kajian mengupas omnibus law bikin...

25
0

Upload: others

Post on 24-Sep-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

0

Page 2: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

1

Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law

Jilid II: Pembahasan Agraria dan Lingkungan

disusun oleh:

Antonius Havik Indradi

Aqshal Muhammad Arsyah

Kevin Daffa Athilla

Naufal Hilmy

Tariq Hidayat Pangestu

Page 3: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

2

Quick Review

Polemik penerapan metode Omnibus Law untuk meningkat invetasi di Indonesia tidak hanya

bertentangan dengan masalah-masalah formil yang mengacu pada Undang-Undang tentang Peraturan

Pembentukan Perundangan-Undangan (UU P3) dan beberapa doktrin terkait, tetapi juga bertentangan

dengan masalah materiil terkait dengan Agraria dan Lingkungan. Beberapa ketentuan di dalam RUU

Cipta Kerja (Cipker) telah menggambarkan secara jelas bahwa pemerintah hanya memfokuskan

kepada pertumbuhan ekomomi negara semata, tanpa adanya pertimbangan lebih lanjut mengenai

kemudahan perizinan investasi yang berdampak buruk terhadap agraria dan lingkungan sehingga

menyengsarakan masayarakat secara umum.

Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan tanah yang seharusnya

pro rakyat ternyata menjadi pro kapital dikarenakan pengelolaan tanah yang seharusnya

mengedepankan nilai kemanfaatan untuk masyarakat secara umum tergantikan oleh nilai

kemanfaatan yang hanya dirasakan oleh golongan tertentu dan mengedepankan pertumbuhan

ekonomi negara saja, sehingga kesempatan di dalam pemanfaatan tanah menciptakan suatu

ketimpangan yang tidak menjunjung tinggi keadilan sosial sebagaimana tercantum di dalam Pasal 33

UUD 1945.1 Selain itu, terkait dengan kebijakan lingkungan di RUU Cipker semakin memperkuat

corak antroposentrisme yang hanya memandang hubungan kepentingan manusia dan lingkungan,

sehingga mengabaikan pengakuan nilai-nilai intristik yang dimiliki lingkungan itu sendiri. Keinginan

untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi negara membuat pemerintah tidak dapat menunjukkan

keseriusannya dalam melaksanakan perlindungan lingkungan di Indonesia.

Pengkajian ini dimaksudkan untuk membahas terkait permasalahan agraria dan lingkungan

dari aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Diharapkan melalui kajian materiil RUU Cipker sebagai

salah satu metode Omnibus Law oleh pemerintah dapat membantu memberikan tambahan

pemahaman publik sekaligus kritik terhadap berbagai ketentuan di dalamnnya.

1 Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Impelementasi, Kompas, Jakarta.

Page 4: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

3

Permasalahan Bank Tanah

Diaturnya ketentuan mengenai lembaga pengelolaan tanah atau bank tanah di dalam pasal

123-128 RUU Cipker yang ketentuannya sama dengan yang diatur dalam pasal 75-79 RUU

Pertanahan. Secara konsep bank tanah dimaksudkan sebagai kegiatan pemerintah untuk menyediakan

tanah mulai dari penyediaan, pematangan, dan penyaluran tanah untuk semua jenis penggunaan tanah

baik publik maupun privat.2 Idealnya metode yang diusung dalam bank tanah adalah kontrol pasar

dan stabilisasi tanah pasar lokal. Bank tanah menjamin ketersediaan tanah untuk pelbagai keperluan

pembangunan di masa yang akan datang, efisiensi APBN/ APBD, mengurangi konflik dalam proses

pembebasan tanah dan mengurangi dampak buruk liberalisasi tanah.3 Secara umum bank tanah dibagi

menjadi dua yaitu bank tanah umum (general land banking) dan bank tanah khusus (project land

banking). Apabila melihat definisi bank tanah umum lebih condong terkait penggunaan tanahnya

tidak ditentukan lebih dahulu karena tujuannya mengawasi pola perkembangan daerah perkotaan

dan/atau mengatur harga tanah dan/atau memperoleh capital gain dari nilai lebih sebagai akibat

investasi publik dan/atau mengatur penggunaan tanah, termasuk mengenai, waktu, lokasi, jenis, dan

skala pengembangannya.4 Sedangkan bank tanah khusus meliputi meliputi penyediaan tanah untuk

pembaharuan perkotaan, pengembangan industri, pembangunan perumahan, dan fasilitas umum.5

Apabila melihat ketentuan di dalam pasal 73 RUU Pertanahan dan pasal 124 RUU Cipker yang

berbunyi:

Badan bank tanah menjamin ketersediaan Tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan,

untuk:

a. kepentingan umum;

b. kepentingan sosial;

c. kepentingan pembangunan;

d. pemerataan ekonomi;

e. konsolidasi lahan; dan

f. Reforma Agraria

dimana di dalam pasal tersebut sudah jelas ditentukan dalam penggunaan tanahnya masih abstrak

sehingga bisa dilihat corak bank tanah yang dibangun adalah bank tanah umum. Secara umum tujuan

bank tanah adalah mengarahkan pengembangan penggunaan tanah dan mempengaruhi harga tanah.6

2 Maria Op.cit, hlm. 8 3 Bernhard Limbong, 2013, Bank Tanah, Margaretha Putaka, Jakarta. hlm. 45. 4 Maria SW Sumardjono., Loc.cit hlm. 9. 5 ibid 6 ibid

Page 5: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

4

Dalam RUU ini perlu dilihat apa tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah dan apakah bisa-bisa

mewujudkan filosofis ekonomi berkeadilan bukan hanya pemanis di atas kertas semata.

Salah satu tujuan penyelenggaraan bank tanah adalah untuk kepentingan umum. Menarik

untuk dibahas terkait hal tersebut apakah benar-benar ditujukan untuk kepentingan umum atau hanya

untuk kepentingan segelintir orang. Apabila melihat ketentuan tempat yang termasuk kepentingan

umum terdapat perluasan bidang yang diatur dalam pasal 10 RUU Cipker lingkup pengadaan lahan

yaitu:

a. Kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas;

b. Kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;

c. Kawasan Industri yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat, pemerintah

daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;

d. Kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,, atau Badan Usaha Milik Daerah;

dan

e. Kawasan lainnya yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.

Apabila melihat hal di atas politik hukumnya terlihat jelas adalah condong ke arah para

pemegang modal dimana konsekuensinya sektor-sektor tersebut bisa dengan mudah dijadikan dalih

pembebasan lahan yang tentunya akan merugikan masyarakat dengan kondisi sosial yang subordinat.

Apalagi di dalam praktik kerap terjadi warga pemilik lahan merasa jumlah ganti kerugian tidak

sepadang dengan nilai kerugian baik secara materiil maupun immateriil yang timbul akibat adanya

pelepasan hak tersebut.7 Namun ada harapan karena bisa saja sesuai dengan ketentuan pasal di atas

bank tanah bisa menjadi pendorong terwujudnya reforma agrarian dan pemerataan ekonomi. Oleh

sebab itu, perlu dilihat apakah filosofi, urgensi, dan metode bank tanah benar-benar sesuai dengan

kepentingan rakyat banyak atau tidak agar bisa menentukan apakah eksistensinya benar-benar

dibutuhkan atau sebaliknya. Permasalahan lain terkait bank tanah ini adalah terkait pembiayaannya

berasal darimana. Apabila melihat ketentuan Pasal 126 Sumber kekayaan Lembaga Pengelolaan

Tanah dapat berasal dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b. Pendapatan sendiri;

7 Ranitya Ganindha, 2016, Urgensi Pembentukan Kelembagaan Bank Tanah Sebagai Alternatif Penyediaan Tanah Bagi

Masyarakat untuk Kepentingan Umum, Jurnal Arena Hukum UB.

Page 6: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

5

c. penyertaan modal negara;dan/atau

d. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Melihat corak bank tanah yang akan dibuat yang cenderung bank tanah umum tentunya

pembiayaan yang dibutuhkan akan jauh lebih besar, tidak seperti bank tanah khusus yang skalanya

lebih terbatas serta dapat diharapkan banyak berperan dalam pengendalian penggunaan tanah dan

menekan harga tanah.8 Tentunya akan menjadi pertanyaan apakah skema pembiayaan bank tanah

seperti menggunakan pendapatan sendiri akan efektif? Atau apabila menggunakan anggaran negara

tidak menjadi beban anggaran? Dan bagaimana agar menghindari tujuan bank tanah dan skema

pembiayaan yang ada? Ini perlu dijawab agar ide pembentukan bank tanah benar-benar didasarkan

pada pertimbangan yang menyeluruh. Terakhir kita juga perlu mempertanyakan apakah dengan

adanya Bank Tanah ini mampu menghadirkan keseimbangan antara kepentingan rakyat luas dan para

investor, tidak hanya berat sebelah dan mengabaikan kepentingan rakyat.

Permasalahan Hak Pengelolaan (HPL)

Terdapat beberapa permasalahan terkait pengaturan hak pengelolaan yang terdapat dalam

RUU Cipker. Secara garis besar pengaturan dalam RUU a quo tidak meluruskan bahwa hak

pengelolaan ini sebagai ‘fungsi’ melainkan menjadi hak yang bersifat keperdataan.9 Maria SW

Sumardjono menyatakan bahwa HPL bukanlah hak atas tanah tetapi merupakan bagian dari Hak

Menguasai Negara yang sebagian kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang HPL.10

Permasalahan-permasalahan utama terkait HGU diatas tanah HPL, hubungan hukum antara

pemegang HPL dan pihak ketiga yang mengesampingkan HPL sebagai aset, dan perpanjangan jangka

waktu HPL yang bisa diberikan sekaligus. Perlu ditengahkan terlebih dahulu yang dimaksud HPL

menurut ketentuan pasal 1 ayat 2 PP nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah adalah hak menguasai negara yang kewenangan pelaksannya

sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Dalam pasal 2 ayat 3 UU nomor 20 tahun 2000 tentang

Perubahan Atas UU nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan juga

disebutkan yang dimaksud HPL adalah hak menguasai Negara atas tanah yang kewenangan

pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan

8 Maria SW Sumardjono, op.cit. hlm. 10 9 Maria SW Sumardjono, RUU Cipta Kerja dan Pertanahan, Opini Kompas 22 Februari 2020 10 Maria SW Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, Kompas, Jakarta, hlm.

213.

Page 7: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

6

dan penggunaan tanah, mempergunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, dan

menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak

ketiga.

Asal muasal hak pengelolaan ini secara tersirat dapat ditemukan pada ketentuan penjelasan II

angka 2 UUPA, yaitu negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan

hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan

penguasa (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk digunakan bagi pelaksanaan tugasnya

masing-masing. Sedangkan yang dimaksud hak guna usaha menurut ketentuan pasal 28 ayat 1 UU

nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah Hak guna-usaha adalah

hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara guna perusahaan pertanian,

perikanan atau peternakan. Apabila meletakkan hak guna usaha di atas HPL jelas-jelas bertentangan

dengan UUPA. Pun lebih lanjut apabila melihat beberapa peraturan pelaksanannya dalam ketentuan

dalam PP nomor 40 tahun 1996 yang dapat diberikan hak diatas tanah HPL adalah HGB dan Hak

Pakai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa RUU Cipker ini justru ingin menguatkan hak pengelolaan

dalam ranah keperdataan. Permasalahan selanjutnya terdapat dalam ketentuan pasal 131 ayat 2 RUU

Cipker yaitu:

“Di atas Tanah Hak Pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak

ketiga baik sebagian atau seluruhnya, dapat diberikan Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, dan/atau Hak Pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan”.

Padahal seperti diketahui bersama bahwa subjek hukum yang dapat mempunyai HPL dalam

perundangan ditentukan adalah BUMN/BUMD, PT Persero, Badan-Badan Otoritas dan Instansi

Pemerintah termasuk Pemda. Pengelolaan atas tanah dalam HPL mengandung maksud bahwa,

menurut sifatnya merupakan pelimpahan sebagian dari hak menguasai Negara atas tanah yang

diberikan kepada badan-badan pemerintah/Pemerintah Daerah. Dengan kata lain HPL disini akan

menjadi asset untuk para pemegangnya agar tugas dan fungsi yang mereka jalankan dapat berjalan

dengan baik. Sekalipun dikerjasamakan dengan pihak ketiga, seperti HGB dan hak pakai, yang harus

dikonversi terlebih dahulu sesuai ketentuan pasal 2 Peraturan Menteri Agraria nomor 9 tahun 1965.

Page 8: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

7

Dalam hal ini dapat disimpulkan hal-hal yang diatur dalam RUU Cipker diatas berpotensi menggeser

HPL yang sebagai aset instansi-instansi publik.

Permasalahan Hak Pengelolaan Selama 90 Tahun

Dalam RUU Cipker Pasal 127 ayat 3 disebutkan bahwa jangka waktu hak atas tanah berupa

Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bagunan (HGB), dan Hak Pakai diatas HPL diberikan selama

90 tahun sebagai suatu cara memikat hati investor, tetapi pemberian waktu pengelolaan selama 90

tahun atas hak pengolaan merupakan suatu pelanggaran terhadap konstitusi.11 Selain itu, hal tersebut

bertetangan juga dengan pengelolaan HGU dan HGB di dalam UUPA yang menyatakan bahwa HGU

hanya dapat diberikan paling lama 25 tahun kecuali untuk perusahaan yang membutuhkan waktu

lebih lama sehingga waktu yang diberikan paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang selama 25

tahun, sedangkan pengelolaan HGB diberikan paling lama 30 tahun dan dapat di perpanjang dengan

waktu paling lama 20 tahun.12

Memikat hati para investor dengan pemberian tambahan waktu HPL di dalam RUU Cipker

bukanlah yang pertama kalinya terjadi, tetapi ketentuan tersebut sudah pernah diatur di dalam Pasal

22 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal a quo mengatur perpanjangan hak

atas tanah di muka sekaligus dan pembaruan kembali untuk HGU paling lama 95 tahun, HGB paling

lama 80 Tahun, dan Hak Pakai paling lama 70 Tahun.13 Namun, ketentuan tersebut sepanjang

mengenai “di muka sekaligus” dan “sekaligus di muka” telah dicabut oleh Putusan MK pada tahun

2008 karena dinilai mengurangi prinsip hak menguasai negara sebagaimana dimaksud pada pasal 33

UUD 1945.14 Pasca putusan tersebut, ketentuan mengenai hak atas tanah dikembalikan pada UUPA.

Maka, munculah suatu pertanyaan apakah pemerintah memang sengaja untuk tidak menghormati

Putusan MK yang menilai penguasaan negara tidak dapat dikesampingkan dalam mendatangkan

investor ke Indonesia? Padahal perbedaan antara ketentuan di dalam UUPA dan RUU Cipker dapat

menimbulkan konflik antar norma hukum dan dapat dinilai gagal dalam mengiplemantasikan tujuan

11 Maria SW Sumardjono, RUU Cipta kerja dan pertanahan, opini kompas, 22 Februari 2020 12 Vide Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun

1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2043). 13 Vide Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun 2007

Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4724) 14 Vide Putusan MK perkara Nomor 21,22/PUU-V/2007, tanggal 25 Maret 2008.

Page 9: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

8

dari optimalisasi pengelolaan sumberdaya agraria dan sumber daya alam sebagaimana diatur di dalam

TAP MPR NOMOR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Permasalahan lain dari HPL selama 90 Tahun berkaitan dengan retribusi tanah yang semakin

lama, karena berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agaria

bahwa salah satu objek retribusi tanah adalah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya serta

tidak dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya dalam jangka waktu 1 (satu)

tahun setelah haknya berakhir. Artinya pengelolaan tanah yang terlantar oleh pemerintah untuk di

retribusikan baru dapat dilakukan setelah 90 tahun ditambah penelantaran selama 1 tahun oleh

pemegang hak atas tanah. Kemudian, Pasal 30 RUU Cipker juga turut memperpanjang masalah

retribusi tanah karena pasal tersebut menghapus ketentuan Pasal 16 UU Nomor 39 Tahun 2014

tentang Perkebunan terkait dengan kewajiban pengusahaan lahan oleh perusahaan dan redistribusi

tanah, artinya penghapusan pasal tersebut telah menghilangkan kewajiban perusahaan yang telah

memperoleh hak atas tanah untuk sesegera mungkin memanfaatkan tanah tersebut dan sekaligus

menghilangkan status tanah terlantar dari perkebunan agar dapat dimanafaatkan untuk kepentingan

lain, hal demikian dapat menyebabkan tanah tersebut tidak dapat di redistribusikan dan upaya

pemberian kesempatan pemanfaatan tanah semakin tidak adil.

Page 10: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

9

Debirokratisasi di Sektor Lingkungan

yang Memperlebar Resiko Kerusakan Lingkungan

RUU Cipker memuat perubahan dan penghapusan terkait pasal-pasal yang meregulasi

pengelolaan lingkungan sebagai suatu hal yang menjadi tanggung jawab dalam menjalankan kegiatan

usaha atau kegiatan. Dalam menjalankan suatu usaha, tentulah akan menghasilkan limbah dari sisa-

sisa produksi. Limbah tersebut berpotensi mengganggu masyarakat dalam mendapati kehidupan yang

layak dari segi lingkungan hidup. Hak untuk mendapat lingkungan hidup yang layak diatur dalam

Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945:

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan.”

Lebih lanjut lagi, Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UU PPLH) menjawab tantangan tersebut dengan meregulasi birokrasi yang

mampu melindungi hak setiap orang untuk mendapat lingkungan hidup yang layak.

Di lain sisi, UU PPLH dicoba untuk diubah pada beberapa pasalnya terkait birokrasi atau

prosedur yang ada dengan harapan akan memudahkan perizinan investor dalam berinvestasi. Tidak

bisa dipungkiri bahwa penderegulasian tersebut tentu akan membawa resiko pada pencemaran

lingkungan. RUU Cipker mencoba menyederhanakan segala perizinan yang ada dalam melaksanakan

kegiatan atau usaha yang mempunyai dampak pada lingkungan. Debirokratisasi ini sangatlah

dikhawatirkan menimbulkan banyaknya oknum yang menyepelekan atau bahkan mencurangi

beberapa prosedur yang ada seperti analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), izin lingkungan,

dan UKL-UPL. Hal ini juga merupakan akibat perubahan sistematika pendekatan berbasis regulasi

(License Approach) menjadi pendekatan berbasis risiko (Risk-Based Approach) karena pendekatan

berbasis regulasi dipandang pemerintah membebani kegiatan usaha dan membuat proses bisnis

menjadi tidak efektif dan efisien.15

Terdapat pula perubahan pada pengenaan sanksi pada perusahaan yang awalnya sanksi pidana

dengan sifat primum remidium menjadi sanksi ‘administratif’ berupa denda yang apabila tidak dapat

dilaksanakan akan dikenai sanksi pidana berupa hukuman penjara. Hal-hal seperti inilah yang patut

15 Vide Naskah Akademik RUU Cipta Kerja.

Page 11: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

10

kita kritisi bersama dalam pembuatan kajian ini. Salah satu perubahan yang signifikan terkait dengan

perubahan pendekatan a quo adalah dihapusnya izin lingkungan. Di dalam pasal 23 angka 1 terkait

perubahan pasal 1 angka 35 RUU Cipker disebutkan:

“Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau

Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup”.

Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dikeluarkan oleh pemerintah berdasarkan Uji

Kelayakan Lingkungan Hidup, sementara Pernyataan Kesanggupan Lingkungan Hidup dikeluarkan

oleh perusahaan terkait, yang mana nanti di dalam pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan

hidup tadi, perusahaan dapat menyatakan sendiri pemenuhan standar UKL-UPL yang sudah

ditentukan pemerintah pengkategoriannya berdasarkan pendekatan berbasis risiko. Hal ini jelas-jelas

menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menjaga lingkungan hidup. Terlebih di dalam pasal

23 angka 16 terkait perubahan pasal 37 RUU Cipker disebutkan bahwa izin usaha dapat dibatalkan

apabila:

a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung

cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau

pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;

b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan

kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan

hidup; atau

c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak

dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Lalu muncul pertanyaan kenapa pemerintah bisa melakukan hal seperti ini? Terasa sangat

janggal ketika suatu syarat perizinan bermasalah, izin tetap dikeluarkan tetapi bisa dicabut ketika

kesalahan-kesalahan tersebut “ditemukan” di masa depan. Pemerintah seolah-olah tidak berdaya

menghadapi para investor yang sudah secara terang-terangan mencengkram negeri ini dengan cakar

mereka. Keinginan pemerintah untuk bisa menjadi negara berdikari mungkin akan menjadi mimpi

utopis yang tidak akan pernah terwujud.

Terkait dengan Amdal, bisa kita perhatikan pada Pasal 1 angka 11 UU PPLH terkait ketentuan

umum yang berbunyi:

“11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal,

adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang

Page 12: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

11

direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan

keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”

Pada pasal 23 angka 1 terkait perubahan pasal 1 angka 11 RUU Cipker diubah menjadi:

“11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal

adalah Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha

dan/atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan

pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”

Esensi dari suatu Amdal adalah menjadi instrumen kebijakan yang valid dalam meminimalisir

dampak kerusakan lingkungan yang ada karena pada dasarnya Amdal adalah kajian yang saintifik

dan berupa keharusan untuk mendapatkan izin lingkungan yang pada akhirnya mendapat izin

usaha. Namun, dalam RUU Cipker ini terdapat pereduksian pada Pasal 23 dari Amdal yang awalnya

merupakan suatu keperluan (wajib) lalu hanya menjadi bahan pertimbangan pengambilan

keputusan. Efek lebih lanjutnya ialah Amdal hanya dianggap sebagai pelengkap saja dalam

mendapatkan birokrasi berusaha. Dengan demikian, dampak lingkungan terkesan bukan menjadi

permasalahan utama dalam kegiatan berusaha yang perlu diperhatikan.

Permasalahan berikutnya terkait Amdal ialah ketidakjelasan kriteria Amdal yang dimuat pada

RUU Cipker. Pada pasal 23 ayat (1) UU PPLH, kriteria Amdal telah dirinci secara detail dan

komprehensif sehingga berbunyi:

“(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi

dengan Amdal terdiri atas:

a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;

b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak

terbarukan;

c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan

sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. proses dan kegiatan yang

hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta

lingkungan sosial dan budaya;

d. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan

konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;

e. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;

f. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;

g. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan

negara; dan/atau

h. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk

mempengaruhi lingkungan hidup.”

Page 13: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

12

Lalu diubah pada pasal 23 butir 3 RUU Cipker menjadi:

“(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal merupakan

proses dan kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial,

ekonomi, dan budaya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak

penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan

Pemerintah.”

Bila kita bandingkan dengan UU PPLH, yang memiliki sembilan poin (seperti misal

pengubahan bentang alam, eksploitasi sumber daya alam, dll), pasal tersebut tentu

mensimplifikasikan kriteria tersebut dan mengerucutkan hanya menjadi empat bidang saja. Ketentuan

lebih lanjut mengenai kriteria tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Timbul

pertanyaan, apakah PP yang terdelegasi pada pasal tersebut akan mengubah kriteria lama? Jika iya,

akan seperti apa kriterianya? Jika tidak, mengapa perlu diatur lebih lanjut dengan PP?16 Penyusunan

Amdal diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPLH yang berbunyi:

“(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa

dengan melibatkan masyarakat.”

Namun, frasa ‘dengan melibatkan masyarkat’ dihapus pada RUU Cipker sehingga menjadi:

“(1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh

pemrakarsa.”

Kita patut menyoroti hal ini karena pelibatan masyarakat jelas-jelas tidak diindahkan. Seharusnya

perhatian pada dampak lingkungan menjadi tanggungan bersama. Lingkungan hidup merupakan

kesaruan ruang Lebih lanjut lagi, ayat (2) pada Pasal yang sama dalam UU PPLH yang menyatakan

prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap yang awalnya berbunyi:

“(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi

yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.”

Diubah menjadi:

“(2) Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang

terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.”

16 I Gusti Agung Made Wardhana, Hasil wawancara Dema Justicia dengan dosen hukum lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardhana, pada 18 Februari 2020.

Page 14: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

13

Partisipasi masyarakat diletakkan sebagai bagian dari hak atas lingkungan hidup dan

implikasinya adalah mengharuskan adanya jaminan-jaminan hukum dalam pelaksanaannya.17

Dengan menghilangkan ‘prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap’ dan

menambahkan frasa ‘yang terkena dampak langsung’, masyarakat yang dimaksud dalam pasal

tersebut terdiri dari: masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan yang

terpengaruh atas segala bentuk keputusan proses dalam Amdal. Dalam hal ini, RUU Cipker

melupakan esensi dari lingkungan hidup dimana di dalamnya komponen biotik dan abiotik

saling memengaruhi satu sama lain. Sudah seharusnya masyarakat, baik yang terkena dampaknya

secara langsung maupun tidak, dapat mengakses informasi secara transparan. Tentu saja hal ini untuk

bahan pengkajian yang akan dilakukan masyarakat sekitar maupun pemerhati dan pakar lingkungan

yang mana dapat menjadi kajian yang valid.

Dampak lingkungan bersifat transboundary yakni tidak mengenal batas yang bersifat

geografis namun ada juga masyarakat yang terkena dampak namun secara tak langsung.18 Seperti

misal turis yang datang ke suatu pasar ikan untuk membeli ikan dengan maksud untuk dikonsumsi

yangmana ikan tersebut diambil dari sungai yang tercemar.19 Amat disayangkan apabila yang

dilibatkan dalam penyusunan dokumen Amdal hanya masyarakat yang terkena dampak langsung saja.

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebagai pemerhati lingkungan, disini juga tidak

diindahkan. LSM secara historis lahir dari semangat reformasi untuk mewujudkan demokrasi dengan

memerjuangkan kepentingan dan hak-haknya.20 Masyarakat melalui LSM mampu mengkritisi

pemerintah dengan perspektifnya dan dengan memaparkan bagaimana sesuatu harus dilakukan secara

normatif demi tujuan yang baik. Untuk itu amat disayangkan apabila masyarakat yang menyusun

dokumen Amdal ini tidak semuanya dapat terlibat. Penilaian dokumen amdal telah diatur pada pasal

29 ayat (1) UU PPLH yang berbunyi:

“(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri,

gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.”

17 Ashabul Kahpi, “Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurisprudentie, Vol. 2, No. 2,

Desember, 2015. 18 Totok Dwi Diantoro, Kuliah perdana Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 13

Februari 2020. 19 , I Gusti Agung Made Wardhana, Op. cit, Hasil wawancara. 20 Wahyu Faturrahman R, et. al, “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis

Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah”, Jurnal Manajemen Pembangunan Daerah, Vol. 5, No. 1, Juni,

2013.

Page 15: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

14

Komisi ini terdiri dari banyak aspek tokoh seperti pakar, masyarakat, instansi lingkungan

hidup. Dengan demikian kelayakan dokumen Amdal secara saintifik dan sosiologis dapat

terkonfirmasi. Namun, lagi-lagi terkait hal-hal yang terkait validitas Amdal dideregulasi. Pasal

tersebut dihapus pada RUU Cipker. Amdal menjadi sekadar keperluan administratif saja bukan kajian

penyokong perusahaan dalam mendirikan usahanya.

Hukum lingkungan menurut Drupsteen dapat dipandang sebagai bidang hukum yang

fungsional.21 Instrumen peraturan hukum lingkungan dikatakan bersifat fungsional karena

didalamnya termuat unsur-unsur bidang hukum administrasi negara, pidana, serta perdata. Maka,

penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan ketentuan sanksi

dalam ketiga lapangan hukum diatas. Hal ini bertujuan untuk memberikan kekuatan memaksa bagi

para pelaku usaha untuk mengikuti segala peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Dari

segi hukum administrasi negara, penerapan hukumnya dapat melalui gugatan pada Pengadilan Tata

Usaha Negara yang dapat diajukan oleh perorangan maupun badan hukum perdata terhadap kebijakan

administratif yang menyalahi peraturan mengenai lingkungan hidup, aspek pidana diterapkan melalui

instansi pemerintah, serta dalam aspek perdata dapat dilakukan pengajuan gugatan oleh masyarakat,

badan hukum perdata atau instansi pemerintah.22

Rezim hukum UU PPLH mengakomodir secara cukup komprehensif mengenai aspek

penegakan hukum ketiga bidang tersebut. Dari sisi pengawasan dan pengenaan sanksi administratif,

UU PPLH mengatur dalam bab XII mengenai Pengawasan dan Sanksi Administratif yang dimuat

sepanjang Pasal 71 sampai dengan Pasal 83.23 Ketentuan pengawasan yang dimuat dalam Pasal 71

hingga 74 melibatkan berbagai unsur, antara lain menteri, gubernur, bupati/walikota, serta dapat

dilibatkannya pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.24 Pengawasan

ini ditujukan kepada para penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan berkaitan dengan ketentuan Izin

Lingkungan yang mereka miliki. Menjadi menarik apabila kita membandingkan ketentuan

pengawasan ini dengan rumusan RUU Cipker, dimana terdapat perubahan atas Pasal 71 UU PPLH,

21 Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia: Edisi Kedua, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 199 22 Ibid. 23 Vide Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran

Negara Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059). 24 Ibid.

Page 16: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

15

serta terhadap Pasal 72, Pasal 73, dan Pasal 74 dinyatakan untuk dihapus. Pasal 71 UU PPLH

menyatakan :

“(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib

melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di

bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya

dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung

jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota

menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat

fungsional.”

Terdapat perubahan mengenai pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

kegiatan berusaha oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Apabila kita bandingkan dalam

ketentuan perubahan pasal a quo dalam RUU Cipker yang menyatakan :

“(1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab

usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan

pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat menetapkan pejabat

pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat pengawas lingkungan hidup diatur dengan

Peraturan Pemerintah.”

Dapat dicermati bahwa kewenangan pengawasan yang diatur dalam RUU Cipker diamanatkan

kepada pemerintah pusat yang dapat menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup. Poin ini cukup

menarik, karena tidak salah apabila diistilahkan bahwa model pengawasan akan mengarah pada aspek

sentralisme pemerintah pusat. Selanjutnya, rezim hukum UU PPLH pada prinsipnya memberikan

ruang dilakukannya pengawasan secara “dua jalur”. Hal ini dapat ditinjau lebih lanjut dalam muatan

Pasal 72 undang-undang a quo yang menyatakan :

“Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib

melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap

izin lingkungan.”

Page 17: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

16

Selanjutnya Pasal 73 menyatakan :

“Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha

dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika

Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup.”

Ketentuan diatas bermakna bahwa pada prinsipnya gubernur dan bupati/walikota berwenang

melakukan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan ruang lingkup kewenangan masing-masing.

Selanjutnya, apabila terdapat “pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan

hidup” maka menteri terkait, yakni Menteri Lingkungan Hidup dapat melakukan pengawasan

terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan

oleh pemerintah daerah.25 Dalam RUU Cipker, sebagaimana telah dinyatakan diatas, Pasal 72 dan

73 dihapuskan. Maka, hal ini semakin menguatkan sentralisme pengawasan lingkungan hidup oleh

pemerintah pusat. Kiranya tidak salah apabila publik akan menyikapi secara skeptis konsep

pengawasan ini, mengingat pentingnya manajemen pengawasan yang perlu disusun oleh pemerintah

pusat secara komprehensif serta perlunya dukungan sumber daya yang dibutuhkan.

Pengutamaan Sanksi Administratif dibandingkan Sanksi Pidana

di dalam Pelanggaran Lingkungan Hidup

Selanjutnya mengenai konsep sanksi administratif yang diterapkan dalam tata kelola

peraturan mengenai lingkungan hidup yang mendapatkan perubahan yang cukup mendasar dalam

RUU Cipker. Sanksi administratif sendiri dimaksudkan sebagai sarana penegakan hukum dengan

instrument penegakan melalui pejabat pemerintah yang berwenang menjatuhkan sanksi tanpa perlu

melalui proses pengadilan terhadap para penanggung jawab usaha/kegiatan yang memberi dampak

negatif terhadap ketentuan bidang hukum lingkungan administrasi.26 Konsep dari diadakannya sanksi

administratif dimaksudkan untuk memberikan tindakan pemerintah terhadap pelanggaran perundang-

undangan yang berlaku, dimana tindakan pemerintah ini memiliki sifat Reparatoir atau berusaha

mengembalikan keadaan seperti sebelumnya.27 Dimensi hukum lingkungan administrasi juga

memiliki fungsi preventif dan fungsi korektif terhadap kegiatan yang tidak memenuhi ketentuan atau

25 Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 216 26 Ibid 27 Syahrul Machmud, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia : Asas Subsidiaritas dan Asas Precautionary

Dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Penerbit Mandar Maju, bandung, hlm 79

Page 18: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

17

persyaratan pengelolaan lingkungan.28 Hal ini bermakna bahwa aspek pengawasan aparat pemerintah

yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan akan meminimalkan potensi kerusakan

lingkungan. Apabila suatu kegiatan berdampak negatif terhadap lingkungan hidup, maka aparat

pemerintah yang berwenang akan menjatuhkan suatu sanksi administratif kepada pelanggar. Pasal 76

UU PPLH menyatakan :

“(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan

pelanggaran terhadap izin lingkungan.

(2) Sanksi administratif terdiri atas:

a. teguran tertulis;

b. paksaan pemerintah;

c. pembekuan izin lingkungan; atau

d. pencabutan izin lingkungan.”

Materi muatan Pasal 76 UU PPLH diatas mengatur secara tegas mengenai apa saja bentuk

sanksi administratif yang dapat diterapkan oleh pemerintah, dalam hal ini maka pihak yang

berwenang sesuai ketentuan undang-undang a quo adalah menteri, gubernur, maupun bupati/walikota

ketika dalam menjalankan fungsi pengawasanannya menemui adanya penyimpangan terhadap

ketentuan pengelolaan lingkungan hidup oleh para pelaku usaha. Pun demikian pengenaan sanksi

adminstratif yang diatur dalam Pasal 76 UU PPLH juga diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi

Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Berita Negara Nomor

314 Tahun 2013). Sedangkan dalam perubahan Pasal 76 UU PPLH yang dimuat dalam RUU Cipker

menyatakan :

“(1) Pemerintah Pusat menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab

usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap

Persetujuan Lingkungan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dengan

Peraturan Pemerintah.”

Dapat kita cermati disini bahwa yang ditunjuk RUU Cipker sebagai pihak yang berwenang

menjatuhkan sanksi administratif adalah pemerintah pusat, berbeda dengan rumusan Pasal 76 ayat 1

UU PPLH diatas. Selebihnya, pengaturan lebih lanjut akan dimuat dalam Peraturan Pemerintah yang

diamanatkan untuk dibuat. Kembali dapat dilihat adanya corak sentralisasi pengawasan kegiatan

28 Takdi Rahmandi, Op cit, hlm 215

Page 19: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

18

berusaha yang berkaitan dengan dampak lingkungan oleh pemerintah pusat. Hal inilah yang juga

menjadi prinsip utama diadakannya penyusunan Omnibus Law RUU Cipker, yakni pemangkasan

regulasi yang berbelit sehingga pemerintah pusat pun akan mengambil peran secara dominan.29

Mengenai konsep sanksi administratif yang diatur dalam RUU Cipker, terdapat rumusan Pasal 167

Ayat (4) dan (5) RUU Cipker yang menyatakan :

“(4) Dalam hal Aparatur Sipil Negara dan profesi bersertifikat dalam melaksanakan

tugasnya menemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tertuang dalam setiap

Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemilik Perizinan Berusaha sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya

dapat mengenai sanksi administratif kepada pemilik Perizinan Berusaha.

(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:

a. peringatan;

b. penghentian sementara kegiatan berusaha;

c. pengenaan denda administratif;

d. pengenaan daya paksa polisional;

e. pencabutan Lisensi/Sertifikasi/Persetujuan; dan/atau

f. pencabutan Perizinan Berusaha.”

Perlu menjadi perhatian bagi penyusunan sanksi administratif yang nantinya akan diatur dengan

Peraturan Pemerintah agar pemberian sanksi administrasi tidak keluar dari prinsip dan tujuan

dasarnya yakni agar perbuatan yang melanggar ketentuan hukum dalam konteks pengelolaan dan

pemeliharaan lingkungan hidup dapat diatasi dan para pihak yang bertanggung jawab juga turut

mengembalikan keadaan seperti semula sebelum terjadinya pelanggaran serta menerapkan sanksi

administratif sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.30

Penghapusan Ketentuan Pencabutan Izin Lingkungan

melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Dapat kita cermati pula mengenai penghapusan Pasal 38 UU PPLH yang mengatur mengenai

pencabutan Izin Lingkungan melalui PTUN serta Pasal 93 UU PPLH yang mengatur tentang Gugatan

Administratif. Pasal 38 UU tersebut menyatakan:

“Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan

dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.”

29 Vide Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 180 30 Andi Hamzah, 2008, Penegakan Hukum Lingkungan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta hlm. 82

Page 20: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

19

Selanjutnya Pasal 93 menyatakan :

“(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara

apabila:

a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada

usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan

dokumen amdal;

b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada

kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-

UPL; dan/atau

c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau

kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu

pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.”

Pasal ini dihapus dalam ketentuan RUU Cipker. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya

perubahan atas terminologi Izin Lingkungan dan perubahan mekanisme perizinan usaha yang

berkaitan dengan aspek lingkungan hidup dalam RUU Cipker.31 Terminologi Izin Lingkungan pun

dihapus dalam RUU Cipker. Sedangkan konsep Amdal serta dokumen UKL-UPL juga berubah.

Pencabutan Perizinan Berusaha diatur dalam perubahan Pasal 37 UU PPLH yang dimuat dalam RUU

Cipker, yang berbunyi:

“Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:

a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung

cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau

pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;

b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan

kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan

lingkungan hidup; atau

c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak

dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.”

31 Vide Naskah Akademik RUU Cipta Kerja

Page 21: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

20

Penghapusan Prinsip Strict Liablity

Selanjutnya dapat dikritisi adanya perubahan terhadap ketentuan Pasal UU PPLH yang

mengatur mengenai prinsip atau asas “Strict Liability”. Apakah yang dimaksud dengan “Strict

Liability” tersebut?

Prinsip ini dikenal juga sebagai prinsip atau asas tanggung jawab mutlak32 atau dikenal juga

sebagai tanggung gugat tidak berdasarkan kesalahan.33 Asas ini dapat ditarik perspektif historis

penggunaannya sejak sekitar tahun 1686 dari sebuah kasus di Inggris yakni kasus Ryland vs.

Fletcher.34 Dalam perkembangannya asas ini diadopsi dalam berbagai peraturan perundang-undangan

nasional maupun konvensi-konvensi internasional. Asas ini merupakan suatu doktrin

pertanggungjawaban perdata di lingkungan hidup, dimana tanggung jawab muncul seketika tanpa

perlu didasarkan atau diadakan pembuktian atas kesalahan, atau liability without fault.35 Asas ini

dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pemenuhan hukum dalam lapangan lingkungan hidup di

masyarakat, apabila terdapat kegiatan atau usaha yang berdampak besar serta mengandung risiko

signifikan. Dalam hal mengenai pencemaran dan atau perusakan lingkungan terkadang terdapat

kemungkinan adanya kondisi yang menyulitkan para pencari keadilan untuk mengemukakan secara

teknis tentang bukti-bukti pencemaran dan/atau perusakan tersebut. Dalam hal penerapan asas ini,

khususnya dalam lapangan hukum lingkungan, pada dasarnya pembuktian yang paling sulit adalah

bukan membuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan dari pelaku, akan tetapi aspek kausalitas atau

hubungan sebab akibat yang berkaitan antara perbuatan pelaku usaha/kegiatan dengan kerugian yang

didapat penderita. Hal ini berkaitan dengan kompleksitas sifat zat-zat kimiawi dan reaksinya satu

sama lain maupun reaksinya dengan komponen abiotik dan biotik dalam suatu ekosistem yang

akhirnya berpengaruh pada kesehatan manusia.

Dalam rezim hukum postif mengenai lingkungan hidup di Indonesia, UU PPLH mengatur

mengenai Tanggung Jawab Mutlak pada Pasal 88 Paragraf 2 undang-undang a quo. Pasal 88 UU

PPLH tersebut menyatakan :

32 Takdir Rahmadi, Op.cit ̧hlm. 272. 33 Syachrul Machmud, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia: Asas Subsidiaritas dan Precautionary Principle

Dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Penerbit Mandar Maju, Bandung hlm. 111 34 Ibid. 35 Ibid.

Page 22: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

21

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,

menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman

serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi

tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Asas “Strict liability” dapat kita jumpai dalam rumusan frasa “...bertanggung jawab mutlak

atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” yang ada pada rumusan pasal

diatas. Sedangkan dapat kita cermati rumusan perubahan Pasal 88 UU PPLH dalam RUU Cipker

yang menyatakan :

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,

menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman

serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi

dari usaha dan/atau kegiatannya.”

Dihilangkannya frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dalam rumusan diatas akan

menghilangkan prinsip “Strict liability” yang sebelumnya diatur dalam UU PPLH. Hal ini tentunya

berpotensi mempersempit peluang masyarakat pencari keadilan yang diduga terdampak pencemaran

lingkungan. Naskah Akademik RUU Cipker menegaskan bahwa pertanggungjawaban atas

pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) harus didasarkan pada pembuktian.36 Masih

mengenai pencemaran dan bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha/kegiatan, Pasal 168 RU Cipker

mencantumkan kewajiban pemilik Perizinan Berusaha yang memberi dampak kerusakan lingkungan

untuk memulihkan kerusakannya, dengan bunyi pasal secara lengkap :

“Setiap pemilik Perizinan Berusaha yang dalam melaksanakan kegiatan/usahanya

menimbulkan dampak kerusakan pada lingkungan hidup, selain dikenai sanksi

administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), pemilik Perizinan

Berusaha wajib memulihkan kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan/usahanya.”

Dengan adanya muatan pasal ini, memang secara normative terdapat instrument pemaksa bagi

pemilik Perizinan Berusaha untuk menjalankan tindakan pemulihan kerusakan lingkungan. Namun,

masyarakat dan pemerintah tentunya harus mampu mengawasai dan melaksanakan amanat pasal ini

secara komprehensif, sehingga pasal ini nantinya akan memiliki fungsi keberlakuan secara sosiologis.

36 Vide Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 233

Page 23: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

22

Pada prinsipnya, tahapan pembahasan RUU Cipker memerlukan adanya keterbukaan terhadap

akses informasi bagi masyarakat, sehingga segala aspirasi dan masukan dari multi unsur masyarakat

yang berkepentingan dengan adanya RUU ini dapat diserap dan diaplikasikan melalui produk hukum

tersebut. Beberapa catatan diatas muncul sebagai isu yang hangat diperbincangkan ditengah

masyarakat dan kiranya perlu untuk mendapat perhatian dari pemerintah demi terwujudnya suatu

produk hukum yang tidak meninggalkan sifat hukum yang merupakan suatu sistem yang terintegrasi

dan berlandaskan pada asas-asas hukum yang ada.

Page 24: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

23

Referensi

A. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran

Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2043)

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun 2007

Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4724)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup

(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

nomor 5059).

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman

Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(Berita Negara Nomor 314 Tahun 2013).

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja

B. Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 21,22/PUU-V/2007, tanggal 25 Maret 2008

C. Buku

Hamzah, Andi, 2008, Penegakan Hukum Lingkungan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Limbong,Bernhard, 2013, Bank Tanah, Margaretha Putaka, Jakarta

Machmud, Syachrul, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia: Asas Subsidiaritas dan

Precautionary Principle Dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Penerbit Mandar Maju,

Bandung.

Rahmadi,Takdir, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia: Edisi Kedua, Rajawali Pers, Jakarta.

Sumardjono, Maria S.W., 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Impelementasi, Kompas,

Jakarta.

Page 25: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/03/Mengupas... · 2020. 3. 4. · Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan

24

Sumardjono, Maria S.W., 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, Kompas,

Jakarta

D. Jurnal

Ranitya Ganindha, 2016, Urgensi Pembentukan Kelembagaan Bank Tanah Sebagai Alternatif

Penyediaan Tanah Bagi Masyarakat untuk Kepentingan Umum, Jurnal Arena Hukum UB.

Ashabul Kahpi, “Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurisprudentie,

Vol. 2, No. 2, Desember, 2015.

Wahyu Faturrahman R, et. al, “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan

Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah”, Jurnal Manajemen

Pembangunan Daerah, Vol. 5, No. 1, Juni, 2013.

E. Hasil Wawancara

I Gusti Agung Made Wardhana, Hasil wawancara Dema Justicia dengan dosen hukum lingkungan

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardhana, pada 18 Februari

2020.

F. Perkuliahan

Diantoro, Totok Dwi, Kuliah perdana Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah

Mada pada 13 Februari 2020.

G. Berita

Maria SW Sumardjono, RUU Cipta Kerja dan Pertanahan, Opini Kompas 22 Februari 2020