kajian kebutuhan standard dalam dimensi … lain produk perikanan dan hortikultura. di sisi lain,...
TRANSCRIPT
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013
LAPORAN AKHIR
KAJIAN KEBUTUHAN STANDARD DALAM DIMENSI DAYA SAING DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
LAPORAN AKHIR
KAJIAN KEBUTUHAN STANDARD DALAM DIMENSI DAYA SAING DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Heny Sukesi Suminto
Ranni Resnia Erizal Mahatama
Yudha Hadian Nur Bagus Wicaksena
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013
Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen i
RINGKASAN EKSEKUTIF
Latar Belakang
1. Makin beragamnya produk barang yang beredar di pasaran baik produk lokal
maupun impor, maka diperlukan jaminan agar tidak merugikan pihak
konsumen, baik konsumen dalam maupun luar negeri. Jaminan atas mutu
barang diinformasikan dalam bentuk sertifikasi atau label standar pada
produk barang yang dihasilkan dan dipasarkan.
2. Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, maka produk pangan
yang diperdagangkan harus memenuhi persyaratan yang berlaku di negara
tujuan ekspor, antara lain syarat mutu, keamanan, lingkungan, kesehatan
dan lain-lain. Dalam upaya peningkatan ekspor, maka diharapkan produk-
produk ekspor memiliki kesesuaian standar mutu dengan standar yang
ditetapkan negara tujuan.
3. Namun demikian, ada beberapa produk andalan ekspor Indonesia yang
mengalami penolakan di negara tujuan karena tidak memenuhi standar
antara lain produk perikanan dan hortikultura. Di sisi lain, produk-produk khas
Indonesia seperti mebel rotan dan batik memperoleh tantangan berupa
banyaknya impor, padahal produk-produk ini berpotensi besar untuk
dikembangkan ekspornya.
4. Dengan demikian perlu dikaji mengenai kebutuhan standar seperti apakah
yang terkait produk pangan dan non pangan di pasar ekspor dan domestik.
Selanjutnya, perlu diketahui apakah terdapat kesesuaian atau
ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar
ekspor maupun domestik.
Metodologi
5. Metode analisis yang dipakai dalam kajian ini adalah analisis deskriptif yaitu
analisis gap untuk melihat komponen dasar yang diperlukan oleh suatu
produk agar bisa memenuhi standar tertentu. Analisis gap akan dilakukan
untuk melihat komponen dasar yang seharusnya ada dalam standar produk,
apakah SNI yang ada (wajib/sukarela) sesuai dengan standar internasional
Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen ii
yang ada ataupun persyaratan tertentu lainnya (national standard yang
diberlakukan oleh mitra dagang, juga kemungkinan adanya private standard).
6. Untuk mengetahui respon para pelaku usaha di Indonesia terkait bagaimana
mereka bertindak bila produk yang diekspor ditolak maupun dalam hal
adanya gap antara SNI dengan standar yang ada, maka dilakukan indepth
interview dengan para pelaku usaha tersebut mengenai hal-hal berikut: (1)
Kepedulian (awareness), (2) Pengetahuan (knowledge), (3) Implementasi
(implementation), dan (4) Komitmen (commitment).
Pembahasan dan Kesimpulan 7. Dalam kondisi yang ideal, standar mutu harus diterapkan mulai dari asal usul
bahan baku, bahan baku, bahan setengah jadi, proses pengolahan, sampai
produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Namun, kondisi dan
kebutuhan masyarakat juga harus dipertimbangkan sebelum menerapkan
suatu standar menjadi standar yang berlaku wajib. Pertimbangan tersebut
antara lain kondisi perekonomian, faktor sosial, serta kemampuan produsen
khususnya UKM.
8. Untuk produk pangan, pemenuhan standar sulit dilakukan di sisi hulu. Bahan
baku untuk produk perikanan dan hortikultura, dalam hal ini ikan dan buah-
buahan itu sendiri, dipengaruhi oleh lingkungan. Jika lingkungan tempat
hidup ikan dan buah tercemar dan tidak baik kualitasnya, maka akan
mempengaruhi kualitas dan mutunya secara umum. Begitu pula dengan
proses penanganan pasca panen. Keterampilan dan pengetahuan nelayan
dan petani yang tidak seragam membuat kualitas bahan baku sulit untuk
dipenuhi sesuai standar yang ada.
9. Untuk produk non pangan, kesulitan lebih banyak ditemui di sisi hilir. Hal
tersebut dikarenakan proses pembuatan produk memerlukan ketrampilan
khusus dan produk harus terus berkembang dan berinovasi sesuai
kebutuhan dan selera pasar.
10. Gap negatif SNI dengan standar mitra dagang disebabkan antara lain :
a. SNI umumnya hanya menggunakan standar internasional sebagai
acuan dasar dalam penyusunannya. Sementara, mitra dagang tidak
hanya mengadopsi standar internasional seperti CODEX, ISO, IEC,
Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen iii
dan lain-lain namun juga mengadopsi ketentuan dan parameter yang
ada pada standar swasta (private standards) dan standar lain.
b. Kesulitan memenuhi standar mutu dan keamanan pada sisi hulu
untuk produk perikanan (tuna dan cakalang beku) dan hortikultura
(manggis dan jagung). Bahan baku untuk produk tersebut sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Jika lingkungan tempat hidup
ikan dan buah tercemar dan tidak baik kualitasnya, maka akan
mempengaruhi mutunya seperti ikan tuna yang tercemar logam berat
akibat cemaran limbah industri. Pada proses penanganan pasca
penangkapan atau pasca panen, ketrampilan dan pengetahuan
nelayan dan petani yang beragam/terbatas membuat kualitas bahan
baku sulit untuk memenuhi SNI dan atau standar negara mitra
dagang.
c. Kesulitan pemenuhan standar pada produk non pangan (mebel rotan
dan kemeja batik) lebih banyak ditemui di sisi hilir. Hal tersebut
dikarenakan proses pembuatan produk memerlukan ketrampilan
khusus dan produk harus terus berkembang dan berinovasi sesuai
kebutuhan dan selera pasar.
d. Kesulitan produk-produk usaha kecil menengah (UKM) dalam
memenuhi persyaratan mutu dan keamanan produk yang
dipersyaratkan negara mitra dagang. Kesulitan tersebut disebabkan
oleh minimnya informasi yang diterima oleh UKM mengenai standar
mutu dan keamanan di negara tujuan ekspor, proses sertifikasi
standar produk ekspor menjadi beban biaya yang relatif besar bagi
UKM, serta terbatasnya sumber daya yang terampil dalam
penanganan pra dan pasca panen. Selain itu, keterbatasan
insfrastruktur standar seperti alat uji di daerah belum optimal dalam
mendukung proses penerapan standar.
11. Belum semua pelaku ekspor menjadikan SNI sebagai acuan atau panduan
utama untuk standar mutu dan keamanan produk. Pelaku usaha mengacu
pada kriteria mutu dan keamanan yang disyaratkan oleh importir di negara
mitra dagang. Sebagian pelaku usaha juga menganggap bahwa SNI kurang
kompatibel dengan standar yang diterapkan oleh mitra dagang.
Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen iv
Rekomendasi Kebijakan 12. Mengusulkan kepada Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk melakukan
peninjauan, perubahan (amandemen) SNI khususnya produk eskpor ke
negara tujuan sesuai perkembangan dan perubahan selera konsumen dan
teknologi. 13. Untuk mengatasi gap negatif antara SNI dengan standar mitra dagang antara
lain :
i. Di sisi hulu, perlu memperbaiki kualitas sesuai permintaan, memperketat
seleksi bahan baku sebelum masuk pabrik dan perbaikan penanganan
pasca panen. Sedangkan di sisi hilir, perlu memberikan pelatihan dan
studi banding, dll kepada pelaku usaha agar meningkatkan kualitas
produk ke pasaran.
ii. Melakukan bridging the gap: untuk UKM antara lain (i) memberikan
kemudahan dalam proses sertifikasi, (ii) sosialisasi pentingnya
pemenuhan standar mutu untuk produk ekspor; (iii) pembinaan teknis
yang lebih luas terkait budidaya dan penanganan pasca panen yang
tepat untuk menjamin kualitas produk; sementara untuk lembaga terkait
seperti laboratorium uji, sertifikasi produk, dan teknologi pengujian
dilakukan dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia,
peningkatan teknologi, kelengkapan infrastruktur dan kualitas pelayanan
yang terkait dengan standar.
14. Mendorong perwakilan dagang RI di luar negeri, untuk menjadi bagian solusi
dari kasus-kasus penolakan produk ekspor Indonesia antara lain melakukan
mediasi, konsultasi, dan menyediakan informasi terkait perkembangan
standar dan selera pasar mitra dagang kepada para eksportir di Indonesia.
15. Edukasi tentang standar pada umumnya dan SNI pada khususnya kepada
masyarakat baik kepada produsen yang melakukan ekspor/eksportir, importir
dan masyarakat konsumen harus terus dilakukan. Peran serta aktif
masyarakat khususnya dalam mengawasi produk impor yang masuk (tidak
memenuhi standar) harus ditingkatkan,
Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, sehingga
laporan analisis “Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan
Perlindungan Konsumen” dapat diselesaikan. Kajian ini dilatarbelakangi bahwa
peran standar mutu sangat penting, baik untuk produk ekspor dalam rangka
meningkatkan daya saing untuk akselerasi ekspor, maupun untuk produk impor
dalam rangka melindungi konsumen dalam negeri. Namun tidak semua produk yang
dihasilkan oleh Indonesia bisa memenuhi standar, baik SNI maupun standar
internasional dan standar yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor. Demikian
juga, tidak semua produk yang masuk ke Indonesia sesuai dengan standar SNI.
Penolakan terhadap beberapa produk ekspor Indonesia (perikanan dan
hortikultura) menunjukkan bahwa masih ada kelemahan atau ketidakmampuan
dalam penerapan standar untuk memenuhi standar negara tujuan ekspor.
Ketidakmampuan tersebut dikarenakan kurang siapnya/mampunya dalam
pemenuhan standar dan adanya kesenjangan (gap) antara SNI dengan standar
yang ada. Kajian ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri dengan tim penelitian yaitu Heny Sukesi, Yudha Hadian
Nur, Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena, Ranni Resnia, dan Suminto.
Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik ditinjau
dari aspek substansi, analisa, maupun data-data yang sifatnya pendukung. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam
kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang
membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini
dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan di
bidang standarisasi dan perlindungan konsumen.
Jakarta, Nopember 2013 Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen vi
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF i KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan Kajian 3
1.3. Keluaran Kajian 3
1.4. Manfaat Kajian 4
1.5. Ruang Lingkup 4
1.6. Sistematika Penulisan 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10
2.1. Standar 10
2.2. Penelitian Terdahulu 15
2.3. Penelitian Gap Analisis di Beberapa Negara 18
BAB III METODOLOGI 21
3.1. Kerangka Pemikiran 21
3.2. Metode Analisis 24
3.3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 31
BAB IV KONDISI DAN PERKEMBANGAN SNI PRODUK INDONESIA 34
4.1. Perkembangan Jumlah SNI 34
4.2. Penerapan SNI Wajib dan Kendalanya 38
BAB V KEBUTUHAN STANDAR PRODUK 43
5.1. Standar Produk Perikanan 43
5.2. Standar Produk Hortikultura 53
5.3. SNI Produk Non-Pangan 62
BAB VI GAP KEBUTUHAN STANDAR 72
6.1 Cakupan Standar Dalam Arus Barang : SNI dan Standar
Internasional 73
6.2. Analisis Gap Standar per Produk 74
6.3. Solusi Gap oleh Perusahaan 95
6.4. Pemenuhan Standar Untuk Perlindungan Konsumen dan
Peningkatan Daya Saing Melalui Zero Gap 110
6.5. Upaya Mengatasi Gap Dalam Standar 113
Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen vii
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 117
7.1. Kesimpulan 118
7.2. Rekomendasi 119 DAFTAR PUSTAKA 120 LAMPIRAN 124
Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pertumbuhan Produksi, Ekspor dan Impor Komoditi yang Dikaji 5 Tabel 1.2. Kontribusi Nilai Ekspor Impor Manggis dan Jagung Terhadap Total
Ekspor dan Impor Produk Hortikultura 2007 -2009 (%) 6 Tabel 1.3. Ekspor dan Impor Kemeja Batik dan Trennya Periode 2008 - 2012 (%) 6 Tabel 1.4. Daerah Survey 8 Tabel 3.1. Sisi Ekspor - Gap SNI dengan Standar Internasional, National
Standard Negara Importir dan Private Standards 26 Tabel 3.2. Sisi Impor - Gap SNI dengan National Standard Negara Eksportir 28 Tabel 3.3. Perilaku Perusahaan (Eksportir) Terhadap Standar Internasional 30 Tabel 3.4. Metodologi dan Analisis Data 32 Tabel 4.1. SNI yang Telah Diberlakukan Secara Wajib 35 Tabel 4.2. Jumlah Pelanggaran Produk yang Tidak Memenuhi Ketentuan 41 Tabel 4.3. Kepemilikan SPPT - SNI 42 Tabel 5.1. Syarat Mutu dan Keamanan Tuna Beku 43 Tabel 5.2. Syarat Mutu dan Keamanan Cakalang Beku 45 Tabel 5.3. Kandungan Bahan Tambahan Makanan yang Diperbolehkan Menurut
CODEX 47 Tabel 5.4. Beberapa Contoh Private Standards di Sektor Perikanan 48 Tabel 5.5. Syarat Mutu FDA Amerika Serikat 50 Tabel 5.6. Penggolongan Standar Mutu Produk Tuna di Filipina 51 Tabel 5.7. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Manggis 55 Tabel 5.8. Spesifikasi Persyaratan Mutu Jagung 55 Tabel 5.9. Kriteria Dalam CODEX Produk Jagung 57 Tabel 5.10. Persyaratan Mutu Jagung Dalam CODEX (Ekspor ke Filipina) 60 Tabel 5.11. Kriteria Mutu Jagung ke India 62 Tabel 5.12. Syarat Mutu Batik Berdasarkan SNI 62 Tabel 5.13. Standar Mutu Kemeja Menurut ISO 65 Tabel 5.14. Syarat Keamanan Cina Untuk Produk Tekstil 68 Tabel 5.15. Kriteria Mutu Kursi dan Meja Rotan ke Jepang 69 Tabel 5.16. Klasifikasi Rotan Berdasarkan Permukaan 70 Tabel 6.1. Analisis Gap Standar Produk Tuna Beku 74 Tabel 6.2. Analisis Gap Standar Produk Cakalang Beku 77 Tabel 6.3. Analisis Gap Standar Produk Manggis 81 Tabel 6.4. Analisis Gap Standar Produk Jagung 84 Tabel 6.5. Analisis Gap Standar Produk Kemeja (Batik) 90 Tabel 6.6. Analisis Gap Standar Produk Mebel Rotan 92 Tabel 6.7. Hasil Survey Untuk Komoditas Ikan Tuna dan Cakalang 97 Tabel 6.8. Hasil Survey Untuk Komoditas Manggis 102
Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen ix
Tabel 6.9. Hasil Survey Untuk Komoditas Jagung 104 Tabel 6.10. Hasil Survey Untuk Komoditas Kemeja Batik 105 Tabel 6.11. Hasil Survey Untuk Komoditas Mebel Rotan 109
Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Alur Barang untuk Memenuhi Standar (Kualitas, Kesehatan, Keamanan, Keselamatan, dan Lingkungan Hidup) 22
Gambar 3.2. Kerangka Pikir Kajian SNI dengan Gap Analisis 23 Gambar 6.1. Cakupan Standar Dalam SNI dan Standar Internasional
Lainnya 73 Gambar 6.2. Proses Kesesuaian Standar Eksportir - Importir Perikanan 100 Gambar 6.3. Manfaat Standar Dalam Dimensi Daya Saing dan
Perlindungan Konsumen 111 Gambar 6.4. Pemenuhan Gap Standar 114
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Era perdagangan bebas memungkinkan arus barang dan/atau jasa dapat
masuk ke suatu negara dengan atau tanpa hambatan perdagangan (trade
barriers), sehingga berbagai jenis produk akan banyak beredar di pasaran.
Dengan makin beragamnya produk barang yang beredar di pasaran baik produk
lokal maupun impor, maka diperlukan jaminan agar tidak merugikan pihak
konsumen, baik konsumen dalam maupun luar negeri. Jaminan atas mutu
barang diinformasikan dalam bentuk sertifikasi atau label standar pada produk
yang dihasilkan dan dipasarkan.
Pada dasarnya standar berfungsi untuk membantu menjembatani antara
kepentingan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha/produsen, karena
dengan cara menerapkan standar terhadap suatu produk yang tepat dapat
memenuhi kepentingan dari kedua belah pihak. Barang yang tidak memenuhi
syarat mutu dapat menimbulkan kerugian pada konsumen karena standar
berhubungan dengan keselamatan, keamanan, kesehatan dan pelestarian
lingkungan hidup. Sedangkan bagi produsen, pemenuhan syarat mutu atau
standar merupakan upaya peningkatan daya saing selain untuk meningkatkan
efisiensi dalam proses produksi.
Saat ini, terdapat 259 SNI Wajib untuk produk yaitu SNI yang wajib
diterapkan oleh para pelaku usaha pada produk akhirnya. Namun, SNI yang
sifatnya sukarela berjumlah 7.261 untuk seluruh sektor, mayoritas SNI tersebut
ada di sektor teknologi bahan yaitu sebesar 30% dan sektor pertanian dan
teknologi pangan yaitu 19% (Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia, 2012).
Agar dapat diterapkan secara luas, maka SNI harus memenuhi kriteria sebagai
berikut (BSN, 2009): 1) harmonis dengan standar internasional dan
dikembangkan berdasarkan kebutuhan nasional, termasuk industri; 2) SNI yang
diberlakukan wajib harus didukung oleh infrastruktur penerapan yang kompeten;
3) infrastruktur penunjang tersebut harus diakui kompetensinya secara
nasional/regional/internasional. Namun demikian, penerapan SNI menemui
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 2
kendala utama yaitu kemampuan serta kesiapan pelaku usaha atau industri yang
terkait (BSN, 2012).
Seiring dengan peningkatan kebutuhan pangan, standar mutu untuk produk
pangan menjadi penting. Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional,
maka produk pangan yang diperdagangkan harus memenuhi persyaratan yang
berlaku di negara tujuan ekspor, antara lain syarat mutu, keamanan, lingkungan,
kesehatan dan lain-lain. Hal yang sama juga berlaku untuk produk impor. Dalam
upaya peningkatan ekspor, maka diharapkan produk-produk ekspor memiliki
kesesuaian standar mutu dengan standar yang ditetapkan negara tujuan. Namun
demikian, ada beberapa produk andalan ekspor Indonesia yang mengalami
penolakan di negara tujuan karena tidak memenuhi standar.
Berdasarkan data dari Food and Drugs Administration (FDA) Amerika
Serikat, pada periode tahun 2002 – 2010 produk pangan Indonesia mengalami
penolakan di negara tersebut sebanyak 2.608 kasus. Produk yang paling banyak
ditolak adalah produk perikanan yaitu ikan, udang dan kepiting yang mencapai
80% dari keseluruhan kasus penolakan (Saputra dan Hariyadi, 2012). Penolakan
produk perikanan tersebut antara lain disebabkan alasan kotor, kandungan
salmonela, veterinary drugs, dan kandungan histamine yang melebihi batas,
padahal produk perikanan merupakan salah satu produk unggulan ekspor
Indonesia yang menyumbang sekitar 1,6% dari total eskpor non migas selama
periode 2007-2012 (BPS, 2013). Di sisi lain, nilai impor produk perikanan juga
besar dan mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan tren sekitar 40%
selama periode 2007 – 2011(BPS, 2013)1.
Selain produk perikanan, produk hortikultura juga mengalami permasalahan
yang sama (BPOM, 2012). Mayoritas produk ekspor hortikultura Indonesia belum
dapat memenuhi standar Sanitary and Phyto-Sanitary (SPS) di negara tujuan
(Purwanto, 2010). Selain itu, ekspor hortikultura baru mencapai 5-20 % dari total
produksi hortikultura nasional. Hal tersebut antara lain disebabkan karena
produk hortikultura Indonesia tidak dapat memenuhi standar penanganan pasca panen (Good Agricultural Practices) di Uni Eropa, Amerika Serikat, China,
Australia, dan Korsel (Harian Pelita, 2007). Di sisi impor, produk-produk khas 1 Data BPS diolah oleh Pusdatin Kementerian Perdagangan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 3
Indonesia seperti mebel rotan dan batik memperoleh tantangan berupa
banyaknya impor, padahal produk-produk ini berpotensi besar untuk
dikembangkan ekspornya. Impor batik dari China besar dengan nilai mencapai
US$ 30 juta tahun 2012 dan diprediksi akan terus meningkat (Kemenperin,
2013). Lebih lanjut, impor mebel rotan tahun 2010 lebih dari US$ 386.000
(Kontan, 2011), padahal potensi ekspor besar. Pengusaha mengakui mebel
rotan domestik kurang bersaing dalam hal standar kualitas dan harga (Bisnis,
2012)
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa peran standar mutu
sangat penting baik bagi produk ekspor untuk akselerasi ekspor maupun produk
impor untuk melindungi konsumen. Adanya kasus penolakan produk ekspor dan
meningkatnya impor karena kurang bersaingnya standar kualitas
mengindikasikan terjadinya gap standar antara produk dalam negeri dengan
produk negara lain. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengkaji
kesesuaian antara Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan standar
internasional, standar yang berlaku di negara tujuan ekspor dan negara asal,
serta private standards. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, perumusan
masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
a. Kebutuhan standar seperti apakah yang terkait produk pangan dan non
pangan di pasar ekspor dan domestik?
b. Apakah terdapat kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan
standar yang dibutuhkan oleh pasar ekspor maupun domestik?
1.2. Tujuan Kajian
a. Mengidentifikasi kebutuhan standar produk di pasar domestik dan
internasional;
b. Menganalisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar
yang dibutuhkan oleh pasar domestik maupun internasional;
c. Menganalisis faktor-faktor penghambat dalam penerapan standar;
d. Memberikan usulan kebijakan dalam mengatasi gap standar.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 4
1.3. Keluaran Kajian a. Kebutuhan standar produk di pasar domestik dan internasional;
b. Hasil analisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar
yang dibutuhkan oleh pasar domestik maupun internasional;
c. Hasil analisis faktor-faktor penghambat dalam penerapan standar;
d. Usulan kebijakan untuk mengatasi gap standar.
1.4. Manfaat Kajian a. Manfaat bagi pemerintah
Hasil kajian ini dapat digunakan oleh pemerintah sebagai bahan rumusan
kebijakan pengawasan mutu atau standar pangan produk ekspor dalam
rangka peningkatan daya saing dan perlindungan konsumen. Selain itu,
pemerintah juga dapat merumuskan strategi pengembangan industri produk
ekspor.
b. Manfaat bagi produsen dan industri produk terkait
Hasil kajian ini dapat berguna bagi produsen dan industri terkait sebagai
bahan acuan dalam memperbaiki dan mengembangkan standar mutu produk
untuk meningkatkan daya saing dan kinerja ekspor.
c. Manfaat bagi konsumen
Konsumen dapat memanfaatkan hasil kajian ini sebagai referensi jaminan
mutu serta Keamanan, Kesehatan, Keselamatan dan pelestarian Lingkungan
(K3L) atas produk-produk pangan dan non-pangan yang beredar di pasar.
1.5. Ruang Lingkup a. Komoditas Kajian ini dilakukan pada beberapa kasus komoditas pangan dan non- pangan :
i. Produk pangan
- Produk perikanan (ikan tuna sirip kuning dan ikan cakalang);
- Produk hortikultura (manggis dan jagung);
ii. Produk non-pangan
- Batik;
- Kursi dan meja tamu rotan.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 5
Pertimbangan pemilihan komoditas tersebut sebagai berikut :
i. Pertimbangan umum
Pertimbangan umum pemilihan produk adalah besarnya nilai
perdagangan dan potensi pertumbuhannya baik ekspor maupun impor.
Kedua hal tersebut berpengaruh besar terhadap kemampuan daya saing
produk Indonesia baik di pasar dalam negeri dan luar negeri; kelangsungan
industri nasional (terutama UKM), konsumen (baik konsumen akhir maupun
antara); juga berpengaruh pada neraca perdagangan Indonesia.
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1., pertumbuhan ekspor ikan tuna
sirip kuning cukup tinggi yaitu sebesar 35,1% selama periode 2008 – 2012
dengan potensi produksi 5,9% per tahun. Namun, volume impor juga sangat
besar, pertumbuhan rata-ratanya mencapai 116,82%. Hal ini sangat
disayangkan mengingat produk ini merupakan salah satu produk ekspor non
migas andalan Indonesia.
Tabel 1.1 Pertumbuhan Produksi, Ekspor dan Impor Komoditi yang Dikaji
Komoditas
Pertumbuhan rata-rata 2008 - 2012 (%) Pertumbuhan
produksi rata-rata (%) Ekspor
(volume) Impor
(volume) Tuna sirip kuning ^) 35,1 116,82 5,9 Ikan cakalang ^^) 17,5 117,41 5,67 Mebel rotan *) -9,67 5,60 302,96
^) data produksi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan periode 2005 - 2010 ^^) data produksi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan periode 2008 - 2011 *) data ekspor impor dari BPS periode 2008 – 2012, data produksi dari kementerian Kehutanan periode 2000–2006
Begitu pula halnya dengan ikan cakalang yang produksinya berpotensi untuk
dapat ditingkatkan untuk dapat meningkatkan volume ekspor yang selama ini
tumbuh sebesar 17,5% per tahun selama periode 2008 – 2012. Serupa
dengan ikan tuna sirip kuning, impor ikan cakalang juga tumbuh pesat dari
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 6
tahun ke tahun sebesar 117,41%. Begitu pula dengan komoditas lainnya
yang menghadapi kasus serupa (Tabel 1.2. dan 1.3.)
Tabel 1.2 Kontribusi Nilai Ekspor Impor Manggis dan Jagung Terhadap Total
Ekspor dan Impor Produk Hortikultura 2007 – 2012 (%)
Komoditas Kontribusi Rata-rata Terhadap Ekspor (%) Impor (%)
Jagung 3,50 10,77 Manggis 2,02 0.00
Sumber : BPS (diolah)
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.2., jagung dan manggis
merupakan kontributor ekspor yang cukup baik diantara komoditas
hortikultura lainnya. Selain itu, manggis merupakan buah khas negara tropis
andalan Indonesia. Namun, impor jagung juga tinggi seiring dengan
peningkatan kebutuhan jagung untuk keperluan pakan ternak. Lebih lanjut,
produk andalan Indonesia lainnya yaitu batik, khususnya kemeja batik,
mengalami tren ekspor yang makin menurun dan tren impor yang meningkat
(Tabel 1.3). Menurut data dari BPS, mayoritas kemeja batik ini diekspor ke
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Sementara itu, sebagian besar
kemeja batik yang masuk ke Indonesia berasal dari Cina.
Tabel 1.3 Perubahan Ekspor dan Impor Kemeja Batik dan Trennya
Periode 2008 – 2012 (%)
Keterangan Perubahan tahun
2012 thd 2011 (%)
Tren tahun 2008 - 2012
(%) Ekspor
Kemeja batik pria dan anak laki-laki -22,50 5,54 Kemeja/blus wanita dan anak perempuan -45,30 -5,92
Impor
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 7
Kemeja batik pria dan anak laki-laki 9,05 22,57 Kemeja/blus wanita dan anak perempuan 7,60 10,25
Sumber : BPS, 2013 (diolah Pusdatin, Kementerian Perdagangan)
ii. Pertimbangan khusus
Pertimbangan khusus pemilihan produk yaitu adanya kasus-kasus tertentu
yang terjadi pada produk ekspor nasional seperti penolakan di negara tujuan
eskpor (produk makanan) dan membanjirnya barang impor (non makanan).
Sementara di sisi lain, Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar
dalam memenuhi pasar dalam negeri dan luar negeri.
- Produk perikanan (ikan tuna sirip kuning dan cakalang) merupakan salah
satu produk ekspor non migas andalan Indonesia dengan potensi yang
cukup besar. Produk perikanan paling banyak mengalami penolakan
ekspor di negara tujuan karena alasan standar, yaitu 80% dari 2.608
kasus di Amerika Serikat. Ikan tuna sirip kuning dan cakalang juga
memiliki pertumbuhan volume impor yang lebih besar daripada ekspornya
- Produk hortikultura (manggis dan jagung) mengalami masalah penolakan
ekspor karena alasan standar keamanan pangan antara lain mengandung
kloramfenikol, formalin dan zat pewarna buatan (Tempo, 2012). Manggis
khususnya mengalami penolakan di Cina karena mengandung organisme
pengganggu tanaman dan logam berat di atas ambang toleransi (Detik
Finance, 2013) .
- Batik produksinya menyumbang 20% produksi garmen nasional dan
merupakan warisan budaya Indonesia yang sudah diakui dunia
internasional. Selain itu, belum ada pedoman kualitas yang baku terkait
batik sehingga belum ada jaminan daya saing dan pedoman syarat mutu
batik (Tempo, 2013).
- Ekspor mebel rotan mengalami penurunan, sedangkan impor cenderung
meningkat, padahal Indonesia adalah produsen terbesar rotan. Dengan
adanya aturan pelarangan ekspor rotan mentah, seharusnya memberi
peluang untuk meningkatkan ekspor produk rotan. Dengan demikian,
diperlukan analisis kesesuaian standar mutu dalam rangka peningkatan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 8
ekspor dan juga menyeleksi mebel rotan impor melalui standar mutu
tersebut.
b. Aspek yang dikaji SNI produk terkait, standar internasional, standar yang berlaku di negara tujuan
ekspor dan negara asal, serta private standard.
c. Daerah Kajian Daerah penelitian terdiri dari 4 (empat) daerah, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan daerah tersebut adalah
daerah yang mempunyai sentra produksi dan industri, keberadaan insfrastruktur
standar seperti pada Tabel 1.4.
Tabel 1.4.
Daerah Survey Daerah Tuna Sirip
Kuning Cakalang Manggis Jagung Batik Mebel
Rotan Jawa Timur v v v v v v Jawa Barat v v v v Jawa Tengah
v v v
Sulawesi Selatan
v v v v v
1.6. Sistematika Penulisan Laporan dalam kajian ini terdiri dari beberapa bab:
Bab I: Pendahuluan
Dalam bagian ini dijelaskan tentang latar belakang mengapa perlu
dilakukan kajian ini, tujuan, output, manfaat, ruang lingkup, dan sistematika
penulisan.
Bab II: Tinjauan Pustaka
Deskripsi mengenai standar (standar Indonesia, standar Internasional,
standar negara tujuan ekspor dan asal impor, serta Private Standard),
standar produk perikanan, standar produk hortikultura, standar batik dan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 9
mebel rotan, hasil penelitian terdahulu dan hasil kajian dari beberapa
negara (best practices) Bab III: Metodologi
Memaparkan bagaimana kerangka pikir, metode analisis, pengambilan data
dan pengolahannya, serta urutan tahapan kajian.
Bab IV: Kondisi dan Perkembangan SNI Produk di Indonesia
Perkembangan jumlah SNI, penerapan SNI dan kendalanya, serta
pengawasan penerapannya untuk produk, baik yang wajib maupun bersifat
sukarela.
Bab V: Kebutuhan Standar Produk
Identifikasi kebutuhan standar produk pangan dan non pangan di pasar
ekspor dan domestik
Bab VI: Gap Kebutuhan Standar
Analisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang
dibutuhkan oleh pasar ekspor maupun domestik serta menganalisis faktor-
faktor penghambat dalam penerapan standar produk pangan dan non
pangan.
Bab VII: Kesimpulan dan Rekomendasi
Menyampaikan kesimpulan dari kajian ini, dan rekomendasi yang berkaitan
dengan kebijakan standar.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Standar produk merupakan alat yang penting dan utama dalam upaya
peningkatan daya saing produk ekspor dan perlindungan terhadap konsumen dalam
negeri, terutama untuk produk-produk yang mudah rusak (perishable goods) seperti
produk perikanan dan hortikultura. Peningkatan peradaban penduduk dunia
merupakan salah satu sebab utama pentingnya jaminan mutu dan keamanan produk
pangan (Rokhman, 2008 seperti dikutip oleh Yuwono, 2012). Penolakan yang
dialami oleh beberapa komoditas ekspor Indonesia mengindikasikan bahwa ada
ketidaksesuaian dalam hal standar, baik yang meliputi kualitas, keamanan,
kesehatan dan lingkungan. Dengan demikian, penelitian ini menelaah apakah SNI
sukarela pada produk perikanan dan hortikultura sudah sesuai dengan standar yang
disyaratkan di negara-negara tujuan ekspor dan diterapkan oleh negara asal impor
(national standards). Standar-standar yang dibahas antara lain SNI, standar
internasional (CODEX Alimentarius), Hazard Analysis and Critical Control Points
(HACCP), ISO 22000, standar negara tujuan ekspor dan asal impor, serta private
standard untuk produk pangan dan non-pangan.
2.1. Standar
a. Standar Nasional Indonesia (SNI)
Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah ketentuan teknis berupa aturan,
acuan atau kriteria dari sebuah kegiatan atau hasil dari kegiatan tersebut
yang diperoleh melalui konsensus untuk kemudian ditetapkan oleh Badan
Standarisasi Nasional (BSN) (BSN, 2011). Proses konsensus diperlukan
agar standar disepakati oleh seluruh pemangku kepentingan. Lebih lanjut,
terdapat beberapa kriteria agar penerapan standar memiliki jangkauan
yang luas sebagai berikut (BSN, 2011):
i. SNI harus harmonis dengan standar internasional dan SNI
dikembangkan berdasarkan pada kebutuhan nasional, termasuk juga
kebutuhan industri.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 11
ii. Pengembangan SNI yang bersifat wajib dalam rangka penerapan
regulasi teknis harus didukung oleh infrastruktur yang memadai
sehingga dapat melindungi kepentingan, keselamatan, keamanan,
kesehatan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup serta
pertimbangan ekonomi secara efektif dan efisien.
iii. Kompetensi infrastruktur yang diperlukan dalam rangka mendukung
penerapan SNI harus diakui di tingkat nasional, regional, maupun
internasional.
Berikut adalah standar nasional Indonesia terkait produk-produk yang diteliti
dalam kajian ini :
• Tuna beku
1. SNI No. 01-2710.1-2006 : spesifikasi
2. SNI No. 01-2710.2-2006 : persyaratan bahan baku
3. SNI No. 01-2710.3-2006 : penanganan dan pengolahan
• Cakalang beku
1. SNI No. 01-2733.1-2006 : spesifikasi
2. SNI No. 01-2733.2-2006 : persyaratan bahan baku
3. SNI No. 01-2733.3-2006 : penanganan dan pengolahan
• Manggis : SNI No. 3211:2009
• Jagung : SNI No. 01-3920-1995
• Batik : SNI No. 08.3540.1994
• Mebel rotan
1. SNI No. 7555.24:2011 : Kursi tamu rotan
2. SNI No. 7555.25:2011 : Meja tamu rotan
b. Standar Internasional
i. CODEX
CODEX Alimentarius Commission (CAC) merupakan lembaga yang
dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kesehatan konsumen dan
menjamin terjadinya perdagangan yang adil, selain berkoordinasi dengan
institusi standarisasi lainnya untuk mengkampanyekan pentingnya
keamanan pangan atau food safety (WHO dan FAO, 2009 seperti dikutip
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 12
oleh Salim, 2012). Lebih lanjut, lembaga yang berada di bawah naungan
World Health Organisation (WHO) dan Food and Agricultural Organisation
(FAO) ini menghasilkan rekomendasi internasional yang terangkum dalam
CODEX tentang prinsip umum dalam praktek kesehatan dan keamanan
pangan (Simangunsong, 2006). Dengan demikian, regulasi ini mendukung
para pelaku usaha di sektor perikanan dalam rangka menyediakan produk
yang terjamin keamanan dan kesehatannya kepada konsumen, baik di
pasar domestik maupun pasar internasional (Salim, 2012).
ii. HACCP
HACCP merupakan sistem pengawasan mutu untuk menjamin keamanan
dan mutu produk perikanan. Penerapan pengawasan ini dimulai dari
penangkapan ikan, pengangkutan, pengolahan dan pendistribusian produk
ke tempat penjualan atau sampai ke konsumen akhir (Deboyser, 2005
seperti dikutip oleh Simangunsong, 2006). Penerapan HACCP adalah
upaya pencegahan dan pendeteksian berbagai permasalahan yang
mungkin terjadi selama proses produksi berlangsung sehingga terbentuk
suatu rangkaian pengawasan mutu dan keamanan (Simangunsong, 2006).
iii. ISO 22000
Standar ini menetapkan persyaratan sistem manajemen kemanan pangan
yang mengkombinasikan unsur-unsur kunci umum berikut untuk
memastikan keamanan pangan sepanjang rantai pangan hingga konsumsi
akhir (BSN, 2012):
- Komunikasi interaktif;
- Manajemen sistem;
- Program Persyaratan Dasar (PPD); dan
- Prinsip HACCP.
iv. Private Standard
Istilah Private Standard sudah berlangsung sejak tahun 1990-an,
seiring dengan peningkatan peran perdagangan internasional dalam
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 13
kegiatan ekonomi dunia. ISO (2010) mendefinisikan private standard
sebagai segala jenis standar yang dikembangkan oleh institusi non-
pemerintah yang memiliki karakteristik tertentu yang terkait dengan aspek
tatakelola (governance), pengembangan (development), dan keterkaitan
berbagai pihak (stakeholder engagement). Liu (2009) menjelaskan bahwa
munculnya semangat menggunakan private standard didominasi oleh
globalisasi, liberalisasi perdagangan, perubahan preferensi konsumen, dan
kemajuan informasi dan teknologi (IT). Dalam penerapannya, jenis dan
kategori private standard sangat beragam, tergantung pada sasaran,
cakupan, kelebihan, serta kekurangannya. Oleh karena itu, private standard
tidak bisa dikategorikan sebagai jenis standar yang homogen.
Lebih lanjut, Liu (2009) dan Shepherd dan Wilson (2010) juga
mengemukakan bahwa private standard di satu sisi dapat memberikan
keuntungan dalam hal akses pasar, efisiensi manajemen, peningkatan
kualitas produk sekaligus citra perusahaan, dan bahkan penurunan biaya
usaha. Namun di sisi lain, penerapan private standard dapat menjadi
masalah terkait dengan kepemilikan dan kewenangan oleh otoritas tertentu
yang terkadang tidak transparan dan belum tentu berdasar pada alasan
ilmiah (scientific-based reason). Selain itu, penerapan private standard juga
dapat membebani produsen tertentu, seperti small-holders dan produsen
yang berada di luar area diberlakukannya private standard. Selain itu,
private standard juga dapat memiliki peran yang tumpang tindih dengan
standar yang sudah ada, seperti standar nasional yang diterapkan
pemerintah ataupun standar internasional.
1) Tujuan dan Cakupan Private Standard
Serupa dengan tujuan standardisasi seperti yang tertulis dalam ISO
(2010), private standards bertujuan untuk menjamin bahwa bahan baku,
produk, proses, serta proses pelayanannya sesuai dengan tujuannya.
Lebih detil, standar memiliki tingkatan tujuan antara lain: tujuan utama (ultimate objectives), tujuan yang mendesak (immediate objectives), dan
tujuan operasional (operational objectives). Ultimate objectives
mensyaratkan ketentuan yang lebih umum, seperti ketentuan produksi,
produk diferensiasi, dan sebagainya. Sementara immediate objectives
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 14
lebih menekankan pada aspek traceability yang mensyaratkan informasi
asal suatu produk. Penerapan standar dalam rangka immediate
objectives banyak dijumpai pada standar di sektor pangan. Sedangkan
operational objectives lebih menekankan pada hasil dari penerapan
standar (operation) yang telah ditentukan, seperti misalnya penerapan
standar keamanan pangan yang sesuai dengan ketentuan Good
Agricultural Practices (GAP) dan ketertelusuran atau traceability.
2) Institusi yang Menerapkan Private Standard
Pada umumnya private standard ditentukan oleh perusahaan, asosiasi
bisnis, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memfokuskan
pada persyaratan produksi dan diferensiasi produk. Dengan perkataan
lain, produk yang dijual kepada perusahaan atau pasar konsumen
tertentu harus menerapkan standar yang sudah ditentukan oleh institusi
tersebut. Beberapa contoh private standard yang sudah diterapkan
antara lain:
- COLEACP, private standard yang ditetapkan oleh asosiasi produsen
hortikultura di Florida.
- Tesco’s Nature Choice, British Retail Consortium (BRC), dan
Carrefour’s Filière Qualité, private standard yang ditetapkan oleh
perusahan ritel.
- GlobalGAP, private standard yang diinisiasi oleh konsumen melalui
LSM yang berkaitan dengan Good Agricultural Practices yang meliputi
sektor perikanan dan hortikultura. Standar tersebut juga telah diadopsi
oleh pelaku ritel modern di Eropa.
- The International Confederation of Free Trade Union (ICFTU), private
standard yang diinisiasi oleh LSM yang berkaitan dengan ketentuan
jaminan terhadap hak-hak pekerja. Standar ini serupa dengan Fair-
Trade Labeling Organisation (FLO) dan The Sustainable Agricultural
Network (SAN) yang menentukan standar keadilan bagi petani,
pekerja, dan lingkungan hidup.
3) Cakupan Geografi
Seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan internasional,
cakupan wilayah penerapan private standard pun sudah bersifat global.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 15
Artinya, produsen baik eksportir maupun importir dari berbagai negara
disyaratkan memenuhi ketentuan sesuai dengan private standard yang
berlaku. Namun demikian, beberapa private standard hanya diterapkan di
wilayah tertentu, seperti FLO yang berlaku bagi negara berkembang dan
Rainforest Alliance yang berlaku bagi negara yang memilik hutan tropis.
2.2. Penelitian Terdahulu
Standar produk perikanan telah menjadi fokus studi dalam beberapa tahun
terakhir. Dari sisi ekspor, produk perikanan Indonesia masih mengalami
hambatan terutama di pasar negara maju. Di samping itu, kinerja ekspor produk
perikanan Indonesia masih belum optimal. Sementara untuk pasar dalam
negeri, beberapa kajian menitikberatkan pada penerapan standar oleh pelaku
usaha dimana kesadaran pelaku usaha dalam menerapkan standar mutu dan
keamanan produk masih rendah.
Lambaga (2009) menganalisis tentang kinerja ekspor produk perikanan
Indonesia di beberapa pasar tujuan ekspor terkait dengan penerapan standar,
baik yang bersifat wajib (mandatory) maupun sukarela (voluntary). Dalam
mengukur kinerja ekspor, digunakan variabel antara lain harga produk
perikanan di Indonesia, produksi, nilai tukar, dan hambatan non-tariff. Analisis
dilakukan terhadap tiga blok utama, yaitu: (1) Jenis komoditas ekspor utama
yaitu tuna dan udang, (2) Pasar ekspor utama yang dibagi dalam empat
kelompok yaitu Jepang, Uni Eropa, Amerika, dan pasar prospektif yang diisi
oleh negara-negara ASEAN dan Asia Timur, serta (3) Komoditas per pasar
dengan menggunakan data periode 2002-2007.
Hasil dari analisis dengan metode Regresi Linier Berganda (Ordinary Least
Square) menjelaskan bahwa kenaikan harga ikan dari Indonesia cenderung
akan menurunkan volume ekspor produk perikanan. Namun hal tersebut tidak
berlaku untuk pasar Jepang, terutama untuk produk udang. Hal ini didasarkan
pada argumen bahwa udang Indonesia merupakan produk yang diminati oleh
konsumen Jepang dimana harga rata-rata produk udang Indonesia yang
diekspor ke Jepang mencapai US$ 8,18/kg selama periode 2002-2007, jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan pasar Uni Eropa dan Amerika yang hanya
berada pada tingkat US$ 1,80/kg dan US$ 5,60/kg.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 16
Sementara itu, volume ekspor produk perikanan Indonesia sangat
dipengaruhi oleh nilai tukar, dimana semakin tinggi nilai tukar rupiah maka
semakin rendah volume ekspornya. Hal ini dikarenakan hampir sebagian besar
transaksi ekspor perikanan dilakukan dengan mata uang dollar Amerika. Terkait
dengan volume produksi, jika terjadi peningkatan volume produksi, maka ekspor
produk perikanan dan udang akan mengalami peningkatan. Pengecualian
terdapat pada pasar Jepang, Uni Eropa, dan pasar prospektif dimana
peningkatan produksi tidak sera merta diikuti dengan peningkatan ekspor.
Beberapa hal seperti pengkelasan atau grading, persyaratan mutu, dan jenis
produk merupakan faktor yang menyebabkan ekspor tidak berbanding lurus
dengan peningkatan produksi.
Terkait dengan hambatan non-tarif, ekspor udang ke Jepang, udang dan
tuna ke pasar prospektif akan menurun jika dilakukan penerapan standar di
negara tujuan ekspor. Yang menarik, penerapan standar di Amerika dan Uni
Eropa belum berpengaruh menurunkan ekspor produk perikanan. Hal ini diduga
karena prosedur ekspor ke AS dan UE sangat ketat namun mendapat
pengawasan langsung dari otoritas kompeten di Indonesia sehingga ekspor ke
negara tersebut tidak terlalu berpengaruh.
Peluang untuk meningkatkan ekspor produk perikanan semakin terbuka di
masa mendatang. Hal ini terkait dengan kebijakan negara-negara di Eropa
untuk mengurangi kegiatan penangkapan ikan. Selama ini impor produk
perikanan Eropa berasal dari negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara
yang didominasi oleh Thailand, Indonesia, dan Vietnam. Kesempatan ini dapat
dimanfaatkan oleh Indonesia untuk meningkatkan kinerja ekspornya. Data
menunjukkan bahwa ekspor Indonesia masih kurang dari separuh ekspor
Thailand padahal produksi perikanan tangkap Indonesia lebih besar daripada
Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa produk perikanan Indonesia masih
berorientasi memenuhi kebutuhan domestik dan jenis dan mutu produk
perikanan Indonesia masih banyak yang belum memenuhi standar ekspor. Oleh
karena itu untuk meningkatkan kinerja ekspor dapat dilakukan melalui beberapa
langkah seperti peningkatan kualitas produk, penanganan pasca panen yang
baik, pengembangan industri bioteknologi, pembenahan jasa angkutan, dan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 17
penyebaran informasi terkait standar mutu di negara tujuan ekspor (Fahrudin,
2003).
Riyadi et a.l (2007) menemukan bahwa terdapat penanganan produk yang
tidak memenuhi kaidah keamanan dengan penggunaan bahan tambahan
makanan ilegal (formalin dan peroksida) pada produk ikan segar dan ikan asin
di Pantura dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan terhadap
aspek teknis (pengambilan bahan baku dan pengolahan), ekonomi, sosial
budaya yang meliputi pedagang dan konsumen, kelembagaan, dan kebijakan
keamanan pangan. Hasil analisis secara deskriptif menemukan bahwa
penanganan produk perikanan masih kurang memperhatikan faktor sanitasi dan
higienis. Malahan, beberapa produk perikanan menggunakan bahan pengawet
formalin yang bertujuan untuk memenuhi segmen pasar tertentu yang
menginginkan ikan yang bertekstur kenyal dan lebih tahan lama. Hal ini
menunjukkan bahwa kesadaran produsen dan konsumen domestik terhadap
mutu produk perikanan masih rendah. Beberapa faktor yang menyebabkan
kurangnya kesadaran produsen dalam menerapkan keamanan mutu antara lain
faktor sosial budaya rendahnya tingkat pendidikan baik para pengolah maupun
masyarakat konsumen. Sementara dari aspek kelembagaan dikarenakan
kurangnya penyuluhan dan pengawasan oleh pemerintah.
Sementara itu Yuwono, Zakaria, dan Panjaitan (2012) menyebutkan bahwa
dalam upaya meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk perikanan, khususnya fillet ikan, Kementerian Kelautan dan perikanan memperkenalkan
Good Manufacturing Practises (GMP) dan Sanitation Standard Operating
Procedures (SSOP). Namun dalam prakteknya penerapan GMP dan SSOP
masih belum dapat diterapkan secara maksimal. Penelitian ini dilakukan pada
pabrik pengolahan fillet ikan yang berhenti menerapkan GMP dan SSOP
dengan tujuan untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi
kelangsungan proses penerapan tersebut. Pengolahan dan analisis data
menggunakan metode deskripsi dan analisis pra syarat. Faktor-faktor yang
mempengaruhi keberlanjutan penerapan GMP dan SSOP pengolahan fillet ikan
antara lain disebabkan faktor internal seperti rendahnya tingkat pengetahuan
dan kurangnya pemahaman, faktor eksternal seperti kurangnya sosisalisasi,
kurangnya fasilitas air bersih, es dan rantai dingin, kurangnya pembinaan,
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 18
lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, dan faktor karakteristik inovasi
seperti rendahnya permintaan pasar, rendahnya keuntungan yang diperoleh,
dan rumitnya penerapan GMP dan SSOP.
Pemahaman pelaku usaha terhadap materi SNI (sukarela) keberadaan
lembaga penunjang (lembaga sertifikasi produk, supervisi/pengawas mutu)
menjadi faktor penentu utama bagi perusahaan dalam menerapkan SNI yang
ada. Dengan menerapkan SNI sebenarnya perusahaan memperoleh manfaat
atau benefit yaitu adanya image atau anggapan bahwa produk yang dihasilkan
perusahaan yang bersangkutan merupakan produk berkualitas. Sehinga secara
tidak langsung, kualitas yang baik dari produk yang dihasilkannya akan mampu
meningkatkan daya saing produk tersebut di pasar (Puska Dagri, 2012).
Penerapan suatu standar, termasuk SNI seringkali dianggap sebagai suatu
biaya tambahan (extra costs) bagi perusahaan. Hal ini karena mereka melihat
bahwa dengan SNI mereka harus menambah biaya untuk proses pengujian,
laboratorium yang tersertifikasi. Biaya untuk peralatan dan dan sertifikasi ini
dianggap sebagai biaya terbesar dalam menerapkan SNI. Perlu adanya insentif
dari pemerintah dalam bentuk sarana dan prasarana Laboratorium Uji dan
Sumber Daya Manusia di bidang standardisasi yang terkareditasi secara
nasional dan internasional (Puska Dagri, 2012).
2.3. Penelitian Gap Analisis di Beberapa Negara Pemerintah Australia melalui Departemen Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (Department of Agriculture, Fisheries and Forestry) melakukan
kajian terhadap sistem kualitas manajemen (quality management systems)
dalam hubungannya dengan supply chain management untuk komoditas dan
produk olahan Genetically Modified (GM) dan non-GM products dalam upaya
untuk memenuhi persyaratan domestik dan internasional (Lovell, Clark, dan
Jeffries, 2003). Produk-produk yang menjadi kajian adalah kanola (canola),
katun (cotton), susu dan poppies. Kajian ini, bertujuan, salah satunya untuk
melihat adanya gap yang terjadi pada sistem supply chain. Studi ini juga
melakukan penilaian terhadap resiko yang muncul bila terjadi gap dalam sistem
yang ada.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 19
Beberapa hal yang dikaji adalah bagaimana produk tertentu sepeti susu,
kanola dan lainnya bergerak dari pergudangan (areal pemanenan) sampai ke
penyalur. Permasalahan yang mungkin muncul dan penyebabnya juga dikaji,
termasuk di dalamnya adalah apakah suatu permasalahan yang timbul
memberikan efek negatif secara komersial atau tidak. Resiko akan
kemungkinan adanya keluhan dari konsumen juga menjadi perhatian tersendiri
dalam kajian ini.
Beberapa negara seperti Chili, Kenya, Malaysia dan Meksiko berupaya
untuk melihat adanya gap standar yang terjadi dengan melakukan
benchmarking dengan GlobalGAP khususnya untuk produk-produk pertanian
(Valk dan Roest, 2009). Beberapa negara tersebut melakukan benchmarking
standar nasional mereka dengan GlobalGAP dalam upaya untuk meningkatkan
akses pasar ekspor khususnya di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Beberapa hal yang dikaji adalah bagaimana karakteristik dari standar nasional mereka dan quality sistem dari produk makanan dan proses benchmarking
dengan GlobalGAP.
Di negara-negara tersebut skema National Gap dimotori oleh pihak
pemerintah dan juga swasta. Untuk Malaysia dan Mexico, National Gap Scheme
dimotori oleh pemerintah (Malaysia's Best and Mexico Calidad Suprema).
Sementara itu di Kenya dan Chili, inisiatif untuk melakukan benchmarking justru
dilakukan oleh swasta dengan nama ChileGAP dan KenyaGAP. Untuk Kenya,
inisiatif pembentukan GAP tersebut dilakukan oleh perusahaan besar di negara
tersebut kemudian disetujui oleh pemerintah. Pembentukan benchmarking di
negara-negara tersebut dibentuk sebagai instrumen pasar dalam
mengembangkan pasar ekspornya. Benchmarking digunakan untuk
meningkatkan kredibiltas produk mereka di pasar ekspor.
Negara ASEAN lain yang melakukan benchmarking terhadap GlobalGAP
adalah Thailand. Di Thailand ide pembentukan gap ini adalah datang dari
pemerintah dengan Thai Q-Gap dan ThaiGAP yang diusulkan oleh pihak
eksportir swasta. Tujuan dari benchmarking yang dilakukan Thailand adalah
sama seperti negara lainnya, terutama untuk meningkatkan market share dari
buah-buahan segar dan sayuran, khususnya di pasar Eropa. Langkah bersama
yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta ini adalah upaya bersama untuk
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 20
mencapai kesesuaian dengan standar internasional yang ada (Valk dan Roest,
2009). Meskipun, pada dasarnya upaya pemenuhan gap ini bersifat sukarela
seperti halnya pemenuhan standarisasi pada umumnya.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 21
BAB III METODOLOGI
Standar produk menjadi suatu kebutuhan masyarakat sekarang ini, baik
bagi produsen maupun konsumen. Bagi produsen dengan adanya standar berarti
mereka bisa memperoleh jaminan bahwa produk yang bersangkutan mempunyai
kualitas yang baik dan memenuhi standar keselamatan, keamanan, kesehatan dan
pelestarian lingkungan hidup. Bagi produsen, standar berimplikasi pada
meningkatnya daya saing produk baik di pasar dalam negeri maupun pasar global.
Dengan demikian upaya penerapan standar mempunyai dua keuntungan baik bagi
produsen, konsumen maupun perekonomian nasional secara umum. Ada
kecenderungan sekarang ini bahwa banyak negara yang mulai memperhatikan dan
peduli pada arti pentingnya standar internasional dan sistem sertifikasi sebagai alat
untuk memastikan adanya jaminan terhadap kualitas, efisiensi produk, kesehatan
dan kelangsungan lingkungan hidup (Khan, Ali dan Tanveer, 2005).
3.1 Kerangka Pemikiran
Dalam rangka mewujudkan produk dengan kualitas yang baik, memenuhi
standar keselamatan, keamanan, kesehatan dan pelestarian lingkungan hidup,
maka suatu produk harus dipastikan bahwa dalam seluruh proses produksinya
(mulai dari bahan baku sampai produk akhir) harus memenuhi standar tertentu yang
dipersyaratkan. Untuk memastikannya maka keseluruhan supply chain yang ada
termasuk para pelakunya bertanggung jawab untuk mewujudkannya dari produk
dasar/bahan baku dan asal usulnya (raw materials) sampai konsumsi akhir (final
consumption) (CODEX Alimentarius Commision, 2003; Faergemand and Jespersen,
2004; Khan, Ali, Tanveer, 2005; Will and Guenther, 2007).
Gambar 2.1 berikut menampilkan proses aliran barang dalam upaya untuk
memperoleh produk yang memenuhi standar (Kualitas, Kesehatan, Keamanan,
Keselamatan dan Lingkungan Hidup). Jaminan produk yang berkualitas dan
memenuhi standar yang diinginkan harus dimulai dari bahan baku termasuk asal
usul dari bahan baku tersebut, sampai barang tersebut berada di tangan konsumen
akhir. Jaminan ini melibatkan tanggung jawab berbagai pemangku kepentingan yang
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 22
terlibat dalam upaya untuk melakukan kegiatan (practices) yang baik dalam
memproduksi bahan baku, penjualan/distribusi bahan baku, proses produksi
(manufacturing), dan distribusi barang jadi. Dalam semua rantai itu harus bisa
memastikan adanya higinitas melalui, diantaranya, praktek Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP).
Gambar 3.1
Alur Barang untuk Memenuhi Standar (Kualitas, Kesehatan, Keamanan, Keselamatan dan Lingkungan Hidup)
Sumber: Diadopsi dari Will and Guenther (2007).
Kondisi ideal yang ditunjukkan dalam Gambar 3.1 menjadi sesuatu yang
diinginkan oleh konsumen secara umum. Namun demikian, dalam kondisi tertentu
yang ada di dalam suatu perekonomian, dimana konsumen dan produsennya sangat
beragam, upaya untuk mewujudkan kondisi ideal tersebut tidaklah mudah. Ada
berbagai pertimbangan baik itu pertimbangan ekonomi, sosial, lingkungan dan
lainnya yang terlibat dalam aliran barang tersebut, sehingga pemerintah harus bijak
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 23
dalam membuat suatu peraturan terkait standar ini. Beberapa pertimbangan tersebut
adalah perlindungan konsumen, produsen (perbedaan kemampuan, khususnya
usaha kecil dan menengah), dunia industri dan perekonomian secara umum. Hal ini
pulalah, untuk kasus Indonesia, yang mendasari adanya Standar Nasional Indonesia
(SNI) yang sukarela dan wajib. SNI sukarela yang ada tidak serta merta bisa
dijadikan menjadi SNI wajib, diantaranya, dengan pertimbangan tersebut di atas.
Gambar 3.2 Kerangka Pikir Kajian SNI dengan Gap Analisis
Catatan: + Gap adalah adanya perbedaan SNI dengan standar internasional, dimana SNI mempunyai unsur lebih; - Gap adalah kekurangan yang ada dalam SNI.
Dalam penelitian tentang kebutuhan standar dalam dimensi perlindungan
konsumen dan penguatan daya saing, akan dilihat ada tidaknya gap dalam
kebutuhan standar di Indonesia. Kerangka pikir dalam penelitian ini disajikan dalam
Gambar 2.2. SNI (khususnya produk makanan) merujuk pada standar internasional
yang ada seperti CODEX Alimentarius, HACCP dan juga ISO (khususnya ISO
Standar Internasional (CODEX, HACCP, ISO, Private Standards)
Standar nasional (SNI,
regulasi teknis)
Pertimbangan kebutuhan
(perlindungan konsumen, peningkatan
daya saing)
Kesesuaian atau ketidaksesuaian (gap positif dan negatif)
Solusi (bridging the gap)
Kebijakan Mengatasi Gap Standar
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 24
22000 yang terkait dengan food safety). Namun demikian, dalam kenyataannya, ada
kemungkinan terjadi gap antara SNI dengan standar internasional yang ada, baik
positif maupun negatif. Yang dimaksudkan dengan gap positif adalah bahwa apabila
SNI yang ada mempersyaratkan sesuatu pada produk tertentu dengan standar yang
lebih tinggi (kualitas yang lebih baik) dari pada yang dipersyaratkan dalam standar
internasional. Sementara gap negatif adalah apabila SNI yang ada terdapat
kekurangan atau tidak mempersyaratkan sesuatu yang seharusnya (idealnya).
Untuk perusahaan/importir dari negara-negara tertentu seperti dari Uni Eropa (UE),
ada juga yang menerapkan private standard yang dikeluarkan oleh swasta
(perusahaan). Bagi negara atau produsen untuk produk tertentu yang ingin
melakukan ekspor ke negara tujuan juga harus memenuhi private standard. Gap
analisis juga akan diterapkan pada SNI dan private standard.
Dengan diketahuinya gap diharapkan bisa ditemukan solusi (bridging) sehingga
standar yang ada (SNI) bisa memenuhi kebutuhan konsumen dan produsen di pasar
domestik maupun internasional. Perbaikan standar ini diharapkan bisa diarahkan
untuk perlindungan konsumen yang lebih baik dan peningkatan kemampuan daya
saing produk Indonesia di pasar baik dalam negeri maupun luar negeri, sekaligus
juga memperkuat daya industri khususnya usaha kecil dan menengah (UKM).
3.2. Metode Analisis
Metode analisis yang dipakai adalah analisis deskriptif yaitu analisis gap untuk
melihat komponen dasar yang diperlukan oleh suatu produk untuk bisa memenuhi
standar tertentu. Kebutuhan standar ini akan dibandingkan antara SNI dengan
standar internasional yang ada yang mengacu pada CODEX Alimentarius, HACCP,
dan ISO (ISO 22000).
a. Analisis Gap
Analisis gap dalam standardisasi ini bisa dilihat sebagai upaya untuk melihat
adanya kesesuaian atau ketidaksesuaian (Compliance Gap Analysis). Analisis
compliance gap ini bisa dilakukan dengan membandingkan antara kondisi yang
sekarang ada ada (real situation) dengan kondisi yang dibutuhkan (desired
situation). Di samping itu juga pengukuran terhadap gap yang terjadi (measuring the
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 25
gap) dan juga upaya untuk menutup atau mengatasi gap (closing/bridging the gap)
yang juga penting untuk dilakukan (Khan, Ali dan Tanveer, 2005). Dengan adanya
analisis gap, diharapkan bisa ditemukan solusi untuk mencapai kondisi yang
diharapkan (sesuai persyaratan yang ada).
Analisis gap akan dilakukan untuk melihat komponen dasar yang seharusnya
ada dalam standar produk, apakah SNI yang ada (wajib/sukarela) sesuai dengan standar internasional yang ada ataupun persyaratan tertentu lainya (national
standard yang diberlakukan oleh mitra dagang, juga kemungkinan adanya private
standard).
Dalam upaya untuk mengetahui bahwa produk makanan memperolah jaminan
sesuai standar, maka pemenuhan persyaratan dalam proses (produksi) dan
persyaratan yang ditentukan oleh konsumen harus diketahui secara menyeluruh.
Adanya komitmen dari semua pihak yang terlibat dalam jaringan produk terhadap
sistem, konsumen, pasar dan juga persyaratan teknis menjadi sangat penting. Analisis gap untuk melihat adanya gap yang mungkin terjadi dalam rantai nilai dalam
proses produksi (termasuk bahan baku) produk perikanan di Indonesia. Dalam
melakukan kajian ini, gap yang ada akan dilihat dari dua sisi, yaitu sisi ekspor dan
impor:
- Sisi ekspor Dari sisi ekspor, kajian ini dilakukan untuk mencari gap antara SNI dan standar
internasional yang berlaku (CODEX Alimentarius, HACCP, dan ISO (ISO 22000),
national standard dari mitra dagang dan private standard). Kajian gap dari sisi
ekspor ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing produk
Indonesia di pasar internasional dan meningkatkan akses dan penetrasi di pasar
internasional.
- Sisi impor Masuknya barang impor yang terkadang tidak memenuhi standar yang ada bisa
merugikan konsumen dan produsen. Jenis produk impor tersebut cenderung
mempunyai kualitas yang rendah dan harga yang murah, sehingga mengancam
produk lokal di pasar dalam negeri. Gap analisis akan dilakukan terhadap produk
impor yang masuk ke pasar domestik. Hal ini dilakukan untuk memastikan
apakah produk impor tersebut memiliki standar tertentu atau tidak dan
bagaimana gap yang ada antara SNI dengan standar produk yang masuk.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 26
Berikut disajikan analisis gap SNI dengan standar yang ada baik dari sisi ekspor
(Tabel 3.1) maupun dari sisi impor (Tabel 3.2)
Tabel 3.1 Sisi Ekspor - Gap SNI* dengan Standar Internasional (CODEX, HACCP, ISO),
National Standard Negara Importir dan Private Standard
Unsur Rincian + Gap -Gap Solusi
Bahan baku a) Bentuk b) Asal c) Mutu d) Peyimpanan
Bahan tambahan
makanan
sesuai SNI 01-0222-1995)
Penanganan dan Pengolahan
a) Penerimaan b) Pencucian c) Sortasi d) Penimbangan e) Pembekuan f) Pengepakan
a) Bahan penolong b) Peralatan (jenis
dan persyaratan)
Sanitasi dan higiene
ditangani, disimpan, didistribusikan dan dipasarkan dengan menggunakan
wadah, cara dan alat yang sesuai dengan persyaratan sanitasi dan higiene
Syarat mutu dan keamanan pangan
a) Organoleptik b) Cemaran Mikroba c) Cemaran Kimia d) Fisika e) Parasit
Pengambilan contoh
SNI 01-2326-1991,
Standar metode pengambilan contoh (produk perikanan).
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 27
Cara uji a) Organoleptik b) Mikrobiologi c) Kimia d) Fisika e) Parasit
Pengemasan/ Packing
a) Bahan kemasan b) Teknik
pengemasan
Penandaan/ Labelling
a) jenis produk b) berat bersih produk c) nama dan alamat
unit pengolahan secara lengkap
d) bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut
e) tanggal, bulan dan tahun produksi
f) tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
Penyimpanan Catatan: Tabel kesesuaian ini adalah untuk produk perikanan, sebagai
contoh analisis gap.
Dalam SNI, khususnya yang terkait dengan produk perikanan, arti penting
standar sebagai upaya untuk menghilangkan potensi bahaya. Dengan diketahuinya
gap dan upaya mengatasinya dalam penerapan SNI sebagai upaya untuk
melindungi konsumen, memperkuat industri dan pasar domestik, diharapkan tidak
terjadi gangguan terhadap keamanan (food safety), mutu produk/keutuhan
pengolahan (wholesomeness) dan ekonomi (economic fraud). Dalam kaitannya
dengan adanya penolakan produk (perikanan), analisis gap bisa diterapkan untuk
melihat standar dalam proses (produksi). Pada dasarnya standar proses mempunyai
cakupan yang luas yang tidak hanya terkait dengan upaya untuk mewujudkan
kesehatan dan sanitasi dalam proses produksi tetapi juga terkait ke belakang
(backward linkage) dengan bahan baku, praktek penangkapan (dengan
menggunakan kapal atau lainnya), transportasi dan lainnya (Khan, Ali dan Tanveer,
2005).
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 28
Tabel 3.2 Sisi Impor - Gap SNI dengan National Standard Negara Eksportir
Unsur Rincian + Gap -Gap Solusi
Bahan baku a. Bentuk b. Asal c. Mutu d. Peyimpanan
Bahan tambahan
makanan
sesuai SNI 01-0222-1995)
Penanganan dan Pengolahan
a. Penerimaan b. Pencucian c. Sortasi d. Penimbangan e. Pembekuan f. Pengepakan
a. Bahan penolong b. Peralatan (jenis
dan persyaratan)
Sanitasi dan higiene
ditangani, disimpan, didistribusikan dan dipasarkan dengan menggunakan
wadah, cara dan alat yang sesuai dengan persyaratan sanitasi dan higiene
Syarat mutu dan keamanan pangan
a. Organoleptik b. Cemaran Mikroba c. Cemaran Kimia d. Fisika e. Parasit
Pengambilan contoh
SNI 01-2326-1991,
Standar metode pengambilan contoh (produk perikanan).
Cara uji a. Organoleptik b. Mikrobiologi c. Kimia d. Fisika
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 29
e. Parasit
Pengemasan /Packing
a. Bahan kemasan b. Teknik
pengemasan
Penandaan /Labelling
a. jenis produk b. berat bersih
produk c. nama dan alamat
unit pengolahan secara lengkap
d. bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut
e. tanggal, bulan dan tahun produksi
f. tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
Penyimpanan Catatan: National standard adalah standar nasional yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor.
Dengan adanya penolakan yang sering terjadi terhadap produk makanan yang
diekspor, maka penting untuk mengetahui respon perusahaan di Indonesia.
Bagaimana mereka bertindak bila produk yang diekspor ditolak; maupun dalam hal
adanya gap antara SNI dengan standar yang ada. Beberapa hal mendasar terkait
dengan perilaku perusahaan/produsen yang dikaji dengan menggunakan analisis
gap adalah sebagai berikut (Gomm, 2009): (1) Kepedulian (awareness), (2)
Pengetahuan (knowledge), (3) Implementasi (implementation), dan (4) Komitmen
(commitment).
Beberapa pertanyaan yang bisa diajukan kepada perusahaan (eksportir) terkait
dengan perilaku mereka terhadap standar internasional yang ada diuraikan dalam
Tabel 3.3. Pertanyaan dalam Tabel 3.3 ini terutama untuk mengkaji bagaimana
respon mereka bila produk yang mereka ekspor ditolak di pasar internasional, apa
yang dilakukannya dan bagaimana mengatasi gap yang ada. Sementara itu, Tabel
3.4 mengkaji perilaku perusahaan (importir) terhadap SNI yang berlaku. Pertanyaan
dalam Tabel 3.4 untuk mengkaji bagaimana respon mereka bila mendapatkan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 30
produk yang diimpor tidak sesuai dengan standar yang berlaku (SNI), bagaimana
mereka meresponnya dan langkah apa yang diambil untuk mengatasinya.
Tabel 3.3 Perilaku Perusahaan (Eksportir) Terhadap Standar Internasional
Gap Solusi
Kepedulian (awareness)
a) Adanya kepedulian terhadap Standar
b) Memperhatikan ada atau tidaknya label standar
Pengetahuan (knowledge)
a) Mengetahui tentang Standar dan SNI
b) Mengetahui bahwa produk memenuhi standar negara tujuan
Implementasi (implementation)
Mengekspor produk yang memenuhi standar
Komitmen (commitment)
Hanya mengekspor produk ber-standar
Langkah yang dilakukan
a) Adanya penolakan produk
b) Ketidaksesuaian dengan standar
b. Mapping SNI Mapping ini dilakukan untuk mengidentifikasi SNI yang ada dan pengelompokkannya
berdasarkan SNI wajib dan sukarela. Mapping SNI dilakukan terutama untuk melihat
jumlah SNI yang ada untuk produk perikanan, hortikultura, batik dan mebel rotan.
3.3. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder
meliputi hasil studi sebelumnya serta literatur lainnya terkait dengan standardisasi
dan perlindungan konsumen. Data yang dipakai dalam studi ini adalah data yang
diperoleh dari studi pustaka dan penelitian lapangan. Data dari studi pustaka
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 31
meliputi CODEX Alimentarius, HACCP, ISO terkait, national standard mitra dagang,
private standard, SNI dan data lainnya. Data primer dikumpulkan melalui wawancara
mendalam (indepth interview) untuk mengetahui respon perusahaan bila terjadi
penolakan atau komplain karena adanya ketidaksesuaian dengan standar (SNI).
Untuk menentukan jumlah perusahaan yang akan dikunjungi di daerah
penelitian digunakan metode pengambilan sampel dengan purposive sampling.
Dengan jumlah industri dan produk yang sangat banyak, maka dalam kajian ini
kunjungan lapangan akan ditujukan pada industri produk-produk pilhan dengan
melakukan wawancara (dengan pertanyaan terstruktur) dengan
perusahaan/produsen (eksportir/importir), dan atau asosiasi serta dinas teknis di
daerah.
Selain dari penelitian di daerah, untuk mendapatkan informasi yang lebih
komprehensif dan untuk pemantapan hasil kajian maka akan dilakukan diskusi
terbatas di Jakarta. Tabel 2.5. berikut ini memperlihatkan bagaimana data akan
dianalisis di setiap tahap, yang disusun berdasarkan tujuan dan output kajian.
Tabel 3.4. Metodologi dan Analisis Data
Tujuan Kajian Metode
analisis Data Sumber Output
Mengidentifikasi kebutuhan standar produk di pasar domestik dan internasional
Standard
mapping
Sekunder dan primer: laporan regular, pustaka, hasil wawancara
BSN, lembaga/instansi terkait, stakeholders
Identifikasi kebutuhan standar produk di pasar domestik dan internasional
Menganalisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar domestik maupun internasional
Gap Analysis
SNI, CODEX Alimentarius, ISO 22000, Private Standard
BSN, , CODEX Alimentarius, ISO, Global Gap
Hasil analisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar domestik maupun internasional
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 32
Menganalisis faktor- faktor penghambat dalam penerapan standar
Gap
Analysis
Primer; hasil indept interview
Pelaku usaha (eksportir dan importer), instansi teknis
Hasil analisis faktor-faktor penghambat dalam penerapan standar produk pangan
Memberikan usulan kebijakan dalam mengatasi gap standar
Sintesa 1, 2, 3, dan 4 serta hasil diskusi
Data primer dan sekunder (1, 2, 3)
Hasil analisis
gap dan faktor-faktor penghambat serta dari hasil diskusi dengan steakholders
Usulan kebijakan mengatasi gap standar dalam rangka peningkatan daya saing dan perlindungan konsumen
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 33
BAB IV KONDISI DAN PERKEMBANGAN SNI PRODUK INDONESIA
Standar Nasional Indonesia (SNI) merupakan ketentuan teknis yang diperoleh
melalui konsensus dan ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN, 2011).
Perumusan SNI dilakukan secara konsensus dengan melibatkan berbagai
stakeholders sesuai dengan jenis produknya sudah menggunakan standar
internasional yang ada sebagai acuannya. Namun demikian, tidak semua aturan
teknis standar internasional tersebut dipakai atau diaplikasikan.
Penerapan SNI dari SNI sukarela menjadi wajib memerlukan berbagai
infrastruktur pendukung yang memadai (BSN, 2011). Dukungan infrastruktur
diperlukan sehingga SNI produk yang bersangkutan bisa diterima tidak hanya di
tingkat nasional tapi juga internasional. Penerapan SNI oleh perusahaan pada
dasarnya bersifat sukarela. Namun, pemerintah dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan pelestarian fungsi lingkungan
hidup (K3L), atau atas dasar pertimbangan tertentu dapat memberlakukannya
menjadi SNI wajib.
Penerapan SNI sudah berlangsung selama tiga belas tahun sejak
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.102 tahun 2000 tentang Standardisasi
Nasional. Berdasarkan data tahun 2011, jumlah penerapan SNI pada sektor industri
baru mencapai sekitar 20%. Masih rendahnya tingkat penerapan SNI di dunia
industri dikarenakan ketidaktahuan produsen maupun konsumen atas penerapan
SNI pada produk tertentu, sulitnya proses sertifikasi dan mahalnya biaya pengujian
untuk mendapatkan sertifikasi SNI (Kementerian Perindustrian, 2011).
4.1 Perkembangan Jumlah SNI Pengembangan SNI tidak hanya menyangkut jumlah SNI tetapi juga bisa
berupa revisi atau perbaikan dari SNI yang sudah ada, maupun abolisi atau
penghapusan SNI. Kementrian Perindustrian juga melakukan revisi terhadap SNI
produk industri. Hal ini dimungkinkan karena pada dasarnya dalam kurun waktu 5
tahun, SNI bisa ditinjau ulang untuk bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 34
teknologi dan kondisi lainnya. Ketidaksesuain SNI dengan perkembangan teknologi,
juga kebutuhan produsen dan konsumen tentu saja bisa mempengaruhi
perkembangan industri nasional, sekaligus keamanan dan keselamatan konsumen
yang menggunakan produk tersebut. Penghapusan (abolisi) SNI dilakukan karena
produk yang bersangkutan dinilai mengalami perubahan kegunaan atau semakin
berbahaya seperti pada contoh kasus asbes semen. Ada sekitar 104 SNI yang
diabolisi oleh BSN tahun 2009 (Kontan, 2009).
Tabel 4.1. SNI yang Telah Diberlakukan Secara Wajib
Instansi Teknis SNI yang diberlakukan
Wajib
SNI Wajib yang telah dinotifikasi
ke WTO 2013 Kementerian Perindustrian 84 70 Kementerian Kelautan dan Perikanan 80 0 Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral 19 17
Kementerian Pertanian 1 1 BPOM 4 0 Kementerian Perhubungan 14 0 Kementerian Pekerjaan Umum 57 0 Jumlah SNI Wajib 259 88 Jumlah SNI (9.824), target BSN 2012 Jumlah SNI Wajib 247 Jumlah SNI (9.324)
Sumber : BSN (Juli 2013)
Dalam upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan
perlindungan industri dalam negeri, pada dasarnya semakin banyak jumlah SNI
wajib akan semakin lebih baik. Hal ini seperti yang pernah diusulkan oleh Wakil
Menteri Perdagangan untuk menambah jumlah usulan produk yang wajib ber-SNI
terkait dengan maraknya dan meningkatnya jumlah produk impor yang beredar di
pasar dalam negeri yang tidak sesuai ketentuan (Tempo, 2012). Lebih lanjut, Wakil
Menteri Perdagangan tersebut, menjelaskan usulan produk-produk tersebut terkait
dengan alat-alat kelistrikan, bahan bangunan, alat rumah tangga, alat olah raga,
bahan konstruksi, dan yang terkait dengan perlindungan lingkungan. BSN
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 35
menargetkan untuk bisa mengeluarkan sekitar 500 SNI baru di tahun 2013 yang
tersebar di 11 sektor industri (Neraca, 2013).
Jumlah SNI wajib mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan data
dahun 2012. Bila pada tahun 2012 jumlah SNI wajib sebesar 247 SNI (Asosiasi
Lembaga Sertifikasi Indonesia, 2012), kemudian sampai semester pertama tahun
2013 meningkat menjadi 259 (BSN, 2013). Dari sejumlah SNI yang ada saat ini,
jumlah SNI yang diberlakukan secara wajib masih sangat terbatas. Hal ini karena
adanya berabagai pertimbangan baik yang menyangkut aspek teknis, kemampuan
dan kapasitas lembaga pendukung, juga adanya pertimbangan lainya diantaranya
adalah bahwa penerapan SNI jangan sampai menghambat persaingan yang sehat,
menghambat inovasi dan menghambat perkembangan UKM (BSN, 2013).
Dari jumlah SNI yang diberlakukan secara wajib sebanyak 259 buah, baru 88
SNI yang sudah dinotifikasi ke WTO. Salah satu prinsip penyusunan standar, dalam
hal ini SNI, adalah adanya transparansi. Dalam konteks global transparansi ini
diwujudkan melalu notifikasi berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh suatu Negara
yang dianggap bisa mempengaruhi arus barang dan jasa antar negara. Notifikasi ini
penting untuk dilakukan dalam kaitannya dengan perdagangan internasional yang
melibatkan sebagian besar negara WTO. Notifikasi ini sebaiknya dilakukan untuk
menghindari adanya complain dari negara mitra dagang terhadap kemungkinan
dugaan perlindungan/hambatan yang bersifat teknis (technical barriers to trade).
Dengan melihat kondisi jumlah SNI yang diberlakukan wajib dan masih banyak yang
belum dinotifikasi ke WTO, maka pemerintah harus segera melakukan notifikasi
tersebut.
Lembaga yang mempunyai tugas melakukan notifikasi SNI ke WTO adalah
BSN (sesuai dengan notifikasi No. G/TBT/2/Add.3/Rev.1 pada tanggal 18 Mei
2004). Dengan surat tersebut BSN berfungsi tidak hanya sebagai lembaga yang
melakukan notifikasi (notification body) yang menyampaikan informasi mengenai
rencana pemberlakuan suatu regulasi teknis, standar dan prosedur penilaian tetapi
juga sebagai pihak penerima pengaduan (enquiry point) yang memberikan
respon/informasi terhadap berbagai pertanyaan/sanggahan dari berbagai pihak
(anggota WTO) baik untuk regulasi atau SNI yang sudah diberlakukan atau yang
belum diberlakukan (BSN, 2013). Secara umum, tujuan dari notifikasi ini adalah agar
negara mitra dagang dapat memberikan pandangan/masukan/sanggahan serta
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 36
dapat mempersiapkan diri dengan adanya suatu aturan/standar yang baru di
Indonesia.
Sejumlah SNI wajib yang sudah dinotifikasikan ke WTO meliputi beberapa
kriteria produk sebagai berikut (BSN, 2013): kualitas produk yang dikonsumsi
masyarakat (seperti susu formula, tepung terigu, gula kristal merah dan pupuk);
persyaratan keselamatan untuk perlindungan konsumen (seperti peralatan listrik);
keselamatan untuk transportasi darat (seperti ban, kaca pengaman dan helm);
keselamatan bangunan dan konstruksi (seperti semen, baja tulangan beton dan
lembaran); keselamatan produk untuk pengguna (seperti kompos gas berbahan
bakar LPG dan kelengkapannya).
Relatif sedikitnya jumlah SNI Wajib yang telah diterapkan disebabkan antara lain
oleh hal-hal sebagai berikut (Puska Dagri – Kementerian Perdagangan, 2012):
1. Keterbatasan sarana pelaku usaha yang belum menunjang terhadap kegiatan
penerapan SNI sukarela;
2. Keterbatasan biaya dalam rangka menerapkan SNI sukarela;
3. Kurangnya pemahaman pelaku usaha terhadap penerapan SNI sukarela.
4. Rendahnya motivasi pelaku usaha dalam penerapan SNI sukarela dikarenakan
masih rendahnya pengawasan yang dilakukan terhadap SNI sukarela.
Dengan jumlah SNI wajib yang terbatas, maka harus dilakukan pengaturan
kegiatan dan peredaran produk tersebut di pasar. Namun demikian, pemberlakuan
SNI wajib perlu didukung oleh adanya pengawasan pasar. Pengawasan pasar ini
bisa dilakukan dalam dua tahap yaitu pengawasan pra-pasar dan pengawasan
pasca pasar. Pengawasan pra-pasar dilakukan untuk memastikan bahwa kegiatan
atau produk tersebut telah memenuhi ketentuan SNI wajib. Sedangkan pengawasan
pasca-pasar dilakukan untuk mengawasi kegiatan atau produk yang belum
memenuhi ketentuan SNI itu sekaligus melakukan koreksi atau perbaikan (BSN,
2013). Fungsi penilaian kesesuaian pada barang yang beredar terhadap SNI yang
bersifat sukarela adalah bentuk pengakuan, sementara pada SNI wajib penilaian
kesesuaian adalah sebuah persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan.
Dalam kaitannya dengan kegiatan pengawasan, maka penilaian kesesuaian ini bisa
digunakan sebagai bagian dari pengawasan pra-pasar (BSN, 2013).
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 37
4.2 Penerapan SNI Wajib dan Kendalanya Dalam pelaksanannya, penerapan SNI oleh dunia industri masih menemui
banyak kendala diantaranya adalah masalah kemampuan dan kesiapan pelaku
usaha atau industri yang terkait (BSN, 2012). Industri menengah dan besar, akan
lebih mudah dalam menerapkan SNI dibandingkan dengan industri kecil.
SNI dilihat secara beragam oleh perusahaan baik sebagai faktor pendorong
untuk merebut pasar (konsumen), pemenangan dalam persaingan; maupun dilihat
sebagai tambahan beban biaya (extra costs) yang harus ditanggung oleh
perusahaan. Besar kecilnya ukuran perusahaan juga mempengaruhi penerapan
SNI sukarela (Puska Dagri Kementerian Perdagangan, 2012). Dengan demikian,
perhatian kepada industri kecil dan menengah (IKM) harus dilakukan. Kementerian
Perindustrian telah berupaya untuk memberikan fasilitas atau bantuan kepada
setidaknya 10 IKM garmen dan mainan untuk mendapatkan SNI sehingga produk
industri tersebut bisa memiliki nilai tambah yang lebih dan mampu bersaing di pasar
internasional. Beberapa IKM tersebut adalah 5 IKM dari Jawa Barat, 2 dari Jawa
Tengah, 2 dari Jawa Timur, dan 1 dari Bali (Neraca, 2012).
Pemberlakuan SNI wajib perlu mempertimbangkan banyak hal yang terkait
dengan prinsip-prinsip SNI sendiri yang mengacu pada ketentuan Technical Barriers
to Trade (TBT) dari WTO, berikut ini (BSN, 2013):
a. Keterbukaan (openness), yaitu melibatkan berbagai unsur terkait dalam
pembentukan/ pengembangannya; b. Transparan (transparent), pemangku kepentingan bisa memantau dan
mengikuti proses penyusnan dan pengembangannya;
c. Tidak memihak (impartial), tidak memihak kepada salah satu pemangku
kepentingan;
d. Dimensi pembangunan (development dimension), bahwa penyusunan SNI
(termasuk pemberlakuannya) harus memperhatikan kepentingan
umum/nasional dan memperhatikan daya saing nasional di pasar luar negeri;
e. Konsensus (consensus), perumusan SNI harus disepakati oleh semau
pemangku kepentingan yang ada;
f. Lengkap (coherent), SNI harus mengacu pada standar internasional yang
ada namun tidak merupakan duplikasi sehingga diharapkan produk nasional
Indonesia bisa lebih mudah diterima di pasar internasional.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 38
Berdasarkan sensus yang dilakukan oleh BPS tahun 2007 terhadap industri
pengolahan (skala besar dan sedang), diperoleh hasil bahwa jumlah industri yang
menerapkan standar sebanyak 3.914 industri (sekitar 13%), sementara yang khusus
menerapkan SNI sejumlah 2.971 industri (9.8%). Berdasarkan skala industrinya,
jumlah industri berskala besar yang menerapkan SNI adalah 1.397 industri (4.6%).
Sementara itu untuk industri skala sedang sejumlah 1.574 industri (5.2%) (BSN,
2008).
Data lain menjukkan, bahwa berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Herjanto
(2011) mengenai pemberlakuan SNI wajib di dunia industri, masih banyak
menemukan kendala. Dalam survey industri yang dilakukannya, Herjanto
menemukan bahwa perusahaan menemui kesulitan terkait dengan keterbatasan
sumber daya manusia dalam menerapkan standar manajemen mutu (30.0%),
kesulitan dalam melakukan kalibrasi peralatan laboratorium dan produksi (14,8%),
pesaing yang menjual produknya di bawah standar dan harga yang rendah (13,0%),
mahalnya biaya pengujian/ sertifikasi (12,5%), kepedulian konsumen terhadap
standar yang kurang (10,1%), sulitnya proses sertifikasi (7,4%), akses dan lokasi
laboratorium/ inspeksi/ lembaga sertifikasi yang jauh (6,0%), dan faktor lain seperti
kurangnya sosialisasi sistem manajemen mutu (6,3%).
Di sisi lain, sebenarnya perusahaan sudah mengetahui manfaat dari
diterapkannya SNI tersebut. Dari survey Herjanto (2011) diperoleh hasil bahwa
bahwa 85,1% perusahaan mengetahui arti penting SNI wajib, sementara sekitar
14,6% beranggapan bahwa SNI wajib tidak memberikan mafaat yang signifikan.
Ketidaktahuan akan manfaat SNI kemungkinan lebih disebabkan karena
ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang regulasi
teknis.
Kondisi masyarakat konsumen Indonesia masih belum sepenuhnya
mendukung pemberlakuan SNI (terutama SNI wajib). Hal ini bisa dilihat dari masih
terbatasnya pengetahuan mereka tentang SNI. Oleh karena itu perlu sosialisasi
yang intensif dan berkelanjutan. Beberapa langkah yang dilakukan oleh BSN dalam
melakukan sosialisasi ini adalah dengan melakukan berbagai kegiatan yang
melibatkan/bekerja sama dengan perguruan tinggi dan pihak lain termasuk
memperkenalkan dan sosialisasi intensive melalui jaringan internet milik BSN serta
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 39
mengoptimalkan fungsi Mastan (masyarakat standardisasi) (Neraca, 2012).
Pemberlakuan SNI wajib dikatakan efektif jika (Herjanto, 2011):
1) Diterapkan secara konsisten oleh industri yang ditandai dengan penerapan
sistem manajemen mutu dan kepemilikan SPPT-SNI;
2) Diterima oleh pasar (konsumen);
3) Adanya dukungan dari lembaga penilaian kesesuaian yang memadai.
Dengan keberhasilan penerapan SNI wajib, bisa memberikan dampak baik
internal maupun eksternal. Dampak internal seperti ketersediaan standar, kesiapan
produsen, kesiapan lembaga penilaian kesesuaian, regulasi teknis, koordinasi antar-
instansi terkait dan mekanisme pengawasan. Sementara secara eksternal
berdampak pada komitmen stakeholder, harga produk, arus barang impor,
perdagangan internasional, kesepakatan internasional, dan lainnya (Herjanto, 2011).
4.3 Pengawasan Barang Beredar dan Pelanggaran SNI Kementerian Perdagangan secara rutin melakukan pengawasan barang beredar
di pasar. Untuk pengawasan tahun 2012, ditemukan sejumlah 621 produk yang tidak
memenuhi ketentuan atau standar. Terjadi peningkatan jumlah pelanggaran yang
sangat besar bila dibandingkan dengan tahun 2011 yang jumlahnya sekitar 28,
kemudian meningkat menjadi 621 produk di tahun 2012.
Sebagian besar pelanggaran (61%) merupakan produk yang berasal dari luar
negeri (impor), sedangkan sisanya atau sekitar 39% merupakan produk lokal.
Sementara menurut jenis pelanggaran yang terjadi ada sekitar 34% produk tidak
sesuai dengan persyaratan SNI, 22% produk melanggar Manual dan Kartu Garansi
(MKG), 43% melanggar ketentuan label dalam Bahasa Indonesia, sedangkan sekitar
1% diduga tidak memenuhi ketentuan produk yang diawasi distribusinya.
Berdasarkan kelompok produk ada sekitar 39% adalah produk elektronika dan alat
listrik, 20% adalah produk alat rumah tangga, 13% produk suku cadang kendaraan
bermotor. Sementara itu sisanya atau sekitar 28% merupakan produk bahan
bangunan, produk makanan minuman dan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Yang
cukup memprihatinkan adalah adanya peningkatan jumlah produk yang tidak sesuai
dengan ketentuan ini mengalami peningkatan sekitar 28 produk bila dibandingkan
dengan data 2011.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 40
Tabel 4.2. Jumlah Pelanggaran Produk Yang Tidak Memenuhi Ketentuan
Kriteria Uraian Jumlah (%)
Asal barang Barang Impor 61
Produksi dalam negeri 39
Jenis Pelanggaran Persyaratan SNI 34
Manual dan Kartu Garansi (MKG) 22
Label dalam bahasa Indonesia 43
Ketentuan produk yang diawasi
distribusinya
1
Kelompok Produk Elektronika dan alat listrik 39
Alat rumah tangga 20
Suku cadang kendaraan bermotor 13
Sumber: Ditjen SPK, Kemendag (2013).
Bagi produk yang ber-SNI wajib, maka Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda
SNI (SPPT-SNI) merupakan persyaratan suatu produk tersebut untuk bisa diedarkan
di pasar. Namun demikian, kondisi di lapangan menujukkan bahwa masih dijumpai
banyak pelanggaran khususnya yang terkait dengan SPPT-SNI.
Berdasarkan data di lapangan, masih ditemui perusahaan yang tidak memiliki
SPPT-SNI padahal produk mereka masuk dalam produk yang ber-SNI wajib (seperti
tercantum dalam Tabel). Beberapa produk yang tingkat kepemilikan SPPT-SNI
kurang dari 50% adalah produk pakan udang, baja profil, lampu pijar, dan kakao
bubuk. Dengan kondisi seperti ini menunjukkan masih banyak perusahaan yang
belum serius dalam menerapkan SNI, dan belum optimalnya LSPro dalam
melakukan survailan/pengawasan (Herjanto, 2011).
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 41
Tabel 4.3 Kepemilikan SPPT-SNI
Jenis Produk % Jenis Produk %
Tepung terigu 100 Motor bakar 100
Pakan buatan untuk udang windu 33 Baja lembaran lapis seng 67
Air minum dalam kemasan 86 Baja tulangan beton 91
Cairan rem 100 Kabel PVC 63
Pupuk 82 Tabung baja LPG 96
Garam konsumsi beryodium 74 Kompor gas LPG 75
Ban 67 Pipa baja karbon 75
Helm 80 Baja profil 25
Kaca pengaman kendaraan bermotor 75 Batu battery 100
Semen 100 Lampu pijar dan swaballast 43
Selang karet kompor gas LPG 100 Aki kendaraan bermotor 89
Lembaran serat krisotil 100 Crumb rubber 67
Regulator tabung baja LPG 100 Kakao bubuk 11
Katub tabung baja LPG 100 Produk lain-lain 0
Sumber: Herjanto (2011).
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 42
BAB V KEBUTUHAN STANDAR PRODUK
5.1. Standar Produk Perikanan 5.1.1. SNI
i. Tuna beku Untuk produk perikanan, khususnya tuna beku terdapat tiga SNI yaitu SNI
spesifikasi No. 01-2710.1-2006, SNI persyaratan bahan baku No. 01-2710.2-
2006, dan SNI penanganan dan pengolahan No. 01-2710.3-2006.
- SNI No. 01-2710.1-2006 : Spesifikasi
Ruang lingkup dalam SNI ini mencakup klasifikasi, syarat bahan baku, bahan
penolong dan bahan tambahan makanan, cara penanganan dan pengolahan,
teknik sanitasi dan hygiene, syarat mutu dan keamanan pangan, cara
pengambilan contoh, cara uji, serta syarat penandaan dan pengemasan
untuk tuna beku. Persyaratan mutu dan keamanan produk tuna beku dalam
SNI ini meliputi cemaran mikroba, cemaran kimia, fisika dan parasit.
Tabel 5.1. Syarat Mutu dan Keamanan Tuna Beku
Rincian Nilai Rujukan a. Organoleptik Minimal 7 b. Cemaran mikroba - ALT (koloni/g) Maksimal 5 x 10 - E coli (APM/g) Maksimal <2 - Salmonella (APM/g) Negatif - Vibrio cholerae (APM/g) Negatif c. Cemaran kimia - Raksa (mg/kg) Maksimal 1 - Timbal (mg/kg) Maksimal 0,4 - Histamin (mg/kg) Maksimal 100 - Kadmium (mg/kg) Maksimal 0,1 d.Fisika : Suhu pusat (Celcius)
Maksimal -18
e. Parasit (ekor) Maksimal 0
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 43
- SNI No. 01-2710.2-2006 : Persyaratan Bahan Baku
SNI ini menetapkan jenis bahan baku, bentuk bahan baku, asal bahan baku,
mutu bahan baku dan penyimpanannya. Mutu bahan baku harus memenuhi
persyaratan antara lain bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan
pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, dan bebas dari
sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu. Standar ini juga
mengatur penyimpanan bahan baku yaitu yang harus disimpan dengan suhu
maksimal -20 derajat Celcius.
- SNI No. 01-2710.3-2006 : Penanganan dan Pengolahan
Dalam SNI ini diatur penetapan bahan, peralatan, teknik penanganan dan
pengolahan, pengemasan dan penyimpanan. Teknik penanganan dan
pengolahan ditetapkan syarat-syarat bahan baku yang meliputi penerimaan,
pencucian, sortasi, penimbangan, pembekuan, penggelasan, pengepakan,
pengemasan dan penyimpanan.
ii.Cakalang beku
Untuk produk cakalang beku terdapat tiga SNI yaitu SNI spesifikasi No. 01-
2733.1-2006, SNI persyaratan bahan baku No. 01-2733.2-2006, dan SNI
penanganan dan pengolahan No. 01-2733.3-2006.
- SNI No. 01-273.1-2006 : Spesifikasi
Ruang lingkup dalam SNI ini mencakup klasifikasi, syarat bahan baku, bahan
penolong dan bahan tambahan makanan, cara penganganan dan
pengolahan, teknik sanitasi dan hygiene, syarat mutu dan keamanan
pangan, cara pengambilan contoh, cara uji, serta syarat penandaan dan
pengemasan untuk tuna beku. Persyaratan mutu dan keamanan produk tuna
beku dalam SNI ini meliputi cemaran mikroba, cemaran kimia, fisika dan
parasit.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 44
Tabel 5.2. Syarat Mutu dan Keamanan Cakalang Beku
Rincian Nilai Rujukan a. Organoleptik Minimal 7 b. Cemaran mikroba - ALT (koloni/g) Maksimal 5 x 10 - E coli (APM/g) Maksimal <2 - Salmonella (APM/g) Negatif - Vibrio cholerae (APM/g)
Negatif
c. Cemaran kimia - Raksa (mg/kg) Maksimal 1 - Timbal (mg/kg) Maksimal 0,4 - Histamin (mg/kg) Maksimal 100 - Kadmium (mg/kg) Maksimal 0,1 d. Parasit (ekor) Maksimal 0
- SNI No. 01-2733.2-2006 : Persyaratan Bahan Baku
SNI ini menetapkan jenis bahan baku, bentuk bahan baku, asal bahan baku,
mutu bahan baku dan penyimpanannya. Mutu bahan baku harus memenuhi
persyaratan antara lain bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan
pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, dan bebas dari
sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu. Standar ini juga
mengatur penyimpanan bahan baku yaitu yang harus disimpan dengan suhu maksimal -20 derajat Celcius.
- SNI No. 01-2733.3-2006 : Penanganan dan Pengolahan
Dalam SNI ini diatur penetapan bahan, peralatan, teknik penanganan dan
pengolahan, pengemasan dan penyimpanan. Teknik penanganan dan
pengolahan ditetapkan syarat-syarat bahan baku yang meliputi penerimaan,
pencucian, sortasi, penimbangan, pembekuan, penggelasan, pengepakan,
pengemasan dan penyimpanan.
5.1.2. Standar Internasional
Dalam panduan CODEX dan HACCP terdapat dua prinsip utama dalam
proses pengolahan ikan beku sebagai berikut (CAC, 2003):
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 45
i. Proses pembekuan
• Produk harus dibekukan sesegera mungkin karena penundaan
pembekuan akan menyebabkan kenaikan suhu produk, sehingga akan
meningkatkan kerusakan dan mengurangi daya simpan karena aksi
mikroorganisme dan reaksi kimia yang tidak diinginkan.
• Waktu dan pengaturan suhu untuk proses pembekuan harus dilakukan
sesuai dengan pertimbangan kemampuan kapasitas dan peralatan,
karakteristik produk termasuk suhu, ketebalan, bentuk, serta volume
produksi untuk menjamin bahwa suhu maksimum kristalisasi tercapai
sesegera mungkin.
• Ketebalan, bentuk dan temperatur ikan pada proses pembekuan harus
seragam.
• Produksi fasilitas pemrosesan harus disesuaikan dengan kapasitas mesin
pendingin.
• Produk beku harus dipindahkan ke alat pendingin secepat mungkin.
• Suhu ikan beku harus dimonitor secara regular demi kesempurnaan
proses pembekuan.
• Pemeriksaan secara regular harus dilakukan untuk menjamin bahwa
proses pembekuan telah dilakukan dengan benar.
• Seluruh proses pembekuan harus dicatat dengan baik dan akurat.
• Suhu dan waktu pembekuan harus dipadukan dengan penanganan
inventory yang baik untuk menjamin kelayakan suhu pembekuan. Hal ini
ditujukan untuk menghilangkan parasit yang merugikan bagi kesehatan
manusia.
ii. Proses pelapisan
• Pelapisan dinyatakan lengkap apabila seluruh permukaan produk ikan
beku tertutup oleh lapisan es yang cukup
• Jika air yang digunakan dalam proses pelapisan menggunakan bahan
tambahan, maka harus dipastikan bahwa jumlahnya proporsional sesuai
dengan spesifikasi produk
Selain proses pengolahan, CODEX juga mensyaratkan ambang batas cemaran
bahan kimia, mikrobiologi, serta bahan tambahan makanan dalam rangka jaminan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 46
kualitas keamanan pangan untuk konsumsi manusia. Berikut adalah kriteria untuk
bahan tambahan makanan khususnya produk perikanan :
Tabel 5.3. Kandungan Bahan Tambahan Makanan yang Diperbolehkan Menurut CODEX
Jenis Bahan Tambahan Makanan Batas Maksimum yang Diperbolehkan
Acesulfame potassium 200 mg/kg
Brilliant blue (pewarna) 500 mg/kg
Butylated hydroxyanisole (anti oksidan)
200 mg/kg
Cantaxanthin (pewarna) 35 mg/kg
Ammonia caramel (pengawet) 100 mg/kg
Carotenoids (pewarna) 100 mg/kg
Ethylene diamine (pengawet) 75 mg/kg
Phospates 2200 mg/kg
Sumber : CODEX General Standard for Food Additives, CODEX STAN 192- 1995 5.1.3. Private Standard
Private standards di sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu
dari beberapa private standard di sektor pangan yang mulai banyak
diterapkan di beberapa negara importir. Washington and Ababouch (2011)
mengungkapkan bahwa tujuan utama penerapan private standards di sektor
ini adalah untuk menjaga pasokan (stok) ikan di daerah maritim,
perlindungan lingkungan hidup, keamanan pangan dan kualitas, kesehatan
hewan, dan pemberdayaan sosial. Hal ini sangat berdasar karena sebagian
industri perikanan tergolong dalam kategori Open Access sehingga perlu
pengendalian dalam kegiatan bisnisnya.
Selain itu, kemunculan private standard juga lebih didasarkan pada persepsi
bahwa kebijakan pemerintah dalam menanggulangi masalah di sektor ini
belum mencukupi dan tidak menjamin keberlangsungan (sustainability)
perikanan laut dan keamanan pangan. Inisiasi pemberlakuan private
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 47
standard di sektor ini dimulai dari desakan Lembaga Swadaya Masyarakat
yang kemudian ditindak-lanjuti oleh dunia usaha yang umumnya didominasi
oleh negara maju, industri besar, industri pengolah dan ritel modern.
Tabel 5.4. Beberapa Contoh Private Standards di Sektor Perikanan
Jenis Private Standards
Orientasi Pasar
Isu yang Dipersyaratkan Food Safety
Animal Health Environment Social/
Ethical Food Quality
Thai Quality Shrimps, GAP, Thailand
Uni Eropa, Amerika Serikat
x x
COC-certified Thai Shrimps
Uni Eropa, Amerika Serikat
x x x x
IFOAM Inggris, Eropa x x x x x
Agriculture Biologique Eropa x x x
Qualite Aquaculture de France
Perancis, Uni Eropa x x
Shrimp Seal of Quality, Bangladesh
Global x x x x
China GAP Global x x x The Responsible Fishing Scheme
Inggris x x
Sumber : Washington and Ababouch (2011)
Dalam penerapannya, private standard di sektor perikanan kelautan terdiri
dari dua tipe, yaitu “Ecolabels”, merupakan private standard di sektor
perikanan yang mensyaratkan keberlangsungan stok populasi ikan di wilayah
maritim, dan “Food Safety Management Schemes (FSMS)”, merupakan
private standard di sektor perikanan yang mensyaratkan keamanan pangan
dan kualitas produk makanan laut (seafood) dan ikan. Kemudian terdapat
juga beberapa tipe private standard di sektor perikanan yang berkaitan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 48
dengan fair trade, organik, dan standar tenaga kerja dan sosial. Namun hal
tersebut hanya bersifat parsial dan disesuaikan dengan tujuan keunggulan.
Beberapa contoh private standard di sektor perikanan ditunjukan dalam
Tabel 4.3.
5.1.4. Regulasi Teknis
Regulasi teknis terkait produk perikanan di negara-negara tujuan ekspor
utama adalah sebagai berikut (Lambaga, 2009):
1. Uni Eropa
EC No. 178/2002 tentang syarat-syarat utama regulasi pangan dan
prosedur kemanan pangan
EC No. 882/ 2004 tentang pengawasan oleh pemerintah
EC No. 852/2004 mengenai kemanan produk pangan
EC No. 853/2004 tentang peraturan khusus terkait keamanan
bahan baku produk pangan
EC No. 854/2004 mengenai badan yang bertugas mengawasi
keamanan asal bahan pangan
EC No. 446/2001 tentang batas toleransi maksimum terhadap
kontaminasi dalam bahan pangan
EC No. 2073/2005 mengenai persyaratan dan kriteria mikrobiologis
yang terdapat dalam bahan pangan
2. Amerika Serikat
Federal Food, Drug and Cosmetic Act
Code of Federal Regulation (CFR) 123
Bioterrorism Act (TBA)
3. Kanada
Food and Drug Act
Canadian Food Inspection Agency Act
Fish Inspection Act
Consumer and Labelling Act
Fish Inspection Regulation
4. Jepang
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 49
Food Sanitation Law
5. China
Food Hygiene of the People’s Republic of China
5.1.5. Standar Mitra Dagang
i. Tuna 1). Negara tujuan ekspor (AS) Syarat mutu dan keamanan pangan untuk produk ikan khususnya ikan
tuna beku diatur dalam aturan Food and Drugs Administration (FDA)
Amerika Serikat. Berikut adalah kriteria dan acuannya :
Tabel 5.5. Syarat Mutu FDA Amerika Serikat
Kriteria Acuan/toleransi
Salmonella Tidak boleh ada
Staphylococcus aereus >104 /gr
Clostridium botulinum Tidak boleh ada
Histamin 500 ppm
Polychlorinated biphenyls 2 ppm
Chlordane 0,3 ppm
Heptachlor 0,3 ppm
Sulfamerazine Tidak boleh ada
Mercury 1 ppm
2). Negara asal impor (Filipina)
Standar negara Filipina terkait produk perikanan diatur dalam Fishery
Administrative Order No.117 Series of 1975. Aturan ini mencakup
operasional pabrik pengolahan produk perikanan, persyaratan kualitas,
quality control, dan cara inspeksi pemrosesan produk perikanan.
Persyaratan minimum untuk pabrik harus memenuhi kriteria pabrik yang
higienis dan kondisi sanitasi yang baik, termasuk lantai, dinding, langit-
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 50
langit, pencahayaan, pintu masuk dan keluar, ventilasi, toilet, fasilitas
pencucian tangan serta pipa saluran air. Selain itu, terdapat pula
persyaratan terkait peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam
proses pengolahan ikan. Petugas dalam pabrik pengolahan juga harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Seluruh pegawai atau petugas yang melakukan proses pengolahan
harus memakai pakaian yang sesuai dan mudah dicuci, serta harus
menggunakan pengaman kepala;
- Tiap petugas harus diperiksa kesehatannya secara regular setahun
sekali;
- Pegawai yang mengerjakan pemrosesan ikan dan produk perikanan
lainnya dengan menggunakan tangan mereka sendiri, harus memiliki
kuku jari tangan yang pendek dan tanpa dipoles.
Selanjutnya, untuk standar mutu ikan tuna digolongkan ke dalam 3
kelas, A, B dan C yang kriterianya (Tabel 5.6.)
Tabel 5.6 Penggolongan Standar Mutu Produk Tuna di Filipina
Grade A & B : - Mata bersih dan cerah - Insang merah cerah - Berbau segar - Daging kaku - Dinding perut utuh - Warna badan cerah - Bebas dari kusam, sisik yang
lepas, luka terpotong, tusukan dan luka-luka lain
Grade C : - Mata sedikit keruh, pupil
kelabu - Insang sedikit kusam dan
mengkilap - Daging dan tulang sedikit
lembek - Perut sedikit lembek - Bau sedikit asam
Ikan yang tidak memenuhi syarat Grade C harus ditolak
ii. Cakalang 1). Negara tujuan ekspor (Thailand)
Thailand melalui Kementerian Pertanian dan Koperasi-nya
menetapkan standar mutu untuk ikan beku melalui Thai
Agricultural Standards (TAS) No.7014-2005. Komposisi utama
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 51
yang harus dimiliki produk adalah ikan segar yang cocok
dikonsumsi manusia dan lapisan es yang bebas zat-zat
berbahaya. Sementara untuk faktor kualitas ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi yaitu :
1) Dekomposisi. Kandungan histamine pada produk tidak boleh
melebihi 10 mg/100 g;
2) Cacat. Produk dinyatakan cacat apabila memenuhi
persyaratan berikut :
- Dehidrasi; jika 10% dari satuan sampel menunjukkan
kehilangan kelembaban;
- Benda asing; terdapat banda asing yang bukan berasal dari
ikan yang menunjukkan bahwa proses pengolahannya tidak
sesuai dengan cara berproduksi yang baik dan saniter;
- Parasit; terdapat 2 atau lebih parasit tiap 1 kilogram sampel
- Tulang; jika disebutkan ikan tersebut “tanpa tulang”, maka
jika terdapat lebih dari 1 tulang yang panjangnya lebih atau
sama dengan 10 mm atau diameternya 1 mm;
- Bau dan rasa; jika terdapat bau dan rasa aneh yang kuat
dan mengganggu sebagai tanda dekomposisi dan bau
anyir/tengik;
- Abnormalitas daging ikan; jika terdapat kelembaban
berlebih yang lebih banyak dari 86%, seperti adanya lendir
lengket atau tekstur daging seperti bubur/adonan yang
disebabkan oleh infestasi parasit lebih dari 5% dari berat
ikan.
Lebih lanjut, aturan ini juga mencantumkan persyaratan
keamanan pangan seperti bahan tambahan makanan,
kontaminan, residu obat-obatan, dan higienitas (cemaran).
2). Negara asal impor (Jepang) Dalam Handbook for Agricultural and Fishery Products Import
Regulations 2009 yang merupakan panduan standar bagi produk
perikanan yang beredar di Jepang, disebutkan bahwa peraturan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 52
yang berlaku untuk produk ikan beku adalah Food Sanitation Act
dan Quarantine Act. Hal-hal yang diatur dalam peraturan tersebut
antara lain kriteria keamanan pangan termasuk cemaran bahan
kimia, mikrobiologi, bahan tambahan makanan, serta pelabelan.
- Produk perikanan yang berasal dari daerah yang terkontaminasi
penyakit Cholera harus diawasi secara ketat oleh badan
karantina;
- Produk perikanan yang merupakan hewan yang dilindungi tidak
boleh diperdagangkan atau diperjualbelikan;
- Produk perikanan, termasuk ikan tuna, tidak boleh mengandung
zat karbon dioksida;
- Ambang batas cemaran mikrobiologi: bacillus atau bacterial
count (maksimal 100.000/gr sampel), colon bacillus (negatif atau
tidak boleh ada), Escherichia-Coli (negatif atau tidak boleh ada),
Coliform group (negative atau tidak boleh ada);
- Pelabelan : yang harus tercantum dalam label yaitu nama
produk dan negara asal, komposisi bahan baku/mentah,
kuantitas isi, nama produsen, tanggal buka dan kadaluarsa,
serta metode penyimpanan dan pengawetan.
5.2. Standar Produk Hortikultura
5.2.1. SNI
i. Manggis (SNI No. 3211:2011)
Standar SNI untuk manggis menentukan syarat mutu, ukuran, toleransi, penampilan,
pengemasan, pelabelan, rekomendasi dan higienitas. Ketentuan standar ini berlaku
untuk manggis yang dikonsumsi segar dan tidak untuk manggis sebagai bahan baku
industry olahan. Ketentuan umum mutu buah manggis yang harus dipenuhi adalah
sebagai berikut :
a. Utuh;
b. Kelopak buah dan tangkai harus lengkap;
c. Layak dikonsumsi;
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 53
d. Bersih, bebas dari benda-benda asing yang tampak;
e. Bebas dari hama dan penyakit;
f. Bebas dari kelembaban ekstra yang abnormal, kecuali pengembunan sesaat
setelah pemindahan dari tempat penyimpanan dingin;
g. Bebas dari aroma dan rasa asing;
h. Penampilan segar, memiliki bentuk, warna dan rasa sesuai dengan sifat/cirri
varietas;
i. Daging buah bening dan getah kuning sesuai dengan pengkelasan;
j. Bebas dari memar;
k. Buah mudah dibelah.
Lebih lanjut, buah manggis digolongkan dalam 3 kelas mutu dengan spesifikasi
sebagai berikut :
a. Kelas Super ; merupakan manggis dengan kualitas paling baik atau super
yang bebas dari cacat kecuali cacat sangat kecil pada permukaan dan
daging buah bening dan atau getah bening tidak lebih dari 5%.
b. Kelas A ; manggis bermutu baik dengan cacat yang diperbolehkan seperti :
- Sedikit kelainan pada bentuk;
- Cacat sedikit pada kulit dan kelopak buah seperti lecet, tergores atau
kerusakan mekanis lainnya;
- Total area yang cacat tidak lebih dari 10% dari luas total seluruh
permukaan buah;
- Cacat tersebut tidak mempengaruhi daging buah;
- Daging buah bening dan atau getah kuning tidak lebih dari 10%.
c. Kelas B; merupakan manggis dengan kualitas baik dengan persyaratan cacat
yang diperbolehkan antara lain :
- Kelainan pada bentuk;
- Cacat sedikit pada kulit dan kelopak buah seperti lecet, tergores atau
kerusakan mekanis lainnya;
- Total area yang cacat tidak lebih dari 10% dari luas total seluruh
permukaan buah;
- Cacat tersebut tidak mempengaruhi daging buah;
- Daging buah bening dan atau getah kuning tidak lebih dari 20%.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 54
Selain itu, standar ini juga mencantumkan batas maksimum cemaran logam berat
pada buah manggis seperti berikut.
Tabel 5.7 Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Manggis
Jenis Logam Berat Batas Maksimum (mg/kg)
Arsen (As) 0,25
Kadmium (Cd) 0,20
Merkuri (Hg) 0,03
Timbal (Pb) 0,50
Timah (Sn) 40
ii. Jagung (SNI No. 01-3290-1995)
Standar ini meliputi definisi, klasifikasi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara
uji, syarat penandaan, pengemasan dan rekomendasi. Jagung digolongkan dalam 4
(empat) jenis mutu : Mutu I, Mutu II, Mutu III, dan Mutu IV. Syarat mutu secara
umum yaitu :
a. Bebas hama dan penyakit;
b. Bebas bau busuk, asam atau bau asing lainnya;
c. Bebas dari bahan kimia seperti insektisida dan fungisida;
d. Memiliki suhu normal. Sedangkan syarat mutu secara khusus seperti dalam tabel berikut ini :
Tabel 5.8
Spesifikasi Persyaratan Mutu Jagung
No
Jenis Uji Satuan Persyaratan mutu I II III IV
1. Kadar air (%) max
max
max
max
2. Butir rusak (%) max
max
max
max
3. Butir warna
(%) max
max
max
max
4. Butir pecah (%) max
max
max
max
5. Kotoran (%) max
max
max
max
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 55
5.2.2. Standar Internasional
a. Manggis Standar internasional untuk manggis diatur dalam CODEX STAN
204-1997, yaitu manggis yang segar untuk dikonsumsi langsung setelah
dikemas, bukan manggis yang akan diproses lebih lanjut di pabrik.
Terkait standar kualitas, manggis harus memenuhi kriteria minimum
seperti berikut :
- Utuh, dengan batang dan kelopak buah yang masih menempel;
- Sehat dan segar, buah yang sekiranya tidak cocok untuk dikonsumsi
karena busuk harus langsung dibuang;
- Bersih, harus bebas dari benda asing;
- Harus bebas dari hama;
- Bebas dari kelembaban yang tidak normal, termasuk uap akibat
proses pendinginan;
- Bebas dari bau dan atau rasa asing;
- Terlihat segar, memiliki bentuk, warna dan rasa sesuai karakter
spesies buah;
- Bebas dari lateks;
- Bebas dari cacat;
- Buah dapat dikupas dengan mudah.
Kemudian, manggis diklasifikasikan dalam 2 kelas : Kelas Ekstra dan
Kelas 1. Manggis yang termasuk dalam Kelas Ekstra harus memiliki
kualitas superior dan harus bebas dari cacat dengan kualitas dan
penampilan yang sempurna. Toleransi untuk kelas ini adalah 5% dari
jumlah atau berat keseluruhan tidak memenuhi persyaratan Kelas Ekstra
namun masih memenuhi persyaratan Kelas 1. Sedangkan manggis
dalam kategori Kelas 1 harus memiliki kualitas yang baik, hanya memiliki
sedikit cacat yang tidak mempengaruhi keseluruhan kualitas dan
penampilan secara umum. Toleransi dalam kelas ini adalah sebesar
10% dari jumlah atau berat keseluruhan tidak memenuhi baik
persyaratan minimum kelas maupun persyaratan minimum buah
manggis.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 56
Selain persyaratan kualitas, CODEX ini juga mengatur pelabelan
dalam kemasan non retail yang harus memuat identifikasi eksportir,
termasuk nama, alamat, pengepak, dan kode identifikasi. Selain itu
harus juga memuat jenis varietas buah, negara asal atau wilayah asal,
identifikasi komersial seperti kelas, ukuran, dan berat bersih, dan tanda
inspeksi resmi.
b. Jagung
Standar kualitas jagung untuk konsumsi manusia diacu dalam
CODEX STAN 153-1985 yang telah direvisi pada tahun 1995. Secara
umum, jagung harus aman dan cocok dikonsumsi manusia, bebas dari
rasa dan bau yang abnormal, serta bebas dari keberadaan serangga
hidup. Jagung juga harus bebas dari kotoran yang dapat
membahayakan kesehatan manusia. Selanjutnya, Tabel 5.9 merinci
kriteria kualitas yang harus dimiliki jagung.
Tabel 5.9
Kriteria Dalam CODEX Produk Jagung
Kriteria Nilai Rujukan Kadar kelembaban Maksimal 15% Kotoran Maksimal 0,1% Racun dan bahan berbahaya, termasuk biji-bijian yang beracun
Tidak ada
Benda asing organik Maksimal 1,5% Benda asing anorganik Maksimal 0,5%
Selain kriteria kualitas, standar ini tidak secara langsung mensyaratkan
kadar cemaran yang diperbolehkan termasuk cemaran logam berat,
residu pestisida, dan mycotoxin. Syarat cemaran tersebut diatur pada
standar CODEX yang lain.
5.2.3. Standar Mitra Dagang a. Manggis
i. Negara Tujuan Ekspor (Cina)
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 57
Standar terkait buah manggis di negara Cina diatur sesuai
dengan ketentuan pada undang-undang karantina hewan dan
tumbuhan Tiongkok (Law of People’s Republic of China on the
Entry and Exit Animal and Plant Quarantine) dan undang-undang
keamanan pangan (Food Safety Law of People’s Republic of
China).
ii. Negara Asal Impor (Thailand, Malaysia)
Standar buah manggis segar di Thailand yang diatur dalam Thai
Agricultural Standards (TAS) No. 2 Tahun 2003 secara umum
sama dengan standar di CODEX, hal ini mengindikasikan bahwa
Thailand sudah mengadopsi parameter-parameter yang ada di
CODEX untuk diterapkan pada standar nasionalnya. Persyaratan
minimal yang harus dimilikimoleh buah manggis segara adalah
sebagai berikut :
- Utuh, dengan batang dan kelopak buah yang masih
menempel;
- Berpenampilan segar;
- Sehat dan tidak retak, tidak menunjukkan tanda-tanda
pembusukan;
- Bersih, harus bebas dari benda asing;
- Harus bebas dari hama yang mempengaruhi penampakan
buah secara umum;
- Bebas dari kerusakan yang disebabkan hama atau faktor lain
yang mempengaruhi kualitas daging buah;
- Bebas dari kerusakan yang disebabkan suhu udara yang
rendah dan atau tinggi;
- Bebas dari bau dan atau rasa asing;
- Buah dapat dikupas dengan mudah dan daging buahnya
dapat dipisahkan dengan mudah dari kulitnya.
Dalam standar ini manggis diklasifikasikan dalam 3 kelas :
Kelas Ekstra, Kelas 1 dan Kelas 2. Manggis yang termasuk
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 58
dalam Kelas Ekstra harus memiliki kualitas superior, memiliki
kelopak yang utuh dan lengkap serta harus bebas dari cacat
dengan kualitas dan penampilan yang sempurna. Selain itu,
adanya daging buah yang transparan dan getah kuning atau
lateks pada buah tidak melebihi 5% dari jumlah atau berat
seluruh buah yang dikirim. Toleransi untuk kelas ini adalah 5%
dari jumlah atau berat keseluruhan tidak memenuhi persyaratan
Kelas Ekstra namun masih memenuhi persyaratan Kelas 1. Kulit
buah yang memiliki jaring (net) serangga harus dikeluarkan dari
kategori kelas ini.
Sedangkan manggis dalam kategori Kelas 1 harus memiliki
kualitas yang baik, hanya memiliki sedikit cacat yang tidak
mempengaruhi keseluruhan kualitas dan penampilan secara
umum. Daging buah yang transparan dan getah kuning atau
lateks pada buah tidak melebihi 10% dari jumlah atau berat
seluruh buah yang dikirim. Toleransi dalam kelas ini adalah
sebesar 10% dari jumlah atau berat keseluruhan tidak memenuhi
baik persyaratan minimum kelas maupun persyaratan minimum
buah manggis. Kelas terakhir yaitu Kelas 2 memiliki kriteria yaitu
jika 10% dari jumlah atau berat manggis tidak dapat memenuhi
persyaratan 2 kelas lainnya atau persyaratan minimal, serta tidak
boleh ada buah yang busuk.
b. Jagung
i. Negara Tujuan Ekspor (Filipina) Standar nasional Filipina untuk komoditas jagung diatur dalam
Philippine National Standard (PNS) No.15:2004 yang meliputi
standar jagung untuk dikonsumsi manusia. Standar ini pada
dasarnya mengatur mengenai acuan standar mutu, ukuran, serta
pengkelasan. Sedangkan untuk kadar kontaminasi seperti
aflatoksin, logam berat, dan residu pestisida, standar ini
mengacu pada CODEX. Hal-hal terkait persyaratan mutu jagung
adalah sebagai berikut :
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 59
Kriteria cacat, yaitu terdapatnya aflatoksin (yang
batasannya diacu ke CODEX), warna bulir jagung yang
memudar karena panas eksternal atau karena proses
fermentasi, adanya benda asing, dan kotor;
Faktor kualitas, yaitu persyaratan kualitas antara lain
bebas bau aneh dan bau asing, warna bulir jagung harus
seragam, serta kadar kelembaban yang dicantumkan
dalam persen.
Kemudian, pengkelasan jagung dilakukan berdasarkan
kriteria dalam faktor kualitas seperti berikut :
Tabel 5.10 Persyaratan Mutu Jagung Dalam CODEX (Ekspor Ke Filipina)
Kriteria (% berdasarkan
berat maksimal)
Kelas Premium
Kelas I Kelas II Kelas III
Kelas IV
Kadar kelembaban
14 14 14 14 14
Aflatoksin 20 ppb 20 ppb 20 ppb 20 ppb 20 ppb Kotoran 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 Bulir berwarna pudar
Trace 0,5 1 2 3
Benda asing Trace 0,5 0,8 1 2 Bulir berwarna lain
Trace 0,5 1,5 3 5
Bulir berukuran lain
1 4 7 10 13
Untuk pelabelan atau penandaan, standar ini mengharuskan
pada bagian luar kemasan terdapat label yang mencantumkan
nama dan jenis produk, kelas dan ukuran bulir, berat bersih
dalam satuan kilogram, nama dan alamat produsen, serta
tanggal produksi. Label tersebut ditempelkan pada sisi yang
sama untuk tiap kemasan, distempel dengan tinta yang tidak
dapat dihapus atau dihilangkan.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 60
ii. Negara Asal Impor (India)
India merupakan negara asal impor utama jagung ke
Indonesia selain Argentina. Nilai impor jagung Indonesia dari
India pada tahun 2012 mencapai 318 juta US$ dengan tren nilai
impor selama tahun 2007 – 2012 sebesar 113,6%. Dengan
demikian, perlu diketahui bagaimana standar mutu jagung yang
diterapkan oleh India dalam rangka perlindungan konsumen
dalam negeri. Standar jagung untuk konsumsi manusia di India
diatur dalam Manual Good Agricultural Marketing Prantises for
Maize MRPC-85 tahun 2008.
Standar ini komprehensif mengatur mengenai jagung, mulai
dari jenis varietas, cara memanen, perlakuan pasca panen,
pengkelasan, syarat mutu, pengemasan, jenis hama,
transportasi, penyimpanan, serta cara-cara pemasaran. Terkait
syarat mutu dan keamanan pangan, jagung harus memenuhi
kriteria umum sebagai berikut :
Matang;
Manis, keras, bersih, sehat, ukuran dan warnanya seragam
serta layak dijual;
Bebas dari zat pewarna, jamur, serangga/kumbang, bau, biji
beracun, dan benda-benda lain;
Kadar uric acid dan aflatoksin masing-masing tidak melebihi
100 mg dan 30 mcg per kilogram jagung;
Bebas dari rambut/bulu dan kotoran hewan pengerat.
Kemudian, untuk kriteria khusus, standar ini mencantumkan
hal-hal seperti dalam tabel berikut.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 61
Tabel 5.11 Kriteria Mutu Jagung ke India
Toleransi Batas Maksimal untuk Kriteria Mutu
(% dari berat)
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
Kelembaban 12 12 14 14 Benda asing organic 0,1 0,25 0,5 0,75 Benda asing non-organik Nil 0,1 0,25 0,25 Butir lain 0,5 1 2 3 Campuran varietas lain 5 10 15 15 Bulir rusak 1 2 3 4 Butir mentah dan berkerut 2 4 6 6 Butir yang terkena serangga/ kumbang
2 4 6 8
5.3. Standar Produk Non-Pangan 5.3.1. SNI
a. Batik (SNI 08-3540-1994) Standar batik ini mencakup syarat mutu ketahanan luntur warna, cara
pengujian mutu, cara pengmabilan contoh dan cara pengemasan
batik. Batik memiliki definisi sebagai bahan tekstil dengan
menggunakan lilin batik. Dalam standar ini batik ada dua macam yaitu
batik tulis dan batik cap yang masing-masing digolongkan menjadi
dua jenis mutu, yaitu Mutu A dan Mutu B. Penggolongan mutu
tersebut didasarkan pada ketahanannya terhadap luntur warna.
Berikut adalah persyaratan mutu yang ditetapkan :
Tabel 5.12
Syarat Mutu Batik Berdasarkan SNI
Karakteristik Syarat Mutu A Mutu B
Tahan luntur warna terhadap pencucian - Gray scale Min. 4 Min. 3 - Staining scale Min. 4 Min. 3 Tahan luntur warna terhadap keringat - Gray scale Min. 4 Min. 3
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 62
- Staining scale Min. 4 Min. 3 Tahan luntur warna terhadap gosokan - Kering Min. 3 -4 Min. 3 - Basah Min. 3 Min. 2-3 Tahan luntur warna terhadap penyetrikaan panas
- Gray scale Min. 3 Min. 3 - Staining scale Min. 3 Min. 3 Tahan luntur warna terhadap sinar lampu karbon
Min. 4 - 5 Min. 4
Kemudian, kain batik harus dikemas dengan berat bersih maksimal
50 kg. Standar ini juga mensyaratkan tiap potong atau helai kain batik
harus mencantumkan nama bahan dasar, serat yang digunakan,
ukuran, cara perawatan, dan tulisan “Made in Indonesia” yang
mencerminkan keadaan kain tersebut. Sedangkan hal-hal yang harus
dicantumkan pada bagian luar kemasan adalah tulisan “Made in
Indonesia”, nama/kode perusahaan atau eksportir, nama barang,
jenis mutu, nomor kemasan, berat bruto dan netto, serta negara
tujuan.
b. Kursi dan Meja Rotan
- Kursi tamu rotan (SNI 7555.23:2011) Dalam SNI ini ditetapkan mengenai syarat mutu dan cara
pengujian untuk kursi tamu yang terbuat dari rotan yang siap pakai,
yaitu meliputi ukuran, konstruksi, kestabilan, ketangguhan,
kekuatan dan ketahanan. Standar ini mengacu pada ISO sebagai
acuan normatif dan juga SNI lain yang terkait. Dalam hal
pembuatan, konstruksi kursi harus kokoh dan tidak ada bagian
kursi yang dapat melukai pemakai. Tiap sudut kursi juga harus
tumpul dan aman bagi keselamatan pengguna. Selain itu, bahan
kimia yang digunakan dalam cat atau vernis harus aman untuk
pemakai dan kesehatannya. Konstruksi sambungan pada kursi
juga dipersyaratkan untuk menggunakan sekrup, bukan paku, atau
menggunakan teknik purus. Terkait kekuatan, kursi rotan harus
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 63
lolos uji kekuatan alas duduk, sandaran, kaki depan dan samping,
kekuatan beban jatuh, beban horizontal dan vertical lengan, uji
pikul sandaran, dan uji pukul lengan. Sebagai persyaratan
kestabilan, kursi rotan tidak boleh terungkit (overturns) ke arah
depan, samping dan belakang. Lebih lanjut, untuk ketahanan
permukaan kursi syaratnya adalah permukaan tidak berubah ketika
terekspos cairan kimia, serta lapisan terkelupas maksimum 15%
untuk uji ketahanan lekat permukaan. Selebihnya, SNI ini merinci
secara teknis mengenai cara, metode dan alat pengujian.
- Meja tamu rotan (SNI 7555.24:2011) SNI ini merupakan acuan syarat mutu dan cara pengujian meja
tamu rotan yang kriterianya meliputi ukuran, konstruksi, kestabilan,
ketangguhan, kekuatan dan ketahanan. Dalam pembuatannya,
produk ini harus kokoh dan tidak memiliki bagian runcing yang
berbahaya bagi pengguna, termasuk sudut meja, serta cat, vernis
dan bahan kimia lain harus aman bagi kesehatan pengguna.
Konstruksi bagian yang menempel dan melekat pada meja ini
harus terpasang sempurna dan tidak boleh cacat. Meja juga harus
stabil terhadap gaya vertikal sehingga kaki meja yang berlawanan
tidak terangkat. Selain itu, ada uji kekakuan meja dengan nilai
rujukan maksimum 34 mm/mm dari tinggi meja. Daun meja atau
permukaan paling atas juga harus memenuhi parameter defleksi
yaitu perubahan tidak lebih dari 0,4% dan tidak sampai rusak dan
tidak terjadi perubahan bentuk yang dapat mengganggu pengguna.
Permukaan meja harus kuat terhadap cairan rumah tangga
sehingga tidak terjadi perubahan pada permukaan terebut. Untuk
ketahanan lekat permukaan, lapisan yang terkelupas dari meja
disyaratkan maksimum 15%.
Selain itu, standar ini juga menjabarkan secara rinci cara dan
metode pengujian serta perlengakapan uji sesuai dengan
parameter yang disyaratkan. Terakhir, standar ini memuat kriteria
pengemasan dan penandaaan. Untuk pengemasan, meja rotan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 64
siap pasang dan siap pakai harus dikemas dengan kertas atau
bahan lain yang tidak merusak struktur dan permukaan meja.
Sedangkan untuk penandaan atau pelabelan, yang dicantumkan
pada tanda di meja antara lain kode produksi, nama perusahaan,
merek dagang. Sementara untuk tanda pada kemasan harus
mencantumkan keterangan buatan Indonesia, nama barang, kode
produksi, nama perusahaan, dan merek dagang.
5.3.2. Standar Internasional (ISO) a. Kemeja Batik
Standar mutu khusus untuk kemeja batik belum diatur dalam standar
internasional seperti ISO. Dengan demikian ketentuan standar mutu
tersebut akan mengacu pada standar mutu untuk kemeja secara
umum. Dalam hal ini, yang akan diperbandingkan dengan SNI batik
adalah ISO 105-1997, ISO 105-1999, ISO 105-2010, ISO 105-2002,
ISO 6330-2001, ISO 13934-2:1999, IAO 13935-2:1999, dan ISO
13936-1:2004. Standar-standar tersebut terkait dengan kriteria dan uji
mutu untuk tahan luntur, stabilitas kain, dan kekuatan jahitan yang
dirangkum dalam Tabel 5.12.
Tabel 5.13
Standar Mutu Kemeja Menurut ISO
Kriteria Nilai Rujukan (dalam skala) Ketahanan luntur terhadap pencucian
Change : 4 Stain : 4 Cross-stain : 4/5
Ketahanan luntur terhadap air Change : 4 Stain : 4
Ketahanan luntur terhadap gosokan
Kering : 4 Basah : 3/4
Ketahanan luntur terhadap cahaya
Std : 4
Stabilitas terhadap pencucian +/- 3% Kekuatan terhadap tarikan atau peregangan
150 Newton
Kelicinan jahitan 6 mm SO 80 Newton
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 65
Kekuatan jahitan SS 120 Newton
b. Kursi dan Meja Rotan • Kursi rotan
Panduan kualitas mutu internasional untuk kursi adalah ISO
7173:1989 yang menjabarkan metode uji kekuatan dan ketahanan
dan ISO 7174-1:1988 mengenai pengujian stabilitas kursi. Uji
kekuatan meliputi tes statis dan beban, sedangkan uji stabilitas
mensimulasikan pergerakan berulang yang dilakukan dalam
jangka panjang dan kemudian menguji kekuatan komponen dalam
kondisi tersebut. Selanjutnya, yang dimaksud dengan uji stabilitas
adalah uji kemampuan kursi untuk menahan gaya dan beban yang
dapat menyebabkan kursi terbalik.
• Meja rotan Selanjutnya, ISO 7172:1988 memberikan panduan pengujian untuk
kestabilan meja. Standar ini mencakup metode pengujian stabilitas
untuk segala jenis meja, termasuk meja yang terbuat dari rotan,
kecuali meja yang menempel pada struktur bangunan. Yang diuji
antara lain kestabilan ketika mendapat gaya vertikal, horizontal,
dan ketahanan untuk tidak terungkit.
5.3.3. Standar Nasional Mitra Dagang a. Batik
• Negara tujuan ekspor (AS) Panduan mengenai standar mutu untuk tekstil dan produk tekstil di
Amerika Serikat terangkum dalam A Guide to United States
Apparel and Household Textiles Compliance Requirements yang
disusun oleh National Institute of Standards and Technology
(NIST) – U.S. Department of Commerce. NIST adalah laboratorium
metrologi nasional di Amerika Serikat. Institusi ini menyediakan
infrastruktur pengukuran/pengujian teknis untuk mendukung
perdagangan internasional dan sistem pengukuran/pengujian
komersial. Pengembangan sistem standarisasi di Amerika Serikat
didorong oleh pihak swasta melalui consensus dan bergantung
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 66
pada kebutuhan produsen, konsumen, dan pemerintah. Mayoritas
standar yang berlaku di negara tersebut bersifat sukarela.
Persyaratan mutu untuk produk tekstil khususnya kemeja antara
lain mencakup :
- Pelabelan; terdiri dari label keterangan produk dan label
perawatan produk. Terkait label keterangan produk, pada
produk dan atau kemasan harus tercantum: nama umum dan
persentase berat dari serat atau bahan penyusun produk, nama
produsen atau nomor registrasi perusahaan, serta nama negara
dimana produk tersebut dihasilkan atau diproduksi. Label
tersebut harus secara aman menempel pada produk dan tahan
lama atau awet sehingga akan tetap menempel dalam melalui
proses distribusi sampai ke tangan konsumen. Sedangkan
untuk label perawatan;
- Keamanan produk; terdiri dari kriteria ketahanan terbakar dan
kandungan bahan-bahan berbahaya atau beracun;
- Metode uji kualitas produk; terdiri dari ketahanan luntur terhadap pencucian kering (dry-cleaning), ketahanan luntur terhadap
cahaya, ketahanan luntur terhadap keringat, serta terhadap air.
Selain itu juga terdapat metode uji untuk analisis serat secara
kualitatif dan kuantitatif. Kemudian, ketentuan mutu ini juga
meliputi tes untuk daya serap kain dan bagaimana penampakan
produk setelah mengalami pencucian berulang pada rumah
tangga (bukan pencucian profesional).
• Negara asal impor (Cina) Cina adalah negara asal impor utama untuk tekstil dan produk tekstil,
tidak terkecuali produk batik. Standar nasional Cina yang digunakan sebagai acuan standar mutu produk tekstil adalah National General
Safety Technical Code for Textile Products GB 18401-2003. Regulasi
ini mencakup aturan umum keamanan dan spesifikasi teknis, metode
pengujian, aturan inspeksi, implementasi dan supervise terhadap
produk tekstil. Produk tekstil diklasifikasikan menjadi 3 tipe :
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 67
- Tipe A adalah produk tekstil untuk bayi;
- Tipe B adalah produk tekstil yang penggunaannya berkontak
langsung dengan kulit;
- Tipe C adalah produk tekstil yang tidak berkontak langsung
dengan kulit.
Berikut adalah syarat keamanan dan spesifikasi teknis untuk produk
tekstil : Tabel 5.14
Syarat Keamanan Cina Untuk Produk Tekstil
Rincian Tipe A Tipe B Tipe C Kandungan formalin (mg/kg) Maks. 20 Maks.
75 Maks. 300
Nilai pH 4,0 - 7,5 4,0 - 7,5 4,0 - 9,0
Ketahanan luntur warna - Dalam air 3,0 - 4,0 3 3 - Dalam penguapan asam 3,0 - 4,0 3 3 - Dalam penguapan alkalin 3,0 - 4,0 3 3 - Terhadap penggosokan 4 3 3 - Dalam air ludah 4 Bau tidak wajar/aneh Nil Pewarna yang dapat mengeluarkan zat "arylamine"
Dilarang
b. Kursi dan Meja Rotan • Negara tujuan ekspor (Jepang)
Jepang merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia untuk
produk meja dan kuris tamu rotan selain Amerika Serikat, Uni
Eropa dan Korea Selatan. Nilai ekspor mebel rotan ke Jepang
mengalami tren yang meningkat dan cukup signifikan, yaitu
meningkat rata-rata 3,89% per tahunnya selama periode 2007
sampai 2012. Untuk dapat masuk ke pasar Jepang, produsen
mebel rotan Indonesia harus dapat memenuhi persyaratan atau
kriteria seperti pada Tabel 5.15.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 68
Tabel 5.15 Kriteria Mutu Kursi dan Meja Rotan ke Jepang
Kriteria Rincian
Kekuatan - Kualitas bahan baku rotan harus baik - Kursi harus kuat menahan beban sampai 80 kg - Apabila menggunakan bahan kulit rotan, maka
harus kuat dan tidak mudah putus - Lem yang digunakan harus rendah formalin
Penampilan - Pengecatan harus merata terutama untuk cat yang berwarna
- Penampilan harus lurus, tidak bengkok dan tidak ada bekas gigitan serangga
Lain-lain - Hasil rautan dan anyaman rotan harus halus, bebas dari bagian yang tajam dan membahayakan
- Harus bebas sernagga - Handling saat pengiriman harus diperhatikan
agar mebel rotan tidak berjamur - Kondisi mebel harus kokoh dan tidak reyot - Harus dilengkapi dengan manual cara perakitan,
pemakaian, dan perawatan - Pengemasan harus kuat, namun tidak merusak
mebel - Komposisi kain ataua bahan yang digunakan
dalam pembuatan mebel harus terinci secara jelas komposisinya
• Negara asal impor (Malaysia) Berdasarkan dokumen yang bersumber dari International Network
for Bamboo and Rattan, hal-hal yang harus diperhatikan dalam
memproduksi mebel rotan di Malaysia antara lain:
- Seleksi dan klasifikasi bahan baku. Rotan diklasifikasikan
berdasarkan kualitas permukaan seperti dalam tabel berikut;
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 69
Tabel 5.16 Klasifikasi Rotan Berdasarkan Permukaan
Grade Kriteria Natural 1/1
1/3 4/5
Tidak terdapat bintik hitam atau kecoklatan Terdapat sedikit bintik Terdapat banyak bintik
Peeled A B
Warna keputihan yang seragam Terdapat sedikit warna buram
Selain itu, rotan juga diklasifikasikan berdasarkan ukuran
diameternya. Ukuran 1 berdiameter 40 mm dan lebih besar,
ukuran 2 dengan diameter 35 – 39 mm, ukuran 3 berdiameter
30 -34 mm, ukuran 4 yang berdiameter 25 – 29 mm, dan
terakhir yang paling kecil adalah ukuran 5 dengan diameter 24
mm atau lebih kecil.
Grade atau kelas 1/1 merupakan rotan dengan kualitas
tertinggi atau terbaik dengan kulit yang halus dan bersih.
Rotan yang tergolong dalam kelas ini biasanya digunakan
sebagai komponen kerangka utama dan kaki mebel.
Sedangkan grade 1/3 digunakan untuk membuat komponen
yang lebih pendek dan tersembunyi seperti alas duduk, penyangga atau pengikat. Kulit luar dari rotan dengan grade
4/5 akan dikupas sehingga menghasilkan rotan yang
berwarna merata, putih pudar, dan seragam. Kemudian, rotan
yang sudah dikupas tersebut dikelompokkan lagi menjadi
kelas A dan B;
- Pelurusan rotan. Rotan biasanya bengkok karena merupakan
fitur rotan itu sendiri dan atau rotan tersebut disimpan secara
vertikal. Rotan yang bengkok dapat diluruskan secara manual
atau menggunakan mesin pelurus pneumatic. Rotan yang
telah diluruskan akan memudahkan proses pembuatan mebel
yang berkualitas;
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 70
- Pengukuran dan pemotongan rotan. Rotan yang sudah
diluruskan kemudian diukur dan dipotong sesuai kebutuhan;
- Pembengkokan dan pembentukan rotan. Sebelum
dibengkokkan dan dibentuk sesuai keinginan, rotan
dipanaskan sehingga menjadi lembut dan fleksibel atau mudah
dibentuk;
- Pengeboran, pengaluran, dan end-coping;
- Perakitan. Proses perakitan dilakukan dalam 2 tahap : 1) sub-
perakitan untuk membentuk struktur kerangka dasar yaitu kaki,
penyangga tangan, sandaran, dan tempat duduk; 2) perakitan
final untuk menempel atau menambah komponen lain, seperti
penyangga kaki, alas duduk, dan alas punggung;
- Proses penyatuan dan penganyaman;
- Scraping dan pengamplasan;
- Finishing. Proses finishing dilakukan dengan menyemprot
mebel dengan sprayer bertekanan udara di dalam ruangan
khusus yang dilengkapi dengan sistem exhaust.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 71
BAB VI GAP KEBUTUHAN STANDAR
Seperti dijelaskan dalam proses alur barang dalam upaya untuk memenuhi
standar (Kualitas, Kesehatan, Keamanan, Keselamatan dan Lingkungan Hidup) di
Gambar 3.1, maka seluruh proses yang ada harus memenuhi standar (minimal)
yang diharuskan oleh suatu standar yang berlaku di suatu negara. Demikian halnya
untuk SNI di Indonesia. Dalam proses perumusannya, Standar Nasional Indonesia
(SNI) sebenarnya telah mengacu pada standar internasional yang ada baik itu
Internasional Standard Organization (ISO), CODEX Alimentarius, termasuk juga
panduan teknis yang terkait dengan produk yang bersangkutan.
SNI yang dihasilkan melalui konsensus dan ditetapkan oleh Badan Standarisasi
Nasional diupayakan untuk bisa mengakomodasi berbagai kepentingan stakeholders
yang ada (BSN, 2011). Meskipun SNI mengacu pada standar internasional yang
ada, namun demikian, ada kondisi dimana SNI mempunyai kriteria yang berbeda
dengan kriteria standar yang berlaku di dunia internasional. Tidak semua aturan
teknis, kriteria, dan lainnya dari standar internasional tersebut dipakai atau
diaplikasikan di Indonesia melalui SNI dengan berbagai pertimbangan, termasuk
upaya perlindungan konsumen dan peningkatan daya saing (khususnya untuk usaha
kecil dan menengah). Dalam penerapan suatu SNI oleh industri masih ditemui
banyak kendala terutama menyangkut kemampuan dan kesiapan dunia usaha
(BSN, 2012). Skala industri akan mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam
menerapkan suatu standar (Puska Dagri Kementerian Perdagangan, 2012).
Pertimbangan kondisi riil tersebut merupakan salah satu pertimbangan keberadaan gap standar yang terjadi antara SNI dengan standar yang lainnya.
Bab ini mengkaji gap yang ada antara SNI dengan standar internasional yang
ada. Beberapa standar internasional yang dibandingkan untuk menemukan gap
yang ada adalah ISO, CODEX Alimentarius, standar nasional yang diberlakukan
oleh negara asal (eksportir), negara tujuan (importir) dan juga standar lain yang
berlaku seperti private standard. Dalam analisis gap, ada beberapa kemungkinan
yaitu (+ Gap) yang menunjukkan bahwa SNI mempunyai unsur lebih (standar yang
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 72
lebih tinggi dibanding standar lainnya). Sementara itu (- Gap) menunjukkan bahwa
SNI yang kita miliki mempunyai kekurangan (standar yang lebih rendah) bila
dibandingkan dengan standar internasional yang ada.
Dengan diketahuinya gap antara SNI dengan standar yang ada, akan diperoleh
solusi (bridging) dalam rangka untuk memperkuat dan memperbaiki SNI sehingga
standar nasional yang kita miliki bisa memenuhi kebutuhan konsumen dan produsen
di pasar domestik maupun internasional sekaligus mampu meningkatkan daya saing
produk nasional baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
6.1 Cakupan Standar Dalam Arus Barang: SNI dan Standar Internasional Suatu produk yang beredar di pasar harus memenuhi standar dalam setiap lini
atau proses pembentukannya, termasuk distribusinya. Jaminan standar tersebut
harus dimulai dari bahan baku (asal dan proses produksi bahan baku), distribusi
bahan baku, proses produksi dalam perusahaan, distribusi barang jadi sampai
standar yang menjamin bahwa produk tersebut tetap memenuhi standar yang
ditentukan, ketika sampai di tangan konsumen.
Dalam SNI maupun standar internasional lainnya, distribusi bahan baku maupun
barang jadi tidak menjadi perhatian tersendiri sebagai bagian/komponen utama
dalam kriteria standar yang ada (Gambar 6.1). Berbeda dengan konsep dasar alur
barang dalam memenuhi standar oleh Will and Guenther (2007), disamping proses
produksi bahan baku juga proses produksi barang jadi, juga memperhatikan aspek
distribusi yang harus memenuhi standar. 2
Gambar 6.1 Cakupan Standar dalam SNI dan Standar Internasional Lainnya
2 Standar dalam masalah distribusi barang/jasa berada di luar dari standar barang/produk.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 73
6.2. Analisis Gap Standar per Produk 6.2.1. Tuna Beku
Tabel 6.1 Analisis Gap Standar Produk Tuna Beku
Gap positif CODEX
• Syarat bahan baku : tekstur elastis, padat dan kompak • Penanganan dan pengolahan : peralatan dan perlengkapan
yang digunakan Amerika Serikat (FDA) • Kadar histamin : maksimal 100 mg/kg
Gap negatif CODEX
• Syarat bahan baku : kriteria penolakan produk • Penanganan dan pengolahan : kontrol inventory yang bagus
(regular checking) • Pengemasan : bahan kemasan harus food grade
Filipina • Syarat bahan baku : Penggolongan Grade A, B, dan C Amerika Serikat • Syarat mutu dan keamanan pangan : cemaran mikroba,
toksin, logam berat dan residu obat-obatan Uni Eropa • Syarat mutu : tidak mengandung CO
Keterangan: Gap (+) adalah adanya perbedaan SNI dengan standar lain, dimana SNI mempunyai unsur lebih/persyaratan yang lebih ketat; Gap (-) adalah kekurangan yang ada dalam SNI/persyaratan yang lebih longgar.
Dari seluruh parameter yang ada dalam SNI mengenai ikan tuna beku,
hampir seluruhnya sudah sesuai (comply) dengan parameter yang ada dalam
CODEX. Bahkan untuk dua parameter yaitu khususnya persyaratan bahan baku
dan penanganan dan pengolahan, SNI memiliki gap atau kesenjangan positif.
Dalam SNI yang mengatur tentang persyaratan bahan baku mensyaratkan
bahwa bahan baku yang digunakan dalam pengolahan ikan tuna beku, yaitu
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 74
ikan tuna, harus memiliki tekstur elastic, padat dan kompak. Selain itu, dalam
hal penanganan dan pengolahan tuna, peralatan dan perlengkapan digunakan
harus memenuhi beberapa kriteria antara lain memiliki permukaan halus dan
rata, bebas karat, bebas dari cemaran jasad renik, tidak retak dan juga mudah
dibersihkan. Perbandingan SNI dan standar negara Amerika Serikat, khususnya
yang bersumber dari Food and Drugs Administration (FDA) untuk syarat
keamanan produk perikanan, menunjukkan adanya gap positif. Gap tersebut
terkait dengan kadar histamin yang diperbolehkan terdapat pada ikan tuna,
yaitu maksimal 50 ppm atau 500 mg/kg. Sedangkan SNI mensyaratkan kadar
histamin hanya diperbolehkan maksimal 100 mg/kg.
Parameter yang sudah sesuai dengan CODEX antara lain syarat bahan
baku dengan rincian penampakan dan kesegaran ikan serta suhu penyimpanan
bahan baku maksimal 4,4 derajat Celcius. Selanjutnya, dalam parameter
penanganan dan pengolahan, kriteria yang sudah sesuai dengan CODEX yaitu
cara sortasi, membersihkan, pembekuan dengan suhu -18 derajat Celcius,
pengemasan dan penyimpanannya dalam gudang beku. Lebih lanjut, parameter
utama yaitu syarat mutu dan keamanan pangan dengan mempersyaratkan
kriteria organoleptik serta ambang batas untuk cemaran mikroba dan kimia juga
sudah sesuai dengan standar internasional tersebut. Parameter lainnya adalah
pengemasan serta pelabelan dengan mencantumkan nama dan alamat
produsen, bahan tambahan lain, tanggal lengkap produksi dan tanggal lengkap
kadaluarsa.
Pada CODEX, selain kriteria untuk bahan baku juga dirinci mengenai
kriteria penolakan produk. Hal inilah yang menjadi kesenjangan atau kelemahan
dari SNI. Produk ikan tuna beku wajib ditolak jika kulit atau lendirnya berwarna
pucat atau kuning kecoklatan, insangnya berwarna abu-abu kecoklatan, serta
berbau tidak normal seperti bau ammonia, laktat susu, sulfit atau pun bau
tengik. Kemudian, CODEX juga mensyaratkan control inventory yang baik
dalam hal penyimpanan ikan. Dalam hal pengemasan, tidak hanya bersih,
bahan kemasan juga diharuskan tidak mencemari ikan serta harus termasuk
kategori food grade. Sedangkan jika dibandingkan dengan standar negara
Filipina, SNI memiliki kelemahan dalam hal grading atau pengkelasan bahan
baku. Filipina mengkategorikan bahan baku ikan tuna menjadi 4 kelas yaitu
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 75
kelas A, B, dan C. Kelas A dan B memiliki kriteria yang sama mengenai
penampakan ikan yaitu memiliki mata bersih dan cerah, insangnya berwarna
merah cerah, berbau segar, dagingnya kaku, dinding perutnya utuh, warna
badan cerah dan bebas dari kusam, tidak boleh ada sisik yang rusak, tidak ada
luka terpotong maupun luka tusukan. Kemudian, ikan tuna dikategorikan dalam
Kelas C jika matanya sedikit keruh dan pupilnya kelabu, insang sedikit kusam
dan mengkilap, daging, tulang dan perut sedikit lembek, dan baunya sedikit
asam. Jika bahan baku ikan tidak dapat memenuhi persyaratan dalam Kelas A,
B maupun C, maka produk tersebut harus ditolak.
Kemudian, SNI juga memiliki gap negatif jika dibandingkan dengan
standar dari negara Amerika Serikat terkait dengan keamanan pangan. Yang
menjadi kekurangan SNI adalah bahwa SNI tidak memasukkan beberapa
cemaran sebagai persyaratan mutu seperti berikut :
• bakteri Staphylococcus aereus : maksimal 10.000/gram;
• cemaran toksin Clostridium botulinum : tidak boleh terdeteksi;
• cemaran Polyclorinated biphenyil : maksimal 2 ppm;
• cemaran logam berat Methyl mercury : maksimal 1 ppm;
• residu obat-obatan hewan : tidak boleh terdeteksi.
Hal tersebut sesuai dengan hasil survey di lapangan terhadap para pelaku
usaha, khususnya eksportir. Mereka mengemukakan bahwa komponen standar
yang menjadi perhatian utama di masing-masing negara tujuan ekspor adalah
persyaratan dalam keamanan pangan, khususnya kadar cemaran dalam
produk. Cemaran yang paling sering bermasalah adalah Histamine, padahal
SNI sudah cukup ketat dalam menetapkan ambang batas amannya. Cemaran
kedua yang cukup sering bermasalah adalah cemaran logam berat Merkuri
yang belum dimasukkan dalam SNI sebagai persyaratan keamanan pangan.
6.2.2. Cakalang Beku Selanjutnya, analisis perbandingan standar (SNI) ikan cakalang beku
dengan standar di negara tujuan ekspor utama yaitu Thailand menunjukkan
hampir seluruh kriteria dalam kedua standar tersebut sama. Namun demikian,
SNI memiliki keunggulan pada salah satu parameter yaitu syarat mutu dan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 76
keamanan pangan pada kriteria cemaran mikroba dan kimia. Untuk cemaran
mikroba khususnya bakteri E.coli, SNI memiliki nilai rujukan maksimal 2
APM/gram sedangkan standar Thailand mensyaratkan cemaran E.coli 10
APM/gram. Selanjutnya SNI untuk cemaran bahan kimia logam berat yaitu Timbal
dan Cadmium, SNI memiliki nilai rujukan masing-masing sebanyak maksimal 0,4
dan 0,1 mg/kg sementara kriteria tersebut pada standar Thailand masing-masing
adalah 1 dan 0,2 mg/kg. Dengan demikian, kriteria mutu dan keamanan pangan
dalam SNI untuk ikan cakalang beku lebih ketat atau lebih baik daripada standar
Thailand.
Tabel 6.2
Analisis Gap Standar Produk Cakalang Beku Gap positif CODEX
• Syarat bahan baku : tekstur elastis, padat dan kompak • Penanganan dan pengolahan : peralatan dan perlengkapan
yang digunakan Thailand • Syarat mutu dan keamanan pangan : cemaran E.coli, cemaran
zat Timbal, dan cemaran logam Kadmium
Gap negatif
CODEX
• Syarat bahan baku : kriteria penolakan produk • Penanganan dan pengolahan : kontrol inventory yang bagus
(regular checking) • Penyimpanan : temperatur dan kelembaban harus sesuai
aturan, rotasi stok harus dijaga, isi dan kemasan harus terlindung dan terpisah untuk menghindari kontaminasi silang
• Pengemasan : bahan kemasan harus food grade
Jepang
• Syarat mutu dan keamanan pangan : cemaran mikroba
Keterangan: Gap (+) adalah adanya perbedaan SNI dengan standar lain, dimana SNI mempunyai unsur lebih/persyaratan yang lebih ketat; Gap (-) adalah kekurangan yang ada dalam SNI/persyaratan yang lebih longgar.
Seperti halnya dengan ikan tuna beku, standar CODEX untuk ikan
cakalang beku juga menetapkan persyaratan yang sama. Dengan demikian, SNI
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 77
memiliki keunggulan dalam hal rincian mengenai peralatan dan perlengkapan
yang digunakan dalam pengolahan ikan yang tidak dirinci dalam CODEX, yaitu
permukaannya halus dan rata, tidak mengelupas, tidak berkarat, bukan
merupakan sumber cemaran jasad renik, tidak retak dan mudah dibersihkan.
Sementara untuk rincian lain mengenai penanganan dan pengolahan, SNI sudah
sesuai dengan CODEX seperti berikut :
• Sortasi bahan baku dilakukan berdasarkan mutu, jenis dan ukuran;
• Kepala dan isi perut ikan dibuang;
• Ikan dicuci dengan air bersih dingin yang mengalir;
• Ikan ditimbang dengan timbangan yang telah dikalibrasi;
• Pembekuan ikan dilakukan hingga suhu pusat ikan mencapai -18 derajat
Celcius dan waktunya mencapai 4 jam;
• Ikan kemudian harus dikemas plastik dan dimasukkan dalam master karton
dengan segera secara cepat. Dalam hal pengemasan, CODEX mensyaratkan
kemasannya harus food grade;
• Ikan selanjutnya disimpan dalam gudang beku dengan suhu maksimal -25
derajat celcius.
Namun, pengolah (produsen cakalang beku) harus melakukan monitoring
terhadap proses pendinginan dan pembekuan serta dilengkapi dengan kontrol
persediaan (inventory) yang baik dalam rangka membunuh berbagai parasit yang
dapat membahayakan kesehatan manusia. Yang dimaksud dengan kontrol
persediaan yang baik antara lain manajemen persediaan masuk dan keluar,
pengecekan secara teratur terhadap suhu ruang pendingin, dan rotasi stok yang
sistematis. Hal inilah yang belum tercantum dalam SNI. Kemudian, dibandingkan
dengan standar Jepang sebagai negara asal impor, SNI memiliki gap negatif
dalam hal syarat mutu dan keamanan pangan khususnya cemaran mikroba ALT
dengan nilai rujukan maksimal 100/gr dan Staphylococcus Aereus kurang dari
1.000/gram. Jika Jepang menerapkan standar tersebut pada ikan cakalang beku
yang diekspor ke Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa standar mutu cakalang
impor dari Jepang lebih tinggi daripada standar mutu yang ditetapkan SNI dalam
hal cemaran mikroba.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 78
6.2.3. Manggis Manggis sebagai salah satu komoditas hortikultura merupakan komoditas
buah asli tropis yang memiliki warna dan rasa yang unik dibandingkan dengan
komoditas buah-buahan lainnya sehingga dijuluki sebagai “Queen of the Tropical
Fruit”. Berdasarkan data tahun 2007 - 2012, nilai ekspor manggis Indonesia ke
beberapa negara di dunia cenderung mengalami peningkatan dengan tren
34,54%. Ekspor manggis tertinggi terjadi pada tahun 2012 yang mencapai lebih
dari 20 ribu ton dengan nilai 1u juta US$. Negara yang menjadi tujuan ekspor
manggis terbesar Indonesia adalah China (75 persen), kemudian Taiwan,
Hongkong, Timur Tengah, dan Jepang3.
Pada umumnya, salah satu kendala yang dihadapi adalah mutu buah
manggis masih rendah. Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas
dapat dilakukan melalui penerapan standar mutu sebagai acuan bagi petani
dalam proses menghasilkan buah manggis yang berkualitas baik. Dalam hal ini
standar SNI dapat menjadi salah satu acuan. Berikut akan dipaparkah hasil
identifikasi SNI dibandingkan standar lain seperti CODEX dan standar di negara
tujuan ekspor.
Berdasarkan beberapa parameter yang dibandingkan dengan standar-
standar lain, SNI memiliki kelebihan atau keunggulan dibandingkan standar-
standar yang lain. Dalam parameter ketentuan mutu yang diatur dalam SNI
mensyaratkan daging buah yang bening dan getah kuning sesuai dengan pengkelasan. Untuk Kelas Super getah kuning (yellow gum) tidak lebih dari 5%,
Kelas A getah kuningnya tidak lebih dari 10%, dan Kelas B getah kuning tidak
lebih dari 20%. Sedangkan parameter ketentuan mengenai toleransi mengatur
bahwa jumlah maksimum yang tidak memenuhi mutu kelas B adalah 10% namun
harus memenuhi persyaratan minimum. Untuk penandaan dan pelabelan, SNI
mewajibkan label ditunjukkan pada dokumen yang menyertai buah yang diangkut
dalam bentuk curah, memenuhi syarat higienis dan mikrobiologis. Untuk menguji
higienitas komoditas manggis, SNI mengatur persyaratan uji organoleptik dan
cemaran logam sesuai standar internasional. Parameter-parameter yang ada di
3 http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/1429
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 79
dalam SNI tersebut tidak diatur atau diatur namun persyaratnya lebih ketat
dibandingkan CODEX.
Sementara hasil identifikasi SNI dibandingkan dengan standar negara lain
dalam hal ini adalah standar manggis di Thailand, ada beberapa parameter dalam
SNI yang memiliki keunggulan seperti: kelopak buah dan tangkai harus lengkap,
bebas dari kelembaban eksternal yang abnormal, kecuali pengembunan sesaat
setelah pemindahan dari tempat penyimpanan dingin, daging buah bening dan
getah kuning sesuai dengan pengkelasan, cacat tidak lebih dari 10% dan cacat
tsb tidak mempengaruhi daging buah, berasal dari kawasan yang sama, dan
untuk kemasan yang tidak menampakkan isinya, harus diberi label yang berisi
nama buah dan nama varietas.
Disamping memiliki keunggulan dibandingkan dengan standar-standar
lain, SNI masih memilki beberapa kelemahan dalam ketentuan mutu, pencemaran
logam berat, serta penandaan dan pelabelan. CODEX mewajibkan komoditas
manggis bebas dari lateks sementara SNI belum mengatur hal tersebut. Untuk
pencemaran logam berat, kadar maksimumnya diatur dalam CODEX General
Standard for Contaminants and Toxins in Food and Feed dan batas maksimum
residu pestisida yang ditetapkan oleh CODEX Alimentarius Commission.
Sedangkan penandaan dan pelabelan SNI belum mengatur secara rinci
sebagaimana diatur dalam CODEX seperti Nama dan alamat eksportir,
pengemas dan/atau operator. Kode identifikasi (opsional), Sifat Produk, Asal
Produk dan Identifikasi Komersial.
Jika dibandingkan dengan standar manggis di Thailand, SNI memiliki
kelemahan pada ketentuan mutu, pengkelasan, ketentuan mengenai toleransi,
ketentuan mengenai penampilan serta penandaan dan pelabelan. Untuk
ketentuan mutu standar manggis di Thailand menambahkan persyaratan bebas
dari kerusakan yang disebabkan pestisida dan faktor lainnya yang mempengaruhi
kualitas daging buah dan bebas dari kerusakan yang disebabkan oleh temperatur
yang rendah dan atau tinggi. Dalam pengkelasan, untuk kelas yang sama (kelas
A) standar manggis Thailand mensyaratkan cacat sedikit tidak lebih dari 30% dan
cacat tersebut tidak mempengaruhi daging buah sementara SNI hanya
mensyaratkan 10%. Untuk ketentuan mengenai toleransi pada Kelas Super,
standar manggis Thailand menambahkan persyaratan netted skin fruit yang
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 80
disebabkan oleh serangga dikecualikan. Sementara parameter ketentuan
menegenai penampilan, SNI tidak mensyaratkan warna yang seragam dan bahan
kemasan yang digunakan harus baru. Untuk penandaan dan pelabelan, standar
manggis di Thailand mengatur lebih rinci dibandingkan SNI seperti berat bersih,
informasi distributor, negara asal, khususnya pasar domestik wajib menggunakan
bahasa Thailand dan pasar ekspor menggunakan bahasa sesuai negara tujuan
ekspor, dan wajib Sertifikat Kementerian Pertanian (sudah lolos inspeksi).
Tabel 6.3 Analisis Gap Standar Produk Manggis
Gap Positif CODEX
• Ketentuan mutu : daging buah, pengkelasan (grading) • Toleransi mutu • Penandaan dan pelabelan : label harus ada pada dokumen • Higienis : uji cemaran organoleptik dan cemaran logam
berat TAS • Ketentuan mutu • Pengkelasan • Ketentuan mengenai penampilan
Gap Negatif CODEX
• Ketentuan mutu : ketentuan minimum, kondisi buah saat dipanen
• Pencemaran logam berat • Pelabelan dan penandaan : kemasan TAS
• Ketentuan mutu : bebas dari kerusakan • Pengkelasan • Ketentuan mengenai toleransi • Ketentuan mengenai penampilan : keseragaman,
pengemasan • Penandaan dan pelabelan : kemasan untuk konsumen Cina (AQSIQ) • Syarat keamanan pangan : kadar kadmium 0,05 ppm
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 81
Isu yang terkait dengan penolakan ekspor manggis di negara Cina terkait
dengan kandungan Kadmium pada manggis yang berasal dari Indonesia tidak
sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan di Cina yaitu 0,05 ppm. Kandungan
tersebut terlalu rendah apabila dibandingkan dengan SNI yang sebesar 0,2
ppm,terjadi gap negatif antara SNI dengan ketentuan standar di Cina, pada hal
menurut CODEX STAN 228-2001 batas maksimum kandungan kadmium pada
buah sebesar 0,2 ppm. Hasil analisis kandungan kadmium pada tanah di
Kecamatan Sibolangit Sumatera Utara berkisar antara 0,127-0,270 ppm,
sementara pada tanah/daun berkisar antara 0,39-o,49 ppm (Balai Penelitian
Tanaman Buah Tropika, 2013). Kandungan tersebut melebihi ambang batas
maksimum yang ditoleransi oleh Pemerintah Cina. Selain kandungan kadmium
tersebut, komplain yang dijadikan alasan penolakan adalah ditemukan hama
coccid pada buah. Pada hasil penelitian yang sama, tidak ditemukan adanya
hama coccid, serangga yang ditemukan adalah semut. Selain semut tidak
ditemukan serangga lain pada buah. Untuk mengendalikan semut ini tidak
dilakukan fumigasi, namun dengan cara mencelupkan buah kedalam; (a) larutan
air dicampur Decis (20:2) selama 20 menit, kemudian dikering-anginkan; (b) buah
yang telah kering kemudian dicelup dalam air 20 l ditambah dengan cairan
penyegar (pengawet) yang mengandung larutan gula; (c). Setelah itu buah dibilas
dengan air bersih. Hasilnya menunjukan buah tidak terdapat semut (0%),
terdeteksi kandungan residu deltamethrin sebesar 0,032 ppm pada kulit buah,
sedangkan pada daging buah tidak terditeksi (0 ppm).
6.2.4. Jagung Pada dasarnya SNI Jagung yang sudah diperbarui pada tahun 2013
merupakan adopsi dari beberapa standar internasional seperti CODEX
Alimentarius yang diatur dalam Sanitary and Phyto-Sanitary dalam ketentuan
WTO. Namun demikian, dalam penerbitannya, SNI sudah disesuaikan dengan
beberapa ketentuan yang menjadi dasar pertimbangan pelaku usaha di dalam
negeri, sehingga terdapat beberapa perbedaan dengan CODEX, yang pada
akhirnya dapat digolongkan sebagai sisi positif atau negatif.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 82
Berdasarkan hasil analisis deskriptif, SNI Jagung memiliki gap positif
sehingga diharapkan dapat berdampak pada kualitas produk jagung lokal di pasar
internasional. Beberapa gap positif tersebut antara lain:
1) Klasifikasi Mutu. Dalam SNI dijelaskan klasifikasi mutu yang terdiri
dari 4 (empat) kategori, yaitu Mutu I, II, III, dan IV. Penentuan mutu tersebut diikuti
dengan persyaratan yang pada akhirnya akan membentuk harga dan kualitas di
pasar internasional. Standar Mutu jagung ditentukan oleh beberapa atribut seperti
kadar air, butir rusak, butir warna lain, butir pecah, dan kotoran. Semakin baik
mutu jagung, maka ambang batas toleransi kadar air dan butir jagung semakin
ketat. Penentuan mutu jagung secara rinci dinilai akan berdampak baik karena
dapat memberikan informasi yang jelas kepada eksportir/importir untuk
menyesuaikan dengan kebutuhan pasar.
2) Petugas pengambil contoh. SNI mengatur syarat pengambil contoh
(sample)sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penilaian mutu. Dalam
ketentuan tersebut, petugas pengambil contoh harus memenuhi kriteria antara
lain harus memiliki pengalaman, bersertifikat resmi, dan bekerja pada instansi
yang berbadan hukum. Hal tersebut secara tidak langsung dapat menjamin nilai
kualitas produk yang dijual.
3) Penandaan. SNI juga mengatur ketentuan penandaan dalam
kemasan sebagai bagian dari mutu produk. Kemasan harus secara jelas
mencakup informasi antara lain produk indonesia, asal produk, nama dan mutu
barang, nama perusahaan/eksportir, berat bruto, berat netto, dan tujuan pasar.
Setiap kemasan harus dalam bentuk karung dengan nomor registrasi.
Namun demikian juga terdapat kekurangan (gap negatif) antara SNI
dengan CODEX, dimana ada beberapa atribut yang tidak diatur dalam SNI
namun diatur dalam CODEX. Beberapa gap negatif SNI antara lain:
1) CODEX mensyaratkan batas maksimum sifat bau, keasaman, dan zat
kimia termasuk fungisida dan herbisida, serta ketentuan suhu untuk menjamin
kelembaban normal. CODEX secara jelas mencantumkan batas maksimum dan
toleransi ukurannya yang ditetapkan oleh Komisi CODEX Alimentarius.
2) Proses pengambilan contoh dan cara uji didasarkan pada Methods of
Analysis and Sampling Method CODEX sesuai dengan komoditi yang telah
ditetapkan dan bersifat sangat teknis, bahkan mempertimbangkan kandungan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 83
protein, lemak, kelembaban, dan ukuran partikel. Kemudian masing-masing
kriteria di-sampling berdasarkan metode yang digunakan dalam ISO, AOAC, dan
ICC yang sudah tentu teruji secara internasional.
3) Kemasan pada ketentuan CODEX pada dasarnya sudah diadopsi
oleh SNI. Namun ada beberapa ketentuan yang bersifat teknis, antara lain
seperti:
a. Kontainer kemasan harus menjamin higienitas dari kandungan nutrisi,
teknologi, dan kualitas produk;
b. Bahan kemasan harus terbuat dari bahan yang aman, dan cocok
untuk peruntukannya, dan bebas dari bahan berbahaya dan bau;
c. Jika dikemas dalam karung, harus bersih dan dijahit dengan kuat dan
kemasan harus diberi label “Maize (Corn)”;
d. Kemasan yang diperuntukan untuk partai besar (non ritel) harus
dijelaskan apakah pada kemasan atau pada dokumen yang
disertakan. Namun untuk nama produk, perusahaan
kemasan/produsen, alamat perusahaan, dan volume harus dituliskan
dalam kemasan.
Tabel 6.4 Analisis Gap Standar Produk Jagung
Gap Positif CODEX
• Klasifikasi mutu : pengkelasan berdasarkan mutu • Syarat khusus : kadar air, butir rusak, kadar kotoran • Petugas pengambil contoh : kriteria petugas • Penandaan : tulisan pada kemasan, ketrangan yang harus
dicantumkan India
• Klasfikasi mutu : pengkelasan berdasarkan mutu • Cara pengambilan contoh : jumlah sampel, metode pengambilan • Petugas pengambil contoh : kriteria petugas • Penandaan : tulisan pada kemasan, ketrangan yang harus
dicantumkan • Pengemasan : kemasan bersih dan dijahit, berat bersih,
pencantuman kadar aflatoksin Filipina
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 84
• Pengemasan : kemasan bersih dan dijahit, berat bersih, pencantuman kadar aflatoksin
• Petugas pengambil contoh : kriteria petugas • Cara uji : uji mutu berdasarkan hama, butir rusak, kadar air dan
aflatoksin
Gap Negatif CODEX
• Syarat mutu : ambang batas maksimum zat kimia, kelembaban • Cara pengambilan contoh : pertimbangan kandungan protein,
lemak, kelembaban dan ukuran partikel • Cara uji : sesuai ISO, AOAC, ICC • Pengemasan : kemasan menjamin higienitas, bahan harus aman,
jahitan karung kuat, label “maize (corn)” India
• Syarat khusus : keberadaan butir dan benda asing sebagai kriteria untuk tiap kelasnya
Filipina
• Klasifikasi mutu : ada 5 kelas; premium, I, II, III, dan IV • Syarat mutu : bebas baud an hama, warna seragam, kadar
kelembaban • Syarat khusus : kadar kelembaban, kotoran, aflatoksin, zat asing
untuk tiap kelas • Cara pengambilan contoh : sesuai ISO 874 • Penandaan : hal-hal yang perlu dicantumkan dalam kemasan • Higienitas : harus sesuai CODEX
India merupakan importir utama bagi Indonesia (Drake, 2013) menjelaskan
bahwa standar yang berlaku di suatu negara akan dijadikan acuan bagi persyaratan
produk ekspor. Apalagi, SNI jagung belum berlaku wajib sehingga ketentuan produk
impor jagung dari India secara dominan akan mengacu kepada standar yang berlaku
di India.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa SNI memiliki kelebihan (gap
positif) antara lain: klasifikasi mutu, cara pengambilan contoh, petugas pengambil
contoh, penandaan, dan pengemasan. Dalam hal pengambilan contoh, SNI
mensyaratkan beberapa ketentuan seperti formulasi dan tatacara pengambilan
contoh. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa penilaian mutu sudah tepat,
didukung dengan persyaratan petugas pengambil contoh. Sementara untuk
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 85
pengemasan, produk harus dipastikan dalam kemasan karung yang higienis,
tertutup rapi dan aman, serta dalam kemasan dengan berat yang aman untuk proses
handling. Kadar aflatoksin yang menjadi syarat penting bagi pasar ekspor harus
ditulis dalam kemasan secara jelas. Dengan demikian, hal ini tidak hanya baik bagi
penciptaan standar mutu jagung, namun juga dapat memudahkan petugas inspeksi
di negara ekspor dalam melakukan verifikasi. Sementara beberapa kekurangan SNI (gap negatif) dibandingkan dengan
standar jagung di India hanya berupa syarat khusus mutu/grade jagung dimana
dalam standar di India, atribut untuk menentukan grade lebih banyak dan detil
seperti kelembaban dan butir rusak dengan ambang batas (maksimal) lebih ketat
dari pada SNI, batas toleransi zat asing baik organik maupun anorganik, butir
keriput, weeviled grain, dan campuran dengan varietas lain.
Kemudian, Filipina merupakan negara tujuan ekspor utama komoditas jagung
Indonesia pada periode tahun 2007 – 2012 dengan jumlah ekspor rata-rata per
tahun mencapai 25 juta ton. Dalam mengekspor produknya, eksportir disyaratkan
memperhatikan ketentuan standar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Filipina
yang diatur dalam Philippine National Standards (PNS) No. 15 : 2004 agar
produknya dapat dijual di negara tersebut.
Namun demikian, perlu juga dilihat perbandingan antara SNI dengan standar
jagung di Filipina untuk mengetahui kesesuaian jika komoditas jagung sudah
memenuhi ketentuan SNI akan mempermudah pemenuhan standar di Filipina.
Beberapa ketentuan dalam SNI yang tidak ada dalam standar Filipina antara lain:
1) Pengemasan. SNI mensyaratkan kemasan yang higienis, berat maksimal untuk
persyaratan handling, pencantuman kadar aflatoksin sesuai dengan analisa;
2) Petugas pengambil contoh. SNI mengatur ketentuan bahwa petugas pengambil
contoh harus memiliki pengalaman, memiliki sertifikat, dan berasal dari instansi
yang berbadan hukum;
3) Cara uji sample yang diatur dalam SNI juga dinilai lebih ketat dibanding standar
Filipina. Sebagai contoh, selain pengujian sample menggunakan standar uji
umum untuk mengetahui kadar butir rusak, pecah, busuk, dan hama dengan
ambang tertentu, SNI juga mengatur penentuan kadar air biji ditentukan dengan
moisture tester electronic atau "Air Oven Method" yang mengacu pada
ISO/R939¬-1969E atau AOAC 930.15.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 86
Perlu juga menjadi perhatian bahwa masih terdapat ketentuan yang diatur
dalam standar Filipina namun tidak ada dalam SNI sehingga menjadi kekurangan
(gap negatif) SNI. Hal ini perlu dicermati mengingat SNI dapat dijadikan referensi
bagi eksportir jika ingin mengekspor produknya, walaupun ketentuan dalam standar
Filipina merupakan acuan utama. Dengan demikian, gap negatif SNI dapat
berdampak pada rendahnya kualitas komoditas ekspor jagung ke Filipina. Beberapa hal yang menjadi gap negatif SNI dibandingkan dengan standar
Filipina antara lain:
1) Klasifikasi mutu dalam standar Filipina terdiri dari Premium, Grade I, II, III, dan
IV. Hal ini akan berdampak pada persyaratan khusus yang lebih ketat
dibandingkan dengan SNI sesuai dengan klasifikasi mutu komoditas jagung;
2) Kemasan yang baik dan higinitas, dimana kemasan harus mendukung kualitas
produk dengan pencantuman informasi penting seperti berat dan tanggal
penggilingan (milling) dan harus memperhatikan asas-asas standar yang sesuai
dengan Recommended International Code of Practice General Principles of
Food Hygine (CAC/RCP 1-1969 Rev 3 - 1997, Amd (1999) dan ketentuan
dalam CODEX yang relevan seperti Codes of Hygine Practice and Codes of
Practice yang sudah tentu diakui di pasar internasional.
6.2.5. Kemeja Batik Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang juga salah satu
komoditas ekspor yang potensial. Hal ini ditunjukkan dengan data ekspor kemeja
batik yang bersumber dari BPS, khususnya kemeja untuk laki-laki yang mengalami
tren pertumbuhan ekspor sebesar 5,54% selama periode tahun 2008 – 2012.
Dengan demikian peningkatan ekspor batik ini perlu didorong melalui peningkatan
daya saingnya yang diindikasikan dengan standar mutunya.Industri batik banyak
terdapat di provinsi Jawa Tengah antara lain di Semarang, Pekalongan dan Solo.
Selain untuk pasar domestik juga untuk memenuhi pasar ekspor seperti Jepang,
Amerika Serikat, Uni Eropa dan lainnya.
Dengan membandingkan standar mutu kemeja batik produksi Indonesia,
dengan SNI sebagai acuannya, dengan standar internasional dan standar negara
mitra dagang maka dapat diperoleh gambaran mengenai daya saing produk ekspor
ini di dunia internasional. Namun demikian, tidak ada standar khusus untuk batik
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 87
seperti yang ada pada SNI. Dengan demikian, perbandingan dilakukan antara SNI
dengan standar untuk kemeja pada umumnya.
Hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa SNI memiliki gap positif
atau kelabihan dibanding ISO sebagai acuan standar internasional dan standar
negara tujuan ekspor maupun asal impor. Pada ISO, tidak terdapat salah satu syarat
mutu terkait ketahanan luntur yaitu ketahanan luntur terhadap keringat dengan nilai
acuan mutu skala 3 untuk kelas mutu B dan skala 4 untuk kelas mutu A. Selain itu,
SNI juga mencantumkan kriteria ketahanan luntur terhadap penyetrikaan panaa
dengan skala acuan 3 untuk kedua pengkelasan tersebut. Sementara untuk kriteria
syarat mutu lainnya seperti ketahanan luntur terhadap pencucian, gosokan basah
dan kering, serta terhadap penyinaran lampu, SNI dan ISO mensyaratkan skala
kualitas yang sama. Begitu pula dengan pelabelan, kedua standar mensyaratkan
label pada produk harus tercantum :
• Nama bahan dasar;
• Serat yang digunakan;
• Ukuran;
• Cara perawatan;
• Asal produk, misalnya “Made in Indonesia”.
Selanjutnya, perbandingan dengan standar nasional Cina menunjukkan bahwa SNI
mensyaratkan kriteria ketahanan luntur terhadap panas yang berasala dari setrika
dan juga ketahanan luntur terhadap sinar yang berasal dari lampu karbon.
Namun demikian, SNI juga memiliki beberapa kelamahan dalam persyaratan
mutu jika dibandingkan dengan ISO dan standar nasional Cina. Pada ISO, standar
mutu kemeja khususnya dalam peramater ketahanan luntur, terdapat kriteria bahwa
kemeja harus tahan luntur terhadap air yang tidak ada dalam SNI. Kemudian,
parameter lain yang menjadi gap negatif dari SNI terhadap ISO adalah uji kestabilan
kain kemeja setelah proses pencucian, daya tahan atau kekuatan kemeja apabila
diregangkan, serta kekuatan jahitan terhadap genggaman yang kuat dan terhadap
tarikan. Uji-uji tersebut pada dasarnya mengetes apakah kemeja dan jahitannya
tahan robek atau rusak terhadap perlakuan sehari-hari. Di sisi lain, standar nasional
Cina mengklasifikasikan produk tekstil ini berdasarkan spesifikasi teknis, yaitu
apakah kemeja ini diperuntukkan untuk bayi (tipe A), produk tekstil dengan kontak
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 88
langsung dengan kulit manusia (tipe B), dan produk yang tidak kontak langsung (tipe
C). Standar mutu untuk kemeja ataupun pakaian secara umum berbeda untuk tiap
spesifikasi teknis tersebut. Selain itu, keunggulan dari standar ini dibandingkan SNI
adalah bahwa ada batasan kandungan formalin sesuai kategori pakaian; . 1) tipe A :
maksimal 20 mg/kg; 2) tipe B : 75 mg/kg, dan 3) tipe C : 300 mg/kg. Hal ini sejalan
dengan standar yang ditetapkan CODEX yang mencantumkan bahwa formalin
adalah bahan berbahaya sehingga kandungannya dibatasi pada pakaian atau pun
makanan selain Kadmium dan Kromium. Standar Cina juga mengatur kadar
keasaman atau pH seperti berikut :
- Ketegori baju bayi dan anak : 4 – 7,5;
- Kategori baju dengan kontak langsung dengan kulit : 4 – 7,5;
- Kategori baju tanpa kontak langsung dengan kulit : 4 – 9.
Pakaian juga harus bebas dari bau aneh yang tidak normal dan tidak boleh
meggunakan pewarna yang mengandung zat arylamine. Zat tersebut dikategorikan
sebagai zat karsinogenik atau zat pemicu kanker untuk manusia. Dengan demikian,
hal ini mengindikasikan bahwa standar mutu untuk kemeja dari standar internasional
maupun negara mitra dagang lebih ketat daripada SNI.
Selanjutnya, dibandingkan dengan standar nasional Amerika Serikat sebagai
negara tujuan utama ekspor pakaian jadi Indonesia, termasuk Batik, SNI relatif
memiliki lebih banyak kesenjangan negatif terutama yang terkait syarat mutu. Syarat
mutu yang tidak diatur dalam SNI antara lain ketahanan terbakar atau flammability
yang merupakan komponen utama dalam standar yang diberlakukan oleh negara ini.
Selain itu, standar negara tersebut juga mensyaratkan kandungan maksimal
terhadap bahan-bahan beracun pada paroduk maupun pada kemasan. Syarat mutu
selanjutnya yang tidak dimiliki SNI adalah ketahanan luntur produk terhadap
pencucian kering (dry-cleaning) dan juga terhadap air. Standar mutu ini juga
mengacu pada standar terkait dalam hal analisis serat secara kuantitatif dan
kualitatif, pengujian daya serap kain, serta pengujian penampakan produk setelah
pencucian berulang pada rumah tangga (bukan pencucian professional).
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 89
Tabel 6.5 Analisis Gap Standar Produk Kemeja (Batik)
Gap positif ISO
• Syarat mutu : ketahanan luntur terhadap keringat dan penyetrikaan panas
Cina
• Syarat mutu : Tahan luntur warna terhadap penyetrikaan panas, Tahan luntur warna terhadap sinar lampu karbon
Amerika Serikat
• Syarat mutu : Tahan luntur warna terhadap penyetrikaan panas, tahan luntur terhadap gosokan
Gap negatif ISO
• Syarat mutu : skala tahan luntur, tahan luntur terhadap air, stabilitas terhadap pencucian, kekuatan terhadap peregangan, tes kelicinan dan kekuatan jahitan
• Zat terlarang : Kadmium, formalin, kromium Cina
• Penggolongan mutu : berdasarkan golongan konsumen
• Syarat mutu : kadar formalin, keasaman (pH), tahan luntur, bebas
bau aneh, bebas pewarna yang mengandung zat arylamine Amerika Serikat
• Pelabelan : harus mencantumkan komposisi dan kandungan serat
kain, label perawatan harus harus menempel secara permanen,
aman dan dapat mudah terlihat oleh konsumen selama masa
pakai produk tersebut.
• Syarat mutu : ketahanan terbakar terbagi atas 3 kelas dan harus
memenuhi minimal kriteria pada kelas 1 atau 2; kandungan toksin
atau racun dan bahan-bahan berbahaya pada produk dan pada
kemasan khususnya untuk bahan-bahan seperti merkuri, lead,
kadmium, dan hexavalent chromium; ketahanan luntur terhadap
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 90
pencucian kering (dry-cleaning); ketahanan luntur terhadap air,
analisis serat secara kuantitatif dan kualitatif; daya serap kain;
penampakan produk setelah pencucian berulang.
6.2.6. Mebel Rotan
Pada prinsipnya tujuan dari standardisasi nasional adalah untuk
meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan
masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun
kelestarian lingkungan hidup, membantu kelancaran perdagangan dan
mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan. Terkait hal
tersebut pemerintah menetapkan SNI furnitur rotan baik untuk kursi maupun meja
tamu rotan. Standar ini menetapkan syarat mutu dan cara uji kursi dan meja tamu
yang terbuat dari rotan yang siap pasang dan siap pakai. Standar ini juga
mencakup ukuran, konstruksi, kestabilan, ketangguhan, kekuatan, dan
ketahanan.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dengan membandingkan SNI dan ISO
furnitur rotan kursi tamu, SNI Kursi Tamu Rotan memiliki gap positif sehingga
diharapkan dapat berdampak pada kualitas produk kursi rotan lokal di pasar
internasional. Beberapa gap positif tersebut antara lain:
1) Pembuatan. SNI mengatur kontruksi produk, sudut kursi, penggunaan bahan
kimia dan kontruksi bangunan, dimana kontruksi produk harus kokoh dan
tidak ada bagian yang runcing, setiap sudut kursi dibuat tidak tajam dan
aman digunakan, penggunaan bahan kimia seperti cat dan vernis harus
dijamin keamananya terhadap kesehatan pemakai dan kontruksi sambungan
menggunakan skrup (bukan paku);
2) Persyaratan Mutu. Pada SNI terkait persyaratan mutu terbagi menjadi dua
bagian besar yaitu, konstruksi bagian yang menempel terpasang sempurna,
tidak ada yang cacat dan ketahanan permukaan tidak berubah terhadap
cairan kimia dan ketahanan lekat permukaan lapisan terkelupas maksimal
15%;
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 91
3) Pengemasan. SNI juga mengatur mengenai ketentuan pengemasan kursi
tamu siap pakai dengan menggunakan kertas atau bahan lain yang tidak
merusak struktur dan permukaan kursi serta aman saat pengangkutan dan
ada petunjuk perakitan.
Demikian halnya pula dengan standar kursi tamu rotan, SNI Meja Tamu
Rotan memiliki gap positif jika dibandingkan dengan ISO terkait. Beberapa gap
positif tersebut antara lain:
1) Pembuatan. SNI mengatur kontruksi produk, sudut kursi, dan penggunaan
bahan kimia, dimana kontruksi harus kokoh dan tidak ada bagian yang
runcing, setiap sudut meja dibuat tidak tajam, penggunaan bahan kimia
seperti cat dan vernis harus dijamin keamananya terhadap kesehatan
pemakai dan tidak beracun;
2) Persyaratan Mutu. Pada SNI terkait persyaratan mutu terbagi menjadi
beberapa kelompok besar yaitu, konstruksi bagian yang menempel
terpasang sempurna, tidak ada yang cacat, kekuatan meja terhadap gaya
vertikal dan horizontal tidak terjadi kerusakan yang dapat mempengaruhi
keamanan, fungsi dan penampilan, uji kekuatan meja maksimum 34 mm/m
tinggi meja dan ketahanan permukaan tidak berubah terhadap cairan kimia
dan ketahanan lekat permukaan lapisan terkelupas maksimal 15%;
3) Pengemasan. SNI juga mengatur mengenai ketentuan pengemasan meja
tamu siap pakai dengan menggunakan kertas atau bahan lain yang tidak
merusak struktur dan permukaan kursi serta aman saat pengangkutan dan
ada petunjuk perakitan.
Tabel 6.6 Analisis Gap Standar Produk Mebel Rotan
Gap Positif ISO
• Pembuatan : konstruksi • Persyaratan mutu : konstruksi bagian yang menempel,
ketahanan permukaan • Pengemasan : menggunakan bahan yang tidak
merusak
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 92
Jepang
• Syarat bahan baku : diameter dan tingkat kelembaban
14%
Malaysia
• Pengemasan: menggunakan bahan yang tidak merusak
Gap negatif ISO
• Persyaratan mutu : kestabilan meja terhadap gaya vertical
• Metode uji kestabilan : arah depan, samping, dan belakang
Jepang
• Pembuatan : lem yang digunakan rendah formalin, hasil rautan dan anyaman harus halus, harus anti serangga
• Kekuatan : harus kuat diduduki beban sampai 80 kg • Penampilan : cat harus rata, tidak ada bekas gigitan
serangga, kokoh tidak reyot, tidak berdebu dan tidak kotor
• Pengemasan : bagus dan kuat sehingga tidak berjamur dalam perjalanan
• Pelabelan : dilengkapi cara perakitan/pemakaian dan perawatan
Malaysia • Bahan baku : penggolongan rotan berdasarkan kualitas
dan ukuran diameter, peruntukan rotan disesuaikan dengan kualitas dan jenis rotan
• Proses finishing : penyemprotan dengan sprayer bertekanan udara dilakukan dalam ruangan khusus bersistem exhaust
Namun demikian, SNI juga memiliki beberapa kekurangan atau gap negatif.
Gap negatif tersebut lebih tertuju kepada parameter persyaratan mutu dengan
melihat dari dua metode pengujian yaitu metode eksperimen dan metode kalkulatif.
Metode eksperimen yang dilakukan meliputi kursi dengan sandaran yang fleksibel
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 93
dimana ketika diberi beban sebesar 600 N, maka nilai toleransi pergeseran dengan
garis vertikal adalah kurang lebih 15 derajat, dan kursi tidak terungkit. Sedangkan
metode kalkulatif mengukur jarak minimum horizontal dari titik pemberhentian kaki
kursi hingga ke titik vertikal dimana beban akan diaplikasikan pada kursi, dan
mengukur pula ukuran tinggi vertikal dari titik yang diaplikasikan beban diatas
permukaan horizontal.
Tidak berbeda dengan gap negatif pada perbandingan SNI dan ISO furnitur
rotan kursi tamu, gap negatif meja tamu lebih tertuju kepada parameter persyaratan
mutu dengan mengukur kekuatan stabilitas daun meja dengan metode trial and
error, sehingga meja tidak terungkit meski beban diletakkan dibagian paling pinggir
dari meja.
Selanjutnya, sesuai dengan Standar Acuan Furnitur Rotan produk-produk
kursi dan meja rotan yang diterima di pasar Jepang baik penjualan melalui internet
ataupun pemasaran melalui toko/butik furnitur rotan banyak melihat dari sisi
kekuatan dan kedua produk rotan tersebut. Kekuatan produk yang dilihat terdiri dari
kualitas bahan baku rotan tidak harus nomor satu, untuk jenis kursi harus memiliki
kekuatan diduduki sampai 80 kg, tidak perlu after sales service/garansi, apabila
design furnitur menggunakan kulit rotan harus kuat/tidak mudah putus dan lem yang
digunakan harus rendah formalin (lem khsusus untuk bangunan). Sedangkan pada
sisi tampilan mereka melihat jika produk rotan tersebut menggunakan cat berwarna
maka hasil cat harus rata dan harus lurus tidak ada bekas gigitan serangga.
Disamping sisi kekuatan dan penampilan terdapat beberapa tambahan yang
perlu diperhatikan terkait pemasaran produk rotan yang dapat diterima pasar Jepang
antara lain ukuran harus sesuai dengan pemesanan dan tidak boleh lebih atau
kurang meskipun hanya 1 cm. Hasil rautan dan anyaman rotan pada kursi dan meja
tamu yang dijual harus halus dan ujung-ujung yang memungkinkan menusuk jari
harus diambil atau dipotong, disamping harus diberi anti serangga. Pada saat
pengiriman dari Indonesia harus diperhatikan agar tidak berjamur selama perjalanan
laut dan kondisi furnitur harus kokoh tidak reyot, furnitur harus dilengkapi dengan
cara perakitan/pemakaian/perawatan, pengepakan barang harus bagus/kuat, bagian
kaki furnitur harus halus tidak sampai melukai lantai atau tatami, terakhir apabila
menggunakan kain, maka komposisi kain itu harus jelas, tidak berdebu dan tidak
kotor.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 94
Dibandingkan dengan proses pembuatan mebel rotan di Malaysia yang
terangkum dalam panduan yang disusun oleh International Network for Bamboo and
Rattan, ada beberapa hal yang menjadi keunggulan maupun kekurangan dari SNI.
Dalam panduan untuk produsen mebel rotan Malaysia tersebut, tidak dirinci
mengenai acuan pengemasan produk, sedangkan pada SNI diatur bahwa kemasan
produk mebel rotan tidak boleh merusak sehingga kualitasnya tetap terjaga sampai
ke tangan konsumen. Namun demikian, SNI tidak menggolongkan bahan baku yaitu
rotan seperti di Malaysia yang melakukan hal tersebut berdasarkan kualitas kulit
atau permukaan dan diameter. Selain itu, para produsen atau pengrajin rotan juga
diminta untuk menyesuaikan peruntukan rotan tersebut sesuai dengan kualitasnya.
Sebagai contoh, rotan kualitas tertinggi seharusnya digunakan sebagai kerangka
mebel seperti kaki atau sandaran kursi. Sementara, rotan dengan kualitas lebih
rendah dan diameter lebih kecil dapat digunakan sebagai alas duduk atau pengikat.
Kemudian, untuk proses akhir, mebel rotan harus disemprot dengan menggunakan sprayer dalam ruangan khusus berbentuk bilik yang memiliki sistem pangaturan
udara atau sistem exhaust.
6.3. Solusi Gap oleh Perusahaan Dengan adanya penolakan produk ekspor Indonesia di negara tujuan, maka
digali lebih lanjut mengenai bagaimana pelaku usaha dalam menerapkan standar
pada produk serta respon mereka dalam menghadapi keluhan maupun penolakan
produk yang dialami. Hal-hal yang digali dari pelaku usaha meliputi :
• Kepedulian dan perhatian terhadap standar produk;
• Pengetahuan tentang standar dan pemenuhannya;
• Implementasi penerapan standar;
• Komitmen untuk memasarkan hanya produk yang memenuhi standar;
• Langkah yang dilakukan jika terjadi ketidaksesuaian dengan standar.
a. Tuna dan cakalang beku Pelaku usaha, baik eksportir maupun importir, untuk produk tuna dan
cakalang menganggap standar itu sangat penting karena merupakan prasyarat
untuk dapat memasarkan produk mereka. Penandaan atau pelabelan standar
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 95
juga penting sesuai dengan permintaan pembeli di negara tujuan ekspor.
Namun demikian, belum ada pembeli yang mensyaratkan pelabelan Standar
Nasional Indonesia (SNI) pada produk. Hal ini mengindikasikan bahwa belum
ada international recognition terhadap SNI.
SNI untuk tuna dan cakalang beku diacu oleh seluruh responden dalam hal
pengujian mutu produk, seperti uji cemaran mikroba, kimia, logam dan kadar histamine. Hal itu dimungkinkan karena SNI tuna beku sudah diberlakukan wajib
sehingga seluruh parameter terkait standar pada produk tuna beku harus
dipenuhi. Selanjutnya, dalam proses produksi, standar yang diacu adalah ISO
22000, Hazard Analysis & Critical Control Points (HACCP) dan Good
Manufacturing Process (GMP). Kesesuaian standar yang dipenuhi oleh eksportir
tersebut merupakan ketentuan utama dalam mengekspor produk ke negara
tujuan. HACCP merupakan sistem manajemen yang menjamin prosedur
keamanan pangan yang diadopsi dari Standar Nasional Indonesia (SNI) di
bidang perikanan. Beberapa SNI yang dijadikan acuan dalam manual HACCP
antara lain SNI 01-2733.1-2006 tentang Cakalang Beku, SNI 01-4485.1-2006
tentang Tuna steak beku, SNI 01-4104.1-2006 tentang Tuna loin beku, SNI 01-
2710.1-2006 tentang Tuna beku, dan SNI 01-4104.1-2006 tentang Tuna loin
beku. Dalam prosesnya, importir atau buyer mensyaratkan keharusan
penerapan HACCP oleh eksportir yang dibuktikan dengan manual book yang
sudah disertifikasi oleh Balai Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP) selaku perwakilan dari pemerintah. Dengan demikian, buyer
memastikan bahwa eksportir sudah menyesuaikan standar internasional yang
menjamin keamanan pangan (food safety requirement).
Ikan tuna dan cakalang beku produksi para responden diekspor ke Uni
Eropa, Jepang, Timur Tengah, Amerika Serikat dan beberapa negara Asia
seperti Jepang, Malaysia, Taiwan, Korea dan Vietnam. Pada umumnya negara
tujuan ekspor menerapkan standar yang sesuai dengan CODEX yang
dikeluarkan oleh FAO dan WHO. Dari seluruh negara tersebut, responden
mengemukakan bahwa standar yang paling tinggi atau sulit adalah standar oleh
Uni Eropa dan Jepang. Komponen standar yang harus dipenuhi antara lain
traceability, keamanan pangan (cemaran dan kandungan zat tertentu), serta
health certificate yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 96
setempat. Sertifikat tersebut terkait dengan cara penangkapan dan
ketertelusuran produk. Para eksportir ini berkomitmen untuk memenuhi berbagai
persyaratan dan parameter dalam standar.
Tabel 6.7 Hasil Survey untuk Komoditas Ikan Tuna dan Cakalang
Komponen standar yang menjadi perhatian utama di negara-negara tujuan utama
1. Eropa : kadar antibiotik, traceability, uji cemaran logam berat, kadar histamin, kandungan CO, kandungan Salmonela 2. AS : Uji mikrobiologi (salmonella), fisik ikan, kadar histamine, dan filthy (jorok) 3. Jepang : uji kadar merkuri, benda asing 4. Australia : sertifikat penangkapan 5. Timur tengah : harus bebas radiasi (uji di BATAN) 6. Rusia: ditambah uji radiasi
Komponen utama standar yang belum dipenuhi
• Kualitas bahan baku kadang kurang konsisten,
• Persyaratan kandungan mikrobiologi seperti Salmonela
• Persyaratan kandungan histamine Tindakan untuk memenuhi komponen standar
• Penerapan HACCP untuk proses produksi, • Sortasi dan grading ulang bahan baku, • SNI digunakan sebagai pedoman untuk uji
organoleptik, cemaran kimia, mikrobiologi, • Kesegaran bahan baku harus selalu terjamin, • Memasukkan traceability ke dalam sistem
manajemen mutu, • Selalu melakukan uji keamanan pangan,
cemaran kimia, dll • Memperbaiki produksi, • Membatasi supplier yang bermasalah, • Menaruh alat data track untuk memantau
suhu selama perjalanan, • Inspeksi oleh FDA dari Amerika
Alasan penolakan • Label informasi produk kurang detail • kadar Histamin terlalu tinggi • kualitas tidak sesuai permintaan, • Penampakan (appearance) kurang baik, • Ada benda asing misalnya pembuluh darah
dan rambut pada produk (Jepang) • Salmonela dan Kandungan CO
Tindakan untuk mengatasi penolakan
• Memperbaiki kualitas sesuai dengan permintaan
• untuk mengurangi kadar histamin, harus
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 97
perbaikan dalam penanganan pasca penangkapan ikan,
• memperketat seleksi bahan baku sebelum masuk pabrik, termasuk melakukan uji kadar logam,
• supplier diwajibkan memiliki sertifikat (health certificate)
• mencari pasar baru;
Hambatan dalam memenuhi standar di negara tujuan
Teknik penangkapan: • Nelayan belum semuanya memiliki kapal
yang bersertifikat; • Pola penangkapan ikan masih tradisional
sehingga handling belum konsisten • Kondisi alam kurang kondusif sehingga
waktu merapat kapal lebih lama menyebabkan kesegaran bahan baku berkurang;
• Penanganan pasca penangkapan kurang bagus karena pola masih tradisional;
Bahan baku: • Untuk mengganti CO dengan bahan alami
diperlukan penanganan yang relatif mahal ; • Kualitas bahan baku kurang konsisten
karena habitat yang tercemar; Supplier: • Pemilihan kualitas ikan masih sulit walaupun
sudah melalui kontrak dengan nelayan; • proses handling tidak seragam antar
supplier; • kontrol terhadap supplier butuh waktu utk
proses auditing, monitoring karena semuanya belum terintegrasi;
• Kualitas bahan baku kurang konsisten karena habitat yang tercemar;
Perubahan regulasi: • terjadinya perubahan regulasi di negara
tujuan, seperti EU dan Rusia, walaupun sudah melalui konfirmasi pemerintah (Balai Karantina); terutama EU yang perubahannya terjadi cukup sering
Informasi Tambahan • menurut responden, SNI dan standar lain pada dasarnya sama. Namun, standar negara lain berkembang dan bertambah syaratnya sesuai perubahan selera konsumen dan perkembangan teknologi. Sedangkan SNI tidak, penerapan standar juga tidak disesuaikan dengan ketersediaan alat uji;
• menurut responden, standar produk agak ketinggalan di sisi hulu, untuk ikan tuna, resiko lebih besar karena resiko cemaran
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 98
logam berat sangat tinggi karena habitat tercemar limbah industri;
• standar yang diterapkan oleh negara/pemerintah tujuan ekspor lebih ketat, sedangkan dari importir luar negeri lebih fleksibel dan biasanya barang yang sudah dikirim tersebut belum tentu dikembalikan tergantung penyebab penolakan/komplainnya
• standar yang diterapkan Uni Eropa dianggap paling sulit dibandingkan negara lain;
• selama ini perusahaan menerapkan standar dari importir luar negeri yang merupakan gabungan dari beberapa standar seperti HACCP, BRC, IFS;
• Health certificate adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh dinas kelautan perikanan terkait kesehatan dan ketertelusuran hasil tangkapan ikan (online);
• bahan baku diperoleh dari nelayan maupun hasil tangkapan sendiri;
• tren permintaan terbaru dari Australia adalah tuna yang ditangkap dengan pancing, bukan dengan kapal. Kapal menangkap tuna dengan jaring besar, sedangkan yang menangkap dengan pancing adalah nelayan kecil yang sulit diperoleh sertifikasi dan penerapan standarnya
• SKP adalah surat kelayakan proses yang dikeluarkan oleh KKP;
• EU juga kadang mempermasalahkan soal dokumentasi administrasi misalnya profile number untuk EU yang menjelaskan perusahaan adalah produsen, dsb
• Perwakilan RI di luar negeri harus menjadi bagian dari solusi karena selama ini belum terlibat secara optimal
Responden eksportir dengan volume ekspor 10 – 40 ton per bulan
menyebutkan setidaknya terdapat empat hal yang menjadi perhatian utama
dalam pemenuhan standar, yaitu kandungan logam berat, zat kimia,
mikrobiologi, dan kotoran (filthy). Ketidakmampuan eksportir dalam memenuhi
komponen standar tersebut akan berdampak pada penolakan produk di
pelabuhan. Sebagai contoh, hampir semua responden eksportir pernah
mengalami penolakan produk di negara tujuan karena kandungan salmonella
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 99
pada Tuna dan Cakalang, zat kimia tertentu/histamine, dan kotoran seperti
rambut atau pasir.
Selain itu, terdapat beberapa ketentuan khusus yang diberlakukan di negara
tujuan ekspor seperti uji radiasi untuk pasar Rusia dan uji kandungan karbon
monoksida (CO) untuk pasar UE. Kedua ketentuan tersebut merupakan
penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas keamanan pangan dalam mengatasi
kasus kebocoran radioaktif di Jepang dan isu pemanasan global. Namun
demikian, peraturan tambahan tersebut tidak melekat pada ketentuan standar
dan disampaikan melalui pemberitahuan secara resmi (notification) ke
pemerintah.
Gambar 6.2. Proses Kesesuaian Standar Eksportir – Importir Perikanan
Sumber: Data Primer (diolah)
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 100
Gambar 6.2 di atas menunjukkan proses kesesuaian standar antara eksportir
dengan importir, dimana setelah eksportir menerapkan standar keamanan
pangan sesuai dengan manual book HACCP, beberapa tahapan pengujian
mutu dilakukan untuk menjamin bahwa kualitas produk ekspor sudah sesuai
dengan standar negara tujuan. Beberapa tahapan yang dilakukan oleh eksportir
adalah pengujian mutu yang terdiri dari uji organoleptik di penampungan ikan,
uji internal di laboratorium eksportir, dan uji verifikasi oleh Balai Pembinaan Dan
Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP) untuk mendapatkan Health
Certificate (HC) sebagai ketentuan ekspor (Gambar 2). Selanjutnya, importir
yang diwakili oleh badan karantina di pelabuhan (seperti FDA di Amerika atau
CD di Uni Eropa) melakukan pengujian mutu sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di negara yang bersangkutan.
Langkah-langkah yang dilakukan perusahaan untuk memenuhi standar
antara lain melakukan sortasi (grading) ulang terhadap bahan baku sebelum
diolah, menguji keamanan bahan baku dan barang jadi di laboratorium yang
terkareditasi, menjamin kesegaran (freshness) bahan baku, serta melengkapi
persyaratan administrasi seperti sertifikasi dan dokumen lainnya. Di sisi lain,
pelaku usaha masih menemui beberapa hambatan dalam memenuhi komponen
standar yaitu nelayan masih banyak yang menggunakan metode tradisonal
dalam melakukan penangkapan ikan sehingga sulit memenuhi syarat sertifikasi
dalam hal penangkapan dan kelayakan kapal. Kemudian, cara penanganan (handling) ikan setelah ditangkap juga ada yang belum bisa memenuhi standar,
sehingga ikan yang dipasok kadang kurang sesuai spesifikasi.
b. Manggis
Eksportir hortikultura khususnya produk manggis menganggap penerapan
standar pada produk yang diekspor sangat penting karena untuk memenuhi
permintaan pembeli. Dalam membeli produk, pembeli menentukan standar atas
produk yang akan dibeli. Standar yang terkait ekspor manggis antara lain adalah
ukuran, tingkat kematangan, warna, kesegaran dan kelengkapan kelopak. Dari
beberapa standar tersebut, eksportir sudah bisa memenuhinya namun masih
terkendala jumlah yang belum bisa dipenuhi oleh pemasok. Sama halnya
dengan produk jagung, Pemerintah sebaiknya menertibkan eksportir yang
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 101
temporer yang minim pengalaman dan pengetahuan serta tidak mempunyai
infrastruktur pendukung seperti gudang dan cold storage. Hal ini terkait kualitas
yang tidak terjaga dan pandangan negara tujuan ekspor terhadap produk asal
Indonesia. Informasi lain terkait preferensi konsumen adalah konsumen di Dubai
lebih menyukai manggis yang ukuran kecil karena tidak ada bijinya.
Tabel 6.8.
Hasil Survey untuk Komoditas Manggis
Komponen standar yang menjadi perhatian utama di negara tujuan utama
• Kualitas : Grade A (90-100%) ,Grade B ( 80- 90%), Grade C (<80%)
• Ukuran • Tingkat kematangan • Warna • Kesegaran • Kelengkapan kelopak buah
Hambatan untuk memenuhi standar
• Kesegaran dan suhu udara /temperatur pada saat pengiriman
• Tidak boleh ada semut dan pestisida Informasi tambahan • Pemerintah sebaiknya menertibkan
eksportir yang temporer yang minim pengalaman dan pengetahuan serta tidak mempunyai infrastruktur pendukung seperti gudang dan cold storage. Hal ini terkait kualitas yang tidak terjaga dan pandangan negara tujuan ekspor terhadap produk asal Indonesia
• Konsumen di Dubai lebih menyukai manggis yang ukuran kecil karena tidak ada bijinya
• Permintaan dari importir luar negeri lebih rumit dari SNI
• Perlu dilengkapi dokumen SOP gudang dan sertifikasi packing house atau lahan yang sudah di registasi oleh Kementan
• Eksportir Indonesia saat ini sulit melakukan ekspor langsung ke Cina (Cina membatasi/melarang impor produk buah dari Indonesia), sehingga eksportir untuk melakukan ekspor ke Cina melalui importir yang ada di Thailand atau Malaysia
• Alasan pemerintah Cina untuk penghentian impor manggis adalah penemuan hama dan logam berat yang
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 102
berulang kali pada impor manggis dari Indonesia (16 kasus penemuan hama dan 1 kali penemuan logam berat cadmium melampaui batas yang diperbolehkan sejak Nopember 2012)
c. Jagung
Eksportir hortikultura khususnya produk jagung menganggap penerapan
standar pada produk yang diekspor sangat penting karena untuk memenuhi
permintaan pembeli. Dalam membeli produk, pembeli menentukan standar atas
produk yang akan dibeli. Eksportir sudah mengetahui Standar Nasional
Indonesia (SNI) produk jagung tetapi belum mengelaborasi SNI tersebut karena
lebih mengacu pada standar yang ditetapkan oleh pembeli. Negara tujuan
ekspor produk jagung adalah Singapura dengan segmentasi konsumen supermarket. Standar yang terkait ekspor jagung antara lain adalah ukuran,
tingkat kematangan, dan warna. Dari beberapa standar tersebut, eksportir
sudah bisa memenuhinya namun masih terkendala jumlah yang belum bisa
dipenuhi oleh pemasok.
Tabel 6.9. Hasil Survey untuk Komoditas Jagung
Komponen standar yang menjadi perhatian utama di negara tujuan
• Ukuran; • Tingkat Kematangan; dan • Warna
Hambatan dalam memenuhi standar di negara tujuan
• Menjaga kualitas pada pasca panen agar tidak timbul jamur
Informasi Tambahan • Kompetitor selain perusahaan lokal juga dari negara seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, China, Myanmar (diprediksi mulai meningkat);
• Kendala yang dihadapi adalah mempertahankan tingkat kemanisan dan bau;
• Kemasan harus Food Grade; • Segmentasi untuk Supermarket
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 103
Berdasarkan hasil wawancara dengan eksportir diharapkan adanya peran
pemerintah terutama dalam menertibkan eksportir yang “temporer”. Alasannya
adalah para eksportir temporer ini kurang memiliki pengalaman dan
pengetahuan yang cukup serta tidak mempunyai infrastruktur pendukung seperti
gudang dan cold storage. Hal ini menyebabkan kualitas yang tidak terjaga
sehingga negara tujuan ekspor menganggap secara umum produk asal
Indonesia kurang berkualitas yang dapat menyebabkan rendahnya harga dan
daya saing dibandingkan dengan produk dari negara lain seperti Malaysia,
Thailand, Vietnam, Cina, Myanmar (yang diprediksi mulai meningkat). Kendala
yang dihadapi adalah mempertahankan tingkat kemanisan dan bau. Informasi
dari eksportir saat ini Kementerian Pertanian mengeluarkan sertifikat "Rumah
Kemas" kepada perusahaan hortikultura yang memiliki infrastruktur pendukung
dalam pengemasan produk hortikultura seperti gudang dan cold storage yang
telah sesuai untuk pengemasan produk hortikultura untuk makanan.
d. Kemeja batik Seperti sebagian besar pelaku usaha lain, eksportir batik juga beranggapan
bahwa standar penting karena terkait dengan mutu atau kualitas produk yang
mereka jual. Seluruh responden setuju bahwa standar itu penting karena
merupakan prasyarat bagi mereka untuk memasarkan produk mereka dan
merupakan jaminan bahwa produk mereka berdaya saing. Namun, tidak semua
responden merasa perlu untuk mencantumkan label standar pada produk
mereka. Hal ini dikarenakan dalam memasarkan produk, mereka sudah
melampirkan sertifikasi dan atau surta keterangan lolos uji standar tertentu
sehingga label pada produk tidak lagi diperlukan.
Namun, mereka kurang mengetahui mengenai Standar Nasional Indonesia
(SNI) terkait batik dan parameter yang ada di dalamnya. Standar mutu yang
mereka terapkan diacu ke syarat yang diajukan oleh pembeli di negara tujuan,
yang kemudian diterapkan dalam proses produksi. Sepertiga responden tidak
memiliki pengetahuan mengenai SNI, sepertiga berikutnya mengetahui tentang
SNI namun tidak menjadikan SNI sebagai acuan untuk standar mutu.
Responden tersebut lebih mengutamakan standar mutu yang ditetapkan atau
dipersyaratkan oleh pembeli (importir) dan atau standar mutu negara tujuan.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 104
Sepertiga responden lainnya memiliki pengetahuan yang cukup mengenai SNI
dan mensyaratkan pencantuman label pada bahan baku yang mereka gunakan,
atau dengan kata lain pemasok bahan baku harus bisa memenuhi SNI.
Tabel 6.10 Hasil Survey untuk Komoditas Kemeja Batik
Komponen standar yang menjadi perhatian utama masing-masing negara
• Malaysia, Thailand, dan Vietnam: Ketahanan luntur, bahan nyaman dikulit, motif seragam harus sama untuk semua
• Eropa: Kualitas kain dan kualitas jahitan • Amerika Serikat, Kanada, Singapura:
Pewarna tidak boleh mengandung klorin, tahan robek (strength) : sertifikasi dari Hongkong
• Amerika dan Kanada: Konstruksi kain, tingkat kelembutan kain, Color fastness, Flammability
• Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Korea Selatan (untuk butik): Spesifikasi kain/katun harus sesuai untuk 4 musim, pewarna tahan luntur
Tindakan untuk memenuhi komponen standar
• Monitoring proses pembuatan batik, pembatik harus ekstra hati-hati sehingga mengurangi resiko cacat atau pembatikan yang kurang rapi
• Memastikan bahan baku dari supplier memenuhi syarat mutu, monitoring proses produksi
• Bahan baku harus disesuaikan dengan permintaan, melakukan uji/tes yang dipersyaratkan
Hambatan dalam memenuhi standar di negara tujuan
• Tidak mudah mengontrol proses pembuatan batik, menyesuaikan desain atau motif dengan selera pasar di negara tujuan
• Bahan baku kain dengan syarat sertifikat tertentu kadang sulit dicari
• Teknik produksi untuk beberapa motif yang mengandalkan cuaca, sedangkan cuaca sering tidak kondusif
• Harga kurang bersaing dengan negara
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 105
kompetitor seperti Cina dan Vietnam, • Harus menyesuaikan motif batik dengan
selera konsumen, karena batik dianggap terlalu "ramai”
Informasi Tambahan • Motif batik yang klasik tidak terlalu disukai;
• Untuk fabric, SNI masih cukup kompatibel, tapi untuk produk jadi sepertinya masih kurang;
• Sosialisasi SNI masih sangat kurang; • Standar mutu yang dipersyaratkan oleh
importir luar negeri sudah sesuai dengan standar negara tujuan; dan
• Cina dan Vietnam bisa menawarkan harga lebih murah karena pajak lebih rendah dan biaya buruh juga rendah
Produk batik ini dipasarkan ke Eropa, Amerika Serikat, Malaysia, Thailand
dan Vietnam. Komponen standar yang harus dipenuhi antara lain kualitas kain,
kualitas jahitan, keseragaman ukuran serta kain yang tahan luntur. Motif batik
tergantung selera pasar dan biasanya lebih menyukai motif batik yang
kontemporer. Hambatan dalam memenuhi komponen standar ditemui ketika
harus menyeragamkan ukuran dan kualitas batik tulis karena proses yang
tradisional. Standar mutu yang diterapkan oleh para eksportir batik bersumber
dari permintaan pembeli dan berdasarkan pengalaman standar tersebut sudah
sesuai dengan standar yang berlaku di negara tujuan. Komponen standar yang
menjadi perhatian utama antara lain konstruksi kain, kualitas pewarna (tidak
boleh mengandung chlorine), ketahanan luntur, flammability, ketahanan robek
(strength), serta pelabelan petunjuk perawatan pakaian (care instruction).
Komponen-komponen standar tersebut sudah dapat dipenuhi oleh para
responden.
Hal-hal yang dilakukan oleh para pelaku usaha untuk dapat memenuhi
berbagai komponen standar tersebut antara lain :
- Melakukan kontrol mutu yang ketat terhadap bahan baku, seperti kain dan
pewarna pakaian dari supplier ;
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 106
- Memastikan proses produksi sudah sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan.
e. Mebel rotan Selanjutnya untuk produk kursi dan meja tamu rotan, eksportir
mengemukakan bahwa standar itu sangat penting sebagai syarat utama untuk ekspor, terutama dalam hal kualitas dan workmanship. Mereka juga
menganggap bahwa standar mutu produk itu sangat penting karena hal tersebut
menjamin keberlangsungan usaha mereka. Produk-produk yang dapat
memenuhi standar mutu yang tinggi pasti dapat bersaing di pasar domestik
maupun ekspor. Pengetahuan responden mengenai SNI sudah cukup baik dan
menganggap mereka sudah dapat memenuhi komponen standar yang terdapat
dalam SNI. Dalam kaitannya dengan pasar ekspor, responden mengemukakan
bahwa komponen standar yang disyaratkan oleh negara importir lebih tinggi
atau ketat dari SNI.
Namun tidak semua produk harus ditandai atau dilabeli pemenuhan standar
tertentu, tergantung permintaan pembeli kecuali label “Made in Indonesia”.
Sebagian lagi belum menganggap label pada standar itu penting karena lebih
mementingkan produknya laku. Produk rotan ini sebagian besar dipasarkan ke
Amerika Serikat, lalu sebagian lainnya ke negara-negara Eropa, Timur Tengah,
Australia dan negara Amerika Latin. Standar yang dipersyaratkan antara lain
penerapan ISO, standar untuk produk hasil hutan dan standar terkait kualitas
dan keamanan produk. Komponen standar tersebut meliputi syarat kualitas
bahan baku, cat & sekrup (screw) yang digunakan, lolos uji durabilitas, serta
lolos uji tahan api untuk cushion atau bantalan kursi.
Secara umum, standar yang dipersyaratkan terkait kualitas sama antara
negara tujuan ekspor. Namun secara khusus, Amerika Serikat dan Eropa
berbeda dalam hal ukuran meja dan kursi. Eropa mensyaratkan ukuran yang
lebih besar sesuai dengan postur tubuh masyarakatnya, Sedangkan Australia
mensyaratkan 2 kali fumigasi untuk menghilangkan cemaran makhluk hidup,
baik mikrobiologi maupun serangga. Saat ini di Eropa juga sudah mulai
menetapkan standar cat yang menggunakan sedikit bahan kimia. Eksportir
belum menghadapi kendala dalam memenuhi standar dari pembeli selama
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 107
proses mengerjakan pesanan pembeli sesuai kontrak. Sebelum barang
diekspor, pembeli atau perwakilannya di Indonesia datang ke bengkel kerja
untuk melakukan quality control jadi belum pernah mengalami penolakan.
Produsen juga mengirim sampel bahan/material yang akan digunakan untuk
proses produksi. Selain itu, yang mereka lakukan adalah memonitor pemasok
dalam memenuhi persyaratan kualitas bahan baku serta memonitor tiap tahap
dalam proses produksi. Sehingga kesesuaian produk mereka dengan standar di
negara tujuan berdampak positif yaitu kontinuitas atau keberlangsungan usaha
dan meminimalkan sistem beli putus dari pembeli.
Dalam mengimplementasikan standar produk, perusahaan menerapkan
prinsip-prinsip International Standard Organisation (ISO) dalam proses
produksinya. Terkait bahan baku, yaitu rotan yang merupakan produk hasil
kehutanan, perusahaan hanya menerima rotan atau bahan baku yang memiliki
sertifikat tertentu dan sudah memiliki FO atau surat muat barang untuk
perdagangan antar pulau. Perusahaan juga mensyaratkan kualitas tertentu
untuk bahan baku rotan, seperti kadar kelembaban 14% dan diameter tertentu
sesuai peruntukan, sehingga bahan baku tersebut siap pakai. Untuk barang jadi
yaitu kursi dan meja tamu rotan, komponen standar yang harus dipenuhi
meliputi spesifikasi produk, ukuran, durability, dan keamanan produk.
Strategi yang dilakukan oleh responden dalam pemenuhan standar yaitu
melakukan control yang ketat dalam hal kualitas (quality control) dalam setiap
tahap pengerjaan serta melakukan final inspection. Dari hasil wawancara
diperoleh informasi bahwa pernah terjadi complain kepada responden terkait
standar, yaitu pada produk ditemukan serangga. Hal tersebut tidak seharusnya
terjadi karena serangga biasanya muncul karena tingkat kelembaban yang
tinggi. Peningkatan kelembaban diduga terjadi saat pengiriman barang menuju
tujuan.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 108
Tabel 6.11 Hasil Survey untuk Komoditas Mebel Rotan
Komponen standar yang menjadi perhatian utama di negara-negara tujuan utama
• Uni Eropa: kualitas bahan baku rotan dgn spesifikasi diameter dan tingkat kelembaban maksimal 14%; Standar cat dan pelitur yang menggunakan sedikit bahan kimia (water-based) dan environmentally friendly (dilengkapi sertfikat)
• Amerika Serikat: kualitas bahan baku rotan dgn spesifikasi diamater dan tingkat kelembaban maksimal 14%; Lolos uji tahan air, tahan api, ada sertifikasi dari lembaga standar California
• Australia: kualitas bahan baku rotan dgn spesifikasi diamater dan tingkat kelembaban maksimal 14%; Produk harus diproses dengan 2 kali fumigasi
• Jepang: kualitas bahan baku rotan dgn spesifikasi diamater dan tingkat kelembaban maksimal 14%; Standar keamanan lebih ketat, ukuran lebih kecil
Tindakan untuk memenuhi komponen standar
• Monitoring dalam proses pengerjaan sangat penting, terutama jika disubkontrakkan;
• Mempelajari apa-apa yang diminta oleh buyer utk kemudian dipenuhi
• Penetapan standar harus sesuai dengan ISO dan importir luar negeri;
• Quality control di tiap tahap produksi
Informasi tambahan • SNI dianggap kurang kompatibel dengan standar yang diterapkan oleh negara tujuan karena kurang dapat mengikuti perkembangan
• SNI lebih rendah dan tidak laku di negara ekspor, terutama untuk syarat kualitas bahan penunjang seperti lem, sekrup, dll
• Bahan baku rotan berasal dari Kalimantan dan Sulawesi dan sudah siap pakai karena syarat mutu bahan baku sudah diajukan terlebih dahulu ke supplier
• Kompetitor luar negeri antara lain Cina, Filipina dan Vietnam
• Sebelum barang dikirim, pembeli atau perwakilannya di Indonesia datang ke bengkel kerja untuk melakukan quality control
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 109
• Produsen mengirim sampel bahan/material yang digunakan untuk proses produksi
• Produsen kesulitan mendapatkan mutu bahan baku dan kontinyuitas suplai
6.4. Pemenuhan Standar Untuk Perlindungan Konsumen dan Peningkatan
Daya Saing Melalui Zero Gap
Kebijakan perlindungan konsumen dan daya saing sebenarnya ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan konsumen atau masyarakat secara umum.
Standar menjadi salah satu penghubung bagaimana mencapai tujuan perlindungan
konsumen dan peningkatan daya saing secara bersama. Kebijakan daya saing,
yang salah satunya melalui penerapan standar, bisa meningkatkan kemampuan
daya saing produk dalam negeri untuk memenangkan persaingan tidak hanya di
pasar dalam negeri tetapi juga di pasar luar negeri.
Penerapan standar mempunyai nilai ekonomis yang mampu meningkatkan
daya saing, mendukung inovasi untuk bisa menciptakan produk yang lebih
berkualitas. Untuk kasus di Eropa, peranan standar sangat signifikan dan
menyumbang sekitar seperempat dari pertumbuhan produktivitas di Eropa. Lebih
lanjut, standar memberikan keuntungan yang signifikan bagi perusahaan kecil dan
menengah dengan adanya peningkatan kemampuan daya saing (European
Commission, 2012). Lebih lanjut, standar juga mendukung inovasi dan mendorong
pemakaian teknologi baru yang bagi perusahaan untuk meningkatkan daya saing.
Pemenuhan standar menjadi salah satu kunci untuk memperoleh akses
pasar di luar negeri. Sementara di dalam negeri, penerapan standar menjadi salah
satu cara untuk memberikan perlindungan kepada konsumen terkait dengan kualitas
dan perlindungan kesehatan, keamanan, keselamatan dan lingkungan hidup
manusia (K3L).
Kebijakan perlindungan konsumen dan peningkatan daya saing bersifat
komplementer, dan ini bisa dilakukan dengan penerapan standar di Indonesia.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999. Dalam undang-undang
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 110
tersebut, perlindungan konsumen ditujukan untuk meningkatkan kualitas barang dan
jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan,
kenyamanan, kemanaan dan keselamatan konsumen. Di dalam undang-undang ini
tersirat bahwa upaya perlindungan konsumen terkait dengan upaya peningkatan
kualitas barang dan jasa, sebgaai salah satu unsur penting dalam peningkatan daya
saing produk atau barang dan jasa.
Gambar 6.3 Manfaat Standar Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Terkait dengan standar, dalam pasal 4 UU Perlindungan Konsumen,
konsumen berhak untuk memperoleh K3L dalam mengkonsumsi barang dan
jasa,termasuk dalam upaya memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 111
Secara eksplisit, kebijakan pemerintah dalam meningkatkan daya saing
melalui kebijakan tentang standardisasi menyebutkan bahwa pemberlakukan
standar nasional ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada tidak hanya
konsumen tetapi juga pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat pada umumnya.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah ini juga diharapkan bisa meningkatkan kelancaran
perdagangan (termasuk akses pasar).
Bagaimana peran standar dalam meningkatkan daya saing produk
Indonesia di pasar dalam negeri? Pemberlakukan SNI (wajib) di pasar dalam negeri
berlaku tidak hanya untuk produk impor tapi juga produk lokal Indonesia. Hal ini bisa
dilihat sebagai langkah bahwa produk nasional yang ber-SNI bisa bersaing dengan
produk sejenis yang berasal dari impor. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah
adalah dengan melarang pelaku usaha untuk memproduksi dan atau mengedarkan
barang atau jasa yang tidak memenuhi persyaratan SNI (yang sudah diberlakukan
wajib). Di sisi lain, pelaku usaha yang sudah memperoleh sertifikasi SNI dilarang
untuk memproduksi barang dan jasa yang tidak memenuhi standar yang sudah
ditetatapkan (SNI).
Dalam kenyataannya, tidak semua produk yang dihasilkan di Indonesia bisa
memenuhi standar yang ada, baik itu SNI ataupun standar internasional/standar
yang diterapkan oleh negara tujuan. Ketidakmampuan ini bisa dikarenakan kurang
siapnya/mampunya mereka dalam memenuhi standar yang ada, maupun karena,
adanya gap antara SNI dengan standar yang ada. Oleh karena itu pemenuhan
standar dengan meminimalkan gap yang ada atau dengan kata lain pencapaian zero
gap menjadi sangat penting bagi Indonesia untuk meningkatkan perlindungan
konsumen sekaligus peningkatan daya saing produk Indonesia.
Di bagian sub-gap analisis, terlihat bahwa SNI memiliki gap positif maupun
negatif. Dari sisi perlindungan konsumen, gap positif berarti bahwa SNI lebih
memberikan jaminan kualitas dan perlindungan kesehatan, keamanan dan
keselamatan kepada konsumen di Indonesia. Sementara dari sisi peningkatan daya
saing, gap positif adalah bahwa produk yang ber-SNI mempunyai daya saing yang
lebih dibandingkan dengan produk sejenis dari luar negeri.
Dengan demikian pengawasan barang beredar menjadi penting untuk
dilakukan, sebagaimana kebijakan yang sudah dibuat yaitu Peraturan Pemerintah
No. 58 tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan peyelenggaraan
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 112
perlindungan konsumen. Peraturan ini secara tidak langsung merupakan pijakan
untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri dengan menjaga kualitas
barang dan jasa yang beredar di masyarakat.
Adanya gap dalam standar bisa berakibat pada tidak diterimanya produk
kita di luar negeri yang berarti menurunnya jumlah nilai ekspor dalam jangka
pendek, dan dalam jangka panjang adalah hilangnya akses pasar pada di negara
tujuan ekspor tertentu. Penolakan beberapa produk perikanan dan buah-buahan
Indonesia di pasar Eropa dan Amerika Serikat, salah satunya karena adanya gap
atau ketidakmampuan pelaku usaha di Indonesia dalam memenuhi standar yang
ada. Persyaratan yang diminta oleh pasar bisa lebih berat dari standar yang berlaku
di Indonesia (SNI).
6.5 Upaya Mengatasi Gap Dalam Standar Berdasarkan hasil dari Gap Analisis diketahui bahwa antara SNI dengan
standar internasional yang ada baik itu ISO, CODEX maupun standar nasional yang
diterapkan oleh masing-masing negara partner dagang, terdapat gap positif maupun
negatif. Secara umum, gap yang terjadi sebenarnya berada pada parameter yang
relatif sama yaitu dari mulai bahan baku, proses pengolahan sampai masalah
packing dan labeling. SNI pada parameter tersebut mempunyai kelebihan atau gap
positif. Di sisi lain, SNI juga mempunyai kekurangan atau gap negatif (Gambar 6.2).
6.5.1. Upaya pemenuhan Gap Standar (Kondisi Gap Negatif)
Pada kondisi adanya gap negatif, terutama terkait dengan persyaratan
standar yang ada di negara tujuan ekspor, langkah yang bisa dilakukan adalah
dengan memenuhi gap positif tersebut. Sebagai contoh, untuk parameter bahan
baku, SNI cenderung tidak memperhatikan asal-usul bahan baku, maka langkah
yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki kriteria bahan baku.
Kemudian terkait dengan masalah penanganan dan pengolahan adanya
gap negatif lebih dikarenakan kurangnya kontrol mutu seperti inventory control yang
bagus yang dilakukan secara regular.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 113
Gambar 6.4 Pemenuhan Gap Standar
• •
Keterangan: * dilakukan oleh Pelaku usaha/eksportir/Importir, ** dilakukan oleh pemerintah
Standar Internasional (CODEX, HACCP, ISO, National Standard - Partners)
Standar
Nasional Indonesia (SNI)
Solusi/Bridging the Gap (Praktis)* Sortasi (grading) ulang terhadap bahan
baku, penanganan bahan baku, uji keamanan bahan baku di
laboratorium yang terkareditasi, menjamin kesegaran (freshness) bahan
baku, memastikan proses produksi sudah
sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, quality control yang ketat, melakukan
final inspection, penanganan/perbaikan handing dan storage yang benar (sesuai standar) melengkapi persyaratan administrasi
Kebijakan Mengatasi Gap Standar**
Gap positif • Syarat bahan baku • Penanganan dan pengolahan • Kadar histamin • Syarat mutu dan keamanan pangan • Ketentuan mutu, klasifikasi mutu • Ketentuan mengenai penampilan • Penandaan dan pelabelan • Petugas pengambil contoh, kriteria
petugas, cara pengambilan contoh Gap negatif
• Syarat bahan baku • Penanganan dan pengolahan • Pengemasan • Syarat mutu dan keamanan pangan • Klasifikasi mutu, Penggolongan mutu:
(berdasarkan golongan konsumen) • Penanganan dan pengolahan • Penyimpanan • Ketentuan mengenai penampilan • Syarat khusus • Cara pengambilan contoh: sesuai
ISO 874 • Higienitas: harus sesuai CODEX • Zat terlarang: cadmium, formalin,
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 114
Masalah penyimpanan juga masih ada gap negatif, terutama menyangkut masalah
kelembaban, rotasi stok harus dijaga, isi dan kemasan yang harus terlindungi dan
terpisah untuk menghindari kontaminasi. Kemudian gap negatif dalam masalah
kemasan juga harus diperbaiki dalam SNI yang cenderung tidak diperhatikan yaitu
bahan kemasan yang harus food grade dan menjamin higienitas produk yang ada di
dalamnya.
Di samping itu upaya pemenuhan gap negatif adalah dengan
memperhatikan persyaratan-persyaratan khusus yang diterapkan dalam standar
nasional mitra dagang. Persyaratan khusus tersebut termasuk diantaranya
keberadaan benda asing yang tidak boleh terdapat dalam produk yang dikemas,
kadar kelembaban tertentu dan zat terlarang seperti pada kasus produk makanan
yaitu: kadmium, formalin, dan kromium.
Upaya pemenuhan gap negatif ini lebih diarahkan pada peningkatan daya
saing dan akses pasar produk ekspor Indonesia. Sehingga dengan pemenuhan gap
yang ada, keberterimaan produk Indonesia di pasar luar negeri bisa ditingkatkan. Di
sisi lain, upaya pemenuhan gap negatif ini juga bermanfaat pada peningkatan
kepedulian dan peningkatan kualitas produk sejenis yang beredar di pasar
domestik.
6.5.2 Upaya Pemenuhan Gap Standar (Kondisi Gap Positif) Dalam kondisi adanya gap positif antara SNI dengan standar nasional yang
diterapkan mitra dagang Indonesia, maka sudah seharusnya gap positif tersebut
dipertahankan. Gap positif yang ada dalam SNI juga berada pada parameter bahan
baku, proses pengolahan sampai pengepakan. Beberapa gap positif tersebut,
khususnya produk makanan, adalah seperti masalah syarat mutu dan keamanan
pangan yang tidak boleh ada cemaran bakteri dan benda asing, seperti cemaran
E.coli, cemaran zat Timbal, dan cemaran logam Kadmium. Di sisi lain, rujukan kadar
histamin yang ditetapkan dalam SI untuk produk perikanan juga lebih tinggi dari
pada yang diterapkan negara lain, yaitu SNI mematok maksimal 100 mg/kg.
Sementara negara lain lebih tinggi dari itu, bahkan ada yang lebih dari 500 mg/kg. Di
samping itu, dalam hal pengklasifikasian produk, SNI lebih menekankan pada
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 115
pengklasifikasian berdasarkan mutu, sementara negara lain lebih cenderung
berdasarkan pada golongan konsumen.
Esensi dari upaya mempertahankan persyaratan yang ada dalam SNI yang
mempunyai standar yang lebih tinggi adalah merupakan upaya pemerintah untuk
melindungi konsumen dalam negeri untuk memperoleh bahan yang lebih berkualitas
dan memenuhi persyaratan K3L sekaligus melindungi produsen dalam negeri dari
persaingan produk sejenis dengan standar yang lebih rendah.
6.5.3 Upaya Pemenuhan Gap Standar Secara Praktis Oleh Dunia Usaha Berdasarkan survey, diperoleh informasi mengenai berbagai upaya yang
dilakukan oleh para pelaku usaha di Indonesia dalam memenuhi standar yang
diinginkan oleh negara mitra dagang, seperti yang diuraikan dalam sub-bab
sebelumnya yaitu sub-bab 6.3. Secara umum, langkah pemenuhan gap tersebut
adalah menyangkut masalah sortasi (grading) ulang terhadap bahan baku,
penanganan bahan baku, uji keamanan bahan baku melalui laboratorium uji dalam
perusahaan dan laboratorium yang terkareditasi, upaya melakukan quality control
yang ketat, melakukan final inspection, penanganan/perbaikan handling dan storage
yang benar (sesuai standar) dan upaya melengkapi persyaratan administrasi (seperti
sertifikasi, termasuk pelabelan dan lainnya).
6.5.4 Upaya Pemenuhan Gap Standar Secara Strategis oleh Pemerintah Upaya pemenuhan gap standar secara strategis ini bisa dilakukan oleh
pemerintah dengan dukungan berbagai pihak/instansi terkait dengan masalah
standar dan perdagangan. Dalam kondisi adanya gap negatif pada SNI untuk produk
tertentu, maka pemerintah bisa mengajukan usulan perubahan/amandemen
terhadap SNI yang ada. Pada prinsipnya SNI memang dimungkinkan dilakukan
perubahan secara berkala (dalam kurun waktu setelah lima tahun). Usulan
perubahan ini adalah menyangkut berbagai parameter yang ada dalam SNI yang
tidak memenuhi persyaratan standar internasional yang ada khususnya standar
nasional yang diterapkan oleh mitra dagang Indonesia.
Di samping itu, secara tidak langsung, upaya pemenuhan gap standar juga
bisa dilakukan oleh pemerintah. Berbagai upaya pemenuhan standar secara tidak
langsung tersebut diantaranya adalah upaya perbaikan sarana dan prasarana
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 116
laboratorium uji termasuk di dalamnya tingkat teknologi, kelengkapan sarana dan
prasarana, kualitas sumber daya manusia dan juga kualitas pelayanan. Keberadaan
infrastruktur ini sangat penting dalam upaya untuk membangun budaya standar
sekaligus upaya mengatasi gap standar yang ada, sehingga pihak pengguna
(pengusaha) bisa memanfaatkannya dalam upaya memenuhi standar yang
dipersyaratkan.
Hal praktis lainya yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan hal-hal
khusus seperti penertiban eksportir dan importir yang temporer yang cenderung
memiliki pengalaman dan pengetahuan yang terbatas. Di samping itu, mereka juga
cenderung memiliki infrastruktur pendukung yang terbatas seperti gudang dan cold
storage yang sangat diperlukan dalam menjaga kualitas bahan baku dan bahan jadi.
Upaya pengawasan barang yang beredar, khususnya untuk memantau
produk yang beredar di pasaran yang berasal dari impor yang tidak memenuhi
standar SNI. Selama ini pengawasan barang yang beredar mungkin lebih ditekankan
pada upaya pemenuhan K3L, tetapi dalam konteks standar ini, pengawasan harus
diperluas pada upaya pemenuhan persyaratan yang ada dalam SNI. Upaya
pembentukan lembaga Early Warning System untuk produk yang beredar di pasar
bisa dibentuk untuk mengatasi permasalahan standar dalam upaya perlindungan
konsumen dan peningkatan daya saing produk nasional.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 117
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1. Kesimpulan
1. Peran standar mutu sangat penting, baik untuk produk ekspor dalam
rangka meningkatkan daya saing untuk akselerasi ekspor, maupun untuk
produk impor dalam rangka melindungi konsumen dalam negeri.
2. Dalam kondisi yang ideal, standar mutu harus diterapkan mulai dari asal
usul bahan baku, bahan baku, bahan setengah jadi, proses pengolahan,
sampai produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Namun, kondisi dan
kebutuhan masyarakat juga harus dipertimbangkan sebelum menerapkan
suatu standar menjadi standar yang berlaku wajib. Pertimbangan tersebut
antara lain kondisi perekonomian, faktor sosial, serta kemampuan
produsen khususnya UKM.
3. Untuk produk pangan, pemenuhan standar sulit dilakukan di sisi hulu.
Bahan baku untuk produk perikanan dan hortikultura, dalam hal ini ikan
dan buah-buahan itu sendiri, dipengaruhi oleh lingkungan. Jika lingkungan
tempat hidup ikan dan buah tercemar dan tidak baik kualitasnya, maka
akan mempengaruhi kualitas dan mutunya secara umum. Begitu pula
dengan proses penanganan pasca panen. Keterampilan dan pengetahuan
nelayan dan petani yang tidak seragam membuat kualitas bahan baku
sulit untuk dipenuhi sesuai standar yang ada.
4. Untuk produk non pangan, kesulitan lebih banyak ditemui di sisi hilir. Hal
tersebut dikarenakan proses pembuatan produk memerlukan ketrampilan
khusus dan produk harus terus berkembang dan berinovasi sesuai
kebutuhan dan selera pasar.
5. Gap negatif SNI dengan standar mitra dagang disebabkan antara lain :
a. SNI umumnya hanya menggunakan standar internasional sebagai
acuan dasar dalam penyusunannya. Sementara, mitra dagang tidak
hanya mengadopsi standar internasional seperti CODEX, ISO, IEC,
dan lain-lain namun juga mengadopsi ketentuan dan parameter yang
ada pada standar swasta (private standards) dan standar lain.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 118
b. Kesulitan memenuhi standar mutu dan keamanan pada sisi hulu
untuk produk perikanan (tuna dan cakalang beku) dan hortikultura
(manggis dan jagung). Bahan baku untuk produk tersebut sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Jika lingkungan tempat hidup
ikan dan buah tercemar dan tidak baik kualitasnya, maka akan
mempengaruhi mutunya seperti ikan tuna yang tercemar logam berat
akibat cemaran limbah industri. Pada proses penanganan pasca
penangkapan atau pasca panen, ketrampilan dan pengetahuan
nelayan dan petani yang beragam/terbatas membuat kualitas bahan
baku sulit untuk memenuhi SNI dan atau standar negara mitra
dagang.
c. Kesulitan pemenuhan standar pada produk non pangan (mebel rotan
dan kemeja batik) lebih banyak ditemui di sisi hilir. Hal tersebut
dikarenakan proses pembuatan produk memerlukan ketrampilan
khusus dan produk harus terus berkembang dan berinovasi sesuai
kebutuhan dan selera pasar.
d. Kesulitan produk-produk usaha kecil menengah (UKM) dalam
memenuhi persyaratan mutu dan keamanan produk yang
dipersyaratkan negara mitra dagang. Kesulitan tersebut disebabkan
oleh minimnya informasi yang diterima oleh UKM mengenai standar
mutu dan keamanan di negara tujuan ekspor, proses sertifikasi
standar produk ekspor menjadi beban biaya yang relatif besar bagi
UKM, serta terbatasnya sumber daya yang terampil dalam
penanganan pra dan pasca panen. Selain itu, keterbatasan
insfrastruktur standar seperti alat uji di daerah belum optimal dalam
mendukung proses penerapan standar.
6. Belum semua pelaku ekspor menjadikan SNI sebagai acuan atau
panduan utama untuk standar mutu dan keamanan produk. Pelaku usaha
mengacu pada kriteria mutu dan keamanan yang disyaratkan oleh importir
di negara mitra dagang. Sebagian pelaku usaha juga menganggap bahwa
SNI kurang kompatibel dengan standar yang diterapkan oleh mitra
dagang.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 119
7.2. Rekomendasi
1. Mengusulkan kepada Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk melakukan
peninjauan, perubahan (amandemen) SNI khususnya produk eskpor ke
negara tujuan sesuai perkembangan dan perubahan selera konsumen dan
teknologi.
2. Untuk mengatasi gap negatif antara SNI dengan standar mitra dagang antara
lain :
a. Di sisi hulu, perlu memperbaiki kualitas sesuai permintaan, memperketat
seleksi bahan baku sebelum masuk pabrik dan perbaikan penanganan
pasca panen. Sedangkan di sisi hilir, perlu memberikan pelatihan dan
studi banding, dll kepada pelaku usaha agar meningkatkan kualitas
produk ke pasaran.
b. Melakukan bridging the gap: untuk UKM antara lain (i) memberikan
kemudahan dalam proses sertifikasi, (ii) sosialisasi pentingnya
pemenuhan standar mutu untuk produk ekspor; (iii) pembinaan teknis
yang lebih luas terkait budidaya dan penanganan pasca panen yang
tepat untuk menjamin kualitas produk; sementara untuk lembaga terkait
seperti laboratorium uji, sertifikasi produk, dan teknologi pengujian
dilakukan dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia,
peningkatan teknologi, kelengkapan infrastruktur dan kualitas pelayanan
yang terkait dengan standar.
3. Mendorong perwakilan dagang RI di luar negeri, untuk menjadi bagian solusi
dari kasus-kasus penolakan produk ekspor Indonesia antara lain melakukan
mediasi, konsultasi, dan menyediakan informasi terkait perkembangan
standar dan selera pasar mitra dagang kepada para eksportir di Indonesia.
4. Edukasi tentang standar pada umumnya dan SNI pada khususnya kepada
masyarakat baik kepada produsen yang melakukan ekspor/eksportir, importir
dan masyarakat konsumen harus terus dilakukan. Peran serta aktif
masyarakat khususnya dalam mengawasi produk impor yang masuk (tidak
memenuhi standar) harus ditingkatkan,
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 120
DAFTAR PUSTAKA
BSN. (2013). Penerapan SNI Pada Dasarnya Bersifat Sukarela. Diakses 28 Juli
2013 dari http://web.bsn.go.id/bsn/activity.php?id=52
BSN. (2008). Kajian Penerapan dan Pertumbuhan SNI di Industri. Pusat Peneitian
dan Pengembangan Standardisasi. Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Laporan Akhir Penelitian
CODEX Alimentarius Commision. (2003). Recommended International Code of Practice General Principles Of Food Hygiene, CAC/RCP 1-1969, Rev. 4-2003.
Ditjen SPK, Kemendag. (2013). Pengumuman Hasil Pengawasan Tahap VI oleh
Wamendag. Diakses 31 Juli 2013 dari
http://ditjenspk.kemendag.go.id/index.php/public/information/articles-
detail/berita/91.
European Commission. (2012). Using Standards to Support Growth, Competitiveness and Innovation. DOI 10.2769/42198
Detik Finance. (2013, 27 Mei). Manggis RI Ditolak China, Ini Penjelasan Wamentan. Diakses tanggal 3 Juni 2013 dari Dari http://finance.detik.com/read/2013/05/27/124747/2256607/4/manggis-ri-ditolak-china-ini-penjelasan-wamentan
Drake, Graeme. (2013). International Standardization. Materi training dalam International Standards Cooperation:ISO and other international bodies., Jakarta, Indonesia September 2013. Jakarta.
Faergemand, Jacob and Dorte Jespersen. (2004). ISO 22000 to Ensure Integrity of
Food Suply Chain. ISO Insider, ISO Management System, September –
October 2004.
Gomm, Moritz. (2009). Gap Analysis: Methodology, Tool and First Application.
PARSE.Insight Workshop, Darmstadt 21st - 22nd September 2009
Herjanto, Eddy. (2011). Pemberlakuan SNI Secara Wajib di Sektor Industri:
Efektifitas dan Berbagai Aspek dalam Penerapannya. Jurnal Riset Industri
Vol. V, No.2, 2011, Hal 121-130.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 121
ISO. (2010). International Standards and “Private Standards”.
Jane Lovell, Allison Clark, David Jeffries. (2003). Gap Analysis in relation to Quality Management for the Supply Chain Management of Genetically Modified (GM) Products: Supply chain identity preservation and segregation case studies. Canberra, A.C.T.: Australian Government Department of Agriculture, Fisheries and Forestry.
Kementerian Perindustrian. (2011). Penerapan SNI Wajib untuk Perlindungan
Industri Nasional. SOLUSI, No. 34, Juni 2011 Khan, Shaheen Rafi; Fahd Ali and Azka Tanveer. (2005). Compliance with
International Standards in the Marine Fisheries Sector: A Supply Chain
Analysis from Pakistan. Sustainable Development Policy Institute (SDPI).
December 2005, Trade Knowledge Network (TKN).
Kontan. (2009). Departemen Perindustrian akan Revisi 615 SNI. Diakses 29 Juli
2013 dari http://industri.kontan.co.id/news/departemen-perindustrian-akan-
revisi-615-sni- Lambaga, Arifin.(2009). Akselerasi Ekspor Produk Perikanan Indonesia Melalui
Penerapan Standar. Prosiding PPI Standardisasi 2009 – Makassar 3 Juni
2009
Liu, Pascal. (2009). Private Standard in International Trade: Issues and
Opportunities. Trade and Market Division, FAO.
National Institute of Standards and Technology. (2013). A Guide to United States
Apparel and Household Textiles Compliance Requirements GCR 12-970.
U.S. Department of Commerce.
Neraca. (2012, 10 Mei). Pemerintah Bakal Kenakan SNI Pada Tiga Produk: Jaga
Pasar Domestik dari Banjir Impor.
Neraca. (2013, 29 Juli). BSN Akan Keluarkan 500 SNI di 2013. Diakses 29 Juli 2013
darihttp://www.neraca.co.id/harian/article/26616/BSN.akan.Keluarkan.500.SN
I.di.2013
Puska Dagri – Kementerian Perdagangan. (2012). Analisis Penerapan SNI Sukarela
Pada Industri Mie Instan dan Minyak Goreng Dalam Kemasan.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 122
Salim, Zamroni. ed. (2012). Standarisasi Produk Perikanan dan Olahannya Dalam
Penguatan Pasar Ekspor. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Pusat Penelitian Ekonomi (P2E).
Shepherd, Ben and Nobert L Wilson. (2010). Product Standard and Developing
Country Agricultural Exports: The Case of The European Union. Department
of Agricultural Economics and Rural Sociology, Auburn University.
SNI 01-0222-1995. Bahan tambahan makanan
SNI 01-2326-1991. Standar metode pengambilan contoh (produk perikanan).
SNI 01-2710.1-2006. Standar Ikan Tuna Beku : Spesifikasi.
SNI 01-2710.2-2006. Standar Ikan Tuna Beku : Persyaratan Bahan Baku.
SNI 01-2710.3-2006. Standar Ikan Tuna Beku : Penanganan dan Pengolahan.
SNI No. 01-2733.1-2006. Standar Ikan Cakalang Beku : Spesifikasi
SNI No. 01-2733.2-2006. Standar Ikan Cakalang Beku : Persyaratan bahan baku
SNI No. 01-2733.3-2006. Standar Ikan Cakalang Beku : Penanganan dan
pengolahan
SNI No. 3211:2009. Standar Manggis
SNI No. 01-3920-1995. Standar Jagung
SNI No. 08.3540.1994. Standar Batik
SNI No. 7555.24:2011. Standar Kursi tamu rotan
SNI No. 7555.25:2011. Standar Meja tamu rotan
Tempo (2012, November 2012). Pemerintah Akan tambah Produk Wajib SNI.
Valk, Olga van der dan Joop van der Roest. (2009). National benchmarking against GLOBALGAP: Case studies of Good Agricultural Practices in Kenya, Malaysia, Mexico and Chile. Report 2008.079. LEI Wageningen UR, The Hague
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 123
Washington, S & Ababouch, L. (2011). Private Standards and Certification in Fisheries and Aquaculture: Current Practice and Emerging Issues. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper No.553.
Will, Margret and Doris Guenther. (2007). Food Quality and Safety Standards: as
Required by EU Law and the Private Industry. A Practitioners’ Reference Book. 2nd
edition. GTZ.
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 124
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner
KUESIONER PERILAKU PERUSAHAAN (EKSPORTIR) TERHADAP SNI & STANDAR INTERNASIONAL
Identifikasi Perusahaan Nama : ......................................... Alamat : .........................................
1. Apakah menurut anda standar itu penting? a. Ya b. Tidak Alasan : .............
2. Apakah menurut Anda, pencantuman label standar pada produk Anda itu penting?
a. Ya b. Tidak Alasan : ..............
3. Apakah anda mengetahui tentang standar dan SNI? a. Ya b. Tidak Alasan : ..............
4. Negara mana sajakah yang menjadi tujuan ekspor untuk produk perusahaan anda? a. b. c. d.
5. Standar apa sajakah yang terkait dengan produk yang anda ekspor? a. b. c. d.
6. Komponen standar apa saja menurut Anda yang menjadi perhatian utama di masing-masing negara tujuan ekspor? a. b. c. d.
7. Apakah produk perusahaan anda sudah dapat memenuhi komponen utama (pertanyaan nomor 6) pada standar tersebut? a. Ya b. Belum
8. Jika BELUM, komponen standar mana yang belum dipenuhi oleh produk
perusahaan anda?
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 125
a. b. c. d.
9. Tindakan apa yang Anda lakukan untuk memenuhi komponen standar tersebut? a. b. c. d.
10. Apakah produk anda pernah mengalami penolakan di negara tujuan karena tidak memenuhi standar? a. Ya b. Tidak
11. Jika YA, apa saja alasan ditolaknya produk anda di negara tujuan?
a. b. c. d.
12. Tindakan apa yang Anda lakukan untuk merespon penolakan tersebut tersebut? a. b. c. d.
13. Apa saja hambatan bagi perusahaan anda dalam memenuhi standar di negara tujuan? a. b. c. d.
14. Bagaimana dampak kesesuaian atau ketidaksesuain standar produk anda dengan standar produk di negara tujuan dalam mempengaruhi kemampuan daya saing produk perusahaan anda? ..................................................................... Alasan : .......................................................