kajian kemungkinan implementasi … utama dynamic provisioning adalah pemerataan (smoothing)...

62
1 WP/ 1 /2013 Working Paper KAJIAN KEMUNGKINAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DYNAMIC PROVISIONING DI INDONESIA Diana Yumanita, Justina Adamanti, Arsya Helmi Desember, 2013 Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat dan pandangan resmi Bank Indonesia.

Upload: dothu

Post on 12-Apr-2018

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

WP/ 1 /2013

Working Paper

KAJIAN KEMUNGKINAN IMPLEMENTASI

KEBIJAKAN DYNAMIC PROVISIONING

DI INDONESIA

Diana Yumanita, Justina Adamanti, Arsya Helmi

Desember, 2013

Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam

paper ini merupakan kesimpulan, pendapat dan pandangan penulis dan bukan

merupakan kesimpulan, pendapat dan pandangan resmi Bank Indonesia.

1

KAJIAN KEMUNGKINAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

DYNAMIC PROVISIONING DI INDONESIA

Diana Yumanita, Justina Adamanti, Arsya Helmi1

ABSTRAK

Pembentukan provisi perbankan bersifat procyclical, yaitu rendah pada saat ekspansi ekonomi dan tinggi pada saat krisis. Rendahnya pembentukan

provisi pada saat ekspansi ekonomi disebabkan oleh rendahnya kredit berkualitas buruk, sedangkan tingginya pembentukan provisi pada saat krisis disebabkan oleh meningkatnya kredit berkualitas buruk. Pola procyclical pada pembentukan provisi pada akhirnya dapat membebani bank ketika krisis terjadi karena bank harus membentuk provisi lebih tinggi dengan menggunakan profit.

Guna mengurangi procyclicality provisioning diperbankan, otoritas keuangan di beberapa negara mencoba mengatasinya dengan menerapkan dynamic provisioning. Tujuan utama dynamic provisioning adalah pemerataan (smoothing) pembentukan provisi sepanjang siklus ekonomi. Penerapan dynamic provisioning dipelopori oleh Spanyol pada tahun 2000, selanjutnya diikuti oleh Kolombia, Peru Uruguai, dan Bolivia. Dynamic provisioning mewajibkan bank untuk membentuk provisi tambahan berdasarkan formula tertentu sehingga bank diharapkan dapat membentuk provisi yang lebih besar pada saat ekspansi ekonomi untuk men-smoothing pembentukan provisi ketika ekonomi memburuk.

Dalam penelitian ini dilakukan empat simulasi penerapan dynamic provisioning dengan menggunakan data agregat perbankan Indonesia. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penerapan dynamic provisioning dapat mengurangi beban bank untuk membentuk provisi padasaat krisis. Hal itu ditunjukkan oleh profit dan CAR bank yang lebih tinggi pada saat krisis jika dibandingkan dengan tanpa penerapan dynamic provisioning. Selanjutnya, terdapat beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan untuk penerapan dynamic provisioning di Indonesia, di antaranya adalah pilihan mekanisme yang tepat dan belum adanya guideline dari BCBS terkait kebijakan tersebut.

Kata Kunci: Countercyclical, Dynamic Provisioning

Klasifikasi JEL: E44, E61, G21

1 Peneliti ekonomi senior, Peneliti ekonomi dan Peneliti ekonomi di Grup Riset dan

Pengaturan Makroprudensial (GRMP), Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP),

Bank Indonesia. Pendapat dalam paper ini merupakan pendapat penulis dan bukan

merupakan pendapat resmi DKMP atau Bank Indonesia. E-mail:

[email protected], [email protected]., dan [email protected]. Penulis mengucapkan terima kasih kepada peserta diskusi kajian ini pada tanggal 9

Januari 2014 atas masukannya yang dapat menyempurnakan penelitian ini.

2

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai lembaga intermediasi perilaku bank sangat dipengaruhi oleh

kondisi perekonomian yang sedang berlangsung. Saat kondisi ekonomi

boom, bank cenderung untuk menurunkan loan loss provision-nya sehingga

lebih banyak dana yang tersedia untuk disalurkan. Pada pasar kredit yang

kompetitif bank akan melonggarkan syarat pemberian kredit dan

menyalurkan kreditnya dengan suku bunga atau premi risiko yang

rendah/kompetitif. Kondisi tersebut membuka ruang timbulnya risiko

kredit ketika ekonomi memasuki tahap kontraksi. Studi sebelumnya yang

dilakukan oleh Angklomkliew, et al. (2009), Laeven dan Majnoni (2003),

Davis dan Zhu (2005), dan Bikker dan Metzemekers (2005) menunjukkan

bahwa perbankan cenderung untuk meningkatkan loan loss provision ketika

kondisi ekonomi menurun karena terjadi penurunan kualitas kredit atau

peningkatan risiko kredit. Praktik semacam itu akan menggerus modal

perbankan dan memaksa regulator untuk mewajibkan bank menambah

modalnya hingga pada level yang dapat menyerap unexpected loss yang

mungkin timbul.

Pada kondisi ekonomi yang menurun, bank akan mengalami

kesulitan untuk mendapatkan tambahan modal karena terbatasnya

likuiditas yang tersedia di pasar. Keadaan tersebut akan mendorong bank

menahan atau mengerem aktivitas penyaluran kredit. Hal itu berpotensi

memperburuk kondisi ekonomi yang sedang menurun karena kredit yang

diperlukan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi hanya tersedia

dalam jumlah terbatas. Praktik perbankan selama ini adalah meningkatkan

provisi ketika ekonomi menurun dan menurunkan provisi ketika kondisi

ekonomi membaik. Hal semacam itu merupakan salah satu pola procyclical.

Guna mengurangi procyclicality provisioning diperbankan, otoritas

keuangan di beberapa negara mencoba mengatasinya dengan menerapkan

dynamic provisioning. Tujuan utama dynamic provisioning adalah

melakukan pemerataan (smoothing) pembentukan provisi sepanjang siklus

3

ekonomi. Penerapan dynamic provisioning dipelopori oleh Spanyol pada

tahun 2000, selanjutnya diikuti oleh Kolombia, Peru, Uruguai, dan Bolivia.

Framework provisioning mewajibkan bank untuk membentuk provisi

tambahan berdasarkan formula tertentu sehingga bank diharapkan dapat

membentuk provisi yang lebih besar pada saat ekspansi ekonomi untuk

men-smoothing pembentukan provisi ketika ekonomi memburuk.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wimboh, et al. (2010),

pembentukan provisi di Indonesia juga bersifat prosiklikal. Hal itu

ditunjukan dengan koefisien negatif sebesar 0.65 antara provisi dan

pertumbuhan PDB (data perbankan periode 1995–2009). Berkaitan dengan

hal tersebut, kajian ini akan mencoba untuk menelaah kebijakan

makroprudensial dynamic provisioning yang telah diterapkan pada beberapa

negara dan melihat kemungkinannya untuk diterapkan di Indonesia. Selain

itu, beberapa pertanyaan menarik untuk dicermati dari penerapan

kebijakan provisi ini di negara lain, antara lain, adalah apakah penerapan

dynamic provisioning terbukti dapat mengurangi beban sektor perbankan

dalam pembentukan provisi pada saat ekonomi memburuk dan apakah

keberadaan dynamic provisioning mampu membantu terjadinya

countercyclicality kegiatan perbankan.

1.2 Tujuan Penelitian

Kajian ini berupaya untuk melihat kesesuaian penerapan dynamic

provisioning terhadap perbankan Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk:

(1) melakukan pendalaman pemahaman mengenai dynamic

provisioning dan penerapannya pada negara Spanyol, Kolombia,

dan Peru;

(2) melakukan tinjau ulang (review) terhadap kondisi pembentukan

provisi di perbankan Indonesia saat ini;

(3) menyusun simulasi dengan menggunakan data Indonesia untuk

melihat dampak penerapan kebijakan dynamic provisioning di

Indonesia, terutama terhadap profit dan permodalan bank; serta

(4) menentukan pola penerapan dynamic provisioning yang tepat bagi

Indonesia, termasuk di dalamnya adalah jenis penerapan

4

(individual/ industri), prosedur untuk mengaktifkan dan

menonaktifkan kebijakan (rule-based/discretion), dan formula

penghitungan tambahan provisi yang harus dicadangkan.

Hasil penelitian ini diharapkan akan mendukung BI dalam mengambil

keputusan untuk menerapkan kebijakan dynamic provisioing secara optimal

dan sesuai dengan kondisi yang ada.

1.3 Batasan Penelitian

Penelitian ini hanya membahas provisi yang dibentuk untuk aset

produktif yang berupa kredit karena kredit memiliki pangsa yang cukup

besar pada aset produktif perbankan, yaitu rata-rata 63.57% dalam 3 tahun

terakhir (2010--2012). Selain itu, kredit masih merupakan salah satu risiko

terbesar yang dihadapi perbankan ketika ekonomi mengalami perburukan.

Fokus penelitian ini cenderung menggali pemahaman tentang konsep dan

praktik dynamic provisioning yang telah diterapkan oleh negara lain untuk

mendesain konsep pengimplementasian dynamic provisioning yang tepat di

Indonesia.

1.4 Skema Penulisan

Organisasi penulisan ini adalah sebagai berikut. Bab 1 menjelaskan

latar belakang, tujuan, dan batasan penelitian. Bab 2 peninjauan ulang

kebijakan dynamic provisioning secara umum dan penerapannya di

Spanyol, Kolombia, dan Peru. Bab 3 peninjauan ulang kebijakan

pembentukan provisi yang digunakan di Indonesia hingga saat ini, yang

dilanjutkan dengan pemaparan metode dynamic provisioning yang

dirasakan sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Selanjutnya Bab 4 akan

menguraikan simulasi penerapan dynamic provisioning dengan

menggunakan data perbankan Indonesia. Sebagai penutup, bab 5 akan

memaparkan simpulan dan rekomendasi untuk penerapan dynamic

provisioning.

5

II. TINJAUAN LITERATUR

2.1 Tinjauan Umum Dynamic Provisioning

Provisi adalah penyisihan yang dibentuk untuk mengantisipasi

kerugian bank dari kegiatan intermediasi, di antaranya berupa penyaluran

kredit. Menurut pandangan umum perilaku pembentukan provisi bank

adalah prosiklikal, yaitu menguatkan pergerakan siklus bisnis yang sedang

berlangsung. Ketika kondisi membaik (booming) yang biasanya ditandai

dengan membaiknya kinerja perekonomian, meningkatnya pendapatan

masyarakat, dan membaiknya kemampuan bayar debitur, bank akan

menurunkan pembentukan provisinya. Hal itu sejalan dengan menurunnya

persentase provisi dibandingkan dengan total kredit. Pada akhirnya

pertumbuhan kredit akan mengalami peningkatan saat ekonomi membaik.

Jika perekonomian memburuk (kontraksi) atau bahkan resesi, bank

akan menurunkan kredit yang diberikan karena naiknya risiko kredit yang

dipersepsikan (supply side) dan pada saat yang sama terjadi penurunan

permintaan kredit (demand side) akibat melemahnya daya beli mesyarakat

yang berimbas pada kemampuan bayar debitur. Selanjutnya bank akan

menaikkan pembentukan provisi dengan menggunakan profit yang pada

akhirnya dapat menurunkan pembentukan modal. Secara umum

pembentukan provisi akan berkorelasi negatif dengan pertumbuhan

ekonomi dan modal akan berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi

yang kemudian menimbulkan prosiklikalitas (Laeven and Majnoni, 2003;

Bikker and Hu, 2002). Perilaku tersebut akan menguatkan siklus

perekonomian, baik ketika turun maupun ketika naik.

Selain itu, dalam kajiannya Terrier et al. (2011) dijelaskan perbedaan

antara pembentukan provisi dan capital buffer. Pembentukan provisi

bertujuan untuk menyerap kerugian yang sudah diharapkan (expected

loss), sedangkan pembentukan capital buffer bertujuan untuk melindungi

bank dari potensi kerugian yang akan terjadi pada masa yang akan datang

(unexpected loss). Hal itu menyebabkan pembentukan capital buffer yang

6

bersifat lebih fleksibel jika dibandingkan dengan pembentukan provisi.

Grafik 1. menunjukkan perbedaan pembentukan provisi dan capital buffer.

Sumber: Terrier et al. (2011)

Grafik 1. Pembentukan Capital Buffer and Provisioning

Pada dasarnnya tujuan utama Dynamic Provisioning adalah

meratakan (smoothing) besarnya provisi yang diterapkan oleh bank dengan

besaran yang tergantung pada kemampuannya menghilangkan efek

prosiklikalitas dan melakukan tindakan yang berlawanan dari kondisi

nomal, seperti meningkatkan provisi dalam kondisi baik dan menurunkan

besaran provisi dalam kondisi menurun. Seperti yang digambarkan pada

grafik 2 panel kiri, pembentukan provisi yang dilakukan oleh bank bersifat

prosiklikal, yaitu rendah pada saat ekspansi ekonomi dan tinggi pada saat

krisis. Penerapan dynamic provisioninig diharapkan dapat meningkatkan

pembentukan provisi pada saat ekspansi ekonomi melalui suatu

perhitungan yang dikalibrasi berdasarkan data historis sehingga ketika

krisis, provisi yang dibentuk tidak perlu tinggi. Grafik 2 panel kanan

menunjukkan pembentukan provisi yang cenderung flat.

7

Sumber: Fernandez & Herrero (2010)

Grafik 2. Siklus Provisioning Normal dan Dynamic Provisioning

Bikker dan Metzemakers (2003) meneliti hubungan provisioning

dengan siklus bisnis dengan menggunakan delapan ribu observasi bank di

negara-negara anggota OECD. Mereka menemukan bahwa provisioning

meningkat ketika GDP turun yang menunjukkan naiknya risiko portofolio

kredit. Namun, provisioning naik ketika laba bank makin besar (income

smoothing behavior) dan kredit tumbuh makin besar (risiko naik).

Angklomkliew (2009) melakukan studi dan menganalisis praktik loan loss

provisioning di beberapa negara Asia dan menyimpulkan manfaat utama

yang didapat dari praktik loan loss provisioning, yaitu sistem perbankan

yang lebih kuat.

Pada sisi lain terdapat pandangan bahwa terjadi akumulasi risiko

kredit yang semakin besar selama periode booming bersamaan dengan

makin longgarnya penilaian risiko kredit dan makin ketatnya persaingan

antarbank (Borio et al., 2001; Lowe, 2002). Situasi itu berpotensi untuk

memperburuk kondisi perekonomian ketika resesi terjadi (periode burst).

Untuk mengantisipasinya, bank dapat menerapkan provisioning yang

bersifat countercyclical2 dengan cara menaikkan provisioning pada saat

kondisi perekonomian boom dan memanfaatkannya pada saat

perekonomian memburuk. Dengan kata lain, pandangan countercyclical

2 Istilah countercyclical provisioning sering bergantian dengan dynamic provisioning, prudent

provisioning, atau statistical provisioning.

8

adalah bahwa pada level provisioning seharusnya dibuat berkorelasi positif

dengan siklus bisnis, yaitu bank harus mengidentifikasi pola cyclical risiko

kredit dan membentuk cadangan kerugian pada saat yang tepat.

Pola pembentukan provisi tambahan sesuai dengan konsep dynamic

provisioning menjadikan provisi tambahan sebagai countercyclical tool atau

dampener, yaitu mendistribusikan pembentukan provisi sepanjang siklus

ekonomi. Namun, kegagalan Spanyol dalam memperkirakan besarnya

provisi tambahan yang harus dibentuk untuk men-smoothing pembentukan

provisi pada masa krisis menimbulkan pemikiran bahwa dynamic

provisioning lebih bersifat sebagai buffer (Fernandez et.al., 2012). Grafik 3

menjelaskan perbedaan peran dynamic provision sebagai buffer dan

dampener. Ketika bersifat sebagai buffer, pembentukan provisi akan lebih

tinggi sepanjang siklus ekonomi jika dibandingkan tanpa provisi tambahan.

Hal itu dapat terjadi karena perburukan kualitas kredit yang terjadi pada

masa resesi melebihi perkiraan sehingga pembentukan provisi juga

mengalami kenaikan pada masa resesi walaupun telah dibentuk provisi

tambahan pada masa ekspansi ekonomi.

Grafik 3. Dynamic Provision sebagai buffer dan dampener

Karakteristik Implementasi Dynamic Provisioning

Implementasi dynamic provisioning memiliki beberapa karakteristik.

Ren (2011) mengategorikan jenis implementasi dari beberapa sisi

9

(selengkapnya pada tabel 2.1). Dua karakteristik yang utama adalah (i)

bagaimana mengaktifkan dan menonaktifkan akumulasi provisi tambahan

(apakah menggunakan formula (rule) atau diskresi) dan (ii) cakupan

implementasi (apakah spesifik per institusi atau sama untuk semua

institusi).

Tabel 1. Karakteristik Implementasi Dynamic Provisioning

Karakteristik Keterangan

Rule/discretion Seberapa besar tambahan provisi yang

harus dibentuk. Apakah dihitung

menggunakan formula (rule) atau

berdasarkan diskresi

Continuous/flexible Apakah akumulasi dan penggunaan

(proses on/off) dynamic provisioning

dilakukan sepanjang waktu atau

berdasarkan kondisi tertentu, misalnya

pertumbuhan ekonomi.

Criteria for buildup and

release

Apakah implementasi DP bersifat spesifik

untuk setiap institusi, atau sama untuk

semua institusi

Requirement based on

riskiness

by type of exposures

Tambahan provisi diterapkan sesuai

dengan resiko kredit, misalnya resiko

berdasarkan kelompok debitur atau

kualitas kredit

General/specific provision Apakah tambahan provisi

diimplementasikan pada general atau

specific provision

Sumber: dirangkum dari Ren (2011)

Sejalan dengan Ren, Wezel et al. (2012) mengategorikan mekanisme

implemenetasi dynamic provisioning menjadi tiga, yaitu (i) through the cycle

accumulation system, (ii) trigger-based surcharge system, dan (iii) expected

loss provisioning system. Pada mekanisme through the cycle accumulation,

10

digunakan formula (rule) yang implementasinya akan berbeda berdasarkan

kondisi institusi masing-masing. Umumnya perbedaan antarinstitusi

terletak pada waktu aktifiasi dan penonaktifan akumulasi provisi

tambahan, sedangkan untuk rate akumulasi provisi tambahan yang harus

dibentuk dapat berbeda atau sama untuk setiap institusi. Sistem ini

dianggap baik karena mempertimbangkan karakteristik individual bank,

tetapi kalibrasi yang dilakukan menjadi lebih rumit. Contoh negara yang

menerapkan sistem ini adalah Spanyol.

Mekanisme yang kedua adalah trigger-based surcharge system, yaitu

aktivasi dan penonaktifan akumulasi provisi tambahan dilakukan

berdasarkan trigger dari indikator makroekonomi dan finansial tertentu.

Penggunaan indikator tertentu mengakibatkan waktu yang sama untuk

aktivasi dan penonaktifan dynamic provisioning bagi semua institusi. Hal

tersebut memudahkan pembuat kebijakan, tetapi di sisi lain dapat

berdampak buruk pada individual institusi karena tidak semua institusi

(bank) siap untuk mulai membentuk provisi tambahan meskipun indikator

terpilih telah menyatakan situasi ekonomi yang kondusif. Contoh negara

yang menerapkan sistem ini adalah Peru dengan menggunakan PDB

sebagai indikator aktivasi dan penonaktifan dynamic provisioning.

Mekanisme yang ketiga adalah expected loss provisioning system.

Pada mekanisme ini akan dibentuk specific provision untuk setiap kredit

baru yang diberikan meskipun belum terdapat bukti impairment. Tujuan

pembentukan specific provision dalam setiap kredit baru adalah untuk

antisipasi kerugian. Keuntungan mekanisme ini adalah pembentukan

specific provision akan sesuai dengan karakter individu debitur yang akan

mempengaruhi kinerja kredit sehingga menjadi akurat. Kelemahan dari

sistem ini adalah apabila terjadi kesalahan estimasi rate provisi dapat

menyebabkan kelebihan atau kekurangan provisi secara umum, tetapi tidak

dapat dilakukan offset provisi antarportfolio. Selain itu, dibutuhkan data

terperinci dari setiap debitur bank untuk estimasi specific provision yang

harus dibentuk. Contoh negara yang menerapkan mekanisme ini adalah

Meksiko, probability of default dihitung menggunakan model regresi yang

11

menyertakan karakteristik debitur seperti jumlah total dan sisa pinjaman

serta jumlah keterlambatan bayar.

Alasan utama untuk memilih mekanisme provisi berdasarkan rule

adalah lebih objektif dan natural dibandingkan dengan berdasarkan

diskresi. Mekanisme ini dianggap sesuai ketika kredibilitas regulator masih

diragukan. Namun, sistem diskresi dianggap lebih fleksibel, terutama jika

kondisi perekonomian mengharuskan regulator untuk merespons situasi

secara lebih efektif. Kritikan utama pada provisi berdasarkan diskresi

adalah pada kemampuannya dalam menjaga kualitas dan independensi

diskresi yang diputuskan yang sering kali menjadi pertanyaan bagi

kalangan perbankan.

2.1 Penerapan Dynamic Provisioning di Spanyol, Kolombia, dan Peru

Dalam implementasinya dynamic provisioning harus menghadapi

beberapa isu utama. Pertama, bank sering kali menggunakan kebijakan

provisioning untuk melakukan earning management, yaitu income

smoothing. Beberapa studi empiris membuktikan bahwa provisioning

berhubungan positif dengan laba (earnings) (Greenwald and Sinkey, 1988;

Collins et al., 1995; Ahmed et al.,1999) meskipun fakta tersebut tidak

ditemukan pada penelitian lain (Beatty et al., 1995). Sejalan dengan

hipotesis income smoothing, studi lain di US memperlihatkan bahwa pasar

saham bereaksi negatif pada saat bank membuat perubahan level

provisioning yang besar (Docking, 1997). Kedua, standar akuntansi yang

berlaku saat ini (termasuk International Accounting Standar 39) menyatakan

bahwa item-item keuangan harus dinyatakan dan diakui berdasarkan apa

yang telah terjadi (evidence based), termasuk pengakuan adanya kerugian

atas kredit yang disalurkan bank dibandingkan dengan perkiraan kerugian

yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Prinsip ini membuat

dynamic provisioning yang bersifat forward looking menjadi tidak mudah

untuk diimplementasikan dan membuat kebijakan bank menjadi sedikit

terlambat dalam kontek siklus kreditnya.

Pada April 2009 financial stability board (FSB) menganjurkan

rumusan standar akuntansi agar dapat mengakui kerugian dalam suatu

12

siklus kredit pada periode lebih awal sehingga dapat mengurangi dampak

procyclicality pada loan provisioning (FSF, 2009)

Namun, terlepas dari berbagai isu yang melekat pada kebijakan dynamic

provisioning tersebut, beberapa negara sebagaimana telah disebutkan di

atas telah menerapkan kebijakan ini, seperti Spanyol, Colombia, dan Peru.

Dalam sub bab ini akan diulas secara lebih terperinci mengenai praktik

implementasi kebijakan dynamic provisioning pada ketiga negara tersebut.

2.1.1 Spanyol

Spanyol merupakan negara pertama yang mengimplementasikan

dynamic provisioning dan telah mengalami satu siklus ekonomi (ekspansi

dan kontraksi) sehingga banyak kajian dynamic provisioning mengacu pada

Spanyol. Implementasi dynamic provisioning dimulai pada tahun 2000,

kemudian direvisi pada tahun 2004.

Implementasi kebijakan ini dipicu oleh beberapa alasan, di antaranya

adalah (i) Spanyol pada tahun 1999 memiliki rasio loan loss provision

terendah di antara negara OECD, (ii) pembentukan provisi Spanyol bersifat

prosiklikal karena korelasi antara provisi dan PDB adalah -0.97 untuk

periode 1991–1999, dan (iii) Spanyol mengalami ekspansi ekonomi yang

belebihan pascabergabung dengan European Economic and Monetary (EMU)

dan mengadopsi Euro. Ekspansi juga dipicu oleh kondisi moneter yang

terlalu relaks, yaitu suku bunga acuan yang dipandang terlalu rendah (4%).

Ekspansi ekonomi yang berkepanjangan tercermin dari pertumbuhan

kredit domestik yang melonjak dari 5%--10% pada pertengahan 1990-an

menjadi di atas 15% pada 1998—2000. Selain itu, Spanyol juga mengalami

peningkatan permintaan domestik, khususnya investasi menjadi 3,5%.

Akibatnya, inflasi meningkat dari 1,9% pada tahun 1997 menjadi 2,2%

pada tahun 1999 dan menjadi 3,5% pada tahun 2000. Peningkatan harga

juga terjadi pada harga perumahan yang meningkat sekitar 10% dalam

periode yang sama. Kondisi tersebut diperparah dengan terjadinya

depresiasi Euro versus USD pada tahun awal EMU. Otoritas Spanyol

menyadari kondisi ekspansi ekonomi yang mulai overheating (memanas), di

13

sisi lain mereka tidak lagi memiliki kebijakan moneter dan nilai tukar. Oleh

karena itu, dipergunakan kebijakan makroprudensial, dynamic provisioning.

Implementasi dynamic provisioning diatur oleh The Banco de Espana,

bank sentral Spanyol. Tujuan utama implementasi dynamic provisioning

adalah (i) membatasi pertumbuhan kredit dengan menaikkan biaya

pemberian kredit baru (biaya yang dimaksud adalah provisi) dan (ii)

melindungi perbankan Spanyol dari kerugian yang lebih besar akibat

kemudahan yang diberikan bank dalam memberikan kredit pada periode

ekspansi ekonomi.

Sebelum implementasi dynamic provisioning, terdapat 2 jenis provisi,

yaitu generic provision dan specific provision. Besaran generic provision

adalah 1% dari stok kredit, sedangkan specific provision tergantung pada

kredit dengan kualitas buruk. Setelah implementasi dynamic provisioning,

terdapat tambahan statistical provision yang ditujukan untuk mengimbangi

specific provision dan besarnya tergantung dengan pertumbuhan kredit.

Dalam menghitung statistical provision yang harus dibentuk, bank dapat

menggunakan model internal yang disetujui regulator atau menggunakan

pendekatan standar berdasarkan set koefisien yang ditentukan oleh

regulator.

Mekanisme provisi yang baru ternyata menuai kritik karena (i)

lembaga akuntasi internasional berpendapat bahwa Spanyol melakukan

profit smoothing sepanjang siklus ekonomi dengan menutupi kondisi bank

yang sebenarnya dan (ii) lembaga keuangan (bank) Spanyol merasa

keberatan dengan pembentukan provisi yang tinggi dibandingkan dengan

negara kompetitornya sehingga mereka tidak lebih kompetitif dengan sistem

keuangan tunggal di Euro zone.

Kritisi yang terjadi memicu otoritas Spanyol untuk melakukan

reformasi kebijakan dynamic provisioning pada tahun 2004. Hal itu

didukung fakta bahwa provisi yang dibentuk telah berlebihan, yaitu

mencapai 2,5% dari total kredit dan kurang dari 0,5% dari total provisi

adalah specific provision. Selain itu, provisi telah mencapai 500% dari total

NPL.

14

Terdapat beberapa perubahan yang terjadi setelah revisi pada tahun

2004, statistical provision diintegrasikan ke dalam generic provision sehingga

hanya terdapat 2 jenis provisi, yaitu generic provision dan specific provision.

Besaran generic provision mengikuti formula dynamic provision, sedangkan

specific provision tergantung pada kredit dengan kualitas buruk. Dalam

menentukan besarnya generic provision yang harus dibentuk, bank dapat

mempergunakan formula yang dibuat oleh regulator atau menggunakan

model internal yang telah disetujui regulator. Namun, pada

perkembangannya semua bank memilih menggunakan model dari

regulator.

Adapun formula generic provision yang dikembangkan oleh regulator

adalah sebagai berikut.

𝑔𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑐 𝑝𝑟𝑜𝑣𝑖𝑠𝑖𝑜𝑛𝑡 = 𝛼. ∆𝐶𝑡 + (𝛽 −𝑠𝑝𝑒𝑐𝑖𝑓𝑖𝑐 𝑝𝑟𝑜𝑣𝑖𝑠𝑖𝑜𝑛𝑡

𝐶𝑡) 𝐶𝑡

(2.1)

Keterangan:

𝛼 = rata-rata kerugian kredit yang diestimasi berdasarkan resiko kredit

𝛽 = rata-rata historis specific provision untuk setiap jenis kredit

𝐶𝑡= stok kredit pada akhir periode t

∆𝐶𝑡 = 𝐶𝑡 − 𝐶𝑡−1

Ketika periode ekspansi berjalan, specific provision yang dibentuk

relatif rendah sehingga generic provision akan bernilai positif yang

merupakan masa akumulasi provisi tambahan bagi bank, sedangkan ketika

periode kontraksi, specific provision yang dibentuk relatif tinggi (seiring

dengan meningkatnya NPL) sehingga generic provision akan bernilai negatif

yang merupakan masa penggunaan provisi tambahan untuk mengurangi

beban bank membentuk specific provision. Adapun nilai untuk koefisien 𝛼

dan 𝛽 sesuai dengan risiko kredit tampak seperti pada Tabel 2. Dalam

menanggapi keluhan bank yang menjadi tidak kompetitif karena beban

pembentukan provisi tambahan, Spanyol menerapkan batasan maksimum

generic provision, yaitu 125% x 𝛼 x total kredit.

15

Tabel 2. Nilai 𝛼 dan 𝛽 sesuai dengan jenis risiko kredit

Jenis Risiko 𝜶 𝜷

No apparent risk 0,0% 0,00%

Low risk 0,6% 0,11%

Low- medium

risk

1,5% 0,44%

Medium risk 1,8% 0,65%

Medium – high

risk

2,0% 1,10%

High risk 2,5% 1,64%

Karakteristik utama dari implementasi dynamic provisioning Spanyol

bersifat through the cycle accumulation, yang mempergunakan formula yang

implementasinya tergantung dari kondisi tiap-tiap bank. Hal itu

menyebabkan implementasi bersifat spesifik untuk setiap bank. Akibatnya,

kalibrasi model membutuhkan informasi sangat detail yang berasal dari

credit register. Namun, dynamic provisioning gagal mengatasi krisis di

Spanyol. Pascarevisi tahun 2004 pertumbuhan kredit terus meningkat

hingga 25% pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2007 terjadi krisis

yang menyebabkan pertumbuhan PDB dan kredit menjadi negatif dan NPL

mengalami kenaikan sangat tinggi, yaitu sekitar 10 kali lipat. Akbiatnya,

provisi tambahan yang telah diakumulasi tidak mampu menutupi kenaikan

specific provision.

Adapun tiga penyebab kegagalan dari desain dynamic provisioning

Spanyol adalah (i) masa ekspansi ekonomi yang lebih panjang dari yang

diperkirakan, periode ekspansi berlangsung delapan tahun dari perkiraan

empat tahun, dan rata-rata tahunan pertumbuhan kredit diperkirakan

menjadi 16% dari yang diperkirakan sebesar 13%; (ii) krisis yang terjadi

jauh lebih parah dari yang diperkirakan, yaitu masih berlangsung hingga

saat ini dari perkiraan yang hanya 4 tahun. Selain itu, rata-rata tahunan

pertumbuhan kredit 6% dari perkiraan awal 1%; dan (iii) dynamic

provisioning bekerja asimetris, hanya berdampak sedikit/tidak ada sebagai

anti-cyclical efek pada masa krisis. Akibat bank tidak mempergunakan generic

16

provision untuk men-smoothing profit (menaikkan modal), persentase total

provisi terhadap kredit meningkat ketika pertumbuhan kredit menurun.

Pada tahun 2012 dilakukan perubahan terhadap sistem provisi, terutama

untuk real estate, tetapi informasi lengkap mengenai sistem baru belum

didapatkan.

2.1.2 Kolombia

Implementasi dynamic provisioning di Kolombia dimulai sejak 2007.

Latar belakang implementasi kebijakan itu adalah regulator merasa perlu

untuk membentuk provisi tambahan untuk kredit komersial dan konsumsi

yang memiliki pangsa kredit terbesar mencapai sekitar 90%. Setelah

implementasi, terdapat tiga jenis provisi, yaitu individual provision,

countercyclical provision, dan generic provision. Individual provision

ditujukan untuk kredit kualitas buruk yang besarnya sesuai dengan

karakteristik risiko untuk setiap debitur dan jenis kredit. Countercyclical

provision ditujukan untuk menutupi risiko kredit karena terjadi perubahan

pada siklus ekonomi. Selain itu, countercyclical provision memiliki

karakteristik yang sama dengan individual provision, sedangkan generic

provision besarnya minimal 1% dari total kredit dan dapat dipergunakan

untuk memenuhi countercyclical provision. Individual dan countercyclical

provision menggunakan balance account yang sama sehingga sempat

dikritisi karena generic provision menurun ketika terjadi peningkatan

individual provision yang disebabkan oleh peningkatan countercyclical

provision.

Pada implementasi tahun 2007, keputusan untuk akumulasi dan

penggunaan dynamic provisioning bersifat diskresi. Regulator menyusun

dua skenario, yaitu A dan B. Skenario A menggunakan data historis, yaitu

setiap skenario memiliki matriks default probability untuk setiap jenis

kredit dan debitur, sedangkan skenario B merupakan skenario kondisi yang

lebih beresiko jika dibandingkan dengan skenario A. Formula yang

digunakan untuk menghitung provisi adalah sebagai berikut.

𝑃 = 𝑂𝑉𝐿 × 𝑃𝐷 × 𝐿𝐺𝐷 (2.2)

17

Keterangan:

OVL = outstanding value of the loan; jumlah total kredit

PD = probability default

LGD = loss given default

Pada periode ekspansi ekonomi digunakan skenario A dan B untuk

menghitung individual dan countercyclical provision. Individual provision

dihitung dengan menggunakan skenario A dan countercyclical provision

dihitung dari selisih antara skenario B dan A, sedangkan pada periode

kontraksi ekonomi hanya digunakan skenario A untuk menghitung

individual provision dan tidak ada countercyclical provision. Penggunaan

countercyclical provision untuk mengompensasi kenaikan individual

provision pada masa kontrasi ekonomi ditentukan berdasarkan diskresi

regulator.

Pada perjalanannya sistem diskresi dikritisi karena menimbulkan

ketidakpastian yang tinggi. Pada tahun 2010 dilakukan revisi yang

menyebabkan implementasi beralih dari diskresi menjadi rules-based

system. Adapun revisi yang dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Indikator yang dipergunakan untuk menentukan kapan tambahan

provisi mulai diakumulasi atau digunakan.

Terdapat empat indikator untuk mengindikasi kontraksi ekonomi yang

digunakan untuk menentukan kapan tambahan provisi mulai

diakumulasi dan digunakan, yaitu

a. perburukan portfolio berdasarkan variasi yang terjadi pada

individual provisions

∆𝑃𝑟𝑜𝑣𝑖𝑠𝑖𝑜𝑛𝑠 = (𝑃𝑟𝑜𝑣𝑖𝑠𝑖𝑜𝑛𝑡

𝑃𝑟𝑜𝑣𝑖𝑠𝑖𝑜𝑛𝑡−3) − 1 ≥ 9%

(2.3)

b. efisiensi berdasarkan rasio antara provisions net of recoveries (PNR)

dan pendapatan bunga (𝐼 × 𝐶 = interest income)

𝑃𝑁𝑅

𝐼 × 𝐶≥ 17%

(2.4)

c. stabilitas berdasarkan rasio antara provisions net of recoveries dan

gross financial margin. 𝑀𝐹𝐵𝑎 = margin operasional sebelum

18

depresiasi dan amortisasi ditambah PNR kredit dan leasing

portfolio

0 ≤ (𝑃𝑁𝑅

𝑀𝐹𝐵𝑎) ≥ 42%

(2.5)

d. pertumbuhan dari portfolio kredit.

∆𝐶 =𝐶𝑡

𝐶𝑡−1− 1 < 23%

(2.6)

Akumulasi provisi dilakukan jika terdapat minimal 1 indikator tidak

terpenuhi. Jika dalam tiga bulan berturut-turut semua indikator terpenuhi,

provisi dapat digunakan.

2. Sistem provisi

Sistem provisi dibedakan sesuai dengan jenis kredit, yaitu sebagai

berikut:

(i) kredit komersial dan konsumsi: individual provision (procyclical

dan countercyclical) dan tidak ada generic provision, dan

(ii) kredit lainnya (terutama perumahan): individual provision dengan

sistem lama (hanya untuk non performing loan) dan generic

provision sebesar 1%.

Pada periode akumulasi, individual provision (procyclical dan

coutercyclical) menggunakan matriks default probability dari skenario B,

sedangkan pada periode penggunaan provisi, procyclical provisi tetap

diakumualsi, yaitu kredit dengan kualitas baik menggunakan matriks

default probability skenario A, sedangkan kredit dengan kualitas buruk

menggunakan matriks default probability skenario B.

Karakteristik utama implementasi dynamic provisioning di Kolombia

adalah peralihan dari diskresi menjadi rule-based system untuk akumulasi

dan pengguna provisi tambahan. Selain itu, pada awalnya implementasi

bersifat sama untuk semua bank, tetapi kemudian berubah menjadi

spesifik untuk setiap bank. Sebagai tambahan, countercyclical provision

bukan merupakan bagian dari generic provision seperti di Spanyol. Hal itu

berhubungan dengan tujuan untuk mengelola tax deductibility pada specific

19

provision. Tidak seperti di Spanyol, Kolombia tidak menerapkan batasan

maksimum untuk akumulasi countercyclical provision. Revisi mekanisme

dynamic provisioning menyebabkan sistem tersebut dinilai lebih demanding

jika dibandingkang dengan Spanyol karena hanya bank yang benar-benar

kesulitan yang dapat menggunakan provisinya (dicerminkan oleh indikator

ke-3).

2.1.3 Peru

Kebijakan dynamic provisioning di Peru mulai diaktifkan pada

November 2008 ketika pertumbuhan ekonomi dan kredit tercatat cukup

tinggi, yaitu 36% dan 9,8%. Tingginya pertumbuhan kredit pascakrisis

emerging market yang berakhir tahun 2003 menimbulkan kekhawtiran

bahwa pertumbuhannya bersifat unsustainable karena faktor kurang teliti

dalam asesmen pemberian kredit baru pada masa ekspansi ekonomi.

Dengan melihat kondisi tersebut, bank mulai membentuk provisi sukarela

untuk mengantisipasi jika terjadi kerugian, di samping generic provision

yang sudah ada.

Pada akhir 2008 provisi sukarela yang telah dibentuk oleh bank

diubah menjadi cyclical provision, yaitu aktivasi dan deaktivasinya

tergantung dari pertumbuhan PDB. Tujuan utama pembentukan cyclical

provision adalah menekan pertumbuhan kredit pada level yang lebih

moderat dan mengurangi probabilitas dari debitur yang over-indebtedness.

Setelah kebijakan dynamic provisioning diimplementasikan, terdapat

dua jenis provisi, yaitu generic dan cyclical. Cyclical provision merupakan

bagian dari generic provision, yaitu provisi tambahan yang diakumulasi

ketika berlangsung masa ekspasi ekonomi. Besarnya rate untuk setiap jenis

provisi dibedakan sesuai dengan kategori debitur, yaitu commercial, micro-

firm, consumers, dan mortage. Generic provision dibentuk untuk setiap

kredit baru yang diberikan, sedangkan cyclical provision merupakan provisi

tambahan yang hanya dibentuk pada masa kebijakan dynamic provisioning

diaktifkan. Secara sederhana, cyclical provision dibentuk ketika masa

ekspansi ekonomi dan dihentikan pada masa kontraksi ekonomi. Rate

provisi yang berlaku sejak Desember 2008 selengkapnya pada tabel 3.

20

Tabel 3. Aturan Provisi Peru Sejak Desember 2008

Jenis

Debitur

Rate Generic

Provision

Rate Cyclical

Provision *

Commercial 0,7 0,5

Micro-firms 1,0 0,5

Consumers 1,0 1,0

Mortgage 0,7 0,4

*tambahan provisi ketika dynamic provisioning diaktifkan

Sumber : SBS, Fernandez et.al., 2012

Adapun rate cyclical provision dikalibrasi dengan menggunakan data

krisis ekonomi pada akhir tahun 90-an sehingga rate tersebut merupakan

rate yang dianggap sesuai untuk keadaan buruk (stress situation). Hasil

akumulasi dari cyclical provision tidak dapat dipindahkan ke profit, tetapi

hanya dapat dipergunakan untuk mengurangi beban pembentukan provisi

ketika ekonomi mengalami kontraksi. Adanya cyclical provision diharapkan

dapat mengurangi pembentukan provisi ketika kontraksi ekonomi sehingga

profit relatif sama sepanjang siklus ekonomi.

Alasan utama menggunakan PDB sebagai trigger aktivasi dan

deaktivasi cyclical provision ialah data Peru menunjukkan bahwa

perubahan PDB mendahului kredit sebanyak 3 kuarter sehingga PDB

dianggap lebih sesuai sebagai leading indicator kerugian bank pada masa

yang akan datang.

Mekanisme penggunaan PDB untuk mengaktifkan akumulasi cyclical

provision diatur oleh regulator, yaitu Superintendecia de Banca, dan Seguros

y AFP (SBS). Cyclical provisioning diaktifkan ketika PDB melebihi threshold

tertentu yang penghitungannya melibatkan estimasi pertumbuhan potensial

keluaran (output). Gambar 2.4 menjelaskan 3 kondisi aktivasi cyclical

provision, yaitu (i) ketika pertumbuhan PDB meningkat dari kurang dari 5%

menjadi di atas 5%, (ii) ketika pertumbuhan PDB di atas 5% dan selama 12

bulan lebih tinggi dari 2% dibandingkan satu tahun yang lalu, dan (iii)

ketika akumulasi cyclical provision telah dideaktivasi selama 18 bulan.

21

Gambar 1 . Aktivasi Cyclical Provision

Karakteristik utama implementasi kebijakan dynamic provisioning di

Peru bersifat trigger-based surcharge system dengan indikator utama

pertumbuhan PDB. Selain itu, implementasi bersifat menyeluruh (sistemik)

dan tidak bergantung pada perilaku tiap-tiap bank. Dampaknya terhadap

bank menjadi tidak simetris karena dapat saja terjadi bahwa bank yang

lebih prudent akan meningkatkan provisinya.

Dalam rangka meningkatkan keakuratan asesmen dan manajemen

risiko, pada tahun 2010 regulator finansial di Peru memutuskan untuk

menambah kategori debitur bank. Kategori dan rate provisi selengkapnya

tampak pada Tabel 4.

Tabel 4. Aturan Provisi Peru Sejak Desember 2008

Jenis Debitur Rate Generic Provision Rate Cyclical

Provision *

Corporate 0,7 0,40

Larger firms 0,7 0,45

Medium firms 1,0 0,30

Small firms 1,0 0,50

Micro firms 1,0 0,50

Consumer revolving 1,0 1,50

Consumer nonrevolving 1,0 1,00

Mortgage 0,7 0,40

*tambahan provisi ketika dynamic provisioning diaktifkan

Sumber: SBS, Fernandez et.al., 2012

22

Dalam hal pajak, cyclical provision tidak terhindar dari pajak karena

merupakan bagian dari generic provision yang tidak tax deductible.

3. Lessons Learned

Dengan melihat latar belakang dan karakteristik implementasi

dynamic provisioning di Spanyol, Kolombia, dan Peru, terdapat beberapa hal

penting yang perlu dicermati, yaitu sebagai berikut.

1. Pengalamanan Spanyol menunjukkan bahwa proyeksi kerugian bank

akibat resiko kredit (kapan dan seberapa besar) menjadi penting dalam

memutuskan seberapa besar provisi tambahan yang harus dibentuk

melalui mekanisme dynamic provisioning. Selain itu, pembatasan total

akumulasi dynamic provisioning terbukti memiliki kelebihan dan

kekurangan. Kelebihannya ialah bank tidak terbebani untuk membentuk

provisi tambahan sehingga tetap kompetitif jika dibandingkan dengan

bank di negara sekitar, sedangkan kekurangannya ialah provisi

tambahan kemungkinan menjadi tidak cukup ketika krisis ekonomi yang

terjadi lebih lama dari yang diperkirakan. Akibatnya, dynamic

provisioning tidak sepenuhnya mampu meringankan beban bank dalam

membentuk provisi pada saat NPL meningkat tinggi.

2. Dalam menentukan mekanisme dynamic provisioning, terdapat dua hal

penting, yaitu sebagai berikut.

a. Apakah bersifat spesifik atau sama untuk setiap bank

Kebijakan dynamic provisioning yang bersifat spesifik untuk setiap

bank diterapkan oleh Spanyol. Kelebihan sistem ini adalah

mempertimbangkan karakteristik dan kondisi setiap bank, sedangkan

kekurangannya adalah membutuhkan informasi dan data yang detail

untuk kalibrasi model.

Kebijakan dynamic provisioning yang bersifat sama untuk setiap bank

diterapkan oleh Peru. Pengimplementasian mekanisme ini lebih

mudah, tetapi sebagai kekurangannya dapat berdampak pada

asimetris pada bank karena bank yang lebih prudent justru akan

meningkatkan provisinya.

23

b. Apakah digunakan formula (rule) atau diskresi untuk memutuskan

waktu akumulasi dan penggunaan dynamic provisioning.

Pada mulanya Kolombia menerapkan sistem diskresi untuk

memutuskan waktu akumulasi dan penggunaan dynamic

provisioning, tetapi kemudian diubah berdasarkan sejumlah rule

karena sempat menimbulkan ketidakpastian.

Dari uraian implementasi di tiga negara, terdapat dua jenis

implementasi penggunaan rule untuk pemutusan waktu akumulasi dan

penggunaan dynamic provisioning, yaitu bersifat spesifik atau bersifat sama

untuk setiap bank. Negara yang menerapkan aturan spesifik untuk setiap

bank adalah Spanyol dan Kolombia setelah revisi pada tahun 2010,

sedangkan negara yang menerapkan aturan sama untuk semua bank

adalah Peru.

Kelebihan penerapan rule spesifik untuk setiap bank adalah sesuai

dengan kondisi setiap bank sehingga dapat menghindari situasi ketika

terdapat bank yang belum sehat, tetapi harus memulai proses akumulasi

provisi tambahan. Namun, dibutuhkan pengawasan yang lebih detail dalam

implementasinya karena bank tidak serempak dalam hal waktu akumulasi

dan penggunaan dynamic provisioning. Selain itu, apabila digunakan

indikator dalam rule, perlu diperhatikan kesesuaian indikator tersebut

sebagai indikator kondisi kesehatan bank pada khususnya dan kondisi

ekonomi pada umumnya.

4. Beberapa Simulasi Dynamic Provisioning

Terdapat beberapa penelitian yang mencoba untuk menyimulasikan

implementasi kebijakan dynamic provisioning, di antaranya ialah Wezel et

al. (2012), Balla dan Mc. Kenna (2009), dan Burroni et al. (2009). Dalam

studinya, Wezel et al. (2012) melakukan evaluasi dan simulasi atas dampak

penerapan dynamic provisioning terhadap tingkat kehati-hatian perbankan

di Chili. Terdapat dua metode provisi yang dipertimbangkan di dalam studi

itu, yaitu metode Spanyol dan Peru. Seperti yang telah dijelaskan pada

penerapan dynamic provisioning di Spanyol, formula yang digunakan untuk

24

akumulasi dan penggunaan provisi tambahan terintegrasi dalam general

provision dengan mempertimbangkan (i) ekspektasi loss di dalam total

penyaluran kredit baru dan (ii) rata-rata provisi disepanjang siklus terhadap

total kredit yang masih outstanding pada akhir periode (setelah di-nett off

dengan specific provision). Jika dibandingkan dengan Spanyol, Peru

menggunakan metode yang lebih sederhana, yaitu menggunakan

persentase provisi yang harus diakumulasi pada saat ekspansi. Kedua

metode tersebut kemudian dievaluasi pada data agregat dan individual

bank.

Simulasi dilakukan dengan membandingkan distribusi provisi yang

dibentuk dengan menggunakan metode simulasi Monte Carlo dari 20.000

loan loss yang terjadi dalam rentang periode 6,5 tahun, baik dalam dynamic

provisioning maupun tanpa dynamic provisioning. Simulasi tersebut berhasil

menunjukkan bahwa penerapan dynamic provisioning menyebabkan tingkat

distribusi provisi yang lebih baik dan landai. Hal itu menunjukkan bahwa (i)

pembentukan provisi menjadi lebih smooth serta (ii) kemungkinan bank

mengalami kekurangan provisi semakin kecil. Secara umum, Wezel

menyimpulkan bahwa dynamic provisioning dapat (i) men-smoothing biaya

provisioning sepanjang siklus perekonomian, baik secara agregat maupun

secara individu perbankan dan (ii) menyebabkan penurunan tingkat

probability of default.

Grafik 4.Perbandingan distribusi provisi dengan

dynamic provisioning atau tanpa dynamic provisioning

Balla dan Mc Kenna (2009) membahas perbandingan antara sistem

provisioning dan metode incurred loss. Perbandingan dilakukan dengan

25

menggunakan simulasi neraca bank yang menggunakan data agregat

perbankan Amerika Serikat tahun 1993–2008. Skenario simulasi yang

dilakukan dengan menggunakan dynamic provisioning dan incurred loss

provisioning.

Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa bank mampu

menahan laju loan loss dengan lebih baik ketika bank

mengimplementasikan dynamic provisioning. Hal tersebut ditunjukkan

dengan pembentukan provisi bank sebesar 3,9% dari total kredit pada

skenario dynamic provisioning yang dibandingkan dengan 1,7% dari total

kredit pada skenario incurred loss. Bahkan, total profit perbankan pada

skenario dynamic provisioning menunjukkan level yang lebih tinggi pada

saat siklus perekonomian turun jika dibandingkan dengan skenario

incurred loss. Hal itu terjadi karena bank telah mempersiapkan lebih

banyak provisi pada saat siklus ekonomi naik sehingga pada saat siklus

turun, bank tidak harus menggerus profit yang terbentuk untuk

mengompensasi kenaikan loan loss.

Grafik 5 . Tingkat profit perbankan AS pada skenario DP vs incurred loss

Burroni et al. (2009) melakukan simulasi atas perilaku dynamic

provisioning di Spanyol dengan langkah sebagai berikut: (i) membentuk

model expected loss, (ii) melakukan formulasi generic provision, specific

provision, dan dynamic provision, serta (iii) melakukan simulasi atas

perilaku dynamic provisioning pada tingkat pertumbuhan kredit dan NPL

26

tertentu. Simulasi tersebut mampu menunjukkan bahwa specific provision

berperilaku sangat cyclical, sedangkan dynamic provision yang secara

konstruksi berperilaku countercyclical mampu menstabilkan pembentukan

total provisi di sepanjang siklus perekonomian. Di dalam penelitian ini

Burroni et al. membandingkan antara dynamic provisioning—yang

terbentuk dengan metode Spanyol—dan metode model expected loss

(Turner). Secara umum penelitian ini menyimpulkan bahwa dynamic

provisioning dapat menyebabkan perilaku provisioning bank menjadi (i) lebih

countercyclical sehingga bank memiliki provisi yang cukup ketika siklus

ekonomi turun, dan (ii) cenderung mempertahankan tingkat penyaluran

kredit ke sektor nonkeuangan. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa di

antara metode-metode dynamic provisioning yang dapat diterapkan, metode

yang paling cocok diterapkan hanyalah model expected loss.

27

III. KEBIJAKAN PROVISIONING DAN KONDISI PERBANKAN

DI INDONESIA

3.1 Kebijakan Provisioning di Indonesia

Secara umum kebijakan penetapan besaran provisi untuk aset

produktif, khususnya kredit yang disalurkan oleh bank, mengalami

perubahan sesuai dengan perubahan standar ketentuan akuntansi. Secara

garis besar ketentuan pembentukan provisi di Indonesia dapat

dikelompokan berdasarkan periode sebelum dan sesudah pemberlakuan

PSAK 55 revisi 2006 mengenai Instrumen Keuangan: Pengakuan dan

Pengukuran.

Pemberlakuan PSAK 55 revisi 2006 telah membawa perubahan yang

sangat mendasar bagi core system perusahaan serta praktik akuntansi yang

berlaku di Indonesia. Terutama adalah perubahan prinsip dari rule based

menjadi principle based. Pada prinsip rule based provisi dibentuk sesuai

dengan aturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sedangkan pada

principle based, provisi hanya dapat dibentuk apabila terdapat bukti

penurunan nilai aset keuangan dari nilai awal (impairment). Perubahan

mekanisme pembentukan provisi dimuat di dalam PBI No. 14/15/PBI/2012

tanggal 24 Oktober 2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.

Sebelum mengadopsi sistem provisi berdasarkan impairment,

perhitungan provisi untuk kredit dikenal dengan istilah penyisihan

pencadangan aktiva produktif (PPAP) yang didasarkan pada ketentuan Bank

Indonesia yang merujuk pada kualitas kredit yang dimiliki bank. Terdapat

lima kategori kualitas kredit, yaitu (i) lancar, (ii) dalam perhatian khusus,

(iii) kurang lancar, (iv) diragukan, dan (v) macet. Rate provisi yang harus

dibentuk sesuai dengan peraturan Bank Indonesia selengkapnya tampak

pada Tabel 5.

28

Tabel 5. Rate Provisi sesuai Peraturan Bank Indonesia

Kualitas Kredit

Provisi

Cadangan

Umum

Cadangan

Khusus*

Lancar 1%

Dalam perhatian

khusus

5%

Kurang lancar 15%

Diragukan 50%

Macet 100%

* untuk kualitas kredit kurang lancar, diragukan, dan

macet, besarnya rate provisi dikalikan kredit – nilai

agunan

Setelah pemberlakuan PSAK 55 revisi 2006, istilah PPAP kemudian

diubah menjadi cadangan kerugian penuruan nilai3 (CKPN). Perbedaan

mendasar antara PPAP dan CKPN adalah bahwa CKPN hanya dibentuk jika

terdapat bukti objektif bahwa debitur mengalami impairment. Berbeda

dengan PPAP yang didasarkan pada peraturan Bank Indonesia,

pembentukan CKPN didasarkan pada evaluasi setiap bank terhadap

debiturnya. Akibatnya, setiap bank dapat memiliki kebijakan yang berbeda

dalam membentuk cadangan provisi untuk kredit yang disalurkannya.

Akan tetapi, kebijakan bank tersebut tetap mengacu pada kriteria yang

telah ditetapkan oleh Pedoman Akuntansi Perbakan Indonesia (PAPI)

setelah adanya revisi PSAK 55 revisi 2006.

Meskipun CKPN tidak bersifat rule based, sesuai dengan PBI No.

14/15/PBI/2012, bank wajib menghitung penyisihan penghapusan aset

(PPA) yang merupakan PPAP. Aturan yang digunakan untuk menghitung

PPA sama dengan aturan perhitungan PPAP terdahulu. Selisih antara

perhitungan PPA dan CKPN yang telah dibentuk dapat mempengaruhi rasio

kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM). Apabila PPA yang dihitung

nilainya lebih besar daripada CKPN yang telah dibentuk, bank wajib

3 Penurunan nilai adalah kondisi terdapat bukti objektif terjadinya peristiwa yang

merugikan sebagai akibat dari satu atau lebih peristiwa yang terjadi setelah pengakuan

awal kredit tersebut. Peristiwa yang merugikan tersebut berdampak pada estimasi arus

kas masa datang atas aset keuangan atau kelompok aset keuangan yang dapat

diestimasi secara andal.

29

menutup kekurangannya dengan menggunakan modal sehingga akan

menjadi pengurang modal dalam perhitungan KPMM. Sebaliknya, apabila

nilai PPA sama dengan atau lebih kecil dari CKPN yang dibentuk, bank

tidak perlu memperhitungkan PPA dalam perhitungan rasio KPMM.

Berdasarkan PAPI revisi 2008, terdapat dua metode untuk

menghitung besarnya CKPN yang perlu dibentuk, yaitu (i) individual dan (ii)

kolektif. Perbedaan mendasar kedua metode tersebut ialah sebagai berikut.

Pada metode individual, bank dapat melakukan prediksi terhadap kondisi

debitur pada masa yang akan datang sehingga dapat menentukan besarnya

CKPN yang harus dibentuk jika diperlukan, sebaliknya pada metode

kolektif, bank tidak dapat melakukan hal tersebut. Debitur yang

menggunakan metode individual misalnya adalah perusahaan, sedangkan

yang menggunakan metode kolektif misalnya adalah debitur kartu kredit.

Berikut adalah penjelasan lebih detail untuk kedua metode tersebut.

1. Metode Individual

Setiap bank dapat memilih perhitungan untuk mengukur nilai CKPN

individual berdasarkan data historis debitur dengan menggunakan

metode seperti di bawah ini:

a. discounted cash flow, yaitu estimasi arus kas masa yang akan

datang (pembayaran pokok + bunga) yang didiskontokan dengan

suku bunga;

b. fair value of collateral, yaitu memperhitungkan nilai arus kas atas

jaminan atau agunan pada masa yang akan datang; atau

c. observable market price yang ditentukan berdasarkan harga pasar

dari kredit tersebut.

2. Metode Kolektif

Setiap bank dapat memilih beberapa ketentuan dalam menentukan

nilai CKPN pada kelompok kolektif ini sebagai berikut:

a. dilihat dari perhitungan arus kas kontraktual kreditur pada masa

yang akan datang.

b. dilihat dari perhitungan tingkat kerugian historis dari kredit

debitur setelah dikurangi tingkat pengembalian kreditnya.

30

Selain metode perhitungan, PSAK 55 juga mengatur beberapa hal yang

terkait, yaitu sebagai berikut.

1. Identifikasi bukti objektif penurunan nilai

Penetapan peristiwa-peristiwa yang memenuhi kriteria sebagai bukti

objektif terjadinya penurunan nilai yang didasarkan pada

pengalaman, trend historis (experience credit judgement), dan

informasi yang tersedia selama ini disertai dengan analisis dasar

perhitungan. Di samping itu faktor lain yang dapat dipertimbangkan

oleh tiap-tiap bank dalam menentukan ada atau tidaknya bukti

objektif penurunan nilai yang telah terjadi dapat dilihat pada aspek

likuiditas, solvabilitas, dan eksposur risiko usaha dan risiko

keuangan pihak debitur atau pihak penerbit, trend dan kondisi

ekonomi lokal dan nasional, serta informasi lain yang mendukung.

Hal tersebut harus didokumentasikan dalam kebijakan bank masing-

masing.

Penetapan peristiwa-peristiwa yang memenuhi kriteria sebagai bukti

objektif terjadinya penurunan nilai didasarkan pada pengalaman,

trend historis (experience credit judgement), dan informasi yang

tersedia disertai dengan analisis dasar perhitungan. Faktor lain yang

dapat dipertimbangkan oleh bank dalam menentukan bukti objektif,

antara lain dari sisi likuiditas, solvabilitas dan risiko usaha, risiko

keuangan pihak debitur, kondisi ekonomi lokal dan nasional, serta

informasi lain yang mendukung. Selanjutnya, harus dilakukan

pendokumentasian terhadap metode yang dipergunakan oleh bank

untuk pengidentifikasian bukti objektif penurunan nilai.

2. Signifikansi aset keuangan

Penetapan kriteria dalam peengidentifikasian ada atau tidaknya

penurunan nilai dari aset keuangan tersebut dilakukan secara

individual atau secara kolektif/kelompok.

3. Periode evaluasi

Setiap bank dapat menetapkan periode evaluasi dengan batasan

setiap akhir triwulan. Apabila terdapat bukti objektif penurunan nilai

sebelum tanggal evaluasi tersebut, bank wajib melakukan estimasi

31

kembali atas arus kas pada masa datang dan CKPN yang dibentuk

tanpa harus menunggu tanggal evaluasi berikutnya.

Secara ringkas, Tabel 6. menyajikan perbandingan antara perhitungan PPA

dan CKPN.

Tabel 6. Perbedaan Perhitungan PPAP dan CKPN.

Perhitungan PPAP Perhitungan CKPN

Nilai Penyisihan atau cadangan =

Kredit x persentase provisi

berdasarkan kualitas kredit.

Nilai Penyisihan atau cadangan =

Nilai tunggakan kredit sebelum –

Nilai tunggakan kredit sesudah

terjadinya impairment (penurunan

nilai), dimana :

Perlu pengecekan apakah

terdapat bukti obyektif

penurunan nilai (impairment).

Perhitungan CKPN dapat

dilakukan secara individual atau

kolektif/ kelompok.

PPAP terhadap aktiva produktif =

PPAP yang dibentuk/Total Aktiva

Produktif

Cakupan komponen AP sesuai

ketentuan kualitas AP yang berlaku

Angka dihitung perposisi (tidak

disetahunkan)

Pemenuhan PPAP =

PPAP yang telah dibentuk/PPAP

yang wajib dibentuk

Apabila CKPN yang dibentuk kurang

dari perhitungan PPA, akan

digunakan modal untuk menambah

kekurangannya.

Kondisi Perbankan di Indonesia

Secara umum pertumbuhan kredit industri perbankan mengalami

tren meningkat selama 2001–2012. Rata-rata pertumbuhan adalah 20,8%

dan pada tahun 2012 sebesar 23,1%.

32

Grafik 6. Perkembangan Kredit Periode 2001–2012

Meskipun sempat mengalami beberapa krisis ekonomi, NPL

cenderung memiliki tren menurun. Peningkatan NPL hanya terjadi pada

saat mini crisis 2005 akibat kenaikan harga bbm. Rata-rata NPL pada

periode 2001–2012 adalah 5,2%, yaitu pada tahun 2012 NPL hanya

berkisar sekitar 1,9%.

Grafik 7. Perkembangan NPL/Kredit Periode 2001–2012

Sementara itu, profit industri perbankan cenderung memiliki tren

meningkat, meskipun sempat menurun pada tahun 2005 dan 2008.

Tingginya pertumbuhan kredit disertai dengan tren penurunan NPL dan

peningkatan profit menandakan pada periode 2001–2012 Indonesia berada

pada periode ekspansi ekonomi.

33

Grafik 8.Perkembangan NPL/Kredit Periode 2001–2012

Secara rata-rata pembentukan provisi cenderung tinggi, yaitu berada

pada kisaran 112% terhadap NPL. Namun, rendahnya NPL menyebabkan

terdapat kemungkinan bank harus menggunakan banyak profit untuk

membentuk provisi ketika terjadi kenaikan NPL yang signifikan pada saat

terjadi krisis.

Grafik 9. Perkembangan NPL/Kredit Periode 2001–2012

Apabila NPL meningkat hingga 100% (menjadi sekitar 4% terhadap

kredit), bank dapat mengalami kesulitan untuk membentuk provisi yang

meningkat seketika karena rata-rata profit/NPL adalah 92% dengan posisi

tertinggi pada tahun 2012 sebesar 183%.

34

Grafik 10. Perkembangan Profit/NPL Periode 2001–2012

Dengan merujuk pada konsep provisi sebelum diberlakukannya PBI

No. 14/15/PBI/2012, terdapat cadangan umum dan cadangan khusus

yang dibentuk berdasarkan kententuan yang dikeluarkan oleh Bank

Indonesia. Meskipun besaran cadangan umum dan khusus terus

meningkat secara nominal, seiring dengan meningkatnya penyaluran kredit,

persentase kedua provisi tersebut terus menurun terhadap total kredit.

Grafik 11. Perkembangan Profit/NPL Periode 2001–2012

35

IV. SIMULASI PENERAPAN DYNAMIC PROVISIONING

Untuk melihat dampak dari implementasi kebijakan dynamic provisioning,

dilakukan simulasi menggunakan data perbankan Indonesia pada beberapa

skenario implementasi.

4.1 Data dan Metodologi

Data yang dipergunakan untuk simulasi adalah data tahunan

industri (agregat) perbankan Indonesia periode 2001–2012 yang bersumber

dari neraca dan laporan laba rugi dari laporan bank umum.

Kerangka dasar simulasi adalah FSAP credit risk stress testing yang

menggunakan balance sheet approch, yaitu kenaikan NPL akan

mengakibatkan kenaikan provisi yang pada akhirnya akan mengurangi

profit dan modal (tercermin dari penurunan CAR). Untuk mengakomodasi

implementasi kebijakan dynamic provisioning, dilakukan modifikasi

terhadap kerangka FSAP credit risk stress testing.

Selanjutnya dengan menggunakan kerangka FSAP yang telah

dimodifikasi, akan dibandingkan antara baseline (yaitu kondisi tanpa

implementasi dynamic provisionig) dan beberapa skenario yang merupakan

kondisi dengan implementasi dynamic provisioning. Hasil pembandingan

provisi, profit dan CAR bank, tersebut akan tampak bahwa apakah kondisi

perbankan akan menjadi lebih baik atau tidak ketika digunakan

implementasi dynamic provisioning pada saat krisis ekonomi terjadi.

4.2 Pembentukan Data Hypothetical

Simulasi kebijakan dynamic provisioning memerlukan data yang

menunjukkan kondisi krisis karena kebijakan ini akan terlihat manfaatnya

ketika kondisi krisis sedang terjadi. Kondisi industri perbankan yang terus

membaik selama periode 2001–2012 menyebabkan tidak terdapat data

aktual yang dapat dipergunakan untuk simulasi mekanisme dynamic

provisioning di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk tujuan simulasi mekanisme

36

implementasi dynamic provisioning di Indonesia, akan diciptakan data

hypothetical dari data aktual dengan tahapan sbb:

1. menetapkan periode 2001–2009 sebagai periode ekspansi ekonomi

(good times) dan periode 2010–2012 sebagai periode kontraksi

ekonomi (bad times);

2. meningkatkan NPL sebesar 25% (2010), 50% (2011), dan 100%

(2012); dan

3. meningkatkan pembentukan provisi, sesuai dengan peraturan Bank

Indonesia (PPA sebagai minimal provisi yang harus dibentuk oleh

bank).

Total peningkatan NPL pada data hypothetical adalah Rp87,8 triliun

dan terdapat kekurangan provisi sebesar Rp66,6 triliun. Apabila

dibandingkan dengan data yang aktual, NPL/kredit pada data hypothetical

menjadi lebih tinggi. Grafik 9 menunjukan NPL/kredit pada data

hypothetical yang lebih tinggi daripada data aktual. Selanjutnya, data

hypothetical itu disebut dengan baseline.

Tabel 7. Perbandingan NPL/Kredit antara Data Aktual dan Data

Hypothetical

NPL/Kredit 2010 2011 2012

Aktual 2,56% 2,17% 1,94%

Hypothetical 3,20% 3,25% 3,89%

Grafik 12. NPL/ Kredit Aktual vs Grafik 13. Provisi Aktual vs Baseline

37

Baseline

Grafik 14. Profit Aktual vs Baseline

Grafik 15. Aktual vs Baseline

Grafik 9 – 12 memperlihatkan perbedaan antara data aktual dan

baseline untuk provisi, profit, dan CAR. Provisi mengalami kenaikan pada

saat bad time. Pola pembentukan provisi pada baseline menunjukkan pola

procyclicality, yaitu rendah pada saat ekspansi ekonomi dan tinggi pada

saat ekonomi memburuk. Profit mengalami tren perlambatan pada saat bad

time. Hal itu terjadi karena bank menggunakan profit untuk membentuk

provisi yang lebih tinggi akibat kenaikan NPL. Penurunan profit

menyebabkan akumulasi modal bank mengalami penurunan. Sebagai

akibatnya, CAR data hypothetical lebih rendah jika dibandingkan dengan

data aktual. Namun, simulasi tersebut tidak dapat terlepas dari Lucas

Critique, yaitu skenario baseline tidak mempertimbangkan semua reaksi

endogen yang seharusnya terjadi pada saat krisis ekonomi terjadi.

4.3 Metode Akumulasi Dynamic Provisioning

Akumulasi provisi tambahan dari dynamic provisioning bersifat

seperti tabugan yang dikumpulkan dari tahun ke tahun dan akan

dipergunakan pada kondisi krisis. Adapun formula umumnya adalah

sebagai berikut:

∆𝐷𝑃𝑡 = 𝑓(𝑃_∆𝐷𝑃𝑡), dengan keterangan ∆𝐷𝑃𝑡 ≤ 𝑃_∆𝐷𝑃𝑡 (4.1)

𝐷𝑃𝑡 = 𝐷𝑃𝑡−1 + ∆𝐷𝑃𝑡 (4.2)

38

∆𝐷𝑃𝑡 adalah akumulasi dynamic provisioning pada waktu t, sedangkan

𝑃_∆𝐷𝑃𝑡 adalah proposal akumulasi pada waktu t. Akumulasi dynamic

provisioning merupakan fungsi dari batasan-batasan dalam proses

akumulasi. Beberapa contoh, antara lain, adalah batas maksimum total

dynamic provisioning (jika ada) dan maksimum penggunaan profit untuk

pembentukan dynamic provisioining.

Pada penelitian ini dilakukan empat skenario akumulasi provisi

tambahan dari dynamic provisioning, yaitu sebagai berikut.

1. Sebagai persentase dari Non-Performing Loan

𝑃_∆𝐷𝑃𝑡 = 𝑟𝑎𝑡𝑒 𝐷𝑃 ∗ 𝑁𝑃𝐿𝑡 (𝑛𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑙) (4.3)

2. Sebagai persentase dari total kredit

𝑃_∆𝐷𝑃𝑡 = 𝑟𝑎𝑡𝑒 𝐷𝑃 ∗ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡𝑡 (𝑛𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑙) (4.4)

3. Sebagai persentase tertimbang dari kualitas kredit (kolektibilitas).

𝑃_∆𝐷𝑃𝑡 = ∑(𝑟𝑎𝑡𝑒 𝐷𝑃𝑘,𝑡 × 𝑘𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡𝑘,𝑡)

5

𝑘=1

(4.5)

4. Menggunakan formula dynamic provisioning Spanyol

𝑔𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑐 𝑝𝑟𝑜𝑣𝑖𝑠𝑖𝑜𝑛𝑡 = 𝛼. ∆𝐶𝑡 + (𝛽 −𝑠𝑝𝑒𝑐𝑖𝑓𝑖𝑐 𝑝𝑟𝑜𝑣𝑖𝑠𝑖𝑜𝑛𝑡

𝐶𝑡) 𝐶𝑡

(4.6)

4.4 Mekanisme Simulasi

Simulasi dilakukan dengan tahap sebagai berikut:

1. Tambahan provisi dari dynamic provisioning dilakukan pada saat

kondisi ekonomi baik. Berbeda dengan sistem provisi biasa, dynamic

provisioning diakumulasi dari tahun ke tahun.

2. Pada saat ekonomi memburuk akan terjadi peningkatan NPL yang

akan meningkatkan provisi.

3. Bank akan membentuk provisi dari tiga alternatif (urutan sebagai

prioritas), yaitu (i) dynamic provisioning (jika ada), (ii) profit, dan (iii)

modal.

4. Bagaimana bank membentuk provisi pada saat ekonomi buruk akan

mempengaruhi profit dan permodalan bank (CAR).

39

5. Selanjutnya dilakukan perbandingan pada pembentukan provisi,

profit, dan CAR antara baseline dan beberapa skenario dynamic

provisioning. Perbandingan ketiga variabel tersebut kemudian akan

menghasilkan simpulan apakah penerapan dynamic provisioning akan

memberikan dampak yang lebih baik pada profit dan permodalan.

Mekanisme umum dari dynamic provisioning yang berlaku untuk

semua skenario ditunjukkan oleh Gambar 2. Ketika ekonomi dalam kondisi

baik (periode ekspansi), dilakukan akumulasi provisi tambahan yang akan

dipergunakan ketika ekonomi memburuk (krisis). Sumber utama

pembentukan provisi adalah profit. Ketika terjadi kenaikan NPL yang

menyebabkan kenaikan pembentukan provisi, akan terjadi penurunan

profit akibat digunakan untuk membentuk provisi. Ketika profit tidak lagi

cukup, akan dipergunakan provisi tambahan yang diakumulasi dari

mekanisme dynamic provisioning. Apabila masih tidak cukup, akan

dipergunakan modal. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa dynamic

provisioning dapat meniadakan/mengurangi penggunaan modal bank untuk

pembentukan provisi. Sebagai dampak positif, CAR diharapkan tidak

mengalami penurunan yang signifikan pada saat krisis.

40

Gambar 2. Mekanisme umum dynamic provisioning

Selanjutnya Gambar 3 menunjukkan mekanisme akumulasi provisi

untuk skenario 1–3, dan Gambar 4 menunjukkan mekanisme akumulasi

provisi untuk skenario 4, menggunakan formula dynamic provisioning

Spanyol. Mekanisme akumulasi provisi menggunakan skenario 4 berbeda

dengan tiga simulasi lainnya karena terdapat batasan maksimum dari

akumulasi provisi tambahan seperti yang diterapkan oleh Spanyol, batasan

maksimum yang dipergunakan adalah 125 x LGD x total kredit. Sumber

pembentukan provisi tambahan adalah profit, pada simulasi ini terdapat

batasan sebesar maksimum 50% dari profit.

Kondisi Ekonomi

Hitung provisi akibat

kenaikan NPL

buruk

baik

Provisi cukup?

Gunakan cadangan DP

Cadangan dari DP >0?

Ya

Tidak

Ya

Gunakan profit

(maks. Sebesar profit)Tidak

stop

stop

stop

Kurang?

Tidak

Ya

Penggunaan Dynamic Provisioning

Indikator

makro &

perbankan

Kurang?

Gunakan modal

stop

Tidak

Ya

Akumulasi DP

41

Gambar 3. Mekanisme akumulasi provisi untuk skenario 1, 2, dan 3

Gambar 4. Mekanisme akumulasi provisi untuk skenario 4

Tambah

provisi

melalui DP

DP > profitMaks. DP 50% dari

profitYa

Bentuk DP

menggunakan profit

stop

Tidak

Total DP >

125% x LGD x

total kredit

Tidak

Hitung gap dari maksYaBentuk DP sebesar

gap

Tambah

provisi

melalui DP

DP > profitMaks. DP 50% dari

profitYa

Bentuk DP

menggunakan profit

stop

Tidak

42

4.5 Asumsi

Beberapa asumsi yang dipergunakan dalam simulasi adalah sebagai

berikut:

(1) Perfect foresight dalam menentukan rate akumulasi dynamic provisioning

Rate akumulasi dynamic provisioning ditentukan berdasarkan tambahan

provisi yang akan diperlukan pada saat bad time. Pada simulasi

menggunakan data baseline, kenaikan provisi yang harus dibentuk saat

bad time dapat diketahui. Namun pada prakteknya, rate akumulasi

dynamic provisioning akan tergantung dari perkiraan kenaikan

kolektibilitas kredit kategori NPL yang mengakibatkan kenaikan provisi

yang harus dibentuk, dan seberapa lama masa ekspansi yang tersisa

sebelum krisis.

(2) Maksimum penggunaan profit untuk akumulasi dynamic provisioning

Agar akumulasi dynamic provisioning tidak menjadi faktor penghambat

bank dalam melakukan bisnisnya, penggunaan profit disarankan untuk

dibatasi. Pada simulasi ini digunakan batasan maksimum 50% profit.

Sedangkan untuk implementasi akan ditentukan pada proses kalibrasi.

50% dari profit akan menjadi tambahan modal (TIER-1) ATMR tetap.

(3) Distribusi kolektibilitas kredit bersifat simetris berdasarkan pangsanya

Pada saat terjadi kenaikan NPL, kredit dengan kolektibilitas 3,4 dan 5

akan meningkat, sedangkan kredit dengan kolektibilitas 1 dan 2 akan

menurun sesuai dengan besar pangsa masing-masing kolektibilitas.

Rate akumulasi dynamic provisioning yang dipilih dalam simulasi

merupakan persentase minimal yang menghasilkan karakteristik (i) dapat

menghasilkan provisi yang bersifat counter cyclical, (ii) profit saat bad time

lebih besar daripada profit baseline, dan (iii) CAR saat bad time lebih besar

daripada CAR baseline.

4.6 Hasil Simulasi

4.6.1 Skenario 1–akumulasi DP sebagai persentase dari NPL

Pada skenario ini akumulasi provisi merupakan persentase dari NPL

dengan formula sebagai berikut:

43

𝑃_∆𝐷𝑃𝑡 = 𝑟𝑎𝑡𝑒 𝐷𝑃 ∗ 𝑁𝑃𝐿𝑡 (𝑛𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑙) (4.7)

Berdasarkan hasil kalibrasi, rate DP yang dipergunakan adalah 10%. Rate

ini memungkinkan penggunaan akumulasi provisi tambahan untuk

membentuk provisi pada saat krisis.

Grafik16. Perbandingan provisi baseline vs skenario DP – 1

Grafik 13 baseline menunjukkan pembentukan provisi saat krisis

meningkat seiring dengan meningkatnya NPL. Akumulasi dynamic

provisioning meningkat pada saat ekspansi dan mulai dipergunakan ketika

krisis. Akumulasi dynamic provisioning yang telah dikumpulkan pada masa

ekspansi ekonomi akhirnya dapat membantu mengurangi beban bank

dalam membentuk provisi saat krisis. Hal itu menyebabkan pembentukan

provisi pada saat krisis bersifat countercyclical, yaitu menurun pada saat

krisis. Sebagai tambahan, meskipun provisi reguler lebih rendah pada

skenario DP1 dibanding baseline, total provisi yang dimiliki bank tetap lebih

tinggi karena terdapat ‘tabungan’ provisi dari dynamic provisioning.

44

Grafik 17. Perbandingan profit baseline vs skenario DP – 1

Grafik 18. Perbandingan CAR baseline vs skenario DP – 1

Perbandingan profit dapat dilihat pada Grafik 13. Ketika ekspansi

(good time), profit bank pada skenario DP1 lebih rendah dibandingkan profit

pada baseline karena sebagian dipergunakan untuk pembentukan provisi

tambahan dynamic provisioing. Ketika krisis (bad time), profit pada skenario

DP1 menjadi lebih tinggi karena pembentukan provisi dibantu oleh dynamic

provisioning yang telah diakumulasi. CAR juga memiliki pola serupa dengan

profit menjadi lebih baik pada saat krisis karena profit merupakan

komponen dari penambahan modal. Melalaui perbandingan itu dapat

dilihat bahwa dynamic provisioning membantu profit dan CAR bank menjadi

lebih baik pada saat krisis.

45

4.6.2 Skenario 2 – akumulasi DP sebagai persentase dari kredit

Pada skenario ini akumulasi provisi merupakan persentase dari

kredit. Formula yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

𝑃_∆𝐷𝑃𝑡 = 𝑟𝑎𝑡𝑒 𝐷𝑃 ∗ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡𝑡 (𝑛𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑙) (4.8)

Berdasarkan kalibrasi rate DP yang dipergunakan adalah 1%. Rate pada

skenario ini lebih rendah daripada skenario pertama karena akumulasi

dilakukan sebagai persentase dari total kredit yang jumlahnya lebih besar

dari NPL.

Grafik 15, 16, dan 17 menunjukkan hasil simulasi yang senada

dengan skenario DP–1. Tampak bahwa ketika kebijakan dynamic

provisioning di implementasikan, pembentukan provisi pada saat krisis

lebih rendah jika dibandingkan dengan baseline, sedangkan profit dan CAR

menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan baseline.

Grafik 19. Perbandingan provisi baseline vs skenario DP – 2

46

Grafik 20. Perbandingan profit baseline vs skenario DP – 2

Grafik 21. Perbandingan CAR baseline vs skenario DP – 2

4.6.3 Skenario 3–akumulasi DP sebagai persentase tertimbang dari

kualitas kredit

Pada skenario ini, akumulasi provisi merupakan persentase

tertimbang dari kualitas kredit. Formula yang dipergunakan adalah sebagai

berikut :

𝑃_∆𝐷𝑃𝑡 = ∑(𝑟𝑎𝑡𝑒 𝐷𝑃𝑘,𝑡 × 𝑘𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡𝑘,𝑡)

5

𝑘=1

(4.9)

Tabel 8 menampilkan rate DP untuk masing-masing kualias kredit, dimana

semakin buruk kualitas kredit akan mendapatkan persentase yang tinggi.

47

Hal ini mencerminkan bahwa kualitas kredit yang buruk memiliki tingkat

risiko yang lebih tinggi.

Tabel 8. Rate DP untuk setiap kualitas kredit

Kualitas Kredit %

(1) Lancar 0.05%

(2) Dalam Perhatian

Khusus 1.00%

(3) Kurang Lancar 2.00%

(4) Diragukan 8.00%

(5) Macet 10.00%

Grafik 18, , 19, dan 20 menunjukkan hasil simulasi yang senada dengan

skenario DP–1 dan 2. Saat kebijakan dynamic provisioning

diimplementasikan, pembentukan provisi pada saat krisis lebih rendah jika

dibandingkan baseline, sedangkan profit dan CAR menjadi lebih tinggi jika

dibandingkan dengan baseline.

Grafik 22. Perbandingan provisi baseline vs skenario DP – 3

48

Grafik 23. Perbandingan profit baseline vs skenario DP – 3

Grafik 24. Perbandingan CAR baseline vs skenario DP – 3

4.6.4 Skenario 4–akumulasi DP menggunakan formula DP Spanyol

Metode dynamic provisioning Spanyol bersifat spesifik untuk setiap

individu bank karena setiap bank memiliki periode yang berbeda untuk

akumulasi dynamic provisioning dan juga penggunaannya. Hal itu

menyebabkan bahwa dalam metode ini tidak dapat diterapkan diskresi

sehubungan dengan waktu akumulasi dan penggunaan dynamic

provisioning.

Skenario DP–4 tidak menggunakan data hypothetical sebagai

baseline, melainkan menggunakan data aktual. Hal itu terkait dengan

penggunaan data provisi yang lebih detail, yaitu melibatkan generic dan

49

specific provision. Sebagai penyederhanaan diasumsikan hanya terdapat 1

(satu) bank yang menggunakan data aggregat industri bank dan nilai 𝛼 dan

𝛽 yang sama untuk semua kualitas kredit.

Adapun formula yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

𝑔𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑐 𝑝𝑟𝑜𝑣𝑖𝑠𝑖𝑜𝑛𝑡 = 𝛼. ∆𝐶𝑡 + (𝛽 −𝑠𝑝𝑒𝑐𝑖𝑓𝑖𝑐 𝑝𝑟𝑜𝑣𝑖𝑠𝑖𝑜𝑛𝑡

𝐶𝑡) 𝐶𝑡

(4.10)

Keterangan:

𝛼 = rata-rata kerugian kredit yang diestimasi berdasarkan resiko kredit =

LGD = 0.06

𝛽 = rata-rata historis specific provision/kredit untuk setiap jenis kredit =

0.04

𝐶𝑡= stok kredit di akhir periode t

∆𝐶𝑡 = 𝐶𝑡 − 𝐶𝑡−1 (4.11)

Pada formula ini dynamic provisioning diintegrasikan ke dalam generic

provision dan terdapat batasan maksimum total DP, yaitu 125% x LGD x

total kredit. Pada masa ekspansi (good time), specific provision cenderung

lebih rendah dari β (rata-rata historis specific provision). Akibatnya, generic

provision akan bernilai positif. Pada fase ini bank akan melakukan

akumulasi provisi tambahan dynamic provisioning, sedangkan pada masa

krisis (bad time), specific provision lebih tinggi dari β. Akibatnya, generic

provision akan bernilai negatif. Pada fase ini bank akan menggunakan

provisi tambahan yang telah diakumulasi sebelumnya.

Pada simulasi ini diasumsikan bahwa bank telah membentuk provisi

sebelum tahun 2001. Hal itu berkaitan dengan hasil formula Spanyol yang

menyatakan bahwa tahun 2001–2003 merupakan periode penggunaan DP

dan tahun 2004–2012 merupakan periode masa akumulasi DP. Hal itu

disebabkan oleh tingginya NPL pada awal tahun 2000-an.

50

Grafik 25. Perbandingan Provisi Baseline vs Skenario DP – 4

Hasil simulasi juga memperlihatkan pembentukan specific provision

pada saat krisis lebih rendah pada skenario DP4 dibandingkan dengan

baseline karena sebagian menggunakan dynamic provisioning yang telah

diakumulasi sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa implementasi

dynamic provisioning dapat mengurangi beban bank dalam membentuk

provisi pada saat krisis terjadi.

Grafik 26. Perbandingan Profit Baseline vs Skenario DP – 4

51

Grafik 26. Perbandingan CAR Baseline vs Skenario DP - 4

Grafik 22 dan 23 menunjukan perbandingan profit dan CAR antara

baseline dan skenario DP–4. Pada periode kontraksi ekonomi (2001–2003)

profit dan CAR pada skenario DP–4 cenderung lebih tinggi dari baseline

karena adanya akumulasi provisi tambahan dari mekanisme dynamic

provisioning periode sebelumnya yang dipergunakan untuk mengurangi

beban bank dalam membentuk provisi ketika NPL meningkat. Selanjutnya

pada periode ekspansi ekonomi (2004–2012) profit dan CAR pada skenario

DP–4 lebih rendah dari baseline karena merupakan masa akumulasi provisi

tambahan. Pola profit dan CAR yang ditunjukkan pada skenario ini serupa

dengan pola pada tiga skenario sebelumnya.

Sebagai simpulan keempat skenario menunjukkan bahwa cadangan

provisi yang dibentuk oleh metode dynamic provisioning mampu

mengurangi beban bank dalam membentuk provisi pada saat krisis. Hal itu

membuat posisi profit dan CAR lebih baik pada masa krisis jika

dibandingkan dengan tanpa dynamic provisioning. Namun, sebagai

kompensasinya CAR dan profit pada masa ekspansi cenderung lebih rendah

jika dibandingkan tanpa akumulasi provisi tambahan.

52

V. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, yaitu review penerapan

dynamic provisioning pada beberapa negara yang dilakukan pada studi

literatur dan simulasi penerapan dynamic provisioning di Indonesia, dapat

diambil beberapa simpulan sebagai berikut.

1. Praktik di Spanyol, Peru, dan Kolombia menunjukan implementasi

kebijakan dynamic provisioning yang bervariasi, baik dilihat dari

penetapan indikator, target kebijakan (individu/sistem), threshold,

formula akumulasi, periode akumulasi, maupun penggunaan provisi

tambahan.

Kebijakan dynamic provisioning di Spanyol dilakukan secara kontinu dan

bersifat spesifik untuk setiap bank. Formula akumulasi dynamic

provision melibatkan data kredit (baik stok maupun pertumbuhan),

specific provision, dan risiko kredit. Namun, akumulasi dynamic

provisioning yang dibentuk belum mempu menutupi kerugian akibat

krisis yang terjadi. Hal itu disebabkan oleh krisis yang terjadi lebih

panjang dari prediksi semula. Selain itu, standar akuntansi yang

diterapkan oleh Spanyol berbeda dengan standar yang ditetapkan oleh

ECB.

Kebijakan dynamic provisioning di Kolombia bersifat spesifik untuk

setiap bank berdasarkan total kredit, probability of default, dan loss

given default. Perubahan yang terjadi adalah sistem penentuan waktu

akumulasi dan penggunaan provisi tambahan yang pada mulanya

ditentukan berdasarkan diskresi, tetapi menyebabkan ketidakpastian.

Hal itu memicu regulator untuk mengubah penentuan waktu akumulasi

dan penggunaan berdasarkan sejumlah indikator krisis. Perubahan itu

menyebabkan waktu untuk memulai akumulasi dan penggunaan provisi

tambahan berbeda untuk setiap bank.

53

Berbeda dengan kebijakan dynamic provisioning di Spanyol dan

Kolombia, implementasi kebijakan DP di Peru lebih bersifat system wide

dengan aktivasi yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian

berdasarkan threshold yang telah ditetapkan, yaitu pertumbuhan GDP.

Selain itu, besaran akumulasi provisi tambahan diperhitungkan

berdasarkan tipe debitur.

2. Pembentukan provisi di perbankan Indonesia masih mengadopsi metode

incurred loss, yaitu provisi hanya dibentuk berdasarkan risiko yang telah

diketahui. Berdasarkan PBI No. 14/15/PBI/2012, pembentukan provisi

mempergunakan istilah CKPN, yaitu provisi hanya dibentuk apabila

terdapat bukti penurunan nilai aset keuangan dari nilai awal. Hal ini

berbeda dengan metode yang dipergunakan sebelumnya, yaitu PPAP

yang lebih bersifat rule- based. Namun, untuk mengantisipasi CKPN

yang dibentuk agar tidak kurang, tetap dilakukan perhitungan PPAP.

Apabila CKPN bernilai lebih kecil dari PPAP, bank harus melakukan

penambahan provisi yang bersumber dari pengurangan modal sebesar

selisih antara CKPN dan PPAP.

3. Hasil simulasi menggunakan pendekatan balance sheet menunjukkan

bahwa penerapan kebijakan dynamic provisioning yang tepat dapat

mengurangi beban bank dalam membentuk provisi ketika krisis. Hal itu

ditunjukkan oleh profit dan CAR bank yang lebih tinggi pada saat krisis

ketika kebijakan dynamic provisioning diterapkan.

Penggunaan data baseline hypothetical dan asumsi perfect foresight

dalam penentuan rate akumulasi dynamic provisioning, tabel 5.1.

menjelaskan besaran rate dynamic provisioning yang dipergunakan

untuk merespons kekurangan provisi sebesar Rp66,6 triliun selama 3

tahun (bad time).

Simulasi skenario DP-4 menggunakan metode DP Spanyol menunjukkan

pola perilaku profit dan CAR yang serupa dengan ketiga skenario

lainnya. Namun, skenario 4 berbeda dalam hal (i) bersifat kontinu dan

spesifik untuk setiap bank serta (ii) tidak dapat diterapkan sistem

diskresi terkait dengan waktu akumulasi dan penggunaan DP.

54

Tabel 9. Rangkuman simulasi skenario 1,2 dan 3

4. Berdasarkan review implementasi kebijakan dynamic provisioning pada

tiga negara dan simulasi empat skenario yang telah dilakukan serta

apabila kebijakan ini akan diimplementasikan, pendekatan yang

memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia dalam cakupan

kewenangan Bank Sentral adalah penerapan metode yang yang

digunakan oleh Peru. Hal itu berkaitan dengan kesederhanaan (dari sisi

teknis) dan pengawasan. Adapun karakteristiknya adalah sebagai

berikut:

1. formula yang dipergunakan berlaku sama untuk semua bank atau

bersifat system wide.

2. penetapan waktu akumulasi dan penggunaan dynamic provisioning

berdasarkan siklus perekonomian dan diumumkan (diskresi); dan

3. Formula akumulasi dynamic provisioning yang mungkin dapat

diterapkan adalah skenario DP-1 (persentase dari NPL), DP-2

(persentase dari total kredit), dan DP-2 (persentase berdasarkan

kualitas kredit).

5.2 Implikasi Kebijakan

Kebijakan dynamic provisioning dapat membantu meringankan beban

bank membentuk provisi ketika terjadi krisis. Namun, implementasi

dynamic provisioning masih terkendala dengan sistem akutansi. Dynamic

provisioning merupakan salah satu implementasi metode expected loss,

sedangkan yang digunakan saat ini adalah metode incurred loss. Ke depan

55

IASB akan mengganti metode incurred loss menjadi expected loss yang

direncanakan selesai pada tahun 2015.

Selain itu, implementasi dynamic provisioning dalam rangka

penyediaan countercyclical regulation di Indonesia harus

mempertimbangkan beberapa hal berikut :

1. Terkait belum terakomodasi metode expected loss pada IFRS, PSAK

55 juga belum mengakomodasi implementasi dynamic provisioning.

2. Belum terdapatnya guideline lengkap mengenai penerapan dynamic

provisioning dari Basel Committee on Banking Supervision (BCBS)

dalam Basel III.

3. Merujuk ketentuan yang berlaku saat ini, terdapat dua kemungkinan

implementasi DP, yaitu memperlakukan DP sebagai:

a. provisi (CKPN) melalui metode penghitungan kolektif (incurred but

not yet identified)

Pada pilihan ini, pembentukan provisi tambahan akan

mempergunakan profit, tetapi terdapat keterbatasan pembentukan

provisi sebesar LGD dari kelompok debitur/ aset.

b. PPAP

Pada pilihan ini, pembentukan provisi tambahan akan

mempergunakan modal, tetapi akan bertentangan dengan konsep

Countercyclical Capital Buffer.

4. Pada saat akan diimplementasikan, harus dilakukan kalibrasi terkait

dengan beberapa hal utama, antara lain aturan untuk akumulasi

(aktivasi) dan penggunaan (nonaktivasi) dynamic provisioning, metode

akumulasi beserta rate-nya, dan besaran cadangan tambahan yang

harus dibentuk. Selain itu kalibrasi harus memperhatikan kondisi

perekonomian dan siklus keuangan yang terjadi pada saat itu.

56

REFERENSI

Ahmed, A.S., Takeda, C., Thomas, S., 1999, “Bank loan loss provisions: A

reexamination of capital management, earnings management and

signaling effects”, J. Acc. Econ. 28, 1–25.

Angklomkliew, S., George,J., and Packer, F., 2009. “Issues and

Developments in loan loss provisioning: the caseof Asia”, BIS

Quarterly Review, December 2009.

Balla, E., Mc.Kenna, A., 2009, “Dynamic Provisioning: A Countercyclical

Tool for Loan Loss Reserves”, FRB of Richmond Economic Quarterly.

BCBS (Basel Committee on Banking Supervision), 2010a, “Basel III: A

Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking

Systems”. Basel, Switzerland. http://www.bis.org/publ/bcbs189.pdf.

_______ 2010b, “Guidance for National Authorities Operating the

Countercyclical Capital Buffer”. Basel, Switzerland.

http://www.bis.org/publ/bcbs187.pdf.

________ 2010c, “Financial Instruments: Amortised Cost and Impairment.

Comments on IASB‘s Exposure Draft, Financial Instruments:

Amortised Cost and Impairment”. Basel, Switzerland.

http://www.ifrs.org/NR/rdonlyres/B7B26291-9046-4687-A678-

4B0944D06E02/0/CL148.pdf

______ 2010d, ”Countercyclical Capital Buffer Proposal”. Consultative

Document. Basel, Switzerland.

http://www.bis.org/publ/bcbs172.pdf.

Beatty, A., Chamberlain, S., Magliolo, J., 1995, “Managing financial reports

of commercial banks: The influence of taxes, regulatory capital and

earnings”. J. Acc. Res. 33, 231–262.

Berger, A.N., Udell, G., 1994, “Did risk-based capital allocate bank credit

and cause a “credit crunch” in the US?”, J. Money, Credit, Banking

26, 585–628.

Bikker, J.A., H. Hu, 2002, “Cyclical patterns in profits, provisions and

lending of banks and procyclicality of the new Basel capital

57

requirements”, Banca Nazionale del Lavoro Quarterly Review 55, 143--

175.

Bikker, J.A and Metzemakers, P., 2005, “Bank provisioning behaviour and

procyclicality”, Journal of International Financial Markets,

Institutions and Money, vol.15, pp.29--51.

Borio, C, C Furfine and Lowe, P., 2001, “Procyclicality of the financial

system and financial stability: issues and policy options”, BIS Papers,

No. 1.

Borio, C, and M. Drehmann, 2009, “Assessing the Risk of Banking Crises –

Revisited”, BIS Quarterly Review, March, pp. 29–46

Borio, C, and Lowe, P., 2002, “Assessing the Risk of Banking Crises”, BIS

Quarterly Review, December, pp. 43–54.

Bouvatier, V and L Lepetit, 2008, “Banks’ procyclical behaviour: does

provisioning matter?”, Journal of International Financial Markets,

Institutions and Money, vol 18, pp 513–26

Burroni, M, Quagliariello, M, Sabatini, E, dan Tola V, 2009, “Dynamic

Provisioning: Rationale, Functioning, and Prudential Treatment”,

Banca D’Italia Occational Papers No. 57, November 2009

Chan, S., 2008, “Loan loss provisioning in Australia”, Financial Stability

Department, Reserve Bank of Australia.

Collins, J., Shackelford, D.,Wahlen, J., 1995, “Bank differences in the

coordination of regulatory capital, earnings, and taxes”, J. Acc. Res.

33, 263–292.

Davis, E.P and Zhu, H. 2005. “Commercial property prices and bank

performance”, BIS Working Papers, No. 175,pp.1--37.

Docking, D.S., Hirschey, M., Jones, E., 1997, “Information and contagion

effects of bank loan-loss reserve announcements”, J. Finan. Econ. 43,

219–239.

Fernandez de Lis, Santiago and García-Herrero, Alicia, 2010, “Dynamic

Provisioning: Some Lessons from Existing Experiences”, ADBI

Working Paper No. 218. Available at SSRN:

http://ssrn.com/abstract=1624750 or

http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1624750

58

Fernandez de Lis, Santiago and García-Herrero, Alicia, 2012, “Dynamic

Provisioning: a buffer rather than a countercyclical tool?”, Working

Paper BBVA

Fernandez de Lis, S.; J. Martinez and J. Saurina, 2000, “Credit growth,

problem loans and credit risk provisioning in Spain”, Working Paper

no. 0018, Banco de Espana.

Financial Stability Forum, 2009. Addressing Procyclicality in the Financial

System.

International Accounting Standards Board, 2009a: Request for Information,

Financial Instruments: Impairment of Financial Assets, June.

______2009b, as amended, International Financial Reporting Standard 7,

Financial Instruments: Disclosures, March.

______2009c, as amended, International Accounting Standard 39, Financial

Instruments: Recognition and Measurement, April.

Greenwald, M.B., Sinkey Jr., J.F., 1988, “Bank loan-loss provisions and the

income-smoothing hypothesis: An empirical analysis”, 1976–1984. J.

Finan. Services Res. 1, 301–318.

Hess, K., Grimes, A., and Holmes, M.J., 2008, “Credit losses in Australasian

Banking”. Working Paper in Economics 08/10, June 2008.

IMF (International Monetary Fund), 2004, “Are Credit Booms in Emerging

Markets a Concern?”, World Economic Outlook, April 2004, Chapter

4.

Jiménez, G., and J. Saurina, 2006, “Credit Cycles, Credit Risk, and

Prudential Regulation”, International Journal of Central Banking 2(2),

pp. 65–98.

Laeven, C and Majnoni, G., 2003, “Loan loss provisioning and economic

slowdowns: too much, too late?”, Journal of Financial Intermediation,

vol.12, pp.178-97.

McGovern, D., 2010, “Spain’s Anti-crisis Stimulus Plan Poses Serious Risks

to Market Financing and Economy Recovery”, Center for Financial

Stability.

Ren, H., 2011, “Countercyclical Financial Regulation”, Policy Research

Working Paper 5823, The World Bank.

59

Saurina, J., J., Gabriel, S. Ongena, and J. Peydró, 2008, “Hazardous Times

for Monetary Policy: What Do 23 Million Bank Loans Say about the

Effects of Monetary Policy on Credit Risk?”, Discussion Paper No. 75,

Center for Economic Research, Tilburg University

Saurina, J. 2009, “Dynamic Provisioning: the Experience of Spain”. Crisis

Response Note No.7. the World Bank Group.

______ 2009, “The Issue of Dynamic Provisioning. A Case Study”. Financial

Reporting in a Changing World. European Commission Conference.

______ 2009, “Loan Loss Provisioning: A Working Macroprudenstial Tool”.

Terrier G., et.al., 2011, “Policy Instruments to Lean Against the Wind in

Latin America”, IMF working paper

Turner, G and Mowatt, B., 2010, “Some observations on the current

provisioning cycle for banks”. Financial Stability Department, Reserve

Bank of Australia.

Turner, G. 2010, “Banks provisioning: an overview of the accounting and

prudential frameworks”. Financial Stability Department, Reserve Bank

of Australia.

Wezel, T., Chan-Lau, J.A., Columba, F., 2012, “Dynamic Loan Loss

Provisioning: Simulations on Effectiveness and Guide to

Implementation”, IMF workding paper

Wimboh, S., Rulina, I., Deriantino, E., 2010, “Procyclicality of Loan Loss

Provisioning: Issues, Development and Evidence from Indonesia”,

Working Paper, Bank Indonesia

60

LAMPIRAN

Tabel 1. Evolusi Perubahan Regulasi terkait dengan PPAP

No. 31/148/KEP/DIR

Tanggal 12 November 1998

Pembentukan Penyisihan

Penghapusan Aktiva Produktif

PBI No. 7/2/PBI/2005

Tanggal 20 Januari 2005

Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank

Umum

PBI No. 14/15/PBI/2012

Tanggal 24 Oktober 2012

Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank

Umum

Bank wajib membentuk PPAP

(Penyisihan Penghapusan Aktiva

Produktif)

PPAP adalah cadangan yang harus

dibentuk sebesar persentase tertentu

dari nominal berdasarkan

penggolongan kualitas aktiva

produktif

Jenis cadangan

Cadangan umum

Cadangan khusus

Besarnya cadangan

Cadangan umum

Sekurang-kurangnya sebesar 1% dari

Bank wajib membentuk PPA

Jenis cadangan:

Cadangan umum

Cadangan khusus

Besarnya cadangan

Cadangan umum

Sekurang-kurangnya sebesar 1% dari

aktiva produktif kualitas lancar

Cadangan khusus

Sekurang-kurangnya sebesar :

5% dari aktiva produktif yang

digolongkan dalam perhatian khusus

15% dari aktiva produktif yang

digolongkan kurang lancar setelah

Terdapat pencadangan sesuai konsep

impairment dalam bentuk Cadangan

Khusus Penurunan Nilai (CKPN)

Tetap mempertahankan PPA sebagai

prudential purposes

CKPN adalah penyisihan yang

dibentuk apabila nilai tercatat aset

keuangan setelah penurunan nilai

kurang dari nilai tercatat awal

Bank wajib menghitung PPA thd asset

produktif dan non produktif, berupa

cadangan umum dan cadangan khusus

sesuai dengan Peraturan Bank

Indonesia (sama dengan peraturan

61

aktiva produktif kualitas lancar

Cadangan khusus

Sekurang-kurangnya sebesar :

5% dari aktiva produktif yang

digolongkan dalam perhatian khusus

15% dari aktiva produktif yang

digolongkan kurang lancar setelah

dikurangi nilai agunan

50% dari aktiva produtif yang

digolongkan diragukan setelah

dikurangi nilai agunan

100% dari aktiva produktif yang

digolongkan macet setelah dikurangi

nilai

dikurangi nilai agunan

50% dari aktiva produtif yang

digolongkan diragukan setelah

dikurangi nilai agunan

100% dari aktiva produktif yang

digolongkan macet setelah dikurangi

nilai

­

sebelumnya)

Bank wajib membentuk CKPN sesuai

standar akuntansi keuangan yang

berlaku

Besarnya CKPN ditentukan secara

kolektif & individual

Apabila PPA lebih besar daripada CKPN

maka bank wajib menutup

kekurangannya menggunakan modal

pada pengurang modal dalam

perhitungan KPMM. Apabila PPA lebih

kecil atau sama