kajian perumusan standar dan peraturan keamanan pangan di ... · sumber informasi yang berasal atau...
TRANSCRIPT
KAJIAN PERUMUSAN STANDAR DAN PERATURAN KEAMANAN PANGAN DI INDONESIA
SUMARTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Perumusan Standar dan
Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia adalah karya sendiri dengan arahan
dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Sumarto
NRP F252090075
ABSTRACT
SUMARTO. Study on Development of Food Safety Standard and Regulation in Indonesia. Under supervision of PURWIYATNO HARIYADI and EKO HARI PURNOMO
Our study found that the incompliance of the principles of good standard and regulation development in Indonesia were the most frequently cited by stakeholders as the main factor hindering standard implementation. Specifically; we indentified factors hindering standard implementation are lack of (i) information regarding regulation preparation, (ii) intensive discussions to consider the interests and active participation of all stakeholders; especially industrial stakeholders, (iii) relevancy of the established standards and regulations with the objective of consumer protection and existing condition of Indonesia food product, (iv) readiness of business and supporting element such as laboratory test. Our survey; coupled with focus discussion group involving standard stakeholders suggest that there is gap of perception between food industry and government regulatory agencies; especially on (i) transparency and (ii) effectivity and relevancy aspect of standard formulation and development.Improvement of transparency of formulation and development of food safety standards and regulations should be done by (i) publishing the standards in the website, (ii) providing access to SMEs and local institution to channel their opinions, and (iii) applying the current consensus standard-setting procedureestablished by National Standardization Agency (BSN). Moreover, improvement of effectivity and relevancy can be done by (i) conducting a base-line study to get the real picture of the existing condition of the products and industrial practices; especially with factors or parameters associated with the proposed standard, (ii) considering the readiness of the infrastructures (laboratories, human resources, etc.) needed to support the implementation of the proposed standard, (iii) considering national development dimensions; especially associated with (a) the readiness of SMEs, (b) the development of local foods, and (c) the competitivenessof Indonesian food products.
Keywords: Standard, Regulation, Principles of good standard and regulation development
RINGKASAN
SUMARTO. Kajian Perumusan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI dan EKO HARI PURNOMO.
Standar sangat diperlukan untuk menjamin produk yang dihasilkan oleh suatu negara memiliki kualitas yang baik dan memiliki daya saing. Di era perdagangan bebas seperti saat ini, fungsi standar menjadi sangat penting sebagai alat untuk mempermudah transaksi perdagangan antar negara. Selain itu, standar juga diperlukan untuk menjamin keamanan produk dan kesehatan konsumen, khususnya standar yang terkait dengan keamanan pangan.
Badan Standardisasi Nasional (BSN) adalah lembaga yang berwenang mengkoordinasi sistem standardisasi nasional dengan menghasilkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Khususnya untuk Standar Keamanan Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI adalah lembaga yang bertugas sebagai pengawas pangan; yang antara lain berwenang mewajibkan SNI suatu produk pangan. Selain standar; BPOM juga berwenang untuk menerbitkan pedoman dan peraturan yang berkaitan dengan keamanan pangan. Standar Nasional Indonesia untuk produk pangan sudah banyak dikembangkan dan disahkan. Namun demikian, tingkat penerapan standar pangan di Indonesia saat ini masih sangat rendah, dimana dari keseluruhan SNI di bidang pangan yang telah diterbitkan, hanya 12% yang diterapkan oleh pelaku usaha. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keberterimaan standar yang masih rendah.
Mengingat peran penting standar pangan, maka, perlu dilakukan kajian untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan standar keamanan pangan di Indonesia; serta memberikan alternatif perbaikannya untuk meningkatkan tingkat keberterimaan, dan tingkat penerapan standar di Indonesia. Kajian ini juga dilakukan studi kasus terhadap beberapa pedoman dan peraturan keamanan pangan yang dikeluarkan oleh BPOM.
Secara umum, tingkat keberterimaan dan penerapan standar (SNI), pedoman dan peraturan yang masih rendah oleh pelaku usaha mengindikasikan adanya permasalahan dalam perumusan standar. Menurut BSN, agar SNI memperoleh keberterimaan yang luas antara para stakeholder, maka SNI perlu dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of good practice, yaitu melalui proses yang (i) transparan, (ii) terbuka, (iii) konsensus dan tidak memihak, (iv) efektif dan relevan, (v) koheren, dan (vi) berdimensi pengembangan. Prinsip-prinsip tersebut juga perlu diterapkan dalam merumuskan peraturan keamanan pangan yang dibuat oleh BPOM RI; sehingga tingkat keberterimaannya bisa meningkat. Karena itu, maka kajian ini secara khusus akan menganalisis kesesuaian praktik perumusan standar dan peraturan keamanan dengan mengacu pada prinsip-prinsip tersebut.
Secara khusus, tujuan penelitian yaitu: (i) Menentukan gap penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar dan peraturan pangan yang saat ini berlaku di Indonesia terutama berdasarkan pedoman yang dikeluarkan Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan/atau ditetapkan oleh Badan Pengawas
v
Obat dan Makanan (BPOM) RI dibandingkan dengan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar yang ideal secara teoritis dan/atau yang dikembangkan Codex Alimentarius Commission (CAC), (ii) Menentukan gap antara prosedur perumusan yang diberlakukan oleh otoritas pembuat standar (BSN) dan regulator (BPOM RI) dibandingkan pelaksanaan prosedur tersebut berdasarkan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar, dan (iii) Memberikan solusi mekanisme perumusan dan pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan berdasarkan prinsip transparan, terbuka, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi pengembangan untuk menutupi kesenjangan berdasarkan hasil analisis gap pada tujuan nomor (i) dan nomor (ii).
Metode penelitian ini dibagi menjadi 7 tahapan, yaitu: (i) studi literatur perumusan standar dan peraturan secara teoritis, (ii) studi atas prosedur perumusan standar dan peraturan pada otoritas pembuat standar/peraturan, (iii) focus group discussion (FGD), (iv) survei, (v) analisis gap 1: antara perumusan secara teoritis dan dokumen prosedur perumusan standar dan peraturan yang berlaku pada otoritas pembuat standar/peraturan, (vi) analisis gap 2: antara dokumen prosedur perumusan standar dan peraturan dengan pelaksanaannya berdasarkan hasil FGD dan survei, dan (vii) penyusunan rekomendasi perumusan standar dan peraturan berdasarkan hasil analisis gap 1 dan gap 2.
Pada tahap pertama penelitian, dilakukan analisis gap (kesenjangan) antara dokumen perumusan standar dan peraturan yang dikeluarkan oleh BSN dan BPOM dibandingkan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar secara ideal (teoritis) yang dilaksanakan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC). Analisis gap pertama ini menghasilkan suatu perbedaan yang tidak terlalu besar antara dokumen perumusan yang berlaku (BSN dan BPOM) dan perumusan secara teoritis oleh CAC.
Selanjutnya, dilakukan analisis gap kedua yaitu antara dokumen perumusan yang berlaku (BSN dan BPOM) dengan pelaksanaannya berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) dan Survei. FGD dan Survei diikuti oleh perwakilan lembaga yang merepresentasikan kepentingannya masing-masing dalam perumusan dan pengembangan standar dan peraturan, yaitu pemerintah, industri (pelaku usaha), akademisi (pakar), dan (lembaga) konsumen.
Hasil FGD dan survei menunjukkan bahwa secara umum faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat penerapan standar dan peraturan keamanan pangan adalah tidak dipraktikannya prinsip-prinsip pengembangan standar dan peraturan yang baik. Secara khusus, faktor-faktor yang menghambat penerapan standar dan peraturan pangan, yaitu rendahnya: (i) penyebaran informasi perkembangan penyusunan peraturan, terutama dari BPOM RI, (ii) pembahasan yang mempertimbangkan kepentingan dan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan, terutama pelaku usaha/industri, (iii) relevansi standar yang ditetapkan dengan tujuan perlindungan kesehatan konsumen dan kondisi produk pangan Indonesia, (iv) pertimbangan akan kesiapan pelaku usaha dan unsur penunjangnya, seperti laboratorium uji.
Faktor-faktor tersebut muncul antara lain karena adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dan industri; dimana pemerintah menilai bahwa proses
vi
perumusan dan pengembangan standar dan peraturan saat ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar yang baik; namun menurut Industri prinsip-prinsip yang baik itu belum sepenuhnya dilakukan. Perbedaan persepsi ini terutama terjadi pada aspek (i) transparan, dan (ii) efektif dan relevandalam prinsip perumusan dan pengembangan standar.
Prinsip transparan perlu diperkuat dengan (i) memberikan informasi perumusan dan perkembangan standar dan peraturan melalui internet/website dalam situs lembaga pemerintah yang berwenang (BSN dan instansi teknis -BPOM), (ii) memberikan akses seluas-luasnya kepada semua pihak yang berkepentingan untuk berpartisipasi aktif dalam memberikan usulan dan masukan saat pembahasan standar dan peraturan, terutama dari kelompok UMKM dan instansi di daerah melalui wadah asosiasi, (iii) menerapkan prosedur pembahasan dan penetapan standar di dalam rapat panitia teknis yang telah ditetapkan oleh BSN dengan lebih efektif. Saat pembahasan dan penetapan standar perlu dipastikan bahwa aspirasi dan pendapat dari semua kelompok instansi diperhatikan dan keputusan dicapai melalui konsensus.
Prinsip efektif dan relevan perlu diperkuat dengan (i) kajian dasar (base-line) untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi riil produk dan praktik di industri, (ii) pertimbangan kesiapan infrastruktur (laboratorium uji, sumber daya manusia, dan lain-lain), (iii) memperhatikan dimensi pengembangan nasional, khususnya (a) kepentingan UMKM, (b) pengembangan bahan baku lokal, dan (c) peningkatan daya saing produk Indonesia dalam pembahasan standar.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah;
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KAJIAN PERUMUSAN STANDAR DAN PERATURAN KEAMANAN PANGAN DI INDONESIA
SUMARTO
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi pada
Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir: Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc
Judul Tugas Akhir : Kajian Perumusan Standar dan Peraturan Keamanan
Pangan di Indonesia
Nama : Sumarto
NRP : F252090075
Program Studi : Teknologi Pangan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP., M.ScKetua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPBMagister Profesi Teknologi Pangan
Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Agr
Tanggal Ujian: 26 November 2011 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2010 ini adalah Kajian Perumusan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia.
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc dan Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP., M.Sc selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya dalam penyusunan tugas akhir ini;
2. Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc sebagai penguji dalam memberikan masukan dan sarannya;
3. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan moral dan spiritual hingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan tugas akhir ini;
4. Seluruh staf SEAFAST Center IPB yang telah membantu dan memberikan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini, khususnya kepada Dr. Nuri Andarwulan, Teh Erli, Bu Elly, Mbak Desty, Mbak Lira, Mas Arief, Teh Yuli, Dilla, Pak Udin, dan Teh Evah;
5. Program Studi MPTP, khususnya Dr. Lilis Nuraida selaku ketua program studi dan Fatikhaturohmah, Amd. selaku staf sekretariat MPTP yang telah banyak membantu selama perkuliahan dan penyusunan tugas akhir. Selain itu, kepada rekan-rekan seangkatan MPTP V: Mbak Virna, Pak Hafzialman, Pak Deddy, Bu Lisa, Bu Tuti, Mbak Shinta, Pak Joko, Bu Hilda, Bu Wulan, dan Bu Sumaria atas kebersamaan dan dukungannya dalam penyelesaian tugas akhir;
6. BPOM RI terutama direktorat Standardisasi Produk Pangan yang telah membantu dalam pengambilan data dan pelaksanaan beberapa tahapan di dalam penelitian ini;
7. Seluruh lembaga baik dari pemerintah, industri, akademisi, maupun lembaga konsumen yang telah berpartisipasi di dalam kajian ini; serta
8. Seluruh pihak yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan dalam penyelesaian dan penulisan tugas akhir ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penghargaan diberikan kepada pengurus GAPMMI terutama Bapak Adhi S. Lukman dan Bapak Bobby yang telah membantu dalam penyebaran kuesioner. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberi keberkahan bagi banyak orang.
Bogor, Januari 2012
Sumarto
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Januari 1984 di Cirebon, Jawa Barat.
Penulis adalah putra dari pasangan Bapak Rasjan dan Ibu Wartini dan merupakan
anak kelima dari tujuh bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 3 Gebang
Mekar pada tahun 1991-1997, pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di
SLTP Negeri 2 Babakan pada tahun 1997-2000, dan pendidikan sekolah lanjutan
tingkat atas di SMU Negeri 2 Cirebon pada tahun 2000-2003. Pada tahun 2003,
penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi (Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan), Fakultas
Teknologi Pertanian dan lulus pada tahun 2008. Tahun 2009 penulis menjadi
mahasiswa program Magister Profesi Teknologi Pangan (MPTP) IPB dengan
beasiswa dari SEAFAST Center – LPPM IPB.
Semenjak tahun 2008 hingga saat ini penulis menjadi staf di Southeast
Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center –
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB. Selama
kuliah di MPTP dan bekerja di SEAFAST Center IPB penulis aktif dalam
program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, penulis juga
aktif mengikuti berbagai pelatihan dan seminar baik sebagai pembicara, panitia,
maupun peserta.
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR ISI.......................................................................................................iDAFTAR TABEL...............................................................................................iiiDAFTAR GAMBAR ..........................................................................................iv
I. PENDAHULUAN .......................................................................................11.1. Latar Belakang ......................................................................................11.2. Tujuan ...................................................................................................21.3. Manfaat .................................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................32.1. Pengertian Standar, Standardisasi, dan Perumusan Standar .................42.2. Standar, SNI, dan Peraturan Keamanan Pangan...................................62.3. Perumusan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan dengan
Pendekatan Ilmiah.................................................................................72.4. Potret Standardisasi Keamanan Pangan di Indonesia ...........................9
2.4.1.Sistem Standardisasi Nasional Indonesia ....................................92.4.2.Dasar Hukum dan Otoritas Pembuat Kebijakan
Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia......................................................................................11
2.4.3.Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BSN, BPOM, dan CAC....................................23
III. METODE PENELITIAN.............................................................................293.1. Tempat dan Waktu................................................................................293.2. Alat dan bahan ......................................................................................293.3. Pelaksanaan Penelitian..........................................................................29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................354.1. Perumusan Kebijakan dan Standar yang Ditetapkan oleh BSN,
BPOM, dan CAC ..................................................................................354.1.1.Perumusan Standar oleh BSN .....................................................354.1.2.Perumusan Peraturan dan Pemberlakuan Wajib Standar oleh
BPOM..........................................................................................364.1.3.Perumusan Standar oleh CAC.....................................................434.1.4.Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Secara
Teoritis dan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku......................47
4.2. Pelaksanaan Perumusan Standar dan Peraturan....................................474.2.1.Focus Group Discussion .............................................................474.2.2.Survei...........................................................................................504.2.3.Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan
Berdasarkan Dokumen yang Berlaku dan Pelaksanaan ..............74
4.3. Penerapan Prinsip-Prinsip Perumusan dan pengembangan Standardan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia.....................................804.3.1.Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Perumusan dan pengembangan
Standar dan Peraturan Keamanan Pangan...................................80
ii
4.3.2.Rekomendasi Prinsip-Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan .........96
V. SIMPULAN DAN SARAN.........................................................................995.1. Simpulan ...............................................................................................995.2. Saran .....................................................................................................100
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................101
LAMPIRAN........................................................................................................105Lampiran 1. Pengaturan Unsur dalam Standar (BSN, 2007b) ............................106Lampiran 2. Contoh Format Standar Nasional Indonesia (SNI) ........................107Lampiran 3. Contoh Regulasi Teknis yang Memberlakukan Wajib SNI...........117Lampiran 4. Daftar Hadir Peserta Focus Group Discussion ..............................126Lampiran 5. Masukan Industri Terkait Kebijakan yang Dikeluarkan
BPOM RI .......................................................................................128Lampiran 6. Lembar Kuesioner..........................................................................139Lampiran 7. List Responden Survei ...................................................................145Lampiran 8. Peraturan BPOM RI yang Berlaku untuk Luar Instansi ................149
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Dasar Hukum Otoritas Pembuat Kebijakan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia .......................13
Tabel 2. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Standardisasi dan Akreditasi....................................................20
Tabel 3. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Keamanan Pangan....................................................................22
Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC......................................................24
Tabel 5. Jumlah Kuesioner yang Digunakan untuk Survei ................................33
Tabel 6. Regulasi Teknis Pemberlakuan Wajib SNI Bidang Pangan.................41
Tabel 7. Regulasi Teknis Pemberlakuan Wajib SNI Bidang Pertanian..............42
Tabel 8. Analisis Gap Perumusan Standar BSN, BPOM, dan CAC Berdasarkan Teori dan Naskah Peraturan ............................................45
Tabel 9. Hasil Focus Group Discussion (FGD) tentang Kebijakan Pangan ......48
Tabel 10. Pengetahuan Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah tentang Tahapan Proses Pembuatan Standar............................54
Tabel 11. Tingkat Kemudahan Responden Memperoleh Informasi Prosedur Perumusan Standar ...............................................................................54
Tabel 12. Partisipasi Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah dalam Memberikan Masukan terkait Pembuatan Standar Pangan ..................................................................................................58
Tabel 13. Peran Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerahdalam Mengusulkan Pembuatan Standar Pangan.................................59
Tabel 14. Keterlibatan Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah dalam Pengambilan Keputusan Saat Penetapan Standar .........61
Tabel 15. Pendapat Responden terhadap Pelaksanaan Pengambilan Keputusan Saat Penetapan Standar.......................................................62
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya.....................................................................................75
Tabel 17. Standar Penggunaan Pewarna Pangan di Negara-Negara ASEAN (Fardiaz, 2009)......................................................................................92
Tabel 18. Standar Penggunaan Pengawet Pangan di Negara-Negara ASEAN (Fardiaz, 2009)......................................................................................93
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Life Cycle Suatu Standar .................................................................3
Gambar 2. Keterkaitan Komponen dalam Analisis Risiko (FAO/WHO, 2005) ................................................................................................9
Gambar 3. Sistem Standardisasi Nasional Berdasarkan PP No. 102 Tahun 2000 .................................................................................................10
Gambar 4. Kerangka Penelitian Kajian Perumusan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan............................................................................30
Gambar 5. Mekanisme Perumusan Suatu Standar di Indonesia (BSN, 2007a) ..............................................................................................37
Gambar 6. Mekanisme Perumusan Suatu Peraturan dan Pemberlakuan Wajib Standar di BPOM RI (BPOM, 2010) ....................................38
Gambar 7. Skema Framework Regulasi Teknis (BSN, 2011b).........................39
Gambar 8. Tata Cara Pemberlakuan SNI Secara Wajib (BSN, 2011b)............. 40
Gambar 9. Proses Perumusan Standar Codex (CAC, 2006)..............................44
Gambar 10. Penilaian Umum Kelompok Responden terhadap Penerapan Prinsip-Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar .................51
Gambar 11. Pengetahuan Responden tentang Tahapan Proses Pembuatan Standar .............................................................................................53
Gambar 12. Sumber Informasi Perumusan Standar ............................................56
Gambar 13. Keterlibatan Responden sebagai Panitia Teknis Perumusan Standar .............................................................................................57
Gambar 14. Partisipasi Responden dalam Memberikan Masukan terkait Pembuatan Suatu Standar Pangan....................................................57
Gambar 15. Peran Responden dalam Mengusulkan Pembuatan Standar Pangan..............................................................................................59
Gambar 16. Keterlibatan Responden dalam Pengambilan Keputusan Saat Penetapan Standar............................................................................60
Gambar 17. Pengetahuan Responden terhadap SNI Produknya..........................64
Gambar 18. Pendapat Responden Mengenai Penerapan Standar ........................65
Gambar 19. Pendapat Responden Mengenai Manfaat Penerapan Standar..........65
Gambar 20. Pendapat Responden Mengenai Hambatan dalam Penerapan Standar .............................................................................................66
Gambar 21. Pendapat Responden Mengenai Faktor yang Perlu Dipertimbangkan dalam Perumusan Standar...................................67
v
Gambar 22. Pendapat Responden Mengenai Penerapan Prinsip Koheren dengan Standar di Dalam Negeri .....................................................68
Gambar 23. Pendapat Responden terhadap Aturan Internasional/Regional yang Sering Menjadi Rujukan dalam Penetapan Standar................69
Gambar 24. Pendapat Responden terhadap Aturan Negara Lain yang Sering Menjadi Rujukan dalam Penetapan Standar ....................................70
Gambar 25. Pendapat Responden Mengenai Pentingnya Faktor-Faktor Tertentu sebagai Penerapan Prinsip Berdimensi Pengembangan di dalam Perumusan Standar............................................................72
Gambar 26. Perankingan Beberapa Faktor yang Perlu Dipertimbangkan dalam Perumusan Standar................................................................73
Gambar 27. Jumlah Penggunaan SNI (diolah dari BSN, 2009) ..........................81
Gambar 28. Hasil Pengujian TPC Susu Segar di Beberapa Daerah di Indonesia (Diolah dari data PT Indolakto dan beberapa karya ilmiah)..............................................................................................83
Gambar 29. Kandungan Gizi MP-ASI Bubuk Instan Lokal................................84
Gambar 30a. Kandungan Vitamin E pada MP-ASI Bubuk Instan Impor .............85
Gambar 30b.Kandungan Vitamin B6 pada MP-ASI Bubuk Instan Impor...........85
Gambar 30c. Kandungan Asam Folat pada MP-ASI Bubuk Instan Impor ...........86
Gambar 30d.Kandungan Iodium pada MP-ASI Bubuk Instan Impor ..................86
Gambar 31. Kandungan Zink MP-ASI Biskuit ...................................................87
Gambar 32a. Kandungan Serat MP-ASI Siap Masak ...........................................87
Gambar 32b.Kandungan Vitamin E MP-ASI Siap Masak ...................................88
Gambar 32c. Kandungan Vitamin B1 MP-ASI Siap Masak.................................88
Gambar 32d.Kandungan Vitamin B2 MP-ASI Siap Masak.................................88
Gambar 32e. Kandungan Niasin MP-ASI Siap Masak .........................................89
Gambar 32f. Kandungan Vitamin B6 MP-ASI Siap Masak.................................89
Gambar 32g.Kandungan Vitamin C MP-ASI Siap Masak...................................89
Gambar 32h.Kandungan Iodium MP-ASI Siap Masak ........................................90
Gambar 33. Hasil Pengujian Kecukupan Panas pada Beberapa Produk Pangan yang Dikalengkan (Hariyadi, 2011a) ..................................91
Gambar 34. Dimensi Pengembangan Standar (Hariyadi, 2011b)........................95
Gambar 35. Umur SNI Pangan Hingga November 2011 (diolah dari BSN, 2011d) ..............................................................................................96
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Adanya standar sangat diperlukan untuk menjamin produk yang dihasilkan
oleh suatu negara berkualitas baik dan memiliki daya saing tinggi. Di era
perdagangan bebas seperti saat ini, fungsi standar menjadi sangat penting sebagai
alat untuk mempermudah transaksi perdagangan antar negara. Selain itu, standar
juga diperlukan untuk menjamin keamanan produk dan kesehatan konsumen.
Di Indonesia, lembaga yang berwenang dalam pengembangan standardisasi
nasional adalah Badan Standardisasi Nasional (BSN). Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, BSN
berwenang mengkoordinasi dalam penyusunan dan penetapan Standar Nasional
Indonesia (SNI). SNI yang ditetapkan oleh BSN bersifat sukarela (voluntary),
sedangkan instansi teknis seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI
dapat memberlakukan wajib (mandatory) SNI tersebut yang ditetapkan dalam
suatu peraturan melalui keputusan kepala BPOM (BSN, 2009).
Jika dilihat dari data penelitian BSN tahun 2006 terlihat bahwa SNI yang
ditetapkan BSN memiliki tingkat penerapan yang sangat rendah oleh pelaku
usaha. Hanya 12% dari standar yang dikeluarkan BSN kemudian diterapkan oleh
industri atau lembaga terkait, untuk produk pertanian dan pangan dari total 952
SNI hanya 118 SNI yang diterapkan (BSN, 2009). Padahal salah satu tujuan
pembuatan standar adalah untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia yang
diharapkan standar tersebut diterapkan secara luas oleh para pengguna.
Tingkat penerapan yang rendah oleh pelaku usaha yang menunjukkan bahwa
tingkat keberterimaan standar yang masih rendah tersebut mengindikasikan ada
permasalahan di dalam perumusan standar yang dilakukan oleh otoritas pembuat
standar. Untuk itu, perlu dilakukan kajian untuk mengidentifikasi faktor-faktor
yang menjadi penghambat dalam penerapan standar di Indonesia serta mencari
alternatif pemecahannya. Menurut BSN (2011e) agar SNI memperoleh
keberterimaan yang luas antara para stakeholder, maka SNI dirumuskan dengan
memenuhi WTO Code of good practice, yaitu transparan, terbuka, konsensus dan
tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi pengembangan.
2
Prinsip-prinsip perumusan standar tersebut juga perlu diterapkan dalam
perumusan peraturan. Kajian dilakukan pada perumusan standar dan peraturan
berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, sehingga diharapkan dapat menghasilkan
suatu rekomendasi perumusan untuk menghasilkan standar dan peraturan dengan
tingkat keberterimaan yang tinggi dan dapat diaplikasikan oleh semua pihak.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan:
(1) Menentukan gap penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan
standar dan peraturan pangan yang saat ini berlaku di Indonesia terutama
berdasarkan pedoman yang dikeluarkan Badan Standardisasi Nasional (BSN)
dan/atau ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI
dibandingkan dengan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar
yang ideal secara teoritis dan/atau yang dikembangkan Codex Alimentarius
Commission (CAC)
(2) Menentukan gap antara prosedur perumusan yang diberlakukan oleh otoritas
pembuat standar (BSN) dan regulator (BPOM RI) dibandingkan pelaksanaan
prosedur tersebut berdasarkan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan
standar
(3) Memberikan solusi mekanisme perumusan dan pengembangan standar dan
peraturan keamanan pangan berdasarkan prinsip transparan, terbuka,
konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi
pengembangan untuk menutupi kesenjangan berdasarkan hasil analisis gap
pada tujuan nomor (1) dan nomor (2).
1.3. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan solusi terhadap
permasalahan dalam perumusan dan pengembangan standar dan peraturan dengan
pendekatan ilmiah oleh otoritas pembuat standar dan peraturan keamanan pangan
di Indonesia. Dengan pendekatan ilmiah diharapkan mekanisme perumusan
standar dan peraturan dapat berjalan secara efektif dan dihasilkan standar dan
peraturan yang dapat diterapkan dengan baik oleh semua stakeholder serta
mendorong pertumbuhan ekonomi dan perlindungan konsumen secara bersamaan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Standar, Standardisasi, dan Perumusan Standar
Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 tahun 2000 tentang
Standardisasi Nasional, Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang
dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus
semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan,
keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang
untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Standardisasi adalah proses
merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar yang dilaksanakan
secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak.
Life cycle suatu standar
Menurut PP No. 102/2000 tentang Standardisasi Nasional, perumusan
Standar Nasional Indonesia (SNI) diartikan sebagai rangkaian kegiatan sejak
pengumpulan dan pengolahan data untuk menyusun Rancangan Standar Nasional
Indonesia (RSNI) sampai tercapainya konsensus dari semua pihak yang terkait.
Perumusan standar pada umumnya melalui tahapan yang berbentuk siklus (life
cycle). Life cycle suatu standar dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Life Cycle Suatu Standar (BSN, 2009)
4
Perumusan suatu standar umumnya melalui tujuh tahap utama (BSN, 2009), yaitu:
1) Identifikasi perlunya suatu standar tertentu oleh para pemangku kepentingan;
2) Penyusunan program kolektif berdasarkan analisis kebutuhan dan penetapan
prioritas oleh semua pihak berkepentingan disusul adopsi dalam program
kerja badan/lembaga standardisasi nasional;
3) Penyiapan rancangan standar oleh semua pihak yang berkepentingan yang
diwakili oleh pakar (termasuk produsen, pemasok, pemakai, konsumen,
administrator, laboratorium, peneliti dan sebagainya) yang dikoordinasikan
oleh panitia teknis;
4) Konsensus mengenai rancangan standar;
5) Validasi melalui public enquiry nasional mencakup semua unsur ekonomi
dan pelaku usaha untuk memastikan keberterimaan secara luas;
6) Penetapan dan penerbitan standar, dan;
7) Peninjauan kembali (revisi), amandemen atau abolisi. Suatu standar dapat
direvisi setelah kurun waktu tertentu (umumnya 5 tahun sekali) agar selalu
sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan baru.
Prinsip dasar perumusan standar
Prinsip yang harus dipenuhi dalam proses perumusan maupun
pengembangan dalam menghasilkan dokumen standar adalah (BSN, 2009):
1. Transparan (Transparent)
2. Keterbukaan (Openness)
3. Konsensus dan tidak memihak (Consensus and impartiality)
4. Efektif dan relevan (Effective and relevant)
5. Koheren (Coherent)
6. Dimensi pengembangan (Development dimension)
Transparan. Transparan berarti prosesnya mengikuti suatu prosedur yang dapat
diikuti oleh berbagai pihak yang berkepentingan dan tahapan dalam proses dapat
dengan mudah diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
Keterbukaan. Terbuka bagi semua pihak yang berkepentingan untuk mengikuti
program pengembangan standar melalui kelembagaan yang terkait dengan
5
pengembangan standar, baik sebagai anggota PT (Panitia Teknis) / SPT (Sub
Panitia Teknis) maupun sebagai anggota masyarakat. Hendaknya pihak yang
berkepentingan dapat terlibat untuk memberikan masukan, menyatakan
persetujuan atau keberatan mereka terhadap suatu rancangan standar.
Konsensus dan tidak memihak. Memberikan kesempatan bagi pihak yang
memiliki kepentingan berbeda untuk mengutarakan pandangan mereka serta
mengakomodasikan pencapaian kesepakatan oleh pihak-pihak tersebut secara
konsensus (mufakat atau suara mayoritas) dan tidak memihak kepada pihak
tertentu. Hal ini dilaksanakan melalui proses konsensus di tingkat Panitia Teknis,
dan juga di rapat konsensus nasional serta di tingkat jajak pendapat dan
pemungutan suara. Untuk menjamin hal ini harus ada prosedur konsensus yang
tidak memihak.
Efektif dan relevan. Untuk memenuhi kepentingan para pelaku usaha dan untuk
mencegah hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan, maka standar nasional
tersebut harus relevan dan efektif memenuhi kebutuhan pasar, baik domestik
maupun internasional sehingga bila diadopsi standar akan dipakai oleh dunia
usaha atau pihak pengguna lainnya. Selain itu juga harus memenuhi kebutuhan
regulasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Sedapat
mungkin standar nasional berlandaskan unjuk kerja daripada berdasarkan desain
atau karakteristik deskriptif dan hasilnya dapat diterapkan secara efektif sesuai
dengan konteks keperluannya.
Koheren. Untuk menghindari ketidakselarasan di antara standar, maka Badan
Standardisasi Nasional (BSN) perlu mencegah adanya duplikasi dan tumpang
tindih dengan kegiatan perumusan standar sejenis lain. Agar harmonis dengan
kegiatan perkembangan dan perumusan standar perlu ada kerjasama dengan badan
standar lain baik regional maupun internasional. Pada tingkat nasional duplikasi
perumusan antara Panitia Teknis dan antara tahun pembuatan harus dihindari.
Dimensi pengembangan. Hambatan yang biasanya dialami oleh usaha
kecil/menengah untuk ikut berpartisipasi dalam perumusan standar nasional harus
menjadi pertimbangan. Dalam memfasilitasi keikut-sertaan Usaha Mikro, Kecil,
6
dan Menengah (UMKM) serta penyuaraan pendapat mereka ini, diperlukan upaya
yang nyata. Pembinaan peningkatan kemampuan UMKM harus dikedepankan
sehingga UMKM akan mampu memenuhi standar yang dipersyaratkan pasar. Hal
ini dimaksudkan agar UMKM dapat bersaing di pasar regional/internasional dan
dapat menjadi bagian dari global supply chain. Dengan demikian standar yang
dihasilkan akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan
masyarakat dan negara.
Menurut Winarno (2002) perumusan standar yang tergesa-gesa akan
menimbulkan biaya tak terduga yang tidak dapat diprediksi. Dalam beberapa hal
perumusan standar yang tetap harus melalui konsensus yang dapat dilaksanakan
dengan cepat sepanjang ada alasan yang tepat dan hasilnya tetap objektif serta
memberikan manfaat kepada semua pihak yang terkait. Pertanyaan yang perlu
dijawab dalam merumuskan suatu standar adalah (i) Siapa yang memerlukan
standar? (ii) Standar seperti apa yang diinginkan? (iii) Mengapa diperlukan
standar? (iv) Dimana penerapannya? (v) Kapan standar tersebut diterapkan? (vi)
Bagaimana cara perumusannya?.
2.2. Standar, SNI, dan Peraturan Keamanan Pangan
Standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) disebut
sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut PP No. 102/2000 tentang
Standardisasi Nasional, SNI didefinisikan sebagai standar yang ditetapkan oleh
Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional. SNI yang ditetapkan
oleh BSN bersifat sukarela (voluntary), sedangkan instansi teknis dapat
memberlakukan wajib (mandatory) SNI dalam bentuk peraturan melalui surat
keputusan menteri atau kepala badan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia
peraturan didefiniskan sebagai tataan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat
untuk mengatur (Kemendiknas, 2011).
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI sebagai salah satu instansi
teknis dapat memberlakukan wajib sebagian atau keseluruhan ketentuan di dalam
SNI yang telah ditetapkan oleh BSN. Pertimbangan utama BPOM RI di dalam
7
memberlakukan wajib SNI adalah faktor kesehatan masyarakat dan keamanan
pangan. BPOM RI memberlakukan wajib SNI dituangkan dalam bentuk
peraturan melalui surat keputusan (SK) kepala BPOM RI. Selain pemberlakuan
wajib SNI tersebut, di dalam menjalankan fungsi pengawasan pangan, BPOM RI
juga berwenang mengeluarkan peraturan lain dalam bentuk pedoman dan kode
praktis. Untuk itu, pada pembahasan selanjutnya, peraturan yang dikeluarkan
oleh BPOM RI baik berupa pemberlakuan wajib SNI, pedoman, maupun kode
praktis disebut sebagai peraturan.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan mendefinisikan
Keamanan Pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. BPOM RI
berwenang menetapkan peraturan dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai
lembaga pengawas pangan untuk menciptakan keamanan pangan pada produk
pangan yang beredar di Indonesia. Peraturan BPOM RI yang memberlakukan
wajib SNI dapat disebut sebagai standar keamanan pangan.
Secara umum di dalam kerangka SNI dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu
(i) awal, (ii) umum, (iii) teknis, dan (iv) tambahan. Bagian Awal dan Tambahan
bersifat informatif, sedangkan bagian Umum dan Teknis bersifat normatif.
Bagian umum umumnya terdiri atas unsur (i) judul, (ii) ruang lingkup, dan (iii)
acuan normatif. Bagian teknis umumnya terdiri atas unsur (i) istilah dan definisi,
(ii) simbol dan singkatan, (iii) klasifikasi, (iv) persyaratan, (v) pengambilan
contoh, (vi) metode uji, (vii) penandaan, dan (viii) lampiran normatif. Secara
lengkap bagian dan unsur yang terdapat di dalam SNI dapat dilihat pada Lampiran
1 (BSN, 2007b).
Jika dilihat dari bagian dan unsur di dalam SNI, dapat dilihat bahwa unsur
persyaratan pada bagian teknis merupakan unsur yang menggambarkan standar
keamanan pangan. Pada unsur persyaratan di dalam SNI pangan terdapat
ketentuan persyaratan mutu baik yang bersifat fisik, kimia, maupun
(mikro)biologi. Persyaratan mutu kimia dan mikrobiologi pada umumnya
dijadikan sebagai standar keamanan pangan yang diwajibkan (mandatory) oleh
8
BPOM RI. Contoh SNI (SNI 3141.1:2011 tentang Susu Segar – Bagian 1: Sapi)
yang ditetapkan oleh BSN dengan bagian yang lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 2 (BSN, 2011a). Contoh peraturan dalam bentuk surat keputusan (SK)
BPOM RI yang memberlakukan wajib SNI (HK.00.05.5.1.4547 tentang
Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Dalam Produk
Pangan) dapat dilihat pada Lampiran 3 (BPOM, 2004).
Untuk itu, definisi standar dan peraturan keamanan pangan di dalam tulisan
ini mencakup: (i) parameter atau ketentuan di dalam SNI dari BSN yang
memberikan persyaratan kimia dan mikrobiologi dan terkait dengan keamanan
pangan dan (ii) peraturan yang ditetapkan melalui surat keputusan (SK) BPOM RI
berupa pemberlakuan wajib standar (SNI), pedoman, dan kode praktis untuk
menjalankan fungsi BPOM RI sebagai lembaga pengawas pangan guna
menciptakan keamanan pangan produk pangan yang beredar di Indonesia.
Sementara itu. peraturan keamanan pangan dari instansi teknis lain (misal
Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kehutanan) tidak
dibahas secara lebih mendalam di dalam tulisan ini.
2.3. Perumusan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan dengan
Pendekatan Ilmiah
Perumusan dan pengembangan standar dan perturan keamanan pangan
seharusnya mengikuti suatu prosedur yang berbasis ilmiah. Perumusan dan
pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan dapat dilakukan melalui
pendekatan analisis risiko (risk analysis). Analisis risiko terdiri dari komponen
kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko (CAC, 2007). Adapun
keterkaitan antar komponen tersebut di dalam pendekatan analisis risiko dapat
dilihat pada Gambar 2.
Kerangka kerja analisis risiko memberikan sebuah proses secara sistematis
dan transparan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi
yang berkaitan dengan aspek ilmiah dan non-ilmiah mengenai bahaya kimia,
9
biologi, dan fisik yang kemungkinan terdapat di dalam pangan agar dapat memilih
pilihan terbaik untuk mengatur berdasarkan risiko di dalam berbagai alternatif
yang teridentifikasi (FAO/WHO, 2005).
Gambar 2. Keterkaitan Komponen dalam Analisis Risiko (FAO/WHO, 2005)
2.4. Potret Standardisasi Keamanan Pangan di Indonesia
2.4.1.Sistem Standardisasi Nasional Indonesia
Sistem standardisasi di Indonesia telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Badan Standardisasi
Nasional (BSN) adalah lembaga pemerintah yang berwenang dalam
mengkoordinasikan sistem standardisasi nasional. Berbagai lembaga terlibat di
dalam proses perumusan dan pengembangan standar. Selain BSN, lembaga yang
terlibat dalam pengembangan standardisasi nasional di antaranya instansi teknis,
pelaku usaha, masyarakat, lembaga perlindungan konsumen, dan pemerintah
daerah. Di dalam menjalankan tugasnya, BSN berkoordinasi dengan Komite
Nasional Standardisasi untuk Satuan ukuran (KSNSU) dan Komite Akreditasi
Nasional (KAN). Secara lengkap lembaga yang terlibat dan fungsinya dalam
pengembangan sistem standardisasi nasional di Indonesia dapat dilihat pada
Gambar 3.
10
Gambar 3. Sistem Standardisasi Nasional Berdasarkan PP No. 102 Tahun 2000
11
Instansi teknis adalah Kantor Menteri Negara, Kementerian atau Lembaga
Pemerintah Non Kementerian yang salah satu kegiatannya melakukan kegiatan
standardisasi. Instansi teknis yang dimaksud misalnya Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) RI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian
Kehutanan.
2.4.2. Dasar Hukum dan Lembaga Otoritas Pembuat Kebijakan
Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di
Indonesia
A. Dasar Hukum Kebijakan Pengembangan Standar dan Peraturan
Keamanan Pangan di Indonesia
Di Indonesia ada beberapa lembaga pemerintah yang berwenang menyusun
dan menetapkan kebijakan pengembangan standar keamanan pangan, di antaranya
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dan Badan Standardisasi
Nasional (BSN). Selain itu, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian
Kehutanan, dan Pemerintah Daerah juga berperan dalam pengembangan standar
dan peraturan keamanan pangan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada sistem
keamanan pangan di Indonesia yang menganut sistem keamanan pangan terpadu.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan induk dan dasar hukum di
Indonesia. Pengaturan pangan dan keamanan pangan merupakan amanah dari
UUD 1945 terutama yang tersirat dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33. Pada
peraturan di bawahnya telah ditetapkan undang-undang (UU) yang mewarnai
sistem pengaturan keamanan pangan dan standardisasi di Indonesia, seperti UU
No. 7 tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan WTO (World Trade
Organization), UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, dan UU No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tersebut melahirkan Peraturan
Pemerintah (PP) yang terkait, misalnya PP No. 28 tahun 2004 tentang Mutu,
12
Keamanan dan Gizi Pangan, PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan, dan PP No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.
Di dalam PP No. 28/2004 dan PP No. 102/2000 dijelaskan bahwa keamanan
pangan dan standardisasi nasional merupakan tanggung jawab dan tugas berbagai
lembaga pemerintah. Kewenangan berbagai lembaga pemerintah yang berperan
dalam pengembangan standar dan pengaturan keamanan pangan di Indonesia
berdasarkan kedua PP tersebut (PP No. 28/2004 dan PP No. 102/2000) dapat
dilihat pada Tabel 1.
B. Beberapa Lembaga Pemerintah yang Terlibat dalam Perumusan dan
Pengembangan Standar Keamanan Pangan di Indonesia
Pada bagian ini, secara khusus dibahas mengenai beberapa lembaga
pemerintah yang terkait dengan perumusan dan pengembangan standar keamanan
pangan di Indonesia. Lembaga pemerintah yang sangat berpengaruh dalam
perumusan dan pengembangan standar dan peraturan tersebut adalah Badan
Standardisasi Nasional (BSN) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
RI. Meskipun berbagai lembaga pemerintah berperan dalam kebijakan
pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan seperti telah dijelaskan
pada Tabel 1, tetapi pada bagian ini akan dibahas mengenai 2 lembaga pemerintah
yang paling dominan yaitu BSN dan BPOM sebagai perwakilan lembaga
pemerintah lainnya.
Di dalam era otonomi daerah sekarang ini, sekiranya perlu juga dikaji
mengenai peran dari pemerintah daerah (Pemda) dalam kebijakan pengembangan
standar dan peraturan keamanan pangan di Indonesia. Untuk itu, peran dari
Pemda akan dikaji sesuai dengan dasar hukum yang berlaku saat ini. Hal ini
dimaksudkan agar rekomendasi dari kajian ini dapat diaplikasikan oleh semua
lembaga terkait, termasuk Pemda.
13
Tabel 1. Dasar Hukum Otoritas Pembuat Kebijakan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia
No Nomor Pasal
Tugas/Uraian Pasal Lembaga Pemerintah yang Berwenang
BSNInstansi Teknis
PEMDABPOM Kemenkes Kementan KKP Kemenperin Kemenhut
PP No. 28/2004 tentang Mutu, Keamanan dan Gizi Pangan1. 21 Berwenang mewajibkan suatu
standar dengan mempertimbangakan perjanjian TBT/SPS WTO
√ √ √ √ √ √
2. 29 Berwenang menetapkan standar mutu pangan yang dinyatakan sebagai SNI
√
3. 30 Berkoordinasi dengan BSN dalam menetapkan standar wajib
√ √ √ √
4. 31 Dapat menetapkan ketentuan mutu pangan di luar SNI untuk produk pangan berisikokeamanan tinggi
√ √ √
5. 32 Melakukan sertifikasi SNI yang diwajibkan atau persyaratan ketentuan mutu
√ √ √
6. 41 Berkoordinasi dengan BSN untuk mengupayakan saling pengakuan pelaksanaan penilaian kesesuaian dalam memenuhi persyaratan negara tujuan ekspor
√ √ √
14
No Nomor Pasal
Tugas/Uraian Pasal Lembaga Pemerintah yang Berwenang
BSNInstansi Teknis
PEMDABPOM Kemenkes Kementan KKP Kemenperin Kemenhut
7. 42-45 Pengawasan dan pembinaan mutu, keamanan, dan gizi pangan
√ √
PP No. 102/2004 tentang Standardisasi Nasional1. 4 Penyelenggara pengembangan
dan pembinaan di bidang standardisasi
√
2. 5 Menyusun dan menetapkan Sistem Standardisasi Nasional dan pedoman di bidang standardisasi nasional
√ √
3. 12 Pemberlakuan SNI secara wajib √4. 22-23 Pembinaan dan Pengawasan
terhadap penerapan SNI secara wajib
√ √
Keterangan:BSN : Badan Standardisasi NasionalBPOM : Badan Pengawas Obat dan MakananKemenkes : Kementerian KesehatanKementan : Kementerian PertanianKKP : Kementerian Kelautan dan PerikananKemenperin : Kementerian PerindustrianKemenhut : Kementerian KehutananPEMDA : Pemerintah Daerah
15
1. Tentang Badan Standardisasi Nasional
Sejalan dengan perkembangan kemampuan nasional di bidang standardisasi dan
dalam mengantisipasi era globalisasi perdagangan dunia, ASEAN Free Trade Area
- AFTA (2003) dan APEC – Asia Pasific Economic Cooperation (2010/2020),
kegiatan standardisasi yang meliputi standar dan penilaian kesesuaian (conformity
assessment) secara terpadu perlu dikembangkan secara berkelanjutan khususnya
dalam memantapkan dan meningkatkan daya saing produk nasional,
memperlancar arus perdagangan dan melindungi kepentingan umum. Untuk
membina, mengembangkan serta mengkoordinasikan kegiatan di bidang
standardisasi secara nasional menjadi tanggung jawab Badan Standardisasi
Nasional (BSN, 2011c).
Badan Standardisasi Nasional dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 13
Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 166 Tahun
2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa
kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001,
merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tugas pokok
mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia. Badan ini
menggantikan fungsi dari Dewan Standardisasi Nasional (DSN). Dalam
melaksanakan tugasnya Badan Standardisasi Nasional berpedoman pada
Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.
Pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Standardisasi Nasional di bidang akreditasi
dilakukan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). KAN mempunyai tugas
menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan serta saran kepada BSN
dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. Pelaksanaan tugas dan fungsi
BSN di bidang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh Komite
Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU). KSNSU mempunyai tugas
memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional
untuk satuan ukuran.
Sesuai dengan tujuan utama standardisasi adalah melindungi produsen,
konsumen, tenaga kerja dan masyarakat dari aspek keamanan, keselamatan,
16
kesehatan serta pelestarian fungsi lingkungan, pengaturan standardisasi secara
nasional ini dilakukan dalam rangka membangun sistem nasional yang mampu
mendorong dan meningkatkan, menjamin mutu barang dan/atau jasa serta mampu
memfasilitasi keberterimaan produk nasional dalam transaksi pasar global. Dari
sistem dan kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk
barang dan/atau jasa Indonesia di pasar global.
Visi Badan Standardisasi Nasional tahun 2010–2014 adalah menjadi
lembaga terpercaya dalam mengembangkan Standar Nasional Indonesia untuk
meningkatkan daya saing perekonomian nasional sesuai dengan perkembangan
iptek (BSN, 2011c). Sejalan dengan visi tersebut, maka misi BSN adalah
memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi melalui :
Mengembangkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
Mengembangkan sistem penerapan standar dan penilaian kesesuaian
Meningkatkan persepsi masyarakat dan partisipasi pemangku kepentingan dalam
bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian
Mengembangkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan standardisasi
dan penilaian kesesuaian
Fungsi Badan Standardisasi Nasional adalah (BSN, 2011c):
a. pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang standardisasi
nasional;
b. koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BSN;
c. fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan lembaga pemerintah di bidang
standardisasi nasional;
d. penyelenggaraan kegiatan kerjasama dalam negeri dan internasional di bidang
standardisasi;
e. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian,
keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.
Dalam menyelenggarakan fungsi tersebut, Badan Standardisasi Nasional
mempunyai kewenangan :
a. penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;
17
b. perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara
makro;
c. penetapan sistem informasi di bidangnya;
d. kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yaitu :
1) perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang standardisasi
nasional;
2) perumusan dan penetapan kebijakan sistem akreditasi lembaga sertifikasi,
lembaga inspeksi dan laboratorium;
3) penetapan Standar Nasional Indonesia (SNI);
4) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidangnya;
5) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidangnya.
2. Tentang Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI
Sebelum mengkaji kebijakan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan RI (Direktorat Standardisasi Produk Pangan) berupa peraturan atau
penetapan wajib standar, terlebih dahulu perlu diketahui mengenai profil lembaga
ini. Hal ini diperlukan agar dalam mengkaji kebijakan yang dikeluarkannya lebih
fokus dan terarah, sehingga dihasilkan suatu kajian yang efektif dan mudah
diaplikasikan pada lembaga tersebut.
Fungsi pengawasan keamanan pangan di Indonesia terutama dilakukan oleh
BPOM RI. Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Deputi Bidang Pengawasan
Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya adalah bagian yang berwenang untuk
menyusun kebijakan berupa peraturan atau penetapan wajib standar untuk
mendukung pelaksanaan fungsi pengawasan BPOM RI tersebut.
A. Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI
(BPOM, 2008)
Tugas Pokok Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Badan Pengawas
Obat dan Makanan RI adalah, sebagai berikut:
menyiapkan perumusan kebijakan,
menyusun pedoman, standar, kriteria prosedur, dan
18
melaksanakan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang
pengaturan dan standardisasi produk pangan
Fungsi Direktorat Standardisasi Produk Pangan adalah:
1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis; penyusunan pedoman, standar,
kriteria dan prosedur; pengendalian dan pemantauan; pemberian bimbingan
dan pembinaan, di bidang pengaturan dan standardisasi bahan baku dan bahan
tambahan pangan, pangan khusus dan pangan olahan.
2. Penyusunan rencana dan program standardisasi produk pangan
3. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di standardisasi
produk pangan
4. Evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi produk pangan
5. Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi
Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.
Output yang dihasilkan dari kegiatan Direktorat Standardisasi Produk
Pangan BPOM RI adalah berupa standar. Standar yang dimaksud di sini terdiri
atas Peraturan, Pedoman, Code of Practice, dan peran untuk mendukung posisi
delegasi RI pada sidang Codex.
B. Rencana Strategi BPOM RI (BPOM, 2008)
Visi BPOM RI adalah menjadi institusi pengawas obat dan makanan yang
inovatif, kredibel dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat.
Adapun misi BPOM RI adalah:
1. Melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar internasional
2. Menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten
3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini
4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan
makanan yang berisiko terhadap kesehatan
5. Membangun organisasi pembelajar (Learning organization)
Grand strategis BPOM RI dalam kurun waktu lima tahun (2010–2014)
adalah:
Memperkuat sistem regulatory pengawasan obat dan makanan
19
Memperkuat sistem regulatory pengawasan pangan
C. Sasaran (BPOM, 2008)
Sasaran dari Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI adalah:
Seluruh standar pangan yang berlaku diakui secara nasional dan internasional.
Seluruh pangan harus memenuhi standar tersebut.
Semua kode praktis, pedoman dan standar di-mandatori-kan (diberlakukan
wajib) dalam bentuk peraturan perundang–undangan.
D. Indikator Keberhasilan (BPOM, 2008)
Indikator keberhasilan program Direktorat Standardisasi Produk Pangan
BPOM RI adalah:
100% standar pangan yang berlaku diakui secara nasional dan internasional
100% pangan harus memenuhi standar tersebut
100% kode praktis, pedoman dan standar di-mandatori-kan (diberlakukan
wajib) dalam bentuk perundang–undangan
3. Tentang Peran Pemerintah Daerah dalam Standardisasi Keamanan
Pangan Nasional
Salah satu lembaga yang perlu diperhatikan peranannya dalam
pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan adalah pemerintah daerah
(Pemda). Di dalam era otonomi daerah saat ini, partisipasi dan peran daerah
sangat diperlukan untuk mewujudkan keamanan pangan melalui pemberlakuan
peraturan-peraturan dan standar yang diwajibkan di bidang pangan. Pembagian
peran pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan standardisasi di bidang
pangan di Indonesia telah dijelaskan pada Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Bidang
Pertanian dan Ketahanan Pangan, Sub Bidang 5 Penunjang, sub sub bidang 7
Standardisasi dan Akreditasi, menjelaskan pembagian peran pemerintah pusat dan
pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam bidang standardisasi dan
akreditasi. Secara lengkap pembagian peran tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
20
Tabel 2. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Standardisasi dan Akreditasi (PP No.38, 2007)
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Provinsi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota1. Perumusan kebijakan sektor pertanian
di bidang standardisasi. 1. Rekomendasi usulan kebijakan sektor
pertanian di bidang standardisasi sesuai pengalaman di daerah.
1. Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standardisasi sesuai pengalaman di daerah.
2. Penyusunan rencana dan penetapan program standardisasi sektor pertanian.
2. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program standardisasi sektor pertanian.
2. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program nasional di bidang standardisasidi daerah.
3. Koordinasi standardisasi nasional sektor pertanian.
3. Koordinasi standardisasi sektor pertanian di provinsi.
3. Koordinasi standardisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
4. Perumusan rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) sektor pertanian melalui konsensus untuk ditetapkan sebagai SNI.
4. Koordinasi pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan sesuai kebutuhan daerah.
4. Pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan.
5. Penetapan pemberlakuan SNI wajib. 5. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta memberikan usulan pemberlakuan wajib SNI.
5. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta mengusulkan usulan pemberlakuan wajib SNI.
6. Fasilitasi kelembagaan sektor pertanian yang akan mengajukan akreditasi.
6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di provinsi.
6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di kabupaten/kota.
7. Penilaian kesesuaian terhadap pemohon akreditasi di sektor pertanian.
7. --- 7. ---
8. Penetapan sistem dan pelaksanaan sertifikasi sektor pertanian.
8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standardisasi sektor pertanian di provinsi.
8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standardisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
21
Tabel 2. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Standardisasi dan Akreditasi (Lanjutan)
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Provinsi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota9. Pembinaan dan pengawasan
pelaksanaan sistem sertifikasi sektor pertanian.
9. --- 9. ---
10. Pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi dalam lingkungan pertanian.
10.Dukungan pengembangan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di provinsi.
10. Pengembangan pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di kabupaten/kota.
11. Pembinaan dan pengawasan lembaga sertifikasi dan laboratorium penguji dalam mendukung penerapan standardisasi di sektor pertanian.
11.Kerjasama standardisasi dan penyampaian rekomendasi teknis dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian.
11. Kerjasama standardisasi dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian.
12. Pengembangan dokumentasi dan informasi standardisasi sektor pertanian.
12.Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standardisasi sektor pertanian di provinsi.
12. Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standardisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
13. Menyusun dan melaksanakan program pemasyarakatan standardisasi sektor pertanian.
13.Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standardisasi di provinsi.
13. Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standardisasi di kabupaten/kota.
14. Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standardisasi sektor pertanian.
14.Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standardisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di provinsi.
14. Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standardisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di kabupaten/kota.
22
Peran pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan kebijakan
keamanan pangan di Indonesia juga dapat dilihat pada Lampiran PP No. 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Bidang Pertanian dan
Ketahanan Pangan, Sub Bidang 4. Ketahanan Pangan, sub sub bidang 2.
Keamanan Pangan menjelaskan pembagian peran pemerintah pusat dan
pemerintah daerah di bidang keamanan pangan. Secara lengkap pembagian peran
tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Keamanan Pangan (PP No.38, 2007)
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Provinsi
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
1. Perumusan standar Batas Minimum Residu (BMR).
1. Pembinaan penerapan standar BMR wilayah provinsi.
1. Penerapan standar BMR wilayah kabupaten/kota.
2. Penyusunan modul pelatihan inspektur, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keamanan pangan.
1. Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah provinsi.
2. Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah kabupaten/kota.
3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan nasional.
2. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan provinsi.
3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan kabupaten/kota.
4. a. Monitoring otoritas kompeten provinsi.
b. —
3. a. Monitoring otoritas kompeten kabupaten/kota.
b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah provinsi.
4.a. —
b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah kabupaten/kota.
23
2.4.3. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang
Ditetapkan BSN, BPOM, dan CAC
Lembaga pemerintah di tingkat pusat yang bertanggung jawab untuk
menyusun dan mengatur standar keamanan pangan paling tidak ada Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dan Badan Standardisasi Nasional
(BSN). Meskipun berbagai lembaga pemerintah berperan dalam kebijakan
pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan seperti telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya (Bagian 2.4.2.B pada Tabel 1), tetapi pada bagian ini
akan dilihat mengenai 2 lembaga pemerintah yang paling dominan yaitu BSN dan
BPOM sebagai perwakilan lembaga pemerintah lainnya. BPOM RI bertanggung
jawab dalam pengawasan pangan yang beredar di Indonesia, sedangkan BSN
bertanggung jawab dalam mengatur sistem standardisasi nasional. Kedua
lembaga pemerintah tersebut sangat berperan dalam sistem standardisasi
keamanan pangan di Indonesia. Untuk membandingkan peran, bentuk
kelembagaan, dan sifat standar yang dihasilkan atau diberlakukan wajib dalam
bentuk peraturan pada Tabel 4 diperlihatkan perbedaan kedua lembaga pemerintah
tersebut. Sebagai pembanding, disandingkan juga kelembagaan dan sifat standar
yang ditetapkan Codex Alimentarius Committee (CAC). CAC merupakan
lembaga internasional yang menghasilkan standar sebagai acuan dalam
perselisihan perdagangan antar negara anggota WTO (World Trade
Organization).
24
Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (BSN, 2011c; BPOM, 2011b;CAC, 2006)
No Karakter BSN BPOM CAC1 Mandat/Pendirian Badan Standardisasi Nasional
dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001
Sebelumnya bernama Dewan Standardisasi Nasional
Badan Pengawas Obat dan Makanan dibentuk dengan No. 178 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Lembaga Pemerintah Non Departemen
Sebelumnya adalah Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan di bawah Departemen Kesehatan RI
Didirikan berdasarkan sidang ke-11 Konferensi FAO tahun 1961 dan sidang ke-16 Konferensi WHO tahun 1963
2 Tujuan BSN merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tugas pokok mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia
Tujuan utama BPOM RI: melakukan pengawasan obat dan makanan yang beredar di Indonesia, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan berupa pemberlakuan wajib standar pangan
Mempersiapkan standar pangan dan mempublikasikannya
25
Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (Lanjutan)No Karakter BSN BPOM CAC3 Struktur Komite BSN memiliki 3 Deputi: Bidang
Penelitian dan Kerjasama Standardisasi, Bidang Penerapan Standar dan Akreditasi, dan Bidang Informasi dan Pemasyarakatan Standardisasi
Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasimemiliki 3 Pusat, yaitu: Pusat Penelitian dan Pengembangan Standardisasi, Pusat Perumusan Standar, dan Pusat Kerjasama Standardisasi
BSN dibantu oleh: Komite Akreditasi Nasional
(KAN): menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan serta saran kepada BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi
Komite Standardisasi Nasional Satuan Ukuran (KSNSU): memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional untuk satuan ukuran
BPOM memiliki 3 Deputi: Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen, Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya memiliki 5 Direktorat, yaitu: Dit. Penilaian Keamanan Pangan, Dit. Standardisasi Produk Pangan, Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Dit. Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, dan Dit. Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya
Pada bulan Agustus 2006, CAC memiliki 174 negara anggota dan 1 anggota organisasi (UE)
Terdiri atas: Komisi Komite Eksekutif Sekretariat Badan subsidiary: Komite
Subjek Umum (General Subject Committees), Komite Komoditi (Commodity Committees), Komite Ad hoc Satuan Tugas Antar Pemerintah (Ad hoc Intergovernmental Task Forces), dan Komite Koordinasi (Coordinating Committees)
26
Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (Lanjutan)
No Karakter BSN BPOM CAC4 Sekretariat Perumusan standar dilakukan oleh
Pusat Perumusan Standar, Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasi BSN
Perumusan standar pangan di bawah tanggung jawab direktorat Standardisasi Produk Pangan, Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM
Komisi diganti setiap 2 tahun sekali, dan bertempat di kantor pusat FAO di Roma dan Markas WHO di Jenewa
5 Pengaturan Prioritas
Dilakukan terutama oleh Pusat Perumusan Standar
Melalui target yang ditetapkan Direktorat Standardisasi Produk Pangan
Dibuat oleh komite eksekutif
6 Lembaga superordinate
Presiden RI dibawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi
Presiden RI dibawah koordinasi Kementerian Kesehatan
FAO/WHO
7 Luaran Standar Nasional Indonesia (SNI) Peraturan kepala BPOM (misal batas cemaran kimia dan mikroba)
PedomanKode praktis
Codex standardCode of practicesGuidelines
8 Jumlah peraturan atau standar yang telah dikeluarkan
7010 SNI(1970 hingga 1 Mei 2011)
29 Peraturan/Keputusan Ka. BPOM terkait pengawasan keamanan pangan yang diberlakukan untuk keluar organisasi BPOM (dari 2001 hingga Januari 2010) (lihat Lampiran 8)
5342 Codex standards, guidelinesdan codes of practice(1963 hingga Juni 2006) (CAC, 2006)
9 Wilayah pemberlakuan standar/peraturan
Nasional Nasional Internasional
10 Lingkup standar Mutu dan keamanan pangan Keamanan pangan Mutu dan keamanan pangan11 Sifat
standar/peraturanSukarela Wajib Sukarela
27
Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (Lanjutan)
No Karakter BSN BPOM CAC12 Dasar perumusan
standar/peraturanMeningkatkan mutu dan melindungi kesehatan masyarakat (kesehatan, keamanan, keselamatan, lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi nasional)
Melindungi kesehatan masyarakat Melindungi kesehatan masyarakat dan menjamin perdagangan dunia yang fair
13 Manfaat bagi pengguna standar/peraturan
o Jaminan mutu produkoMembantu penyelesaian dalam
masalah yang terkait TBT
Mendapatkan izin edar/mendaftar produk
Penyelesaian perselisihan perdagangan antar negara (WTO) yang terkait dengan Technical Barrier Trade (TBT) dan Sanitary and Phytosanitary (SPS)
14 Tim penyusun Panitia teknis: Pemerintah (instansi teknis), industri, konsumen, akademisi; dan MASTAN
BPOM, industri, konsumen, dan akademisi
Codex committee: Pemerintah negara anggota dan NGO
15 Tim pengkaji risiko
Gugus kerja/Panitia teknis?(tidak eksplisit dijelaskan)
Tim mitra bestari?(tidak eksplisit dijelaskan)
Joint FAO & WHO (misal JECFA - Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives, JEMRA - Joint FAO/WHO Expert Meetings on Microbiological Risk Assessment, -JMPR - Joint FAO/WHO Meetings on Pesticide Residues)
16 Target penyelesaian
19 bulan (berdasarkan PSN 01-2007)
Tidak eksplisit dijelaskan ≤ 5 tahun
17 Waktu kaji ulang 5 tahun Tidak eksplisit dijelaskan Maksimal 6 tahun(CAC, 2010)
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Southeast Asian Food and Agricultural Science
and Technology (SEAFAST) Center, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat (LPPM) IPB. Penelitian dilakukan selama 7 bulan (November 2010-
Mei 2011).
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah beberapa
dokumen yang telah dikeluarkan oleh badan otoritas pembuat kebijakan dalam
pengembangan standardisasi keamanan pangan baik nasional maupun
internasional (dari BSN, BPOM RI, dan Codex Alimentarius Commission).
Selain itu, diperlukan juga beberapa peraturan pangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah RI. Data primer diperoleh dari hasil analisis kuesioner yang dilakukan
dengan menjaring pendapat mengenai perumusan dan penerapan standar
(keamanan) pangan melalui survei pada beberapa lembaga terkait (pemerintah,
industri, pakar/akademisi, konsumen/Lembaga Swadaya Masyarakat).
Literatur terkait dengan pengembangan standar di negara lain dan yang
berlaku secara internasional juga dipelajari untuk kemudian dibandingkan dengan
pengembangan standar di Indonesia. Selain itu beberapa data sekunder yang
terkait dengan pengaruh dari penerapan standar di Indonesia juga dikumpulkan,
misalnya kualitas dari produk susu dan makanan kaleng yang memenuhi standar.
3.3. Pelaksanaan Penelitian
Kerangka penelitian kajian perumusan standar dan peraturan keamanan
pangan dilihat pada Gambar 4.
30
Gambar 4. Kerangka Penelitian Kajian Perumusan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan
Tahapan di dalam penelitian ini dibagi menjadi 7 tahap, yaitu: (i) studi
literatur perumusan standar keamanan pangan secara teoritis, (ii) studi atas
prosedur perumusan standar dan peraturan pada otoritas pembuat
standar/peraturan keamanan pangan, (iii) focus group discussion (FGD), (iv)
survei, (v) analisis gap 1: antara perumusan secara teoritis dan dokumen prosedur
perumusan standar dan peraturan yang berlaku pada otoritas pembuat
standar/peraturan keamanan pangan, (vi) analisis gap 2: antara dokumen prosedur
perumusan standar dan peraturan dengan pelaksanaannya berdasarkan hasil FGD
dan survei, dan (vii) penyusunan rekomendasi perumusan standar dan peraturan
berdasarkan hasil analisis gap 1 dan gap 2. Adapun tahap penelitian ini secara
lengkap dijelaskan pada bagian di bawah ini.
3.3.1. Studi Literatur Perumusan Standar secara Teoritis
Studi literatur dilakukan untuk mengetahui perumusan dan pengembangan
standar secara teoritis, termasuk mempelajari prinsip-prinsip perumusan dan
pengembangan dan prosedur perumusan standar yang berlaku secara internasional
(Codex Alimentarius Commission – CAC). Perumusan standar tersebut
dikembangkan berdasarkan prinsip Transparan, Terbuka, Konsensus dan Tidak
31
Memihak, Efektif dan Relevan, Koheren, dan Berdimensi Pengembangan (BSN,
2011e).
3.3.2. Studi atas Prosedur Perumusan Standar pada Otoritas Pembuat
Standar dan Peraturan
Mempelajari prosedur perumusan, penetapan, dan pemberlakuan standar
keamanan pangan yang saat ini berlaku di Indonesia, khususnya dari Badan
Standardisasi Nasional (BSN) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
RI. BSN merupakan lembaga yang berwenang dalam mengkoordinasi sistem
standardisasi nasional, sehingga kegiatan standardisasi yang ada di Indonesia
harus melalui prosedur yang berlaku dan ditetapkan oleh BSN. Jika BPOM RI
akan melakukan kegiatan standardisasi keamanan pangan, maka prosedurnya
mengikuti ketentuan yang berlaku di BSN.
Selain itu, BPOM RI juga berwenang dalam menyusun pedoman dan kode
praktis yang terkait dengan keamanan pangan tanpa melalui prosedur yang
berlaku di BSN. Pedoman, kode praktis, dan standar yang diberlakukan wajib
oleh BPOM RI kemudian secara umum disebut sebagai “Peraturan” yang
ditetapkan melalui surat keputusan kepala BPOM RI. Untuk itu, prosedur
perumusan standar oleh BSN dan peraturan oleh BPOM RI perlu dipelajari agar
diperoleh gambaran mengenai perumusan standar dan peraturan tersebut secara
lebih komprehensif.
3.3.3. Focus Group Discussion
Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk menjaring masukan dari
berbagai lembaga terkait (pemerintah, industri, akademisi, dan konsumen)
mengenai perumusan dan pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan
di Indonesia secara umum. FGD juga dilakukan untuk mengetahui gambaran
pelaksanaan kebijakan keamanan pangan secara umum di Indonesia, termasuk
penerapan standar dan peraturan yang dikeluarkan BSN dan BPOM RI.
FGD dilakukan dengan menghadirkan beberapa stakeholder yang terkait
dengan perumusan dan pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan.
32
FGD dilakukan pada 6 Desember 2010 di SEAFAST Center IPB Baranangsiang.
FGD tersebut dihadiri oleh BPOM RI (Deputi III, seluruh direktur kedeputian III,
dan staf), BSN, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Perindustrian, pihak industri (diwakili oleh Gabungan Pengusaha
Makanan dan Minuman Indonesia – GAPMMI, Pusat Informasi Produk Makanan
dan Minuman Seluruh Indonesia – PIPIMM, dan Asosiasi Industri Minuman
Ringan Indonesia – ASRIM), akademisi dari peneliti SEAFAST Center IPB, dan
konsumen yang diwakili oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Daftar peserta yang mengikuti FGD dapat dilihat pada Lampiran 4.
3.3.4. Survei
Survei dilakukan melalui penyebaran kuesioner kepada lembaga terkait
untuk menjaring pendapat dan penilaian terhadap perumusan dan pengembangan
standar dan peraturan keamanan pangan di Indonesia dengan lebih mendalam.
Pertanyaan pada kuesioner dikembangkan berdasarkan prinsip perumusan dan
pengembangan standar yaitu: Transparan, Terbuka, Konsensus dan tidak
memihak, Efektif dan relevan, Koheran, dan Berdimensi pengembangan. Standar
dan peraturan di dalam kuesioner digunakan istilah yang sama yaitu “Standar”.
A. Metode Sampling dan Responden
Metode sampling yang digunakan pada survei ini adalah purposive
sampling, yaitu sampel/contoh dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tertentu sesuai dengan tujuan penelitian (Mantra dan Kasto, 2008). Metode
sampling dilakukan dengan cara mengambil contoh yang sesuai dengan sifat-sifat
populasi. Responden yang akan dijadikan contoh harus diketahui sifat-sifatnya
dan diusahakan memiliki sifat yang sama dengan sifat populasi. Metode sampling
tersebut dilakukan dengan memilih responden yang terlibat dan berperan dalam
pengembangan standar dan peraturan di Indonesia. Responden adalah lembaga
dan perorangan yang memiliki sifat, peran, dan tugas masing-masing yang telah
diketahui sebelumnya dalam pengembangan standar dan peraturan keamanan
pangan.Survei dilakukan kepada 4 kelompok besar responden, yaitu pemerintah,
industri, akademisi, dan lembaga konsumen. Pembagian kelompok responden
33
tersebut berdasarkan pada rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization - WHO) yang memberikan gambaran bahwa keamanan pangan
dapat diwujudkan secara simultan oleh 3 pilar, yaitu: pemerintah, industri, dan
konsumen. Selain itu, pada survei ini dibagi 1 kelompok lagi yaitu akademisi.
Hal ini sejalan dengan acuan yang dibuat oleh CAC bahwa pihak yang
berkepentingan dalam perumusan standar (keamanan) pangan terdiri atas
pemerintah, industri, konsumen, dan akademisi.
Pada survei penelitian ini yang menjadi populasi sampling adalah lembaga
pemerintah, industri, akademisi, dan lembaga konsumen. Populasi sasaran pada
survei ini adalah individu yang pernah terlibat atau paham akan sistem
standardisasi produk pangan.
Kuesioner disebarkan melalui pos, faks/telefon, email, dan secara langsung
yang disertai dengan surat pengantar. Jumlah kuesioner yang disebarkan dan diisi
oleh responden dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Kuesioner yang Digunakan untuk Survei
Kelompok Jumlah Kuesioner Disebar
Jumlah Kuesioner Terisi
% Kuesioner Terisi
Pemerintah 44 23 52%
Industri 39 23 59%
Akademisi 13 7 54%
Lembaga Konsumen/Masyarakat 17 8 47%
Total 113 61 54%
Responden berasal dari berbagai daerah, yaitu dari pulau Sumatera, Jawa,
Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. Secara lengkap profil responden yang
berpartisipasi dalam kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 7.
B. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data kuesioner tersebut menggunakan perangkat komputer
dengan program yang digunakan adalah Microsoft Excel. Jenis data yang
34
digunakan di dalam kuesioner adalah nominal, ordinal, dan interval. Data
nominal digunakan misalnya pada pertanyaan dengan pilihan jawaban “Ya” dan
“Tidak”. Data ordinal digunakan misalnya pada pertanyaan dengan pilihan
jawaban “Sangat Baik”, “Baik”, “Cukup”, dan “Kurang”. Data interval
digunakan pada kuesioner dengan pertanyaan untuk mendapatkan pernyataan dari
responden dengan memberikan penilaian terhadap variabel tertentu (transparan,
keterbukaan, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dimensi
pengembangan) pada skala garis yang diberikan. Bentuk kuesioner yang
digunakan di dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 6.
3.3.5. Analisis Gap 1
Analisis gap perumusan, penetapan, dan pemberlakuan wajib standar oleh
BSN dan BPOM RI (dokumen tertulis) dibandingkan dengan perumusan standar
berdasarkan teori (ideal) yang menerapkan prinsip-prinsip perumusan dan
pengembangan standar keamanan pangan. Perumusan standar secara teori
mengacu pada pedoman yang telah diberlakukan oleh lembaga internasional
seperti CAC.
3.3.6. Analisis Gap 2
Analisis gap perumusan, penetapan, dan pemberlakuan standar oleh BSN
dan BPOM RI (dokumen tertulis) dibandingkan dengan penerapan dokumen
perumusan standar (pelaksanaan). Kondisi pelaksanaan perumusan standar dilihat
dari hasil focus group discussion (FGD) dan survei.
3.3.7. Penyusunan Rekomendasi Perumusan Standar dan Peraturan
Draf dan rekomendasi perumusan suatu standar dan peraturan keamanan
pangan disusun berdasarkan analisis gap 1 dan gap 2 pada Langkah 5 dan
Langkah 6. Rekomendasi perumusan standar dan peraturan dilakukan dengan
memperhatikan penerapan prinsip perumusan dan pengembangan standar dan
peraturan yaitu transparan, terbuka, konsensus dan tidak memihak, efektif dan
relevan, koheren, dan berdimensi pengembangan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perumusan Standar dan Peraturan oleh BSN, BPOM, dan CAC
Setiap lembaga mempunyai cara yang berbeda dalam perumusan suatu
peraturan dan standar. Paling tidak di Indonesia lembaga pemerintah yang
berwenang dalam perumusan dan pemberlakuan suatu standar keamanan pangan
ada 2 yaitu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dan Badan
Standardisasi Nasional (BSN). Selain dilihat prosedur perumusan dan
pemberlakuan suatu standar pangan pada lembaga di tingkat nasional tersebut, di
dalam pembahasan ini juga akan dilihat perumusan standar di tingkat
internasional oleh Codex Alimentarius Commission (CAC).
4.1.1.Perumusan Standar oleh BSN
Perumusan standar di BSN dimulai dengan penyusunan konsep oleh
konseptor dari perorangan atau gugus kerja yang ditunjuk oleh panitia teknis (PT)
atau subpanitia teknis (SPT). Konseptor dapat berasal dari dalam maupun luar
anggota PT/SPT. Panitia teknis terdiri atas beberapa orang yang merupakan
perwakilan dari lembaga pemerintah, industri (produsen), konsumen, dan
akademisi (pakar). Panitia teknis pada umumnya diketuai oleh seorang dari
perwakilan lembaga pemerintah yang terkait dengan standar yang akan dibahas.
Misalnya untuk standar yang terkait dengan bahan tambahan pangan dan
kontaminan, panitia teknis diketuai oleh pejabat atau staf dari direktorat
standardisasi produk pangan BPOM RI dengan sekretariat bertempat di kantor
BPOM RI.
Hasil dari penyusunan konsep adalah Rancangan Standar Nasional
Indonesia (RSNI) 1. RSNI 1 kemudian dibahas di dalam rapat teknis yang harus
dihadiri oleh semua anggota panitia teknis atau dengan jumlah yang memenuhi
kuorum dan adanya keterwakilan dari masing-masing lembaga pemerintah,
industri, konsumen, dan akademisi. Rapat teknis dihadiri oleh tenaga ahli
standardisasi (TAS) sebagai pengendali mutu yang ditugaskan oleh BSN untuk
memantau pelaksanaannya. TAS harus memastikan bahwa pelaksanaan rapat
36
teknis dihadiri oleh seluruh perwakilan lembaga dan pengambilan keputusan di
dalam rapat tersebut telah memenuhi prinsip konsensus.
Hasil dari rapat teknis adalah RSNI 2. Jika di dalam rapat teknis telah
terjadi konsensus dari semua perwakilan lembaga yang hadir, maka akan langsung
diperoleh RSNI 3. RSNI 3 kemudian diajukan kepada BSN untuk dilakukan jajak
pendapat. Jajak pendapat dilakukan kepada anggota PT/SPT dan anggota
Masyarakat Standardisasi Indonesia (MASTAN) kelompok minat yang relevan.
Hasil dari jajak pendapat adalah RSNI 4 atau Rancangan Akhir SNI (RASNI).
Jika saat jajak pendapat tidak diperoleh suara yang seluruhnya menyetujui, maka
dihasilkan RSNI 4 yang perlu diperbaiki dan dilakukan jajak pendapat kembali
hingga diperoleh keputusan yang merupakan kesepakatan bersama dengan
minimal 2/3 suara setuju dan maksimal ¼ suara tidak setuju dengan alasan yang
jelas. RASNI kemudian diberikan kepada BSN untuk ditetapkan sebagai SNI.
Mekanisme perumusan suatu standar yang saat ini berlaku di Badan
Standardisasi Nasional (BSN, 2007a) dapat dilihat pada Gambar 5.
4.1.2.Perumusan Peraturan dan Pemberlakuan Wajib Standar oleh BPOM
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang merupakan salah
satu instansi teknis menurut PP No. 102/2000 tentang Standardisasi Nasional,
berwenang dalam memberlakukan wajib suatu SNI yang dituangkan dalam suatu
peraturan melalui surat keputusan (SK) kepala BPOM RI. Saat ini, BPOM RI
juga menetapkan suatu peraturan berupa ketentuan, pedoman, dan kode praktis
yang terkait dengan keamanan pangan tanpa melalui prosedur yang ditetapkan
oleh BSN.
Penyusunan suatu peraturan, pedoman, dan kode praktis di BPOM RI
dimulai dengan melakukan pengumpulan materi dan kajian pustaka. Kemudian
dilakukan pemetaan dan kaji banding dengan peraturan yang berlaku baik di
dalam maupun luar negeri. BPOM RI kemudian mengundang narasumber dan
stakeholder untuk memberikan masukan dan dimintai pendapatnya. Pembahasan
draf peraturan, pedoman, dan kode praktis dilakukan sebanyak 3 kali untuk meng-
37
Penyusunan Standar
PELAKSANA & PESERTAHASILPROSES
Penyusunan konsep
Rapat teknis
RSNI1
RSNI2
Rapat konsensus
Perbaikan RSNI2 RSNI3
Jajak pendapat disetujui
Perbaikan RSNI3
RASNI
RSNI4
Penetapan + penomoran
Pemungutan suara disetujui
RASNI
SNI
Publikasi
Rapat teknis DT
Konseptor dan PT/SPT
PT/SPT dan TAS
QC
QC
PT/SPT dan TAS
PT/SPT
BSN, MASTAN, PT/SPT
BSN
PT/SPT
BSN, MASTAN, PT/SPT
BSN
BSN
BSN
PT
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
100%
<100%
Keterangan:PT : Panitia TeknisSPT : Sub Panitia TeknisTAS :Tenaga Ahli Standardisasi sebagai pengendali mutu yang ditugaskan oleh BSN untuk
memantau pelaksanaan rapat teknisBSN : Badan Standardisasi NasionalMASTAN : Masyarakat Standardisasi IndonesiaRSNI : Rancangan Standar Nasional IndonesiaDT : Dokumen Teknis
Gambar 5. Mekanisme Perumusan Suatu Standar di Indonesia (BSN, 2007a)
38
hasilkan rumusan yang baik (BPOM, 2010). Mekanisme perumusan suatu
peraturan dan pemberlakuan wajib standar yang saat ini berlaku di BPOM RI
dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Mekanisme Perumusan Suatu Peraturan dan Pemberlakuan Wajib Standar di BPOM RI (BPOM, 2010)
Instansi teknis (misal BPOM RI, Kemenkes, Kementan, KKP, Kemenperin,
Kemenhut) dapat memberlakukan wajib SNI yang terkait dengan kesehatan
masyarakat, keamanan, keselamatan atau pelestarian lingkungan hidup dan/atau
pertimbangan ekonomi. Intansi teknis dapat memberlakukan wajib keseluruhan
atau sebagian dan/atau sebagian parameter di dalam suatu SNI.
Jika instansi teknis, misalnya BPOM RI ingin memberlakukan wajib SNI,
maka perlu mengajukan usulan kepada BSN terlebih dahulu. Usulan tersebut
diberikan setahun sebelum rencana penetapan regulasi teknis yang akan
39
memberlakukan wajib SNI. BSN memasukkan usulan pemberlakuan regulasi
teknis di dalam Program Nasional Regulasi Teknis. Kemudian perumusan
regulasi teknis dilakukan oleh instansi teknis dengan memperhatikan berbagai
faktor agar regulasi tersebut efektif dijalankan dan tidak memberikan hambatan
yang berarti bagi perkembangan dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Draf regulasi teknis yang akan diberlakukan terlebih dahulu dilakukan notifikasi
kepada World Trade Organization (WTO) untuk mendapatkan tanggapan dari
anggota WTO. Notifikasi dilakukan melalui BSN. Jika draf regulasi teknis
tersebut dianggap tidak memberatkan bagi negara anggota WTO, instansi teknis
dapat menetapkan regulasi teknis tersebut.
Regulasi teknis kemudian dapat diimplementasi dengan mempertimbangkan
waktu bagi pelaku usaha untuk menyesuaikannya. Waktu implementasi regulasi
tersebut minimal 6 bulan setelah ditetapkan. Setelah diimplementasikan, instansi
teknis melakukan pengawasan pra pasar, pasar, dan didukung dengan pengawasan
oleh masyarakat. Misalkan untuk BPOM RI, melakukan pengawasan pra pasar
pada saat registrasi produk dari pelaku usaha. Pengawasan pasar dilakukan
melalui surveilan. Pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh lembaga
konsumen.
Gambar 7. Skema Framework Regulasi Teknis (BSN, 2011b)
40
Setelah beberapa waktu pemberlakuan berjalan, regulasi teknis perlu
dievaluasi dan dikaji ulang mengenai efektifitas pelaksanaannya. Evaluasi dan
kaji ulang minimal dilakukan setelah 5 tahun regulasi teknis berjalan. Jika ada hal
yang perlu diperbaiki, maka instansi teknis dapat menyusun kembali draf regulasi
teknis yang baru atau perbaikan regulasi teknis yang lama agar dapat
diimplementasi secara efektif.
Tata cara pemberlakuan SNI secara wajib
WaktuPelaksanaProses
Rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1
Kompilasi rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1
Publikasi rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1
Masukan thd rencana SNI yg akan diberlakukan secara
wajib tahun X+1
Rapat musyawarah penyelesaian duplikasi wewenang
Program Nasional Regulasi Teknis tahun X+1
Penyampaian Program Nasional Regulasi Teknis tahun X+1 kpd Instansi Teknis
Publikasi Program Nasional Regulasi Teknis tahun X+1
Perumusan Rencana Regulasi Teknis dan persiapan infrastruktur pendukungnya
Notifikasi Rancangan Regulasi Teknis ke WTO
Penetapan Regulasi Teknis
Pemberlakuan Regulasi
Pembahasan thd tanggapan Negara
anggota WTO
Masukan terkait duplikasi
kewenangan
Masukan tdk terkait duplikasi kewenangan
Ada tanggapan
Instansi Teknis
BSN c.q. Pusat yang terkait dengan
penerapan standar
BSN
Pejabat Es. I dari instansi terkait
Pihak yang berkepentingan
BSN
BSN
BSN
Instansi Teknis
Notification body
Instansi Teknis
Instansi Teknis
Selambatnya bulan April tahun X
Minggu kedua bulan Mei tahun X
14 hari setelah publikasi
Tergantung kesiapan Instansi Teknis
Peling singkat 60 hari setelah disampaikan
kepada sekretariat WTO
Paling singkat 6 bulan setelah ditetapkan
Tidak ada tanggapan
Tidak ada masukan
Gambar 8. Tata Cara Pemberlakuan SNI Secara Wajib (BSN, 2011b)
41
Berdasarkan keputusan kepala Badan Standardisasi Nasional dalam
Peraturan Kepala BSN Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pedoman Standardisasi
Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar
Nasional Indonesia Secara Wajib, setiap intansi teknis seperti BPOM yang akan
memberlakukan standar secara wajib harus mengikuti prosedur seperti Gambar 7
dan Gambar 8.
Beberapa contoh standar yang diberlakukan wajib di bidang pangan dan
pertanian oleh instansi teknis dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Di sektor
industri makanan dan minuman terdapat 440 SNI, dan 428 SNI di antaranya
memiliki relevansi dengan CAFTA (China-ASEAN Free Trade Agreement)
sementara 12 SNI lainnya tidak terkorelasi (BSN, 2010). Dari 428 SNI makanan
dan minuman tersebut, 9 SNI di antaranya telah ditetapkan sebagai SNI wajib
melalui regulasi pemerintah, dengan perincian pada Tabel 6.
Tabel 6. Regulasi Teknis Pemberlakuan Wajib SNI Bidang Pangan (BSN, 2010)
No SNI Regulasi Pemerintah
1 SNI 01-3751-2006, Tepung Terigu
Peraturan Menteri Perindustrian No. 49/M-IND/PER/7/2008
2 SNI 01-3747-1995, Kakao Bubuk
Peraturan Menteri Perindustrian No. 45/M-IND/PER/5/2009 diubah menjadi No. 157/M-IND/PER/11/2009
3 SNI 01-3553-2006, Air Minum dalam Kemasan
Peraturan Menteri Perindustrian No. 69/M-IND/PER/7/2009
4 SNI 01-3556-1994, Garam Konsumsi Beryodium
Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 29/M/SK/2/1995
5 SNI 01-3140.22006, Gula Kristal Rafinasi
Peraturan Menteri Perindustrian No. 27/M-IND/PER/2/2010
6 SNI 01-3140.12001, Gula Kristal Mentah (raw sugar)
Keputusan Bersama No. 03/Kpts/KB.410/1/2003
7 SNI 01-6993-2004, Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan - Persyaratan Penggunaan dalam Produk Pangan
Surat Keputusan Kepala BPOM No.00.05.5.1.4547
8 SNI 01-0222-1995, Bahan Tambahan Makanan
Peraturan Menteri Kesehatan No.722/ Menkes/PER/XI/88
9 SNI 01-0219 -1987, Kodeks Makanan Indonesia
Surat Keputusan Kepala BPOM No.HK.00.05.5.00617 dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 43/MENKES/SK/II/1979
42
Di sektor industri pertanian dan produk pertanian terdapat 121 SNI, dan 117
SNI di antaranya memiliki relevansi dengan CAFTA sementara 4 SNI lainnya
tidak terkorelasi (BSN, 2010). Dari 121 SNI pertanian dan produk pertanian
tersebut, 81 SNI di antaranya telah ditetapkan sebagai SNI wajib melalui 21
regulasi pemerintah seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Regulasi Teknis Pemberlakuan Wajib SNI Bidang Pertanian (BSN, 2010)
No Nomor Regulasi Tentang1 UU No. 12 Tahun 1992 Sistem budidaya tanaman2 UU No. 16 Tahun 1992 Karantina hewan, ikan dan tumbuhan3 UU No. 18 Tahun 2004 Perkebunan4 UU No. 18 Tahun 2009 Peternakan dan kesehatan hewan5 UU No. 22 Tahun 1983 Kesehatan masyarakat veteriner6 UU No. 82 Tahun 2000 Karantina hewan7 UU No. 14 Tahun 2002 Karantina tumbuhan8 Keputusan Bersama No.
881/MENKES/ SKB/VIII/1996 dan Nomor 711/Kpts/ TP.270/8/1996
Batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian
9 Peraturan Menteri No. 58/Permentan/ OT.140/8/2007
Pelaksanaan sistem standardisasi nasional di bidang pertanian
10 Keputusan Menteri No. 469/Kpts/ HK.310/8/2001
Tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran media pembawa organisme pengganggu tumbuhan karantina
11 Keputusan Menteri No. 380/Kpts/ OT.130/ 10/2005
Penunjukan direktorat jenderal pengolahan dan pemasaran hasil pertanian sebagai otoritas kompeten (competent authority) pangan organik
12 Keputusan Menteri No. 381/ Kpts/OT.140/ 10/2005
Pedoman sertifikasi kontrol veteriner unit usaha pangan asal hewan
13 Keputusan Menteri No. 37/ Kpts/HK.060/ 1/2006
Persyaratan teknis dan tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan buah-buahan dan sayuran buah segar ke dalam wilayah negara RI
14 Peraturan Menteri No. 18/ Permentan/ OT.140/2/2008
Persyaratan dan tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar
15 Peraturan Menteri No. 22/ Permentan/ OT.140/4/2008
Organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis karantina pertanian
16 Peraturan Menteri No. 35/Permentan/ OT.140/7/2008
Persyaratan dan penerapan cara pengolahan hasil pertanian asal tumbuhan yang baik(good manufacturing practices)
17 Peraturan Menteri No. 51/ Syarat dan tata cara pendaftaran pangan
43
No Nomor Regulasi TentangPermentan/ OT.140/ 10/2008
segar asal tumbuhan
18 Peraturan Menteri No. 27/ Permentan/ PP.340/5/2009
Pengawasan keamanan pangan terhadap pemasukan dan pengeluaran pangan segar asal tumbuhan
19 Peraturan Menteri No. 38/Permentan/ PP.340/8/2009
Perubahan peraturan menteri pertanian nomor: 27/ Permentan/PP.340/5/2009 tentang pengawasan keamanan pangan terhadap pemasukan dan pengeluaran pangan segar asal tumbuhan
20 Peraturan Menteri No. 20/Permentan/ OT.140/4/2009
Pemasukan dan pengawasan peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri
21 Peraturan Menteri No. 09/Permentan/ OT.140/2/2009
Persyaratan dan tatacara tindakan karantina tumbuhan terhadap pemasukan media pembawa organisme pengganggu tumbuhan karantina ke dalam wilayah negara RI
4.1.3.Perumusan Standar oleh CAC
Peran Codex Alimentarius Commission (CAC) penting terutama setelah
penandatanganan tentang perdagangan dan pengukuran sanitary pada General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) (Rees & Watson, 2000). Pada tahun
1994 Indonesia telah meratifikasi persetujuan pembentukan World Trade
Organization (WTO) dan menjadi salah satu negara anggotanya. Untuk itu,
produk Indonesia yang akan diekspor ke luar negeri, terutama ke negara anggota
WTO, harus memenuhi standar Internasional. Standar internasional yang menjadi
acuan adalah standar Codex dari CAC. Jika terjadi perselisihan perdagangan
antar negara anggota WTO, maka standar yang menjadi acuan adalah standar
Codex. Untuk itu, pengetahuan dan keterlibatan Indonesia di dalam perumusan
standar Codex juga sangat diperlukan.
Di dalam penelitian ini akan dibahas mengenai mekanisme penyusunan
standar internasional yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission
(CAC). Prinsip-prinsip perumusan standar oleh CAC tersebut akan menjadi
acuan dalam membandingkan dengan perumusan dan pemberlakuan wajib standar
oleh otoritas di Indonesia (BSN dan BPOM). Mekanisme perumusan standar di
Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah sebagai berikut (CAC, 2010):
44
1. CAC memutuskan untuk menyusun suatu standar dan memberikan tugas
kepada suatu komite untuk membahas. Keputusan untuk menyusun suatu
standar dapat berasal dari “codex committee”
2. Sekretariat melakukan persiapan untuk menyusun suatu usulan rancangan
standar menggunakan bahan dari “codex committee”
3. Usulan rancangan standar dikirim ke pemerintah negara serta organisasi
internasional untuk mendapatkan komentar seperlunya
4. Sekretariat menyampaikan usul-usul yang diterima kepada “codex committee”
5. Usulan rancangan standar disampaikan ke CAC, melalui sekretariat untuk
disetujui sebagai rancangan standar yang resmi
6. Rancangan standar disampaikan ke berbagai pemerintah dan organisasi
internasional
7. Sekretariat menyampaikan kembali ke “codex committee”
8. Rancangan standar disampaikan kembali ke CAC untuk diterima dan disahkan
menjadi CODEX STANDARD
Berdasarkan prosedur yang berlaku di CAC, beberapa bagian berperan
dalam perumusan standar. Diagram perumusan standar di CAC dapat dilihat pada
Gambar 9.
Gambar 9. Proses Perumusan Standar Codex (CAC, 2006)
45
Tabel 8. Analisis Gap Perumusan Standar BSN, BPOM, dan CAC Berdasarkan Teori dan Naskah PeraturanNo Kategori Perumusan Standar Secara Teoritis yang
Diterapkan CAC*Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan
Rekomendasi
BSN** BPOM***
1 Transparan Prosedur perumusan standar dapat diakses di website: http://www.codexalimentarius.net/
Prosedur perumusan standar dapat diakses di website: http://bsn.or.id/dan telah ditetapkan oleh kepala BSN
Prosedur perumusan peraturan (pemberlakuan standar) belum diketahui secara luas oleh pihak yang berkepentingan
Perumusan standar atau peraturan di BPOM perlu diketahui oleh semua pihak misalnya melalui publikasi di website
2 Terbuka Adanya keterlibatan negara anggota, NGO internasional, pakar dari JECFA/JEMRA/JMPR
Setiap delegasi negara anggota dapat mengirim delegasi yang merupakan perwakilan dari industri, organisasi konsumen, dan lembaga akademisi.
Mengakomodir kepentingan produsen, konsumen, pakar, dan regulator; serta MASTAN (Masyarakat Standardisasi Nasional)
Adanya keterlibatan dari BPOM, perwakilanindustri, konsumen, dan akademisi dalam penyusunan peraturan (standar)
-
3 Konsensus dan Tidak Memihak
Persetujuan standar melalui konsensus Setiap tahapan draf standar harus dipastikan telah
mencapai konsensus sebelum diajukan ke tahap selanjutnya
Rapat konsensus hanya dapat dilakukan apabila rapat mencapai kuorum
Belum secara eksplisit dijelaskan
BPOM perlu merumuskan prosedur konsensus dalam penetapan standar/peraturan dan prosedur tersebut didokumentasikan dengan baik dan disahkan melalui keputusan kepala BPOM
4 Efektif dan Relevan
oDukungan Ilmiah
Didukung oleh lembaga bersama FAO/WHO di bidang penelitian, yaitu JMPR (Joint FAO/WHO Meetings on Pesticide Residues), JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives), dan JEMRA (Joint FAO/WHO Expert Meetings on Microbiological Risk Assessment)
Lembaga penelitian internasional lain dapat berperan memberikan masukan dan saran dalam penyusunan standar
Dukungan ilmiah berasal dari individu/pakarperorangan, tanpa ada lembaga khusus yang diminta memberikan saran dan dukungan ilmiah dalam penyusunan standar.
Dukungan ilmiah berasal dari individu/pakar perorangan dan tim mitra bestari
Perlu dilakukan optimalisasi peran tim atau lembaga yang khusus mengkaji kriteria dalam standar secara ilmiah, terutama sebagai pengkaji risiko
46
Tabel 8. Analisis Gap Perumusan Standar BSN, BPOM, dan CAC Berdasarkan Teori dan Naskah Peraturan
Keterangan: *Berdasarkan CAC (2006) dan CAC (2007) **Berdasarkan BSN (2007a) ***Berdasarkan BPOM (2010)
No Kategori Perumusan Standar Secara Teoritis yang Diterapkan CAC*
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan
Rekomendasi
BSN** BPOM***
o Penggunaan ilmu pengetahuan dan faktor-faktor yang sah lainnya dalam penyusunan standar
Standar pangan, pedoman, dan rekomendasi lain dari CAC harus didasarkan pada prinsip analisis ilmiah yang kuat
Perlu dilakukan pernyataan resmi dalam dokumen BSN dan BPOM bahwa standar yang ditetapkan berdasarkan data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan
5 Koheren Mempertimbangkan peraturan yang berlaku secara regional, seperti UE (Uni Eropa)
Sedapat mungkin harmonis dengan standar internasional yang telah ada (mengadopsi satu standar internasional yang relevan)
Melalui Pemetaan dan Kaji Banding (Nasional, Regional, Internasional)
-
6 Berdimensi Pengembangan
Mengoptimalkan peran negara berkembang dalam perumusan standar
Mempertimbangkan kepentingan UMKM dan daerah dengan memberikan peluang untuk dapat berpartisipasi dalam proses perumusan SNI.
Secara eksplisit belum dicantumkan mengenai faktor tertentu yang dijadikan sebagai dimensi pengembangan dalam pemberlakuan standar
BPOM perlu menetapkan faktor yang menjadi dimensi pengembangan
Perumusan standar/peraturan di Indonesia perlu memperhatikan kepentingan dan usulan daerah
Perwakilan industri berasal dari asosiasi yang juga merepresentasikan kepentingan UMKM
47
4.1.4.Analisis Gap Perumusan Standar Secara Teoritis dan Berdasarkan
Dokumen yang Berlaku
Setelah dijelaskan mengenai perumusan standar dan peraturan yang berlaku
di Indonesia oleh BSN dan BPOM RI, kemudian dibandingkan dengan perumusan
standar secara teoritis (ideal) yang diberlakukan oleh CAC. Perbandingan
tersebut dituangkan dalam analisis gap yang dapat dilihat pada Tabel 8.
4.2. Pelaksanaan Perumusan Standar
Sebagai tahap awal, pada penelitian ini dilakukan cara untuk mengetahui
gambaran tentang permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan standar
keamanan pangan di Indonesia yang mengakibatkan rendahnya tingkat
implementasi standar. Cara yang dilakukan adalah melaksanakan focus group
discussion (FGD) dan penyebaran kuesioner.
4.2.1. Focus Group Discussion
Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengetahui gambaran
tentang permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan standar keamanan
pangan di Indonesia. FGD yang telah dilakukan pada tanggal 6 Desember 2010 di
SEAFAST Center IPB Baranangsiang, Bogor dihadiri oleh perwakilan
pemerintah, industri, lembaga konsumen, dan akademisi.
Tujuan FGD adalah menjaring masukan dari pihak industri dan konsumen
terhadap kebijakan pangan yang telah dikeluarkan oleh BPOM RI dan masukan
untuk mekanisme penyusunan peraturan dan regulasi pangan yang mampu
menghasilkan standar dan peraturan dengan tingkat keberterimaan yang tinggi
serta dapat melindungi konsumen dan sekaligus mendorong pertumbuhan industri
pangan. Beberapa masukan dari perwakilan pemerintah (BPOM, BSN,
Kementan, KKP, Kemenperin), Industri (GAPMMI, PIPIMM, ASRIM), Lembaga
Konsumen (YLKI), dan akademisi (SEAFAST Center – LPPM IPB) secara
ringkas dapat dilihat pada Tabel 9.
48
Tabel 9. Hasil Focus Group Discussion (FGD) tentang Kebijakan Pangan
Kelompok Tanggapan terhadap Kebijakan Pangan
Pengkategorian Berdasarkan Prinsip Perumusan dan
Pengembangan Standar*
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Pemerintah Standar diperlukan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab
√
Standar pangan dituntut untuk science & risk based √
Perumusan dan pemberlakuan standar pangan perlu cepat tanggap dan antisipasi terhadap inovasi √ √
Perumusan dan pemberlakuan standar pangan perlu kemitraan atau jejaring dengan pakar √
Standar pangan perlu pertimbangan antara harmonisasi peraturan dan kemampuan produsen √ √
BPOM akan melakukan upaya peningkatan dalam hal tata laksana, sumber daya manusia, sarana prasarana, dan kebutuhan data mengenai keadaan dan masalah kesehatan masyarakat serta studi paparan untuk mendukung perumusan dan pemberlakuan standar dan peraturan pangan
√ √
Industri Pemberlakuan standar dan peraturan yang belum disahkan secara resmi melalui keputusan kepala BPOM √ √
Penyusunan standar dan peraturan pangan kurang melibatkan industri √
Kurangnya sosialisasi standar dan peraturan pangan √
Ada standar dan peraturan pangan yang tidak memperhatikan kondisi Indonesia √
Pemahaman dan koordinasi SDM BPOM terhadap standar dan peraturan pangan masih lemah Tidak terkait perumusan
Tim mitra bestari dan pakar kurang menguasai persoalan saat perumusan standar dan peraturan pangan √
Adanya peraturan pangan yang tidak konsisten, misal antara SNI dan peraturan BPOM RI √
(Tanggapan dan masukan dari Industri secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5)
49
Tabel 9. Hasil Focus Group Discussion (FGD) tentang Kebijakan Pangan (Lanjutan)
*Keterangan: Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar(1) = Transparan(2) = Terbuka(3) = Konsensus dan Tidak Memihak(4) = Efektif dan Relevan(5) = Koheren(6) = Berdimensi Pengembangan
Kelompok Tanggapan terhadap Kebijakan Pangan
Pengkategorian Berdasarkan Prinsip Perumusan dan Pengembangan
Standar*
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Konsumen Penerapan standar pangan oleh industri masih rendah √
Sosialisasi standar dan peraturan pangan oleh pemerintah kurang maksimal √
Perlu program untuk mempermudah produsen mensertifikasi produk yang comply dengan standar pangan √
Penerapan sanksi bagi yang melanggar peraturan pangan masih lemah (-) Tidak terkait perumusan
Pemerintah lemah dalam pengawasan pangan (-) Tidak terkait perumusan
Akademisi Adanya standar dan peraturan pangan yang terlalu longgar √
Adanya standar dan peraturan pangan yang terlalu ketat √
Standar dan peraturan pangan belum menerapkan prinsip analisis risiko √
Perumusan dan penetapan standar dan peraturan pangan perlu menerapkan prinsip RIA √ √ Total
Jumlah 3 2 1 12 3 3 24
Persentase terhadap Total (%) 12,5 8,3 4,2 50,0 12,5 12,5 100,0
50
Hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada tanggal 6
Desember 2010 memperlihatkan bahwa permasalahan utama yang menjadi
kendala dalam kebijakan pangan adalah pada saat perumusan peraturan dan
standar. Masalah perumusan peraturan dan standar menjadi penyebab munculnya
masalah-masalah lain, seperti rendahnya penerapan oleh pelaku usaha, sulitnya
pengawasan dikarenakan keterbatasan infrastruktur (laboratorium uji), dan
rendahnya tingkat sosialisasi yang hanya mengandalkan satu institusi
(pemerintah). Jika dilihat berdasarkan prinsip perumusan dan pengembangan
standar, hasil FGD dari keempat kelompok (pemerintah, industri, konsumen, dan
akademisi) menunjukkan bahwa penerapan prinsip efektif dan relevan masih
rendah.
Perumusan kebijakan pangan yang menjadi masalah utama adalah mengenai
standar yang diberlakukan wajib dan ditetapkan oleh BPOM RI. Banyak standar
pangan SNI yang diberlakukan wajib dan peraturan yang dituangkan dalam surat
keputusan (SK) kepala BPOM RI menjadi bermasalah dalam penerapannya oleh
industri.
Jika dilihat berdasarkan kategori prinsip dan pengembangan standar pada
Tabel 9, terlihat bahwa penerapan prinsip yang paling bermasalah adalah prinsip
efektif dan relevan (50%). Hal ini perlu menjadi perhatian utama dalam
memperbaiki perumusan dan pengembangan standar dan peraturan pangan, agar
standar dan peraturan yang dihasilkan dapat diterapkan oleh pelaku usaha secara
efektif.
4.2.2. Survei
Berdasarkan informasi dari hasil Focus Group Discussion (FGD), diperoleh
kesimpulan bahwa permasalahan utama yang menjadi kendala kebijakan pangan
adalah mengenai pengembangan standar keamanan pangan, khususnya terkait
dengan perumusan standar dan peraturan. Untuk itu, perlu dilakukan penggalian
informasi yang lebih mendalam mengenai permasalahan perumusan dan
pengembangan standar dan peraturan tersebut. Penggalian informasi tersebut
51
dilakukan melalui survei. Pada survei yang dilakukan, kata “Standar” termasuk
(standar) SNI dan peraturan keamanan pangan.
Survei dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada 4 kelompok besar
responden, yaitu pemerintah, industri, akademisi, dan lembaga konsumen.
Masing-masing responden diberikan pertanyaan yang sama mengenai penerapan
prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan di
Indonesia, yaitu prinsip transparan, terbuka, konsensus dan tidak memihak, efektif
dan relevan, koheren, dan prinsip berdimensi pengembangan. Penilaian umum
masing-masing kelompok responden terhadap penerapan prinsip perumusan dan
pengembangan standar keamanan pangan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Penilaian Umum Kelompok Responden terhadap Penerapan Prinsip-Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar
Pada Gambar 10 terlihat bahwa nilai rata-rata penilaian seluruh responden
untuk setiap prinsip perumusan dan pengembangan standar berada pada nilai
sekitar 0,5 dari nilai minimal 0 (kurang) dan maksimal 1 (sangat baik). Artinya,
rata-rata seluruh responden memberikan penilaian antara baik dan cukup untuk
penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar (transparan,
terbuka, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan
berdimensi pengembangan). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan dari prinsip-
prinsip perumusan dan pengembangan tersebut belum sepenuhnya dinilai baik
52
oleh rata-rata responden, karena posisi penilaiannya masih berada di tengah-
tengah skala.
Gambar 10 juga memperlihatkan bahwa beberapa kelompok responden
memberikan penilaian yang berbeda terhadap penerapan prinsip-prinsip
perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia. Pada
umumnya kelompok responden pemerintah memberikan penilaian yang baik
terhadap penerapan seluruh prinsip perumusan dan pengembangan standar
keamanan pangan (transparan, terbuka, konsensus dan tidak memihak, efektif dan
relevan, koheren, serta berdimensi pengembangan).
Nilai yang berbeda dengan pemerintah terlihat pada penilaian dari
responden industri dan lembaga konsumen. Responden dari kelompok industri
dan lembaga konsumen masing-masing memberikan penilaian yang hampir
separuh lebih rendah dibandingkan dengan penilaian dari responden Pemerintah.
Data-data di atas memberikan gambaran bahwa persepsi responden terhadap
penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar saat ini berbeda
antar kelompok responden. Pemerintah memberikan penilaian yang relatif baik
terhadap penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar. Akan
tetapi kelompok industri dan konsumen menilai penerapan prinsip-prinsip tersebut
belum diterapkan secara optimal yang terlihat dari penilaiannya yang rendah. Hal
ini menunjukkan bahwa pihak pemerintah sudah merasa benar dan sesuai dalam
menyusun dan mengembangkan standar pangan di Indonesia, sedangkan pihak
industri dan konsumen merasa prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan
standar belum dilaksanakan dengan baik.
Jika dilihat perbedaan penilaian antara kelompok responden pemerintah dan
industri, penilaian terhadap prinsip Transparan dan Efektif dan Relevan memiliki
perbedaan yang paling besar. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa penerapan
dari prinsip Transparan dan Efektif dan Relevan belum dijalankan dengan baik
saat perumusan dan pengembangan standar terutama bagi kelompok industri.
53
A. Prinsip Transparan
Codex Alimentarius Commission memberikan rekomendasi bahwa kajian
risiko harus dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan oleh
semua pihak termasuk pemerintah, industri dan konsumen. Keseragaman kajian
harus dilakukan dengan proses yang terbuka dan kemudahan untuk diakses oleh
pemerintah dan semua organisasi yang berkepentingan dan tahapannya harus
diketahui oleh masyarakat umum (Randel, 2000).
Gambar 11. Pengetahuan Responden tentang Tahapan Proses Pembuatan Standar
Gambar 11 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden mengetahui
tahapan proses pembuatan standar. Beberapa responden (18,33% dari 60
responden) belum mengetahui tahapan proses pembuatan standar, termasuk
beberapa lembaga pemerintah, industri, dan konsumen. Jika dilihat masing-
masing kelompok responden, maka 13,04% pemerintah, 8,33% industri, 0%
akademisi, dan 37,5% lembaga konsumen menyatakan belum mengetahui proses
pembuatan standar. Kelompok responden pemerintah dan lembaga konsumen
yang menyatakan belum mengetahui proses pembuatan standar adalah responden
dari daerah (Tabel 10). Responden pemerintah dan lembaga konsumen yang
menyatakan tidak mengetahui proses pembuatan standar 100% dari instansi
daerah. Hal ini dapat menjadi perhatian untuk lebih meningkatkan sosialisasi
mengenai proses perumusan standar keamanan pangan di Indonesia kepada semua
stakeholder, termasuk instansi yang berada di daerah.
54
Tabel 10. Pengetahuan Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah tentang Tahapan Proses Pembuatan Standar
Pertanyaan: Apakah Anda mengetahuiproses pembuatan standar?
JawabanTotal
% Jawaban "Tidak" terhadap TotalYa Tidak
Responden Pemerintah
Daerah 8 3 11 27,27
Keseluruhan 20 3 23 13,04
% Daerah terhadap Keseluruhan 40,00 100,00 47,83 -
Responden Lembaga Konsumen
Daerah 0 3 3 100,00
Keseluruhan 5 3 8 37,50
% Daerah terhadap Keseluruhan 0,00 100,00 37,50 -
Meskipun sebagian besar responden (81,67% dari 60 responden)
menyatakan bahwa mereka mengetahui tahapan proses pembuatan standar, tetapi
masih banyak responden yang menyatakan sulit untuk mendapatkan informasi
prosedur perumusan standar tersebut. Tingkat kemudahan responden memperoleh
informasi mengenai prosedur perumusan standar dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Tingkat Kemudahan Responden Memperoleh Informasi Prosedur Perumusan Standar
Pertanyaan: Seberapa mudah Anda mendapatkan informasi prosedur penyusunan suatu standar?
Kelompok Responden
Pemerintah Industri Akademisi Lembaga Konsumen
Total
Jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1= Sangat mudah 5 21,74 0 0 2 28,57 2 25 9 14,75
2= Mudah 14 60,87 9 39,13 2 28,57 4 50 29 47,54
3= Sulit 4 17,39 13 56,52 3 42,86 1 12,5 21 34,42
4= Sangat sulit 0 0 1 4,35 0 0 1 12,5 2 3,279
Total 23 100 23 100 7 100 8 100 61 100
Tabel 11 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (47,54% dari 61
responden) menyatakan bahwa untuk mendapatkan informasi prosedur perumusan
suatu standar mudah. Akan tetapi dengan jumlah yang cukup besar juga (34,43%
dari 61 responden) responden menyatakan bahwa untuk mendapatkan informasi
tersebut sulit. Sebagian besar yang menyatakan bahwa untuk memperoleh
informasi prosedur perumusan standar masih sulit adalah dari responden
kelompok industri. Bahkan jumlah responden industri yang menyatakan bahwa
55
memperoleh informasi prosedur penyusunan standar masih sulit (56,52% dari 23
responden) lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang menyatakan mudah
(39,13% dari 23 responden).
Berbeda dengan kelompok responden industri, kelompok responden
pemerintah yang menyatakan sangat mudah dan mudah memperoleh informasi
prosedur penyusunan standar jumlahnya lebih besar (21,74% dan 60,87% dari 23
responden) dibandingkan dengan responden yang menyakatan sulit dan sangat
sulit (17,39% dan 0% dari 23 responden). Kondisi tersebut dapat dijadikan
indikator bahwa penyampaian informasi mengenai prosedur pembuatan standar
belum berjalan secara optimal, khususnya kepada industri.
Padahal informasi mengenai prosedur penyusunan standar sangat berguna
bagi pelaku usaha (industri) yang akan menerapkan standar. Jika informasi
prosedur penyusunan ini diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan,
terutama pelaku usaha, diharapkan keterlibatan mereka di dalam penyusunan
standar menjadi besar. Keterlibatan yang besar dari pelaku usaha dalam
penyusunan dan konsensus standar diharapkan dapat meningkatkan keberterimaan
dan penerapan standar yang dihasilkan.
Dari responden yang menyatakan bahwa mereka mengetahui tahapan proses
pembuatan standar perlu diketahui juga cara dan media yang dimanfaatkan untuk
memperoleh informasi tersebut. Gambar 12 memperlihatkan sumber informasi
yang digunakan oleh responden untuk memperoleh inforasi mengenai prosedur
penyusunan standar.
Gambar 12 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (40,91% dari
66 jawaban responden) menjawab bahwa sumber informasi perumusan standar
diperoleh dari website/internet. Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk
meningkatkan keterbukaan informasi perumusan standar akan lebih efektif jika
dilakukan melalui website/internet.
56
Gambar 12. Sumber Informasi Perumusan Standar
Urutan kedua responden menjawab bahwa informasi prosedur penyusunan
standar diperoleh dari instansi tempat responden bekerja, dengan jumlah 30,30%
dari 66 jawaban responden. Sebagian besar yang menjawab hal tersebut adalah
responden kelompok pemerintah. Hal ini dapat dipahami karena pemerintah
merupakan lembaga yang berwenang dalam mengkoordinasi perumusan standar
dan sebagai regulator yang memberlakukan standar. Sebagian responden yang
lain menjawab informasi prosedur penyusunan standar diperoleh melalui surat
dari intansi terkait dan perorangan dengan masing-masing jumlah 21,21% dan
1,51% dari total 66 jawaban responden.
B. Prinsip Terbuka
Terbuka adalah salah satu prinsip yang harus dipenuhi di dalam perumusan
dan pengembangan suatu standar. Terbuka dapat diartikan bahwa di dalam
menyusun dan menetapkan suatu standar keamanan pangan, semua stakeholder
harus dilibatkan. Pihak pemerintah, industri, akademisi, dan konsumen harus
terlibat di dalam perumusan dan penetapan standar keamanan pangan. Semua
stakeholder diberi kesempatan yang sama dalam menyampaikan aspirasi dan
suara dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar.
57
Gambar 13. Keterlibatan Responden sebagai Panitia Teknis Perumusan Standar
Gambar 13 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden yang
berpartisipasi dalam survei ini pernah dilibatkan sebagai panitia teknis
penyusunan suatu standar (60% dari 60 responden), meskipun masih banyak
responden yang merasa belum dilibatkan sebagai panitia teknis perumusan standar
(40% dari 60 responden). Hal ini dapat dijadikan dasar untuk mengetahui lebih
jauh mengenai pelaksanaan perumusan dan penetapan standar di tingkat panitia
teknis berdasarkan informasi dari responden yang berpartisipasi dalam survei ini.
Gambar 14. Partisipasi Responden dalam Memberikan Masukan terkait Pembuatan Suatu Standar Pangan
58
Gambar 14 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (81,36% dari
59 responden) pernah dimintai/memberikan masukan terkait dengan pembuatan
suatu standar. Dalam jumlah yang lebih kecil (18,64% dari 59 responden)
menyatakan bahwa mereka tidak pernah dimintai masukan terkait dengan
pembuatan suatu standar. Jika dilihat per kelompok responden, 23,81%
pemerintah, 17,39% industri, 0% akademisi, 25% lembaga konsumen menyatakan
tidak pernah dimintai masukan terkait pembuatan suatu standar.
Sebagian besar kelompok responden pemerintah dan lembaga konsumen
yang menyatakan tidak pernah dimintai masukan terkait pembuatan standar
berasal dari daerah (Tabel 12). Responden pemerintah dan lembaga konsumen
yang menyatakan tidak pernah dimintai masukan terkait pembuatan standar
masing-masing sebesar 80% dan 100% berasal dari instansi di daerah
Tabel 12. Partisipasi Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah dalam Memberikan Masukan terkait Pembuatan Standar Pangan
Pertanyaan: Apakah Anda/instansi Anda pernah dimintai masukan terkait pembuatan suatu standar pangan yang terkait bidang Anda?
Jawaban
Total
% Jawaban "Tidak" terhadap
TotalYa Tidak
Responden PemerintahDaerah 5 4 9 44,44Keseluruhan 16 5 21 23,81% Daerah terhadap Keseluruhan 31,25 80,00 42,86 -
Responden Lembaga KonsumenDaerah 1 2 3 66,67Keseluruhan 6 2 8 25,00% Daerah terhadap Keseluruhan 16,67 100,00 37,50 -
Gambar 15 memperlihatkan jumlah responden yang pernah dan tidak pernah
mengusulkan pembuatan standar pangan jumlahnya hampir berimbang. Setiap
kelompok responden ada yang pernah mengusulkan pembuatan standar pangan.
Akan tetapi jumlah responden yang pernah mengusulkan pembuatan suatu standar
pangan jumlahnya lebih kecil (45,61% dari 57 responden) dibandingkan dengan
jumlah responden yang tidak pernah mengusulkan pembuatan suatu standar
pangan (54,39% dari 57 responden). Sebagian besar kelompok responden industri
(65,22% dari 23 responden) menyatakan tidak pernah mengusulkan pembuatan
suatu standar pangan.
59
Gambar 15. Peran Responden dalam Mengusulkan Pembuatan Standar Pangan
Tingkat partisipasi dari semua stakeholder di dalam mengusulkan
pembuatan suatu standar pangan sangat penting, terlebih untuk para pelaku usaha
(industri) di bidang pangan yang nantinya akan menerapkan standar tersebut. Jika
melihat Gambar 15 terlihat bahwa kelompok responden industri sebagian besar
tidak pernah mengusulkan pembuatan suatu standar. Hal ini akan menjadi salah
satu indikator penyebab rendahnya tingkat penerapan suatu standar. Kondisi
tersebut dikhawatirkan membuat para pelaku usaha merasa bahwa standar yang
dibuat adalah tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Tabel 13. Peran Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah dalam Mengusulkan Pembuatan Standar Pangan
Pertanyaan: Apakah Anda/instansi Anda pernah mengusulkan pembuatan suatu standar pangan?
JawabanTotal
% Jawaban "Tidak" terhadap
TotalYa Tidak
Responden PemerintahDaerah 5 4 9 44,44Keseluruhan 12 7 19 36,84% Daerah terhadap Keseluruhan 41,67 57,14 47,37 -
Responden Lembaga KonsumenDaerah 0 3 3 100,00Keseluruhan 3 5 8 62,50% Daerah terhadap Keseluruhan 0,00 60,00 37,50 -
Selain itu, kelompok responden pemerintah juga masih banyak yang tidak
pernah mengusulkan pembuatan suatu standar. Kelompok responden pemerintah
60
ini pada umumnya berada di daerah yaitu sebesar 57,14% (Tabel 13). Hal ini
menjadi tantangan dalam pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia.
Keterlibatan dan usulan dari daerah sangat diperlukan dalam mempertimbangkan
suatu standar, sehingga dapat diaplikasikan dengan mudah oleh semua pihak
termasuk bagi instansi pemerintah yang ada di daerah.
C. Prinsip Konsensus dan Tidak Memihak
Prinsip konsensus dan tidak memihak dapat diartikan bahwa standar yang
ditetapkan merupakan hasil kesepakatan di antara semua stakeholder dan
mempertimbangkan asas keadilan dalam penetapannya. Gambar 16 dan Tabel 14
menunjukkan pendapat responden dari kelompok pemerintah, industri, akademisi,
dan lembaga konsumen tentang pelaksanaan prinsip konsensus dan tidak
memihak di dalam penetapan suatu standar pangan.
Gambar 16. Keterlibatan Responden dalam Pengambilan Keputusan Saat Penetapan Standar
Gambar 16 memperlihatkan bahwa dengan jumlah yang hampir sama
responden yang menyatakan bahwa mereka pernah dan tidak pernah dilibatkan
dalam pengambilan keputusan dalam penetapan suatu standar pangan dengan
jumlah masing-masing 56,67% dan 43,33% dari 60 total responden. Responden
kelompok pemerintah (sebagian besar berada di daerah, Tabel 14) yang merasa
tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut juga jumlahnya masih
61
relatif besar. Responden pemerintah dan lembaga konsumen yang merasa belum
dilibatkan dalam pengambilan keputusan suatu standar pangan masing-masing
sebesar 81,82% dan 100% dari instansi di daerah. Ke depan efektifitas peran
semua stakeholder dalam pengambilan keputusan dalam penetapan suatu standar
sangat diperlukan untuk menghasilkan standar yang baik dan dapat diterapkan
dengan efektif.
Tabel 14. Keterlibatan Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerahdalam Pengambilan Keputusan Saat Penetapan Standar
Pertanyaan: Apakah Anda/instansi Anda pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan suatu standar pangan?
JawabanTotal
% Jawaban "Tidak"
terhadap TotalYa Tidak
Responden PemerintahDaerah 1 9 10 90,00Keseluruhan 11 11 22 50,00% Daerah terhadap Keseluruhan 9,09 81,82 45,45 -
Responden Lembaga KonsumenDaerah 0 3 3 100,00Keseluruhan 5 3 8 37,50% Daerah terhadap Keseluruhan 0,00 100,00 37,50 -
Jumlah responden yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan suatu
standar dan jumlah responden yang terlibat sebagai panitia teknis perumusan
standar hampir sama. Total responden yang menyatakan pernah terlibat dalam
pengambilan keputusan saat penetapan standar sebanyak 56,67% dari 60
responden (Gambar 16), sedangkan total responden yang menyatakan pernah
terlibat sebagai panitia teknis perumusan standar sebesar 60% dari 60 responden
(Gambar 13). Hal ini menunjukkan konsistensi dari data yang diperoleh, yaitu
responden yang tidak terlibat sebagai panitia teknis juga tidak akan terlibat dalam
pengambilan keputusan saat penetapan standar.
Sekitar 60% responden dari total 60 responden yang menyatakan pernah
terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar pangan,
kemudian diberikan pertanyaan lanjutan. Pertanyaan tersebut terkait dengan
pelaksanaan proses pengambilan keputusan. Tabel 15 menunjukkan pendapat
responden terhadap pelaksanaan pengambilan keputusan saat penetapan suatu
standar.
62
Tabel 15. Pendapat Responden terhadap Pelaksanaan Pengambilan Keputusan Saat Penetapan Standar
Pertanyaan 1 : Apakah aspirasi Anda diterima/diakomodasi dalam pengambilan keputusan?Kelompok
RespondenPemerintah Industri Akademisi Lembaga
KonsumenTotal
Jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1= Ya 9 75 1 7,69 3 60 2 33,33 15 41,67
2= Sebagian 3 25 12 92,31 2 40 3 50 20 55,55
3= Tidak 0 0 0 0 0 0 1 16,67 1 2,78
Total 12 100 13 100 5 100 6 100 36 100
Pertanyaan 2 : Seberapa besar pengaruh Anda/Instansi Anda dalam pengambilan keputusan?Kelompok
RespondenPemerintah Industri Akademisi Lembaga
KonsumenTotal
Jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1= Sangat besar 5 41,67 0 0 0 0 2 33,33 7 19,44
2= Besar 4 33,33 1 7,69 1 20 2 33,33 8 22,22
3= Cukup besar 2 16,67 8 61,54 3 60 1 16,67 14 38,90
4= Kecil 1 8,33 4 30,77 1 20 1 16,67 7 19,44
Total 12 100 13 100 5 100 6 100 36 100
Pertanyaan 3 : Menurut Anda bagaimana proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan?Kelompok
RespondenPemerintah Industri Akademisi Lembaga
KonsumenTotal
Jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1= Berimbang 10 90,91 6 46,15 2 40 3 60 21 61,76
2= Tidak berimbang 1 9,09 7 53,85 3 60 2 40 13 38,24
Total 11 100 13 100 5 100 5 100 34 100
Tabel 15 pada Pertanyaan 1 memperlihatkan bahwa sebagian besar
responden (55,56% dari 36 responden) menyatakan bahwa hanya sebagian
aspirasi mereka diterima atau diakomodasi dalam pengambilan keputusan saat
penetapan suatu standar. Responden yang menyatakan hal tersebut sebagian besar
dari kelompok industri (92,31% dari 13 responden kelompok industri). Hal ini
berbeda dengan kelompok pemerintah yang menyatakan bahwa aspirasi mereka
diterima (sepenuhnya) di dalam pengambilan keputusan dalam penetapan suatu
standar (75% dari 12 responden kelompok pemerintah). Perbedaan persepsi ini
akan menjadi penghambat dalam penerapan standar. Kelompok industri
menganggap bahwa standar yang dibuat adalah bukan hasil kesepakatan yang adil
dikarenakan tidak semua aspirasinya diterima di dalam pengambilan keputusan
63
dalam penetapan standar tersebut. Untuk itu, mekanisme dan pelaksanaan dalam
pengambilan keputusan perlu diperbaiki agar semua stakeholder yang terlibat
tidak ada yang merasa tidak atau kurang diperhatikan dalam menyampaikan
aspirasinya.
Tabel 15 pada Pertanyaan 2 memperlihatkan bahwa sebagian besar
responden (38,89% dari 36 responden) menyatakan bahwa pengaruh mereka di
dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar cukup besar. Responden
yang menyatakan bahwa pengaruhnya kecil dan cukup besar dalam pengambilan
keputusan penetapan standar sebagian besar dari responden kelompok industri
(30,77% dan 61,54% dari 13 responden kelompok industri). Sebagian besar
responden kelompok pemerintah menyatakan bahwa pengaruhnya sangat besar
dan besar di dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar (41,67%
dan 33,33% dari 12 responden kelompok pemerintah). Perbedaan penilaian
tersebut juga dapat memperlihatkan persepsi ketidakadilan di dalam pengambilan
keputusan saat penetapan suatu standar, terutama bagi kalangan industri/pelaku
usaha.
Tabel 15 pada Pertanyaan 3 memperlihatkan pendapat responden terhadap
proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar.
Meskipun secara total sebagian besar responden (61,76% dari 34 responden)
menyatakan bahwa proporsi setiap instansi sudah seimbang, tetapi jika dilihat per
kelompok responden akan terlihat penilaian yang berbeda. Sebagian besar
kelompok responden industri menyatakan bahwa saat ini proporsi setiap instansi
dalam pengambilan keputusan penetapan suatu standar tidak berimbang. Dari
total 13 responden kelompok industri, 53,85% menyatakan tidak berimbang,
sedangkan 46,15% yang menyatakan berimbang.
Hal sebaliknya dinyatakan oleh responden kelompok pemerintah yang
hampir seluruhnya menyatakan bahwa proporsi pengambilan keputusan sudah
berimbang. Dari total 11 responden, 90,91% kelompok responden pemerintah
menyatakan berimbang, sedangkan hanya 9,09% yang menyatakan tidak
berimbang. Hal tersebut menunjukkan perbedaan persepsi lagi antara responden
kelompok pemerintah dan kelompok industri.
64
D. Prinsip Efektif dan Relevan
Prinsip efektif dan relevan dapat diartikan bahwa standar yang dibuat harus
dapat digunakan dan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan para pelaku usaha.
Kesiapan pelaku usaha di dalam menerapkan standar yang dibuat harus
diperhatikan agar standar dapat digunakan secara efektif.
Gambar 17. Pengetahuan Responden terhadap SNI produknya
Gambar 17 memperlihatkan bahwa hampir semua responden (92,73% dari
55 responden) mengetahui standar SNI untuk produk yang dihasilkannya.
Sebanyak 100% dari 23 responden kelompok industri mengetahui SNI produknya.
Hal ini menjadi indikator awal kemungkinan semua responden, terutama pelaku
usaha (industri) untuk menerapkan standar pangan yang telah ditetapkan. Akan
tetapi, pengetahuan responden (industri) akan SNI produknya belum tentu akan
berimplikasi pada penerapan SNI tersebut pada produk yang dihasilkan responden
(industri). Tingkat penerapan standar oleh responden (industri) dapat dilihat pada
Gambar 18, Gambar 19, dan Gambar 20.
65
Gambar 18. Pendapat Responden Mengenai Penerapan Standar
Gambar 18 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (65,38% dari
52 responden), termasuk pelaku usaha (industri) telah menerapkan standar yang
dikeluarkan oleh BSN/BPOM. Akan tetapi jika dilihat per kelompok responden,
terlihat masih banyak pelaku industri (30,43% dari 23 responden) menyatakan
hanya sebagian standar yang dikeluarkan/ditetapkan BPOM dan BSN diterapkan
di instansinya. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan standar yang
dikeluarkan BPOM dan BSN belum sepenuhnya efektif diterapkan oleh pelaku
usaha. Kondisi rendahnya penerapan standar pangan terutama yang telah
dikeluarkan oleh BSN dapat dilihat kajian BSN (2009).
Gambar 19. Pendapat Responden Mengenai Manfaat Penerapan Standar
66
Gambar 19 memperlihatkan bahwa hampir semua responden (90,38% dari
52 responden) menyatakan bahwa penerapan standar memberikan manfaat bagi
diri atau instansinya. Hanya sebagian kecil (9,62% dari 52 responden) terutama
dari responden kelompok industri dan akademisi yang menyatakan bahwa
penerapan standar memberikan manfaat sebagian (tidak sepenuhnya). Sebanyak
17,39% dari 23 responden kelompok industri menyatakan bahwa penerapan
standar hanya sebagian memberikan manfaat.
Gambar 20. Pendapat Responden Mengenai Hambatan dalam Penerapan Standar
Kajian BSN (2009) menunjukkan bahwa penerapan penerapan standar
pangan SNI yang bersifat sukarela masih rendah, untuk itu perlu dicari faktor-
faktor yang menjadi penghambat di dalam penerapan standar pangan SNI
tersebut. Gambar 20 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (53,33% dari
60 responden) menyatakan bahwa kesiapan lab uji adalah faktor penghambat
utama di dalam penerapan standar (keamanan) pangan. Selain itu, faktor biaya
dan teknologi juga menjadi penghambat dalam penerapan suatu standar
(keamanan) pangan dengan jumlah responden masing-masing 33,33% dan
13,33% dari total 60 responden.
Jika dilihat secara khusus pada jawaban kelompok responden industri
sebagai kelompok yang akan menerapkan standar, terlihat bahwa sebanyak
58,62%, 31,03%, 10,35% dari 29 jawaban responden kelompok industri berturut-
turut memberikan jawaban faktor kesiapan lab uji, biaya, dan teknologi yang
67
menjadi penghambat di dalam penerapan standar. Untuk itu, di dalam menyusun
dan menetapkan suatu standar (keamanan) pangan faktor tersebut (kesiapan lab
uji, biaya, dan teknologi) dan terutama faktor kesiapan lab uji harus diperhatikan
agar standar yang dibuat efektif diterapkan oleh pelaku usaha.
Menurut Othman (2006) infrastruktur labororatorium yang memadai sangat
dibutuhkan untuk mendukung kegiatan monitoring, surveilan, dan penegakan
peraturan dalam meningkatkan sistem keamanan pangan. Kesiapan laboratorium
meliputi peralatan pada laboratorium pengawasan pangan, analis yang terlatih,
dan implementasi Sistem Jaminan Mutu yang sesuai dengan standar internasional.
Tantangan terbesar bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam
meningkatkan kemampuan laboratorium pengawasan pangan adalah dengan
memperkecil nilai limit of detection (LOD) pada alat laboratorium yang
digunakan untuk mendeteksi keberadaan zat yang dilarang menurut peraturan.
Gambar 21. Pendapat Responden Mengenai Faktor yang Perlu Dipertimbangkan dalam Perumusan Standar
Gambar 21 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menyatakan
bahwa faktor perdagangan, kesehatan, kesiapan teknologi, gizi, dan lingkungan
68
sangat penting dan penting diperhatikan dalam perumusan standar. Lebih dari
50% pada setiap faktor, responden menyatakan bahwa faktor-faktor tersebut
sangat penting dipertimbangkan dalam perumusan standar. Responden sepakat
bahwa faktor utama yang perlu diperhatikan adalah kesehatan (98,28% dari 58
responden).
E. Prinsip Koheren
Prinsip koheren dapat diartikan bahwa standar yang disusun harus
memperhatikan standar atau peraturan lain baik yang berlaku di dalam maupun
luar negeri. Hal ini untuk menjamin bahwa tidak terjadi tumpang-tindih (overlap)
standar atau peraturan di dalam negeri. Selain itu, diharapkan adanya harmonisasi
standar yang dibuat dengan standar di luar negeri dan standar yang berlaku secara
internasional seperti standar Codex.
Gambar 22. Pendapat Responden Mengenai Penerapan Prinsip Koheren dengan Standar di Dalam Negeri
Gambar 22 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (41,38% dari
58 responden) menyatakan bahwa otoritas pembuat standar sudah baik di dalam
memperhatikan standar lain di dalam negeri saat perumusan suatu standar. Akan
tetapi, responden yang menyatakan cukup dan kurang juga jumlahnya cukup besar
masing-masing 32,76% dan 18,96% dari 58 responden.
69
Masih banyak responden kelompok industri yang menyatakan bahwa
otoritas pembuat standar kurang memperhatikan standar lain di dalam negeri
dalam perumusan standar. Sebanyak 50% dan 31,82% dari 22 responden
kelompok industri berturut-turut memberikan jawaban “cukup” dan “kurang”
dalam menilai pertimbangan regulasi atau standar lain yang berlaku di dalam
negeri saat perumusan standar. Penilaian sebaliknya diberikan oleh kelompok
responden pemerintah, sebanyak 13,64% dan 63,64% dari 22 responden
kelompok pemerintah berturut-turut memberikan jawaban “sangat baik” dan
“baik” dalam menilai pertimbangan regulasi atau standar lain yang berlaku di
dalam negeri saat perumusan standar.
Penilaian responden dari kelompok industri pada survei di atas sesuai
dengan hasil FGD yang mengungkapkan bahwa beberapa standar keamanan
pangan di dalam negeri memiliki kesamaan dan tumpang-tindih seperti SK BPOM
tentang Cemaran Kimia dan Mikrobiologi dan SNI produk pangan yang
dikeluarkan BSN. Selain itu, permasalahan standar Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) No.722/Menkes/PER/XI/88 tentang Bahan Tambahan Makanan dan
SK BPOM yang akan merevisi Permenkes tersebut juga masih memiliki
ketidakharmonisan standar.
Gambar 23. Pendapat Responden terhadap Aturan Internasional/Regional yang Sering Menjadi Rujukan dalam Penetapan Standar
70
Gambar 23 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (74,65% dari
71 jawaban responden) menyatakan bahwa Codex merupakan aturan internasional
utama yang menjadi rujukan di dalam pembuatan standar keamanan pangan di
Indonesia. Standar Codex Alimentarius Committee (CAC) adalah standar
internasional yang perlu menjadi acuan dalam menetapkan standar di tingkat
nasional. Jika ada perselisihan perdagangan antar negara, terutama anggota WTO
(World Trade Organization) karena terkait dengan standar keamanan pangan,
maka standar CAC yang akan menjadi acuan dalam penyelesaian perselisihan
tersebut. Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama antara negara-negara anggota
WTO (Randel, 2000).
Gambar 24. Pendapat Responden terhadap Aturan Negara Lain yang Sering Menjadi Rujukan dalam Penetapan Standar
Gambar 24 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (52,05% dari
60 responden) menyatakan bahwa peraturan negara Amerika Serikat merupakan
peraturan yang sering menjadi rujukan di dalam pembuatan standar keamanan
pangan. Peraturan atau standar dari Amerika Serikat ini selain merupakan negara
tujuan ekspor produk pangan dari Indonesia, Amerika Serikat juga merupakan
negara yang memiliki andil besar dalam menetapkan standar keamanan pangan di
CAC. Selain itu, peraturan atau standar dari negara tujuan ekspor juga perlu
dipertimbangkan dalam perumusan suatu standar di Indonesia (28,77% dari 60
responden menyatakan demikian).
71
Menurut Randel (2000) setiap negara memiliki standar yang berbeda, hal ini
tidak dapat dihindari. Untuk itu, diperlukan harmonisasi dan adanya saling
pengakuan oleh setiap negara pada standar yang dibuat negara lain. Masalah
harmonisasi standar ini juga dialami oleh Indonesia. Standar yang ditetapkan di
Indonesia diharapkan dapat memperlancar perdagangan internasional, produk
dalam negeri dapat diekspor ke negara lain, sehingga meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat. Standar yang ditetapkan di
Indonesia diharapkan dapat diterima oleh negara lain, terutama di negara tujuan
ekspor produk dari Indonesia dan negara asal impor produk pangan ke Indonesia.
F. Prinsip Berdimensi Pengembangan
Indonesia masih dianggap sebagai negara yang masih berkembang. Di
dalam mengembangkan standar keamanan pangan, kondisi potensi dan
kemampuan negara Indonesia perlu dipertimbangkan. Untuk itu, dimensi
pengembangan dalam perumusan standar di Indonesia perlu diperhatikan dengan
melihat faktor-faktor yang ada di dalam negeri. Menurut Marovatsanga (2000)
beberapa permasalahan yang dihadapi oleh negara berkembang termasuk
Indonesia di dalam pengembangan peraturan atau standar di bidang pangan
adalah:
Ketidakcukupan dan ketidaksesuaian peraturan dengan kebutuhan
Tidak cukupnya sumber daya dan/atau ketidakmampuan memaksimalkan
sumber daya yang tersedia
Kegagalan mengembangkan strategi pengawasan pangan nasional dan
rendahnya penerapan serta manajemen program dan aksi
Ketidakcukupan laboratorium dan lembaga inspeksi
Ketidakcukupan jumlah personal teknis yang terlatih
Rendahnya koordinasi antara badan pengawas, pemerintah, akademisi, industri,
dan konsumen di dalam menyesuaikan dengan standar internasional
Lemahnya kemauan politik dan komitmen terhadap keamanan pangan dan
standar
72
Kondisi tersebut menjadi perhatian di dalam mengembangkan standar
keamanan pangan di Indonesia. Pada Gambar 25 dan Gambar 26 diperlihatkan
pendapat responden dari pemerintah, industri, akademisi, dan konsumen
mengenai faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan di dalam perumusan standar.
Faktor-faktor tersebut meliputi pengembangan pangan berbasis bahan baku lokal,
pengembangan UMKM, dan peningkatan daya saing produk Indonesia.
Gambar 25. Pendapat Responden Mengenai Pentingnya Faktor-Faktor Tertentu sebagai Penerapan Prinsip Berdimensi Pengembangan di dalam Perumusan Standar
Gambar 25 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa
pengembangan pangan berbasis bahan baku lokal, pengembangan UMKM, dan
peningkatan daya saing produk Indonesisa adalah hal yang sangat penting untuk
dipertimbangkan dalam perumusan suatu standar keamanan pangan. Sebagian
responden menyatakan bahwa pengembangan pangan berbasis sumber daya lokal
pengembangan UMKM, dan peningkatan daya saing produk Indonesia sangat
penting diperhatikan dengan masing-masing jumlah 85,25% dari 61 responden,
75% dari 60 responden, dan 98,35% dari 61 responden.
Pengembangan pangan berbasis bahan baku lokal perlu diperhatikan dalam
perumusan dan penetapan standar di bidang pangan. Hal ini sejalan dengan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
73
Pemberdayaan kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu standar. Mengingat sebagian besar
pelaku usaha yang memproduksi pangan termasuk kelompok UMKM ini.
Berdasarkan data dari BPS (2009) menunjukkan bahwa lebih dari 99% jenis usaha
pangan yang diusahakan masyarakat Indonesia memiliki skala usaha kecil dan
rumah tangga. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi pengambil kebijakan
terutama perumus standar untuk memperhatikan kepentingan UMKM yang
jumlahnya sangat besar. Di sisi lain, hasil kajian Othman (2006) yang meneliti
kondisi keamanan pangan di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia,
menyatakan bahwa UMKM di Asia Tenggara memiliki tingkat apresiasi yang
rendah terhadap penerapan good hygienic practices (GHP), good agricultural
practices (GAP), dan good manufacturing practices (GMP). Hal ini menjadi
tantangan bagi para perumus kebijakan (standar) pangan di Indonesia untuk lebih
memperhatikan kepentingan UMKM dan terus membina mereka agar dapat
menerapkan standar keamanan pangan.
Gambar 26. Perankingan Beberapa Faktor yang Perlu Dipertimbangkan dalam Perumusan Standar
74
Berdasarkan Gambar 26 di atas terlihat bahwa urutan total ranking dari yang
paling kecil berturut-turut adalah faktor perlindungan kesehatan
konsumen/masyarakat, perlindungan produk dalam negeri, kesiapan laboratorium
uji, dan kesiapan adopsi teknologi. Hal ini memperlihatkan bahwa setiap
kelompok responden setuju bahwa faktor yang utama dan pertama
dipertimbangakan di dalam perumusan standar adalah perlindungan kesehatan
masyarakat.
4.2.3. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan
Dokumen yang Berlaku dan Pelaksanaannya
Hasil Focus Group Discussion (FGD) dan survei merupakan gambaran dari
pelaksanaan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar dan peraturan.
Gambaran dari pelaksanaan perumusan dan pengembangan standar dan perturan
tersebut dibandingan dengan dokumen yang telah ditetapkan oleh BSN dan
BPOM RI. Hasil analisis gap antara perumusan standar dan peraturan
berdasarkan dokumen yang berlaku dan pelaksanaannya dapat dilihat pada Tabel
16.
75
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya
No Kategori Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan
Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil FGD dan Survei
Rekomendasi
BSN BPOM
1 Trans-paran
Prosedur perumusan standar dapat diakses di website: http://bsn.or.id/ dan telah ditetapkan oleh kepala BSN
Prosedur perumusan peraturan (pemberlakuan standar) belum diketahui secara luas oleh pihak yang berkepentingan
FGD: pihak industri menyatakan masih banyak kebijakan yang dikeluarkan BPOM tidak melalui prosedur yang baku dan tidak diketahui oleh pengguna (industri)
18,33% total responden (13,04% pemerintah(i), 8,33% industri, 0% akademisi, 37,5% lembaga konsumen(i)) menyatakan tidak mengetahui prosedur perumusan standar
Terjadi perbedaan persepsi antara kelompok responden pemerintah dan industri mengenai kemudahan dalam memperoleh informasi perumusan standar: 3,28% total responden (0% pemerintah, 4,35% industri, 0%
akademisi, 12,5% lembaga konsumen) menyatakan sangat sulit untuk mendapatkan informasi perumusan standar
34,43% total responden (17,39% pemerintah, 56,52% industri, 42,86% akademisi, 12,5% lembaga konsumen) menyatakan sulit untuk mendapatkan informasi perumusan standar
47,54% total responden (60,87% pemerintah, 39,13% industri, 28,57% akademisi, 50% lembaga konsumen) menyatakan mudah untuk mendapatkan informasi perumusan standar
14,75% total responden (21,74% pemerintah, 0% industri, 28,57% akademisi, 25% lembaga konsumen) menyatakan sangat mudah untuk mendapatkan informasi perumusan standar
40,91% total responden (40,74% pemerintah, 36,84% industri, 62,5% akademisi, 33,33% lembaga konsumen) menyatakan bahwa mengetahui prosedur penyusunan standar dari informasi website.
Otoritas pembuat standar dapat memberikan informasi prosedur perumusan standar dan kebijakan lainnya, sehingga semua pihak dapat mengikuti perkembangan dan terlibat di dalamnya
Media yang dapat digunakan untuk penyebaran informasi perumusan standar adalah melalui internet/website
76
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya (Lanjutan)
No Kategori Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan
Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil FGD dan Survei
Rekomendasi
BSN BPOM
2 Terbuka Mengakomodir kepentingan Produsen, Konsumen, Pakar, dan Regulator; serta MASTAN (Masyarakat Standardisasi Nasional)
Adanya keterlibatan dari BPOM, perwakilan industri, konsumen, dan akademisi dalam penyusunan peraturan (standar)
FGD: pihak industri menginginkan agar pakar mereka yang berasal dari R&D misalnya dapat berperan aktif dalam membuat konsep standar
Sebagian besar responden dalam survei pernah terlibat sebagai panitia teknis perumusan standar, yaitu sebesar 60% total responden (63,64% pemerintah, 43,48% industri, 85,71% akademisi, 75% lembaga konsumen)
18,64% total responden (23,81% pemerintah(i), 17,39% industri, 0% akademisi, 25% lembaga konsumen(i)) menyatakan tidak pernah dimintakan masukan terkait pembuatan suatu standar
Keaktifan responden, terutama kelompok responden industri, dalam mengusulkan standar masih rendah, yaitu sebesar 54,39% total responden (36,84% pemerintah(i), 65,22% industri, 57,14% akademisi, 62,5% lembaga konsumen(i)) menyatakan belum aktif dalam mengusulkan pembuatan standar.
Perlu diperkuat posisi pakar/ahli yang merumuskan kajian risiko dengan dukungan data yang valid dan ahli yang kredibel, sehingga hasil kajiannya dapat dipercaya oleh semua pihak
Perlu mengoptimalkan peran semua stakeholder melalui penguatan peran asosiasi
3 Konsen-sus dan Tidak Memi-hak
Rapat konsensus hanya dapat dilakukan apabila rapat mencapai kuorum.
Belum secara eksplisit dijelaskan
Jumlah responden yang tidak terlibat sebagai panitia teknis dan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar jumlahnya hampir sama, yaitu sebesar 43,33% total responden (50% pemerintah(i), 43,48% industri, 28,57% akademisi, 37,5% lembaga konsumen) menyatakan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar.
Terjadi perbedaan persepsi antara kelompok responden pemerintah dan industri mengenai pelaksanaan pengambilan keputusan saat penetapan standar: 55,56% dari total responden yang terlibat dalam pengambilan
keputusan saat penetapan standar (25% pemerintah(i), 92,31% industri, 40% akademisi, 50% lembaga konsumen) menyatakan hanya sebagian aspirasinya diterima atau diakomodasi.
Penetapan standar harus memastikan bahwa semua stakeholder terlibat dan berdasarkan keputusan bersama dari semua stakeholder. Masukan dari berbagai pihak harus dipertimbangkan
Pedoman perumusan standar yang telah ditetapkan BSN perlu dilaksanakan dengan lebih efektif dengan menjamin terjadinya konsensus saat penetapan standar
77
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya (Lanjutan)
No Kategori Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan
Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil FGD dan Survei
Rekomendasi
BSN BPOM
61,76% dari total responden yang terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar (90,91% pemerintah, 46,15% industri, 40% akademisi, 60% lembaga konsumen) menyatakan bahwa proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan sudah berimbang.
38,24% dari total responden yang terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar (9,09% pemerintah, 53,85% industri, 60% akademisi, 40% lembaga konsumen) menyatakan bahwa proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan tidakberimbang
4 Efektif dan Relevan
Ketentuan dalam perumusan SNI: Tidak dimaksudkan atau berpotensi menimbulkan hambatan perdagangan yang berlebihan atau yang tidak diperlukan
Dukungan ilmiah dari individu/pakar perorangan
Dukungan ilmiah dari individu/pakar perorangan dan tim mitra bestari
Selaras dengan kajian BSN (2009) yang menunjukkan rendahnya penerapan SNI oleh pelaku usaha (terutama UMKM), berdasarkan hasil survei penelitian ini juga menunjukkan bahwa responden kelompok industri (hampir semuanya kelompok skala usaha menengah ke atas) menunjukkan masih rendahnya penerapan SNI/standar BPOM di instansinya. Sebesar 30,43% responden kelompok industrimenyatakan hanya sebagian standar yang dikeluarkan/ditetapkan BPOM dan BSN diterapkan di instansinya.
58,62%, 31,03%, dan 10,35% industri responden kelompok industri menyatakan bahwa kendala utama yang dihadapi dalam penerapan standar berturut-turut adalah kesiapan lab uji, biaya dan teknologi
Seluruh kelompok responden sepakat menyatakan bahwa faktor perdagangan, kesehatan, kesiapan teknologi, gizi, dan lingkunganpenting dipertimbangkan dalam penyusunan standar pangan masing-masing berjumlah lebih dari 50%. Seluruh kelompok responden (98,28% dari 58 responden) juga sepakat bahwa kesehatan adalah faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan standar.
Perlu dilakukan analisis risiko, terutama kajian risiko dalam perumusan standar
Sebelum standar diberlakukan, perlu dilakukan analisis kajian dampak dan kesiapan infrastruktur. Kajian yang dapat dilakukan adalah RIA (Regulatory Impact Analysis)
Kesepakatan responden terhadap pentingnya mempertimbangkan faktor perdagangan, kesiapan teknologi, gizi, lingkungan dan terutama kesehatan dapat dijadikan titik tolak untuk mencari kesamaan persepsi saat penetapan kriteria/ketentuan di dalam standar
78
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya (Lanjutan)
No Kategori Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan
Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil FGD dan Survei
Rekomendasi
BSN BPOM
5 Koheren Sedapat mungkin harmonis dengan standar internasional yang telah ada (mengadopsi satu standar internasional yang relevan)
Melalui Pemetaan dan Kaji Banding (Nasional, Regional, Internasional)
Terjadi perbedaan persepsi antara kelompok responden pemerintah dan industri dalam menilai kajian terhadap peraturan/standar yang berlaku di dalam negeri dalam perumusan suatu standar, yaitu sebesar 6,90% total responden (13,64% pemerintah, 0% industri, 16,67% akademisi, 0% lembaga konsumen), 41,38% total responden (63,64% pemerintah, 18,18% industri, 50% akademisi, 37,5% lembaga konsumen), 32,76% total responden (13,64% pemerintah, 50% industri, 16,67% akademisi, 50% lembaga konsumen), dan 18,96% total responden (9,09% pemerintah, 31,82% industri, 16,67% akademisi, 12,5% lembaga konsumen) menyatakan bahwa kajian terhadap regulasi/standar lain yang belaku di dalam negeriberturut-turut ”sangat baik”, ”baik”, ”cukup”, dan ”kurang” diperhatikan dalam perumusan standar.
74,65% total responden (76% pemerintah, 84,62% industri, 85,71% akademisi, 46,15% lembaga konsumen) menyatakan bahwa standar Codex adalah rujukan utama dalam penetapan standar
Peraturan/standar negara tujuan ekspor juga perlu menjadipertimbangan dalam perumusan standar, yaitu sebesar 28,77% total responden (33,33% pemerintah, 32% industri, 30% akademisi, 9,09% lembaga konsumen) menyatakan peraturan/standar negara tujuan ekspor perlu dipertimbangkan dalam perumusan standar.
Jika data di Indonesia belum tersedia, rujukan utama yang dapat digunakan adalah standar Codex
Peraturan/standar negara tujuan/target ekspor komoditas pangan perlu dipertimbangakan dalam perumusan suatu standar komoditas pangan tersebut.
79
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya (Lanjutan)
Keterangan:(i)sebagian besar responden pemerintah/lembaga konsumen yang menyatakan hal tersebut berasal dari daerah
No Kategori Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan
Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil FGD dan Survei
Rekomendasi
BSN BPOM
6 Berdi-mensi Pengem-bangan
Mempertimbangkan kepentingan UMKM dan daerah dengan memberikan peluang untuk dapat berpartisipasi dalam proses perumusan SNI.
Secara eksplisit belum dicantumkan mengenai faktor sebagai dimensi pengembangan dalam perumusan standar
Seluruh kelompok responden menyatakan bahwa faktorpengembangan bahan baku lokal, pengembangan UMKM, dan peningkatan daya saing produk Indonesia adalah sangat penting diperhatikan sebagai dimensi pengembangan dengan jumlah berturut-turut 85,25%, 75%, dan 98,36%; sisanya menyatakan “agak penting” dan “cukup penting”.
Akumulasi ranking yang diberikan oleh seluruh responden dan masing-masing kelompok responden dari ranking terkecil berurut-turut adalah perlindungan kesehatan konsumen, perlindungan produk dalam negeri, kesiapan lab uji, dan kesiapan adopsi teknologi.
Perlu penetapan di dalam prosedur perumusan standar bahwa faktor-faktor tertentu perlu diperhatikan sebagai dimensi pengembangan dalam perumusan standar agar standar yang ditetapkan dapat berfungsi melindungi kesehatan konsumen dan sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional
Kesepakatan semua kelompok responden dapat menjadi titik tolak untuk mempertimbangkan faktor pengembangan bahan baku lokal, pengembangan UMKM, peningkatan daya saing produk Indonesia, dan terutama perlindungan kesehatan konsumen dalam perumusan suatu standar (keamanan) pangan
80
4.3. Penerapan Prinsip-Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar dan
Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia
Prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar dan peraturan secara
umum dapat dibagi menjadi 2, yaitu prinsip yang berkaitan dengan proses
perumusan dan prinsip yang terkait dengan tujuan aplikasi atau penerapan.
Prinsip yang terkait dengan proses perumusan adalah prinsip transparan, terbuka,
dan konsensus dan tidak memihak. Prinsip yang terkait dengan tujuan aplikasi
atau penerapan adalah prinsip efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi
pengembangan.
4.3.1. Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar
dan Peraturan Keamanan Pangan
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil focus group discussion (Tabel 9)
dan hasil survei (Gambar 10), terlihat bahwa terdapat perbedaan persepsi antara
kelompok pemerintah dan industri. Perbedaan persepsi tersebut terlihat dalam
memberikan penilaian terhadap penerapan prinsip-prinsip perumusan dan
pengembangan standar (transparan, terbuka, konsensus dan tidak memihak,
efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi pengembangan). Perbedaan yang
besar terlihat pada penilaian terhadap prinsip transparan dan efektif dan relevan.
Selain dari hasil survei, pelaksanaan prinsip-prinsip perumusan dan
pengembangan standar akan dilihat dari beberapa data sekunder yang
menunjukkan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut. Pelaksanaan prinsip-prinsip
perumusan dan pengembangan standar yang terkait dengan perumusan
(transparan, terbuka, dan konsensus dan tidak memihak) telah dijelaskan secara
rinci pada Bagian 4.1 mengenai perumusan standar dan peraturan di BSN,
BPOM, dan CAC. Untuk itu, pada bagian ini secara khusus hanya akan dibahas
mengenai pelaksanaan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar
yang terkait dengan tujuan aplikasi atau penerapan, yaitu prinsip efektif dan
relevan, koheren, dan berdimensi pengembangan.
81
A. Pelaksanaan Prinsip Efektif dan Relevan
Sejak pertama kali diterbitkan hingga tahun 2006 jumlah SNI yang disusun
sekitar 6633 judul ditambah dengan penyelesaian standar baru berjumlah sekitar
200 judul per tahun. Data hasil survei BSN (2006) terhadap kelompok standar
menunjukkan profil perkembangan standar yang dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Jumlah Penggunaan SNI (diolah dari BSN, 2009)
Dari total jumlah standar SNI, standar sektor pertanian dan pangan
merupakan sektor dengan jumlah SNI terbanyak, yaitu 952 SNI pada tahun 2006.
Hasil penelitian mengenai penerapan SNI oleh BSN (2006) menunjukkan bahwa
belum seluruh SNI diterapkan dengan baik oleh para pelaku usaha dan pemangku
kepentingan di masyarakat Indonesia. Gambar 27 menunjukkan proporsi
penerapan standar dalam berbagai bidang. Untuk bidang pertanian dan pangan
misalnya hanya 12% SNI yang diterapkan (dari total 952 SNI bidang pertanian
dan pangan hanya 118 SNI yang diterapkan), yang menunjukkan bahwa
penerapan standar belum dilakukan secara optimal. Hal ini dapat disebabkan
karena belum disadari sepenuhnya manfaat penerapan standar oleh masyarakat
82
(pelaku usaha), khususnya sebagai panduan dalam produksi dan acuan dalam
transaksi perdagangan, terutama oleh industri kecil. Penyebab lain adalah
ketentuan dan persyaratan di dalam standar masih sulit dipenuhi oleh para pelaku
usaha. Untuk itu, keterlibatan pemangku kepentingan dalam perumusan standar
masih perlu ditingkatkan, agar betul-betul dihasilkan SNI yang relevan dengan
kondisi nyata dan sesuai dengan kebutuhan peningkatan daya saing produk.
Berdasarkan pada hasil FGD dan survei yang menunjukkan bahwa tingkat
relevansi yang masih rendah, maka penelitian ini lebih lanjut menggali aspek
relevansi ini, dengan melihat beberapa data hasil kajian dan penelitian yang
terkait. Adapun contoh kasus yang terkait dengan tingkat relevansi standar dan
peraturan yang masih rendah dapat dilihat pada data berikut ini:
1). Standar tentang Susu Segar
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh PT Indolakto dari beberapa
peternak susu di Boyolali, Bandung, Jakarta, Bogor, Sumedang, Garut, dan
Cikajang dari tanggal 20 Juni–3 Juli 2011 diperoleh data bahwa sebagian besar
peternak memproduksi susu dengan nilai Total Plate Count (TPC) atau Angka
Lempeng Total (ALT) di atas standar SNI. Berdasarkan standar SNI 01-3141-
1998 (revisi SNI 3141.1:2011) batas TPC pada susu segar adalah 1 x 106 CFU/ml
(BSN, 1998; BSN, 2011a). Berdasarkan data sebaran, diperoleh angka bahwa
rata-rata susu yang dihasilkan peternak di daerah sampling supplier PT Indolakto
adalah 4,62 x 106 CFU/ml. Bahkan masih banyak susu dari peternak yang
memiliki nilai TPC di atas 107 CFU/ml.
Berdasarkan sumber data lain yang dikumpulkan dari penelitian berbagai
badan/lembaga penelitian dan pengembangan (litbang), dinas peternakan daerah,
dan beberapa perguruan tinggi (Usmiati dan Widaningrum, 2005; Usmiati dan
Nurdjannah, 2007; Budiyanto dan Usmiati, 2009; Disnak Jateng, 2010; Marlina,
et al., 2007; Balia, et al., 2008) diperoleh data bahwa sebagian besar peternak
memproduksi susu dengan nilai TPC/ALT juga di atas standar SNI. Berdasarkan
data tersebut, diperoleh angka bahwa rata-rata susu yang dihasilkan peternak di
daerah penelitian (Bandung, Semarang, dan Bogor) adalah 2,38 x 107 CFU/ml.
Bahkan masih banyak susu dari peternak yang memiliki nilai TPC di atas 107
83
CFU/ml. Secara kolektif data hasil sampling PT Indolakto dan data kolektif dari
beberapa karya ilmiah dan pemerintah daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar
28.
Gambar 28. Hasil Pengujian TPC Susu Segar di Beberapa Daerah di Indonesia (Diolah dari data PT Indolakto dan beberapa karya ilmiah*)
Keterangan: * Usmiati dan Widaningrum (2005), Usmiati dan Nurdjannah (2007), Budiyanto dan Usmiati (2009), Disnak Jateng (2010), Marlina, et al. (2007) Balia, et al.( 2008)
Hal ini menggambarkan bahwa standar yang saat ini diberlakukan masih
terlalu tinggi, dan sangat berat jika diterapkan bagi peternak kecil. Akibatnya
banyak peternak yang tidak dapat memenuhi standar tersebut. Kondisi tersebut
menyalahi prinsip penerapan standar yang seharusnya memiliki dimensi
pengembangan dengan memperhatikan kepentingan usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM).
2). Standar/Peraturan tentang Sari Buah
Data dari Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) dalam Poeradisastra
(2011) menggambarkan beberapa produk sari buah dari produsen yang ada di
Indonesia menghasilkan kualitas total padatan yang tidak sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh BPOM RI. Menurut Poeradisastra (2011) produk sari buah
sirsak dan lemon yang dihasilkan produsen di Indonesia menghasilkan nilai total
padatan (Brix) 12,0-14,0% dan 4,2%; sedangkan menurut peraturan BPOM
(2006) sari buah sirsak dan lemon berturut-turut harus memiliki nilai padatan
minimal 14,5% dan 6%.
84
3). Standar/Peraturan tentang Penggunaan Pemanis Siklamat
Data lain dari BPOM RI dalam Suratmono (2009) menyebutkan
ketidaksesuaian penggunaan siklamat pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
yang beredar di Indonesia dengan standar. Data tersebut menyebutkan bahwa
pada tahun 2006 dan 2007 ditemukan 42,28% dan 42,88% dari seluruh PJAS yang
disampling di seluruh Indonesia tidak memenuhi syarat penggunakan pemanis
siklamat berdasarkan HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan.
4). Standar tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu
Dari parameter gizi, Herlina (2008) telah melakukan kajian kesesuaian
produk makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) dengan SNI. Hasilnya
menunjukkan bahwa 61% dari 100 produk MP-ASI bubuk lokal yang beredar
memiliki kandungan vitamin B6 di bawah standar yang ditetapkan dalam SNI 01-
7111.1-2005 yaitu minimal 0,7mg/100g. Hasil kajian terhadap produk MP-ASI
bubuk instan lokal dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29. Kandungan Gizi MP-ASI Bubuk Instan Lokal (Diolah dari Herlina, 2008)
Selain itu, berturut-turut sebanyak 74%, 74%, 87%, dan 74% dari 23 produk
MP-ASI bubuk instan impor yang beredar di Indonesia memiliki kandungan
vitamin E, vitamin B6, asam folat, dan iodium di bawah standar yang ditetapkan
dalam SNI 01-7111.1-2005 yaitu masing-masing minimal 4mg/100g, 0,7mg/100g,
85
27mg/100g, dan 45mcg/100g. Hasil kajian terhadap produk MP-ASI bubuk
instan impor dapat dilihat pada Gambar 30a, 30b, 30c, 30d.
Gambar 30a. Kandungan Vitamin E pada MP-ASI Bubuk Instan Impor (Diolah dari Herlina, 2008)
Gambar 30b. Kandungan Vitamin B6 pada MP-ASI Bubuk Instan Impor
86
Gambar 30c. Kandungan Asam Folat pada MP-ASI Bubuk Instan Impor (Diolah dari Herlina, 2008)
Gambar 30d. Kandungan Iodium pada MP-ASI Bubuk Instan Impor (Diolah dari Herlina, 2008)
Sebanyak 55% dan 50% dari 33 produk MP-ASI biskuit yang beredar
memiliki kandungan Zink (Zn) dan Selenium (Se) di bawah standar yang
ditetapkan dalam SNI 01-7111.2-2005 yaitu masing-masing minimal 2,5mg/100g
dan 10mcg/100g. Hasil kajian terhadap produk MP-ASI biskuit dapat dilihat pada
Gambar 31.
87
Gambar 31. Kandungan Zink MP-ASI Biskuit (Diolah dari Herlina, 2008)
Sebanyak 75%, 100%, 100%, 100%, 100%, 100%, 100%, 63%, dan 88%
dari 8 produk MP-ASI siap masak yang beredar memiliki kandungan serat
pangan, vitamin E, vitamin B1, vitamin B2, niasin, vitamin B6, vitamin C,
natrium, dan iodium di luar batas standar yang ditetapkan dalam SNI 01-7111.3-
2005 yaitu masing-masing maksimal 5g/100g, minimal 5mg/100g, 0,7mg/100g,
0,7mg/100g, 0,5mg/100g, 1,2mg/100g, dan 80mg/100g, maksimal 100 mg/100
kkal, dan minimal 55 mcg/100 g. Hasil kajian terhadap produk MP-ASI siap
masak dapat dilihat pada Gambar 32a, 32b, 32c, 32d, 32e, 32f. 32g, dan 32h.
Gambar 32a. Kandungan Serat MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
88
Gambar 32b. Kandungan Vitamin E MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
Gambar 32c. Kandungan Vitamin B1 MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
Gambar 32d. Kandungan Vitamin B2 MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
89
Gambar 32e. Kandungan Niasin MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
Gambar 32f. Kandungan Vitamin B6 MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
Gambar 32g. Kandungan Vitamin C MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
90
Gambar 32h. Kandungan Iodium MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
5). Standar/Peraturan tentang Makanan yang Dikalengkan
Berdasarkan peraturan BPOM RI Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang
Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan,
produk-produk pangan yang dikalengkan memiliki persyaratan batas maksimal
cemaran mikrobiologi. Produk buah, sayuran, corned dan sosis dalam kaleng
memiliki batas maksimal ALT (Angka Lempeng Total)/TPC (Total Plate Count)
sebesar 1 x 102 koloni/g; sedangkan untuk ikan dan produk ikan, serta sup dan
kaldu dalam kaleng memiliki batas maksimal ALT sebesar 1 x 101 koloni/g
(BPOM, 2009). Padahal produk-produk pangan berasam rendah yang
dikalengkan (low acid canned foods) tersebut harus melalui pengolahan dan
pengawetan untuk mencapai kondisi steril komersial.
Kondisi steril komersial dapat diperoleh dari pengolahan pangan dengan
menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak
ada lagi mikroorganisme patogen dan pembusuk yang hidup. Kondisi steril
komersial umumnya dicapai melalui proses sterilisasi dengan menerapkan konsep
12D. Konsep 12D merupakan konsep yang umum digunakan dalam sterilisasi
komersial untuk menginaktifkan spora mikroorganisme yang berbahaya, yaitu
Clostridium botulinum. Arti 12D di sini adalah bahwa proses termal yang
dilakukan dapat mengurangi jumlah spora C. botulinum sebesar 12 siklus
logaritma atau F=12D, yaitu mengurangi jumlah spora C. botulinum menjadi 10-9
91
dengan asumsi jumlah spora awal sebesar 103 dalam satu kaleng. Nilai 10-9
diartikan bahwa dari 109 (satu miliar) kaleng, hanya 1 kaleng yang berpeluang
mengandung spora C. botulinum. Bila spora C. botulinum memiliki nilai
D121=0.21 menit, maka dosis sterilisasi (Fo) dengan menerapkan konsep 12D
harus ekuivalen dengan pemanasan pada 121oC selama 2,52 menit. (Hariyadi,
2008).
Berdasarkan hasil penelitian dan kajian yang dilakukan oleh Hariyadi (2008
dan 2011a) terhadap 131 produk pangan yang dikalengkan di Indonesia, diperoleh
angka kecukupan panas (nilai Fo) antara 1,9 hingga 149 menit (Gambar 33).
Pengujian dengan parameter nilai Fo tersebut lebih efektif dilakukan untuk
menjamin keamanan pangan produk yang dikalengkan, dibandingkan dengan
pengujian dengan parameter mikrobiologi dengan menghitung ALT dan menguji
1 miliar kaleng untuk menemukan 1 kaleng yang mengandung spora C.
botulinum. Pengujian yang terdapat di dalam standar/peraturan BPOM RI (2009)
tidak relevan dengan tujuan proses sterilisasi dan tidak dapat mendorong produsen
untuk meningkatkan keamanan pangan produknya.
Gambar 33. Hasil Pengujian Kecukupan Panas pada Beberapa Produk Pangan yang Dikalengkan (Hariyadi, 2011a)
6) Standar Wajib Air Minum dalam Kemasan dan Garam Beryodium
Permasalahan lain yang terjadi adalah rendahnya penegakkan hukum (law
enforcement) pada peraturan yang telah mewajibkan standar. Jika dilihat dari
92
beberapa data penerapan standar (SNI) wajib terlihat bahwa masih terdapat
produk Air Minum dalam Kemasan (AMDK) dan garam beryodium yang tidak
memenuhi standar. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melakukan
pengujian pada produk Air Minum dalam Kemasan (AMDK) gelas tahun 2010.
Dari 21 merek yang diuji ditemukan 2 merek yang melewati batas maksimum
total koloni bakteri berdasarkan standar SNI 3553-2006, yaitu angka lempeng
total akhir maksimal 1 x 105 koloni/ml. Penelitian lain yang dilakukan Saputra
(2011) terhadap 13 garam yodium bermerek yang beredar di Denpasar, Bali,
dengan jumlah 60 sampel, terdapat 2 merek garam beryodium yang mengandung
iodium kurang dari standar SNI 3556:2010 yaitu minimal 30 ppm.
B. Pelaksanaan Prinsip Koheren
Saat ini masih terjadi kendala harmonisasi dalam penerapan standar dan
peraturan di tingkat internasional. Dapat diambil contoh adalah standar/peraturan
penggunaan bahan tambahan pangan (pewarna dan pengawet) di negara-negara
anggota ASEAN. Perbedaan standar tersebut dapat dilihat pada Tabel 17 dan
Tabel 18.
Tabel 17. Standar Penggunaan Pewarna Pangan di Negara-Negara ASEAN (Fardiaz, 2009)
93
Tabel 17 menunjukkan contoh kasus ke(tidak)harmonisan standar/peraturan
di beberapa negara-negara ASEAN yang memiliki aturan yang berbeda dalam
mengatur atau melarang penggunaan pewarna sintetis.
Tabel 18 menunjukkan contoh kasus ke(tidak)harmonisan standar di
beberapa negara-negara ASEAN yang memiliki aturan yang berbeda dalam
mengatur atau melarang penggunaan pengawet pangan.
Tabel 18. Standar Penggunaan Pengawet Pangan di Negara-Negara ASEAN (Fardiaz, 2009)
Kasus lain terkait dengan harmonisasi standar/peraturan di tingkat
internasional adalah kasus mi instan. Kasus mi instan dari Indonesia yang
diekspor ke Taiwan akhir-akhir ini mendapatkan perhatian yang cukup serius.
Dimana terjadi perbedaan standar mengenai penggunaan Methyl-p-hydroxy
Benzoate pada produk mi instan dari Indonesia di Taiwan.
C. Pelaksanaan Prinsip Berdimensi Pengembangan
Berdasarkan hasil survei, terlihat bahwa hampir seluruh responden sepakat
bahwa faktor pengembangan bahan baku lokal, pengembangan UMKM, dan
94
peningkatan daya saing produk Indonesia adalah faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan di
Indonesia. Selain itu, pihak-pihak yang memiliki keterbatasan akses dan
kemampuan untuk terlibat dalam perumusan dan pengembangan standar perlu
mendapatkan perhatian yang lebih. Kelompok yang perlu mendapatkan perhatian
tersebut adalah kelompok industri UMKM dan kelompok instansi yang berada di
daerah. Dengan peningkatan partisipasi, peran serta, dan keterlibatan kelompok
ini dalam usulan, perumusan dan pengembangan standar diharapkan proses
pembahasan standar menjadi efektif dan standar yang dihasilkan relevan untuk
diaplikasikan oleh semua pihak yang berkepentingan.
Untuk meningkatkan partisipasi UMKM dalam penerapan standar
keamanan pangan, sedapat mungkin saat perumusan standar disediakan data yang
valid mengenai kondisi penggunaan suatu bahan pangan yang akan dibuatkan
standarnya, terutama penggunaannya oleh UMKM. Jika jumlah penggunaan
suatu bahan pangan tertentu masih besar oleh UMKM yang juga jumlahnya
banyak, maka perlu dipertimbangkan kesiapan UMKM dalam menyesuaikan
standar yang akan diterapkan dan kesiapan lembaga pengawas yang akan
menegakan peraturan pemberlaku wajib standar.
Sebagai contoh, saat ini kondisi peternak kecil masih banyak yang
menghasilkan susu sapi segar dengan nilai TPC di atas 1 x 106 cfu/g, sehingga
peternak tersebut kesulitan dalam menerapkan standar yang ada. Agar penerapan
standar oleh pelaku usaha (peternak) tersebut efektif dan fungsi pengawasan juga
mudah dilakukan, seharusnya standar dibuat dengan cara bertahap. Standar
seharusnya ditetapkan secara gradual dengan tujuan membina dan meningkatkan
kualitas produk para pelaku usaha agar sesuai dengan standar. Jika, kualitas
produk para pelaku usaha sudah meningkat, kemudian standar dapat digeser lagi
sampai batas yang diinginkan. Ilustrasi penetapan secara bertahap (gradual)
sebagai salah satu penerapan prinsip berdimensi pengembangan dapat dilihat pada
Gambar 34.
95
Gambar 34. Dimensi Pengembangan Standar (Hariyadi, 2011b)
Setiap lima tahun sekali suatu standar seharusnya dievaluasi
pelaksanaannya. Jika ada hambatan di dalam penerapannya, standar tersebut
perlu direvisi. Evaluasi yang menghasilkan revisi harus berdasarkan pada
pertimbangan tertentu yang memperhatikan dimensi pengembangan agar
penerapan standar tersebut menjadi lebih efektif. Standar seharusnya mampu
mendorong pelaku usaha untuk memperbaiki kualitas produknya.
Jika dilihat dari data BSN (2011c) masih banyak SNI pangan yang berumur
lama (lebih dari 5 tahun) dan belum dilakukan kaji ulang (revisi, amandemen, atau
abolisi). Untuk itu, otoritas pembuat standar (BSN) perlu melakukan kaji ulang
terhadap SNI yang telah ditetapkan terutama untuk SNI yang telah berumur paling
lama. Kaji ulang tersebut juga berfungsi untuk mengevaluasi tingkat penerapan
SNI oleh pelaku usaha. Kaji ulang akan semakin mendesak diperlukan sebagai
upaya persiapan menghadapi perdagangan bebas (misal CAFTA dan APEC)
dimana standar (SNI) berfungsi untuk menjamin produk pangan yang dihasilkan
produsen Indonesia memiliki kualitas dan daya saing dalam menghadapi era
perdagangan bebas tersebut. Kondisi banyaknya umur SNI bidang Pangan yang
sudah lama dapat dilihat pada Gambar 35.
96
Gambar 35. Umur SNI Pangan Hingga November 2011 (diolah dari BSN, 2011d)
4.3.2. Rekomendasi Prinsip-Prinsip Perumusan dan Pengembangan
Standar dan Peraturan Keamanan Pangan
Berdasarkan hasil analisis gap 1 dan gap 2, maka perumusan dan
pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan perlu dilakukan dengan
menerapkan dan memperkuat prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan
standar, yaitu:
1. Transparan
Perlu diberikan akses informasi seluas-luasnya mengenai prosedur penyusunan
dan perkembangan perumusan standar pangan kepada pihak yang
berkepentingan. Media informasi yang dapat dimanfaatkan adalah melalui
internet dengan menyampaikan prosedur perumusan standar dan peraturan
pangan pada situs website lembaga pemerintah yang berwenang dalam
pengembangan standardisasi nasional (BSN dan instansi teknis).
2. Terbuka
Prinsip terbuka dalam perumusan dan pengembangan standar pangan dapat
diwujudkan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua
pihak yang berkepentingan (pemerintah, industri, akademisi, dan konsumen)
untuk berpartisipasi aktif dalam memberikan usulan dan masukan serta
keterlibatan dalam pembahasan standar dan peraturan pangan. Usulan dan
97
masukan masing-masing pihak dapat disampaikan melalui asosiasi agar
berjalan secara tertib dan efektif.
Keterlibatan semua pihak harus didorong agar tingkat penerimaan standar
pangan dan peraturan yang akan ditetapkan menjadi tinggi, termasuk
mendorong usulan, masukan, dan pertimbangan dari lembaga yang ada di
daerah.
Diperlukan tim atau lembaga independen sebagai pengkaji risiko dengan
anggota terdiri atas para pakar dan ahli yang kredibel dan mempunyai
kapabilitas sesuai dengan bidang pembahasan standar dan peraturan pangan.
3. Konsensus dan tidak memihak
Di dalam penetapan standar dan peraturan pangan harus diterapkan prinsip
konsensus dengan mempertimbangkan semua masukan dari pihak yang terlibat
(pemerintah, industri, akademisi, dan konsumen). Prosedur yang telah
ditetapkan oleh BSN mengenai konsensus dalam pengambilan keputusan saat
penetapan standar perlu diterapkan dengan lebih efektif, sehingga semua
perwakilan yang hadir merasa dihargai pendapatnya dan diperoleh keputusan
standar dan peraturan yang merupakan hasil kesepakatan bersama.
4. Efektif dan relevan
Diperlukan data yang valid mengenai kondisi Indonesia sebagai bahan
pertimbangan dan dasar dalam penetapan suatu standar dan peraturan
pangan, misalkan data tentang paparan (jumlah bahan pangan yang
dikonsumsi setiap individu).
Di dalam perumusan standar pangan perlu diterapkan analisis risiko,
khususnya kajian risiko. Kajian risiko diperlukan dalam penetapan kriteria
di dalam standar dan peraturan pangan.
Di dalam pemberlakuan standar pangan perlu diperhatikan kesiapan pelaku
usaha (industri) yang akan menerapkannya. Salah satu hal yang penting
diperhatikan adalah kesiapan infrastruktur (laboratorium pengujian) yang
mampu menguji parameter yang ditetapkan dalam standar.
Sebelum standar (SNI) pangan diberlakukan secara wajib oleh instansi
teknis dalam bentuk peraturan, diperlukan kajian mengenai dampak regulasi
melalui Regulatory Impact Analysis (RIA).
98
5. Koheren
Kajian terhadap standar atau peraturan lain di dalam negeri saat
merumuskan suatu standar pangan perlu dilaksanakan dengan lebih efektif.
Di dalam merumuskan suatu standar dan peraturan pangan juga diperlukan
harmonisasi terhadap standar dan peraturan yang berlaku secara
internasional dan berlaku di negara lain terutama negara tujuan ekspor
produk pangan Indonesia.
Standar Codex yang telah ditetapkan oleh CAC dapat dijadikan rujukan
utama dalam menetapkan ketentuan dan kriteria di dalam standar dan
peraturan pangan Indonesia, terlebih jika data tentang profil kualitas produk
pangan di Indonesia belum tersedia atau masih terbatas. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi jika terjadi perselisihan perdagangan antar negara
anggota WTO yang menjadikan standar Codex sebagai acuan.
6. Berdimensi pengembangan
Kepentingan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), pengembangan
bahan baku lokal, dan peningkatan daya saing produk Indonesia perlu
menjadi pertimbangan dalam merumuskan standar pangan, sehingga standar
yang dihasilkan berguna bagi kepentingan nasional dan dapat diterima
secara luas khususnya oleh pelaku usaha pangan di dalam negeri.
Faktor pertama dan utama yang perlu diperhatikan dalam perumusan standar
dan peraturan keamanan pangan adalah faktor kesehatan masyarakat.
Jika prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar dan peraturan
tersebut diterapkan dengan baik, diharapkan dapat meminimalisir bahkan
menghilangkan perbedaan persepsi antar lembaga (terutama pemerintah dan
industri) dalam perumusan dan pengembangan standar dan peraturan pangan.
Semua pihak akan merasa memiliki, bertanggung jawab, dan beritikad baik untuk
menerapkan standar yang telah ditetapkan sebagai keputusan bersama melalui
konsensus.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Saat ini standar dan peraturan keamanan pangan di Indonesia masih
dirasakan belum efektif diterapkan oleh pelaku usaha. Hasil analisis gap antara
perumusan standar dan peraturan secara teoritis dengan dokumen yang berlaku
oleh otoritas pembuat standar (terutama BSN) tidak terjadi gap yang terlalu lebar.
Akan tetapi jika dilihat gap antara dokumen perumusan yang berlaku dan
pelaksanaannya terdapat gap yang cukup lebar. Hasil FGD dan survei
menunjukkan bahwa secara umum faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat
penerapan standar dan peraturan keamanan pangan adalah tidak dipraktikannya
prinsip-prinsip pengembangan standar dan peraturan yang baik. Secara khusus,
faktor-faktor yang menghambat penerapan standar dan peraturan pangan, yaitu
rendahnya: (i) penyebaran informasi perkembangan penyusunan peraturan,
terutama dari BPOM RI, (ii) pembahasan yang mempertimbangkan kepentingan
dan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan, terutama pelaku
usaha/industri, (iii) relevansi standar yang ditetapkan dengan tujuan perlindungan
kesehatan konsumen dan kondisi produk pangan Indonesia, (iv) pertimbangan
akan kesiapan pelaku usaha dan unsur penunjangnya, seperti laboratorium uji.
Faktor-faktor tersebut muncul antara lain karena adanya perbedaan persepsi
antara pemerintah dan industri; dimana pemerintah menilai bahwa proses
perumusan dan pengembangan standar dan peraturan saat ini sudah sesuai dengan
prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar yang baik; namun menurut
Industri prinsip-prinsip yang baik itu belum sepenuhnya dilakukan. Perbedaan
persepsi ini terutama terjadi pada aspek (i) transparan, dan (ii) efektif dan relevan
dalam prinsip perumusan dan pengembangan standar.
Prinsip transparan perlu diperkuat dengan (i) memberikan informasi
perumusan dan perkembangan standar dan peraturan melalui internet/website
dalam situs lembaga pemerintah yang berwenang (BSN dan instansi teknis -
BPOM), (ii) memberikan akses seluas-luasnya kepada semua pihak yang
berkepentingan untuk berpartisipasi aktif dalam memberikan usulan dan masukan
100
saat pembahasan standar dan peraturan, terutama dari kelompok UMKM dan
instansi di daerah melalui wadah asosiasi, (iii) menerapkan prosedur pembahasan
dan penetapan standar di dalam rapat panitia teknis yang telah ditetapkan oleh
BSN dengan lebih efektif. Saat pembahasan dan penetapan standar perlu
dipastikan bahwa aspirasi dan pendapat dari semua kelompok instansi
diperhatikan dan keputusan dicapai melalui konsensus.
Prinsip efektif dan relevan perlu diperkuat dengan (i) kajian dasar (base-
line) untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi riil produk dan praktik di
industri, (ii) pertimbangan kesiapan infrastruktur (laboratorium uji, sumber daya
manusia, dan lain-lain), (iii) memperhatikan dimensi pengembangan nasional,
khususnya (a) kepentingan UMKM, (b) pengembangan bahan baku lokal, dan (c)
peningkatan daya saing produk Indonesia dalam pembahasan standar.
5.2. Saran
Prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar dan peraturan
keamanan pangan perlu diterapkan dengan lebih efektif. Untuk memperkuat
penerapan prinsip efektif dan relevan diperlukan data yang valid mengenai studi
paparan bahan pangan yang akan dibuatkan standarnya. Data tersebut diperlukan
untuk mendukung kajian ilmiah melalui kajian risiko sebagai dasar penetapan
kriteria atau persyaratan di dalam standar. Dengan dukungan data yang valid dan
kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, diharapkan standar dan
peraturan yang dihasilkan memiliki keberterimaan yang tinggi.
Kesiapan dari pelaku usaha terutama kelompok UMKM perlu diperhatikan
dalam menetapkan suatu standar dan peraturan. Selain itu, pengembangan potensi
lokal dan kepentingan nasional juga perlu dipertimbangkan agar standar dan
peraturan yang dihasilkan mampu mendorong peningkatan ekonomi nasional dan
sekaligus memberikan perlindungan kesehatan konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Balia, R.L., E. Harlia, D. Suryanto. 2008. Jumlah Bakteri Total dan Koliform pada Susu Segar Peternakan Sapi Perah Rakyat dan Susu Pasteurisasi Tanpa Kemasan Di Pedagang Kaki Lima. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2004. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.5.1.4547 TentangPersyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Dalam Produk Pangan
-------------------------------------------. 2006. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.52.4040 tentang Kategori Pangan.
-------------------------------------------. 2008. Direktorat Standardisasi Produk Pangan. Presentasi Disampaikan pada Lokakarya Kedeputian III BPOM RI, 11 April 2008, Jakarta.
-------------------------------------------. 2009. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan.
-------------------------------------------. 2010. Alur Standar. Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI, Jakarta.
--------------------------------------------. 2011a. Peraturan dan Perundang-undangan. http://www.pom.go.id/public/hukum_perundangan/default.asp. Diakses tanggal 13 Mei 2011.
--------------------------------------------. 2011b. Tentang Badan POM. http://www.pom.go.id/profile/index_ind.asp. Diakses tanggal 13 Mei 2011.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia Nomor SNI 01-3141-1998 untuk Susu Segar. BSN, Jakarta.
-------------------------------------------. 2007a. Pedoman Standardisasi Nasional PSN 01-2007: Pengembangan Standar Nasional Indonesia. BSN, Jakarta.
-------------------------------------------. 2007b. Pedoman Standardisasi Nasional PSN 08-2007: Penulisan Standar Nasional Indonesia. BSN, Jakarta.
--------------------------------------------. 2009. Pengantar Standardisasi Edisi Pertama. BSN, Jakarta.
102
-------------------------------------------. 2010. Gerakan Nasional Penerapan SNI. BSN, Jakarta.
-------------------------------------------. 2011a. Standar Nasional Indonesia Nomor SNI 3141.1:2011 untuk Susu Segar – Bagian 1: Sapi. BSN, Jakarta.
--------------------------------------------. 2011b. Peraturan Kepala BSN Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Secara Wajib. BSN, Jakarta.
--------------------------------------------. 2011c. Tentang BSN. http://www.bsn.go.id/bsn/profile.php. Diakses tanggal 13 Mei 2011.
--------------------------------------------. 2011d. Rekapitulasi RSNI dan SNI Berdasarkan ICS. http://www.bsn.go.id/bsn. Diakses tanggal 15 November 2011.
--------------------------------------------. 2011e. Tentang SNI. http://www.bsn.go.id/bsn. Diakses tanggal 29 Desember 2011.
Budiyanto, A. dan Usmiati, S. 2009. Pemerahan susu secara higienis menggunakan alat perah sederhana. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Puslitbang Peternakan 11-12 Nopember 2008. Bogor-Indonesia.
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2006. Understanding The Codex Alimentarius 3rd edition. WHO-FAO UN, Rome.
--------------------------------------------. 2007. Working Principles For Risk Analysis For Food Safety For Application By Governments. CAC/GL 62-2007.
--------------------------------------------. 2010. Codex Alimentarius Commission Procedural Manual 19th edition. WHO-FAO UN, Rome.
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah. 2010. Prospek Pengembangan Sapi Perah Di Jawa Tengah. http://www.disnak.jawatengah.go.id/
[FAO] Food Agriculture Organization/[WHO] World Health Organization. 2005. Food Safety Risk Analysis Part I : An Overview and Framework Manual(Provisional Edition). FAO, Rome.
Fardiaz, D. 2009. The Importance of Food Safety Standards Harmonization inRegional and Global Food Trade. Paper of Food Safety Standard Workshop. SEAFAST – BPOM – ILSI, Jakarta.
Hariyadi, P. 2008. The Food-Canning Industry in Indonesia: Need for Safety Assurance Regulation and Quality Optimisation. Food Manufacturing Efficiency 2 (1) 1-4.
103
-------------------. 2011a. Modul Pelatihan Proses Termal. SEAFAST – IPB, Bogor.
-------------------. 2011b. Standardisasi Mutu dan Keamanan Pangan: Data apa yang perlu disiapkan. Presentasi Rapat CODEX di Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Herlina, E. 2008. Kajian Kesesuaian Produk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dengan Standar Nasional Indonesia dan Kontribusi terhadap Kecukupan Gizi bayi/Anak. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
[Kemendiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
Mantra, I.B. dan Kasto. 2008. Penentuan sampel. Singarimbun, M. dan S. Effendi (Eds.). Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta.
Marlina, E.T., Y.A. Hidayati, W. Juanda. 2007. Kualitas Mikroba pada Ruang Penampungan Susu dan Pengaruhnya terhadap Jumlah Bakteri dalam Air Susu. Makalah. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.
Marovatsanga, L.T. 2000. The need for developing countries to improve national infrastructure to contribute to international standards. Rees, N. dan D. Watson (Eds.). International Standards for Food Safety. Aspen Publishers, Inc., Gaithersburg, Maryland.
Othman, N.M. 2006. Food Safety in Southeast Asia: Challenges facing the Region. Asian Journal of Agriculture and Development, Vol. 4. No.2
Peraturan Pemerintan RI Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal
Poeradisastra, F. 2011. Definisi Produk Sari Buah: Codex dan BPOM RI. Asosiasi Industri Minuman Ringan, Jakarta.
Randel, A.W. 2000. International food standards: The work of Codex. Rees, N. dan D. Watson (Eds.). International Standards for Food Safety. Aspen Publishers, Inc., Gaithersburg, Maryland.
Rees, N. dan D. Watson (Eds.). 2000. International Standards for Food Safety. Aspen Publishers, Inc., Gaithersburg, Maryland.
104
Saputra, Adi. 2011. Penelitian Kadar Yodium pada Garam Konsumsi yang Beredar di Denpasar. Program Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali.
Suratmono. 2009. Penggunaan Data Hasil Pengujian untuk Meningkatkan Pengaturan Keamanan Pangan: Studi Kasus Siklamat pada Pangan Jajanan Anak Sekolah. Tesis. Sekola Pascasarjana IPB, Bogor.
Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Usmiati, S dan Widaningrum. 2005. Mutu susu sapi dari peternak anggota koperasi susu sarwamukti pada pemerahan pagi dan sore hari: studi kasus tahun 2004. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 12-13 September 2005 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor-Indonesia.
Usmiati, S dan Nurdjannah. 2007. Perbandingan kualitas susu sapi peternak anggota KUD Sarwamukti dan KSU Tandangsari: Studi kasus. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Puslitbangnak 21-22 Agustus 2007. Bogor-Indonesia.
Winarno, F.G. 2002. Codex dan SNI dalam Perdagangan Pangan Global. M-Brio Press, Bogor.
[YLKI] Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. 2010. Standardisasi Pangan dari Sisi Konsumen. Makalah disampaikan pada FGD Pengkajian Kebutuhan dan Review atas Kebijakan Pangan BPOM RI – SEAFAST Center IPB, 6 Desember 2010.
LAMPIRAN
106
Lampiran 1. Pengaturan Unsur dalam Standar (BSN, 2007b)
117
Lampiran 3. Contoh Regulasi Teknis yang Memberlakukan Wajib SNI
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA
Nomor : HK.00.05.5.1.4547
TENTANG
PERSYARATAN PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN
PANGAN PEMANIS BUATAN DALAM PRODUK PANGAN
126
Lampiran 4. Daftar Hadir Peserta Focus Group Discussion
Daftar Peserta FGD 6 Desember 2010
No. Daftar Undangan Nama Peserta
Badan POM:1 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan dan Bahan BerbahayaDR. Roy A. Sparringa, M.App.Sc.
2 Direktur Standardisasi Produk Pangan Ir. Tetty H. Sihombing, MP
3 Direktur Penilaian Keamanan Pangan Elin Herlina4 Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Suratmono7 Kasubdit Standardisasi Pangan Olahan Dra. Deksa Presiana,
M.Kes8 Kasubdit Standardisasi Bahan Baku dan
Bahan Tambahan PanganIr. Gasilan
9 Kasubdit Standardisasi Pangan Khusus Yusra Egayanti, Desy Rastawaty
10 Kasie. Standardisasi Produk Pangan Dra. Lasrida Yuniaty, Apt11 Kasie. Kodeks Pangan Ati Widya Perana, SP12 Kasie TOP Tristya Yunita13 Staf Subdit Standardisasi Pangan Olahan Sofhiani Dewi, Dyah
Setyowati, Ade Maulana, Latifah
Undangan lain:14 Direktur Mutu dan Standardisasi,
Kementerian Pertanian Danny Yudhitia Permana
15 Direktur Industri Minuman dan Tembakau, Kementerian Perindustrian
Agus Sutopo
16 Direktur Pengolahan Hasil, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Theresia Istihastuti
17 Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar, BSN (Badan Standardisasi Nasional)
Singgih
18 Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI)
Roch Ratri Wandansari, Kartika Adiwilaga, Ning Rahayu
19 Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM)
Patricia R. Tobing,Rhadeya Setiawan, Farchard P, Ratna Indrayani, Lena Prawira,
20 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Noor jehan
127
Daftar Peserta FGD 6 Desember 2010 (Lanjutan)
No. Daftar Undangan Nama Peserta
Seafast:21 Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si22 Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc23 Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc24 Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP., M.Sc25 Sumarto, S.TP26 Desty Gitapratiwi, S.TP27 Virna Berliani Putri, S.TP28 Elly Haryati, S.AP
128
Lampiran 5. Masukan Industri Terkait Kebijakan yang Dikeluarkan BPOM RI
No Masalah Deskripsi/Contoh Usulan
1 Kurangnya koordinasi dan perbedaan interpretasi antar direktorat di BPOM mengenai pelaksanaan suatu surat edaran ataupun peraturan
Ketentuan mengenai batasan umur simpan bahan baku yang diimpor ke Indonesia. Bagian direktorat Insert (Inspeksi dan Sertifikasi) mengacu kepada peraturan yang berdasarkan produk jadi (maximal 3/4 dari umur simpan) sedangkan bagian direktorat standar (Standardisasi Produk Pangan) menggunakan peraturan tersebut memang hanya untuk produk jadi.
Sosialisasi internal antar direktorat di BPOM perlu dilakukan agar staf BPOM memiliki persepsi yang sama sehingga pelaksanaannya tidak bervariasi
2 Perbedaan interpretasi inter departmen/direktorat terhadap suatu peraturan
Di PKP (Penilaian Keamanan Pangan), untuk nilai gizi, bagian POT sudah mengerti dan menerapkan adanya toleransi nilai gizi sedangkan di bagian umum, sebagian evaluator masih belum mengerti dan masih mensyaratkan nilai yang harus sama dengan nilai hasil analisis
Sosialisasi internal dalam satu departmen di BPOM perlu dilakukan agar staf BPOM memiliki persepsi yang sama sehingga pelaksanaannya tidak bervariasi
Tambahan data yang berbeda untuk produk yang sama dengan jenis kemasan yang berbeda. Tambahan data yang diminta tidak ada hubungannya dengan perbedaan kemasan. Sehingga brand dengan varian rasa yang sama namun kemasan berbeda, bisa memiliki desain label yang berbeda. contoh terjadi di produk susu dengan kemasan kaleng dan aluminium foil
Diterbitkan "reference book" untuk internal staf BPOM yang dapat menjadi acuan pelaksaaan suatu peraturan
129
Lampiran 5. Masukan Industri Terkait Kebijakan yang Dikeluarkan BPOM RI (Lanjutan)
No Masalah Deskripsi/Contoh Usulan
Klaim "nutrisi ekspress" diijinkan digunakan untuk produk susu/minuman susu di Subdit bukan POT, sedangkan untuk produk susu di Subdit POT, penamaan nutrisi tidak dimungkinkan.
3 Kurangnya komunikasi antara BPOM di pusat dan Balai POM di daerah
Sweeping yang dilakukan oleh Balai POM daerah terhadap pelaksanaan suatu peraturan yang sebenarnya pelaksanaan tersebut tidak memerlukan "sweeping“/Sidak dari Balai POM daerah terhadap fasilitas produksi
Semua informasi mengenai peraturan baru dikirimkan juga ke Balai POM daerah dengan penjelasan dan sosialisasi yang maksimum dari aparatur Pusat.
4 Tambahan data "berseri" sudah berkurang dengan dilakukannya "pre assessment", namun masih ditemukan adanya tambahan data yang "berseri", beberapa kasus bahkan perubahan diminta oleh checker (pada saat pengambilan nomor)
Pendaftaran untuk produk fruit juices (bulan Juni, Juli 2010)
130
Lampiran 5. Masukan Industri Terkait Kebijakan yang Dikeluarkan BPOM RI (Lanjutan)
No Masalah Deskripsi/Contoh Usulan
5 Pemahaman evaluator yang kurang dalam terhadap regulasi/peraturan
Untuk produk minuman, natrium phosphat dianggap sebagai bahan tambahan pangan sehingga industri harus melampirkan dokumen yang mendukung penggunaan bahan tersebut sebagai BTP. Padahal industri menggunakannya sebagai mineral, sehingga memang tidak akan ada data yang mendukung.
Sharing internal antar staf BPOM terhadap suatu masalah/pengetahuan baru perlu terus dilakukan jika salah satu staf selesai menghadiri training/seminar.
Penerapan kategori pangan yang berbeda terhadap satu jenis produk. Satu evaluator menetapkan minuman lidah buaya ke dalam kategori pangan "minuman berperisa tidak berkarbonasi" sedangkan evaluator yang lain menetapkan sebagai "minuman sterilisasi dalam kemasan aseptis"
Training terhadap staf BPOM secara terus-menerus.
6 Peraturan yang ditetapkan melalui meeting internal BPOM dan belum disosialisasikan kepada industri
Pemberlakuan serving size 250 ml untuk minuman isotonik. Pada saat pendaftaran aturan ini sudah dilaksanakan, sedangkan industri tidak mengetahui mengenai peraturan ini
Pelaksanaan suatu peraturan dilakukan setelah peraturan ditetapkan dan melalui tahap sosialisasi dan waktu penyesuaian
131
Lampiran 5. Masukan Industri Terkait Kebijakan yang Dikeluarkan BPOM RI (Lanjutan)
No Masalah Deskripsi/Contoh Usulan
7 Peraturan yang belum disepakati bersama bahkan belum resmi dikeluarkan oleh BPOM sudah dipakai sebagai dasar hukum pada saat registrasi baru atau ulang
Direktorat PKP seringkali bersikukuh untuk menggunakan peraturan yang masih berupa konsep yang belum disetujui Ka BPOM dalam penilaian MD baru atau pun saat registrasi ulang. Hal ini sangat merugikan karena ketidakkonsistenan klaim label.
Direktorat Penilaian Keamanan Pangan seharusnya menggunakan dasar hukum yang jelas termasuk peraturan BPOM sendiri. Jika belum disepakati seluruh stakeholder dan belum dipublikasi terbuka, tidak selayaknya dipakai pada saat penilaian MD/ML.
8 Proses persetujuan penggunaan bahan baku baru yang kurang jelas waktu dan prosesnya.
Proses persetujuan penggunaan bahan baku baru tidak diinformasikan secara umum kepada industri, sehingga industri yang lain yang ingin menggunakan bahan baku yang sama harus mengajukan ijin baru
Dibuat SOP mengenai proses mendapatkan ijin khusus, termasuk waktu yang diperlukan, dan biaya yang diperlukan
Persetujuan penggunaan hanya dilakukan oleh pimpinan (tidak ada delegasi) sehingga jika pimpinan sedang bertugas keluar kota/negeri, persetujuan tertunda
Dibuat review list untuk setiap persetujuan baru
Dalam beberapa kasus, industri tidak mendapat informasi langsung mengenai persetujuan tersebut, sedangkan bagian standar sudah memberikan informasi pada meeting internal ke bagian PKP.
132
Lampiran 5. Masukan Industri Terkait Kebijakan yang Dikeluarkan BPOM RI (Lanjutan)
No Masalah Deskripsi/Contoh Usulan
Pembuatan Standar
9 Dalam beberapa kasus, pembuatan standar kurang memperhatikan kondisi Indonesia
Peraturan mengenai cemaran benzoapiren dan dioxin di dalam minyak, dimana belum ada laboratorium di Indonesia yang dapat melakukan analisis tersebut
Standar atau peraturan disusun berdasarkan data yang cukup yang mengacu kepada data internasional dan kondisi Indonesia
Cemaran mikroba ALT biasanya menggunakan metode inkubasi 2x24 jam, tetapi BPOM menetapkan penggunakan analisis mikroba dengan ISO dimana inkubasi adalah 3x24 jam (lebih lama, sehingga biaya lebih besar)
10 Mitra Bestari/tenaga ahli Mitra bestari ditentukan oleh BPOM secara perseorangan, bukan wakil dari asosiasi profesi atau institusi sehingga kadang-kadang masalah yang dibahas kurang sesuai dengan keahlian pakar ybs. Satu pakar tidak dapat menguasai semua hal.
Mitra bestari ditentukan oleh asosiasi profesi dan atau institusi. BPOM mengirimkan permintaan kepada asosiasi profesi/institusi
Pembahasan kurang berimbang karena pada produk dan proses tertentu, tidak ada ahli yang menguasai masalah tsb
Industri diperbolehkan untuk mengusulkan pakar/tenaga ahli yang sesuai dengan masalah yang sedang dibahas, sehingga pembahasan lebih berimbang
133
Lampiran 5. Masukan Industri Terkait Kebijakan yang Dikeluarkan BPOM RI (Lanjutan)
No Masalah Deskripsi/Contoh Usulan
Formulasi minuman Olah Raga harus dibawah 250 miliosmol/L padahal penggunaan gula dan garam yang dicantumkan pada peraturan tersebut dapat dipastikan akan menghasilkan osmolarity lebih besar dari 250 miliosmol/L.
Diusulkan agar BPOM juga mengikutsertakan ahli atau pakar yang mewakili praktisi, dapat diambil dari asosiasi GAPMMI atau PIPIMM yang berasal dari R&D atau Regulatory dan memenuhi persyaratan akademik serta berpengalaman, netral dalam memberikan masukan.
11 Proses pembuatan Standar/peraturan
Industri kurang dilibatkan dari awal pada saat pembuatan standar, sehingga masukan tidak dapat diberikan dari awal proses
Industri dilibatkan dari awal pada saat pembuatan standar, sehingga dapat memberikan masukan dari awal
Dalam beberapa kasus (sebelum Juni 2010), tidak ada diskusi terbuka terhadap suatu peraturan. Jika ada diskusi terbuka, masukan dari industri tidak diperhatikan atau industri tidak mendapatkan informasi mengapa masukan industri tidak diterima
Diskusi terbuka dilakukan dengan industri, masukan industri dipertimbangkan, jika ada pertanyaan dapat dijelaskan
Peraturan mengacu kepada rekomendasi profesi saja. contoh : peraturan mengenai diabetes, mengacu kepada rekomendasi Perkemi
Standar/peraturan tidak dibuat berdasarkan pendapat pribadi atau rekomendasi profesi saja. Harus memperhatikan juga kondisi Indonesia
134
Lampiran 5. Masukan Industri Terkait Kebijakan yang Dikeluarkan BPOM RI (Lanjutan)
No Masalah Deskripsi/Contoh Usulan
Waktu penyesuaian 1 tahun dinilai sangat singkat untuk melakukan perubahan formula dan perubahan label
Waktu penyesuaian untuk pelaksanaan suatu peraturan , terutama yang berhubungan dengan perubahan formula dan juga perubahan label harus mempertimbangkan keadaan industri. Diperlukan waktu penyesuaian minimal 2 tahun untuk perubahan label dan 3 tahun untuk perubahan formula
Penetapan suatu peraturan yang saling berhubungan, hendaknya dilakukan dalam waktu yang berdekatan, sehingga dalam pelaksanaannya tidak membingungkan
12 Kategori Pangan yang belum mencakup semua kategori pangan yang ada di Indonesia saat ini
Kategori pangan untuk sari buah dan minuman susu berperisa
Revisi Kategori Pangan
135
Lampiran 5. Masukan Industri Terkait Kebijakan yang Dikeluarkan BPOM RI (Lanjutan)
No Masalah Deskripsi/Contoh Usulan
13 Tidak adanya konsistensi pada label. Selalu berganti pada saat pengajuan ulang MD/ML. Hal ini terkait bukan saja klaim gizi atau klaim kesehatan tetapi juga pada penggolongan kategori pangan dan pernyataan lainnya pada label. Ketidakonsistenan ini selalu terjadi pada saat pendaftaran ulang. Hal ini berdampak pada product positioning marketing.
Mizone be 100 % diijinkan dan dipakai sejak Mizone pertama kali diluncurkan, tetapi saat ini tidak lagi diijinkan tanpa alasan yang jelas.
Klaim yang tidak terkait klaim gizi atau klaim kesehatan dan tidak melanggar ketentuan pelabelan, diusulkan dapat dijinkan dan produsen harus bertanggung jawab.
Dokumen dari suatu perusahaan untuk produk-produk yang sudah terdaftar tidak perlu diminta diajukan secara berulang-ulang
136
Lampiran 5. Masukan Industri Terkait Kebijakan yang Dikeluarkan BPOM RI (Lanjutan)
No Masalah Deskripsi/Contoh Usulan
14 MD/ML versus SD/SL MD/ML dikeluarkan oleh Deputi 3 BPOM sedangkan SD/SL oleh Deputi 2, BPOM. Saat ini industri yang telah mengantongi ijin produksi obat, dapat memproduksi makanan a.l supplemen . BPOM tidak dapat mengeluarkan ijin edar sehingga mereka mengajukannya melalui jalur Deputi 2. Hal ini menimbulkan pertentangan karena klaim kesehatan & gizi berbeda . Suplemen dapat membuat klaim bebas sedangkan makanan tidak misal fungsi herbal. Padahal di pasar, produk dijual berdampingan.
Suplemen karena digolongkan secara fungsi sebagai makanan bukan obat maka untuk pendaftaran nomor registrasi BPOM diusulkan harus ditangani oleh Deputi 3 sehingga perlakuannya sama dengan produk makanan lainnya.
Bagi masyarakat Konsumen, saat ini pun tidak ada perbedaan persepsi antara produk makanan yang dinyatakan supplemen (SD/SL) dan yang hanya dinyatakan makanan. (MD/ML)
15 Penyederhanaan prosedur dan kecepatan pelayanan dengan tetap menjaga asas Keamanan Pangan
Online PKP segera dilaksanakan
Single MD
16 Guideline yang diterbitkan untuk satu perusahaan sudah menampung aspirasi industri, namun belum ada guideline yang berlaku secara umum
Tidak semua industri mendapatkan informasi yang sama
Guideline yang berlaku secara umum perlu diterbitkan
137
Lampiran 5. Masukan Industri Terkait Kebijakan yang Dikeluarkan BPOM RI (Lanjutan)
No Masalah Deskripsi/Contoh Usulan
Monitoring Iklan
17 Interpretasi yang berbeda antara BPOM dan industri dalam menerjemahkan arti iklan
Industri melihat itu sebagai bagian dari kreatifitas, sedangkan BPOM melihatnya sebagai "berlebihan"
Pedoman Periklanan Pangan perlu untuk di "update" berdasarkan perkembangan terkini
18 Tidak adanya waktu untuk klarifikasi pada saat BPOM menganggap bahwa suatu iklan melanggar peraturan
BPOM mengirimkan surat peringatan dan meminta industri untuk mencabut iklan dalam waktu 2 minggu, dimana hal ini tidak mudah dilakukan karena berhubungan dengan kontrak dengan pihak agency
Dibuat aturan yang jelas mengenai proses "peringatan" dan tingkatan dari "peringatan"
19 Tingkatan "peringatan" yang diberlakukan secara akumulasi pada satu perusahaan (bukan berdasarkan nama produk, namun berdasarkan perusahaan)
Untuk perusahaan yang mempunyai banyak jenis produk, maka hanya dalam waktu singkat akan medapatkan surat peringatan "keras" karena dugaan "pelanggaran" terjadi pada produk yang berbeda dalam waktu yang bersamaan
Akumulasi "pelanggaran" berdasarkan nama produk
20 Temuan atau hasil analisis yang dilakukan oleh LSM/YLKI yang secara terbuka diumumkan kepada publik tanpa melakukan konsolidasi/informasi kepada BPOM terlebih dahulu
Kasus air minum dalam kemasan yang mengandung mikroba yg tidak memenuhi persyaratan. Sehingga terjadi "dispute' antara industri dengan LSM
BPOM adalah pihak yang berkewajiban melakukan monitoring produk. Jika ada organisasi lain yg melakukan analisis, harus dengan sepengetahuan BPOM agar dapat dipertanggungjawabkan hasilnya
138
Lampiran 5. Masukan Industri Terkait Kebijakan yang Dikeluarkan BPOM RI (Lanjutan)
No Masalah Deskripsi/Contoh Usulan
21 Pendanaan bagi Aparatur dari POM untuk sosialisasi kasus tertentu atau peraturan tertentu
Sosialisasi dilakukan di daerah dengan melibatkan staf BPOM sebagai pembicara, PIPIMM tetap harus membiayai semua biaya kegiatan dan perjalanan dinasnya.
Kasus Sosialisasi BTP kepada IKM dan Konsumen
Sosialisasi adalah bagian dari BPOM juga sehingga pembiayaan seharusnya juga ditangani oleh BPOM bersama PIPIMM
139
Lampiran 6. Lembar Kuesioner
KUESIONER PENGEMBANGAN STANDAR (KEAMANAN) PANGAN
I. DATA UMUM
Responden adalah Pemerintah, Industri Pangan, Akademisi, Lembaga Sertifikasi/Laboratorium, atau Konsumen/Masyarakat/LSM.
Jumlah responden adalah 1 orang. Lembar kuesioner terdiri atas 5 halaman dan langsung diisi oleh responden.
1. Nama :
2. Jabatan :
3. Nama Instansi :
4. Alamat Instansi :
5. Jenis Instansi : Pemerintah/Industri/Akademisi/Konsumen/Laboratorium-Lembaga Sertifikasi*
6. Bidang Instansi :
7. Tanggal Wawancara
:
8. Nama Surveyor :
II. KUESIONER
Berisi tentang informasi pengembangan standar (keamanan) pangan pada instansi pemerintah, industri, akademisi, lembaga sertifikasi/laboratorium, atau konsumen
Setelah mengisi kuesioner ini, maka berkas dikembalikan kepada surveyor. Surveyor harus mengecek kembali kuesioner yang telah diisi dan apabila masih ada
pertanyaan yang belum dijawab maka harus ditanyakan kembali kepada responden
140
Pertanyaan Bagian 1
Responden memilih jawaban yang dianggap paling sesuai dengan cara memberi tanda centang (√) pada angka atau kolom jawaban yang dipilih.
Kategori: Transparan(Transparan: Proses penyusunan standar mengikuti suatu prosedur yang dapat diikuti oleh berbagai pihak yang berkepentingan dan tahapan dalam proses dapat dengan mudah diketahui oleh pihak yang berkepentingan)
1. Apakah Anda mengetahui tahapan proses pembuatan standar?1= Ya 2= Tidak
2. Seberapa mudah Anda mendapatkan informasi prosedur penyusunan suatu standar?1= Sangat mudah 2 = Mudah 3 = Sulit 4= Sangat sulit
3. Dari mana Anda mendapatkan informasi mengenai prosedur penyusunan suatu standar?1=web site/internet 2=instansi tempat Anda bekerja3=surat dari instansi terkait 4=perorangan5=lainnya, sebutkan……………………
Kategori: Keterbukaan(Keterbukaan: Terbuka bagi semua pihak yang berkepentingan untuk mengikuti program pengembangan standar melalui kelembagaan yang terkait dengan pengembangan standar, baik sebagai anggota Panitia Teknis/Sub Panitia Teknis maupun sebagai anggota masyarakat)
Ya Tidak
1 Apakah Anda/instansi Anda pernah dilibatkan sebagai panitia teknis penyusunan suatu standar pangan?
2 Apakah Anda/instansi Anda pernah dimintai masukan terkait pembuatan suatu standar pangan yang terkait bidang Anda?
3 Apakah Anda/instansi Anda pernah mengusulkan pembuatan suatu standar pangan?
Kategori: Konsesus dan tidak memihak(Konsensus dan Tidak Memihak: Memberikan kesempatan bagi pihak yang memiliki kepentingan berbeda untuk mengutarakan pandangan mereka serta mengakomodasikan pencapaian kesepakatan oleh pihak-pihak tersebut secara konsensus (mufakat atau suara mayoritas) dan tidak memihak kepada pihak tertentu)
1. Apakah Anda/instansi Anda pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan suatu standar pangan? (Jika Jawaban Anda: “Tidak”, maka pertanyaan selanjutnya untuk kategori ini tidak perlu dilanjutkan)1= Ya 2= Tidak
2. Apakah aspirasi Anda diterima/diakomodasi dalam pengambilan keputusan?1= Ya 2= Sebagian 3= Tidak
3. Seberapa besar pengaruh Anda/Instansi Anda dalam pengambilan keputusan?1= Sangat besar 2= Besar 3= Cukup besar 4= Kecil
141
4. Menurut Anda bagaimana proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan?1= Berimbang 2= Tidak berimbang
Kategori: Efektif dan Relevan(Efektif dan Relevan: Standar mudah diadopsi/dipakai oleh dunia usaha atau pihak pengguna lainnya untuk memenuhi kebutuhan pasar, baik domestik maupun internasional sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan melindungi masyarakat secara bersamaan)
1. Apakah Anda mengetahui standar (SNI) pangan yang sesuai dengan produk Anda?1= Tahu 2= Tidak Tahu
2. Apakah semua standar pangan yang terkait dengan bidang Anda yang dikeluarkan BSN/BPOM diterapkan di instansi Anda?1= Ya 2= Sebagian 3= Tidak
3. Berapa banyak standar pangan dari BSN dan/atau BPOM yang telah diterapkan pada instansi Anda?…………, Sebutkan……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
4. Apakah penerapan standar pangan bagi Anda/instansi Anda memberikan manfaat?1= Ya 2= Sebagian 3= Tidak
5. Hambatan dalam penerapan standar pangan di instansi Anda?1= Teknologi 2= Biaya 3= Kesiapan lab uji 4= Lainnya, Sebutkan…….
6 Menurut Anda seberapa penting faktor di bawah ini dipertimbangkan dalam penyusunan standar pangan
sangat penting
agak penting
cukup penting
kurang penting
a. Perdagangan
b. Kesehatan
c. Kesiapan teknologi
d. Gizi
e. Lingkungan
Kategori: Koheren(Koheren: Mencegah adanya duplikasi dan tumpang tindih dengan kegiatan perumusan standar sejenis lain dan melakukan harmonisasi dengan standar lain di tingkat regional maupun internasional)
1. Menurut Anda, sejauhmana otoritas pembuat standar sudah mengkaji dan memperhatikan standar lain yang sejenis di tingkat nasional dalam penyusunan standar pangan?1= Sangat baik 2= Baik 3= Cukup 4= Kurang
2. Peraturan internasional/regional yang sering menjadi rujukan?1= Codex 2= UE 3= ASIA 4= ASEAN 5= Lainnya, sebutkan………
3. Peraturan negara mana yang menjadi acuan dalam penyusunan standar pangan?1= US 2= Jepang 3= Cina 4=Thailand 5= Lainnya, sebutkan……………
142
Kategori: Dimensi Pengembangan(Dimensi Pengembangan: Mendorong perkembangan potensi yang ada di Indonesia)
Menurut Anda seberapa penting aspek di bawah ini dipertimbangkan dalam penyusunan standar pangan
sangat penting
agak penting
cukup penting
kurang penting
1 Pengembangan pangan berbasis bahan baku lokal
2 Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
3 Peningkatan daya saing produk Indonesia
4. Bagaimana faktor-faktor di bawah ini diurutkan berdasarkan prioritas yang dipertimbangkan dalam penyusunan standar pangan?Pilihan UrutanA. Perlindungan produk dalam negeri 1……………B. Kesiapan adopsi teknologi 2.…………...C. Kesiapan laboratorium uji 3.…………...D. Perlindungan kesehatan konsumen/masyarakat 4.…………...E. Lainnya, sebutkan…….. 5.…………...
143
Pertanyaan Bagian 2
Responden diminta untuk memberikan penilaian secara umum terhadap pertanyaan mengenai penerapan prinsip pembuatan standar (keamanan) pangan dengan cara memberi tanda ( / ) pada garis kontinyu. Pada garis diberikan beberapa titik sebagai patokan skala.Contoh: Jika pilihan Anda berada pada skala antara “Sangat Baik” dan “Baik”, maka nda dapat menandai, sbb.:
Sebelum
Sesudah
Penilaian Umum1. Menurut Anda, bagaimana prinsip Transparan diterapkan di dalam penyusunan standar
(keamanan) pangan di Indonesia saat ini?
2. Menurut Anda, bagaimana prinsip Keterbukaan diterapkan di dalam penyusunan standar (keamanan) pangan di Indonesia saat ini?
3. Menurut Anda, bagaimana prinsip Konsesus dan tidak memihak diterapkan di dalam penyusunan standar (keamanan) pangan di Indonesia saat ini?
4. Menurut Anda, bagaimana prinsip Efektif dan Relevan diterapkan di dalam penyusunan standar (keamanan) pangan di Indonesia saat ini?
5. Menurut Anda, bagaimana prinsip Koheren diterapkan di dalam penyusunan standar (keamanan) pangan di Indonesia saat ini?
6. Menurut Anda, bagaimana prinsip Dimensi Pengembangan diterapkan di dalam penyusunan standar (keamanan) pangan di Indonesia saat ini?
144
Saran
Apa saran Anda untuk instansi berikut dalam pengembangan standar (keamanan) pangan1 Pemerintah (Badan Standardisasi Nasional - BSN atau Badan Pengawas Obat dan
Makanan – BPOM RI)
2 Industri Pangan
3 Akademisi
4 Konsumen
5 Lembaga sertifikasi/laboratorium
-Terima Kasih-
145
Lampiran 7. List Responden Survei
List Responden Kelompok Pemerintah
No Nama Jabatan Instansi1 Drs. Sri Wahyughi,
M.KesKasubdit Higiene Sanitasi Pangan
Dit. Penyehatan Lingkungan, Ditjen PP&PL, Kemenkes RI
2 Dra. Mufidah Fitriati, M.S
Kepala seksi Kimia dan Hayati
BBP2HP, Kementerian Kelautan dan Perikanan
3 Ir. Tetty Helfry Sihombing, MP
Direktur Standardisasi Produk Pangan
BPOM RI
4 Pratiwi Yuniarti M Kepala Seksi Standardisasi Bahan Baku
BPOM RI
5 Dyah Staf BPOM RI6 Ir. Sri Kuntarsih, MM Direktur Budidaya dan
Pascapanen BuahDirektorat Budidaya dan Pascapanen Buah
7 Gusmalinda Sari, S.Si, M.S.E
Kasie Kerjasama Standardisasi Regional
Dit. Standardisasi Kemendag RI
8 Dra. Adilah Pababbari
Kepala Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan
Balai Besar POM di Makassar
9 Sumartini Maksum Kepala Pusat Perumusan Standar
Badan Standardisasi Nasional
10 Syamsudin Kepala Balai Besar POM
Balai Besar POM di Banda Aceh
11 drh. Hasan A. Sanyata
Kasubag tata usaha BPMPP (Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan
12 H. Asmanto Baso Lewa, SE
Kepala UPTD Balai Pengujian & Sertifikasi Mutu Barang Disperindag Prov. SulSel
13 Herti Herawati, Ir Kepala UPT UPT - LPPMHP Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. KalBar
14 Muhdar Kepala Seksi Kalibrasi dan standardisasi
BPPMB Dinas Perindag Prov. Sulawesi Selatan
15 Ir. A. Moniharadon Kepala Seksi Standardisasi dan Sertifikasi
Baristand Industri Manado
16 Tri Widayati Manajer teknis laboratorium Kesmavet
Balai Besar Veteriner Wates – Yogyakarta
17 Ir. Sony Sulaksono, MBS
Kepala Baristand Industri Pontianak
Balai Riset dan standardisasi Industri Pontianak
146
List Responden Kelompok Pemerintah
No Nama Jabatan Instansi18 Ir. Dwiworo
SunaringsihKepala Balai LPPMHP Medan
Balai Lab Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Medan
19 Rahmaniar Staf Standardisasi dan Sertifikasi
Balai Riset dan Standardisasi Industri dan Perdagangan Palembang
20 Warsiti kasie Pengujian Balai Besar Kimia dan Kemasan
21 Wisnu Broto Peneliti Balai Besar Litbang Pascapanen
22 Dr. Ir. Rizal Alamsyah, M.Sc
Kabid Sarana Riset dan Standardisasi
Balai Besar Industri Agro
23 Sri Rujiati Kepala Seksi Bina Teknis dan Standardisasi
UPT Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang, Disperindag Prov. Riau
List Responden Kelompok Industri
No Nama Jabatan Instansi1 Herni Sutanto PDQC Manajer PT Indofood Sukses
Makmur - Bogasari Flour Mills
2 Maria Fransisca Ellen R&D Manager PT Salim Ivomas Pratama
3 Endang S. Sunaryo VP R&D PT Tirta Investama4 Fransisca Tedjo GM National Quality
ManagementPT Smart Tbk. Agribusiness & Food
5 Robiul Djannah Staf R&D PT Niramas Utama6 Lisa Norisza Sjahwil Regulator Assurance
ManagerPT. Givaudan Indonesia
7 Paula Sinta C Managing Advisor PT Luvin Indonusa8 Yunianto Widi
WinarsoProduct Registration & Regulatory Affairs Manager
PT Heinz ABC Indonesia
9 Deddy Haryady Business Develpoment Manager Sweet and Colours
PT Sensient Technologies Indonesia
10 Birgitta Permana Sari Regulatory Officer PT Kraft Foods Company Indonesia
11 Lisa Adi Cahyadi Lie QA & Support Manager PT Forisa Nusapersada
147
List Responden Kelompok Industri
No Nama Jabatan Instansi12 Ekky Setiawan QA-QC Manager PT Indofood Fritolay
Makmur13 Nurkholis QA Manager PT Yupi Indo Jelly
Gum14 Lilik Lestyo Budi Plant Manager PT Sukses Abadi
Farmindo15 Fx Hartanti Satochid Technical Advisor PT Unican Surya
Agung16 Meddy Yosinta
SeptianiAssisten R&D Manager PT Hale Internasional
17 Roch Ratri Nandasari Regulatory Affairs Associate Director
PT Mead Johnson Indonesia
18 Anisa Puspitasari Staf QA PT Bosco19 Amelia Dyah Yovita Food Regulation PT Garuda Food Putra
Putri Jaya20 Lisawati Suhanda Quality Assurance
ManagerPT Tetra pak Indonesia
21 Neni Pujiastuti Registration Manager PT Indolakto22 Dwi Gatot Kuncoro PDQA Manager PT Tiga Pilar Sejahtera23 Adis Imam Munandar Marketing Executive PT SGS Indonesia
List Responden Kelompok Akademisi
No Nama Jabatan Instansi1 Nur Wulandari, STP.,
M.SiDosen – Bidang Rekayasa dan Proses Pangan
Dept. ITP, FATETA –IPB
2 Dr. Harsi D. Kusumaningrum
Peneliti/Staf Pengajar –Bidang Mikrobiologi Pangan
Dept. ITP IPB/SEAFAST Center IPB
3 Prof.Dr. Dedi Fardiaz Staf Dept. ITP/ SEAFAST Center –Bidang Kimia Pangan
Dept. ITP IPB/SEAFAST Center IPB
4 Dr. Nurjanah Staf pengajar Dept. THP FPIK IPB5 Prof.Dr. Winiati Puji
Rahayustaf Dept ITP/Kapus Riset BPOM RI –Bidang Mirkobiologi Pangan
Dept. ITP IPB/BPOM RI
6 Prof.Dr. Deddy Muchtadi
Guru Besar – Bidang Biokimia dan Gizi pangan
Dept. ITP, Fateta IPB
7 Dr. Rarah R.A. Kepala Bagian Dept. IPTP-Fakutas
148
List Responden Kelompok Akademisi
No Nama Jabatan InstansiMaheswari Teknologi Hasil
PeternakanPeternakan-IPB
List Responden Kelompok Lembaga Konsumen/Masyarakat
No Nama Jabatan Instansi1 Noor Jehan Staf Peneliti Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia2 Dra. Indrawati Direktur Eksekutif Masyarakat
Standardisasi Nasional (MASTAN)
3 dr. Marius Widjajarta, SE
Ketua Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia
4 Abu Bakar Siddik, SH
Ketua Lembaga Konsumen Indonesia – Medan
5 I Putu Armaya, SH Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Bali
6 Helfi Rahmawati, S.Pd
Direktur Eksekutif PKBI Daerah Jambi
7 Hendra Utama Kepala Bidang Standar dan Pelatihan
LPPOM MUI
8 Gunarto Koordinator Komisi Penangangan Pengaduan dan Kasus
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
149
Lampiran 8. Peraturan BPOM RI yang Berlaku untuk Luar Instansi
No Tanggal Nomor Keputusan Tentang1 28 September
2001HK.00.05.51.02961 Pendaftaran Produk Pangan Impor
Terbatas2 07 Maret
2002HK.00.05.5.00617 Pemberlakuan Kodeks Makanan
Indonesia 20013 25 Maret
2003HK.00.05.5.1142 Acuan Pencantuman % AKG pada
Label Produk Pangan4 30 April 2003 HK.00.05.5.1639 Pedoman Cara Produksi Pangan
yang Baik untuk IRT5 30 April 2003 HK.00.05.5.1640 Pedoman Tata Cara
Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan IRT
6 04 Desember 2003
HK.00.05.52.4321 Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan
7 31 Mei 2004 HK.00.05.1.2569 Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan
8 09 Agustus 2004
HK.00.05.23.3644 Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan
9 21 Oktober 2004
HK.00.05.5.1.4547 Persayaratan Penggunaan BTP Pemanis Buatan dalam Produk Pangan
10 17 Januari 2005
HK.00.06.51.0475 Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan
11 27 Januari 2005
HK.00.05.52.0685 Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional
12 25 Maret 2007
HK.00.04.23.2292 Mou_Kadin
Kemitraan Sosialisasi Mutu dan Keamanan Obat, Obat Tradisional, Kosmetika, Produk Komplemen dan Produk Pangan di Indonesia
13 20 Agustus 2007
HK.00.05.55.6497 Bahan Kemasan Pangan
14 23 Agustus 2007
HK.00.05.52.6291 Acuan Label Gizi Produk Pangan
15 23 Agustus 2007
HK.00.05.52.6581 Penggunaan Chitosan dalam Produk Pangan
16 27 Agustus 2007
HK.00.06.1.52.6635 Larangan Pencantuman Informasi Bebas BTP pada Label dan Iklan Pangan
17 07 Januari 2008
HK.00.06.52.0100 Pengawasan Pangan Olahan Organik
18 16 Januari 2008
HK.00.06.1.0256 Larangan Penambahan Vitamin K dalam Produk Susu
19 24 Maret 2008
HK.00.05.23.1455 Pengawasan Pemasukan Pangan Olahan
150
No Tanggal Nomor Keputusan Tentang20 08 Juli 2008 HK.00.05.23.3541 Pedoman Pengkajian Keamanan
Pangan Produk Rekayasa Genetika21 10 Juli 2008 HK.00.05.1.52.3572 Penambahan Zat Gizi dan Non
Gizi dalam Produk Pangan22 25 Agustus
2008HK.00.05.23.4415 Pemberlakuan Sistem Elektronik
dalam Kerangka Indonesia National Single Window di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan
23 25 Agustus 2008
HK.00.05.23.4416 Penetapan Tingkat Layanan (Service Level Arrangement) di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam Kerangka Indonesia National Single Window
24 13 April 2009 HK.00.05.1.55.1621 Pengawasan Pemasukan Bahan Kemasan Pangan
25 31 Agustus 2009
HK.00.05.1.23.3516 Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan yang Bersumber, Mengandung, dari Bahan Tertentu dan atau Mengandung Alkohol
26 16 September 2009
HK.00.06.74.3496 Kebijakan Teknologi Informasi dan Komunikasi Terintegrasi di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan
27 20 Oktober 2009
HK.00.05.1.52.3920 Pengawasan Formula Bayi dan Formula Bayi untuk Keperluan Medis Khusus
28 28 Oktober 2009
HK.00.06.1.52.4011 Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan
29 06 Januari 2010
HK.00.05.52.0085 Pengelompokan Produk Formula Bayi dan Formula Lanjutan
“Hak C
ipta B
adan
Stan
dard
isasi Nasio
nal, C
op
y stand
ar ini d
ibu
at un
tuk p
enayan
gan
di w
ebsite d
an tid
ak un
tuk d
ikom
ersialkan”
ICS 67.100.01 Badan Standardisasi Nasional
Standar Nasional Indonesia
SNI 3141.1:2011
Susu segar-Bagian 1: Sapi
“Hak C
ipta B
adan
Stan
dard
isasi Nasio
nal, C
op
y stand
ar ini d
ibu
at un
tuk p
enayan
gan
di w
ebsite d
an tid
ak un
tuk d
ikom
ersialkan”
Copyright notice
Hak cipta dilindungi undangどundang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian atau seluruh isi dokumen ini dengan cara dan dalam bentuk apapun dan dilarang mendistribusikan dokumen ini baik secara elektronik maupun hardcopy tanpa izin tertulis dari BSN
BSN Gd. Manggala Wanabakti Blok IV, Lt. 3,4,7,10.
Telp. +6221ど5747043 Fax. +6221ど5747045
Email: [email protected] www.bsn.go.id
Diterbitkan di Jakarta
“Hak C
ipta B
adan
Stan
dard
isasi Nasio
nal, C
op
y stand
ar ini d
ibu
at un
tuk p
enayan
gan
di w
ebsite d
an tid
ak un
tuk d
ikom
ersialkan”
SNI 3141.1:2011
i
Daftar Isi
Daftar Isi .................................................................................................................................... i
Prakata ..................................................................................................................................... ii
Pendahuluan............................................................................................................................ iii
1 Ruang lingkup .................................................................................................................... 1
2 Acuan normatif ................................................................................................................... 1
3 Istilah dan definisi .............................................................................................................. 1
4 Persyaratan mutu .............................................................................................................. 2
5 Pengambilan contoh .......................................................................................................... 2
6 Pengujian ........................................................................................................................... 2
7 Pengemasan...................................................................................................................... 3
8 Pelabelan ........................................................................................................................... 3
9 Rekomendasi ..................................................................................................................... 3
Bibliografi ................................................................................................................................. 4
Tabel 1 - Syarat mutu susu segar ........................................................................................... 2
“Hak C
ipta B
adan
Stan
dard
isasi Nasio
nal, C
op
y stand
ar ini d
ibu
at un
tuk p
enayan
gan
di w
ebsite d
an tid
ak un
tuk d
ikom
ersialkan”
SNI 3141.1:2011
ii
Prakata Standar ini merupakan revisi SNI 01-3141-1998, Susu segar. Revisi diutamakan pada persyaratan mutu dengan alasan sebagai berikut: a) Meningkatkan posisi tawar peternak sapi perah nasional b) Menyediakan bahan baku berkualitas bagi industri pengolahan susu dalam negeri c) Melindungi konsumen d) Meningkatkan kinerja agribisnis dan agroindustri e) Menunjang ekspor non migas Standar ini terdiri atas beberapa bagian yang secara umum berjudul susu segar. Bagian 1 menjelaskan tentang standar susu sapi segar dan bagian selanjutnya menjelaskan standar susu segar sesuai jenis ternak perah yang akan disusun mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Standar ini disusun oleh Panitia Teknis 67-03:Peternakan dan Produk Peternakan. Standar ini telah dibahas dalam rapat teknis dan terakhir disepakati dalam rapat konsensus di Jakarta pada tanggal 5 April 2010. Hadir dalam konsensus tersebut anggota Panitia Teknis 67-03:Peternakan dan Produk Peternakan serta instansi terkait lainnya. Standar ini juga telah melalui jajak pendapat pada tanggal 27 Juli 2010 sampai dengan 26 September 2010 dan disetujui menjadi Rancangan Akhir Standar Nasional Indonesia (RASNI).
“Hak C
ipta B
adan
Stan
dard
isasi Nasio
nal, C
op
y stand
ar ini d
ibu
at un
tuk p
enayan
gan
di w
ebsite d
an tid
ak un
tuk d
ikom
ersialkan”
SNI 3141.1:2011
iii
Pendahuluan Susu merupakan sumber protein hewani yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta dalam menjaga kesehatan. Susu sapi segar merupakan unsur penting dalam industri pengolahan susu. Sebagai pangan asal hewan, susu bersifat mudah rusak (perishable food). Dalam rangka meningkatkan peran susu segar dalam negeri dan perlindungan terhadap konsumen dan produsen, telah ditetapkan standar nasional SNI 01-3141-1998 mengenai standar susu segar.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, maka SNI 01-3141-1998 Susu segar perlu direvisi sebagai acuan dalam pembinaan kualitas maupun kuantitas produksinya.
“Hak C
ipta B
adan
Stan
dard
isasi Nasio
nal, C
op
y stand
ar ini d
ibu
at un
tuk p
enayan
gan
di w
ebsite d
an tid
ak un
tuk d
ikom
ersialkan”
“Hak C
ipta B
adan
Stan
dard
isasi Nasio
nal, C
op
y stand
ar ini d
ibu
at un
tuk p
enayan
gan
di w
ebsite d
an tid
ak un
tuk d
ikom
ersialkan”
SNI 3141.1:2011
1 dari 4
Susu segar - Bagian 1:Sapi
1 Ruang lingkup
Standar ini menetapkan persyaratan mutu, pengambilan contoh, pengujian, pengemasan, dan pelabelan susu sapi segar. Standar ini digunakan hanya untuk susu sapi segar sebagai bahan baku pengolahan lanjut. 2 Acuan normatif Untuk acuan bertanggal berlaku edisi yang tertulis dan untuk acuan tidak bertanggal edisi terakhir yang berlaku (termasuk revisi dan amandemennya). SNI 0429, Petunjuk pengambilan contoh cairan dan semi padat.
SNI 2782, Metoda pengujian susu segar.
SNI 2896, Cara uji cemaran logam dalam makanan.
SNI 2897:2008, Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu, serta hasil olahannya.
SNI 7424:2008, Metode uji tapis (screening test) residu antibiotika pada daging, telur dan susu secara bioassay.
Joint IDF/ISO Standard-IDF 148-1-ISO/13366-1, Milk-Enumeration of somatic cell-part 1. Microscopic method (reference method). 3 Istilah dan definisi Untuk tujuan penggunaan standar ini, istilah dan definisi berikut digunakan: 3.1 susu segar (raw milk) cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan 3.2 Nomor Kontrol Veteriner (NKV) sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah telah dipenuhinya persyaratan higiene-sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan
“Hak C
ipta B
adan
Stan
dard
isasi Nasio
nal, C
op
y stand
ar ini d
ibu
at un
tuk p
enayan
gan
di w
ebsite d
an tid
ak un
tuk d
ikom
ersialkan”
SNI 3141.1:2011
2 dari 4
4 Persyaratan mutu
Persyaratan mutu susu segar dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini :
Tabel 1 - Syarat mutu susu segar
No. Karakteristik Satuan Syarat
a. Berat Jenis (pada suhu 27,5 oC) minimum
g/ml 1,0270
b. Kadar lemak minimum % 3,0
c Kadar bahan kering tanpa lemak minimum
% 7,8
d Kadar protein minimum % 2,8
e Warna, bau, rasa, kekentalan - Tidak ada perubahan
f Derajat asam °SH 6,0 – 7,5
g pH - 6,3 – 6,8
h Uji alkohol (70 %) v/v - Negatif
i Cemaran mikroba, maksimum: 1. Total Plate Count 2. Staphylococcus aureus 3. Enterobacteriaceae
CFU/ml CFU/ml CFU/ml
1x106 1x102 1x103
j Jumlah sel somatis maksimum
sel/ml 4x105
k Residu antibiotika (Golongan penisilin,Tetrasiklin, Aminoglikosida, Makrolida)
- Negatif
l Uji pemalsuan - Negatif
m Titik beku oC -0,520 s.d - 0,560
n Uji peroxidase - Positif
o Cemaran logam berat, maksimum: 1. Timbal (Pb) 2. Merkuri (Hg) 3. Arsen (As)
µg/ml µg/ml µg/ml
0,02 0,03 0,1
5 Pengambilan contoh Cara pengambilan contoh sesuai dengan SNI 0429. 6 Pengujian 6.1 Cara pengujian berat jenis, kadar lemak, kadar bahan kering tanpa lemak, kadar protein, warna, bau, rasa, kekentalan, derajat asam, pH, uji alkohol, uji pemalsuan, titik beku dan uji peroxidase sesuai dengan SNI 2782. 6.2 Cara pengujian cemaran mikroba sesuai dengan SNI 2897-2008. 6.3 Cara pengujian sel somatis sesuai dengan Joint IDF/ISO Standard-IDF 148-1-ISO/13366-1. 6.4 Cara pengujian residu antibiotik sesuai dengan SNI 7424:2008.
“Hak C
ipta B
adan
Stan
dard
isasi Nasio
nal, C
op
y stand
ar ini d
ibu
at un
tuk p
enayan
gan
di w
ebsite d
an tid
ak un
tuk d
ikom
ersialkan”
SNI 3141.1:2011
3 dari 4
6.5 Cara pengujian cemaran logam berat sesuai dengan SNI 2896. 7 Pengemasan Susu segar dikemas dalam wadah tertutup yang terbuat dari bahan yang tidak toksik dan tidak mengakibatkan penyimpangan/kerusakan susu segar selama penyimpanan dan pengangkutan. 8 Pelabelan Informasi pada label kemasan primer minimal mencantumkan nama produk, nama produsen, berat bersih atau isi bersih, dan NKV. 9 Rekomendasi Karakteristik mutu cemaran logam berat dipersyaratkan jika diperlukan dan pengujiannya sesuai dengan SNI 2896.
“Hak C
ipta B
adan
Stan
dard
isasi Nasio
nal, C
op
y stand
ar ini d
ibu
at un
tuk p
enayan
gan
di w
ebsite d
an tid
ak un
tuk d
ikom
ersialkan”
SNI 3141.1:2011
4 dari 4
Bibliografi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan hewan; Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentan Label dan Iklan Pangan; Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Pada Unit Usaha Pangan Asal Hewan; CAC/RCP 57-2004 Code Of Hygienic Practice For Milk And Milk Products; SNI 7387:2009, Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan; SNI 7388:2009, Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan.
1
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : HK.00.05.5.1.4547
TENTANG
PERSYARATAN PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN PEMANIS BUATAN DALAM PRODUK PANGAN
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa transisi epidemiologi dan perubahan
gaya hidup mendorong meningkatnya produksi produk pangan dengan menggunakan bahan tambahan pangan pemanis buatan;
b. bahwa penggunaan pemanis buatan dalam produk pangan secara tidak tepat dan berlebihan dapat membahayakan kesehatan;
c. bahwa peraturan mengenai pemanis buatan sudah tidak memadai lagi dan tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pangan saat ini;
d. bahwa sehubungan dengan butir a, b, dan c perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Republik
2
Indonesia Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4424);
4. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 2002;
5. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2002;
Memperhatikan : Keputusan Kepala Badan Standardisasi
Nasional Nomor: 12/Kep/BSN-SNI.03/05/2004 tentang Penetapan 23 (Dua Puluh Tiga) Standar Nasional Indonesia.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT
DAN MAKANAN TENTANG PERSYARATAN PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN PEMANIS BUATAN DALAM PRODUK PANGAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam keputusan ini, yang dimaksud dengan : 1. Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang ditambahkan
ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi.
2. Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan yang dapat
menyebabkan rasa manis pada produk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori, hanya boleh ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah tertentu.
3
3. Poliol adalah gula alkohol yang aman dalam penggunaannya,
yang secara alami dijumpai pada buah-buahan antara lain laktitol, maltitol, manitol, silitol dan sorbitol, sedangkan secara komersial diperoleh melalui proses fermentasi monosakarida dengan menggunakan kapang / khamir untuk pangan seperti Moniliella polllinis.
4. Penegas rasa adalah istilah fungsi lain yang dapat digunakan
untuk pemanis buatan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa manis gula, cita rasa buah atau aroma tertentu.
5. ADI (Acceptable Daily Intake) atau Asupan Harian yang Dapat
Diterima adalah jumlah maksimum pemanis buatan dalam milligram per kilogram berat badan yang dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan.
6. Nilai Kalori adalah kalori atau energi yang dihasilkan dari
pemanis buatan dan dinyatakan sebagai jumlah kilo kalori (kkal) per gram pemanis buatan atau dapat dinyatakan dalam unit Joule dengan kesetaraan 1 kkal = 4,18 kJ.
7. Batas penggunaan maksimum adalah jumlah milligram per
kilogram (mg/kg) pemanis buatan yang diizinkan untuk ditambahkan ke dalam produk pangan atau jumlah pemanis buatan yang cukup untuk menghasilkan rasa manis yang diinginkan sesuai dengan CPPB.
8. CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik) adalah suatu
pedoman yang diterapkan untuk memproduksi pangan yang memenuhi standar mutu atau persyaratan yang diterapkan secara konsisten.
9. Sediaan pemanis buatan adalah pemanis buatan dalam
bentuk tablet, granul, serbuk, kristal atau cairan yang dikemas dalam bentuk siap pakai dan disajikan seperti halnya gula.
10. GRAS (Generally Recognized As Safe) adalah pernyataan aman
bagi bahan tambahan pangan termasuk pemanis buatan untuk ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah sesuai dengan CPPB.
4
11. Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
BAB II
PENGGUNAAN PEMANIS BUATAN DALAM PRODUK PANGAN
Bagian Pertama
Penggunaan Umum Pemanis Buatan dalam Produk Pangan
Pasal 2
(1) Pemanis buatan yang diizinkan ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah tertentu adalah 13 (tiga belas) jenis sesuai dengan ketentuan seperti yang tercantum dalam Lampiran 1 Keputusan ini.
(2) Pemanis buatan dapat digunakan secara tunggal ataupun
kombinasi dalam produk pangan rendah kalori dan pangan tanpa penambahan gula.
(3) Pangan rendah kalori sebagaimana dimaksud ayat (2) adalah
padanan terhadap istilah Weight Reduction Foods, Reduce Calorie, Reduce Joule, atau Low Joule adalah produk pangan yang minimal mengandung kurang atau sama dengan 40 kalori per sajian.
(4) Pangan tanpa penambahan gula sebagaimana dimaksud ayat
(2) adalah padanan terhadap istilah no added sugar foods, without added sugar, dan no sugar added adalah produk pangan yang diolah tanpa penambahan gula (sakarosa/ sukrosa), termasuk ingredient (ramuan) yang mengandung gula (sirup, jus buah, saus apel, dan lain-lain), atau proses pengolahannya tidak menyebabkan peningkatan kadar gula secara nyata.
(5) Pemanis buatan yang diizinkan dapat dikonsumsi secara
umum termasuk penderita diabetes mellitus dan pelaku diet dengan batas maksimum penggunaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 Keputusan ini.
(6) Penetapan batas maksimum pemanis buatan dalam produk
pangan mencakup juga pemanis buatan yang berasal dari
5
komposisi produk pangan atau sebagai hasil pengolahannya (pemanis buatan bawaan) yang diperbolehkan terdapat dalam komposisi produk pangan.
Bagian Kedua
Penggunaan Pemanis Buatan Golongan Poliol
Pasal 3
(1) Golongan poliol selain berfungsi sebagai pemanis buatan
dapat pula berfungsi sebagai perisa, bahan pengisi, penstabil, pengental, antikempal, humektan, sekuestran dan bahan utama.
(2) Fungsi golongan poliol selain sebagai pemanis buatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur tersendiri oleh Kepala Badan.
(3) Golongan poliol yang berfungsi sebagai bahan utama
sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah sorbitol, dapat digunakan dalam pembuatan produk pangan dengan persyaratan sebagai berikut :
a. Permen dengan maksimum penggunaan 99 persen, b. Permen karet dengan maksimum penggunaan 75 persen, c. Jam dan jelli dengan maksimum penggunaan 30 persen
dan d. Produk pangan yang dipanggang dengan maksimum
penggunaan 30 persen.
Bagian Ketiga
Persetujuan Penggunaan Pemanis Buatan
Pasal 4
Penggunaan pemanis buatan selain yang disebutkan pada Lampiran 1 Keputusan ini harus mendapatkan persetujuan dari Kepala Badan.
6
Bagian Keempat
Larangan Penggunaan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan
Pasal 5
Pemanis buatan tidak diizinkan penggunaannya pada produk pangan olahan tertentu untuk dikonsumsi oleh kelompok tertentu meliputi bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatannya.
BAB III
KETENTUAN LABEL
Pasal 6
(1) Produk pangan yang menggunakan pemanis buatan harus mencantumkan jenis dan jumlah pemanis buatan dalam komposisi bahan atau daftar bahan pada label.
(2) Pemanis buatan dalam bentuk sediaan, pada label harus
mencantumkan : a. Nama Pemanis Buatan b. Jumlah pemanis buatan dalam bentuk tablet dinyatakan
dengan milligram (mg) dan dalam bentuk granul atau serbuk dinyatakan dengan milligram (mg) dalam kemasan sekali pakai
c. Acceptable Daily Intake kecuali bagi pemanis buatan yang tidak mempunyai ADI
d. Peringatan : tidak digunakan untuk bahan yang akan dimasak atau dipanggang.
(3) Wajib mencantumkan peringatan Fenilketonuria:
mengandung fenilalanin, yang ditulis dan terlihat jelas pada label jika makanan atau minuman atau sediaan menggunakan pemanis buatan aspartam.
(4) Wajib mencantumkan peringatan : Konsumsi berlebihan
dapat mengakibatkan efek laksatif, yang ditulis dan terlihat jelas pada label makanan atau minuman atau sediaan yang menggunakan pemanis buatan laktitol atau manitol atau sorbitol, yang apabila diyakini dikonsumsi lebih dari 20 gram laktitol perhari atau 20 gram manitol perhari atau 50 gram sorbitol perhari.
7
(5) Klaim yang diperbolehkan dan dapat ditulis pada label
adalah: a. Tidak menyebabkan karies gigi. b. Pangan Rendah Kalori dan Pangan Tanpa Penambahan
Gula apabila produk pangan memenuhi syarat produk pangan rendah kalori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
c. Pangan untuk penderita diabetes atau pernyataan lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (5)
BAB IV
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 7
Pengawasan dan pembinaan terhadap penggunaan pemanis buatan dalam produk pangan dilakukan sepenuhnya oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
BAB V
S A N K S I
Pasal 8
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Keputusan ini dapat dikenai sanksi administratif berupa :
a. Peringatan tertulis b. Pencabutan izin edar dan c. Penarikan dan pemusnahan produk pangan yang
mengandung pemanis buatan yang sudah beredar. (2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pelanggaran terhadap ketentuan dalam Keputusan ini dapat pula dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 9
Dengan ditetapkannya Keputusan ini maka semua produk pangan yang menggunakan pemanis buatan sebelum ditetapkan Keputusan ini wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak ditetapkan Keputusan ini.
BAB VII
P E N U T U P
Pasal 10
(1) Hal-hal yang bersifat teknis yang belum diatur dalam Keputusan ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Badan yang bertanggung jawab di bidang obat dan makanan.
(2) Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : JAKARTA Pada tanggal : 21 Oktober 2004 KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA ttd H. SAMPURNO
9
LAMPIRAN 1 KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK.00.05.5.1.4547 TANGGAL : 21 Oktober 2004
PENGGUNAAN PEMANIS BUATAN BERDASARKAN KATEGORI PANGAN
ALITAM Alitame Nilai Kalori : 1,4 kkal/g atau setara dengan 5,85 kJ/g ADI : 0,34 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma, dan/atau terfermentasi (misalnya: susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
100
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim renin (tawar
60
01.4 Krim (tawar) dan sejenisnya 100
01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut berbahan dasar susu (misalnya: es susu, puding, buah atau yogurt beraroma)
100
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET 100
04.1.2.3 Buah dalam cuka, minyak dan larutan garam
40
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 100
04.1.2.6 Produk oles berbasis buah-buahan (misalnya: chutney) tidak termasuk produk pada kategori 04.1.2.5
300
04.2.2.3 Sayuran dan rumput laut dalam cuka, minyak, larutan garam atau kecap kedelai adalah produk yang diperoleh dengan menambahkan larutan garam pada sayuran segar
40
05.0 KEMBANG GULA 300
10
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
06.0 SEREAL DAN PRODUK SEREAL TERMASUK TEPUNG DAN PATI DARI AKAR-AKARAN DAN UMBI-UMBIAN, KACANG-KACANGAN DAN POLONG-POLONGAN, SELAIN PRODUK BAKERI KATEGORI 07.0
200
07.0 PRODUK BAKERI 200
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
CPPB
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya: campuran bumbu untuk mi instan)
100
12.5 Sup dan kaldu 40
12.6 Saus dan produk sejenisnya 40
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
300
14.1.2 Jus buah-buahan dan jus sayur-sayuran 40
14.1.4 Minuman beraroma berbasis air, termasuk minuman olah raga atau minuman elektrolit dan particulated drinks
40
11
ASESULFAM – K
Acesulfame potassium Nilai Kalori : 0 kkal/g atau setara dengan 0 kJ/g DI : 15 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya: susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
500
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
500
01.3.1 Susu kental (tawar) 500
01.3.2 Krimer minuman (krimer bukan susu) CPPB
01.4 Krim (tawar) dan sejenisnya CPPB
01.5.1 Susu bubuk dan krim bubuk (tawar) CPPB
01.6.1 Keju tanpa pemeraman (keju mentah) CPPB
01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut berbahan dasar susu (misalnya : es susu, pudding, buah atau yogurt beraroma)
1000
02.3 Emulsi lemak selain kategori 02.2, termasuk produk mix (campuran kering) dan/atau produk beraroma berbasis emulsi lemak
CPPB
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
1000
03.0 ES TERMASUK SHERBET DAN SORBET 800
04.1.2.1 Buah beku 500
04.1.2.2 Buah kering 500
04.1.2.3 Buah dalam cuka, minyak dan larutan garam
200
04.1.2.4 Buah yang dipasteurisasi dalam kaleng atau buah dalam botol
500
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 1000
04.1.2.6 Produk oles berbasis buah-buahan (misalnya : chutney) tidak termasuk produk pada kategori 04.1.2.5
1000
04.1.2.7 Buah bergula 500
04.1.2.8 Bahan baku berbasis buah-buahan, meliputi bubur buah, puree, toping buah dan santan kelapa
1000
12
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert)
berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
1000
04.1.2.10 Produk buah fermentasi CPPB
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
1000
04.1.2.12 Buah yang dimasak atau digoreng 500
04.2.2.3 Sayuran dan rumput laut dalam cuka, minyak, larutan garam atau kecap kedelai adalah produk yang diperoleh dengan menambahkan larutan garam pada sayuran segar
200
04.2.2.4 Sayuran dalam kaleng, botol atau dalam retort pouch
350
04.2.2.5 Puree dan produk oles sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian
2500
04.2.2.6 Bahan baku dan bubur (pulp) sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian (misalnya : makanan penutup dan saus sayuran, sayuran bergula) selain produk kategori 04.2.2.5
350
04.2.2.7 Produk fermentasi sayuran CPPB
05.1.1 Kakao campuran (bubuk) dan kakao mass/kue
2500
05.1.2 Kakao campuran (sirup) 2500
05.1.3 Produk oles kakao, termasuk bahan pengisi
2500
05.1.4 Kakao dan produk coklat 1000
05.1.5 Coklat imitasi, produk coklat pengganti 2500
05.2 Kembang gula termasuk permen keras dan permen lunak, nougats, dll. Selain dari kategori 05.1, 05.3, 05.4
2000
05.3 Permen karet 5000
05.4 Dekorasi (misalnya : untuk fine bakery wares), toping (non-buah) dan saus-saus manis
500
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum 1200
06.4 Pasta dan mi serta produk sejenisnya (misalnya : beras kertas, beras vermicelli)
200
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : pudding beras, pudding tapioka)
350
07.1 Roti dan produk bakeri CPPB
07.2.1 Kue, cookies dan pai (misalnya : yang diisi buah-buahan atau puding)
200
13
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 07.2.2 Produk fine bakery lainnya (misalnya :
donut, roti gulung manis, scone dan muffin)
2000
07.2.3 Campuran untuk produk fine bakery (misalnya : campuran kue, campuran panekuk)
1000
09.3 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi yang mengalami semi-pengawetan.
600
09.4 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air yang berkulit keras dan cumi-cumi yang diawetkan, dikalengkan atau difermentasi
CPPB
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
350
11.4 Gula dan sirup lainnya ( misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
1000
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya : campuran bumbu untuk mi instan)
CPPB
12.3 Cuka CPPB
12.4 Mustards 350
12.5 Sup dan kaldu 110
12.6.1 Saus emulsi (misalnya : mayonnaise, salad dressing)
1000
12.6.2 Saus non emulsi (misalnya : kecap, saus keju, saus krim, brown gravy)
350
12.6.3 Campuran sup dan kaldu 350
12.6.4 Saus encer (misalnya : kecap kedelai, kecap ikan)
350
12.7 Salad (misalnya : makaroni salad, salad kentang) dan sandwich spread selain produk berbasis kakao dan produk berbasis kacang pada kategori pangan 04.2.2.5 dan 05.1.3
1000
13.3.1 Makanan khusus untuk pengobatan bagi orang dewasa
450
13.4 Formula khusus untuk penurunan berat badan dan pelangsingan
450
14
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 13.5
Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
500
13.6 Suplemen makanan 2000
14.1.2.1 Jus buah-buahan yang dikalengkan atau dibotolkan (pasteurisasi)
600
14.1.2.2 Jus sayuran yang dikalengkan atau dibotolkan (pasteurisasi)
600
14.1.3.1 Nektar buah-buahan yang dikalengkan dan dibotolkan (pasteurisasi)
500
14.1.3.2 Nektar sayur-sayuran yang dikalengkan atau dibotolkan (pasteurisasi)
500
14.1.4 Minuman beraroma berbasis air, termasuk minuman olah raga atau minuman elektrolit dan particulated drinks
600
14.1.5 Kopi, kopi pengganti, teh, herbal infusions, sereal panas lainnya dan minuman dari biji/buah selain kakao
500
14.21 Bir dan minuman dari gandum 350
14.2.2 Cider dan perry 350
14.2.3 Minuman anggur 500
14.2.4 Wines (selain dari anggur) CPPB
14.2.5 Mead CPPB
14.2.6 Minuman beralkohol dengan kadar alcohol lebih dari 15%
CPPB
14.2.7 Minuman alkohol beraroma (misalnya : bir, wine dan spirituous cooler-type beverages, low alcoholic refreshers)
350
15.1 Makanan ringan – berbasis kentang, sereal, tepung atau kanji (dari akar-akaran dan umbi-umbian, kacang-kacangan dan polong-polongan)
1000
15.2 Kacang olahan, termasuk kacang yang dilapis dan kacang campur (mis dengan : buah kering)
1000
15.3 Makanan ringan – berbasis ikan 350
15
ASPARTAM Aspartame Nilai Kalori : 0,4 kkal/g atau setara dengan 1,67 kJ/g ADI : 50 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
600
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim renin (tawar)
2000
01.3.2 Krimmer minuman (krimer bukan susu) CPPB
01.4.1 Krim pasteurisasi CPPB
01.4.2 Krim whipping atau whipped atau krim rendah lemak yang disterilkan, di UHT
CPPB
01.4.3 Krim yang digumpalkan CPPB
01.4.4 Krim tiruan 1000
01.5.1 Susu bubuk dan krim bubuk (tawar) CPPB
01.5.2 Susu dan krim bubuk tiruan 2000
01.5.3 Campuran susu dan krim bubuk tawar dan beraroma
CPPB
01.6.1 Keju tanpa pemeraman (keju mentah) CPPB
01.6.5 Keju tiruan 1000
01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut berbahan dasar susu (misalnya : es susu, puding, buah atau yogurt beraroma)
3000
02.3 Emulsi lemak selain kategori 02.2, termasuk produk mix (campuran kering) dan/atau produk beraroma berbasis emulsi lemak
CPPB
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
3000
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET 3000
04.1.2.1 Buah beku CPPB
04.1.2.2 Buah kering 3000
04.1.2.3 Buah dalam cuka, minyak dan larutan garam
300
04.1.2.4 Buah yang dipasteurisasi dalam kaleng atau buah dalam botol
1000
16
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 1000
04.1.2.6 Produk oles berbasis buah-buahan (misalnya: chutney) tidak termasuk produk pada kategori 04.1.2.5
2000
04.1.2.7 Buah bergula 2000
04.1.2.8 Bahan baku berbasis buah-buahan, meliputi bubur buah, puree, toping buah dan santan kelapa
3000
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
3000
04.1.2.10 Produk buah fermentasi 2000
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
3000
04.1.2.12 Buah yang dimasak atau digoreng 2000
04.2.2.1 Sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian beku
1000
04.2.2.2 Sayuran, rumput laut, kacang-kacangan dan biji-bijian kering
1000
04.2.2.3 Sayuran dan rumput laut dalam cuka, minyak, larutan garam atau kecap kedelai adalah produk yang diperoleh dengan menambahkan larutan garam pada sayuran segar
300
04.2.2.4 Sayuran dalam kaleng, botol atau dalam retort pouch
1000
04.2.2.5 Puree dan produk oles sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian
3000
04.2.2.6 Bahan baku dan bubur (pulp) sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian (misalnya : makanan penutup dan saus sayuran, sayuran bergula) selain produk kategori 04.2.2.5
1000
04.2.2.7 Produk fermentasi sayuran 2500
04.2.2.8 Sayuran dan rumput laut yang dimasak atau digoreng
1000
05.1.1 Kakao campuran (bubuk) dan kakao mass/kue
3000
05.1.2 Kakao campuran (sirup) 3000
05.1.3 Produk oles kakao, termasuk bahan pengisi 3000
05.1.4 Kakao dan produk coklat 2500
05.1.5 coklat imitasi, produk coklat pengganti 3000
17
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 05.2 Kembang gula termasuk permen keras dan
permen lunak, nougats, dll. Selain dari kategori 05.1, 05.3, 05.4
10000
05.3 Permen karet 10000
05.4 Dekorasi (misalnya : untuk fine bakery wares), toping (non-buah) dan saus-saus manis
1000
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum 5000
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
1000
07.1 Roti dan produk bakeri 4000
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, savoury) 5000
08.2 Produk olahan dari daging unggas, dan hewan buruan (utuh atau potongan)
300
08.3 Produk olahan dari daging unggas dan hewan buruan yang dihancurkan
300
09.2 Ikan olahan dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
300
09.3 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerang, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi yang mengalami semi-pengawetan
300
10.2.3 Produk telur kering dan/atau telur yang dikoagulasi dengan pemanasan
1000
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
1000
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
3000
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya : campuran bumbu untuk mi instan)
2000
12.4 Mustards 350
12.5 Sup dan kaldu 600
12.6.1 Saus emulsi (misalnya : mayonnaise, salad dressing)
2000
12.6.2 Saus non emulasi (misalnya : kecap, saus keju, saus krim, brown gravy)
2000
12.6.3 Campuran sup dan kaldu 350
12.6.4 Saus encer (misalnya : kecap kedelai, kecap ikan)
350
18
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
12.7
Salad (misalnya : makaroni salad, salad kentang) dan sandwich spread selain produk berbasis kakao dan produk berbasis kacang pada kategori pangan 04.2.2.5 dan 05.1.3
1000
13.3 Makanan khusus untuk pengobatan 800
13.4 Formula khusus untuk penurunan berat badan dan pelangsingan
800
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
2000
13.6 Suplemen makanan 5500
14.1.2 Jus buah-buahan dan jus sayur-sayuran 2000
14.1.3 Nektar buah-buahan dan nektar sayur-sayuran
2000
14.1.4.1 Minuman berkarbonasi 600
14.1.4.2 Minuman non-karbonasi, termasuk punches dan ades
600
14.1.4.2 Kopi, kopi pengganti, teh, herbal infusions, sereal panas lainnya dan minuman dari biji/buah selain kakao
CPPB
14.2.1 Bir dan minuan dari gandum 600
14.2.2 Cider dan perry 600
14.2.3 Minuman anggur 600
14.2.4 Wines (selain dari anggur) 700
14.2.5 Mead 700
14.2.6 Minuman beralkohol dengan kadar alkohol lebih dari 15%
700
15.0 MAKANAN RINGAN SIAP MAKAN 500
19
ISOMALT Isomalt
Nilai Kalori : ≥2kkal/g atau setara dengan ≥8,36 kJ/g ADI : Tidak dinyatakan karena termasuk Generally
Recognized as Safe (GRAS)
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
CPPB
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.3 Susu evaporasi atau susu kental dan tiruannya
CPPB
01.4 Krim (tawar) dan sejenisnya CPPB
01.5 Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk tiruan
CPPB
01.6 Keju dan keju tiruan (analog) CPPB
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
CPPB
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET CPPB
04.1.1.2 Buah segar dengan permukaan yang disalut (dilapisi) glasir atau lilin yang dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu mengawetkan kesegaran buah
CPPB
04.1.2.2 Buah kering CPPB
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad CPPB
04.1.2.7 Buah bergula CPPB
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
CPPB
04.1.2.11 Buah-buahan untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
CPPB
04.2.1.2 Sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian segar yang permukaannya dilapisi glasir atau lilin yang dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu mengawetkan kesegaran sayuran
CPPB
05.0 KEMBANG GULA CPPB
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum CPPB
20
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-cooked atau kering)
CPPB
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
CPPB
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, savoury) CPPB
08.1.1 Daging unggas dan hewan buruan (segar), utuh atau potongan
CPPB
08.1.2 Daging unggas dan hewan buruan (segar), yang dihancurkan
CPPB
09.1 Ikan segar dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
09.2.1 Ikan beku, ikan pengisi, dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
09.2.2 Ikan, potongan tipis ikan dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi; yang dilumuri adonan lalu dibekukan
CPPB
09.2.3 Produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dihancurkan, dibubuhi saus krim dan dibekukan
CPPB
09.2.4.1 Ikan dan produk ikan yang dimasak CPPB
09.2.4.2 Kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dimasak
CPPB
09.2.4.3 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang digoreng
CPPB
09.2.5 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang diasapi, dikeringkan, difermentasi dan/atau digarami
CPPB
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
CPPB
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya : campuran bumbu untuk mi instan)
CPPB
12.4 Mustards CPPB
12.6 Saus dan produk sejenisnya CPPB
13.4 Formula khusus untuk penurunan berat badan dan pelangsingan
CPPB
21
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
13.5 Makanan khusus (mis : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
CPPB
22
LAKTITOL Lactytol Nilai Kalori : 2 kkal/g atau setara dengan 8,36 kJ/g ADI : Tidak dinyatakan karena termasuk Generally
Recognized as Safe (GRAS)
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya: susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
CPPB
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.3 Susu evaporasi atau susu kental dan tiruannya
CPPB
01.4.1 Krim pasteurisasi CPPB
01.5 Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk tiruan
CPPB
01.6 Keju dan keju tiruan (analog) CPPB
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
CPPB
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET CPPB
04.1.2.3 Buah dalam cuka, minyak dan larutan garam
CPPB
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad CPPB
04.1.2.7 Buah bergula CPPB
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
CPPB
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
CPPB
05.0 KEMBANG GULA CPPB
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum CPPB
06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-cooked atau kering)
CPPB
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
CPPB
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, sovoury) CPPB
23
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
09.2.1
Ikan beku, ikan pengisi, dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
CPPB
12.4 Mustards CPPB
12.6 Saus dan produk sejenisnya CPPB
13.4 Formula khusus untuk penurunan berat badan dan pelangsingan
CPPB
13.5 Makanan khusus (mis : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
CPPB
24
MALTITOL Maltitol Nilai Kalori : 2,1 kkal/g atau setara dengan 8,78 kJ/g ADI : Tidak dinyatakan karena termasuk Generally
Recognized as Safe (GRAS)
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
CPPB
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.3 Susu evaporasi atau susu kental dan tiruannya
CPPB
01.4.1 Krim pasteurisasi CPPB
01.5 Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk tiruan
CPPB
01.6 Keju dan keju tiruan (analog) CPPB
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
CPPB
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET CPPB
04.1.2.2 Buah kering CPPB
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad CPPB
04.1.2.7 Buah bergula CPPB
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
CPPB
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
CPPB
05.0 KEMBANG GULA CPPB
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum CPPB
06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-cooked atau kering)
CPPB
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
CPPB
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, sovoury) CPPB
25
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
09.2.1
Ikan beku, ikan pengisi, dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
CPPB
12.4 Mustards CPPB
12.6 Saus dan produk sejenisnya CPPB
13.4 Formula khusus untuk penurunan berat badan dan pelangsingan
CPPB
13.5 Makanan khusus (mis : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
CPPB
26
MANITOL Mannitol Nilai Kalori : 1,6 kkal/g atau setara dengan 6,69 kJ/g ADI : Tidak dinyatakan karena termasuk Generally
Recognized as Safe (GRAS)
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
CPPB
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.3 Susu evaporasi atau susu kental dan tiruannya
CPPB
01.4.1 Krim pasteurisasi CPPB
01.5 Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk tiruan
CPPB
01.6 Keju dan keju tiruan (analog) CPPB
02.2.1.1 Mentega dan konsentrat mentega CPPB
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
CPPB
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET CPPB
04.1.2.2 Buah kering CPPB
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad CPPB
04.1.2.7 Buah bergula CPPB
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
CPPB
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
CPPB
05.0 KEMBANG GULA CPPB
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum CPPB
06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-cooked atau kering)
CPPB
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
CPPB
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, sovoury) CPPB
27
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
09.2.1
Ikan beku, ikan pengisi, dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
CPPB
12.4 Mustards CPPB
12.6 Saus dan produk sejenisnya CPPB
13.5 Makanan khusus (mis : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
CPPB
28
NEOTAM Neotame Nilai Kalori : 0 kkal/g atau setara dengan 0 kJ/g ADI : 0 – 2 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
15
01.4.2 Krim “whipping” atau “whipped” atau krim rendah lemak yang disterilkan, di UHT
25
01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut berbahan dasar susu (misalnya : es susu, puding, buah atau yogurt beraroma)
Yogurt (Strawberry) 15
Pudding dessert 45
Gelatin dessert 19
Ice cream 20
Frozen novelties (ices) 20
02.3 Emulsi lemak selain kategori 02.2, termasuk produk mix (campuran kering) dan/atau produk beraroma berbasis emulsi lemak
25
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 100
04.1.2.8 Bahan baku berbasis buah-buahan, meliputi bubur buah, puree, toping buah dan santan kelapa
100
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
19
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
30
05.2 Kembang gula termasuk permen keras dan permen lunak, nougats, dll. Selain dari kategori 05.1, 05.3, 05.4
Kembang gula keras 60
Kembang gula lunak (karamel) 28
05.3 Permen karet 250
05.4 Dekorasi (misalnya: untuk fine bakery wares), toping (non-buah) dan saus-saus manis
50
29
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum 46
07.2.1 Kue, cookies dan pai (misalnya : yang diisi buah-buahan atau puding)
Cookies 60
Cake kuning 35
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
CPPB
14.1.2.1 Jus buah-buahan yang dikalengkan atau dibotolkan (pasteurisasi)
25
14.1.4.1 Minuman berkarbonasi 17
14.1.4.2 Minuman non-karbonasi, termasuk punches dan ades
Minuman elektrolit 15
Campuran minuman ringan (lemonade) 16
Campuran minuman teh es 12
14.1.5 Kopi, kopi pengganti, teh, herbal infusions, sereal panas lainnya dan minuman dari biji/buah selain kakao
8
30
SAKARIN (dan GARAM NATRIUM, KALIUM, KALSIUM) Saccharin (and Sodium, Potassium, Calcium Salts) Nilai Kalori : 0 kkal/g atau setara dengan 0 kJ/g ADI : 5 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
400
01.2.1 Susu fermentasi (tawar) 200
01.2.2 Susu yang digumpalkan dengan enzim rennin
CPPB
01.6.1 Keju tanpa pemeraman (keju mentah) 100
01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut berbahan dasar susu (misalnya : es susu, puding, buah atau yogurt beraroma)
200
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
100
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET 300
04.1.2.3 Buah dalam cuka, minyak dan larutan garam
160
04.1.2.4 Buah yang dipasteurisasi dalam kaleng atau buah dalam botol
200
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 200
04.1.2.6 Produk oles berbasis buah-buahan (misalnya: chutney) tidak termasuk produk pada kategori 04.1.2.5
200
04.1.2.7 Buah bergula 500
04.1.2.8 Bahan baku berbasis buah-buahan, meliputi bubur buah, puree, toping buah dan santan kelapa
200
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
100
04.2.2.1 Sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian beku
500
04.2.2.2 Sayuran, rumput laut, kacang-kacangan dan biji-bijian kering
500
31
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas
Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
04.2.2.3
Sayuran dan rumput laut dalam cuka, minyak, larutan garam atau kecap kedelai adalah produk yang diperoleh dengan menambahkan larutan garam pada sayuran segar
2000
04.2.2.4 Sayuran dalam kaleng, botol atau dalam retort pouch
500
04.2.2.5 Puree dan produk oles sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian
500
04.2.2.6 Bahan baku dan bubur (pulp) sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian (misalnya : makanan penutup dan saus sayuran, sayuran bergula) selain produk kategori 04.2.2.5
500
04.2.2.7 Produk fermentasi sayuran 500
04.2.2.8 Sayuran dan rumput laut yang dimasak atau digoreng
500
05.1.1 Kakao campuran (bubuk) dan kakao mass/ kue
500
05.2 Kembang gula termasuk permen keras dan permen lunak, nougats, dll. Selain dari kategori 05.1, 05.3, 05.4
3000
05.3 Permen karet 3000
05.4 Dekorasi (misalnya : untuk fine bakery wares), toping (non-buah) dan saus-saus manis
500
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum 100
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
100
07.1.3 Produk bakeri lainnya (misalnya : bagel, pita, english muffins)
15
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, savoury) 2000
08.2.1.1 Produk olahan dari daging unggas dan hewan buruan yang telah diasapi dan digarami tanpa pemanasan dalam bentuk utuh ataupun potongan
2000
08.2.2 Produk olahan dari daging unggas dan hewan buruan yang dipanaskan dalam bentuk utuh ataupun potongan
500
08.3.2 Produk olahan dari daging unggas dan hewan buruan yang dihancurkan dan mengalami pemanasan
500
09.2.4.1 Ikan dan produk ikan yang dimasak 500
32
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas
Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
09.2.5 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang diasapi, dikeringkan, difermentasi dan/atau digarami
1200
09.3.1 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dibumbui dan/atau dalam jeli
160
09.3.2 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang diacar dan/atau dalam air garam
2000
09.3.3 Pengganti telur salmon, caviar, dan produk telur ikan lainnya
160
09.3.4 Ikan dan produk ikan semi-pengawetan, ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi (misalnya : fish paste) kecuali produk-produk pada kategori 09.3.1 – 09.3.3
1200
09.4 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi yang diawetkan, dikalengkan atau difermentasi
200
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
100
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
300
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
4545
12.3 Cuka 300
12.4 Mustards 320
12.5 Sup dan kaldu 110
12.6.1 Saus emulsi (misalnya : mayonnaise, salad dressing)
500
12.6.2 Saus non emulsi (misalnya : kecap, saus keju, saus krim, brown gravy)
160
12.6.3 Campuran sup dan kaldu 300
12.6.4 Saus encer (misalnya : kecap kedelai, kecap ikan)
500
12.7 Salad (misalnya : makaroni salad, salad kentang) dan sandwich spread selain produk berbasis kakao dan produk berbasis kacang pada kategori pangan 04.2.2.5 dan 05.1.3
200
33
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
13.3 Makanan khusus untuk pengobatan 300
13.4 Formula khusus untuk penurunan berat badan dan pelangsingan
300
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk pada kategori pangan 13.1-13.4
500
13.6 Suplemen makanan 1200
14.1.2.3 Konsentrat (cair atau padat) untuk jus buah-buahan
300
14.1.2.4 Konsentrat (cair atau padat) untuk jus sayur-sayuran
300
14.1.3.1 Nektar buah-buahan yang dikalengkan dan dibotolkan (pasteurisasi)
80
14.1.3.3 Konsentrat nektar buah-buahan (cair atau padat)
300
14.1.3.4 Konsentrat nektar sayur-sayuran (cair atau padat)
300
14.1.4.1 Minuman berkarbonasi 500
14.1.4.2 Minuman non-karbonasi, termasuk punches dan ades
500
14.1.4.3 Konsentrat untuk minuman (cair atau padat) 2000
14.1.5 Kopi, kopi pengganti, teh, herbal infusions, sereal panas lainnya dan minuman dari biji/buah selain kakao
200
14.2.1 Bir dan minuman dari gandum 80
14.2.2 Cider dan perry 80
14.2.3 Minuman anggur 80
14.2.7 Minuman alkohol beraroma (misalnya : bir, wine dan spirituous cooler-type beverages, low alcoholic refreshers)
80
15.0 MAKANAN RINGAN SIAP MAKAN 100
16.0 COMPOSITE FOODS – MAKANAN -MAKANAN YANG TIDAK BISA DITEMPATKAN PADA KATEGORI 01-15
200
34
SIKLAMAT (ASAM SIKLAMAT DAN GARAM NATRIUM, KALIUM KALSIUM)
Cyclamates (Cyclamic Acid and Sodium, Potassium, and Calcium Salts)
(Dihitung sebagai asam siklamat) Nilai Kalori : 0 kkal/g atau setara dengan 0 kJ/g ADI : 0-11 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
400
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut berbahan dasar susu (misalnya : es susu, puding, buah atau yogurt beraroma)
250
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
250
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET 250
04.1.2.4 Buah yang dipasteurisasi dalam kaleng atau buah dalam botol
1000
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 1000
04.1.2.6 Produk oles berbasis buah-buahan (misalnya : chutney) tidak termasuk produk pada kategori 04.1.2.5
1000
04.1.2.7 Buah bergula 500
04.1.2.8 Bahan baku berbasis buah-buahan, meliputi bubur buah, puree, toping buah dan santan kelapa
250
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
250
04.2.2.4 Sayuran dalam kaleng, botol atau dalam retort pouch
100
04.2.2.6 Bahan baku dan bubur (pulp) sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian (misalnya : makanan penutup dan saus sayuran, sayuran bergula) selain produk kategori 04.2.2.5
250
05.1 Produk kakao dan produk coklat imitasi dan coklat pengganti
500
35
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas
Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
05.2 Kembang gula termasuk permen keras dan permen lunak, nougats, dll. Selain dari kategori 05.1, 05.3, 05.4
500
05.3 Peremen karet 3000
05.4 Dekorasi (misalnya : untuk fine bakery wares), toping (non-buah) dan saus-saus manis
500
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka
250
07.2.1 Kue, cookies dan pai (misalnya : yang diisi buah-buahan atau puding)
1600
07.2.2 Produk fine bakery lainnya (misalnya : donut, roti gulung manis, scone, dan muffin)
2000
07.2.3 Campuran untuk produk fine bakery (misalnya : campuran kue, campuran penekuk)
1600
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
250
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
500
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
CPPB
12.6.1 Saus emulsi (misalnya : mayonnaise, salad dressing)
500
12.7 Salad (misalnya : macaroni salad, salad kentang) dan sandwich spread selain produk berbasis kakao dan produk berbasis kacang pada kategori pangan 04.2.2.5 dan 05.1.3
500
13.3 Makanan khusus untuk pengobatan 1300
13.4 Formula khusus untuk penurunan berat badan dan pelangsingan
1300
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
1300
13.6 Suplemen makanan 1250
14.1.2.1 Jus buah-buahan yang dikalengkan atau dibotolkan (pasteurisasi)
1000
14.1.3.1 Nektar buah-buahan yang dikalengkan dan dibotolkan (pasteurisasi)
1000
14.1.4.1 Minuman berkarbonasi 1000
36
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
14.1.4.2 Minuman non-karbonasi, termasuk punches dan ades
1000
14.2.1 Bir dan minuman dari gandum 250
14.2.2 Cider dan perry 250
14.2.3 Minuman anggur 250
14.2.7 Minuman alkohol beraroma (misalnya : bir, wine dan spirituous cooler-type beverages, low alcoholic refreshers)
250
37
SILITOL Xylitol Nilai Kalori : 2,4 kkal/g atau setara dengan 10,03 kJ/g ADI : Tidak dinyatakan karena termasuk Generally
Recognized as Safe (GRAS)
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma, dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
CPPB
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.3 Susu evaporasi atau susu kental dan tiruannya
CPPB
01.4.1 Krim pasteurisasi CPPB
01.5 Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk tiruan
CPPB
01.6 Keju dan keju tiruan (analog) CPPB
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
CPPB
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET CPPB
04.1.1.2 Buah segar dengan permukaan yang disalut (dilapisi) glasir atau lilin yang dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu mengawetkan kesegaran buah
CPPB
04.1.2.2 Buah kering CPPB
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad CPPB
04.1.2.7 Buah bergula CPPB
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
CPPB
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
CPPB
04.2.1.12 Sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian segar yang permukaannya dilapisi glasir atau lilin yang dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu mengawetkan kesegaran sayuran
CPPB
05.0 KEMBANG GULA CPPB
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum CPPB
38
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-cooked atau kering)
CPPB
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
CPPB
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, savoury) CPPB
08.1.1 Daging unggas dan hewan buruan (segar), utuh atau potongan
CPPB
08.1.2 Daging unggas dan hewan buruan (segar), yang dihancurkan
CPPB
09.1 Ikan segar dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
09.2.1 Ikan beku, ikan pengisi, dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
09.2.2 Ikan, potongan tipis ikan dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi; yang dilumuri adonan lalu dibekukan
CPPB
09.2.3 Produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dihancurkan, dibubuhi saus krim dan dibekukan
CPPB
09.2.4.1 Ikan dan produk ikan yang dimasak CPPB
09.2.4.2 Kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dimasak
CPPB
09.2.4.3 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang digoreng
CPPB
09.2.5 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang diasapi, dikeringkan, difermentasi dan/atau digarami
35000
10.2.2 Produk telur beku CPPB
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
CPPB
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya : campuran bumbu untuk mi instan)
CPPB
12.4 Mustards CPPB
12.6 Saus dan produk sejenisnya CPPB
39
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
13.4 Formula khusus untuk penurunan berat badan dan pelangsingan
CPPB
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
CPPB
40
SORBITOL Sorbitol Nilai Kalori : 2,6 kkal/g atau setara dengan 10,87 kJ/g ADI : Tidak dinyatakan karena termasuk Generally
Recognized as Safe (GRAS)
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma, dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
CPPB
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.3 Susu evaporasi atau susu kental dan tiruannya
CPPB
01.4.1 Krim pasteurisasi CPPB
01.5 Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk tiruan
CPPB
01.6 Keju dan keju tiruan (analog) CPPB
02.2.1.1 Mentega dan konsentrat mentega CPPB
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
CPPB
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET CPPB
04.1.1.2 Buah segar dengan permukaan yang disalut (dilapisi) glasir atau lilin yang dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu mengawetkan kesegaran buah
CPPB
04.1.2.2 Buah kering CPPB
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad CPPB
04.1.2.7 Buah bergula CPPB
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
CPPB
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
CPPB
04.2.1.2 Sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian segar yang permukaannya dilapisi glasir atau lilin yang dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu mengawetkan kesegaran sayuran
CPPB
41
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
05.0 KEMBANG GULA CPPB
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum CPPB
06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-cooked atau kering)
CPPB
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
CPPB
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, savoury) CPPB
08.1.1 Daging unggas dan hewan buruan (segar), utuh atau potongan
CPPB
08.1.2 Daging unggas dan hewan buruan (segar), yang dihancurkan
5000
09.1 Ikan segar dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
09.2.1 Ikan beku, ikan pengisi, dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
09.2.2 Ikan, potongan tipis ikan dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air kerkulit keras dan cumi-cumi; yang dilumuri adonan lalu dibekukan.
CPPB
09.2.3 Produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dihancurkan, dibubuhi saus krim dan dibekukan
CPPB
09.2.4.1 Ikan dan produk ikan yang dimasak CPPB
09.2.4.2 Kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dimasak
CPPB
09.2.4.3 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang digoreng
CPPB
09.2.5 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang diasapi, dikeringkan, difermentasi dan/atau digarami
35000
10.2.2 Produk telur beku CPPB
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
CPPB
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya : campuran bumbu untuk mi isntan)
CPPB
12.4 Mustards CPPB
42
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
12.6 Saus dan produk sejenisnya CPPB
13.4 Formula khusus untuk penurunan berat badan dan pelangsingan
CPPB
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
CPPB
43
SUKRALOSA Sucralose Nilai Kalori : 0 kkal/g atau setara dengan 0 kJ/g ADI : 0-15 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma, dan/atau terfermentasi (misalnya : susu Coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
300
01.2.1.2 Produk susu fermentasi (tawar) yang diberi perlakuan panas setelah proses fermentasi
250
01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut berbahan dasar susu (misalnya : es susu, puding, buah atau yogurt beraroma)
400
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
250
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET 400
04.1.2.1 Buah beku 150
04.1.2.2 Buah kering 150
04.1.2.3 Buah dalam cuka, minyak dan larutan garam
150
04.1.2.4 Buah yang dipasteurisasi dalam kaleng atau buah dalam botol
450
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 450
04.1.2.6 Produk oles berbasis buah-buahan (misalnya : chutney) tidak termasuk produk pada kategori 04.1.2.5
800
04.1.2.7 Buah bergula 800
04.1.2.8 Bahan baku berbasis buah-buahan, meliputi bubur buah, puree, toping buah dan santan kelapa
450
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
1250
04.1.2.10 Produk buah fermentasi 150
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
250
04.1.2.12 Buah yang dimasak atau digoreng 150
04.2.2.1 Sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian beku
150
44
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
04.2.2.2 Sayuran, rumput laut, kacang-kacangan, dan biji-bijian kering
150
04.2.2.3 Sayuran dan rumput laut dalam cuka, minyak, larutan garam atau kecap kedelai adalah produk yang diperoleh dengan menambahkan larutan garam pada sayuran segar
450
04.2.2.4 Sayuran dalam kaleng, botol atau dalam retort pouch
150
04.2.2.5 Puree dan produk oles sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian
1500
04.2.2.6 Bahan baku dan bubur (pulp) sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian (misalnya : makanan penutup dan saus sayuran, sayuran bergula) selain produk kategori 04.2.2.5
500
04.2.2.7 Produk fermentasi sayuran 150
04.2.2.8 Sayuran dan rumput laut yang dimasak atau digoreng
150
05.1 Produk kakao dan produk coklat termasuk coklat imitasi dan coklat pengganti
1500
05.2 Kembang gula termasuk permen keras dan permen lunak, nougats, dll. Selain dari kategori 05.1, 05.3,05.4
1500
05.3 Permen karet 5000
Permen karet rendah kalori
05.4 Dekorasi (misalnya : untuk fine bakery wares), toping (non-buah) dan saus-saus manis
1000
06.1 Biji utuh, patah atau serpihan, termasuk beras 600
06.2 Tepung dan pati 600
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum 1000
06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-cooked atau kering)
600
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
1250
06.6 Adonan (misalnya : remasan roti atau adonan untuk melumuri ikan atau unggas)
600
06.7 Kue beras (hanya tipe oriental) 600
07.1 Roti dan produk bakeri 750
07.2.1 Kue, cookies dan pai (misalnya : yang diisi buah-buahan atau puding)
750
07.2.2 Produk fine bakery lainnya (misalnya : donut, roti gulung manis, scone, dan muffin)
800
45
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas
Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
07.2.3 Campuran untuk produk fine bakery (misalnya : campuran kue, campuran panekuk)
750
09.3.1 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dibumbui dan/atau dalam jeli
450
09.3.2 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang diacar dan/atau dalam air garam
450
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
250
11.1 Gula murni dan gula pasir 1500
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
1500
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya : campuran bumbu untuk mi instan)
700
12.4 Mustards 400
12.5 Sup dan kaldu 1250
12.6.1 Saus emulsi (misalnya : mayonnaise, salad dressing)
1250
12.6.2 Saus non emulsi (misalnya : kecap, saus keju, saus krim, brown gravy)
1250
12.6.3 Campuran sup dan kaldu 450
12.6.4 Saus encer (misalnya : kecap kedelai, kecap ikan)
450
12.7 Salad (misalnya : macaroni salad, salad kentang) dan sandwich spread selain produk berbasis kakao dan produk berbasis kacang pada kategori pangan 04.2.2.5 dan 05.1.3
1250
13.3 Makanan khusus untuk pengobatan 400
13.4 Formula khusus untuk penurunan berat badan dan pelangsingan
1250
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
800
14.1.2.1 Jus buah-buahan yang dikalengkan atau dibotolkan (pasteurisasi)
250
46
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg)
14.1.2.2 Jus sayuran yang dikalengkan atau dibotolkan (pasteurisasi)
250
14.1.2.3 Konsentrat (cair atau padat) untuk jus buah-buahan
1250
14.1.2.4 Konsentrat (cair atau padat) untuk jus sayur-sayuran
1250
14.1.3.1 Nektar buah-buahan yang dikalengkan dan dibotolkan (pasteurisasi)
250
14.1.3.3 Konsentrat nektar buah-buahan (cair atau padat)
1250
14.1.3.4 Konsentrat nektar sayur-sayuran (cair atau padat)
1250
14.1.4.1 Minuman berkarbonasi 600
14.1.4.2 Minuman non-karbonasi, termasuk punches dan ades
600
14.1.4.3 Konsentrat untuk minuman (cair atau padat) 1250
14.1.5 Kopi, kopi pengganti, teh, herbal infusions, sereal panas lainnya dan minuman dari biji/buah selain kakao
250
14.2 Minuman beralkohol dan sejenisnya yang bebas dan rendah alkohol
700
15.0 MAKANAN RINGAN SIAP MAKAN 1000
1
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : HK.00.05.5.1.4547
TENTANG
PERSYARATAN PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN PEMANIS BUATAN DALAM PRODUK PANGAN
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa transisi epidemiologi dan perubahan
gaya hidup mendorong meningkatnya produksi produk pangan dengan menggunakan bahan tambahan pangan pemanis buatan;
b. bahwa penggunaan pemanis buatan dalam produk pangan secara tidak tepat dan berlebihan dapat membahayakan kesehatan;
c. bahwa peraturan mengenai pemanis buatan sudah tidak memadai lagi dan tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pangan saat ini;
d. bahwa sehubungan dengan butir a, b, dan c perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Republik
2
Indonesia Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4424);
4. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 2002;
5. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2002;
Memperhatikan : Keputusan Kepala Badan Standardisasi
Nasional Nomor: 12/Kep/BSN-SNI.03/05/2004 tentang Penetapan 23 (Dua Puluh Tiga) Standar Nasional Indonesia.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT
DAN MAKANAN TENTANG PERSYARATAN PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN PEMANIS BUATAN DALAM PRODUK PANGAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam keputusan ini, yang dimaksud dengan : 1. Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang ditambahkan
ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi.
2. Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan yang dapat
menyebabkan rasa manis pada produk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori, hanya boleh ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah tertentu.
3
3. Poliol adalah gula alkohol yang aman dalam penggunaannya,
yang secara alami dijumpai pada buah-buahan antara lain laktitol, maltitol, manitol, silitol dan sorbitol, sedangkan secara komersial diperoleh melalui proses fermentasi monosakarida dengan menggunakan kapang / khamir untuk pangan seperti Moniliella polllinis.
4. Penegas rasa adalah istilah fungsi lain yang dapat digunakan
untuk pemanis buatan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa manis gula, cita rasa buah atau aroma tertentu.
5. ADI (Acceptable Daily Intake) atau Asupan Harian yang Dapat
Diterima adalah jumlah maksimum pemanis buatan dalam milligram per kilogram berat badan yang dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan.
6. Nilai Kalori adalah kalori atau energi yang dihasilkan dari
pemanis buatan dan dinyatakan sebagai jumlah kilo kalori (kkal) per gram pemanis buatan atau dapat dinyatakan dalam unit Joule dengan kesetaraan 1 kkal = 4,18 kJ.
7. Batas penggunaan maksimum adalah jumlah milligram per
kilogram (mg/kg) pemanis buatan yang diizinkan untuk ditambahkan ke dalam produk pangan atau jumlah pemanis buatan yang cukup untuk menghasilkan rasa manis yang diinginkan sesuai dengan CPPB.
8. CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik) adalah suatu
pedoman yang diterapkan untuk memproduksi pangan yang memenuhi standar mutu atau persyaratan yang diterapkan secara konsisten.
9. Sediaan pemanis buatan adalah pemanis buatan dalam
bentuk tablet, granul, serbuk, kristal atau cairan yang dikemas dalam bentuk siap pakai dan disajikan seperti halnya gula.
10. GRAS (Generally Recognized As Safe) adalah pernyataan aman
bagi bahan tambahan pangan termasuk pemanis buatan untuk ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah sesuai dengan CPPB.
4
11. Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
BAB II
PENGGUNAAN PEMANIS BUATAN DALAM PRODUK PANGAN
Bagian Pertama
Penggunaan Umum Pemanis Buatan dalam Produk Pangan
Pasal 2
(1) Pemanis buatan yang diizinkan ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah tertentu adalah 13 (tiga belas) jenis sesuai dengan ketentuan seperti yang tercantum dalam Lampiran 1 Keputusan ini.
(2) Pemanis buatan dapat digunakan secara tunggal ataupun
kombinasi dalam produk pangan rendah kalori dan pangan tanpa penambahan gula.
(3) Pangan rendah kalori sebagaimana dimaksud ayat (2) adalah
padanan terhadap istilah Weight Reduction Foods, Reduce Calorie, Reduce Joule, atau Low Joule adalah produk pangan yang minimal mengandung kurang atau sama dengan 40 kalori per sajian.
(4) Pangan tanpa penambahan gula sebagaimana dimaksud ayat
(2) adalah padanan terhadap istilah no added sugar foods, without added sugar, dan no sugar added adalah produk pangan yang diolah tanpa penambahan gula (sakarosa/ sukrosa), termasuk ingredient (ramuan) yang mengandung gula (sirup, jus buah, saus apel, dan lain-lain), atau proses pengolahannya tidak menyebabkan peningkatan kadar gula secara nyata.
(5) Pemanis buatan yang diizinkan dapat dikonsumsi secara
umum termasuk penderita diabetes mellitus dan pelaku diet dengan batas maksimum penggunaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 Keputusan ini.
(6) Penetapan batas maksimum pemanis buatan dalam produk
pangan mencakup juga pemanis buatan yang berasal dari
5
komposisi produk pangan atau sebagai hasil pengolahannya (pemanis buatan bawaan) yang diperbolehkan terdapat dalam komposisi produk pangan.
Bagian Kedua
Penggunaan Pemanis Buatan Golongan Poliol
Pasal 3
(1) Golongan poliol selain berfungsi sebagai pemanis buatan
dapat pula berfungsi sebagai perisa, bahan pengisi, penstabil, pengental, antikempal, humektan, sekuestran dan bahan utama.
(2) Fungsi golongan poliol selain sebagai pemanis buatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur tersendiri oleh Kepala Badan.
(3) Golongan poliol yang berfungsi sebagai bahan utama
sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah sorbitol, dapat digunakan dalam pembuatan produk pangan dengan persyaratan sebagai berikut :
a. Permen dengan maksimum penggunaan 99 persen, b. Permen karet dengan maksimum penggunaan 75 persen, c. Jam dan jelli dengan maksimum penggunaan 30 persen
dan d. Produk pangan yang dipanggang dengan maksimum
penggunaan 30 persen.
Bagian Ketiga
Persetujuan Penggunaan Pemanis Buatan
Pasal 4
Penggunaan pemanis buatan selain yang disebutkan pada Lampiran 1 Keputusan ini harus mendapatkan persetujuan dari Kepala Badan.
6
Bagian Keempat
Larangan Penggunaan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan
Pasal 5
Pemanis buatan tidak diizinkan penggunaannya pada produk pangan olahan tertentu untuk dikonsumsi oleh kelompok tertentu meliputi bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatannya.
BAB III
KETENTUAN LABEL
Pasal 6
(1) Produk pangan yang menggunakan pemanis buatan harus mencantumkan jenis dan jumlah pemanis buatan dalam komposisi bahan atau daftar bahan pada label.
(2) Pemanis buatan dalam bentuk sediaan, pada label harus
mencantumkan : a. Nama Pemanis Buatan b. Jumlah pemanis buatan dalam bentuk tablet dinyatakan
dengan milligram (mg) dan dalam bentuk granul atau serbuk dinyatakan dengan milligram (mg) dalam kemasan sekali pakai
c. Acceptable Daily Intake kecuali bagi pemanis buatan yang tidak mempunyai ADI
d. Peringatan : tidak digunakan untuk bahan yang akan dimasak atau dipanggang.
(3) Wajib mencantumkan peringatan Fenilketonuria:
mengandung fenilalanin, yang ditulis dan terlihat jelas pada label jika makanan atau minuman atau sediaan menggunakan pemanis buatan aspartam.
(4) Wajib mencantumkan peringatan : Konsumsi berlebihan
dapat mengakibatkan efek laksatif, yang ditulis dan terlihat jelas pada label makanan atau minuman atau sediaan yang menggunakan pemanis buatan laktitol atau manitol atau sorbitol, yang apabila diyakini dikonsumsi lebih dari 20 gram laktitol perhari atau 20 gram manitol perhari atau 50 gram sorbitol perhari.
7
(5) Klaim yang diperbolehkan dan dapat ditulis pada label
adalah: a. Tidak menyebabkan karies gigi. b. Pangan Rendah Kalori dan Pangan Tanpa Penambahan
Gula apabila produk pangan memenuhi syarat produk pangan rendah kalori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
c. Pangan untuk penderita diabetes atau pernyataan lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (5)
BAB IV
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 7
Pengawasan dan pembinaan terhadap penggunaan pemanis buatan dalam produk pangan dilakukan sepenuhnya oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
BAB V
S A N K S I
Pasal 8
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Keputusan ini dapat dikenai sanksi administratif berupa :
a. Peringatan tertulis b. Pencabutan izin edar dan c. Penarikan dan pemusnahan produk pangan yang
mengandung pemanis buatan yang sudah beredar. (2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pelanggaran terhadap ketentuan dalam Keputusan ini dapat pula dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 9
Dengan ditetapkannya Keputusan ini maka semua produk pangan yang menggunakan pemanis buatan sebelum ditetapkan Keputusan ini wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak ditetapkan Keputusan ini.
BAB VII
P E N U T U P
Pasal 10
(1) Hal-hal yang bersifat teknis yang belum diatur dalam Keputusan ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Badan yang bertanggung jawab di bidang obat dan makanan.
(2) Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : JAKARTA Pada tanggal : 21 Oktober 2004 KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA ttd H. SAMPURNO
9
LAMPIRAN 1 KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK.00.05.5.1.4547 TANGGAL : 21 Oktober 2004
PENGGUNAAN PEMANIS BUATAN BERDASARKAN KATEGORI PANGAN
ALITAM Alitame Nilai Kalori : 1,4 kkal/g atau setara dengan 5,85 kJ/g ADI : 0,34 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya: susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
100
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim renin (tawar
60
01.4 Krim (tawar) dan sejenisnya 100 01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut
berbahan dasar susu (misalnya: es susu, puding, buah atau yogurt beraroma)
100 03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET 100 04.1.2.3 Buah dalam cuka, minyak dan larutan
garam 40
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 100 04.1.2.6 Produk oles berbasis buah-buahan
(misalnya: chutney) tidak termasuk produk pada kategori 04.1.2.5
300
04.2.2.3 Sayuran dan rumput laut dalam cuka, minyak, larutan garam atau kecap kedelai adalah produk yang diperoleh dengan menambahkan larutan garam pada sayuran segar
40
05.0 KEMBANG GULA 300
10
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 06.0 SEREAL DAN PRODUK SEREAL
TERMASUK TEPUNG DAN PATI DARI AKAR-AKARAN DAN UMBI-UMBIAN, KACANG-KACANGAN DAN POLONG-POLONGAN, SELAIN PRODUK BAKERI KATEGORI 07.0
200
07.0 PRODUK BAKERI 200 11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose,
maple syrup, sugar toppings) CPPB
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang
mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya: campuran bumbu untuk mi instan)
100
12.5 Sup dan kaldu 40 12.6 Saus dan produk sejenisnya 40 13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen
makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
300
14.1.2 Jus buah-buahan dan jus sayur-sayuran 40 14.1.4 Minuman beraroma berbasis air, termasuk
minuman olah raga atau minuman elektrolit dan particulated drinks
40
11
ASESULFAM – K Acesulfame potassium Nilai Kalori : 0 kkal/g atau setara dengan 0 kJ/g DI : 15 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya: susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
500
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
500
01.3.1 Susu kental (tawar) 500 01.3.2 Krimer minuman (krimer bukan susu) CPPB 01.4 Krim (tawar) dan sejenisnya CPPB 01.5.1 Susu bubuk dan krim bubuk (tawar) CPPB 01.6.1 Keju tanpa pemeraman (keju mentah) CPPB 01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut
berbahan dasar susu (misalnya : es susu, pudding, buah atau yogurt beraroma)
1000
02.3 Emulsi lemak selain kategori 02.2, termasuk produk mix (campuran kering) dan/atau produk beraroma berbasis emulsi lemak
CPPB
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
1000
03.0 ES TERMASUK SHERBET DAN SORBET 800 04.1.2.1 Buah beku 500 04.1.2.2 Buah kering 500 04.1.2.3 Buah dalam cuka, minyak dan larutan
garam 200
04.1.2.4 Buah yang dipasteurisasi dalam kaleng atau buah dalam botol
500
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 1000 04.1.2.6 Produk oles berbasis buah-buahan
(misalnya : chutney) tidak termasuk produk pada kategori 04.1.2.5
1000
04.1.2.7 Buah bergula 500 04.1.2.8 Bahan baku berbasis buah-buahan,
meliputi bubur buah, puree, toping buah dan santan kelapa
1000
12
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert)
berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
1000
04.1.2.10 Produk buah fermentasi CPPB 04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk
produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
1000
04.1.2.12 Buah yang dimasak atau digoreng 500 04.2.2.3 Sayuran dan rumput laut dalam cuka,
minyak, larutan garam atau kecap kedelai adalah produk yang diperoleh dengan menambahkan larutan garam pada sayuran segar
200
04.2.2.4 Sayuran dalam kaleng, botol atau dalam retort pouch
350
04.2.2.5 Puree dan produk oles sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian
2500
04.2.2.6 Bahan baku dan bubur (pulp) sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian (misalnya : makanan penutup dan saus sayuran, sayuran bergula) selain produk kategori 04.2.2.5
350
04.2.2.7 Produk fermentasi sayuran CPPB 05.1.1 Kakao campuran (bubuk) dan kakao
mass/kue 2500
05.1.2 Kakao campuran (sirup) 2500 05.1.3 Produk oles kakao, termasuk bahan
pengisi 2500
05.1.4 Kakao dan produk coklat 1000 05.1.5 Coklat imitasi, produk coklat pengganti 2500 05.2 Kembang gula termasuk permen keras dan
permen lunak, nougats, dll. Selain dari kategori 05.1, 05.3, 05.4
2000
05.3 Permen karet 5000 05.4 Dekorasi (misalnya : untuk fine bakery
wares), toping (non-buah) dan saus-saus manis
500
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum 1200 06.4 Pasta dan mi serta produk sejenisnya
(misalnya : beras kertas, beras vermicelli) 200
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : pudding beras, pudding tapioka)
350
07.1 Roti dan produk bakeri CPPB 07.2.1 Kue, cookies dan pai (misalnya : yang diisi
buah-buahan atau puding) 200
13
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 07.2.2 Produk fine bakery lainnya (misalnya :
donut, roti gulung manis, scone dan muffin)
2000
07.2.3 Campuran untuk produk fine bakery (misalnya : campuran kue, campuran panekuk)
1000
09.3 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi yang mengalami semi-pengawetan.
600
09.4 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air yang berkulit keras dan cumi-cumi yang diawetkan, dikalengkan atau difermentasi
CPPB
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
350
11.4 Gula dan sirup lainnya ( misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
1000
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya : campuran bumbu untuk mi instan)
CPPB
12.3 Cuka CPPB 12.4 Mustards 350 12.5 Sup dan kaldu 110 12.6.1 Saus emulsi (misalnya : mayonnaise, salad
dressing) 1000
12.6.2 Saus non emulsi (misalnya : kecap, saus keju, saus krim, brown gravy)
350
12.6.3 Campuran sup dan kaldu 350 12.6.4 Saus encer (misalnya : kecap kedelai, kecap
ikan) 350
12.7 Salad (misalnya : makaroni salad, salad kentang) dan sandwich spread selain produk berbasis kakao dan produk berbasis kacang pada kategori pangan 04.2.2.5 dan 05.1.3
1000
13.3.1 Makanan khusus untuk pengobatan bagi orang dewasa
450
13.4 Formula khusus untuk penurunan berat badan dan pelangsingan
450
14
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 13.5
Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
500
13.6 Suplemen makanan 2000 14.1.2.1 Jus buah-buahan yang dikalengkan atau
dibotolkan (pasteurisasi) 600
14.1.2.2 Jus sayuran yang dikalengkan atau dibotolkan (pasteurisasi)
600
14.1.3.1 Nektar buah-buahan yang dikalengkan dan dibotolkan (pasteurisasi)
500
14.1.3.2 Nektar sayur-sayuran yang dikalengkan atau dibotolkan (pasteurisasi)
500
14.1.4 Minuman beraroma berbasis air, termasuk minuman olah raga atau minuman elektrolit dan particulated drinks
600
14.1.5 Kopi, kopi pengganti, teh, herbal infusions, sereal panas lainnya dan minuman dari biji/buah selain kakao
500
14.21 Bir dan minuman dari gandum 350 14.2.2 Cider dan perry 350 14.2.3 Minuman anggur 500 14.2.4 Wines (selain dari anggur) CPPB 14.2.5 Mead CPPB 14.2.6 Minuman beralkohol dengan kadar alcohol
lebih dari 15% CPPB
14.2.7 Minuman alkohol beraroma (misalnya : bir, wine dan spirituous cooler-type beverages, low alcoholic refreshers)
350
15.1 Makanan ringan – berbasis kentang, sereal, tepung atau kanji (dari akar-akaran dan umbi-umbian, kacang-kacangan dan polong-polongan)
1000
15.2 Kacang olahan, termasuk kacang yang dilapis dan kacang campur (mis dengan : buah kering)
1000
15.3 Makanan ringan – berbasis ikan 350
15
ASPARTAM Aspartame Nilai Kalori : 0,4 kkal/g atau setara dengan 1,67 kJ/g ADI : 50 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
600
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim renin (tawar)
2000
01.3.2 Krimmer minuman (krimer bukan susu) CPPB 01.4.1 Krim pasteurisasi CPPB 01.4.2 Krim whipping atau whipped atau krim
rendah lemak yang disterilkan, di UHT CPPB
01.4.3 Krim yang digumpalkan CPPB 01.4.4 Krim tiruan 1000 01.5.1 Susu bubuk dan krim bubuk (tawar) CPPB 01.5.2 Susu dan krim bubuk tiruan 2000 01.5.3 Campuran susu dan krim bubuk tawar
dan beraroma CPPB
01.6.1 Keju tanpa pemeraman (keju mentah) CPPB 01.6.5 Keju tiruan 1000 01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut
berbahan dasar susu (misalnya : es susu, puding, buah atau yogurt beraroma)
3000
02.3 Emulsi lemak selain kategori 02.2, termasuk produk mix (campuran kering) dan/atau produk beraroma berbasis emulsi lemak
CPPB
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
3000
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET 3000 04.1.2.1 Buah beku CPPB 04.1.2.2 Buah kering 3000 04.1.2.3 Buah dalam cuka, minyak dan larutan
garam 300
04.1.2.4 Buah yang dipasteurisasi dalam kaleng atau buah dalam botol
1000
16
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 1000 04.1.2.6 Produk oles berbasis buah-buahan
(misalnya: chutney) tidak termasuk produk pada kategori 04.1.2.5
2000
04.1.2.7 Buah bergula 2000 04.1.2.8 Bahan baku berbasis buah-buahan,
meliputi bubur buah, puree, toping buah dan santan kelapa
3000
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
3000
04.1.2.10 Produk buah fermentasi 2000 04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk
produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
3000
04.1.2.12 Buah yang dimasak atau digoreng 2000 04.2.2.1 Sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian
beku 1000
04.2.2.2 Sayuran, rumput laut, kacang-kacangan dan biji-bijian kering
1000
04.2.2.3 Sayuran dan rumput laut dalam cuka, minyak, larutan garam atau kecap kedelai adalah produk yang diperoleh dengan menambahkan larutan garam pada sayuran segar
300
04.2.2.4 Sayuran dalam kaleng, botol atau dalam retort pouch
1000
04.2.2.5 Puree dan produk oles sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian
3000
04.2.2.6 Bahan baku dan bubur (pulp) sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian (misalnya : makanan penutup dan saus sayuran, sayuran bergula) selain produk kategori 04.2.2.5
1000
04.2.2.7 Produk fermentasi sayuran 2500 04.2.2.8 Sayuran dan rumput laut yang dimasak
atau digoreng 1000
05.1.1 Kakao campuran (bubuk) dan kakao mass/kue
3000
05.1.2 Kakao campuran (sirup) 3000 05.1.3 Produk oles kakao, termasuk bahan pengisi 3000 05.1.4 Kakao dan produk coklat 2500 05.1.5 coklat imitasi, produk coklat pengganti 3000
17
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 05.2 Kembang gula termasuk permen keras dan
permen lunak, nougats, dll. Selain dari kategori 05.1, 05.3, 05.4
10000
05.3 Permen karet 10000 05.4 Dekorasi (misalnya : untuk fine bakery
wares), toping (non-buah) dan saus-saus manis
1000
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum 5000 06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati
(misalnya : puding beras, puding tapioka)
1000 07.1 Roti dan produk bakeri 4000 07.2 Produk fine bakery (manis, asin, savoury) 5000 08.2 Produk olahan dari daging unggas, dan
hewan buruan (utuh atau potongan) 300
08.3 Produk olahan dari daging unggas dan hewan buruan yang dihancurkan
300
09.2 Ikan olahan dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
300
09.3 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-
kerang, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi yang mengalami semi-pengawetan
300
10.2.3 Produk telur kering dan/atau telur yang dikoagulasi dengan pemanasan
1000
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
1000
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
3000
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya : campuran bumbu untuk mi instan)
2000
12.4 Mustards 350 12.5 Sup dan kaldu 600 12.6.1 Saus emulsi (misalnya : mayonnaise, salad
dressing) 2000
12.6.2 Saus non emulasi (misalnya : kecap, saus keju, saus krim, brown gravy)
2000
12.6.3 Campuran sup dan kaldu 350 12.6.4 Saus encer (misalnya : kecap kedelai, kecap
ikan) 350
18
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 12.7
Salad (misalnya : makaroni salad, salad kentang) dan sandwich spread selain produk berbasis kakao dan produk berbasis kacang pada kategori pangan 04.2.2.5 dan 05.1.3
1000
13.3 Makanan khusus untuk pengobatan 800 13.4 Formula khusus untuk penurunan berat
badan dan pelangsingan 800
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
2000
13.6 Suplemen makanan 5500 14.1.2 Jus buah-buahan dan jus sayur-sayuran 2000 14.1.3 Nektar buah-buahan dan nektar sayur-
sayuran 2000
14.1.4.1 Minuman berkarbonasi 600 14.1.4.2 Minuman non-karbonasi, termasuk
punches dan ades 600
14.1.4.2 Kopi, kopi pengganti, teh, herbal infusions, sereal panas lainnya dan minuman dari biji/buah selain kakao
CPPB
14.2.1 Bir dan minuan dari gandum 600 14.2.2 Cider dan perry 600 14.2.3 Minuman anggur 600 14.2.4 Wines (selain dari anggur) 700 14.2.5 Mead 700 14.2.6 Minuman beralkohol dengan kadar alkohol
lebih dari 15% 700
15.0 MAKANAN RINGAN SIAP MAKAN 500
19
ISOMALT Isomalt
Nilai Kalori : ≥2kkal/g atau setara dengan ≥8,36 kJ/g ADI : Tidak dinyatakan karena termasuk Generally
Recognized as Safe (GRAS)
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
CPPB
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.3 Susu evaporasi atau susu kental dan tiruannya
CPPB
01.4 Krim (tawar) dan sejenisnya CPPB 01.5 Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk
tiruan CPPB
01.6 Keju dan keju tiruan (analog) CPPB 02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut
berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
CPPB
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET CPPB 04.1.1.2 Buah segar dengan permukaan yang disalut
(dilapisi) glasir atau lilin yang dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu mengawetkan kesegaran buah
CPPB
04.1.2.2 Buah kering CPPB 04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad CPPB 04.1.2.7 Buah bergula CPPB 04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut
(dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
CPPB
04.1.2.11 Buah-buahan untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
CPPB
04.2.1.2 Sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian segar yang permukaannya dilapisi glasir atau lilin yang dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu mengawetkan kesegaran sayuran
CPPB
05.0 KEMBANG GULA CPPB 06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum CPPB
20
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-cooked
atau kering) CPPB
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
CPPB
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, savoury) CPPB 08.1.1 Daging unggas dan hewan buruan (segar),
utuh atau potongan CPPB
08.1.2 Daging unggas dan hewan buruan (segar), yang dihancurkan
CPPB
09.1 Ikan segar dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
09.2.1 Ikan beku, ikan pengisi, dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
09.2.2 Ikan, potongan tipis ikan dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi; yang dilumuri adonan lalu dibekukan
CPPB
09.2.3 Produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dihancurkan, dibubuhi saus krim dan dibekukan
CPPB
09.2.4.1 Ikan dan produk ikan yang dimasak CPPB 09.2.4.2 Kerang-kerangan, hewan air berkulit keras,
dan cumi-cumi yang dimasak CPPB
09.2.4.3 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang digoreng
CPPB
09.2.5 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang diasapi, dikeringkan, difermentasi dan/atau digarami
CPPB
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
CPPB
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya : campuran bumbu untuk mi instan)
CPPB
12.4 Mustards CPPB 12.6 Saus dan produk sejenisnya CPPB 13.4 Formula khusus untuk penurunan berat
badan dan pelangsingan CPPB
21
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 13.5 Makanan khusus (mis : Suplemen makanan
untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
CPPB
22
LAKTITOL Lactytol Nilai Kalori : 2 kkal/g atau setara dengan 8,36 kJ/g ADI : Tidak dinyatakan karena termasuk Generally
Recognized as Safe (GRAS)
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya: susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
CPPB
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.3 Susu evaporasi atau susu kental dan tiruannya
CPPB
01.4.1 Krim pasteurisasi CPPB 01.5 Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk
tiruan CPPB
01.6 Keju dan keju tiruan (analog) CPPB 02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut
berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
CPPB
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET CPPB 04.1.2.3 Buah dalam cuka, minyak dan larutan
garam CPPB
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad CPPB 04.1.2.7 Buah bergula CPPB 04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut
(dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
CPPB
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk
produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
CPPB
05.0 KEMBANG GULA CPPB 06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum CPPB 06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-
cooked atau kering) CPPB
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
CPPB
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, sovoury) CPPB
23
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 09.2.1
Ikan beku, ikan pengisi, dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
CPPB
12.4 Mustards CPPB 12.6 Saus dan produk sejenisnya CPPB 13.4 Formula khusus untuk penurunan berat
badan dan pelangsingan CPPB
13.5 Makanan khusus (mis : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
CPPB
24
MALTITOL Maltitol Nilai Kalori : 2,1 kkal/g atau setara dengan 8,78 kJ/g ADI : Tidak dinyatakan karena termasuk Generally
Recognized as Safe (GRAS)
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
CPPB
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.3 Susu evaporasi atau susu kental dan tiruannya
CPPB
01.4.1 Krim pasteurisasi CPPB 01.5 Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk
tiruan CPPB
01.6 Keju dan keju tiruan (analog) CPPB 02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut
berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
CPPB
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET CPPB 04.1.2.2 Buah kering CPPB 04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad CPPB 04.1.2.7 Buah bergula CPPB 04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut
(dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
CPPB
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk
produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
CPPB
05.0 KEMBANG GULA CPPB 06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum CPPB 06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-
cooked atau kering) CPPB
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
CPPB
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, sovoury) CPPB
25
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 09.2.1
Ikan beku, ikan pengisi, dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
CPPB
12.4 Mustards CPPB 12.6 Saus dan produk sejenisnya CPPB 13.4 Formula khusus untuk penurunan berat
badan dan pelangsingan CPPB
13.5 Makanan khusus (mis : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
CPPB
26
MANITOL Mannitol Nilai Kalori : 1,6 kkal/g atau setara dengan 6,69 kJ/g ADI : Tidak dinyatakan karena termasuk Generally
Recognized as Safe (GRAS)
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
CPPB
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.3 Susu evaporasi atau susu kental dan tiruannya
CPPB
01.4.1 Krim pasteurisasi CPPB 01.5 Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk
tiruan CPPB
01.6 Keju dan keju tiruan (analog) CPPB 02.2.1.1 Mentega dan konsentrat mentega CPPB 02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut
berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
CPPB
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET CPPB 04.1.2.2 Buah kering CPPB 04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad CPPB 04.1.2.7 Buah bergula CPPB 04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut
(dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
CPPB
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk
produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
CPPB
05.0 KEMBANG GULA CPPB 06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum CPPB 06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-
cooked atau kering) CPPB
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
CPPB
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, sovoury) CPPB
27
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 09.2.1
Ikan beku, ikan pengisi, dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
CPPB
12.4 Mustards CPPB 12.6 Saus dan produk sejenisnya CPPB 13.5 Makanan khusus (mis : Suplemen makanan
untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
CPPB
28
NEOTAM Neotame Nilai Kalori : 0 kkal/g atau setara dengan 0 kJ/g ADI : 0 – 2 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
15
01.4.2 Krim “whipping” atau “whipped” atau krim rendah lemak yang disterilkan, di UHT
25
01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut berbahan dasar susu (misalnya : es susu, puding, buah atau yogurt beraroma)
Yogurt (Strawberry) 15 Pudding dessert 45 Gelatin dessert 19 Ice cream 20 Frozen novelties (ices) 20 02.3 Emulsi lemak selain kategori 02.2, termasuk
produk mix (campuran kering) dan/atau produk beraroma berbasis emulsi lemak
25
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 100 04.1.2.8 Bahan baku berbasis buah-buahan,
meliputi bubur buah, puree, toping buah dan santan kelapa
100
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
19
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
30
05.2 Kembang gula termasuk permen keras dan permen lunak, nougats, dll. Selain dari kategori 05.1, 05.3, 05.4
Kembang gula keras 60 Kembang gula lunak (karamel) 28 05.3 Permen karet 250 05.4 Dekorasi (misalnya: untuk fine bakery wares),
toping (non-buah) dan saus-saus manis
50
29
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum 46 07.2.1 Kue, cookies dan pai (misalnya : yang diisi
buah-buahan atau puding)
Cookies 60 Cake kuning 35 11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang
mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
CPPB
14.1.2.1 Jus buah-buahan yang dikalengkan atau dibotolkan (pasteurisasi)
25
14.1.4.1 Minuman berkarbonasi 17 14.1.4.2 Minuman non-karbonasi, termasuk
punches dan ades Minuman elektrolit 15 Campuran minuman ringan (lemonade) 16 Campuran minuman teh es 12 14.1.5 Kopi, kopi pengganti, teh, herbal infusions,
sereal panas lainnya dan minuman dari biji/buah selain kakao
8
30
SAKARIN (dan GARAM NATRIUM, KALIUM, KALSIUM) Saccharin (and Sodium, Potassium, Calcium Salts) Nilai Kalori : 0 kkal/g atau setara dengan 0 kJ/g ADI : 5 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
400
01.2.1 Susu fermentasi (tawar) 200 01.2.2 Susu yang digumpalkan dengan enzim
rennin CPPB
01.6.1 Keju tanpa pemeraman (keju mentah) 100 01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut
berbahan dasar susu (misalnya : es susu, puding, buah atau yogurt beraroma)
200
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
100
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET 300 04.1.2.3 Buah dalam cuka, minyak dan larutan
garam 160
04.1.2.4 Buah yang dipasteurisasi dalam kaleng atau
buah dalam botol 200
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 200 04.1.2.6 Produk oles berbasis buah-buahan
(misalnya: chutney) tidak termasuk produk pada kategori 04.1.2.5
200
04.1.2.7 Buah bergula 500 04.1.2.8 Bahan baku berbasis buah-buahan,
meliputi bubur buah, puree, toping buah dan santan kelapa
200
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
100
04.2.2.1 Sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian beku
500
04.2.2.2 Sayuran, rumput laut, kacang-kacangan dan biji-bijian kering
500
31
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas
Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 04.2.2.3
Sayuran dan rumput laut dalam cuka, minyak, larutan garam atau kecap kedelai adalah produk yang diperoleh dengan menambahkan larutan garam pada sayuran segar
2000
04.2.2.4 Sayuran dalam kaleng, botol atau dalam retort pouch
500
04.2.2.5 Puree dan produk oles sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian
500
04.2.2.6 Bahan baku dan bubur (pulp) sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian (misalnya : makanan penutup dan saus sayuran, sayuran bergula) selain produk kategori 04.2.2.5
500
04.2.2.7 Produk fermentasi sayuran 500 04.2.2.8 Sayuran dan rumput laut yang dimasak
atau digoreng 500
05.1.1 Kakao campuran (bubuk) dan kakao mass/ kue
500
05.2 Kembang gula termasuk permen keras dan permen lunak, nougats, dll. Selain dari kategori 05.1, 05.3, 05.4
3000
05.3 Permen karet 3000 05.4 Dekorasi (misalnya : untuk fine bakery
wares), toping (non-buah) dan saus-saus manis
500
06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum 100 06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati
(misalnya : puding beras, puding tapioka) 100
07.1.3 Produk bakeri lainnya (misalnya : bagel, pita, english muffins)
15
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, savoury) 2000 08.2.1.1 Produk olahan dari daging unggas dan
hewan buruan yang telah diasapi dan digarami tanpa pemanasan dalam bentuk utuh ataupun potongan
2000
08.2.2 Produk olahan dari daging unggas dan hewan buruan yang dipanaskan dalam bentuk utuh ataupun potongan
500
08.3.2 Produk olahan dari daging unggas dan hewan buruan yang dihancurkan dan mengalami pemanasan
500
09.2.4.1 Ikan dan produk ikan yang dimasak 500
32
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas
Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 09.2.5 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-
kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang diasapi, dikeringkan, difermentasi dan/atau digarami
1200
09.3.1 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dibumbui dan/atau dalam jeli
160
09.3.2 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang diacar dan/atau dalam air garam
2000
09.3.3 Pengganti telur salmon, caviar, dan produk telur ikan lainnya
160
09.3.4 Ikan dan produk ikan semi-pengawetan, ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi (misalnya : fish paste) kecuali produk-produk pada kategori 09.3.1 – 09.3.3
1200
09.4 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi yang diawetkan, dikalengkan atau difermentasi
200
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
100
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
300
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
4545
12.3 Cuka 300 12.4 Mustards 320 12.5 Sup dan kaldu 110 12.6.1 Saus emulsi (misalnya : mayonnaise, salad
dressing) 500
12.6.2 Saus non emulsi (misalnya : kecap, saus keju, saus krim, brown gravy)
160
12.6.3 Campuran sup dan kaldu 300 12.6.4 Saus encer (misalnya : kecap kedelai, kecap
ikan) 500
12.7 Salad (misalnya : makaroni salad, salad kentang) dan sandwich spread selain produk berbasis kakao dan produk berbasis kacang pada kategori pangan 04.2.2.5 dan 05.1.3
200
33
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 13.3 Makanan khusus untuk pengobatan 300 13.4 Formula khusus untuk penurunan berat
badan dan pelangsingan 300
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk pada kategori pangan 13.1-13.4
500
13.6 Suplemen makanan 1200 14.1.2.3 Konsentrat (cair atau padat) untuk jus buah-
buahan 300
14.1.2.4 Konsentrat (cair atau padat) untuk jus sayur-sayuran
300
14.1.3.1 Nektar buah-buahan yang dikalengkan dan dibotolkan (pasteurisasi)
80
14.1.3.3 Konsentrat nektar buah-buahan (cair atau padat)
300
14.1.3.4 Konsentrat nektar sayur-sayuran (cair atau padat)
300
14.1.4.1 Minuman berkarbonasi 500 14.1.4.2 Minuman non-karbonasi, termasuk punches
dan ades 500
14.1.4.3 Konsentrat untuk minuman (cair atau padat) 2000 14.1.5 Kopi, kopi pengganti, teh, herbal infusions, sereal
panas lainnya dan minuman dari biji/buah selain kakao
200
14.2.1 Bir dan minuman dari gandum 80 14.2.2 Cider dan perry 80 14.2.3 Minuman anggur 80 14.2.7 Minuman alkohol beraroma (misalnya : bir,
wine dan spirituous cooler-type beverages, low alcoholic refreshers)
80
15.0 MAKANAN RINGAN SIAP MAKAN 100 16.0 COMPOSITE FOODS – MAKANAN -MAKANAN YANG
TIDAK BISA DITEMPATKAN PADA KATEGORI 01-15
200
34
SIKLAMAT (ASAM SIKLAMAT DAN GARAM NATRIUM, KALIUM KALSIUM) Cyclamates (Cyclamic Acid and Sodium, Potassium, and Calcium Salts) (Dihitung sebagai asam siklamat) Nilai Kalori : 0 kkal/g atau setara dengan 0 kJ/g ADI : 0-11 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
400
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut berbahan dasar susu (misalnya : es susu, puding, buah atau yogurt beraroma)
250
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
250
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET 250 04.1.2.4 Buah yang dipasteurisasi dalam kaleng atau
buah dalam botol 1000
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 1000 04.1.2.6 Produk oles berbasis buah-buahan
(misalnya : chutney) tidak termasuk produk pada kategori 04.1.2.5
1000
04.1.2.7 Buah bergula 500 04.1.2.8 Bahan baku berbasis buah-buahan, meliputi
bubur buah, puree, toping buah dan santan kelapa
250
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
250
04.2.2.4 Sayuran dalam kaleng, botol atau dalam retort pouch
100
04.2.2.6 Bahan baku dan bubur (pulp) sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian (misalnya : makanan penutup dan saus sayuran, sayuran bergula) selain produk kategori 04.2.2.5
250
05.1 Produk kakao dan produk coklat imitasi dan coklat pengganti
500
35
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas
Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 05.2 Kembang gula termasuk permen keras dan
permen lunak, nougats, dll. Selain dari kategori 05.1, 05.3, 05.4
500
05.3 Peremen karet 3000 05.4 Dekorasi (misalnya : untuk fine bakery
wares), toping (non-buah) dan saus-saus manis
500
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka
250
07.2.1 Kue, cookies dan pai (misalnya : yang diisi buah-buahan atau puding)
1600
07.2.2 Produk fine bakery lainnya (misalnya : donut, roti gulung manis, scone, dan muffin)
2000
07.2.3 Campuran untuk produk fine bakery (misalnya : campuran kue, campuran penekuk)
1600
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
250
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
500
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
CPPB
12.6.1 Saus emulsi (misalnya : mayonnaise, salad dressing)
500
12.7 Salad (misalnya : macaroni salad, salad kentang) dan sandwich spread selain produk berbasis kakao dan produk berbasis kacang pada kategori pangan 04.2.2.5 dan 05.1.3
500
13.3 Makanan khusus untuk pengobatan 1300 13.4 Formula khusus untuk penurunan berat
badan dan pelangsingan 1300
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
1300
13.6 Suplemen makanan 1250 14.1.2.1 Jus buah-buahan yang dikalengkan atau
dibotolkan (pasteurisasi) 1000
14.1.3.1 Nektar buah-buahan yang dikalengkan dan dibotolkan (pasteurisasi)
1000
14.1.4.1 Minuman berkarbonasi 1000
36
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 14.1.4.2 Minuman non-karbonasi, termasuk punches
dan ades 1000
14.2.1 Bir dan minuman dari gandum 250 14.2.2 Cider dan perry 250 14.2.3 Minuman anggur 250 14.2.7 Minuman alkohol beraroma (misalnya : bir,
wine dan spirituous cooler-type beverages, low alcoholic refreshers)
250
37
SILITOL Xylitol Nilai Kalori : 2,4 kkal/g atau setara dengan 10,03 kJ/g ADI : Tidak dinyatakan karena termasuk Generally
Recognized as Safe (GRAS)
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
CPPB
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.3 Susu evaporasi atau susu kental dan tiruannya
CPPB
01.4.1 Krim pasteurisasi CPPB 01.5 Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk
tiruan CPPB
01.6 Keju dan keju tiruan (analog) CPPB 02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut
berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
CPPB
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET CPPB 04.1.1.2 Buah segar dengan permukaan yang
disalut (dilapisi) glasir atau lilin yang dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu mengawetkan kesegaran buah
CPPB
04.1.2.2 Buah kering CPPB 04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad CPPB 04.1.2.7 Buah bergula CPPB 04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut
(dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
CPPB
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
CPPB
04.2.1.12 Sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian segar yang permukaannya dilapisi glasir atau lilin yang dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu mengawetkan kesegaran sayuran
CPPB
05.0 KEMBANG GULA CPPB 06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum CPPB
38
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-cooked
atau kering) CPPB
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
CPPB
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, savoury) CPPB 08.1.1 Daging unggas dan hewan buruan (segar),
utuh atau potongan CPPB
08.1.2 Daging unggas dan hewan buruan (segar), yang dihancurkan
CPPB
09.1 Ikan segar dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
09.2.1 Ikan beku, ikan pengisi, dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
09.2.2 Ikan, potongan tipis ikan dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi; yang dilumuri adonan lalu dibekukan
CPPB
09.2.3 Produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dihancurkan, dibubuhi saus krim dan dibekukan
CPPB
09.2.4.1 Ikan dan produk ikan yang dimasak CPPB 09.2.4.2 Kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan
cumi-cumi yang dimasak CPPB
09.2.4.3 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang digoreng
CPPB
09.2.5 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-
kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang diasapi, dikeringkan, difermentasi dan/atau digarami
35000
10.2.2 Produk telur beku CPPB 10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur
(misalnya : custard) CPPB
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya : campuran bumbu untuk mi instan)
CPPB
12.4 Mustards CPPB 12.6 Saus dan produk sejenisnya CPPB
39
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 13.4 Formula khusus untuk penurunan berat
badan dan pelangsingan CPPB
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
CPPB
40
SORBITOL Sorbitol Nilai Kalori : 2,6 kkal/g atau setara dengan 10,87 kJ/g ADI : Tidak dinyatakan karena termasuk Generally
Recognized as Safe (GRAS)
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
CPPB
01.2 Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim rennin (tawar)
CPPB
01.3 Susu evaporasi atau susu kental dan tiruannya
CPPB
01.4.1 Krim pasteurisasi CPPB 01.5 Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk
tiruan CPPB
01.6 Keju dan keju tiruan (analog) CPPB 02.2.1.1 Mentega dan konsentrat mentega CPPB 02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut
berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
CPPB
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET CPPB 04.1.1.2 Buah segar dengan permukaan yang disalut
(dilapisi) glasir atau lilin yang dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu mengawetkan kesegaran buah
CPPB
04.1.2.2 Buah kering CPPB 04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad CPPB 04.1.2.7 Buah bergula CPPB 04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut
(dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
CPPB
04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
CPPB
04.2.1.2 Sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian
segar yang permukaannya dilapisi glasir atau lilin yang dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu mengawetkan kesegaran sayuran
CPPB
41
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 05.0 KEMBANG GULA CPPB 06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum CPPB 06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-cooked
atau kering) CPPB
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
CPPB
07.2 Produk fine bakery (manis, asin, savoury) CPPB 08.1.1 Daging unggas dan hewan buruan (segar),
utuh atau potongan CPPB
08.1.2 Daging unggas dan hewan buruan (segar), yang dihancurkan
5000
09.1 Ikan segar dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
09.2.1 Ikan beku, ikan pengisi, dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras dan cumi-cumi
CPPB
09.2.2 Ikan, potongan tipis ikan dan produk ikan, termasuk kerang-kerangan, hewan air kerkulit keras dan cumi-cumi; yang dilumuri adonan lalu dibekukan.
CPPB
09.2.3 Produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dihancurkan, dibubuhi saus krim dan dibekukan
CPPB
09.2.4.1 Ikan dan produk ikan yang dimasak CPPB 09.2.4.2 Kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan
cumi-cumi yang dimasak CPPB
09.2.4.3 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang digoreng
CPPB
09.2.5 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang diasapi, dikeringkan, difermentasi dan/atau digarami
35000
10.2.2 Produk telur beku CPPB 10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur
(misalnya : custard) CPPB
11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose, maple syrup, sugar toppings)
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya : campuran bumbu untuk mi isntan)
CPPB
12.4 Mustards CPPB
42
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 12.6 Saus dan produk sejenisnya CPPB 13.4 Formula khusus untuk penurunan berat
badan dan pelangsingan CPPB
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
CPPB
43
SUKRALOSA Sucralose Nilai Kalori : 0 kkal/g atau setara dengan 0 kJ/g ADI : 0-15 mg/kg berat badan
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 01.1.2 Minuman berbasis susu, beraroma,
dan/atau terfermentasi (misalnya : susu Coklat, kakao, eggnog, yogurt minuman, minuman berbasis whey)
300
01.2.1.2 Produk susu fermentasi (tawar) yang diberi perlakuan panas setelah proses fermentasi
250
01.7 Makanan penutup atau pencuci mulut berbahan dasar susu (misalnya : es susu, puding, buah atau yogurt beraroma)
400
02.4 Makanan penutup atau pencuci mulut berbasis lemak, termasuk produk siap santap dan produk mix (campuran kering)
250
03.0 ES, TERMASUK SHERBET DAN SORBET 400 04.1.2.1 Buah beku 150 04.1.2.2 Buah kering 150 04.1.2.3 Buah dalam cuka, minyak dan larutan
garam 150
04.1.2.4 Buah yang dipasteurisasi dalam kaleng atau buah dalam botol
450
04.1.2.5 Jem, jeli dan marmalad 450 04.1.2.6 Produk oles berbasis buah-buahan (misalnya :
chutney) tidak termasuk produk pada kategori 04.1.2.5
800
04.1.2.7 Buah bergula 800 04.1.2.8 Bahan baku berbasis buah-buahan,
meliputi bubur buah, puree, toping buah dan santan kelapa
450
04.1.2.9 Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert) berbasis buah-buahan, termasuk dessert berbasis air beraroma buah
1250
04.1.2.10 Produk buah fermentasi 150 04.1.2.11 Buah buah untuk isi pastry, termasuk
produk siap makan dan instan, tetapi tidak termasuk puree
250
04.1.2.12 Buah yang dimasak atau digoreng 150 04.2.2.1 Sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian
beku 150
44
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 04.2.2.2 Sayuran, rumput laut, kacang-kacangan,
dan biji-bijian kering 150
04.2.2.3 Sayuran dan rumput laut dalam cuka, minyak, larutan garam atau kecap kedelai adalah produk yang diperoleh dengan menambahkan larutan garam pada sayuran segar
450
04.2.2.4 Sayuran dalam kaleng, botol atau dalam retort pouch
150
04.2.2.5 Puree dan produk oles sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian
1500
04.2.2.6 Bahan baku dan bubur (pulp) sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian (misalnya : makanan penutup dan saus sayuran, sayuran bergula) selain produk kategori 04.2.2.5
500
04.2.2.7 Produk fermentasi sayuran 150 04.2.2.8 Sayuran dan rumput laut yang dimasak atau
digoreng 150
05.1 Produk kakao dan produk coklat termasuk coklat imitasi dan coklat pengganti
1500
05.2 Kembang gula termasuk permen keras dan permen lunak, nougats, dll. Selain dari kategori 05.1, 05.3,05.4
1500
05.3 Permen karet 5000 Permen karet rendah kalori 05.4 Dekorasi (misalnya : untuk fine bakery wares),
toping (non-buah) dan saus-saus manis
1000 06.1 Biji utuh, patah atau serpihan, termasuk beras 600 06.2 Tepung dan pati 600 06.3 Sereal untuk sarapan, termasuk gandum 1000 06.4.2 Pasta, mi dan produk sejenisnya (pre-
cooked atau kering) 600
06.5 Makanan penutup berbasis sereal dan pati (misalnya : puding beras, puding tapioka)
1250
06.6 Adonan (misalnya : remasan roti atau adonan untuk melumuri ikan atau unggas)
600
06.7 Kue beras (hanya tipe oriental) 600 07.1 Roti dan produk bakeri 750 07.2.1 Kue, cookies dan pai (misalnya : yang diisi
buah-buahan atau puding) 750
07.2.2 Produk fine bakery lainnya (misalnya : donut, roti gulung manis, scone, dan muffin)
800
45
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas
Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 07.2.3 Campuran untuk produk fine bakery
(misalnya : campuran kue, campuran panekuk)
750
09.3.1 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang dibumbui dan/atau dalam jeli
450
09.3.2 Ikan dan produk ikan termasuk kerang-kerangan, hewan air berkulit keras, dan cumi-cumi yang diacar dan/atau dalam air garam
450
10.4 Makanan penutup berbahan dasar telur (misalnya : custard)
250
11.1 Gula murni dan gula pasir 1500 11.4 Gula dan sirup lainnya (misalnya : xylose,
maple syrup, sugar toppings) 1500
11.6 Sediaan pemanis buatan, termasuk yang mengandung pemanis dengan intensitas tinggi
CPPB
12.2 Bumbu-bumbuan (termasuk garam pengganti) dan rempah-rempah (misalnya : campuran bumbu untuk mi instan)
700
12.4 Mustards 400 12.5 Sup dan kaldu 1250 12.6.1 Saus emulsi (misalnya : mayonnaise, salad
dressing) 1250
12.6.2 Saus non emulsi (misalnya : kecap, saus keju, saus krim, brown gravy)
1250
12.6.3 Campuran sup dan kaldu 450 12.6.4 Saus encer (misalnya : kecap kedelai,
kecap ikan) 450
12.7 Salad (misalnya : macaroni salad, salad kentang) dan sandwich spread selain produk berbasis kakao dan produk berbasis kacang pada kategori pangan 04.2.2.5 dan 05.1.3
1250
13.3 Makanan khusus untuk pengobatan 400 13.4 Formula khusus untuk penurunan berat
badan dan pelangsingan 1250
13.5 Makanan khusus (misalnya : Suplemen makanan untuk tujuan diet) selain dari produk-produk pada kategori pangan 13.1-13.4
800
14.1.2.1 Jus buah-buahan yang dikalengkan atau dibotolkan (pasteurisasi)
250
46
No. Kat.
Pangan
Kategori Pangan
Batas Penggunaan Maksimum
(mg/kg) 14.1.2.2 Jus sayuran yang dikalengkan atau
dibotolkan (pasteurisasi) 250
14.1.2.3 Konsentrat (cair atau padat) untuk jus buah-buahan
1250
14.1.2.4 Konsentrat (cair atau padat) untuk jus sayur-sayuran
1250
14.1.3.1 Nektar buah-buahan yang dikalengkan dan dibotolkan (pasteurisasi)
250
14.1.3.3 Konsentrat nektar buah-buahan (cair atau padat)
1250
14.1.3.4 Konsentrat nektar sayur-sayuran (cair atau padat)
1250
14.1.4.1 Minuman berkarbonasi 600 14.1.4.2 Minuman non-karbonasi, termasuk punches
dan ades 600
14.1.4.3 Konsentrat untuk minuman (cair atau padat) 1250 14.1.5 Kopi, kopi pengganti, teh, herbal infusions,
sereal panas lainnya dan minuman dari biji/buah selain kakao
250
14.2 Minuman beralkohol dan sejenisnya yang bebas dan rendah alkohol
700
15.0 MAKANAN RINGAN SIAP MAKAN 1000