kajian kondisi penggunaan tanah di daerah berlereng dan
TRANSCRIPT
1
Kajian Kondisi Penggunaan Tanah di Daerah Berlereng dan Dampaknya
Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
(Studi di Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo)
Diajukan oleh:
Slamet Muryono
Asih Retno Dewi
Priyo Katon
Sugiharto.
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN
NASIONAL
YOGYAKARTA
2019
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah yang merupakan sumber kehidupan manusia, perlu dilestarikan
keberadaannya. Pelestarian ini bukan saja diltinjau tanah sebagai salah satu
sumberdaya alam, tetapi perlu diperhatikan pula pemanfaatan atas tanah
tersebut untuk menopang kehidupan masyarakat di suatu tempat. Oleh karena
itulah tanah bukan saja dimanfaatkan berdasarkan kondisi fisiknya saja, namun
perlu dipertimbangkan juga keberadaannya ditinjau dari segi ekonomi.
Salah satu penyebab kerusakan tanah antara lain adalah bahwa
penggunaan tanah tidak mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air
sehingga menyebabkan degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan
diantaranya disebabkan oleh aktifitas manusia seiring dengan semakin
bertambahnya jumlah penduduk yang diikuti oleh aktivitas manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup tersebut meliputi kebutuhan
untuk tempat tinggal, untuk usaha pertanian, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Hal ini sering menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan tanah di suatu
wilayah. Padahal seharusnya, penggunaan tanah ini bukanlah penggunaan tanah
yang sesaat saja, tetapi penggunaan tanah yang berkelanjutan dengan
berwawaskan lingkungan. Perubahan penggunaan tanah untuk kawasan
pertanian pada umumnya yang tidak memperhatikan konservasi tanah, akan
berdampak pada kerusakan tanah dan penurunan fungsi tanah. Apabila hal ini
terjadi pada daerah-daerah yang berlereng sampai berlereng curam, maka
kerusakan tanah bukan hanya terjadi da daerah tersebut saja tetapi akan
mengakibatkan kerusakan juga pada daerah-daerah yang berada di bawahnya.
Penggunaan tanah di daerah berlereng, seringkali terjadi karena
manusia berusaha untuk memenuhi kehidupannya dengan membuka tanah
untuk keperluan usaha pertanian di daerah-daerah yang seharusnya dilindungi
3
karena kondisi fisiknya yang terbatas. Kondisi fisik terbatas dimaksudkan
bahwa daerah-daerah tersebut sebetulnya arahan penggunaan tanahnya bukan
untuk usaha pertanian tetapi untuk budidaya tanaman tahunan yang pada
umumnya adalah budidaya tanaman kehutanan seperti tanaman jati, mahoni,
sengon, dan tanaman keras lainnya yang perakarannya mampu untuk menahan
erosi. Menurut Suripin (2002:11-12), erosi adalah suatu proses atau peristiwa
hilangnya lapisan permukaan tanah, baik disebabkan oleh pergerakan air
maupun angin. Terdapat lima faktor yang menyebabkan dan mempengaruhi
besarnya laju erosi, yaitu iklim, tanah, topografi, vegetasi, dan kegiatan
manusia. Selain faktor iklim dan tanah yang merupakan faktor alami, faktor
topografi dan vegetasi masih memungkinkan untuk bisa dikendalikan manusia
dalam menggunakan tanah di suatu wilayah. Topografi berperan terhadap
terjadinya erosi dalam hal menentukan kecepatan aliran permukaan yang
membawa partikel-partikel tanah, sedangkan vegetasi berperan untuk
melindungi tanah dari pukulan langsung butiran air hujan dan memperbaiki
struktur tanah melalui penyebaran akar-akarnya. Selanjutnya menurut Sony’s
Kembara dalam (https:sonyssk.wordpress.com) untuk mencegah terjadinya
erosi, antara lain adalah : penggunaan tanah disesuaikan dengan sifat fisik dari
tanah tersebut terutama kemiringan lereng dan tingkat kekasaran butir tanah.
Untuk tanah yang sangat rentan terhadap erosi, sebaiknya dihutankan. Selain itu
perlu dibuat terasering atau sengkedan. Terkait dengan penyesuaian penggunaan
tanah tersebut, maka secara umum dapat digolongkan empat pola penggunaan
tanah yaitu : a. wilayah yang penggunaan tanahnya sudah baik, dan tingkat
kerentanan terhadap erosi memang rendah seperti areal perkampungan dan
persawahan; b. wilayah yang penggunaan tanahnya memerlukan terasering,
biasanya terdapat pada tanah pertanian yang sudah tetap (settle) tetapi
berlereng; c. wilayah yang sebaiknya ditanami dengan tanaman keras, secara
alamiah pada ketinggian di atas 500 m dpal, digunakan untuk pertanian tanaman
keras, yang apabila daerah ini ditanami tanaman muda (tanaman semusim),
4
maka akan sangat rentan terhadap erosi tanah; d. wilayah yang harus ditanami
tanaman keras adalah daerah berlereng, tekstur tanah kasar, dan curah hujan
tinggi, sehingga sebaiknya diolah dengan sistem terasering dan ditanami
tanaman yang akarnya mampu menahan gerakan tanah.
Kondisi fisik tanah seperti tersebut di atas, dijumpai antara lain di
Desa Pagerharjo Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo Daerah
Istimewa Yogyakarta. Wilayah Desa Pagerharjo sebagian besar merupakan
daerah berlereng. Kondisi seperti ini menyebabkan penduduk desa berupaya
untuk mencari mata pencahariannya di bidang non pertanian tanah basah
(sawah) karena daerah ini tidak memungkinkan dijadikan daerah sawah. Namun
demikian, penduduk tetap berupaya mengusahakan usaha tani pertanian tanah
kering dengan cara memilih daerah yang memungkinkan untuk itu. Persoalan
yang timbul adalah tanah yang berlereng sampai dengan 40 % itupun
diusahakan, sehingga dijumpai banyak daerah yang tererosi. Dengan
pertimbangan keadaan seperti ini, menarik untuk dikaji kondisi penggunaan
tanah berlereng dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Seharusnya penggunaan tanah pada daerah berlereng adalah jenis
penggunaan tanah yang menjurus ke arah konservasi antara lain tanaman keras
untuk mencegah terjadinya erosi yang akan berdampak pada daerah-daerah yang
ada di bawahnya. Umumnya penggunaan tanah di daerah seperti ini adalah
berupa hutan lebat dan hutan belukar yang berfungsi lindung.
Penggunaan tanah di Desa Pagerharjo khususnya di daerah yang
berlereng belum diketahui secara pasti jenis-jenisnya dan dampak dari
penggunaan tanah tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat.
5
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui jenis-jenis penggunaan tanah di lokasi penelitian;
2. Mengetahui dampak penggunaan tanah berlereng terhadap kesejahteraan
masyarakat di lokasi penelitian
D. Kegunaan/Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui kesesuaian penggunaan tanah dengan konsepsi wilayah
tanah usaha di daerah berlereng;
2. Untuk memberikan arahan penggunaan tanah berlereng agar bisa
mensejahterakan masyarakat yang menggunakan tanah tersebut.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Wilayah Tanah Usaha
Berkembangnya suatu wilayah sebagai akibat dari dinamika yang
terus berlangsung karena adanya pembangunan di segala bidang, berdampak
pada terjadinya perubahan-perubahan penggunaan tanah sebagian akibat dari
tuntutan kebutuhan hidup penduduk di wilayah bersangkutan. Kondisi
demikian, ternyata telah banyak menimbulkan permasalahan antara lain
terdapatnya penggunaan tanah yang tidak sesuai lagi dengan karakteristik
lokasi wilayah tersebut (Juni Suburi dalam Buletin Balitbang Dephan, 2001).
Menurunnya kualitas lingkungan hidup karena penggunaan tanah tidak sesuai
lagi dengan kemampuan daya dukung alam yang antara lain adalah
kemampuan tanah dari lokasi yang bersangkutan. Pembangunan yang
dilaksanakan, bukanlah hanya pembangunan di bidang ekonomi saja,
melainkan pembangunan di segala bidang yang menyangkut kehidupan sosial
masyarakat. Mengingat pembangunan selalu membutuhkan tanah, maka
diperlukan pula pengaturan penggunaan tanahnya. Sesuai dengan Pasal 14
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), “pemerintah daerah mempunyai
wewenang untuk mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi
(tanah), air serta ruang angkasa di daerahnya sesuai dengan kondisi daerah
masing-masing”.
Konsep model pengaturan penggunaan tanah, telah diinisiasi oleh
I Made Sandy sejak tahun 1977. Konsep yang dikenal dengan Model Wilayah
Tanah Usaha (WTU) bertujuan untuk mencapai suatu azas penggunaan tanah
lestari dengan pertimbangan penggunaan tanah yang seimbang dan optimal.
Model ini dilandasi oleh faktor kemiringan tanah (lereng) dan ketinggian
tempat dari permukaan laut sebagai tempat kegiatan masyarakat atau tanah
7
usaha di daerah perdesaan (penggunaan tanah perdesaan). Secara garis besar
pembagian wilayah dari konsep WTU ini terbagi menjadi enamt wilayah yaitu
WTU Terbatas I, WTU Utama Ia, WTU Utama Ib, WTU Utama Ic, WTU
Utama Id, WTU Utama II, dan WTU Terbatas II. Secara rinci, pembagian
WTU berdasarkan kriteria lereng dan ketinggian menurut Sandy (1977),
Balitbang Dephan (2001), Sony (2008), Hardjowigeno (2011), Waskito dan
Hadi Arnowo (2017) dapat dijelaskan bahwa sebagai batas tanah usaha yang
baik dan tidak baik, ditetapkan kriteria lereng sama dengan dan atau lebih dari
40 %. Keberadaan tanah dengan lereng > 40 % ini bisa jadi terdapat dimana-
mana. Namun meskipun batas lereng yang diambil adalah > 40 %, tidak
berarti bahwa tanah yang berlereng kurang dari 40 % boleh diusahakan secara
bebas, tetapi pengguna tanah harus tetap memperhatikan kelestarian tanah
dengan mengambil langkah-langkah dalam mengusahakan tanahnya.
2. Kesejahteraan Masyarakat
Penggunaan tanah di suatu wilayah, seringkali mencerminkan kegiatan
masyarakat yang berusaaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya khususnya
dalam angka menopang kehidupan keluarganya sehari-hari agar supaya
menjadi sejahtera kehidupannya. Corak penggunaan lahan di suatu desa selain
dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik, juga sangat bergantung pada kepadatan
penduduk, atau perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas lahan
wilayah desa tersebut. Di daerah perdesaan yang masih berpenduduk jarang,
memiliki kenampakan ideal bentuk penggunaan lahan yang dominan dan
intensif yaitu lahan sawah yang terletak di sekeliling perkampungan. Biasanya
semakin jauh dari kampung intensitas penggunaan lahan semakin berkurang.
Di luar penggunaan lahan sawah terdapat penggunaan lahan kering untuk
tanaman pangan, di luarnya lagi dijumpai lahan ilalang. Pada umumnya,
padang ilalang tersebut merupakan bekas usaha pertanian lahan kering juga,
hanya saja kemampuan lahan untuk memproduksi , tanaman pangan sudah
8
berkurang. Di luar padang ilalang sering terdapat hutan belukar yang kadang-
kadang di dalamnya diusahakan penduduk kampong terdekat untuk
perladangan. Apabila kondisi masih memungkinkan lahan ilalang
dimanfaatkan pula oleh penduduk setempat sebagai kebun karet misalnya,
atau ditanami buah-buahan, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan sayuran lain
(Su Ritohardoyo, 2013), yang pada prinsipnya diusahakan masyarakat untuk
menambah kesejahteraan hidup bersama keluarganya.
Menurut Mosher (1987), hal yang paling penting dari kesejahteraan
adalah pendapatan, sebab beberapa aspek dari kesejahteraan rumah tangga
tergantung dari pendapatan. Pemenuhan kebutuhan dibatasi oleh pendapatan
rumah tangga yang dimiliki, terutama bagi yang berpendapatan rendah.
Menurut Undang-undang No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial, kesejahteraan masyarakat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan
material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Dari
Undang-undang tersebut dapat dicermati bahwa ukuran tingkat kesejahteraan
dapat dinilai dari kemampuan seorang individu atau kelompok dalam
usahanya memnuhi kebutuhan material dan spiritual nya. Kebutuhan material
dapat dihubungkan dengan pendapatan yang akan mewujudkan kebutuhan
akan pangan, sandang, papan dan kesehatan. Adapun kebutuhan spiritual;
dihubungkan dengan pendidikan, keamanan, dan ketenteraman hidup
(Repository usu.ac.id).
B. Kerangka Pemikiran
Tanah sebagai sumberdaya alam yang semakin terbatas keberadaanya,
perlu dikelola dengan baik penggunaannya. Penggunaan tanah ini tentunya harus
sesuai dengan kondisi faktor fisik tanahnya. Penggunaan tanah terdiri dari
penggunaan tanah perkotaan dan penggunaan tanah perdesaan. Dalam
hubungannya dengan factor fisik tanah, penggunaan tanah perdesaan yang
9
mayoritas berupa usaha tani telah ada konsepnya yang disebut dengan konsepsi
wilayah tanah usaha. Faktor kondisi fisik wilayah yang terkait dengan konsepsi
wilayah tanah usaha adalah lereng dan ketinggian. Wilayah tanah usaha ini
dijadikan acuan ketika akan menentukan tanah digunakan untuk apa di suatu
wilayah.
Lereng dan ketinggian sebagai dua faktor fisik wilayah dijadikan
pedoman untuk menentukan jenis penggunaan tanah pada wilayah tersebut.
Arahan penggunaan tanah ini dimaksudkan dalam rangka menuju kepada
penggunaan tanah berkelanjutan yang memperhatikan kelestarian tanah dan
lingkungan. Hal ini bertujuan untuk mencapai optimalisasi penggunaan tanah
khususnya di daerah perdesaan sekaligus mensejahterakan masyarakat yang
menggunakan tanah tersebut.
Secara singkat dan skematis, kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat
seperti pada Gambar 1.
10
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah kondisi penggunaan tanah di lokasi penelitian ?
2. Bagaimana kesejahteraan masyarakat di lokasi penelitian ?
Tanah
Penggunaan Tanah Kemampuan Tanah
Penggunaan Tanah
Perkotaan Lereng Ketinggian Penggunaan Tanah
Perdesaan
Wilayah Tanah Usaha Jenis
Penggunaan Tanah
Optimalisasi Penggunaan Tanah
Kesejahteraan Masyarakat
11
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Subjek dan Objek Penelitian
Penelitian akan dilakukan dengan metode kualitatif yaitu dengan meng-
eksplorasikan penggunaan tanah di daerah berlereng. Subjek penelitiannya adalah
Wilayah Desa dan Kantor Desa Pagerharjo.
Objek penelitiannya adalah tanah-tanah berlereng di Desa Pagerharjo.
Selain itu juga aparat Desa Pagerharjo yang mengetahui profil desa dan
masyarakatnya yang akan dijadikan informan sebagai responden. Masyarakat
yang dijadikan responden dalam penelitian ini dipilih secara purposive random
sampling, yaitu pengambilan sampel yang mempunyai tujuan tertentu. Wilayah
padukuhan yang berlereng mulai dari bergelombang sampai dengan berbukit
dijadikan wilayah pengambilan sampel. Di seluruh wilayah Desa Pagerharjo
terdapat 17 wilayah padukuhan dari 20 padukuhan yang topografinya
bergelombang sampai dengan berbukit. Dari masing-masing wilayah padukuhan
tersebut dipilih satu orang penduduk yang berusaha tani di daerah berlereng
sebagai responden, sehingga jumlah respondennya adalah 17 (tujuh belas) orang..
Selain dilakukan wawancara tentang penggunaan tanahnya di daerah berlereng
beserta hasil-hasil produksinya sebagai pendapatan usaha tani, juga dilakukan
wawancara tentang penghasilan tambahan di luar usaha tani tersebut dari sektor
manapun yang dilakukannya.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang akan dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari observasi lapangan langsung kondisi fisik wilayah dan
wawancara dengan aparat desa dan masyarakat. Data sekunder bersumber dari
laporan-laporan dan dokumen-dokumen tentang penggunaan tanah dan data sosial
ekonomi lainnya.
12
C. Pengumpulan Data
1. Observasi dan Wawancara
Observasi dan Wawancara adalah merupakan cara pengumpulan data
primer dalam penelitian ini. Observasi adalah cara dan teknik pengumpulan
data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap
gejala atau fenomena yang ada pada objek penelitian (M.Pabundu Tika,
2005). Pelaksanaan metode observasi tersebut merupakan kegiatan awal
dalam melakukan pengumpulan data dari lapangan. Pelaksanaan observasi
dalam penelitian ini dilakukan dengan pengamatan kondisi fisik lapangan
serta melakukan survai lokasi berkenaan dengan penggunaan tanah di daerah
berlereng di Desa Pagerharjo. Hampir semua padukuhan wilayahnya sebagian
pasti ada daerah berlerengnya. Oleh karena itu observasi kondisi fisik wilayah
dilakukan di semua padukuhan yang meliputi 20 (dua puluh) padukuhan.
Survai lokasi dalam pengumpulan data fisik wilayah dilaksanakan
dengan melakukan ground check dari peta dasar yang sudah dibuat
sebelumnya. Ground check meliputi dua kegiatan yaitu ground check terhadap
kondisi topografi wilayah. Peta dasar yang dibuat untuk melakukan survai
topografi wilayah adalah peta yang berasal dari Citra satelit Digital Elevation
Model (DEM) yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).
Citra satelit tersebut diolah secara digital dijadikan peta kontur yang
menunjukan ketinggian wilayah dari permukaan laut. Peta kontur itulah yang
dijadikan peta dasar dalam rangka melakukan ground chek kondisi topografi
wilayah Desa Pagerharjo. Ground check dilakukan dengan menggunakan
altimeter pada daerah-daerah yang tidak cocok ketinggian wilayahnya dengan
peta dasar. Hasil ground check ini selanjutnya digunakan untuk membuat Peta
Topografi Desa Pagerharjo.
Dari citra DEM dan peta dasar yang sudah berupa peta kontur,
selanjutnya ditarik garis batas-batas kemiringan tanah (lereng) nya. Batas-
batas kemiringan tanah ini dipetakan dengan cara melakukan ground check
13
berdasarkan peta dasar, dan dilakukan dengan menggunakan alat pengukur
kemiringan tanah yaitu abney hand level dan kompas. Hasil pemetaan dengan
sistem ground check ini berupa Peta Lereng Desa Pagerharjo.
Survai penggunaan tanah dilakukan dengan melaksanakan ground
check dari peta dasar penggunaan tanah yang bersumber dari hasil olahan citra
satelit sekitar Desa Pagerharjo. Setelah diinterpretasi dan diambil wilayah
Desa Pagerharjo saja, jadilah Peta Dasar Penggunaan Tanah untuk melakukan
survai lapangan. Berbagai jenis penggunaan tanah di lokasi dilakukan ground
check kebenarannya. Untuk jenis dan batas penggunaan tanah yang ada dan
tidak sesuai dengan peta dasar, selanjutnya dilakukan pemetaan penggunaan
tanah dengan menggunakan kompas khusus pada lokasi yang penggunaan
tanahnya tidak sesuai dengan peta dasar. Hasil akhirnya adalah Peta
Penggunaan Tanah Desa Pagerharjo.
Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara tanya
jawab yang dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan pada tujuan
penelitian (M.Pambudi Tika, 2005). Wawancara yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah wawancara terstruktur, yaitu dilakukan dengan
menggunakan Daftar Isian Penghitungan Pendapatan Perkapita Penduduk.
Metode wawancara ini dipakai untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan
secara lisan kepada responden. Wawancara dilakukan dengan perangkat Desa
Pagerharjo untuk mengetahui informasi tentang kondisi fisik desa dan
masyarakatnya, serta dengan masyarakat Desa Pagerharjo yang terkait dengan
penggunaan tanah di daerah berlereng. Untuk mengetahui kesejahteraan
masyarakat, dilakukan juga wawancara dengan masyarakat para pengguna
tanah pada tanah berlereng dengan menghitung pendapatan per-kapita nya.
Wawancara dengan masyarakat ini dilakukan di yang daerahnya berlereng.
Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu
pemilihan responden dengan tujuan tertentu. Tujuan tertentu tersebut adalah
dipilih responden yang menggunakan tanah di daerah berlereng
14
2. Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan cara pengumpulan data sekunder. Metode
ini dilakukan dengan mempelajari laporan-laporan yang berhubungan
langsung maupun tidak langsung dengan persoalan penggunaan tanah serta
mempelajari dokumen yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Desa
Pagerharjo. Beberapa dokumen yang dijadikann sumber rujukan antara lain
adalah Profil Desa Pagerharjo.
D. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Desa Pagerharjo Kecamatan Samigaluh
Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertimbangan dipilihnya
lokasi ini karena kondisi fisik desa mayoritas terdiri dari daerah yang berlereng,
mulai dari daerah bergelombang, berbukit sampai daerah bergunung. Ada
kecenderungan bahwa bervariasinya kondisi topografi ini menyebabkan jenis
penggunaan tanah yang ada tidak sesuai dengan kemampuan tanahnya, sehingga
seolah-olah penggunaan tanah ini dipaksakan.
E. Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan
metode komparatif yaitu membandingkan antara penggunaan tanah, kemiringan
tanah dan kesesuaiannya dengan konsep wilayah tanah usaha. Tingkat
kesejahteraan masyarakat dihitung dari hasil penghitungan pendapatan per kapita
masyarakat yang selanjutnya dieksplorasikan secara deskriptif.
Untuk melengkapi analisis ini, dilakukan analisis tumpang susun peta
(overlay) antara peta penggunaan tanah, peta kemiringan tanah, peta wilayah
tanah usaha untuk mengetahui kesesuaiannya. Hal ini untuk memberikan altrnatif
dalam pemberian perizinan yang berkaitan dengan penggunaan tanah di daerah
berlereng.
15
BAB IV
KONDISI WILAYAH
A. Administratif dan Potensi Wilayah
Desa Pagerharjo adalah salah satu desa di Kecamatan Samigaluh
Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. Hanya sedikit dijumpai
daerah datar di desa ini karena sebagian besat topografinya adalah landai,
bergelombang, berbukit sampai bergunung. Batas-batas wilayahnya Sebelah
Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Kebonharjo. Sebelah Timur berbatasan dengan
Desa Ngargosari Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo. Jumlah
padukuhan di Desa Pagerharjo ada 20 (dua puluh) padukuhan. Gambaran
menyangkut batas wilayah administrasi dan pensebaran padukuhan dapat dilihat
pada Gambar 2 Peta Administrasi Desa Pagerharjo.
Jumlah penduduk di Desa Pagerharjo adalah 5.074 jiwa yang terdiri dari
laki-laki 2.597 jiwa dan perempuan 2.477 jiwa. Mayoritas penduduknya
beragama Islam sebanyak 4.343 jiwa, Kristen Katholik 564 jiwa, Kristen
Protestan 162 jiwa, Aliran Kepercayaan 5 jiwa. Tidak terdapat warga negara
asing, semua penduduk berwarga negara Indonesia. Tenaga kerja produktifnya
(berumur 18 – 56 tahun) berjumlah laki-laki 1.391 jiwa dan perempuan 1.342
jiwa. Fasilitas umum yang terdapat di Desa Pagerharjo adalah Perkantoran,
Pertokoan, Sekolah, Pasar Desa, Lapangan Olah Raga, Kolam ikan, dan Jalan.
Ruas jalan yang ada terdiri dari 3 jenis status jalan yaitu Ruas Jalan Desa
sepanjang 25,50 Km, Jalan Kabupaten 26,25 Km, dan Jalan Provinsi 5.00 Km.
Sarana Peribadatan terdidi dari Mesjid 28 buah, Mushola 13 buah, Gereja
Katholik 1 buah, dan Gereja Kristen Jawa 1 buah. Sarana air bersih dan sanitasi
berupa Sumur Pompa 2 unit, Sumur Gali 82 unit, PAM Desa/Kelompok 6 unit,
Embung 7 unit, dan Mata Air 115 unit. Di daerah yang relatif landai terdapat
jaringan irigasi desa permanen sepanjang 3.550 meter dan non permanen
16
17
sepanjang 2.550 meter dengan 6 unit Bendungan. Prasarana Kesehatan yang ada
terdapat 1 (satu) Puskesmas dan 20 (dua puluh) Posyandu. Adapun sarana
kesehatannya terdapat 1 orang dokter umum, 1 orang dokter gigi, 1 orang dokter
spesialis, 7 orang para medis, 4 orang dukun bersalin terlatih, 2 orang bidan, 5
orang perawat, 2 orang dokter praktek, 2 orang dukun pengobatan alternatif, dan
1 buah laboratorium kesehatan. Sarana Olah Raga yang ada adalah Lapangan
Sepak Bola terdapat 1 (satu), Lapangan Bulu Tangkis ! (satu) Lapangan Bola
Volley 4 (empat) dan Meja Tenis Meja 1 (satu). Sarana Pendidikan terdiri dari 1
unit Gedung SMA, 1 unit Gedung SMP, 5 unit Gedung SD, 5 unit Gedung TK, 7
unit Gedung PAUD, 3 buah Lembaga Pendidikan Agama, dan 1 buah
Perpustakaan Desa.
Memperhatikan kondisi geografis dan potensi wilayah yang ada
menunjukan bahwa Desa Pagerharjo ini memiliki fasilitas yang relatif lengkap
dalam hal kebutuhan sosial masyarakat meskipun topografi wilayahnya berbukit-
bukit. Hampir semua fasilitas sosial dijumpai di wilayah desa ini. Hal ini
menunjukan bahwa Desa Pagerharjo dengan kondisi fisik yang tidak begitu
menguntungkan namun kebutuhan masyarakatnya bisa terpenuhi.
B. Kondisi Fisik Wilayah
1. Ketinggian Wilayah
Ketinggian wilayah seringkali berkorelasi dengan jenis penggunaan
tanah apa yang diusahakan di wilayah tersebut. Pada daerah-daerah rendah
yang datar dengan ketinggian tempat dari permukaan air laut antara 7 – 100
meter, cocok penggunaan tanahnya berupa sawah 2 kali panen setahun karena
terdapat saluran irigasi. Selanjutnya pada ketinggian wilayah antara 100 – 500
meter dpal, masih dijumpai penggunaan tanah sawah meskipun berupa sawah
1 kali setahun karena tidak terdapat saluran irigasi, mayoritas dijumpai
penggunaan tanah pertanian tanah kering berupa tegalan, kebun campuran
maupun ladang. Setempat-setempat ada penggunaan tanah perkebunan dengan
18
tanaman sejenis seperti kopi, coklat, karet. Pada ketinggian wilayah antara
500 – 1.000 meter dpal, masih ada penggunaan tanah sawah meskipun
merupakan sawah tadah hujan dengan sekali panen setahun. Yang paling
cocok pada ketinggian ini adalah tanaman iklim sedang maupun perkebunan.
Cengkeh dan Teh sering dijumpai pada daerah dengan ketinggian ini. Untuk
wilayah dengan ketinggian di atas 1.000 m dpal, umumnya terdapat hutan
lindung yang berfungsi untuk melindungi wilayah yang ada di bawahnya.
Dihitung dari permukaan air laut (dpal), wilayah ketinggian Desa
Pagerharjo berada pada 300 – 880 meter. Daerah yang paling rendah (300 m
dpal) berada di bagian barat selatan yaiti di wilayah Padukuhan Sinogo.
Adapun daerah yang tertinggi (880 m dpal) berada di bagian utara yang
termasuk ke dalam wilayah Nglinggo Barat. Di bagian tengah yaitu di sekitar
Ibukota Desa Ngemplak, ketinggian wilayahnya sekitar 500 m dpal.
Ketinggian ini yang terendah di wilayah barat semakin ke tengah semakin
tinggi, dan daerah yang paling tinggi berada di Desa Pagerharjo sebelah utara.
Secara terinci data ketinggian wilayah dan luasnya dapat dilihat pada Tabel 1
dan gambaran penyebaran wilayah ketinggian tersebut dapat dilihat pada
Gambar 3 Peta Topografi Wilayah Desa Pagerharjo.
Tabel 1. Ketinggian Wilayah dan Luasnya
No. Ketinggian Wilayah
(dpal)
Luas
(Ha)
Persentase
(%)
1 300 - 400 166,46 14,59
2 400 - 500 288,74 25,32
3 500 - 600 307,16 26,94
4 600 - 700 238,64 20,92
5 700 - 800 87,22 7,65
6 Lebih dari 800 52,28 4,58
Total 1.140,50 100,00
Sumber : Pengolahan Data Tahun 2019
19
20
2. Kemiringan Tanah (Lereng)
Kemiringan tanah (lereng) juga berpengaruh terhadap penggunaan
tanah yang ada di suatu wilayah. Pada lereng yang datar sampai dengan
landau biasanya masih dijumpai penggunaan tanah sawah 2 kali setahun. Pada
daerah ini terdapat juga penggunaan tanah tanaman semusim seperti tegalan
yang ditanami palawija. Pada daerah landai sampai bergelombang, banyak
dijumpai penggunaan tanah pertanian tanah kering seperti kebun campuran
dan lading. Sementara itu di daerah yang bergelombang sampai berbukit,
penggunaan tanahnya juga pertanian tanah kering dan juga perkebunan. Pada
daerah yang berbukit sampai bergunung bisa dijumpai hutan.
Data Kemiringan Tanah (Lereng) dihitung dalam satuan persen (%),
lereng 100 persen. Lereng diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) kategori yaitu
Lereng 0-2 % disebut daerah datar, Lereng 2-8 % adalah daerah datar sampai
landai, Lereng 8-15 % landai sampai bergelombang, Lereng 15-25 %
bergelombang sampai berbukit, Lereng 25 – 30 % daerah berbukit-bukit,
Lereng 30 - 40 % daerah berbukit sampai dengan bergunung, dan Lereng >
40 % adalah daerah yang sangat curam. Wilayah Desa Pagerharjo berada pada
Lereng mulai dari 8 – 15 % dan berakhir pada Lereng 30 – 40 %. Rincian luas
wilayah berdasarkan Lereng tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambaran
kemiringan (Lereng) nya dapat dilihat pada Gambar 4 Peta Kemiringan Tanah
Tabel 2. Luas Wilayah Berdasarkan Kemiringan Tanah (Lereng)
No. Lereng
Luas
(Ha)
Persentase
(%)
1 8 – 15 % 396,32 34,75
2 15 – 25 % 439,20 38,51
3 25 – 30 % 199,89 17,53
4 30 – 40 % 105,09 9,21
Total 1.140,50 100,00
Sumber : Pengolahan Data Tahun 2019
21
22
3. Penggunaan Tanah
Penggunaan tanah di suatu wilayah, umumnya merupakan cerminan
dari aktivitas dan kegiatan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar
wilayah tersebut khususnya yang bergerak di bidang pertanian. Pada lokasi
yang penggunaan tanahnya berupa permukiman, masyarakat menggunakan
tanah tidak jauh dari lokasi tersebut atau di sekitarnya. Masyarkat
menggunakan tanah sesuai dengan kemampuan untuk mengelolanya.
Demikian pula yang terjadi di daerah berlereng. Ada yang sebagian mengolah
tanah dengan intensif yaitu menggunakan sistem terasering untuk mencegah
terjadinya erosi, namun ada pula masyarakat yang menggunakan tanah
seadanya tanpa melalui pengelolaan yang intensif. Artinya masyarakat hanya
menanam komoditi tertentu di tanah-tanah yang dimilikinya. Demikian pula
yang terjadi di Desa Pagerharjo.
Kondisi fisik wilayah Desa Pagerharjo yang sebagian besar merupakan
daerah berlereng, penggunaan tanah mayoritasnya adalah kebun campuran.
Berturut-turut berdasarkan luas penggunaan tanahnya adalah permukiman,
tegalan/ladang, sawah tadah hujan, sawah irigasi, dan semak belukar. Secara
rinci luas penggunaan tanah tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 dan
penyebarannya tercantum pada Gambar 5 Peta Penggunaan Tanah.
Tabel 3. Luas Wilayah Berdasarkan Jenis Penggunaan Tanah
No. Penggunaan Tanah Luas (Ha) Persentase (%)
1 Kebun Campuran 520,78 45,66
2 Permukiman 362,24 31,76
3 Tegalan/Ladang 107,74 9,45
4 Sawah Tadah Hujan 99,84 8,75
5 Sawah Irigasi 31,06 2,72
6 Semak/Belukar 18,84 1,66
Total 1.140,50 100,00
Sumber : Pengolahan Data Tahun 2019
23
24
Jenis penggunaan tanah kebun campuran yang paling banyak dijumpai
di daerah berlereng di Desa Pagerharjo. Adapun lokasi permukiman dijumpai
di beberapa tempat yang umumnya berada di daerah landai sampai
bergelombang. Masyarakat mengusahakan kebun campuran pada daerah-
daerah di sekitar permukiman dimana masyarakat bertempat tinggal. Beberapa
komoditi yang ditanam di daerah berlereng tersebut antara lain : kopi,
cengkeh, coklat, pisang, kelapa, sengon, jati. Jenis penggunaan tanah lainnya
yang dijumpai di daerah berlereng dan menjadi komoditi unggulan Desa
Pagerharjo adalah Kebun Teh. Keberadaan kebun ini menjadikan produksi teh
bisa menambah penghasilan bagi penduduk yang tinggal di sekitarnya. Selain
itu daerah ini juga merupakan objek wisata. Kebun Teh paling banyak
dijumpai di Padukuhan Nglinggo Barat dan Padukuhan Nglinggo Timur di
bagian utara Desa Pagerharjo yang berbatasan dengan Kabupaten Purworejo
dan Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah.
Di sela-sela tanaman-tanaman tersebut masyarakat juga menanam
pohon jati, mahoni, dan sengon sebagai tanaman pelindung terjadinya erosi
dan juga bisa diambil hasilnya berupa kayu-kayu yang dijadikan bahan
bangunan. Berbagai komoditi tersebut yang sebagian besar ditanam di daerah
berlereng di Desa Pagerharjo. Khusus di Padukuhan Nglinggo Barat dan
Nglinggo Timur mayoritas masyarakat menanam teh meskipun di daerah yang
berlereng. Untuk teh yang dibudidayakan di daerah berlereng diolah tanahnya
dengan sistem terasering, sedangkan yang di pinggir-pinggir jalan
dibudidayakan seadanya saja tetapi teratur susunan tanamannya. Hal inilah
yang menjadikan kebun teh di Padukuhan Nglinggo ini dijadikan sebagai
tempat wisata dan dikenal dengan Desa Wisata Nglinggo. Produksi teh di
daerah ini bisa menambah pendapatan perkapita penduduk. Bahkan produksi
teh ini ada yang sudah diolah berupa teh dalam kemasan. Di daerah kebun teh
Nglinggo ini, penghasilan masyarakat dari teh sangat menonjol. Namun
25
demikian selain teh, masyarakat masih mengelola kebun miliknya ditanami
komoditi perkebunan yang lain seperti kopi.
Selain bermata pencaharian sebagai petani teh, masyarakat di daerah
wisata Nglinggo juga memanfaatkan berprofesi lain yang berkaitan dengan
objek wisata ini dengan yaitu menjual jasa wisata. Jasa wisata tersebut antara
lain dengan membangun warung wisata, mengoperasikan mobil wisata, dan
juga ada yang mengelola tempat penginapan untuk menginap para wisatawan
yang ingin bermalam. Dari menjual jasa inipun masyarakat bisa menambah
penghasilannya untuk menghidupi keluarganya.
C. Kondisi Sosial Ekonomi
1. Profesi Penduduk
Profesi penduduk umumnya berbanding lurus dengan mayoritas
penggunaan tanah di suatu wilayah terlebih di wilayah perdesaan. Ketika
mayoritas penggunaan tanah berupa penggunaan tanah untuk pertanian, maka
bisa diprediksi mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Demikian
juga untuk daerah perumahan misalnya, dimungkinkan banyak penduduknya
berprofesi di bidang non pertanian seperti pegawai baik pegawai negeri
maupun pegawai swasta.
Di Desa Pagerharjo, karena mayoritas penggunaan tanahnya adalah
penggunaan tanah pertanian baik pertanian tanah basah maupun pertanian
tanah kering, maka profesi penduduknya mayoritas bisa dipastikan adalah
petani. Profesi penduduk sebagai petani dilakukan oleh penduduk karena
tanah yang dimilikinya sebagian besar merupakan tanah pertanian khususnya
pertanian tanah kering berupa kebun campuran. Secara rinci profesi penduduk
di Desa Pagerharjo dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut.
26
Tabel 4. Profesi Penduduk Diperinci Menurut Jenis Kelamin
No. Profesi Penduduk Laki-laki
(orang)
Perempuan
(orang)
Jumlah
(orang)
1 Petani 986 1.060 2.046
2 Karyawan Perusahaan
Swasta
185 108 293
3 Karyawan Perusahaan
Pemerintah
58 55 113
4 Pengusaha Kecil dan
Menengah
40 14 54
5 Pegawai Negeri 28 10 38
6 Pedagang 10 15 25
7 POLRI 12 - 12
8 Pengusaha Besar 5 - 5
9 Perawat Swasta 4 - 4
10 TNI 3 - 3
11 Dukun Kampung
Terlatih
- 3 3
12 Jasa Pengobatan
Alternatif
2 - 2
13 Dosen Swasta 1 - 1
14 Seniman 1 - 1
15 TKI 1 1
Sumber : Profil Desa Pagerharjo Tahun 2019
Dari data pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk berprofesi
utama sebagai petani. Hal ini disebabkan penggunaan tanah terbesar adalah
27
bidang pertanian tanah kering berupa kebun campuran. Hasil usaha kebun
campuran petani selain untuk konsumsi keluarga juga dijual yang hasilnya
digunakan untuk menambah penghasilan keluarga. Selain itu juga terdapat
penduduk yang berprofesi sebagai petani yang mengusahakan sawah irigasi
maupun sawah tadah hujan yang ditanami padi sebagai tanaman utamanya
untuk konsumsi keluarga maupun dijual untuk menambah pendapatannya.
2. Pendapatan Perkapita Penduduk
Tingkat kesejahteraan petani antara lain dapat diukur dari pendapatan
perkapitanya. Pendapatan perkapita merupakan penghasilan yang timbul
ketika petani melakukan aktivitas penjualan barang-barang hasil produksi di
pasar. Dengan meningkatnya pendapatan tersebut, maka akan meningkatkan
standar kehidupan petani sehingga meningkat pula kesejahterannya.
Pendapatan perkapita penduduk yang berprofesi sebagai petani di
daerah berlereng di Desa Pagerharjo dilakukan melalui wawancara dengan
penduduk dan menghitung pendapatan perkapitanya setahun.
Penghitungannya dilakukan dengan cara menanyakan usaha tani di daerah
berlereng. Berbagai komoditi yang diusahakan penduduk dihitung
produksinya dikalikan dengan harga setempat ketika melakukan transaksi
penjualan produk. Semua produk yang dihasilkan dijumlahkan dan totalnya
dibagi dengan jumlah jiwa yang menjadi tanggungannya. Dari lima belas
sampel penduduk yang diwawancari, diperoleh penghitungan pendapatan
perkapitanya khususnya dari kegiatan usaha tani di daerah berlereng di Desa
Pagerharjo seperti tercantum pada Tabel 5 sebagai berikut.
28
Tabel 5. Pendapatan Bersih Penduduk Desa Pagerharjo
dari Penggunaan Tanah di Daerah Berlereng
No. Nama
Responden
Jenis Penggunaan
Tanah di Daerah
Berlereng
Total
Pendapatan Bersih/Tahun
(Rp.,-)
1 2 3 4
1 Paino Kopi
Cengkeh
Panili
Pisang
Kelapa
4.850.000
2 Juminah Kopi
Cengkeh
3.450.000
3 Jemono Kopi
Cengkeh
Coklat
Kelapa
Pisang
4.320.000
4 Kasiman Kopi
Cengkeh
Pisang
Kelapa
3.860.000
5 Suradji Kelapa
Cengkeh
2.250.000
6 Jumangin Kopi
Sengon
Pisang
2.550.000
7 Waridi Kopi
Sengon
Kelapa
Pisang
3.600.000
8 Ika Kelapa
Jati
Mahoni
Sengon
4.650.000
9 Sutijah Cengkeh
Kelapa
2.698.000
10 Purwanto Kelapa
Sengon
2.500.000
11 Slamet Sengon
Pisang
3.600.000
29
1 2 3 4
12 Teguh Kopi
Cengkeh
Sengon
2.760.000
13 Koyimah Kopi
Cengkeh
Kelapa
Teh
1.746.000
14 Caswati Kopi
Teh
2.400.000
15 Priyata Cengkeh
Kelapa
Mahoni
Sengon
4.375.000
16 Winardi Mahoni
Sengon
2.300.000
17 Iswahyudi Kopi
Cengkeh
3.400.000
Sumber : Pengolahan Data Tahun 2019
Selain bermata pencaharian di bidang pertanian khususnya di daerah
berlereng, responden juga mempunyai mata pencaharian lain untuk
menambah pendapatannya. Berbagai jenis mata pendaharian lain responden
tersebut antara lain sebagai tukang kayu atau jasa bangunan, menyewakaan
sawahnya kepada orang lain karena letaknya yang agak jauh dari tempat
tinggalnya, bergerak di bidang wisata atau jasa transportasi khusunya sebagai
pengemudi mobil wisata, sebagai peternak yaitu memelihara ternak di sekitar
tempat tinggalnya, jasa wisata yaitu sebagai mengusahakan sebagian area
tempat tinggalnya untuk tempat parkir para wisatawan, dll. Secara rinci
beberapa profesi lain dari responden ini dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
30
Tabel 6. Pendapatan Bersih Penduduk Desa Pagerharjo
dari Mata Pencaharian lain
No. Nama
Responden
Jenis Mata Pencaharian
Lain
Total
Pendapatan Bersih
(Rp.,-)
1 2 3 4
1 Paino Jasa Objek Wisata
(Pengelola Parkir)
10.800.000
2 Juminah Jasa Perdagangan
(Warung Kelontong)
15.000.000
3 Jemono Jasa Bangunan
(Buruh Bangunan)
9.600.000
4 Kasiman Jasa Angkutan
(Sopir Truk)
10.400.000
5 Suradji Jasa Perdagangan
(Warung Kelontong)
26.640.000
6 Jumangin Jasa Perdagangan
(Warung Kelontong)
21.600.000
7 Waridi Jasa Angkutan
(Sopir Truk)
15.600.000
8 Ika Jasa Kehutanan (Jual
Beli Kayu Jati)
18.000.000
9 Sutijah Jasa Perdagangan
(Warung Makan) dan
Jasa Angkutan
(Menyewakan Truk)
25.300.000
10 Purwanto Jasa Pertanian
(Menyewakan Sawah)
27.900.000
11 Slamet Jasa Pemerintsh (Pamong
Desa) dan Jasa Pertanian
(Menyewakan Sawah)
32.400.000
12 Teguh Jasa Pariwisata
(Menyewakan Homestay)
36.950.000
13 Koyimah Jasa Perdagangan
(Pengusaha Teh, Kolang-
kaling dan Gula Aren)
17.180.000
14 Caswati Jasa Perdagangan
(Warung Sembako dan
Kemasan Kopi)
21.250.000
31
1 2 3 4
15 Priyata Jasa Pertanian
(Menyewakan Sawah)
21.150.000
16
Winardi
Jasa Pemerintah
(Pamong Desa) dan Jasa
Pertanian (Menyewakan
Sawah)
23.850.000
17 Iswahyudi Jasa Pariwisata
(Sopir Mobil Wisata)
18.000.000
Sumber : Pengolahan Data Primer Tahun 2019
Dari Tabel 5 dan Tabel 6 dapat dihitung pendapatan perkapita penduduk yaitu
total pendapatan bersihnya dalam menggunakan tanah di daerah berlereng dan
mata pencaharian lain (non penggunaan tanah berlereng) yang rata-rata
dipunyai para responden setelah dibagi dengan jumlah tanggungan
keluarganya masing-masing. Penduduk mempunyai mata pencaharian lain
dengan alasan bahwa usaha taninya di daerah berlereng umumnya berupa
pertanian tanah kering yang ditanami tanaman tahunan, sehingga sambil
menunggu hasil produksi dari usaha tani di daerah berlereng tersebut,
penduduk memanfaatkan waktu untuk bekerja di bidang lain untuk menambah
pendapatannya. Berdasarkan penghitungan data pada Tabel 5 dan Tabel 6,
bisa diketahui besarnya pendapatan perkapita penduduk secara keseluruhan
seperti yang tercantum pada Tabel 7 sebagai berikut.
Tabel 7 Total Pendapatan Perkapita Responden
No. Nama
Responden
Pendapatan
Bersih
Usaha Tani
di Daerah
Berlereng
(Rp)
Pendapatan
Bersih
dari Mata
Pencaharian
Lain
(Rp)
Total
Pendapatan
Bersih
(Rp)
Jumlah
Tanggungan
Keluarga
(Jiwa)
Pendapatan
Perkapita
Per-Tahun
(Rp)
1 2 3 4 5 6 7
1 Paino 4.850.000 10.800.000 15.650.000 3 5.216.667
2 Juminah 3.450.000 15.000.000 18.450.000 3 6.150.000
32
1 2 3 4 5 6 7
3 Jemono 4.320.000 9.000.000 14.200.000 3 4.733.333
4 Kasiman 3.860.000 10.400.000 16.260.000 3 5.420.000
5 Suradji 2.250.000 26.640.000 28.890.000 5 5.778.000
6 Jumangin 2.550.000 21.600.000 24.150.000 4 6.037.500
7 Waridi 3.600.000 15.600.000 19.200.000 3 6.400.000
8 Ika 4.650.000 18.000.000 22.650.000 4 5.662.500
9 Sutijah 2.698.000 25.300.000 27.998.000 5 5.599.600
10 Purwanto 2.500.000 27.900.000 30.400.000 5 6.080.000
11 Slamet 3.600.000 32.600.000 36.000.000 5 7.200.000
12 Teguh 2.760.000 36.950.000 39.710.000 4 9.927.500
13 Koyimah 1.746.000 17.180.000 18.926.000 3 6.308.667
14 Caswati 2.400.000 21.250.000 23.650.000 4 5.912.500
15 Priyata 4.375.000 21.150.000 25.525.000 5 5.105.000
16 Winardi 2.300.000 23.850.000 26.150.000 4 6.537.500
17 Iswahyudi 3.400.000 18.000.000 21.400.000 3 7.133.333
Sumber : Pengolahan Data Tahun 2019
33
BAB V
PENGGUNAAN TANAH DI DAERAH BERLERENG
DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
A. Wilayah Tanah Usaha Desa Pagerharjo
Berdasarkan kriteria ketinggian dari permukaan air laut dan
kemiringan tanah (lereng), WTU dibedakan menjadi:
a. Wilayah Tanah Usaha Terbatas (WTUT) I, yakni daerah pantai dengan
ketinggian kurang dari 7 m dpal. Daerah ini wajib dilindungi sebagai
kawasan perlindungan pantai. Disamping menjaga habitat biota laut dengan
hutan bakaunya, perlindungan pantai juga menvegah intrusi air laut atau
merembesnya air asin ke dalam air tanah daerah pantai dengan penggunaan
tanah tambak ikan dan sawah;
b. Wilayah Tanah Usaha Utama (WTUU) Ia dan Ib, areal dengan ketinggian 7
- 25 m dpal. Pada ketinggian + 25 m dpal merupakan garis bendungan yang
ideal. penggunaan tanah wilayah ini pada WTUU Ia adalah untuk sawah 1
kali setahun kalau tidak ada bendungan dan WTUU Ib untuk sawah 2 kali
setahun ketika ada bendungan;
c. WTUU Ic, dengan ketinggian 25 – 100 dpal, diarahkan untuk penggunaan
tanah tanah kering, perkebunan, dan sawah;
d. WTUU Id, ketinggian 100 – 500 dpal. penggunaan tanah yang disarankan
adalah masih cocok untuk sawah bila masih tersedia air. Sesuai dengan
sifat fisiografinya, baik untuk tanaman keras dan buah-buahan serta
tanaman perkebunan lainnya;
e. WTUU II, dengan ketinggian 500 – 1.000 m dpal. Daerahnya
bergelombang sampai berbukit-bukit. Apabila terdapat tanah yang datar
(dataran tinggi), cocok untuk tanaman hortikultura dan sayur-sayuran.
Daerah bergelombang dan berbukit, sebaiknya ditanami dengan tanaman
keras yang cocok dengan udara sejuk seperti cengkeh, kopi, kemiri, jeruk,
dsb.;
34
f. WTUT II, dengan ketinggian lebih dari 1.000 m dpal. Daerah ini sebaiknya
dijadikan kawasan lindung atau dihutankan. Jika ada dataran yang luas,
sangat sesuai untuk tanaman bunga-bungaan, sayur-sayuran, dan buah-
buahan iklim dingin.
Kalau dilihat dari pengklasifikasian konsep penggunaan tanah
berdasarkan kriteria WTU, seyogyanya para pengguna tanah dalam
menggunakan tanahnya mengikuti ketentuan-ketentuan tersebut. Dapat
dimaklumi bahwa masyarakat dalam menggunakan tanah khususnya tanah
usahanya bertujuan untuk menopang kehidupan sehari-hari, namun dengan
menggunakan tanah dengan memperhatikan kriteria WTU tentunya selain bisa
mensejahterakan masyarakat itu sendiri juga bisa menjaga kelestarian
lingkungannya.
Berdasarkan pada lereng dan ketinggian tempat dari permukaan laut,
wilayah tanah usaha diklasifikasikan menjadi 6 (enam) kategori. Keenam
kategori ini dimulai dari ketinggian tempat 0 meter dpal sampai dengan lebih
besar dari 1.000 meter dpal. Kemiringan tanah (lereng) nya mulai dari daerah
datar sampai dengan bergunung, artinya semakin tinggi ketinggian seringkali
lerengya semakin besar. Oleh karenanya pada daerah datar sampai landai
diarahkan pada jenis penggunaan tanah tertentu sampai dengan daerah dengan
ketinggian di atas dari 1.000 meter dpal dan lereng lebih dari 40 %.
Desa Pagerharjo berada pada lereng 8-15 % sampai dengan 30-40 %
dan ketinggian wilayah antara 300 – 880 meter. Dengan kondisi fisik tersebut
maka wilayah Desa Pagerharjo terbagi menjadi 2 (dua) klasifikasi wilayah tanah
usaha. Untuk ketinggian 100 – 500 dpal dan lerengnya tidak terlalu curam atau
termasuk kategori daerah bergelombang, maka termasuk dalam Wilayah Tanah
Usaha Utama Id (WTUU Id). Penggunaan tanah di WTUU Id ini antara lain
diarahkan untuk tanaman keras dan tanaman perkebunan lainnya. Ketinggian
wilayah antara 500 – 1.000 m dpal dan daerahnya bergelombang sampai berbukit
sehingga lerengnya mulai agak terjal, termasuk dalam Wilayah Tanah Usaha
35
Utama II (WTUU II). Daerah bergelombang dan berbukit, diarahkan untuk
ditanami tanaman keras yang cocok dengan udara sejuk seperti cengkeh dan
kopi. Pengklasifikasian wilayah tanah usaha di Desa Pagerharjo ini secara
terperinci dapat dilihat pada Tabel dan penyebarannya secara spasial dapat dilihat
pada Gambar 7 Peta Wilayah Tanah Usaha.
B. Penggunaan Tanah di Daerah Berlereng Desa Pagerharjo
Penggunaan Tanah di daerah berlereng yang dijumpai di Desa
Pagerharjo mayoritas adalah Kebun Campuran. Menurut klasifikasi wilayah
tanah usaha sebagai hasil pengolahan data fisik wilayah, di Pagerharjo adalah
WTUU Id, dan WTUU II.
Di WTUU I d penggunaan tanah disarankan untuk ditanami tanaman
keras dan tanaman perkebunan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
erosi karena daerah ini topografinya adalah daerah bergelombang tetapi
lerengnya tidak begitu curam. Sementara itu masyarakat setempat mengusahakan
tanahnya yang berlereng tersebut banyak menanam kelapa, kopi, sengon, mahoni
dan jati. Beberapa tanaman keras yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
erosi di daerah berlereng tersebut seperti sengon dan jati banyak dijumpai,
bahkan hampir di setiap kebun milik masyarakat terdapat tanaman tersebut.
Meskipun tanaman ini baru bisa diproduksi setelah beberapa tahun, namun paling
tidak bisa memberi kontribusi terhadap pendapatan perkapita penduduk. Oleh
karena itu bisa dikatakan bahwa penggunaan tanah saat ini (exsisting land use)
sudah sesuai dengan arahan atau penggunaan tanah yang disarankan menurut
konsep WTU.
Usaha tani yang disarankan di WTUU II adalah tanaman keras dan
tanaman perkebunan. Di Pagerharjo, penggunaan tanah saat ini yang ada di
WTUU II adalah kebun campuran. Beberapa komoditi yang dijumpai di kebun
campuran yang diusahakan masyarakat antara lain adalah kelapa, pisang, kopi,
cengkeh, teh. Komoditi yang sangat menonjol di WTUU II ini adalah kebun teh.
36
37
Meskipun pada areal yang bukan merupakan kebun sejenis, tetapi teh ini banyak
dijumpai di WTUU II seperti di Padukuhan Nglinggo Barat dan Nglinggo Timur.
Bisa dimaklumi karena di kedua padukuhan tersebut letaknya berada pada
ketinggian sekitar antara 600 – 800 meter dpal. Dengan udara yang sejuk, daerah
ini merupakan daerah wisata kebun teh yang sudah terkenal secara regional
maupun nasional. Di wilayah daerah tersebut banyak dijumpai penginapan atau
homestay untuk tempat menginap para wisatawan. Dampak dari kondisi ini
adalah bahwa Desa Pagerharjo khususnya Desa Wisata Nglinggo berhasil
dinobatkan sebagai Juara I Desa Wisata Terbaik di Yogyakarta Tahun 2018.
Desa ini menyajikan suguhan alam pegunungan dengan kesejukan kebun tehnya.
Tidak mudah memenangkan menjadi Desa Wisata Terbaik di Yogyakarta, karena
terdapat ratusan objek wisata yang sebagian besar adalah objek wisata perdesaan
yang sebagian besar dikelola sebagai desa wisata (http://www.berdesa/desa-
wisata-nglinggo-sabet-gelar-terbaik).
C. Kesejahteraan Masyarakat Desa Pagerharjo
Mengacu pada pendapat Mosher (1987), yang menyatakan bahwa
salah satu aspek untuk mengukur kesejahteraan masyarakat adalah pendapatan.
Dari hasil penghitungan pendapatan masyarakat di Desa Pagerharjo. Kisaran
pendapatan bersih 17 (tujuh belas) orang penduduk yang dijadikan responden
dapat dilihat pada Tabel 8 sebagai berikut.
38
Tabel 8. Kisaran Pendapatan Bersih Responden dari Penggunaan Tanah Berlereng
No.
Kisaran Pendapatan Bersih
Responden dari Penggunaan Tanah
Berlereng
(Rp.)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
1 Kurang dari 2.000.000 1 5,88
2 2.000.001 – 3.000.000 7 41,18
3 3.000.001 – 4.000.000 5 29,41
4 Lebih dari 4.000.000 4 23,53
Jumlah Responden 17 100,00
Sumber : Analisis Data Tahun 2019
Dari data pada Tabel 8 dapat terlihat bahwa jumlah responden
terbanyak adalah pada kisaran pendapatan antara Rp. 2.000.001,- sampai
Rp. 3.000.000,- per-tahun yaitu sebanyak 7 orang atau sebesar 41,18 % dari total
responden 17 orang. Pendapatan bersih ini tergolong rendah karena apabila
dihitung per-bulan maka pendapatan tersebut menjadi sekitar Rp.167.000,-
sampai Rp.250.000,-. Apabila dihitung pendapatan per-hari maka besarnya
sekitar Rp.5.567,- sampai Rp.8.333,-. Oleh sebab itu usaha masyarakat di daerah
berlereng lebih bermanfaat untuk menjaga kelestarian lingkungan utamanya
dalam pencegahan erosi dari pada sebagai sumbangan pendapatan yang
kontribusinya sangat sedikit.
Penghasilan lain yang lebih banyak menyumbang pendapatan
masyarakat adalah usahanya di bidang non penggunaan tanah di daerah berlereng
seperti menyewakan sawah, membuka warung, sebagai pamong desa, dan profesi
lain selain usaha tani di daerah berlereng. Besarnya pendapatan bersih responden
dari berbagai usaha tersebut secara kisaran dapat dilihat pada Tabel 9.
39
Tabel 9. Kisaran Pendapat Bersih Responden dari Penghasilan Lainnya
No.
Kisaran Pendapatan Bersih
Responden
Dari Penghasilan Lainnya
(Rp.)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
1 Kurang dari 10.000.000 1 5,88
2 10.000.001 – 20.000.000 7 41,18
3 20.000.001 – 30.000.000 7 41,18
4 30.000.001 – 40.000.000 2 11,76
Jumlah Responden 17 100,00
Sumber : Analisis Data Tahun 2019
Besarnya pendapatan bersih responden dari penghasilan lain dapat terlihat
didominasi oleh pendapatan dengan kisaran Rp.10.000.000,- – Rp.20.000.000,-
sebanyak 7 (tujuh) orang atau 41,18 %, dan Rp.20.000.000 – Rp. 30.000.000,-
juga sebanyak 7 (tujuh) orang atau 41,18 % juga. Apabila dihitung per bulan
maka pendapatan bersih tersebut sekitar Rp.833.333,- sampai Rp.2.500.000,-
atau per-hari sebesar Rp. 27.778,- sampai Rp. 83.333,-. Penghasilan sebesar ini
sudah bisa hidup dengan layak.
Selanjutnya apabila pendapatan dari penggunaan tanah berlereng
dijumlahkan dengan pendapatan lainnya dan total pendapatan bersih responden
dibagi dengan jumlah keluarga yang menjadi tanggungannya, maka dihasilkan
pendapatan perkapita per-tahun. Kisaran pendapatan perkapita di Desa
Pagerharjo yang diwakili oleh responden dapat dilihat pada Tabel 10 sebagai
berikut.
40
Tabel 10. Kisaran Pendapatan Perkapita Responden
No.
Kisaran Pendapatan Perkapita
Responden
(Rp.)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
1 Kurang dari 5.000.000 1 5,88
2 5.000.001 – 6.000.000 7 41,18
3 6.000.001 – 7.000.000 6 35,29
4 7.000.001 – 8.000.000 2 11,77
5. Lebih dari 8.000.000 1 5,88
Jumlah Responden 17 100,00
Sumber : Analisis Data Tahun 2019
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa mayoritas kisaran pendapatan perkapita
responden adalah pada kisaran antara Rp.5.000.000,- sampai Rp.6.000.000,-
sebanyak 7 (tujuh) orang atau sebesar 41,18 %, dan kisaran Rp.6.000.000,-
sampai Rp.7.000.000,- sebanyak 6 (enam responden atau sebesar 35,29 %.
Besaran pendapatan perkapita tersebut termasuk tinggi, apabila dihitung per-
bulan maka besarannya berkisar antara Rp.416.667,- sampai Rp.583.333,- atau
Rp.13.889,- sampai Rp.19.444,- per-hari.
Menurut data dari Biro Pusat Statistik (BPS) Daerah Istimewa
Yogyakarta, garis kemiskinan Daerah Istimewa Yogyakarta per-Maret 2018
adalah sebesar Rp.409.744,- perkapita per-bulan. Dalam melakukan pengukuran
terhadap tingkat kemiskinan, BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar.
Dengan demikian, kemiskinan dapandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar baik makanan maupun bukan
makanan. Garis kemiskinan yaitu batas minimum pengeluaran perkapita per-
41
bulan untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan yang akan
menggolongkan seseorang termasuk miskin atau tidak (Badan Pusat Statistik
Daerah Istimewa Yogyakarta, 2018). Apabila ukuran batas kemiskinan ini
dihitung dalam satuan tahun, maka garis kemiskinan di DIY berada pada angka
Rp.409.744,- x 12 bulan = Rp.4.916.928,-
Apabila batas garis kemiskinan ini dihubungkan dengan data
pendapatan perkapita responden yang tercantum pada Tabel 10, artinya
pendapatan perkapita dibandingkan dengan pengeluaran perkapita menurut BPS,
maka dapat dikatakan bahwa pendapatan perkapita lebih besar dari
Rp.5.000.000,- per tahun sudah bisa dikatakan sebagai batas tidak miskin karena
sudah melebihi batas garis kemiskinan DIY Tahun 2018 sebesar Rp.4.916.928,-.
Besarnya responden yang pendapatan perkapita nya lebih dari Rp.5.000.000,- per
tahun adalah sebanyak 16 (enam belas) orang atau sebesar 99 %. Artinya bahwa
setelah dikurangi untuk pengeluaran perkapita per-tahun, maka minimal masih
ada tabungan sebesar Rp.5.000.000,- - Rp.4.916.928,- = Rp. 83.072,- per-tahun
sampai dengan Rp.8.000.000 – Rp.4.916.928,- = Rp.3.083.072,- per-tahun.
Angka ini merupakan angka pendapatan perkapita setelah dikurangi pengeluaran
perkapita, artinya sudah merupakan pendapatan perkapita per-tahun bukan
pendapatan keluarga per-tahun.
Sebelum Tahun 2012, Desa Pagerharjo merupakan desa yang
tergolong rawan pangan karena tingginya persentase masyarakat miskin dan
berbagai masalah lain seperti kurangnya sarana dan prasarana kesehatan, sulitnya
akses keluar masuk desa akibat rendahnya sarana distribusi dan masih banyak
permasalahan lainnya. Mulai tahun 2012 oleh Pemerintah Daerah bekerjasama
dengan Pemerintah Desa menjadikan Desa Pagerharjo sebagai sasaran untuk
menjalankan Program Desa Mandiri Pangan. Bersama-sama dengan stakeholder
yang terkait, permasalahan Desa Pagerharjo dianalisis untuk diberikan solusinya.
Tidak hanya di bidang pertanian saja, melainkan juga di bidang kesehatan, sarana
dan prasarana, dan lain-lainnya. Beberapa tujuan dari Program Mandiri Pangan
42
yang diterapkan antara lain : a. memfasilitasi dan mendorong kegiatan
masyarakat dalam hal ketersediaan pangan, distribusi, dan peningkatan
kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan; b. melakukan
pendampingan dalam hal penguatan kelembagaan Lembaga Keuangan Desa
(LKD), dan penguatan peran Tim Pangan Desa (TPD); c. mewujudkan Desa
Pagerharjo menjadi Desa Mandiri Pangan dalam hal pemenuhan kebutuhan
pangan masyarakat desa serta penganekaragaman pangan sesuai dengan potensi
juga jondisi local (Repository.umy.ac.id). Khusus tujuan program
penganekaragaman pangan sesuai dengan kondisi lokal antara lain penanaman
massal tanaman tahunan yang menghasilkan di daerah-daerah berlereng
sekaligus dalam upaya untuk mencegah terjadinya erosi sehingga daerah-daerah
yang berada di bawahnya menjadi lebih aman. Salah satu hasil dari Program
Desa Mandiri Pangan di Desa Pagerharjo ini dapat dilihat dari peningkatan
pendapatan perkapita penduduk yang diwakili oleh para responden.
Apabila ditinjau dari Undang-undang Kesejahteraan Sosial dimana
kesejahteraan masyarakat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial, maka masyarakat Desa Pagerharjo bisa dikatakan sejaahtera.
Hal ini disebabkan karena dari segi material bisa terpenuhi yaitu tingkat
pendapatan perkapita yang berada di atas garis kemiskinan DIY. Kebutuhan
material yang berhubungan dengan pangan, sandang, papan, dan juga kesehatan
semua sarana dan prasarananya sudah tersedia di Desa Pagerharjo. Adapun
kebutuhan spiritual yang dihubungkan denga pendidikan, keamanan, dan
ketenteraman hidup, bisa dikatakan semua terpenuhi da nada di Desa Pagerharjo.
Dari kebutuhan-kebutuhan ini yaitu material, sosial, dan spiritual semua
terpenuhi, sehingga masyarakatnya meskipun bertempat tinggal di sekitar daerah
yang berlereng, tetap saja bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup beserta
dengan keluarganya masing-masing. Oleh karena itu segala fasilitas yang sudah
lengkap untuk menunjang kehidupan masyarakat di Desa Pagerharjo tentunya
43
harus dipertahankan keberadaannya sehingga masyarakat yang membutuhkan
akan fasilitas tersebut akan mudah bisa memanfaatkannya.
44
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Penggunaan Tanah di daerah berlereng di Desa Pagerharjo didominasi oleh
jenis penggunaan tanah pertanian tanah kering yaitu kebun campuran yang
antara lain ditanami tanaman kopi, cengkeh, coklat, teh, kelapa, pisang, jati,
dan sengon. Penggunaan Tanah di daerah berlereng ini tidak berdampak
langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, tetapi berdampak terhadap
kelestarian lingkungan khususnya pencagahan erosi, karena masyarakat
umumnya menanam tanaman tahunan di daerah berlereng dan hanya sebagian
kecil tanaman semusim yang ditanam.
2. Kesejahteraan masyarakat lebih disebabkan karena sebagian besar
masyarakatnya bermata pencaharian lebih dari satu, mayoritas berusaha di
bidang lain untuk menambah penghasilannya. Selain itu lengkapnya fasilitas
sosial yang ada di Desa Pagerharjo menyebabkan masyarakatnya mudah
dalam mengakses segala macam kegiatan.
B. Saran
1. Untuk menjaga kelestarian lingkungan, meskipun penggunaan tanah di daerah
berlereng sudah ditanami tanaman keras pencegah erosi, sebaiknya dalam
pengolahan tanah juga perlu diterapkan sistem terasering.
2. Perlu optimasi penggunaan tanah di daerah berlereng dengan melakukan
usaha tani yang lebih intensif lagi agar bisa menambah penghasilan
masyarakat sekaligus melestarikan lingkungan di sekitarnya.
45
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 2018, Berita Resmi Statistik Profil Kemiskinan Daerah Istimewa
Yogyakarta Maret 2018.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Hardjowigeno, Sarwono dan Widiatmaka. 2011, Evaluasi Kesesuaian Lahan &
Perencanaan Tata Guna Lahan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Jayadinata, Johara T. 1999, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan
Perkotaan & Wilayah, Penerbit ITB, Bandung.
Juni Suburi. 2001. Konsep Wilayah Tanah Usaha Sebagai Dasar Penataan Suatu
Wilayah. Buletin Balitbang Dephan Volume VI Nomor 7 Desember,
Jakarta.
Mosher, AT. 1987. Menggeraksn dan Membangun Pertanian, Yasaguna, Jakarta.
Pabundu Tika, Moh. 2005. Metode Penelitian Geografi, Penerbit Bumi Aksara,
Jakarta.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sadyohutono, Mulyono, 2016, Tata Guna Tanah dan Penyerasian Tata Ruang,
Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sony, 2008, Air dan Tanah Sumber Kehidupan, Majalah Rona Alam dan Kehidupan,
Jakarta.
Sandy, I Made, 1977. Penggunaan Tanah di Indonesia, Direktorat Tata Guna Tanah
Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri, Publikasi No.
75 Jakarta.
Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Penerbit
Alfabeta, Bandung.
Suripin, 2002, Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, Penerbit Andi, Yogyakarta.
46
Ritohardoyo, Su, 2013, Penggunaan dan Tata Guna Lahan, Penerbit Ombak,
Yogyakarta.
Waskito dan Hadi Arnowo, 2017, Pertanahan, Agraria dan Tata Ruang, Penerbit
Kencana, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah.
Website :
https:sonyssk.wordpress.com, diakses Agustus 2019
Repository.usu.ac.id., diakses November 2019
Repository.umy.ac.id., diakses November 2019
------------