadhrawih. Kitab al-
Ri`ayah li Huquq Allah karya al-Muhasibi ini belakangan diedit oleh
Abdul Qadir Ahmad `Atha. Baca al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah,
Beirut-Lebanon, Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, Tanpa Tahun.
2 Kitab al-Washaya karya al-Muhasibi ini belakangan diedit oleh
Abdul Qadir Ahmad `Atha. Baca al-Muhasibi, al-Washaya, Beirut-
Lebanon, Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1986. 3 Abdul Halim Mahmud pada pengantar Abi Abdillah al-Harits
al-Muhsibi, al-Riayah li huquq Allah, Kairo: Dr al-Marif, 1984, hlm. 6.
Untuk mengetahui secara agak lengkap tentang al-Muhasibi mulai dari
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 43
Jika al-Muhasibi lahir tahun itu, maka itu berarti al-
Muhasibi hidup pada zaman keemasan Islam dimana ilmu
pengetahuan berada pada puncak kejaannya. Di era itu semua
disiplin ilmu tumbuh dan berkembang, bukan hanya teologi,
fikih, ushul fikih, fikih, dan tasawuf melainkan juga sastra dan
seni. Sebab, pada era ini para khalifah ikut mendorong
pengembangan ilmu pengetahuan. Lahir tahun 165-243 H./781-
837 M, maka itu berarti al-Muhasibi hidup di era kekhalifahan
al-Mahdi (775-785 M.), al-Hadi (785-786 M.), Harun al-Rasyid
(786-909 M.), al-Amin (809-813), al-Mamun (813-833 M.), dan
al-Mutashim (833-842). Ia beruntung hidup di era itu.
Sebagaimana diketahui, dari deretan para khalifah
tersebut, Harun al-Rasyid dan al-Mamun adalah dua khalifah
yang getol menyemarakkan penerjemahan buku-buku
berbahasa Yunani ke dalam bahasa Islam dan yang paling kuat
mendorong penulisan karya-karya akademik tinggi.4 Jika pada
saat Harun al-Rasyid menjadi khalifah, al-Muhasibi baru
berumur 5 tahun5, maka pada saat al-Mamun menjadi khalifah
al-Muhasibi sudah berumur 32 tahun, usia yang sudah matang
baik secara psikologis maupun intelektual.
Memperhatikan tahun kelahiran dan kematian al-
Muhasibi, maka al-Muhasibi sesungguhnya satu generasi
dengan para pendiri madzhab fikih Islam. Imam Ahmad ibn
Hanbal lahir tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H., itu berarti
al-Muhasibi lebih muda satu tahun dari Imam Ahmad ibn
biografinya sampai dengan ajaran-ajaran tasawufnya, baca Abdul Halim
Mahmud, Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, Kairo: Dr al-
Kutub al-Haditsah, 1973.
4 Kautsar Azhari Noer, al-Riayah Li Huquq Allah al-Muhasibi,
dalam Kautsar Azhari Noer (editor), Warisan Agung Tasawuf: Mengenal
Karya Besar Para Sufi, Jakarta: Sadra, 2015, hlm. 7.
5 Abdul Halim Mahmud, Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-
Muhasibi, hlm. 34.
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
44 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
Hanbal. Sementara dengan Imam Syafii, al-Muhasibi lebih
muda 15 tahun karena Imam Syafii lahir tahun 150 H. dan
wafat tahun 204 H. Walau usianya terpaut jauh, al-Muhasibi
masih mengikuti zaman Imam Malik karena Imam Malik wafat
tahun 179 H. dan lahir tahun 93 H. Itu berarti , ketika Imam
Malik wafat, al-Muhasibi sudah berumur 14 tahun. Hanya al-
Muhasibi tidak mengikuti zaman Imam Abu Hanifah karena
Imam Abu Hanifah wafat tahun 150 H. bersamaan dengan
lahirnya Imam Syafii.6
Al-Muhasibi juga hidup dalam satu era dimana diskursus
ilmu Kalam cukup semarak diselenggarakan. Al-Muhasibi
sezaman dengan tokoh-tokoh Muktazilah seperti Abu al-
Hudzail al-`Allaf yang wafat tahun 226 H., Ibrahim al-
Nazhzham yang wafat tahun 231 H. Juga hidup sezaman
dengan a-Jahizh yang wafat tahun 225 H. Ia juga hidup
sezaman dengan seorang penyair besar bernama, Abu Nuwas
(l.145 H./747 M.- w. 190 H./806 M.). Sementara dalam bidang
tasawuf, ia hidup sezaman dengan Maruf al-Karkhi (l. 165
H./781 M.-w. 200 H./815), Bisyr ibn al-harits al-Hafi (l.
150H./767 M.-w. 227 H./841), dan al-Siri al-Saqathi (l.153 H./800
M.- w. 254 H./898 M.).
Bersama para sufi abad kedua ini, al-Muhasibi memiliki
andil besar dalam meletakkan fondasi tasawuf Islam. Hanya
beda dengan Sirri al-saqathi yang tak membuat karya
akademik, al-Muhasibi menulis banyak buku. Secara umum
buku tasawufnya berisi renungan dan refleksi diri yang
didasarkan pada al-Quran dan hadits. Konon ia diberi nama
6 Abdul Halim Mahmud, Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-
Muhasibi, Kairo: Dar al-Maarif, 1992, hlm. 34-35.
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 45
al-Muhsibi karena ia senantiasa melakukan introspeksi diri
(muhsabah al-nafs).7
Al-Muhasibi lahir dari keluarga kaya. Ketika
ayahandanya meninggal dunia, sang ayah mewarisi tujuh
puluh ribu dirham uang. Namun, al-Muhasibi tak mengambil
bagian dari harta peninggalan ayahandanya itu. Ini, menurut
Abdul Halim Mahmud, disebabkan perbedaan pemikiran
antara sang ayah dan sang anak. Al-Muhasibi tak mau
mengikuti pemikiran ayahandanya yang mengikuti pemikiran
Muktazilah. Al-Muhasibi berbeda pandangan dengan ayahnya.
Jika sang ayah mengagungkan rasionalisme murni, maka sang
anak mendambakan kebersihan hati melalui perpaduan antara
rasionalisme dan spiritualisme. Abdul Halim Mahmud
menambahkan, keengganan al-Muhasibi mengambil warisan
orang tuanya sebagai salah satu usahanya untuk
membersihkan hati dari syubhat.8
Kecenderungannya pada spiritualisme terus bergelora.
Al-Muhasibi merasa tak cukup hanya belajar di Bashrah. Umur
20 tahun, ia pindah ke Baghdad. Saat itu Baghdad memang
7 Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqt al-Auliya`, Kairo: Dr al-Talif, Tanpa
Tahun, hlm. 175.
8 Abdul Halim Mahmud pada pengantar Abi Abdillah al-Harits
al-Muhasibi, al-Ri ayah li huquq Allah, hlm. 6. Sebelum ayahanda al-
Muhasibi wafat, sebuah kisah menarik dikemukakan Abu Ali ibn
Khairan al-Faqih. Suatu waktu Abu Ali ibn Khairan melihat Abu
Abdillah al-Haraits ibn Asad sedang bersandar pada pintu bangunan
yang ada di tengah jalan, sementara banyak orang berkerumun di sekitar
al-Muhasibi. Lalu al-Muhasibi berkata pada ibunya, thalliq ummi
fainnaka `ala din wa hiya `ala gharihi (ceraikanlah ibuku, sebab engkau
telah menganut satu agama, sedang ibu menganut agama yang lain).
Baca Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salam, Beirut-
Lebanon: Dar al-Kutub al-`Arabi, Tanpa Tahun, Jiilid VIII, hlm. 214;
Muhammad Jalal Syaraf, al-Tashawuf al-Islami fi Madrasah Baghdad,
Iskandariyah: Dar al-Mathbu`at al-Jami`iyah, 1972, hlm. 195.
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
46 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
menjadi pusat ilmu, bukan hanya ilmu yang bertumpu pada
argumen-argumen rasional melainkan juga ilmu yang bertitik
tekan pada pembersihan hati. Dengan perkataan lain, Baghdad
bisa menampung dua kekuatan ilmu; ilmu yang berbasis pada
rasionalisme dan ilmu yang berbasis pada spiritualisme.
Dengan tujuan untuk pendalaman ilmu-ilmu sipiritualnya, al-
Muhasibi memilih untuk tinggal di Baghdad.9
Walau lahir dari keluarga kaya raya, al-Muhasibi memilih
hidup sederhana. Al-Junaid menceritakan tentang seringnya
menyaksikan kesederhanaan al-Muhasibi. Suatu waktu al-
Junaid menyaksikan wajah al-Muhasibi yang lesu karena
kelaparan. Al-Junaid berkata, wahai pamanku jika engkau
datang ke rumahku, maka engkau akan mendapati makanan.
Lalu al-Junaid menyediakan makanan untuk sang guru. Duduk
di samping al-Muhasibi, al-Junaid menyaksikan al-Muhasibi
yang kesulitan memasukkan makanan ke dalam mulut.
Makanan itu ia muntahkan dan dia pergi meninggalkan al-
Junaid tanpa berkata satu kata pun. Keesokan harinya, ketika
bertemu al-Muhasibi, al-Junaid bertanya, kenapa kemarin
engkau tak bisa makan?. Al-Muhasibi menjawab demikian:
Artinya: Wahai anakku, sesungguhnya kebutuhan (terhadap
makanan) sudah mendesak. Saya sudah berusaha untuk
9 Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, Jakarta: Fikahati Aneska, 1995,
hlm. 25.
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 47
memakan makanan yang engkau bawa untukku. Tapi,
antara aku dan Allah tampaknya sudah ada tanda. Jika
makanan itu tak diridhai, maka aku akan kesedak dan
jiwaku tak bisa menerima. Maka aku lemparkan satu suap
makanan itu di gang rumahmu lalu aku pergi.10
Begitulah cara Allah menjaga al-Muhasibi. Dia bukan tak
mampu membeli makanan dan al-Muhasibi memang tak
tergolong orang miskin. Bahkan, menurut al-Junaid, rumah al-
Muhasibi jauh lebih luas dari rumah al-Junaid. Di rumah al-
Muhasibi tersedia beragam makanan. Tapi, tak setiap makanan
yang tersaji dikonsumsi al-Muhasibi. Dia memilih menjadi sufi
dengan melupakan urusan-urusan duniawi yang mengganggu
komunikasinya dengan Allah. Al-Muhasibi berkata:
Artinya: Meninggalkan harta benda dunia tapi masih
mengingatnya merupakan sifat orang-orang zuhud.
Sedangkan meninggalkan harta benda dunia sambil
melupakannya merupakat sifat orang-orang `arifin (orang
yang makrifat kepada Allah).11
Namun, itu tak berarti al-Muhasibi membenci harta.
Menurutnya, zuhud tak identik dengan kemiskinan. Banyak
juga orang kaya yang zuhud dan tak semua orang miskin itu
zahid. Ia berkata:
10 Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salm,
Jiilid VIII, hlm. 213-214.
11 Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salm,
Jiilid VIII, hlm. 213.
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
48 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
Artinya: Zuhud tak berarti menghancurkan kepemilikan
pribadi. Zuhud adalah perbuatan hati yang dibenarkan
anggota badan (tangan). Sebab, banyak orang miskin
yang serakah. Dan tak sedikit juga orang kaya yang
zuhud.12
Ini menunjukkan tahap kematangan spiritual al-Muhasibi.
Jika sebelumnya ia terkesan anti kekayaan, maka dalam
perkembangannya ia tak meletakkan kezuhudan pada ukuran-
ukuran lahiriah semata-mata. Zuhud baginya ada di dalam hati
yang memantul ke dalam tindakan jasmani. Menurut al-
Muhasibi, banyak orang kaya yang hatinya tak terpaut pada
harta. Sementara tak sedikit orang miskin yang serakah pada
harta sehingga tak disebut sebagai zahid.
Kematangan spiritual al-Muhsibi mengantarkan yang
bersangkutan mendapatkan kedudukan terhormat di kalangan
sufi lain. Banyak ulama dan para sufi Baghdad belajar pada al-
Muhasibi. Di antaranya adalah Abu al-Abbas ibn Masruq al-
Thusi (w. 299 H.) dan Junaid al-Baghdadi (w. 298 H.). Tentu al-
Muhasibi bukan satu-satunya rujukan para sufi Baghdad. Di
samping al-Muhasibi, al-Siri al-Saqathi tak bisa diabaikan, dan
al-Muhasibi memang sahabat al-Siri al-Saqati. Al-Muhsibi
sering berkunjung ke rumah al-Saqati. Demikian juga
sebaliknya. Seringnya berkunjung ke rumah al-Saqathi--
berdiskusi dan sekaligus bertemu dengan al-Junaid--maka al-
Muhsibi dapat mengenal al-Junaid dengan baik.
12 Majdi Muhammad Ibrahim, Abu al-`Abbas al-Mursi: Madzhabuhu
wa Arauhu al-Shufiyyah, Beirut: Books Publisher, 2014, hlm. 19.
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 49
Hubungan guru-murid antara al-Muhsibi dan al-Junaid
bermula dari keinginan al-Muhsibi untuk mengajak al-Junaid
jalan-jalan. Di tengah jalan, al-Muhasibi menasehati al-Junaid.
Al-Junaid mengisahkan peristiwa itu demikian:
Artinya: al-Junaid berkata, pada suatu ketika, Harits datang
ke rumah kami dan berkata; Mari keluar jalan-jalan
bersamaku. Aku (al-Junaid) menjawab; Apakah engkau
akan mengajak aku ke luar dari kesendirinku, yang
didalamnya aku merasa tentram, menuju jalan penuh
resiko yang penuh dengan godaan nafsu? Namun, al-
Harits tetap mengajakku; Keluarlah bersamaku dan
jangan takut. Maka aku pun pergi keluar. Jalanan
kosong. Kami hanya melihat pemandangan yang
menyenangkan. Tiba-tiba kami sudah sampai di suatu
tempat diskusi.. Lalu dia memintaku, bertanyalah
tentang sesuatu. Lalu aku menjawab; Aku tidak
mempunyai pertanyaan untuk ditanyakan kepadamu.
Dia berkata lagi; Tanyakan tentang sesuatu yang sedang
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
50 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
ada dalam pikiranmu. Kemudian aku menanyakan
semua masalah yang ada dalam pikiranku. Dia pun
langsung menjawab semua pertanyaan yang aku ajukan
saat itu. Lalu ia pulang ke rumah, dan dia menuliskan
semua pertanyaan dan jawaban itu pada kitab-
kitabnya.13
Dari dialog al-Muhasibi dan al-Junaid tersebut, ada dua
hal yang dapat disimpulkan. Pertama, sebagaimana telah
diungkapkan sebelumnya bahwa al-Junaid lebih suka
mengisolir diri ketimbang bergaul dengan masyarakat umum.
Kedua, relasi al-Junaid dengan al-Muhsibi sebagai guru-murid
memiliki hubungan simbiosis mutualistis. Bukan hanya al-
Junaid yang kebetulan berposisi sebagai murid mendapat
tambahan ilmu dari jawaban-jawaban al-Muhsibi, tapi juga al-
Muhsibi yang berperan sebagai guru merasa mendapat
wawasan dan inspirasi baru dari pertanyaan-pertanyaan kritis
al-Junaid.14
Dalam bertasawuf, al-Muhsibi berbeda dengan al-Saqati.
Al-Saqathi dan sebagin besar para sufi meyakini bahwa tujuan
tasawuf adalah bersatu dengan Allah. Bagi al-Muhsibi,
tasawuf adalah ilmu yang lebih banyak berhubungan dengan
akhlaq ketimbang berkaitan dengan tauhid (persatuan dengan
Tuhan), fana` dan syathahat. Dengan demikian, dalam
bertasawuf, al-Muhsibi mengingatkan murid-muridnya agar
13 Su`ad al-Hakim, Taj al-`Arifin: al-Junaid al-Baghdadi, Mesir: Dar al-
Syuruq, 2007, hlm. 90; Abu Na`im al-Ishfahani, Hilyah al-Auliya wa
Thabaqat al-Ashfiya, Mesir: al-Saadah, 1972, Jilid I, hlm. 255-256; Abdul
Halim Mahmud, Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, hlm. 10.
Al-Khthib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salam, Jilid VIII,
hlm. 213; Muhammad Jalal Syaraf, al-Tashawwuf al-Islami Fi Madrasah
Baghdad, hlm. 178.
14 Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, hlm. 26.
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 51
menjauhi syathahat, karena syathahat bisa berujung pada
kesesatan.15
Setelah sekian lama mendidik umat dan menulis kitab, al-
Muhasibi meninggal dunia pada tahun 243 H. 16 Beberapa menit
sebelum wafat, al-Muhasibi berbisik kepada Ja`far (anak laki-
laki Abi Tsaur), jika aku melihat sesuatu yang aku sukai, maka
aku akan tersenyum kepadamu. Dan jika aku melihat sesuatu
yang tak aku sukai, kamu pasti akan melihat perubahan di
mukaku. Ja`far berkata, al-Muhasibi tersenyum sebelum
meninggal dunia.17
Namun, ada informasi lain bahwa al-Muhasibi wafat
ketika ia sedang uzlah, dari tahun 232 H.-243 H. Kepergian al-
Muhasibi merupakan kehilangan besar bagi dunia Islam saat
itu. Al-Qusyairi berkata:
Artinya: Al-Muhasibi memang tiak ada tolok bandingnya,
baik ilmu, keilmuan, pergaulan, maupun hal ihwal
kesehariannya.18
15 Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, hlm. 26-27. 16 Abdul Halim Mahmud pada pengantar Abi Abdillah al-Harits
al-Muhasibi, al-Riayah li huquq Allah, Kairo: Dr al-Marif, 1984, hlm. 6.
Untuk mengetahui secara agak lengkap tentang al-Muhasibi mulai dari
biografinya sampai dengan ajaran-ajaran tasawufnya, baca Abdul Halim
Mahmud, Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, Kairo: Dr al-
Kutub al-Haditsah, 1973.
17 Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salam,
Jilid VIII, hlm. 215.
18 Muhammad Ghallab, al-Tashawwuf al-Muqarin, hlm. 52.
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
52 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
Isi dan Kandungan Kitab
Al-Riayah li Huquq Allah adalah salah satu karya al-
Muhasibi. Sebab, al-Muhasibi memiliki karya-karya lain.
Merujuk pada al-Subki dalam Thabaqat al-Syafiiyyah dan al-
Manawi dalam al-Kawakib al-Durriyah, Abdul Halim Mahmud
memperkirakan 200 buku karya al-Muhasibi. Bahkan, ada yang
berkata; 460 buku, yang sebagian besar berbicara ilmu tasawuf
dan suluk. Disebut sebagian besar karena al-Muhasibi juga
menulis buku-buku lain selain tasawuf, seperti fahm al-Quran
dalam bidang ilmu Kalam. Namun, buku ini sudah tak
dijumpai lagi.19
Beberapa buku al-Muhasibi yang masih berbentuk
manuskrip adalah Kitab al-Masail fi al-Zuhd, Fashl min Kitab al-
`Adlmah, Kitab fi al-Muraqabah, Ahkam al-Taubah, Kitab al-`Ilm,
Kitab al-Shabr wa al-Ridla.20 Sedangkan di antara beberapa karya
al-Muhasibi yang sudah dicetak adalah: Pertama, dalam
pengantar al-Riayah li Huquq Allah, Abdul Halim menyebut
karya akademik al-Muhasibi adalah Kitab al-Wahm yang
pertama kali terbit di Mesir tahun 1937. Namun, pada buku
Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, Abdul Halim
Mahmud menyebut judul buku al-Muhasibi dengan Kitab al-
Tawahhum.
Kedua, adalah Risalah al-Mustarsyidin. Kitab ini cukup
ringkas hanya berisi petunjuk bagi orang-orang yang ingin
mengenal Allah seperti menjelaskan tentang taubat, taqwa,
khauf (takut pada Allah), sabar, dan ridha atas ketentuan Allah.
Melalui kita ini diketahui bahwa tasawuf al-Muhasibi
disandarkan sepenuhnya pada dalil-dalil al-Quran dan al-
19 Abdul Halim Mahmud, Muqaddimah, dalam al-Muhasibi, al-
Riayah li Huquq Allah, hlm. 11-12.
20 Secara lebih utuh, baca Abdul Halim Muhammad, Ustadz al-
Sa irin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, hlm. 69-96.
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 53
Sunnah. Ketiga, adalah Kitab al-Washaya. Judul lengkapnya
adalah al-Washaya au al-Nashaih al-Diniyah wa al-Nafahat al-
Qudsiyahli Nafi Jami al-Bariyyah. Muhammad Ghallab
menambahkan karya-karya al-Muhasibi; Risalah fi al-Mabadi` al-
`Asyrah al-Mushilah ila al-Saadah, Syarh al-Maain wa Badzl al-
Nashihah, al-Bats wa al-Nasyr, Risalah fiy al-Akhlaq, Mahiyah al-
`aql wa Manah, Risalah fi al-`Azhamah, Risalah fi Fahm al-Shalah.21
Namun, dari beberapa karya al-Muhasibi, kitab al-Riayah
li Huquq Allah adalah yang paling banyak dirujuk. Menurut
Abdul Halim Mahmud, kitab ini dari segi kedalaman
kandungannya laksana Ihya `ulum al-Din bagi al-Ghazali.22
Mahmud al-Nawawi menilai, al-Ri`ayah merupakan kitab
pertama yang menteorisasikan akhlaq.23 Dalam bertasawuf, al-
Muhasibi berbeda dengan al-Saqati. Al-Saqathi dan sebagin
besar para sufi meyakini bahwa tujuan tasawuf adalah bersatu
dengan Allah. Bagi al-Muhasibi, tasawuf adalah ilmu yang
lebih banyak berhubungan dengan akhlaq ketimbang berkaitan
dengan persatuan dengan Tuhan, fana` dan syathahat. Dengan
demikian, dalam bertasawuf, al-Muhasibi mengingatkan
murid-muridnya agar menjauhi syathahat, karena syathahat bisa
berujung pada kesesatan.24
21 Muhammad Ghallab, al-Tashawwuf al-Muqarin, Kairo: Maktabah
Nahdlah, Tanpa Tahun, hlm. 52. Majdi Muhammad Ibrahim, Abu al-
`Abbas al-Mursi: Madzhabuhu wa Arauhu al-Shufiyyah, hlm. 20-21 22 Lebih jauh ia menjelaskan bahwa dalam beberapa hal al-Ghazali
banyak terpengaruh al-Muhasibi. Memang betul, baik dalam al-Munqidz
min al-Dhalal maupun dalam Ihya `Uum al-Din bisa terlihat dengan jelas
pikiran-pikiran al-Muhsibi yang dikutip al-Ghazali. Baca Abdul Halim
Mahmud, Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, hlm. 23-24. 23Mahmud al-Nawawi, dalam pengantar al-Kalabadzi, al-Taarruf li
Madzhab Ahli al-Tashawuf, Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah,
1969, hlm. 17.
24 Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, hlm. 26-27.
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
54 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
Perhatiannya pada pembinaan akhlaq mendapat apresiasi
dari ulama lain. Al-Ghazali memuji al-Muhasibi sebagai ulama
tasawuf yang mempunyai andil besar dalam pembinaan moral
umat. Al-Ghazali mengaku bahwa dirinya dipengaruhi al-
Muhasibi. Menurut al-Ghazali, di bidang muamalah, al-
Muhasibi memiliki pengetahuan luas dibanding ulama lain.25
Imam al-Ghazali berkata:
Artinya: Al-Muhasibi adalah orang terbaik di bidang
muamalah. Dia telah melampaui para ulama lain dalam
membahas catat jiwa, bahaya amal dan kebakan
ibadah.26
Fokus membahas akhlaq itu menyebabkan al-Muhasibi
kurang mendapat perhatian dari sufi lain yang berharap
kebersatuan (ittihad/hulul). Namun, al-Muhasibi tak peduli. Ia
tetap pada pendiriannya. Menurut al-Muhasibi, tasawuf adalah
pengetahuan yang dapat dijelaskan akal. Tasawuf bukan ilmu
kebatinan yang spekulatif. Untuk menjadi muslim yang baik,
demikian al-Muhasibi, di samping harus berpatokan pada al-
Quran dan al-Sunnah, seseorang juga harus mempertimbang-
25 Al-Ghazali, al-Munqid min al-Dhalal, Lebanon: Dar al-Fikr, 1996,
hlm. 68.
26 Hasan al-Syafii & Abu al-Yazid al-`Ajami, Fi al-Tashawwuf al-
Islami, Kairo: Dar al-Salam, 2006, hlm. 50-51. Abdul Halim Mahmud pada
pengantar Abi Abdillah al-Harits al-Muhasibi, al-Riayah li huquq Allah,
hlm. 28.
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 55
kan kalkulasi akal. Ahmad ibn Muhammad ibn Masruq
mengutip pendapat al-Muhasibi sebagai berikut:
Artinya: Segala sesuatu punya inti. Inti manusia adalah
akalnya. Dan inti akal adalah taufiq (bimbingan dari
Allah).27
Karena itu, menelaah isi dan kandungan kitab al-Riayah
ini sangat bermanfaat terutama bagi umat Islam yang tak bisa
mengakses langsung pada sumber-sumber primer yang belum
diterjemahkan seperti kitab al-Riayah ini. Melalui judul buku al-
Riayah li Huquq Allah tampak perhatian al-Muhasibi pada
pentingnya menjalankan syariat Allah. Terkait dengan judul
buku Memelihara Hak-Hak Allah, al-Muhasibi menjelaskan
di bagian awal buku ini. Dia berkata:
27 Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salm,
Jilid VIII, hlm. 213. Menarik, nomen klatur akal muncul dari konsep
tasawuf al-Muhasibi. Ini tak bisa lepas dari pengaruh ayahandanya yang
beraliran Muktazilah. Namun, beda sang ayah yang sangat rasional,
dalam pandangan al-Muhasibi adalah piranti untuk menyerap
bimbingan Allah.
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
56 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
Artinya: Wajib bagi hamba-hamba Allah mengerjakan apa
yang diwajibkan Allah kepada mereka, baik yang terkait
dengan diri mereka atau orang-orang yang berada dalam
tanggung-jawab mereka. Pemimpin adalah penggembala
umat manusia yang diwajibkan untuk menjaga seluruh
urusan orang-orang gembalaannya, khusus maupun
umum. Perhatikan apa yang dikatakan Umar Ibn Khattab,
sekiranya seekor domba hilang di pinggir sungai Efrat,
akhu khawatir Allah akan meminta pertanggung-jawaban
kepadaku. Setiap yang diwajibkan Allah atas hambanya
baik yang terkait dengan dirinya atau terkait dengan
relasi satu kelompok pada kelompok lain, maka Allah
telah memerintahkan agar mereka menjaga dan
melaksanakannya. Itulah makna dari memelihara hak
Allah yang diwajibkan atas mereka.
Namun, dalam buku ini, al-Muhasibi sebenarnya tak
menjelaskan langsung tentang hak-hak Allah tersebut. Ia
menjelaskan hak-hak Allah itu dalam konteks peningkatan
taqwa dengan membersihkan hati dari riya`, ujub, dan penyakit
hati lain. Kitab al-Riayah yang diedit dengan baik oleh Abdul
Halim Mahmud ini terdiri dari 424 halaman, terdiri dari dari
sembilan bab, yaitu: [1]. Muqaddimah, [2]. Kitab al-riya, [3]. Kitab
al-ikhwan wa ma`rifah al-nafs, [4]. Kitab al-tanbih `ala ma`rifah al-
nafs wa sui af`aliha wa du`aiha ila hawaha, [5]. Kitab al-`ujb, [6].
Kitab al-kibr, [7]. Kitab al-ghurrah, [8]. Kitab al-hasad, [9]. Kitab
tadib al-murid wa siratihi wa tahdzirihi.
Dengan bab-bab tersebut, maka sebagian besar isi dan
kandungan buku ini sesungguhnya lebih berbicara tentang
pentingnya tazkiyah al-nafs. Mungkin bagi al-Muhasibi, sifat-
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 57
sifat buruk seperti iri-dengki dan sombong itu bukan hanya
akan mengotori hati melainkan juga akan menjatuhkan
manusia dalam posisi terendahnya (asfala safilin). Ayat al-
Quran menggambarkan manusia seperti itu laksana binatang
bahkan lebih buruk dari binatang. Namun, sebaliknya
sekiranya manusia sanggup menjaga hati dan pikirannya dari
perasaan dan sifat buruk, maka manusia akan naik derajatnya
hingga derajat paling puncak (a`la `illiyin).
Untuk menjaga agar hati seseorang tetap bersih, maka
tahap-tahap pembersihan hati versi al-Muhasibi adalah sebagai
berikut:
Artinya: Dasar ketaatan adalah wara, dasar wara adalah
taqwa, dasar taqwa adalah evaluasi diri, dasar evaluasi
diri adalah takut dan harapan, dasar takut dan harapan
adalah mengetahui janji dan ancaman, mengerahui dasar
janji dan ancaman adalah besarnya balasan, dan dasar itu
semua adalah permenungan dan kemampuan mengambil
pelajaran.28
Bagi al-Muhasibi, semuanya bermula dari ketaatan.
Sedangkan pangkal ketaatan adalah wara` dan fondasi wara`
adalah taqwa. Menurut al-Muhasibi, taqwa adalah
kekhawatiran seseorang jika tak menjauhi apa yang tak disukai
28 Muhammad Jalal Syaraf, al-Tashawwuf al-Islami Fi Madrasah
Baghdad, hlm. 194.
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
58 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
Allah. Itu bisa dalam bentuk dua hal, yaitu mengabaikan apa
yang diwajibkan Allah dan melakukan apa yang dilarang Allah
baik ketika sendirian maupun ketika banyak orang. Dengan
perkataan lain, sebagaimana sudah menjadi pandangan umum,
taqwa mencakup pada mengerjakan apa yang diperintahkan
dan menjauhi apa yang dilarang.29 Di lokasi lain, al-Muhasibi
coba membedakan antara al-taqwa dan al-birru. Bagi al-
Muhasibi, al-birru adalah mengerjakan apa yang diperintah-
kan, sedangkan taqwa adalah menjauhi apa yang dilarang. Ini
dikatakan al-Muhasibi, ketika yang bersangkutan menafsirkan
ayat al-Quran, wa ta`awanu `ala al-birri wa al-taqwa (tolong
menolonglah kalian dalam al-birru dan al-taqwa).
Selanjutnya, bagi al-Muhasibi, salah satu bagian dari
taqwa adalah al-wara. Sebab, menurutnya, jika seseorang takut
pada Allah, maka dengan sendirinya dia akan wara`. Dengan
perkataan lain, ketakwaan menimbulkan sikap wara`, yaitu
kehati-hatian dalam bersikap sehingga tak terjatuh ke dalam
syubhat apalagi haram. Sedangkan al-Muhasibi mendefinisikan
wara sebagai menjauhi segala sesuatu yang tak disukai Allah.
Tak seperti para sufi lain, al-Muhasibi tak memisahkan taqwa
dari riya karena riya adalah bagian dari taqwa. Tegas
dikatakan al-Muhasibi, taqwa adalah awwalu manzilah al-`abidin
(kelas paling awal dari hamba-hamba yang sedang menuju
Allah).30 Sebab, sufi yang tak memulai proses pembersihan
hatinya dengan taqwa, ia bisa tertipu. Betapa banyak orang
yang memakai buju lusuh, berpenampilan sederhana, shalat,
puasa, dan lain-lain ternyata yang bersangkutan melakukan itu
semua tidak karena Allah, melainkan karena ingin mendapat
kedudukan tertentu ketika di dunia.
29 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 43.
30 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 41.
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 59
Itu sebabnya, setelah membahas mengenai taqwa, al-
Muhasibi membahas pentingnya menjaga hati agar tak
dimasuki unsur-unsur duniawi yang menyebabkan seseorang
jauh dari Allah. Ketika hati seseorang kosong dari Allah, maka
yang bersangkutan tak menyesal atas dosa-dosa yang pernah
dilakukannya. Menurut al-Muhasibi, muatan hati itu ada dua.
Jika hati tak memuat ketakutan pada Allah, maka ia akan
memuat soal-soal dunia. Al-Muhasibi berkata demikian:
Artinya: Hatimu pada waktu itu akan berisi satu dari dua,
yaitu hati yang ketika di dunia hanya berisi rasa takut
kepada Allah dan hati yang ketika di dunia lupa pada
Allah, tertipu tapi merasa aman dengan itu.31
Namun, manusia memang makhluk lemah. Ia tak bisa
sepenuhnya di jalan Allah. Hatinya berubah-ubah, mudah
tergoda pada gemerlap dunia. Akhinya manusia jatuh dalam
dosa. Sekiranya tak tergelincir pada dosa yang bersifat dhahir,
maka kadang manusia tak bisa menghindar dari dosa yang
bersifat bathin (dhamir). Fisik jasmani manusia bisa selamat dari
dosa, tapi kadang hatinya berisi al-kibr (sombong), al-hasad (iri-
dengki), al-syamatah (mencela), suu al-zhan (buruk sangka), al-
`ujb (takjub pada diri sendiri), al-riya (pamer). Setiap hari,
demikian al-Muhasibi, kita hanya menumpuk dosa kemarin
dengan dosa sekarang. Al-Muhasibi berkata:
31 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 40.
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
60 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
Artinya: Setiap hari kita selalu memperharui dosa-dosa,
sehingga tak ada waktu berlalu yang kosong dari dosa
berupa dosa badan dan dosa hati berupa kesombongan,
iri-dengki, mencela, buruk sangka, takjub pada diri
sendiri, pamer amal ibadah, dan sebagainya. Hari-hari
datang mengurangi umur kita kecuali kita mengisinya
dengan dosa, baik dosa fisik maupun dosa hati. Pekerjaan
kita seperti menumpuk dosa-dosa, dosa kemarin dengan
dosa sekarang.32
Demikian besar pentingnya menjaga hati sehingga al-
Muhasibi merasa perlu membahas mengenai bahaya riya.
Bahkan, bahasan riya dalam buku ini telah telah mengambil
porsi paling panjang. Bagi al-Muhasibi, riya adalah hasrat
duniawi yang muncul ketika mengerjakan ibadah-ukhrawi.
Misalnya, memamerkan aktivitas ibadah mengandung hasrat
subtil agar pelaku ibadah mendapat kedudukan tinggi di
depan manusia, bukan di hadapan Allah SWT. Dengan
perkataan lain, secara lahir orang riya tampak melakukan
aktivitas ukhrawi, tapi dalam hatinya bersembunyi motif
duniawi.33
32 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 45.
33 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 127.
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 61
Riya yang bersemayam dalam hati bisa dihancurkan
dengan memupuk keikhlasan secara terus menerus. Dan ikhlas
ini adalah satu kedudukan spiritual yang hanya bisa dicapai
orang yang tekun ibadah kepada-Nya.34 Suatu waktu Nabi
SAW ditanya tentang makna keselamatan. Nabi SAW
menjawab bahwa keselamatan itu sekiranya engkau
mengerjakan sesuatu karena Allah bukan karena manusia (
). Lalu laki-laki itu bertanya lagi, bagaimana
tips agar amal ibadah dirinya bisa selamat? Nabi SAW
menjawab, jauhi riya.35
Walau begitu, riya tak bisa dihilangkan begitu. Ia bisa
masuk pada siapa saja. Alkisah, pada zaman Nabi SAW pernah
hidup tiga orang laki-laki. Yang pertama, adalah orang mati di
jalan Allah. Kedua, orang rajin bersedekah. Ketiga, orang yang
selalu membaca dan mengkaji kitab Allah. Tapi kelak di akhirat
Allah berkata pada mereka. Pada yang pertama, Allah berkata,
engkau bohong. Engkau hanya ingin disebut sebagai lai-laki
pemberani. Pada yang kedua Allah berkata, engkau hanya
ingin disebut laki-laki dermawan. Pada yang ketiga Allah
berkata, engkau hanya ingin disebut laki-laki yang alim.
Tentang tiga laki-laki itu, Nabi SAW bersabda, mereka adalah
tiga orang pertama yang masuk neraka. Riya di hati mereka
telah menghapus seluruh pahala ibadahnya ketika di dunia. 36
Al-Muhasibi menggambarkan orang ikhlas itu seperti
gambaran Allah dalam al-Quran surat al-Insan [76]: 9,
sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian
hanyalah karena mengharapkan kerelaan Allah, kami tidak
mengharap balasan dan terima kasih dari kalian. Dalam
menafsirkan ayat tersebut, al-Muhasibi mengutip tafsir al-
34 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 129.
35 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 131.
36 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 132.
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
62 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
Imam Mujahid yang menyatakan bahwa perkataan seperti
dalam ayat itu terucap di hati mereka bukan di lisan mereka.
Dengan itu, mereka beramal saleh karena Allah bukan riya
pada manusia. Menurut al-Muhasibi, riya adalah beribadah
karena manusia bukan karena Allah (
). 37
Al-Muhasibi membagi riya ke dalam dua bagian.
Pertama, adalah riya besar (a`zhamu wa asyaddu), yaitu ketika
seseorang beribadah semata berharap pujian dari manusia dan
tak muncul niat mencari ridha Allah. Kedua, adalah riya kecil
(adna wa aysar), yaitu orang beribadah karena manusia tapi
tetap berharap pahala dari Allah. Riya kedua ini disebut syirk
kecil. Tentang riya kedua ini, Thawus menceritakan sebab
turun ayat al-Quran. Dikisahkan, seorang laki-laki datang pada
Nabi SAW. Ia bertanya tentang sedekah yang dilakukan
dengan maksud ganda; ingin dipuja dan ingin pahala. Nabi
SAW tak tahu jawabnya, lalu turunlah al-Quran surah al-Kahfi
*18+: 110 sebagai jawabannya, Katakanlah (Muhammad),
Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang
telah meneria wahyu, bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha
Esa. Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya,
maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia
mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada
Tuhannya. 38
Orang riya biasanya mengidap penyakit iri-dengki. Ia
tidak suka sekiranya orang lain mendapat pujian masyarakat.
Ia ingin agar kebaikan pada orang lain itu hilang dan pujian
hanya datang padanya.39 Orang riya suka pamer ibadah.
Karena itu, secara lebih jauh al-Muhasibi berkata bahwa ibadah
37 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm.132-133.
38 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 134-135.
39 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 178.
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 63
yang dilakukan sembunyi-sembunyi lebih utama dari ibadah
yang dilakukan terang-terangan. Sebab, ibadah terang-terangan
(`alaniyah) lebih mudah memerosokkan pelakunya pada riya.
Karena itu, menurut al-Muhasibi, jika memungkinkan,
seyogyanya seseorang menyembunyikan amal ibadahnya.
Namun, jika tak memungkinkan beribadah secara sembunyi,
maka beribadah terang-terangan tak masalah asal tetap
dilakukan ikhlas karena Allah. Sebab, menurut al-Muhasibi,
bagaimanapun beribadah terang-terangan lebih baik daripada
tak beribadah.40
Namun, penting diwaspadai, melaksanakan ibadah
mahdhah seara terbuka tak hanya menyebabkan yang
bersangkutan jatuh pada riya melainkan juga pada saat yang
sama ia bisa jatuh pada ketakjuban pada diri sendiri (al-`ujb)
dan kesombongan (al-kibr). Al-Muhasibi menjelaskan beberapa
hal yang menyebabkan kesombongan yang kelak dielaborasi
rinci dalam buku-buku al-Ghazali. Pertama, karena amal-
ibadahnya.41 Mereka takjub pada amal ibadah dirinya, lalu
merendahkan orang lain yang tak bisa beribadah seperti
dirinya.42 Al-Ghazali memasukan mereka sebagai golongan
orang-orang yang tertipu (al-maghrurin). Mereka beribadah
bukan karena Allah melainkan untuk merendahkan manusia.43
Kedua, sombong karena ilmu.44 Dengan detail al-Ghazali
menjelaskan jenis-jenis ulama yang tertipu karena ilmunya.
Menurut al-Ghazali, ulama yang menguasai secara mendalam
ilmu-ilmu syariyyah dan `aqliyah bisa tertipu. Mereka
40 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 207.
41 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 269.
42 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 271.
43 Al-Ghazali, Ashnaf al-Maghrurin: al-Kasyf wa al-Tabyin fi Ghurur
al-Kahlq Ajma`in,, Kairo: Maktabah al-Quran, 1986, hlm. 53-59.
44 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 269.
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
64 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
menyangka bahwa dengan ilmunya itu mereka tak akan disiksa
oleh Allah. Padahal, ilmu yang dimilikinya itu kelak akan
dipertanggung-jawabkan di hadapan-Nya. Al-Ghazali
mengingatkan mereka pada sabda Rasulullah SAW, inna
asyadda al-nas `adzaban yauma al-qiyamah `alim lam yanfa`hu Allah
bi `ilmihi (sesungguhnya orang yang paling pedih siksanya di
hari kiamat nanti adalah siksa bagi orang alim yang ilmunya
tak bermanfaat).45
Ketiga, sombong karena harta. Orang kaya yang bisa
memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya potensial
sombong. Ia bisa merendahkan orang fakir dan miskin. Sebagai
digambarkan al-Quran, mereka dengan angkuh berkata,
nahnu aktsaru amwalan wa auladan (kami adalah yang paling
banyak harta dan anak-anak).46 Kesombongan itu secara subtil
bisa masuk pada orang kaya yang sedang membangun masjid,
madrasah, dan pesantren. Orang kaya itu akhirnya
mematenkan namanya di atas monumen di depan bangunan
untuk dikenang sebagai seorang dermawan. Mereka
menyangka bahwa dengan membangun rumah ibadah dan
pesantren itu, mereka akan mendapat ampunan Allah. Padahal,
kata al-Ghazali, mereka sedang tertipu karena dua hal. [a].
mereka memperoleh harta itu dengan cara haram. Padahal,
Allah mengharamkam pemerolehan harta dengan cara haram.
[b]. mereka menyangka bahwa dirinya akan mendapat pahala,
padahal ia menyembunyikan niat selain Allah, yaitu
kemasyhuran nama dan pujian manusia.47
Keempat, sombong karena nasab-keturunan. Ketinggian
nasab dan kemulian orang tua bisa menimbulkan sikap
sombong. Alkisah, al-Harits ibn Hisyam, Suhail ibn `Amr, dan
45 Al-Ghazali, Ashnaf al-Maghrurin, hlm. 36-37.
46 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 294.
47 Al-Ghazali, Ashnaf al-Maghrurin, hlm. 61.
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 65
Khalid ibn Usaid pernah menolak Bilal ibn Rabah yang sedang
adzan di Kabah. Al-Harits ibn Hisyam berkata, mengapa
budak hitam seperti Bilal ibn Rabah ini adzan di Kabah.
Sebagai teguran terhadap mereka, maka turunlah firman Allah
dalam al-Quran, inna akramakum `inda Allah atqakum
(sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang
paling takwa di antara kalian). Nabi SAW menegaskan,
sebagaimana dikutip al-Muhasibi, semua kalian adalah anak
keturunan Adam dan Adam berasal dari tanah (kullukum banu
Adam wa Adam min turab).48
Kelima, sombong karea banyak pengikut. Allah pernah
menegur para sahabat Nabi SAW yang sombong dengan
banyaknya pasukan Islam dalam perang Hunain. Mereka
merasa tak akan kalah dalam perang itu. Mereka tak lagi
bersandar pada Allah, melainkan pada banyaknya pengikut
dan pasukan Islam. Allah memberi pelajaran kepada mereka;
umat Islam kalah dalam perang ini.49 Disebutkan dalam al-
Quran Surah al-Taubah *9+: 25, Sungguh, Allah telah menolong
kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang
Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi
(jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu dan bumi
yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke
belakang dan lari tunggang langgang.
Keenam, sombong karena kekuatan fisik atau kebesaran
kekuasaan. Mereka lupa, kekuatan fisik dan kebesaran kuasa
itu semuanya dari Allah bukan dari dirinya. Al-Quran
menyontohkan kaum `Ad sebagai kaum sombong ketika
mereka berkata, man asyaddu minna quwwatan (siapa yang
lebih kuat dari kami.50 Ketujuh, sombong karena
48 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 288-289.
49 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 292.
50 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm.285.
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
66 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
kesempurnaan fisik. Mereka lupa bahwa ketampanan,
kecantikan, kemerduan suara adalah pemberian Allah, juga tak
berasal dari dirinya. 51
Pada akhirnya, jika diperhatikan, maka seluruh bahasan
mengenai bahaya riya, `ujub, kibr, dan iri-dengki ini dikerahkan
al-Muhasibi dalam rangka membentuk umat Islam yang benar-
benar taqwa kepada Allah (haqqa tuqatihi) sehingga dapat
memelihara hak-hak Allah (al-Riayah li huquq Allah) seperti
tercermin pada judul buku al-Muhasibi ini. Itulah beberapa
ajaran pokok tasawuf al-Muhasibi seperti dalam kitab al-Ri`ayah
li Huquq Allah.
Penutup
Demikian pokok-pokok ajaran tasawuf al-Muhasibi.
Membaca bab per bab al-Ri`ayah li Huquq Allah karya al-
Muhasibi ini akan tampak bahwa corak tasawuf al-Muhasibi
bukan falsafi sebagaimana corak tasawuf Abu Manshur al-
Hallaj, Muhyiddin Ibnu Arabi, Suhrawardi, dan lain-lain.
Corak tasawuf al-Muhasibi adalah corak tasawuf khuluqi-`amali.
Tak ditemukan dalam kitab ini bahasan filosofis yang menjadi
menjadi ciri utama tasawuf falsafi. Al-Muhasibi tak berbicara
tentang ma`rifah seperti Dzunnun al-Mishri, fana-baqa dan
ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami, al-hulul seperti Abu
Manshur al-Hallaj, dan wihdatul wujud seperti Muhyiddin Ibn
Arabi.
Ciri pokok tasawuf khuluqi-`amali adalah kemampuan
para perumusnya untuk melandaskan tasawuf pada dalil-dalil
al-Quran dan al-Sunnah. Itu sebabnya, dalam kitab al-Ri`ayah li
Huquq Allah ini banyak dijumpai kutipan ayat al-Quran dan
hadits Nabi SAW. Corak tasawuf inilah yang mempengaruhi
tasawuf pasca al-Muhasibi seperti pada sebagian tasawuf
51 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm.285.
Abdul Moqsith
ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 67
Junaid al-Baghdadi, al-Qusyairi, Imam al-Ghazali, al-Sarraj, al-
Hujwiri, dan lain-lain. Al-Junaid pernah berkata, tasawufku
ini terikat pada dalil-dalil al-Quran dan al-Sunnah.
Di Indonesia, sekalipun nama al-Muhasibi tak cukup
populer, tapi ajaran tasawufnya sudah banyak dikenal melalui
karya sufi-sufi lain seperti Imam al-Ghazali, Junaid al-
Baghdadi, dan lain-lain. Dengan demikian, jika disimpulkan
secara sederhana, tasawuf yang berkembang di Indonesia
sesungguhnya adalah tasawuf al-Muhasibi. *
Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah
68 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I
.