kajian integrasi sistem perencanaan dan...
TRANSCRIPT
Kajian
INTEGRASI
SISTEM PERENCANAAN DAN
PENGANGGARAN
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN
PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
2014
KAJIAN
INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN
PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 2014
ii
KAJIAN
INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Penyusun: Tim Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Kontributor :
Andi Wijayanto (Sekretariat Kabinet) Daryl Ichwan (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas)
Dian P. Simatupang (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) Ernest P. Raihan (Kementerian Keuangan - Direktorat Jenderal Anggaran)
Faisal Akbar (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) Hasrul Halili (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada) Hifdzil Alim (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada)
I Gusti Ngurah Putra (Bappeda Provinsi Bali) I Wayan Muhrta (Fakultas Hukum Universitas Udayana)
Ida Ayu Susanti (Kanwil Kemenkumham Prov. Bali) Jayadi (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas)
Jumadi (Bappeda Provinsi Jawa Timur) Kodrat Wibowo (Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran)
Putu Gde Arya Sumerthayasa (Fakultas Hukum Universitas Udayana) Sri Winarsi (Fakultas Hukum Universitas Airlangga)
Sumariyandono (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas) Suparto Wijoyo (Fakultas Hukum Universitas Airlangga)
Suria Ningsih (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) Wika Harisa Putri (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada)
Yonathan S. Hadi (Kementerian Keuangan - Direktorat Jenderal Anggaran) Zainal Arifin Mochtar (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada)
Diterbitkan oleh : Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat
Telp. (021) 3868201-05 Fax. (021) 3868208
KAJIAN INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN. – Jakarta : PKSANHAN - LAN, 2014
135 hlm.
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF (EXECUTIVE SUMMARY)
Keterpaduan antara perencanaan dan penganganggaran merupakan isu penting dalam konteks pencapaian tujuan pembangunan nasional. Terkait hal itu, beberapa permasalahan mendasar yang dapat diidentifikasi antara lain adalah: (1) belum tercapainya sinergitas program pembangunan antara berbagai K/L untuk pencapaian prioritas pembangunan nasional maupun sasaran nasional serta penjabarannya dalam unit eselon I dalam rangka mendukung pencapaian sasaran K/L maupun nasional; serta (2) belum konsistennya perencanaan program dan penganggaran pada setiap tahunnya.
Terjadinya inkonsistensi program dan anggaran diidentifikasi bahwa tidak semua program/kegiatan yang tertuang dalam Renja-KL dapat dibiayai sepenuhnya. Hal ini disebabkan dokumen Renstra dan dokumen penganggaran belum sepenuhnya selaras. Penyebab munculnya beberapa permasalahan tersebut disebabkan adanya ill-structured problems, yaitu suatu kondisi atau keadaan dimana peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan melahirkan masalah yang begitu luas, begitu banyak jumlahnya, dan tidak teridentifikasi.
Dari aspek kelembagaan, pemisahan institusi perencanaan dan penganggaran program pembangunan pasca reformasi justru menimbulkan pengkotak-kotakan (fragmentation) pemerintahan, dimana fungsi penyusunan program masih tetap berada di Bappenas, sedangkan fungsi penganggaran berada di Kementerian Keuangan. Tidak sinerginya perencanaan dan penganggaran dalam pelaksanaan pembangunan nasional tidak dapat dihindari meskipun telah dilakukan Pertemuan Tiga Pihak (Trilateral Meeting) sebagaimana diatur dalam PP No. 90 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). Kondisi yang terjadi antara lain sebagai berikut :
1. Buruknya koordinasi dan kesepahaman antara Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga terkait dengan pencapaian sasaran-sasaran prioritas pembangunan nasional yang akan dituangkan dalam RKP, pokok-pokok kebijakan fiskal dan kebijakan belanja,
2. Inkonsistensinya kebijakan yang ada dalam dokumen perencanaan dengan dokumen penganggaran, yaitu antara RPJM, RKP, Renja K/L dan RKA-KL, dan
3. Rendahnya komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu dilakukan terhadap Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah.
Dalam sistem perencanaan dan penganggaran, terdapat 2 (dua) hal penting: (i) perencanaan program yang tepat sasaran dan (ii) perencanaan
iv
penganggaran yang lebih efektif dan efisien. Dengan sistem perencanaan dan penganggaran yang baik, maka program-program yang disusun adalah benar-benar bertujuan untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan pembangunan. Selanjutnya dalam penyusunan perencanaan penganggaran harus menggunakan prinsip “money follow function”. Artinya penyusunan perencanaan program dan penganggarannya dapat saja tidak dilaksanakan bersamaan, tetapi secara sekuential dengan menimbang program prioritas pembangunan terlebih dahulu.
Untuk konteks Indonesia, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) sebagaimana tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2004 merupakan tahap awal dari siklus APBN yang mencerminkan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan oleh seluruh Pemerintah. Kemudian rencana tersebut dilanjutkan dengan proses penganggaran untuk mendapatkan alokasi anggaran, sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di dalamnya juga mengatur proses penganggaran di daerah, serta UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Gambar Hubungan Perencanaan dengan Pengelolaan Anggaran
TUJUAN
PEMBANGUNAN
NASIONAL
UU No.
25/2004
SPPN
PLANNING
UU No.
17/2003
KN BUDGETING
ORGANIZING
BUDGET
PLANNING
UU No. 1/2004
Actuating
UU No. 15/2004
Controlling
S I S T E M
K E U A N G A N
N E G A R A
v
Berdasarkan ilustrasi di atas, terlihat irisan proses (yang disebut
sebagai budget planning) antara fungsi perencanaan dan penganggaran yang sering menjadi permasalahan dalam hubungan perencanaan dan penganggaran, walaupun sebenarnya telah dipayungi dengan PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga beserta peraturan perubahan dan peraturan pelaksanaannya. Ketentuan tersebut pada dasarnya dimaksudkan sebagai jembatan penghubung antara Bappenas sebagai Perencana dan Kemenkeu sebagai Pelaksana dalam menyusun anggaran. Irisan “budget planning” itulah yang harus dikelola dengan baik agar sistem perencanaan peganggaran pembangunan nasional akan lebih baik, efisien dan equity.
Berdasarkan konsep membangun sinergi dari sudut pandang hukum administrasi negara, maka untuk mewujudkan keterpaduan fungsi perencanaan yang diselenggarakan Bappenas dan fungsi penganggaran yang diselenggarakan oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, dapat dilakukan dengan cara menempuh salah satu dari 3 (tiga) opsi kebijakan sebagai berikut.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif, yang menggambarkan
permasalahan adanya disintegrasi dalam sistem perencanaan dan penganggaran. Pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan dengan cara
Opsi Tinjauan Hukum Administrasi Negara
Keterangan
1 sinergitas tindakan hukum (rechshandelingen),
yaitu penataan kembali perbuatan hukum dalam perencanaan dan penganggaran, baik tindakan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang bersegi dua (tweezidge publiekrechtelijke handeling);
2 sinergitas hubungan hukum (rechtsbetrekkingen),
yaitu penataan kembali antar-wewenang yang dimiliki Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam hubungannya dengan lembaga pemerintah dan lembaga Negara
3 sinergitas kedudukan hukum (rechstatus),
yaitu penataan kembali kelembagaan Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam kaitannya dengan kedudukan kelembagaannya
vi
mencermati studi terdahulu, studi benchmarking, dan focus group discussion (FGD). Selanjutnya, dilakukan validasi draft hasil kajian dengan narasumber di daerah dan perguruan tinggi.
Narasumber kajian ini adalah para pakar dan praktisi yang memiliki keilmuan serta keahlian terkait perencanaan dan penganggaran. Dari kalangan pakar, narasumber kajian ini berasal dari Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Sumatera Utara, Universitas Airlangga, Universitas Udayana, dan Universitas Gadjah Mada. Sedangkan, narasumber praktisi kajian ini berasal dari Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, Sekretariat Kabinet, Kementerian Hukum dan HAM, serta beberapa K/L lainnya.
Pengolahan data dilakukan dengan menyeleksi data berdasarkan permasalahan atau isu yang diangkat. Analisis data dilakukan dengan menggabungkan 2 (dua) metode, yaitu : (1) analisis isi (content analysis) dan (2) analisis data sekunder (secondary data analysis). Seluruh data yang terkumpul dan dinilai layak, kemudian dielaborasi untuk merumuskan pengertian, ruang lingkup, dan permasalahan yang berkembang, serta pokok-pokok solusi yang dapat diajukan dalam kajian ini.
Agar terwujud integrasi perencanaaan dan penganggaran pembangunan nasional yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat, LAN menyampaikan opsi kebijakan dari perspektif jangka pendek (perbaikan tata laksana) dan jangka panjang (perbaikan kelembagaan).
1. Jangka pendek, secara ketatalaksanaan diperlukan pembenahan terhadap proses dan prosedur perencanaan program kegiatan dan penganggaran di Indonesia. Tatalaksana perencanaan dan penganggaran ke depan dilakukan dengan mekanisme tata kerja sebagai berikut. a. Presiden menetapkan Visi, misi, program kerja; b. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
menerjemahkan pencapaian visi, misi dan program presiden dalam RPJM disertai target output dan outcome yang harus dicapai oleh kementerian/lembaga. Target tersebut kemudian diinput dalam sebuah sistem aplikasi perencanaan program/kegiatan. Selain itu, disusun pula pedoman tentang bagaimana proses penyusunan usulan program/kegiatan yang harus dilakukan oleh K/L. Sementara itu, Kementerian Keuangan menyusun estimasi rencana penerimaan negara untuk 5 (lima) tahun ke depan;
c. Setiap tahun, Kementerian/Lembaga menyusun usulan program/ kegiatan berdasar RPJM beserta estimasi rencana anggaran yang diperlukan. Usulan tersebut disampaikan melalui sebuah sistem aplikasi perencanaan program/kegiatan pembangunan;
d. Setiap Tahun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas mengevaluasi kinerja program/kegiatan tahun lalu dan usulan program/kegiatan tahunan yang disampaikan melalui sistem aplikasi, serta menetapkan program/kegiatan tahunan yang akan
vii
dilaksanakan dan dibiayai (RKT). Sementara Kementerian Keuangan mengevaluasi kinerja efisiensi anggaran, dan Menetapkan sumber pembiayaan pembangunan;
e. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyusun dokumen RKP, sementara Kementerian Keuangan menyusun dokumen RAPBN;
f. Presiden menetapkan dokumen nota keuangan untuk disampaikan ke DPR.
2. Jangka Menengah, secara kelembagaan, fungsi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi atas rencana program kegiatan dan anggaran dilakukan oleh Bappenas yang akan ditempatkan di Kantor Kepresidenan, dengan nomenklatur Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran.
a. Tugas Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran :
Menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi serta mengevaluasi dan menetapkan rencana program pemba-ngunan dan anggaran (budget planning) kementerian/ lembaga.
b. Fungsi, Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran :
1) Pelaksanaan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi rencana program pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/lembaga.
2) Pelaksanaan evaluasi rencana program pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/lembaga.
3) Penetapan program pembangunan dan anggaran (budget planning) pembangunan yang akan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga
c. Kewenangan Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran:
Menetapkan program dan kegiatan pembangunan kementerian/ lembaga yang akan dilaksanakan dan dibiayai dengan anggaran yang tersedia, mengacu pada visi misi dan prioritas program kerja Presiden dan RPJM.
Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran pada Kantor
Kepresidenan tersebut, terbentuk melalui 3 (tiga) opsi sebagai berikut Opsi 1 (Progresif), Bappenas dan Ditjen Anggaran merger menjadi
“Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres);
Opsi 2 (moderate) Bappenas menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres), dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres;
viii
Opsi 3 (konservatif) Bappenas tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan penetapan prioritas program/ kegiatan pindah ke Set P2A Kanpres, dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres.
Hasil kajian ini semakin menegaskan fakta ego sektoral dan disharmoni dalam sistem perencanaan dan penganggaran, sebagaimana disampaikan dalam beberapa hasil kajian atau penelitian terkait. Untuk itu, kajian dapat menjadi trigger bagi Presiden agar segera melakukan penataan kebijakan, kelembagaan dan mekanisme perencanaan dan penganggaran di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 23 Perpres 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja, paling lambat sampai November 2015, akan dilakukan penataan organisasi kabinet kerja. Terkait hal itu, hasil kajian ini dapat menjadi referensi (academic paper) bagi Presiden untuk melakukan penataan fungsi, tugas dan kewenangan lembaga Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan, khususnya terkait dengan aspek perencanaan dan penganggaran.
Namun, penataan kelembagaan kabinet kerja dimaksud harus sinergi dengan penataan kebijakan di bidang sistem perencaaan dan penganggaran. Dalam hal ini, perlu dilakukan penataan secara sistematis dari level kebijakan Undang-Undang (bersama DPR), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden hingga Peraturan Menteri yang mengatur mengenai perencanaan dan penganggaran.
Khusus terkait pelembagaan dan mekanisme Pertemuan Tiga Pihak (trilateral meeting) --- yang berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi Kajian ini diselenggarakan di Kantor Kepresidenan, tetap dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan regulasi. Hal ini berdasarkan pada kewenangan dasar Presiden selaku Kepala Pemerintahan (executive power), sehingga dapat mengeluarkan kebijakan di ranah eksekutif sepanjang bertujuan untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas. Dalam rangka upaya integrasi forum dan harmonisasi sistem perencanaan dan penganggaran, maka hasil kajian ini akan dapat menjadi panduan bagi Presiden untuk merumuskan format forum dan mekanismenya.
Secara umum, dalam penyusunan kajian ini sudah melibatkan pimpinan instansi terkait, khusus Bpk. Andi Widjajanto (Sekretaris Kabinet) yang secara khusus hadir langsung dalam acara FGD di Kantor LAN. Dalam acara tersebut, pada prinsipnya beliau memahami usulan pembentukan Kantor Kepresidenan dan perlunya penataan sistem perencanaan serta penganggaran agar dapat selaras dengan prioritas dan gaya kepemimpinan (leadership style) Presiden. Tentu saja, upaya penataan ini harus tetap memperhatikan stabilitas dan
ix
dinamika politik, sehingga perlu dikaji momentum yang tepat untuk melaksanakannya.
Agar hasil kajian ini dapat bernilai manfaat/berdampak secara nyata dalam reformasi sistem perencanaan dan penganggaran, perlu dilakukan beberapa rencana tindak berikut ini.
1. Jangka Pendek (sebelum Februari 2015)
Mengajukan policy brief kajian ini kepada Presiden cq. Sekretaris Kabinet, sehingga dapat menjadi bagian dalam perubahan struktur organisasi kabinet kerja sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 165 Tahun 2014.
2. Jangka Menengah (akhir Desember 2015)
Mengajukan usulan perubahan kebijakan sebagai landasan hukum penataan sistem perencanaan dan penganggaran, di level Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Pada saat bersamaan, mengusulkan kepada Presiden dan Menteri terkait agar revisi UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 25 Tahun 2004 dapat masuk dalam usulan prioritas di luar Prolegnas 2015. Selanjutnya, diharapkan proses revisi terhadap kedua Undang-Undang tersebut segera dilaksanakan, agar dapat menjadi landasan hukum bagi penataan sistem perencanaan dan penganggaran di Indonesia.
x
xi
SAMBUTAN
DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
Efek persaingan global terasa semakin dekat dengan negara kita, salah
satunya terlihat bagaimana setiap negara di dunia berkompetisi untuk
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahannya. Dalam hal ini,
fragmentasi pemerintahan yang terlalu tinggi dianggap sebagi salah satu
penyebab teradinya inefektivitas pemerintahan, karena terjadinya sejumlah
problem yang dapat menghalangi pemerintah untuk merespon dengan cepat
dinamika yang berkembang di dalam lingkungan strategisnya.
Secara lebih jelas, beberapa problematika mendasar terkait tata kelola
pemerintahan kita saat ini adalah: (1) kewenangan sebuah urusan yang
terfragmentasikan pada beberapa K/L sehingga alokasi menjadi tumpang tindih
yang membuat tata kelola pemerintahan menjadi kompleks. Sebagai contoh,
sebuah urusan pemerintahan tertentu seperti UKM, pertanahan, maritim dan
kelautan, perizinan selalu melibatkan belasan Kementerian/Lembaga. Struktur
ini menciptakan kerugian ganda, yakni menciptakan kebutuhan melakukan
koordinasi dan menjadikan ego sektoral tumbuh dengan subur, (2) lemahnya
institusi dan mekanisme pengintegrasian rencana dan kegiatan pembangunan
pemerintah pusat dan daerah. Mekanisme Musrenbang dari tingkat bawah
sampai dengan tingkat nasional terbukti tidak efektif. Duplikasi dan tumpang
tindih kegiatan antar tingkat pemerintahan yang berbeda terus terjadi dan
menjadi rutinitas. Bahkan, benturan kebijakan antara pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota mudah ditemui dalam berbagai bidang seperti ekonomi dan
investasi.
Selanjutnya, (3) terjadinya disintegrasi fungsi manajemen pemerintahan,
utamanya antara fungsi perencanaan dan penganggaran. Kedua fungsi ini
dikelola oleh kementerian yang berbeda, yaitu Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Keuangan. Pemisahan
kedua fungsi tersebut ke dalam dua kementerian yang berbeda dengan ego
sektoralnya masing-masing membuat interkoneksi antar kedua fungsi tersebut
sangat lemah. Inovasi kegiatan sering tidak “nyambung” dengan alokasi
anggarannya.
Untuk mencegah terjadinya dan/atau mengatasi permasalahan-
permasalahan sebagaimana dikemukakan tersebut, terdapat beberapa hal yang
dapat dilakukan dalam membangun sistem perencanaan dan penganggaran
xii
pembangunan nasional yang terintegrasi, antara lain pembaharuan regulasi,
institusi atau mekanisme; penerapan pendekatan whole-of-government
perspective atau dalam konteks perencanaan dan pembangunan dengan mencari
solusi terhadap masalah publik secara holistik dari kepentingan publik dan
pemerintah secara keseluruhan; mentradisikan evidence-based policy dalam
proses perencanaan dan penganggaran; serta menerapkan prinsip-prinsip better
planning and budgeting regulation, seperti: sederhana dan mudah dilaksanakan;
inklusif dan konsultasi dengan pemangku kepentingan; subsidiarity -
dilaksanakan oleh tingkat pemerintahan yang paling relevan; dan
proporsionalitas – penganggaran yang diberikan sesuai dengan perencanaan
tujuan yang akan dicapai.
Sehubungan dengan hal tersebut, saya menyambut baik dilakukannya
“KAJIAN INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN” ini. Hasil
dari kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintahan yang
sedang berjalan untuk memastikan bahwa proses perencanaan dan
penganggaran pembangunan yang dilakukan harus saling terkoneksi dan saling
sinergi satu sama lain dalam sebuah sistem manajemen perencanaan dan
penganggaran yang terintegrasi untuk pembangunan bagi kesejahteraan rakyat.
Jakarta, Desember 2014
Deputi Bidang Kajian Kebijakan
Lembaga Administrasi Negara
Sri Hadiati W.K.
xiii
KATA PENGANTAR
Kajian Integrasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran ini merupakan
salah satu kegiatan kajian di lingkungan Lembaga Administrasi Negara yang
dilaksanakan oleh Deputi Bidang Kajian Kebijakan, melalui Pusat Kajian Sistem
dan Hukum Administrasi Negara.
Perlu dipahami bersama bahwa perencanaan dan penganggaran
mempunyai peran yang penting dalam rangka mendukung keberlangsungan
proses pembangunan nasional. Seiring perjalanan perkembangan negara
kesatuan republik indonesia, hubungan antara peran perencanaan dan peran
penganggaran pun mengalami berbagai dinamika perkembangan yang
berubah-ubah. Namun satu hal yang diakui dan disepakati baik oleh pemangku
peran perencanaan maupun pemangku peran penganggaran adalah bahwa
antar keduanya diperlukan sebuah sinergi yang tidak dapat dipisahkan untuk
menggerakan roda gigi pembangunan nasional.
Oleh sebab itu, “Kajian Integrasi Sistem Perencanaan dan
Penganggaran” ini dilakukan untuk memberikan alternatif solusi atas
pengakuan dan kesepakatan bahwa perencanaan dan penganggaran
merupakan sinergi yang harus terintegrasi secara kokoh dalam sistem
kebijakan pembangunan nasional. Kajian dilakukan dengan se-obyektif
mungkin dengan memperhatikan pendapat dan pandangan dari pihak
pemangku peran perencanaan dan pemangku peran penganggaran yang saat
ini tengah mengabdi, Pendapat dan pandangan tersebut dipadukan dengan
pendapat dan pandangan pembanding dari berbagai pihak lainnya, seperti
akademisi, pengamat, pengguna kebijakan perencanaan dan penganggaran
dari pemerintahan daerah maupun pemrintahan pusat, serta dari instansi
penetap kebijakan. Oleh sebab itu, hasil kajian ini diharapkan dapat
memberikan bayangan solusi berupa beberapa alternatif rekomendasi
kebijakan untuk mewujudkan suatu sistem perencanaan dan penganggaran
pembangunan nasional yang terintegrasi antar kementerian/lembaga, maupun
kelak antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para kontributor dan
narasumber, baik dari kalangan Perguruan Tinggi, Pemerintahan, maupun
organisasi non-pemerintah, yang telah berkenan bekerja sama dalam
berdiskusi dan memberikan data dan informasi yang diperlukan, serta
menyumbangkan beberapa pemikiran dan gagasannya yang menjadi bahan
utama dari bahan penyusunan kajian ini. Tanpa dukungan dan kerjasama yang
baik tersebut, kajian ini tidak akan dapat diselesaikan seperti saat ini.
xiv
Disadari bahwa banyak hal dalam hasil kajian ini yang masih belum
komprehensif dan sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang berharga
kami harapkan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan hasil karya
selanjutnya.
Akhir kata, kami harapkan muatan substantif yang disampaikan dalam
hasil kajian ini sesuai dengan tujuan, sasaran dan hasil yang ingin dicapai dari
kegiatan ini. Semoga hasil kajian ini dapat memberi manfaat, baik bagi
pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan maupun bagi para pembaca
yang berminat terhadap muatan materi hasil kajian ini
.
Jakarta, Desember 2014
Kepala Pusat Kajian Sistem
dan Hukum Administrasi Negara
Tri Saksono
xv
DAFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif (Executive Summary)……………………………….. iii
Sambutan Deputi Bidang Kajian Kebijakan
Lembaga Administrasi Negara ......................................................................
xi
Kata Pengantar …………………………………………………………………….…. xiii
Daftar Isi …………………………………………………………………………………. xv
BAB I SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DI
INDONESIA SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
1
A. Kebijakan Sistem Perencanaan dan Penganggaran
Saat Ini........................................................................................
1
B. Permasalahan Perencanaan dan Penganggaran
Kementerian/Lembaga ……....………………………………
14
C. Metode Kajian …………………...………………………………. 16
BAB II KONSEP PENATAAN SISTEM PERENCANAAN DAN
PENGANGGARAN …………………………………...………………….
17
A. Perspektif Konsep Ideal Perencanaan ………………. 17
B. Perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN) … 18
C. Perspektif Akuntabilitas …......…………………………... 21
BAB III HASIL KAJIAN PENATAAN SISTEM PERENCANAAN
DAN PENGANGGARAN ……………………………………………….
27
A. Penelitian/Kajian Terdahulu …...................................... 25
B. Studi Banding (Benchmarking) …………………………. 46
C. Pandangan Narasumber..............…………………………. 52
D. Hasil Validasi atas Draft Hasil Kajian ………………... 104
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI …………………………….. 117
A. Kesimpulan …………………………………………………........ 117
B. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 120
xvi
BAB V IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN LANGKAH TINDAK LANJUT 127
A. Dampak Hasil Kajian terhadap Kebijakan
Perencanaan dan Penganggaran …………......………..
127
B. Rencana Tindak (Action Plan) ……......………………… 128
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..………….... 131
INDEKS ………………………………………………………………………….................. 133
LAMPIRAN
1. Policy Brief Membangun Sinergi Perencanaan dan
Penganggaran
I - 1
2. Bahan-bahan Paparan Narasumber II - 1
1
BAB I
SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DI INDONESIA
SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
A. Kebijakan Sistem Perencanaan dan Penganggaran Saat Ini
Sistem perencanaan dan penganggaran mengalami reformasi dengan
ditetapkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No.15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta UU No.
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Untuk
operasionalisasi keempat Undang-Undang tersebut, pemerintah telah
mengeluarkan beberapa Peraturan Pemerintah, yaitu PP No. 20 Tahun 2004
tentang Rencana Kerja Pemerintah, PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang telah diubah dengan
PP No. 90 Tahun 2010, PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian
dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan, serta PP No. 40 Tahun 2006 tentang
Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional. Dalam rangka
keselarasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut,
dikeluarkan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri PPN/Kepala Bappenas dan
Menteri Keuangan No. 0142/M.PPN/06/2009 dan No. 1848/MK/2009 tanggal
19 Juni tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran.
Sesuai dengan ketentuan pada PP No. 21 Tahun 2004 yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari UU No. 17 Tahun 2003 ditegaskan bahwa ke depan
rencana kerja dan anggaran yang disusun harus menggunakan 3 (tiga)
pendekatan, yaitu: (1) Anggaran Terpadu (unified budget); (2) Kerangka
Pengeluaran Jangka Menengah, yang biasa disebut “KPJM” (medium term
expenditure framework); dan (3) Penganggaran Berbasis Kinerja, yang biasa
disebut “PBK” (performance based budget).
2
Reformasi sistem perencanaan dan penganggaran yang dilaksanakan
pada periode 2010-2014 pada hakekatnya adalah pemenuhan amanat dan
optimalisasi dari ketiga pendekatan tersebut dalam perencanaan
pembangunan nasional. Reformasi sistem perencanaan dan penganggaran
dilaksanakan melalui restrukturisasi program dan kegiatan yang berfokus
pada PBK. Restrukturisasi program dan kegiatan ini bertujuan mewujudkan
perencanaan yang berorientasi kepada hasil (outcome) dan keluaran (output)
sebagai dasar penerapan akuntabilitas kabinet dan akuntabilitas kinerja
Kementerian Negara/Lembaga (K/L). Sedangkan untuk kedua pendekatan
lainnya (anggaran terpadu dan KPJM) bersifat mendukung penerapan PBK.
Pendekatan anggaran terpadu merupakan prasyarat penerapan PBK,
sedangkan pendekatan KPJM merupakan jaminan kontinuitas penyediaan
anggaran kegiatan karena telah dirancang hingga 3 (tiga) atau 5 (lima) tahun
ke depan.
1. Kebijakan Sistem dan Mekanisme Perencanaan
Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, perencanaan adalah suatu proses untuk
menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan,
dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sedangkan Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dimaknai sebagai satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan
rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah,
dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan
masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
SPPN mencakup 5 (lima) pendekatan dalam seluruh rangkaian
perencanaan, yakni: (1) politik; (2) teknokratik; (3) partisipatif; (4) atas-
bawah (top-down); dan (5) bawah-atas (bottom-up).
3
Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala
Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih
menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan
yang ditawarkan masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah
(Penjelasan Umum UU No. 25 Tahun 2004). Artinya, rencana
pembangunan adalah agenda pembangunan yang ditawarkan oleh
Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye yang dijabarkan ke dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Perencanaan dengan
pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan
kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara
fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan dengan pendekatan partisipatif
dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka bertujuan untuk
mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Sedangkan,
pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan
menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan
bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan, baik di
tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, maupun Desa.
Perencanaan pembangunan terdiri dari 4 (empat) tahapan yakni:
(1) penyusunan rencana; (2) penetapan rencana; (3) pengendalian
pelaksanaan rencana; dan (4) evaluasi pelaksanaan rencana. Keempat
tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan, sehingga secara
keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan yang utuh.
Tahapan penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan
rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri
dari 4 (empat) langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan
rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur.
Langkah kedua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan
rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana
pembangunan yang telah disiapkan. Langkah ketiga adalah melibatkan
4
masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang
dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang). Sedangkan langkah keempat
adalah penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Tahapan berikutnya adalah penetapan rencana menjadi produk
hukum agar mengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Berdasarkan
UU No. 25 Tahun 2004, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
Nasional/Daerah ditetapkan dalam Undang-Undang/Peraturan Daerah,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional/Daerah
ditetapkan dalam Peraturan Presiden/Kepala Daerah, dan Rencana
Pembangunan Tahunan Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan
Presiden/Kepala Daerah.
Tahapan pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan
dimaksudkan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran
pembangunan yang tertuang dalam rencana, melalui kegiatan koreksi dan
penyesuaian selama pelaksanaan rencana tersebut yang dilakukan oleh
pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah
(K/L/SKPD). Selanjutnya, Menteri PPN/Bappenas atau Kepala Bappeda
menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana
pembangunan dari masing-masing pimpinan K/L/SKPD sesuai dengan
tugas dan kewenangannya.
Tahapan evaluasi pelaksanaan rencana merupakan bagian dari
kegiatan perencanaan pembangunan yang secara sistematis
mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai
pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan. Evaluasi ini
dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum
dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja
mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat
(benefit) dan dampak (impact). Dalam rangka perencanaan pembangunan,
setiap Kementerian/Lembaga, baik Pusat maupun Daerah, berkewajiban
5
untuk melaksanakan evaluasi kinerja pembangunan yang merupakan
dan/atau terkait dengan fungsi dan tanggungjawabnya. Dalam
melaksanakan evaluasi kinerja proyek pembangunan, Kementrian/
Lembaga, baik Pusat maupun Daerah, mengikuti pedoman dan petunjuk
pelaksanaan evaluasi kinerja untuk menjamin keseragaman metode,
materi, dan ukuran yang sesuai untuk masing-masing jangka waktu sebuah
rencana.
Berdasarkan PP No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan nasional
meliputi perencanaan pembangunan jangka panjang, perencanaan
pembangunan jangka menengah, RPJM K/L, rencana pembangunan
tahunan nasional, dan rencana pembangunan tahunan
kementerian/lembaga. Penyusunan perencanaan pembangunan jangka
panjang menghasilkan RPJP, perencanaan pembangunan jangka menengah
menghasilkan RPJM, dan perencanaan tahunan nasional menghasilkan
Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Penyusunan dokumen perencanaan –-- RPJP, RPJM, dan RKP --–
dilaksanakan melalui tahapan yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan, salah satunya melalui musrenbang, baik
musrenbang jangka panjang nasional, musrenbang jangka menengah
nasional, maupun musrenbang perencanaan tahunan.
RPJP memuat visi, misi, dan arah pembangunan nasional untuk
periode 20 (dua puluh) tahun. Dokumen ini lebih bersifat visioner dan
hanya memuat hal-hal yang mendasar, sehingga memberi keleluasaan yang
cukup bagi penyusunan rencana jangka menengah dan tahunannya.
RPJM Nasional adalah rencana pembangunan nasional untuk periode
5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program
prioritas Presiden yang disusun dengan berpedoman pada RPJP.
6
Gambar di atas menunjukkan hubungan antara RPJP Nasional,
RPJM Nasional, dan RKP beserta dokumen turunannya (Renja K/L dan
Renja SKPD). RPJM Nasional adalah rencana pembangunan Nasional
untuk periode 5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari visi, misi,
dan program prioritas Presiden yang disusun berpedoman pada RPJP.
Sementara itu, RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, yang
memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro,
rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh
pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi
masyarakat.
Tuntutan publik terhadap pemerintah demikian banyak jumlah
dan beragam jenisnya, mulai dari lahir sampai mati, mulai dari hal-hal
yang besar sampai hal-hal terkecil dalam pemenuhan kebutuhan
mendasar. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan sejumlah prioritas
Gambar 1.1 Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan
Daerah
7
nasional (2010-2014) yang meliputi: (1) reformasi birokrasi dan tata
kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan;
(5) ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan usaha;
(8) energi; (9) lingkungan hidup dan bencana; (10) daerah tertinggal,
terdepan, terluar, dan paska konflik; serta (11) kebudayaan, kreativitas,
dan inovasi teknologi. Prioritisasi terhadap program pembangunan
nasional ini sangat penting karena keterbatasan anggaran yang untuk
membiayai (costing) program-program tersebut (Sumariyandono,
2014).
Menurut Bastian (2006:37), penyusunan rencana perlu
memperhatikan kapasitas fiskal yang tersedia. Prinsip utama dalam
kegiatan perencanaan dan penganggaran adalah menyusun dan
menganggarkan prioritas kegiatan yang disepakati dengan tidak
melebihi kapasitas fiskal yang bersangkutan (Ibid: 38). Prioritas itulah
kata kunci yang dijadikan pertimbangan dalam melaksanakan
perencanaan dan penganggaran. Hal ini mengingat bahwa organisasi
memiliki sumber daya (resources) yang sangat terbatas baik sumber
daya manusia (SDM), peralatan (sarana-prasarana) dan terlebih lagi
sumber daya keuangan/fiskal.
2. Sistem dan Mekanisme Penganggaran Saat ini
Sistem dan mekanisme penganggaran era reformasi yakni sejak
terbitnya UU No. 17 Tahun 2003 telah mengalami sejumlah perubahan
yang mendasar, salah satunya adalah bahwa penyusunan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) berpedoman pada
RKP. RKP tidak lagi memuat daftar panjang usulan kegiatan K/L yang
selama ini dianggap sebagai “daftar keinginan” yang belum tentu dapat
dilaksanakan. Sebagai pedoman penyusunan RAPBN, RKP disusun dengan
mengikuti pendekatan baru dalam penganggaran yaitu penerapan
8
kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM), penerapan penganggaran
terpadu, dan penerapan penganggaran berbasis kinerja.
RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional yang memuat
rancangan kerangka ekonomi makro, termasuk di dalamnya memuat arah
kebijakan fiskal dan moneter, prioritas pembangunan, serta rencana kerja
dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah
maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Sementara, Rencana Kinerja (Renja) K/L disusun dengan
berpedoman pada Renstra K/L dan mengacu pada prioritas pembangunan
nasional dan pagu indikatif. Renja K/L memuat kebijakan, program dan
kegiatan pembangunan, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah
maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Program
dan kegiatan tersebut disusun dengan pendekatan berbasis kinerja,
kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu.
Program terdiri dari kegiatan berupa: (1) kerangka regulasi yang
bertujuan untuk memfasilitasi, mendorong, maupun mengatur kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan sendiri oleh masyarakat; dan/atau (2)
kerangka pelayanan umum dan investasi Pemerintah yang bertujuan untuk
menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan masyarakat. K/L
yang fungsinya mengatur dan/atau melaksanakan pelayanan langsung
kepada masyarakat, menyusun standar pelayanan minimum berkoordinasi
dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN),
Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga terkait.
Di lingkup pemerintah daerah, RKPD merupakan penjabaran dari
RPJMD dan mengacu kepada RKP. RKPD memuat rancangan kerangka
ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan
pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah Daerah
maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Selanjutnya, Kementerian Perencanaan melaksanakan Musrenbang
untuk menyelaraskan antar Renja K/L dan antara kegiatan dekonsentrasi
9
dan tugas pembanguan yang tercantum dalam Renja K/L dengan
rancangan RKPD. Hasil Musrenbang digunakan untuk memutakhirkan
Rancangan RKP.
Sesuai dengan ketentuan PP No. 21 Tahun 2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga,
RKA-KL terdiri dari Renja K/L dan anggaran yang diperlukan untuk
melaksanakan rencana kerja tersebut.
Di dalam Renja K/L diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program,
hasil yang diharapkan, kegiatan, dan keluaran yang diharapkan. Dalam
anggaran yang diperlukan, diuraikan biaya masing-masing program dan
kegiatan untuk tahun anggaran yang direncanakan yang dirinci menurut
jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya, serta sumber dan
sasaran pendapatan K/L yang bersangkutan. RKA-KL meliputi seluruh
kegiatan satuan kerja di lingkungan K/L termasuk kegiatan dalam rangka
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
a. Pendekatan Penyusunan Anggaran
Sebagaimana dijelaskan terdahulu, RKA-KL disusun dengan
menggunakan pendekatan KPJM, penganggaran terpadu, dan
penganggaran berbasis kinerja, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1) Pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
KPJM digunakan untuk mencapai disiplin fiskal secara
berkelanjutan. K/L mengajukan usulan anggaran untuk membiayai
program dan kegiatan dalam tahun anggaran yang direncanakan
dan menyampaikan prakiraan maju yang merupakan implikasi
kebutuhan dana untuk pelaksanaan program dan kegiatan tersebut
pada tahun berikutnya. Prakiraan maju yang diusulkan K/L
disetujui oleh Presiden dan ditetapkan dalam Keputusan Presiden
tentang Rincian APBN untuk menjadi dasar bagi penyusunan
10
usulan anggaran K/L pada tahun anggaran berikutnya, terhitung
setelah tahun anggaran yang sedang disusun.
2) Pendekatan Penganggaran Terpadu
Penyusunan anggaran terpadu dilakukan dengan
mengintegrasikan seluruh proses perencanaan dan penganggaran
di lingkungan K/L untuk menghasilkan dokumen RKA-KL dengan
klasifikasi anggaran belanja menurut organisasi, fungsi, program,
kegiatan, dan jenis belanja.
Klasifikasi menurut organisasi dilakukan sesuai dengan
struktur organisasi K/L. Klasifikasi menurut fungsi dan subfungsi
dilakukan sesuai dengan Lampiran I PP No. 21 Tahun 2004.
Klasifikasi menurut program dan kegiatan ditetapkan oleh Menteri
PPN/Kepala Bappenas berkoordinasi dengan Menteri Keuangan
berdasarkan usulan Menteri/Pimpinan Lembaga. Sedangkan,
Klasifikasi menurut rincian jenis belanja dilakukan sesuai dengan
Lampiran II PP No. 21 Tahun 2004. Perubahan terhadap klasifikasi
menurut organisasi, fungsi, sub fungsi dan rincian jenis belanja
tersebut ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.
3) Penganggaran Berbasis Kinerja
Penyusunan anggaran berbasis kinerja dilakukan dengan
memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran
dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian
hasil dan keluaran tersebut. Dalam penyusunan anggaran berbasis
kinerja diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi
kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan. Tingkat kegiatan
yang direncanakan dan standar biaya yang ditetapkan pada
permulaan siklus tahunan penyusunan anggaran menjadi dasar
untuk menentukan anggaran pada tahun anggaran yang
direncanakan dan prakiraan maju bagi program yang
bersangkutan.
11
Setelah berkoordinasi dengan K/L terkait, Menteri
Keuangan menetapkan standar biaya, baik yang bersifat umum
maupun yang bersifat khusus bagi Pemerintah Pusat. Tingkat
kegiatan yang direncanakan dan standar biaya yang ditetapkan
pada permulaan siklus tahunan penyusunan anggaran menjadi
dasar untuk menentukan anggaran pada tahun anggaran yang
direncanakan dan prakiraan maju bagi program yang
bersangkutan.
b. Pertemuan Tiga Pihak/Trilateral Meeting
Pertemuan Tiga Pihak merupakan sebuah forum pembahasan
bersama yang dilakukan antara Kementerian PPN/Bappenas,
Kementerian Keuangan, dan K/L untuk konsolidasi dan penajaman
Prioritas Nasional berikut pendanaan yang diperlukan dalam rangka
melaksanakan prioritas-prioritas tersebut. Selanjutnya, hasil
pembahasan ini akan dituangkan secara konsisten dalam RKP dan
Renja K/L.
Penyusunan Renja K/L dilakukan dengan berpedoman pada
surat yang disampaikan Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menkeu
mengenai pagu indikatif. Renja K/L disusun berdasarkan pendekatan
berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan
penganggaran terpadu yang memuat kebijakan, program dan kegiatan.
Beberapa tujuan yang hendak dicapai dengan dilaksanakannya
kegiatan Pertemuan Tiga Pihak ini adalah:
1) meningkatkan koordinasi dan kesepahaman antara Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan K/L terkait dengan
pencapaian sasaran-sasaran prioritas pembangunan nasional yang
akan dituangkan dalam RKP, pokok-pokok kebijakan fiskal dan
kebijakan belanja;
12
2) menjaga konsistensi kebijakan yang ada dalam dokumen
perencanaan dengan dokumen penganggaran, yaitu antara RPJM,
RKP, Renja K/L dan RKA-KL;
3) mendapatkan komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu
dilakukan terhadap Rancangan Awal RKP.
Pelaksanaan Pertemuan Tiga Pihak (Trilateral Meeting)
dilakukan melalui proses/mekanisme sebagai berikut:
Gambar 1.2. Mekanisme Pertemuan Tiga Pihak
Kegiatan yang dilakukan dalam Pertemuan Tiga Pihak meliputi
tahapan sebagai berikut:
1) mengacu pada Rancangan Awal RKP, Kementerian PPN/Bappenas
menyampaikan Sasaran Prioritas Pembangunan Nasional dan
13
Kegiatan Prioritas dengan target sasaran dan pendanaannya
termasuk Inisiatif Baru yang disetujui;
2) Kementerian Keuangan menyampaikan kebijakan anggaran yang
meliputi kebijakan di bidang belanja negara, kelompok biaya, jenis
belanja, dan satuan biaya. Di samping itu, Kementerian Keuangan
juga memberikan masukan atas kepatutan penggunaan anggaran
dan pelaksanaan efisiensi yang dapat dilakukan oleh K/L;
3) K/L menyampaikan arah kebijakan, rencana program dan kegiatan
prioritas yang merupakan penjabaran dari Renstra K/L.
Dalam pelaksanaan Trilateral Meeting diharapkan
menghasilkan suatu dokumen kesepakatan yang bersifat mengikat 3
(tiga) pihak dan berisikan butir-butir kesepakatan. Apabila terdapat
ketidaksepakatan antara 3 (tiga) pihak, maka dapat diambil alternatif
tindakan sebagai berikut:
1) Alternatif pertama
Butir-butir ketidaksepakatan dibahas kembali bersama-sama
dengan memperhatikan prinsip musyawarah untuk mencapai
mufakat;
2) Alternatif kedua
Butir-butir ketidaksepakatan dijadikan catatan pembahasan dalam
dokumen kesepakatan Pertemuan Tiga Pihak dan tidak perlu untuk
diputuskan dalam forum ini. Apabila dirasakan sangat perlu untuk
mendapatkan putusan atas perbedaan yang ada, maka dapat
dilakukan alternatif berikutnya;
3) Alternatif ketiga
Butir-butir ketidaksepakatan yang dianggap perlu dan penting
untuk diputuskan dapat dibawa dan diputuskan di tingkat yang
lebih tinggi (eselon I). Namun demikian, dalam hal ini perlu
memperhatikan keterbatasan waktu yang tersedia untuk
menyusun Renja K/L.
14
B. Permasalahan Perencanaan dan Penganggaran Kementerian/
Lembaga
Keterpaduan antara perencanaan dan penganganggaran merupakan isu
penting dalam konteks pencapaian tujuan pembangunan nasional. Terkait hal
itu, beberapa permasalahan mendasar yang dapat diidentifikasi antara lain
adalah:
1. belum tercapainya sinergitas program pembangunan antara berbagai K/L
untuk pencapaian prioritas pembangunan nasional maupun sasaran
nasional serta penjabarannya dalam unit eselon I dalam rangka
mendukung pencapaian sasaran K/L maupun nasional.
Mencermati susunan dokumen perencanaan mulai dari RPJP,
RPJMN, Renstra, RKP, Renja K/L sampai dengan tersusunnya RKA-KL
sesungguhnya merupakan sebuah rangkaian yang saling berhubungan satu
dengan yang lainnya. Keterkaitan antar dokumen perencanaan dari yang
paling makro sampai mikro merupakan kesatupaduan yang juga harus
dilaksanakan secara terpadu oleh setiap tingkatan pemerintahan baik
pusat maupun daerah.
Khusus di tingkat Pusat, sinergitas program pembangunan antar
K/L menjadi poin penting yang harus diperhatikan dalam menjamin
adanya keterkaitan antara program yang dijalankan pada satu kementerian
dengan yang lainnya. Sinergitas pelaksanaan program pembangunan yang
terjaga dengan baik akan dapat mengurangi terjadinya overlapping antar
K/L.
Tumpang tindih pelaksanaan program sudah sering terjadi dan
cenderung sulit dihindari, karena masing-masing pihak mengklaim bahwa
urusan yang dilaksanakan memang menjadi kewenangannya. Hal lain yang
menyebabkan terjadinya tumpang tindih tersebut karena kedudukan
Menteri PPN/Kepala Bappenas yang setara dengan K/L lainnya sehingga
tidak dapat menegur apabila terjadi hal-hal sebagaimana tersebut.
15
Di sisi lain, Kementerian PPN/Bappenas sebagai koordinator dalam
pelaksanaan program pun tidak berjalan optimal, karena kewenangan
anggaran tidak lagi berada di bawah pengendalian Bappenas namun di
bawah Ditjen Anggaran. Selain itu, kegiatan trilateral meeting yang
dilaksanakan dalam rangka penyusunan Renja K/L yang pada gilirannya
akan melahirkan RKA-KL dinilai belum mampu menunjukkan hasil yang
sesuai harapan. Proses trilateral meeting dinilai hanya sarana normatif
guna memenuhi peraturan perundangan, sementara dampaknya belum
terlihat dalam penataan program, kegiatan dan anggaran K/L.
2. belum konsistennya perencanaan program dan penganggaran pada setiap
tahunnya.
Terjadinya inkonsistensi program dan anggaran diidentifikasi
bahwa tidak semua program/kegiatan yang tertuang dalam Renja K/L
dapat dibiayai sepenuhnya. Hal ini disebabkan dokumen Renstra dan
dokumen penganggaran belum sepenuhnya selaras.
Mengutip pendapat Dian P.N. Simatupang (2014), penyebab
munculnya beberapa permasalahan tersebut disebabkan adanya ill-
structured problems, yaitu suatu kondisi atau keadaan dimana peraturan
perundang-undangan dan peraturan kebijakan melahirkan masalah yang
begitu luas, begitu banyak jumlahnya, dan tidak teridentifikasi. Dalam
konteks perencanaan dan penganggaran, kondisi ill-structured problems
tersebut menyebabkan beberapa hal berikut : (1) tujuan bernegara yang
belum dipahami sebagai tujuan keuangan negara; (2) perencanaan yang
tidak sinkron dengan penganggaran; serta (3) latar belakang pengambilan
keputusan atas perencanaan dan penganggaran yang termuat dalam
Undang-Undang tentang APBN, kurang memiliki latar belakang rasionalitas
yang dapat dipertanggungjawabkan legitimasinya. Konsekuensinya,
pemerintah mengalami kerumitan dalam mewujudkan tujuan bernegara,
karena implementasi pembangunan tidak berjalan sesuai dengan
16
perencanaannya, atau setidaknya penganggaran kurang dilandasi dengan
rasionalitas perencanaan yang kuat. Padahal, Pasal 23 ayat (1) UUD 1945
mengamanatkan tujuan penganggaran adalah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
C. Metode Kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif, yang menggambarkan
permasalahan adanya disintegrasi dalam sistem perencanaan dan
penganggaran. Pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan dengan cara
mencermati studi terdahulu, studi benchmarking, dan focussed group discussion
(FGD). Selanjutnya, dilakukan validasi draft hasil kajian dengan narasumber di
daerah dan perguruan tinggi.
Narasumber kajian ini adalah para pakar dan praktisi yang memiliki
keilmuan serta keahlian terkait perencanaan dan penganggaran. Dari kalangan
pakar, narasumber kajian ini berasal dari Universitas Indonesia, Universitas
Padjadjaran, Universitas Sumatera Utara, Universitas Airlangga, Universitas
Udayana, dan Universitas Gadjah Mada. Sedangkan, narasumber praktisi kajian
ini berasal dari Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas,
Sekretariat Kabinet, Kementerian Hukum dan HAM, serta beberapa K/L
lainnya.
Pengolahan data dilakukan dengan menyeleksi data berdasarkan
permasalahan atau isu yang diangkat. Analisis data dilakukan dengan
menggabungkan 2 (dua) metode, yaitu : (1) analisis isi (content analysis) dan
(2) analisis data sekunder (secondary data analysis). Seluruh data yang
terkumpul dan dinilai layak, kemudian dielaborasi untuk merumuskan
pengertian, ruang lingkup, dan permasalahan yang berkembang, serta pokok-
pokok solusi yang dapat diajukan dalam kajian ini.
17
BAB II
KONSEP PENATAAN
SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
A. Perspektif Konsep Ideal Perencanaan
Secara konseptual, Mintzberg mendefinisikan perencanaan sebagai
pemikiran tentang masa depan, pengendalian masa depan, pengambilan
keputusan, dan integrasi pengambilan keputusan (1994: 7-9). Terkait definisi
perencanaan sebagai pemikiran tentang masa depan, Bolan (1974)
sebagaimana dikutip Mintzberg menyatakan bahwa perencanaan
menunjukkan tentang berpikir masa depan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Sawyer (1983) yang menyatakan bahwa perencanaan adalah tindakan yang
ditata di awal.
Newman (1951), menyatakan bahwa hampir semua pekerjaan, agar
dapat dilakukan sepenuhnya dengan baik, harus direncanakan, setidaknya
secara informal dan dilakukan beberapa menit sebelumnya. Dalam hal
pengendalian masa depan, Weick (1979), sebagaimana dikutip Mintzberg
(1994), perencanaan adalah desain masa depan yang diinginkan dan cara
efektif untuk melaksanakan hal tersebut. Sejalan dengan hal itu, Ackoff (1970)
berpendapat bahwa orang lain mengekspresikan beberapa pemikiran ketika
mereka mendefinisikan tujuan perencanaan sebagai “menciptakan perubahan
yang terkendali dalam lingkungan”.
Terkait dengan proses pengambilan keputusan, Koontz (1958),
sebagaimana dikutip Mintzberg (1994: 8), menyatakan bahwa perencanaan
sebagai penentuan secara sadar tindakan yang dirancang untuk mencapai
tujuan. Menurut Koontz, segala sesuatu dimulai dengan perencanaan,
kemudian memutuskan.
18
Perencanaan merupakan integrasi pengambilan keputusan,
sebagaimana disampaikan Ackoff (1970) dalam Mintzberg (1994:9) sebagai
berikut:
“Planning is required when the future state that we desire involves a set
of interdependent decisions; that is, a system of decisions…the principal
complecity in planning deries from the interrelated-ness of the decisions
rather than from the decisions themselves”.
Perencanaan diperlukan jika keadaan masa depan yang kita inginkan
melibatkan 1 (satu) set keputusan yang saling keterkaitan, yaitu, sistem
keputusan .... kompleksitas utama dalam perencanaan berasal dari
keterkaitan keputusan bukan dari keputusan itu sendiri. Jelas sekali
bahwa perencanaan berkaitan dengan berbagai keputusan yang saling
terintegrasi antara satu dengan yang lain.
Dalam konteks perencanaan, perencanaan pembangunan dimaknai
sebagai pemrograman suatu strategi pemerintahan dalam pembangunan
nasional dengan menggunakan sistem intervensi dan mekanisme pasar
(Myrdal, dalam Bappenas 2010). Sedangkan, menurut Kartasasmita (Bappenas,
2010) perencanaan pembangunan diartikan sebagai pendekatan manajemen
stratejik secara lebih eksplisit dalam menyusun rencana pembangunan, dengan
menggunakan konsep visi, misi dan agenda, serta instrumen kebijakan dalam
berbagai stratifikasi. Rumusan perencanaan pembangunan diperkaya dengan
perencanaan di bidang politik dan hukum serta diperkuat dengan
menempatkannya sebagai bidang pembangunan tersendiri. Sedangkan
pemikiran pembangunan perekonomian berdasarkan pada paradigma
ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan masyarakat.
19
B. Perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN)
Permasalahan disharmonisasi perencanaan dan penganggaran
disebabkan oleh adanya ill-structured problems sebagaimana diuraikan di atas,
sehingga perlu dibangun upaya untuk mewujudkan keterpaduan antara sistem
perencanaan dan penganggaran dalam kerangka pembangunan nasional.
Upaya dimaksud diwujudkan dalam bentuk penataan kembali atau reposisi
terhadap perencanaan dan penganggaran pembangunan, baik secara
perspektif sistem perencanaan maupun perspektif HAN. Reposisi tersebut
meliputi: (1) reposisi sistem dan tindakan hukum (rechshandelingen) tugas dan
fungsi instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran; (2)
reposisi sistem dan hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) antar-wewenang
instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran; serta (3)
reposisi sistem dan kedudukan hukum (rechstatus) kelembagaan instansi yang
melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran. Lebih lanjut mengenai
masing-masing reposisi sebagaimana diuraikan sebagaimana berikut ini.
1. Pendekatan reposisi sistem dan hubungan hukum (rechtsbetrekkingen)
antar wewenang instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan
penganggaran.
Konsep reposisi hubungan antar wewenang dimaksudkan untuk
tetap mempertahankan kelembagaan yang menangani tugas dan fungsi
perencanaan dan penganggaran. Dalam konsep ini, yang perlu diubah atau
diperbaiki adalah hubungan kerja antarlembaga yang selalu dibatasi
dengan kewenangan yang dimilikinya. Kewenangan atau wewenang itu
sendiri merupakan hak dan kekuasaan untuk bertindak; serta kekuasaan
untuk membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung
jawab kepada orang lain. Dengan kata lain, pendekatan ini dapat
disederhanakan: lembaga tetap seperti saat ini, serta fungsi dan tugas
organisasi tetap, tetapi hubungan wewenang perlu diperbaiki.
20
Setiap organisasi memiliki kewenangan (authority) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang melandasinya. Namun, terkadang
timbul permasalahan pelaksanaan kewenangan dalam hubungan kerja
dengan lembaga lain. Sebagai contoh, Direktorat Jenderal (Ditjen)
Anggaran Kementerian Keuangan mempunyai kewenangan untuk merevisi
usulan anggaran yang disampaikan K/L. Namun, timbul pertanyaan,
apakah keputusan yang diambil tersebut sesuai dengan yang diharapkan?
Demikian pula Bappenas yang memiliki kewenangan untuk mengoreksi
program/kegiatan yang termuat dalam perencanaan jangka
pendek/tahunan. Patut dipertanyakan, sejauhmana kewenangan tersebut
dilaksanakan dalam hubungannya dengan instansi lain. Hal ini kiranya
menarik untuk dikaji dalam rangka mewujudkan keterpaduan sistem
perencanaan-penganggaran.
2. Pendekatan reposisi sistem dan tindakan hukum (rechshandelingen) tugas
dan fungsi instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan
penganggaran.
Pendekatan kedua, konsep reposisi tugas dan fungsi dimaksudkan
untuk mempertahankan kelembagaan dan wewenang yang dimilikinya,
namun perlu melakukan perubahan dalam hal tugas dan fungsinya
(lembaga tetap, wewenang tetap, serta fungsi dan tugas berubah). Tugas
adalah sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk
dilakukan; pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang atau
pekerjaan yang dibebankan. Sedangkan tugas pokok adalah sasaran utama
yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai. Adapun fungsi adalah
jabatan (pekerjaan) yang dilakukan. Dengan kata lain, pendekatan ini
bermaksud meletakkan pekerjaan perencanaan dan penganggaran ini
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sebagai contoh, tugas
perumusan perencanaan pembangunan nasional selama ini melekat pada
setiap K/L/Daerah (K/L/D) dengan dipayungi oleh Bappenas sebagai
21
“penyelenggara perencanaan pembangunan nasional” dalam perencanaan
pembangunan nasional, dari perencanaan jangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek. Oleh karenanya, dapat dikatakan instansi
yang memiliki tugas pokok di bidang perumusan perencanaan
pembangunan nasional di Indonesia adalah Bappenas. Sementara itu, tugas
pokok pengelolaan keuangan negara anggaran melekat pada Kementerian
Keuangan, yang dalam konteks anggaran adalah penyusunan Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN).
Persoalannya, bagaimanakah agar tugas dan fungsi tersebut dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien. Hal ini berhubungan erat dengan
pendekatan pertama –-- hubungan wewenang antarlembaga –--
sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Sebagai contoh: dalam penyusunan
anggaran, sejauhmana Ditjen Anggaran Kemenkeu melakukan perumusan
kebijakan terkait penyusunan anggaran. Penyusunan anggaran/RAPBN
terkait dengan dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun
oleh Bappenas. Pertanyaannya, apakah memungkinkan Ditjen Anggaran
Kemenkeu memperluas/mereposisi tugas dan fungsi tersebut?
3. Pendekatan reposisi sistem dan kedudukan hukum (rechstatus)
kelembagaan/instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan
penganggaran.
Konsep reposisi kelembagaan/instansi disebut juga dengan
restrukturisasi kelembagaan, artinya terjadi perubahan terhadap
kelembagaan yang menangani fungsi perencanaan dan penganggaran.
Penataan kelembagaan semacam ini dengan sendirinya akan mengubah
hubungan wewenang antar lembaga dan tusi organisasinya.
Berbagai rekomendasi penataan kelembagaan bidang perencanaan
dan penganggaran telah disampaikan ke publik, yang terakhir adalah
rekomendasi LAN (2014) agar fungsi perencanaan dan penganggaran
dilaksanakan oleh Kantor Kepresidenan Urusan Perencanaan dan
22
Penganggaran. Posisi lembaga ini berada langsung di bawah kantor
kepresidenan, sebagaimana yang telah berlaku di Amerika Serikat.
C. Perspektif Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan
negara, sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Akuntabilitas berarti
bahwa setiap program dan kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kinerja atau hasilnya kepada rakyat selaku pemegang
kedaulatan. Dengan demikian, setiap program dan kegiatan pada setiap
instansi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan kinerja atau manfaat
yang dihasilkan kepada masyarakat. Hal tersebut juga sejalan dengan
penjelasan UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara yang
mengamanatkan kinerja berorientasi pada hasil sebagai asas pengelolaan
keuangan negara.
UU No. 17 Tahun 2003 menegaskan pentingnya penggunaan anggaran
sebagai alat akuntabilitas. Sejalan dengan hal itu, Undang-Undang ini juga
menegaskan perlunya mengintegrasikan sistem akuntabilitas kinerja ke dalam
sistem penganggaran, untuk menghindari terjadinya duplikasi laporan yang
menimbulkan inefisiensi waktu dan biaya. Kebijakan lain yang selaras dengan
hal tersebut adalah PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Pemerintah, sebagai turunan dari UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Peraturan Pemerintah tersebut mengamanatkan
bahwa sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah harus terintegrasi
dengan sistem perencanaan, sistem penganggaran, sistem perbendaharaan dan
sistem akuntansi pemerintah.
Menurut Direktorat Jenderal Anggaran, manajemen kinerja adalah
suatu proses strategis dan terpadu yang menunjang keberhasilan organisasi
melalui pengembangan kinerja aspek-aspek yang menunjang keberadaan suatu
organisasi. Pada implementasinya, manajemen kinerja tidak hanya
23
berorientasi pada salah satu aspek, melainkan aspek-aspek terintegrasi dalam
mendukung jalannya suatu organisasi.
Saat ini belum ada keselarasan antara sistem perencanaan, sistem
penganggaran, dan manajemen kinerja, baik dalam hal struktur dan kerangka
logis kinerja, istilah dan definisi, jenis dan format formulir, penanggung jawab
kinerja organisasi; dan aplikasi pengolahan data dan informasi kinerja. Tidak
ada benang merah antara perencanaan kinerja dengan penganggaran, sehingga
apa yang akan dicapai sering kali tidak sinkron dengan uang yang tersedia.
Kondisi sebagaimana tersebut di atas memunculkan dua isu strategis,
yaitu:
1. Laporan Kinerja Pemerintah Pusat dan Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (LAKIP) pada tingkat kementerian/lembaga belum
berorientasi pada hasil/outcome, serta belum dapat menjawab target
prioritas RPJMN karena tidak tersedia informasi hasil dalam Laporan
Kinerja masing-masing K/L;
2. Banyak duplikasi pekerjaan bagi instansi pemerintah dalam menyusun
dokumen perencanaan, penganggaran, monitoring dan evaluasi, serta
pelaporan keuangan dan kinerja.
Berangkat dari kondisi tersebut, perlu sebuah proses untuk
menyeragamkan gerak langkah dalam mewujudkan sistem yang berorientasi
pada hasil (outcome), peningkatan akuntabilitas kinerja instansi K/L, dan
mengurangi duplikasi dalam penyusunan dokumen dan pelaporan sehingga
diharapkan dapat menyederhanakan form dan laporan, menciptakan efisiensi,
penganggaran dan pelaporan yang lebih mudah, serta data dan informasi yang
terintegrasi. Dengan terlaksananya hal-hal tersebut, kinerja instansi
pemerintah yang selama ini belum berorientasi hasil dan belum terukur dapat
berubah menjadi kinerja yang terukur.
Ruang lingkup penyelarasan penganggaran dan manajemen kinerja
adalah:
24
1. Kerangka pengintegrasian, arsitektur program, kegiatan dan informasi
kinerja, kerangka kerja logis, istilah dan definisi; dan
2. Pengintegrasian dokumen dan data pelaporan, yang meliputi pada
penyederhanaan dokumen perencanaan, format dokumen pelaporan dan
evaluasi serta penanggung jawab kinerja pada tingkatan organisasi yang
digunakan dalam sistem perencanaan dan manajemen kinerja.
Pengintegrasian informasi dilakukan dengan melakukan penyelarasan
informasi kinerja yang ada pada dokumen-dokumen dalam ketiga sistem
tersebut sesuai dalam ilustrasi gambar di bawah ini.
Gambar 2.1. Perencanaan setelah Pengintegrasian
Gambar tersebut menjelaskan sebagai berikut.
1. Dokumen Perencanaan Jangka Menengah: RPJM Nasional dan Rencana
Strategis Kementerian/ Lembaga (Renstra K/L);
2. Dokumen Perencanaan Tahunan : Rencana Kerja dan Keuangan K/L yang
merupakan pengintegrasian dokumen tahunan yang ada yaitu: RKP,
Rencana Kerja Tahunan (RKT), Renja K/L, RKA K/L, Penetapan Kinerja
(PK) dan Daftar Isian Pagu Anggaran (DIPA);
25
3. Dokumen Pelaksanaan dan Monitoring dan Evaluasi (Monev) : Monev
Akuntabilitas Kinerja, Monev Rencana Kerja Pembangunan dan Monev
Rencana Kerja Anggaran.
4. Dokumen Pelaporan Pertanggungjawaban Tahunan : Laporan Kinerja
Instansi, Laporan Kinerja Pemerintah, Laporan Pembangunan Nasional,
Laporan Keuangan Instansi, Laporan Keuangan Pemerintah.
26
27
BAB III
HASIL KAJIAN PENATAAN SISTEM PERENCANAAN DAN
PENGANGGARAN
A. Penelitian/Kajian Terdahulu
Kajian integrasi perencanaan dan penganggaran sesungguhnya bukan
merupakan hal yang baru dalam konteks efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan. Beberapa penelitian/kajian terkait dengan persoalan dimaksud
telah dilakukan oleh berbagai lembaga baik pemerintah maupun
nonpemerintah, di antaranya:
1. Kajian Desain Kelembagaan Pemerintah Pusat7
Kajian ini dilakukan oleh Pusat Kajian Inovasi Kelembagaan dan
Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara (PIKSA LAN) pada
tahun anggaran 2013. Kajian berawal dari masalah postur kelembagaan
pemerintah pusat saat ini yang bisa dikatakan masih belum mencerminkan
kelembagaan yang tepat ukur (rightsize) sesuai dengan kebutuhan dan
beban kerja organisasi. Keberadaaan UU No. 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara yang sudah efektif dijalankan sejak Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) II masih belum bisa menghadirkan suatu potret
kelembagaan Pusat yang tepat ukuran dan fungsi, efisien, dan efektif.
Bahkan jumlah kelembagaan pemerintah mengalami penambahan secara
signifikan, terutama untuk Lembaga Non Struktural (LNS).
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yang telah dilakukan,
maka arah penataan dalam mendesain kelembagaan pemerintah pusat,
adalah sebagai berikut:
7 Hasil kajian dari Pusat Kajian Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Lembaga
Administrasi Negara (PIKSA LAN) pada tahun anggaran 2013
28
a) Kondisi kelembagaan pemerintah pusat belum mencerminkan
kelembagaan yang tepat ukur (rightsize) sesuai dengan kebutuhan dan
beban kerja organisasi yang ideal. Walupun dengan telah adanya UU
No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang telah dijalankan
sejak Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB ke II), tampak masih belum bisa
menghadirkan suatu potret kelembagaan Pusat yang tepat ukuran dan
fungsi, efisien, dan efektif. Hal ini terlihat dari pembesaran struktur,
perubahan nomenklatur, banyaknya tumpang tindih dan duplikasi
tugas dan fungsi, sampai pada pembentukan lembaga-lembaga baru
yang cukup signifikan;
b) Dalam menentukan desain kelembagaan pemerintah pusat yang
mampu menjawab tantangan perubahan dan permasalahan tersebut,
ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama yaitu mandat
konstitusi, tantangan lingkungan strategis, pergeseran dalam wacana
pengelolalaan kepemerintahan (governance issues), kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, dan penataan kelembagaan yang
efektif dan efisien (machinery government)
Berdasarkan hal tersebut, maka kajian desain kelembagaan
pemerintah pusat ini memberikan arah penataan dengan menghasilkan
rekomendasi terhadap arsitektur kabinet untuk pemerintahan periode
2014-2019, sebagai berikut :
Tabel 3.1 Arsitektur Kabinet Untuk Pemerintahan Periode 2014-2019
Kementerian
Portofolio
(Departemen)
Kementerian Non
Portofolio (Meneg)
Kantor
Kepresidenan
Absolut
1. Keuangan
2. Hukum dan Imigrasi
(Kewarganegaraan)
16. Ketenagakerjaan
dan
Transmigrasi
17. Hak asasi
1. Setneg
2. Urusan
Pembangunan
Nasional:
29
Kementerian
Portofolio
(Departemen)
Kementerian Non
Portofolio (Meneg)
Kantor
Kepresidenan
3. Pertahanan
4. Agama
(kepercayaan)
5. Luar Negeri
Skala Nasional
6. Kesehatan dan
Kesejahteraan
Rakyat (Sosial)
7. Pendidikan (dasar
dan menengah),
Kebudayaan,
Pemuda dan Olah
Raga
8. Pendidikan Tinggi,
Ilmu pengetahuan
dan teknologi
Sumber daya alam:
9. Energi dan Sumber
Daya Mineral
10. Pertanian
(perkebunan,
perikanan,
peternakan)
11. Kehutanan dan
Lingkungan Hidup
12. Maritim (kelautan)
13. Pertanahan
Fasilitas pelayanan
umum/infrastruktur:
14. Transportasi,
15. PekerjaanUmum &
Pemukiman
manusia (Hak
anak,
Perempuan)
18. Komunikasi dan
Informasi
Perekonomian:
19. Industri dan
perdagangan,
koperasi dan
UMKM
20. Pariwisata
21. BUMN
22. Dalam Negeri
(administrasi
Kependudukan
dan catatan sipil)
Bappenas dan
Anggaran
3. Urusan yang
terkait penataan
birokrasi: MenPAN
dan RB, LAN, dan
BKN
4. Urusan
Pengawasan
(BPKP dan UKP4)
5. Urusan
Desentralisasi dan
Otonomi Daerah
(Wantimpres dan
DPOD)
30
Dari tabel di atas, pengintegrasian perencanaan dan penganggaran
diletakkan pada Kantor Urusan Pembangunan Nasional: Bappenas dan
Anggaran. Dari kegiatan tersebut, Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber
Daya Aparatur (PIKSA) LAN kemudian melakukan seminar nasional
“Arsitektur Kabinet 2014-2019: Meretas Jalan Pemerintahan Baru” dan
mengajukan tiga opsi penataan kabinet pasca Pilpres 2014 yang meliputi
opsi ideal, moderat, dan soft.
Dari ketiga alternatif kabinet di atas, integrasi perencanaan dan
penganggaran terlihat pada usul pembentukan Kantor Kepresidenan yaitu
Kantor Urusan Pembangunan Nasional (Perencanaan dan Anggaran).
2. Kajian Sinergitas Perencanaan dan Penganggaran8
Kajian sinergitas perencanaan dan penganggaran merupakan
kajian yang dilakukan oleh Biro Hukum Kementerian PPN/Bappenas.
Metode yang digunakan kajian ini adalah Regulatory Impact Assesment
(RIA), yaitu suatu metode yang menilai secara sistematis, komprehensif
dan partisipatif dampak positif dan negatif adanya suatu kebijakan
(regulasi atau non regulasi) maupun rancangan kebijakan yang akan
ditetapkan.
Permasalahan yang dibahas adalah :
a. sinergitas antara perencanaan pembangunan dengan penganggaran
nasional;
b. sinergitas antara perencanaan pembangunan dengan penganggaran
daerah; maupun
c. sinergitas antara perencanaan pembangunan nasional dengan
perencanaanpembangunan daerah
8 Hasil kajian dari Biro Hukum Kementerian PPN/Bappenas
31
Untuk mendapatkan tujuan yang diharapkan terkait dengan kajian
ini, disusun 4 (empat) alternatif kebijakan, yaitu:
a. Alternatif Kebijakan I :
Do nothing (tidak melakukan apa-apa).
b. Alternatif Kebijakan II :
Konstruksi regulasi tetap seperti saat ini, tetapi perlu melakukan upaya
peningkatan kualitas perencanaan pembangunan dan penganggaran.
c. Alternatif Kebijakan III :
Tata aturan regulasi tetap seperti saat ini, tetapi perlu melakukan
harmonisasi dan perbaikan rumusan substansi peraturan.
d. Alternatif Kebijakan IV :
Simplifikasi Regulasi dengan menerbitkan satu Undang-Undang baru
yang menjadi payung peraturan di bidang perencanaan pembangunan
dan penganggaran.
Berdasarkan hasil kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa masih
terdapat permasalahan sinergitas perencanaan pembangunan dan
penganggaran pada ketiga level sebagaimana disampaikan di atas.
Permasalahan yang telah diidentifikasi disebabkan oleh berbagai hal
sebagai berikut:
a. Legal Structure, meliputi :
1) Tata cara pelaksanaan perencanaan pembangunan dan
penganggaran belum menjadi satu kesatuan yang sistemik serta
diatur dalam banyak peraturan yang terpisah bahkan di antaranya
ada yang bertentangan;
2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur
pula perencanaan pembangunan dan penganggaran (di daerah).
Sayangnya pengaturan perencanaan pembangunan dan
penganggaran pada UU No. 32 Tahun 2004 tersebut pada beberapa
32
ketentuannya bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2003 dan UU
No. 25 Tahun 2004.
3) UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 25 Tahun 2004 menggunakan
pendekatan perencanaan sektoral dan regional, sedangkan UU No.
32 Tahun 2004 menggunakan pendekatan kewenangan/
konkruensi.
4) Terdapat beberapa rumusan kalimat dalam UU No. 17 Tahun 2003
dan UU No. 25 Tahun 2004 yang menimbulkan interpretasi yang
beragam (multi interprestasi) dan sulit dipahami oleh stakeholders.
5) Tidak ada muatan sanksi (administratif) bagi pihak-pihak yang
tidak mengikuti Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
6) Tidak ada peraturan yang lebih tinggi di atas Undang-Undang yang
dapat menjadi perekat perencanaan pembangunan dan
penganggaran dan yang dapat menyelesaikan pertentangan dan
perbedaan penafsiran antar Undang-Undang. Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional, memiliki landasan hukum yang sangat
lemah hanya diatur melalui Undang-Undang yang mudah berubah
seiring dengan pergantian Presiden dan DPR. Demikian pula halnya
dengan Rencana Kerja Pemerintah hanya diatur dengan Peraturan
Presiden, padahal APBN diatur dengan Undang-Undang.
7) Kelembagaan penyusunan perencanaan dan penganggaran
terpisah. Di tingkat pusat fungsi koordinasi penyusunan
perencanaan pembangunan nasional ada di Kementerian
PPN/Bappenas, sedangkan fungsi penganggaran ada di
Kementerian Keuangan. Apapun yang direncanakan, keputusan
akhir ada di anggaran. Di tingkat Daerah, peran Kementerian Dalam
Negeri dalam proses perencanaan pembangunan daerah dan
33
penganggaran cukup besar. Keterlibatan perencanaan
pembangunan dilakukan melalui Ditjen Bangda, sedangkan dalam
penganggaran melalui Ditjen Keuangan Daerah. Namun antara
Ditjen Bangda dan Ditjen Keuangan Daerah, belum ada koordinasi
yang baik.
8) Tidak ada otoritas tunggal yang mengendalikan pelaksanaan
perencanaan pembangunan dan penganggaran, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian belum maksimal dalam
mengkoordinasikan lembaga perencanaan pembangunan
(Kementerian PPN/Bappenas) dan lembaga penganggaran
(Kementerian Keuangan). Berbeda dengan Amerika Serikat, di
mana perencanaan pembangunan dan penganggaran ada pada satu
lembaga yakni, Office of Management and Budget (OMB).
b. Legal Substance, meliputi :
1) Substansi perencanaan pembangunan dan penganggaran belum
tajam mengarah pada upaya mencapai tujuan pembangunan. Di
mana permasalahan utama yang muncul adalah tidak adanya
prioritas yang jelas (prioritas pembangunan dalam dokumen
perencanaan poembangunan sangat banyak dan tidak focus) serta
program K/L yang tidak mengarah pada pencapaian program
nasional.
2) Program dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
dapat berbeda dengan Program Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional. Ada Program Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional yang tidak dimuat/dilaksanakan oleh Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
3) Pelaporan (dan evaluasi) masih bersifat parsial dan belum
dijadikan sebagai bahan penyusunan rencana. Kementerian/
34
Lembaga yang memberikan laporan kepada Kementerian
PPN/Bappenas hanya sedikit.
4) Muncul dokumen perencanaan yang dianggap sebagai dokumen
tandingan seperti Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011- 2025, dan berbagai
Rencana Aksi Nasional.
5) Perencanaan pembangunan, terutama jangka panjang, tidak
mengakomodasi perubahan. Belum ada ruang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang maupun Rencana Pembangunan
Jangka Menengah untuk mengubah rencana berdasarkan
kebutuhan dan perubahan lingkungan strategis.
6) Periodisasi pemilihan kepala daerah berbeda/tidak bersamaan
antar daerah sehingga periodesasi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah menjadi tidak bersamaan antar daerah yang
menyebabkan pula berbedanya substansi Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional.
7) Produk Kementerian PPN/Bappenas yang mendukung Produk
Utama Kementerian PPN/Bappenas (RPJPN, RPJMN, dan RKP)
kurang memadai.
c. Legal Culture, meliputi :
1) Terdapatnya ego kelembagaan dan lemahnya koordinasi internal
lembaga pemerintah. Koordinasi Kementerian PPN/Bappenas
dengan Kementerian Keuangan yang belum terlaksana dengan baik.
Bahkan koordinasi Ditjen Bangda (Perencanaan) dan Ditjen
Keuangan Daerah (APBD) yang berada dalam satu lembaga
(Kementerian Dalam Negeri) belum terlaksana dengan baik.
35
2) Kepentingan Politik DPR (Legislative Heavy), dimana saat ini DPR
turut berperan menentukan kebijakan teknis dan operasional,
seperti turut menentukan kegiatan dan costing.
3) Masih rendahnya SDM perencana baik di tingkat pusat maupun
daerah yang menyebabkan kualitas perencanaan pembangunan
dan penganggaran tidak memadai dalam mencapai tujuan
pembangunan.
4) Pola komunikasi Kementerian PPN/Bappenas dengan Presiden,
Kementerian/Lembaga, dan masyarakat yang belum efektif.
Akibat yang ditimbulkan dengan tidak adanya sinergitas
perencanaan pembangunan dan penganggaran tersebut berdampak pada
a. tidak efektifnya perencanaan pembangunan dalam mencapai tujuan
Negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945;
dan
b. tidak efesiennya belanja Negara.
Sebagai contoh bukti nyata dampak sebagaimana tersebut di atas
tercermin dalam hasil penelitian Rini Octaviani9 yang memetakan
konsistensi perencanaan dan penganggaran Bidang Pendidikan Dasar dan
Menengah di Kabupaten Solok Selatan. Hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa:
a. hanya 50 % Program RPJMD yang sinkron dengan RPJPD;
b. hanya 75% Renstra Dinas Pendidikan yang sinkron dengan RPJMD;
c. hanya 60% APBD sinkron dengan Renja Dinas Pendidikan bidang
Pendidikan Dasar; dan
d. hanya 25% APBD sinkron dengan Renja Dinas Pendidikan bidang
Pendidikan Menengah.
9 Rini Octaviani, Analisa Konsistensi Perencanaan dan Penganggaran Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah di Kabupaten Solok Selatan, Universitas Andalas, 2008.
36
Analisis biaya manfaat kemudian diterapkan untuk mendapatkan
alternatif terbaik dari alternatif kebijakan yang ada. Opsi yang diambil
adalah alternatif kebijakan yang mempunyai manfaat terbesar, yaitu
menghitung semua manfaat dikurangi semua biaya.
Kesimpulan dari kajian ini adalah dari berbagai alternatif kebijakan
yang ada, alternatif yang terpilih adalah alternatif II, yaitu “konstruksi
regulasi tetap saat ini, tetapi perlu melakukan upaya peningkatan kualitas
perencanaan dan penganggaran”.
3. Kajian Integrasi dan Sinkronisasi Perencanaan Pembangunan Bidang
Pekerjaan Umum Berbasis SAKIP dengan Reformasi Sistem
Perencanaan dan Penganggaran.10
Kajian yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum ini
berusaha mengetahui apakah proses perencanaan pembangunan di bidang
Pekerjaan Umum yang selama ini dilakukan telah sejalan dengan kebijakan
reformasi sistem perencanaan dan penganggaran yang dilakukan
pemerintah.
Pada periode 2000-2004 sistem perencanaan pembangunan
diterapkan berdasarkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No. 07 Tahun 2009. Sistem perencanaan
tersebut mewajibkan instansi pemerintah untuk menerapkan penyusunan
Rencana Strategis (Renstra) dan evaluasinya berupa Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) secara berjenjang sampai dengan
Tingkat Eselon II.
Hal yang perlu diperhatikan dalam sistem ini adalah ketentuan
tersebut belum mengatur mengenai komponen sistem dan materi
substansial dari kedua pedoman tersebut secara berjenjang sesuai dengan
10
Hasil kajian dari Kementerian Pekerjaan Umum
37
tahapan perencanaan baik perencanaan jangka panjang (20 tahun)
maupun perencanaan jangka menengah 5 (lima) tahunan. Ketentuan
tersebut juga belum menggambarkan keterkaitan yang jelas dengan sistem
perencanaan dan penganggaran berdasarkan dokumen Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Implikasinya adalah sulit untuk mengukur
akuntabilitas kinerja dan hasil pembangunan dalam rangka pencapaian
sasaran nasional maupun kementerian. Pengukuran kinerja berbasis
program juga masih sulit diukur sehingga akuntabilitas dan efisiensi
penggunaan anggaran belum terlihat.
Pada periode 2004-2009 sistem perencanaan dan penganggaran
mengalami reformasi dengan ditetapkannya Undang-undang No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang No. 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kedua peraturan
perundang-undangan tersebut melandasi sistem perencanaan dan
pemrograman namun mempunyai landasan filosofi yang berbeda sehingga
diperlukan keselarasan dokumen perencanaan dan penganggaran yang
diturunkan dari kedua undang-undang tersebut beserta turunannya yaitu:
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja
Pemerintah, Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga, serta
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian
dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan dan PP No. 40 Tahun 2006
tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional.
Hal yang perlu diperhatikan dari sistem ini adalah masih belum
dapat diterapkan sepenuhnya pengintegrasian program yang bersifat lintas
K/L untuk pencapaian prioritas pembangunan nasional maupun sasaran
nasional serta penjabaran program Eselon I dalam mendukung pencapaian
sasaran kementerian maupun nasional. Permasalahan lainnya adalah
belum konsistennya pemrograman dan penganggaran setiap tahunnya
melalui Konsultasi Regional (Konreg) karena dokumen Renstra dan
38
dokumen penganggaran belum sepenuhnya selaras serta belum dapat
dilakukan sinkronisasi program.
Dalam rangka menjamin konsistensi tersebut, maka penyusunan
perencanaan harus memperhatikan arahan di dalam UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara berkenaan dengan penerapan
Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting), Berjangka
Menengah (Medium Term Expenditure Framework) dan amanat tersebut
menegaskan agar penyusunan strategi pembangunan nasional juga
memperhitungkan kerangka pendanaan, merupakan wujud dari salah satu
tujuan UU No. 25 Tahun 2004 menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
Ke depan, anggaran Negara baik pusat maupun daerah menjadi
anggaran berbasis kinerja, yaitu anggaran yang dihitung dan disusun
berdasarkan perencanaan kinerja. Untuk itu diperlukan kajian kinerja
penyelenggaraan pembangunan bidang pekerjaan umum melalui
pengembangan SAKIP berbasis arsitektur program, dalam upaya
menyiapkan materi pengembangan perencanaan dan program
pembangunan bidang pekerjaan umum.
Untuk mendukung pelaksanaan upaya-upaya tersebut, Menneg
PPN/Kepala Bappenas dengan Menkeu menyusun buku pedoman sebagai
acuan dalam penerapan reformasi perencanaan dan penganggaran bagi
seluruh K/L, yang tertuang dalam Surat Edaran Bersama Menneg PPN/Ka
Bappenas (0142/M.PPN/06/2009) dan Menkeu (SE 1848/MK/2009)
tanggal 19 Juni 2009 tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan
Penganggaran, yang terdiri atas :
a. Pedoman Restrukturisasi Program dan Kegiatan
b. Pedoman Penerapan Pengangaran Berbasis Kinerja (PBK)
39
Hasil kajian ini adalah:
a. Prinsip dasar integrasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan
bidang pekerjaan umum berbasis sistem AKIP dengan reformasi sistem
perencanaan dan penganggaran meliputi :
1) Penerapan kerangka disiplin fiskal jangka menengah : Resources
Envelope;
2) Penerapan kerangka alokasi pada prioritas : Restrukturisasi
Program dan Kegiatan;
3) Penerapan kerangka efisiensi teknis pelaksanaan.
b. Materi muatan (implementasi) perencanaan pembangunan bidang
pekerjaan umum berbasis sistem AKIP dengan reformasi sistem
perencanaan dan penganggaran diwujudkan dalam semua dokumen
perencanaan pembangunan Kementerian Pekerjaan Umum, yang
meliputi :
1) Dokumen Rencana Strategi (Renstra). dengan jangka waktu
perencanaan 5 tahun;
2) Dokumen Rencana Kerja (Renja) dengan jangka waktu
perencanaan 1 tahun;
3) Dokumen Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), dengan jangka
waktu perencanaan 1 tahun;
4) Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP); dan
5) Laporan Keuangan.
4. Kajian Sewindu Implementasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
dalam Perspektif Stakeholders.11
Kajian ini merupakan kajian Bappenas yang bertujuan untuk
mendapatkan informasi perspektif kementerian/lembaga dan Bappeda
11
Hasil kajian dari Bappenas
40
mengenai pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2004 dan untuk mengetahui
kendala pelaksanaannya serta mendapatkan saran dan solusi atas
permasalahan yang ada.
Sembilan tahun sejak ditetapkannya UU No. 25 Tahun 2004,
ternyata masih terdapat banyak permasalahan. Undang-undang yang
diharapkan dapat menjadi pedoman dalam penyusunan perencanaan di
tingkat pusat dan daerah ternyata masih menghadapi berbagai
permasalahan dan tantangan yang antara lain dapat kita bagi dari sisi
terpisahnya proses perencanaan dan penganggaran, permasalahan proses
perencanaan di antar kementerian/lembaga dan permasalahan proses
perencanaan di pusat dan di daerah.
a. Permasalahan dari segi perencanaan dan penganggaran
Permasalahan utama dalam perencanaan adalah terpisahnya
antara perencanaan dan penganggaran. Dalam Pasal 8 poin a, b, c UU
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa
dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri
Keuangan mempunyai tugas untuk menyusun kebijakan fiskal dan
kerangka ekonomi makro, menyusun rancangan APBN dan rancangan
Perubahan APBN dan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran.
Pasal 12 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa
Penyusunan Rancangan APBN yang disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam
menghimpun pendapatan negara, berpedoman kepada RKP dalam
rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Dalam Penjelasan
UU No. 17 Tahun 2003, fungsi perencanaan cenderung dihilangkan.
Setahun kemudian, UU No. 25 Tahun 2004 berupaya mendorong fungsi
perencanaan. Dari sini terlihat bahwa undang-undang perencanaan dan
penganggaran yang ditetapkan terpisah dan saling mengisolasi (Jón R.
41
Blöndal, Ian Hawkesworth and Hyun-Deok Choi, “Budgeting in
Indonesia”, OECD 2009).
b. Permasalahan perencanaan di Kementerian/Lembaga
Permasalahan yang dihadapi K/L dalam proses penyusunan
perencanaan pembangunan antara lain disebabkan oleh peraturan
pelaksana dari UU No. 25 Tahun 2004 yang kurang jelas. Turunan UU
No. 25 Tahun 2004 adalah PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan dan PP
No. 40 Tahun 2006 tentang Rencana Penyusunan Pembangunan
Nasional.
Berikut ini adalah beberapa permasalahan yang terjadi dalam
proses perencanaan di K/L:
1) Dalam forum Musrenbangnas, dengan terbatasnya waktu,
kemungkinan yang bisa disinkronkan adalah rencana kerja yang
levelnya di bawah RKP/RKPD yaitu Renja Kementerian/Lembaga
dengan Renja SKPD walaupun hal ini juga mengalami kendala.
Praktek dalam pelaksanaan Musrenbang yang sering dialami oleh
Kementerian/Lembaga adalah, materi yang dibahas bukan
mengenai RKP dan RKPD namun cenderung kepada kegiatan
dekonsentrasi/tugas pembantuan yang dirancang K/L yang
disandingkan dengan kegiatan dekonsentrasi/tugas pembantuan
yang diusulkan oleh daerah.
2) Permasalahan selanjutnya adalah tidak semua kegiatan prioritas
nasional K/L masuk ke dalam daftar persandingan (long list) dan
hanya masuk dalam short list. Seleksi short list dari long list hanya
berdasar kegiatan prioritas nasional K/L yang mendapatkan
alokasi anggaran besar saja yang masuk short list. c. Permasalahan
lainnya yang dihadapi oleh K/L adalah kualitas Renja K/L yang
dihasilkan tidak maksimal. Kualitas penyusunan Renja K/L
42
dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: terbatasnya waktu
dalam penyusunan Renja K/L, aplikasi Renja K/L yang berubah
setiap tahun serta keterbatasan waktu sejak masuknya Renja K/L
ke Bappenas ke penyelenggaraan Musrenbangnas padahal materi
yang disiapkan Bappenas bersumber dari Renja K/L yang
kualitasnya kurang baik.
Beberapa usulan mengenai perencanaan pembangunan untuk
kedepannya seharusnya lebih difokuskan pada pendekatan
kewilayahan. Diharapkan melalui pendekatan kewilayahan, ego
sektoral cenderung berkurang dan memberikan peluang lebih besar
dalam proses ‘bottom up planning’.
c. Permasalahan Perencanaan di Pusat dan di Daerah
Permasalahan juga ditemukan dalam sinkronisasi antara
perencanaan pembangunan di pusat dan di daerah. Banyak
ketidakselarasan siklus perencanaan pembangunan antara pusat dan
daerah yang menyulitkan tercapainya sinergi pembangunan lintas
sektor, antar ruang, antar waktu, maupun antara pusat dan daerah.
Dalam uraian Bab IV tentang Analisis Hasil Survey dan FGD
kajian ini, dapat disimpulkan bahwa UU No. 25 Tahun 2004 belum
mencapai tujuan dari SPPN sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 ayat (4)
yaitu:
“Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk:
a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi
baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi
pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
43
e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara
efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Koordinasi antar pelaku pembangunan belum berjalan dengan
baik. Hal ini dikarenakan kurangnya peran Bappenas dan Bappeda
dalam mengkoordinasikan perencanaan pembangunan. Integrasi,
sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu,
antar fungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah juga belum
tercipta, salah satunya dikarenakan adanya disharmoni, inkonsistensi
dan pertentangan antar peraturan perundang-undangan. Ada
ketentuan yang saling bertentangan (ada konflik norma), tidak
konsisten, dan tidak dapat dijalankan antara peraturan yang satu
dengan peraturan yang lain. Dikarenakan peran Bappenas dan Bappeda
yang hanya dapat mengawal pada tahap perencanaan saja, maka SPPN
juga dinilai belum dapat menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. Oleh
karena itu dengan perencanaan dokumen perencanaan pembangunan
yang kurang optimal, pelaksanaan SPPN berdasarkan UU No. 25 Tahun
2004 dinilai belum dapat menjamin tercapainya penggunaan sumber
daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Ketidaktercapaian tujuan SPPN tersebut kemudian
terakumulasi dan menjadikan pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2004
menurut perspektif stakeholders dinilai kurang dapat dilaksanakan dan
dijalankan secara efektif dan efisien. Sehingga dengan demikian perlu
adanya beberapa perbaikan dan pembenahan mekanisme serta
penambahan aturan pelaksanaan dari UU No. 25 Tahun 2004 untuk
dapat memperjelas dan mengoptimalkan UU No. 25 Tahun 2004 dalam
mendukung pelaksanaan SPPN.
44
Kajian ini mengusulkan beberapa saran sebagai berikut:
a. perlu dilakukan harmonisasi antar peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hasil survey dan FGD, ada disharmoni, inkonsistensi dan
pertentangan antar peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang Perencanaan Pembangunan Nasional.
b. perlu pembuatan aturan pelaksana baru dari UU No. 25 Tahun 2004
dan memperkuat aturan pelaksana yang sudah ada.
c. perlu penguatan SDM Perencana dan kelembagaan instansi diklat
perencanaan.
d. perlu untuk memperkuat peranan Bappenas dan Bappeda.
5. Kajian Penerapan dan Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja 12
Kajian ini dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan c.q. Ditjen
Anggaran. Tujuan kajian ini adalah untuk menilai kontribusi penerapan
anggaran berbasis kinerja bagi kesejahteraan rakyat Indonesia,
mengidentifikasikan faktor-faktor pendorong dan penghambat efektifnya
pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, dan menyusun implementasi
anggaran berbasis kinerja yang tepat, cepat, dan transparantif yang
mengarah pada transparansi good governance.
Berdasarkan kajian ini disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
a. Menerapkan penganggaran berbasis kinerja memang tidak semudah
membalik telapak tangan, karena butuh proses dan upaya serius dari
berbagai pihak terkait, khususnya kementerian/lembaga dan otoritas
anggaran. Sebagai hal yang baru diterapkan di K/L, sangat wajar kalau
masih ada kelemahan. Yang penting adalah upaya untuk terus
berbenah agar penganggaran berbasis kinerja tidak melenceng dari
filosofi dan tujuannya;
b. Reformasi dalam pengelolaan anggaran negara memang membutuhkan
dukungan sistem penganggaran yang lebih responsive. Dengan
12
Hasil kajian dari Kementerian Keuangan c.q. Ditjen Anggaran
45
demikian bisa memfasilitasi tuntutan peningkatan kinerja, dalam artian
dampak pembangunan, kualitas layanan dan efisiensi pemanfaatan
sumber daya. Beberapa paradigma baru mengenai pengelolaan
keuangan negara telah terlontar, seperti konsepsi kerangka
penganggaran jangka menengah.
Beberapa rekomendasi yang diberikan oleh kajian tersebut antara
lain:
a. Terkait dengan perencanaan kinerja, Bappenas, Departemen Keuangan
dan K/L perlu merestrukturisasi dan memetakan penamaan program
dan kegiatan dalam RKP, Renja dan RKA-KL sehingga pendefinisian
program lebih mencerminkan outcome pemerintah yang dapat
dinikmati masyarakat dan berisi program-program yang menjadi core
business masing-masing K/L. Keterkaitan antara output kegiatan dan
outcome program harus tergambar dengan jelas. Oleh karena itu,
Bappenas bersama-sama dengan K/L perlu menyiapkan tolok ukur
kinerja untuk setiap instansi pemerintahan yang menjadi ukuran
keberhasilan instansi tersebut;
b. Dalam mendukung proses penyusunan anggaran, Departemen
Keuangan perlu menyusun standar biaya umum yang lebih berorientasi
ke output/outcome. Masing-masing instansi juga didorong untuk
menyusun Harga Standar Biaya Khusus per kegiatan dan program.
Penyusunan standar biaya tersebut dilakukan dengan suatu
studi/penelitian selama beberapa tahun atau menggunakan benchmark
yang cocok;
c. Sedangkan dalam melakukan pembahasan dan alokasi anggaran, DPR
mempergunakan data kinerja sebagai acuan. Untuk itu, data
perencanaan kinerja (Renja) dan pelaporan kinerja (LAKIP) semestinya
juga disampaikan kepada DPR agar menjadi referensi dalam
pembahasan anggaran.
46
d. Selanjutnya, format dokumen anggaran (RKA-KL dan APBN) perlu
disempurnakan. Departemen Keuangan perlu menyederhanakan
formulir RKA-KL agar tidak perlu detil sampai dengan sub kegiatan
tetapi cukup sampai dengan program dan kegiatan saja dan difokuskan
pada hal-hal strategis yang merupakan layanan instansi pemerintah
kepada masyarakatnya.
Format dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) perlu diatur ulang agar
tidak sampai rinci ke pengendalian input (ke mata anggaran
pengeluaran), tetapi lebih fokus ke pengendalian atas kinerja yang
dihasilkan (output) dan manfaat yang dapat dinikmati oleh
masyarakat/stakeholders (outcome). Hal penting yang perlu diingat
adalah bahwa penganggaran kinerja tidak boleh berhenti hanya sampai
penyusunannya, namun harus diatur mekanisme pelaporannya agar
dapat memberikan umpan balik untuk peningkatan kinerja. Untuk itu,
Departemen Keuangan bersama-sama dengan Bappenas, LAN, dan
Menpan juga perlu mendisain pelaporan realisasi anggaran berbasis
kinerja yang mengintegrasikan laporan kinerja dan anggaran, seperti
yang dilakukan Australia dengan Annual Report-nya.
B. Studi Banding (Benchmarking)
Harrington & Harrington (1996) mendefinisikan benchmarking sebagai
berikut "benchmarking is a continuous process of comparison, projection, and
implementation". Dalam pengertian tersebut sangat ditekankan adanya proses
yang terus menerus berkesinambungan dalam hal membandingkan, membuat
proyeksi dan juga dalam pelaksanaan program. Sementara McNair & Leibfried
(1992) mendefinisikan “benchmarking is an external focus on internal activities,
fungtions or options in order to achieve continuous improvement".
Benchmarking lebih ditekankan kepada pengamatan ekternal untuk melihat
kegiatan/program, fungsi-fungsi maupun operasional dalam organisasi sendiri
dalam rangka peningkatan atau keberhasilan yang berkesinambungan.
47
Benchmarking sering dinamakan dengan ”patok duga praktik terbaik”
atau ”patok duga proses” yaitu suatu proses yang digunakan dalam manajemen
(terutama manajemen strategis), dimana organisasi mengevaluasi berbagai
aspek proses bisnis untuk menghasilkan praktik terbaik di dalam industri,
dengan membuat perbandingan sistematik kinerja dan proses organisasi untuk
menghasilkan standar baru atau penyempurnaan proses. Dari pengertian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa benchmarking adalah suatu cara
yang sistematik dan berkesinambungan untuk dapat mengidentifikasi produk-
produk unggulan, pelayanan yang prima, proses yang efisien dan efektif, sistem
operasi organisasi yang tepat dan dapat dilaksanakan, dalam rangka menekan
biaya, memperpendek siklus produksi, serta dapat meningkatkan kepuasan
pelanggan.
Untuk melihat praktik perencanaan dan penganggaran di dunia, dalam
laporan ini disampaikan deskripsi sistem perencanaan dan penganggaran di
negara Amerika Serikat, Belanda, dan Singapura, sebagaimana diuraikan
berikut ini.
1. Amerika Serikat
Peran perencanaan dan penganggaran di Amerika dilakukan oleh
sebuah lembaga yaitu Office Management Budgeting (OMB) atau Kantor
Manajemen Penganggaran. OMB adalah kantor anggaran pusat di Amerika
Serikat dan merupakan badan pemerintahan yang sangat kuat. OMB
merupakan bagian dari Kantor Eksekutif Presiden dalam Gedung Putih.
Direktur OMB adalah setingkat menteri dan anggota Presiden Kabinet. Di
samping fungsi penganggaran sebagai intinya, OMB juga memiliki peran
penting untuk dalam mengawasi koordinasi dan pengelolaan untuk
seluruh cabang eksekutif Presiden. Ini berasal dari fakta bahwa OMB
merupakan pengubung yang kuat kepada semua kementerian dan
lembaga yang berbeda yang memberikan sebuah kewenangan yang unik
untuk mengawasi badan-badan lain. OMB juga merupakan pusat clearing
48
house untuk semua komunikasi antara cabang eksekutif dan Kongres.
Semua undang-undang dan masukan lain untuk Kongres harus mendapat
“cleared” oleh OMB.
Berikut adalah gambaran peran OMB dalam proses perencanaan
dan penganggaran.
a. April : Bimbingan April. OMB mengeluarkan surat kepada departemen
untuk membuat spesifikasi pendanaan secara umum dan mengajukan
usulan program dan manajemen.
b. Juni/Juli : pembahasan pada musim semi. OB menerbitkan panduan
rinci OMB (Circular A-11) tentang informasi yang harus disertakan oleh
badan-badan dalam pengajuan anggaran mereka.
c. Juli/September : Departemen menyusun dan menyampaikan
permintaan anggaran kepada OMB.
d. Oktober/November : Pembahasan. OMB memutuskan total besaran
anggaran yang akan diberikan kepada departemen.
e. November/Desember : Proses Banding dari departemen. Dan
pengambilan Keputusan akhir oleh Presiden.
f. Desember/Januari : OMB dan departemen menyelesaikan dokumentasi
anggaran.
g. Sebelum selasa pertama pada bulan Februari : Anggaran Presiden
dikirimkan kepada Kongres.
2. Belanda
Kebijakan perencanaan dan penganggaran pembangunan di
Belanda didasarkan pada coalition agreements. Aspek kebijakan anggaran
melalui coalition agreements telah menjadi kunci dan terbukti sebagai alat
yang sangat baik untuk kontrol keuangan publik.
Dalam konteks model coalition agreements, ada dua lembaga yang
mempunyai peran sebagai pangatur penting dalam perencanaan dan
49
penganggaran. Lembaga tersebut yaitu Central Planning Bureau (CPB) dan
Ministry of Finance (Kementerian Keuangan).
CPB memainkan peran dalam pengembangan kebijakan anggaran
yang terkandung dalam coalition agreements. CPB adalah institusi sangat
unik. Merupakan lembaga pemerintah, tapi benar-benar independen; dan
mendapat kepercayaan dari semua partai politik dan masyarakat luas.
Sebelum pemilu, CPB akan mengeluarkan perkiraan ekonomi untuk empat
tahun mendatang. Semua partai politik menggunakan asumsi-asumsi
ekonomi CPB sebagai dasar untuk kebijakan program partai mereka.
Partai-partai politik yang lebih besar menyerahkan kebijakan program
partai mereka ke CPB menjelang pemilu untuk biaya dan untuk menilai
dampak ekonomi mereka. Kebijakan program partai ini umumnya sangat
rinci. Meskipun tidak ada kewajiban hukum diberlakukan bagi partai
politik, merupakan bagian dari budaya politik Belanda. Bahkan analisis
oleh CPB sering mengklarifikasi program partai politik sebagai
inkonsistensi atau kesalahan dalam program yang diusulkan. Sebagai
prakiraan ekonomi CPB diambil sebagai "pemberian" dan fakta bahwa
CPB telah menghitung biayanya dan menilai dampak ekonomi dari
kebijakan program partai politik yang berbeda, Perjanjian negosiasi
Koalisi berjalan lebih lancar daripada yang akan terjadi. Ketika kebijakan
baru, atau kompromi kebijakan sedang dinegosiasikan, CPB akan menilai
dampaknya juga berperan penting dalam proses perumusan anggaran.
Perannya unik di antara anggota negara-negara OECD. Hal ini penting
untuk mengurus independensi dan semua partai politik dan masyarakat
luas.
Ministry of Finance (Kementerian keuangan) memainkan peran
dalam proses penganggaran tahunan. Peran yang dimainkannya antara
lain merekap semua usulan policy letters dari semua kementerian yang
berisi proposal kebijakan pengeluaran, memberikan saran kepada semua
usulan kementerian berdasarkan total maksimal pembelanja negara pada
50
tahun anggaran yang akan berjalan. Kemudian kabinet melakukan
coalition agreements menetapkan kebijakan pendapatan dan melakukan
penyesuaian dari sisi rencana pengeluaran.
Tahapan proses perencanaan penganggaran di Belanda adalah
sebagaimana diuraikan berikut ini.
a. Januari-Maret : Kementerian Keuangan meng-update proyeksi
pengeluaran multi-tahun. Kementerian mengkompilasi proposal
kebijakan pengeluaran. Kementerian Keuangan dan kementerian
pengeluaran terus melakukan kontak.
b. Maret : setiap kementerian pengeluaran mengirim policy letters ke
Departemen Keuangan menguraikan proposal baru kebijakan
(pengeluaran).
c. April : Kabinet bertemu untuk memutuskan kerangka anggaran.
Departemen Keuangan mengirimkan Surat tentang Total pengeluaran
maksimal kementerian menghabiskan untuk tahun mendatang.
d. Mei-Juni : Negosiasi antara Kementerian Keuangan dan kementerian
pengeluaran pada komposisi rinci anggaran mereka.
e. Agustus : Kabinet bertemu untuk membuat keputusan tentang
pendapatan dan membuat akhir penyesuaian pengeluaran anggaran.
f. Selasa ketiga September : Menteri Keuangan mempresentasikan
anggaran ke DPR.
3. Singapura
Penganggaran di Singapura menggunakan system top-down
sebagaimana negara-negara OECD lainnya, namun demikian sistem
penganggaran Singapura menggabungkan berbagai fitur unik dan inovatif.
Terdapat enam fitur unik dan inovatif dalam penyusunan anggaran
Singapura yakni (1) Aturan fiskal yang terkandung dalam Konstitusi, (2)
Pagu pengeluaran untuk kementerian ("blok") yang dibuat multi-tahun,
terkait langsung dengan perkembangan PDB, dan sepenuhnya sepadan
51
dengan semua kategori pengeluaran, (3) Ekstraksi anggaran (pemotongan
belanja) yang teraplikasi di semua aspek untuk mendanai realokasi antar
kementerian, (4) Dana abadi di mana surplus anggaran ditempatkan, yang
pada gilirannya mendanai berbagai barang yang berasal dari pendapatan
investasi tahunan mereka, (5) Kontrol tenaga kerja yang terpusat
(penghitungan per kepala) dan sistem biaya tambahan jika melebihi, dan
(6) Alokasi underspending yang terus-menerus.
Tidak ada lembaga khusus yang menangani perencanaan
pembangunan. Untuk fungsi perencanaan pembangunan dilaksanakan
oleh sebuah komite yang disebut Komite Perencanaan Pembangunan
(DPC) yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan
Industri, dan menteri-menteri sektoral. Sedangkan kementerian keuangan
menangani penerimaan/pendapatan, kekayaan dan perbendaharaan
negara.
Siklus perencanaan dan penganggaran di Singapura, dapat
digambarkan sebagai berikut :
a. Juni : Tinjauan strategis tahunan, pertemuan bilateral dengan masing-
masing kementerian. Perhitungan asumsi ekonomi.
b. Juli : Pagu anggaran masing-masing kementerian ditetapkan.
c. Agustus : Pertemuan whole-of-government/sectoral rapat gabungan
dengan kelompok kementerian.
d. September: Kementerian mengajukan tawaran Dana Reinvestasi
mereka.
e. Pertengahan Oktober: Kementerian menyerahkan alokasi plafon
anggaran mereka.
f. Akhir Oktober: Keputusan mengenai tawaran Dana Reinvestasi
diumumkan.
g. Akhir Oktober: Pertemuan ulasan anggaran: pertemuan bilateral
dengan masing-masing kementerian.
h. November: Kementerian memperbaiki alokasi akhir mereka.
52
i. Desember: Finalisasi anggaran.
j. Februari: Usulan anggaran yang diajukan ke Parlemen.
C. Pandangan Narasumber
1. Pandangan Ernest Patria Raihan13
Ernest Patria Raihan (2014) dari Direktorat Jenderal Anggaran
Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa permasalahan terkait sistem
perencanaan dan penganggaran meliputi antara lain:
a. Ketidakjelasan proses prioritisasi dan pengambilan keputusan
kebijakan;
b. Myopia syndrome dalam melihat konteks kebijakan belanja;
c. Tidak jelasnya keterkaitan antara Prioritas Makro Pemerintah dengan
Struktur Belanja dalam Kebijakan Pendanaan Anggaran (Macro-Micro
Linkages);
d. Pengaturan yang relatif detail, kebijakan belanja menjadi “kehilangan”
aspek pendekatan strategisnya;
e. Masih bersifat “Compliance Oriented” dan belum pada “Performance
Oriented”;
f. Pendefinisian kinerja dalam kebijakan anggaran masih terkonsentrasi
di level mikro, informasi kinerja kehilangan makna strategis, baik dari
sisi analisis kebijakan dan terutama sebagai alat bantu pengambilan
keputusan strategis;
g. Pendefinisian “output” dan “outcome” belum mencerminkan arsitektur
“performance” yang tepat;
h. Belum ada Kerangka Kinerja (performance framework) sehingga sulit
untuk “memetakan” kinerja sinergis pemerintah;
i. Pemetaan kinerja antar K/L dan antar unit kerja masih belum tertata
dengan jelas;
13
Salah satu pejabat struktural pada Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan
53
j. Pemahaman prinsip Penganggaran Berbasis Kinerja yang masih lemah,
sehingga kebijakan belanja tidak didukung informasi kinerja yang
relevan.
Berdasarkan permasalahan yang diidentifikasikan tersebut,
kemudian Ernest menyampaikan beberapa pemikiran upaya yang harus
dilakukan untuk melakukan perbaikan, sebagaimana berikut ini.
a. Mempertajam definisi kebijakan prioritas dalam perencanaan nasional.
Sederhana, Lugas dan Memiliki Target yang SMART (specific,
measureable, achievable, timely).
b. Memperjelas tugas dan fungsi K/L, lebih koordinatif serta Tema Fokus
Prioritas.
c. Manajemen kinerja dalam kebijakan belanja anggaran.
Kerangka kinerja yang terstruktur baik, dengan fokus kepada:
a. Cascading and Downstream Flows (untuk menciptakan pemetaan
keterkaitan antara macro priorities dengan micro structure of budget
spending)
b. Penciptaan kerangka kinerja sinergis dan pemetaan kinerja
(Performance Framework and Mapping)
c. Definsi dan Informasi Kinerja yang tepat
d. Melembagakan dan mengoptimalkan peran dan masukan masyarakat,
terutama yang merupakan target kebijakan, untuk dapat secara formal
memberi masukan bagi disain dan review kebijakan
e. Kerangka regulasi yang operatif dan transparan dalam memberi
“ruang” bagi partisipasi masyarakat dalam mendisain manfaat yang
ingin diciptakan melalui kebijakan yang didanai anggaran publik
54
2. Pandangan Sumariyandono14
Sumariyandono (2014) dari Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, menyatakan bahwa permasalahan terkait sistem perencanaan
dan penganggaran meliputi antara lain :
a. Jumlah output sangat banyak dan bersifat input;
b. Belum seluruhnya SMART;
c. Lebih bersifat internal perspective;
d. Lemahnya keterkaitan indikator dengan output;
e. Masih adanya inkonsistensi kebijakan dalam dokumen perencanaan
dengan target dokumen anggaran;
f. Keluaran yang dihasilkan dari lintas institusi masih menjadi kendala
dalam pelaksanaan;
g. Proses efisiensi masih ditekankan pada kepatuhan penggunaan SBM
(lebih berfokus pada input);
h. SBK belum dijadikan benchmark tool untuk output sejenis;
i. Masih terfokus pada aspek penyerapan anggaran;
j. Belum banyak informasi yang dihasilkan;
k. Belum adanya mekanisme umpan balik hasil evaluasi untuk
perencanaan berikutnya;
l. Masih kurangnya pemahaman terhadap konsep baseline;
m. Belum adanya standar proses Review Baseline;
n. Sinkronisasi dengan pihak terkait untuk pengajuan proposal dan
perhitungan kapasitas fiskal belum terkoordinasi dengan baik;
o. Proses pengambilan keputusan belum melibatkan pengambil
kebijakan.
14
Pejabat pada Deputi Bidang Pebiayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
55
Berdasarkan permasalahan yang diidentifikasikan tersebut,
kemudian Sumariyandono menyampaikan beberapa pemikiran upaya yang
harus dilakukan untuk melakukan perbaikan, sebagai berikut:
Perlu penyempurnaan indikator kinerja sebagai bagian dari perbaikan
logic model RKA-KL (pedoman penyusunan indikator);
Perlu memisahkan indikator untuk program dan kegiatan yang bersifat
generik;
Perlu integrasi dan konsistensi data target RKP, Renja KL, dan RKA-KL
Perlunya peraturan yang lebih jelas untuk memayungi keluaran yang
dihasilkan oleh lintas institusi;
Perlu meningkatkan efisiensi melalui penggunaan struktur biaya,
melakukan sinkronisasi kebijakan remunerasi, pengoptimalan SBK;
Perlunya evaluasi kinerja meliputi 3 (tiga) aspek, yakni :
1) Aspek Implementasi;
2) Aspek Manfaat;
3) Aspek Konteks;
Perlunya sistem evaluasi kebijakan berjalan (PAKEM) yang digunakan
sebagai data dasar penyusunan perencanaan berikutnya;
Perlu Penyusunan mekanisme Review Baseline;
Perlu kedisiplinan semua pihak dalam mengajukan New Inisiative
sesuai aturan dan azas PFM;
Perlu revisi terkait batas usulan pagu dan mekanisme penilaian serta
periode pengajuannya.
3. Pandangan Jayadi (Bappenas)15
Jayadi (2014) dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
menyampaikan pandangan Telaah Kritis Terhadap Sinergi Perencanaan
15 Fungsional Perencana, Direktorat Otonomi Daerah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
56
Pembangunan Pusat - Daerah di Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah
sebagai berikut.
a. Perkembangan Perencanaan Pembangunan Nasional
Perencanaan pembangunan nasional merupakan sebuah haluan
mendasar bagi semua komponen bangsa untuk menentukan eksistensi
kesejahteraan dan kemajuan bangsa di masa mendatang. Perencanaan
pembangunan tidak hanya dipandang sebagai dokumen pembangunan
normatif. Perencanaan harus menjadi kekuatan bagi proses pemerintahan
dan pembangunan suatu negara. Urgensi perencanaan sangat menentukan
strategi dan arah kebijakan Pemerintah dalam melaksanakan roda
pemerintahan dan pembangunan. Perencanaan juga merupakan langkah
awal bagi bangsa manapun untuk mengawali perjuangan dalam
mendapatkan semua cita-cita luhur yang selama ini diimpikan bersama.
Kemajuan sebuah bangsa dan negara sangat ditentukan dengan kualitas
perencanaan pembangunan yang lebih baik.
Bagaimana sebuah amanat luhur dari para pendiri bangsa akan
selalu menggetarkan semangat pembangunan bangsa ini ?. Semua jelas
tercermin dari nilai perencanaannya. Perencanaan adalah resource awal
bagi upaya perwujudan kemajuan bangsa. Kita yakin, bahwa dengan
perencanaan pembangunan yang baik, bangsa ini mampu mewujudkan
“mimpi yang terbeli” dari para pendiri bangsa. Perencanaan adalah modal
manifestasi perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan. Hakikat
mendasar dari amanat konstitusi tersebut, akan selalu membutuhkan
bentuk perencanaan pembangunan yang tepat dan terintegrasi dengan
baik secara nasional.
57
Sepanjang sejarah pendirian bangsa Indonesia, sistem perencanaan
masih mengalami banyak perubahan konsep dan mekanisme yang terus
berkembang. Sistem perencanaan pembangunan di Indonesia menjadi
masalah yang selalu krusial dengan perkembangan politik dan iklim
demokratisasi yang ada. Begitu pentingnya perencanaan pembangunan
bagi bangsa kita, sehingga selalu memunculkan dinamika perkembangan
sistem perencanaan pembangunan yang cukup intensif. Sejak awal
kemerdekaan sampai saat ini, sistem perencanaan negara kita terus
mencari bentuk dan pola yang ideal. Sistem perencanaan pembangunan
masih terus berupaya mengembangkan potensi atau sumber daya bangsa
secara optimal dalam konteks efisiensi, efektivitas, berkeadilan, dan
berkelanjutan. Perubahan setiap sistem perencanaan pada perbedaan
zaman memang sangat wajar, karena sebuah perencanaan pada dasarnya
memang didesain untuk tanggap terhadap segala bentuk perubahan
yang ada secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh.
b. Pengkotomian Perencanaan dan Peganggaran Dalam Sinergi
Pusat - Daerah
Di negara-negara maju perencanaan terpusat dan sudah digantikan
oleh sistem Kerangka Pendanaan Jangka Menengah (Midum Term
Expenditure Framework), penganggaran terpadu, evaluasi kinerja, forum
antarpemangku kepentingan yang lebih intensif, dan didasari dengan
kebijakan otonomi luas. Sedangkan, di negara berkembang sepertinya tidak
ada resep sukses yang sama untuk semua negara. Sebagai contoh, Badan
Perencana Mongolia dan Malaysia diletakkan di kantor Perdana Menteri. Di
Filipina, NEDA (National Economic and Development Authority)
merupakan badan independen yang langsung dipimpin Presiden. India
mempunyai Planning Commission yang dipimpin PM sebagai ex-officio
Chairman. China membentuk NDRC (National Development and Reform
Commission) sebuah sebuah super-ministry dengan otoritas luas yang
58
sangat dipengaruhi sistem politik negara tersebut. Pertanyaan mendasar,
apakah Indonesia membutuhkan perencanaan dan penganggaran sebagai
satu kesatuan entitas atau terpisah?
Dalam perjalanan kebijakan perencanaan dan penganggaran di Era
reformasi sampai saat ini, proses sinergi pusat-daerah, tidak lepas dari 3
(tiga) regulasi terkait, yaitu UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN, UU No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Proses pengkotomian antara perencanaan dan
penganggaran menjadi hal yang mendasar dalam melandasi pembahasan
mengenai permasalahan perencanaan di level pusat maupun daerah.
Pemisahan “budgeting power” dan “planning power” menjadi barometer
tersendiri bagi negara kita dalam menilai sulitnya proses sinergi
perencanaan pusat – daerah. Pemerintah daerah sering menganggap
bahwa SPPN yang didasari oleh UU No. 25 Tahun 2004 hanya mengatur
perencanaan pusat. Sedangkan, terkait regulasi yang mengatur
perencanaan daerah, Pemerintah daerah lebih “mengidolakan” pengaturan
perencanaan daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dengan peraturan perundangan turunannya. Oleh
karena itu, proses ketidakharmonisan antara sistem perencanaan dan
penganggaran di level kebijakan dan regulasi di level pusat, makin
menyebabkan proses sinergi kedua sistem tersebut menjadi sulit
diimplementasikan di daerah dengan beberapa dualisme pengaturan
antara UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004.
Secara umum, penyebab utama dari timbulnya ketidakselarasan
antara perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dan di daerah
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: (1) Kerangka regulasi yang
kurang tepat dan tidak utuh antara UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 32
Tahun 2004, dan UU 25 Tahun 004 yang terlepas satu sama lain dan
mengabaikan posisi peranan masing-masing lembaga terkait dalam SPPN;
(2) UU No. 25 Tahun 2004 berfokus pada tata cara tetapi kurang pada
59
substansi; (3) Determinasi untuk mencapai keselarasan dengan melihat
sejauhmana pemerintah menginginkan terjadi keselarasan melalui
penyusunan indikatornya, penentuan proses pengendalian dan evaluasi,
serta proses rewards dan punishment yang tampak belum jelas; serta (4)
Proses perencanaan dan penganggaran yang bergerak secara simultan
dalam waktu yang sempit (anggaran tahun tunggal), sehingga memiliki
implikasi yang sulit dalam proses pencapaian perencanaan pembangunan
terhadap periodisasi anggaran yang sama pada level pusat – daerah.
Lebih jauh, bila kita mencermati proses pengaturan perencanaan
dalam SPPN juga tidak lepas dari berbagai kekurangan. Analisis mendasar
pada kritisi UU No. 25 Tahun 2014 tersebut adalah terletak pada aspek
substansi dan administratifnya. Pengaturan kebijakan perencanaan dalam
SPPN secara umum hanya terlihat fokus pada detil tata cara semata, tetapi
spirit perencanaan tampak tidak terlihat secara tegas. Prinsip substansi
perencanaan belum sepenuhnya menjiwai UU tersebut. Selain itu, SPPN
juga belum sepenuhnya menyediakan solusi jika dalam pelaksanaan ada
perselisihan/konflik dengan peraturan tersebut, termasuk pengaturan
tegas mengenai masalah reward dan punishment. Di sisi lain, tata cara detil
yang diatur dalam UU ini juga terkesan mengabaikan kemungkinan beban
yang ditimbulkan, yakni terkait beban waktu, beban biaya, dan beban SDM
yang berkembang di tingkat pemerintahan. Porsi sumber daya Pemerintah
dari sisi kapasitas regulasi/kebijakan, aparatur, kelembagaan, keuangan,
maupun keterbatasan waktu yang dipakai untuk melaksanakan
perencanaan - penganggaran dalam mengeksekusi program dan kegiatan
tersebut, kadang juga belum diatur secara baik dalam UU No. 25 Tahun
2014 tersebut. Belum lagi ditambah proses determinasi yang belum jelas
antara pengaturan sinergi indikator dan besarannya pada level
perencanaan pusat-daerah dengan periode pengukuran yang tidak selaras.
60
Gambar Perencanaan Terintegrasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dalam UU No. 25 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2003
Melihat perkembangannya, sinergi perencanaan dalam
pembangunan pusat – daerah pada dasarnya menjadi hal yang krusial
dilakukan di Indonesia. Regulasi dan kebijakan perencanaan dan
penganggaran pada level Pemerintah dan Pemerintah Daerah sangat
dibutuhkan. Penyebaran potensi dari berbagai sumber daya di daerah yang
tidak merata sesuai dengan kapasitas dan karakteristik yang beragam,
serta aspek keterbatasan sumber pendanaan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, akan berimplikasi pada kebutuhan sinergitas program dan
kegiatan pembangunan tersebut dari setiap level pemerintahan. Oleh
karena itu, pola sinergi perencanaan dan penganggaran antara Pemerintah
61
dan Pemerintah Daerah serta antar-Pemerintah Daerah akan mempercepat
pencapaian target pembangunan nasional secara nyata. Kemudian
pertanyaannya, sudahkan regulasi dan kebijakan pembangunan
mengakomodir dari urgensi sinergi perencanaan pusat-daerah?. Sebagai
contoh, dari konsep integrasi perencanaan dan penganggaran pada level
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2014,
yang mengindikasikan level perencanaan pusat-daerah dalam konteks
tahunan maupun jangka menengah, hanya diatur dengan kata
“diperhatikan” dan “diserasikan” sudah dirasakan cukup? Itulah yang perlu
dipastikan untuk pengaturan kebijakan dan regulasi mendatang yang lebih
mengkonkretkan sinergi hubungan perencanaan dan penganggaran pada
level pusat-daerah.
Secara teoritik, proses sinergi pusat-daerah dan antar daerah
dilakukan dalam seluruh proses yang komprehensif dalam pembangunan.
Sinergi itu harus bersifat komprehensif, mulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi yang mencakup sinergi dalam
perencanaan kebijakan, kerangka regulasi, kerangka anggaran, kerangka
kelembagaan dan aparatur, serta kerangka pengembangan wilayah.
Beberapa isu mendasar yang terkait dengan regulasi, kebijakan serta
jadwal perencanaan - penganggaran harus juga menjadi poin penting
dalam melakukan proses sinergisitas antar level perencanaan dan
penganggaran. Minimnya keselarasan dokumen perencanaan
pembangunan nasional yang belum terstandar dengan indikator yang jelas,
harus menjadi faktor penting dalam mendasari perubahan regulasi
perencanaan dan penganggaran ke depan. Penetapan target nasional yang
berbeda dalam prioritas pembangunan serta Sistem Data dan Informasi
Pembangunan Nasional kurang dan cenderung tidak akurat, juga akan
menjadi kunci untuk perbaikan kualitas dokumen perencanaan dan
penganggaran. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan beberapa perbaikan ke
depan dalam menjamin keselarasan dokumen perencanaan pembangunan
62
pusat-daerah. Proses tersebut sangat membutuhkan standarisasi indikator
pembangunan sesuai kewenangan, keselarasan penetapan target
pembangunan nasional, serta keselarasan Sistem Data dan Informasi
Pembangunan Nasional yang tepat dan akurat.
Selanjutnya, perbaikan kerangka kerja perencanaan dan
penganggaran, idealnya juga harus dilakukan pada tingkat UU untuk proses
sinergisitas pusat-daerah, karena terkait secara kontekstual dengan entitas
lain yang relevan, seperti Gubernur, Sistem Dana Perimbangan, dan Dana
Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan. Dalam memperjelas hubungan dan
masing-masing peran perencanaan dan penganggaran di level pusat-
daerah, juga merupakan sebuah kebutuhan yang konkret dalam proses
sinergisitas tersebut, termasuk pengaturan pada level regulasi-pun sudah
seharusnya mendukung proses perencanaan dan penganggaran. Penegakan
aturan dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, ataupun
Perda, sebaiknya sudah mempertimbangkan implikasi kebutuhan biaya
dalam proses perencanaan dan penganggaran. Berapa banyak regulasi
yang sulit ditegakkan, jika implikasi kebutuhan biaya yang diamanatkan
dalam regulasi tersebut tidak biisa diakomodir dalam keterbatasan
kapasitas anggaran Pemerintah maupun Pemerintah Daerah. Oleh karena
itu, perlu optimum trade-off antara mengejar pemenuhan tertib aturan
dengan akibat terjadinya inefisiensi biaya dalam proses perencanaan dan
penganggaran.
Di sisi lain, jika Pemerintah menganggap keselarasan itu penting,
maka sudah selayaknya mampu menentukan indikator dan besaran (atau
derajatnya) untuk mendeteksi tingkat keselarasan program pusat-daerah.
Indikator yang sederhana, tapi secara prinsip tetap mencerminkan
konektivitas pencapaian perencanaan pusat-daerah dan realistis untuk
mudah dilakukan dalam proses pelaksanaan rencana tersebut, harus sudah
ditetapkan dalam reformasi perencanaan dan penganggaran ke depan.
Proses perencanaan dan penganggaran yang bergerak secara simultan
63
dalam waktu yang sempit juga mungkin harus diubah, karena ini sumber
dari berbagai masalah yang ada sekarang. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan menggeser bulan dimulainya tahun anggaran di daerah (setelah
tahun anggaran nasional). Selain itu, diperlukan juga kerangka waktu yang
sesuai untuk menghindarkan lepasnya RPJMD dengan RPJMN akibat
Pilkada yang tidak dilakukan secara serentak. Selanjutnya, hal yang tidak
kalah penting adalah hampir tidak ada ruang untuk melakukan evaluasi
perencanaan pembangunan dan menggunakan hasilnya untuk perencanaan
ke depan, terutama perencanaan yang bersifat tahunan. Oleh karena itu,
pentingnya hasil evaluasi atau evidence-based dalam formulasi kebijakan
dapat diterapkan untuk program tertentu yang bersifat prioritas.
c. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Dalam Semangat
Otonomi Daerah
Era reformasi menjadi sebuah momentum penting bagi perubahan
paradigma iklim demokratisasi bangsa kita secara lebih baik. Sistem
perencanaan pembangunan nasional, juga mengalami perubahan yang
signifikan dengan penguatan keseimbangan proses perencanaan
teknokratis dan partisipatif serta keseimbangan pola perencanaan Top-
Down dan Buttom-Up. Lahirnya UU No. 25 merupakan bentuk sistem
perencanaan yang mencoba menjawab perkembangan politis bangsa ini ke
arah penguatan proses desentralisasi dan otonomi daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah.
Pemberian kewenangan yang luas kepada daerah memerlukan koordinasi
dan pengaturan untuk lebih mengharmoniskan dan menyelaraskan
pembangunan, baik pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun
pembangunan antardaerah.
Dalam UU No. 25 Tahun 2004 sudah ditetapkan bahwa SPPN adalah
satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan
64
rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan
tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan baik
di pusat dan daerah, yang tentunya dengan melibatkan unsur masyarakat.
Sudah jelas bahwa SPPN dibentuk untuk mengatur proses dan mekanisme
perencanaan pembangunan dalam koridor yang komprehensif, baik untuk
perencanaan yang bersifat nasional maupun perencanaan yang berskala
lokal maupun regional. SPPN hadir sebagai wadah perencanaan yang tidak
hanya mengatur tanggung jawab perencanaan pusat, tapi juga perencanaan
daerah. Sangat disayangkan bahwa masih ada berbagai elemen masyarakat
bahkan beberapa stakeholder Pemerintah sendiri yang menganggap bahwa
SPPN hanya mengatur sistem perencanaan secara parsial. SPPN hanya
mengatur bentuk perencanaan pembangunan yang berada di Pemerintah
Pusat tapi perencanaan di tingkat daerah belum diatur secara penuh.
Pemahaman yang keliru tersebut, harusnya sudah dapat terjawab hanya
dengan memahami nomenklatur SPPN yang memakai kata “Nasional”
bukan SPPP (Sistem Perencanaan Pembangunan Pusat), sehingga tidak
perlu lagi ada pengaturan ganda tentang perencanaan daerah lainnya
dalam konteks SPPD (Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah).
Perencanaan pembangunan daerah, secara eksplisit juga diatur
dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dasar hukum
untuk proses implementasi otonomi daerah tersebut mengatur substansi
perencanaan pembangunan daerah dalam konteks pembagian urusan
pemerintahan di daerah (Bab II) dan perencanaan pembangunan daerah
secara umum (Bab VII). Dalam UU No. 32 Tahun 2004, ditegaskan bahwa
perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, tapi yang menjadi permasalahan
adalah ada beberapa pasal yang mengatur konteks perencanaan yang
bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 2004. Dualisme pengaturan dalam
hal penetapan RPJMD, misalnya menurut UU No. 25 Tahun 2004, Bab V,
pasal 19 ayat (3) disebutkan bahwa RPJMD ditetapkan dengan Peraturan
65
Kepala Daerah (Perkada), paling lambat 3 (tiga) bulan setelah kepala
daerah dilantik. Sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2004, Bab VII, pasal
150 ayat (3), poin e, disebutkan bahwa RPJPD dan RPJMD ditetapkan
dengan Peraturan Daerah (Perda) yang berpedoman pada Peraturan
Pemerintah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, secara filosofis RPJMD
dianggap sebuah konsensus politik antara calon kepala dan wakil kepala
daerah kepada masyarakat publik sebagai konstituennya, terhadap
penjabaran visi dan misi mereka yang dikampanyekan dalam Pilkada.
Sehingga Pemerintah berasumsi bahwa penetapan RPJMD dengan Perkada
merupakan bentuk pertanggungjawaban kepala dan wakil kepala daerah
terpilih dalam proses pelaksanaan perencanaan pembangunan yang
mereka janjikan kepada masyarakat selama 5 (lima) tahun
kepemimpinannya. Hal tersebut sejalan dengan asumsi bahwa dalam
proses perencanaan daerah, tanggung jawab setiap permasalahan yang ada
tidak berada pada pertanggungjawaban dari kepala daerah saja, tapi
seharusnya juga melibatkan DPRD sebagai bagian dari sebuah proses
perencanaan pembangunan di daerah. Secara asas hukum, memang
sebaiknya ke depan harus ada konsensus antara Kementerian
PPN/Bappenas dengan Depdagri untuk memberikan solusi atas pilihan
acuan tersebut bagi penetapan RPJMD, misalnya dalam bentuk SEB (Surat
Edaran Bersama) atau yang lebih penting lagi proses harmonisasi UU No.
25 Tahun 204 dengan UU No. 32 tahun 2004.
d. Arah Perencanaan Pembangunan Daerah ke Depan
Perencanaan pembangunan selalu diupayakan sebagai bentuk
kegiatan perencanaan yang melibatkan berbagai unsur stakeholder daerah
dalam memanfaatkan dan mengalokasikan berbagai potensi yang ada di
daerah. Perencanaan pembangunan daerah disusun sebagai langkah nyata
terhadap upaya peningkatan kemajuan dan kemandirian daerah dalam
upaya meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
66
Perencanaan pembangunan daerah seharusnya selalu dirumuskan dalam
bentuk perencanaan teknokratis yang tetap didukung oleh proses
transparan publik dan partisipasi masyarakat secara lebih baik.
Perencanaan pembangunan daerah harus bersifat responsif terhadap
berbagai dinamika perkembangan daerah dan nasional, dengan tetap
mengedepankan unsur perencanaan yang efektif, efisien, akuntabel,
terukur, berkeadilan dan berkelanjutan. Dokumen perencanaan daerah
harus terus didasarkan pada kemampuan dan kebutuhan daerah secara
seimbang dengan berbagai data dan informasi pembangunan yang akurat.
Data dan informasi daerah yang terkait dengan kapasitas sumber daya,
kapasitas kelembagaan daerah, kemampuan keuangan daerah, potensi
sumber daya daerah, rencana tata ruang, dan berbagai informasi
kewilayahan lainnya, sangat berperan dalam perumusan dokumen
perencanaan daerah nantinya. Sistem informasi perencanaan
pembangunan berperan penting dalam menyediakan berbagai bahan untuk
rumusan perencanaan pembangunan daerah.
Di luar peran penting dari implementasi UU No. 25 Tahun 2004
tentang SPPN, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, juga
mengamanatkan pengaturan kembali tentang sistem perencanaan
pembangunan daerah melalui PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata
Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah (amanat dari Pasal 154). PP tersebut berupaya
untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis,
transparan, akuntabel, efisien dan efektif di bidang perencanaan
pembangunan daerah. Untuk itu, pelaksanaan otonomi daerah perlu
mendapatkan dorongan yang lebih besar dari berbagai elemen
masyarakat melalui perencanaan pembangunan daerah, agar proses
demokratisasi, transparansi, akuntabilitas dapat terwujud.
Penyelenggaraan pelaksanaan rencana pembangunan daerah dalam PP No.
8 Tahun 2008, dimaksudkan untuk:
67
1. Meningkatkan konsistensi antar kebijakan yang dilakukan berbagai
organisasi publik dan antara kebijakan makro dan mikro maupun
antara kebijakan dan pelaksanaan.
2. Meningkatkan transparansi dan partisipasi dalam proses perumusan
kebijakan dan perencanaan program.
3. Menyelaraskan perencanaan program dan penganggaran.
4. Meningkatkan akuntabilitas pemanfaatan sumber daya dan keuangan
publik.
5. Terwujudnya penilaian kinerja kebijakan yang terukur, perencanaan,
dan pelaksanaan dokumen perencanaan, sehingga tercapai efektivitas
perencanaan.
Tujuan akhir dari amanat PP No. 8 Tahun 2008, agaknya tidak
berbeda dengan semangat pencapaian perencanaan pembangunan daerah
berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004, melalui PP turunannya pada PP No. 39
Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan dan PP No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional. Kedua regulasi perencanaan
pembangunan tersebut, pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan
proses pemerintahan dan pembangunan daerah melalui pemanfaatan
sumber daya publik yang baik dan berdampak pada percepatan proses
perubahan sosial bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Kritikan mendasar dari hadirnya PP No. 8 Tahun 2008 sebagai
pengejawantahan konteks otonomi daerah dalam proses perencanaan,
ternyata banyak menimbulkan beberapa substansi pengaturan yang
berbeda, tidak mendukung, bahkan bertentangan dengan UU No. 25 Tahun
2004 tentang SPPN. Berbagai masukan yang mungkin menjadi cerminan
bagi pemahaman substansi pengaturan dalam PP tersebut yang masih
perlu dipertimbangkan untuk direvisi dan disesuaikan dengan substansi
UU No. 25 Tahun 2004, diantaranya:
68
1. Unsur mengingat pada PP tersebut secara legalitas sama sekali tidak
mencantumkan UU No. 25 Tahun 2004 sebagai payung hukum dari
seluruh SPPN termasuk sistem perencanaan pembangunan daerah
sebagai bagian yang tidak terpisahkan, sebagaimana dikemukakan
dalam pasal 2 ayat (1) dalam PP tersebut.
2. Pada Pasal 1 butir 6, perlu diluruskan bahwa RKPD adalah Rencana
Kerja Pemerintah Daerah, sesuai dengan UU 25 Tahun 2004, PP 40
Tahun 2006, dan PP 20 Tahun 2004, bukanlah Rencana Kerja
Pembangunan Daerah, dan tidak konsisten dengan pasal 23 dalam UU
32 Tahun 2004 sendiri, yang menyebutkan RKP sebagai Rencana Kerja
Pemerintahan.
3. Penentuan tata cara penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang), penyusunan rencana, penetapan rencana,
serta pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan di
daerah (RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, Renja SKPD)
menurut UU 25 Tahun 2004 pasal 27 ayat (2), seharusnya diatur dalam
dalam satu paket pengaturan, yaitu ditetapkan dalam Peraturan Daerah
bukan diatur kembali secara rinci pada PP No. 8 Tahun 2008 sebagai
turunan dari UU No. 32 Tahun 2004.
4. Pada Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), disebutkan bahwa RPJMD
ditetapkan Perda setelah berkonsultasi dengan Menteri, dimana Perda
tentang RPJMD tersebut ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah
kepala daerah dilantik. Sesuai UU 25/2004, penetapan RPJMD
dilakukan dengan Perkada dan tidak perlu dalam Perda, karena
merupakan penjabaran dari visi dan misi dari Kepada Daerah, yang
akuntabilitasnya sepenuhnya berada pada kepala daerah. Apabila
ditetapkan dalam Perda, maka akuntabilitasnya merupakan tanggung
jawab bersama oleh Kepala Daerah dan DPRD. Solusi ilegal yang selama
ini ditawarkan kepada Pemerintah Daerah adalah penawaran jalan
tengah, dimana RPJPM dalam waktu 3 bulan setelah pelantikan kepala
69
daerah terpilih, ditetapkan dulu dalam Perkada, setelah itu
dikonsultasikan dengan DPRD, dan apabila memang disepakati oleh
DPRD, maka RPJMD dapat ditetapkan dalam Perda. Pengaturan
penetapan RPJMD dalam pasal tersebut yang banyak mengundang pro
dan kontra di tingkat Pemerintah Pusat maupun Daerah, seharusnya
sudah diputuskan dengan regulasi atau pengaturan yang legal dan
ditetapkan secara tegas oleh Pemerintah.
5. Dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), mengamatkan bahwa
Departemen Dalam Negeri menyelenggarakan pertemuan koordinasi
pasca-Musrenbang RKPD provinsi seta Pemerintah Provinsi
menyelenggarakan pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang RKPD
kabupaten/kota. Penyelenggaraan forum pasca-Musrenbang perlu
diperjelas maksud dan tujuannya pada pasal ketentuan umum di PP
tersebut, sebagai dasar bagi proses finalisasi RKPD di tingkatan daerah.
Secara filosofis, kita dapat mempertanyakan aspek independensi
perencanaan pembangunan daerah tersebut. Bagaimana sebuah
perencanaan pembangunan daerah harusnya tidak diintervensi terlalu
jauh, karena pada dasarnya dokumen RKPD merupakan domain dan
tanggung jawab dari masing-masing daerah. Hal tersebut harusnya
sejalan dengan asas keterbukaan dan kebebasan yang diamanatkan
oleh UU No. 25 Tahun 2004, dimana hubungan antara dokumen
perencanaan nasional dan perencanaan pembangunan daerah hanya
dibahasakan secara elegan dalam konteks “diacu”, “diperhatikan”, dan
“diserasikan”. Pengaturan hubungan perencanaan dalam SPPN secara
nyata berupaya untuk mendasarkan proses perencanaan daerah
dengan semangat otonomi daerah yang baik dan benar.
Tidak dipungkiri bahwa dualisme pengaturan perencanaan
pembangunan daerah antara kubu perencanaan nasional komprehensif
dengan kubu perencanaan daerah yang spesifik, banyak membuat
70
perdebatan dan pertanyaan di daerah. Haruskah kondisi yang sangat
memprihatinkan ini terus dibiarkan dan berlarut-larut sejak tahun 2004
bahkan diperburuk dengan munculnya PP No. 8 di tahun 2008 dan Perpres
No. 54 Tahun 2010. Pemerintah harusnya sudah mulai jeli dan tegas dalam
mengambil tindakan terhadap fenomena overlapping pengaturan dari UU
No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004 (terutama yang diatur
dalam PP No. 8 Tahun 2008). Keputusan dasar hukum perencanaan yang
syah harus sudah diputuskan dan tidak membingungkan semua pihak,
terutama oleh Pemerintah Daerah itu sendiri. Jangan daerah kembali yang
terus dijadikan “kelinci percobaan”. Daerah bingung untuk memilih mana
regulasi dan kebijakan yang akan mereka pegang. Pengaturan perencanaan
yang tepat, tidak memunculkan interpretasi yang berbeda, dan tidak
bersifat ambivalent merupakan langkah awal yang baik untuk
mencerminkan keberhasilan pemerintahan dan pembangunan daerah ke
depan. Bagaimana daerah bisa maju untuk melakukan pembangunan, kalau
dasar perencanaan pembangunan mereka saja masih banyak stigma
disana-sini. Bagaimana daerah mau terus mau memikirkan peningkatan
kesejahteraan publik, kalau dalam proses perencanaannya, mereka
masih bingung untuk melakukannya.
Perencanaan pembangunan daerah sebagai urgensi kemajuan
suatu daerah, sekaligus bentuk akumulasi penilaian terhadap pencapaian
kemajuan bangsa dan negara secara luas harus diatur dengan regulasi dan
kebijakan yang baik pula tentunya. Perubahan kondisi sosial, ekonomi dan
politik yang sangat fundamental menuntut perlunya sistem perencanaan
pembangunan yang komprehensif dari tingkat pusat, provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan, sampai pada tingkat kelurahan/desa.
Perencanaan pembangunan nasional harus menjadi satu kesatuan yang
utuh, terintegrasi, dan holistis pada pengaturan yang jelas dan tegas.
Perencanaan nasional harus mampu mewujudkan keseimbangan
perencanaan yang mampu mengalir baik dalam siklus perwujudan
71
transparansi, akuntabilitas, demokratisasi, desentralisasi, dan partisipasi
masyarakat. Perencanaan pembangunan daerah jangan terlalu banyak
diintervensi secara mendalam, tapi juga tidak lepas kendali dari kontrol
Pemerintah. Biarkan daerah yang merencanakan sesuatu yang terbaik buat
daerahnya sendiri, karena mereka yang tahu dengan pasti apa kemampuan
dan kebutuhan yang hendak mereka capai. Pemerintah Pusat hanya
memberikan koridor pada lingkup nasional dan regional terhadap
beberapa kepentingan pembangunan skala nasional dan bersifat strategis
dalam konteks pembagian urusan pemerintahan, yang sudah diatur dalam
PP No. 38 Tahun 2007 tentang tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota. Jangan terlalu membebani daerah dengan
pengaturan yang hanya bersifat birokratis dan normatif semata, tanpa
berimplikasi positif terhadap peningkatan kualitas perencanaannya.
Daerah punya hak untuk menentukan rencana pembangunannya secara
independen. Penguatan otonomi daerah dan percepatan proses
desentralisasi, sudah saatnya mewarnai semangat perencanaan
pembangunan daerah ke depan yang lebih baik.
Sedangkan, terkait dengan sinergi perencanaan dan penganggaran
pada level pusat-daerah, beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan ke
depan, diantaranya: (1) perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi
peraturan perundangan terkait perencanaan dan penganggaran menjadi
satu UU dengan dasar academic paper/background study yang mumpuni
serta proses harmonisasi UU perencanaan dan penganggaran dengan UU
pemerintahan daerah, UU Desa, dan UU Pemilukada; (2) Reposisi peran
gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah dalam melakukan fungsi
koordinasi, pembinaan dan pengawasan sinergi perencanaan pusat –
daerah; (3) Membangun indikator keselarasan yang sesuai untuk program
dan kegiatan strategis dari level pusat – daerah dalam memastikan
pencapaian pembangunan nasional; (4) Menentukan sistem rewards dan
72
punishment yang sesuai dalam proses penyusunan dokumen perencanaan
dan pencapaian pelaksanaan pembangunan; (5) Menyelaraskan waktu
penyusunan perencanaan dan penganggaran antara pusat dan daerah,
maka Pilkada dilakukan serentak setelah Pemilu 2014. Hal ini selain
menghemat biaya juga akan membantu menyelaraskan RPJMN dan RPJMD;
(6) Menentukan indikator target capaian perencanaan nasional (pusat-
daerah) yang jelas, sederhana, dan realistik, sehingga daerah lebih
mengetahui kebutuhannya. Sedangkan, pusat dapat mudah melakukan
sinkronisasi perencanaan program/kegiatan termasuk pendanaannya.
Sehingga dapat tercermin bahwa target nasional merupakan akumulasi
dari berbagai target daerah; (7) Tetap mendasarkan prinsip “money follow
function” untuk mencapai target untuk mencapai target pembangunan
dalam proses perencanaan dan penganggaran di level pusat-daerah; (8)
Meningkatkan kualitas data dan informasi perencanaan pembangunan
nasional (pusat-daerah) yang reliable, up to date, dan komprehensif;
(9) Menguatkan “Lembaga” pengawasan pembangunan sinkronisasi pusat-
provinsi dan kabupaten/kota; serta (10) Penyelarasan Indeks Kinerja
Utama dan tetap menjaga kedisiplinan penggunaan anggaran dan
ketepatan waktu penerimaan dan alokasi anggaran, khususnya dana
belanja dari pusat ke daerah.
Kesimpulan adalah permasalahan sistem perencanaan dan
penganggaran meliputi
a. Minimnya keselarasan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional
(Pusat-Daerah);
b. Belum terstandarnya Indikator Pembangunan Nasional;
c. Penetapan target Nasional dan Daerah berbeda dalam Prioritas
Pembangunan Nasional dan Prioritas Pembangunan Daerah;
d. Sistem data dan Informasi Pembangunan Nasional yang kurang dan
cenderung tidak akurat.
73
Gambar Sinergi Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan Daerah
Berdasarkan permasalahan yang diidentifikasikan tersebut,
kemudian Jayadi menyampaikan beberapa pemikiran upaya yang harus
dilakukan untuk melakukan perbaikan, sebagai berikut:
a. Revisi Regulasi (UU SPPN, UU yang menyangkut Penganggaran, UU
Pemerintahan Daerah):
1) Satu UU untuk Perencanaan dan Penganggaran.
2) Harmonisasi UU perencanaan dan penganggaran dengan UU
Pemerintahan Daerah, UU Desa, UU Pemilukada;
3) Dua UU yang jelas hubungannya: didukung dengan academic paper
yang meyakinkan.
b. Reposisi peran gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah dalam
melakukan fungsi koordinasi, pembinaan dan pengawasan sinergi
perencanaan pusat – daerah.
74
c. Membangun indikator keselarasan yang sesuai untuk program dan
kegiatan strategis dari level pusat – daerah dalam memastikan
pencapaian pembangunan nasional.
d. Menentukan sistem rewards dan punishment yang sesuai dalam proses
penyusunan dokumen perencanaan dan pencapaian pelaksanaan
pembangunan.
e. Menyelaraskan waktu penyusunan perencanaan dan penganggaran
antara pusat dan daerah, maka Pilkada dilakukan serentak setelah
Pemilu 2014. Hal ini selain menghemat biaya juga akan membantu
menyelaraskan RPJMN dan RPJMD.
f. Menentukan indikator target capaian perencanaan nasional (pusat-
daerah) yang jelas, sederhana, dan realistik, sehingga daerah lebih
mengetahui kebutuhannya; pusat melakukan sinkronisasi termasuk
pendanaannya; dan target nasional merupakan akumulasi target
daerah.
g. Penguatan prinsip money follow function untuk mencapai target
pembangunan dalam proses perencanaan dan penganggaran di level
pusat-daerah.
h. Meningkatkan kualitas data dan infromasi perencanaan pembangunan
nasional (pusat-daerah) yang reliable, up to date, dan komprehensif.
i. Menguatkan “Lembaga” pengawasan pembangunan sinkronisasi pusat-
provinsi dan kabupaten/kota.
j. Penyelarasan Indeks Kinerja Utama dan tetap menjaga kedisplinan
penggunaan anggaran dan ketepatan waktu penerimaan dan alokasi
anggaran, khususnya dana belanja dari pusat ke daerah.
75
4. Pandangan Dian P. Simatupang (FH Universitas Indonesia)16
Dian P. Simatupang (2014) dari Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, memberikan pandangan sebagai berikut.
a. Sinergitas dalam Tinjauan Hukum
Sinegritas menurut hukum administrasi negara terjadi pada suatu
institusi pemerintahan yang lazimnya dilakukan dalam tiga ruang lingkup,
yaitu (1) tindakan hukum (rechshandelingen), (2) hubungan hukum
(rechtsbetrekkingen), dan (3) kedudukan hukum (rechstatus). Ketiganya
dilakukan akibat pengaruh pergeseran tugas dan pokok antar-instansi
pemerintahan yang membutuhkan reorganisasi agar terwujud koordinasi
dan sinkronisasi atau perluasan peranan pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan umum dan pelayanan publik.
Perkembangan yang terjadi di Indonesia, reposisi institusi tidak
hanya disebabkan kedua pengaruh sebagaimana diuraikan di atas, tetapi
juga terjadi sebagai pengaruh kondisi yang ill-structured problems, yaitu
suatu kondisi atau keadaan di mana peraturan perundang-undangan dan
peraturan kebijakan melahirkan masalah yang begitu luas dan begitu
banyak jumlahnya, dan tidak teridentifikasi, yang membutuhkan
penyelesaian yang cepat dan tepat.
Kondisi ill-structured problems tersebut menimbulkan masalah,
yaitu (1) tujuan bernegara yang belum dipahami sebagai tujuan keuangan
negara, (2) perencanaan yang tidak sinkron dengan penganggaran, dan (3)
latar belakang pengambilan keputusan atas perencanaan dan
penganggaran yang termuat dalam UU APBN kurang memiliki latar
belakang rasionalitas yang dipertanggungjawabkan legitimasinya.
Konsekuensinya, pemerintah mengalami kerumitan dalam mewujudkan
tujuan bernegara karena implementasi pembangunan tidak berjalan sesuai
16
Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara/Dosen Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik/Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
76
dengan perencanaannya, atau setidaknya penganggaran kurang dilandasi
dengan rasionalitas perencanaan yang kuat. Padahal, Pasal 23 ayat (1)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan
tujuan penganggaran adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Amanat tersebut hanya dapat terpenuhi apabila terdapat perencanaan
yang kuat melalui institusi perencanaan yang prestise dalam tindakan
hukumnya, hubungan hukumnya, dan kedudukan hukumnya.
b. Sinergitas Perencanaan dan Penganggaran untuk Mencapai
Tujuan Bernegara
Sinergitas perencanaan dan penganggaran diperlukan agar kinerja
keuangan pemerintah untuk mencapai tujuan bernegara guna mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat terwujud nyata. Ada tiga pertimbangan
sinergtas tersebut dibutuhkan dalam konteks tersebut, adalah:
Pertama, agar tujuan keuangan negara yang terformulasikan dalam
undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara (UU
APBN) tercapai, dengan menguatkan kapasitas tujuan keuangan negara
yang ditunjukan pada fungsi pemerintahan umum dan pelayanan publik
secara proporsional dan prioritas. Oleh karena itu, pengambilan keputusan
keuangan negara sebagaimana diformulasikan dalam UU APBN seharusnya
didasarkan pada faktor-faktor perencanaaan guna mewujudkan tujuan
bernegara. Dengan demikian, keputusan keuangan negara dalam UU APBN
tidak ditujukan pada belanja yang bersifat konsumtif, seperti
pembangunan gedung negara atau ruangan institusi negara yang mewah
dan pembelian barang yang tidak memenuhi prioritas tujuan
penggunaannya. Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan
harus menjadi institusi yang menjamin perencanaan dalam UU APBN
sepenuhnya menjadi alat untuk menciptakan sebanyak-banyaknya
investasi guna menaikkan produktivitas negara.
77
Hal tersebut dapat dilakukan Kementerian PPN/Bappenas dan
Kementerian Keuangan dengan merencanakan seluruh potensi produksi
dan keuangan yang dimiliki negara agar dapat dipergunakan seluruh atau
sebagian untuk pembelanjaan investasi negara, dan menjadikan
perencanaan atas UU APBN sebagai pendukung investasi swasta guna
mendukung pembangunan, khususnya pembangunan infrastruktur.
Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan menjadi
pengawal kinerja keuangan negara untuk mencapai tujuan bernegara,
sehingga memastikan tidak ada pengambilan keputusan atas keuangan
negara yang tidak fokus, tidak prioritas, tidak solid, dan tidak harmonis.
Kedua, sinergitas Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian
Keuangan dibutuhkan diperlukan untuk menjaga keputusan keuangan
negara dalam UU APBN harus didasarkan pada perencanaan jangka
pendek, perencanaan jangka menengah, dan perencanaan jangka panjang.
Adanya perencanan ini pada dasarnya agar UU APBN mampu mencapai
tujuan negara tertentu sebaik-baiknya (maximum ouput) dengan sumber
keuangan yang dimiliki pemerintah, khususnya yang berasal dari
penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Penguatan
kapasitas Kementerian PPN/Bappenas diperlukan pada proses ini karena
perencanaan sangat menentukan keberhasilan kinerja keuangan
pemerintah. Di sisi lain, penguatan kapasitas tersebut dibutuhkan karena:
a. perencanaan dan penganggaran merupakan penentuan pilihan secara
sadar mengenai tujuan konkret negara yang hendak dicapai dalam
jangka waktu tertentu atas dasar nilai dan kepentingan yang dimiliki
masyarakat;
b. perencanaan dan penganggaran menentukan pilihan di antara
berbagai cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai
tujuan konkret negara, baik untuk menentukan jangka waktu tertentu
maupun cara untuk mencapainya.
78
Dengan demikian, keberhasilan kinerja keuangan pemerintah
sangat bergantung pada perencanaan yang disusun sebelumnya dan
penganggaran yang telah ditetapkan, dan menjadi dasar utama untuk
mempengaruhi keadaan (instrument or policy variables).
Sinergitas perencanaan dan penganggaran juga membawa
implikasi reposisi Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan
yang dibutuhkan agar suatu dokumen perencanaan dan keuangan
merefleksikan kebijakan pembangunan nasional, sehingga terdapat
konsistensi dan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan
penganggaran, dan pengawasan, sehingga pencapaian tujuan keuangan
negara dapat terpenuhi secara optimal. Jika institusi perencanaan dan
penganggaran lemah, dikhawatirkan UU APBN tidak akan menjadi
instrumen guna mencapai perkembangan sosial ekonomi yang tetap
(steady social economic growth), tetapi menjadi suatu instrumen rutinitas.
Jika perencanaan tidak menjadi dasar penyusunan penganggaran dalam
UU APBN akan mengakibatkan perencanaan dan penganggaran menjadi
sangat timpang dan tidak harmonis, karena penetapan tujuan rencana
(plan objectives) dan tujuan keuangan negara (APBN) memiliki perbedaan
sesuai dengan tujuan masing-masing sektor. Akibatnya, kebijakan
perencanaan dan kebijakan keuangan tidak mampu menjadi dasar untuk
meninjau keadaan keuangan pemerintah sebelumnya karena masalah yang
dikemukakan Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam hal ini
Direktorat Jenderal Anggaran berbeda dan tidak didasarkan pada
perkiraan masa yang akan dilalui perencanaan (forecansting) yang sama.
Oleh sebab itu, gagasan sinergitas dengan penguatan konsep
koordinasi dan sinkronisasi kerja dan tugas pokok antara Kementerian
Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Bappenas dalam rangka mewujudkan kerangka perencanaan
pembangunan yang sinergitas dan strategis yang berisi pokok-pokok
79
kebijakan, visi, dan misi perencanaan pembangunan, serta kriteria dan
indikasi yang dicapai dengan tahapan yang akan diwujudkan.
Ketiga, rasionalitas pengambilan keputusan keuangan negara
dalam UU APBN agar dapat dipertanggungjawabkan dengan determinasi
perencanaan yang disusun sebelumnya, sehingga mendasarkan pada
komitmen dan kontinuitas yang rasional. Pembangunan gedung negara dan
ruangan institusi negara yang mewah dan pembelian barang mewah impor
dalam penganggaran cenderung mereduksi pilihan rasionalitas keuangan
negara agar ditujukan pada investasi pemerintah. Dalam hal ini, keputusan
keuangan negara dalam UU APBN tidak cenderung menjadi keputusan
yang suka-suka atau hanya mendasarkan pada kebutuhan jangka pendek,
tanpa memperhitungkan prioritas kebutuhan lainnya yang lebih besar
untuk kepentingan mencapai tujuan bernegara.
Atas dasar pertimbangan tersebut, sinergitas perencanaan dan
penganggaran dilakukan guna menjamin tujuan keuangan negara
didasarkan pada garis-garis besar atau kebijaksanaan dasar suatu rencana
pembangunan yang disetujui dan ditetapkan lembaga perwakilan.
Sementara itu, kebijakan dan program pembangunan selanjutnya menjadi
perhatian dan tugas secara sinergis antara Kementerian PPN/Bappenas
dan Kementerian Keuangan dengan mendasarkan pada garis besar dan
kebijaksanan dasar yang ditetapkan lembaga perwakilan.
Atas dasar pertimbangan sebagaimana diuraikan sebelumnya,
sinergitas perencanaan dan penganggaran perlu dilakukan dalam tiga hal,
yaitu:
a. sinergitas tindakan hukum (rechshandelingen), yaitu penataan
kembali perbuatan hukum dalam perencanaan dan penganggaran,
baik tindakan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige
publiekrechtelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang
bersegi dua (tweezidge publiekrechtelijke handeling);
80
b. sinergitas hubungan hukum (rechtsbetrekkingen), yaitu penataan
kembali antar-wewenang yang dimiliki Kementerian PPN/Bappenas
dan Kementerian Keuangan dalam hubungannya dengan lembaga
pemerintah dan lembaga negara;
c. sinergitas kedudukan hukum (rechstatus), yaitu penataan kembali
kelembagaan Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian
Keuangan dalam kaitannya dengan tugas dan pokoknya yang
terkoordinasi.
c. Integritas dan Sinergitas Perencanaan dan Penganggaran Menuju
Terwujudnya Tujuan Bernegara
Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 menggunakan frasa “APBN yang ditetapkan setiap tahun” sebagai
suatu wujud pengakuan konstitusional adanya rencana yang bersifat
inisiatif untuk mencapai suatu tujuan dalam bentuk penetapan.
Rencana merupakan penetapan atau tindakan kepemerintahan
yang berkaitan secara menyeluruh, guna mencapai tujuan tertentu yang
menimbulkan akibat hukum administrasi.
Pasal 3 ayat (4) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara mengatur, “APBN/APBD mempunyai fungsi otoritas,
perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.” Adanya
perencanaan dalam ketentuan tersebut dianggap belum menjadi ruh
penganggaran dalam undang-undang tersebut. Hal ini disebabkan dalam
perumusan materi muatan berikutnya mengenai penyusunan dan
penetapan APBN, tidak adanya keterkaitan secara signifikan antara
dokumen perencanaan dan dokumen penganggaran.
Menurut hukum administrasi negara, rencana merupakan bentuk
tindakan pengarahan menuju tujuan bernegara yang kemudian
diformulasikan sebagai akibat hukum ketika dirumuskan dalam suatu
81
dokumen hukum perencanaan dan penganggaran dalam bentuk undang-
undang.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara mengatur pengelolaan keuangan negara dalam APBN
dan APBD digunakan untuk mencapai tujuan bernegara. Hal ini berarti
tujuan bernegara adalah tujuan penganggaran dengan serangkaian
perencanaan sebagai teknik strategi guna mencapainya.
Perencanaan dan penganggaran harus direkonstruksi ulang pada
konsepnya sebagai politik hukum anggaran berencana, APBN/APBD
sebagai wujud pengelolaan keuangan negara benar-benar dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui perencanaan.
Konsep integritas dan sinergitas perencanaan-penganggaran
adalah konsep pengorganisasian dan pengaturan yang sejalan dan tidak
terpisah dalam rangka memanfaatkan sumber daya keuangan dan sumber
daya kekayaan negara untuk memaksimumkan kebutuhan rakyat dalam
waktu yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, kebijakan rencana dan
anggaran harus dipandang sebagai suatu sistem sinergis fungsi negara
pada perwujudan perekonomian yang dicita-citakan.
Bagaimana wujud integritas dan sinergitas perencanaan dan
penganggaran dalam praktik tata kepemerintahan dahulu, sekarang, dan
masa akan datang, menjadi penting didiskusikan untuk menjadi pedoman
bagi pemerintahan baru nanti.
d. Arah Sinergitas Perencanaan dan Penganggaran : Masalah dalam
Praktik Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
Pada masa Orde Baru (1967-1998), praktik perencanaan dan
penganggaran pembangunan diformulasikan dalam bentuk koordinasi
personal antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan
Pembangunan/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di bawah Prof.
Widjojo Nitisastro yang menyatakan perencanaan sebagai “penentuan
82
secara sadar mengenai tujuan-tujuan konkret yang hendak dicapai dalam
jangka waktu tertentu atas dasar nilai-nilai yang dimiliki masyarakat
bersangkutan dan pemilihan di antara cara-cara alternatif yang efisien dan
rasional guna mencapai tujuan tersebut.” (Lihat Mustopadidjaja AR et al,
ed, Bappenas dalam Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia 1945-
2025).
Pemikiran Prof. Widjojo yang menekankan pada pencapaian tujuan
bernegara dengan alternatif cara yang dipilih yang efisien dan rasional atas
dasar nilai yang dimiliki masyarakat. Oleh sebab itu, penentuan alternatif
cara tersebut diperlukan ukuran atau kriteria yang dipilih atau
direncanakan.
Konsep demikian hakikatnya sejalan dengan filosofis perencanaan
sebagai formula rasionalitas kinerja keuangan negara untuk mencapai
tujuan bernegara. Prinsip dasar dalam penentuan alternatif tersebut
merupakan pengambilan keputusan keuangan yang rasional, dan
berencana oleh pejabat atau instansi yang berwenang atas dasar
pengamatan menyeluruh terhadap sistem perekonomian secara
keseluruhan.
Masa Orde Baru (1967-1998) sayangnya menempatkan koordinasi
personal dalam perencanaan dan penganggaran. Oleh sebab itu, ketika
masa reformasi (1998-sekarang), perencanaan dan penganggaran menjadi
seakan bersaing dalam menjalankan kewenangannya, yang ditambah
dengan fungsi Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri
(Menko Ekuin) yang tidak mampu melaksanakan fungsi koordinatifnya
dalam mengupayakan integritas dan sinergitas perencanaan dan
penganggaran.
Masalah perencanaan dan penganggaran masa reformasi (1998-
sekarang) lebih didominasi ketidakjelasan norma, regulasi, dan
kewenangan dalam kedua bidang tersebut. Akibatnya, beberapa masalah
dalam kedua bidang tersebut terjadi karena adanya konflik norma, konflik
83
regulasi, dan konflik kewenangan. Beberapa masalah diselesaikan secara
parsial, bergantung pada masa menteri yang menjabat, dan tidak kemudian
diinstutisionalisasikan.
Masalah norma terwujud pada UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU
Nomor 25 Tahun 2004 yang saling mengatasi satu sama lain dan
mengupayakan salah satu pihak menjadi superior dibandingkan lainnya
dalam wewenangnya masing-masing. Persoalan egosektoral kewenangan
adalah persoalan yang kemungkinan terjadi pada era perencanaan dan
penganggaran masa Orde Baru (1967-1998), tetapi kehadiran Presiden dan
Menko-Ekuin yang mengendalikan menjadi seakan-akan pada saat itu
terjadi ”pengendalian dan pengaturan bersama,” padahal itu merupakan
koordinasi personal.
Oleh sebab itu, koordinasi institusional menjadi sangat utama
dalam mewujudkan integritas dan sinergitas perencanaan dan
penganggaran sekarang ini dan masa depan. Konsep koordinasi
institusional diwujudkan dalam suatu konsep pengarahan dan pengaturan
oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan secara bersama-sama, dan
bukan sendiri-sendiri.
Pengarahan dan pengaturan yang terutama dilakukan adalah
pembagian wewenang dan harmonisasi pengaturan antara kedua instansi
tersebut. Dalam identifikasi persoalan makro-ekonomi dan inisiatif strategi
penyelesaian masalah makro-ekonomi, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
merumuskan visi, misi, strategi, dan kebijakan sesuai dengan UU Nomor 25
Tahun 2004. Sementara itu, Kementerian Keuangan menjabarkan strategi
dan kebijakan kebutuhan penyelesaian masalah makro-ekonomi tersebut
dalam suatu kebijakan anggaran sesuai dengan kemampuan keuangan
negara pada saat itu, dengan berbagai pertimbangan rasionalitasnya.
Kedua instansi tersebut saling membagi tugas dan fungsi, dengan tidak
84
menjadikan salah satu di antaranya sebagai superior atau deferior,
sehingga melenyapkan upaya bersama mewujudkan tujuan bernegara.
Masalah perencanaan dan penganggaran pada Masa Reformasi
(1998-sekarang) adalah:
1. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dikurangi
peranannya, baik melalui norma, regulasi, maupun keputusan
politik, sehingga tindakan hukum yang diciptakan oleh instansi
perencanaan tidak langsung berdampak hukum karena tidak
termuat dalam dokumen penganggaran;
2. pengambilan keputusan atas perencanaan dan penganggaran
tidak lagi hanya didasarkan pada rasionalitas angka pada data
Badan Pusat Statisik, tetapi cenderung dominan keputusan
politik;
3. perencanaan dan penganggaran kurang disandarkan pada
penetapan tujuan yang realistis, sejalan satu sama lain, dan
dinamis sesuai dengan perkembangan perekonomian pada saat
itu;
4. penetapan sasaran dan prioritas untuk mencapai tujuan
bernegara dalam RAPBN dan APBN dalam dokumen perencanaan
tidak seluruhnya konsisten, kadangkala tumpang tindih, dan
kemungkinan duplikasi, sehingga prioritas tidak ditentukan pada
rencana yang telah ditentukan dengan pertimbangan rasionalitas
keadaan sumber daya yang tersedia, tetapi pada pertimbangan
politis teknis pada saat pembahasan dengan parlemen;
5. perencanaan atas sumber-sumber pembiayaan pembangunan
belum diselaraskan bersama antara kedua instansi atas alasan
superioritas kewenangan;
6. perencanaan kebijakan penerimaan, pengeluaran, dan investasi
sebagai keseimbangan anggaran belum mampu terkoodinasi
85
dengan baik antar-instansi juga karena alasan superioritas
kewenangan.
Keenam masalah tersebut menyebabkan norma, regulasi, dan
kewenangan perencanaan dan penganggaran mengalami ill-structured
problems, yaitu masalah yang muncul saat pembahasan perencanaan dan
penganggaran diselesaikan secara koordinasi individual, tidak koordinasi
institusional, sehingga tindakan kepemerintahan dalam perencanaan dan
penganggaran merupakan institusional decision pemerintah.
e. Konsep Integritas dan Sinergitas Fungsi Perencanaan dan
Penganggaran
Secara falsafah hukum administrasi negara, perencanaan dan
penganggaran merupakan tindakan kepemerintahan yang bersifat
penetapan, yang membutuhkan persetujuan parlemen. Perencanaan adalah
bentuk cara memerintah dan memimpin untuk mencapai tujuan yang
dicapai, sehingga keduanya diformulasikan dalam suatu tindakan hukum
yang menimbulkan akibat hukum administrasi. (Lihat Klaus Obermayer
dalam bukunya Der Plans als verwatungrechtslitches Institut, 1966).
Perencanaan adalah instrumen untuk menggerakkan
perekonomian yang diarahkan pemerintah secara terpadu, konsisten, dan
rasional dalam penganggarannya. Oleh karena itu, perencanaan
mendorong efektivitas kebijakan pembangunan dengan berbagai langkah
(measures) pembiayaannya. Perencanaan memuat formulasi rencana dan
cara untuk merealisasikannya kemudian dalam suatu dokumen
penganggaran.
Perencanaan dan penganggaran logis terintegrasi dan tersinergis
disebabkan perencanaan tanpa penganggaran adalah khayalan, sedangkan
penganggaran tanpa perencanaan adalah kekacauan. Ketentuan Pasal 12
ayat (2) dan (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 yang mengatur APBN disusun
86
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara, sehingga
berpedoman pada rencana kerja pemerintah untuk mencapai tujuan
bernegara. Oleh sebab itu, ketentuan tersebut seharusnya menjadi dasar
integritas dan sinergitas serta bentuk rencana atas anggaran.
Konsep perencanaan dan penganggaran yang terpadu merupakan
bentuk ideal guna mewujudkan tujuan negara. Di Singapura, dokumen
perencanaan merupakan dasar menentukan arah penganggaran dalam
konsep annual strategic review yang memuat asumsi makro ekonomi.
Penyusunan perencanaan tersebut dilakukan dalam suatu komite bersama
(joint comittee), antara Menteri Keuangan dan Menteri Teknis. Di Belanda,
perencanaan untuk kebijakan penganggaran dibentuk Central Planning
Bureau, sebuah lembaga pemerintah yang independen yang unik guna
memprediksi arah kebijakan pembangunan selama empat tahun, yang
kemudian prediksi biro tersebut dijadikan dasar bagi partai politik untuk
menyusun platform ekonominya jika dapat meraih kemenangan dalam
pemilu. Partai politik di Belanda menandatangi suatu perjanjian koalisi
yang menjaga kesinambungan fiskal dan berhati-hati dalam merumuskan
kebijakan fiskal selama minimal empat tahun.
Di Indonesia, penyusunan rencana dan anggaran dilakukan oleh
tiga institusi, yaitu Kementerian Perencanaan, Kementerian Keuangan, dan
Kementerian/Lembaga Pengguna Anggaran. Ketiganya memiliki undang-
undangnya masing-masing, yang kadangkala terdapat disharmonisasi
mengenai materi muatannya. Bagaimana menformulasikan ketiganya
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 Tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Dalam Pasal 7 PP Nomor 90 Tahun 2010, diatur Kementerian/Lembaga
dapat menyusun rencana Inisiatif Baru dan indikasi kebutuhan anggaran
yang diselaraskan dengan Arah Kebijakan dan prioritas pembangunan
nasional untuk disampaikan kepada Kementerian Perencanaan dan
87
Kementerian Keuangan, yang kemudian .keduanya mengevaluasi
pelaksanaan program dan kegiatan dari program yang sedang berjalan dan
mengkaji usulan Inisiatif Baru berdasarkan prioritas pembangunan serta
analisa pemenuhan kelayakan dan efisiensi indikasi kebutuhan dananya.
Selanjutnya, Kementerian Perencanaan mengoordinasikan pelaksanaan
evaluasi dan pengintegrasian hasil evaluasi. Sementara itu, Pasal 8
mengatur Kementerian Keuangan menyusun perkiraan kapasitas fiskal
untuk penyusunan Pagu Indikatif tahun anggaran yang direncanakan,
termasuk penyesuaian indikasi pagu anggaran jangka menengah. Kerja
sama yang dilakukan Kementerian Keuangan dan Kementerian
Perencanaan tersebut menurut kedua menteri dianggap sudah memadai
untuk melakukan harmonisasi, tetapi dalam praktik di bawah, tetap terjadi
pergesekan menyangkut konsep dan implementasi.
Menurut teori penyesuaian antara rencana dan anggaran dan
pelaksanaannya harus ada pengendalian, yang kemudian sebaiknya
diserahkan kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) bersama-sama dengan Kementerian Perencanaan untuk
melakukan evaluasi atas manfaat. Atas kondisi tersebut pergeseran yang
terjadi dalam pelaksanaan membutuhkan kesesuaian antara kedua
instansi, tidak hanya dalam bentuk gentlement agreement antara kedua
personalia menteri yang menjabat, tetapi sampai ke implementasi yang
kemungkinan mengalami dishamornisasi, yang kemungkinan perlu
diselesaikan dengan suatu forum atau protokol koordinasi antara
perencanaan dan penganggaran.
Berdasarkan bahan yang disampaikan, maka pokok-pokok
pendapat Dian P. Simatupang bahwa permasalahan terkait sistem
perencanaan dan penganggaran meliputi antara lain :
a. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dikurangi peranannya,
88
baik melalui norma, regulasi, maupun keputusan politik, sehingga
tindakan hukum yang diciptakan oleh instansi perencanaan tidak
langsung berdampak hukum karena tidak termuat dalam dokumen
penganggaran;
b. pengambilan keputusan atas perencanaan dan penganggaran tidak lagi
hanya didasarkan pada rasionalitas angka pada data Badan Pusat
Statisik, tetapi cenderung dominan keputusan politik;
c. perencanaan dan penganggaran kurang disandarkan pada penetapan
tujuan yang realistis, sejalan satu sama lain, dan dinamis sesuai dengan
perkembangan perekonomian pada saat itu;
d. penetapan sasaran dan prioritas untuk mencapai tujuan bernegara
dalam RAPBN dan APBN dalam dokumen perencanaan tidak
seluruhnya konsisten, kadangkala tumpang tindih, dan kemungkinan
duplikasi, sehingga prioritas tidak ditentukan pada rencana yang telah
ditentukan dengan pertimbangan rasionalitas keadaan sumber daya
yang tersedia, tetapi pada pertimbangan politis teknis pada saat
pembahasan dengan parlemen;
e. perencanaan atas sumber-sumber pembiayaan pembangunan belum
diselaraskan bersama antara kedua instansi atas alasan superioritas
kewenangan;
f. perencanaan kebijakan penerimaan, pengeluaran, dan investasi sebagai
keseimbangan anggaran belum mampu terkoodinasi dengan baik
antar-instansi juga karena alasan superioritas kewenangan.
Berdasarkan permasalahan yang diidentifikasikan tersebut,
kemudian Dian P. Simatupang menyampaikan beberapa pemikiran upaya
yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan, sebagai berikut.
a. Perlu adanya sinergitas, melalui :
1) sinergitas tindakan hukum (rechshandelingen), yaitu penataan
kembali perbuatan hukum dalam perencanaan dan penganggaran,
89
baik tindakan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige
publiekrechtelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang
bersegi dua (tweezidge publiekrechtelijke handeling);
2) sinergitas hubungan hukum (rechtsbetrekkingen), yaitu penataan
kembali antar-wewenang yang dimiliki Kementerian
PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam hubungannya
dengan lembaga pemerintah dan lembaga negara;
3) sinergitas kedudukan hukum (rechtstatus), yaitu penataan kembali
kelembagaan Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian
Keuangan dalam kaitannya dengan tugas dan pokoknya yang
terkoordinasi.
b. Perlu dimensi koordinasi institusional yang dirumuskan dalam bentuk
institutional board atau institutional protocol yang memberikan
kejelasan dan kepastian kedua instansi dalam mengarahkan kebijakan
dan keputusan perencanaan dan penganggaran.
c. Pilihannya kemungkinan adanya : (1) Menteri Koordinator bidang
Perekonomian merangkap Ketua Bappenas; (2) Menteri Keuangan dan
Menteri Perencanaan membuat protokol bersama yang mengatur
hubungan antar-wewenang; (3) Menteri Keuangan dan Menteri
Perencanaan bersama Menko Perekonomian membentuk Komite
Bersama Rencana Anggaran; atau (4) Kantor Presiden RI urusan
Kebijakan Rencana Anggaran Negara.
d. Perlu ditetapkan instansi yang berwenang melakukan pengendalian
atas pelaksanaan penganggaran telah atau belum sesuai dengan
perencanaan, dan penetapan badan berwenang melakukan evaluasi
atas manfaat anggaran yang telah ditetapkan.
e. Usulan Triumvirate keuangan: Kementerian Perencanaan-Kementerian
Keuangan-Kementerian Pengawasan
f. Tujuan Bernegara dalam perencanaan dan penganggaran harus
menjadi perhatian utama, bahkan UU MD3 yang memungkinkan
90
inisiatif baru dari parlemen terhadap rencana dan anggaran tetap
harus sejalan dengan prinsip tujuan bernegara melalui rencana.
g. Rasionalitas pengambilan keputusan keuangan sebagai perencanaan
menuju tercapainya tujuan bernegara harus diatur secara tegas dan
menjadi prinsip.
5. Pandangan Kodrat Wibowo (FE Universitas Padjadjaran)17
Kodrat Wibowo (2014) dari Fakultas Ekonomi Universitas
Padjadjaran, memberikan pandangan sebagai berikut.
a. Sistem Perencanaan dan Penganggaran di Indonesia
Keperluan akan kerangka kebijakan yang mengatur sistem
perencanaan pembangunan nasional yang bersifat sistematis, harmonis,
dan berkelanjutan menjadi landasan dikeluarkannya undang-undang No.
25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN).
Disisi lain, secara konseptual, anggaran merupakan instrumen
pemerintah dalam menyelenggarakan roda kekuasaannya. Dalam skema
kebijakan, keputusan alokasi sumber daya untuk berbagai keperluan
berupa pengeluaran setiap tahunnya, tercermin dalam APBN maupun
APBD. Dalam prakteknya, anggaran tak terlepas dari sejumlah kepentingan
yang harus diakomodasi, sekaligus menjadi mediasi berbagai kebutuhan
masyarakat.
Perubahan sistem penganggaran pembangunan dimulai sejak tahun
2002 setelah dikenalkannya sistem anggaran kinerja (performance
budgeting). Pendekatan kinerja tersebut mengutamakan partisipasi
masyarakat, yang juga melibatkan stakeholder lain dalam aktivitas
penganggaran. Pentingnya keterikatan antar elemen pembangunan dalam
membangun sistem yang sinergis dijelaskan berturut – turut dengan
dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Sistem Administrasi
17
Doktor pada Fakultas Ekonomi Universitas Padjdjaran
91
Keuangan Negara (KN), UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara
Khusus tentang kaitan perencanaan dan penganggaran
sebagaimana dijelaskan pada UU no. 25 Tahun 2004, proses perencanaan
dan penganggaran adalah dua hal yang tidak lepas satu sama lain sehingga
menunjukkan bawa perencanaan penganggaran sebenarnya dapat
dianggap sebagai sebuah kegiatan sendiri. Berikut adalah 3 komponen
penting yang dapat dikembangkan secara parsial maupun terintegrasi:
1. Sistem Perencanaan (Planning)
2. Sistem Penganggaran (Budgeting)
3. Sistem Perencanaan Penganggaran (Budget Planning)
4. Sistem Perbendaharaan
5. Sistem Pengendalian dan Audit
Dalam hubungannya dengan pengelolaan keuangan negara, UU No
25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
secara implementasi merupakan bagian dari suatu mekanisme siklus
sebagaimana diperlihatkan dalam gambar.
Berdasarkan gambar tersebut, terlihat hubungan antara Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dengan Sistem Administrasi
Keuangan Negara (SAKN) dimana SPPN merupakan tahap awal dari siklus
APBN yang terkandung makna/hakikat pembangunan yang akan
dilaksanakan oleh seluruh bangsa Indonesia dalam mewujudkan
kehendaknya, kemudian berlanjut dengan fungsi–fungsi manajemen lainnya
yang berdasarkan SAKN diatur dengan berbagai ketentuan: UU No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara di dalamnya juga mengatur proses penganggaran
daerah, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Terlihat bahwa
92
terdapat irisan antara aktivitas perencanaan dan penganggaran yang dalam
hal ini memang seringkali menjadi permasalahan walau telah dipayungi
oleh PP No. 20/2004 dan PP No. 21/2004 sebagai jembatan penghubung
antara Bappenas sebagai Perencana dan Kemenkeu sebagai Penyusun
Anggaran. Untuk memperbaiki sistem perencanaan anggaran yang terjadi
maka irisan ini menjadi satu domain terpisah yang dapat diambil alih
kewenangannya oleh Presiden langsung melalui unit khusus dibawah
sekretariat kepresidenan. Dengan demikian prinsip efisiensi dan equity
dalam perbaikan sistem perencanaan peganggaran pembangunan nasional
akan lebih dapat tercapai dengan baik.
Gambar Hubungan SPPN dengan Pengelolaan Anggaran
TUJUAN PEMBANGUNAN
NASIONAL
UU No. 25/2004
SPPN PLANNING
UU No. 17/2003
BUDGETING
ORGANIZING
Perencanaan Penganggaran
UU No. 1/2004
Actuating
UU No. 15/2004
Controling
SAKN
93
Sementara kebijakan otonomi daerah dipayungi oleh UU No.32
tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang juga mengatur tentang hal
yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran daerah. Sehingga,
dalam kebijakan otonomi daerah tersebut diketahui bahwa terdapat empat
Undang-undang yang secara berhimpitan mengatur mengenai perencanaan
dan penganggaran. UU No.25 tahun 2004 mengatur khusus mengenai
perencanaan, sementara UU No. 17 tahun 2004 mengatur pengelolaan
keuangan negara dan daerah. Dipihak lain UU No.32 tahun 2004 dan UU
No.33 tahun 2004 juga mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah.
Dengan kata lain, perencanaan dan penganggaran di daerah harus mengacu
pada keempat Undang-undang ini. Mengingat bahwa keempatnya mengatur
substansi yang saling terkait, tidak heran terdapat multi interpretasi
terhadap pelaksanaanya di daerah, sehingga sekali lagi dapat dianalogikan
dengan kondisi di tingkat pusat dimana sistem perencanaan penganggaran
yang selama ini bermasalah dapat ditarik langsung kewenangannya ke
Bupati/Walikota/Gubernur melalui unit khusus di bawah sekretariat
daerah. Hal yang juga perlu ditekankan adalah pentingnya sistem
perencanaan penganggaran ini diselaraskan dengan PP No. 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan dan Kewenangan.
Dalam sistem perencanaan dan penganggaran, terdapat 2 (dua) hal
penting: (i) perencanaan program yang tepat sasaran dan (ii) perencanaan
penganggaran yang lebih efektif dan efisien. Dengan sistem perencanaan
dan penganggaran yang baik, maka program-program yang disusun adalah
benar-benar bertujuan untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan
pembangunan. Selanjutnya dalam penyusunan perencanaan penganggaran
harus menggunakan prinsip “money follow function”. Artinya penyusunan
perencanaan program dan penganggarannya dapat saja tidak dilaksanakan
bersamaan, tetapi secara sekeuntial dengan menimbang program prioritas
94
pembangunan terlebih dahulu. “Concern” pada kaitan aspek perencanaan
dengan penganggaran pembangunan adalah aspek yang dianggap
mempunyai peranan penting dalam upaya peninjauan kembali pengelolaan
dan pengawasan APBN di daerah.
Sebagai konsekuensi dari UU Keuangan Negara (UUKN) maka sistim
perencanaan pembangunan nasional di tingkat pemerintahan pusat saat ini
terpisah antara perencanaan program yang menjadi domain Bappenas dan
perencanaan penganggaran yang menjadi kewenangan Kementerian
Keuangan. Demikian pula di daerah, sistim perencanaan pembangunan
daerah terpisah antara perencanaan program yang menjadi domain
Bappeda dan perencanaan penganggaran yang menjadi kewenangan dinas
pendapatan daerah. Sampai saat ini keselarasan antara UUKN dan SPPN
masih belum terselesaikan dengan baik sehingga terpikirkan ide bahwa
tugas fungsi Kementrian Keuangan dapat dikurangi lebih pada fungsi
treasury khususnya mencari penerimaan negara dan mengalokasikan
penerimaan tersebut sebagai anggaran kepada tiap K/L.
Masalah yang sering timbul dari pemisahan urusan kewenangan
antara proses perencanaan dan penganggaran program adalah terjadi
deviasi alokasi anggaran indikatif (dalam RKP) menjadi anggaran definitif
(dalam DIPA RKA). Pelaksanaan koordinasi perencanaan dan penganggaran
yang terjadi selama ini tidaklah mengikuti prinsip money follow function
melainkan lebih berdasarkan resource envelope yang disediakan oleh
Kementerian Keuangan. Solusi yang mungkin dapat dilakukan adalah
memindahkan kewenangan perencanaan penganggaran kepada unit khusus
dibawah sekretariat kepresidenan. Dengan konsekwensi bahwa akan terjadi
pengurangan TUSI dari Kemenkeu yang selama era reformasi memang
sangat powerfull dalam masalah keuangan publik.
Perencanaan pembangunan pasca reformasi adalah Perencanaan
Pembangunan Nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang
disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan perencanaan
95
pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri dari:
a) Rencana pembangunan jangka panjang;
b) Rencana pembangunan jangka menengah; dan
c) Rencana pembangunan tahunan.
Penganggaran melalui APBN dan APBD pada intinya adalah
instrumen teknis dari idealisme pembangunan yang ingin diwujudkan oleh
suatu negara dan daerah melalui program-program yang ingin dilakukan
oleh kepala negara dan kepala daerah. Idealisme tertinggi tersebut tertuang
dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) yang merupakan
perencanaan untuk 10 tahun, RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah) yang merupakan perencanaan selama 5 tahun, dan
RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) yang bersifat tahunan.
Karenanya kebijakan perencanaan dan penganggaran punya kaitan yang
sangat erat satu sama lain. Patut dicatat bahwa tidak seperti halnya RPJMD
dan RKP, RPJP jelas tidak tergantung pada kebijakan Presiden yang sedang
menjabat, sehingga eksistensi Bappenas dalam hal ini masih kuat, terlebih
perencanaan tidak lagi dipandang secara sempit namun sebagai suatu
proses perencanaan yang terintegrasi dan harus melibatkan tugas fungsi
monitoring, pengendalian, dan dievaluasi keberhasilannya dalam kacamata
indikator keberhasilan pembangunan yang tidak hanya menekankan pada
input tapi juga output. Dengan demikian alternatif hubungan perencanaan
dan penganggaran adalah dengan menempatkan domain tersendiri untuk
perencanaan pembangunan.
Perencanaan dan penganggaran ini punya kompleksitas problem
baik dari sisi normatif (undang-undang sampai peraturan teknisnya)
maupun di sisi politis seperti mekanisme, pelembagaan prosesnya, maupun
intervensi kepentingan politik. Khusus untuk masalah perundang-undangan
96
kita dapat memulai dari level undang-undang yang mengatur secara
dominan masalah keuangan.
Kesimpulan Sistem Perencanaan dan Penganggaran
Dalam implementasinya, UU SPPN dan UU KN memang harus salah
satu atau keduanya direvisi guna menyelesaikan permasalahan
perencanaan penganggaran yang terjadi. Yang juga signifikan adalah
bagaimana UU SPPN dan UUKN yang telah direvisi dapat mengakomodasi
paket perundang-undangan terkait lainnya seperti UU No. 26/2007 tentang
Penataan Ruang dan UU No. 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Selain dari masalah tidak singkronnya perencanaan dan
penganggaran disadari pula adanya dorongan yang lebih kuat terhadap
penguatan peranan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah
melalui arahan dalam upaya memastikan bahwa program dan kegiatan yang
dijabarkan dalam RPJPD, RPJMD, dan RKP serta dipedomani oleh Renstra
SKPD dan Renja SKPD baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota
mengacu pada RPJPN dan RPJMN.
Gambar Perencanaan Berbasis Partisipasi dan dan Evaluasi Diri
Dengan mengacu pada Konsep dan Paradigma Perencanaan
penganggaran, dapat disimpulkan sementara bahwa penekanan sistem
97
perencanaan pembangunan nasional yang berlaku saat ini tidak
mengedepankan unsur yang sebenarnya adalah bagian tak terpisahkan dari
proses perencanan yaitu unsur evaluasi. Gambar tadi menjelaskan bahwa
perencanaan dan implementasi akan selalu idealnya dijembatani oleh hasil
check and recheck sebagai satu kesatuan sirkulasi perencanaan.
Untuk upaya perbaikan arsitektur kabinet masa pemerintahan
Jokowi, maka Kelembagaan Bappenas diarahkan hanya pada TUSI-nya yaitu
perencanaan secara menyeluruh hingga ke tahap evaluasi hasil
pembangunan. Perlu dibentuk unit khusus dibawah keperesidenan untuk
mengambil alih fungsi perencanaan penganggaran dari Kemenkeu,
sementara Kemenkeu diperkuat posisi kelembagaannya pada TUSI treasury.
6. Pandangan Wika Harisa Putri (PUKAT)18
Wika Harisa Putri (2014) dari PUKAT, memberikan pandangan
sebagai berikut.
Penganggaran negara merupakan rencana keuangan negara yang
dilakukan secara periodik dan memiliki tahapan-tahapan tertentu
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (Soeradi, 2014). Periode
atau jangka waktu penganggaran, biasa dikenal dengan istilah budget
cyclus. Budget cyclus atau siklus penganggaran negara merupakan jangka
waktu sejak anggaran disusun sampai pada saat perhitungan anggaran
ditetapkan dengan undang-undang.
Adapun secara garis besar, fase proses penganggaran meliputi
beberapa tahap, yang pertama, Budget Preparation, merupakan tahap
persiapan anggaran oleh eksekutif (pemerintah) dan perangkat-
perangkatnya. Tahap ini meliputi dua kegiatan, yaitu perencanaan dan
penganggaran. Tahap Kedua adalah Legislative Enactment, atau
persetujuan legislatif (DPR). Tahapan ketiga yaitu Budget Execution atau
pelaksanaan APBN, kemudian tahap keempat, Financial Reporting,
18
Peneliti PUKAT, Staf Pengajar Universitas Janabadra Yogyakarta
98
merupakan kegiatan laporan akhir tahun oleh eksekutif (pemerintah)
kepada legislatif (DPR), dan yang terakhir dari siklus penganggaran yaitu
Auditing, dimana realisasi APBN diaudit oleh badan pemeriksa keuangan.
Di Indonesia, pelaporan APBN dilakukan 2 kali, yaitu laporan pelaksanaan
APBN semester I, dan laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP).
Tahapan ini merupakan bagian dari tahap pertanggungjawaban. (Bastian,
2006)
Dalam konteks perundang-undangan, fase dalam siklus APBN
diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004. Secara garis
besar, pihak yang terlibat dalam siklus APBN setidaknya tergambar dalam
diagram berikut.
Diagram Fase dalam Siklus APBN dan Lembaga Terkait
Bagian kanan dari bagan tersebut merupakan gambaran tahapan
APBN yaitu perencanaan, penganggaran, pengesahan anggaran,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Tahap perencanaan dimulai dari
penyusunan arah dan kebijakan umum APBN, yang didasarkan pada
99
rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), dan diakhiri pada saat
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) telah disahkan. Tahap penganggaran
dimulai sejak pagu sementara ditetapkan hingga pembahasan dengan DPR
mengenai Nota Keuangan (NK) & RAPBN. Sementara itu, tahap pengesahan
APBN terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pengesahan UU dan
penetapan Perpres mengenai rincian APBN. Setelah RUU APBN disahkan
menjadi UU APBN, maka setiap Kementerian/Lembaga wajib mengusulkan
draft DIPA dan menyampaikannya ke Departemen Keuangan untuk
disahkan. DIPA tersebut merupakan instrumen untuk melaksanakan APBN.
Selanjutnya, tahap pertanggungjawaban terjadi pada saat Pemerintah dan
DPR membahas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) menjadi UU.
Tahapan tersebut memunculkan konsekwensi waktu yang cukup
panjang. Jika secara kronologis dijadwalkan pada bulan Februari untuk
penyusunan pagu indikatif dan kemudian disetujui presiden dalam sidang
kabinet, kemudian diedarkan pada kementrian untuk menjadi dasar
penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian. Hasilnya akan
dikompilasi oleh Bapennas menjadi RKP. RKP ini kemudian dibicarakan
bersama DPR dan hasil kesepakatannya akan dituangkan dalam Perpres
RKP untuk tahun berikutnya. Proses sampai dengan Perpres RKP ini kurang
lebih berdurasi 3 bulan. Baru pada bulan Mei, RKP ini kemudian akan
diproses dan pagu indikatif akan ditetapkan menjadi pagu sementara yang
kemudian akan dijadikan bahan untuk menyusun kembali RKA
Kementerian/ Lembaga. Pagu sementara inilah yang merupakan angka-
angka yang akan dipasang dalam buku Nota Keuangan dan RAPBN tahun
berikutnya. Nota Keuangan dan RUU APBN tersebut disampaikan oleh
Presiden kepada DPR RI pada bulan Agustus tahun berjalan.
Sebagai tanggapan atas pidato kenegaraan Presiden tentang Nota
Keuangan & RAPBN, fraksi-fraksi akan menyampaikan pemandangan
umumnya masing-masing dalam Masa Sidang Pertama. Berdasarkan
pemandangan umum fraksi-fraksi tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh
100
Departemen Keuangan melakukan pembahasan RAPBN tahun berikutnya
bersama dengan DPR RI, dalam hal ini Panitia Anggaran. Bersamaan dengan
itu, Kementerian/Lembaga melakukan pembahasan dengan Komisi terkait
secara paralel mengenai RKA Kementerian/Lembaga masing-masing. RUU
APBN tahun berikutnya tersebut harus disahkan menjadi UU APBN pada
akhir Oktober tahun berjalan. Dengan disahkannya UU APBN, maka pagu
sementara akan ditetapkan menjadi pagu definitif.
Sebagai tambahan informasi, tingkat pembicaraan RUU APBN antara
Pemerintah dengan DPR dilakukan dalam 2 tingkat pembicaraan, yaitu
Tingkat I yang meliputi: rapat Komisi, rapat gabungan Komisi, rapat Badan
Legislasi, dan rapat Panitia Anggaran, atau rapat Panitia Khusus, serta
Tingkat II yang meliputi: rapat Paripurna pengambilan keputusan. Sebelum
dilakukan pembicaraan Tingkat I dan Tingkat II tersebut diadakan Rapat
Fraksi.
Berdasarkan UU APBN yang telah disahkan tersebut,
Kementerian/Lembaga bersama dengan Departemen Keuangan dan
Bappenas menyusun Rincian Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga
untuk menetapkan RAB Kementerian/Lembaga per jenis belanja dan
mencocokan dengan standar biaya agar terjadi efisiensi anggaran. RAB
tersebut harus disahkan paling lambat pada akhir November tahun berjalan.
Berdasarkan RAB Kementerian/Lembaga tersebut, Kementerian/Lembaga
menerbitkan DIPA yang selanjutnya diserahkan ke Departemen Keuangan
c.q Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Ditjen PBN) untuk mencocokan
dengan RAB Kementerian/Lembaga dan proses pencairan anggaran. DIPA
Kementerian/Lembaga tersebut harus sudah diserahkan oleh masing-
masing Kementerian/Lembaga kepada DJPb paling lambat 31 Desember
tahun berjalan.
Dari kronologi diatas, ada beberapa hal yang ingin dikritisi terkait
dengan tahapan dalam siklus penganggaran negara. Siklus pertama yaitu
perencanaan (budget preparation), dimana perencanaan tersebut dilakukan
101
oleh jajaran eksekutif, terkesan kurang memanfaatkan waktu secara baik.
Hal ini terlihat dari konsumsi waktu penyusunan RPJM menjadi RKP yang
memerlukan waktu setidaknya 3 bulan untuk sampai kepada penyusunan
pagu indikatif. Padahal, penyusunan pagu indikatif, yang nantinya akan
disesuaikan lagi dengan pagu sementara dan ditetapkan dalam pagu
definitif, masih memiliki perjalanan yang cukup panjang.
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk dicermati
pada fase budget preparation, yaitu fase Penyusunan Proyeksi Pendapatan
Negara dan Hibah, Penyusunan Proyeksi Belanja Negara, Penyusunan
Proyeksi Pembiayaan Anggaran, dan Penyusunan Postur RAPBN dalam
Rangka Penyusunan Kapasitas Fiskal. Keempat fase tersebut, sebaiknya
dapat dilakukan secara lebih cepat, mengingat kegiatan penyusunan
proyeksi pendapatan dan belanja, pembiayaan dan postur RAPBN
merupakan kegiatan rutin yang bersifat periodik, sehingga setidaknya
efisiensi waktu dapat dilakukan sebaik-baiknya.
Berikutnya adalah soal kategorisasi pagu. Sebaiknya, untuk lebih
mengefisienkan waktu dan juga proses pembahasan, pagu indikatif dan
pagu sementara sebaiknya disatukan saja, sehingga nantinya hanya akan
terdapat dua pagu, yaitu pagu indikatif dan pagu definitif. Hal ini tentu saja
akan membawa konsekwensi bahwa pada saat pembicaraan pagu indikatif,
harus sudah dipertimbangkan berbagai hal yang kemungkinan
menyebabkan terjadinya perbedaan nilai pagu, sehingga koreksi yang
dilakukan tidak lagi bernilai signifikan. Hal ini juga akan mempersempit
ruang untuk melakukan “negosiasi” yang dilakukan oleh eksekutif terhadap
legislatif, yang berujung pada tindakan-tindakan melawan hukum.
Karena kegiatan perencanaan atau budget preparation ini murni
melibatkan unsur eksekutif, maka pada tahapan inilah dimungkinkan
terjadi pemadatan siklus penganggaran sehingga nantinya akan
mempercepat proses penganggaran yang melibatkan unsur legislatif.
102
Kedua, pada siklus penganggaran, penyampaian nota keuangan dan
RAPBN yang sudah merupakan semacam konvensi kenegaraan, selalu
disampaikan pada bulan Agustus. Padahal, tahapan setelah itu masih cukup
panjang dan melibatkan DPR berikut 2 tingkatan pembicaraan yang biasa
dilakukan. Hal ini membuat waktu yang diperlukan untuk sampai pada
tahapan pengesahan UU APBN pada bulan Oktober.
Ketiga, pada siklus pengesahan anggaran, setelah disahkan,
Kementerian terkait masih akan menyusun rincian anggaran belanja yang
harus diserahkan setidaknya sampai akhir tahun ke Kementerian Keuangan.
Hal tersebut yang kemudian secara logis membuat pencairan anggaran
negara selalu mengalami keterlambatan.
Menyikapi usulan yang dimunculkan oleh LAN dalam policy brief
tentang integrasi sistem perencanaan dan pembangunan nasional, yang
kemudian mengajukan beberapa usulan terkait dengan langkah-langkah
efektifitas perencanaan penganggaran yang memiliki konsekwensi
ketatalaksanaan maupun kelembagaan, menurut saya, hal tersebut
merupakan salah satu upaya yang perlu didorong agar kegiatan budget
preparation yang masih berada dalam lingkup kerja eksekutif dapat dikelola
dengan baik.
Dalam kaitannya dengan penganggaran negara, penganggaran
daerah juga kurang lebih memiliki fenomena yang sama. Dalam
penganggaran daerah, siklus budget preparation dimulai dari penyusunan
RPJMD yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Akan tetapi,
penyusunan RPJMD selama ini dalam kenyataannya hanya merupakan
prosedur formal yang harus dipenuhi dalam fase budget preparation saja.
Hal ini menurut Bastian (2008) disebabkan oleh kapasitas sumberdaya
manusia (SDM). Kapasitas SDM ini juga merupakan salah satu penyebab
utama permasalahan keterlambatan siklus penganggaran. Bagaimanapun,
keterwakilan berbagai elemen masyarakat (dengan kapasitas
bagaimanapun) adalah sumber aspirasi program pembangunan.
103
Keterbatasan SDM tersebut menyebabkan usulan program yang dituangkan
dalam RPJMD hanya merupakan ide sekumpulan elit masyarakat yang
paham dengan konteks program pembangunan daerah.
Masih menurut Bastian (2008), titik-titik kritis permasalahan
tersebut adalah sinergi program dan kegiatan antar Forum SKPD dan
Musrenbang dalam hal kesamaan visi program dan kegiatan yang akan
diusulkan. Kedua, penetapan KUA dan PPAS, yaitu terjadinya konsensus
antar eksekutif dan DPRD tentang daftar prioritas program dan kegiatan
serta proporsi utama bagi prioritas tersebut. Ketiga, penetapan RKPD (dan
Renja) sebaiknya dapat langsung disyahkan tanpa menunggu RAPBD,
sehingga konsensus atas program dan kegiatan antar eksekutif dan DPRD,
sudah disyahkan sejak awal. Keempat, Pembahasan Komisi atas RAPBD,
lebih ditujukan untuk memindahkan program ke anggaran tahun
berikutnya, untuk mengurangi kegiatan dalam program tahun tersebut, dan
untuk menambah program dengan adanya kelebihan dana. Kelima,
penetapan APBD lebih ditujukan pada kesepakatan atas prestasi yang akan
dicapai.
Adapun alternatif solusi agar keterlambatan APBD dapat dikurangi
menurut Bastian adalah dengan:
1. Membentuk konsensus antara Gubernur/Bupati/Walikota, dan Ketua
DPRD tentang teknis penyusunan anggaran dengan fokus
perencanaan,
2. Intervensi kepemimpinan bersama atas persiapan dan pelaksanaan
perencanaan program dan kegiatan,
3. Pembahasan Komisi DPRD tentang KUA dan PPAS, khususnya lebih
difokuskan pada persetujuan program dan kegiatan,
4. Penetapan Renja dan RKPD sebaiknya dibulan Juli-Agustus,
5. Penetapan standar harga di tahun anggaran berikutnya pada bulan
Juli,
104
6. Rekapitulasi RKA SKPD, yang diposisikan lebih merupakan
implementasi standar harga pada kesepakatan satuan unit, dari
program dan kegiatan yang telah disetuju dalam Renja dan RKPD, dan
terakhir,
7. Pembahasan Komisi dan Panja Anggaran DPRD sebaiknya lebih
berfokus pada pengalihan waktu program dan kegiatan sesuai dengan
kapasitas dana.
Adapun strategi tindak lanjut yang bisa dilakukan, maka eksekutif
sebagai pelaksana anggaran setidaknya bisa melakukan persiapan
Musrenbang lebih awal, Penetapan Renja dan RKPD sejak awal,
pembahasan Renja, RKPD selaras dengan pembahasan KUA dan PPAS, yaitu
dilakukan bersama DPRD dan sebaiknya dilakukan dalam sidang paripurna
DPRD maksimal 1 bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan (awal
Desember).
Sedangkan bentuk dukungan legislatif terhadap upaya
memperpendek jangka waktu budget preparation ini bisa dilakukan dengan
mengubah fokus lebih ke perencanaan, melakukan pembahasan secara rinci
terhadap teknik pencapaian visi melalui program, dan kegiatan pada saat
penyusunan Renja dan RKPD serta mengeluarkan regulasi yang lebih
mendorong fokus perencanaan pada penyusunan APBD.
Kedua fenomena tersebut, baik dalam konteks APBN maupun APBD,
keduanya sama-sama memberikan gambaran tentang pentingnya dilakukan
upaya perbaikan pada tahap budget preparation, dimana secara logis,
tahapan ini masih berada pada payung koordinasi eksekutif, baik pada
tingkat pusat maupun daerah. Penyelesaian atau jalan keluar dari
permasalahan keterlambatan APBN/D dalam hal ini dapat dilakukan
dengan alternatif penyelesaian yang menitikberatkan pada integrasi
kelembagaan sehingga mampu mempersingkat jalur koordinasi, dan
diharapkan akan berdampak pada memperpendek jangka waktu dan
105
meningkatkan kinerja pada tahapan budget preparation. Satu hal yang perlu
digarisbawahi dalam hal ini adalah, bahwa cara pandang yang terbentuk
dan mendasari penyusunan langkah dalam budget preparation harus secara
sistematis dan dilakukan dalam perspektif multi tahun dan berkelanjutan.
D. Hasil Validasi atas Draft Hasil Kajian.
1. Lokasi : FH Universitas Udayana
a. Permasalahan
1) Selama ini persetujuan anggaran dilakukan di Bappenas dan Ditjen
Anggaran, terbukti tidak sesuai dengan harapan sebagaimana
disampaikan tim. Kami sebenarnya melihat hal ini tidak hanya
persoalan kelembagaan (struktur) melainkan juga kesiapan SDM
aparaturnya dalam melaksanakan pembahasan. Oleh karenanya,
penguatan SDM ini perlu dilakukan baik di lingkup Bappenas
maupun di Ditjen Anggaran (kementerian keuangan).
2) Di dalam lingkup nasional, peran Bappenas semakin menurun
sebagai perencana pembangunan nasional. Dalam sebuah
pertemuan di Jakarta, Bappenas mengumumkan data dari
kementerian/lembaga tetapi ternyata ada dua kementerian/
lembaga yang belum mengumpulkan data dimaksud. Bagaimana
mungkin lembaga yang difasilitasi/dibiayai oleh pemerintah/
negara justru ‘curhat’ kepada masyarakat (LSM).
3) Terkait penganggaran, pemerintah sebenarnya sudah
mengeluarkan aturan tentang at cost dalam setiap penggunaan
anggaran. Kebijakan ini adalah cara untuk mengendalikan
anggaran.
4) Karena itu, kegiatan ini sangat relevan terutama jika dikaitkan
dengan implementasi pelaksanaan anggaran di daerah yang – lebih
sering menjadi “korban” daripada menjadi subyek dalam
pelaksanaan penganggaran. Akibatnya, pemerintah daerah sering
106
menjadi “kerepotan” karena anggaran yang turun (DIPA) terlambat.
Bulan Oktober baru turun dana dari pusat (dana dekonsentrasi),
bagaimana kegiatan dapat dilaksanakan, sedangkan di sisi lain
dilaksanakan salah, tidak dilaksanakan juga salah. Seharusnya pagu
dana dekonsentrasi sudah diketahui pada bulan Juni tahun
sebelumnya.
5) Sejalan dengan narasumber sebelumnya, perubahan kebijakan
perencanaan dan penganggaran di pusat ini akan berimplikasi
kepada perencanaan dan pembangunan daerah.
b. Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian
1) Pemerintah pada dasarnya telah melakukan upaya-upaya reform
atau perubahan, salah satunya yang sedang dilakukan LAN saat ini
yaitu integrasi perencanaan dan penganggaran. Namun terkait opsi
kebijakan yang dipaparkan oleh tim kajian kami mempertanyakan
jaminan apa yang bisa diberikan kalau perencanaan dan
penganggaran dilaksanakan di sekretariat perencanaan program
dan anggaran (Set. P2A) pada kantor kepresidenan akan lebih cepat
dibanding sebelum-sebelumnya?
2) Akan tetapi, satu hal yang menjadi perhatian kita adalah mengenai
opsi pembentukan unit kantor kepresidenan (kanpres) khususnya
opsi pertama (progresif) – merger Bappenas dan Ditjen Anggaran –
dikhawatirkan akan menjadikan presiden sebagai tersangka jika
terjadi masalah.
3) Pembentukan lembaga baru – apapun namanya – dalam upaya
memperbaiki pelaksanaan perencanaan dan anggaran sah-sah saja
tetapi jika lembaga yang dibentuk tidak mampu menjalankan tugas
dan fungsi sebagaimana yang direncanakan maka pembentukan
lembaga baru tersebut kurang bermanfaat.
4) Ketika merger (Bappenas dan Ditjen Anggaran Kemenkeu) justru
akan menjebak Presiden.
107
5) Jaminan ini diperlukan untuk mengukur efektivitas dan efisiensi
terlaksananya integrasi perencanaan program dan anggaran yang
selama ini dimaksudkan untuk mempercepat proses persetujuan
anggaran. Kami setuju, jika opsi-opsi yang disampaikan dalam
kajian ini dapat mengarahkan kepada percepatan persetujuan
anggaran yang diajukan.
6) Untuk mengamankan Presiden agar tidak menjadi “tersangka”
maka dapat dibentuk lembaga baru (badan) yang terpisah dari
kantor kepresidenan. (Pembentukan lembaga baru yang terpisah
dari Presiden diharapkan dapat mengamankan Presiden).
7) Regulasi yang dihasilkan dari kajian ini diharapkan dapat sinkron
dengan perencanaan dan penganggaran yang dilakukan di daerah
karena kekacauan manajemen pemerintahan disebabkan oleh
pemerintah pusat.
8) Terkait pembentukan lembaga baru sebagaimana disampaikan tim
kajian, akan berimplikasi luas pada kewenangan. Artinya, lembaga
ini tidak akan bermanfaat jika tidak dilengkapi dengan kewenangan
yang memadai. Banyak lembaga yang dibentuk tetapi
kewenangannya tidak jelas.
9) Kalaupun akan dibentuk lembaga baru, maka lembaga baru harus
dilengkapi dengan kewenangan yang jelas.
10) Wacana integrasi perencanaan dan penganggaran mau tidak mau
akan menimbulkan pengaturan baru dalam sistem hukum kita.
Disini perlu dilakukan penyusunan bank peraturan perundang-
undangan (data base perundangan).
11) Database ini sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih
peraturan perundangan yang akan diterbitkan dan sekaligus bisa
dijadikan rujukan dalam menyusun peraturan perundang-
undangan baru. Saat ini sudah tersedia JDIH (Jaringan Dokumentasi
108
Informasi Hukum), namun nampaknya perlu dioptimalkan
pemanfaatannya.
2. Lokasi : FH Universitas Sumatera Utara
a. Permasalahan
Terjadinya tumpang tindih kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah dapat kita cermati dari kasus - kasus di daerah. Contoh
terlalu kuatnya interpensi DPR dipusat dan DPRD di daerah. Contoh
tersebut dapat kita lihat dalam hal rencana pembangunan Nasional
karena bisa saja kepentingan politik atau adanya order atau
permintaan sehingga anggaran yang diajukan selalu tersendat, tidak
transparan walaupun pembangunan harus secepatnya dilaksanakan.
Hal ini terjadi seringkali pada pelaksanaan pembangunan jalan,
pelaksanaan dan perencanaan anggaran keuangan yang terjadi selama
ini di Indonesia, menjadi permasalahan bagi eksekutif untuk
melakukan pekerjaannya. selanjutnya dalam musyawarah rembuk
pembangunan (musrenbang), jika muncul usulan perencanaan yang
diajukan peserta rapat setelah dikirim ke Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bapeda) bisa saja dicoret demikian halnya di
Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional) hal ini dapat
dilihat dalam anggaran kesehatan yang diajukan oleh Dinas Kesehatan
dan anggaran Dinas Pekerjaan Umum misalnya akan membuat
drainaise.
b. Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian
1) Pada pembentukan sekretariat perencanaan program dan anggaran
pada kantor kepresidenan menurut saya opsi kedua yang paling
tepat yakni sekretariat perencanaan program dan anggaran
dibentuk dari Bappenas ditambah dengan menarik sebagian fungsi
Ditjen anggaran (Kementrian Keuangan) yaitu fungsi perumusan
kebijakan di bidang penganggaran dan fungsi evaluasi di bidang
109
penganggaran. Dengan demikian fungsi Bappenas tetap solid,
walaupun tetap dibantu oleh Kementrian Keuangan
2) Tetapi kedua lembaga ini harus tetap berkoordinasi untuk
pengajuan anggaran karena secara otomatis mereka sudah
digabungkan dalam satu atap hal ini merupakan penyederhanaan
birokrasi. Keadaan demikian mereka tidak lagi berjalan sendiri –
sendiri sehingga diperoleh Win-Win Solution yakni penggabungan
Bappenas dengan Kementrian Keuangan menjadi sekretariat
perencanaan program dan anggaran, sehingga tidak akan muncul
lagi ego masing – masing dengan memajukan kepentingan
kelompok. Dengan demikian akan tercapai pembangunan Nasional
yang Pro Rakyat dan menuju rakyat sejahtera dalam pemerintahan
yang baik.
3. Lokasi : FH Universitas Airlangga
a. Permasalahan
1) Pada UU No. 25 Tahun 2004 untuk perencanaan tidak menyentuh
desa, sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 walau cuma beberapa
pasal dapat mengatur sampai ke bawah
2) Jaman dahulu perencanaan sangat simple tapi sampai ke hilirnya
mengerti, tapi untuk sekarang lebih rumit
3) Jaman dahulu Pak Harto bicara perencanaan akan jelas sampai
jumlah nominal serta cara-caranya dalam penganggaran. Sekarang
tidak jelas
4) Jaman dulu eksekusi penganggaran policy itu simetris dengan
penganggaran dan sampai dengan level masyarakatnya. Sekarang
tidak jelas sampai ke masyarakatnya
5) Kasus Hambalang kasus yang terlalu memaksakan hak budget-nya
DPR/eksekutif
6) Program belum menyentuh masyarakat luas
110
7) Harus ada sinkronisasi di level atas mengenai perencanaan dan
penganggaran agar kami di level bawah dapat mengikuti dengan
baik
8) Masih adanya ego sektoral akibat lemahnya koordinasi, integrasi,
sinkronisasi dan simplifikasi (KISS):
9) Pusat terkadang salah mentafsirkan permasalahan daerah
10) Money follow program dalam Pemda Jatim sudah berjalan bukan
money follow function
11) Buruknya sinergias: Ukuran dan prestasi kinerja? Terhadap hal ini
perlu dianalisis secara tematik mengenai “kualitas sinergitasnya”:
bersifat personal atau institusional?
12) Kurangnya interkoneksi antar berbagai lembaga: K/L pada
dasarnya telah memiliki tupoksi yang harus dirancang melalui
perencanaan dengan alokasi anggaran utk menggerakkan
programnya.
b. Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian
1) Menurut kami opsi moderat dapat dijalankan karena perlu adanya
sinkronisasi.
2) Dimana letak kekurangan interkoneksi tersebut: beri bagan dengan
persandingan yg dpt menjelaskan mengenai hal tersebut.
interkoneksi itu terbangun karena program atau korelasi
kelembagaannya? Inventarisasi sebab-sebabnya.
3) Makna KISS dalam suatu K/L dan ukuran berjalannya KISS.
4) Keterkaitan antara KISS dengan kesejahteraan rakyat, apakah
kesejahteraan rakyat ditentukan oleh KISS dan bagaimana
hubungan KISS dengan kesejahteraan rakyat?
5) Ukuran kesejahteraan rakyat dapat dilihat dari 5 IKU (Kinerja
Ekonomi, Penurunan Kemiskinan, Tingkat Pengangguran Terbuka
111
(TPT), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Disparitas
Wilayah).
6) Pendekatan penggabungan menjadi over organize apabila bersifat
permanen, tetapi apabila bersifat ad hock akan menjadi lebih
efektif.
4. Lokasi : Pusat Kajian Anti Korupsi - Universitas Gadjah Mada
a. Permasalahan
1) Perencanaan dan penganggaran (planning and budgeting) tidak ada
dalam keterpaduan perumusan dan penyusunan
2) Kelembagaan perencanaan (Bappenas) dan kelembagaan
penganggaran (Ditjen anggaran) tersandera pada sindrom
ketiadaan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi
3) Trilateral meeting tidak menjamin harmonisasi planning &
budgeting karena Bappenas dengan Dirjen Anggaran ada pada
orientasi kepentingan yang berbeda, sementara disisi lain lain K/L
sebagai institusi yang langsung bersentuhan dengan implementasi
rencana kerja adalah pihak yang paling relevan dengan penerapan
penganggaran terpadu
4) Budget preparation yang dilakukan jajaran eksekutif dalam
penyusunan RPJM menjadi RKP yang memerlukan waktu
setidaknya 3 bulan untuk sampai pada pagu indikatif, sehingga
terkesan kurang memanfaatkan waktu secara baik. Fase
penyusunan proyeksi pendapatan negara dan hibah, proyeksi
belanja negara, penyusunan proyeksi pembiayaan anggaran dan
penyusunan postur RAPBN dalam rangka penyusunan kapasitas
fiskal sebaiknya dilakukan lebih cepat karena hal tersebut
merupakan kegiatan rutin yang bersifat periodik
112
5) Kategorisasi pagu antara Pagu Indikatif dan Pagu Sementara
terpisah. Untuk mengefisienkan waktu dan juga proses
pembahasan, pagu indikatif dan pagu sementara sebaiknya
disatukan, nantinya hanya akan terdapat dua pagu, yaitu pagu
indikatif dan pagu definitif. Dengan pemadatan siklus budget
preparation diharapkan dapat mempercepat proses penganggaran
yang melibatkan unsur legislatif
6) Penyampaian nota keuangan dan RAPBN selalu disampaikan pada
bulan agustus, padahal tahap setelah itu masih cukup panjang dan
melibatkan DPR berikut 2 tingkatan pembicaraan yang biasa
dilakukan, sehingga hanya ada waktu 2 bulan untuk sampai pada
tahapan pengesahan UU APBN, yaitu bulan Oktober
7) Setelah pengesahan UU APBN, kementerian terkait masih akan
menyusun RAB yang harus diserahkan setidaknya sampai akhir
tahun ke Kementerian Keuangan, sehinga secara logis membuat
pencairan anggaran negara selalu mengalami keterlambatan.
b. Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian
1) Paradigma baru Sistem Penganggaran dengan pendekatan
penganggaran berbasis kinerja; Kerangka pembangunan jangka
menengah; dan anggaran terpadu dapat diwujudkan dengan
integrasi
2) Mampu mempersingkat jalur koordinasi dan diharapkan
berdampak pada memperpendek jangka waktu dan meningkatkan
kinerja pada budget preparation, sehingga permasalahan
keterlambatan APBN/D dapat diatasi
3) Setelah proses teknokratik di eksekutif, akan dilanjutkan dengan
proses politik di DPR yang memungkinkan anggaran yang sudah
terintegrasi dengan perencanaan menjadi tidak terintegrasi
kembali.
113
4) Memadukan planning & budgeting dalam satu kelembagaan
tunggal.
5) Kelembagaan tunggal tidak sekedar ad hoc tapi bersifat permanen
6) Penyusunan dokumen RKP K/L difasilitasi dan diakomadasi oleh
kelembagaan baru yang secara langsung berada di bawah presiden
7) Memadukan Tawaran opsi moderat (acquisition, bukan marger)
yaitu akuisisi sebagian tugas fungsi DJA kedalam Kelembagaan
Bappenas berubah menjadi Set P2A. Fungsi-fungsi DJA yang lain
tetap dipertahankan sepenuhnya dalam institusi Kemenkeu.
8) Eksekutif dapat melakukan musrenbang lebih awal, penetapan
Renja dan RKPD sejak awal. Pembahasan RKPD selaras dengan
KUA dan PPAS, yaitu dilakukan bersama DPRD maksimal 1 bulan
sebelum tahun anggaran berjalan (awal Desember).
9) Perlu dukungan legislatif terhadap upaya memperpendek jangka
waktu penyusunan budget preparation dengan:
a) mengubah fokus lebih ke perencanaan;
b) melakukan pembahasan secara rinci terhadap teknik
pencapaian visi melalui program dan kegiatan pada saat
penyusunan Renja dan RKPD; serta
c) mengeluarkan regulasi yang lebih mendorong fokus
perencanaan pada penyusunan APBD.
5. Lokasi : LAN Jakarta
a. Sekretariat Kabinet
1) Permasalahan
a) Buruknya koordinasi dan kesepahaman antara Bappenas,
Kementerian Keuangan dan K/L terkait pencapaian sasaran
prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam RKP.
Program K/L tidak mengarah pada pencapaian program
nasional.
114
b) Inkonsistensi Kebijakan dalam dokumen perencanaan dan
penganggaran yaitu RPJM, RPJMD, RKP, Renja K/L dan RKA-
K/L.
c) Rendahnya komitmen bersama atas penyempurnaan terhadap
Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah, yaitu kepastian
mengenai Program/kegiatan/output/ target dan besaran
anggaran. Pola komunikasi Bappenas dengan Kementerian
Keuangan, K/L, dan Presiden belum efektif.
2) Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian
Tanggapan secara umum :
a) Belum perlu dilakukan pembentukan Set P2A
b) Tidak perlu memperpanjang prosedur dan mekanisme
penyusunan rencana dan anggaran pembangunan nasional
c) Mensinergikan peraturan-peraturan pelaksana (bukan UU)
seperti PP No. 90 Tahun 2010 guna mencapai sinergitas
proses penyusunan rencana dan anggaran pembangunan
nasional.
Tanggapan terhadap opsi kelembagaan : memerlukan revisi
terhadap UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2003,
sehingga dirasakan kurang tepat saat ini, karena :
a) membutuhkan jangka waktu panjang untuk melakukan
Revisi terhadap kedua Undang-Undang tersebut;
b) menambah kelembagaan baru (Set P2A) dan prosedur
perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional;
c) membutuhkan biaya tinggi (high cost)
Tanggapan terhadap opsi ketatalaksanaan :
a) dapat segera diimplementasikan
b) lebih efektif karena KISS dan pengambilan keputusan
program/kegiatan serta biaya dilakukan oleh Presiden
115
c) menambah dan memperpanjang prosedur dan mekanisme
dalam perencanaan dan penganggaran program kerja
b. Bappenas
1) Permasalahan
a) Sulit mensinkronkan usulan-usulan kegiatan kementerian/
lembaga dengan pemerintah daerah.
b) Ketidakjelasan pembagian kewenangan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah.
c) Perencanaan dimulai dari integrasi jangka menengah, sering
terjadi alokasi anggarannya ada tetapi tidak ada perencanaan.
d) Penganggaran harus berdasarkan fungsi
2) Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian
a) Bappenas bersama dengan Kementerian Keuangan melakukan
pengawalan penyusunan 5 (lima) program yang menjadi
prioritas pemerintah.
b) Lima program prioritas tersebut sudah disusun dan dirancang
lebih detail.
c) Program-program tersebut disusun berdasarkan base line yang
menjadi kewenangan K/L.
d) Membahas susunan prioritas program disesuaikan dengan
anggaran yang ada.
e) Menyusun prioritas program masing-masing K/L.
f) Hal-hal yang menjadi prioritas didahulukan anggarannya.
c. Ditjen Anggaran
1) Permasalahan
Siklus anggaran dalam UU nomor 17 tahun 2003 membatasi
terjadinya keterkaitan perencanaan dan penganggaran. Hal yang
membatasi tersebut termuat dalam : Pasal 12 ayat (2), Penyusunan
RAPBN berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah; dan
Pasal 13, yaitu :
116
(1) Pemerintah Pusat menyampaikan KEM & PPKF tahun anggaran
berikutnya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan
bulan Mei tahun berjalan.
(2) Pemerintah Pusat dan DPR membahas KEM & PPKF yang
diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan
pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan KEM & PPKF, Pemerintah Pusat bersama DPR
membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk
dijadikan acuan bagi setiap K/L dalam penyusunan usulan
anggaran.
2) Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian
Usulan perbaikan dalam siklus perencanaan dan penganggaran :
kegiatan penyusunan RKP, KEM dan PKF serta kegiatan pra
trilateral meeting dilakukan antar Januari – April.
117
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Pemisahan antara lembaga perencanaan dan penganggaran program
pembangunan pasca reformasi justru menimbulkan fragmentasi pemerintahan
karena fungsi penyusunan program masih tetap berada di Bappenas,
sedangkan fungsi penganggaran berada di Kementerian Keuangan. Tidak
sinerginya perencanaan dan penganggaran dalam pelaksanaan pembangunan
nasional tidak dapat dihindari meskipun telah dilakukan pertemuan tiga pihak
sebagaimana diatur dalam PP No. 90 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). Kondisi yang terjadi antara lain :
1. Buruknya koordinasi dan kesepahaman antara Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga terkait
dengan pencapaian sasaran-sasaran prioritas pembangunan nasional yang
akan dituangkan dalam RKP, pokok-pokok kebijakan fiskal dan kebijakan
belanja,
2. Inkonsistensinya kebijakan yang ada dalam dokumen perencanaan dengan
dokumen penganggaran, yaitu antara RPJM, RKP, Renja K/L dan RKA-KL,
dan
3. Rendahnya komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu dilakukan
terhadap Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah.
Dalam sistem perencanaan dan penganggaran, terdapat 2 (dua) hal
penting: (i) perencanaan program yang tepat sasaran dan (ii) perencanaan
penganggaran yang lebih efektif dan efisien. Dengan sistem perencanaan dan
penganggaran yang baik, maka program-program yang disusun adalah benar-
benar bertujuan untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan pembangunan.
Selanjutnya dalam penyusunan perencanaan penganggaran harus
menggunakan prinsip “money follow function”. Artinya penyusunan
118
perencanaan program dan penganggarannya dapat saja tidak dilaksanakan
bersamaan, tetapi secara sekuential dengan menimbang program prioritas
pembangunan terlebih dahulu.
Gambar 5.1 Hubungan SPPN dengan Pengelolaan Anggaran
Untuk konteks Indonesia, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN) sebagaimana tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2004 merupakan tahap
awal dari siklus APBN yang mencerminkan rencana pembangunan yang akan
dilaksanakan oleh seluruh Pemerintah. Kemudian rencana tersebut dilanjutkan
dengan proses penganggaran untuk mendapatkan alokasi anggaran,
TUJUAN
PEMBANGUNAN
NASIONAL
UU No.
25/2004
SPPN
PLANNING
UU No.
17/2003
KN BUDGETING
ORGANIZING
BUDGET
PLANNING
UU No. 1/2004
Actuating
UU No. 15/2004
Controlling
S I S T E M
K E U A N G A N
N E G A R A
119
sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di dalamnya juga
mengatur proses penganggaran di daerah, serta Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara. Di antara fungsi perencanaan dan penganggaran terdapat irisan
proses yang kemudian sering menjadi permasalahan walaupun telah
dipayungi dengan PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah
dan PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga beserta peraturan perubahan dan peraturan
pelaksanaannya. Ketentuan tersebut sebenarnya dimaksudkan sebagai
jembatan penghubung antara Bappenas sebagai Perencana dan Kemenkeu
dalam menyusun anggaran. Irisan (budget planning) itulah yang harus dikelola
dengan baik agar sistem perencanaan peganggaran pembangunan nasional
akan lebih baik, efisien dan equity.
Berdasarkan konsep membangun sinergi dari sudut pandang hukum
administrasi negara, maka untuk mewujudkan keterpaduan fungsi
perencanaan yang diselenggarakan Bappenas dan fungsi penganggaran yang
diselenggarakan oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, dapat
dilakukan dengan cara menempuh salah satu dari 3 (tiga) opsi kebijakan
sebagai berikut.
Tabel 5.1 Opsi Kebijakan Integrasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran
Opsi Tinjauan Hukum Administrasi Negara
Keterangan
1 sinergitas tindakan hukum (rechshandelingen),
yaitu penataan kembali perbuatan hukum dalam perencanaan dan penganggaran, baik tindakan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang bersegi dua (tweezidge publiekrechtelijke handeling);
120
Opsi Tinjauan Hukum Administrasi Negara
Keterangan
2 sinergitas hubungan hukum (rechtsbetrekkingen),
yaitu penataan kembali antar-wewenang yang dimiliki Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam hubungannya dengan lembaga pemerintah dan lembaga Negara
3 sinergitas kedudukan hukum (rechstatus),
yaitu penataan kembali kelembagaan Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam kaitannya dengan kedudukan kelembagaannya
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
B. Rekomendasi Kebijakan
Agar terwujud integrasi perencanaaan dan penganggaran
pembangunan nasional yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat, LAN
menyampaikan opsi kebijakan dari perspektif jangka pendek (perbaikan
tatalaksana) dan jangka panjang (perbaikan kelembagaan).
1. Jangka pendek, secara ketatalaksanaan diperlukan pembenahan terhadap
proses dan prosedur perencanaan program kegiatan dan penganggaran di
Indonesia. Tatalaksana perencanaan dan penganggaran ke depan
dilakukan dengan mekanisme tata kerja sebagai berikut.
a. Presiden menetapkan Visi, misi, program kerja,
b. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
menerjemahkan pencapaian visi, misi dan program presiden dalam
RPJM disertai target output dan outcome yang harus dicapai oleh
kementerian/lembaga. Target tersebut kemudian diinput dalam
sebuah sistem aplikasi perencanaan program/kegiatan. Selain itu,
disusun pula pedoman untuk penyusunan RENSTRA dan penyusunan
usulan program/kegiatan yang harus dilakukan oleh K/L. Sementara
itu, Kementerian Keuangan menyusun estimasi rencana penerimaan
negara untuk 5 (lima) tahun ke depan
c. Kementerian/Lembaga menyusun RENSTRA dengan mengacu pada
RPJM dan pedoman yang telah ditentukan.
121
d. Setiap tahun, Kementerian/Lembaga menyusun usulan program/
kegiatan berdasar RPJM beserta estimasi rencana anggaran yang
diperlukan. Usulan tersebut disampaikan melalui sebuah sistem
aplikasi perencanaan program/kegiatan pembangunan
e. Setiap Tahun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Bappenas mengevaluasi kinerja program/kegiatan tahun lalu dan
usulan program/kegiatan tahunan yang disampaikan melalui sistem
aplikasi, serta menetapkan program/kegiatan tahunan yang akan
dilaksanakan dan dibiayai (RKT). Sementara Kementerian Keuangan
mengevaluasi kinerja efisiensi anggaran, dan menetapkan sumber
pembiayaan pembangunan.
f. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
menyusun dokumen RKP, sementara Kementerian Keuangan
menyusun dokumen RAPBN
g. Presiden menetapkan dokumen nota keuangan untuk disampaikan ke
DPR
Secara ringkas dapat dilihat pada skema berikut ini.
122
USULAN SKEMA HUBUNGAN TATA KERJA INTEGRASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN K/L
Presiden
Kementerian PPN/Bappenas
Kementerian/ Lembaga
Kementerian PPN/Bappenas
Kementerian Keuangan
Kementerian PPN
Kementerian Keuangan
Presiden
DPR
Menetapkan Visi, Misi, program kerja “Nawa Cita”
Menyusun RPJMN, Pedoman penyusunan RENSTRA dan usulan
program/kegiatan oleh K/L
Menyusun usulan program/kegiatan tahunan dan rencana anggaran yang
diperlukan
Mengevaluasi kinerja program, usulan program/kegiatan tahunan dan Menetapkan
program/kegiatan tahunan yang akan dilaksanakan dan dibiayai
Menyusun estimasi penerimaan negara
Menyusun dokumen RAPBN
Menyusun dokumen RKP
Menetapkan dokumen nota keuangan PROSES TEKNOKRATIK
PROSES POLITIK
Kementerian Keuangan
Mengevaluasi kinerja efisiensi anggaran, dan Menetapkan sumber pembiayaan pembangunan
RPJM
RKT
Menyusun RENSTRA Kementerian/ Lembaga
123
2. Jangka Menengah, secara kelembagaan, fungsi koordinasi, integrasi,
sinkronisasi dan sinergi atas rencana program kegiatan dan anggaran
dilakukan oleh Bappenas yang akan ditempatkan di Kantor
Kepresidenan, dengan nomenklatur Sekretariat Perencanaan
Program dan Anggaran.
a. Tugas Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran :
Menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi
serta mengevaluasi dan menetapkan rencana program
pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/
lembaga.
b. Fungsi, Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran :
1) Pelaksanaan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi
rencana program pembangunan dan anggaran (budget planning)
kementerian/lembaga.
2) Pelaksanaan evaluasi rencana program pembangunan dan
anggaran (budget planning) kementerian/lembaga.
3) Penetapan program pembangunan dan anggaran (budget
planning) pembangunan yang akan dilaksanakan oleh
kementerian/lembaga.
c. Kewenangan Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran:
Menetapkan program dan kegiatan pembangunan K/L yang
akan dilaksanakan dan dibiayai dengan anggaran yang tersedia,
mengacu pada visi misi dan prioritas program kerja Presiden dan
RPJM.
Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran pada Kantor
Kepresidenan tersebut, terbentuk melalui 3 (tiga) opsi sebagai berikut:
1) Opsi 1 (Progresif), Bappenas dan Ditjen Anggaran merger menjadi
“Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor
Kepresidenan (Set P2A Kanpres)
124
2) Opsi 2 (moderate) Bappenas menjadi “Sekretariat Perencanaan
Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A
Kanpres), dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/ kewenangan
pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A
Kanpres
3) Opsi 3 (konservatif) Bappenas tetap tapi fungsi/ kewenangan
pengambilan keputusan penetapan prioritas program/ kegiatan
pindah ke Set P2A Kanpres, dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/
kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran
pindah ke Set P2A Kanpres.
Secara ringkas dapat dilihat pada Tabel berikut
Tabel 5.2 Opsi Pembentukan Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran pada
Kantor Kepresidenan Opsi
Pembentukan Bappenas Ditjen
Anggaran Catatan Potensi
Permasalahan HAN Solusi HAN
1 (Progresif) merger menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan
Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres)
Memperhatikan • target visi misi
program kerja Presiden terpilih
• RPJP
• Benturan dengan UU 17/2003 dan
UU 25/2004 • Kantor
Kepresidenan belum
terakomodasi dalam Perpres No. 165 Thn 2014
• Revisi UU 17/2003 dan
UU 25/2004 • Penerbitan
Perpres tentang
Kantor Kepresidenan
2 (Moderat) menjadi “Sekretariat Perencanaan
Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan
(Set P2A Kanpres)
Tetap , tapi fungsi/ kewenangan
pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah
ke Set P2A Kanpres
Memperhatikan UU 17/2003
• Kantor Kepresidenan belum
terakomodasi dalam Perpres 165/2014
• KemenPPN dan
Bappenas adalah satu kesatuan (UU 25/2004), sehingga jika
Bappenas ditarik ke SetP2A maka KemenPPN tidak layak sebagai
Kementerian karena hanya menyisakan tugas fungsi yang
bersifat internal
• Penerbitan Perpres tentang
Kantor Kepresidenan
• Keppres/ perpres ttg
Bappenas dicabut oleh Perpres baru ttg Sekretariat
di lingkungan Kantor Kepresidenan
125
Opsi
Pembentukan
Bappenas Ditjen
Anggaran
Catatan Potensi
Permasalahan HAN
Solusi HAN
3 (Konservatif) Tetap,
Tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan
penetapan prioritas program/ kegiatan
pindah ke Set P2A Kanpres
Tetap ,
tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan
pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres
• Memperhati-
kan • UU 25/2004, • UU 17/2003,
• Fungsi KISS Set P2A pada Kantor Kepresidenan
Kantor
Kepresidenan belum terakomodasi dalam Perpres No.
165 Thn 2014
Penerbitan
Perpres tentang Kantor Kepresidenan
126
127
BAB V
IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN LANGKAH TINDAK LANJUT
A. Dampak Hasil Kajian terhadap Kebijakan Perencanaan dan
Penganggaran
Hasil kajian ini semakin menegaskan adanya fakta ego sektoral dan
disharmonisasi dalam sistem perencanaan dan penganggaran, sebagaimana
disampaikan dalam beberapa hasil kajian atau penelitian terkait. Untuk itu,
kajian dapat menjadi trigger bagi Presiden agar segera melakukan penataan
kebijakan, kelembagaan dan mekanisme perencanaan dan penganggaran di
Indonesia.
Berdasarkan Pasal 23 Perpres 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas
dan Fungsi Kabinet Kerja, paling lambat sampai November 2015, akan
dilakukan penataan organisasi kabinet kerja. Terkait hal itu, hasil kajian ini
dapat menjadi referensi (academic paper) bagi Presiden untuk melakukan
penataan fungsi, tugas dan kewenangan lembaga Kementerian PPN/Bappenas
dan Kementerian Keuangan, khususnya terkait dengan aspek perencanaan dan
penganggaran.
Namun, penataan kelembagaan kabinet kerja dimaksud harus sinergi
dengan penataan kebijakan di bidang sistem perencanaan dan penganggaran.
Dalam hal ini, perlu dilakukan penataan secara sistematis dari level kebijakan
Undang-Undang (bersama DPR), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden
hingga Peraturan Menteri yang mengatur mengenai perencanaan dan
penganggaran.
Khusus terkait pelembagaan dan mekanisme Pertemuan Tiga Pihak
(trilateral meeting) --- yang berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi Kajian
ini diselenggarakan di Kantor Keresidenan ---, tetap dapat dilaksanakan tanpa
harus menunggu perubahan regulasi. Hal ini berdasarkan pada kewenangan
dasar Presiden selaku Kepala Pemerintahan (executive power), sehingga dapat
128
mengeluarkan kebijakan di ranah eksekutif sepanjang bertujuan untuk
mewujudkan efisiensi dan efektifitas. Dalam rangka upaya integrasi forum dan
harmonisasi sistem perencanaan dan penganggaran, maka hasil kajian ini akan
dapat menjadi panduan bagi Presiden untuk merumuskan format forum dan
mekanismenya.
Secara umum, dalam penyusunan kajian ini sudah melibatkan
pimpinan isntansi terkait, khusus Bpk. Andi Widjajanto (Sekretaris Kabinet)
yang secara khusus hadir langsung dalam acara FGD di Kantor LAN. Dalam
acara tersebut, pada prinsipnya beliau memahami usulan pembentukan Kantor
Kepresidenan dan perlunya penataan sistem perencanaan serta penganggaran
agar dapat selaras dengan prioritas dan gaya kepemimpinan (leadership style)
Presiden. Tentu saja, upaya penataan ini harus tetap memperhatikan stabilitas
dan dinamika politik, sehingga perlu dikaji momentum yang tepat untuk
melaksanakannya.
B. Rencana Tindak (Action Plan)
Agar hasil kajian ini dapat bernilai manfaat/berdampak secara nyata
dalam reformasi sistem perencanaan dan penganggaran, perlu dilakukan
beberapa rencana tindak berikut ini :
1. Jangka Pendek (sebelum Februari 2015)
Mengajukan policy brief kajian ini kepada Presiden cq. Sekretaris Kabinet,
sehingga dapat menjadi bagian dalam perubahan struktur organisasi
kabinet kerja sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 165 Tahun
2014.
2. Jangka Menengah (sampai akhir Desember 2015)
Mengajukan usulan perubahan kebijakan sebagai landasan hukum
penataan sistem perencanaan dan penganggaran, di level Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden. Pada saat bersamaan, mengusulkan
kepada Presiden dan Menteri terkait agar revisi UU No. 17 Tahun 2003 dan
UU No. 25 Tahun 2004 dapat masuk dalam usulan prioritas di luar
129
Prolegnas 2015. Selanjutnya, diharapkan proses revisi terhadap kedua
Undang-Undang tersebut segera dilaksanakan, agar dapat menjadi
landasan hukum bagi penataan sistem perencanaan dan penganggaran di
Indonesia.
130
131
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku-buku
Mintzberg, Henry. (1994). The Rise and Fall Strategic Planning: Reconceiving
Roles for Planning, Plans, Planners. (New York: The Free Press).
Reginald, Jones , L. dan Trentin, H. George. (1966). Budgeting : Key to Planning
And Control. (New York: The American Management Association,Inc)
Bastian, Indra. (2006). Sistem perencanaan dan penganggaran pemerintahan
daerah di Indonesia. (Jakarta: Grasindo).
BAPPENAS. (2010). Sejarah Perencanaan Pembangunan Indoensia 1945-2025
Fisher, Ronald C. (2007). State And Local Public Finance. (Indiana: Thomshon
South-Western).
Suparmoko, M. (2000). Keuangan Negara. (Yogyakarta: BPFE).
b. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja
dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun 2010
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan
132
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Pembangunan Nasional
Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri
Keuangan No. 0142/M.PPN/06/2009 dan No. 1848/MK/2009 tanggal 19
Juni tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran.
c. Internet
www.slideshare.net/DadangSolihin/kerangka-pengeluaran-jangka -
menengah-mtef-medium-term-expenditure-framework, diunduh pada
tanggal 24 April 2014.
andy727.wordpress.com/2012/03/15/penganggaran-berbasis-kinerja-sebuah
pendekatan-baru-dalam-sistem-perencanaan-dan-penganggaran,
diunduh pada tanggal 24 April 2014.
d. Lain-lain
Ateh, Muhammad Yusuf. 2014. Laporan Proyek Perubahan. ”Penyelarasan
Arsitektur Informasi Kinerja dan Pengintegrasian Data Pelaporan (dalam
Sistem Perencanaan, Penganggaran dan Manajemen Kinerja di
Lingkungan Kementerian Lembaga)”. Jakarta. Tidak diterbitkan.
133
INDEKS
Akuntabilitas .... xiv, 22, 23, 25, 35, 38
Bappeda .................... ii, 4, 38, 41, 42, 56
Bappenas ..... ii, iii, v, vi, vii, viii, x, 1, 4,
10, 11, 12, 14, 15, 16, 18, 20, 21,
27, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 37, 38,
40, 41, 42, 43, 45, 54, 56, 57, 58,
59, 60, 61, 62, 64, 66, 67, 68, 70,
72, 73, 74, 76, 77, 79, 83, 86, 89,
90, 91, 92, 94
benchmarking ........................... vi, 16, 45
budget planning .. v, vii, 72, 76, 89, 91
coalition agreements....................47, 48
dekonsentrasi ....................... 8, 9, 40, 59
Ditjen Anggaran .... vii, viii, 15, 21, 43,
58, 59, 60, 69, 77, 92, 94
dokumen anggaran ......................44, 52
dokumen perencanaan ..... 14, 32, 36,
38, 42
Dokumen Perencanaan
Pembangunan Nasional ............... 54
focus group discussion (FGD)............ vi
Indeks Kinerja Utama ........................ 55
indikator kinerja............................10, 53
Indikator Pembangunan Nasional
...................................................................54
kantor kepresidenan ... 22, 59, 60, 62
Kementerian Keuangan ..... ii, iii, v, vi,
vii, viii, x, 8, 10, 11, 13, 16, 20, 21,
31, 32, 33, 43, 47, 48, 49, 50, 57,
58, 65, 67, 68, 70, 72, 73, 74, 79,
86, 89, 90
Kementerian/Lembaga ...... iii, v, vi, x,
xiv, 1, 4, 8, 34, 39, 40, 70, 72, 73,
74, 82, 86, 89, 90
Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah ......................................... 1, 9
Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (LAKIP) ...23,
35, 38
mekanisme tata kerja ........... vi, 73, 90
money follow function ...iv, 55, 63, 71,
87
Office Management Budgeting
(OMB) ....................................................46
outcome .... vi, 2, 23, 43, 44, 51, 73, 90
output .. vi, 2, 4, 44, 51, 52, 53, 67, 73,
90
134
pembangunan iii, iv, v, vi, vii, x, xi, xii,
2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 11, 14, 15, 18, 19,
20, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36,
37, 38, 39, 40, 41, 43, 47, 49, 55,
56, 58, 59, 61, 62, 65, 67, 68, 70,
71, 73, 74, 76, 86, 87, 88, 90, 91
pembangunan nasional.......iii, xii, 14,
18, 21, 70, 72, 86, 89
pemerintah daerah ......... xii, 8, 59, 68
pemerintah pusat ..... x, xii, 26, 27, 60,
68
penganganggaran .......................... iii, 14
penganggaran iii, iv, v, vi, viii, ix, x, xi,
xii, 1, 2, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 15, 16,
19, 20, 21, 22, 23, 26, 28, 29, 30,
31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,
41, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 50,
52, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,
62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 70, 72,
73, 79, 80, 82, 83, 86, 87, 88, 89,
90
Penganggaran Berbasis Kinerja ..... 1,
10, 36, 51
Penganggaran Terpadu..................... 10
perencanaan . iii, v, vi, viii, ix, x, xi, xii,
1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 12, 14, 15, 16,
17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26,
28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36,
37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46,
47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55,
56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64,
66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74, 79,
80, 82, 83, 86, 87, 89, 90
policy brief .......................................... ix, 80
Prioritas Makro Pemerintah ...........51
program .. iii, vi, vii, viii, 2, 3, 5, 6, 7, 8,
9, 10, 11, 13, 14, 15, 20, 22, 24, 32,
35, 36, 37, 43, 44, 45, 46, 47, 53,
55, 59, 60, 62, 63, 64, 66, 67, 68,
70, 73, 74, 76, 77, 78, 86, 87, 90,
91, 92, 94
Regulatory Impact Assesment (RIA)
...................................................................29
Renja-KL ..................................................... iii
Renstra ..... iii, 8, 13, 14, 15, 24, 34, 35,
36, 38
RENSTRA ..................................................73
RKP. iii, vii, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 14, 21,
24, 33, 39, 40, 43, 53, 64, 66, 67,
69, 70, 74, 86, 90
RPJM iii, vi, vii, 3, 4, 5, 6, 8, 12, 24, 64,
67, 70, 73, 74, 76, 86, 90, 91
SAKIP .................................................. 35, 37
135
Sekretariat Perencanaan Program
dan Anggaran ..... vii, 76, 77, 91, 92,
94
sinergi v, vii, viii, xi, xii, 41, 55, 72, 76,
79, 89, 91
sinergitas .iii, v, 14, 29, 30, 34, 57, 67,
72, 73, 89
sistem perencanaan dan
penganggaran ... iv, ix, xii, 2, 19, 46,
70, 79, 81, 87
Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional . iv, 1, 2, 31, 36, 41, 71, 82,
88
SKPD .................................................. 4, 6, 40
system top-down ....................................49
Trilateral Meeting ........... iii, 11, 12, 13
tugas pembantuan .......................... 9, 40
validasi ................................................. vi, 16
136
I - 1
Lampiran 1
PKSANHAN POLICY BRIEF, Edisi Desember 2014
MEMBANGUN
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN19
“Penganggaran tanpa Perencanaan adalah Pemborosan
Perencanaan tanpa Penganggaran adalah Mimpi”
Latar Belakang
Pemisahan antara lembaga perencanaan dan penganggaran program
pembangunan pasca reformasi justru menimbulkan fragmentasi pemerintahan
karena fungsi penyusunan program masih tetap berada di Bappenas,
sedangkan fungsi penganggaran berada di Kementerian Keuangan. Tidak
sinerginya perencanaan dan penganggaran dalam pelaksanaan pembangunan
nasional tidak dapat dihindari meskipun telah dilakukan pertemuan tiga pihak
sebagaimana diatur dalam PP No. 90 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). Kondisi yang terjadi antara lain :
1) Buruknya koordinasi dan kesepahaman antara Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga terkait
dengan pencapaian sasaran-sasaran prioritas pembangunan nasional yang
akan dituangkan dalam RKP, pokok-pokok kebijakan fiskal dan kebijakan
belanja,
2) Inkonsistensinya kebijakan yang ada dalam dokumen perencanaan dengan
dokumen penganggaran, yaitu antara RPJM, RKP, Renja K/L dan RKA-KL,
dan
19 Disusun berdasarkan hasil Kajian Integrasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran, Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara- Deputi Bidang Kajian Kebijakan, LAN, 2014.
I - 2
3) Rendahnya komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu dilakukan
terhadap Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah.
Pembahasan terhadap Isu
Dalam sistem perencanaan dan penganggaran, terdapat 2 (dua) hal
penting: (i) perencanaan program yang tepat sasaran dan (ii) perencanaan
penganggaran yang lebih efektif dan efisien. Dengan sistem perencanaan dan
penganggaran yang baik, maka program-program yang disusun adalah benar-
benar bertujuan untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan pembangunan.
Selanjutnya dalam penyusunan perencanaan penganggaran harus
menggunakan prinsip “money follow function”. Artinya penyusunan
perencanaan program dan penganggarannya dapat saja tidak dilaksanakan
bersamaan, tetapi secara sekuential dengan menimbang program prioritas
pembangunan terlebih dahulu.
I - 3
Gambar : Hubungan SPPN dengan Pengelolaan Anggaran
Untuk konteks Indonesia, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN) sebagaimana tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2004 merupakan tahap
awal dari siklus APBN yang mencerminkan rencana pembangunan yang akan
dilaksanakan oleh seluruh Pemerintah. Kemudian rencana tersebut dilanjutkan
dengan proses penganggaran untuk mendapatkan alokasi anggaran,
sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di dalamnya juga
mengatur proses penganggaran di daerah, serta Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
TUJUAN
PEMBANGUNAN
NASIONAL
UU No.
25/2004
SPPN
PLANNING
UU No.
17/2003
KN BUDGETING
ORGANIZING
BUDGET
PLANNING
UU No. 1/2004
Actuating
UU No. 15/2004
Controlling
S I S T E M
K E U A N G A N
N E G A R A
I - 4
Negara. Di antara fungsi perencanaan dan penganggaran terdapat irisan
proses yang kemudian sering menjadi permasalahan walaupun telah
dipayungi dengan PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah
dan PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga beserta peraturan perubahan dan peraturan
pelaksanaannya. Ketentuan tersebut sebenarnya dimaksudkan sebagai
jembatan penghubung antara Bappenas sebagai Perencana dan Kemenkeu
dalam menyusun anggaran. Irisan (budget planning) itulah yang harus dikelola
dengan baik agar sistem perencanaan peganggaran pembangunan nasional
akan lebih baik, efisien dan equity.
Berdasarkan konsep membangun sinergi dari sudut pandang hukum
administrasi negara, maka untuk mewujudkan keterpaduan fungsi
perencanaan yang diselenggarakan Bappenas dan fungsi penganggaran yang
diselenggarakan oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, dapat
dilakukan dengan cara menempuh salah satu dari 3 (tiga) opsi kebijakan
sebagai berikut.
Opsi Tinjauan Hukum Administrasi Negara
Keterangan
1 sinergitas tindakan hukum (rechshandelingen),
yaitu penataan kembali perbuatan hukum dalam perencanaan dan penganggaran, baik tindakan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang bersegi dua (tweezidge publiekrechtelijke handeling);
2 sinergitas hubungan hukum (rechtsbetrekkingen),
yaitu penataan kembali antar-wewenang yang dimiliki Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam hubungannya dengan lembaga pemerintah dan lembaga negara
3 sinergitas kedudukan hukum (rechstatus),
yaitu penataan kembali kelembagaan Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam kaitannya dengan kedudukan kelembagaannya
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
I - 5
Rekomendasi Kebijakan beserta Implikasinya
Agar terwujud integrasi perencanaaan dan penganggaran
pembangunan nasional yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat, LAN
menyampaikan opsi kebijakan dari perspektif jangka pendek (perbaikan
tatalaksana) dan jangka panjang (perbaikan kelembagaan).
3. Jangka pendek, secara ketatalaksanaan diperlukan pembenahan terhadap
proses dan prosedur perencanaan program kegiatan dan penganggaran di
Indonesia. Tatalaksana perencanaan dan penganggaran ke depan
dilakukan dengan mekanisme tata kerja sebagai berikut.
a. Presiden menetapkan Visi, misi, program kerja
b. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
menerjemahkan pencapaian visi, misi dan program presiden dalam
RPJM disertai target output dan outcome yang harus dicapai oleh
kementerian/lembaga, serta menyusun pedoman penyusunan usulan
program/kegiatan oleh K/L. Sementara Kementerian Keuangan
menyusun estimasi rencana penerimaan negara untuk 5 (lima) tahun ke
depan
c. Setiap tahun, Kementerian/Lembaga menyusun usulan program/
kegiatan berdasar RPJM beserta estimasi rencana anggaran yang
diperlukan
d. Setiap Tahun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Bappenas mengevaluasi kinerja program/kegiatan tahun lalu dan
usulan program/kegiatan tahunan, serta menetapkan program/
kegiatan tahunan yang akan dilaksanakan dan dibiayai (RKT).
Sementara Kementerian Keuangan mengevaluasi kinerja efisiensi
anggaran, dan Menetapkan sumber pembiayaan pembangunan.
e. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
menyusun dokumen RKP, sementara Kementerian Keuangan menyusun
dokumen RAPBN
I - 6
f. Presiden menetapkan dokumen nota keuangan untuk disampaikan ke
DPR
Secara ringkas dapat dilihat pada Skema terlampir (Lampiran 1).
4. Jangka Panjang, secara kelembagaan, fungsi koordinasi, integrasi,
sinkronisasi dan sinergi atas rencana program kegiatan dan anggaran
dilakukan oleh Bappenas yang akan ditempatkan di Kantor
Kepresidenan, dengan nomenklatur Sekretariat Perencanaan
Program dan Anggaran.
Tugas Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran :
Menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi
serta mengevaluasi dan menetapkan rencana program
pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/
lembaga.
Fungsi, Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran :
4) Pelaksanaan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi rencana
program pembangunan dan anggaran (budget planning)
kementerian/lembaga.
5) Pelaksanaan evaluasi rencana program pembangunan dan
anggaran (budget planning) kementerian/lembaga.
6) Penetapan program pembangunan dan anggaran (budget planning)
pembangunan yang akan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga
Kewenangan Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran:
Menetapkan program dan kegiatan pembangunan
kementerian/lembaga yang akan dilaksanakan dan dibiayai dengan
anggaran yang tersedia, mengacu pada visi misi dan prioritas
program kerja Presiden dan RPJM.
Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran pada Kantor
Kepresidenan tersebut, terbentuk melalui 3 opsi sebagai berikut
I - 7
Opsi 1 (Progresif), Bappenas dan Ditjen Anggaran merger menjadi
“Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor
Kepresidenan (Set P2A Kanpres)
Opsi 2 (moderate) Bappenas menjadi “Sekretariat Perencanaan
Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A
Kanpres), dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/ kewenangan
pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A
Kanpres
Opsi 3 (konservatif) Bappenas tetap tapi fungsi/ kewenangan
pengambilan keputusan penetapan prioritas program/ kegiatan
pindah ke Set P2A Kanpres, dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/
kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah
ke Set P2A Kanpres
Secara ringkas dapat dilihat pada Lampiran 2.
I - 8
Lampiran 1. USULAN SKEMA HUBUNGAN TATA KERJA
INTEGRASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN K/L
Presiden
Kementerian PPN/Bappenas
Kementerian/ Lembaga
Kementerian PPN/Bappenas
Kementerian Keuangan
Kementerian PPN
Kementerian Keuangan
Presiden
DPR
Menetapkan Visi, misi, program kerja “Nawa Cita”
Menyusun RPJMN dan Pedoman penyusunan usulan
program/kegiatan oleh K/L
Menyusun usulan program/kegiatan tahunan dan rencana anggaran yang
diperlukan
Mengevaluasi kinerja program, usulan program/kegiatan
tahunan dan Menetapkan program/kegiatan tahunan yang
akan dilaksanakan dan dibiayai
Menyusun estimasi penerimaan negara
Menyusun dokumen RAPBN
Menyusun dokumen RKP
Menetapkan dokumen nota keuangan PROSES TEKNOKRATIK
PROSES POLITIK
Kementerian Keuangan
Mengevaluasi kinerja efisiensi anggaran, dan Menetapkan sumber pembiayaan pembangunan
RPJM
RKT
I - 9
Lampiran 2. Opsi Pembentukan Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran pada Kantor Kepresidenan
Opsi Pembentukan
Bappenas Ditjen Anggaran
Catatan Potensi Permasalahan
HAN
Solusi HAN
1 (Progresif) merger menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres)
Memperhati-kan • target visi misi
program kerja Presiden terpilih
• RPJP
• Benturan dengan UU 17/2003 dan UU 25/2004
• Kantor Kepresidenan belum terakomodasi dalam Perpres No. 165 Thn 2014
• Revisi UU 17/2003 dan UU 25/2004
• Penerbitan Perpres tentang Kantor Kepresidenan
2 (Moderat) menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres)
Tetap , tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres
Memperhatikan UU 17/2003
• Kantor Kepresidenan belum terakomodasi dalam Perpres No. 165 Thn 2014
• KemenPPN dan Bappenas adalah satu kesatuan (UU 25/2004), sehingga jika Bappenas ditarik ke SetP2A maka KemenPPN tidak layak sebagai Kementerian karena hanya menyisakan tugas fungsi yang bersifat internal
• Penerbitan Perpres tentang Kantor Kepresidenan
• Keppres/ perpres ttg Bappenas dicabut oleh Perpres baru ttg Sekretariat di lingkungan Kantor Kepresidenan
3 (Konser-vatif) Tetap, Tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan penetapan prioritas program/ kegiatan pindah ke Set P2A Kanpres
Tetap , tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres
• Memperhati-kan
• UU 25/2004, • UU 17/2003, • Fungsi KISS Set
P2A pada Kantor Kepresidenan,
Kantor Kepresidenan belum terakomodasi dalam Perpres No. 165 Thn 2014
Penerbitan Perpres tentang Kantor Kepresidengan
I - 10
II - 1
Lampiran II
BAHAN-BAHAN PAPARAN NARASUMBER
II - 2
II - 3
II - 4
II - 5
II - 6
II - 7
II - 8
II - 9
II - 10
II - 11
II - 12
II - 13
II - 14
II - 15
II - 16
II - 17
II - 18
II - 19
II - 20
II - 21
II - 22
II - 23
II - 24
II - 25
II - 26
II - 27
II - 28
II - 29
II - 30
II - 31
II - 32
II - 33
II - 34
II - 35
II - 36
II - 37
II - 38
II - 39
II - 40
II - 41
II - 42
II - 43
II - 44
II - 45
II - 46
II - 47
II - 48
II - 49
II - 50
II - 51
II - 52
II - 53
II - 54
II - 55
II - 56
II - 57
II - 58
II - 59
II - 60
II - 61
II - 62
II - 63
II - 64
II - 65
II - 66
II - 67
II - 68
II - 69
II - 70
II - 71
II - 72
II - 73
II - 74
II - 75
II - 76
II - 77
II - 78
II - 79
II - 80
II - 81
II - 82
II - 83
II - 84
II - 85
II - 86
II - 87
II - 88
II - 89
II - 90
II - 91
II - 92
Briefing Sheet atas Masukan terkait Integrasi Perencanaan dan
Penganggaran Pembangunan Nasional: Revisi PP 90/2010
I. Dasar Hukum
1. UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
2. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
3. PP Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
II. Integrasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Orde Baru dan Era Reformasi:
1. Sesuai Keppres 35/1973 Bappenas memiliki tugas pokok dan fungsi yang terkait dengan perencanaan dan pembangunan, yaitu:
a. Menyusun rencana-rencana pembangunan nasional untuk jangka panjang maupun jangka pendek
b. Melakukan koordinasi perencanaan dan mengusahakan keserasian di antara rencana-rencana bagian sektoral maupun regional dan mengadakan penqintegrasian rencana-rencana tersebut ke dalam satu rencana pembangunan nasional.
c. Menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama-sama dengan Departemen Keuangan.
d. Mengamati persiapan dan perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan nasional serta mengusahakan sinkronisasi diantara program-program dan proyek-proyek.
e. Melakukan penilaian pelaksanaan rencana pembangunan nasional dengan mempertimbangkan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan dalam program-program dan proyek-proyeknya.
2. Sesuai dengan Keppres tersebut maka Bappenas tidak hanya berfungsi melakukan koordinasi pembangunan pusat dan daerah serta antar instansi namun juga bertanggungjawab dalam anggaran pembangunan nasional.
3. Beberapa kritik terhadap peran Bappenas:
II - 93
a. Permasalahan koordinasi yang berkaitan dengan penguasaan dana dan otoritas. Bappenas melakukan "kontrol" yang ketat dengan meneliti setiap komponen dalam Daftar Isian Proyek (DIP).
b. Bappenas dianggap terlalu terlibat dalam hal-hal yang bersifat operasional yang cukup menyerap sumber daya sehingga tidak memberi perhatian yang cukup pada hal-hal yang lebih utama seperti analisa kebijakan dan perencanaan strategis yang seharusnya lebih penting.
c. Bappenas dianggap turut bertanggungjawab terhadap tuduhan adanya kebocoran dan penyalahgunaan dana pembangunan utama, terutama yang berasal dari pinjaman dan hibah luar negeri. Bappenas dianggap mengetahui dan merestui terjadinya kebocoran tersebut.
4. Pada era reformasi dilakukan pemisahan fungsi perencanaan dan penganggaran, melalui penerbitan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara (fungsi penganggaran oleh Kementerian Keuangan) dan UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional (fungsi perencanaan oleh Bappenas).
III. Integrasi Perencanaan dan Penganggaran Saat ini
1. Mengingat pemisahan fungsi perencanaan dan penganggaran berdasarkan UU No 17/2003 dan UU No 25/2004 masih menuai kritik sebagai salah satu faktor penghambat pembangunan nasional, pada tahun 2010 Pemerintah menerbitkan PP 90/2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja
dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang mereivisi PP 21/2004, dengan tujuan penyempurnaan proses sinkronisasi perencanaan dan penganggaran.
2. Namun hal tersebut dinilai berbagai pihak belum cukup menyelesaikan permasalahan yang terjadi, mengingat pendekatan penelaahan RKA K/L berdasarkan PP No 90/2010 masih terbatas pada pendekatan fungsi penganggaran dalam UU 17/2003 yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan pendekatan fungsi perencanaan dalam UU 25/2004 yang dilakukan oleh Bappenas.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 10 PP 90/2010, yang mengatur :
a. RKA-K/L menjadi bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang APBN setelah terlebih dahulu ditelaah dalam forum penelaahan antara Kementerian/Lembaga dengan
II - 94
Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan (ayat 1)
b. Menteri Keuangan mengoordinasikan penelaahan RKA K/L dalam rangka penetapan Pagu RKA-K/L yang bersifat final (ayat 4)
c. Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi, yang meliputi:
1) kelayakan anggaran terhadap sasaran Kinerja yang direncanakan; dan
2) konsistensi sasaran kinerja Kementerian/Lembaga dengan RKP. (ayat 5)
3. Kondisi tersebut diatas menimbulkan permasalahan sinkronisasi dalam proses penyusunan perencanaan dan penganggaran guna mendukung tercapainya sasaran pembangunan nasional.
IV. Masukan atas Permasalahan:
1. Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dijelaskan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk:
a. mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan;
b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi
baik antar Daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi
pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara
efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
2. Namun UU ini tidak menjelaskan lebih lanjut keterkaitan dan sinkronisasi antara perencanaan dan penganggaran. Hal ini disebabkan fungsi perencanaan dan penganggaran dilakukan oleh 2 (dua) Instansi yang berbeda (Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan), sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
3. a. Untuk mendorong optimalisasi sinkronisasi antara perencanaan dan penganggaran tersebut, dapat dilakukan
II - 95
melalui Revisi Pasal 10 PP No 90/2010, dengan menambah klausul “persetujuan Bappenas” dalam penetapan RKA-K/L yang bersifat final yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
b. Untuk menghindari tingginya moral hazard atas kewenangan Bappenas tersebut, maka persetujuan Bappenas hanya dilakukan dalam hal penetapan RKA K/L atas program-program pemerintah yang bersifat “prioritas” (tidak semua program dalam RKA K/L membutuhkan persetujuan Bappenas).
c. Revisi Pasal 10 PP No 90/2010 tersebut, dilakukan dengan menambahkan 1 (satu) ayat baru, yakni ayat (4a) yang berbunyi:
“Penetapan pagu RKA K/L sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) yang terkait dengan
prioritas pembangunan nasional dilakukan
dengan persetujuan Menteri PPN/Kepala
Bappenas”.
(Praktek dalam Trilateral Meeting penyusunan RKA-K/L,
keberatan Kementerian PPN/Bappenas terhadap suatu
RKA-K/L hanya berwujud “sebatas” pencatatan, yang bisa
saja diabaikan dalam penyusunan RKA-K/L oleh
Kementerian Keuangan)
d. Untuk keselarasan antara wewenang dan fungsi Bappenas, maka perlu dilakukan revisi terhadap tugas dan fungsi yang dimiliki.
Bappenas tidak hanya berfungsi sebagai “koordinasi dan
sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan
pembangunan nasional” namun juga “koordinasi dan
sinkronisasi perencanaan dan penganggaran untuk
program prioritas pemerintah”.
4. a. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula dalam proses pembahasan Renja K/L oleh Bappenas, Kementerian Keuangan dan K/L dapat dilakukan sampai dengan pembahasan satuan tiga (saat ini pembahasan hanya dilakukan pada tahap kebijakan, program dan kegiatan).
II - 96
b. Hal ini dimaksudkan agar ketika K/L melakukan pembicaran pendahulan Rancangan APBN dengan DPR, K/L lebih dapat menjelaskan posisi program dan kegiatan yang menjadi tanggung jawab K/L, khususnya yang menjadi prioritas pembangunan nasional.
II - 97
II - 98
II - 99
II - 100
Upaya reform terhadap perencanaan dan penganggaran di
Indonesia telah dilakukan dengan terbitnya UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional beserta
berbagai peraturan pelaksanaannya. Pada prakteknya masih
terjadi sejumlah permasalahan seperti buruknya sinergi,
kurangnya interkoneksi antar berbagai lembaga, adanya ego
sektoral, serta terjadinya fragmentasi antar kelembagaan yang
menjalankan fungsi perencanaan dan penganggaran sehingga
menghambat inovasi pembangunan.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dalam buku ini Tim
Kajian merekomendasikan opsi kebijakan melalui 2 (dua)
pendekatan yaitu: 1) pendekatan kelembagaan, dengan
mengintegrasikan fungsi perencanaan dan penganggaran dalam
satu lembaga di lingkungan Kantor Kepresidenan. 2) pendekatan
ketatalaksanaan, dengan menempatkan proses koordinasi,
integrasi, simplifikasi dan sinkronisasi perencanaan program dan
anggaran K/L pada Sekretariat Perencanaan Program dan
Anggaran, serta menempatkan proses pengambilan keputusan
penentuan program dan anggaran di tangan Presiden.
Tentang buku ini…
PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Lembaga Administrasi Negara
Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110
www.lan.go.id